Syi'ah di nusantara

Syi'ah di nusantara0%

Syi'ah di nusantara pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Sejarah & Biografi

Syi'ah di nusantara

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 4062
Download: 3987

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 14 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4062 / Download: 3987
Ukuran Ukuran Ukuran
Syi'ah di nusantara

Syi'ah di nusantara

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

ALIRANSYI'AHDINUSANTARA

O L E H

PROF. DR. H. ABOEBAKAR ATJEH

BAHAN BACAAN

Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh : "Syi'ah, Rasionalisme dalam Islam",(Semarang, 1972).

Prof. Dr. H Aboebakar Aceh : "Sejarah Al-Qur'an"

(Surabaya - Malang, 1956 eet. ke-IV).

Abdul Hafid Faragli : "Ahlul Bait fi Misr", (Cairo Desember 1974).

Asad Haidar : "Al-Imam as-Shadiq wal Mazahilil Arba'ah",(hal. 216 - 218).

„Haditsuts Tsaqalain", 1952 M. Penerbitan „Darut Taqrib bainalMazahibil Islamiyah".

Muhammad Abdul Baqi : „As-Sa'ral Anwal Fil Islam".

Hakim An-Naisaburi : "Ma'rifah Ulumul Hadits".

Abu Abdullah Az-Zanjani : "Tarikhul Qur'an."

Dr. C. Snouck Hurgronje : "De Islam in Nederlancsh-Indie",Serie II, No. 9, dari "Groote Godsdiensten".

Sayyid Alawi bin Thahir Al-Haddad : "Sejarah PerkembanganIslam di Timur Jauh", Jakarta, 1957.

Dr. H. J. de Graaf : "Geschiedenis Van Indonesia", (hal. 87).

Dr. K.H.J. Cowan : "A Persian Inscription in Nort Sumatra" dimuatDalam Majallah "Tijdschrift Voor Taal, Land en Vilkendunde,Deel LXXX, 1940".

L.W.C. Van den Burg : Le Hadramaut et les Arabs et India".

P E N D A H U LUA N .

Sesudah saya menulis beberapa kitab mengenai Mazhab Syi'ah, terutama Syi'ah Isna Asyar Imamiyah atau Mazhab Ahlil Ba'it, dan tersiar tidak saja diseluruh Indonesia, tetapi juga diluar Negeri, misalnya di Malaysia, banyak orang bertanya kepada saya, kapan aliran Syi'ah itu masuk ke Indonesia.

Saya jawab, bahwa mengenai Islam, aliran Syi'ah-lah yang mula-mula masuk ke Indonesia, melalui orang-orang Hindu, yang sudah masuk Islam, dan yang terserak ditepi pantai pulau-pulau Indonesia mengurus perdagangan dengan bangsa-bangsa Asing yang datang berdagang ke Indonesia itu.

Ada yang termasuk Mazhab Ahlil Ba'it, dan ada yang menyeleweng diantara orang-orang Syi'ah yang datang ke Indonesia ini.

Kitab-kitab dalam Bahasa Belanda, diantaranya, "De Leering van Walisongo" ada dijelaskan hal itu dan kitab--kitab yang lain misalnya karangan Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje. Prof. Dr. Pangeran Aria Hussain Dayadinigrat, B.J.O. Schrieke, dan lain-lain. menyebutkan, bahwa orang-orang Islam yang mula-mula masuk ke Indonesia itu adalah orang-orang Syi'ah, dengan lain perkataan yang dinamakan „golongan Sayid atau Syarif" yang kebanyakkannya kemudian menjadi raja-raja di Nusantara.

Keterangan yang lebih lanjut dapat juga dibaca dalam kitab-kitab penerbitan gerakan Ba Alawi, yang teratur sekali mendaftarkan keturunan Ali bin Abi Thalib di Indonesia.

Sekali-kali bukanlah golongan Salaf yang mula pertama masuk ke Indonesia menyiarkan agama Islam, boleh jadi juga golongan Salaf tetapi Salaf Syi'ah, yang kebanyakannya dikejar-kejar di tanah Semenanjung Arab oleh Bani Abbas di Timur atau Bani Umayyah di Barat, lalu mereka lari ke Asia dan menyiarkan agama Islam disini.

Maka saya catatlah beberapa hal tentang kedatangan orang-orang Syi'ah itu ke Indonesia, mula-mula atas permintaan bahagian kebudayaan dari Pemerintah Malaysia, kemudian saya terbitkan disini sebagai risalah ini, untuk dibaca oleh bangsa Indonesia sendiri.

Atas keterangan saya ini saya mempunyai lengkap dokumentasi.

Demikianlah adanya.

Jakarta, 24 Juli 1977.

Wassalam,

H. Aboebakar Atjeh.

NAMA DAN AJARAN.

NAMA Syi'ah itu pada awal mulanya berarti golongan, firqah dalam bahasa Arab.

Tetapi telah pada permulaan Islam nama ini terutama digunakan untuk suatu golongan yang tertentu, yaitu golongan yang sepaham dan membela Ali bin Abi Thalib, khalifah yang keempat, suami dari anak junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w., bernama Fatimah dan kemenakan penuh dari Nabi, karena ia anak pamannya Abu Thalib, saudaranya ayahnya.

Dalam masa salaf, zaman Nabi dan sahabatnya, perkataan ini belum digunakan orang, tetapi untuk itu dipakai perkataan Ahlil Bait atau Alawi atau Bani Ali atau Ba Alawi.

Orang-orang Syi'ah itu, artinya orang-orang yang masuk golongan Saidina A l i , mempercayai bahwa Saidina A l i itulah orang yang berhak menjadi pengganti Nabi sesudah wafatnya, begitu pula khalifahan itu turun-menurun dari padanya, sebagai orang yang berhak menjadi Imam, yaitu kepala masyarakat kaum muslimin, karena mereka itulah, yang juga dinamakan Ahlil Bait, yang lebih mengetahui dan lebih dekat serta lebih meyakini akan ajaran Nabi Muhammad.

Uraian yang panjang lebar tentang segala sesuatu mengenai Syi'ah, sudah saya uraikan dalam karangan saya, "Syi'ah, rasionalisme dalam Islam", (Semarang, 1972), dan kitab "Al-Ja'fari, Mashaf Ahlil Bait" (sedang dicetak).

Disana saya uraikan lengkap mengenai sejarah terjadi dan pertumbuhannya, perkembangan aliran dan mashafnya mengenai tafsir, ilmu Hadist, ilmu fiqh, tarikh tasyriq, bermacam-macam aliran Syi'ah, seperti Isyna Asyarah Imamiyah, Zaidiyah, Isma'iliyah, Jabaliyah, dan lain-lain.

Imam-Imam dan sejarah perjuangannya, ulamaulama dan pengarang-pengarang, penyiaran kitab-kitabnya, yang bersifat agama dan ilmu pengetahuan, jasa-jasanya dalam penyiaran dan perkembangan Islam seluruh dunia.

Beberapa kejadian sesudah wafat Nabi SAW, seperti bangkit kembali Bani Umayah dan Bani Abbas, dengan kerajaan-kerajaannya, yang kemudian, juga bercekcokan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib, pembunuhan atas diri khalifah Usman, yang dituduhkan secara palsu oleh Yazid bin Mu'awiyah, kepada Ali dan lain-lain.

Menyebabkan pada akhirnya keluarga-keluarga AhlilBait ini, mengungsi kedaerah Persia dan India, Cina, Asia Tengah, Afrika dan Nusantara yang dapat menampung mereka, dan menyelamatkannya.

Hal ini terutama sesudah terjadi pembunuhan atas diri Sayidina Hasan dgn racun, dan Sayidina Husain as dalam peperangan di Karbala.

Sayidina A l i sendiri dalam tahun 40 H. (661 M) dibunuh oleh salah seorang fanatik, Ibn Muijam, dari golongan Khawarij, dan sesudah gugur pula anaknya dalam pertempuran yang dahsat dimedan peperangan Karbala pada tahun 61 H. (680 M), sebagai putra Mahkota yang melawan Yazid dari Bani Umayah, maka makin bertambah tambahlah hebatnya perkembangan golongan Syi'ah ini, yang meluap kesebelah timur, terutama Persia dan India, dan Asia Tengah serta Afrika Utara.

Sebenarnya hubungan Iran-Indonesia telah berlangsung lama dan selalu baik.

Dalam buku „Al-Islam Fi Indonesia" karangan Dzya Shahab dan Haji Abdullah b. Nuh, yang diterbitkan "Badan Penerbit Saudi Arabia" Jeddah, dikisahkan bahwa pelayaran laut ke Asia Tenggara dan Asia Timur lama dikuasai orangorang Persia bersama Arab.

Hubungan teluk Persia dengan Indonesia lalu lintas kuat.

Banyak kota-kota di Indonesia di diami orang-orang Persia dan Arab.

Juga dinukil dari buku Al-Damashky, yang mengatakan dalam bukunya „Nakhbat-al-Dahr" bahwa arusperpindahan Muslimin ke Indonesia, meningkat pada zaman bani Umayah, yang dikenal karena kezalimannya.

Ibn Batuta, pelancong Marokko diabad ke 13 (787 H) menyatakan bahwa ketika mengunjungi Samudra dan Pasai dia banyak bertemu dengan Muslimin dan orang-orang Persia.

Terdapat ulama besar Abdullah Shah Muhammad bin Shaikh Taher (wafat 787 H).

Pada zaman Malik al-Kamil terdapat Qadhi (hakim) Al-Sharief Amir Sayyid Al-Shirazi.

Sedangkan dizaman Al-Malik al-Zahir, terdapat ulama besar Tajuddin Al-Isphahani dan banyak lagi yang namanama mereka terukir dalam nisan-nisan diatas kuburnya masing-masing".

Ibn Batuta berkata pula bahwa wakil Laksamana di Samudra-Pasai adalah seorang Persia bernama Behruz.

Terdapat sebuah desa di Samudra kubur dari Hisauddin yg wafat pada tahun 1420 M.

Menurut Sir Richard Winsted, kuburannya sangat menarik karena terukir beberapa shair dari Sa'di, pujangga Iran yang dikubur di Shiraz, a.1. berbunyi :

„Ribuan tahun akan datang dan pergi

diatas kubur kita melintasi

Selama itu air mengalir dan angin Saba mengembus

dan waktu hidup segera terputus

Mengapa melintasi kubur orang

dengan jalan angkuh lantang ?

Disamping itu kita juga lihat berbagai nama raja-raja di Indonesia memakai gelar-gelar yang dipakai juga di Iran.

Berbagai adat istiadat di Jawa, Sumatra dan Sulawesi banyak persamaannya dengan yang ada di Iran.

Kebiasaan-kebiasaan tidak pernikahan atau merayakan pesta-pesta pada bulan Suro, mirip dengan kebiasaan Iran.

Demikian pula kisah bubur merah bubur putih dan cerita-cerita yatim, mempunyai latar belakang yang sama.

Prof. Husein Jayadiningrat almarhum, banyak mengadakan penelitian mengenai hubungan kebudayaan Iran-Indonesia, dimana kemudian Prof. Husein Jayadiningrat mengatakan banyak pengaruh Iran dalam bahasa Indonesia.

Dalam aliran Sufi di Indonesia banyak masuk pengaruh Tasauf Persia seperti pengaruh Junaid, Hallaj, Jalaluddin al Rumi, Shams al-Tebrisi.

Belum lagi pengaruh Al-Gazali yang demikian popuier di Indonesia.

Cerita-cerita Iskandar Zulkarnaen, Kisah Am'r Hamzah, Kisah Yusuf dan Zulaikha, Mu'jizat-mu'jizat para Nabi sangat terkenal dikawasan ini berasal dari literatuur Iran.

Di daerah ini aliran Syi'ah dianut, dan bersama dengan orang-orang Persia dan India ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Syi'ah itu pergi ke Nusantara untuk menyiarkan agama Islam menurut pahamnya, sambil melanjutkan perdagangan dengan Timur Jauh, yang sudah terjadi sejak dahulu, Lih. karangan saya "Sejarah Al-Qur'an" (Surabaya-Malang, 1956. eet. ke-IV).

Keturunan dari Sayidina Hasan biasa sehari-hari dinamakan Syarif, dari Sayidina Husain disebut Syayid, keturunan wanita masing-masing dinamakan Syarifah dan Syayidah.

Perlu dicatat disini, bahwa hijrah dari pada keturunan Ahlil Bait ini, banyak ke Mesir, dan dari sana kedaerah-daerah Islam yang lain, sebagaimana banyak yang hijrah ke Persia dan India, yang kemudian kedaerah Islam yang lain.

Baik juga pembaca memperhatikan sebuah kitab baru yang diterbitkan oleh "Al-Majlisul A'la Lisy-Syu'unil Islamiyah" di Cairo, yang bernama "Ahlul Bait fi Misr", karangan Ust. Abdul Hafid Faragli (Cairo Desember 1974 M).

AHLUL BAIT, DAN MUSHAFNYA.

Dalam kitab karangan saya mengenai "Syi'ah, nasionalisme dalam Islam" (Semarang, 1972), saya uraikan tentang pengikut Syi'ah Ali ini dengan mashafnya, yang bernama Ahlil Bait, sebagai berikut.

Memang disana-sini kita mendengar kecaman terhadap Mashaf Ahlil Bait, yang menggunakan hadits-hadits tersendiri dan berbuat bid'ah.

Misalnya oleh pengarang sejarah yang terkenal Ibn Khaldun (Muqaddimah, hal. 274), tetapi acap kali orang lupa, bahwa dibelakang tuduhan-tuduhan itu terdapat politik propaganda Bani Umayah atau Bani Abbas, yang membenci mashaf ini, karena ia teruntuk khusus bagi Syi'ah Ali bin Abi Thalib.

Untuk kemaslahatan dan keselamatan diri serta karangan-karangannya, banyak penyusun-penyusun kitab dalam segala bidang meninggalkan kemegahan bagi Syi'ah, meskipun pada bathinnya kadang-kadang mereka membenarkannya.

Mengenai jawaban ilmiyah atas kecaman Ibn Khaldun, bacalah kitab "Al-lmam as-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah", karangan Asad Haidar, diantara lain jilid kesatu, hal. 216 — 218.

Sebenarnya bukan tidak beralasan, baik Bani Umayyah maupun Bani Abbas, menuduh Syi'ah Ali senantiasa kalah menggerakkan pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan mereka.

Jiwa pengajaran Islam dalam daerahnya banyak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi, melalui jalan kasar atau jalan halus terhadap ulama-ulamanya, sedang ajaran Islam menurut Mushaf AhlulBait lebih banyak ditekankan kepada kehidupan dunia dan akhirat.

Jiwa pengajaran Imam As-Shadiq diantara lain adalah kemerdekaan roh, yang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan dengan demikian pengikut-pengikutnya selalu berdaya upaya meepaskan kemerdekaan jiwanya itu dari pada belenggu kekuasaan yang dianggap zalim ketika itu.

Sejak berdirinya mashaf ini terikat dengan dua peninggalan Nabi yang kuat "As-saqalain" yaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnya, Qur'an dan keluarga Nabi, yang berpadu keduanya, tidak berccrai dalam penunaian kewajibannya untuk memberi petunjuk dan hidayat kepada umat.("Haditsuts Tsaqalain", 1952 M., penerbitan "Damt Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah").

Qur'an mencegah memberi bantuan kepada orang yang berbuat zalim dan mempercayainya. Dalam sebuah firman Tuhan berseru :

"Jangan kamu lekatkan kepercayaanmu kepada mereka yang berbuat zalim karena pasti kamu akan masuk neraka. Tidak ada lain pemimpinmu kecuali Allah, yang lain tidak akan dapat menolongmu" (Qur'an surat Hud, ayat 113).

Ajaran seperti dalam masa Nabi ini sudah tidak sesuai lagi dengan masa Bani Umayyah dan Bani Abbas yang tamak kekayaan dan bertindak secara kekerasan.

Mereka menganggap ajaran-ajaran Imam as-Shadiq itu ditujukan kepadanya.

Dengan penuh keberanian Imam menjalankan terus ajaran semacam ini.

Pengikut-pengikutnya diajar meresapkan rasa adil, yang merupakan pokok terpenting dari pada dasar-dasar penetapan hukum Islam.

Murid-muridnya hanya mematuhi peraturan-peraturan yang tidak melampaui batas Tuhan, yaitu Qur'an dan mentaati imam-imam yang adil serta memelihara agama, imam-imam yang ingin damai, bermutu tinggi dalam akhlak dan budi pekerti.

Sebagai akibatnya rakyat tidak mau mencari penjelasan dalam urusannya kepada hakim-hakim pemerintah yang d'anggap zalim itu, menjauhkan dirinya dari ulama-ulama yang ditunggangi oleh pemerintah (Abu Na'im Halyatul Aulia, III : 195).

Dengan demikian Khalifah Mansur As-Saffah dan Hajjaj bin Yusuf lalu mengambil tindakan, dan gugurlah ulama-ulama hadits dan fiqh dalam mempertahankan agamanya itu.

Imam As-Shadiq menghendaki, agar disamping pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, yang betul-betul menjalankan kebijaksanaannya menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da'wah yang benar kebajikan, keadilan, persamaan ukhuwah Islamiyah umum, peradaban yang baik dan kebudayaan yang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi bid'ah dan kesesatan, yang semuanya itu dapat diperoleh hanya dari keturunan suci, pemimpin-pemimpin mushaf ini.

Karena merekalah yang sanggup memimpin umat kepada agamanya, membawanya kepada kebahagiaan, kepada tujuan-tujuan yang mulia dan tinggi, kepada contoh-contoh yang tinggi.

Mashaf Ahlil Bait ini adalah mashaf yang terdahulu lahir dalam sejarahnya, karena sebenarnya bukan Imam As-Shadiq yang meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnya, tetapi ialah Rasulullah sendiri.

Nabilah yang meletakkan sumber-sumber dan peraturannya dengan ucapannya menyuruh berpegang kepada Qur'an dan keluarganya, agar umat jangan tersesat (Hadits).

Mashaf ini terlahir dalam masa Nabi dan Imam yang pertama ialah Ali bin Abi Thalib, Imam yang paling tinggi nilainya dan paling banyak ilmunya.

Ia merupakan diri Nabi Muhammad mengikutinya dalam segala waktu, menampung ilmu langsung dari padanya, memperoleh tasyri'amali sahabatnya dikampung dan dalam perjalanan, ia duduk jika Nabi duduk, ia bekerja jika Nabi bekerja.

Rasulullah adalah guru langsung dari A l i , pendidik dan pengasuhnya.

Penyair Mutanabbi menggambarkan keindahan pewarisan ilmu itu kepada A l i sebagai berikut :

Kuletakkan sanjunganku kepada pewaris,

Pewaris Nabi, wasiat Rasul,

Karena ia nur cahaya berbaris,

Sambung menyambung, susul menyusul.

Sesuatu yang tetap terus menerus,

Pasti akhirnya berdiri sendiri,

Busah lenyap karena arus,

Laksana sifat matahari.

Tatkala Ali wafat, gerakan ilmiyah dan pimpinan mashaf ini dipimpin oleh puteranya, Imam Hasan, cucu Rasulullah dan mainan hatinya.

Dialah tempat rakyat mengembalikan urusannya dan segala persengketaan.

Tetapi urusan mashaf itu tidak berjalan dengan lancar, karena tekanan beberapa kejadian dan saling sengketa dengan Mu'awiyah.

Kecurangan-kecurangan Mu'awiyah terhadap keluarga A l I dan kekejaman-kekejamannya yang banyak menumpahkan darah, menghambat kemajuan perkembangan hukum.

Kita ketahui bahwa perjanjian antara Hasan dan Mu'awiyah untuk menyelamatkan perkembangan hukum dan ajaran Islam, yang sebenarnya, tidak ditepati oleh Mu'awiyah.

Masa Imam Husain yang menggantikan saudaranya, lebih kacau lagi.

Tidak saja peperangan-peperangan sudah terbuka, tetapi kekuasaan yang telah dicapai oleh Mu'awiyah digunakannya dengan sengaja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum muslimin.

Urusan peradilan diserahkan kepada anaknya Jazid, seorang fasik dalam berbuat dosa dan kufur yang tidak ada taranya.

Kemudian ia menjadi khalifah buat orang Islam, menjadi imam yang duduk diatas singgasana kekhalifahan Islam.

Siapa Yazid ?

Dalam "As-Sa'ral Anwal Fil Islam", karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita baca, bahwa ia seorang fasik yang durhaka, ia membolehkan berzina, memperkenankan meminum-minuman keras, membolehkan berzina, memperkenankan nyayian- nyanyian dalam mejelis-majelis kehormatan menjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung anjing dan monyet mainannya dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling tempat itu mati kelaparan.

Lalu menjadilah kedudukan hukum Islam ketika itu sangat buruk.

Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa bangkit membela kebenaran, melakukan amar-ma'ruf nahi munkar, hingga terpaksa ia mengorbankan jiwanya dengan cara yang sangat menyedihkan sebagai pahlawan Islam.

Urusan peradilan Islam dan pimpinan mashaf berpindah kepada anaknya Imam Ali bin Husain, yang bergelar Zainal Abidin, seorang yang sangat wara' dan taqwa dalam masanya, tetapi juga seorang alim dalam segala bidang ilmu Islam.

Dengan cara diamdiam ia meneruskan usaha ayahnya,, yang meskipun suasana ketik itu sangat buruk, melahirkan banyak ulama-ulama ahli hukum dan ahli hadits.

Masa anaknya Imam Al-Baqir, memimpin mashaf Ahlil Bait ini, suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani Umayyah sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibenci oleh rakyat karena sifat feodalnya.

Pengajaran-pengajaran Ahlil Bait digiatkan kembali dimana-mana, ulama-ulamanya memancar pergi menyiarkan ajaran Kitabullah dan Sunnah Nabi di Madinah dan dalam Masjidul Haram, terutama ruang yang terkuat dengan nama "Ruang Ibn Mahil".

Kemajuan yang sangat pesat dicapai dalam masa Imam As-Shadiq.

Ditiap negeri sudah ada orang alim yang mengajar mashaf ini.

Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah universitas yang besar, yang dikunjungi oleh mahasiswa dari seluruh pojok bumi Islam.

Banyak yang mengirimkan utusan-utusannya.

Sejarah pendidikannya menerangkan, bahwa ia seorang mujtahid besar; Tidak ada pertanyaan yang tidak dijawab dan jawabannya itu menjadi sumber hukum pula bagi murid-muridnya.

Terkenal sebuah ucapannya : "Tanyakanlah kepadaku sebelum aku mati, tidak akan ada seorangpun dapat memberikan kepadamu penjelasan seperti yang engkau dengar daripadaku" (Tazkiratul Huffaz, II : 157).

Mengapa tidak demikian, karena dialah pewaris ilmu kakeknya yang masyhur itu.

Mengenai A l i bin Abi Thalib, Nabi berkata : „Aku ini gudang ilmu dan Ali pintunya" (Hadits).

Maka oleh karena itu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Shadiq dari ayahnya Al-Baqir, dari ayahnya Zainal Abidin, dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad yang paling baik dan paling kuat Riwayat semacam ini dinamakan "Silsilah zahabiyah", urutan keemasan demikian tersebut dalam kitab "Ma'- rifah Ulumut Hadits, karangan Hakim An-Naisaburi, hal. 55.

Jelaslah kepada kita mengapa ulama-ulama mengutamakan mashaf ini dalam sesuatu penetapan hukum.

Tidak lain sebabnya melainkan karena salurannya sangat bersih.

Pemerintah melihat bahayanya orang banyak dari mencari hukum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi hakim-hakim dan pengadilan resmi.

Lalu diambil siasat, menyuruh ulamanya mengeluarkan fatwa, bahwa pintu ijtihad hukum Islam sudah tertutup.

Mashaf Ahlil Bait, yang kemudian terkenal dengan Mashaf Al- Ja'fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini, pertama karena rakyat tidak mau mematuhinya, kedua karena menyebabkan orang Islam menjadi beku, tidak mau berfikir dan menggunakan akal, satusatunya anugerah Tuhan yang sangat mulia kepada manusia.

Sebagai akibat keputusan ini, pemerintah menganggap-anggap mashaf itu menentang kebijaksanaannya dan menghukum orang-orang yang tidak taat itu.

Dengan alasan ini pemerintah menganggap mashaf Ahlil Bait musuhnya, lalu dinyatakan sebagai suatu golongan yang dianggap keluar dari Islam karena salah i'tikadnya, padahal ulama-ulama Ahlil Bait tidak mau mentaatinya karena hakim-hakim itu zalim, dan umat Islam diperintahkan meninggalkan orang-orang yang zalim itu dan rajanya.

Sebagaimana terjadi dalam salah satu permusuhan, pemerintahan Bani Abbas lalu mencari-cari dan membuat-buat alasan untuk memburuk-burukkan mashaf ini dan Syi'ah A l i yang memeluknya.

Mereka menggunakan uang untuk menggaji mubaligh-mubaligh yang menyampaikan kecaman-kecaman mereka dalam mesjid-mesjid, menggunakan ahli-ahli pidato yang ulung dijalan-jalan, mengumpulkan ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menyerang Syi'ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.

Mereka menyiarkan berita bohong, bahwa Syi'ah mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak beramal menurut Qur'an dan lain-lain.

Dengan demikian diracuni pikiran rakyat dan digerakkan untuk membasmi golongan yang disebut salah itu.

Bacalah kitab "Imam As- Shadiq wal Mazhahihil Arba'ah", karangan Asad Haidar, terutama

jilid ketiga, hal. 21 — 23.

Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan yang bukan-bukan kepada Syi'ah ini berlarut-larut dari generasi-kegenerasi, dari ulama-keulama dari kitab kekitab, sebagaimana yang akan kita singgung juga dimana ada kesempatan.

ALI as DAN QUR'AN Karim.

Ali bin Muhammad At-Thaus dalam kitabnya "Sa'dus Su'ud", berdasarkan keterangan Abu Ja'far bin Mansur dan Muhammad bin Marwan, berkata, bahwa pengumpulan Qur'an dalam masa Abu Bakar oleh Zaid bin Sabit gagal, karena banyak dikeritik oleh Ubay, Ibn Mas'ud dan Salim, dan kemudian terpaksalah Usman mengadakan usaha mengumpulkan ayat-ayat Qur'an lebih hati-hati dan seksama, dibawah pengawasan Ali bin Abi Thalib (Az-Zanjani, hal. 45).

Maka pengumpulan Qur'an dengan pengawasan Ali bin Abi Thalib inilah yang berhasil, karena pengumpulan itu, tidak saja disetujui oleh Ubay, Abdullah bin Mas'ud dan Salam Maulana Abu Huzaifah, tetapi juga oleh sahabat-sahabat yang lain.

Mashaf Usman inilah yang kita namakan Qur'an umat Islam sekarang ini, yang tidak saja wahyu-wahyunya benar seperti yang disampaikan Nabi, tetapi bahasanya dan bunyi ucapannya sesuai dengan aslinya.

Usman membuat beberapa buah diantara mashaf ini, sebuah untuk dirinya, sebuah untuk umum di Madinah, sebuah untuk Mekkah, sebuah untuk Kufah, sebuah untuk Basrah dan sebuah untuk Syam.

Ibn Fazlullah al-Umri pernah melihat mashaf Usman ini pada pertengahan abad ke-VII H. dalam masjid Damsyiq (baca Maslikul Absar, I 195, c. Mesir), dan banyak orang menyangka, bahwa naskah mashaf ini pernah disimpan dalam perpustakaan di Liningrad, yang kemudian dipindahkan kesalah satu perpustakaan di Inggris (Az-Zanjani, 46).

Pengarang Sejarah Qur'an yang terkenal Abu Abdullah Az-Zanjani ini dalam kitabnya "Tarikhul Qur'an", halaman 46, menerangkan bahwa ia pernah melihat dalam bulan Zulhijjah, tahun 1353 H, dalam perpustakaan, yang bernama "Darul Kutub Al-Alawiyah", di Najaf sebuah mashaf dengan khat Kufi, dan tertulis pada akhirnya "Ditulis oleh Ali bin Abi Thalib dalam tahun 40 Hijrah".

Al-Amadi At-Tughlabi, seorang ulama fiqh dan ilmu kalam, meninggal 617 H, menerangkan dalam kitabnya ''Al-Ajkarul Akbar", bahwa mashaf-mashaf yang masyhur dalam zaman sahabat itu dibacakan kepada Nabi dan diperlihatkan mashafnya kepada Nabi.

Ibn Sirin mendengar Ubaidah As-Salmani berkata, bahwa bacaan yang diperdengarkan kepada Nabi mengenai Qur'an pada saat-saat hampir wafatnya, adalah bacaan yang sampai sekarang dipergunakan orang.

Jika ada pembicaraan mengenai Qur'an A l i " (yang sebenarnya mashaf Ali), yang berbeda dengan mashaf-mashaf Ubay bin Ka'ab (meninggal. 20 H), Abdullah bin Mas'ud (meninggal. 32 H), mashaf Abdullah bin Abbas (meninggal. 68 H) dan mashaf Abu Abdullah Ja'far bin Muhammad As-Shadiq, adalah perbedaan mengenai susunan bahagian Qur'an, yang dinamakan "Surat", bukan perbedaan mengenai ayat-ayat dan teksnya, yang sesudah Ali dengan aktif turut menyusun mashaf itu dalam masa Usman sudah tidak berbeda lagi.

Jika ada perkataan yang menyebut "Qur'an Syi'ah yang dimaksudkan ialah mashaf asli A l i bin Abi Thalib atau mashaf asli imam Ja'far Shadiq, yang sekarang tidak ada lagi sudah menjadi mashaf Usman dengan ijma' sahaba-sahabat Nabi ketika itu.

Orang-orang Syi'ah memakai Qur'an Usman itu sebagaimana kita memakainya.

Jadi tuduhan, bahwa A l i mempunyai Qur'an yang berlainan ayata-yatnya dari pada wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Muhammad, dengan disaksikan oleh sahabat, dan bahwa Qur'an itu, sesudah ditambah atau dikurangi, digunakan khusus oleh golongan Syi'ah, tidak benar sama sekali adanya.

Tuduhan ini ditolak oleh sejarah dan oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri, diantara lain oleh Abul Qasim A l - K h u l i , pengarang tafsir Syi'ah Imamiyah yang terkenal "Al-Bayan fi Tafsiril Qur'an" (Najaf, 1957). Dan juz yang pertama, pada halaman 171 dan berikutnya, dikupas panjang lebar, bahwa A l i b i n A b i Thalib tidak mempunyai mashaf yang berlainan ayat-ayatnya dari mashaf-mashaf Sahabat lain, kecuali berlainan susunan Suratnya.

Mashaf A l i yang dipusakai dari Nabi SAW, penuh diberi catatan-catatan mengenai tanzil, masa dan sebab turun ayat, mengenai ta'wil, pengertian dan maksud yang pelik, yang berasal dari keterangan Nabi sendiri, selanjutnya mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat ahkam dan mutasyabihah (Tafsir As-Shafi, muk. VI : 11), mengenai halal dan haram, mengenai had atau hukum sampai kepada tetek bengek (Muk. Tafsir Al-Burhan hal. 27), ditolak semua oleh A l - K h u l i tuduhan yang tidak benar itu (172 — 175).

A l - K h u l i mengatakan sebagai khulasah, bahwa penambahan dalam mashaf Ali bukan ayat-ayat Qur'an, yang disuruh sampaikan oleh Nabi kepada ummatnya, dan bahwa tuduhan semacam ini adalah tidak berdasarkan kepada dalil yang benar, karena dengan ijma dalam masa Usman sudah dihilangkan semua penyelewengan atau tahrif.

Sebenarnya segala sesuatu mengenai Qur'an, baik sejarah turunnya wahyu, sejarah pengumpulannya dan penyusunan Qur'an dan penulisan mashaf, penterjemahan serta penafsirannya, sudah saya bicarakan dalam sebuah kitab khusus mengenai persoalan ini, yang saya namakan "Sejarah Al-Qur'an", cetakan terakhir di Jakarta 1953, tetapi belum saya tinjau dari sudut pendirian golongan Syi'ah.

Bahwa A l i bin Abi Thalib mempunyai bagian dan kedudukan penting dalam penyusunan Al-Qur'an bukanlah suatu persoalan yang mesti dipertengkarkan, baik ulama-ulama Syi'ah, ulama-ulama Ahlus-Sunnah, maupun ulama-ulama aliran lain dalam Islam, semuanya mengakui bahwa Ali-lah yang mengetahui paling lengkap tentang turunnya wahyu-wahyu Tuhan kepada Nabi Muhammad, karena dialah yang mengikuti Nabi sejak permulaan keangkatannya menjadi Rasul dan selalu berdampingan dengan Rasulullah sebagai keluarga terdekat dalam segala keadaan.

Disamping itu ia termasuk penulis-penulis wahyu, yang ditunjuk oleh Nabi untuk mencatat tiap-tiap ada wahyu turun, baik siang ataupun malam hari.

Sahabat-sahabat dalam masa Nabi SAW banyak yang sudah tahu menulis, dan kesenian menulis ini oleh Rasulullah sangat diperkembangkan.

Bangsa Arab yang sudah tinggi kebudayaan sebelum Islam, sudah menggunakan huruf Hiri, suatu kota kebudayaan yang letaknya kira-kira tiga mil dari Kufah, dekat Nejef sekarang ini, dan oleh karena itu dinamakan juga huruf Kufi, begitu juga huruf Anbari, suatu kota dekat sungai Eufrat, tiga puluh mil sebelah barat Baghdad, semuanya berasal dari kemajuan kebudayaan Arab Kindah.

Dari sebuah riwayat dari Ibn Abbas diterangkan asal-usul huruf ini masuk ketanah Hajaz dari Yaman (Kindah), bahkan sejarah pemakaian huruf ini sampai kepada Thari', kepada Khaflajan, penulis wahyu yang diturunkan kepada Nabi Hud.

Abu Abdullah az-Zanjani menerangkan bahwa khat ini dimasukkan oleh Nabi Muhammad ke Madinah melalui orang-orang Yahudi, yang mengajarkan anak-anak Islam menulis.

Ada sepuluh orang diantara kaum muslimin yang ahli dalam huruf ini diantaranya Sa'id bin Zaharah, Munzir bin Umar, Ubay bin Wahab, Zaid bin Sabit, Raff bin Malik dan Aus bin Khuli.

Yang kemudian ditambah dengan tawanan Badr, yang mengajarkan huruf-huruf ini kepada anak-anak Islam.

Bahwa wahyu-wahyu yang turun kepada Nabi ditulis dan dicatat orang merupakan mashaf simpanannya masing-masing tidaklah mengherankan, karena ada empat puluh tiga orang yang ditugaskan menulis wahyu itu dengan khat Nasakh, diantaranya yang termasyhur ialah Khalifah empat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, selanjutnya Abu Sufyan dengan dua anaknya Mu'awiyah dan Yazid, Sa'id ibn Ash dan anaknya Isan dan Khalid, Zaid bin Sabit, Zubair bin Awam Thalhah bin Ubaidillah. Sa'ad bin Abi Waqqs, Amir bin Fahiah, Abdullah ibn Argam, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarah, Ubay bin Ka'ab, Sabit ibn Qais, Hanzalah ibn Rabi', Syurahbil bin Hasanah, Ula bin Hadrami, Khalid ibn Walid, Amr ibn Ash, Mughirah bin Syu'bah, Mu'aiqib bin Abi Fatimah ad-Dausi, Huzaifah ibn Yaman, Huwaithib bin Abdul 'Uzza Al-Amiri, baik dalam masa Nabi maupun sesudah wafatnya.

Meskipun demikian yang tetap mengikuti Nabi dan yang dipercayanya adalah catatan dua orang, yaitu Zaid bin Sabit dan A l i bin Abi Thalib.

Demikian kata Az-Zanjani dan menambahkan, bahwa banyak riwayat-riwayat menerangkan, kedua orang itulah yang dengan sungguh-sungguh menghadapi penulisan dari pengumpulan wahyu itu.

Bukhari meriwayatkan dari Barra, bahwa tatkala turun wahyu "tidak sama orang mu'min yang diam dengan mereka yang menderita kemelaratan dan yang berjihad diatas jalan Allah" (Surat An-Nisa).

Nabi dengan segera berkata : "Panggil Zaid datang kepadaku, membawalah tinta dan tulang belikat unta", dan sesudah Zaid datang, ia berkata : "Tulislah selengkapnya ayat i n i " (Zanjani, hal. 20).

Dalam sebuah ceritera, Umar diperingatkan orang bahwa adiknya Fatimah telah masuk Islam.

Umar marah dan pulang kerumahnya, didapatinya pada adiknya itu wahyu tertulis diatas perkamen sedang dibacanya.

Hal ini terjadi dikala Umar belum masuk Islam, dan karena membaca wahyu yang tertulis itu, ia lalu masuk Islam.

Semua itu menunjukkan, bahwa Rasulullah menghendaki Qur'an itu ditulis dan penulisan itu sudah dimulai dalam masa hidupnya dan dengan petunjuk serta pengawasannya.

Dalam masa Rasulullah Qur'an itu ditulis diatas tulang-tulang, kepingan batu, potongan daun atau kain, acapkali juga diatas kain sutera atau kulit kering dan diatas tulang belikat unta.

Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab menulis catatan demikian dan menamakannya "suhuf", bungkusannya dinamakan „mashaf".

Sahabat-sahabat penting mempunyai mashaf itu secara lengkap atau tidak.

Juga untuk Nabi diperbuat mashaf itu dan disimpan dirumahnya.

Muhammad ibn Ishak menerangkan dalam ,,Fihris"nya, bahwa Qur'an yang ditulis dihadapan Rasulullah itu adalah diatas batu, tulang dan belikat unta.

Bukhari menerangkan, bahwa Zaid bin Sabit pernah mengatakan : „Kucari Qur'an itu dan kukumpulkannya dari batu, tulang dan dari hafalan orang".

Al-'Isyasyi, seorang ahli Tafsir Imamiyah, menerangkan dalam Tafsirnya, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata : „Rasulullah mewasiatkan kepadaku, bahwa sesudah kukuburkan dia aku tidak keluar dari rumahku hingga aku menyusun Kitab Allah itu, yang tertulis pada pelepah korma dan pada tulang belikat unta".

Sebuah riwayat dari A l i bin Ibrahim bin Hasyim Al-Qummi, seorang ahli Hadits Imamiyah yang termasyhur, menerangkan, bahwa Abu Bakar Al'-Hadhrami pernah mendengar Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad berceritera, bahwa Nabi ada berpesan kepada Ali bin Abi Thalib :

„Hai. Ali ! Qur'an itu ada dibelakang tempat tidurku dalam suhuf, sutera dan kertas.

Ambil dan susunlah baik-baik, jangan engkau hilangkan sebagaimana Yahudi menghilangkan Taurat".

Ali memungut Qur'an itu dan mengumpulkannya dalam satu bungkusan kain kuning kemudian dicapnya.

Al Haris Al-Muhasibi menerangkan, bahwa mengumpulkan Qur'an itu bukanlah suatu perbuatan bid'ah tetapi terjadi atas perintah Nabi, dan juga meletakkan ayat-ayat pada tempatnya atas petunjuk Nabi sendiri.

Meskipun yang menulis wahyu banyak dalam zaman Nabi, tetapi yang mengumpulkannya hingga lengkap merupakan mashaf tidak berapa orang.

Yang dianggap pengumpulan yang agak lengkap oleh Muhammad bin Ishak ialah Ali bin Abi Thalib, Sa'ad bin Ubaid bin Nu'man Aï-Aus', wafat dalam perang Qadisiyah tahun 15. H. Abu Darda Uwaimir bin Zaid, beroleh langsung dari Nabi, wafat tahun 32 H. Muaz bin Jalal bin Aus, yang dinamakan Nabi imam ulama, wafat tahun 18 H., Abu Zaid Sabit ibn Zaid bin Nu'man, Ubay bin Ka'ab bin Qais, seorang yang sangat dipuji Nabi-nabi bacaannya. meninggal Di Madinah tahun 22 H, Ubaib bin Mu'awiyah, dan Zaid bin Sabit, penulis wahyu Rasulullah dan juru bahasanya, meninggal tahun 45 H. Zaid bin Sabit adalah seorang yang sangat dicinta oleh Nabi dan dihormati oleh Ahlil Baitnya.

Demikian bunyi satu riwayat tentang mereka yang mengumpulkan Qur'an dalam masa Nabi, yang kurang sempurna disempurnakan sesudah wafat Nabi.

Banyak riwayat lain yang berbeda jumlah dan namanya, tetapi Al-Khawarizmi berdasarkan keterangan Ali bin Riyah menerangkan, bahwa yang lengkap mengumpulkan Qur'an dalam masa Rasulullah ialah Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka'ab.

Riwayat-riwayat menunjukkan, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang mula-mula menulis Qur'an menurut tertib turun ayat, mencatat ayat mansukh terlebih dahulu dari nasikh dan memberikan Catatan-catatan lain dalam mashafnya.

Hal ini diceriterakan juga oleh Ibn Sirin.

Juga dibenarkan oleh Ibn Hajar, bahwa A l i menyusun Qur'an menurut tertib turun ayat, beberapa waktu dibelakang wafat Nabi Muhammad.

Dalam kitab Syarh Al-Kafi Salih Al-Quzwini dari Ibn Qais Al-Halali menerangkan, bahwa Ali bin Abi Thalib sesudah wafat Nabi tidak keluar dari rumahnya karena menyusun Qur'an dan mengumpulkannya sampai selesai semuanya.

Kemudian ia menulis catatan ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat mukhamah dan mutasyabih.

Kata Imam Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, salah seorang ulama Syi'ah terbesar, dalam kitabnya „Al-Irsyad", bahwa A l I dalam mashafnya mendahulukan ayat-ayat mansukh dari ayat-ayat nasikh, dan menulis ta'wil ayat-ayat serta tafsirnya dengan terperinci.

Syahrastani dalam mukaddimah Tafsirnya menerangkan, bahwa semua sahabat sepakat ilmu Qur'an itu khusus buat Ahlil Bait.

Beberapa sahabat bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apakah ilmu pengetahuan Qur'an hanya dikhususkan kepada Ahlil Bait.

Ali menjawab, bawa ilmu tentang Qur'an, masa dan sebab-sebab turunnya begitu juga ta'wilnya, khusus buat Ahlil Bait, karena merekalah orang-orang yang terdekat dengan Nabi Muhammad (Az-Zanjani, Tarikhul Qur'an, Cairo. 1935. hal. 26).

AHLI TAFSIR SYI'AH.

Baik orang Syi'ah maupun orang ahli Sunnah menganggap Ali bin Abi Thalib adalah ahli tafsir Qur'an yang pertama dalam sejarah Islam karena ia masih mendapati Nabi SAW yang selalu memberi petunjuk dalam pengertian dan ta'rif dari pada wahyu-wahyu Tuhan yang mentaati paham manusia biasa.

Sudah kita katakan, bahwa Ali tidak saja berjasa mengawasi pengumpulan ayat-ayat Qur'an, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang sejarah turunnya ayat dan surat, tentang ayat hukum dan mutasyabih, ayat nasikh dan mansukh, bahkan ada riwayat yang mengatakan, bahwa ia mempunyai enam puluh macam ilmu Qur'an, dan sebagaimana yang sudah kita katakan, mashafnya penuh dengan catatan-catatan, seperti masih dapat dilihat beberapa lembar dari padanya dalam perpustakaan di Najaf.

Seperti sudah kita terangkan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan tentang Qur'an, sedang Ibn Abbas yang menjadi murid A l i , pernah berceritera, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang sangat tahu tentang ilmu lahir dan ilmu ghaib dari Al-Qur'an yang mulia.

Sejarah hidup Ali tidak kita ulang lagi disini.

Salah seorang dari Ahli Tafsir Syi'ah adalah Ubay bin Ka'ab dari golongan Anshar.

Sayuthi menghitungnya dalam karangannya yang terkenal „Al-ltqan" termasuk jumlah sepuluh orang ahli tafsir dari sahabat kurun pertama, dan Nabi sangat mencintainya.

Ia meninggal tahun 30 H.

Abdullah bin Abbas adalah anak paman Nabi, yang sejak kecil sudah diramalkan oleh Nabi menjadi seorang ahli ilmu Qur'an, dan juga yang oleh Sayuthi dimasukkan sahabat sepuluh kurun pertama, yang hafal dan ahli Qur'an.

Ada orang mengatakan bahwa ia orang yang ahli tentang tafsir daripada Tabi'in Mekkah.

Tafsirnya sampai sekarang masih didapat orang dan terkenal dengan „Tafsir Ibn Abbas", ia meninggal pada tahun 68 H .

Orang-orang Syi'ah menganggap tafsir itu mu'tamad dan banyak digunakan untuk menguatkan pendirian-pendiriannya.

Dari golongan Tabi'in sesudah itu kita sebutkan nama-nama Maisam bin Jahya at-Tamanar (meninggal 60 H.), seorang khatib Syi'ah yang terkenal di Kuffah dan seorang ahli ilmu Kalam : Said bin Zubair (meninggal 94 H) yang pernah menyusun sebuah tafsir Qur'an dan banyak dipetik orang pendapatnya.

Abu Saleh Miran dari Basrah (meninggal Sesudah abad pertama hijrah), murid Ibn Abbas, Thaus Al-Yamani (meninggal 106 H). Juga murid Ibn Abbas, yang oleh Ibn Taymiyah, Ibn Quthaibah dan lain-lain sangat dipuji kecerdasannya dan dimasukkan kedalam golongan sahabat A l i .

Kemudian dapat kita sebutkan sebagai ahli-ahli yang ulung ialah Imam Muhammad al-Baqir (meninggal 114 H.), Ibn Nadim banyak menyebutkan nama-nama kitabnya mengenai tafsir dan ilmu-ilmu Qur'an yang lain.

Abdul Jarud, seorang Syi'ah yang terkenal banyak meriwayatkan sesuatu dari Al-Baqir mengenai Qur'an. Tidak kurang pentingnya kita sebutkan nama Jabar bin Yazid Al-Ju'fï, yang menulis juga sebuah tafsir dan ia meninggal tahun 127 H.

Suda Al-Kabir, nama yang sebenarnya Isma'il bin Abdurrahman, juga mempunyai sebuah tafsir yang oleh banyak orang dijadikan sumber keterangan mengenai ilmu Qur'an.

Untuk jangan keliru kita bedakan antara Suda As-Saghir bukan seorang Syi'ah dan Suda Al-Kabir adalah seorang ahli tafsir Syi'ah yang terkenal (meninggal 127 H).

Saya tidak ingin menyebutkan semua ahli tafsir Syi'ah itu disini dengan perincian sejarah hidupnya, karena terlalu banyak.

Dari penyelidikan saya dan dibenarkan oleh beberapa keterangan Ahli sejarah Islam, ternyata orang-orang Syi'ah banyak terkenal sebagai ulama dalam segala bidang, dan giat mengarang dalam bermacam-macam ilmu sejak hari-hari pertama fatsu kurun pertama.

Terutama dalam ilmu Qur'an yang pada waktu itu merupakan persoalan yang sangat penting, banyak terdapat pengarang-pengarang Syi'ah yang terkemuka.

Sedangkan selanjutnya sebagai ahli tafsir kita sebutkan Abu Hamzah As Samali. Tabi'in dan meninggal 150 H., Abu Jamadah As-Saluli (meninggal pada pertengahan abad ke II H.), Abu Ali Al-Hariri (meninggal idem), Abu Alim bin Faddal, Abu Thalib bin Shalat (meninggal akhir abad ke-II), Muhammad bin Khalil Al-Barqi (meninggal idem), Hisyam bin Muhammad As-Said Al-Kalbi (meninggal 206 H), Al Waqidi (meninggal 207 H.), Yunus bin Abdurrahman Ali Yatin, Hasan bin Mahbub As-Sarrad (meninggal 224 H.), Abu Usman Al-Mazani (meninggal 248 H.), Muhammad bin Mas'ud A/-Ayasyi, Farrad bin Ibrahim, Ali bin Mahziar Al Ahwazi, Husain bin Said Al-Ahwazi, Hasan bin Ahwazi, Hasan bin Khalid Al-Barqi Ibrahim As-Saqafi meninggal 283 H.

Ahmad bin Asadi, hampir semua keluarga Al-Qummi mengarang tafsir.

Al-]aludi, As-Suli, Al-Dlurjan', Al-Musawi, Ibn Nu'man, At-Thusi, At-Tabrasi, Ar-Rawandi (meninggal 573 H.) M-Fatital Asy-Syirazi (meninggal 948 H.), As-Sabzawari (meninggal 910 H.), Azwari Al-Masyadi, Al- Hamdani, Al-Bahrani (meninggal 1107 H.) Jawad bin Hasan Al-Balaghi (meninggal 1302 H), dan lain-lain.

Masing-masing menerangkan tafsir Qur'an yang ditinjau dari segala sudut ilmu. Ada yang lucu, kadang-kadang orang Salaf yang menamakan diri anti Syi'ah, menggunakan tafsir Syi'ah dengan tidak mengetahui pengarangnya.

Sebagaimana dalam ilmu tafsir, kita dapati pengarang-pengarang Syi'ah yang ulung dalam ilmu Qur'an yang lain, misalnya dalam ayat-ayat hukum khusus mengenai mashaf Syi'ah seperti pengarang Al-Kalbi, (meninggal 146 H.), Ar-Rawandi (meninggal 573 H.), As-Sayuri (meninggal 792.), Al-Ardabli (meninggal 993 H.), Al-Kazimi (meninggal abad ke-II H).

Astrabadi (meninggal 1026 H.), Al-]azairi (meninggal 1151 H.), dan lain-lain. yang kitabnya sekarang dipakai diseluruh dunia.

Juga dalam ilmu Qur'an lain terkenal ulama-ulama Syi'ah misalnya mengenai ayat-ayat Mutasyabih, seperti Hamzah bin Habib (meninggal 156 H.), meskipun menurut Sayuti orang yang mula-mula mengarang dalam ilmu ini ialah A)l-Kasa'i (meninggal 182 H.), kedua-duanya adalah juga ahli Qira'at Tujuh.

Kemudian terkenal namanya Muhammad bin Ahmad Al-Wazir (meninggal 433 H.), Ibn Syahrassyaub al-Muzandra (meninggal 588 H.), dan lain-lain.

Dalam Gharibul Qur'an adalah Aban Ibn Tughlab (meninggal 141 H.), Ada orang mengatakan Abu Ubaidah (bukan Syi'ah), tetapi Abu Ubaidah meninggal tahun 200H, kemudian dari masa Ibn Tughlab.

Selanjutnya yang mengarang dalam bidang ini ialah Muftadhall Salmah, Ibn Darid (meninggal 321 H.), Abu Hasan al-Adawi Asy-Syamsyathi (meninggal permul. abad ke-IV), semuanya ulama Syi'ah.

Karangan-karangan mengenai Asbabun Nuzul dihari-hari pertama juga diperbuat oleh golongan Syi'ah, seperti Ibn Abbas (meninggal 67 H), Muhammad bin Khalid ai-Barqi (meninggal akhir abad ke-IT H), Ibrahim bin Muhammad As-Sakaji (meninggal 283 H) Abdul Azis bin Yahya al-Jaludi (meninggal 330 H), Ibnul Hijam dalam abad yang ke-IV juga semuanya ulama Syi'ah.

Selanjutnya mengenai nasikh dan mansukh juga yang mula-mula dan banyak mengarang orang-orang Syi'ah, seperti Abdurrahman al-Asam (abad ke-II), Ad-Damiri (abad ke-Il), Ibn al Kadri meninggal 246 H) atau anaknya Hisyam (meninggal 207 H), Ibnal Fadhal mempunyai kitab nasikh dan mansukh, sebagaimana Al-Qummi, baik Ahmad bin Muhammad maupun A l i bin Ibn Ibrahim, selanjutnya pengarang Syi'ah yang pertama juga didalam bidang ini ialah Al-Jatudi (meninggal 330 H), dan Suduq bin Babuwaih al-Qummi (meninggal 381 H).

Dalam ilmu Majazul Qur'an yang memulainya ialah ulama Syi'ah, seperti Ibn al-Mustanir (meninggal 206 H.), pendeknya dalam segala bidang ilmu Qur'an, seperti ilmu mengenai pembagian Qur'an ilmu mengenai perhentian membaca dan menyambung ayat Qur'an, ilmu mengenai wakaf, ilmu mengenai i'rab, ilmu mengenai sejarah titik dan baris, ilmu mengenai fadilat membaca Qur'an (ada yang mengatakan Ubai bin Ka'ab yang meninggal 30 H), ada yang mengatakan Muhammad Idris Asy-Syafi'i (meninggal 204 H), ilmu bermacam-macam qira'at ilmu tadwid, dan ilmu-ilmu lain mengenai kitab suci, yang terbanyak ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah dan mereka juga yang memulainya.

Mengenai nama-nama kitabnya saya tidak sebutkan disini, karena sangat banyaknya. Saya hanya mempersilahkan saudara membacanya dalam kitab "A'yanusy Syi'ah", Juz I, bahagian ke-2, halaman 53 – 74 (Beint, 1960).