sji'ah

sji'ah16%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 13994 / Download: 4188
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

4. HUKUM SJARA' DAN PENGUASA.

Sudah kita terangkan, bahwa fiqh Islam itu mengandung dua unsur peraturan, jaitu peraturan agama dan peraturan hukum tata tertib keamanan. Pembuat hukum atau Sjari' pertama ialah Allah S.W.T., jang menetapkan peraturan ini dalam Qur'an dan melalui Sunnah dari pada Nabi Muhammad S.A.W. Oleh karena itu peraturan-peraturan itu dapat dianggap peraturan ketuhanan, jang berbeda dasar dan sifatnja dari peraturan-peraturan Barat dan peraturan-peraturan jang diperbuat oleh manusia.

Meskipun demikian sedjarah hukum Islam menundjukkan, bahwa chalifah atau penguasa bukan tidak turut dalam mentjiptakan peraturan-peraturan untuk masjarakat Islam. Mereka diberikan kemerdekaan 'beridjtihad tiap-tiap ada kebutuhan akan bertindak dalam menjelesaikan sesuatu kemaslahatan umum bagi masjarakatnja. Keistimewaan mengadakan hukum kesempurnaan ini dan kewadjiban jang dipikulkan kepada rakjat untuk mendjalankannja didasarkan atas dan berpedoman kepada Qur'an, Sunnah dan Idjma'.

Dalam Qur'an tersebut : "Tha'atlah kepada Allah, tha'atlah kepada Rasul dan orang-orang jang diserahi urusan dari padamu" (Surat An-Nisa' IV: 59). Dan jang dimaksudkan dengan orang-orang jang diserahi urusan itu ialah chalifah dan sulthan atau penguasa-penguasa negeri.

Dalam Sunnah terdapat Hadis-Hadis jang sahih, diantaranja berbunji : "Barang siapa tha'at kepadaku (Nabi Muhammad), sebenarnja ia tha'at kepada Allah. Barang siapa menentang kepadaku (ma'sijat), maka sebenarnja ia menentang kepada Allah. Barang siapa tha'at kepada pemerintah atau penguasa, sebenarnja ia tha'at kepadaku, barang siapa menentang pemerintah, sebenarnja ia menentang daku. Semua perintah harus kamu dengar dan tha'ati, meskipun dikeluarkan untukmu oleh seorang budak Habsji jang kepalanja hitam sekalipun. Barang siapa jang bentji kepada pemerintahnja, ia harus sabar, karena tidak seorangpun meninggalkan pemerintah, meskipun sedjengkal, djika mati, nistjaja ia mati seperti orang djahilijah. Bukankah dapat seseorang jang diperintahkan sesuatu ma'siat terhadap Allah dapat ia membentji ma'siat itu dengan tidak usah melepaskan tangan mentha'atinja ?" (Bûcha' ri-Muslim).

Demikian djuga sesuai dengan Idjma' Sahabat, karena Sahabat-Sahabat Nabi hampir semuanja beridjtihad, jang hasilnja me rupakan sebahagian dari pada pokok hukum agama.

Dr. Sobhi Mahmassani dalam kitabnja "The Philosophy of Jurisprudence in Islam" (Beirut, 1952), menganggap perlu kemerdekaan Idjtihad ini diberikan kepada penguasa, karena mereka membutuhkan alat dalam mendjalankan peraturan-peraturan Sjara' dari persoalan-persoalan baru jang hidup dalam masjarakat. Djuga Idjtihad ini dapat digunakan sebagai siasat agama oleh penguasa, imam, wali negeri, guna mendjaga kemaslahatan umum, mengurus kepentingan manusia dalam persoalan mu'amalat dalam urusan sitaan, pendidikan bagi orang-orang jang mengerdjakan kedjahatan sesuai dengan berat ringannja dosa mereka disesuaikan dengan berat ringannja hukuman siksa, buangan dan hukuman mati.

Maka kita lihat tjontoh-tjontoh dari zaman Sahabat dalam keberanian mengubahkan tafsir nas jang sudah tetap, apabila mereka menghadapi sesuatu perkara jang mengenai siasat sjari'at atau kemaslahatan umum. Dalam perkara-perkara sematjam itu selalu mereka menggunakan kebidjaksanaan jang sedjalan dengan masa dan zaman dalam mentafsirkan ajat-ajat Qur'an dan Sunnah. Tjontoh-tjontoh ini banjak kita dapati dalam masa pemerintahan Umar bin Chattab, misalnja dalam mentjatuhkan hukum had hagian mu'allaf, jang penerimanja sudah bertahun-tahun belum masuk Islam, dalam membuang orang berzina keluar negeri karena salah seorang dari padanja tidak tersua untuk didengar keterangannja, dll. Semuanja dilakukan Umar berdasarkan nas Qur'an dan Hadis jang sama, tetapi dengan tafsir dan idjtihad jang sesuai dengan keperluan masa.

Ada sesuatu persoalan jang sukar bagi seorang Chalifah untuk berlaku adil dalam mendjatuhkan hukuman sjari'at ini, jaitu djika ia terlalu fanatik menganut mazhab tertentu atau idjtihad tertentu dalam mengadili sesuatu perkara. Sedjarah Islam banjak mengemukakan hakim-hakim atau qadi radja-radja jang demikian, jang akibatnja bukan mentjapai keadilan tetapi bahkan menimbulkan kezaliman-kezaliman jang sangat menjedihkan.

Chalifah-chalifah Bani Umajjah dan Bani Abbas menjerang semua mazhab lain jang bertentangan dengan pendiriannja dan siasatnja. Abu Dja'far Al-Mansur dan Harun Ar-Rasjid hampir memaksa seluruh warga negaranja menganut mazhab Malik, djikalau Imam ini tidak menolak keangkatannja.

Keadaan jang sematjam ini pada zaman itu telah mendjadi turutan jang ditjontoh diteladani oleh keradjaan-keradjaan Islam pada waktu itu. Keradjaan Fathimijah mengambil Ismailijah sebagai madzhab Imamijah mengambil Dja'fatrijah atau Sjafi'i, Jaman mengambil mazhab Zaidijah, Ajjubijah mengambil Sjafi'i, Wabhahabi mengambil Hanbali. Ustmanijah atau Turki mengambil Hanafi sebagai mazhab.

Pemilihan mazhab tertentu dalam ibadat dan mu'amalat tentu baik, djika tidak dilakukan setjara paksaan oleh penguasa dalam hukum perdata dan pidana kepada anggota masjarakatnja.

Maka oleh karena itu konon Sji'ah membuka dua kesempatan dalam mentjahari keadilan ini : Pertama membuka pintu idjtihad seluas-luasnja dan kedua membuat suatu peraturan dalam pengangkatan imam, bahwa ia hendaklah bersifat ma'sum, termasuk tidak melakukan sesuatu jang tidak adil.

Dalam anggapan Sji'ah Idjma' itu ialah kesepakatan jang bulat atas perkataan imam jang ma'sum, bukan hanja kesepakatan beberapa ulama atas suatu ma'alah jang tertentu. Idjma' Sahabat dianggap terikat dan wad jib ditha'ati, apabila semua Sahabat sepaham mengenai keputusan sesuatu persoalan. Djika masih ada Sahabat jang berlainan fahamnja mengenai keputusan itu, maka kesepakatan atau idjma' tersebut tidak dianggap terikat, meskipun jang membuat idjma' itu Sahabat Nabi.

Dalam kitab-kitab Sji'ah kita dapati keterangannja, bahwa orang tidak terikat kepada idjihad seorang imam jang sudah mati, boleh diturutnja dan boleh tidak. Kemerdekaan memilih dan berfikir ada padanja, meskipun ia merupakan penganut mazhab Sji'ah jang dipimpin oleh Imam itu. Demikian kita batja dalam kitab "AI-Masa'ik! Mun«achablah" (Nedjef, 1382 H), karangan Abui Qasim AI-Chu'i, jang barangkali akan kita bitjarakan lagi dalam salah satu bahagian tersendiri.

Rupanja Sji'ah sangat tertarik kepada tjara-tjara Ali bin Thalib mengambil kebidjaksanaannja dalam memutuskan sesuatu hukum. Kita kemukakan beberapa tjontoh sebagai berikut.

Pernah dihadapkan kepada Umar bin Chattab seorang perempuan jang sudah melakukan zina. Sesuai dengan hukum jang berlaku Umar menjuruh meradjamnja. Tatkala Ali tahu akan keadaan perempuan itu, bahwa ia gila, lalu disuruhnja membebaskannya dari pada hukum radjam, seraja berkata kepada Chalifah Umar : "Perempuan ini gila dan Rasulullah berkata : Telah diangkat qalam dari tiga golongan manusia (artinja tidak termasuk hitungan), jaitu orang tidur sampai ia terdjaga kembali, kanakkanak sampai ia bermimpi dan orang gila sampai ia sadar akan dirinja."

Tjontoh jang lain ialah bahwa pernah dibawa kedepan Chalifah Abu Bakar seorang laki-laki jang sudah minum arak. Chalifah Abu Bakar mendjatuhkan hukuman had. Tetapi orang itu mengaku, bahwa ia belum mengetahui haramnja minuman itu. karena ia hidup dalam keluarga jang menghalalkannja. Abu Bakar bingung, bagaimana menghukumnja. Perkara itu diserahkannja kepada Ali. Ali memeriksanja, apa ada diantara orang Muhadjirin dan Anshar jang pernah membatjakan, kepada peminum itu ajat Qur'an tentang haramnja chamar. Tatkala temjata, bahwa peminum itu menurut Muhadjirin dan Anshar belum pernah mendengar ajat Qur'an jang mengharamkan chamar, peminum itu lalu dibebaskan dari hukuman.

Tjontoh-tjontoh kebidjaksanaan Ali, jang selalu menggunakan fikirannja dalam menetapkan sesuatu hukum, banjak sekali, dapat dibatja kembali dalam kitab "Tarichol Fiqhil Dja'fari", karangan Al-Husaini, terutama bab mengenai fiqh Islam sesudah wafat Nabi, halaman 152—181.

VIII. AHLUS SUNNAH DAN SJI'AH

1. MURID-MURID DJA'FAR SHADIQ JANG TERPENTING

I

Abdul Abbas bin 'Uqbah mengarang sebuah kitab sedjarah hidup rawi-rawi hadis, jang berasal daripada murid-murid Dja'far Shadiq, dan menjebut didalamnja, bahwa murid-murid jang terpenting itu tidak kurang dari empat ribu orang. Sjech Al-Mufid menerangkan dalam kitabnja "Al-Irsjad", bahwa pengarang-pengarang hadis pernah mengumpulkan rawi-rawi Imam As-Shadiq, jang telah dipertjajai dari bermatjam tjorak dan ragam, djumlah mereka empat ribu orang banjaknja. Djumlah empat ribu ini dari murid jang tetap dan penting, tidak dapat disangkal lagi, berita ini dibenarkan oleh pengarang-pengarang jang terkenal dalam kitabnja masing-masing, seperti Muhammad bin Ah al-Fattal, Ali bin Abdul Hamid an-Nabli, At-Thabrisi, Ibn Sjarasjaub, AlMuhaqqiq, Asj-Sjahid, jang menerangkan djuga bahwa Dja'far Shadiq pernah mendjawab empat ratus masalah agama dalam sebuah karangan jang disiarkan kepada empat ribu orang, tersebar diseluruh Irak, Sjam dan Hidjaz. Selandjutnja Sjech Husain ajah Allamah al-Bahbani jang mentjeriterakan, bahwa Imam As-Shadiq disamping mengadjar sebagai seorang guru besar jang dihormati, djuga mengarang karangan-karangan jang dikagumi oleh ulamaulama dan ahli fiqh jang terkemuka ketika itu.

Imam As-Shadiq dianggap besar sekali djasanja dalam menanam pokok-pokok agama jang sah dan melenjapkan i'tikad—i'tikad jang salah jang timbul dalam masa kekatjauan tjara berpikir umat Islam ketika itu.

Kehebatan dan kehormatan jang diperoleh Imam As-Shadiq. ketjintaan umat dan pengaruhnja dalam kalangan rakjat, menjebabkan Bani Abbas takut akan kedudukannja dalam pemerintahan. Maka lalu ditutupnja perguruan Imam Dja'far Shadiq, untuk menghambat manusia jang mengalir sebagai bandjir kekota Madinah, untuk beroleh ilmu jang disiarkannja.

Tuhan lebih berkuasa, dan kakeknja Rasulullah menghendaki sebaliknja. Pintu rumah perguruan dapat ditutup dengan kekuatan perintah radja, tetapi murid-muridnja bertebaran kesana-sini laksana peluru jang sudah dilepaskan, untuk meneruskan perdjuangan gurunja dan menumbuhkan bibit-bibit jang telah ditanam disemaikan dalam djiwanja.

Maka lahirlah ditengah-tengah masjarakat Malik bin Anas al-Asbahi, Imam dari mazhab Maliki, jang melahirkan pula rawirawi daripadanja, seperti Zuhri, Jahja Al-Ausari, Ibn Djuraih, Sju'bah, As-Sauri, Ibn Ujajnah, Qattan dll. Malik adalah murid daripada Imam Dja'far, dan diantara utjapan-utjapan jang pernah dikeluarkan terhadap gurunja : "Tidak pernah mata melihat, tidak pernah telinga mendengar dan tidak pernah hati tertekuk oleh seseorang jang lebih afdhal dan utama dari pada Dja'far bin Muhammad, baik mengenai ibadahnja maupun luas ilmunja."

Abu Hanifiah jang dilahirkan tahun 80 H. dan meninggal tahun 150 H., djuga seorang murid jang ditjintai, kemudian mendjadi Imam mazhab Hanafi. Banjak sekali orang mengambil riwajat daripadanja, dan dia sendiri mengambil banjak ilmu dari As-Shadiqi Ia berkata : "Djika tidak dua tahun bersama Imam Dja'far, akan binasalah Nu'man. Aku belum pernah melihat seseorang jang lebih ahli dalam ilmu fiqh dari pada Dja'far bin Muhammad".

Sufjan bin Sa'id bin Masi^uq as-Sauri, berasal dari Kufah mempunjai mazhab tersendiri, diantara pengikutnja Muhammad bin Adjlan, Auza'i, Hummad bin Salmah, Jahja bin Sa'id alQattan, Fudhail bin Ijadh. Ia banjak sekali mengambil dari AsShadiq, ilmu-ilmu, terutama mengenai adab, achlak dan peladjaran-peladjaran lain.

Sufjan bin Ujajnah bin Abi Imran, meninggal tahun 198 H. Banjak orang meriwajatkan dari padanja, seperti A'masj, Asani, Humam, Jahja bin Sa'id, Asj-Sjafi'i dan Ibn Madini. Asj-Sjafi'i berkata : "Djikalau tidak ada Malik dan Sufjan. akan lenjaplah ilmu di Hedjaz". Sufjan adalah salah seorang Imam mazhab.

Sju'bah bin Al-Hadjdjadj, dilahirkan tahun 80 H., meninggal tahun 160 H. Diantara pengikutnja jang terkenal ialah Ajjub dan Ibn Mubarak.

Fudhil bin Ijadh at-Tamimi, meninggal tahun 187 H. Al-Djazari mengatakan, bahwa ia adalah seorang imam Sunnah jang baik. Nasa'i, Buchari, Tarmizi, Muslim dll. banjak mengambil hadis daripadanja.

Hatim bin Isima'il, meninggal tahun 180 H., berasal dari Kufah adalah tempat Buchari, Muslim dan Tarmizi mengambil hadisnja, jang dipeladjarinja dari As-Shadiq.

Hafas bin Ghijas al-Kafi, banjak pengikutnja, diantara lain Ahmad, Ishaq, Abu Nu'aim, Jahja bin Mu'in dll. ulama besar, pernah mendjadi kadhi di Bagdad dan Kufah, penghafal hadis jang banjak, janq pernah ditulis sadja daripadanja lebih dari empat ribu buah.

Zuhair bin Muhammad at-Tamini, jang bergelar Abul Munzir, berasal dari Churasan, meninggal tahun 162 H., menerima banjak ilmu dari Imam As-Shadiq, dan oleh karena itu banjak jang meriwajatkan kembali daripadanja, diantaranja Abu Daud at-Thijallisi, Ruh bin Ubbadah, Abu Amir al-Aqli, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Walid bin Muslim, Jahja bin Bukair, Abu Asim, membenarkan kedjudjurannja Ahmad, Jahja dan Usman AdDar'mi.

Jahja bin Sa'id bin Faruch al-Qattan,, ahli hadis dari Basrah, lahir tahun 120 H. dan meninggal tahun 198 H. Diantara pengikutnja Ibn Mahdi, Affan, Masad, Ahmad, Ishaq, dan Ibn Mu'in.

Ismail bin Dja'far bin Abi Kasir al-Anshari, meninggal di Bagdad tahun 180 H. dengan pengikutnja Muhammad bin Djahdham, Jahja bin Jahja as-Saburi, Abu Rabi' az-Zahrani, Al- Hazali dll. Ia berasal dari Madinah dan pergi ke Bagdad, tinggal disana sampai mati. Buchari dan Muslim banjak meriwajatkan hadisnja.

Ibrahim bin Muhammad al-Aslani, jang terkenal dengan nama Ahlu Ishaq al-Madani, tahun 91 H. banjak mempelajari hadis dari Imam As-Shadiq. Ia pernah mengarang sebuah kitab jang diberi berbab-bab tentang hukum halal dan haram, pernah ditjeriterakan oleh At-Thusi. Diantara jang meriwajatkan hadis jang dikumpulnja ialah Ibrahim bin Thahman, As-Sauri, Ibn Djuraih, Asi-Sjafi'i, Abu Nu'aim dll., ia terhitung salah seorang guru Imam Siafi'i, jang banjak disebut-sebut dalam kitabnja. orang Salaf banjak mengetjamnja, karena ia suka meriwajatkan hadis-hadis Ahlil Bait.

Ad-Dhahhak An-Nabil dari Basrah, lahir tahun 122 H. dan meninggal tahi'n 214 H„ salah seorang murid Imam As-Shadiq janq terkenal. Diantara jang meriwaiatkan hadis-hadisnja ialah Buchari. Ahmad bin Hanbal, Ibnal Madini, Ishak 'bn Rawahaih. Ia dipudji oleh Tbn Sja'bah.

Muhammad bin Falih al-Madani, meninqqal tahun 177 H. Diantara jang meriwajatkan hadisnja Buchari. An-Nasa'i. Ibn Madiah Ibn Shalat. jang meninggal tahun 194 H., As-Sjafi'i, Ahmad bin Hanbal dll. Ia datang ke Bagdad pada hari-hari pemerintahan Al-Mansur. terkenal sebugai seorang jang sangat pemurah dalam memadjukan ilmu hadis.

Usman bin Fargad, janq terkenal dengan nama Abu Mu'az, berasal dari Basrah. Banyak hadisnja dibitjarakan dalam kitab Buchari, Tarmizi dan Abu Haiban.

Abdul Azid bin Umar As-Zuhri. meninggal tahun 197 H. Banjak hadis riwajatnja terdapat dalam kitab Tarmizi.

Abdullah bin Dakkim berasal dari Kufah. ahli hadis, terutama mengenai Adak. dan Zaid bin Atha ibn Sa'id Mas'ab bin Salam at-Tamimi, djuga murid-murid Imam As-Shadiq.

Lain dari pada itu diantara murid Imam As-Shadiq ialah Bassam as-Shirfi Basjir bin Ma'mun dari ChuraSan. Al-Haris bin Umair dari Basrah, Al-Mufaddal bin Salih al-Sadi, Ajjub as-Sadjastani dan Abdul Malik bin Djunaih al-Qursji, semuanja muridmurid Imam Dja'far jang masjhur dan banjak pengikutnja. Ditjeriterakan orang, bahwa Abdul Malik bin Djuraih termasuk orang jang mula-mula mengarang kitab dalam Islam, dilahirkan tahun 80 H. dan meninggal tanuh 149 H.

Semua orang-orang besar jang tersebut diatas adalah pengikut-pengikut aliran Imam Dja'far, tetapi kemudian berdiri sendirisendiri, ada jang memimpin mazhab tersendiri, ada jang merupakan ulama hadis jang bebas, tidak termasuk golongan Sji'ah.

Murid-murid Imam Dja'far jang termasuk golongan Sji'ah akan kita bitjarakan dalam bahagian berikut.

1. MURID-MURID DJA'FAR SHADIQ JANG TERPENTING

II

Diantara ulama-ulama besar, bekas murid Imam. Dja'far jang termasuk golongan Sji'ah dan menganut paham aliran ini, kita sebutkan sebagai berikut.

Aban bin Tughlab, jang biasanja digelarkan Abu Sa'ad, berasal dari Kufah, banjak meriwajatkan hadis dari Zainal Abidin, Al-Baqir, As-Shadiq, semua imam-imam besar Sji'ah. Aban meninggal pada masa Imam As-Shadiq.

Dalam kitab Fihrasat tersebut bahwa Aban bin Tughlab anak Rijah, digelarkan Abu Sa'ad al-Bakri al-Hariri, teman-teman Djarir bin Ubbad, adalah seorang jang sangat dipertjajai dan berkedudukan terhormat. Ia pernah menemui Abu Muhammad Ali bin Husain dan Abu Dja'far al-Baqir dan banjak meriwajatkan hadis dari kedua anggota Ahlil Bait ini, Al-Baqir pernah menjuruh dia pada suatu kali duduk mengadjar dalam mesdjid Madinah, seraja berkata : "Aku mentjintai engkau demikian rupa, sehingga manusia melihatmu sebagai tjontoh jang baik dari Sji'ahku."

Aban sangat alim dalam segala bidang ilmu, dan Ibn Nadim mengatakan dalam kitab "Fihrasat'nja, bahwa ia mempunjai karangan mengenai ma'na dan tafsir Qur'an, mempunjai kitab mengenai qira'at tudjuh, dan mempunjai kitab mengenai pokok-pokok kejakinan mazhab Sji'ah.

Ahmad ibn Hanbal, Ibn Mu'in, Abu Daud, semuanja menganggap dia djudiur dalam menjampaikan riwajat-riwajat hadis, sedang Muslim. Abu Daud, Tarmizi dan Ibn Madjah banjak mengutip riwajatnja itu untuk kitab-kitabnja.

Aban bin Usman bin Ahmar nl-Badi'ari, berasal dari Kufah, pernah tinggal di Basrah, banjak beroleh peladjaran hadis dari Abu Abdullah as-Shad q dan Abu! Hasan Musa, kedua-duanja imam dari mazhab Sji'ah. Riwajat-riwajatnja banjak disampaikan oleh Ibn Musanna dan Abu Abdullah bin Salam. Ia baniak mengarang kitab-kitab, diantaranja bernama kitab "Al-Mubtadi", AlBa'as," Al-Mlaqhazi" dan "Al-Wafa." Ibn Hibban memasukkannja kedalam golongan Siqqat, artinja oranq-orang jang dipertjaja dalam meriwajatkan hadis.

Aban bin Usman adalah salah seorang enam Sahabat kental dari Imam Abu Abdullah, jang berusaha mengumpulkan hukum-hukum mengenai ahli waris jang berhak menerima pusaka dan menetapkan setjara hukum fiqh. Sahabat-sahabat jang enam orang itu ialah Djamil bin Darradj, Abdullah bin Muskan, Abdullah bm Bukair, Hummad bin Isa, Hummad bin Usman dan Aban bin Usman, jang baru kita bitjarakan.

Bukair bin A'jun asj-Sjaibani, saudara dari Zararah, murid Al-Bakir dan As-Shadiq, meninggal dalam masa As-Shadiq. Tatkala Imam ini mendengar chabar kematiannja, ia berkata : "Demi Allah, Tuhan menempatkan dia kiranja berdekatan dengan Rasulullah dan Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib", dan pernah ia menjebut, bahwa Bukair itu dapat dipertjajai.

Djamil bin Darradj bin Abdullah an-Nacha'i, banjak beroleh peladjaran hadis dari Imam As-Shadiq dan Imam Al-Kazim, meninggal pada masa Imam Ar-Ridha, termasuk sahabat enam jang mengumpulkan hadis-hadis Ahlil Bait.

Hummd bin Usman bin Zijadar-Rawasi, berasal dari Kufah, banjak meriwajatkan hadis dari Imam Shadiq, Al-Kazim dan ArRidha,. iapun termasuk sahabat enam orang jang terpenting, meninggal tahun 190 H.

Al-Haris bin Al-Mugirah an-Nashri, ulama ini djuga banjak meriwajatkan hadis dari Imam Al-Baqir, As-Shadiq dan Al-Kazim, mempunjai kedudukan jang disegani dalam bidang dirajah dan riwajah.

Diantara ulama Sji'ah jang terpenting ialah Hisjam Ibnul Hakam al-Kindi, berasal dari Bagdad, dari tawanan Bani Sjaiban, digelarkan djuga Abul Hakam, seorang ulama Sji'ah jang luar biasa alimnja. ahli tidak sadja dalam ilmu agama, tetapi djuga dalam filsafat. Ibn Nadim mengatakan, bahwa ia sahabat kental Imam Dja'far as-Shadiq, seorang jang ahli dalam ilmu kalam Sji'ah pernah mengupas tentang persoalan imamah dengan kupasan jang luar biasa, banjak membersihkan mazhab Sji'ah daripada pandangan-pandangan jang salah. Mu'awijah menerangkan, bahwa Hisjam turut dalam perang Badar, ia meninggal dalam masa fitnah Barmaki, tetapi ada jang mengatakan dalam masa pemerintahan chalifah Ma'mun. Diantara karangannja ialah jang termasjhur "Kitabul Imamah", "Kitabud Dilalal" dll.. jang lebih dari pada dua puluh karangan-karangan penting.

Didepan saja terletak sebuah kitab, jang ditulis oleh Abdullah Ni'mah, bernama "Hisjam Ibnal Hakam'" (t. tp.. 1959 M), berisi sedjarah hidupnja sebagai professor dalam abad ke II Hidjrah dalam ilmu kalam dan manthik. Kupasan-kupasannja dan pandangan -pandangannja jang tadiam mengenal kedua ilmu ini mengagumkan, sehingga sajapun berpendapat, bahwa ia adalah seorang terpeladjar jang luas sekali ilmunja.

Hisjam mendapat penghargaan tinggi dalam pandangan golongan Sji'ah. Imam As-Shadiq pernah berkata tentang pribadinja : "Engkau selalu diilhamkan Tuhan dalam membantu golongan kami dengan lidahmu." Ia pernah djuga berkata : "Orang ini pembantu kita dengan hatinja, lidahnja dan tangannja, mempertahankan hak-hak kita dan membela golongan kita daripada musuh-musuh kita." Benar pada mula pertama ia mendjadi sahabat Djaham bin Safwan, kemudian ia taubat dan kembali kepada kejakinan Sji'ah jang benar.

Al-Kulaini. seorang Imam Hadis jang terpenting dalam mazhab Sji'ah, memudji Hisjam Ibnal Hakam tentang banjak ilmunja mengenai dirajah dan rawajah hadis-hadis Rasulullah jang sahih, dan tentang kuat serta teguh pegangannja kepada kitab dan sunnah.

Diantara sahabat Imam As-Shadiq jang selalu mengiringinja dan banjak mengetahui perdjalanannja, ialah Al-Ma'la bin Chanis, seorang jang luar biasa mentjintai keluarga Nabi, jang menjebabkan ia diazab dan dibunuh oleh Amir Daud bin Ali dan disita semua harta bendanja, tatkala Amir ini memerintah Madinah, dan mengetahui bahwa Al-Ma'la sangat ditjnitai oleh Imam AsShadiq. Saja hindarkan memasukkan kedalam kitab ini tjeritera jang sangat pandjang, diantara lain termuat dalam karangan Asad Haidar, "Imam As-Shadiq" jang ditjeriterakan oleh orang-orang Sji'ah tentang kekedjaman jang dilakukan orang atas diri orang alim dan salih ini.

Demikianlah kita sebutkan beberapa tjontoh daripada tokoh-tokoh ulama Sji'ah, jang berasal daripada murid-murid Imam AsShadiq, jang kemudian mendjadi rawi-rawi hadis jang terkemuka dalam golongan Sji'ah. Murid-muridnja jang lain, seperti Abdul Malik bin A'jun, Zararah dan anaknja, Ali bin Jaqthin, Ammar Ad-Duhni, Umar bin Hanzalah, Fudhail bin Jassar, Abu Basir, Mu'min Atthaq, Muhammad bin Muslim, Mu'awijah bin Ammar, Mufadhdhal ibn Umar, Hisjam bin Salim d.U. tidak kita perpandjangkan sedjarahnja dalam kitab jang terbatas halamannja ini. Bagi mereka jang ingin mengadakan penjelidikan lebih djauh, kita persilahkan membatja riwajat-riwajat ulama-ulama Sji'ah dalam segala bidang dengan sedjarah hidupnja pandjang lebar dalam serie kitab-kitab pahlawan Sji'ah, jang dinamakan "A'janusj Sji'ah", jang terbit dalam djilid jang besar-besar terus menerus sampai sekarang ini.

2. MAZHAB EMPAT THP SJI'AH

Banjak orang menjangka bahwa imam-imam mazhab Ahli Sunnah wal Djama'ah menentang Sji'ah. Persangkaan ini saja rasa tidak benar. Bagaimana imam-imam mazhab itu bentji kepada Sji'ah, sedang kebanjakan mereka adalah murid-murid daripada ulama-ulama Sji'ah jang terkemuka seperti Imam Dja'far Shadiq, imam mazhab Sji'ah jang dinamakan Dja'farijah, Imam Musa alKazim, jang pernah mengadjar Ahmad ibn Hanbal, jang kemudian mendirikan mazhab Hanbali. Imam Dja'far Shadiq adalah guru dari Imam Malik bin Anas, jang kemudian mendirikan mazhab Maliki, dan guru Abu Hanifah, jang kemudian mendirikan mazhab Hanafi.

Imam Abu Hanifah sangat mentjintai Ahlil Bait, banjak mengeluarkan harta bendanja untuk membantu mereka dalam kesengsaraan dan kemiskinan sebagai pemboikotan dari pembesar-pemsar Abbasijah. Ia pernah mengeluarkan fatwa untuk menolong Zaid bin Ali, dan menghamburkan wang disana-sini untuk penjelesaian soal ini. Begitu djuga dia pernah mengeluarkan fatwa membolehkan keluar dengan Ibrahim bin Abdullah al-Husain, untuk memerangi Al-Mansur.

Rahasia ini kemudian terbuka dan Abu Hanifah dihukum tjambuk, diazab dalam tutupan dan pada achirnja Al-Mansur memerintahkan dia meminum ratjun sampai mati.

Semua tindakannja itu adalah oleh karena mentjintai keturunan Ali bin Abi Thalib dan turut memarahi serta membentji orang-orang jang dimarahinja dan dibentjinja. Ahli-ahli sedjarah mentjeriterakan bahwa Abu Hanifah pernah dipukul dan diazab, karena chalifah Abbasijah, jang memerlukan tenaganja dan ingin mengangkat dia mendjadi' kadhi, menganggap dia menentang, tidak mau menerima keangkatan itu. Keterangan ini tidak benar dan tidak masuk akal, karena keangkatan mendjadi kadhi itu adalah kehormatan jang sesuai dengan pembawaan Abu Hanifah dalam keahlian hukum, sedang mentjambuk dan menghukumnja adalah penghinaan kepada orang besar ini. Jang benar ialah bahwa Abu Hanifah tidak mau menerima keangkatan mendjadi' kadhi itu, karena ia ingin diam dalam memberikan hukum-hukum jang sesuai dengan sentimen radja-radja Abbasijah terhadap Sji'ah Ali. dan oleh karena ia tidak mau menghinakan Ahlil Bait, ia ditangkap dan dihukum.

Bukan hanja Abu Hanifah segan sadja membantu radja Abbasijah dalam membuat-buat hukum menghina Sji'ah, agaknja ia lebih segan lagi membuat hukum jang berlainan dengan adjaran gurunja, jaitu Dja'far Shadiq, jang pernah dipudji-pudjinja dengan utjapan : "Djikalau tidak ada Ash-Shadiq, akan binasalah Ni'man. Aku belum pernah melihat seorang jang lebih ahli dalam fiqh dari pada Dja'far bin Muhammad (Asad Haidar, Imam Ash-Shadiq wal Mazalribul Arba'ah, Nedjef, 1956, 1:90). Abu Hanifah lahir ta hun 80 H. dan meninggal 150 H.

Sebagaimana Abu Hanifah, begitu djuga Imam-imam jang lain djarang jang dapat membantu Chalifah Abbasijah dalam mengetjam dan menganiaja Sji'ah Ali. Kita lihat misalnja Imam Malik, jang menjiarkan pidato disana-sini mengetjam kebidjaksanaan AlMansur, dan mengandjurkan kepada rakjat untuk meninggalkannja. Pada suatu kali ia pernah mengeluarkan fatwanja, bahwa sumpah setia jang pernah diberikan rakjat kepada Al-Mansur bathal dan melanggar hukum sjara', karena mereka membuat bai'at untuk radja-radja jang dibentjinja, sedang bai'at harus dilakukan karena ketjintaan. Malikpun diseret kedalam pendjara dan ditjambuk seperti mentjambuk dan menghukum Abu Hanifah. Malik dan Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. dan meninggal 179 H.

Muhammad bin Idris Asj-Sjafi'i terkenal tjinta kepada Ahlil Bait, dan tidak bisa lain djalan, karena nenek-neneknja masih ada hubungan dengan nenek-nenek Nabi. Dari mulut Sjafi'i orang banjak mendengar kata-kata tjinta kepada keluarga Ali ini, demikian banjaknja sehingga ia dituduh Rafidhi, artinja orang jang tidak menjukai sahabat lain mendiadi chalifah sesudah wafat Nabi. Tuduhan ini tentu tidak benar, karena Sjafi'i termasuk Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang mengaku kebenaran pengangkatan dan tertibnja chalifah sesudah Nabi dari Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.

Atas tuduhan ini Sjafi'i merasa sangat tergontjang perasaannja, sehingga ia banjak sekali membuat sjair-sjair untuk menolak ketjaman itu, diantaranja saja terdjemahkan dari kitab "Imaman al-Kazim wa Ali Ridha", Beirut, t. th., hal. 8, sbb. :

Wahai Ahlil Bait Rasulullah.

Tjinta kepadamu diwadjibkan Allah.

Didalam Qur'an Kalamullah.

Kewadjiban tertulis, tak ada helah.

Keluargamu begiku tinggi nilainja.

Ditinggikan Allah serta Rasulnja.

Djika tak ada salawat dan salamnja.

Sembahjang tidak sah begitu hukumnja.

Mengapa orang mengatakan daku Rafdhi,

Sedangkan aku ingin berbudi,

Membela agama dan i'tikadi,

Engkaulah jang salah sedjadi-djadi.

Tatkala pada suatu kali ia diseret kedepan pengadilan, dan ditanja untuk memantjing, apa katanja tentang Ali, ia mendjawab: "Aku idak akan berbitjara tentang seseorang jang begitu indah dirahasiakan orang sedjarah hidupnja, tetapi diketjam dan ditjela oleh musuhnja."

Sjafi'i meninggal tahun 204 H. Sjafi'i dan Hanbali adalah murid daripada Malik bin Anas, sedang Malik bin Anas adalah salah seorang murid daripada Dja'far Shadiq. Sjafi'i lebih mengutamakan hadis jang dirawajatkan oleh Ali bin Abi Thalib dan umumnja jang berasa] dari Ahlil Bait, sehingga Jahja bin Mu'in menuduhnja Rafdhi sebagaimana jang kita sebutkan diatas

Kitab Masnad Imam Ahmad ibn Hanbal penuh dengan hadis hadis jang meriwajatkan keutamaan Ali bin Abi Thalib. Orang mentjeriterakan, bahwa ia pernah mengarang sebuah kitab besar, berisi fadhilat-fadhilat dan keutamaan Ahlil Bait, sebuah naschab lama diantara kitab itu sampai sekarang masih tersimpan dalam perpustakaan Masjhahadul Imam di Nedjef. Imam Ahmad pernah beladjar sama Musa al-Kazim, salah seorang imam besar dalam kalangan Sji'ah.

Sepandjang sedjarah Islam kita dapati orang-orang jang mentjintai Ahlil Bait, baik jang masih hidup maupun jang sudah meninggal, dan ulama-ulama besar banjak mengarang manaqibmanaqibnja dan kemuliannja, mengarang sjair-sjair, kasidah-kasidah jang penuh pudjian dan sandjungan, begitu djuga chatib-chatib diatas mimbar tidak kurang menjebut-njebut Ahlil Bait itu dengan penuh kehormatan. Nama Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah nama-nama jang mewakili Ahlil Bait itu. Dalam masa Abbasijah semua orang alim dan semua rakjat djelata mentjintai dan berpihak kepada Ahlil Bait, lebih banjak daripada mendekati Bani Umaijah dan Abbasijah, jang hanja dikerdjakan karena ketakutan atau untuk mentjapai sesuatu keuntungan.

Ahmad ibn Hanbal mengutamakan Ali lebih daripada sahabat2 jang lain. Giliran memikat perasaan dalam masa Abbasijah sampai djuga kepadanja, ia ditanja orang tentang sahabat-sahabat jang utama, ia hanja mendjawab Abu Bakar, Umar dan Usman. Orang bertanja lagi tentang Ali jang disangka orang dilupakan menjebutnja. Ahmad ibn Hanbal mendjawab : "Engkau bertanja tentang sahabat Nabi, sedang Ali adalah diri Nabi sendiri" (Asad Haidar 1:231).

Ahmad bin Hanbal meninggal 241 H.

Ulama-ulama mazhab jang lain, meskipun sebahagian tidak hidup adjarannja lagi sekarang diatas muka bumi ini, hanja tersimpan pendapat-pendapatnja dalam kitab-kitab besar ilmu fiqih, ialah Sufjan bin Sa'id As-Sauri, berasal dari Kufah, lama ia beladjar pada Imam Dja far Shadiq, dan banjak mengambil hadis-hadis dari padanja mengenai adab, achlalk dan peladjaran-peladjaran ibadat. Begitu djuga Sufjan bin 'Ujainah (mgl. 198 H), adalah mur.d Imam Dja far Shadiq, jang beladjar pula padanja banjak sekali ulama-ulama lain. Imam Sjafi'i pernah berkata : "Djikalau tidak ada Malik dan Sufjan, akan lenjaplah ilmu-ilmu jang adai terdapat di Hedjaz."

Lain daripada itu banjak sekali murid-murid Imam Sji ah Dja'far Ash-Shadiq, seperti Sju'bah bin Hadjdjadj (80—160 H.), jang oleh Sjafi'i disebutkan seorang jang sangat ahli tentang hadis di Bagdad, Fudhail bin Ijadh (mgl. 187 H.), Hatim bin Ismai'l (mgl. 180 H), Haf as bin Ghijas, jang pernah menghafal tiga ribu atau empat ribu hadis, Zuhair bin Muhammad At-Tamimi, jang digelarkan djuga Abui Munir (mgl. 162 H.), Jahja bin Sa'id ( 120— 198 H.), Isma'il bin Dja'far (mgl. 180 H.) Ibrahim bin Muhammad, jang digelarkan Abu Isha al-Madani, jang meninggal tahun 91 H., pernah mengumumpulkan hadis dari Dja'far mendjadi sebuah buku jang digelarkan "Halal dan Haram", Dhahhak ( 122—214 H.), Muhammad bin Falih (mgl. 177 H.), Usman bin Farqad, Abdul Aziz bin Umar Az-Zuhri (mgl. 197 H.), Abdullah bin Dakki, Zaid bin Atha, Mas'ab bin Salam, Bassam bin Abdullah As-Sirfi, Basjir bin Maimun, Al-Haris bin Umair, Al-Mufadhdhal bin Sa.lih al-Asadi, Ajjub As-Sadjastani, Abdul Malik bn Djuraih al-Qurasji (80—149 H.), dll. Semua murid-murid Dja'far Shadiq jang kemudian merupakan guru-guru imam mazhab, imam hadis dan imam tafsir, sebagai jang pernah djuga kita singgung dalam fasal lain.

Dengan ringkas dapat dikatakan, bahwa mazhab-maz-hab kemudian adalah lahir daripada mazhab Ahlil Bait jang ditjiptakan oleh Dja'far Shad;q, Imam fiqh jang terbesar dalam kalangan sjiah. Demikian kita batja dalam Asad Haidar "Al-Imam ashadiq wal Mazahib Arba'ah" (Nedjef, 1956. I-VI).

Bagaimana tidak, karena Qur'an menjuruh berlunak lembut terhadap Ahli Bait dan menjuruh menjanjanginja. Dan mazhab Ahlul Bait adalah mazhab, sebagaimana dikatakan dalam Qur'an dari orang-orang jang sudah dibersihkan kekotorannja dan disutjikan sesutji-sutjinja, termasuk mazhab jang pertama dalam sedjarah Islam, dikala orang menggunakan kata-kata "Mazhab", untuk membeda-bedakan tjara berpikir dalam ilmu hukum. Orang-orang dari Ahlil Bait ini lebih kenal akan kehidupan Nabi. baik dalam rumah tangga, dalam mesdjid maupun dalam masjarakat manusia jang mendjadi pengikutnya.

Mazhab ini mula-mula tersiar dikota Bani Umaijah dikala mereka mulai memerintah, dan kemudian tersiar keman-mana. Orang jang mula-mula menjiarkan mazhab ini di Sjam jaitu seorang sahabat Nabi jang besar dan dibjintainja, Abu Zarr alGhiffari, jang tidak henti-hentinja dia menjiarkan adjaran Islam ditempat itu dan mengeritik Mu'awijah, jang dalam tjara pemerintahannja dan tjara hidupnja dilihatnja telah menjimpang dari adjaran Nabi. Oleh karena itu orang-orang tidak senang, mulailah menanam bibit-bibit kebentjian terhadap kepada mazhab Ahlil Bait itu.

Lebih pandjang dan luas tentang Imam Dja'far dan mazhabnja akan kita bitjarakan dalam bahagian lain.

3. PERSOALAN CHILAFIJAH

I

Meskipun sama-sama, bersumber kepada Qur'an dan Sunnah, dalam beberapa pandangan hukum Sji'ah berbeda dari Ahlus Sunnah. Sebagaimana antara mazhab3 dalam ikatan Ahlus Sunnah sendiri kita dapati perbedaan paham itu. Kesukaran memahami arti ajat-ajat Qur'an, persoalan-persoalan hidup jang selalu tumbuh dalam berbagai bentuk menurut tempat, masa dan tjara berpikir manusia, begitu djuga berlainan penangkapan apa jang didengar daripada hadis-hadis Rasulullah, menjebabkan lahir perbedaan paham itu.

Dalam masa hidup Nabi, perselisihan paham dapat diselesaikan dengan membawa perselisihan itu kehadapan Nabi dan bertanja kepadanja, dgn. demikian pintu Sunnah atau hadis itu selalu terbuka. Tetapi sesudah Rasulullah wafat, dua sumber hukum agama, jang penting ini tertutup, sahabat hanja dapat tanja menanjai satu sama lain dan dengan demikian lahirlah dua sumber hukum lagi dalam Islam jaitu Idjma' dan Qijas, dalam masa sahabat itu. Kedua sumber hukum ini lahirnja dalam mada chalifah Abu Bakar dan Umar dan dengan demikian lahir pula apa jang dinamakan fatwa, jang menetapkan suatu hukum baru dalam Islam.

Tjara berpikir sematjam ini dilandjutkan sampai kepada masa Tabi'in, Tabi'-Tabi'in dan oleh imam-imam Mazhab Empat jang terkenal sampai sekarang ini.

Konon Sji'ah tidak mau mengikuti tjara sematjam itu. Katanja bahwa Ali bin Abi Thalib dan ahli-ahli fiqh Sji'ah dalam masa sahabat tidak mau mendasarkan penetapan sesuatu hukum Islam, ketjuali mengembalikannja kepada dua sumber pokok asli jaitu Qur'an dan Sunnah. Ali berbeda pendiriannja dengan Abu Bakar dan Umar, jang berani beridjtihad untuk melahirkan sesuatu tindakan hukum, meskipun berlainan dengan nash jang terdapat dalam Qur'an dan Sunnah, Umar berani menolak pemberian zakat kepada mu'allaf, meskipun hak ini sudah ditetapkan dalam ajat Qur'an, surat An-Nur, ajat 61, dan berani melarang nikah mutah dalam masa pemerintahannia, sedang nikah ini dalam masa Nabi diperkenankan, dan Abu Bakar tidak berani melarangnja.

Chalid Muhammad Chalid dalam kitabnja "Ad-Dimuqrathijah", hal. 151, menerangkan, bahwa Umar bin Chattab berani1 meninggalkan nash Qur'an dan Sunnah, djika la melihat perlu menetapkan setjara lain karena ada kemuslahatan umum. Idjtihad sematjam ini ditakuti oleh Sji'ah, karena pada achirnja maslahatul mursalah dan istihsan, kepentingan umum dan memilih jang baik pada akal, mendjadi djuga sumber penetapan hukum Islam, jang dapat membawa keluar sesuatu hukum dari agama, seperti jang terdapat pada masa Bani Umaijah dan Ban; Abbas.

Dalam masa Tabi'in djuga ulama-ulama fiqh Sji'ah tidak mau melepaskan dua sumber pokok Qur'an dan Sunnah untuk mengetahui sesuatu hukum Islam. Sesudah wafat Ali, mereka mengikuti djedjak anak-anak keturunannja, jang setia memegang tjara berpikir dari orang tuanja. Mereka dinamakan Imam, dipilih dari orang jang terpelihara hidupnja, ma'sum dari dosa. Merekalah jang berhak melakukan idjtihad dan menggunakan akal, djika tidak ada lagi sama sekali terdapat alasan dalam Qur'an dan Sunnah.

Maka dengan berbeda tjara berpikir jang demikian itu terdapatlah perbedaan ketjil-ketjil, jang dinamakan hukum furu', antara Sji'ah dan Ahlus Sunnah, baik dalam ibadat, maupun dalam muamalat.

Mari kita tindjau perbedaan ini dari beberapa tjontoh tersebut dibawah.

1. Sji'ah Imamijah hanja menganggap wadjib mengfusap (masah) dua kaki dengan wudhu' sebagai ganti mentjutjinja pada mazhab lain. Perbedaan paham ini sudah lahir sedjak masa shahabat. Ali dn Ibn Abbas menetapkan tjra berwudhu' demikian. Ibn Abbas menerangkan, bahwa Rasulullah hanja mengusap kakinja dengan air wudhu,' bukan membasuh. Qur'an surat Ma'idah pun menerangkan jang demikian itu. Sji'ah berpegang kepada keputusan ini, meskipun mazhab lain memerintahkan membasuh kedua kaki dengan air dikala berwudhu'.

2. Sji'ah Imamijah membolehkan nikah mut'ah jang dinamakan djuga nikah jang terbatas waktunja, jang disetudjui oleh bakal suami dan isteri. Perbedaan paham mengenai nikah inipun sudah terdjadi sedjak zaman sahabat. Semua orang Islam mengaku, bahwa nikah ini pernah dibolehkan Nabi, tjuma berselisih paham tentang ada atau tidak ada larangan sesudah itu oleh Nabi.

Ada riwajat dari Jahja, dari Malik, dari Ibn Sjihab, dari Abdullah dan Hasan, dari ajahnja Ali, jang menerangkan, bahwa Rasulullah melarang nikah mut'ah pada hari Chaibar (Muwaththa Imam Malik, hal. 74). Tetapi banjak djuga sahabat-sahabat jang membolehkannja, diantaranja Abdullah bin Mas'ud, Ubaj bin Ka'ab, Suda, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib dan beberapa banjak ulama Tabi'in.

Tatkala Abu Nasrah bertanja kepada Ibn Abbas tentang nikah mut'ah, Ibn Abbas menerangkan, bahwa nikah itu dibolehkan dengan berdasarkan Qur'an, surat An-Nisa', jang berbunji :

"Djika kamu bermut'ah dengan wanita sampai kepada batas tertentu (ila adjalin masamma), hajarkan upahnja. Orang ragukan, apa ada pembatasan waktu dalam ajat ini, tetapi Ibn Abbas menerangkan ada. Ubaj bin Ka'ab, Ibn Mas'ud, Sa'id bin Zubair dll. membatja djuga ajat Qur'an sematjam itu dan oleh karena itu sependirian dengan Ibn Abbas. Lain daripada itu Hakam bin Lljajnah menerangkan, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Djikalau tidak ada Umar melarang nikah mut'ah, tidak ada orang berzina lagi ketjuali orang jang sangat djahat (TaricHul Fïqhiil Dja'fari, hal. 175).

Oleh karena sesuai dengan Qur'an dan sesuai dengan pendirian Ali, orang-orang Sji'ah membolehkan nikah mut'ah.

3. Diantara pendirian Sji'ah ialah bahwa seorang wanita baik gadis atau djanda boleh menyuruh mengawinkan dirinja, dengan tidak usah izin walinja. Jang demikian itu pernah difatwakan oleh Ibn Abbas, dan Zubair bin Mut'im jang menerangkan, bahwa Nabi ada mengatakan : "Wanita dewasa berhak atas dirinja dan gadis harus meminta izin" (Muwaththa Imam Malik hal. 62).

Lain daripada itu Qur'an mengatakan : "Apabila wanita itu sampai umurnja, tidak mengapa kamu biarkan mereka memilih sesuatu untuk dirinja."

Sjiah memutuskan, bahwa wanita dewasa boleh kawin denqan tidak izin wali, dan jang baik bagi gadis jang belum dewasa meminta izin walinja.

Hampir semua mazhab Ahlus Sunnah memutuskan, bahwa nikah tidak memakai wali tidak sah, atau mereka membagi wanita dalam golongan dewasa dan tidak dewasa, buruk atau tiantik.

4. Sjiah menetapkan. bahwa talak janq diutjapkan sekaligus tiga kali. hanja djatuh satu. Mazhab lain ada jang menjatakan, bahwa talak demikian djatuh ketiga-tiganja.

Sji'ah melihat perselisihan ini. sebelum memutuskan hukumnja. Abdullah Ibn Abbas berfatwa, diatuh satu talak, dan mengatakan. bahwa hal ini terdjadi pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. hanja umarlah yang menghukumkan djatuh tiga talak (Tarich Tasiri' Islami, kar. Al-Chudhari). Ikrimah mentjeriterakan bahwa Rukkabah anak jazid mentalak isterinja tiga talak sekaligus pada suatu tempat. Sesudah menjesal ia bertanja kepada Nabi menerangkan bahwa talaknja djatuh satu.

Mazhab jang bukan Sji'ah menghukumkan djatuh tiga talak. demikian djuqa menurut fatwa Abu Hanifah dan Malik meskipun kedua2nja mengharamkan talak sematjam itu dan mengatakan bertentannnn dengan Sunnah Nabi.

5. Sji'ah menganggap sesuatu djandji atau utjapan tidak berlaku, duka diperbuat karena terpaksa. Djika seseorana mengatakan kepada isterinja : "Djika engkau pergi kepasar, nistjaja engkau tertalak", atau pernjataan sematjam itu, seperti, bahwa ia serupa ibunja, bahwa hambanja merdeka, dan bahwa semua harta bendanja menjadi sedekah. Djika diperbuat jang demikian itu oleh isterinja, orang Sji'ah menganggap tidak djatuh talak, tidak termasuk zihar dan tidak mendjadi sedekah semua hartanja. Orang Sji'ah berpegang kepada sabda Nabi : "Dibebaskan umatku dari pada salah dan lupa, karena terpaksa dan diperkosa atau karena tidak tahu" (Hadis). "Quj'anpun menjebut : "Tidak berdosa kamu djika terpaksa mengerdjakan salah." (Al-Intisar, kar. Mufid).

Orang Sji'ah dalam penetapan hukum berpegang kepada Qur'an dan Sunnah itu, meskipun mazhab lain menghukum sebaliknja.

3. PERSOALAN CHILAFIJAH

II

Demikian kita lihat pendirian Sji'ah dalam beberapa persoalan munakahat. Mari kita tindjau pula pendirian mereka dalam perkara ibadat. Ambil misalnja sembahjang sebagai tjontoh, maka kita lihat perbedaan seperti berikut.

Bahwa sembahjang jang wadjib bagi umat Islam umum, wadjib pula bagi Sji'ah dapat kita pahami, karena tentang kewadjiban pokok tidak berbeda, sama-sama berpegang kepada Qur'an dan Sunnah Nabi. Sembahjang Djum'at wadjib. Orang Sji'ahpun meigatakan demikian. Tetapi apabila wadjibnja? Orang Sji'ah mendjawab, selama pemerintah adil, dan djika pemerintah tidak adil, orang Islam boleh memilih, mengadakan Djum'at atau mengerdjakan sembahjang zuhur sendiri-sendiri.

Mengenai bilangan Sji'ah Imamijah menetapkan lima orang selain imam, sedang Maliki menetapkan dua belas orang selain imam, dan Sjafi'i sama dengan Hanbali menetapkan empat puluh orang bersama imam.

Semua mazhab sepakat mengatakan bahwa dua chotbah merupakan sjarat sah Djum'at, dilakukan sebelum waktu atau sesudah masuk waktu. Perbedaan paham terletak dalam persoalan, apakah wadjib berdiri dikala berchotbah. Sji'ah sepaham dengan Sjafi'i dan Maliki mengatakan wadjib, sedang Hanafi dm Hanbali tidak mewadjibkan berdiri.

Sji'ah Imamijah mewadjibkan dalam chotbah hamdateh, selawal kepada Nabi dan keluarga, nasihat untuk orang janq hadir, membatja sesuatu dari ajat Qur'àn, dengan menambah istighfar dan doa untuk orang mu'min pria dan wanita dalam chotbah kedua dan mentjeraikan antara dua chotbah dengan dudjuk spdilenak.

Kita lihat perbedaan paham antara mazhab-mazhab dalam persoalan-persoalan ketjil, tetapi Sji'ah menjelidiki hal ini melalui hadis-hadis Ahlil Bait.

Sji'ah Imamijah menganggap bahwa qasrus shalat, mendjadikan dua raka'at daripada sembahjang jang empat raka'at. dalam pcrdjalanan adalah suatu hrkum agama janq perlu dipatuhi. Penetapan hukum ini berdasarkan firman Tuhan : "Apabila kamu beperqian diatas bumi, tidak mengapa, djika kamu memendekkan shalat, apalagi djika ditakuti fitnah mereka ianq kafir karena orang-orang kafir itu musuhmu jang njata" (Qur'an). Semua mazhab menganggap demikian.

Perbedaan paham hanja terletak dalam djangka djauh dan djarak tempat jang membolehkan memendekkan shalat itu. Sementara mazhab Hanafi menetapkan djarak djauh itu sebanjak dua puluh empat farsach djalan kaki, mazhab Sji'ah menetapkan dalapan farsach djalan kaki. Asal pertikaian ini terletak dalam memahami hadis mengenai djarak djauh ini. Sji'ah sebagaimana mazhab Islam jang lain, mendjalankan ibadat sematjam ini karena perintahnja dalam ajat Qur'an tersebut dan karena rasa takut, jang banjak dichuwatiri dipadang pasir. Imam Al-Baqir menguatkan pendirian ini.

Ajat tersebut digunakan djuga buat shalat chauf, jang tjara melakukannja sama dengan mazhab jang lain.

Dalam mentafsirkan ajat ini Sji'ah melakukan shalat chauf untuk sembahjang empat raka'at dengan dua raka'at berganti-ganti, djuga dalam shalat safar, tiap satu raka'at berganti-ganti, sama dengan mazhab Djabir dan Mudjahid.

Mengenai mandi djunub, mazhab Sji'ah mendasarkan hukumnja kepada ajat Qur'an: "Djika kamu berdjunub bersihkanlah dirimu", (Qi'r'an). Dan kebersihan ini hanja dapat ditjapai dengan air, ketjuali djika sakit, dalam perdjalanan atau menjentuh wanita, barulah dilakukan tajammum untuk gantinja, jaitu dengan tanah jang bersih.

Disini terdjadi bermatjam-matjam perbedaan paham untuk mereka jang dibolehkan tajammum, ada jang membolehkan buat orang jarg sehat dan tidak berpergian, djika tidak ada air, ada jang tidak membolehkan untuk oranq jang demikian itu, karena dalam ajat Qur'an hanja diwadjibkan taiammum buat orang sakit dan berpergian dan tidak ada air, ada jang melihat wadjib, djika tidak ada air sadja. baik bagi orang sakit, sehat, berperqian atau tidak berperqian. Dalam menetapkan hukum itu, mazhab Sii'ah ada tang sedjalan dengan Ahlus Sunnah ada jang tidak. Bagi mereka pokok jang terpenting, ditjari dahulu dalilnja dalam Qur'an, dalam Sunnah atau dari imam-imamnja.

Begitu djuga mengenai kiblat. Si'ah sependapat dengan Ahlus Sunnah hanja diarahkan kepada Ka'bah di Mekkah. Kiblat ke Baital Maqdis sudah dibatalkan dan diganti dengan ajat Qur'an, jang menjuruh menghadapkan muka dalam sembahyang kearah Ka'bah dalam segala keadaan. Adapun ajat Qur'an janq menjebutkan, bahwa seluruh timur dan barat itu kepunjaan Allah dan kemana dihadapkan muka disitu terdapat wadjah Tuhan (Qur'an), ajat itu hanja digunakan untuk sembahjang sunat dan dalam keadaan berpergian jang tidak diketahui arah kiblatnja, sebagaimana janq diriwajatkan oleh Abu Dia'far al-Baqir dan Abu Abdullah as-Shadiq dalam tafsir Mudjma'ul Bajan. dj. ke 1: 228.

Demikianlah beberapa tjontoh perbedaan paham dalam furu' antara Sji'ah dan mazhab-mazhab jang lain. Perbedaan ini kita dapati dalam persoalan puasa, hadji, zakat dll. ibadat, mu'amalat, djihad, djinajat, hukum warisan dll, jang timbul karena perbedaan memahami ajat-ajat Qur'an dan Hadis-Hadis dari bermatjam riwajat. Selain daripada persoalan Imamah, jang mendjadi kejakinan golongan Sji'ah, saja tidak melihat ada perbedaan besar antara mazhab ini dengan mazhab Ahlus Sunnah. Gema permusuhan antara Sji'ah Ahli dan Bani Umajjah serta Bani Abbas adalah persoalan politik, bukan persoalan ibadat dan mu'amalat, dan bukan pula persoalan i'tikad jang sependapat bagi semua aliran dalam golongan Sji'ah.

5. WASIAT NABI KEPADA ALI

Salah satu perbedaan paham jang besar antara Sji'ah dan Ali Sunnah ialah, bahwa Ahli Sunnah tidak mau mengaku ada nash mengenai wasiat Nabi Muhammad tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifahnja sesudah ia wafat. Sudah kita terangkan, bahwa meskipun seseorang Islam mau mejakini chalifah atau Imamah Ali atau tidak, ia tidak keluar dari agama Islam, karena persoalan ini merupakan persoalan mazhab. Tetapi oleh karena kejakinan imamah ini merupakan dasar perdjuangan pokok daripada gerakan Sji'ah, ada baiknja djika kita ketahui alasan-alasan agamanja mengenai persoalan itu dan perlainan alasan dari gerakan Ahli Sunnah. jang selalu menentang adanja nash, jang mewadjibkan Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai chalifah jang pertama sesudah wafat Nabi.

Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak adanja wasiat Nabi mengenai Ali, berdasarkan diantara lain kepada sebuah hadis, jang diriwajatkan oleh Buchari dalam Sahihnja daripada Al-Aswad. Kata Al-Aswad bahwa Aisjah pada suatu hari ditanjakan orang tentang wasiat Nabi kepada Ali, lalu ia mendjawab dengan keheranan : „Siapa jang mengatakannja ? Pada waktu Nabi akan wafat, ia bersandar kepada dadaku dan ia meminta air untuk membersihkan mukanja, lalu ia wafat. Bagaimana ia meninggalkan wasiat kepada Ali ?"

Hadis ini dikeluarkan Buchari dalam kitab wasiat, hal 83. djuz jang ke-II dari kitab Sahihnja. djuga disinggungnja dalam bab Nabi Sakit dan wafat hal 64 djuz ke III dari kitab jang sama sebagaimana Muslim mengemukakannja dalam djuz ke II. hal 14 dari kitab Sahihnja. Hadis jang sematjam ini banjak diriwajatkan Buchari dari bermatjam sumber dan dengan bermatjam lafadh. Dalam kitab Hadis Muslim dikemukakan sebuah hadis dari Aisjah. jang berkata : „Rasulullah tidak meninggalkan satu dinar atau satu dirham, atau seekor kambing atau seekor kuda, serta tidak mewasiatkan sesuatu".

Dalam dua kitab Sahih Buchari dan Muslim dimuat sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Masraf. katanja : „Saja tanjakan kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah Nabi pernah meninggalkan wasiat ?". Katanja : „Tidak". Lalu kataku : „Bagaimana ia menulis wasiat kepada manusia, kemudian ia meninggalkannja ?". Djawabnja : „Ia berwasiat dengan kitab Allah". Dengan alasan-alasan ini Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak ' adanja wasiat Nabi, jang menjuruh mengangkat Ali sebagai chalifah sesudah wafatnja.

Tetapi orang Sji'ah mempunjai alasan-alasan jang tjukup kuat pula untuk menundjukkan nash-nash mengenai wasiat itu dan mempertahankan pendiriannja, bahwa Nabi Muhammad memang sudah berkali-kali mewasiatkan agar Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifah, jang akan meneruskan urusan agama Islam. Wasiat itu katanja tidak dapat disangkal lagi. sesudah Nabi mewariskan kepadanja ilmu dan chidmat (Al-Musawi. Al-Muradja'at, no 66, hal 234), sesudah Nabi memerintahkan Ali dikala mati memandiKannja. mengafaninja serta menguburkannya (Ibn Sa'ad dj. II, bg. 2 hal, 61, dan djuga hadis-hadis lain, sesudah Nabi meneruskan penjiaran agamanja, melaksanakan djandjinja dan tjita-tjitanja (Hadis Thabrani, Abu Ju'la, Ibn Mardawaih. Dailumi dll sesudah Nabi menerangkan kepada umatnja. apa jang akan mereka pertengkarkan dan menjuruh Ali menjelesaikannja (Dailumi Abu Zar, Dailumi bin Anas, lih. Kanzul Ummal, VI : 156), sesudah dijelaskan bahwa Ali saudaranja (Hadis Ummu Sulaim dim Masnad imam Ahmad V : 31. ajah anaknja Abu Ju'la (sesudah dinjatakan djadi wazirnja (Ahmad, Nasa'i. Hakim. Zahabi dll), sesudah dinjatakan pemenangnja (Hakim, Mustadrak II : 472), sesudah dinjatakan mendjadi walinja dan orang jang diwasiatkan (Ibn Abbas), sesudah disebutkan Ali djadi pintu gudang ilmunja (Thabrani Ibn Abbas. Hakim-Djabir). sesudah digelarkan kampung hikmahnja (Tarmizi, Ibn Djarir), sesudah Ali dinjatakan mendjadi pintu perlindungan umat (Darquthnrlbn Abbas), sesudah dinjatakan mendjadi ketjintaanja, sesudah dinjatakan mendjadi penghulu orang Islam, Imam Aulia Allah, sesudah ditempatkan seperti tempat Nabi Harun dan Musa, sesudah diterangkan semisal kepala dan badan dengan dia, dan sesudah dinjatakan Ali itu dipilih Tuhan untuk dunia ini dsb. Orang Sji'ah menganggap semua hadis-hadis itu merupakan wasiat atau penundjukan Ali sebagai gantinja. Mazhab Empat menolaknja, hanjalah karena dianggap tidak sesuai dengan sesudah kedjadian keangkatan tiga chalifah sebelum Ali dan keputusan Sji'ah diambil lama sesudah kedjadian itu.

Orang Sji'ah menerangkan, bahwa pendapat Ibn Abi Aufa. bahwa Nabi ada meninggalkan wasiatnja berupa Kitabullah benar adanja. tetapi sebagaimana disebutkan dalam hadis "Saqalain", kitab itu ditinggalkan bersama-sama dengan „'Itrah". keluarganja. jang terpenting Ali bin Abi Thalib.

Djuga orang Sji'ah tidak menjangkal. bahwa Sitti Aisjah adalah salah seorang isteri Nabi jang afdhal. tetapi bukan jang utama dan pertama, karena banjak hadis (diantaranja dari Aisjah sendiri) menerangkan, bahwa Nabi pernah berkata : "Wanita utama ialah Chadidjah binti Chuwailid. Fatihimah binti Muhammad, Asjah binti Mazahim dan Marjam binti Imran, semuanja wanita utama ini isi sorga" (Buchari). Selain daripada itu tatkala Safijah binti Hujaj menangis karena diedjek Aisjah dan Hafsah, Nabi menjuruh mengatakan kepada kedua isterinja jang lain itu, bahwa ia lebih baik daripada mereka, karena ajahnja Harun, pamannja Musa dan suaminja Muhammad (Tarmizi).

Dengan tidak mengurangi kelebihan Aisjah sebagai ibu orang mu'min dan isteri Nabi jang disajanginja, orang Sji'ah menundjukkan beberapa perkara, dimana Aisjah kelihatan agak tidak sangat keistimewaannja Ali dalam utjapannja. Salah satu sikapnja jang dapat menggambarkan suasana ini ialah tindakannja dalam peperangan Djamal Besar, dimana Aisjah dengan tenteranja menghadapi pasukan Ali bin Abi Thalib. sebagaimana jang diterangkan oleh Ibn Djarir dan Ibn Asir dalam kitab2 sedjarahnja. Selain daripada itu, pada waktu ia menerangkan kisah Rasulullah sakit dan digotong dua orang kiri-kanannja, ia hanja menjebut jang menggotong itu seorang bernama Abbas bin Abdul Muttal'b sedang jang lain disebut sadja seorang laki-laki, padahal ia kenal namanja. menurut Ibn Abbas, Aisjah tahu bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.

Lain tjontoh lagi tentang sikap Aisjah ini terhadap Ali ialah, bahwa ia lebih banjak berbitjara tentang Ammar daripada Ali, taikala kedua-duanja datang kepada Aisjah (Masnad Imam Ahmad VI : 113). Pada waktu itu Aisjah tidak mau berbitjara tentang Ali dan ia menerangkan, apa jang harus dikerdjakan oleh Ammar.

Penjembunjian jang sematjam ini dari Aisjah tentu digerakkan oleh rasa kurang senang terhadap Ali. dan oleh karena itu orang sji'ah menganggap, bahwa banjak hal-hal jang tidak disampaikan oleh Aisjah mengenai Ali. Nas2 mereka mengenai wasiat dianggap iebih kuat daripada beberapa hadis umum jang diriwajatkan oleh Aisjah.

Saja peringatkan disini akan suatu perkara antara Sitti Aisjah dan Ali, dikala Aisjah mendapat tuduhan dari kaum munafik Madinah, karena ketinggalan kafilah dalam sesuatu peperangan, perkara jang dikenal dalam sedjarah Islam dengan Hadis Ifki. Dikala itu Ali mengeluarkan pendapatnja kepada Nabi, jang rupanja menjinggung perasaan Sitti Aisjah. Kemudian ada pula perkara tanah jang oleh Sitti Fathimah dianggap berhak menerimanja sebagai pusaka, tetapi oleh Abu Bakar, jang ketika itu mendjadi chalifah diputuskan, bahwa Nabi tidak meninggalkan harta pusaka kepadanja. Rupanja kedjadian-kedjadian ketjil ini djuga mempengaruhi sikap sebagian golongan Sji'ah terhadap mereka jg menduduki singgasana sesudah wafat Nabi. dengan-akibat'jang berlarut-larut.

Kembali kepada wasiat Nabi kepada Ali, Sji'ah berpendapat, bahwa hadis-hadis jang digunakan oleh Ahli Sunnah, sebagai jang kita sebutkan diatas, tidak tjukup sah dan kuatnja untuk menolak sekian banjak berita utjapan Rasulullah, jang telah membajangkan Ali sebagai chalifahnja. Hadis-Hadis Aisjah itu menundjukkan keadaan umum, bahwa Rasulullah tidak meninggalkan 'harta benda, emas dan perak, karena kita ketahui tak 'ada penghargaannja kepada kekajaan duniawi, tetapi ada wasiat2 jang lebih penting, jaitu mengenai penjelenggaraan agamanja, jang ditinggalkannja berupa „Kitabullah dan keluarganja jang sutji. jang tidak dapat dipisahkan sampai hari kiamat."

Rasulullah telah mewasiatkan kepada Ali pada permulaan da'wah Islam sebelum lahir, sebelum kuat Islam itu di Mekkah.. dengan perintah Tuhan : "Berikanlah peladjaran kepada keluargamu jang dekat" (Qur'an). dan tidak putus-putusnja wasiat ini diulang-ulang dalam berbagai bentuk dan bermatjam utjapan. Imam Abdul Husain Sjarfuddin al-Musawi dalam kitabnja "Al-Munadjat" (Nedjef 1963), dalam Mab'has ke II, Muradja'at 20. hal. 144, membitjarakan pandjang lebar ajat-ajat Qur'an dan hadis-hadis jang bersangkut-paut dengan Chilafah Imamah ini, tidak kita ulang lagi disini, tetapi tjukup kita mempersilahkan pembatja mempeladjarinja disana.

Ada sebuah kedjadian jang penting pang dikemukakan oleh golongan Sji'ah jang menarik perhatian kita dalam pemberian alasan wasiat ini, jaitu kedjadian dikala Nabi akan wafat, sebagaimana jang dikemukakan oleh Buchari (II : 18), Muslim dlm. Sahih, Ahmad bin Hanbal dlm Masnad, dan hampir semua ahli hadis. Tatkala itu Nabi berkata : "Berikan daku kertas, aku akan menuliskan bagimu sesuatu wasiat jang dapat mentjegahkan kamu dari kesesatan !" Nabi tidak djadi melakukannja, tetapi jang mendjadi pertanjaan, apa wasiat jang akan ditinggalkan Nabi. Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, pertama bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. kedua bahwa semua orang musjrik harus dikeluarkan dari tanah semenandjung Arab, dan ketiga bahwa utusan-utusan jang datang hendaklah diperlakukan, sebagaimana jang sudah pernah dilakukan.

Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat jang pertama itu diumumkan. Sji'ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Masnad (lih. Al-Muradja'at hal. 255).

Banjak pengarang Sji'ah djuga menolak pengakuan Sitti Aisjah, bahwa Nabi Muhammad meninggal dalam pangkuannja, sebagaimana jang diakui dalam hadis-hadisnja. Menurut pengarang Sji'ah, Nabi Muhammad itu wafat dan melepaskan nafas jang penghabisan dalam pangkuan saiudaranja dan penggantinja (wali), jaitu Ali 'bin Abi Thalib. Jang demikian itu menurut ketetapan ulama-ulama hadis Sji'ah jang mutawatir dan kitab-kitab Sahihnja jang mu'tamad. meskipun Ahli Sunnah berpendapat lain daripada itu (Al-Muradja'at, hal. 255-256).

6. KEIMANAN PADA SJI'AH

Mazhab Sjia'h mewadjibkan kejakinan berpegang kepada imam, jang selalu harus ada ditengah-tengah masjarakat Islam, sebagaimana jang pernah terdjadi dalam masa Rasulullah, bahwa semua orang Islam berimam kepadanja. Imam itu harus merupakan pemimpin dalam urusan dunia dan urusan agama, seolah-olah ia pengganti Nabi dalam kekuasaan dan kesempurnaannja, ia menguruskan peradilan, mengepalai masjarakat. memimpin ketenteraan, mengimami salat, mengurus keuangan negara, menjelenggarakan kepentingan negara, jang semua perkara-perkara itu diatur dengan peraturan-peraturan jang chusus jang disiarkan dan dijalankan oleh pembantu-pembantunja. Semua ini terdjadi pada diri Nabi dalam masa hidupnja.

Dan oleh karena itu mazhab Sji'ah, terutama Imamijah, tidak mau meninggalkan kesempurnaan itu.

Mengenai masaalah pengangkatan imam sesudah wafat Nabi bagi masjarakat Islam seluruhnja, ada bermatjam-matjam pendapat orang.

Orang Sji'ah berkata, kewadjiman itu dikembalikan kepada Allah, ialah jang akan mengkat seseorang imam bagi 'manusia.

Ahli Sunnah berpendapat, kewadjiban itu tidak dapat dikembalikan kepada Tuhan, tetapi kewadjiban itu tetap terletak diatas pundak manusia.

Orang-orang Chawaridj mengatakan, bahwa mengangkat imam itu tidak perlu sama sekali, tidak merupakan suatu kewadjiban jang dikembalikan kepada Tuhan, dan tidak pula merupakan suatu kewadjiban jang dipikulkan kepada manusia.

Seorang ulama Ahli Sunnah, Ala'uddin Ali bin Muhammad Al-Qarasi (mgl. 879 H), berkata dalam kitabnja bernama "Sjarh at-Tadjrid" mengenai sedjarah perkembangan kewadjiban pengangkatan imam sebagai berikut. Dalam menetapkan kewadjiban pengangkatan imam itu, Ahli Sunnah menetapkan dalilnja atas ldjma' sahabat Nabi, sehingga mereka itu menganggap pengangkatan penggantian Nabi itu. jang dinamakan imam atau chalifah itu suatu kewadjiban jang penting. Mereka mengadakan penetapan ini dikala Rasulullah hendak dikuburkan, dan meneruskan adat itu pada tiap-tiap kematian seorang imam. Sebagaimana diriwajatkan, bahwa tatkala Nabi wafat, Abu Bakar lalu berchutbah : "Wahai manusia ! Barangsiapa menjembah Muhammad, Muhammad itu sudah mati, tetapi barangsiapa menjembah Tuhan Muhammad, Tuhan Muhammad itu tidak akan mati-mati, oleh karena itu mesti kita selesaikan pekerdjaan ini, keluarkanlah pendapat dan pandanganmu, moga-moga Tuhan memberi rahmat kepadamu !"

Maka sesudah utjapan Abu Bakar ini, dari segala aliran datanglah mereka mengemukakan pengetahuannja. jang membenarkan pendapat Abu Bakar, bahwa harus ada penjelesaian tentang imam itu, dan tidak ada seorangpun jang mengatakan tidak wadjib pengangkatan imam penggantian Nabi itu.

Chawaridj mendasarkan pendiriannja tidak wadjib mengangKat imam, atas kejakinan, bhw. pengangkatan itu akan menimbulkan fitnah dan peperangan, karena tiap-tiap suku dan golongan akan mengemukakan tjalon sendiri, dengan demikian tidaklah akan didapati persesuaian pendapat diantara golongan-golongan itu. Dengan alasan demikian Chawaridj menganggap lebih baik menutup pintu pengangkatan itu. Tetapi djika didapati kata persesuaian mengenai sjarat-sjarat kesempurnaan imam dan persetudjuan pengangkatannja, barulah mereka membolehkan 'mengangkat imam itu.

Alasan-alasan Sji'ah Imamijah didasarkan kepada kanjataan, bahwa pengangkatan imam itu diserahkan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa dan Maha Esa. Ada tiga sebab mereka berbuat demikian. Pertama penentuan itu tidak terdjadi dengan ichtiar manusia, tetapi atas kemurahan Tuhan dan belas kasihannja terhadap hambanja, karena imam itulah jang mendekatkan manusia itu mentaati Tuhannja, dengan memberikan penerangan dan pertundjuk, dan dialah jang mendjauhkan pengikutnja daripada ma'siat, melarang mereka dan mempertakutinja mengerdjakan Kedjahatan-kedjahatan dengan segala akibatnja. Dan oleh karena itu penundjukan ini sebenarnja wadjib daripada Tuhan sendiri.

Pendirian Sji'ah jang demikian itu didjelaskan pula oleh Ah Ardabli (mgl. 993 H), seorang ulama Sji'ah Imamijah terbesar, menerangkan, bahwa alasan kemurahan Tuhan ini. jang dipakai oleh Imamijah itu tepat, karena dialah jang setepat-tepatnja memilih imam itu, mendjadikannja. memberikan kekuasaan dan ilmu kepadanja. dengan taufik Tuhan ia dapat memilih njash jang didjalankan atas namanja. semua ini terdjadi dengan iradah Tuhan, jang menentukan perkara-perkara dan kewadjiban. ada jang diperuntukkan buat imam dan ada jang diperutukkan buat rakjat. jang mentaati imam itu.

Kedua, bahwa Allah dan Rasulnja telah menjatakan semua hukum-hukumnja, jg. ketjil dan jg. besar, tidak ada pekerdjaan dan perkataan seseorang manusiapun. jang terluput dimasukkan kedalam lingkaran hikmah hukum-hukumnja itu. Maka oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia mengangkat seorang imamnja dengan meninggalkan kekuasaan Tuhan itu baik jang berkenaan dengan urusan keduniaan, maupun jang bersangkutan dengan kehidupan achiratnja.

Ketiga maka oleh karena itu Sji'ah membuat perbandingan dengan diri Nabi Muhammad sendiri, jang tidak seorang djuapun mengangkatnja ketjuali dengan nubuwah, jang hanja berada dalam tangan Tuhan sendiri, baru diketahui oleh Nabi pada waktu diangkatnja mendjadi Rasul, ia sendiri tidak berdaja upaja.

Oleh karena itu orang Sji'ah menjimpulkan. bahwa ichtiar memilih imam itu dikembalikan sadja kepada Allah, tidak ada jang dapat mengetahui rahasia imam itu, melainkan Allah, hanja Allah jang dapat melihat kesanggupannja.

Meskipun demikian orang-orang Sji'ah menetapkan sifat-sifat imam sebagai sjarat, diantara lain, hendaklah ia ma'sum, karena tudjuan daripada keimaman itu ialah memberi pertundjuk kepada manusia atas djalan jang benar dan melarang mereka berbuat jang salah. Oleh karena itu kalau ia sendiri dibolehkan berbuat salah dalam hukum, bagaimana dapat membersihkan sesuatu dengan kekotoran.

Lain daripada itu seorang imam harus lebih mulia dan utama dalam mata rakjatnja melebihi rakjatnja dalam ilmu pengetahuan dan achlak, karena djika dalam hal ini dia tidak lebih afdhal, tentu ada orang lain jang melebihinja, atau jang menjamainja sehingga tidak lajak ia mendjadi orang utama bersamaan dengan mengutamakan murid daripada guru, jang tentu ditjela oleh agama. Lalu orang Sji'ah mendasarkan pendapatnja kepada firman Tuhan, ajat 35 surat Junus, jang berbunji : "Katakanlah, bahwa Allah jang menundjuki kepada kebenaran. Manakah jang lebih patut diikut, jg. menundjuki kepada kebenarankah atau jang tidak dapat pertundjuk melainkan djika ditundjuki ? Mengapa kamu ini ? Bagaimanakah kamu ? mendjatuhkan hukum ?".

Ada satu persoalan mengenai keimanan Sji'ah ini, jaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa Ali ?.

Sesudah Sji'ah menetapkan nash kewadjiban imam daripada Allah, mereka berkata, bahwa menurut hukum imam sesudah Nabi wadjib djatuh kepada Ali bin Thalib, karena dua alasan, menurut alasan Qur'an dan menurut alasan Snnah.

Pertama, sebagai alasan dari Qur'an, diketemukan dlm ajat 58 dari surat al-Ma'idah jg kalau diterdjemahkan berbunji sebagai berikut : ,,Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnja, kemudian mereka jang beriman, jang mendirikan sembahjang. membajar zakat dan mereka itu sedang ruku". Ajat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, jang konon ketika itu sedang ruku, sebagai mendjawab pertanjaan orang, siapa pang harus ditaati.

Kedua, sebagai alasan dari Sunnah orang-orang Sji'ah mengemukakan sebuah hadis, dimana Rasulullah sedang berbitjara dengan Ali bin Abi Thalib, jang berbunji demikian : „Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barangsiapa jang ingin mentjari wali (imam), maka Ali-lah jang akan djadi walinja Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan djadi chalifahku dikemudian hari ", dan banjak lagi hadis hadis jang lain.

Begitulah selandjutnja, orang Sji'ah mempergunakan hadis-hadis, jang menundjukkan ketjintaan Nabi kepada Hasan dan Husain serta keturunannja Ali jang lain, untuk alasan mereka memilih imam dari Ahlil Bait dan keturunan Nabi dari perkawinan Ali' dengan Fatimah itu.

7. ITIKAD SJI'AH IMAMIJAH

Sji'ah Imamijah adalah penganut mazhab Dja'farijah, mejakini, bahwa mereka orang Islam ahli tauhid, pertjaja bahwa Tuhan Allah Satu tunggal dan Muhammad Nabi dan Rasulnja, dan pertjaja djuga semua apa jang disampaikan' oleh Rasul Tuhan itu. Mereka pertjaja bahwa agama Islam harus dilaksanakan dengan mengutjapkan dua kalimat sjahadat dan mendjalankan semua hukum sjara', diantara lain mengenai hukum waris, hukum nikah. Mereka pertjaja, bahwa iman itu lebih tinggi tingkatnja daripada Islam, sesuai dengan djawaban jang pernah dberikan oleh Nabi Muhammad atas pertanjaan seorang Arab, jang datang kepadanja menerangkan, bahwa ia telah beriman, tetapi Nabi Muhammad menjuruh dia mengatakan, bahwa ia sudah masuk Islam, karena iman itu adalah kejakinan jang meresap kedalam hati, tidak terlihat keluar (Qur'an).

Mengenai pokok2 agama, usuluddin, mereka menerangkan, harus diketahui dengan dalil jang kuat, ilmu jang benar dan kejakinan jang teguh, tidak tjukup dengan taqlid. dan dhan (was2 dan ragu-ragu).

Mengenai sifat-sifat Tuhan, mereka berkejakinan, bahwa Tuhan itu bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, bersih daripada segala sifat-sifat kekurangan, karena jang bersifat kekurangan itu adalah sesuatu jang baharu, hadis, sedang Tuhan bersifat qadim dan abadi, berkuasa setjara bebas, mengetahui, hidup, berkehendak, berbitjara dan benar. Dialah jg. mentjiptakan, jang memberi rezeki kepada machluknja, Tuhanlah jang menghidupkan dan mematikan segala machluk. Orang-orang Sji'ah pertjaja, bahwa Tuhan itu adil, jang berbuat baik diberinja pahala, dan jang berbuat dosa disiksanja. Manusia berbuat sesuatu tidak terpaksa, tetapi dengan ichtiarnja sendiri, dan atas ichiarnja inilah Tuhan mengambil tindakan jang bidjaksana. memberi pahala atau menjiksanja.

Wadjib bagi Allah mengirimkan Rasul-Rasul kepada hambanja manusia untuk mengadjarkan matjam-matjam hukum dan peraturan, untuk menerangkan jang halal dan jang haram, untuk memerintahkan berbuat adil dan bersikap lemah lembut sesama manusia. Tuhan menurunkan perintah-perintah itu kepada Rasulnja dengan perantaraan Mala'ikat atau setjara langsung, dan bahwa Nabi-Nabi itu terpelihara daripada dosa besar dan ketjil, memupunjai sifat-sifat jang baik, jang dapat mendjadi tjontoh dan suri teladan bagi umatnja.

Sji'ah Imamijah pertjaja, bahwa Muhammad itu adalah penutup daripada segala Nabi, tidak ada lagi Nabi sesudahnja, dan tidak ada jang memperserikatkannja dalam kenabiannja, ia Nabi jang lebih afdhal dari Nabi-Nabi jang lain, wadjib beriman kepadanja dan membenarkan apa jang disampaikannja daripada Tuhannja. Segala utjapan dan perbuatan Nabi merupakan hudjdjah atau dasar hukum, wadjib ditaati dan dipatuhi, tidak diutjapkannja sesuatu dari hawa nafsunja. melainkan dalam bentuk wahju Tuhan, hukum-hukum jang disampaikannja bukanlah dari hasil pikiran atau idjtihadnja sendiri, tetapi dari sjari'at Tuhan semata-mata.

Nabi Muhammad adalah orang jang mula-mula beriman kepada Tuhan, semua isterinja orang-orang jang beriman, jang sesudah wafatnja haram dikawini oleh orang lain. Sjari'atnja menghapuskan semua sjariat Nabi-Nabi terdahulu, dan berlaku sampai hari kiamat.

Dalam pendiriannja terhadap persoalan Imamah dan Chilafah, Imamijah berkejakinan wadjib adanja kepertjajaan kepada imam-imam itu. karena mereka merupakan pemimpin umum dalam segala urusan agama dan dunia, sesudah wafat Nabi, mereka menganggap, bahwa imam-imam itu dapat mendjalankan dan mengawasi sjari'at jang ditinggalkan Nabi, mereka merupakan mursjid jang harus ditjontoh dan diteladani. Oleh karena itu maka hendaklah imam itu merupakan seorang .pemimpin jang taat kepada Tuhan, seorang jang terdjauh daripada perbuatan fasad dan munkar, bukan seorang jang mengikuti djalan hawa nafsunja sendiri, imam itu harus ma'sum daripada dosa besar dan dosa ketjil.

Jang berhak mendjadi imam sesudah wafat Nabi ialah anak pamannja, Ali bin Thalib, jang telah diwasiatkan dan ditundjuk oleh Nabi Muhammad sendiri, kemudian anaknja Hasan bin Ali, kemudian saudaranja. Husain bin Ali, kemudian anknja. Ali Zainul Abidin kemudian anaknja Muhammad al-Baqir, kemudian anaknja Dja'far as-Shcadiq, kemudian anaknja Musa al-Kazim, kemudian anaknja Ali ar-Ridha kemudian anaknja Muhammad al Djawad, kemudian anaknja Ali al-Hadi, kemudian anaknja Hasan al-Askari, kemudian anaknja Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja berlaku dengan wasiat.

Orang jang menolak kenabian Nabi Muhammad 'dengan mengatakan bahwa ada Nabi lagi sesudah wafatnja atau ada jang memperserikatkannja dalam kenabian, orang itu keluar dari agama Islam dan tidak berhak menamakan dirinja muslim. Tetapi seorang jang mengingkari keimaman dua belas keturunan jang disebut tadi. tidak keluar dari Islam menurut orang-orang Sji'ah karena jang demikian itu bukan suatu kewadjiban agama, tetapi hanja suatu kewadjiban mazhab sadja.

Sji'ah Isna'asjar Imamijah pertjaja, bahwa ada hari kemudian sesudah hidup manusia sekarang ini, ada soal Munkar wa Nakir dalam kubur, ada azab kubur, ada sirath, ada mizan atu timbangan dosa dan pahala, ada hisab, jaitu perhitungan salah dan benar, ada pengakuan anggota badan tentang perbuatan djahat dan baik, ada pembahagian surat mengenai amal buruk dan baik, ada pengumpulan manusia dipadang mahsjar, ada sorga dan neraka sebagai tempat balasan, tidak ada lagi umur tua, sakit dan mati diachirat, apa jang diingini oleh orang jang berbuat baik sampai, ada ampunan Tuhan, ada sjafa'at Nabi Muhamad dan lain-lain urusan hari kemudian.

Mereka pertjaja djuga dalam garis besar ada Luh Mahfud, ada Qalam, ada Arasj, ada Kursi, tetapi menurut penafsiran mereka sendiri, jang kadang-kadang sedikit berlainan dengan pendirian Asj'ari atau Ahli Sunnah wal Djama'ah atau dengan penafsiran aliran-aliran Islam jang lain.

Sebagaimana kita lihat, itikad Sji'ah Imamijah sama dengan itikad Ahli Sunnah wal Djama'ah, bahkan sama mengenai persoalan chalifah sesudah wafat Nabi, jang semua mazhab mengatakan berdasarkan idjtihad, ketjuali mereka memilih chalifah itu dari keturunan Nabi Muhammad, karena tidak ada keturunan dari lakilaki, maka dipilihnja dari keturunan Ali bin Abi Thalib, jang sudah diakui saudara, pengganti dan menantunja Nabi, sehingga mereka terus-menerus berimam kepada keturunan Ali bin Abi Thalib itu, dan lantaran itu mereka dinamakan Sji'ah Ali atau dengan ringkas Sji'ah.

Pernah seorang ulama besar Sji'ah, Imam Abdul Husain Sjarfuddin al"Musawi, ditanjai apa sebab-sebab Sji'ah tidak mau mengikuti salah sebuah mazhab djamhur Islam, dalam usuluddin mazhab Al-Asji'ari dan dalam masaalah furu' (fiqh) salah satu daripada Mazhab Empat, Hanafi, Sjafi'i, Maliki atau Hanbali. AlMusawi mendjawab dalam kitabnja jang terkenal "Al-Muradja'a" (Nedjef, 1963), dengan alasan-alasan Qur'an "dan Hadis jang menurut pendapat saja tidak dapat dibantah oleh seorang ulama Sunni-pun dalam masanja, bahwa ibadat golongan Sji'ah dalam usul tidak berpegang kepada Asji'ari dan dalam furu' tidak berpegang kepada salah satu 'Mazhab Empat, bukanlah karena menjendiri dalam golongan atau ta'assub mazhab, dan bukan pula karena ada keraguan tentang kebenaran idjtihad daripada imam-imam besar itu, bukan karena tidak adilnja, tidak ada amanahnja, tidak mendalam ilmunja dan sebagainja, terdjauh semuanja daripada persangkaannja-persangkaan jang djahat itu. Tetapi katanja orang-orang Sji'ah dikala ada perselisihan paham antara imam-imam mazhab itu, sesuai dengan adjaran Qur'an dan pertundjuk Muhammad, berpegang kepada perdjalanan atau mazhab Nabi Muhammad sendiri dan keluarga rumahnja, sumber tempat kedatangan risalah, sumber tempat kundjungan malaikat, tempat turun wahju Tuhan kepadanja. Maka baik dalam furu', maupun dalam aqa'id baik dalam usul fiqh maupun dalam kaidah-kaidahnja, baik dalam mengenal sunnah maupun dalam mendalami isi Kitab Allah, dalam ilmu achlak dan adab. dalam tjara menggunakan dasar dan alasan hukum, semua orang-orang Sji'ah kembali kepada sumber pokok itu, dan beribadat dengan sunnah Nabi dan keluarganja (hal. 40 Murtadja'at no. 4).

Kemudian Al-Musawi ini membahas alasan-alasan, mengapa Sji'ah harus berbuat demikian, diantara lain dikemukakannja, bahwa idjtihad, amanah, keadilan dan kebesaran, tidaklah teruntuk bagi imam2 Sunni sadja. tetapi djuga, sebagaimana jang ditundjuk Kan oleh Nabi sendiri djuga terdapat dari kalangan keluarganja. Djika orang menuduh bahwa Sji'ah menjeleweng daripada adjaran Salf as-Salih, karena tidak mengikuti imam-imam itu al-Musawj mengatakan, bahwa selain daripada tingkat sahabat, sudah tidak ada lagi orang mentjontoh djedjak Salf as-Salih, dan inilah pula sebabnja maka Sji'ah ingin menghidupkan kembali adjaran itu agar dekat kepada pengertian pesan Rasulullah, bahwa ,,sebaik-baik umatku adalah dlm tiga kurun sesudah wafatku" (hadis) .Apakah dasar adjaran itu terikat kepada masa sadja atau tjara bertindak dalam menjelesaikan persoalan Islam ?

Al-Musawi menerangkan nama2 ulama jang hidup dalam tiga kurun ini jang tidak berpegang kepada adjaran Salaf. Asj'ari dilahirkan tahun 270 H dan mati kira2 tahun 330 H. Ibn Hanbal dilahirkan tahun 164 H, dan mati tahun 241 H. Sjafi'i lahir tahun 150 H. mati tahun 204 H., Malik lahir th. 95 H. dan mati tahun 179 H. Abu Hanifah lahir tahun 80 H. dan mati tahun 150 H. Adakah mereka bersatu dalam pendirian mengenai furu' dan mendekai Salaf ? Oleh karena itu Sji'ah mengambil mazhab imam-imam Ahlil Bait, sedang ummat Islam jang. lain beramal dengan mazhab Sahabat dan Tabi'in. Al-Musawi bertanja : "Darimanakah alasan jang mewadjibkan ummat Islam bermazhab kepada mazhab mereka, dan tidak memperkenankan orang bermazhab kepada Ahlil Bait. Sedang mazhab Ahlil Bait ini djuga berpegang kepada Kitab Allah, kepada Sunnah Nabinja, kepada keluarga-keluarganja jang diwasiatkan harus ditaati, jang merupakan sampan jang dapat menjelamatkan ummat, pemimpinnja, orang jang dapat dipertjajainja dan pintu ilmu pengetahuannya" (hal. 42).

Perbedaan-perbedaan antara satu mazhab dengan mazhab lain dari Ahlus Sunnah wal Djama'ah dalam masaalah furu' tidak kurang banjaknja, disaksikan oleh ribuan kitab-kitab, bahkan kadang-kadang lebih banjak daripada perbedaan jang ada pada mazhab Sji'ah dengan salah satu daripada Mazhab Empat itu. Missal nja dengan Sjafi'i. Mengapa orang ingin memaksakan kepada ummat Islam hanja Empat Mazhab itu sadja dan tidak Lima Mazhab, jaitu ditambah dengan mazhab Ahlil Bait, mazhab jang dianut oleh keluarga Nabi sendiri dan jang mereka landjutkan sekarang ini. Demikian tanja Al-Musawi dalam kitabnja jang kita sebutkan namanja diatas ini. Baginja jang dimaksudkan dengan Ahlil Bait, semua imam dari mazhab manapun djuga, jang sesuai amal ibadahnja dengan Rasulullah dan keluarganja. Ulama-ulama, jang tidak sempit hatinja membenarkan pendirian ini, diantaranja lbn Hadjar, jang pernah menerangkan, bahwa mazhab Ahlil Bait itu adalah mazhab jang dipimpin oleh ulama-uamanja jang piawai dan aman, jang dapat memberikan pertundjuk sebagai bintang dilangit, jang apabila sewaktu-waktu ummat sesat dan meraba-raba, bintang-bintang itulah jang akan mendjadi pertundjuknja (Al-Muradja'at hal. 53).

II NABI MUHAMMAD DAN ALI

1.ALI BIN ABI THALIB

Ali bin Abi Thalib adalah anak paman Nabi, jang mengurus dan membela Nabi sedjak ketjil sampai ia diangkat mendjadi Rasul dari pada penghinaan dan serangan Quraisj, bernama Abu Thalib anak Abdul Muttalib. Ibunja bernama Fathimah binti Asad bin Hasjim, wanita Bani Hasjim jang mula-mula masuk Islam.

Ali termasuk salah seorang dari rombongan sepuluh sahabat, jang sedjak masih hidup sudah didjamin Nabi masuk sorga. Oleh Nabi Muhammad, Ali didjadikan saudara angkatnja. Nabi mengawinkan Ali dengan anaknja jang bernama Fathimah Zahra, djuga salah seorang wanita terdahulu masuk Islam, anak Nabi jang ditjintainja dari perkawinan dengan Sitti Chadidjah. Baik Ali maupun Sitti Chadiidjah, kedua-duanja merupakan modal perdjuangan dan kemenangan Nabi dalam menegakkan agama Islam. Nabi pernah berkata : "Islam berdiri karena pedang Ali dan harta Chadidjah" (Hasjim Ma'ruf Al-Hasani, Tarkhul Fiqbil Dja'fari, t. tp. dan t. th., hal. 63).

Ali bin Abi Thalib seorang jang banjak ilmunja, baik mengenai rahasia ketuhanan (alim Rabbani), maupun mengenai segala persoalan Islam dan umum. Bagaimana alimnja diterangkan dalam sebuah hadis Nabi jang berbunji : "Aku kota ilmu pengetahuan dan Ali pintunja." Tatkala hadis ini didengar oleh golongan Chawaridj, mereka mendjadi dengki dan tjemburu, terhadap Ali. Bermufakatlah sepuluh orang alimnja masing-masing hendak beranjakan satu persoalan mengenai ilmu, untuk mengudji apakah Ali betul-betul alim seperti jang dikatakan Nabi.

I. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta?

Ali : Ilmu lebih utama daripada harta karena ilmu itu pusaka Nabi-Nabi, sedang harta, pusaka Karun, Sjaddad dan Firaun.

II. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena ilmu memelihara engkau, sedangkan harta, engkaulah jang harus memeliharanja.

III. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena harta menjebabkan banjak musuh, ilmu menjebabkan banjak teman sahabat.

IV. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta makin dikeluarkan makin kurang, sedang ilmu makin dikeluarkan makin bertambah.

V. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang punja harta kadang-kadang dapat dipanggil dengan nama kikir dan chizit. Sedang orang jang punja ilmu selalu dipanggil dengan nama megah dan mulia.

VI. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta banjak pentjurinja dan ilmu tidak ada pentjurinja.

VII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang jang punja harta dihisab pada hari kiamat, sedang orang jang punja ilmu diberi sjafa'at pada hari kiamat.

VIII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta bisa habis karena lama masanja, sedang ilmu tidak bisa habis meskipun tidak ditambah.

IX. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena ilmu membuat hati jang punja terang benderang, sedangkan harta membuat kasar hati jang punja.

X. Manakah jang lebih utama ilmu, atau harta ?

Ali : Ilmu, sebab orang jang mempunjai ilmu termasuk ubudijah. jang diberi pahala oleh Tuhan, sedangkan orang mempunjai harta termasuk rubudijah.

Demikianlah kita batja tjeriteranja dalam "Mawa'iz al-Usfurijah" jang menerangkan selandjutnja, bahwa orang-orang jang bertanja pada Ali itu jang achirnja mengakui akan luasnja ilmu pengetahuan Ali dan bidjaksananja dalam memberikan djawaban atas satu-satu pertanjaan.

Ali terkenal salah seorang sahabat Nabi jang paling berani dan gagah perkasa dalam peperangan. Hampir pada seluruh peperangan dalam masa Nabi dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib dengan pedangnja jang terkenal, bernama Zulfikar. Ia terkenal pula sebagai seorang pahlawan jang diserahi tugas membawa pandji-pandji Nabi.

Dalam dunia tasawwuf dan tarekat Ali terkenal sebagai waliullah, jang selalu dipudji-pudji oleh orang-orang Sufi, karena mutiara hikmahnja jang pelik-pelik.

Dalam hal berpidato dan sastera Ali terkenal sebagai salah seorang sasterawan jang lantjar dan sangat petah lidahnja. Pidato-pidatonja ditjatat dan dikumpul orang mendjadi buku jang berdjilid-djilid diantaranja bernama "Nahdjul Baliaghah".

Disamping memangku djabatan Chalifah, jang diakui sah, baik oleh Sji'ah maupun oleh Ahli Sunnah wal Djama'ah, Ali adalah seorang jang termasuk kedalam golongan penulis wahju, jang disampaikan oleh Nabi kepada umatnja, salah seorang pengumpul Al-Qur'an dan penuils tafsirnja. Ali djuga adalah salah seorang chalifah jang pertama dari Bani Hasjim.

Menurut penetapan Ibn Abbas, Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, Salman Al-Farisi dan lain-lain sahabat jang banjak, bahwa dialah orang jang mula-mula masuk Islam dan beriman pada Nabi.

Mengenai Ali banjak sekali ditulis orang riwajat hidupnja, jang ditindjau dari bermatjam-matjam segi hidup. Banjak hadishadis jang menerangkan keutamaan Ali melebihi sahabat jang lain-lain. Semua sahabat Nabi, besar dan ketjil segan kepadanja, dan tidak mau memutuskan perkara-perkara besar sebelum berunding dengannja.

Ibn Taimijah mengatakan, bahwa tidak dapat disamakan sirna sekali Mu'awijah dengan Ali dalam haknja mendjadi chalifah. Mu'awijah tidak berhak mendjadi chalifah, karena dia tidak dapat menjamai Ali dalam ilmu pengetahuannja, dalam persoalan agamanja dan dalam keberaniannja, begitu djuga. dalam kelebihan-kelebihan jang lain dan keutamaannja jang hanja sama dengan keutamaan saudara-saudaranja Abu Bakar, Umar dan Usman. Tidak ada ketinggalan daripada teman-teman Nabi bermusjawarat sesudah Usman selain Ali. Ada Sa'ad (bin Abi Waqqash ?) tetapi Sa'ad telah melepaskan kesediaannja mendjadi chalifah, sehingga seluruh kesempatan ini kembali kepada Ali dan Usman, dan sesudah Usman terbunuh, bulat segala pikiran umum mengenai kedudukan chalifah hanja untuk Ali.

Mu'awijah jang menganggap dirinja chalifah sebenarnja belum diakui orang, dan diberikan sumpah setia tatkala ia memerangi Ali, dan Ali-pun tidak memerangi dia karena kedudukan Mu'awijah sebagai chalifah karena ia tidak berhak mendjadi chalifah itu. Peperangan dimulai krena kezaliman, bukan karena rebutan chalifah, karena seluruh kesatuan pendapat, hanjalah Ali jang diakui sebagai chalifah sesudah Usman.

Demikian kita batja dalam kitab "Lawa'ihul Anwar", karangan As-Safarini al-Hanbali. Dalam kitab itu kita batja lebih Lndjut pendapat Ibn Taimijah, bahwa ia menolak segala fitnah dan sangka-menjangka ada perselisihan antara Ali dan Usman, ia menuduh dusta pendapat orang jang mengatakan, bahwa Ali memerintah membunuh Usman bin Affan, jang sekali-kali tidak masuk dalam akal jang waras. Ali bersumpah, bahwa ia tidak membunuh Usman dan tidak rela atas pembunuhan itu, dan sumpah Ali itu dalam sedjarah hidupnja benar dan tidak diperselisihkan orang. Ibn Taimijah menerangkan bahwa ada -dua golongan manusia, golongan jang mentjintai Ali dan golongan jang membentjinja. Golongan jang mentjintainja mengandung niat menentang Usman dan berpendapat bahwa Usman berhak dibunuh. Golongan jang membentjinja menentang Ali dan menuduhnja, bahwa ia sekurang-kurangnja membantu atas pembunuhan Usman dan tidak mentjegah pertumpahan darah. Perbedaan paham ini lalu menimbulkan dua golongan, dalam Islam, jaitu golongan Usmanijah dan golongan Sji'ah. Bagaimanapun djuga perbedaan pahamnja, kedua golongan ini berpendirian, bhwa Mu'awijah bukan saingan Ali untuk mendjadi chalifah Nabi sesudah wafat Usman.

Ibn Taimijah melandjutkan tjeriteranja, bahwa sesudah pembunuhan Usman, segera pada keesokan harinja dilakukan sumpah setia serempak terhadap Ali. Orang datang berdujun-dujun kepadanja dan berkata : "Bentangkan tanganmu, kami akan bersumpah setia kepadamu !" Begitu besar tjinta umat Islam ketika itu kepada Ali. Tetapi Ali masih menampik desakan massa itu dengan utjapannja : "Penetapan ini bukan urusanmu. Hanja Ahli Badarlah jang berhak menetapkan aku mendjadi chalifah atau tidak mendjadi chalifah." Semua Ahli Badar ketika itu mendatangi Ali dan berkata : "Kami tidak melihat seorangpun selain engkau jang berhak mendjadi chalifah. Bentangkan tanganmu dan kami akan memberikan sumpah setia kami kepadamu !" Maka berlakulah sumpah setia jang sah terhadap keangkatan Ali mendjadi chalifah (hal. 11:326).

Disini terdjadilah pokok permusuhan. Marwan dan anaknja lari dari orang banjak itu untuk membuat onar.

Sesudah Ali diangkat mendjadi chalifah, barulah ia berasa berhak memeriksa perkara-pembunuhan atas diri Usman, melalui isterinja dan orang-orang jang dianggap mendjadi saksi atau melihat dan mengetahui kedjadian itu. Ia memukul anaknja Hasan, mengetjam Muhammad bin Thalhah karena dianggapnja kurang rapi mendjalankan tugas dalam mendjaga keselamatan diri Usman. Ada orang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair tjuma melakukan sumpah setia karena terpaksa, kemudian mereka pergi ke Mekkah mengadjak Aisjah pergi ke Basrah menuntut bela atas darah Usman. Maka terdjadilah peperangan Djamal dalam bulan Djumadil Achir tahun 36 H. Dalam peperangan ini tidak kurang terbunuh manusia dari tiga belas ribu djiwa banjaknja. Mu'awijah dan tentara-tentaranjapun keluar dari Sjam menuntut bela kematian Usman kepada Ali. Tjeritera tentang perbedaan dan perselisihan ini akan kita bahas dalam bahagian tersendiri setjara terperintji.

Orang membitjarakan dalam hukum tentang keutamaan sahabat, mana jang lajak mendjadi chalifah lebih dahulu sesudah wafat Nabi. Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang terdiri dari golongan Asarijah, Asj'arijah dan Maturidijah, menetapkan tertib chaliffah sebagai berikut : Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Semua ulama sepaham dan sependirian, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi ialah Abu Bakar sebagai chlifah I dan Umar sebagai chaliffah ke II. Dibelakang itu terdapat perselisihan paham. Ahmad dan Imam Sjafi'i, begitu djuga pendapat jang masjhur dari Imam Malik, jang terutama sesudah Abu Bakar dan Umar ialah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ulama-ulama Kufi, diantaranja Sufjan As-Sauri, mengutamakan Ali lebih dahulu daripada Usman. Ada ulama jang memutuskan, tidak boleh membitjarakan, mana jang lebih utama daripada Usman dan Ali.

Ditjeriterakan orang, bahwa Abu Abdullah al-Mazari pernah menerangkan, bahwa pada suatu hari Malik ditanjai orang manakah orang-orang jang utama sesudah Nabi. Ia mendjawab Abu Bakar, sesudah itu Umar, kemudian ia diam. Lalu orang katakan, bahwa Imam Malik ragu dan minta kepastian antara Ali dan Usman. Dengan terpaksa Imam Malik mengatakan : "Saja belum pernah mendapati seorang sahabat jang membeda-bedakan keutamaan antara Usman dan Ali.

Susunan keutamaan sebagai jang disebut diatas tentu dilihat dari sudut hukum, tapi djika dilihat dari sudut kekeluargaan dan nasab, tidak ada seorangpun jang berani mengatakan, bahwa keutamaan Ali tidak melebihi daripada segala sahabat jang ada. Abu Bakar sendiri jang menurut kebulatan pikiran umum seorang sahabat Nabi jang utama sekali, masih mengakui Ali lebih afdhal dari dia.

Ditjeriterakan orang, bahwa Nabi pada suatu hari mengemukakan pengadjaran kepada sahabat-sahabatnja. Karena pengadjaran itu sangat penting semua orang ber-desak2 duduk dekat Nabi, agar dapat mendengar dengan baik. Ali datang kemudian, den oleh karena tidak ada tempat lagi dekat Nabi ia terpaksa berdiri djauh. Tidak ada seorangpun jang mau mengalah memberikan tempat duduk dekat Nabi kepadanja. Abu Bakar melihat Ali dalam keadaan demikian, lalu segera ia bangun dan memberikan tempat duduknja jang dekat kepada Nabi kepada Ali. Nabi, jang dengan matanja jang tadjam melihat keadaan Abu Bakar menghormati Ali, lalu berkata : "Tidak mengerti akan keutamaan, melainkan orang jang utama djuga."

Ulama-ulama Sji'ah melihat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi jang paling utama, dan menetapkannja dengan nash Nabi berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi. Mughnijah menerangkan, bahwa sedjarah Sji'ah adalah sedjarah keterangan Nabi, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah wafatnja ialah Ali bin Abi Thalib. Dan banjak sekali sahabat-sahabat besar jang melihat keutamaannja dan kechalifahannja itu mutlak. Ibn Abil Hadid menjebut diantara sahabat-sahabat besar itu ialah Ammar bin Jasar, Miqdad bin Aswad, Abu Zarr, Salman al-Farisi, Djabii bin Abdullah, Ubay bin Ka'ab, Huzaifah al-Jamani, Buraidah, Abu Ajjub al-Anshari. Sahal bin Hanief, Usman bin Hanief, Abui Haisam bin Taihan, Abu Thufai, dan semua Bani Hasjim, semuanja mengatakan bahwa keutamaan mutlak bagi Ali dan chalifah pertamapun baginja.

Ditjeriterakan bahwa Salman al-Farisi pernah menerangkan: "Kami bersumpah kepada Rasulullah untuk memberi nasihat kepada kaum muslimin dan mengimami Ali bin Abi Thalib serta menganggapnja wali. Abu Sa'id al-Chudri pernah berkata : "Manusia diperintahkan Tuhan mengerdjakan lima perkara, tetapi jang dikerdjakannja hanja empat, sedang jang satu perkara lagi ditinggalkan." Tatkala orang menanjakan kepadanja, apa empat perkara jang dikerdjakan orang itu, ia mendjawab : "sembahjang, zakat, puasa dan hadji". Tatkala ditanjakan orang apakah jang satu perkara jang tidak dikerdjkan, ia mendjawab : "Mengaku pimpinan kepada Ali bin Abi Thalib". Tatkala orang bertanja kepadanja, apakah itu diwadjibkan dalam Islam, ia mendjawab : "Memang itu diwadjibkan, sebagaimana diwadjibkan shalat, zakat, puasa dan hadji".

Sahabat-sahabat jang sependapat dengan itu dapat kita sebutkan misalnja Abu Zar al-Ghiffari. Ammar Jasir, Huzaifah alJamani, Abu Ajjub al-Anshari, Chalid bin Sa'id dan Qais bin Ubbadah.......

Ada orang berpendapat, bahwa Sji'ah itu lahir pada hari peperangan Djamal, ada jang mengatakan, bahwa ia lahir pada hari timbulnja golongan Chawaridj. Thaha Hussain dalam kitabnja "Ali wa Banuhu", mengatakan bahwa Sji'ah itu tersusun sebagai Suatu partai politik jang teratur untuk mempertahankan Ali dan anak-anaknja, terdjadi dalam masa Hasan bin Ali.

Mughnijah dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimyn" (Beirut, 1962) menerangkan, bahwa pendapat jang mengatakan, bahwa Sji'ah itu didirikan oleh Abdullah bin Saba', adalah tidak benar, dan utjapan ini dikeluarkan oleh mereka jang tidak memahami Sji'ah serta sedjarahnja (hal. 18).


3

4

5

6

7

8

9

10

11

12