sji'ah

sji'ah0%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11895
Download: 2886

Komentar:

sji'ah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11895 / Download: 2886
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

I. IDJTIHAD DAN TAQLID

I

Sebelum kita bitjarakan persoalan idjtihad dan taqlid dalam mazhab Sji'ah, baik kita djelaskan duduknja persoalan ini dalam pengertian umum Islam. Idjtihad umumnja diartikan berusaha bersungguh-sungguh mengetahui duduknja sesatu perkara dan berfikir menetapkan suatu hukum dari sumber pokok fiqh Islam. Kebalikannja dinamakan taqlid jaitu menuruti pikiran seorang ulama dengan tidak mengetahui alasan sumbernja, atau sebagai jang ditetapkan oleh Amadi, jaitu beramal dengan utjapan seorang ulama dengan tidak memakai alasan jang diwadjibkan mengetahuinja.

Oleh karena hukum Islam itu adalah sjari'at ketuhanan, jang berdasarkan kepada pokok-pokok hukum jang sudah ditentukan, seperti Qur'an, Sunnah, jang hanja diterima untuk diamalkan, atau seperti idjma', qijas dan istihsan, jang kemudian dipikirkan sebagai dasar tambahan, adalah idjtihad itu suatu djalan untuk menetapkan hukum-hukum jang berkembang dalam masjarakat pergaulan manusia. Idjtihad merupakan usaha jang 'berfaedah sekali dalam sedjarah perkembangan hukum Islam. Orang jang melakukan idjtihad, mudjtahid, menetapkan sesuatu hukum dengan nas Qur'an dan Hadis, apabila ia berhasil memperolehnja, tetapi djuga menetapkan dengan pikirannja, ra'ji, apabila ia tidak mendapati nas itu. Kadang-kadang ia memperbandingkan sesuatu perkara dengan perkara jang sudah terdjadi, qijas, memilih suatu hukum jang lebih baik dan lebih tjotjok dengan masa dan tempat. istihsan, atau mendasarkan pertimbangannya kepada sesuatu kemaslahatan, muslahatul mursalah.

Semua djalan-djalan jang ditempuh ini tidak sama, dan dengan demikian hasilnjapun berlain-lainan, sehingga terdjadilah perbedaan pendapat dalam idjtihad, dan perbedaan mazhab-mazhab, terutama dalam zaman keemasan Abbasijah, dalam zaman mana sebagai jang kjta kenal lahirlah empat kuh mazhab Ahli Sunnah, jang besar sekali kemadjuannja dalam ilmu fiqh dan ilmu usul.

Perselisihan paham dan kemerdekaan berpikir serta debat-mendebat sangat menguntungkan peradaban fiqh. Tetapi sajang kemadjuan ini berachir tatkala Bagdad diserbu oleh Hulagu Khan dalam pertengahan abad ke VII H. atau abad ke XIII M., suatu penjerbuan jang kedjam dan merusak binasakan hampir seluruh kebudajaan Islam jang dibentuk berabad-abad. Mungkin untuk menutup kesempatan Hulagu Khan menggunakan ulama-ulama Islam memberi fatwa-fatwa jang merugikan Islam, mungkin djuga karena alasan lain, ulama-ulama Sunnah menjatakan pintu idjtihad itu tertutup pada waktu itu dan menganggap tjukup beramal dengan peraturan-peraturan jang telah ditetapkan oleh empat mazhab besar, jaitu Hanafi, Maliki dn Hanbali, dalam urusan ibadat dan mu'amalat.

Banjak orang menjajangkan, bahwa dengan tertutup pintu idjtihad itu, tertutup pula kemerdekaan berfikir dalam kalangan orang Islam, sehingga umat Islam itu mendjadi beku dalam segala segi kehidupannja.

Dr. Sobhi Mahmassani termasuk salah seorang jang menjalakan keketjewaannja tentang kebekuan itu. Hal ini didjelaskan pandjang lebar dalam kitabnja "Falsafatul Tasjri' fil Islam" (Beirut 1952). Ia berpendapat, bahwa keadaan inilah jang menjebabkan timbulnja banjak taqlid, banjak bid'ah jang berdasarkan atas kebodohan dan sjak wasangka dan tersiarlah churafat bikin-bikinan dari zaman kezaman, jang membuat Islam itu mendjadi mundur. Banjak orang-orang Islam jang bertaqlid kepada perkaraperkara agama dalam ibadat, jang sesudah diselidiki tidak ada hubungan sama sekali dengan fiqh.

Keadaan ini lebih merugikan, karena ahli ketimuran dari Barat, jang menjelidiki Islam pada waktu jang achir, menetapkan bahwa Islam itu dengan sjari'at-sjari'atnja sudah mundur dan tidak dapat lagi mengikuti zaman peradaban baru sekarang ini.

Kita ketahui, demikian Mahmassani lebih landjut, bahwa dalam abad ke XIX lahirlah gerakan-gerakan dalam beberapa tempat, jang berichtiar hendak memperbaiki kembali tjara berpikir dalam kehidupan Islam itu. Maka lahirlah jang dinamakan Mazhab Salaf, dan lahir pula taqlid buta itu dan mempropagandakan untuk tidak berpegang kepada salah satu mazhab tertentu, begitu djuga ia menjeru umat Islam untuk mempersatukan mazhab-mazhabnja dan kembali kepada pokok hukum sjari'at serta semangatnja jang sebenarnja, agar umat Islam madju dalam peradabannja.

Dapat kita terangkan disini, bahwa menurut pendapat umum dalam dunia Islam tidaklah idjtihad itu dibolehkan bagi sembarang orang, tetapi seorang mudjtahid jang ingin menetapkan sesuatu hukum, istinbath, atau menetapkan dalil2 bagi sesuatu kedjadian, istidlal, harus merapunjai beberapa sjarat, jaitu tjerdas, berakal, adil, bersifat dengan sifat-sifat dan achlak jang baik, alim dalam hukum dengan mengetahui alasan-alasan sjara', mengetahui benar tentang bahasa (Arab), ahli dalam tafsir Qur'an.

mengetahui sebab-sebab turunnja ajat Qur'an, mengetahui sedjarah perawi-perawi, baik dan buruk sifat mereka dan djalan hadis, mengetahui ajat-ajat jang nasich dan mansuch, sebagaimana jang pernah dibitjarakan oleh Asj-Sjathibi dalam kitabnja "Al-Muwaraqai", IV: 106.

Sjarat-sjarat jang dikemukakan itu terutama bagi orang jang dinamakan mudjtahid mutlak, jang ingin beridjtihad dalam seluruh masalah fiqh, tidak diwadjibkan bagi mudjtahid matjam lain. Mudjtahid jang hendak menetapkan sesuatu hukum mengenai sebuah masalah agama, tjukup baginja sebagai sjarat alim dalam pokok-pokok hukum fiqh jang empat itu dan mengetahui sungguhsungguh akan perkara jang dihadapinja.

Mudjtahid mutlak atau jang dinamakan djuga mudjtahid dalam hukum sjara', adalah orang jang istimewa keahliannja dalam sesuatu mazhab atau djalan tertentu, seperti imam-imam mazhab empat Abu Hanifah, Malik Sjafi'i dan Ahmad ibn Hanbal, atau seperti imam-imama mazhab lain, seperti Auza'i, Daud Dhahiri, Thabari, Imam Dja'far As-Shadiq, dll.

Mudjtahid mazhab adalah mudjtahid jang tidak mentjiptakan suatu mazhab sendiri, tetapi ia dalam mazhabnja menjalani imam jang diikutinja dalam idjtihadnja mengenai beberapa perkara pokok atau tjabang hukum Islam. Sebagai tjontoh kita sebutkan Abu Jusuf dan Muhammad bin Hasan dalam mazhab Hanafi, dan Mazani dalam mazhab Sjafi'i, jang keputusan-keputusan idjtihadnja tidak selalu sedjalan dengan tjara berpikir imam-imamnja.

Mudjtahid fatwa ialah seorang jang beridjtihad dalam sesuatu masalah, jang tidak merupakan atau mengenai pokok-pokok umum bagi sesuatu mazhab. Misalnja Thahawi dan Sarchasi dalam mazhab Hanafi, Imam Ghazali dalam mazhab Sjafi'i, mereka atjapkali beridjtihad dan menetapkan hukum sesuatu masalah jang tidak menjalani pokok-pokok asal daripada mazhab jang dianutnja.

Mudjtahid muqajjîd dikatakan orang jang mengikatkan sesuatu penetapan hukum dengan tjara berpikir Salaf dan mengikuti idjtihad mereka, kemudian menjatakan hukum ini untuk diamalkan. Dengan sendirinja mudjtahid ini keluar daripada tjara berpikir mazhab jang ada, dan oleh karena itu mereka dimasukkan kedalam golongan jang dinamakan Ashab Tachridj, dan mereka sanggup mengatasi pendapat-pendapat mazhab-mazhab jang sudah diakui kekuasaannja, mengistimewakan paham-paham salaf, mendjelaskan perbedaan riwajat jang kuat dan jang dhaif, riwajat jang umum dan riwajat jang djarang tersua, dan dengan demikian mentjiptakan suatu hukum baru dalam sesuatu persoalan. Sebagai tjontoh kita sebutkan Al-Karachi dan Al-Quduri dalam mazhab Hanafi, jang dalam pendirian sesuatu masalah ia berpisah sama sekali dengan imam mazhabnja. lalu berpegang kepada tjara-tjara berpikir orang Salaf.

I. IDJTIHAD DAN TAQLID

II

Daم am Qur'an, Sunnah dan Idjma' sahabat, begitu djuga pendapat imam mazhab empat, terdapat banjak keterangan-keterangan, jang menundjukkan bahwa idjtihad itu untuk orang-orang jang memenuhi sjarat mudjtahid wadjib hukumnja, dan tak boleh ditinggalkan. Demikian pendapat umum dalam dunia Islam.

Jang didjadikan alasan untuk mewadjibkan itu diantara lain ialah ajat Qur'an. jang bunjinja : "Gunakanlah pikiranmu, wahai orang jang mempunjai akal" (Al-Hasjar, 59), dan aat Qur'an jang berbunji : "Djika engkau berbantahan dalam sesuatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasulnja" (AnNisa', 59). Dalam Sunnah terdapat keterangan jang lebih njata. diantara lain sabda Nabi : "Beridjtihadlah kamu, segala sesuatu jang didjadikan Tuhan mudah adanja" (Amadi, Al-Ahkam, III : 170), sabdanja : "Apabila seorang hakim hendak mendjatuhkan suatu hukum dan ia beridjtihad, kemudian ternjata hukumnja itu benar, maka ia beroleh dua pahala, dan apabila ternjata bahwa hukumnja itu salah, maka ia mendapat suatu pahala" (BuchariMuslim). Dan banjak lagi hadis-hadis jang lain, jang menjuruh menuntut ilmu, jang menerangkan, bahwa ulama itu amanat Rasul, pelita bumi, pengganti nabi-nabi atau ahli waris nabi-nabi, jang semuanja mengandjurkan berfikir, mentjari ilmu dan beridjtihad.

Chalifah Abu Bakar pernah melakukan idjtihad mengenai perkara warisan kalalah dan Chalifah Umar bin Chattab pun banjak kali beridjtihad, sambil berkata : "Umar tidak tahu, apakah ia mentjapai kebenaran atau tidak, tetapi ia tidak mau meninggalkan idjtihad" (Amdi dan Imam Al-Ghazali).

Menurut Ibn Qajjim Abu Hanifah dan Abu Jusuf pernah berkata : "Tidak diperkenankan bagi seseorang berkata menggunakan perkataan kami. hingga ia tahu dari sumber mana kami berkata itu." Mu'in bin Isa pernah mendengar Imam Malik berkata : 'Aku ini hanja seorang manusia, dapat berbuat salah dan dan dapat djuga berbuat jang benar. Lihatlah kepada pendapatku. djika ia sesuai dengan Kitab dan Sunnah, gunakanlah pendapat itu, tetapi djika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah tinggalkanlah pendapat itu." Imam Sjafi'i pernah berkata : "Meskipun aku sudah mengatakan pikiranku, tetapi djika engkau dapati Nabi berkata berlainan dengan kataku itu, maka jang benar adalah utjapan Nabi, dan djanganlah engkau bertaqlid kepadaku. Apabila ada sebuah Hadis jang menjalani perkataanku dan Hadis itu shah, ikutilah Hadis :tu, ketahuilah, bahwa itulah mazhab ku." Djuga Imam Ahmad bin Hambal, seorang Imam jang terkenal kuat memegang Sunnah dan sedapat mungkin menghindarkan dirinja dari menggunakan pikiran, berkata kepada muridnja : "Djangan kamu bertaqlid kepadaku, djangan kepada Malik, djangan kepada Sjafi'i dan djangan pula kepada Sauri, ambillah sesuatu dari sumber tempat mereka menqambil pikiran itu."

Dari semua uraian diatas ternjata, bahwa taqlid buta, taqlidul a'ma dalam agama dilarang, dan bahwa beridjtihad itu wadjib hukumnja bagi orang alim jang berkuasa. Uraian itu menundjukkan djuga, bahwa seorng mudjtahid mungkin mengalami sa'ah dan benar. Mereka berfikir setjara merdeka. Berlainan dengan pendapat Mu'tazilah, jang berkata bahwa tiap-tiap mudjtahid jang menggunakan akalnja pasti benar, dengan demikian aliran ini seakan-akan memaksa seseorang manusia apa jang tidak sanggup diperbuatnja. Tentu hal ini tidak diperkenankan pada siara', dengan alasan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tuhan Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sekuasanja" (AlBaqarah, 286).

Disamping wadjib beridjtihad dan haram taqlid ada satu perkara jang harus diperhatikan, jaitu bahwa seorang mudjtahid atau qadi tidak terikat kepada keputusn idjihadnja dimasa jang telah lampau, apabila keputusan ternjata kurang benar. Dalam hal ini Umar ibn Chattab pernah memperingatkan dalam suratnja kepada Abu Musa Al-Asj'ari sbb. : "Tidak ada sesuatu jang dapat mentjegahkan engkau memeriksa kembali keputusan idjtihadmu dalam sesuatu hukum. Mudah-mudahan engkau beroleh petundjuk dan engkau pulang kepada jang hak. karena hak itu asli (qadim), tidak dapat dibathalkan oleh sesuatu, dan kembali kepada jang hak lebih baik dari pada berpegang kepada jang bathil" (Mawardi, Al-Ahkamus Sulthanijah, dll.).

Mengenai taqlid pendapat umum mengatakan, bahwa menuruti pendapat orang lain dengan tidak mengetahui hudjdjah jang diwadjibkan. tidak diperkenankan bagi orang jang berkuasa beridjtihad. Taqlid hanja dibolehkan kepada orang jang tidak sanggup beridjtihad, jaitu orang awam. orang jang belum mengetahui apa-apa, murid jang belum dapat beridjtihad. Bagi mereka berlaku hukum : fatwa untuk orang djahil sama kekuatannja dengan idjtihad bagi mudjtahid, atau fatwa mudjtahid untuk orang awam sama dengan dalil sjara' bagi orang mudjtahid. Demikian tersebut dalam kitab Al-Djami' dan Al-Muwafaqat.

Pendapat ini masuk diakal, karena hidup bermasjarakat sosia dan ekonomi sekarang ini sibuk dengan urusan-urusan tersendiri, sehingga tidak setiap orang dapat membuat dirinja ahli dalam hukum fiqh dan usul. Orang jang sematjam itu dibolehkan mengikuti perkataan mudjtahid, sesuai dengan firman Tuhan dalam Qur'an : "Tanjaiah kepada orang alim djika kamu sendiri tidak mengetahui !" (An-Nahal, 43).

Demikianlah perkembangan tjara berfikir dalam dunia ulama Ahli Sunnah. Sekarang mari kita tindjau pendirian golongan Sji'ah, jang sebagaimana dapat dilihat hampir tidak berbeda dengan itu, ketjuali mengenai idjtihad, jang oleh Sji'ah dianggap tetap terbuka selama-lamanja. Pendirian inipun sesuai dengan pendirian sebahagian ulama Ahlus Sunnah.

Tentang mengubah sesuatu idjtihad, sebagaimana pendapat Umar bin Chattab, tidak sadja terdjadi dalam golongan Sji'ah, tetapi djuga dalam golongan Ahli Sunnah. Ingat akan mazhab Sjafi'i, jang mempunjai dua aliran berfikir, jang biasa dikenal dengan Qaul Qadim masa Baghdad, dan Qaul Djadid masa Mesir.

Dr. Mahmassani mengatakan, bahwa kemerdekaan idjtihad dalam mazhab Sji'ah Isna Asjar Imamijah lebih luas dari Ahli Sunnah. Pada mereka pintu idjtihad itu selamanja terbuka sampai zaman sekarang ini. Mereka melekatkan penghargaannja kepada idjtihad lebih tinggi dari Idjma' dan Qijas. Imam pada mereka berkedudukan sebagai kepala mudjtahid, sajjidul mudjtahidin, tempat mereka memperoleh ilmu pengetahuan agama. Imam itu dianggap ma'sum dari pada segala kesalahan; berlainan sekali dengan kedudukan seorang chalifah dalam kalangan Ahli Sunnah (Falsafat dst., hal. 141).

Tentu sadja Imam itu boleh beridjtihad dalam hukum-hukum furu' dan bukan dalam sesuatu jang bertentangan dengan Qur'an dan Sunnah.

Menurut Sji'ah tiap-tiap orang Islam jang mukallaf diwadjibkan mengerdjakan segala hukum Islam jang dipikulkan kepadanja dengan jakin, dan jakin itu menurut mereka diperoleh melalui salah stftu djalan idjtihad, taqlid dan ihtijath. Pengertian ketiga matjam djalan ini didjelas-kan dalam kiab-kitab Sji'ah sebagai berikut.

Idjtihad jaitu menetapkan hukum sjara' dengan pendapatnja jang sudah ditetapkan. Taqlid jaitu berpegang kepada fatwa seorang mudjtahid dalam mengerdjakan segala amal ibadat. Ihtijath jaitu beramal dengan suatu tjara jang jakin dari kebiasaan jang belum diketahui sungguh-sungguh duduk perkara jang sebenarnja.

Bagi orang-orang Sji'ah beridjtihad itu wadjib kifajah dan apabila ada segolongan manusia mengerdjakan pekerdjaan ini, terbebaslah manusia jang lain dari pada kewadjiban itu, tetapi apabila tidak ada jang sanggup melakukan idjtihad itu, maka seluruh masjarakat Islam berdosa kepada Tuhan. Orang jang sanggup melakukan idjtihad dinamakan mudjtahid. Mudjtahid itu ada dua matjam, pertama mudjtahid mutlak dan kedua mudjtahid muttadjiz. Jang dinamakan mudjtahid mutlak ialah orang Islam jang sanggup menetapkan hukum mengenai seluruh persoalan fiqh, sedang mudjtahid muttadjiz ialah orang jang berkuasa menetapkan sesuatu hukum sjara' dalam beberapa hukum furu' fiqih. Seorang mudjtahid mutlak diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja. Ia boleh djuga beramal setjara ihtijath. Mudjtahid muttadjiz djuga diwadjibkan beramal dengan hasil idjtihadnja djika ia mungkin dalam mentjiptakan hukum furu'. Tetapi djika ia tidak mungkin, maka ia dihukum bukan mudjtahid, dan boleh ia memilih salah satu djalan antara taqlid dan beramal dengan ihtijath.

Mengenai taqlid diterangkan, bahwa taqlid itu ialah menuruti tjara berfikir seseorang mudjtahid karena tidak sanggup beridjtihad sendiri. Amal seorang awam jang tidak didasarkan kepada taqlid atau ihtijath dianggap bathal. Orang, jang bertaqlid dinamakan muqallid dan terbahagi atas dua bahagian, pertama awam sematamata, jaitu seseorang jang tidak mengenal sama sekali hukum sjara'. Kedua muqallid berilmu, jaitu seseorang jang mempunjai ilmu tentang Islam dalam garis-garis besarnja, tetapi tidak sanggup menetapkan sesuatu hukum dengan idjtihad.

Dalam bertaqlid disjaratkan dua perkara sebagai berikut : pertama amalnja sesuai dengan fatwa mudjtahid jang diikutinja dalam bertaqlid, kedua benar kasad ibadatnja untuk berbakti kepada Tuhan dengan setjara jang diputuskan mudjtahid itu.

Seorang muqallid dapat mentjapai fatwa mudjtahid jang diikutinja dengan salah satu dari pada tiga djalan : pertama ia mendengar langsung hukum sesuatu masalah pada mudjtahid itu sendiri, kedua bahwa ada dua orang jang adil dan dapat dipertjajai menjampaikan fatwa mudjtahid itu kepadanja, boleh djuga hanja oleh seorang sadja ang dipertjajainja sungguh-sungguh dan dapat menteramkan kejakinannja, ketiga ia membatja sebaran tertulis, dimana diuraikan fatwa mudjtahid itu dan keputusan itu hendaknja dapat menenteramkan djiwanja tentang sahnja dan benarnja penetapan hukum tersebut.

Apabila seorang mudjtahid mati, sedang muqallid tidak mengetahuinja melainkan sesudah beberapa waktu kemudian, amal muqallid jang sesuai dengan mudjtahid jang wafat itu sah dalam taqlidnja. Bahkan dihukum sah dalam beberapa perkara jang berlainan, asal iang berlainan itu mengenai persoalan-persoalan jng dapat diampuni dalam agama karena uzur, seperti antara satu kali atau tiga kali mengutjapkan tasbih, jang fatwanja berbeda antara mudjtahid pertama jang sudah mati dengan mudjtahid jang dibelakangnja. jang berlaku fatwanja dalam masa itu. Djadi berlainan djumlah kali tasbih karena berlainan fatwa mudjtahid tidak merusakkan sahnja sembahjang seorang muqallid dalam mazhab Sji'ah.

Seorang muqallid harus bertaqlid kepada mudjtahid jang lebih alim dari jang lain. Djika ia mendengar utjapan dua jang berlainan dari dua orang mudjtahid, dan orang tundjukkan kepadanja, bahwa mudjtahid jang seorang itu lebih alim dari jang lain, maka muqallid itu harus mengikuti mudjtahid jang alim itu. Seorang anak boleh bertaqlid, dan apabila mudjtahid jang diikutinja, itu mati sebelum sampai umurnja, anak itu boleh bertaqlid terus kepadanja dengan tidak usah memilih mudjtahid jang lebih alim.

Orang-orang jang dibolehkan bertaqlid kepadanja, harus mempunjai sjarat-sjarat tertentu, seperti bahwa ia sudah baligh, berakal, seorang laki-laki, seorang jang teguh imannja (dalam hal ini dimaksudkan Sji'ah penganut-penganut mazhab isna Asjarijah), adil. bersih keturunannja. ahli agama, mempunjai kekuatan ihtijath dan masih hidup. Tidak dibolehkan bertaqlid pada umumnja kepada mudjtahid jang sudah mati, meskipun diketahui bahwa ia pada waktu hidupnja adalah seorang mudjtahid jang lebih adil dari jang lain.

Dalam memilih mudjtahid jang lebih alim ditentukan dua buah sjarat. Djika ada seorang mudjtahid mengadjarkan perselisihan pendapat dalam fatwanja, baik setjara garis besar atau setjara perintjian. seorang muqallid wadjib memilih mudjtahid jang lebih alim.

Djika seorang mudjtahid dalam memberikan fatwa tidak mengadjarkan perselisihan faham sama sekali, kepadanja dibolehkan taqlid dengan tidak usah mentjahari orang lain jang lebih alim. Djika seorang muqallid memerlukan sebuah fatwa, ia boleh memilih seorang mudjtahid jang sanggup memberikan fatwa itu kepadanja, meskipun ada disampingnja mudjtahid lain jang lebih alim.

Ihtijath artinja boleh mengerdjakan, boleh meninggalkan dan boleh mengulang sesuatu amal jang tidak diketahui tjaranja tetapi dijakini dapat melepaskannja dari suatu perintah agama. Jang masuk bahagian pertama ialah hukum-hukum jang diragu-ragui antara wadjib dan tidak haram, mazhab Sji'ah dalam keadaan jang demikian memerintahkan mengerdjakannja. Mengenai matjam kedua, djika diragu-ragui antara perintah dan tidak wadjib, ihtijath dalam hal ini menghendaki agar pekerdjaan jang demikian itu ditinggalkan dan djangan dikerdjakan. Dalam perkara jang ketiga misalnja mengenai suatu hukum jang diragu-ragui wadjibnja mengenai dua matjam ibadat, seperti pertanjaan, apakah sem bahjang jang dilakukannja harus lengkap atau dipendekkan dalam bentuk qasar, maka ihtijath dalam keadaan begini diulang dua kali, sekali setjara qasar dan sekali setjara tamam atau lengkap.

Mungkin terdjadi seorang awam tidak pernah dapat membedakan tjara ihtijath sematjam itu, misalnja karena ahli fiqh berbeda paham mengenai harus berwudhu' atau mandi dengan air musta'mal dalam menghilangkan hadas besar. Ihtijath dalam keadaan seperti ini ialah meninggalkan seluruh matjam itu. Djika orang awam itu mempunjai air jang tidak musta'mal, maka boleh dilakukannja ihtijath, jaitu berwudhu' atau mandi dengan air itu. Boleh djuga ia tajammum djika ia mungkin melakukan pekerdjaan ini.

Demikianlah beberapa tjontoh jang kita ambil dari kitab Sji'ah sendiri, jaitu kitab "Al-Masa'il al-Muntachabah" (Nedjef, 1382 H), karangan seorang ulama Sji'ah terkenal Sajjid Abui Qasim Al-Chu'i.

2. SJIAH DAN ILMU PENGETAHUAN

Dalam segala bidang ilmu pengetahuan terdapat orang-orang Sji'ah sebagai pudjangga-pudjangga jang terkemuka. Dalam bidang ilmu mantik dan logika, dalam bidang ilmu filsafat, dalam bidang ilmu djiwa dan pendidikan, dalam bidang ilmu pasti dan segala pengetahuan jang bertali dengan perhitungan, kita dapati karangan-karangan penting, jang kadang berdjilid-djilid tebalnja sebagai buah tangan pudjangga-pudjangga Sji'ah. Bahkan dalam beberapa bidang ilmu tidak sadja mereka sebagai tokoh-tokoh penting dan pengarang, tetapi pentjipta, pembentuk dan peletak dasar-dasar dalam bahasa Arab, jang dengan demikian memperkaja perpustakaan, jang berfaedah sekali untuk kemadjuan Islam dalam menghadapi dunia luar.

Kita membangga-banggakan Farabi sebagai ahli filsafat Islam jang pertama, jang disebut orang meletakkan dasar-dasar kejakinan Islam dalam filsafat dan jang disandjung-sandjungkan orang sebagai mahaguru kedua, sesudah Aristoteles. Farabi jang besar ini tidak lain dari Abu Nassar Muhammad bin Ahmad AlFarabi. seorang penganut aliran Sjiah.

Siapa Ibn Maskawaih, jang mengarang ilmu mantik, ilmu achlak dan ilmu filsafat, serta karangan-karangan jang lain jang banjak dipeladjari oleh Al-Ghazali ? Tidak lain dari seorang Sji'ah. Dengan demikian kita dapati tokoh-tokoh Sji'ah ini dalam ilmu pasti, seperti Qudamah bin Dja'far, jang meletakkan djuga dasardasar ilmu berhitung dan ilmu jang mempergunakan angka-angka pelik. Ibn Sina, seorang Sji'ah Ismailijah, jang terkenal dalam ilmu filsafat Islam sebagai mahaguru ketiga, dan dalam ilmu ketabiban. ilmu djiwa, dan ilmu hukum Islam dan perbandingan hukum Islam, seperti kitabnja Bidajatu) Mudjtahid, iang belum dapat diganti orang karena padat dan lengkap sampai sekarang ini.

Djika kita mentjari dalam bidang sedjarah dan ilmu perkembancian aoama-agama tak dapat tidak kita akan bertemu dengan kitab-kitab jang terpenting, buah tangan Nasiruddin Muhammad At-Thusi.

Demikianlah dapat kita sebutkan sebagai tokoh-tokoh terkemuka dari Sii'ah itu. Hasan bin Daud Al-Hilli, ahli dalam mantia. Hasan bin Jusuf. Al-Hilli, ahli pengetahuan alam dan tasawuf, Muhammad Ar-Razi dalam logika, ahli dalam hukum Islam. Dialaluddin Ad-Duwani, tokoh jang terkemuka dalam pengupasan mantik, Daud bin Umar Al-An Ahaki, ahli filsafat dan ilmu djiwa, Bahruddin Al-Amilli, ahli ilmu pasti, ilmu falak, ilmu berhitung, sebagaimana masjhur djuga kemudian seorang muridnja Sjaich Djawad Al-Kazimi. Semuanja meninggalkan karangan-karangannja jang penting.

Pada achirnja dapat kita sebutkan sebagai pudjangga-pudjangga Sji'ah adalah Ni'matullah Al-Djazai'ri Sadrudin Asj-Sjirazi, Mulahaddi As-Sibzawari, Sjaich Hadi Al-Bagdadi, Anibathi, Isaghudji, dan lain-lain, semuanja adalah djago-djago dan pengarangpengarang Sji'ah dalam mantik, filsafat, ilmu djiwa, ilmu pasti, ilmu hukum dan ilmu alam.

Terutama dalam ilmu bintang dan ilmu falak sangat banjak terdapat pengarang-pengarang Sji'ah Imamijah seperti An-Nubachti, Al-Barqi, Al-Masudi, Al-Djakedi, Asj-Sjamsjathi, An-Nadjasi; dan banjak sekali djika kita sebut seorang-seorang. Ibn Thaus mengarang chusus sebuah kitab jang menjebutkan berpuluh dan beratus orang ulama Sji'ah sebagai ahli ilmu bintang.

Bahkan dalam ilmu-ilmu jang ketjil-ketjilpun kita dapati pengarang-pengarang terkemuka, jang djarang diketahui orang, bahwa mereka itu penganut Sji'ah seperti jang dikemukakan namanja dalam kitab Fahrasat Ibn Nadim dalam bidang ilmu ta'bir mimpi, diantaranja Al-Barqi, An-Nadjasi, Al-Ijasi, Al-Kulaini dan lain-lain.

Lebih penting dari itu kita ingin mengemukakan beberapa nama dalam bidang ilmu kedokteran, jang telah dimulai oleh salah seorang Imam dua belas, jaitu Imam Ali bin Musa Ar-Ridha. Selandjutnja Ibn Fudhal, Al-Qummi, dengan sebuah kitab besar mengenai ilmu kedokteran. Selandjutnja Al-Tha'i, Al-Barqi, AlIjasi, Ibn Sina, jang sudah kita sebutkan diatas An-Nafisi, AlAsbahani tabib An-Nadjadi dan keluarganja, Al-Miraz, Karmana Sjahi, jang mengarang kitab penjakit anak-anak, sudah diterdjemahkan beberapa kali dalam bahasa Perantjis.

Mengenai ilmu bahasa dan sastra Arab, pudjangga-pudjangga Sji'ah telah mentjapai puntjaknja. Darah Ali bin Abi Thalib. jang tidak dapat disangkal adalah seorang pudjangga dan penjair kebanggaan Islam, jang nada iramanja masih tersimpan sampai sekarang dalam beberapa djilid kitab Nahdjul Balaghah, mengalir kepada penganut-penganut Sji'ah. Orang jang mula2 meletakkan ilmu Nahu adalah Abui Aswad Ad-Du'ali, salah seorang tabi'in iang terpenting, adalah seorang jang memihak kepada Ali bin Abi Thalib. dan jang banjak 'mengambil ilmu sadjak dan Sjair Arab dari chalifah keempat ini. Pengakuan, bahwa jang mula-mula menjusun ilmu Nahu itu Abdulrahman bin Harmuz atau Nasar bin Asim, sebagaimana tertjatat dalam kitab Ibn Nadim, tidak benar semua orang itu mengambil dari Abui Aswad Ad-Du'ali.

Jang mula-mula menjiarkan ilmu Nahu di Basrah dan Kufah pun ulama Sji'ah. Di Basrah terdapat Chalil bim Ahmad Al-Farahidi seorang jang ahli tentang ilmu alat itu, ia mendjadi guru dari Sibawaihi, seorang pudjangga dalam ilmu Nahu jang tak ada bandingannja. Dalam pada itu di Kufah terdapat Abu Dja'far Muhammad bin Hasan Ar-Ru'asi, anak paman Muaz bin Salim bin Abi Sarah, termasuk keluarga ahli bait Nabi. Sedang pudjangga jang kedua di Kufah disebut Al-Kasa'i, jang ahli dalam ilmu ke-Araban, berguru kepada Ar-Ru'asi. Dalam ilmu saraf djuga kehormatan kembali kepada Sji'ah. Bukankah peletak batu pertama dalam ilmu ini Al-Harra'?. Meskipun kehormatan ini diberikan kepada Al-Mazani dan As-Sajuti, atau kepada jang lain, seperti Ibn Duraid, Ibn Chaluwaihi, An-Nadjah, Al-Alwi, AlHuseini, Al-Asrabadi, Al-Amili, semuanja adalah pengarangpengarang Sji'ah.

Demikianlah kita batja, bahwa jang mula-mula memperbuat dan menjusun ilmu balaghah ialah Al-Marzabani Al-Churasani di Baghdad, djuga ulama Sji'ah, jang kemudian disusul oleh AlDjurdjani dalam ilmu ma'ani dan bajan, sebagaimana djuga peletak batu pertama untuk ilmu badi', jaitu penjair Ibrahim bin Ali bin Harmah. Saja tidak ingin menjebutkan semua nama-nama penjair jang terkemuka sedjak zaman Nabi, sebagaimana telah) didaftarkan oleh Sajjid Muhsin Al-Amin, dalam bukunja "A'jamisj Sji'ah" Beirut, 1960, jang memakan berpuluh-puluh halaman kitabnja, sampai kepada Hamzah paman Nabi, karena kita jang bukan Sji'ahpun menganggap semua mereka adalah penjair-penjair jang ulung dalam Islam. Siapa jang tidak mau mengaku penjair Ali bin Abi Thalib, Fatimah Zuhra', Fadhal bin Abbas, Rabi'ah bin Haris, Abbas bin Abdul Muthalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Abdullah bin Abi Sufjan, Abdullah bin Abbas, Ummu Hakim, Al-Dju'di Abui Haisam, Qais bin Sa'ad bin Ubbadah, dan sebagainja, semuanja adalah penjair-penjair jang ulung pada hari-hari pertama Islam, bukan hanja kepunjaan Sji'ah, tapi kepunjaan Islam umumnja.

Lebih penting saja akui, bahwa ulama-ulama Sji'ah dan pudjangganja memang telah djflja dalam menjusun ilmu dan kitabkitab Hadis tersendiri, ilmu dan kitab-kitab fiqh tersendiri, ilmu dan kitab-kitab tafsir tersendiri, kitab-kitab besar dan penting, jang tidak kalah mutunja dengan karangan-karangan Ahli Sunnah. Tetapi persoalan ini tidak saja masukkan kedalam pasal ini, tetapi saja bitjarakan pada waktu memperkatakan Sji'ah dan Tafsir, Sji'ah dan Hadis, Sji'ah dan Fiqh.

3. SJI'AH DAN RATIONALISME.

Dalam bahagian ini akan. kita singgung suatu sifat Sji'ah jang penting, jaitu penggunaan akal atau rationalisme dalam menetapkan sesuatu hukum. Dalam hal ini kadang-kadang mereka sedjalan tjara berfikir dengan Mazhab Az-Zahiri atau Mu'tazilah.

Sementara Ahli Sunnah berpegang kepada empat pokok hukum, adillatul ahkam atau usul fiqh, jaitu Qur'an, Sunnah, Idjma' dan Qijas, Sji'ah hanja mengakui Qur'an dan Sunnah sebagai pokok hukum Islam jang tidak dapat diganggu gugat lagi. Mereka mengakui, bahwa Qur'an sudah lengkap segala-galanja dan Sunnah menambah menjempurnakannja, sehingga kedua-duanja merupakan sumber Islam dalam masa Nabi jang harus dilaksanakan oleh semua orang Islam. Orang-orang Islam berpedoman kepada kedua sumber ini, baik dalam ibadat maupun dalam perkara jang lain. Nabi mengirimkan ketempat-tempat jang baharu menganut Islam orang-orang jang akan mengadjarkan hukum sebagaimana jang tersebut dalam Qur'an, ditambah dgn. ilmu jang mereka ketahui dari utjapan dan fatwa Nabi. Atjapkali djuga Nabi mengirimkan surat-surat jang berisi sebahagian dari pada hukum Islam kenegara-negara, daerah-daerah dan penduduk-penduk suatu tempat, radja-radja. penguasa dan orang-orang jang tertentu. Ia pernah mengirimkan surat ke Jaman dan Hamdan mengenai hukum zakat, sedekah dan beberapa hal mengenai nikah dan perkawinan (Al-Husaini, „Tarich Fiqh Al-Dja'fari". hal. 181-182).

Sesudah wafat Nabi terdjadi banjak perkara jang tidak tersua dalam masa hidupnja. terutama karena bertambah luasnja daerah Islam. Kebutuhan kepada hukum bertambah besar, dan oleh karena orang Islam tidak sanggup mengeluarkan hukum itu dari Qur'an dan Sunnah, mereka lari kepada dua sumber lain. jaitu Idjma' dan Qijas. Ibn Chaldun menerangkan dalam "Muqaddimah"nja, bahwa Idima' dan Qijas ini sudah terdapat dalam masa Sahabat.

Tjara menghasilkan Idjma' ini ialah, bahwa Chalifah bermusjawarat dengan sebahagian orang Islam mengenai sesuatu masalah hukum, mereka menjatakan pikirannja, dan kemudian chalifah menetapkan sesuatu fatwa, janq dinamakan Idjma'. Lih. "Tarich Tasjri' al-Islami", karangan Chudhari, hal. 115. Disana disebut, bahwa kadang-kadang orang-orang jang berkumpul itu dalam mengambil keputusan Idjma' tidak meniebut nas dari Qur'an dan Hadis. Dalam sebuah surat Umar ibn Chattab kepada Qadi Sjuraih tersebut susuatu mengenai Idjma' sebagai pokok hukum sesudah Qur'an dan Sunnah. Amir Asj-Sju'bi mentjeriterakan, bahwa Umar mengirim surat kepada Qadi itu, jang bunjinja : "Apabila engkau menghadapi sesuatu perkara, hukumlah dengan Qur'an, tetapi djika tidak terdapat sesuatu dalam Qur'an, djuga tidak dalam Sunnah Nabi dan tidak ada pembijaraan seseorang mengenai itu, djika engkau suka, gunakanlah pikiranmu sendiri."

Idjma' jang disebut oleh Chudhari dan Ibn Chaldun itu sudah menimbulkan pembitjaraan jang hebat antara Malik dan pengikutnja dengan Al-Lais bin Sa'ad, ahli fiqh Mesir, dan pengikutnja. Malik berpendapat, bahwa Idjma' jang didjadikan pokok hukum itu ialah Idjma' orang Madinah, sedang pihak jang lain berpendirian boleh djuga idjma' orang lain Madinah, asal tidak bertentangan dengan ajat Qur'an, diantaranja Surat An-Nisa' IH dan Surat Al-Baqarah 143. Mereka jang berpegang kepada Idjma' sebagai pokok hukum, mendasarkan djuga pendiriannja kepada utjapan Nabi jang diriwajatkan oleh Ibn Mas'ud, bunjinja : "Ada tiga perkara jang tidak dapat membelenggu hati umat Islam, jaitu ichlas amalnja bagi Allah, memberi nasihat kepada semua orang Islam, dan selalu hidup dalam djama'ah." Begitu djuga kepada utjapan Umar bin Chattab dikala ia berchutbah : "Mereka jang berhasrat sorga, selalu bersatu padu dalam djama'ah, sjetan dekat kepada perseorangan dan djauh kepada orang jang ingin tetap bersama teman-temannja." Ahli Sunnah mendasarkan pendiriannja kepada Hadis: "Ummatku tidak akan seia sekata dalam kesesatan, dan tangan Tuhan bersama djama'ah."

Berdasarkan kepada alasan ini Malik menetapkan, bahwa Idjma' jang wadjib diturut ialah Idjma' Ahli Madinah, karena Madinah itu adalah tempat Hidjrah Nabi, tempat turun wahju, tempat Islam sudah kokoh dan merupakan negara, dimana garis2 Sjari'at sudah mendjadi satu, dimana berkumpul sahabat2 Muhadjirin dan Ansar dalam masa jang lama, jang mengetahui sebab-sebab turun wahju dan mengamalkannja. Penduduk Madinah itu terdiri dari orang-orang jang mengenal sungguh-sungguh akan Nabi dan akan tjara ia mendjatuhkan hukum agama, dan dengan demikian mereka ahli dalam agama dan pokok-pokoknja.

Sedjarah pokok hukum jang keempat jaitu Qijas atau jang atjapkali dinamakan djuga Ra'ji, adalah sebagai berikut. Menurut Chudhari jang mula-mula menggunakannja ialah Umar bin Chattab. Sahabat-sahabat jang menghadapi perkara jang tak ada penyelesaian dalam Qur'an dan Sunnah, achirnja lari kepada Qijas. Diantara keterangannja, bahwa Umar pernah menulis surat "kepada Abu Musa Al-Asj'ari : "Peladjari perkara-perkara dan tjontoh- tjontoh, kemudian qijaskan atau perbandingkan perkara itu antara satu sama lain". Barangkali hal inilah jang menjebabkan Ibn Chaldun berkata, bahwa Idjma' dan Qijas sudah terdapat dalam masa Sahabat, dan kemudian pokok hukum fiqh itu mendjadi empat, jaitu Qur'an, Sunnah, Idjma' dan Qijas.

Dr. Muhammad Jusuf dalam kitabnja "Tarichul Fiqhil Islami" (hal. 242) mengemukakan pendapat Imam Abu Bakar AsSarchasi, bahwa mazhab Sahabat, kemudian diikuti oleh Tabi'in, membolehkan Qijas untuk beroleh penetapan hukum Sjara'. Bahkan Dr. Muhammad Jusuf tsb. berpendapat lebih tjondong, bahwa Nabi Muhammad sendiri-lah jang mula-mula meletakkan dasar Qijas, jaitu tatkala ia mengirimkan Mu'az memimpin peradilan di Jaman. Konon Nabi bertanja : "Bagaimana pendapatmu, djika kepadamu dihadapkan perselisihan antara dua orang ?" Djawab Mu'az : "Aku akan mengadilinja menurut Kitab Allah." Nabi bertanja pula : "Djika tidak terdapat dalam Kitab Allah ?" Djawab Mu'az : "Aku tjahari dalam Sunnah." Nabi kemudian bertanja lagi : "Djika tidak ada dalam Sunnah ?" Kata Mu'az : "Aku beridjtihad dengan pikiranku." Nabi menepuk dada Mu'az dengan tangannja, seraja mengutjapkan : "Segala pudji bagi Tuhan, jang telah membuat sepakat antara Rasul dan pesuruhnja sebagaimana jang disukai oleh Rasul itu."

Ibn Qajjim menerangkan dalam kitabnja 'Tlamul Muwaqqi'in", bahwa Muharriz Al-Mudladji sudah menggunakan Qijas dalam masa Nabi dan menghukumkan dengan djalan Qijas, bahwa Usamah benar anak Zaid bin Harisah. Djuga diterangkan, bahwa dalam Qur'an banjak terdapat hukum jang dihadapkan kepada laki-laki, tetapi dapat diqijaskan untuk perempuan, misalnja mengenai tuduhan zina terhadap djanda dsb. Begitu djuga, djika Qur'an tidak membolehkan utjapan "oh !" kepada orang tua, apalagi "tjis" atau „bedebah", djika darah babi sadja tidak dibolehkan, apalagi gemuknja dan dagingnja, dsb.

Bagaimanakah pendirian Sji'ah terhadap Idjma' dan Qijas jang diterima oleh Ahli Sunnah sebagai dua pokok hukum sesudah Qur'an dan Sunnah itu ?

Sji'ah sepakat menerima Qur'an dan Sunnah sebagai pokok dasar hukum-hukum agama atau fiqh. Dari zaman Nabi sampai sekarang ini Qur'an itu diterima sebagai sumber pertama untuk penetapan hukum, karena peraturan-peraturan jang ada dalam Qur'an itu dianggap sudah lengkap mengenai ibadat, mu'amalat, perorangan, pidana dan perdata jang tidak kurang dari lima ratus ajat, semuanja dapat mengisi hukum fiqh. Al-Djazairi dan Al-Miqdadi telah menielidiki hal ini dan mengarana sebuah buku bernama "Kanaul Irfan fi Fiqhil Qur'an" dan "Qala'idid Durar". Dan oleh karena itu djuga Tuhan berkata dalam Surat Àn-Nahal ajat 44 : "Kami turunkan kepadamu Qur'an ini, agar engkau terangkan kepada manusia apa jang diperintahkan kepada mereka dan agar mereka berpikir."

Sunnah bagi orang-orang Sji'ah adalah penjempurnaan bagi Qur'an, merupakan satu sumber, jang tidak boleh diragu-ragui lagi akan kebenarannja, ia hampir tidak berbeda dengan Qur'an, karena Tuhan mengakui, bahwa Nabi Muhammad "tidak menuturkan sesuatu karena hawa nafsunja, ketjuali firman jang diwahjukan Tuhan kepadanja" (Qur'an). Sji'ah menganggap Sunnah itu sebagai pokok dasar hukum jang kedua, jang diwadjibkan kepada tiap orang Islam mengamalkannja, sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan dalam Qur'an : "Apa jang disampaikan oleh Rasul laksanakan, dan apa jang dilarangnja djauhi" (Qur'an, Alr Hasfcir, 7).

Kedua pokok ini dikerdjakan dalam masa sahabat dan sesudahnja. Oleh karena itu Sji'ah pun kembali kepada kedua pokok dasar ini. Meskipun orang lain menambah dasar agama itu dengan Ra'ji dan Idjma', Istihsan dsb. karena mereka mengharuskannja, Sji'ah tetap berpegang hanja kepada dua pokok jang asal ini, serta menggunakan akal dalam menggali hukum-hukumnja. Dengan demikian terdapatlah sedikit perbedaan mengenai masalah Sji'ah, seperti kawin mut'ah, menjapu atau mengusap kaki dengan air, mengenai tatak tiga jang diutjapkan sekaligus dll.

Adapun Idjma', baik jang didasarkan kepada pendapat beberapa orang Sahabat, sebagaimana jang dikatakan Chudhari, atau jang dibatasi oleh Malik kepada Ahli Madinah sadja, karena katanja satu2 tempat turun wahju dan satu' tempat banjak Sahabat-sahabat bergaul dengan Nabi serta memahami rahasia-rahasia wahju itu, maupun jang membolehkan idjma' itu digunakan oleh semua orang Islam lain Ahli Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Lais bin Sa'ad, seorang ahli fiqh Mesir, semua idjma' matjam itu tidak dapat diterima oleh orang Sji'ah. Pendapat-pendapat Ahli fiqh jang diambil dengan idjma' sematjam itu tidak mendjadi dasar hukum bagi orang Islam, karena semuanja berdasarkan kepada persangkaan atau dhan semata-mata. sedang dhan itu tidak dapat menjinggjung kebenaran (Qur'an). Mereka menganggap idjma' jang seperti itu hanja sebagai suatu pendapat jang tidak mengikat dengan wadjib.

Orang-orang Sji'ah mengakui, bahwa ahli-ahli fiqh dan ahliahli hadis mereka dalam masa Sahabat dan Tabi'-tabi'in menjebut perkataan idjma'. tetapi idjma' jang dimaksudkan itu ialah idjma' jang disepakati oleh semua ulama atas sesuatu hukum, dan Imam Ali turut bersama mereka. Idjma' jang seperti itu tidak lain sifatnja melainkan suatu pendjelasan daripada kedua sumber hukum pertama, jaitu Qur'an dam Sunnah. Sedjalk hari-hari pertama golongan Sji'ah tidak mau berpegang selalu kepada Qur'aa dan Sunnah itu dalam menetapkan sesuatu hukum agama, karena agama itu adalah peraturan Tuhan, oleh karena itu tidak boleh ditambah dengan peraturan jang ditetapkan oleh manusia, jang harus dipisahkan daripada peraturan Tuhan itu.

Mengenai Qijas, jang oleh Ahli Sunnah dibenarkan sebagai sumber hukum agama jang keempat, jang dikatakan pernah terdjadi dalam masa Sahabat, jang diberi sifat dengan memperbandingkan suatu perkara dengan perkara jana sudah terdapat hukumnja dalam masa Nabi dan Sahabat itu, oleh orang Sji'ah tidak dapat diterima dan dianggap suatu bid'ah dalam agama. Mereka tidak mau beramal dengan hukum jang berdasarkan qijas. Diantara alasan-alasannja mereka kemukakan sebuah utjapan dari Ali bin Abi Thalib, jang berkata : "Djikalau diperkenankan menggunakan qijas, maka dalam perkara air sembahjang lebih dipentingkan menjapu kaki dalam chuf daripada diluarnja." Pernah Imam Dja'far Shadiq berkata kepada Abu Hanifah: "Takutilah Tuhanmu daripada engkau menggunakan qijas dengan pikiranmu. Pada hari kemudian kita akan berhadapan dengan Tuhan. Aku berkata "telah bersabda Rasulullah", sedang engkau berkata "begini pikiranku dan begini qijasku." Tjobalah pikir, hai Abu Hanifah, apa jang akan diperbuat Allah terhadap kita ?"

Orang Sji'ah mempunjai alasan, tidak mempergunakan qijas sebagai sumber hukum agama, karena sjari' jang membuat agama hanjalah Allah sendiri, sedang sjari' dalam hukum qijas adalah manusia. Mereka menolak kebenaran keterangan-keterangan jang dikemukakan diatas, bahwa qijas itu sudah ada dalam masa Nabi dan diperkenankan menggunakannja. Penetapan Nabi kpd. Mu'az bukanlah alasan adanja qijas, tetapi alasan harus menggunakan akal dalam mendjelaskan Kitab dan Sunnah, karena menggunakan akal itu diwadjibkan kepada qadi, mufti, jang akan menjelesaikan perkara-perkara, dan akan mendjelaskan kepada orang banjak persoalan halal dan haram. Orang Sji'alh tidak dapat menerima qijas itu pernah terdjadi dalam masa Sahabat dan merupakan suatu pikiran umum jang sudah disetudjui oleh semuanja. Selain daripada utjapan Ali bin Abi Thalib, Sji'ah mengemukakan utjapan Ibn Mas'ud, jang menolak qijas demikian : "Djika kamu gunakan qijjas itu dalam agamamu, nistjaja kamu akan menghalalkan banjak daripada apa jang diharamkan Allah, dan mengharamkan banjak daripada apa jang dihalalkan Allah bagimu". Djuga mereka kemukakan utjapan Sju'bi jang berbunji demikian : "Apabila engkau ditanjai tentang sesuatu masalah, maka djanganlah engkau pergunakan qijas dengan memperbandingbandingkan persoalan, karena engkau akan menghalalkan banjak jang haram dan mengharamkan banjak jang halal, sedang engkau akan binasa, djika engkau meninggalkan perdjalanan Nabi dan Sahabat, lalu menggunakan ukuran qijas atau perbandingan dalam agama".

Jang menolak Idjma' ini bukan sadja Sji'ah, tetapi djuga Mu'tazilah dan Ibrahim an-Nizam menolak mengamalkannja, sebagaimana djuga Daud bin Ali al-Asfahani, jang terkenal dengan nama Az-Zahiri (mgl. 370 H), Dja'far bin Harb, Dja'far bin Misjah, Muhammad bin Abdullah al-Askafi, dll. semuanja mengemukakan alasan tidak membolehkan beramal dengan idjma' dan qijas sematjam itu.

Keterangan-keterangan mengenai sikap Sji'ah terhadap Idjma' dan Qijas ini, saja abil dari kitab "Tarichul Fiqhil Djb'rari" (hal. 181 — 192), karangan Hasjim Ma'ruf al-Husaini. Saja persilahkan pembatja melihat kesana lebih djauh.