BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN

BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN0%

BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Konsep Ideologi

BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Team Wisdoms4all
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 4224
Download: 1906

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4224 / Download: 1906
Ukuran Ukuran Ukuran
BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN

BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA ISLAM DAN KRISTEN

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA

ISLAM DAN KRISTEN

Waryono

( Mahasiswa Universitas UIN Sunan Kalijaga )

Abstrak

Islam, Christian and Jews are closely related religion rooted genealogically from the

Father of the Prophet—Abraham. As also human beings, although born from the

same ‘worm’, it does not mean appearing similarities. There are always fundamental

differences among ‘the children’ made the relationship inharmonic, suspicious, and

prejudice. These even become worse if they claim each other and give judgments

into another. Islam and Christian both experience the same way. The relationship of

the two seems ambivalent and fluctuative, since there are some principal theological

differences. This is the urgency of understanding ‘the language of religion’ in an

insider perspective to accomplish the more constructive relationship albeit the cause

of difference. In this way, the religious followers could meet each other to carry out

a noble duty of religion accomplishing a dignified human being through religion.

Kata Kunci:

Islam, Kristen, Teologis, ketuhanan, wahyu, kitab

A. Pendahuluan

Perjumpaan Islam dan Kristen (serta Yahudi, yang kemudian sering

disebut dengan Ahli Kitab) sudah berlangsung sejak kelahiran agama

ini di jazirah Arabia pada awal abad ketujuh Masehi. Dalam

perjumpaan itu, al-Qur'an yang merupakan kitab suci umat Islam

memposisikan dirinya sebagai mussaddiq (pemberi konfirmasi) dan muhaimin (pemberi koreksi) terhadap kitab suci sebelumnya (QS. 5: 48),

utamanya kitab yang sekarang dipegang oleh umat Kristen[1] , yaitu yang

dikenal dengan ALKITAB. Posisi al-Our'an yang demikian menjadikan

perjumpaan itu bersifat ambivalen; satu sisi bersifat konflik dan sisi lainnya

bersifat konstruktif. Karena itu dalam al-Qur’an terdapat uraian yang isinya

sebuah kritik terhadap doktrin Kristen (Nasrani), sepertu Trinitas dan juga

uraian mengenai kedekatan orang Kristen dengan Islam, dibanding dengan

orang Yahudi.[2] Dua model hubungan inilah yang menjadikan tarik-menarik

antara keduanya berkepanjangan hingga era modern ini dan selalu

menampakkan “wajah” yang fluktuatif; kadang bekerjasama dan terkadang

konflik. Meskipun harus segera dicatat bahwa konflik tersebut tidak sematamata

karena faktor agama un sich, tapi karena factor sosial lain.

Dua agama tersebut pada hakekatnya ‘satu rumpun’, yaitu dari rumpun

agama Ibrahim (Abrahamic Religion) dan secara historis-kelembagaan hadir

dalam sejarah dan tempat yang berbeda, meski masih dalam satu kawasan.

Kristen lahir di Palestina, sementara Islam hadir di Makkah. Hanya saja,

Islam yang dibawa oleh Muhammad, dalam perspektif al-Qur’an mengklaim

sebagai puncak evolutif dari agama-agama sebelumnya, misalnya Kristen.

Sebagai agama pasca-Kristen dan secara historis-normatif merupakan

kelanjutan wajar dari agama sebelumnya, maka adalah logis, kalau agama

terakhir ini melakukan, bukan hanya konfirmasi, tapi juga kritik. Hal ini lebih dimengerti lagi karena setiap agama yang sudah menyejarah

mempunyai watak menyimpang, tak terkecuali Kristen dan bahkan Islam.

Akar masalah yang sering menjadikan konflik antara Islam dan Kristen,

adalah terutama pada posisi atau kapasitas al-Qur'an sebagai muhaimin. Al-

Qur’an banyak melakukan kritik terhadap praktek dan doktrin yang

berkembang pada agama Kristen[3] . Pada posisi inilah, Islam berkembang

menjadi agama yang kritis terhadap agama-agama sebelumnya -dengan sifat

subjektif dan radikalnya terhadap agama Kristen.

Konflik juga dipicu oleh karena dalam masing-masing agama terdapat

truth claim dan supersionisme dan atau superioritas. Masing-masing agama

akhirnya menjadi eksklusif. Dalam Kristen ada dan dikenal bahwa Gereja[4]

adalah satu-satunya sumber keselamatan (extra eccelesian nulla salus)[5] .

Dalam Islam pun juga ada doktrin serupa. Seperti : ‘sesungguhnya agama

yang benar disisi Allah adalah Islam’ (QS. Ali Imran [3]: 19).

‘Siapa yang

menganut agama selain Islam, maka batal, dan di akherat kelak ia termasuk

orang-orang merugi’ (QS. 3: 85).

Klaim-klaim yang bersifat ekslusif itu merupakan 'perennial problem'

sepanjang sejarah keber-agamaan manusia. Di sini dan pada sudut pandang

ini, agama menjadi sesuatu yang negatif dalam hubungan antar manusia.

Atas dasar ini, maka ada sebagian pendapat bahwa “kita tidak perlu

beragama”, karena agama justeru telah mengancam eksistensi manusia dan

mengancam martabatnya.[6] Wilayah teologis[7] merupakan area yang sangat

rawan dan riskan dalam menyulut perpecahan, bahkan wilayah ini tidak

kalah rentannya (terhadap konflik) bila diganggu dibandingkan misalnya

dengan wilayah politik, ekonomi atau sosial. Sebab, bila hal itu diganggu,

berarti sudah mengganggu kedaulatan `ultimate concern' atau sesuatu yang

paling dasar dalam penghayatan hidup orang yang mengaku beragama.

Perang Salib menjadi contoh atas statemen tersebut, yaitu sebuah perang

panjang antara Islam dan Kristen yang dampak psiko-sosialnya masih

dirasakan hingga sekarang.[8] Perang inilah yang telah menampilkan wajah

terburuk agama di era modern.

Secara garis besar, peta teologis yang sering menjadi akar masalah dan

konflik antara Islam dan Kristen, menurut S.H. Nasr ada tujuh pemasalahan,

yaitu; watak alami Tuhan (natur of God), finalitas agama (finallity), makna

dan status kitab suci (meaning and status of secred scripture), tentang

kesucian bahasa wahyu (language sacred), membedakan keadaan yang suci itu, bagaimana memandang hidup Kristus (Yesus) dan sikap Islam-Kristen

terhadap modernisme dan post modemisme.[9]

Tidak semua problem atau isu-isu di atas diuraikan di sini. Pembahasan

ini akan fokus tentang Tuhan, yang di dalamnya dibahas tentang Trinitas,

'Isa, wahyu, Kitab, Kenabian dan terakhir akan dianalisis tentang

perkembangan dari doktrin-doktrin kedua agama tersebut mengenai

pluralisme dan kemungkinan dialog dalam wilayah teologis.

B. Ketuhanan

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa secara historis-normatif Islam yang

dibawa Muhammad merupakan kelanjutan dari agama-agama sebelumnya,

Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu secara ijmali (global) tidak ada

perbedaan antara agama-agama tersebut kecuali dalam perinciannya atau

yang berlaku temporer pada jamannya seperti masalah syariatnya, yang

memang berbeda-beda. Hal ini seperti ditegaskan dalam QS. al-Ma’idah [5]:

48. Syari’at bersifat spesifik, temporer dan parsial serta berubah sesuai

zaman dan tempat.[10] Contohnya adalah mengenai model hukuman terhadap

orang yang berzina. Sebelum Islam, hukuman bagi pelaku zina adalah

ditahan selamanya (hukuman seumur hidup). Pada zaman Islam, pezina dihukum dengan cara dirajam. Maka dari itu, kritik al-Qur'an terhadap

agama-agama sebelumnya, hampir tidak ditujukan pada permasalahan yang

terakhir tersebut. Kritik yang kemudian melahirkan polemik

berkepanjangan- lebih ditekankan (ditujukan) pada hal-hal yang bersifat

teologis.

Kritik al-Qur'an terhadap agama-agama sebelumnya, disebabkan karena

penganut agama sebelum Islam telah melakukan tahrif atau corruption (QS.

4:46, 5:13; 5.41, 2:75). Bermula dari praktek tersebut, ajaran-ajaran agama

yang dibawa oleh para nabi yang asalnya benar, kemudian disimpangkan.

Hal ini terjadi, karena, (ini tentu saja menurut versi Islam) tidak sebagaimana

al-Qur'an, pesan-pesan 'Isa misalnya yang berupa wahyu tidak ditulis secara

langsung. Injil Markus yang dianggap paling tua, baru ditulis setelah lebih

dari 40 tahun dari 'Isa meninggal. Dan umat Kristen, menurut al-A'zami,

memerlukan kurang lebih 300 tahun untuk mengakui 4 Injil yang dianggap

suci, yaitu setelah konsili[11] Nicea pada tahun 325 M.[12]

Bila dirunut secara historis, kritik al-Quran terhadap penyimpanganpenyimpangan

agama Kristen, secara ilmiah tidak bisa disangkal. Sebab

perjalanan Kristen dan ajarannya selalu mengalami perubahan dan penetapan

melalui konsili-konsili. Nabi Muhammad yang lahir sekitar tahun 600-an

Masehi dengan Qur'an yang diterimanya, tampak merupakan kritik terhadap

hasil dari penetapan konsili-konsili itu. Misalnya Konsili Nicea pada tahun 325 menetapkan tentang ketuhanan Yesus Kristus. Hal ini seperti terlihat

dari Syahadat Nicea berikut:

”Aku percaya akan Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan

oleh Bapa lebih dahulu dari segala zaman. Allah keluar dari Allah...Allah yang

benar keluar dari Allah yang benar, yang diperanakkan bukan dijadikan, sezat

dengan Bapa...akan dia yang telah turun dari surga karena kita manusia dan

karena keselamatan kita”[13]

Jadi kritik al-Qur’an tampaknya lebih diarahkan pada paham

keagamaan Kristen yang heterodok,[14] bukan yang ortodoks. Baik Islam

maupun Kristen, sebenarnya percaya adanya Tuhan.[15] Namun -sebagaimana

disebutkan- dalam perjalanan sejarahnya paham dan keyakinan tentang

Tuhan yang sama itu, oleh Kristen diberi pemaknaan yang menyimpang.

Kritik al-Qur'an terhadap paham keagamaan Kristen tentang Tuhan,

sebagaimana terlihat dari syahadat di atas meliputi bigetisme; yakni paham

atau kepercayaan bahwa Tuhan itu mempunyai anak. Dalam Kristen, anak

Tuhan tersebut adalah ‘Isa, dan juga mengenai Trinitas. Kepercayaan

demikian menurut al-Qur'an telah menodai ke-Esaan Allah.

Kepercayaan bahwa Allah mempunyai anak, dibicarakan dalam 29 ayat

dan terdapat dalam 19 surat dari semua periode. Paham Kristen bahwa `Isa

bukan hanya anak Tuhan, bahkan ia akhirnya Tuhan itu sendiri.[16] Dengan

predikatnya ini Ia dipanggil dengan beberapa nama: Yesus, Juru Selamat, Tuhan, Pengantara dan Kristus. Yesus Kristus atau `Isa dalam waktu yang

sama adalah benar-benar Tuhan dan benar-benar manusia. Dengan demikian

Ia memiliki dua hakekat, yakni hakekat sebagai Tuhan dan hakekat sebagai

manusia. Dalam wujudnya sebagai manusia, ia merupakan bentuk Inkarnasi

Tuhan. Sedangkan Maryam atau Maria yang melahirkan `Isa dianggap

sebagai Theotokos, Ibu Tuhan. Kritik al-Qur'an terhadap pandangan bahwa

`Isa adalah Allah ditujukan pada aliran yang memahaminya secara

antrophormis, yaitu pemahaman yang literal dan fisik, bukan figuratif dan

metafisik.[17]

Kritik al-Qur'an terhadap paham bahwa `Isa sebagai anak Allah ini

dinilai oleh Homran Ambriel dan Edwin E. Galvery sebagai kurang

mendasar, sebab menurutnya, 'Isa atau Yesus dinyatakan dalam al-Qur'an

dengan kata Ibnullah, tidak dengan Waladullah. Ini menunjukan bahwa yang

ditolak oleh al-Qur'an adalah kepercayaan bahwa Allah memilliki anak

secara biologis atau memperanakkan yang dilalui dengan perbuatan fisik dan

hubungan seksual, sedang 'Isa tidak diperanakan secara fisik.[18] Namun

pernyataan sangkalan kedua tokoh itu bisa dipertanyakan. Memang

penolakan Islam terhadap doktrin Kristen tentang anak Tuhan dalam al-

Qur'an dinyatakan dalam kata walad (QS.al-Ikhlas [112]: 3), yang memiliki

konotasi makna biologis, tapi dalam ayat lain dinyatakan juga dengan wa

haraqa lahu baniin (QS.al-An’am [6]:100), dimana haraqa berarti

mengklaimnya secera dusta dan bohong. Dari frase ayat ini diketahui bahwa

mengatakan Allah memiliki anak -yang dalam ayat ini menggunakan Ibn,

bukan walad merupakan klaim yang didasarkan pada kebohongan atau di

buat-buat dan tidak didasarkan pada realitas ketuhanan yang sebenarnya.[19]

Banyak juga sarjana Barat yang mengkritik bahwa al-Qur'an tidak

konsisten, karena hanya menerima doktrin Virgin Birth (kelahiran 'Isa oleh

perawan suci), tetapi tidak menerimanya sebagai anak Tuhan. Menurut

mereka, jika ia menerima kelahiran Yesus secara mu'jizat, seharusnya ia juga

menerimanya sebagai anak Tuhan atau bahkan Tuhan. Kritik ini sebenarnya

kurang mendasar, karena kelahiran Yesus itu dipandang seperti penciptaan

Adam yang tidak hanya tidak ber-bapak, tapi juga tidak ber-ibu (QS. Ali

Imran [3]:59). Menciptakan ‘Isa demikian, mempunyai ibu tentu lebih

mudah, dibanding menciptakan Adam yang tanpa keduaanya.

Bagi umat Islam, 'Isa yang disebut 24 kali dalam al-Qur'an[20] yang

penyebutannya sering menggunakan kata Ibnu Maryam, adalah tidak lebih

sebagai manusia biasa yang lahir dari seorang wanita dan tidak memiliki

sifat ketuhanan (divinity).[21] Isa adalah seorang Nabi (QS. Maryam [19]:30)

dan Rasul (QS.Ali Imran [3]:45) dan termasuk dalam deretan rasul-rasul

lain. Sedangkan Maryam, ibundanya adalah wanita yang dipilih dan

disucikan Allah (QS. Ali Imran [3]: 42). Jadi mereka adalah orang-orang

pilihan Tuhan. Namun, betapapun sucinya dan mereka berdua adalah

manusia pilihan, keduanya tetap manusia biasa.[22]

Kritik lain yang dikemukakan al-Qur'an adalah mengenai Trinitas. Oleh

al-Qur'an, keyakinan demikian dinyatakan sebagai salah satu bentuk

kemusyrikan (QS. 4:171, 9:30, 5:73). Yang ditentang oleh doktrin ini,

menurut Schoun adalah pemberian sifat kemutlakan kepada Trinitas atau kepada Trinitas ontologis.[23] Yang dimaksud dengan Trinitas adalah one

subtance and three persons yaitu percaya pada satu Allah yang

menyatakan diri-Nya dalam tiga proposa atau persona. Percaya pada Allah:

Bapa, Anak dan Roh Kudus.[24]

Ajaran Trinitas ini hanya terdapat dalam Perjanjian Baru[25] dan

pernyataan yang paling kuat mengenai hal ini adalah terdapat dalam Matius

28:19, dan Korintus 12:4-6, 13:13. Salah satu bunyinya adalah: ”sebab itu

pergilah kamu, jadikanlah sekalian bangsa itu muridku serta membaptiskan

dia, dengan nama, Bapa, Anak, dan Roh Kudus”. Menurut paham Kristen,

Trinitas adalah kekal dan ketiga oknum bekerja sama dalam penciptaan

kembali dengan perbedaan tugas tertentu.

Dalam sejarah gereja, dogma Trinitas ini tidak terbentuk sekaligus,

melainkan melalui proses yang panjang dan hampir memakan waktu 400

tahun[26] Konsili I di Nicea pada tahun 325 memutuskan Yesus sebagai

Tuhan anak. Konsili II di Konstantinopel pada tahun 381 menetapkan

ketuhanan Roh Kudus dan dimantapkan pada konsili-konsili selanjutnya

pada tahun 431 di Epsus dan tahun 451 di Caicedon.[27]

Kemudian sasaran kritik berikutnya adalah masalah penyaliban.

Masalah ini tidak kalah pentingnya dalam menentukan hubungan Islam-

Kristen. Bila dirunut, baik Trinitas maupun Penyaliban sumber utamanya

adalah berkenaan dengan dosa warisan. Dosa warisan adalah dosa setiap

manusia yang dipikul padanya sebagai warisan atau tanggungjawab atas –

bermula pada- kesalahan Adam dan istrinya pada peristiwa Drama Kosmis.

Dalam kepercayaan Kristen, manusia lahir telah membawa dosa. Dosa

asli atau warisan ini tidak bisa diatasi oleh kekuatan mansuia sendiri. Untuk

menyelamatkan manusia yang berdosa tersebut Allah melakukan Inkarnasi

dan masuk ke dunia dengan menjelma menjadi Yesus. Untuk, itu Yesus

harus dikorbankan, yaitu dengan jalan menyalibnya, sebagai pengganti dan

penebus dosa manusia. Dengan demikian Yesus bertindak sebagai perantara

Allah dan manusia dan sebagai penebus dosa.

Kepercayaan Kristen itu ditolak oleh Islam. Bagi Islam, manusia lahir

dalam keadaan suci, tidak menanggung atau membawa dosa. Manusia hanya

bertanggungjawab terhadap apa yang telah diperbuatnya dan menjadi

tanggungjawabnya. Oleh karena itu, disamping orang yang bersangkutan

tidak bisa mengalihkan tanggungjawabnya, juga tidak bisa mengorbankan

orang lain untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah

dilakukannya. Atas dasar itu, maka penyaliban adalah tidak mungkin

(QS.an-Nisa’ [4]:157).[28] Penolakan Islam tentang hal tersebut meliputi

penyaliban dan dosa warisan itu sendiri.

C. Wahyu dan Kitab

Problem lain yang kerap menjadi masalah antara Islam dan Kristen

adalah persoalan wahyu dan kitab. Baik Muslim maupun Kristen

sebenarnya sama percaya bahwa Tuhan berbicara kepada manusia melalui

individu-individu istimewa yang disebut nabi atau rasul. Antara keduanya

berbeda dalam melihat transformasi wahyu itu dalam bentuk akhirnya.

Dalam Injil Yohanes dikatakan: 'pada mulanya adalah firman; firman

itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah' (Yohanes

1:1). 'Firman itu telah menjadi manusia, dan diam diantara kita, dan kita

telah melihat kemudian-Nya, sebagai anak tunggal Bapa, penuh kasih

karunia dan kebenaran'. (Yohanes 1:14). Dari kutipan itu jelas, 'Isa adalah firman dan firman itu kemudian berubah wujud menjadi manusia. Firman

Allah telah menjadi daging (Word made Flesh).[29]

Al-Qur'an sendiri jelas mengungkap bahwa `Isa adalah firman Allah

(QS. Ali Imran [3]:45, an-Nisa’ [4]:171). Namun yang dimaksud di sini

adalah bahwa `Isa diciptakan langsung oleh Allah dengan firman-Nya kun

dan tetap tidak berubah bentuk atau wujud, ia tetap menjadi manusia dan

tidak menjadi anak Tuhan apalagi Tuhan.

Wahyu -dalam Islam- adalah kata-kata Tuhan yang disampaikan

kepada orang yang dipilihnya untuk menyampaikan pesan atau kehendak-

Nya, baik secara langsung, maupun tidak langsung (QS.42: 51, 2: 97).[30]

Wahyu diberikan sebagai peneguh atas kenabian atau ke-irsalan seseorang

yang dipilih tersebut. Pewahyuan adalah hak prerogatif Allah.

Fenomena wahyu dalam al-Qur’an digambarkan dengan

‘kalamullah’, perkataan Allah (QS. 2: 75, 9: 6, 40: 5, 7:14). ‘kalimatullah’,

kata-kata Allah (QS. 42: 24, 9: 40) dan ‘qaulullah´(QS. 39: 18, 73:5).

Sehingga wahyu -dalam Islam- adalah konsep linguistik yang dijadikan

media komunikasi (QS. 2: 253) antara Tuhan dan manusia. Kata-kata

Tuhan sebagai komunikator yang ‘wilayahnya’ berbeda dengan wilayah

komunikan, manusia kemudian ‘ditubuhkan’ dalam bahasa manusia

sebagai obyeknya. Jadi dalam Islam, hanya terjadi penyesuaian bahasa

wahyu dan tidak sampai berubah menjadi manusia. Meski demikian, tidak

menjadikan bahasa Tuhan itu menjadi dipandang tidak suci. Bahasa wahyu,

walaupun menggunakan bahasa manusia masih dipandang sebagai yang

suci. Karena itu, kodifikasi wahyu disebut dengan Kitab Suci.

Berkenaan dengan kitab suci sebelum al-Qur’an, sebagaimana telah

dikemukakan juga tidak lepas dari sorotan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, kitab suci Kristen disebut dengan Injil. Dalam perjalanan sejarahnya, Injil

atau kemudian yang dikenal dengan Al-Kitab atau Bible terdiri dari

Perjanjian Lama (The Old Testament) yang terdiri dari 38 kitab dan satu

surat dan Perjanjian Baru (The New Testament) yang terdiri dari 27 risalah.

Persoalan muncul, karena menurut al-Qur’an, kitab tersebut dipandang

sebagai telah mengalami kerusakan, tahrif (corruption) dan pengubahan

(QS. 4: 46, 5: 132: 75). Menurut Hassan Hanafi, salah satu sebab tejadinya

hal tersebut adalah karena wahyu atau kitab itu tidak disampaikan secara in

verbatim (persis sama dengan kata-kata yang diucapkan pertamakali).

Dengan demikian wahyu atau kitab itu sangat mungkin terjadi kesalahan,

seperti adanya pengubahan, penyisipan, pengurangan, penambahan atau

penghapusan. Hal ini terjadi karena penulisnya telah diberi 'carte glance'

(kuasa) untuk menulis dan mengarang. Akibat lanjut dari kejadian itu

adalah timbulnya penyimpangan dalam doktrin dan ajaran-ajarannya.[31]

D. Kenabian

Esensi kenabian perilu juga dibahas karena berkaitan dengen fungsi

seorang nabi dalam masyarakatnya. Al-Qur'an menegaskan bahwa nabi

adalah seorang manusia biasa (QS. 3: 79, 14: 11, 18: 110, 134, 41: 6, 17:

93-4). Oleh karena itu peran kenabian pada diri seorang nabi bukan bersifat

inherent dan previous, sehingga dalam diri seorang nabi tetap ada sekat -

bagaimanapun tipisnya- yang memisahkan antara peran kenabian dan peran

kemanusiaan.

Peran kenabian pada seorang nabi semata-mata berasal dari Tuhan

(fitri) dan bukan upaya yang dilakukan individu (muktasabah). Dengen

kata lain peran kenabian pada searang nabi bukan dibawa semenjak lahir,

tetapi muncul belakangan atas pilihan Tuhan semata, sebagaimana terbaca

dalam al-Qur'an (QS. 28: 85-6, 42: 52, 29: 48). Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang ada pada dunia Kristen. Injil, baik Perjanjian Lama maupun

Baru menyebutkan tentang kemanusiaan seorang nabi. St. Darmawijaya

menyebutkan bahwa dalam Perjanjian Lama (Kitab Yahezkell) pernyataan

tentang hal ini berjumlah 90 kali dan dalam Perjanjian Baru sebanyak 82

kali.[32]

Al-Farabi secara implisit juga mengakui tentang kefitrian peran

kenabian ini, yang berintikan pada kekuatan suci (derajat akal mustafad)

dan kekuatan imajinasi luar biasa yang terlalu sulit –kalau tidak mustahilbisa

dicapai manusia biasa.[33] Senada dengan al-Farabi, Thomas Aquinas

(w. 1274), seorang teolog-filosof Kristen abad pertengahan, menyatakan

bahwa meskipun kenabian itu melekat pada jiwa seorang nabi, tetapi

bukan merupakan kebiasaan ataupun watak yang tetap, karena hanya

tinggal sementara, atau semacam atmosfir yang sesungguhnya

membutuhkan penyalaan baru.[34]

Kefitrian kenabian ini pada gilirannya memposisikan fungsi para nabi

juga semata-mata sebagai penyampai apa yang diterimanya dari Tuhan

yang berupa kabar gembira dan peringatan tanpa dikurangi atau ditambah.

Jadi fungsi para nabi adalah menyampaikan kabar gembira dan peringatan

dari Tuhan kepada manusia (QS. 2: 97, 26: 193-4).

Para nabi yang keberadaannya sebagai media antara alam supraempiris

dengan dunia manusia yang empiris menuntut adanya

penyeimbangan antara keduanya. Artinya, bahwa para nabi harus mampu

menyeimbangkan antara aspek supra-empiris sebagai sumber (nilai-nilai

keagamaan) dengan aspek empiris sebagai dunia praxis dari nilai-nilai

tersebut, dan inilah fungsi kenabian yang sesungguhnya.

Sumber-sumber Kristen (Perjanjian Lama) juga menyebutkan tentang

fungsi para nabi seperti di atas. St. Darmawijaya, dengan menyarikan dari Perjanjian Lama, mengemukakan empat fungsi seorang nabi, yaitu;

menyampaikan perintah Tuhan bagi manusia, orang kepercayaan Tuhan,

sebagai saksi melawan dosa, dan sebagai pewarta hukuman pada segi

pendidikannya.[35]

Tetapi berbeda dengan Muhammad, dimana peran atau fungsi

kenabiannya oleh umat Islam diyakini sebagai puncak keberadaannya, bagi

`Isa, nabi adalah hanya satu gelar saja yang belum mencerminkan Isa yang

sepenuhnya. Karena bagi orang Kristen, Isa bukan hanya berdiri pada garis

kenabian, tetapi sekaligus yang dituju dan diwartakan para nabi. Lebih dari

sekedar nabi, `Isa (Yesus) adalah `Sang Terurapi Allah dengan Roh dan

Kebenaran-Nya'.[36] Yesus adalah sebagai Mesias, yaitu wakil Allah, dan

melalui Dialah Allah akan hadir di dunia untuk memberi keselamatan.[37]

Bagi orang Kristen, Yesus adalah sebagai Kristus, putera Allah yang

hidup (Matius, 16:16). Lebih dari seorang nabi, Yesus adalah pewahyuan

keselamatan Allah sendiri.[38] Lebih lanjut, iman kepada Yesus berarti:

pertama, iman bahwa Yesus sebagai perantara Allah dan manusia; kedua,

menginsyafi bahwa dalam Yesus itu Allah telah mewahyukan diri sebagai

Allah Tritunggal: Bapa, Putera dan Roh Kudus; ketiga, menyadari bahwa

Yesus yang bangkit tetap hadir di tengah-tengah umat-Nya sebagai Tuhan

Yang Mulia; keempat; pengakuan iman akan kesatuan dengan Tuhan yang

mulia diwujudkan dalam sakramen.[39]

Persoalan lain seputar kenabian yang banyak menjadi problem antara

Islam dan Kristen adalah status kepenutupan (finalitas) nabi masingmasing,

yang berarti menyangkut kesempurnaan ajaran-ajarannya.

Tampaknya masing-masing pemeluk, baik Islam maupun Kristen saling mengklaim bahwa ajaran agama mereka masing-masing sebagai yang

terakhir dan sempurna.

Klaim dari penganut Kristen bahwa `Isa sebagai nabi terakhir dan

membawa ajaran yang final berangkat dari interperetasi terhadap kata-kata

yang diyakini dari Yesus: `Aku adalah jalan kehidupan dan kebenaran

sebagai satu-satunya jalan dan juga jalan yang terakhir’.[40] Akan tetapi ada

suatu penafsiran yang lain mengenai finalitas kenabian Yesus.

Ungkapannya itu tidak saja dimaksudkan bahwa periode Kristen telah

menggenapi nubuwat zaman dahulu, tetapi bahwa iman Kristen sedang

menghasilkan nubuwat-nubuwat dari kata-kata teks kuno yang sebenarnya

(pada aslinya) sama sekali tidak mempunyai rujukan ke masa depan.

Apologetika Kristen bukanlah masalah tentang memperlihatkan bahwa

Yesus menggenapi nubuwat tetapi tentang menemukan nubuwat-nubuwat

yang akan digenapi YESUS.[41]

Sementara kaum Muslim juga meyakini bahwa Nabi Muhammad

sebagai nabi terakhir dan membawa ajaran-ajaran yang final. Al-Qur'an

sendiri mengemukakan adanya pernyataan ‘Isa yang menyebutkan akan

datangnya rasul setelah dia (QS. Ash-Shaff [61]: 2). Menurut Abdullah

Yusuf Ali, kata Ahmad atau Muhammad yang tersebut dalam ayat tersebut

hampir merupakan terjemahan dari kata Yunani ‘Peryclytos’, yang dalam

Perjanjian Baru disebut ‘Paracletos’.[42] Seperti juga dinyatakan dalam Injil

Yohanes ‘jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala

perintah-Ku. Aku akan meminta kepada Bapa, dan ia akan memberikan

kepadamu seorang penolong yang lain, supaya ia menyertai kamu selamalamanya’

(Yohanes,14:15-6). Kata ‘penolong’ dalam pernyataan itu adalah

terjemahan dari bahasa Yunani ‘Perylytos’ tadi.

E. Membuka 'Kemungkinan' Dialog Teologis

Salah satu ciri dari zaman modern ini adalah keterbukaan dan semakin

menipisnya batas-batas wilayah dalam segala bidang, termasuk didalamnya

wilayah agama. Realitas empirik seperti itu telah membawa pada era yang

terbuka pula sehingga dalam kerangka akademik ilmiah hampir tidak bisa

lepas dari penelaahan dan kritik. Bahkan dalam wilayah teologis atau

keimanan sekalipun. Hal tersebut diambah pula dengan kecenderungan

global dan pluralnya manusia sebagai pemeluk agama. Pemeluk agama

telah mengalami polarisasi, sehingga batas atau sekat-sekat kehidupan

agama semakin transparan dan tidak bisa disembunyikan.

Berangkat dari ungkapan itu, kemungkinan dialog teologis bukan lagi

dipandang sebagai yang mustahil, yaitu dengan memberi pemaknaan baru

seiring semangat zaman, bukan dengan mendekonstruksinya secara total.

Karena itu pernyataan supremasi agama yang tidak lebih hanya

menunjukkan kesombongan teologis, semakin lama menjadi terkikis.[43]

Dari sini sudah menjadi keniscayaan bila setiap agama harus terbuka

tehadap agama lainnya. Dewasa ini, dialog antar agama merupakan

sesuatu yang tidak bisa dihindari dan bahkan sudah menjadi kewajiban

historis kemanusiaan.

Yang dituntut sekarang ini adalah, di samping seperti yang sudah

diuraikan dalam buku-buku petunjuk dialog,[44] adalah pemikiran yang

melempangkan jalan dialog dan kegelisahan untuk menciptakan alat-alat

analisis baru serta pemaknaan baru, sehingga agama tidak justru menjadi

faktor destruktif, tapi diharapkan menjadi berkah (blessing). Tugas kita

sekarang adalah menolak wacana-wacana apologetis dan pembiusan jiwa

yang beberapa tahun atau abad lampau menjadi warna dalam dinamika

hubungan antar agama. Atas dasar itu maka kita harus meletakkan watak

alamiah agama sebagai yang suci yang mengajarkan kedamaian dan cintakasih, sehingga agama tidak lagi menjadi legitimasi atau pembenar bagi

perilaku yang menodai kesucian agama.

Dari beberapa preposisi di atas akhirnya menjadi jelas bahwa sangat

mungkin untuk melakukan dialog teologis. Bahkan akhir-akhir ini

wacana itu menjadi bahan diskusi yang menarik. Tentu saja –salah satu

caranya- dengan tidak mengedapankan language game masing-masing

untuk membaca agama orang lain, tapi bagaimana kita memahami “orang

lain” dengan “kacamata” agama yang diamati.

F. Kesimpulan

Beberapa paparan yang lalu memberi suatu gambaran ringkas bahwa

ambivalensi hubungan antara Islam-Kristen sebenarnya dapat “dicairkan”

seiring dengan keterbukaan dan keterkaitan antar pemeluknya. Agamaagama

yang dalam tahapan personalnya sangat berbeda-beda, harus tetap

dalam aktualisasinya yang bernuansa kebersamaan, sehingga makna-makna

luhur agama dalam tataran sosio-historisnya tetap terjaga.

Harus terus dicari pemahaman dan pemaknaan baru serta formula

yang relevan dan kontekstual pengamalan agama, sehingga agama tidak

menjadi pengabsah bagi tindakan dan perilaku yang tidak ‘agamis’ yaitu

dengan cara dialog yang jujur dan penelitian yang mendalam serta

komprehensif.

Daftar Pustaka

Ali Mustafa Yaqub. Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur’an dan

Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Olaf Schumann. Pemikiran Keagamaan Dalam Tantangan. Jakarta:

Gramedia, 1993.

W. Montgomery Watt. Muhammad’s at Macca. Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1988.

TIM. Perbandingan Agama. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi

Agama, 1981.

Karen Armstrong. Perang Suci (penterjemah) Hikmat Darmawan. Jakarta:

Serambi, 2004

Carole Hillenbrand. Perang Salib Sudut Pandang Islam (penterjemah)

Heryadi. Jakarta: Serambi, 2005.

S.H Nasr. 'Comments on a Few Theological Issues in the Islamic-Christian

Dialogue' dalam Yvonne Yazbeck Haddad and Wadi Z. Haddad

(Editor), Christian-Muslim Encounters. Florida: University Press of

Florida, 1995.

Syah Waliyullah al-Dihlawi. Argumen Puncak Allah (penterjemah)

Nuruddin Hidayat & C. Ramli Bihar Anwar. Jakarta: Serambi, 2005.

Murtadha Muthahhari. Falsafah Kenabian (penterjemah) Ahsin Muhammad.

Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991.

Waryono Abdul Ghafur. Kristologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2006.

Mohammad Mustafa al-Azamai. ‘I’Jaz dalam Pemeliharaan Sunnah Nabi

Muhammad SAW’ dalam Iwan Kusuma Hamdan dkk (penterjemah

dan Editor). Mukjizat Al-qur’an dan As-Sunnah tentang IPTEK I.

Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Abu Baker A. Begader (Editor). Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama

(penterjemah) Machnun Husain. Yogyakarta: Titian Ilahi Press,

1996.

W. Montgomery Watt., Islam dan Kristen Dewasa Ini Suatu Sumbangan

Pemikiran untuk Dialog (penterjemah) Eno Syafrudien. Jakarta:

Gaya Media Pratama, 1991.

G.C van Miftrik dan B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: Gunung

Mulia, 1995.

Hamim Ilyas, Al Qur’an dan Bigetisme Ahl Al-Kitab, Makalah

dipresentasikan pada diskusi dosen IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, tgl. 15 September 1995 (tidak dipublikasikan)

Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Al-Mu’jam al-Mufakras li Alfaz al-Qur’an

al-Karim. Bairut: Dar al-Fikr, 1987.

Hans Kung et.al., Christianity and the World Religious. New York:

Doubleday and Company, Inc, 1986.

Nurcholish Madjid. Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995.

Mohammed Arkoun. Berbagai Pembacaan Quran (penterjemah) Machasin

Jakarta: INIS, 1999.

F. Schuon. Memahami Islam (penterjemah) Anas Mahyuddin. Bandung:

Pustaka, 1983.

Abujamin Roham. Pembicaraan Disekitar Bible dan Qur’an dalam Segi Isi

dan Riwayat Penulisannya. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Horald H. Titus et.al.. Persoalan-Persoalan Filsafat (penterjemah) H.M.

Rasyidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Agus Hakim. Perbandingan Agama. Bandung: Diponegoro, 1982.

Ahmad Syalabi. Perbandingan Agama Bahagian Agama Masehi

(penterjemah) Fuad Muhammad Fachruddin. Jakarta: Jaya Murni,

1964.

Abdullah Yusuf Ali. Qur’an Terjemahan dan Tafsiran (penterjemah) Ali

Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.

Muhmud Mustafa Ayoub. 'Jesus the Son of God: A Study of the Term Ibn and

Walad in the Qur'an and Tafsir Tradition' dalam Yvonne Yazbeck

Haddad and Wadi Z. Haddad (Editor), Christian-Muslim

Encounters. Florida: University Press of Florida, 1995.

Toshihiko Izutsu. God and Man in the Koran. Tokyo: Ayer Company

Publisher, 1987.

Hassan Hanafi. Dialog Agama dan Revolusi (penterjemah) Tim penterjemah

Pustaka Fidaus. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

St. Darmawijaya. Gelar-Gelar Yesus. Yogyakarta; Kanisius, 1991.

Ibrahim Madkour. Filsafat Islam Metode dan Penerapannya (penterjemah)

Yudian W. Asmin. Jakarta: Rajawali, 1988.

James P. Mackey (editor). Religious Imajination. Edinburg: Edinburg

University Press, 1986.

Donald Guthrie. Teologi Perjanjian Baru (penterjemah) Lisda T. Gamadi

dkk Jakarta: Gunung Mulia, 1995.

Tom Jacobs Sj. Siapa Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta:

Kanisius, 1993.

John Barton. Umat Berkitab? : Wibawa Alkitab dalam kekristenan

(penterjemah) Liem Sien Kie. Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

St. Sunardi. ‘Dialog: Cara Baru Beragama’ dalam Abdurrahman Wahid dkk.,

Dialog: Kritik & Identitas Agama. Yogyakarta: Dian Interfidei,

1993.

Raimundo Panikkar. Dialog Intra Religius. Yogyakarta; Kanisius, 1994.

Daftar Isi

BEBERAPA PROBLEM TEOLOGIS ANTARA1

ISLAM DAN KRISTEN 1

Waryono 1

( Mahasiswa Universitas UIN Sunan Kalijaga )1

Abstrak 2

Kata Kunci:2

A. Pendahuluan 3

B. Ketuhanan 8

C. Wahyu dan Kitab 18

D. Kenabian 22

E. Membuka 'Kemungkinan' Dialog Teologis28

F. Kesimpulan 31

Daftar Pustaka 32

Daftar Isi36