Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab0%

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Fiqih

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11259
Download: 2658

Komentar:

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 66 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11259 / Download: 2658
Ukuran Ukuran Ukuran
Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

Ilmu Fiqih Islam Lima Madzhab

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

MAZHAB AL-JA'FARI.

(Imamiyah)

( I )

Mazhab ini didirikan oleh Imam Jafar Shadiq, seorang Tabi'in tokoh besar, ahli hadis dan mujtahid mutlak, menurut Kulayni antara 83 — 148 H. sebagai yang sudah kita ceriterakan.

Ibunya bernama Farwah anak Al-Qasim anak cucu dari Abu Bakar As-Siddiq, Khalifah I sesudah Nabi.

Konon itu sebabnya maka Ja'far memakai nama dibelakangnya Sadiq, dan tidak pernah menyerang tiga Khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.

Bahkan pernah ia berkata, sepanjang yang diriwayatkan Sayuti : „Aku berlepas tangan dari orang-orang yang mengatakan sesuatu sesudah Nabi tentang Abu Bakar dan Umar kecuali yang baik (Sayuti Tarikhul Khulafa).

Konon pula itulah sebabnya, maka ia tidak pernah diganggu oleh khalifah Umayyah, seperti Hteyam, Walid, Ibrahim dan Marwan dan oleh Khalifah Abbasiyah, seperti As-Safah dan Al-Mansur.

Baik Syi'ah maupun Ahli Sunnah menghormati Ja'far Sadiq.

Dalam masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan inilah lahir Imam Ja'far Shadiq.

Ia lahir pada malam Jum'at, bulan Rajab, tahun 80 H , dikala umat Islam mengalami kekacauan dalam hukum dan pemerintahan, dikala pemerintah dan pembesar-pembesarnya melakukan kezaliman dengan sewenang-wenang, tidak ada jiwa terjamin, tidak ada kemerdekaan berpikir dan berbicara dihormati, siapa yang kuat memang dan siapa yang kalah hancur.

Keadaan umat Islam pada waktu itu dibandingkan dengan masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, seperti siang dengan malam, sedang daerah Islam yang luas dengan umatnya yang banyak menanti-nanti hukum Islam yang terkenal adil dan lengkap itu dalam segala bidang.

Imam Ja'far Shadiq lahir sebagai suatu bantuan Tuhan kepada umat Islam yang bingung itu.

Ia dididik oleh ayahnya Al-Baqir dan kakeknya Zainal Abidin, dua belas tahun lamanya merasakan asuhan kakeknya A l i bin Husain.

Dari orang-orang besar inilah beroleh pengajaran dan pendidikan, terutama dalam pembentukan jiwanya.

Tidak dapat disangkal bahwa kakeknya Zainal Abidin adalah anggota Bani Hasyim yang utama dan tokoh terpenting dari Ahlil Bait, seorang yang sangat alim, war'a, dan sangat dipercaya perkataannya dan mempunyai akhlak dan budi pekerti yang bersih.

Sesudah mati kakeknya ini ia dididik oleh ayahnya Al-Baqir, seorang yang luas pengetahuannya dan salih yang oleh orang Syi'ah dianggap salah seorang Imam Dua Belas.

Sembilan belas tahun ia bergaul dengan ayah dan kakeknya.

Ia hidup ketika itu dalam bersembunyi dengan ketakutan, tetapi dengan segala kegiatan dikumpulkan ilmu-ilmu dari ayah, kakek dan moyangnya dan disiarkannya kepada umum dalam masa perpecahan, kezaliman, zindiq dan ilhad itu.

Yang paling menderita kezaliman ketika itu ialah keluarga rumah tangga Rasulullah, keturunan Ali dan pembantu-pembantunya, dan oleh karena itu mereka jarang, kelihatan dalam mesjid-mesjid, karena khotbah-khotbah Jum'at itu isinya tidak lain dari kecaman dan caci-maki terhadap mereka.

Ja'far Shadiq hidup secara sederhana, tetapi orang tahu dan umat Islam secara diam-diam berduyun-duyun datang kepadanya untuk mengambil ilmunya dan mengakuinya sebagai Imam.

Diantara peralihan pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas, orang menaksir muridnya tidak kurang dari empat ribu orang, Rumahnya merupakan perguruan tinggi untuk ulama-ulama besar dalam ilmu hadis, tafsir, filsafat dan lain-lain ilmu pengetahuan, ulama ulama yang kemudian memimpin mazhab-mazhab dan perguruan yang ternama dalam Islam. Murid-murid itu yang merupakan rawi-rawi hadis yang terpenting, berasal dari Ghathafan,Ghiffar, Al-Azdi, Khuza'ah, Kha'zam, Makhzum, Bani Dhabbah, Quraisy, Banil Haris dan Banil Hasan.

Semua mereka itu mengambil hadis dan ilmu dari pada Imam Ja'far, dan kemudian menjadi guru-guru besar, dan imam-imam mazhab yang terpenting, seperti Yahya ibn Sa'id al-Anshari, Ibn Juraidj, Malik bin Anas, As-Sauri, Ibn Uyaynah, Abu Hanifah, Syu'bah, Abu Ayyub As-Sajastani dan lain-lain, yang kemudian mendapat kehormatan dan keutamaan dalam Islam karena beroleh ilmu dari pada Imam Ja'far As-Shadiq (Asad Haidar, I : 9-30).

Golongan Ja'far Sadiq ini biasa dinamai Imamiyyah Itsna Asyariyah, yaitu suatu golongan Syi'ah yang mengaku, bahwa imam mereka yang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana yang sudah kita sebutkan dalam pembicaraan mengenai golongan Syi'ah ini.

Prof. T. M Hasbi As Shiddieqy dalam kitabnya "Hukum Islam" (Jakarta, 1962) banyak menulis tentang Syi'ah, dan berkata tentang Ja'far Sadiq sbb. : „Orang-orang Syi'ah yang menobatkan dia menjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati dari padanya, karena ia tidak menghendaki dan tidak menyukai dirinya dinobatkan itu. Ia ini adalah seorang ulama yang sangat berbakti kepada Allah.

Ia tidak suka diperbudak-budakan kaum Syi'ah.

Lantaran demikan, ia dapat mengarungi samudera hidupnya dengan aman dan tenang, tidak menjadi kebencian khalifah-khalifah yang menguasai negeri.

Dan yang perlu ditegaskan, bahwa ia ini pemuka dan pentasis fiqh Syi'ah yang kemudian pecah kepada beberapa mazhab". .

Tentang fiqh dan hukumnya, Hasbi menerangkan sebagai berikut. :

Fiqh Syi'ah walaupun berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah juga, namun melaini fiqh jumhur dari beberapa jurusan.

a. Fiqh mereka berdasar kepada tafsir yang sesuai dengan pokok pendirian mereka.

Mereka tidak menerima tafsir orang lain, dan tidak menerima Hadis yang diriwayatkan oleh selain Imam ikutannya.

b. Fiqh mereka berdasarkan Hadis, Qaedah, atau Furu' yang mereka terima dari imam-imamnya.

Mereka tidak menerima segala rupa qaedah yang dipergunakan oleh djumhur Ahli Sunnah.

c. Fiqh mereka tidak mempergunakan Ijma' dan tidak mempergunakan qiyas.

Mereka menolak ijma', adalah karena lazim dari pengikutpengikut ijma', mengikuti faham lawan, yaitu Sahabat, Tabi'in dan Tabi'ittabi'in.

Mereka tidak menerima qiyas se-kali-kali, karena qiyas itu fikiran. Agama diambil dari Allah dan Rasulnya, serta imam-imam yang mereka ikuti sehaja.

d. Fiqh mereka tidak memberi pusaka kepada perempuan kalau yang dipusakai itu tanah dan kebun. Perempuan itu hanya mempusakai benda yang dapat dipindah-pindah sahaja.

Lebih lanjut diterangkan, bahwa : Terkadang-kadang apabila disebut golongan Syi'ah, maka yang dikehendaki, Imamiyah. Imamiyyah ini berkembang di Iran dan Irak, mazhab mereka dalam soal fiqh, lebih dekat kepada mazhab Asy-Safi'i walaupun mereka dalam beberapa masalah menyalahi Ahlus Sunnah yang empat.

MAZHAB HANAFI.

(II)

Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul, terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertamatama yang bersamaan antara beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat saja.

Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad, barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum.

Acapkali Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.

Diantara imam-imam mujtahid mutlak, Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan.

Bahkan konon sampai pernah terjadi perselisihan paham pada suatu kali antara Abu Hanifah dan gurunya Ja'far Shadiq, yang berkata : „Wahai Abu Hanifah tidaklah usah kita bertengkar didunia ini mengenai pendirianmu dalam menggunakan banyak qiyas dengan pendirianku yang langsung kuambil dari Kitabullah.

Pada waktu Tuhan bertanya, siapa yang menetapkan hukum yang berdasarkan qiyas ini, engkau boleh menjawab : Abu Hanifah. Jika Tuhan menanyakan kepadaku, mengapa aku menetapkan hukum yang maksudnya berbeda dengan Qur'an, aku akan menjawab : ,,Ta' sampai akalku untuk memahami wahyu itu, hanya sekedar inilah yang dapat kutetapkan" (baca Syi'ah, karangan H. Aboebakar Atjeh, Jakarta 1965).

Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab Abu Hanifah ialah : 1. Kitabullah atau Qur'an, 2. As-Sunnah 3. Al-Ijma', 4. Al- Qiyas, dan 5. Al-Istihsan.

Apa artinya al-istihsan ? Menurut Hasan Sya'ab : Mengambil yang lebih adil dari pada dua buah masalah yang sama pandangan hukumnya (Al-Hiwar, „Rayi fil Ijtihad fil Islam 1966, hal. 99).

Abu Hanifah adalah keturunan bangsa Persia, pekerjaannya mula-mula menjadi saudagar sutera, dan oleh karena banyak waktunya yang terluang lalu ia belajar memperdalami ilmu agama Islam.

Pelajarannya terutama memakai dasar ra'yi, pikiran, (ratio), dalam menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Kitab yang paling banyak dipergunakan oleh pemeluk Mazhab Hanafi ini ialah „Mukhtasar" dari Khuduri (meninggal 1036).

Dalam kehidupannya beliau pernah mengajar di Kufah tentang ilmu fiqh dan juga pernah menjadi Mufti.

Jabatan-jabatan yang lain banyak ditolaknya.

Ketika Khalifah Al-Mansur mendirikan kota Bagdad (767 -771) ia turut bekerja dalam usaha pembangunan kota itu.

Khabar tentang kematiannya bermacam-macam.

Yang satu menerangkan, bahwa ia itu menolak jabatan qadhi yang ditawarkan kepadanya, lalu ia dimasukkan kedalam penjara dan dipukuli atas perintah Al-Mansur.

Yang lain menerangkan, bahwa Al-Mahdi, putera Al-Mansurlah yang memerintahkan ia dimasukkan penjara, karena tidak mau bekerja bersama-sama memangku jabatan hakim agama.

Dan yang lain lagi menerangkan, bahwa alasan memasukkan Abu Hanifah kedalam penjara karena tidak mau menjadi qadhi itu, hanyalah sebagai camouflage saja, tetapi yang sesungguhnya karena beliau disangka menyebelah kepihak Ali dan membantu dengan kekayaan kepada Ibrahim ibn Abdullah, yang menimbulkan pemberontakan di Kufah dalam tahun 767.

Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu Ismail bin Yasa' Al-Kufi.

Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir.

Tatkala Mesir dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu.

Malah pernah mazhab Syi'ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi.

Yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing.

Sebaliknya sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang sulthan-sulthannya bermazhab Syafi'i, lalu mereka tindas mazhab Syi'ah itu dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi'ah.

Tidak hanya sekian saja, malah mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi'i dan Maliki.

Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah.

Sejak ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah kota Cairo.

Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala aliran-aliran mazhab yang lain.

Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.

Setelah Mesir jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi.

Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah mendapat pangkat qadhi.

Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja.

Begitu corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi'i.

Mazhab Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli).

Selanjutnya pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan, Kaukasus, Turki, Balkan.

Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa.

Adapun Abu Hanifah An-Nu'man As-Tsabit, yang mendirikan Mazhab Hanafi itu lahir dalam tahun 699 M. di Kufah dan meninggal di Bagdad pada tahun 772 M .

MAZHAB MALIKI.

(UI)

Berbeda sekali pendirian Abu Hanifah ini dengan pendirian Malik bin Anas, yang menyusun dasar-dasar untuk penetapan hukum sebagai berikut : Nas Al-Qur'an, Zahir Al-Qur'an, mafhum pengertiannya yang cocok, dan dalil yang tidak cocok, Tanbih Al-Qur'an Nas Al-Hadis, Zahir Al-Hadis, Mafhum Al-Hadis, Dalil Al-Hadis, Tanbih Al-Hadis, Ijma, Qiyas, pekerjaan ulama Madinah, ucapan-ucapan sahabat, istihsan, upaya menutup keburukan memelihara akhlak, istihsan maslahatul mursalah dan syariat umat-umat yang terdahulu.

Kita lihat, bahwa Imam Malik ini mempunyai luas sekali dasar penetapan sesuatu hukum untuk mazhabnya.

Yang demikian itu karena ia di Madinah dan Mekkah dengan mudah ia mencari keterangan-keterangan mengenai Al-Qur'an dan Sunnah, karena dengan masanya masih terdapat banyak sahabat terkumpul dan masih hidup disana.

Menurut Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, perbedaan mazhab Maliki dengan mazhab-mazhab yang lain ialah bahwa Imam Malik menjadikan amal orang-orang Madinah jadi hujjah hukum fiqhnya, karena pada pendapatnya orang-orang di Madinah itu bersih mengerjakan amal ibadat sebagaimana yang dilihat pada Nabi dan sahabat-sahabat serta orang-orang Islam sekitar kota suci itu.

Ia mendahukan amal orang Madinah itu dari pada qiyas dan dari pada Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seseorang rawi saja, yang biasa dinamakan khabar uhad.

Ulama-ulama fiqh yang lain tidak ada yang menjadikan amal orang-orang Madinah itu menjadi hujjah agama.

Perbedaan yang lain pada Malik bin Anas ini kita dapati dalam dasar penetapan hukumnya, yang dinamakan maslahatul mursalah, yang artinya menurut Hasan Sya'ab dalam karangannya tersebut diatas ialah membina sesuatu hukum atas dasar kemashlahatan umum (104), seperti membolehkan orang memukul pencuri agar ia mengaku kesalahannya.

Ulama lain tidak membolehkan pekerjaan itu.

Lain dari pada itu Imam Malik juga menjadikan hujjah hukum fatwa-fatwa sahabat besar, manakala sanad riwayatnya itu sab, bahkan mendahulukan fatwa-fatwa itu atas qiyas.

Pekerjaannya ini sangat mendapat bantahan dari Imam Al-Ghazali, sebagaimana disebut dalam kitab Al-Mustasyfa Seperkara lagi yang agak berlainan pendirian Malik bin Anas ini dengan ulama lain, terutama ulama-ulama Hanafi, ialah bahwa ia tidak menjadikan syarat baik sesuatu hadis dengan sifatnya masyhur, bahkan ia acap kali menggunakan juga istihsan sebagai Abu Hanifah dan mengutamakan riwayat Hadis dari penduduk Hejaz.

Malik bin Anas, yang membentuk Mazhab Maliki, hidup di Madinah antara tahun 710 — 795.

Disitu ia belajar dan disitu pula ia mengajar.

Beberapa lama ia menjabat pekerjaan Mufti dan ahli hukum Islam.

Beberapa sikapnya dalam memberi fatwa menyebabkan Pem-Abbasiyah mencurigai dia, sehingga ia pernah merasai penyiksaan dan penderitaan.

Kitabnya yang terpenting ialah „Al-Muwattha".

Pemeluknya sekarang terutama terdapat di Afrika Utara (kecuali Mesir) dan Afrika Tengah.

Yang terutama dipelajari orang sebagai kitab Maliki ialah kitab-kitab „Mudawana", karangan Ibnul Qasim (meninggal 806) dan „Mukhtasar", karangan Khali Ibn Ishab (meninggal 1365).

Jika kaum Oriëntalisten Belanda gemar mempelajari hokum-hukum mazhab Syafi'i, maka sebaliknya Oriëntalisten Perancis dan Italia gemar menyelidiki hukum-hukum Islam menurut mazhab Maliki.

Sebagaimana Mazhab Syafi'i begitu juga Mazhab Maliki berdasarkan empat pokok : „Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas.

Diantara orang-orang yang mula-mula memperkenalkan kitab-kitab fiqh mazhab Imam Malik di Mesir kita sebutkan Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Ibn Wahab dan Rasyid bin Sa'ad, yang meninggal di Alexandria pada tahun 786.

Diantara yang giat sekali menyiarkannya kita sebutkan Abdurrahman bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin Miskin.

Pengaruh Mazhab Maliki ini suram, tatkala ke Mesir masuk pula mazhab Syafi'i.

Sesudah Mazhab Maliki masuk ke Andalus, yang dibawa oleh Zaid bin Abdurrahman al-Qurtubi, yang acapkali digelar orang Syaibthun, maka Mazhab Auza'i yang sudah lebih dahulu disana, mulai terdesak dan tidak diperhatikan lagi.

Mazhab Maliki masuk Sepanyol, yaitu dalam masa pemerintahan Hisyam bin Abdurrahman (793-820).

Sebagaimana di Mesir begitu juga di Andalus dalam zaman pemerintahan Hisyam ini Abdurrahman terutama yang mendapat pangkat yang baik dalam jabatan kehakiman, ialah ulama-ulama Maliki, sehingga dengan demikian aliran mazhab ini bertambah maju.

Yang memasukkan Mazhab Maliki ke Afrika kita sebutkan saja nama Sahmun bin Sa'id Al-Tanukhi, yang menggantikan qadhi Asad bin Furad, dan lalu disiarkannya paham Mazhab Maliki.

Sesudah Ma'az bin Badis menjadi Mufti di Afrika Utara, pada tahun 1029, maka tanah Maroko pun tunduk kepada Mazhab Maliki.

Kitab-kitab Maliki yang banyak terpakai di Andalus ialah umpamanya sesudah kitab Muwattha, yaitu kitab "Wadhihah", karangan Abdul Malik bin Habib, kitab "Atabiyah" yang dikarang oleh Atabi murid Ibnu Habib.

Diantara kitab-kitab yang masyhur di Afrika ialah kitab "Asadiyah", karangan Asad bin Furad dan juga kitab karangan Sahnun, kemudian boleh kita sebutkan juga Kitab „Tanbih" karangan Abu Sa'id Al-Baradi'i.

Ditimurpun Mazhab Maliki itu mendapat tempat, umpamanya di Bagdhad, tetapi kemudian terdesak oleh Mazhab Abu Hanifah, di Basrah sampai abad ke-V untuk sementara waktu di Hejaz, Palestina, Yaman, Kuwait, Kotter dan Bahrain.

MAZHAB SYAFI'I

(IV)

Mazhab ini dimasukkan oleh golongan Syi'ah kedalam Mazhab Ahlil Baid, karena pendiri dari pada Mazhab ini, Muhammad bin Idris, ialah seorang Qurais dari keturunan ayahnya, dalam silsilah bertemu dengan Nabi pada diri Abdu Manaf.

Ibunya dari suku Azdiyah, yang berpusat di Yaman. Pada suatu kali tatkala ayahnya pergi berdagang ke Syam, ia dilahirkan di Ghuzzah atau Asqalan pada tahun 150 H.

Sesudah ayahnya meninggal dibawanya ibunya pindah ke Mekkah pada waktu Muhammad bin Idris berumur dua tahun.

Ia dan ibunya termasuk keluarga yang miskin, seperti yang pernah diterangkan olehnya sendiri.

Katanya : „Saya adalah anak yatim dalam asuhan ibu saya, yang tidak mempunyai harta benda apa-apa. Guruku sayang kepada ibuku, dan oleh karena itu ia membantu aku dalam pelajaran.

Sesudah menghafal Qur'an, aku mulai belajar dalam Masjid. Aku belajar pada beberapa orang ulama, menghafal Hadis dan mempelajari persoalan-persoalan yang dikemukakan orang. Rumah kami pada waktu itu terletak di Syi'ib Al-Khaif.

Aku menulis pada tulang-belulang, dan penulisan itu kemudian aku kumpulkan dalam sebuah kantong besar".

„Kemudian aku keluar dari Mekkah dan bergaul dengan orangorang dari suku Huzail disebuah desa, saya belajar bahasa Arab dan kesusasteraan pada orang-orang itu, karena mereka berbahasa Arab yang baik", katanya pula.

Pergaulan Asy Syafi'i dengan suku Qurais ini besar sekali faedahnya dalam kemajuannya berbahasa dan bersyair Arab, yang dapat melancarkan memahami ma'na Qur'an dan Sunnah.

Kemudian ia mempelajari Hadis dan Fiqh, yang pernah diambilnya di Mekkah pada Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Azi-Zanji, dan sesudah menghafal kitab Muwattha' ia pergi mimpelajari lagi kitab itu pada Malik bin Anas, serta mempelajari banyak juga padanya hukum-hukum fiqh sampai Malik meninggal dunia pada tahun 179 H.

Kemudian barulah ia keluar ke Yaman, diantara sebab-sebabnya atas panggilan Gubernur Yaman untuk mengambilnya bekerja padanya.

Ia dituduh memihak golongan Syi'ah, cuma yang tidak ketahuan, manakala tuduhan itu dilancarkan kepadanya, pada waktu ia di Yaman kah atau sesudah pulang ke Hejaz, yang menurut Abdul Bar, ia kelihatan rapat bekerja sama dengan golongan Alawi di Hejaz, tetapi menurut Ibn Hajar di Yaman, karena ia dari sini diperintahkan menghadap Harun Ar-Rasyid.

Syafi'i dapat membela dirinya, lalu diampuni oleh Sulthan Harun Ar-Rasyid (Ahmad Amin, "Dhuhal Islam", II : 220). Kejadian ini berlaku pada tahun 184 H, sedang umur Syafi'I pada waktu itu 34 tahun.

Dari sini ia berangkat ke Baghdad pada tahun 195 H, dan tinggal disana dua tahun, kemudian kembali Iagi ke Mekkah, yang sesudah itu kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H serta tinggal disana beberapa bulan, sebelum ia berangkat ke Mesir pada tahun 199 H, dan tinggal disana sampai ia wafat pada tahun 204 H.

Pada waktu ia tinggal di Iraq ia berhubungan dengan Muhammad bin Hasan, teman dan tokoh dari Abu Hanifah, padanya ia ambil banyak fiqh menurut Mazhab orang-orang Iraq. Kata Ibn Hajar : „Penghabisan pelajaran Fiqh Syafi'i di Madinah, ia ambil dari pada Malik bin Anas.

Ia datangi Malik di Madinah, bergaul dan belajar dan mengambil banyak cara penetapan Fiqh padanya.

Di Iraq penghabisan pengajarannya dicapai menurut Fiqh Abu Hanifah, Syafi'i mengambil dari sahabatnya Muhammad bin Hasan sebahagian besar, terutama di kumpulkannya pengetahuan-pengetahuan Mazhab yang hidup pada waktu itu dinamakan Ahlur Ra'yi.

Dan Ilmu Ahlul Hadis, sehingga ia mendapati dasar-dasar penetapan hukum usul, membuat kaidah-kaidah, dan mulailah dijelaskannya kesepakatannya dan perbedaan pahamnya, sehingga namanya mashur orang sebutkan disana sini, dan diakui oranglah kedudukannya sebagai Mujitahid Mazhab" (Tawalit Ta'sis, hal. 54).

Gambaran Ilmu Fiqh Imam Syafi'i yang sangat jelas adalah dalam kitabnya bernama „Al-Umm", yang diwasiatkan sebelum ia wafat dan yang terjadi pada bulan Syafar 203 H, sebagai berikut : „Kitab mi ditulis oleh Muhammad bin Idris Ibn Abbas Asy Syafi'i, untuk anaknya Abul Hasan (Ibn Asy Syafi'i,) yang digunakan uangnya sebanyak 400 Dinar oleh ayahnya, untuk ongkos mentashihannya dalam wasiat itu juga ia berdoa agar anaknya digantikan Tuhan harta bendanya itu.

Juga diwasiatkan kepada anaknya untuk beramal, diantaranya merawat yang baik bekas budak-budaknya.

Dalam menyelesaikan kitab ini banyak dibantu oleh murid-muridnya, seperti oleh Buwaithi'.

Imam Syafi'i adalah seorang Mjitahid yang sangat banyak pengalamannya mengenai cara menulis Fiqh di Iraq, di Hejaz dan kemudian di Mesir.

Mazhab Syafi'i itu terletak diantara dua paham yang sangat berlainan, yaitu Mazhab Abu Hanifah, yang banyak menggunakan akal, dan Mazhab Malik bin Anas yang banyak menggunakan nash.

Mazhab Syafi'i di Iraq biasa dinamankan Mazhab Qadim, dan Mazhab Syafi'i di Mesir, biasa disebut orang Mazhab Jadid.

Mereka yang berguru kepadanya di Iraq adalah Az-Za'farani, Al-Karabisi, Abu Tsaur, Ibn Hanbal, Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Lughawi, sedang pengikutnya di Mesir yang terkenal ialah Al-Buwaithi, Al-Majani, Ar-Rabi' Al-Muradi.

Baik di Mesir atau di Madinah banyak ia pelajari cara menetapkan hukum oleh Malik bin Anas dan oleh teman-teman Abu Hanifah, dan yang mendalam dipelajarinya ialah kitab-kitab karangan sahabat Abu Hanifah Muhammad bin Hasan, serta cara orang menetapkan hukum oleh Iraq.

Ia berpendapat tidak semuanya cara ini dapat digunakan, tetapi tidak juga ditinggalkan semuanya.

Cara menggunakan Qas adalah cara yang benar, tetapi menurut pandangan Syafi'i tidaklah demikian mutlaknya penggunaan itu, sehingga ketinggalan dibelakang, Hadis- Hadis yang sahid, sampai kepada hadis Ahad.

Juga dipelajarinya cara memisahkan hukum atau mengadakan persoalan baru dari pada usul, dianggapnya suatu cara yang baik, begitu juga yang terdapat pada mereka kebiasaan berjidal (berdebat), istiklal, (mengambil dalil lebih dahulu dengan keadilan dan kemuslahatan), menghubungkan ayat Mutasabih dengan Mutasabih, dan sesuatu usul yang berlainan dengan yang bersamaan, bermunajarah, menulisi adlil-dalil dalam persoalan, dilihatnya sesuatu yang baik.

Oleh karena itu ia mempersiapkan dirinya memasuki persoalan-persoalan itu, dan mengatasi kesukarankesukarannya, sehingga ia beroleh cara yang terindah dari cara yang dilihatnya di Iraq itu.

Kemudian bertambah lagi keistimewaannya dalam menggunakan bahasa, sastra, hadis dan ijma''-ahli Madinah dan cara ulama-ulama Hejaz dalam menetapkan hukum.

Daripada kedua pengalaman ini Syafi'i dapat menggunakan yang terbaik, sehingga dia banyak mengarang menurut Mazhab baru, yang pernah dikemukakan di Iraq pada tahun 195 H, dan diikuti oleh setengah sahabatnya dari Baghdad seperti Abu A l i Al-Husain bin Ali Al-Karabisi, salah seorang daripada ulama Iraq yang masyhur, yang banyak mengarang, meninggal pada tahun 256 H, dan seperti Abu Tsaur Al-Kalbi, yang di Baghdad sudah mulai bersahabat dengan Syafi'i serta belajar banyak padanya, pengarang dari sebuah kitab yang berisi persoalan-persoalan yang berbeda pendapat antara Malik dan Syafi'i, Al-Kalbi ini dalam karangan-karangannya condong sekali kepada tulisan-tulisan Syafi'i.

Lain dari pada itu juga pernah mengikut Syafi'i Abu Ali Az-Za'farani, yang banyak membaca kitab-kitab Syafi'i dan mengarang tentang Mazhabnya sebelum Syafi'i dating di mesir.

Tetapi sayang Syafi'i tidak jaya dengan Mazhabnya di Iraq, terdesak oleh cara berfikir Mazhab Hanafi, yang banyak menggunakan akal, sehingga Mazhab Syafi'i itu kehilangan kedudukan dan kekuasaan.

Lalu berangkatlah ia ke Mesir, mencari daerah baru, dimana ia mengharapkan Mazhabnya akan tumbuh dengan subur. Di depan Az-Za'farani ia bersyair, yang terjemahnya kira-kira sebagai berikut :

Diriku hendak melayang ke Mesir,

Dari bumi miskin dan fakir,

Aku tak tahu hatiku berdesir,

Jayakah aku atau tersingkir.

Jayakah aku ataukah kalah,

Tak ada bagiku sesuatu gambaran,

Menang dengan pertolongan Allah,

Atau miskin masuk kuburan.

Demikian Imam Syafi'i bersya'ir, tatkala ia hendak melangkahkakinya ke Mesir.

Sya'ir Arab ini diriwayatkan oleh temannya Az-Za'farani, yang menjawab bahwa kedua-duanya yang tersebut dalam sya'ir itu dicapai oleh Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, baik kekayaan yang menghilangkan kemiskinannya, maupun kejayaan yang membuat penganut mazhabnya ratusan kali lipat ganda dari pada yang terdapat didaerah Iraq dari Mu'tazilah itu.

Untuk mencegah perselisihan paham dan menyalurkan kepada kesatuan dasar hukum, Syafi'i segera menulis "Usul Fiqh", yang mengatur cara menetapkan sesuatu hukum fiqh menurut sumbersumbernya, sehingga dengan buku ini nama Asy-Syafi'i menjadi harum sekali diantara nama-nama Mujtahid dan Ahli Mazhab ketika itu.

Orang memperbandingkan jasanya dengan usaha Aristoteles dalam menciptakan Ilmu Mantik, atau dengan Khalil bin Ahmad dalam karya Ilmu 'Arudh.

Meskipun ada orang sebutkan usul fiqh pernah dilarang oleh Muhammad bin Hasan dari mazhab Hanafi, tetapi, karya ini tidak tersiar luas dan tidak beroleh nama yang popuier seperti Usul Fiqh karangan Asy-Syafi'i, yang termuat juga garis-garis besarnya dalam kitab Al-Umm (baca Syi'ah, 299).

Karangannya hampir semua termuat dalam kitab Al-Umm, yang terutama mengenai ilmu Fiqh.

Syafi'i boleh kita anggap seorang yang termasuk mula-mula meletakkan dasar tentang pengetahuan Usul Fiqh.

Mazhab Syafi'i menurut jalan hukum dapat dikatakan kedudukannya antara paham Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, jadi antara pemeluk tradisionil dan rasionil dalam memahamkan Qur'an dan Hadis.

Pada masa ini yang paling banyak terdapat pemeluk Mazhab Syafi'I itu ialah di Mesir, Syria, beberapa bahagian tanah Arab dan seluluruh Indonesia.

Dahulu lebih luas lagi daerahnya, tetapi dalam waktu yang akhir ini banya terdesak oleh paham Mazhab Hanafi.

Terutama sesudah tahun 922 M. sangat cepat kelihatan kemajuan Mazhab ini di Mesir, di Iraq, Khorasan, Daghistan, Tauran, Syam, Yaman, diaderah-daerah sungai Saihun Jaihun, Persia, Hijaz, India, sebagian dari Afrika dan Spanyol.

Pada umumnya dewasa ini penduduk Mesir itu bermazhab Syafi'I Perimbangannya dapat kita lihat dalam Azhar yaitu Perguruan Islam Tinggi di Cairo didirikan dalam tahun 969 oleh Gubernur Jauhar.

Sejak tahun 1759 sampai tahun 1909 yang menjadi Syeikh Al-Azhar adalah ulama-ulama Syafi'i.

Setelah itu barulah diganti oleh seorang Hanafi, yaitu Syeikh Muhammad Al-Mahdil Aabbasi.

Selanjutnya tidaklah ada ketentuan yang khusus kepada sesuatu mazhab.

Tetapi jabatan Syeikh Al-Azhar itu belum pernah dipegang oleh Mazhab Hambali, karena Mazhab im sedikit sekali pemeluknya di Mesir.

Kemudian jabatan Syeikh Al-Azhar itu kembali lagi kepada Mazhab Syafi'i, yaitu sejak Mahaguru Muhammad Al-Ahmadi menjadi Syeikh ,,Al-Jami" Al-Azhar.

Yang mula-mula menyiarkan Mazhab Syafi'i dinegeri Damaskus ialah Abu Zur'ah Muhammad bin Usman (wafat 826 M) sehingga mazhab itu berpengaruh disana.

Yang terkenal juga namanya dalam mengembangkan aliran itu disana, ialah Muhammad bin Ismail Al-Qaffal Al-Kabir (wafat 987).

Demikianlah majunya mazhab ini di Baghdad disiarkan oleh Hasan bin Muhammad Al-Za'farani (wafat 860), sehingga hampir bersaingan dengan Hanafi.

Di Marw mazhab ini disiarkan oleh Ahmad bin Saiyar dan Hafiz Abdullah bin Muhammad.

Penyiar di Ghazna dan Khorasan ialah Wajihuddin Abul Fatah Al-Maruzini dan Abu Uwanah Ya'qub ibn Ishak An-Nisaburi (wafat 938) dan oleh pemeluk Syafi'i didirikan disana sebuah mesjid yang indah sekali yaitu pada tahun 1207. Dengan demikian tersebarlah mazhab ini di Timur.

Sekarang umumnya pemeluk mazhab ini terdapat di Mesir, Palestina, Armenia, Persia, Ceylon, Indonesia, Cina, Australia, Yaman, Adan, Hadramaut, Philipina, begitu juga di Hejaz, Syam dan Iraq.

Di India terdapat kira-kira satu milyun jiwa pemeluk Mazhab Syafi'i.

Kitab-kitab Syafi'i itu banyak dan nanti akan dibicarakan pada waktu membicarakan kitab-kitab Mazhab Empat lebih lanjut.

Walaupun pokok-pokok fiqh menurut aliran, Syafi'i itu terutama terkumpul dalam kitab-kitab karangan Syafi'i sendiri, tetapi akhirakhirnya, kitab-kitab yang dikarangkan kemudian oleh murid-muridnya dan pengikut-pengikutnya juga telah mendapat pengaruh yang sekian besarnya dalam kalangan pemeluk Syafi'i, sehingga kitab-kitab yang terdahulu seakan-akan tidak dikenal orang lagi.

Sejak abad ke XVI kita dapati kitab-kitab yang semacam itu, seperti Kitab Tuhfah karangan Ibn Hajar (meninggal 1567), Kitab Nihayah, karangan Ar-Ramli (meninggal 1596), keduanya ditulis berupa uraian (syarh) dari kita Minhaj Ath-Thalibin, karangan An-Nawawi (meninggal 1277 M.).

Lebih lanjut baca Dr. Th. W. Juynboll, Handl tik v. de Moh, Wet (Leiden, 1930, hal. 173, aant. 14).

MAZHAB HAMBALI.

( V )

Pemeluk Mazhab Hanbal itu ialah Ahmad bin Muhammad ibn Hanbal (780-855).

Ia lahir di Baghdad dan sesudah beberapa waktu menuntut ilmu disana lalu pergi belajar ke Syam, Hejaz dan Yaman.

Diantara kitab-kitab yang dikarangnya yang termasyhur ialah "Musnad Ahmad ibn Hanbal".

Tetapi banyak sekali kitab-kitab yang lain, pernah disebut orang sampai sebanyak dua belas beban unta.

Dasar mazhabnya terletak atas empat : pertama Nas, kedua fatwa sahabat, ketiga Hadis (mursal dan dhaif) dan keempat qiyas.

Pengikutnya sangat sedikit dan kebanyakan pengikut-pengikutnya itu tidak mau berijtihad menurut mazhabnya, Ibnu Kaldun menerangkan, bahwa sebabnya Mazhab Ibn Hanbal kurang tersiar dimuka bumi, ialah karena sempitnya berijtihad dalam mazhab itu.

Mazhab ini lahir di Baghdad tempat lahirnya Imam Ahmad.

Pengaruhnya kelihatan dalam abad ke-IV H .

Di Mesir mazhab ini baru dikenal orang pada abad ke-VII.

Yang membawa mazhab ini kesana ialah pengarang kitab yang bernama „Kitabul Umbah" yaitu Al-Hafiz Abdul Ghani Al-Makdisi. Mazhab ini tidak tersebut sebagai mazhab-mazhab yang lain, cuma di Nejid saja.

Juga terdapat sedikit dari pemeluknya di Kotter dan Bahrain.

Demikian keringkasan sejarah tersiar Mazhab Empat itu.

Lebih lanjut tentang dasar-dasar untuk menetapkan sesuatu hokum fiqh itu dibicarakan dalam suatu ilmu pula, yang disebut Usul Fiqh.

Kitab yang ternama dikarangkan orang untuk menguraikan hal ini misalnya : Ar-Risalah, karangan Imam Syafi'i (meninggal. 820 M) Al- Waraqat fi usulil fiqh, karangan Imam Al-Haramain Juwaini (meninggal. 1085).

Kanzul Wusul ila Ma'arifatil Usul, terutama masyhur dalam kalangan orang Turki, karangan Ali bin Muhammad Al-Mazdawi (meninggal. 1089).

At-Tawdhih fi hilli qhawamiah at-Tanqih, sebuah syarh atas karanganya sendiri dari Sadr Asy-Syari'ah II (meninggal. 1346), yang bernama Tanqihul Usul, diterbitkan di Kassan dalam tahun 1883, bersama syarh dari seorang ulama Syafi'i, bernama Taftazani (meninggal. 1389), Djami'ul Djawami', karangan As-Subki (meninggal. 1369) disertai uraian dari Jalaluddin Al-Mahalli (meninggal. 1459) dan dari Al-Banani (meninggal. 1784). diterbitkan di Cairo, Mirkatul wusul fi'ilmil usul, karangan Maula Khusran (meninggal. 1380) dengan sebuah syarh karangannya sendiri, bernama Mir'atul Usul.

Sudah kita katakan bahwa Ibn Hanbal ini dilahirkan di Baghdad tahun 780 M , dan meninggal dalam tahun 855 M .

Dalam memperlengkapkan Musnad-nya ia giat sekali bepergian, untuk mengumpulkan ilmu Hadis, misalnya ke Syam, Hejaz, Yaman, Kufah dan Basrah, sehingga kitab Hadisnya itu menjadi penting dan masyhur.

Lain dari pada itu yang memasyurkan Ahmad Hanbal ini ialah pribadinya yang sangat salih, dan perjuangannya sangat kuat memegang nash Qur'an dan Hadis, serta menjauhkan diri sebanyak mungkin dari pada akal atau ra'yi, sehingga banyak orang memasukkan Ahmad Ibn Hanbal ini kedalam golongan Ahli Hadis dan tidak kedalam golongan Mujtahid, misalnya oleh Ibn Nadim, yang menarik Ibn Hanbal itu segaris dengan Bukhari dan Muslim, dan oleh Ibn Abdul Bar, yang tidak mau menyebutkan nama Ibn Hanbal dalam kitabnya mengenai keutamaan Imam-Imam Fiqh, Selanjutnya juga Thabari tidak ingin memasukkan nama Ibn Hanbal kedalam kitabnya : "Ikhtilaful Fuqaha'" dan begitu juga Ibn Qutaibah tidak menyebutkan sesuatu tentang Ibn Hanbal dan Mazhabnya dalam "Kitabul Ma'arif".

Tentu tidak semuanya pendapat ini dapat kita benarkan, karena mazhab Hambali itu termasuk salah satu mazhab fiq yang berdasarkan paham Ahli Sunnah wal Jama'ah, karena merupakan suatu tunttrnan mazhab, yang lengkap, mengenai persoalan usul dan furu' hokum fiqh dalam Islam.

Meskipun Ibn Hanbal pada mulanya seorang murid dari Imam Syafi'i, tetapi pada akhirnya ia telah mempunyai konsepsi sendiri mengenai hukum fiqh.

Diantara pengikut-pengikutnya Ahmad ibn Hanbal ialah Abu Bakar bin Hani', Abul Qasim Al-Karakhi (meninggal. 334 H.) Abdul Aziz bin Ja'far (meninggal. 363 H.), Ibn Qudamah (meninggal. 620 H.), Ibn Taimiyah (661-728 H.), Ibn Qayyim (meninggal. 751 H.). Semuanya mengarang kitab fiqh menurut ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.

Dalam kitab "I'lamul Muwaqqi'ien", karangan Ibnal Qayyim (baca juga "Dhuhal Islam" tsb.), bahwa dasar-dasar pendirian mazhab Ahmad ibn .Hanbal ialah : Nash, yaitu Qur'an dan Sunnah, terutama Hadis, meskipun marfu' dengan tidak memperdulikan ucapan sahabat.

Diantara sebabnya ialah bahwa dikala ia hidup, banyak sekali ulamaulama mengadakan penetapan hukum menurut akal sendiri, dan oleh karena itu dengan tutup mata ia membersihkan hukum-hukum itu dengan kembali berpegang kepada Sunnah Nabi, Kita ketahui, bahwa Imam Ahmad hidupnya adalah dalam masa pengaruh Mu'tazilah yang dalam dan diluar pemerintahan sangat hebatnya.

Tingkat yang kedua baginya ialah fatwa-fatwa sahabat, yang dijadikannya hujjah atau dasar hukum, jika ia tidak melihat ada tantangan atau sanggahan dari sahabat-sahabat yang lain.

Pendapatpendapat sahabatpun, yang dekat kepada Qur'an dan Sunnah digunakannya, terutama untuk membuat sesuatu ijtihad sendiri, meskipun tidak lupa ia dalam fatwa-fatwanya itu menyebutkan perbedaan paham dan perbedaan pendapat dari golongan lain.

Dalam tingkat yang keempat Ahmad ibn Hanbal menggunakan juga Hadis mursal dan dhaif, dalam arti kata Hadis yang belum sampai ketingkat sahih, lebih diutamakan daripada qiyas.

Ia kelihatan menggunakan qiyas pada waktu-waktu sangat darurat, artinya dikala ia tidak mendapat sesuatu Hadis atau perkataan, sahabat.

Yang sangat penting kita peringatkan disini ialah sikapnya Ahmad ibn Hanbal dalam memberikan sesuatu fatwa dalam hukum.

Ia tidak sekali-kali mau mengeluarkan fatwa itu dalam sesuatu masalah, sebelum ia memperoleh keterangan dari mereka yang hidup dalam masa Salaf dengan memperhatikan Hadis-Hadis sekitarnya.

Disini letaknya kecintaan orang kepada Imam Ahmad, yang tidak saja mempertahankan kesucian Al-Qur'an dari pada serangan-serangan Mu'tazillah, tetapi juga dalam membersihkan Islam dengan mengembalikan dasar-dasar hukumnya kepada kehidupan yang bersih dalam masa Salaf.

Pengikut-pengikut, seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim Al-Jauziyah, penganut mazhab Ahmad Ibn Hanbal ini, menghidupkan kembali dalam abad ke-VII H. ajaran-ajaran Ahmad ibn Hanbal, yang kemudian dalam masa ke-XII H, disambung lagi dengan aktif oleh Muhammad bin Abdul Wahab, yang biasa dinamakan gerakan Wahabi, dalam abad ke-XLXH, digerakkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Syeikh Muhammad Abduh serta murid-muridnya, dengan tujuan kembali kepada dasar-dasar pendirian dan penetapan syari'at yang asli, serta menjauhkan diri dari pada bid'ah, syirik dan khurafat.

Mengenai gerakan Salaf ini akan kita bicarakan dalam sebuah kitab yang tertentu mengenai perbandingan mazhab, terdiri dari jilid ke-I : Salaf, zaman tauhid dan sosialisme yang murni dalam Islam, jilid ke-II : Kembali kepada Qur'an dan Sunnah, dan jilid ke III : Gerakan Salaf dan kebangkita ummat Islam di seluruh dunia.

III

MENGENAI IJTIHAD DAN RA'YI