sji'ah

sji'ah16%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 13991 / Download: 4185
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

I. IDJTIHAD DAN TAQLID

I

Sebelum kita bitjarakan persoalan idjtihad dan taqlid dalam mazhab Sji'ah, baik kita djelaskan duduknja persoalan ini dalam pengertian umum Islam. Idjtihad umumnja diartikan berusaha bersungguh-sungguh mengetahui duduknja sesatu perkara dan berfikir menetapkan suatu hukum dari sumber pokok fiqh Islam. Kebalikannja dinamakan taqlid jaitu menuruti pikiran seorang ulama dengan tidak mengetahui alasan sumbernja, atau sebagai jang ditetapkan oleh Amadi, jaitu beramal dengan utjapan seorang ulama dengan tidak memakai alasan jang diwadjibkan mengetahuinja.

Oleh karena hukum Islam itu adalah sjari'at ketuhanan, jang berdasarkan kepada pokok-pokok hukum jang sudah ditentukan, seperti Qur'an, Sunnah, jang hanja diterima untuk diamalkan, atau seperti idjma', qijas dan istihsan, jang kemudian dipikirkan sebagai dasar tambahan, adalah idjtihad itu suatu djalan untuk menetapkan hukum-hukum jang berkembang dalam masjarakat pergaulan manusia. Idjtihad merupakan usaha jang 'berfaedah sekali dalam sedjarah perkembangan hukum Islam. Orang jang melakukan idjtihad, mudjtahid, menetapkan sesuatu hukum dengan nas Qur'an dan Hadis, apabila ia berhasil memperolehnja, tetapi djuga menetapkan dengan pikirannja, ra'ji, apabila ia tidak mendapati nas itu. Kadang-kadang ia memperbandingkan sesuatu perkara dengan perkara jang sudah terdjadi, qijas, memilih suatu hukum jang lebih baik dan lebih tjotjok dengan masa dan tempat. istihsan, atau mendasarkan pertimbangannya kepada sesuatu kemaslahatan, muslahatul mursalah.

Semua djalan-djalan jang ditempuh ini tidak sama, dan dengan demikian hasilnjapun berlain-lainan, sehingga terdjadilah perbedaan pendapat dalam idjtihad, dan perbedaan mazhab-mazhab, terutama dalam zaman keemasan Abbasijah, dalam zaman mana sebagai jang kjta kenal lahirlah empat kuh mazhab Ahli Sunnah, jang besar sekali kemadjuannja dalam ilmu fiqh dan ilmu usul.

Perselisihan paham dan kemerdekaan berpikir serta debat-mendebat sangat menguntungkan peradaban fiqh. Tetapi sajang kemadjuan ini berachir tatkala Bagdad diserbu oleh Hulagu Khan dalam pertengahan abad ke VII H. atau abad ke XIII M., suatu penjerbuan jang kedjam dan merusak binasakan hampir seluruh kebudajaan Islam jang dibentuk berabad-abad. Mungkin untuk menutup kesempatan Hulagu Khan menggunakan ulama-ulama Islam memberi fatwa-fatwa jang merugikan Islam, mungkin djuga karena alasan lain, ulama-ulama Sunnah menjatakan pintu idjtihad itu tertutup pada waktu itu dan menganggap tjukup beramal dengan peraturan-peraturan jang telah ditetapkan oleh empat mazhab besar, jaitu Hanafi, Maliki dn Hanbali, dalam urusan ibadat dan mu'amalat.

Banjak orang menjajangkan, bahwa dengan tertutup pintu idjtihad itu, tertutup pula kemerdekaan berfikir dalam kalangan orang Islam, sehingga umat Islam itu mendjadi beku dalam segala segi kehidupannja.

Dr. Sobhi Mahmassani termasuk salah seorang jang menjalakan keketjewaannja tentang kebekuan itu. Hal ini didjelaskan pandjang lebar dalam kitabnja "Falsafatul Tasjri' fil Islam" (Beirut 1952). Ia berpendapat, bahwa keadaan inilah jang menjebabkan timbulnja banjak taqlid, banjak bid'ah jang berdasarkan atas kebodohan dan sjak wasangka dan tersiarlah churafat bikin-bikinan dari zaman kezaman, jang membuat Islam itu mendjadi mundur. Banjak orang-orang Islam jang bertaqlid kepada perkaraperkara agama dalam ibadat, jang sesudah diselidiki tidak ada hubungan sama sekali dengan fiqh.

Keadaan ini lebih merugikan, karena ahli ketimuran dari Barat, jang menjelidiki Islam pada waktu jang achir, menetapkan bahwa Islam itu dengan sjari'at-sjari'atnja sudah mundur dan tidak dapat lagi mengikuti zaman peradaban baru sekarang ini.

Kita ketahui, demikian Mahmassani lebih landjut, bahwa dalam abad ke XIX lahirlah gerakan-gerakan dalam beberapa tempat, jang berichtiar hendak memperbaiki kembali tjara berpikir dalam kehidupan Islam itu. Maka lahirlah jang dinamakan Mazhab Salaf, dan lahir pula taqlid buta itu dan mempropagandakan untuk tidak berpegang kepada salah satu mazhab tertentu, begitu djuga ia menjeru umat Islam untuk mempersatukan mazhab-mazhabnja dan kembali kepada pokok hukum sjari'at serta semangatnja jang sebenarnja, agar umat Islam madju dalam peradabannja.

Dapat kita terangkan disini, bahwa menurut pendapat umum dalam dunia Islam tidaklah idjtihad itu dibolehkan bagi sembarang orang, tetapi seorang mudjtahid jang ingin menetapkan sesuatu hukum, istinbath, atau menetapkan dalil2 bagi sesuatu kedjadian, istidlal, harus merapunjai beberapa sjarat, jaitu tjerdas, berakal, adil, bersifat dengan sifat-sifat dan achlak jang baik, alim dalam hukum dengan mengetahui alasan-alasan sjara', mengetahui benar tentang bahasa (Arab), ahli dalam tafsir Qur'an.

mengetahui sebab-sebab turunnja ajat Qur'an, mengetahui sedjarah perawi-perawi, baik dan buruk sifat mereka dan djalan hadis, mengetahui ajat-ajat jang nasich dan mansuch, sebagaimana jang pernah dibitjarakan oleh Asj-Sjathibi dalam kitabnja "Al-Muwaraqai", IV: 106.

Sjarat-sjarat jang dikemukakan itu terutama bagi orang jang dinamakan mudjtahid mutlak, jang ingin beridjtihad dalam seluruh masalah fiqh, tidak diwadjibkan bagi mudjtahid matjam lain. Mudjtahid jang hendak menetapkan sesuatu hukum mengenai sebuah masalah agama, tjukup baginja sebagai sjarat alim dalam pokok-pokok hukum fiqh jang empat itu dan mengetahui sungguhsungguh akan perkara jang dihadapinja.

Mudjtahid mutlak atau jang dinamakan djuga mudjtahid dalam hukum sjara', adalah orang jang istimewa keahliannja dalam sesuatu mazhab atau djalan tertentu, seperti imam-imam mazhab empat Abu Hanifah, Malik Sjafi'i dan Ahmad ibn Hanbal, atau seperti imam-imama mazhab lain, seperti Auza'i, Daud Dhahiri, Thabari, Imam Dja'far As-Shadiq, dll.

Mudjtahid mazhab adalah mudjtahid jang tidak mentjiptakan suatu mazhab sendiri, tetapi ia dalam mazhabnja menjalani imam jang diikutinja dalam idjtihadnja mengenai beberapa perkara pokok atau tjabang hukum Islam. Sebagai tjontoh kita sebutkan Abu Jusuf dan Muhammad bin Hasan dalam mazhab Hanafi, dan Mazani dalam mazhab Sjafi'i, jang keputusan-keputusan idjtihadnja tidak selalu sedjalan dengan tjara berpikir imam-imamnja.

Mudjtahid fatwa ialah seorang jang beridjtihad dalam sesuatu masalah, jang tidak merupakan atau mengenai pokok-pokok umum bagi sesuatu mazhab. Misalnja Thahawi dan Sarchasi dalam mazhab Hanafi, Imam Ghazali dalam mazhab Sjafi'i, mereka atjapkali beridjtihad dan menetapkan hukum sesuatu masalah jang tidak menjalani pokok-pokok asal daripada mazhab jang dianutnja.

Mudjtahid muqajjîd dikatakan orang jang mengikatkan sesuatu penetapan hukum dengan tjara berpikir Salaf dan mengikuti idjtihad mereka, kemudian menjatakan hukum ini untuk diamalkan. Dengan sendirinja mudjtahid ini keluar daripada tjara berpikir mazhab jang ada, dan oleh karena itu mereka dimasukkan kedalam golongan jang dinamakan Ashab Tachridj, dan mereka sanggup mengatasi pendapat-pendapat mazhab-mazhab jang sudah diakui kekuasaannja, mengistimewakan paham-paham salaf, mendjelaskan perbedaan riwajat jang kuat dan jang dhaif, riwajat jang umum dan riwajat jang djarang tersua, dan dengan demikian mentjiptakan suatu hukum baru dalam sesuatu persoalan. Sebagai tjontoh kita sebutkan Al-Karachi dan Al-Quduri dalam mazhab Hanafi, jang dalam pendirian sesuatu masalah ia berpisah sama sekali dengan imam mazhabnja. lalu berpegang kepada tjara-tjara berpikir orang Salaf.

I. IDJTIHAD DAN TAQLID

II

Daم am Qur'an, Sunnah dan Idjma' sahabat, begitu djuga pendapat imam mazhab empat, terdapat banjak keterangan-keterangan, jang menundjukkan bahwa idjtihad itu untuk orang-orang jang memenuhi sjarat mudjtahid wadjib hukumnja, dan tak boleh ditinggalkan. Demikian pendapat umum dalam dunia Islam.

Jang didjadikan alasan untuk mewadjibkan itu diantara lain ialah ajat Qur'an. jang bunjinja : "Gunakanlah pikiranmu, wahai orang jang mempunjai akal" (Al-Hasjar, 59), dan aat Qur'an jang berbunji : "Djika engkau berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasulnja" (AnNisa', 59). Dalam Sunnah terdapat keterangan jang lebih njata. diantara lain sabda Nabi : "Beridjtihadlah kamu, segala sesuatu jang didjadikan Tuhan mudah adanja" (Amadi, Al-Ahkam, III : 170), sabdanja : "Apabila seorang hakim hendak mendjatuhkan suatu hukum dan ia beridjtihad, kemudian ternjata hukumnja itu benar, maka ia beroleh dua pahala, dan apabila ternjata bahwa hukumnja itu salah, maka ia mendapat suatu pahala" (BuchariMuslim). Dan banjak lagi hadis-hadis jang lain, jang menjuruh menuntut ilmu, jang menerangkan, bahwa ulama itu amanat Rasul, pelita bumi, pengganti nabi-nabi atau ahli waris nabi-nabi, jang semuanja mengandjurkan berfikir, mentjari ilmu dan beridjtihad.

Chalifah Abu Bakar pernah melakukan idjtihad mengenai perkara warisan kalalah dan Chalifah Umar bin Chattab pun banjak kali beridjtihad, sambil berkata : "Umar tidak tahu, apakah ia mentjapai kebenaran atau tidak, tetapi ia tidak mau meninggalkan idjtihad" (Amdi dan Imam Al-Ghazali).

Menurut Ibn Qajjim Abu Hanifah dan Abu Jusuf pernah berkata : "Tidak diperkenankan bagi seseorang berkata menggunakan perkataan kami. hingga ia tahu dari sumber mana kami berkata itu." Mu'in bin Isa pernah mendengar Imam Malik berkata : 'Aku ini hanja seorang manusia, dapat berbuat salah dan dan dapat djuga berbuat jang benar. Lihatlah kepada pendapatku. djika ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, gunakanlah pendapat itu, tetapi djika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalkanlah pendapat itu." Imam Sjafi'i pernah berkata : "Meskipun aku sudah mengatakan pikiranku, tetapi djika engkau dapati Nabi berkata berlainan dengan kataku itu, maka jang benar adalah utjapan Nabi, dan djanganlah engkau bertaqlid kepadaku. Apabila ada sebuah Hadis jang menjalani perkataanku dan Hadis itu shah, ikutilah Hadis :tu, ketahuilah, bahwa itulah mazhab ku." Djuga Imam Ahmad bin Hambal, seorang Imam jang terkenal kuat memegang Sunnah dan sedapat mungkin menghindarkan dirinja dari menggunakan pikiran, berkata kepada muridnja : "Djangan kamu bertaqlid kepadaku, djangan kepada Malik, djangan kepada Sjafi'i dan djangan pula kepada Sauri, ambillah sesuatu dari sumber tempat mereka menqambil pikiran itu."

Dari semua uraian diatas ternjata, bahwa taqlid buta, taqlidul a'ma dalam agama dilarang, dan bahwa beridjtihad itu wadjib hukumnja bagi orang alim jang berkuasa. Uraian itu menundjukkan djuga, bahwa seorng mudjtahid mungkin mengalami sa'ah dan benar. Mereka berfikir setjara merdeka. Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah, jang berkata bahwa tiap-tiap mudjtahid jang menggunakan akalnja pasti benar, dengan demikian aliran ini seakan-akan memaksa seseorang manusia apa jang tidak sanggup diperbuatnja. Tentu hal ini tidak diperkenankan pada siara', dengan alasan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tuhan Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sekuasanja" (AlBaqarah, 286).

Disamping wadjib beridjtihad dan haram taqlid ada satu perkara jang harus diperhatikan, jaitu bahwa seorang mudjtahid atau qadi tidak terikat kepada keputusn idjihadnja dimasa jang telah lampau, apabila keputusan ternjata kurang benar. Dalam hal ini Umar ibn Chattab pernah memperingatkan dalam suratnja kepada Abu Musa Al-Asj'ari sbb. : "Tidak ada sesuatu jang dapat mentjegahkan engkau memeriksa kembali keputusan idjtihadmu dalam sesuatu hukum. Mudah-mudahan engkau beroleh petundjuk dan engkau pulang kepada jang hak. karena hak itu asli (qadim), tidak dapat dibathalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada jang hak lebih baik dari pada berpegang kepada jang bathil" (Mawardi, Al-Ahkamus Sulthanijah, dll.).

Mengenai taqlid pendapat umum mengatakan, bahwa menuruti pendapat orang lain dengan tidak mengetahui hudjdjah jang diwadjibkan. tidak diperkenankan bagi orang jang berkuasa beridjtihad. Taqlid hanja dibolehkan kepada orang jang tidak sanggup beridjtihad, jaitu orang awam. orang jang belum mengetahui apa-apa, murid jang belum dapat beridjtihad. Bagi mereka berlaku hukum : fatwa untuk orang djahil sama kekuatannja dengan idjtihad bagi mudjtahid, atau fatwa mudjtahid untuk orang awam sama dengan dalil sjara' bagi orang mudjtahid. Demikian tersebut dalam kitab Al-Djami' dan Al-Muwafaqat.

Pendapat ini masuk diakal, karena hidup bermasjarakat sosia dan ekonomi sekarang ini sibuk dengan urusan-urusan tersendiri, sehingga tidak setiap orang dapat membuat dirinja ahli dalam hukum fiqh dan usul. Orang jang sematjam itu dibolehkan mengikuti perkataan mudjtahid, sesuai dengan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tanjaiah kepada orang alim djika kamu sendiri tidak mengetahui !" (An-Nahal, 43).

Demikianlah perkembangan tjara berfikir dalam dunia ulama Ahli Sunnah. Sekarang mari kita tindjau pendirian golongan Sji'ah, jang sebagaimana dapat dilihat hampir tidak berbeda dengan itu, ketjuali mengenai idjtihad, jang oleh Sji'ah dianggap tetap terbuka selama-lamanja. Pendirian inipun sesuai dengan pendirian sebahagian ulama Ahlus Sunnah.

Tentang mengubah sesuatu idjtihad, sebagaimana pendapat Umar bin Chattab, tidak sadja terdjadi dalam golongan Sji'ah, tetapi djuga dalam golongan Ahli Sunnah. Ingat akan mazhab Sjafi'i, jang mempunjai dua aliran berfikir, jang biasa dikenal dengan Qaul Qadim masa Baghdad, dan Qaul Djadid masa Mesir.

Dr. Mahmassani mengatakan, bahwa kemerdekaan idjtihad dalam mazhab Sji'ah Isna Asjar Imamijah lebih luas dari Ahli Sunnah. Pada mereka pintu idjtihad itu selamanja terbuka sampai zaman sekarang ini. Mereka melekatkan penghargaannja kepada idjtihad lebih tinggi dari Idjma' dan Qijas. Imam pada mereka berkedudukan sebagai kepala mudjtahid, sajjidul mudjtahidin, tempat mereka memperoleh ilmu pengetahuan agama. Imam itu dianggap ma'sum dari pada segala kesalahan; berlainan sekali dengan kedudukan seorang chalifah dalam kalangan Ahli Sunnah (Falsafat dst., hal. 141).

Tentu sadja Imam itu boleh beridjtihad dalam hukum-hukum furu' dan bukan dalam sesuatu jang bertentangan dengan Qur'an dan Sunnah.

Menurut Sji'ah tiap-tiap orang Islam jang mukallaf diwadjibkan mengerdjakan segala hukum Islam jang dipikulkan kepadanja dengan jakin, dan jakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah stftu djalan idjtihad, taqlid dan ihtijath. Pengertian ketiga matjam djalan ini didjelas-kan dalam kiab-kitab Sji'ah sebagai berikut.

Idjtihad jaitu menetapkan hukum sjara' dengan pendapatnja jang sudah ditetapkan. Taqlid jaitu berpegang kepada fatwa seorang mudjtahid dalam mengerdjakan segala amal ibadat. Ihtijath jaitu beramal dengan suatu tjara jang jakin dari kebiasaan jang belum diketahui sungguh-sungguh duduk perkara jang sebenarnja.

Bagi orang-orang Sji'ah beridjtihad itu wadjib kifajah dan apabila ada segolongan manusia mengerdjakan pekerdjaan ini, terbebaslah manusia jang lain dari pada kewadjiban itu, tetapi apabila tidak ada jang sanggup melakukan idjtihad itu, maka seluruh masjarakat Islam berdosa kepada Tuhan. Orang jang sanggup melakukan idjtihad dinamakan mudjtahid. Mudjtahid itu ada dua matjam, pertama mudjtahid mutlak dan kedua mudjtahid muttadjiz. Jang dinamakan mudjtahid mutlak ialah orang Islam jang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh, sedang mudjtahid muttadjiz ialah orang jang berkuasa menetapkan sesuatu hukum sjara' dalam beberapa hukum furu' fiqih. Seorang mudjtahid mutlak diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja. Ia boleh djuga beramal setjara ihtijath. Mudjtahid muttadjiz djuga diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja djika ia mungkin dalam mentjiptakan hukum furu'. Tetapi djika ia tidak mungkin, maka ia dihukum bukan mudjtahid, dan boleh ia memilih salah satu djalan antara taqlid dan beramal dengan ihtijath.

Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah menuruti tjara berfikir seseorang mudjtahid karena tidak sanggup beridjtihad sendiri. Amal seorang awam jang tidak didasarkan kepada taqlid atau ihtijath dianggap bathal. Orang, jang bertaqlid dinamakan muqallid dan terbahagi atas dua bahagian, pertama awam sematamata, jaitu seseorang jang tidak mengenal sama sekali hukum sjara'. Kedua muqallid berilmu, jaitu seseorang jang mempunjai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnja, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan idjtihad.

Dalam bertaqlid disjaratkan dua perkara sebagai berikut : pertama amalnja sesuai dengan fatwa mudjtahid jang diikutinja dalam bertaqlid, kedua benar kasad ibadatnja untuk berbakti kepada Tuhan dengan setjara jang diputuskan mudjtahid itu.

Seorang muqallid dapat mentjapai fatwa mudjtahid jang diikutinja dengan salah satu dari pada tiga djalan : pertama ia mendengar langsung hukum sesuatu masalah pada mudjtahid itu sendiri, kedua bahwa ada dua orang jang adil dan dapat dipertjajai menjampaikan fatwa mudjtahid itu kepadanja, boleh djuga hanja oleh seorang sadja ang dipertjajainja sungguh-sungguh dan dapat menteramkan kejakinannja, ketiga ia membatja sebaran tertulis, dimana diuraikan fatwa mudjtahid itu dan keputusan itu hendaknja dapat menenteramkan djiwanja tentang sahnja dan benarnja penetapan hukum tersebut.

Apabila seorang mudjtahid mati, sedang muqallid tidak mengetahuinja melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal muqallid jang sesuai dengan mudjtahid jang wafat itu sah dalam taqlidnja. Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara jang berlainan, asal iang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan jng dapat diampuni dalam agama karena uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali mengutjapkan tasbih, jang fatwanja berbeda antara mudjtahid pertama jang sudah mati dengan mudjtahid jang dibelakangnja. jang berlaku fatwanja dalam masa itu. Djadi berlainan djumlah kali tasbih karena berlainan fatwa mudjtahid tidak merusakkan sahnja sembahjang seorang muqallid dalam mazhab Sji'ah.

Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mudjtahid jang lebih alim dari jang lain. Djika ia mendengar utjapan dua jang berlainan dari dua orang mudjtahid, dan orang tundjukkan kepadanja, bahwa mudjtahid jang seorang itu lebih alim dari jang lain, maka muqallid itu harus mengikuti mudjtahid jang alim itu. Seorang anak boleh bertaqlid, dan apabila mudjtahid jang diikutinja, itu mati sebelum sampai umurnja, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanja dengan tidak usah memilih mudjtahid jang lebih alim.

Orang-orang jang dibolehkan bertaqlid kepadanja, harus mempunjai sjarat-sjarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh, berakal, seorang laki-laki, seorang jang teguh imannja (dalam hal ini dimaksudkan Sji'ah penganut-penganut mazhab isna Asjarijah), adil. bersih keturunannja. ahli agama, mempunjai kekuatan ihtijath dan masih hidup. Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnja kepada mudjtahid jang sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnja adalah seorang mudjtahid jang lebih adil dari jang lain.

Dalam memilih mudjtahid jang lebih alim ditentukan dua buah sjarat. Djika ada seorang mudjtahid mengadjarkan perselisihan pendapat dalam fatwanja, baik setjara garis besar atau setjara perintjian. seorang muqallid wadjib memilih mudjtahid jang lebih alim.

Djika seorang mudjtahid dalam memberikan fatwa tidak mengadjarkan perselisihan faham sama sekali, kepadanja dibolehkan taqlid dengan tidak usah mentjahari orang lain jang lebih alim. Djika seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang mudjtahid jang sanggup memberikan fatwa itu kepadanja, meskipun ada disampingnja mudjtahid lain jang lebih alim.

Ihtijath artinja boleh mengerdjakan, boleh meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu amal jang tidak diketahui tjaranja tetapi dijakini dapat melepaskannja dari suatu perintah agama. Jang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum jang diragu-ragui antara wadjib dan tidak haram, mazhab Sji'ah dalam keadaan jang demikian memerintahkan mengerdjakannja. Mengenai matjam kedua, djika diragu-ragui antara perintah dan tidak wadjib, ihtijath dalam hal ini menghendaki agar pekerdjaan jang demikian itu ditinggalkan dan djangan dikerdjakan. Dalam perkara jang ketiga misalnja mengenai suatu hukum jang diragu-ragui wadjibnja mengenai dua matjam ibadat, seperti pertanjaan, apakah sem bahjang jang dilakukannja harus lengkap atau dipendekkan dalam bentuk qasar, maka ihtijath dalam keadaan begini diulang dua kali, sekali setjara qasar dan sekali setjara tamam atau lengkap.

Mungkin terdjadi seorang awam tidak pernah dapat membedakan tjara ihtijath sematjam itu, misalnja karena ahli fiqh berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal dalam menghilangkan hadas besar. Ihtijath dalam keadaan seperti ini ialah meninggalkan seluruh matjam itu. Djika orang awam itu mempunjai air jang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannja ihtijath, jaitu berwudhu' atau mandi dengan air itu. Boleh djuga ia tajammum djika ia mungkin melakukan pekerdjaan ini.

Demikianlah beberapa tjontoh jang kita ambil dari kitab Sji'ah sendiri, jaitu kitab "Al-Masa'il al-Muntachabah" (Nedjef, 1382 H), karangan seorang ulama Sji'ah terkenal Sajjid Abui Qasim Al-Chu'i.

2. SJIAH DAN ILMU PENGETAHUAN

Dalam segala bidang ilmu pengetahuan terdapat orang-orang Sji'ah sebagai pudjangga-pudjangga jang terkemuka. Dalam bidang ilmu mantik dan logika, dalam bidang ilmu filsafat, dalam bidang ilmu djiwa dan pendidikan, dalam bidang ilmu pasti dan segala pengetahuan jang bertali dengan perhitungan, kita dapati karangan-karangan penting, jang kadang berdjilid-djilid tebalnja sebagai buah tangan pudjangga-pudjangga Sji'ah. Bahkan dalam beberapa bidang ilmu tidak sadja mereka sebagai tokoh-tokoh penting dan pengarang, tetapi pentjipta, pembentuk dan peletak dasar-dasar dalam bahasa Arab, jang dengan demikian memperkaja perpustakaan, jang berfaedah sekali untuk kemadjuan Islam dalam menghadapi dunia luar.

Kita membangga-banggakan Farabi sebagai ahli filsafat Islam jang pertama, jang disebut orang meletakkan dasar-dasar kejakinan Islam dalam filsafat dan jang disandjung-sandjungkan orang sebagai mahaguru kedua, sesudah Aristoteles. Farabi jang besar ini tidak lain dari Abu Nassar Muhammad bin Ahmad AlFarabi. seorang penganut aliran Sjiah.

Siapa Ibn Maskawaih, jang mengarang ilmu mantik, ilmu achlak dan ilmu filsafat, serta karangan-karangan jang lain jang banjak dipeladjari oleh Al-Ghazali ? Tidak lain dari seorang Sji'ah. Dengan demikian kita dapati tokoh-tokoh Sji'ah ini dalam ilmu pasti, seperti Qudamah bin Dja'far, jang meletakkan djuga dasardasar ilmu berhitung dan ilmu jang mempergunakan angka-angka pelik. Ibn Sina, seorang Sji'ah Ismailijah, jang terkenal dalam ilmu filsafat Islam sebagai mahaguru ketiga, dan dalam ilmu ketabiban. ilmu djiwa, dan ilmu hukum Islam dan perbandingan hukum Islam, seperti kitabnja Bidajatu) Mudjtahid, iang belum dapat diganti orang karena padat dan lengkap sampai sekarang ini.

Djika kita mentjari dalam bidang sedjarah dan ilmu perkembancian aoama-agama tak dapat tidak kita akan bertemu dengan kitab-kitab jang terpenting, buah tangan Nasiruddin Muhammad At-Thusi.

Demikianlah dapat kita sebutkan sebagai tokoh-tokoh terkemuka dari Sii'ah itu. Hasan bin Daud Al-Hilli, ahli dalam mantia. Hasan bin Jusuf. Al-Hilli, ahli pengetahuan alam dan tasawuf, Muhammad Ar-Razi dalam logika, ahli dalam hukum Islam. Dialaluddin Ad-Duwani, tokoh jang terkemuka dalam pengupasan mantik, Daud bin Umar Al-An Ahaki, ahli filsafat dan ilmu djiwa, Bahruddin Al-Amilli, ahli ilmu pasti, ilmu falak, ilmu berhitung, sebagaimana masjhur djuga kemudian seorang muridnja Sjaich Djawad Al-Kazimi. Semuanja meninggalkan karangan-karangannja jang penting.

Pada achirnja dapat kita sebutkan sebagai pudjangga-pudjangga Sji'ah adalah Ni'matullah Al-Djazai'ri Sadrudin Asj-Sjirazi, Mulahaddi As-Sibzawari, Sjaich Hadi Al-Bagdadi, Anibathi, Isaghudji, dan lain-lain, semuanja adalah djago-djago dan pengarangpengarang Sji'ah dalam mantik, filsafat, ilmu djiwa, ilmu pasti, ilmu hukum dan ilmu alam.

Terutama dalam ilmu bintang dan ilmu falak sangat banjak terdapat pengarang-pengarang Sji'ah Imamijah seperti An-Nubachti, Al-Barqi, Al-Masudi, Al-Djakedi, Asj-Sjamsjathi, An-Nadjasi; dan banjak sekali djika kita sebut seorang-seorang. Ibn Thaus mengarang chusus sebuah kitab jang menjebutkan berpuluh dan beratus orang ulama Sji'ah sebagai ahli ilmu bintang.

Bahkan dalam ilmu-ilmu jang ketjil-ketjilpun kita dapati pengarang-pengarang terkemuka, jang djarang diketahui orang, bahwa mereka itu penganut Sji'ah seperti jang dikemukakan namanja dalam kitab Fahrasat Ibn Nadim dalam bidang ilmu ta'bir mimpi, diantaranja Al-Barqi, An-Nadjasi, Al-Ijasi, Al-Kulaini dan lain-lain.

Lebih penting dari itu kita ingin mengemukakan beberapa nama dalam bidang ilmu kedokteran, jang telah dimulai oleh salah seorang Imam dua belas, jaitu Imam Ali bin Musa Ar-Ridha. Selandjutnja Ibn Fudhal, Al-Qummi, dengan sebuah kitab besar mengenai ilmu kedokteran. Selandjutnja Al-Tha'i, Al-Barqi, AlIjasi, Ibn Sina, jang sudah kita sebutkan diatas An-Nafisi, AlAsbahani tabib An-Nadjadi dan keluarganja, Al-Miraz, Karmana Sjahi, jang mengarang kitab penjakit anak-anak, sudah diterdjemahkan beberapa kali dalam bahasa Perantjis.

Mengenai ilmu bahasa dan sastra Arab, pudjangga-pudjangga Sji'ah telah mentjapai puntjaknja. Darah Ali bin Abi Thalib. jang tidak dapat disangkal adalah seorang pudjangga dan penjair kebanggaan Islam, jang nada iramanja masih tersimpan sampai sekarang dalam beberapa djilid kitab Nahdjul Balaghah, mengalir kepada penganut-penganut Sji'ah. Orang jang mula2 meletakkan ilmu Nahu adalah Abui Aswad Ad-Du'ali, salah seorang tabi'in iang terpenting, adalah seorang jang memihak kepada Ali bin Abi Thalib. dan jang banjak 'mengambil ilmu sadjak dan Sjair Arab dari chalifah keempat ini. Pengakuan, bahwa jang mula-mula menjusun ilmu Nahu itu Abdulrahman bin Harmuz atau Nasar bin Asim, sebagaimana tertjatat dalam kitab Ibn Nadim, tidak benar semua orang itu mengambil dari Abui Aswad Ad-Du'ali.

Jang mula-mula menjiarkan ilmu Nahu di Basrah dan Kufah pun ulama Sji'ah. Di Basrah terdapat Chalil bim Ahmad Al-Farahidi seorang jang ahli tentang ilmu alat itu, ia mendjadi guru dari Sibawaihi, seorang pudjangga dalam ilmu Nahu jang tak ada bandingannja. Dalam pada itu di Kufah terdapat Abu Dja'far Muhammad bin Hasan Ar-Ru'asi, anak paman Muaz bin Salim bin Abi Sarah, termasuk keluarga ahli bait Nabi. Sedang pudjangga jang kedua di Kufah disebut Al-Kasa'i, jang ahli dalam ilmu ke-Araban, berguru kepada Ar-Ru'asi. Dalam ilmu saraf djuga kehormatan kembali kepada Sji'ah. Bukankah peletak batu pertama dalam ilmu ini Al-Harra'?. Meskipun kehormatan ini diberikan kepada Al-Mazani dan As-Sajuti, atau kepada jang lain, seperti Ibn Duraid, Ibn Chaluwaihi, An-Nadjah, Al-Alwi, AlHuseini, Al-Asrabadi, Al-Amili, semuanja adalah pengarangpengarang Sji'ah.

Demikianlah kita batja, bahwa jang mula-mula memperbuat dan menjusun ilmu balaghah ialah Al-Marzabani Al-Churasani di Baghdad, djuga ulama Sji'ah, jang kemudian disusul oleh AlDjurdjani dalam ilmu ma'ani dan bajan, sebagaimana djuga peletak batu pertama untuk ilmu badi', jaitu penjair Ibrahim bin Ali bin Harmah. Saja tidak ingin menjebutkan semua nama-nama penjair jang terkemuka sedjak zaman Nabi, sebagaimana telah) didaftarkan oleh Sajjid Muhsin Al-Amin, dalam bukunja "A'jamisj Sji'ah" Beirut, 1960, jang memakan berpuluh-puluh halaman kitabnja, sampai kepada Hamzah paman Nabi, karena kita jang bukan Sji'ahpun menganggap semua mereka adalah penjair-penjair jang ulung dalam Islam. Siapa jang tidak mau mengaku penjair Ali bin Abi Thalib, Fatimah Zuhra', Fadhal bin Abbas, Rabi'ah bin Haris, Abbas bin Abdul Muthalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Abdullah bin Abi Sufjan, Abdullah bin Abbas, Ummu Hakim, Al-Dju'di Abui Haisam, Qais bin Sa'ad bin Ubbadah, dan sebagainja, semuanja adalah penjair-penjair jang ulung pada hari-hari pertama Islam, bukan hanja kepunjaan Sji'ah, tapi kepunjaan Islam umumnja.

Lebih penting saja akui, bahwa ulama-ulama Sji'ah dan pudjangganja memang telah djflja dalam menjusun ilmu dan kitabkitab Hadis tersendiri, ilmu dan kitab-kitab fiqh tersendiri, ilmu dan kitab-kitab tafsir tersendiri, kitab-kitab besar dan penting, jang tidak kalah mutunja dengan karangan-karangan Ahli Sunnah. Tetapi persoalan ini tidak saja masukkan kedalam pasal ini, tetapi saja bitjarakan pada waktu memperkatakan Sji'ah dan Tafsir, Sji'ah dan Hadis, Sji'ah dan Fiqh.

3. SJI'AH DAN RATIONALISME.

Dalam bahagian ini akan. kita singgung suatu sifat Sji'ah jang penting, jaitu penggunaan akal atau rationalisme dalam menetapkan sesuatu hukum. Dalam hal ini kadang-kadang mereka sedjalan tjara berfikir dengan Mazhab Az-Zahiri atau Mu'tazilah.

Sementara Ahli Sunnah berpegang kepada empat pokok hukum, adillatul ahkam atau usul fiqh, jaitu Qur'an, Sunnah, Idjma' dan Qijas, Sji'ah hanja mengakui Qur'an dan Sunnah sebagai pokok hukum Islam jang tidak dapat diganggu gugat lagi. Mereka mengakui, bahwa Qur'an sudah lengkap segala-galanja dan Sunnah menambah menjempurnakannja, sehingga kedua-duanja merupakan sumber Islam dalam masa Nabi jang harus dilaksanakan oleh semua orang Islam. Orang-orang Islam berpedoman kepada kedua sumber ini, baik dalam ibadat maupun dalam perkara jang lain. Nabi mengirimkan ketempat-tempat jang baharu menganut Islam orang-orang jang akan mengadjarkan hukum sebagaimana jang tersebut dalam Qur'an, ditambah dgn. ilmu jang mereka ketahui dari utjapan dan fatwa Nabi. Atjapkali djuga Nabi mengirimkan surat-surat jang berisi sebahagian dari pada hukum Islam kenegara-negara, daerah-daerah dan penduduk-penduk suatu tempat, radja-radja. penguasa dan orang-orang jang tertentu. Ia pernah mengirimkan surat ke Jaman dan Hamdan mengenai hukum zakat, sedekah dan beberapa hal mengenai nikah dan perkawinan (Al-Husaini, „Tarich Fiqh Al-Dja'fari". hal. 181-182).

Sesudah wafat Nabi terdjadi banjak perkara jang tidak tersua dalam masa hidupnja. terutama karena bertambah luasnja daerah Islam. Kebutuhan kepada hukum bertambah besar, dan oleh karena orang Islam tidak sanggup mengeluarkan hukum itu dari Qur'an dan Sunnah, mereka lari kepada dua sumber lain. jaitu Idjma' dan Qijas. Ibn Chaldun menerangkan dalam "Muqaddimah"nja, bahwa Idima' dan Qijas ini sudah terdapat dalam masa Sahabat.

Tjara menghasilkan Idjma' ini ialah, bahwa Chalifah bermusjawarat dengan sebahagian orang Islam mengenai sesuatu masalah hukum, mereka menjatakan pikirannja, dan kemudian chalifah menetapkan sesuatu fatwa, janq dinamakan Idjma'. Lih. "Tarich Tasjri' al-Islami", karangan Chudhari, hal. 115. Disana disebut, bahwa kadang-kadang orang-orang jang berkumpul itu dalam mengambil keputusan Idjma' tidak meniebut nas dari Qur'an dan Hadis. Dalam sebuah surat Umar ibn Chattab kepada Qadi Sjuraih tersebut susuatu mengenai Idjma' sebagai pokok hukum sesudah Qur'an dan Sunnah. Amir Asj-Sju'bi mentjeriterakan, bahwa Umar mengirim surat kepada Qadi itu, jang bunjinja : "Apabila engkau menghadapi sesuatu perkara, hukumlah dengan Qur'an, tetapi djika tidak terdapat sesuatu dalam Qur'an, djuga tidak dalam Sunnah Nabi dan tidak ada pembijaraan seseorang mengenai itu, djika engkau suka, gunakanlah pikiranmu sendiri."

Idjma' jang disebut oleh Chudhari dan Ibn Chaldun itu sudah menimbulkan pembitjaraan jang hebat antara Malik dan pengikutnja dengan Al-Lais bin Sa'ad, ahli fiqh Mesir, dan pengikutnja. Malik berpendapat, bahwa Idjma' jang didjadikan pokok hukum itu ialah Idjma' orang Madinah, sedang pihak jang lain berpendirian boleh djuga idjma' orang lain Madinah, asal tidak bertentangan dengan ajat Qur'an, diantaranja Surat An-Nisa' IH dan Surat Al-Baqarah 143. Mereka jang berpegang kepada Idjma' sebagai pokok hukum, mendasarkan djuga pendiriannja kepada utjapan Nabi jang diriwajatkan oleh Ibn Mas'ud, bunjinja : "Ada tiga perkara jang tidak dapat membelenggu hati umat Islam, jaitu ichlas amalnja bagi Allah, memberi nasihat kepada semua orang Islam, dan selalu hidup dalam djama'ah." Begitu djuga kepada utjapan Umar bin Chattab dikala ia berchutbah : "Mereka jang berhasrat sorga, selalu bersatu padu dalam djama'ah, sjetan dekat kepada perseorangan dan djauh kepada orang jang ingin tetap bersama teman-temannja." Ahli Sunnah mendasarkan pendiriannja kepada Hadis: "Ummatku tidak akan seia sekata dalam kesesatan, dan tangan Tuhan bersama djama'ah."

Berdasarkan kepada alasan ini Malik menetapkan, bahwa Idjma' jang wadjib diturut ialah Idjma' Ahli Madinah, karena Madinah itu adalah tempat Hidjrah Nabi, tempat turun wahju, tempat Islam sudah kokoh dan merupakan negara, dimana garis2 Sjari'at sudah mendjadi satu, dimana berkumpul sahabat2 Muhadjirin dan Ansar dalam masa jang lama, jang mengetahui sebab-sebab turun wahju dan mengamalkannja. Penduduk Madinah itu terdiri dari orang-orang jang mengenal sungguh-sungguh akan Nabi dan akan tjara ia mendjatuhkan hukum agama, dan dengan demikian mereka ahli dalam agama dan pokok-pokoknja.

Sedjarah pokok hukum jang keempat jaitu Qijas atau jang atjapkali dinamakan djuga Ra'ji, adalah sebagai berikut. Menurut Chudhari jang mula-mula menggunakannja ialah Umar bin Chattab. Sahabat-sahabat jang menghadapi perkara jang tak ada penyelesaian dalam Qur'an dan Sunnah, achirnja lari kepada Qijas. Diantara keterangannja, bahwa Umar pernah menulis surat "kepada Abu Musa Al-Asj'ari : "Peladjari perkara-perkara dan tjontoh- tjontoh, kemudian qijaskan atau perbandingkan perkara itu antara satu sama lain". Barangkali hal inilah jang menjebabkan Ibn Chaldun berkata, bahwa Idjma' dan Qijas sudah terdapat dalam masa Sahabat, dan kemudian pokok hukum fiqh itu mendjadi empat, jaitu Qur'an, Sunnah, Idjma' dan Qijas.

Dr. Muhammad Jusuf dalam kitabnja "Tarichul Fiqhil Islami" (hal. 242) mengemukakan pendapat Imam Abu Bakar AsSarchasi, bahwa mazhab Sahabat, kemudian diikuti oleh Tabi'in, membolehkan Qijas untuk beroleh penetapan hukum Sjara'. Bahkan Dr. Muhammad Jusuf tsb. berpendapat lebih tjondong, bahwa Nabi Muhammad sendiri-lah jang mula-mula meletakkan dasar Qijas, jaitu tatkala ia mengirimkan Mu'az memimpin peradilan di Jaman. Konon Nabi bertanja : "Bagaimana pendapatmu, djika kepadamu dihadapkan perselisihan antara dua orang ?" Djawab Mu'az : "Aku akan mengadilinja menurut Kitab Allah." Nabi bertanja pula : "Djika tidak terdapat dalam Kitab Allah ?" Djawab Mu'az : "Aku tjahari dalam Sunnah." Nabi kemudian bertanja lagi : "Djika tidak ada dalam Sunnah ?" Kata Mu'az : "Aku beridjtihad dengan pikiranku." Nabi menepuk dada Mu'az dengan tangannja, seraja mengutjapkan : "Segala pudji bagi Tuhan, jang telah membuat sepakat antara Rasul dan pesuruhnja sebagaimana jang disukai oleh Rasul itu."

Ibn Qajjim menerangkan dalam kitabnja 'Tlamul Muwaqqi'in", bahwa Muharriz Al-Mudladji sudah menggunakan Qijas dalam masa Nabi dan menghukumkan dengan djalan Qijas, bahwa Usamah benar anak Zaid bin Harisah. Djuga diterangkan, bahwa dalam Qur'an banjak terdapat hukum jang dihadapkan kepada laki-laki, tetapi dapat diqijaskan untuk perempuan, misalnja mengenai tuduhan zina terhadap djanda dsb. Begitu djuga, djika Qur'an tidak membolehkan utjapan "oh !" kepada orang tua, apalagi "tjis" atau „bedebah", djika darah babi sadja tidak dibolehkan, apalagi gemuknja dan dagingnja, dsb.

Bagaimanakah pendirian Sji'ah terhadap Idjma' dan Qijas jang diterima oleh Ahli Sunnah sebagai dua pokok hukum sesudah Qur'an dan Sunnah itu ?

Sji'ah sepakat menerima Qur'an dan Sunnah sebagai pokok dasar hukum-hukum agama atau fiqh. Dari zaman Nabi sampai sekarang ini Qur'an itu diterima sebagai sumber pertama untuk penetapan hukum, karena peraturan-peraturan jang ada dalam Qur'an itu dianggap sudah lengkap mengenai ibadat, mu'amalat, perorangan, pidana dan perdata jang tidak kurang dari lima ratus ajat, semuanja dapat mengisi hukum fiqh. Al-Djazairi dan Al-Miqdadi telah menielidiki hal ini dan mengarana sebuah buku bernama "Kanaul Irfan fi Fiqhil Qur'an" dan "Qala'idid Durar". Dan oleh karena itu djuga Tuhan berkata dalam Surat Àn-Nahal ajat 44 : "Kami turunkan kepadamu Qur'an ini, agar engkau terangkan kepada manusia apa jang diperintahkan kepada mereka dan agar mereka berpikir."

Sunnah bagi orang-orang Sji'ah adalah penjempurnaan bagi Qur'an, merupakan satu sumber, jang tidak boleh diragu-ragui lagi akan kebenarannja, ia hampir tidak berbeda dengan Qur'an, karena Tuhan mengakui, bahwa Nabi Muhammad "tidak menuturkan sesuatu karena hawa nafsunja, ketjuali firman jang diwahjukan Tuhan kepadanja" (Qur'an). Sji'ah menganggap Sunnah itu sebagai pokok dasar hukum jang kedua, jang diwadjibkan kepada tiap orang Islam mengamalkannja, sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan dalam Qur'an : "Apa jang disampaikan oleh Rasul laksanakan, dan apa jang dilarangnja djauhi" (Qur'an, Alr Hasfcir, 7).

Kedua pokok ini dikerdjakan dalam masa sahabat dan sesudahnja. Oleh karena itu Sji'ah pun kembali kepada kedua pokok dasar ini. Meskipun orang lain menambah dasar agama itu dengan Ra'ji dan Idjma', Istihsan dsb. karena mereka mengharuskannja, Sji'ah tetap berpegang hanja kepada dua pokok jang asal ini, serta menggunakan akal dalam menggali hukum-hukumnja. Dengan demikian terdapatlah sedikit perbedaan mengenai masalah Sji'ah, seperti kawin mut'ah, menjapu atau mengusap kaki dengan air, mengenai tatak tiga jang diutjapkan sekaligus dll.

Adapun Idjma', baik jang didasarkan kepada pendapat beberapa orang Sahabat, sebagaimana jang dikatakan Chudhari, atau jang dibatasi oleh Malik kepada Ahli Madinah sadja, karena katanja satu2 tempat turun wahju dan satu' tempat banjak Sahabat-sahabat bergaul dengan Nabi serta memahami rahasia-rahasia wahju itu, maupun jang membolehkan idjma' itu digunakan oleh semua orang Islam lain Ahli Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Lais bin Sa'ad, seorang ahli fiqh Mesir, semua idjma' matjam itu tidak dapat diterima oleh orang Sji'ah. Pendapat-pendapat Ahli fiqh jang diambil dengan idjma' sematjam itu tidak mendjadi dasar hukum bagi orang Islam, karena semuanja berdasarkan kepada persangkaan atau dhan semata-mata. sedang dhan itu tidak dapat menjinggjung kebenaran (Qur'an). Mereka menganggap idjma' jang seperti itu hanja sebagai suatu pendapat jang tidak mengikat dengan wadjib.

Orang-orang Sji'ah mengakui, bahwa ahli-ahli fiqh dan ahliahli hadis mereka dalam masa Sahabat dan Tabi'-tabi'in menjebut perkataan idjma'. tetapi idjma' jang dimaksudkan itu ialah idjma' jang disepakati oleh semua ulama atas sesuatu hukum, dan Imam Ali turut bersama mereka. Idjma' jang seperti itu tidak lain sifatnja melainkan suatu pendjelasan daripada kedua sumber hukum pertama, jaitu Qur'an dam Sunnah. Sedjalk hari-hari pertama golongan Sji'ah tidak mau berpegang selalu kepada Qur'aa dan Sunnah itu dalam menetapkan sesuatu hukum agama, karena agama itu adalah peraturan Tuhan, oleh karena itu tidak boleh ditambah dengan peraturan jang ditetapkan oleh manusia, jang harus dipisahkan daripada peraturan Tuhan itu.

Mengenai Qijas, jang oleh Ahli Sunnah dibenarkan sebagai sumber hukum agama jang keempat, jang dikatakan pernah terdjadi dalam masa Sahabat, jang diberi sifat dengan memperbandingkan suatu perkara dengan perkara jana sudah terdapat hukumnja dalam masa Nabi dan Sahabat itu, oleh orang Sji'ah tidak dapat diterima dan dianggap suatu bid'ah dalam agama. Mereka tidak mau beramal dengan hukum jang berdasarkan qijas. Diantara alasan-alasannja mereka kemukakan sebuah utjapan dari Ali bin Abi Thalib, jang berkata : "Djikalau diperkenankan menggunakan qijas, maka dalam perkara air sembahjang lebih dipentingkan menjapu kaki dalam chuf daripada diluarnja." Pernah Imam Dja'far Shadiq berkata kepada Abu Hanifah: "Takutilah Tuhanmu daripada engkau menggunakan qijas dengan pikiranmu. Pada hari kemudian kita akan berhadapan dengan Tuhan. Aku berkata "telah bersabda Rasulullah", sedang engkau berkata "begini pikiranku dan begini qijasku." Tjobalah pikir, hai Abu Hanifah, apa jang akan diperbuat Allah terhadap kita ?"

Orang Sji'ah mempunjai alasan, tidak mempergunakan qijas sebagai sumber hukum agama, karena sjari' jang membuat agama hanjalah Allah sendiri, sedang sjari' dalam hukum qijas adalah manusia. Mereka menolak kebenaran keterangan-keterangan jang dikemukakan diatas, bahwa qijas itu sudah ada dalam masa Nabi dan diperkenankan menggunakannja. Penetapan Nabi kpd. Mu'az bukanlah alasan adanja qijas, tetapi alasan harus menggunakan akal dalam mendjelaskan Kitab dan Sunnah, karena menggunakan akal itu diwadjibkan kepada qadi, mufti, jang akan menjelesaikan perkara-perkara, dan akan mendjelaskan kepada orang banjak persoalan halal dan haram. Orang Sji'alh tidak dapat menerima qijas itu pernah terdjadi dalam masa Sahabat dan merupakan suatu pikiran umum jang sudah disetudjui oleh semuanja. Selain daripada utjapan Ali bin Abi Thalib, Sji'ah mengemukakan utjapan Ibn Mas'ud, jang menolak qijas demikian : "Djika kamu gunakan qijjas itu dalam agamamu, nistjaja kamu akan menghalalkan banjak daripada apa jang diharamkan Allah, dan mengharamkan banjak daripada apa jang dihalalkan Allah bagimu". Djuga mereka kemukakan utjapan Sju'bi jang berbunji demikian : "Apabila engkau ditanjai tentang sesuatu masalah, maka djanganlah engkau pergunakan qijas dengan memperbandingbandingkan persoalan, karena engkau akan menghalalkan banjak jang haram dan mengharamkan banjak jang halal, sedang engkau akan binasa, djika engkau meninggalkan perdjalanan Nabi dan Sahabat, lalu menggunakan ukuran qijas atau perbandingan dalam agama".

Jang menolak Idjma' ini bukan sadja Sji'ah, tetapi djuga Mu'tazilah dan Ibrahim an-Nizam menolak mengamalkannja, sebagaimana djuga Daud bin Ali al-Asfahani, jang terkenal dengan nama Az-Zahiri (mgl. 370 H), Dja'far bin Harb, Dja'far bin Misjah, Muhammad bin Abdullah al-Askafi, dll. semuanja mengemukakan alasan tidak membolehkan beramal dengan idjma' dan qijas sematjam itu.

Keterangan-keterangan mengenai sikap Sji'ah terhadap Idjma' dan Qijas ini, saja abil dari kitab "Tarichul Fiqhil Djb'rari" (hal. 181 — 192), karangan Hasjim Ma'ruf al-Husaini. Saja persilahkan pembatja melihat kesana lebih djauh.

5. WASIAT NABI KEPADA ALI

Salah satu perbedaan paham jang besar antara Sji'ah dan Ali Sunnah ialah, bahwa Ahli Sunnah tidak mau mengaku ada nash mengenai wasiat Nabi Muhammad tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifahnja sesudah ia wafat. Sudah kita terangkan, bahwa meskipun seseorang Islam mau mejakini chalifah atau Imamah Ali atau tidak, ia tidak keluar dari agama Islam, karena persoalan ini merupakan persoalan mazhab. Tetapi oleh karena kejakinan imamah ini merupakan dasar perdjuangan pokok daripada gerakan Sji'ah, ada baiknja djika kita ketahui alasan-alasan agamanja mengenai persoalan itu dan perlainan alasan dari gerakan Ahli Sunnah. jang selalu menentang adanja nash, jang mewadjibkan Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai chalifah jang pertama sesudah wafat Nabi.

Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak adanja wasiat Nabi mengenai Ali, berdasarkan diantara lain kepada sebuah hadis, jang diriwajatkan oleh Buchari dalam Sahihnja daripada Al-Aswad. Kata Al-Aswad bahwa Aisjah pada suatu hari ditanjakan orang tentang wasiat Nabi kepada Ali, lalu ia mendjawab dengan keheranan : „Siapa jang mengatakannja ? Pada waktu Nabi akan wafat, ia bersandar kepada dadaku dan ia meminta air untuk membersihkan mukanja, lalu ia wafat. Bagaimana ia meninggalkan wasiat kepada Ali ?"

Hadis ini dikeluarkan Buchari dalam kitab wasiat, hal 83. djuz jang ke-II dari kitab Sahihnja. djuga disinggungnja dalam bab Nabi Sakit dan wafat hal 64 djuz ke III dari kitab jang sama sebagaimana Muslim mengemukakannja dalam djuz ke II. hal 14 dari kitab Sahihnja. Hadis jang sematjam ini banjak diriwajatkan Buchari dari bermatjam sumber dan dengan bermatjam lafadh. Dalam kitab Hadis Muslim dikemukakan sebuah hadis dari Aisjah. jang berkata : „Rasulullah tidak meninggalkan satu dinar atau satu dirham, atau seekor kambing atau seekor kuda, serta tidak mewasiatkan sesuatu".

Dalam dua kitab Sahih Buchari dan Muslim dimuat sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Masraf. katanja : „Saja tanjakan kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah Nabi pernah meninggalkan wasiat ?". Katanja : „Tidak". Lalu kataku : „Bagaimana ia menulis wasiat kepada manusia, kemudian ia meninggalkannja ?". Djawabnja : „Ia berwasiat dengan kitab Allah". Dengan alasan-alasan ini Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak ' adanja wasiat Nabi, jang menjuruh mengangkat Ali sebagai chalifah sesudah wafatnja.

Tetapi orang Sji'ah mempunjai alasan-alasan jang tjukup kuat pula untuk menundjukkan nash-nash mengenai wasiat itu dan mempertahankan pendiriannja, bahwa Nabi Muhammad memang sudah berkali-kali mewasiatkan agar Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifah, jang akan meneruskan urusan agama Islam. Wasiat itu katanja tidak dapat disangkal lagi. sesudah Nabi mewariskan kepadanja ilmu dan chidmat (Al-Musawi. Al-Muradja'at, no 66, hal 234), sesudah Nabi memerintahkan Ali dikala mati memandiKannja. mengafaninja serta menguburkannya (Ibn Sa'ad dj. II, bg. 2 hal, 61, dan djuga hadis-hadis lain, sesudah Nabi meneruskan penjiaran agamanja, melaksanakan djandjinja dan tjita-tjitanja (Hadis Thabrani, Abu Ju'la, Ibn Mardawaih. Dailumi dll sesudah Nabi menerangkan kepada umatnja. apa jang akan mereka pertengkarkan dan menjuruh Ali menjelesaikannja (Dailumi Abu Zar, Dailumi bin Anas, lih. Kanzul Ummal, VI : 156), sesudah dijelaskan bahwa Ali saudaranja (Hadis Ummu Sulaim dim Masnad imam Ahmad V : 31. ajah anaknja Abu Ju'la (sesudah dinjatakan djadi wazirnja (Ahmad, Nasa'i. Hakim. Zahabi dll), sesudah dinjatakan pemenangnja (Hakim, Mustadrak II : 472), sesudah dinjatakan mendjadi walinja dan orang jang diwasiatkan (Ibn Abbas), sesudah disebutkan Ali djadi pintu gudang ilmunja (Thabrani Ibn Abbas. Hakim-Djabir). sesudah digelarkan kampung hikmahnja (Tarmizi, Ibn Djarir), sesudah Ali dinjatakan mendjadi pintu perlindungan umat (Darquthnrlbn Abbas), sesudah dinjatakan mendjadi ketjintaanja, sesudah dinjatakan mendjadi penghulu orang Islam, Imam Aulia Allah, sesudah ditempatkan seperti tempat Nabi Harun dan Musa, sesudah diterangkan semisal kepala dan badan dengan dia, dan sesudah dinjatakan Ali itu dipilih Tuhan untuk dunia ini dsb. Orang Sji'ah menganggap semua hadis-hadis itu merupakan wasiat atau penundjukan Ali sebagai gantinja. Mazhab Empat menolaknja, hanjalah karena dianggap tidak sesuai dengan sesudah kedjadian keangkatan tiga chalifah sebelum Ali dan keputusan Sji'ah diambil lama sesudah kedjadian itu.

Orang Sji'ah menerangkan, bahwa pendapat Ibn Abi Aufa. bahwa Nabi ada meninggalkan wasiatnja berupa Kitabullah benar adanja. tetapi sebagaimana disebutkan dalam hadis "Saqalain", kitab itu ditinggalkan bersama-sama dengan „'Itrah". keluarganja. jang terpenting Ali bin Abi Thalib.

Djuga orang Sji'ah tidak menjangkal. bahwa Sitti Aisjah adalah salah seorang isteri Nabi jang afdhal. tetapi bukan jang utama dan pertama, karena banjak hadis (diantaranja dari Aisjah sendiri) menerangkan, bahwa Nabi pernah berkata : "Wanita utama ialah Chadidjah binti Chuwailid. Fatihimah binti Muhammad, Asjah binti Mazahim dan Marjam binti Imran, semuanja wanita utama ini isi sorga" (Buchari). Selain daripada itu tatkala Safijah binti Hujaj menangis karena diedjek Aisjah dan Hafsah, Nabi menjuruh mengatakan kepada kedua isterinja jang lain itu, bahwa ia lebih baik daripada mereka, karena ajahnja Harun, pamannja Musa dan suaminja Muhammad (Tarmizi).

Dengan tidak mengurangi kelebihan Aisjah sebagai ibu orang mu'min dan isteri Nabi jang disajanginja, orang Sji'ah menundjukkan beberapa perkara, dimana Aisjah kelihatan agak tidak sangat keistimewaannja Ali dalam utjapannja. Salah satu sikapnja jang dapat menggambarkan suasana ini ialah tindakannja dalam peperangan Djamal Besar, dimana Aisjah dengan tenteranja menghadapi pasukan Ali bin Abi Thalib. sebagaimana jang diterangkan oleh Ibn Djarir dan Ibn Asir dalam kitab2 sedjarahnja. Selain daripada itu, pada waktu ia menerangkan kisah Rasulullah sakit dan digotong dua orang kiri-kanannja, ia hanja menjebut jang menggotong itu seorang bernama Abbas bin Abdul Muttal'b sedang jang lain disebut sadja seorang laki-laki, padahal ia kenal namanja. menurut Ibn Abbas, Aisjah tahu bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.

Lain tjontoh lagi tentang sikap Aisjah ini terhadap Ali ialah, bahwa ia lebih banjak berbitjara tentang Ammar daripada Ali, taikala kedua-duanja datang kepada Aisjah (Masnad Imam Ahmad VI : 113). Pada waktu itu Aisjah tidak mau berbitjara tentang Ali dan ia menerangkan, apa jang harus dikerdjakan oleh Ammar.

Penjembunjian jang sematjam ini dari Aisjah tentu digerakkan oleh rasa kurang senang terhadap Ali. dan oleh karena itu orang sji'ah menganggap, bahwa banjak hal-hal jang tidak disampaikan oleh Aisjah mengenai Ali. Nas2 mereka mengenai wasiat dianggap iebih kuat daripada beberapa hadis umum jang diriwajatkan oleh Aisjah.

Saja peringatkan disini akan suatu perkara antara Sitti Aisjah dan Ali, dikala Aisjah mendapat tuduhan dari kaum munafik Madinah, karena ketinggalan kafilah dalam sesuatu peperangan, perkara jang dikenal dalam sedjarah Islam dengan Hadis Ifki. Dikala itu Ali mengeluarkan pendapatnja kepada Nabi, jang rupanja menjinggung perasaan Sitti Aisjah. Kemudian ada pula perkara tanah jang oleh Sitti Fathimah dianggap berhak menerimanja sebagai pusaka, tetapi oleh Abu Bakar, jang ketika itu mendjadi chalifah diputuskan, bahwa Nabi tidak meninggalkan harta pusaka kepadanja. Rupanja kedjadian-kedjadian ketjil ini djuga mempengaruhi sikap sebagian golongan Sji'ah terhadap mereka jg menduduki singgasana sesudah wafat Nabi. dengan-akibat'jang berlarut-larut.

Kembali kepada wasiat Nabi kepada Ali, Sji'ah berpendapat, bahwa hadis-hadis jang digunakan oleh Ahli Sunnah, sebagai jang kita sebutkan diatas, tidak tjukup sah dan kuatnja untuk menolak sekian banjak berita utjapan Rasulullah, jang telah membajangkan Ali sebagai chalifahnja. Hadis-Hadis Aisjah itu menundjukkan keadaan umum, bahwa Rasulullah tidak meninggalkan 'harta benda, emas dan perak, karena kita ketahui tak 'ada penghargaannja kepada kekajaan duniawi, tetapi ada wasiat2 jang lebih penting, jaitu mengenai penjelenggaraan agamanja, jang ditinggalkannja berupa „Kitabullah dan keluarganja jang sutji. jang tidak dapat dipisahkan sampai hari kiamat."

Rasulullah telah mewasiatkan kepada Ali pada permulaan da'wah Islam sebelum lahir, sebelum kuat Islam itu di Mekkah.. dengan perintah Tuhan : "Berikanlah peladjaran kepada keluargamu jang dekat" (Qur'an). dan tidak putus-putusnja wasiat ini diulang-ulang dalam berbagai bentuk dan bermatjam utjapan. Imam Abdul Husain Sjarfuddin al-Musawi dalam kitabnja "Al-Munadjat" (Nedjef 1963), dalam Mab'has ke II, Muradja'at 20. hal. 144, membitjarakan pandjang lebar ajat-ajat Qur'an dan hadis-hadis jang bersangkut-paut dengan Chilafah Imamah ini, tidak kita ulang lagi disini, tetapi tjukup kita mempersilahkan pembatja mempeladjarinja disana.

Ada sebuah kedjadian jang penting pang dikemukakan oleh golongan Sji'ah jang menarik perhatian kita dalam pemberian alasan wasiat ini, jaitu kedjadian dikala Nabi akan wafat, sebagaimana jang dikemukakan oleh Buchari (II : 18), Muslim dlm. Sahih, Ahmad bin Hanbal dlm Masnad, dan hampir semua ahli hadis. Tatkala itu Nabi berkata : "Berikan daku kertas, aku akan menuliskan bagimu sesuatu wasiat jang dapat mentjegahkan kamu dari kesesatan !" Nabi tidak djadi melakukannja, tetapi jang mendjadi pertanjaan, apa wasiat jang akan ditinggalkan Nabi. Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, pertama bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. kedua bahwa semua orang musjrik harus dikeluarkan dari tanah semenandjung Arab, dan ketiga bahwa utusan-utusan jang datang hendaklah diperlakukan, sebagaimana jang sudah pernah dilakukan.

Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat jang pertama itu diumumkan. Sji'ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Masnad (lih. Al-Muradja'at hal. 255).

Banjak pengarang Sji'ah djuga menolak pengakuan Sitti Aisjah, bahwa Nabi Muhammad meninggal dalam pangkuannja, sebagaimana jang diakui dalam hadis-hadisnja. Menurut pengarang Sji'ah, Nabi Muhammad itu wafat dan melepaskan nafas jang penghabisan dalam pangkuan saiudaranja dan penggantinja (wali), jaitu Ali 'bin Abi Thalib. Jang demikian itu menurut ketetapan ulama-ulama hadis Sji'ah jang mutawatir dan kitab-kitab Sahihnja jang mu'tamad. meskipun Ahli Sunnah berpendapat lain daripada itu (Al-Muradja'at, hal. 255-256).

6. KEIMANAN PADA SJI'AH

Mazhab Sjia'h mewadjibkan kejakinan berpegang kepada imam, jang selalu harus ada ditengah-tengah masjarakat Islam, sebagaimana jang pernah terdjadi dalam masa Rasulullah, bahwa semua orang Islam berimam kepadanja. Imam itu harus merupakan pemimpin dalam urusan dunia dan urusan agama, seolah-olah ia pengganti Nabi dalam kekuasaan dan kesempurnaannja, ia menguruskan peradilan, mengepalai masjarakat. memimpin ketenteraan, mengimami salat, mengurus keuangan negara, menjelenggarakan kepentingan negara, jang semua perkara-perkara itu diatur dengan peraturan-peraturan jang chusus jang disiarkan dan dijalankan oleh pembantu-pembantunja. Semua ini terdjadi pada diri Nabi dalam masa hidupnja.

Dan oleh karena itu mazhab Sji'ah, terutama Imamijah, tidak mau meninggalkan kesempurnaan itu.

Mengenai masaalah pengangkatan imam sesudah wafat Nabi bagi masjarakat Islam seluruhnja, ada bermatjam-matjam pendapat orang.

Orang Sji'ah berkata, kewadjiman itu dikembalikan kepada Allah, ialah jang akan mengkat seseorang imam bagi 'manusia.

Ahli Sunnah berpendapat, kewadjiban itu tidak dapat dikembalikan kepada Tuhan, tetapi kewadjiban itu tetap terletak diatas pundak manusia.

Orang-orang Chawaridj mengatakan, bahwa mengangkat imam itu tidak perlu sama sekali, tidak merupakan suatu kewadjiban jang dikembalikan kepada Tuhan, dan tidak pula merupakan suatu kewadjiban jang dipikulkan kepada manusia.

Seorang ulama Ahli Sunnah, Ala'uddin Ali bin Muhammad Al-Qarasi (mgl. 879 H), berkata dalam kitabnja bernama "Sjarh at-Tadjrid" mengenai sedjarah perkembangan kewadjiban pengangkatan imam sebagai berikut. Dalam menetapkan kewadjiban pengangkatan imam itu, Ahli Sunnah menetapkan dalilnja atas ldjma' sahabat Nabi, sehingga mereka itu menganggap pengangkatan penggantian Nabi itu. jang dinamakan imam atau chalifah itu suatu kewadjiban jang penting. Mereka mengadakan penetapan ini dikala Rasulullah hendak dikuburkan, dan meneruskan adat itu pada tiap-tiap kematian seorang imam. Sebagaimana diriwajatkan, bahwa tatkala Nabi wafat, Abu Bakar lalu berchutbah : "Wahai manusia ! Barangsiapa menjembah Muhammad, Muhammad itu sudah mati, tetapi barangsiapa menjembah Tuhan Muhammad, Tuhan Muhammad itu tidak akan mati-mati, oleh karena itu mesti kita selesaikan pekerdjaan ini, keluarkanlah pendapat dan pandanganmu, moga-moga Tuhan memberi rahmat kepadamu !"

Maka sesudah utjapan Abu Bakar ini, dari segala aliran datanglah mereka mengemukakan pengetahuannja. jang membenarkan pendapat Abu Bakar, bahwa harus ada penjelesaian tentang imam itu, dan tidak ada seorangpun jang mengatakan tidak wadjib pengangkatan imam penggantian Nabi itu.

Chawaridj mendasarkan pendiriannja tidak wadjib mengangKat imam, atas kejakinan, bhw. pengangkatan itu akan menimbulkan fitnah dan peperangan, karena tiap-tiap suku dan golongan akan mengemukakan tjalon sendiri, dengan demikian tidaklah akan didapati persesuaian pendapat diantara golongan-golongan itu. Dengan alasan demikian Chawaridj menganggap lebih baik menutup pintu pengangkatan itu. Tetapi djika didapati kata persesuaian mengenai sjarat-sjarat kesempurnaan imam dan persetudjuan pengangkatannja, barulah mereka membolehkan 'mengangkat imam itu.

Alasan-alasan Sji'ah Imamijah didasarkan kepada kanjataan, bahwa pengangkatan imam itu diserahkan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa dan Maha Esa. Ada tiga sebab mereka berbuat demikian. Pertama penentuan itu tidak terdjadi dengan ichtiar manusia, tetapi atas kemurahan Tuhan dan belas kasihannja terhadap hambanja, karena imam itulah jang mendekatkan manusia itu mentaati Tuhannja, dengan memberikan penerangan dan pertundjuk, dan dialah jang mendjauhkan pengikutnja daripada ma'siat, melarang mereka dan mempertakutinja mengerdjakan Kedjahatan-kedjahatan dengan segala akibatnja. Dan oleh karena itu penundjukan ini sebenarnja wadjib daripada Tuhan sendiri.

Pendirian Sji'ah jang demikian itu didjelaskan pula oleh Ah Ardabli (mgl. 993 H), seorang ulama Sji'ah Imamijah terbesar, menerangkan, bahwa alasan kemurahan Tuhan ini. jang dipakai oleh Imamijah itu tepat, karena dialah jang setepat-tepatnja memilih imam itu, mendjadikannja. memberikan kekuasaan dan ilmu kepadanja. dengan taufik Tuhan ia dapat memilih njash jang didjalankan atas namanja. semua ini terdjadi dengan iradah Tuhan, jang menentukan perkara-perkara dan kewadjiban. ada jang diperuntukkan buat imam dan ada jang diperutukkan buat rakjat. jang mentaati imam itu.

Kedua, bahwa Allah dan Rasulnja telah menjatakan semua hukum-hukumnja, jg. ketjil dan jg. besar, tidak ada pekerdjaan dan perkataan seseorang manusiapun. jang terluput dimasukkan kedalam lingkaran hikmah hukum-hukumnja itu. Maka oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia mengangkat seorang imamnja dengan meninggalkan kekuasaan Tuhan itu baik jang berkenaan dengan urusan keduniaan, maupun jang bersangkutan dengan kehidupan achiratnja.

Ketiga maka oleh karena itu Sji'ah membuat perbandingan dengan diri Nabi Muhammad sendiri, jang tidak seorang djuapun mengangkatnja ketjuali dengan nubuwah, jang hanja berada dalam tangan Tuhan sendiri, baru diketahui oleh Nabi pada waktu diangkatnja mendjadi Rasul, ia sendiri tidak berdaja upaja.

Oleh karena itu orang Sji'ah menjimpulkan. bahwa ichtiar memilih imam itu dikembalikan sadja kepada Allah, tidak ada jang dapat mengetahui rahasia imam itu, melainkan Allah, hanja Allah jang dapat melihat kesanggupannja.

Meskipun demikian orang-orang Sji'ah menetapkan sifat-sifat imam sebagai sjarat, diantara lain, hendaklah ia ma'sum, karena tudjuan daripada keimaman itu ialah memberi pertundjuk kepada manusia atas djalan jang benar dan melarang mereka berbuat jang salah. Oleh karena itu kalau ia sendiri dibolehkan berbuat salah dalam hukum, bagaimana dapat membersihkan sesuatu dengan kekotoran.

Lain daripada itu seorang imam harus lebih mulia dan utama dalam mata rakjatnja melebihi rakjatnja dalam ilmu pengetahuan dan achlak, karena djika dalam hal ini dia tidak lebih afdhal, tentu ada orang lain jang melebihinja, atau jang menjamainja sehingga tidak lajak ia mendjadi orang utama bersamaan dengan mengutamakan murid daripada guru, jang tentu ditjela oleh agama. Lalu orang Sji'ah mendasarkan pendapatnja kepada firman Tuhan, ajat 35 surat Junus, jang berbunji : "Katakanlah, bahwa Allah jang menundjuki kepada kebenaran. Manakah jang lebih patut diikut, jg. menundjuki kepada kebenarankah atau jang tidak dapat pertundjuk melainkan djika ditundjuki ? Mengapa kamu ini ? Bagaimanakah kamu ? mendjatuhkan hukum ?".

Ada satu persoalan mengenai keimanan Sji'ah ini, jaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa Ali ?.

Sesudah Sji'ah menetapkan nash kewadjiban imam daripada Allah, mereka berkata, bahwa menurut hukum imam sesudah Nabi wadjib djatuh kepada Ali bin Thalib, karena dua alasan, menurut alasan Qur'an dan menurut alasan Snnah.

Pertama, sebagai alasan dari Qur'an, diketemukan dlm ajat 58 dari surat al-Ma'idah jg kalau diterdjemahkan berbunji sebagai berikut : ,,Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnja, kemudian mereka jang beriman, jang mendirikan sembahjang. membajar zakat dan mereka itu sedang ruku". Ajat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, jang konon ketika itu sedang ruku, sebagai mendjawab pertanjaan orang, siapa pang harus ditaati.

Kedua, sebagai alasan dari Sunnah orang-orang Sji'ah mengemukakan sebuah hadis, dimana Rasulullah sedang berbitjara dengan Ali bin Abi Thalib, jang berbunji demikian : „Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barangsiapa jang ingin mentjari wali (imam), maka Ali-lah jang akan djadi walinja Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan djadi chalifahku dikemudian hari ", dan banjak lagi hadis hadis jang lain.

Begitulah selandjutnja, orang Sji'ah mempergunakan hadis-hadis, jang menundjukkan ketjintaan Nabi kepada Hasan dan Husain serta keturunannja Ali jang lain, untuk alasan mereka memilih imam dari Ahlil Bait dan keturunan Nabi dari perkawinan Ali' dengan Fatimah itu.

7. ITIKAD SJI'AH IMAMIJAH

Sji'ah Imamijah adalah penganut mazhab Dja'farijah, mejakini, bahwa mereka orang Islam ahli tauhid, pertjaja bahwa Tuhan Allah Satu tunggal dan Muhammad Nabi dan Rasulnja, dan pertjaja djuga semua apa jang disampaikan' oleh Rasul Tuhan itu. Mereka pertjaja bahwa agama Islam harus dilaksanakan dengan mengutjapkan dua kalimat sjahadat dan mendjalankan semua hukum sjara', diantara lain mengenai hukum waris, hukum nikah. Mereka pertjaja, bahwa iman itu lebih tinggi tingkatnja daripada Islam, sesuai dengan djawaban jang pernah dberikan oleh Nabi Muhammad atas pertanjaan seorang Arab, jang datang kepadanja menerangkan, bahwa ia telah beriman, tetapi Nabi Muhammad menjuruh dia mengatakan, bahwa ia sudah masuk Islam, karena iman itu adalah kejakinan jang meresap kedalam hati, tidak terlihat keluar (Qur'an).

Mengenai pokok2 agama, usuluddin, mereka menerangkan, harus diketahui dengan dalil jang kuat, ilmu jang benar dan kejakinan jang teguh, tidak tjukup dengan taqlid. dan dhan (was2 dan ragu-ragu).

Mengenai sifat-sifat Tuhan, mereka berkejakinan, bahwa Tuhan itu bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, bersih daripada segala sifat-sifat kekurangan, karena jang bersifat kekurangan itu adalah sesuatu jang baharu, hadis, sedang Tuhan bersifat qadim dan abadi, berkuasa setjara bebas, mengetahui, hidup, berkehendak, berbitjara dan benar. Dialah jg. mentjiptakan, jang memberi rezeki kepada machluknja, Tuhanlah jang menghidupkan dan mematikan segala machluk. Orang-orang Sji'ah pertjaja, bahwa Tuhan itu adil, jang berbuat baik diberinja pahala, dan jang berbuat dosa disiksanja. Manusia berbuat sesuatu tidak terpaksa, tetapi dengan ichtiarnja sendiri, dan atas ichiarnja inilah Tuhan mengambil tindakan jang bidjaksana. memberi pahala atau menjiksanja.

Wadjib bagi Allah mengirimkan Rasul-Rasul kepada hambanja manusia untuk mengadjarkan matjam-matjam hukum dan peraturan, untuk menerangkan jang halal dan jang haram, untuk memerintahkan berbuat adil dan bersikap lemah lembut sesama manusia. Tuhan menurunkan perintah-perintah itu kepada Rasulnja dengan perantaraan Mala'ikat atau setjara langsung, dan bahwa Nabi-Nabi itu terpelihara daripada dosa besar dan ketjil, memupunjai sifat-sifat jang baik, jang dapat mendjadi tjontoh dan suri teladan bagi umatnja.

Sji'ah Imamijah pertjaja, bahwa Muhammad itu adalah penutup daripada segala Nabi, tidak ada lagi Nabi sesudahnja, dan tidak ada jang memperserikatkannja dalam kenabiannja, ia Nabi jang lebih afdhal dari Nabi-Nabi jang lain, wadjib beriman kepadanja dan membenarkan apa jang disampaikannja daripada Tuhannja. Segala utjapan dan perbuatan Nabi merupakan hudjdjah atau dasar hukum, wadjib ditaati dan dipatuhi, tidak diutjapkannja sesuatu dari hawa nafsunja. melainkan dalam bentuk wahju Tuhan, hukum-hukum jang disampaikannja bukanlah dari hasil pikiran atau idjtihadnja sendiri, tetapi dari sjari'at Tuhan semata-mata.

Nabi Muhammad adalah orang jang mula-mula beriman kepada Tuhan, semua isterinja orang-orang jang beriman, jang sesudah wafatnja haram dikawini oleh orang lain. Sjari'atnja menghapuskan semua sjariat Nabi-Nabi terdahulu, dan berlaku sampai hari kiamat.

Dalam pendiriannja terhadap persoalan Imamah dan Chilafah, Imamijah berkejakinan wadjib adanja kepertjajaan kepada imam-imam itu. karena mereka merupakan pemimpin umum dalam segala urusan agama dan dunia, sesudah wafat Nabi, mereka menganggap, bahwa imam-imam itu dapat mendjalankan dan mengawasi sjari'at jang ditinggalkan Nabi, mereka merupakan mursjid jang harus ditjontoh dan diteladani. Oleh karena itu maka hendaklah imam itu merupakan seorang .pemimpin jang taat kepada Tuhan, seorang jang terdjauh daripada perbuatan fasad dan munkar, bukan seorang jang mengikuti djalan hawa nafsunja sendiri, imam itu harus ma'sum daripada dosa besar dan dosa ketjil.

Jang berhak mendjadi imam sesudah wafat Nabi ialah anak pamannja, Ali bin Thalib, jang telah diwasiatkan dan ditundjuk oleh Nabi Muhammad sendiri, kemudian anaknja Hasan bin Ali, kemudian saudaranja. Husain bin Ali, kemudian anknja. Ali Zainul Abidin kemudian anaknja Muhammad al-Baqir, kemudian anaknja Dja'far as-Shcadiq, kemudian anaknja Musa al-Kazim, kemudian anaknja Ali ar-Ridha kemudian anaknja Muhammad al Djawad, kemudian anaknja Ali al-Hadi, kemudian anaknja Hasan al-Askari, kemudian anaknja Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja berlaku dengan wasiat.

Orang jang menolak kenabian Nabi Muhammad 'dengan mengatakan bahwa ada Nabi lagi sesudah wafatnja atau ada jang memperserikatkannja dalam kenabian, orang itu keluar dari agama Islam dan tidak berhak menamakan dirinja muslim. Tetapi seorang jang mengingkari keimaman dua belas keturunan jang disebut tadi. tidak keluar dari Islam menurut orang-orang Sji'ah karena jang demikian itu bukan suatu kewadjiban agama, tetapi hanja suatu kewadjiban mazhab sadja.

Sji'ah Isna'asjar Imamijah pertjaja, bahwa ada hari kemudian sesudah hidup manusia sekarang ini, ada soal Munkar wa Nakir dalam kubur, ada azab kubur, ada sirath, ada mizan atu timbangan dosa dan pahala, ada hisab, jaitu perhitungan salah dan benar, ada pengakuan anggota badan tentang perbuatan djahat dan baik, ada pembahagian surat mengenai amal buruk dan baik, ada pengumpulan manusia dipadang mahsjar, ada sorga dan neraka sebagai tempat balasan, tidak ada lagi umur tua, sakit dan mati diachirat, apa jang diingini oleh orang jang berbuat baik sampai, ada ampunan Tuhan, ada sjafa'at Nabi Muhamad dan lain-lain urusan hari kemudian.

Mereka pertjaja djuga dalam garis besar ada Luh Mahfud, ada Qalam, ada Arasj, ada Kursi, tetapi menurut penafsiran mereka sendiri, jang kadang-kadang sedikit berlainan dengan pendirian Asj'ari atau Ahli Sunnah wal Djama'ah atau dengan penafsiran aliran-aliran Islam jang lain.

Sebagaimana kita lihat, itikad Sji'ah Imamijah sama dengan itikad Ahli Sunnah wal Djama'ah, bahkan sama mengenai persoalan chalifah sesudah wafat Nabi, jang semua mazhab mengatakan berdasarkan idjtihad, ketjuali mereka memilih chalifah itu dari keturunan Nabi Muhammad, karena tidak ada keturunan dari lakilaki, maka dipilihnja dari keturunan Ali bin Abi Thalib, jang sudah diakui saudara, pengganti dan menantunja Nabi, sehingga mereka terus-menerus berimam kepada keturunan Ali bin Abi Thalib itu, dan lantaran itu mereka dinamakan Sji'ah Ali atau dengan ringkas Sji'ah.

Pernah seorang ulama besar Sji'ah, Imam Abdul Husain Sjarfuddin al"Musawi, ditanjai apa sebab-sebab Sji'ah tidak mau mengikuti salah sebuah mazhab djamhur Islam, dalam usuluddin mazhab Al-Asji'ari dan dalam masaalah furu' (fiqh) salah satu daripada Mazhab Empat, Hanafi, Sjafi'i, Maliki atau Hanbali. AlMusawi mendjawab dalam kitabnja jang terkenal "Al-Muradja'a" (Nedjef, 1963), dengan alasan-alasan Qur'an "dan Hadis jang menurut pendapat saja tidak dapat dibantah oleh seorang ulama Sunni-pun dalam masanja, bahwa ibadat golongan Sji'ah dalam usul tidak berpegang kepada Asji'ari dan dalam furu' tidak berpegang kepada salah satu 'Mazhab Empat, bukanlah karena menjendiri dalam golongan atau ta'assub mazhab, dan bukan pula karena ada keraguan tentang kebenaran idjtihad daripada imam-imam besar itu, bukan karena tidak adilnja, tidak ada amanahnja, tidak mendalam ilmunja dan sebagainja, terdjauh semuanja daripada persangkaannja-persangkaan jang djahat itu. Tetapi katanja orang-orang Sji'ah dikala ada perselisihan paham antara imam-imam mazhab itu, sesuai dengan adjaran Qur'an dan pertundjuk Muhammad, berpegang kepada perdjalanan atau mazhab Nabi Muhammad sendiri dan keluarga rumahnja, sumber tempat kedatangan risalah, sumber tempat kundjungan malaikat, tempat turun wahju Tuhan kepadanja. Maka baik dalam furu', maupun dalam aqa'id baik dalam usul fiqh maupun dalam kaidah-kaidahnja, baik dalam mengenal sunnah maupun dalam mendalami isi Kitab Allah, dalam ilmu achlak dan adab. dalam tjara menggunakan dasar dan alasan hukum, semua orang-orang Sji'ah kembali kepada sumber pokok itu, dan beribadat dengan sunnah Nabi dan keluarganja (hal. 40 Murtadja'at no. 4).

Kemudian Al-Musawi ini membahas alasan-alasan, mengapa Sji'ah harus berbuat demikian, diantara lain dikemukakannja, bahwa idjtihad, amanah, keadilan dan kebesaran, tidaklah teruntuk bagi imam2 Sunni sadja. tetapi djuga, sebagaimana jang ditundjuk Kan oleh Nabi sendiri djuga terdapat dari kalangan keluarganja. Djika orang menuduh bahwa Sji'ah menjeleweng daripada adjaran Salf as-Salih, karena tidak mengikuti imam-imam itu al-Musawj mengatakan, bahwa selain daripada tingkat sahabat, sudah tidak ada lagi orang mentjontoh djedjak Salf as-Salih, dan inilah pula sebabnja maka Sji'ah ingin menghidupkan kembali adjaran itu agar dekat kepada pengertian pesan Rasulullah, bahwa ,,sebaik-baik umatku adalah dlm tiga kurun sesudah wafatku" (hadis) .Apakah dasar adjaran itu terikat kepada masa sadja atau tjara bertindak dalam menjelesaikan persoalan Islam ?

Al-Musawi menerangkan nama2 ulama jang hidup dalam tiga kurun ini jang tidak berpegang kepada adjaran Salaf. Asj'ari dilahirkan tahun 270 H dan mati kira2 tahun 330 H. Ibn Hanbal dilahirkan tahun 164 H, dan mati tahun 241 H. Sjafi'i lahir tahun 150 H. mati tahun 204 H., Malik lahir th. 95 H. dan mati tahun 179 H. Abu Hanifah lahir tahun 80 H. dan mati tahun 150 H. Adakah mereka bersatu dalam pendirian mengenai furu' dan mendekai Salaf ? Oleh karena itu Sji'ah mengambil mazhab imam-imam Ahlil Bait, sedang ummat Islam jang. lain beramal dengan mazhab Sahabat dan Tabi'in. Al-Musawi bertanja : "Darimanakah alasan jang mewadjibkan ummat Islam bermazhab kepada mazhab mereka, dan tidak memperkenankan orang bermazhab kepada Ahlil Bait. Sedang mazhab Ahlil Bait ini djuga berpegang kepada Kitab Allah, kepada Sunnah Nabinja, kepada keluarga-keluarganja jang diwasiatkan harus ditaati, jang merupakan sampan jang dapat menjelamatkan ummat, pemimpinnja, orang jang dapat dipertjajainja dan pintu ilmu pengetahuannya" (hal. 42).

Perbedaan-perbedaan antara satu mazhab dengan mazhab lain dari Ahlus Sunnah wal Djama'ah dalam masaalah furu' tidak kurang banjaknja, disaksikan oleh ribuan kitab-kitab, bahkan kadang-kadang lebih banjak daripada perbedaan jang ada pada mazhab Sji'ah dengan salah satu daripada Mazhab Empat itu. Missal nja dengan Sjafi'i. Mengapa orang ingin memaksakan kepada ummat Islam hanja Empat Mazhab itu sadja dan tidak Lima Mazhab, jaitu ditambah dengan mazhab Ahlil Bait, mazhab jang dianut oleh keluarga Nabi sendiri dan jang mereka landjutkan sekarang ini. Demikian tanja Al-Musawi dalam kitabnja jang kita sebutkan namanja diatas ini. Baginja jang dimaksudkan dengan Ahlil Bait, semua imam dari mazhab manapun djuga, jang sesuai amal ibadahnja dengan Rasulullah dan keluarganja. Ulama-ulama, jang tidak sempit hatinja membenarkan pendirian ini, diantaranja lbn Hadjar, jang pernah menerangkan, bahwa mazhab Ahlil Bait itu adalah mazhab jang dipimpin oleh ulama-uamanja jang piawai dan aman, jang dapat memberikan pertundjuk sebagai bintang dilangit, jang apabila sewaktu-waktu ummat sesat dan meraba-raba, bintang-bintang itulah jang akan mendjadi pertundjuknja (Al-Muradja'at hal. 53).

II NABI MUHAMMAD DAN ALI

1.ALI BIN ABI THALIB

Ali bin Abi Thalib adalah anak paman Nabi, jang mengurus dan membela Nabi sedjak ketjil sampai ia diangkat mendjadi Rasul dari pada penghinaan dan serangan Quraisj, bernama Abu Thalib anak Abdul Muttalib. Ibunja bernama Fathimah binti Asad bin Hasjim, wanita Bani Hasjim jang mula-mula masuk Islam.

Ali termasuk salah seorang dari rombongan sepuluh sahabat, jang sedjak masih hidup sudah didjamin Nabi masuk sorga. Oleh Nabi Muhammad, Ali didjadikan saudara angkatnja. Nabi mengawinkan Ali dengan anaknja jang bernama Fathimah Zahra, djuga salah seorang wanita terdahulu masuk Islam, anak Nabi jang ditjintainja dari perkawinan dengan Sitti Chadidjah. Baik Ali maupun Sitti Chadiidjah, kedua-duanja merupakan modal perdjuangan dan kemenangan Nabi dalam menegakkan agama Islam. Nabi pernah berkata : "Islam berdiri karena pedang Ali dan harta Chadidjah" (Hasjim Ma'ruf Al-Hasani, Tarkhul Fiqbil Dja'fari, t. tp. dan t. th., hal. 63).

Ali bin Abi Thalib seorang jang banjak ilmunja, baik mengenai rahasia ketuhanan (alim Rabbani), maupun mengenai segala persoalan Islam dan umum. Bagaimana alimnja diterangkan dalam sebuah hadis Nabi jang berbunji : "Aku kota ilmu pengetahuan dan Ali pintunja." Tatkala hadis ini didengar oleh golongan Chawaridj, mereka mendjadi dengki dan tjemburu, terhadap Ali. Bermufakatlah sepuluh orang alimnja masing-masing hendak beranjakan satu persoalan mengenai ilmu, untuk mengudji apakah Ali betul-betul alim seperti jang dikatakan Nabi.

I. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta?

Ali : Ilmu lebih utama daripada harta karena ilmu itu pusaka Nabi-Nabi, sedang harta, pusaka Karun, Sjaddad dan Firaun.

II. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena ilmu memelihara engkau, sedangkan harta, engkaulah jang harus memeliharanja.

III. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena harta menjebabkan banjak musuh, ilmu menjebabkan banjak teman sahabat.

IV. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta makin dikeluarkan makin kurang, sedang ilmu makin dikeluarkan makin bertambah.

V. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang punja harta kadang-kadang dapat dipanggil dengan nama kikir dan chizit. Sedang orang jang punja ilmu selalu dipanggil dengan nama megah dan mulia.

VI. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta banjak pentjurinja dan ilmu tidak ada pentjurinja.

VII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang jang punja harta dihisab pada hari kiamat, sedang orang jang punja ilmu diberi sjafa'at pada hari kiamat.

VIII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta bisa habis karena lama masanja, sedang ilmu tidak bisa habis meskipun tidak ditambah.

IX. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena ilmu membuat hati jang punja terang benderang, sedangkan harta membuat kasar hati jang punja.

X. Manakah jang lebih utama ilmu, atau harta ?

Ali : Ilmu, sebab orang jang mempunjai ilmu termasuk ubudijah. jang diberi pahala oleh Tuhan, sedangkan orang mempunjai harta termasuk rubudijah.

Demikianlah kita batja tjeriteranja dalam "Mawa'iz al-Usfurijah" jang menerangkan selandjutnja, bahwa orang-orang jang bertanja pada Ali itu jang achirnja mengakui akan luasnja ilmu pengetahuan Ali dan bidjaksananja dalam memberikan djawaban atas satu-satu pertanjaan.

Ali terkenal salah seorang sahabat Nabi jang paling berani dan gagah perkasa dalam peperangan. Hampir pada seluruh peperangan dalam masa Nabi dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib dengan pedangnja jang terkenal, bernama Zulfikar. Ia terkenal pula sebagai seorang pahlawan jang diserahi tugas membawa pandji-pandji Nabi.

Dalam dunia tasawwuf dan tarekat Ali terkenal sebagai waliullah, jang selalu dipudji-pudji oleh orang-orang Sufi, karena mutiara hikmahnja jang pelik-pelik.

Dalam hal berpidato dan sastera Ali terkenal sebagai salah seorang sasterawan jang lantjar dan sangat petah lidahnja. Pidato-pidatonja ditjatat dan dikumpul orang mendjadi buku jang berdjilid-djilid diantaranja bernama "Nahdjul Baliaghah".

Disamping memangku djabatan Chalifah, jang diakui sah, baik oleh Sji'ah maupun oleh Ahli Sunnah wal Djama'ah, Ali adalah seorang jang termasuk kedalam golongan penulis wahju, jang disampaikan oleh Nabi kepada umatnja, salah seorang pengumpul Al-Qur'an dan penuils tafsirnja. Ali djuga adalah salah seorang chalifah jang pertama dari Bani Hasjim.

Menurut penetapan Ibn Abbas, Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, Salman Al-Farisi dan lain-lain sahabat jang banjak, bahwa dialah orang jang mula-mula masuk Islam dan beriman pada Nabi.

Mengenai Ali banjak sekali ditulis orang riwajat hidupnja, jang ditindjau dari bermatjam-matjam segi hidup. Banjak hadishadis jang menerangkan keutamaan Ali melebihi sahabat jang lain-lain. Semua sahabat Nabi, besar dan ketjil segan kepadanja, dan tidak mau memutuskan perkara-perkara besar sebelum berunding dengannja.

Ibn Taimijah mengatakan, bahwa tidak dapat disamakan sirna sekali Mu'awijah dengan Ali dalam haknja mendjadi chalifah. Mu'awijah tidak berhak mendjadi chalifah, karena dia tidak dapat menjamai Ali dalam ilmu pengetahuannja, dalam persoalan agamanja dan dalam keberaniannja, begitu djuga. dalam kelebihan-kelebihan jang lain dan keutamaannja jang hanja sama dengan keutamaan saudara-saudaranja Abu Bakar, Umar dan Usman. Tidak ada ketinggalan daripada teman-teman Nabi bermusjawarat sesudah Usman selain Ali. Ada Sa'ad (bin Abi Waqqash ?) tetapi Sa'ad telah melepaskan kesediaannja mendjadi chalifah, sehingga seluruh kesempatan ini kembali kepada Ali dan Usman, dan sesudah Usman terbunuh, bulat segala pikiran umum mengenai kedudukan chalifah hanja untuk Ali.

Mu'awijah jang menganggap dirinja chalifah sebenarnja belum diakui orang, dan diberikan sumpah setia tatkala ia memerangi Ali, dan Ali-pun tidak memerangi dia karena kedudukan Mu'awijah sebagai chalifah karena ia tidak berhak mendjadi chalifah itu. Peperangan dimulai krena kezaliman, bukan karena rebutan chalifah, karena seluruh kesatuan pendapat, hanjalah Ali jang diakui sebagai chalifah sesudah Usman.

Demikian kita batja dalam kitab "Lawa'ihul Anwar", karangan As-Safarini al-Hanbali. Dalam kitab itu kita batja lebih Lndjut pendapat Ibn Taimijah, bahwa ia menolak segala fitnah dan sangka-menjangka ada perselisihan antara Ali dan Usman, ia menuduh dusta pendapat orang jang mengatakan, bahwa Ali memerintah membunuh Usman bin Affan, jang sekali-kali tidak masuk dalam akal jang waras. Ali bersumpah, bahwa ia tidak membunuh Usman dan tidak rela atas pembunuhan itu, dan sumpah Ali itu dalam sedjarah hidupnja benar dan tidak diperselisihkan orang. Ibn Taimijah menerangkan bahwa ada -dua golongan manusia, golongan jang mentjintai Ali dan golongan jang membentjinja. Golongan jang mentjintainja mengandung niat menentang Usman dan berpendapat bahwa Usman berhak dibunuh. Golongan jang membentjinja menentang Ali dan menuduhnja, bahwa ia sekurang-kurangnja membantu atas pembunuhan Usman dan tidak mentjegah pertumpahan darah. Perbedaan paham ini lalu menimbulkan dua golongan, dalam Islam, jaitu golongan Usmanijah dan golongan Sji'ah. Bagaimanapun djuga perbedaan pahamnja, kedua golongan ini berpendirian, bhwa Mu'awijah bukan saingan Ali untuk mendjadi chalifah Nabi sesudah wafat Usman.

Ibn Taimijah melandjutkan tjeriteranja, bahwa sesudah pembunuhan Usman, segera pada keesokan harinja dilakukan sumpah setia serempak terhadap Ali. Orang datang berdujun-dujun kepadanja dan berkata : "Bentangkan tanganmu, kami akan bersumpah setia kepadamu !" Begitu besar tjinta umat Islam ketika itu kepada Ali. Tetapi Ali masih menampik desakan massa itu dengan utjapannja : "Penetapan ini bukan urusanmu. Hanja Ahli Badarlah jang berhak menetapkan aku mendjadi chalifah atau tidak mendjadi chalifah." Semua Ahli Badar ketika itu mendatangi Ali dan berkata : "Kami tidak melihat seorangpun selain engkau jang berhak mendjadi chalifah. Bentangkan tanganmu dan kami akan memberikan sumpah setia kami kepadamu !" Maka berlakulah sumpah setia jang sah terhadap keangkatan Ali mendjadi chalifah (hal. 11:326).

Disini terdjadilah pokok permusuhan. Marwan dan anaknja lari dari orang banjak itu untuk membuat onar.

Sesudah Ali diangkat mendjadi chalifah, barulah ia berasa berhak memeriksa perkara-pembunuhan atas diri Usman, melalui isterinja dan orang-orang jang dianggap mendjadi saksi atau melihat dan mengetahui kedjadian itu. Ia memukul anaknja Hasan, mengetjam Muhammad bin Thalhah karena dianggapnja kurang rapi mendjalankan tugas dalam mendjaga keselamatan diri Usman. Ada orang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair tjuma melakukan sumpah setia karena terpaksa, kemudian mereka pergi ke Mekkah mengadjak Aisjah pergi ke Basrah menuntut bela atas darah Usman. Maka terdjadilah peperangan Djamal dalam bulan Djumadil Achir tahun 36 H. Dalam peperangan ini tidak kurang terbunuh manusia dari tiga belas ribu djiwa banjaknja. Mu'awijah dan tentara-tentaranjapun keluar dari Sjam menuntut bela kematian Usman kepada Ali. Tjeritera tentang perbedaan dan perselisihan ini akan kita bahas dalam bahagian tersendiri setjara terperintji.

Orang membitjarakan dalam hukum tentang keutamaan sahabat, mana jang lajak mendjadi chalifah lebih dahulu sesudah wafat Nabi. Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang terdiri dari golongan Asarijah, Asj'arijah dan Maturidijah, menetapkan tertib chaliffah sebagai berikut : Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Semua ulama sepaham dan sependirian, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi ialah Abu Bakar sebagai chlifah I dan Umar sebagai chaliffah ke II. Dibelakang itu terdapat perselisihan paham. Ahmad dan Imam Sjafi'i, begitu djuga pendapat jang masjhur dari Imam Malik, jang terutama sesudah Abu Bakar dan Umar ialah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ulama-ulama Kufi, diantaranja Sufjan As-Sauri, mengutamakan Ali lebih dahulu daripada Usman. Ada ulama jang memutuskan, tidak boleh membitjarakan, mana jang lebih utama daripada Usman dan Ali.

Ditjeriterakan orang, bahwa Abu Abdullah al-Mazari pernah menerangkan, bahwa pada suatu hari Malik ditanjai orang manakah orang-orang jang utama sesudah Nabi. Ia mendjawab Abu Bakar, sesudah itu Umar, kemudian ia diam. Lalu orang katakan, bahwa Imam Malik ragu dan minta kepastian antara Ali dan Usman. Dengan terpaksa Imam Malik mengatakan : "Saja belum pernah mendapati seorang sahabat jang membeda-bedakan keutamaan antara Usman dan Ali.

Susunan keutamaan sebagai jang disebut diatas tentu dilihat dari sudut hukum, tapi djika dilihat dari sudut kekeluargaan dan nasab, tidak ada seorangpun jang berani mengatakan, bahwa keutamaan Ali tidak melebihi daripada segala sahabat jang ada. Abu Bakar sendiri jang menurut kebulatan pikiran umum seorang sahabat Nabi jang utama sekali, masih mengakui Ali lebih afdhal dari dia.

Ditjeriterakan orang, bahwa Nabi pada suatu hari mengemukakan pengadjaran kepada sahabat-sahabatnja. Karena pengadjaran itu sangat penting semua orang ber-desak2 duduk dekat Nabi, agar dapat mendengar dengan baik. Ali datang kemudian, den oleh karena tidak ada tempat lagi dekat Nabi ia terpaksa berdiri djauh. Tidak ada seorangpun jang mau mengalah memberikan tempat duduk dekat Nabi kepadanja. Abu Bakar melihat Ali dalam keadaan demikian, lalu segera ia bangun dan memberikan tempat duduknja jang dekat kepada Nabi kepada Ali. Nabi, jang dengan matanja jang tadjam melihat keadaan Abu Bakar menghormati Ali, lalu berkata : "Tidak mengerti akan keutamaan, melainkan orang jang utama djuga."

Ulama-ulama Sji'ah melihat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi jang paling utama, dan menetapkannja dengan nash Nabi berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi. Mughnijah menerangkan, bahwa sedjarah Sji'ah adalah sedjarah keterangan Nabi, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah wafatnja ialah Ali bin Abi Thalib. Dan banjak sekali sahabat-sahabat besar jang melihat keutamaannja dan kechalifahannja itu mutlak. Ibn Abil Hadid menjebut diantara sahabat-sahabat besar itu ialah Ammar bin Jasar, Miqdad bin Aswad, Abu Zarr, Salman al-Farisi, Djabii bin Abdullah, Ubay bin Ka'ab, Huzaifah al-Jamani, Buraidah, Abu Ajjub al-Anshari. Sahal bin Hanief, Usman bin Hanief, Abui Haisam bin Taihan, Abu Thufai, dan semua Bani Hasjim, semuanja mengatakan bahwa keutamaan mutlak bagi Ali dan chalifah pertamapun baginja.

Ditjeriterakan bahwa Salman al-Farisi pernah menerangkan: "Kami bersumpah kepada Rasulullah untuk memberi nasihat kepada kaum muslimin dan mengimami Ali bin Abi Thalib serta menganggapnja wali. Abu Sa'id al-Chudri pernah berkata : "Manusia diperintahkan Tuhan mengerdjakan lima perkara, tetapi jang dikerdjakannja hanja empat, sedang jang satu perkara lagi ditinggalkan." Tatkala orang menanjakan kepadanja, apa empat perkara jang dikerdjakan orang itu, ia mendjawab : "sembahjang, zakat, puasa dan hadji". Tatkala ditanjakan orang apakah jang satu perkara jang tidak dikerdjkan, ia mendjawab : "Mengaku pimpinan kepada Ali bin Abi Thalib". Tatkala orang bertanja kepadanja, apakah itu diwadjibkan dalam Islam, ia mendjawab : "Memang itu diwadjibkan, sebagaimana diwadjibkan shalat, zakat, puasa dan hadji".

Sahabat-sahabat jang sependapat dengan itu dapat kita sebutkan misalnja Abu Zar al-Ghiffari. Ammar Jasir, Huzaifah alJamani, Abu Ajjub al-Anshari, Chalid bin Sa'id dan Qais bin Ubbadah.......

Ada orang berpendapat, bahwa Sji'ah itu lahir pada hari peperangan Djamal, ada jang mengatakan, bahwa ia lahir pada hari timbulnja golongan Chawaridj. Thaha Hussain dalam kitabnja "Ali wa Banuhu", mengatakan bahwa Sji'ah itu tersusun sebagai Suatu partai politik jang teratur untuk mempertahankan Ali dan anak-anaknja, terdjadi dalam masa Hasan bin Ali.

Mughnijah dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimyn" (Beirut, 1962) menerangkan, bahwa pendapat jang mengatakan, bahwa Sji'ah itu didirikan oleh Abdullah bin Saba', adalah tidak benar, dan utjapan ini dikeluarkan oleh mereka jang tidak memahami Sji'ah serta sedjarahnja (hal. 18).


3

4

5

6

7

8

9

10

11

12