Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab0%

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11144
Download: 2576

Komentar:

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 66 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11144 / Download: 2576
Ukuran Ukuran Ukuran
Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh

ILMU FIQH ISLAM DALAM LIMA MAZHAB.

PENDAHULUAN.

Dalam karangan saya Serie Perbandingan Mazhab „Ahlus Sunnah Wal Jama'ah", bahagian Filsafat perkembangan hukum dalam Islam, penerbitan Yayasan „Baitul Mal", Jakarta 1969, sebenarnya sudah saya mulai membicarakan dasar-dasar pemikiran, yang melahirkan empat Mazhab Fiqh dari Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, dan dalam karangan saya, „Syiah Rasionalisme dalam Islam", yang terbit di Semarang, 1962, juga sudah saya singgung Sejarah lahirnya Mazhab „Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang lebih tua umurnya dari pada aliran-aliran dalam Mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Dalam Ahlus Sunnah wal Jama'ah sudah banyak dibicarakan perbandingan ilmu fiqh dalam bermacam-macam mazhab, seperti „Bidayatul Mujtahid" karangan Ibn Rusyd, yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan baik oleh , Bulan Bintang", selanjutnya kitab „Bughyatul Mustarsyidin" dan „Kitab Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Arba-'ah," karangan Al-Jaza'iri, yang selalu saya gunakan pada waktu saya memberikan pelajaran Ilmu Fiqh pada Perguruan-perguruan Tinggi.

Kemudian, tatkala saya menerima dari Baghdad, dan meminjam dari Perpustakaan „Islamic Research Institute", kepunyaan keluarga A.H. Shahab, Blora, Jakarta, terdapat beberapa buku, karangan seorang alim besar Syi'ah, Muhammad Jawad Al-Mughniyyah, yaitu pertama bernama „Al-Fiqh 'Alal Mazahibil Khamsah" (Bairut, 1967) dan „Al-Ahwalusy Syakhshiyyah 'alal Mazahibil Khamsah", yang didalamnya terdapat perbandingan hukum fiqh dan Mu'amalat dalam lima Mazhab.

Lalu timbullah pikiran saya, alangkah baiknya, jika dari semua buku yang tersebut diatas itu saya perbuat keringkasan untuk masyarakat Islam kita, agar mereka tahu perbedaannya antara satu sama lain aliran, meskipun masing-masing memegang mazhab yang disukainya.

Sayang saya harus menambah kitab, „Ilmu Fiqh Islam dalam Lima Mazhab" dengan sebuah sambungan, dimana nanti dikupas perbandingan kelima mazhab Islam itu, dengan persoalan-persoalan Mu'amalat, seperti mengenai perkawinan, perdagangan, dan sebaginya.

Mazhab mana yang saya pilih untuk kelima itu. Mazhab Zaydiyah, fiqhnya adalah fiqh mazhab Ahmad Ibn Hambali, Mazhab Salf tidak mempunyai kitab yang khusus berfiqh, mereka hanya mengenai „Fatwa" (lih. Ibn Taimiyah dan Tuan A. Hassan dari Persatuan Islam" Maka oleh karena itu saya ambillah sebagai mazhab yang kelima ialah „Isna'asyar Imamiyyah" atau „Al-Ja'fari, Mazhab Ahlil Bait", yang terdekat dengan amal kekeluargaan Nabi Muhammad s.a.w., sebagai yang dipuji oleh Syaikhul Azhar Syaltut, seperti yang pernah saya bentangkan.

Kita sudah sebutkan disana-sini, bahwa sejak tahun-tahun yang silam sudah berdiri di Mesir suatu badan „Darut Taqrib bayna! Mazahibil Islamiyah," dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, doctor Al-Bahy dan Al-Qummi dan lain-lain.

Suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian dan pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.

Majallahnya „Risalatul Islam" memuat tidak saja karangan-karangan yang mendalam tentang prinsip-perinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasan-pembahasan kearah persatuan itu.

Hasilnya sangat baik, diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di universitas Al-Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.

Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeichul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota dari badan Darut Taqrib itu. Begitu juga gurunya Syeich Abdulmajid Salim.

Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nejef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan yang berharga dan pikiran-pikiran persahabatan, guna mempelajarj lebih dalam fiqh Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.

Hasil dari pada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (yajuzut ta'abbud) dengan mazhab Ja'fari suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan diucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.

Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah „Al-Irfan", suatu majallah resmi gerakan Syi'ah, juz ke VII, jilid. 51. Ramadhan 1383 H hal. 735 dan seterusnya.

Sepanjang sejarah jarang orang-orang dari Ahli Sunnah menyelidiki mazhab Syi'ah ini dari sumbernya, dari kitab-kitab yang ditulis oleh anak-anak Syi'ah sendiri dan melihat serta mempelajari dalam pergaulan dengan mereka.

Kecaman-kecaman terhadap Syi'ah yang terdapat dalam kitab-kitab pengarang Ahli Sunnah kebanyakan berasal dari ungkapan-ungkapan mereka sendiri yang sambung-menyambung dikupas dan dibicarakan, jarang yang mau mempelajari benar tidaknya sesuatu tuduhan dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah sendiri dan mencocokkan keterangan-keterangan itu dengan Qur'an dan Sunnah Rasul.

Berlainan sekali dengan sikap Mahmud Syaltut, yang mendasarkan fatwanya betul-betul dari pengenalannya yang benar dan keyakinannya yang sudah dibuktikan, ditambah dengan keikhlasannya sebagai seorang pemimpin Islam yang ingin mempersatukan kembali umat yang sudah pecah-belah itu hanya karena perbedaan perbedaan mazhab ibadat.

Fatwa Syeikh Mahmud Syaltut itu dikeluarkan atas pertanyaan yang dikemukakan kepadanya, bahwa orang Islam untuk melancarkan ibadat dan mu'amalatnya secara yang sah harus bertaqlid kepada salah satu mazhab empat yang masyhur, tidak termasuk mazhab Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Zaidiyah.

Orang bertanya, apakah pada pendapatnya benar dalam masalah taqlid itu disingkirkan mazhab Syi'ah Imamiyah Isna 'Asyariyah.

Maka lalu dijawabnya : „Bahwa Islam tidak mewajibkan kepada penganutnya untuk mengikuti salah satu mazhab yang tertentu.

Tetapi dapat kami katakan, bahwa seorang Muslim yang baik berhak bertaqlid kepada pokok-pokok pendirian sesuatu mazhab dari mazhab-mazhab yang diakui sah oleh umum, dan yang penetapan-hukum-hukumnya telah tercantum kepada mazhab semacam itu berhak pula berpindah dari satu mazhab kepada mazhab lama yang diakui sahnya, tidak ada kesukaran yang diwajibkan kepadanya berpegang teguh kepada satu mazhab saja.

Kemudian kami berfatwa, bahwa mazhab Ja'fariyah, yang terkenal sebagai salah satu mazhab Syi'ah Imamiyah Isna'asyariyah adalah mazhab yang diperbolehkan beribadat dengan mazhab itu pada syariat.

Sebagaimana dengan mazhab-mazhab yang lain dari pada Ahli Sunnah.

Maka hendaklah semua orang Islam mengetahui sungguh-sungguh pendirian ini, dan melepaskan dinnya dari pada nashabiyah berpegang dengan tidak ada hak kepada sesuatu mazhab yang tertentu.

Agama Tuhan Allah tidaklah disyanatkan menjalankannya dengan mengikuti mazhab atau menentukan sesuatu mazhab.

Semua mujtahid diterima pada sisi Allah, mereka yang tidak ahli dalam mengambil sesuatu keputusan atau berijtihad (an-nazar wal ijtihad) diperbolehkan bertaqlid kepada mujtahid itu dan beramal dengan hukum-hukum fiqh yang ditetapkannya, meskipun ada perbedaan-perbedaan yang dijumpainya mengenai ibadat dan mu'amalat" (hal. 736).

Fatwa ini diserahkan dengan resmi oleh Syeikh Mahmud Syaltut kepada Ustad Muhammad Taqyul Qummi, sekretaris umum dari Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah, dengan perintah agar fatwa membolehkan beribadat dengan mazhab Syi'ah Imamiyah ini disiarkan secara luas.

Dari segala karangan itu Syaltut memberikan pandangannya secara luas dan secara rationalistis.

Meskipun demikian, dari segala jasanya, saya anggap yang terbesar ialah ikhtiarnya memperdekatkan aliran Syi'ah dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam suatu badan kerja sama „Darut Taqrib baynal Mazahibil Islamiyah" yang membuahkan masuknya fiqh Ja'-fariyah kedalam mata pelajaran yang diwajibkan pada Universitas „Al-Azhar" dan mengeluarkan fatwa yang membolehkan beribadat yajuzut ta'abbud) dengan fiqh Syi'ah itu, sehingga dengan demikian menghilangkan silang sengketa yang telah berabad-abad adanya antara Syi'ah dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Mudah-mudahan dengan do'a dan bantuan saudara dapat buku itu saya selesaikan dengan segera.

Saya mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga M. Asad dan Ahmad Shahab, terutama Habib Ali Al-Habsyi, yang memberikan sepatah kata penghargaan, yang dapat menghilangkan letih dan lelah saya dalam mempersembahkan amal saleh ini, kepada pegawai Percetakan „Islamic Research Institute dan teman-teman saya yang lain, diantaranya Ny. Sahrijah Supandi, yang banyak membantu dalam urusan ketikan, dikte dan koreksi.

Mudah-mudahan semua mendapat ganjaran dari Tuhan.

W a s s a 1 a m,

H. Aboebakar Atjeh

1

TARIKH TASYRI'.

PENGERTIAN SYARI'AT ISLAM.

( I )

Kebanyakan orang menggunakan Syari'at Islam itu untuk Fiqh Islam pada hal Syari'at Islam itu lebih luas artinya dari pada hanya ilmu Fiqh, pengertian terakhir ini sudah dikenal orang dalam bahasa Arab jauh lebih dahulu, sedang kalimat Fiqh waktu itu belum dikenal dalam bahasa Arab, sepanjang pengertian yang kita kenal sekarang ini, yaitu sesudah lahir Agama Islam.

Ibn Khaldun menerangkan dalam kitabnya yang terkenal.Muqaddimah"-nya sebagai berikut :

„ bahwa sahabat-sahabat Nabi semuanya bukanlah ahli fatwa, dan bukanlah seluruh agama itu diambil dari mereka, tetapi sahabat-sahabat itu adalah pendukung Al-Qur'an, yang sangat paham dengan ayat-ayat nasikh dan mansukh, mutasyabihah dan muhakkamah, dan seluruh dalil-dalil dan alasan yang mereka dapat dari Nabi kita Muhammad s.a.w., atau dari orang yang mendengar keterangan-keterangan itu.

Mereka didengar bacaannya dan diikuti, artinya mereka yang membaca Al-Qur'an itu, karena orang Arab pada waktu itu adalah ummiyah.

Demikianlah keadaanya dalam masa hari-hari kelahiran Islam.

Tetapi daerah Islam itu makin lama makin bertambah luas.

Orang Arab itu mulai belajar membaca dan menulis, terutama dengan menggunakan Al-Qur'an, yang didorong oleh perintah membaca dan keinginan mendapat pahala dari pembacaan Qur'an itu.

Kemajuan bertambah dan pada akhirnya sampailah mereka kepada kesanggupan menetapkan hukum, lalu terjadilah semacam ilmu-ilmu hukum dalam Islam, yang dinamakan Fiqh, peraturan beribadat, muamalat, munakahat, hukum warisan, hukum perang dan damai, dan lain-lain.

Juga pengetahuan yang mereka peroleh itu akhirnya tumbuh mengenai ekonomi, sosial, dan ilmu-ilmu yang lain.

Maka sejak itu perlahan-perlahan tidak digunakan lagi nama pembaca atau pendukung Al-Qur'an, tetapi diganti dengan ahli dan ulama fiqh (Muqaddimah Ibn Khaldun, hal. 446, eet. Bairut). Dalam kitab „Al-Ibadat Minal Qur'an was Sunnah" (Cairo, 1967) Dr. Ahmad Al-Ghanburi menerangkan asal perkataan Syari'ah dalam bahasa Arab, yaitu mata air, yang diminum oleh manusia dan binatang.

Kemudian perkataan ini digunakan kepada segala sesuatu yang diturunkan Allah kepada hambanya mengenai bermacam-macam hukum (hal. 3), Maka lalu orang menggunakan kata syari'ah untuk membuat sesuatu hukum, sebagaimana firman Allah s.w.t. : „Bagi tiap-tiap bangsamu kami ciptakan hukum (syara'atan) dan cara-caranya" (Al-Ma'idah, 48), kata Allah : „Kemudian kami ciptakan menurut hukum-hukum itu (syari'ah), yang harus kamu ikuti "(Al-Ja'iyah, 18) dan pada tempat lain Tuhan berkata: „Iya menciptakan (syar'a) bagimu agama, sebagaimana yang pernah diwasiatkan kepada Nuh " (Asy-syura, 12).

Jadi nyatalah arti istilah daripada syari'at itu yaitu apa yang diturunkan Allah bagi hambanya dari pada hukum melalui lidah Rasul-Rasulnya yang mulia, untuk mengeluarkan manusia dari suasana gelap kepada terang bercahaya dengan izinnya, dan memberi petunjuk kepada mereka akan jalan yang lurus.

Dimaksudkan dengan agama ittu adalah cara hidup umum, yang dinamakan din, yang kedalamnya termasuk millah, yaitu agama atau ibadat.

Syari'at Islam itu diwahyukan Allah kepada hambanya berupa hukum-hukum dan peraturan, melalu lidah Junjungan kita Muhammad s.a.w., baik dia merupakan Qur'an, atau merupakan Sunnah perjalanan Rasulullah, mengenai ucapannya, perbuatannya atau penetapannya.

Menurut kebiasaan syari'at Islam itu disebut dalam bahasa sehan-hari Fiqh Islam.

PEMBAHAGIAN SYARI'AT ISLAM.

(II)

Peraturan-peraturan atau hukum yang diturunkan Allah untuk hambanya kepada Nabi Muhammad dapat kita bahagi atas tiga bahagian.

Bahagian Pertama.

Bahagian yang pertama ini ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keyakinan-keyakinan pokok dalam Islam, yaitu yang harus di imani dengan sesungguh-sungguhnya, tidak boleh bercampur sakwasangka, seperti hukum-hukum yang bertali dengan keyakinan terhadap Zat Allah dan Sifat-nya, Imam kepada Allah, Iman kepada Rasulnya dan Malaikatnya, dan Iman kepada kitab-kitab suci yang diturunkan daripada Allah, Iman kepada hari-Akhirat, dan apa yang akan diperoleh pada hari itu dari pada nikmat dan azab, kemudian Iman dengan qadar, baik dan buruknya berasal dari Allah.

Bahagian ini dinamakan Ilmul 'Aqidah, atau Ilmul Tauhi'd, atau Ilmul Kalam.

Bahagian Kedua.

Kedalam bahagian ini termasuk peraturan-peraturan mengenai pendidikan jiwa, membersihkan dan menyempurnakannya, seperti peraturan-peraturan meng-amalkan sifat-sifat keutamaan, seperti jujur dan benar, memenuhi janji dan dapat dipercayai, serta menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina, seperti berdusta dan berhianat.

Ilmu-ilmu yang bertali dengan perkara pembentukan jiwa ini dinamai Ilmul Akhlaq.

Bahagian Ketiga.

Kedalam bahagian ini termasuk hukum-hukum mengenai pengaturan antara manusia dengan manusia, mengenai hubungan antara manusia dan Tuhannya, yaitu yang dinamakan ibadat, yang tidak syah kecuali dengan niat, seperti mengenai Shalat, Zakat, Siam dan Haji.

Dan setemsnya yang mengatur hubungan antara manusia sesame manusia, serta segala apa yang terjadi antara manusia itu, berupa amal dan muamalat, dinamakan ilmul Fiqh, yang sama dengan arti qanun peraturan dalam istilah ahli-ahli hadis.

MENGAPA HUKUM-HUKUM ISLAM BERBEDA ?

(III)

Prof. Dr. Sobhi Mahmassani dalam kitabnya „Falsafatut Tasyri' fil Islam" (Bairut. 1962), mengatakan sebab-sebab adanya perbedaan paham dalam menetapkan hukum-hukum Islam furu' sebagai berikut:

„Kenyataan dalam sejarah, bahwa pandangan hidup masyarakat itu berubah-rubah dengan berubah zaman dan tempatnya.

Dan oleh karena syari'at dan hukum Islam merupakan gambaran dari pada masyarakat-masyarakat kaum muslimin itu, tak dapat tidak ia berbekas juga dalam kehidupan mereka.

Pengaruhnya ternyata dalam perbedaan paham tentang Syari'at Islam dan memahaminya karena berbeda masa dan Negara-negara, sehingga kita lihat umat-umat itu berbeda coraknya, karena berbeda adat dan kebiasaannya, lebih lanjut berbeda cita-citanya dan semangatnya.

Atas dasar ini terjadilah perbedaan paham. terutama dalam menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur'an serta bermacam-macam Sunnah, untuk menetapkan hukum furu'.

Perbedaan paham ini dalam Syari'at Islam memang banyak, yang kemudian melahirkan Mazhab-Mazhab, Mazhab 'Iyatikad dalam ilmu kalam, Mazhab Akhlaq dan Adab, dan Mazhab Fiqh 'serta Mazhab dalam Tasawwuf, yang dinamakan Tharikat.

Meskipun demikian ada perdekatan antara satu sama lain disebabkan dasarnya bersamaan.

Ibn Khaldun, dalam muqaddimahnya, cetakan Mesir pada beberapa halaman, menjelaskan, bahwa pergaulan manusia itu paling pokok.

Ahli-ahli filsafat tidak dapat tidak menganggap penting memperhatikan masyarakat, yang kadang-kadang sudah campur aduk antara penduduk kota dan pendudu desa, sehingga berlain-lain keperluannya.

Manusia tidak mungkin hidup kecuali dengan bermasyarakat dan tolong-menolong antara satu sama lain dalam mencari makan dan barang-barang yang dibutuhkan.

Mereka terpaksa bekerja sama, Muamalat, dan mencari apa keperluannya, kadang-kadang sampai kepada tabiat hewan, berbuat da'lim dan bermusuh-musuhan satu sama lain, bahkan sampai kepada bunuh-membunuh.

Maka tidak mungkin mereka akan hidup terus kecuali diadakan peraturan dan hukum bagi mereka untuk menjaga keadilan dan ketenteraman, hukum-hukum yang telah berpilin dengan adat sukunya.

Dengan agama dan keyakinannya, dengan adat dan akhlaqnya, yang oleh Islam diberi kemerdekaan, asal tidak membawa kemusyri'kan.

Maka dengan demikian terjadilah perbedaan sedikit-sedikit dalam hukum furu', karena dalam penetapan hukum itu diperhatikan masa dan musim. keadaan alam dan tempat, adat kebiasaan dan lain-lain.

Apakah hukum usul yang sudah ada dapat diubah kalau perlu untuk keperluan umat bermacam-macam, sebagai tersebut diatas ?

Ibn Khaldun berkata : „Bahwa keadaan alam, umat, adat istiadatnya, bermacam-macam kejakinannya, tidak tetap dan kekal, tetapi berubah-rubah menurut hari dan zamannya, dan berpindah keadaannya dari suatu corak kepada corak yang lain".

Kalau bertentangan dengan hukum pokok dalam Islam, apakah dapat diubah (taghyirul ahkam) ?

Oleh karena masyarakat itu pada hakikatnya berubah, karena berubahnya kemaslahatan manusia, dan karena kemaslahatan manusia itu adalah dasar tiap-tiap syari'at agama, adalah masuk diakal bahwa dapat dilakukan perubahan hukum dengan adanya perubahan zaman.

Ibnul Qayyim tepat sekali memberikan keputusannya, bahwa perubahan fatwa dan perbedaan pendapat dapat dilakukan karena perubahan masa, tempat, hal-ihwal, dan adat-istiadat.

Ia mengatakan seterusnya, bahwa tindakan ini nyata, dan tidak dikerjakan orang karena mereka tidak paham tentang ini, adalah kesalahan besar dalam Syari'at lalu mewajibkan kesukaran-kesukaran dan memberatkan sesuatu yang tidak ada dasarnya, karena tidak mengetahui bahwa syari'at (Islam) yang gilang-gemilang itu, sudah sampai kepada puncak nya dalam memberikan sesuatu hukum sesuai dengan kemaslahatan umat (melalui Falsafatut Tasyri', hal. 151-153) Mahmassani mengambil keputusan selanjutnya mengenai perubahan hukum dan perbedaan ïhtihad serta perubahan nash, berkata demikian :

„Pokok-pokok yang kami sebutkan diatas, (mengenai perubahan Dan sebagainya.) terdapat dalam sejarah agama-agama yang lama dan agamaagama yang baru, dan didalam peraturan-peraturan zaman sekarang berjalan dengan tidak dapat dibendung.

Apabila ada suatu nash, maka nash itu harus diubah dengan nash yang lain, sedapat-dapatnya yang derajatnya setingkat, misalnya ayat Qur'an dengan ayat Qur'an, Sunnah dengan Sunnah".

Katanya pula : „Adapun dalam kalangan orang Islam, ahli Fiqh dan Mujitahid kebanyakannya menerima qa'idah perubahan hokum (taghyirul ahkam), tetapi mereka berbeda paham dalam memboleh-kan perubahan ini, yaitu apabila adalah sesuatu perbuatan mempunyai nash yang jelas dari Qur'an dan Sunnah, sukarlah dalam hal yang demikian itu kembali kepada sifat syari'at Islam dan kepada nash yang suci.

Maka apabila adalah nash itu untuk perkara agama dan ibadat hal uu tetap tidak boleh diubah, selama adanya bumi dan langit' karena usuluddin dan qa'idah tauhid dan iman adalah hakikat kebenaran yang satu pada ajali dan abadi, wajib dilaksanakan dan dipegang nasn-nya. Karena agama itu wajib bagi tiap-tiap yang hidup dan anak beranaknya sampai had kiamat, diseluruh permukaan bumi' maka tidaklah dapat perubahan hukum dilakukan, karena perubahan zaman dan tempat, tidak pula karena berubah keadaan.

Apa yang tetap wajib tetap demikian pada tiap-tiap tempat pada tiap-tiap masa dan pada tiap-tiap keadaan tetapi apabila nash itu mengenai urusan muamalat duniawi, maka pokoknya dalam perubahan itu melihat kepada maksudnya dan kepada sebab-sebabnya ada hokum untuk itu Demikian semua ulama fiqh setuju.

Hanya mereka berbeda paham dalam mengubah sesuatu hukum yang telah tetap dan ditetapkan dengan nash-nya.

Pendapat yang berlaku dalam kalangan ulama fiqh adalah bahwa tidak diterima sesuatu perubahan yang ada nash dari Qur'an dan Sunnah tidak dibolehkan mengubahnya dengan sebab berubah keadaan.

Bahkan diharamkan berfatwa dengan sesuatu yang menyalahi nash, dengan membawa perubahan 'uruf, memudahkan yang sukar dan mermgankan yang berar pada masalah-masalah yang tidak ada Demikianlah yang terakhir ini pendapat Imam Abu Hanifah sahabatnya Muhammad, Imam Syafi'i, Daud Zahili.

Tetapi umar bin Hatab dalam tindakannya banyak sekali mengadakan perubahan hukum dan nash, misalnya dalam perkara pembahagian zakat pada mualaf, dalam perkara talaq, dalam perkara menjual budak, dalam perkara potong tangan, dalam perkara zina, dalam perkara ta'zir dan lain-lain (lihat Falsafatul Tasyri' fil islam, halaman 149-164).

Dengan demikian terjadilah banyak mazhab-mazhab yang berlainlaman pahamnya dalam menetapkan hukum Islam.

PENGERTIAN FIQH ISLAM.

(IV)

Menurut Bahasa Arab perkataan Fiqh itu berarti ilmu, kecerdasan dalam memahami sesuatu perkara secara mutlak.

Dalam Al-Qur'an kita bertemu sebuah ayat, yang menerangkan arti Fiqh semacam ini :

„Mengapakah golongan itu hampir-hampir tidak dapat memahami pembicaraan orang ? " (An-Nisa, 78).

Dan berkata Rasulullah s.a.w. :

„Barang siapa dikehendaki Allah mengurniai kebajikan, niscaya ia dikurniai memahami (yufaqqihu) persoalan agama".

Dengan demikian terjadilah bentuk perkataan faqih (kata banyak : fuqaha'), yaitu ahli fiqh, ulama yang mengerti hukum-hukum sara' yang musti dilakukan oleh orang Islam yang mukallaf.

Fiqh Islam itu berarti Ilmu mengenai hokum-hukum Allah tentang perbuatan seorang mukallaf, mengenai wajib atau haram dan sebagainya.

Dari pada hukum-hukum Islam, agar ia dapat membedakan antara pekerjaan yang wajib dikerjakan dan pekerjaan yang tidak boleh dikerjakan, pekerjaan yang harus diperbuatnya dan ditinggalkannya.

Perkataan Fiqh itu berarti hukum-hukum, yang dapat dipahami dari Qur'an dan Sunnah dengan ihtihad, terbagi dua ada yang mengbendaki kepada pandangan dan ada yang menghendaki kepada perbandingan alasan-alasan hukum.

Ibn Khaldun berkata dalam Muqqaddimah-nya :

„Fiqh itu ialah mengenai hukum-hukum Allah Ta'ala mengenai pekerjaan seorang yang dianggap mukallaf, mengenai wajib, haram, sunat, makruh dan dibolehkan, semua itu dipetik dari Qur'an dan Sunnah, untuk dipermudah menjadi Fiqh.

Penetapan-penetapan itu berasal daripada dalil-dalil Qur'an dan Sunnah, yang jika kurang jelas lalu diperjelaskan dengan fiqh, yang tidak lain daripada mengeluarkan hukum-hukum dari pada dalil dan nash tersebut ".

Orang-orang Salaf mengeluarkan hukum-hukum Islam daripada dalil-dalil Qur'an dan Sunnah, meskipun ada perbedaan paham antara mereka satu sama lain, Sumber dalil yang penting itu dinamakan nash, sepakat semua mereka, meskipun dalam menarik pengertian hokum dari nash itu mereka berlain-lainan cara berpikirnya.

ISI ILMU FIQH.

( V )

Ilmu Fiqh Islam itu mengandung hukum-hukum dan peraturan-peraturan sebagai berikut.

Pertama

Pertama yang menjadi isinya ialah hukum-hukum, yang dapat mendekatkan manusia itu kepada Tuhannya, dan dapat menanam kedalam hatinya kebesaran Tuhan, yang dapat mengawasinya dan dapat memimpin kerohaniannya, seperti uraian tentang salat, tentang zakat, tentang puasa, tentang haji, yang biasanya dinamakan ibadat.

Dengan sungguh-sungguh melakukan riadhah ibadat ini, manusia itu dapat mencapai kebahagiaan dunia akhirat. „Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasulnya, ia akan jaya sejaya-jayanya".(Al-Qur'an).

Kedua

Kedua kandungan ilmu Fiqh itu ialah hukum-hukum yang berhubungan dengan keturunan manusia, hukum perkawinan,- apa yang wajib mengenai mahar, apa yang diatur mengenai nafakah, hak-hak dan kewajiban suami istri.

Selain dari pada itu juga cara menyelesaikan perselisihan, cara menjatuhkan Talaq, cara fasakh, kemudian apa yang bersangkutpaut 'idah, dengan urusan pemeliharaan anak, penyusuan anak, hak-hak anak, pembahagian pusaka, mengenai wasiat, yang semua itu dinamakan ahwal siyah dalam kalangan ahli hadis.

Karena hukum-hukum ini masuk dalam hukum-hukum muamalat, yang diatur oleh mujitahid.

Semua hukum ini termasuk fiqh.

Ketiga

Ketiga juga termasuk kedalam ilmu fiqh pembicaraan tentang hukum-hukum yang ada sangkut pautnya dengan harta benda dan hak milik, perjanjian dan kerja sama antara manusia satu sama lain, yang bersangkut paut dengan jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai, dagang bersama dan lain-lain, yang termasuk kedalam urusan harta benda antara peribadi dan kekeluargaan, kewalian, yang biasa dinamakan juga mu'amalat.

Keempat

Dalam rombongan ini termasuk pembicaraan hukumhukum pidana, dan akibat-akibatnya dari pada hukum itu mengenai had dan penahanan penjara.

Kelima

Kelima hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang mengenai peradilan, mengenai tugas-tugas qadhi, pengaduan dan penyelesaiannya, tuduhan dan cara menyelesaikannya, dan lain-lain. yang dapat menyelamatkan hak-hak manusia, yang biasa dinamakan murafa'at.

Keenam

Termasuk juga dalam Ilmu Fiqh peraturan-peraturan yang bertali dengan peperangan antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara satu suku dengan suku yang lain, dan peraturan-peraturan damai, begitu juga perjanjian-perjanjian, lebih lanjut cara mengatur hubungan umat Islam dengan umat yang lain, untuk mencegah peperangan dan permusuhan.

Dengan demikian kita lihat bahwa Fiqh Islam itu mengandung bermacam-macam hal dan peraturan untuk mengatur hidup manusia, membantu hukum-hukum pemerintah, mengenai administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban.

Islam itu bukanlah hanya memberikan keyakinan agama saja, tetapi mengurus juga kayakinan dan syari'at, agama dan kerajaan, yang memperbaikinya semua itu dan berlaku tiap zaman dan tempat.

Dan barang siapa yang mengikuti Fiqh yang berdasarkan A l -Qur'an dan Sunnah, pasti ia mendapati bahwa bagi tiap-tiap macam (iqh itu ada ayat-ayat Qur'an yang merupakan dasar pokok dalam mengaturnya, begitu juga mengenai ibadat umum tidak kurang dari pada seratus empat puluh ayat sumbernya.

Mengenai peraturan keturunan atau ahwal syaksiyah, tidak kurang dari tujuh puluh ayat, mengenai mu'amalat tujuh puluh ayat, mengenai hukum pidana tiga puluh ayat, mengenai pengadilan dua puluh ayat, dan didapati juga ayat-ayat yang berhubungan dengan politik antara kerajaan-kerajaan Islam dan antara kerajaan Islam dengan lain Islam.

Dan bagi tiap-tiap macam perkara yang disebutkan itu ada penjelasan yang lebih luas dalam hadis-hadis RasuluIIah, yang sebahagian menguatkan apa yang tersebut dalam Al-Qur'an, dan sebahagian menguraikan lebih jauh, atau menjelaskan jika dalam Qur'an tidak tersebut luas.

Maka adalah hadis itu merupakan komentar dan tafsir bagi nash-nash yang disebutkan dalam Qur'an yang suci mengenai seluruh keperluan dan hajat hidup bagi orang Islam.

HUKUM SYARA'.

(VI)

Ada dua macam hukum dalam Islam, yang di Indonesia masih dicampur adukkan pengertiannya.

Pertama bernama hukum Syara

Pertama bernama hukum Syara yaitu hukum yang didasarkan kepada firman Allah, ditujukan kepada manusia, untuk dikerjakan, dipilih atau ditetapkan.

Contoh yang pertama

Contoh yang pertama tentang hukum ini terdapat misalnya dalam contoh firman Allah : „Dirikanlah Sembahyang dan keluarkanlah Zakat" (Al- Muzammil, 20), merupakan perintah musti dikerjakan, oleh karena itu menunaikan Sembahyang dan mengeluarkan Zakat wajib hukumnya.

Begitu juga, mengenai larangan Allah yang ditujukan kepada umum sebagai perintah, seperti : „Jangan kamu dekati (jangan kamu kerjakan) zina" (Al-Isra', 32), yang berisi perintah meninggalkan perbuatan zina itu, sekaligus mengharamkan perbuatan itu.

Contoh yang kedua

Contoh yang kedua ialah boleh memilih untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan, seperti firman Allah : „Apabila kamu sudah tahallul (melepaskan diri dari pada kewajiban ihram waktu mengerjakan haji), maka boleh kamu berburu" (Al-Ma'idhah 2), menunjukkan kepada kita niat orang berburu, yang boleh ia pilih, mengerjakan atau meninggalkannya.

Macam hukum syara' ketiga

Macam hukum syara' ketiga, ialah menetapkan dari sebab-sebab sesuatu menjadi perintah wajib atau larangan wajib, yaitu sesuatu keterangan dari Qur'an yang dijadikan sebab bagi sesuatu hukum, seperti firman Allah : „(Adapun hukum) seorang pria dan seorang wanita yang mencuri, potonglah kedua tangannya" (Al-Ma'idah, 38), menunjukkan bagi kita, bahwa mencuri itu menyebabkan lahirnya hukum potong tangan. Hal ini menunjukkan perintah.

Tetapi ada juga hukum penetapan atau wadha' itu berarti melarang, seperti Sabda Rasulullah : „Tidak diterima Allah Sembahyang orang yang tidak dalam keadaan sudah bersuci," yang menunjukkan kepada kita, bahwa bersuci itu merupakan syarat bagi Sembahyang.

Contoh yang berikut ialah hadis Rasulullah: „Tidak dapat mewarisi pembunuh itu sesuatu warisanpun", yang menunjukkan kepada kita, bahwa pembunuhan itu menolak orang yang membunuh menerima warisan dari pada orang yang dibunuhnya.

Dengan contoh-contoh itu ternyata bagi kita, bahwa hukum syara' itu, yang biasa di Indonesia dinamakan „hukum Islam" terbagi atas dua bahagian.

Pertama hukum taklifi, yaitu hukum yang diperintahkan dalam Islam mengerjakannya, atau meninggalkannya, atau memilih diantara keduanya.

Kedua Hukum Wadh'i, yang dijadikan sebab, atau syarat bagi hukum yang harus dikerjakan atau harus ditinggalkan.

Hukum taklifi ada dua macam, pertama harus dikerjakan dengan tidak ada kecuali, seperti Sembahyang orang yang bermukim, dinamakan azimah, kedua yang boleh berubah daripada hukum asli, karena ada uzur, seperti Sembahyang seorang yang sedang musafir, dinamakan rukhsah.

Uraian tentang hukum Syar'i dan Hukum Wadh'i ini terdapat lebih luas dibicarakan dalam pendahuluan kitab „Al-Mu'amalat fisy syari'atil Islamiyah", karangan Syeikh Ali Al-Khafis, dan dalam kitab „Al-Fiqhul Islami", karangan Dr. Muhammad Yusuf Musa, dan kitab, „Al-Ibadat Minal Qur'an was Sunnah", karangan Dr. Ahmad Al-Ghanduri.

CORAK HUKUM ISLAM

(VII)

Hukum Islam asli, yang belum berubah dengan salah satu uzuryang lain, diberi bertingkat, sebagai berikut.

Wajib

wajib yaitu perintah yang harus dikerjakan, dengan jaminanberhak menerima pahala. bagi yang mengerjakannya, dan 1 akanmenerima dosa bagi yang meninggalkannya.

Misalnya puasa bulanRamadhan itu wajib, karena kalau dikerjakan dapat pahala dan kalauditinggalkan berdosa, atas perintah Tuhan : „Wahai sekalian merekayang ber-iman ! Diwajibkan kepadamu puasa, sebagaimana diwajibkankepada umat-umat sebelum kamu." (Al-Qur'an).

Haram

Haram, yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan meninggalkannya,dan kalau ditinggalkan dapat pahala serta kalau dikerjakanberdosa, seperti berzina, makan bangkai, darah dan daging babi.

Mandauw

Mandauw, yang berbuat dapat pahala dan yang meninggalkannyatidak disiksa. Perkataan lain untuk tingkat ini ialah Sunat, dan mushab.

Makruh

Makruh. Segala pekerjaan, dan ibadat, yang kalau dikerjakantidak mendapat siksaan, tetapi kurang baik, dan kalau ditinggalkanmendapat pahala, seperti melarang sembahyang ditengah jalan.

Mubah

Mubah, Segala pekerjaan yang boleh dipilih, untuk dikerjakannyaatau ditinggalkannya, tidak ada pahala kalau dikerjakan dan juga tidakada dosa kalau ditinggalkan, seperti firman Allah : „Makanlah kamudan minumlah !" (Al-Qur'an).

Inilah yang diminta dalam agama Islam kepada penganutnya yangsudah mukallaf untuk melakukan perintah itu, mengerjakannya ataumeninggalkannya sesuai dengan perintah Tuhan dan Rasul-nya.

Apabilaseorang Islam mengerjakan dengan baik segala rukun dan syaratnya,agama menganggap perbuatan itu syak. Dan kalau tidak dikerjakanmenurut rukun dan syaratnya, maka Islam menganggap tidaksyah.

Adapun yang dinamakan syah, segala perbuatan yang dilakukanmenurut perintah Allah dan Rasul-nya sepanjang sara'.

Apabilaseorang mukallaf mengerjakan sembahyang sempurna rukun dan syarat-nya, yang wajib, maka amalnya itu diterima dan kewajibannya sudah dianggap sudah dilakukannya dan sak atau syahi.

Yang dianggap tidak syah, yaitu sesuatu perbuatan atau ibadah tidak dikerjakan menurut dasar agama daripada rukun dan syaratnya, seperti sembahyang dengan tidak ada ruku', atau sembahyang tidak dalam waktunya, atau sembahyang tidak dengan wudu', maka tidaklah syah ibadatnya itu.

PERBEDAAN ANTARA SYARI'AT DAN FIQH.

(VIII)

Adapun yang dinamakan Syari'at Islam atau Hukum Islam ialah pokok-pokok umum dan peraturan-peraturan keseluruhan hokum yang didasarkan kepada Qur'an dan Sunnah Rasul-nya.

Pandangannya mudah dan tidak sukar, sebagaimana firman Allah : „Allah menghendaki untukmu bermudah-mudah, dan tidak menghendaki untukmu bersukar-sukar" (Al-Baqarah, 140).

Untuk keterangan ayat-ayat Qur'an itu digunakan Sunnah Nabi, yang mengulas pandangan keseluruhan, dan pokok-pokok umum yang dijadikan dasar peraturan mu'amalat.

Seluruh pandangan pokok hukum dari Qur'an dan Sunnah itu tetap berlaku bagi tiap masa dan tempat, tidak menentukan untuk keturunan-keturunan khusus, tetapi merupakan agama untuk semua keturunan, semua masyarakat, semua kerajaan atau pemerintahan, yaitu Agama Umum bagi seluruh Alam.

Naskh Syari'at yang dipetik dengan jelas dari kedua sumber itu tidak dapat diubah untuk selama-lamanya.

Adapun Fiqh Islam, yaitu hukum-hukum perincian, yang ditetapkan oleh ulama-ulama Islam ahli Fiqh, dari Qur'an dan Sunnah Rasul-nya, ditambah dengan ijtihad menurut fikirannya, baik diciptakan bersama-sama atau sendiri-sendiri, yang karena penetapanpenetapan itu menyebabkan banyak perbedaan pendapat.

Sebab-sebab yang membuat ada perbedaan pendapat dalam penetapan hukum-hukum itu, ialah perbedaan paham ahli fiqh baik mengenai pendapat atau pembawaannya, perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam memahami bahasa, perbedaan paham ahli fiqh dalam menguatkan dan dalam menolak sesuatu masalah, dan hal-hal yang bergantung kepada keperibadian mujitahid, serta kefanatikan mazhab-nya.

Hal ini kadang-kadang membawa keputusan-keputusan mereka keluar dari hukum-hukum dan peraturan keseluruhan, yang diletakkan oleh Syari'at Islam dalam Qur'an dan Sunnah Nabi.

Maka dengan demikian kita dapati banyak pendapatan yang berbeda-beda dalam fiqh ini menurut Mazhab-nya masing-masing, seperti dalam Mazhab Syalafiyah, Mazhab Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah atau Hanafi, Mazhab Syafi'i, Mazhab Daud Az-Zahiri Mazhab Syi'ah, Mazhab Sufi, dan lain-lain yang kadang-kadang lempar-lemparkan serangan antara satu sama lain dan ejek-mengejek, sehingga umat Islam, walaupun tidak berpecah belah, tetapi menjadi berbondongbondong, yang masing-masing mempertahankan mazhab-nya.

Perbedaan paham ini terkadang-kadang demikian besarnya, sehingga penetapan hukum-hukum itu keluar dari Usuluddin, sumber-sumber pokok dan keyakinan dalam Agama Islam.

Pada salah satu kitab saya, saya jelaskan, bahwa keinsyafan umat Islam dalam abad ke-20 ini telah demikian besar, sehingga kebanyakan dari mereka ingin mempersatukan kembali mazhab-mazhab itu.

Lalu didirikanlah di Mesir suatu badan yang dinamakan „Darut Taqrib bainal Mazahibil Islamiyah", dimana duduk tokoh-tokoh ulama besar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Syi'ah, seperti Syeikh Mahmud Syaltut, dekan Universitas Al-Azhar, Dr. Al-Baby dan Al- Qummi dan lain-lain suatu badan yang mengadakan pembahasan mengenai persesuaian pertentangan mazhab-mazhab Islam, agar dapat dipersatukan guna melenyapkan perpecahan yang sampai sekarang terjadi diantara kaum Muslimin.

Majallahnya „Risalatul Hlam" memuat tidak saja karangan yang mendalam tentang prinsip-prinsip berbagai mazhab, tetapi juga keputusan-keputusan sidang mengenai pembahasanpembahasan kearah persatuan itu.

Hasilnya sangat baik diantaranya tidak berapa lama sesudah badan ini berdiri di Universitas Azhar sudah diwajibkan sebagai mata pelajaran mempelajari ilmu fiqh Syi'ah Ja'fariyah, yang sebelumnya belum pernah diusahakan.

Dalam usaha ini tidak dapat dilupakan jasa seorang Syeikhul Azhar Mahmud Syaltut, yang sejak tahun 1947 menjadi anggota badan Darut Taqrib itu.

Begitu juga gurunya Syeikh Abdulmajid Salim. Ia mencari hubungan rapat dengan ulama-ulama Nejef, Karbala, Iran dan Jabal Amil, dengan tulisan-tulisan berharga dan pikiranpikiran persahabatan, guna mempelajari lebih dalam fiqh Al-Ja'fari dan mengajarkannya di Al-Azhar.

Hasil daripada penyelidikan itu yang sangat menggemparkan dunia Islam sampai sekarang ini, ialah fatwanya yang membolehkan beribadat (jadjuzat ta' abbud) dengan mazhab Al-Jafa'ri, suatu keputusan yang belum pernah diberikan dan di ucapkan oleh ulama-ulama empat mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali.

Baca lebih lanjut suatu uraian yang panjang lebar dalam majallah „Al-Irfan", suatu majalah resmi gerakan Syi'ah juz ke VII, jilid 51, Ramadhan 1383 H , hal. 735 dan seterusnya.

Imam Mtihammad Abduh pernah mengecam pembicaraan-Fiqh yang berlarut-larut dan sukar memahaminya.

Katanya, bahwa ia pernah membaca lebih dari dua puluh buah syarah (komentar), untuk memahami cara berfikir ulama-ulama fiqh terakhir tentang tayammum, didapatinya semua pembicaraan itu sangat mendalam dan berliku-liku, sedang nash Qur'an demikian jelas pengertiannya, sehingga jika orang mengikutinya, ia tidak memerlukan lagi komentar yang berpanjang-panjang itu.

SUMBER SYARI'AT ISLAM DAN FIQH.

(IX)

I Al-Qur'anul Karim.

Prof. Sobhi Mahmassani berkata dalam kitabnya "Falsafatut Tasyri' fil Islam" (Bairut, 1952), bahwa kitab suci Al-Qur'an itu ialah sumber yang pertama bagi penetapan hukum syari'at Islam.

Tidak ada sebuah Mazhab Islampun yang berbeda paham tentang sumber pertama ini, baik Mazhab Ahlus Sunnah, maupun Syi'ah, bahkan Mu'tazilah, dan jika ada perbedaan paham, hal itu terdapat dalam mengartikan dan mentafsirkan setengah daripada ayat Qur'an itu:

Ta'rif Al-Qur'an yang terlengkap, sebagaimana pernah saya kemukakan dalam karangan saya „Filsafat perkembangan hokum dalam Islam", dari S.E.R.I.E Ahlus Sunnah wal Ja'maah, diberikan oleh Dr. Ma'ruf Ad-Dawalibi kepada Al-Qur'an yaitu sebuah kitab suci yang merupakan pokok pertama dan sumber azas untuk hokum-hukum Syariat Islam, diturunkan kepada Nabi Muhammad secara berangsur pada malam tujuh belas Ramadhan, dikala umurnya 41 tahun sampai 9 Zulhidjah tahun kesepuluh Hijrah, dikala umurnya 63 tahun.

Qur'an itu turun kepadanya sebahagian demi sebahagian, seayat atau beberapa ayat, menurut keadaan masa dan kebutuhan masyarakat.

Qur'an itu terbagi atas bahagian-bahagian yang dinamakan Surat, dan jumlah semua Surat dalam Al-Qur'an itu adalah 114 buah banyaknya, dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan disudahi dengan Surat An-Nas.

Surat-Surat itu tersusun dari pada ayat-ayat, yang jumlahnya 6342 buah banyaknya, 500 ayat diantaranya berhubungan dengan hukum-hukum.

Baca diantaranya kitab Jalaluddin As-Suyuthi, „Al-Iklil fi Instinbathit Tanzil" (t. tp. 1373 H.).

II. Sunnah Nabi.

Adapun Hadis atau Sunnah Nabi ialah sumber kedua sesudah Qur' an, yang bersifat menafsirkan dan menyempurnakan pengertian Al-Qur'an.

Sunnah itu disampaikan dari Nabi oleh sahabat-sahabatnya, ada yang merupakan "Sunnah Qauliyah", yaitu ucapan langsung dari Rasulullah sendiri, dan dinamakan juga „Al-Hadis", „Sunnah fil'liyah", mengenai perbuatan Nabi, atau „Sunnah taqririyah".

Pada hari-hari pertama Rasulullah tidak memperkenankan menulis Sunnah itu, sebagaimmana orang disuruh menulis dan menghafal Al-Qur'an, bahkan dilarang : „Jangan kamu menulis dari saya, dan barang siapa yang menulis selain Qur'an, hendaklah dihapusnya".(Muslim).

Pada hari-hari kemudian terpaksa orang mengumpulkan Sunnah itu, yang termasyhur diantaranya ialah yang dinamakan „Masnad Imam Ahmad Ibn Hanbal", yang sekaligus telah merupakan susunsn kitab Fiqh.

Diantara kitab-kitab yang banyak digunakan dalam kalangan Ahlus Sunnah ialah yang dinamakan Kitab Enam, dua buah diantaranya dinamakan Syahih, karangan Bukhari (194-256H), dan karangan Muslim (meninggal 206-261 H). Termasuk kitab enam yang lain yaitu karangan Ibn Majah, (meninggal 273 H), Abu Daud (meninggal 275 H), Tarmizi (meninggal 275 atau 279 H), Nasa'i (meninggal 302 H). Disamping itu banyak kitab-kitab hadis yang lain, seperti karangan Daraquthni (meninggal 385 H), karangan Baghawi (meninggal 512 atau 516 H), Baihaqi dan lain-lain.

Sumber-sumber Sunnah yang banyak digunakan oleh Mazhab Syi'ah ialah yang dinamakan Kitab Empat, yaitu „Al-Kafi", karangan Kulaini (meninggal 328 H), kitab "Man la Yahdhuruhul Faqih" karangan Babuaih (meninggal 381 H), „Al-Istibshar fi ma Ikhtalafa minal Akhbar" dan „Tahzibil Ahkam", kedua-duanya karangan Ath-Thusi (meninggal 411 H).

Kemudian ditulis orang juga beberapa ilmu untuk memudahkan penggunakaan hadis ini guna penetapan hukum, seperti ilmu „Musthalah Hadis", mengenai hadis yang dapat digunakan dan tidak dengan penilaian hadis-hadis itu, seperti sejarah hidup perawi-perawi-nya, dan lain-lain.

III. Ijma'.

Untuk menetapkan hokum-hukum untuk Fiqh Islam, kemudian diperlukan orang juga mencari sumber lain, yaitu Ijma' dan Qiyas, terutama yang terdapat dalam masa sahabat.

Ulama-ulama Fiqh sepakat menetapkan sebagai sumber ketiga ialah Ijma', yang berarti kesepakatan, ada yang menganggap kesepakatan sahabat, tetapi banyak juga Mujtahid-Mujtahid Islam yang menganggap cukup kesepakatan ulama fiqh saja.

Golongan yang terakhir ini mendasarkan pendapatnya kepada ayat Qur'an: „Barang siapa masih menyusahkan Rasul, sesudah jelas apa yang diajarkan sebagai petunjuk, kemudian mengikuti jalan selain jalan orang mu'min, kami tinggalkan dia dan kami hubungkan dia dengan neraka jahanam, sebagai tempat kembali yang buruk" (An-Nisa, IV : 115).

IV. Q1YAS.

Qiyas artinya memperbandingkan sesuatu kejadian yang timbul dengan kejadian-kejadian yang pernah terjadi dalam zaman Salaf, yaitu zaman Nabi, zaman Sahabat dan kalau perlu zaman Tabi'in dan seterusnya.

Karena meluasnya daerah Islam dan penganutnya, sukar sekali untuk menetapkan sesuatu hukum, karena telah berlainan zaman dan tempat serta suasana.

Ulama-ulama Fiqh mencari jalan keluar dengan mengakui Qiyas sebagai dasar hukum yang keempat.

Hampir semua mereka menerima dasar usul, bahwa seluruh hukum Islam itu sesuai dengan tujuan dan ke-maslahatan.

Selain daripada terbuka secara luas Qiyas ini sebagai salah satu daripada dasar hukum Islam yang empat, Qiyas inilah yang merupakan sebab-sebab perbedaan paham antara satu dengan lain mazhab.

Oleh karena itu setengah mazhab, seperti Syi'ah Imamiyyah dan Daud As-Zahiri, tidak mau menggunakan Qiyas itu. Tetapi kebanyakan ulamaulama fiqh menerimanya, begitu juga Syi'ah Zaidiyah (lihat kitab-kitab „Hillil Uqul, halaman 53, Al-Ahkam, karangan Ibn Hazam, juz V : 5356, dan „Nihayatus Sual, kar. Asnawi, III : 8).

Selain dari pada dasar perbedaan paham, seperti tersebut diatas, ada lagi yang menyebabkan perlainan penetapan hukum itu, yaitu kebijaksanaan Imam-Imam Mazhab Fiqh, seperti Hanafi dengan dasar istihsan, Maliki dengan masalihul musalah, Syafi'i dengan istidal, dan dasar istishabul hal, dan lain-lain.

II

SEJARAH HIDUP MUJTAHIDIN