sji'ah

sji'ah0%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11883
Download: 2885

Komentar:

sji'ah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11883 / Download: 2885
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

5. WASIAT NABI KEPADA ALI

Salah satu perbedaan paham jang besar antara Sji'ah dan Ali Sunnah ialah, bahwa Ahli Sunnah tidak mau mengaku ada nash mengenai wasiat Nabi Muhammad tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifahnja sesudah ia wafat. Sudah kita terangkan, bahwa meskipun seseorang Islam mau mejakini chalifah atau Imamah Ali atau tidak, ia tidak keluar dari agama Islam, karena persoalan ini merupakan persoalan mazhab. Tetapi oleh karena kejakinan imamah ini merupakan dasar perdjuangan pokok daripada gerakan Sji'ah, ada baiknja djika kita ketahui alasan-alasan agamanja mengenai persoalan itu dan perlainan alasan dari gerakan Ahli Sunnah. jang selalu menentang adanja nash, jang mewadjibkan Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai chalifah jang pertama sesudah wafat Nabi.

Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak adanja wasiat Nabi mengenai Ali, berdasarkan diantara lain kepada sebuah hadis, jang diriwajatkan oleh Buchari dalam Sahihnja daripada Al-Aswad. Kata Al-Aswad bahwa Aisjah pada suatu hari ditanjakan orang tentang wasiat Nabi kepada Ali, lalu ia mendjawab dengan keheranan : „Siapa jang mengatakannja ? Pada waktu Nabi akan wafat, ia bersandar kepada dadaku dan ia meminta air untuk membersihkan mukanja, lalu ia wafat. Bagaimana ia meninggalkan wasiat kepada Ali ?"

Hadis ini dikeluarkan Buchari dalam kitab wasiat, hal 83. djuz jang ke-II dari kitab Sahihnja. djuga disinggungnja dalam bab Nabi Sakit dan wafat hal 64 djuz ke III dari kitab jang sama sebagaimana Muslim mengemukakannja dalam djuz ke II. hal 14 dari kitab Sahihnja. Hadis jang sematjam ini banjak diriwajatkan Buchari dari bermatjam sumber dan dengan bermatjam lafadh. Dalam kitab Hadis Muslim dikemukakan sebuah hadis dari Aisjah. jang berkata : „Rasulullah tidak meninggalkan satu dinar atau satu dirham, atau seekor kambing atau seekor kuda, serta tidak mewasiatkan sesuatu".

Dalam dua kitab Sahih Buchari dan Muslim dimuat sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Masraf. katanja : „Saja tanjakan kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah Nabi pernah meninggalkan wasiat ?". Katanja : „Tidak". Lalu kataku : „Bagaimana ia menulis wasiat kepada manusia, kemudian ia meninggalkannja ?". Djawabnja : „Ia berwasiat dengan kitab Allah". Dengan alasan-alasan ini Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak ' adanja wasiat Nabi, jang menjuruh mengangkat Ali sebagai chalifah sesudah wafatnja.

Tetapi orang Sji'ah mempunjai alasan-alasan jang tjukup kuat pula untuk menundjukkan nash-nash mengenai wasiat itu dan mempertahankan pendiriannja, bahwa Nabi Muhammad memang sudah berkali-kali mewasiatkan agar Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifah, jang akan meneruskan urusan agama Islam. Wasiat itu katanja tidak dapat disangkal lagi. sesudah Nabi mewariskan kepadanja ilmu dan chidmat (Al-Musawi. Al-Muradja'at, no 66, hal 234), sesudah Nabi memerintahkan Ali dikala mati memandiKannja. mengafaninja serta menguburkannya (Ibn Sa'ad dj. II, bg. 2 hal, 61, dan djuga hadis-hadis lain, sesudah Nabi meneruskan penjiaran agamanja, melaksanakan djandjinja dan tjita-tjitanja (Hadis Thabrani, Abu Ju'la, Ibn Mardawaih. Dailumi dll sesudah Nabi menerangkan kepada umatnja. apa jang akan mereka pertengkarkan dan menjuruh Ali menjelesaikannja (Dailumi Abu Zar, Dailumi bin Anas, lih. Kanzul Ummal, VI : 156), sesudah dijelaskan bahwa Ali saudaranja (Hadis Ummu Sulaim dim Masnad imam Ahmad V : 31. ajah anaknja Abu Ju'la (sesudah dinjatakan djadi wazirnja (Ahmad, Nasa'i. Hakim. Zahabi dll), sesudah dinjatakan pemenangnja (Hakim, Mustadrak II : 472), sesudah dinjatakan mendjadi walinja dan orang jang diwasiatkan (Ibn Abbas), sesudah disebutkan Ali djadi pintu gudang ilmunja (Thabrani Ibn Abbas. Hakim-Djabir). sesudah digelarkan kampung hikmahnja (Tarmizi, Ibn Djarir), sesudah Ali dinjatakan mendjadi pintu perlindungan umat (Darquthnrlbn Abbas), sesudah dinjatakan mendjadi ketjintaanja, sesudah dinjatakan mendjadi penghulu orang Islam, Imam Aulia Allah, sesudah ditempatkan seperti tempat Nabi Harun dan Musa, sesudah diterangkan semisal kepala dan badan dengan dia, dan sesudah dinjatakan Ali itu dipilih Tuhan untuk dunia ini dsb. Orang Sji'ah menganggap semua hadis-hadis itu merupakan wasiat atau penundjukan Ali sebagai gantinja. Mazhab Empat menolaknja, hanjalah karena dianggap tidak sesuai dengan sesudah kedjadian keangkatan tiga chalifah sebelum Ali dan keputusan Sji'ah diambil lama sesudah kedjadian itu.

Orang Sji'ah menerangkan, bahwa pendapat Ibn Abi Aufa. bahwa Nabi ada meninggalkan wasiatnja berupa Kitabullah benar adanja. tetapi sebagaimana disebutkan dalam hadis "Saqalain", kitab itu ditinggalkan bersama-sama dengan „'Itrah". keluarganja. jang terpenting Ali bin Abi Thalib.

Djuga orang Sji'ah tidak menjangkal. bahwa Sitti Aisjah adalah salah seorang isteri Nabi jang afdhal. tetapi bukan jang utama dan pertama, karena banjak hadis (diantaranja dari Aisjah sendiri) menerangkan, bahwa Nabi pernah berkata : "Wanita utama ialah Chadidjah binti Chuwailid. Fatihimah binti Muhammad, Asjah binti Mazahim dan Marjam binti Imran, semuanja wanita utama ini isi sorga" (Buchari). Selain daripada itu tatkala Safijah binti Hujaj menangis karena diedjek Aisjah dan Hafsah, Nabi menjuruh mengatakan kepada kedua isterinja jang lain itu, bahwa ia lebih baik daripada mereka, karena ajahnja Harun, pamannja Musa dan suaminja Muhammad (Tarmizi).

Dengan tidak mengurangi kelebihan Aisjah sebagai ibu orang mu'min dan isteri Nabi jang disajanginja, orang Sji'ah menundjukkan beberapa perkara, dimana Aisjah kelihatan agak tidak sangat keistimewaannja Ali dalam utjapannja. Salah satu sikapnja jang dapat menggambarkan suasana ini ialah tindakannja dalam peperangan Djamal Besar, dimana Aisjah dengan tenteranja menghadapi pasukan Ali bin Abi Thalib. sebagaimana jang diterangkan oleh Ibn Djarir dan Ibn Asir dalam kitab2 sedjarahnja. Selain daripada itu, pada waktu ia menerangkan kisah Rasulullah sakit dan digotong dua orang kiri-kanannja, ia hanja menjebut jang menggotong itu seorang bernama Abbas bin Abdul Muttal'b sedang jang lain disebut sadja seorang laki-laki, padahal ia kenal namanja. menurut Ibn Abbas, Aisjah tahu bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.

Lain tjontoh lagi tentang sikap Aisjah ini terhadap Ali ialah, bahwa ia lebih banjak berbitjara tentang Ammar daripada Ali, taikala kedua-duanja datang kepada Aisjah (Masnad Imam Ahmad VI : 113). Pada waktu itu Aisjah tidak mau berbitjara tentang Ali dan ia menerangkan, apa jang harus dikerdjakan oleh Ammar.

Penjembunjian jang sematjam ini dari Aisjah tentu digerakkan oleh rasa kurang senang terhadap Ali. dan oleh karena itu orang sji'ah menganggap, bahwa banjak hal-hal jang tidak disampaikan oleh Aisjah mengenai Ali. Nas2 mereka mengenai wasiat dianggap iebih kuat daripada beberapa hadis umum jang diriwajatkan oleh Aisjah.

Saja peringatkan disini akan suatu perkara antara Sitti Aisjah dan Ali, dikala Aisjah mendapat tuduhan dari kaum munafik Madinah, karena ketinggalan kafilah dalam sesuatu peperangan, perkara jang dikenal dalam sedjarah Islam dengan Hadis Ifki. Dikala itu Ali mengeluarkan pendapatnja kepada Nabi, jang rupanja menjinggung perasaan Sitti Aisjah. Kemudian ada pula perkara tanah jang oleh Sitti Fathimah dianggap berhak menerimanja sebagai pusaka, tetapi oleh Abu Bakar, jang ketika itu mendjadi chalifah diputuskan, bahwa Nabi tidak meninggalkan harta pusaka kepadanja. Rupanja kedjadian-kedjadian ketjil ini djuga mempengaruhi sikap sebagian golongan Sji'ah terhadap mereka jg menduduki singgasana sesudah wafat Nabi. dengan-akibat'jang berlarut-larut.

Kembali kepada wasiat Nabi kepada Ali, Sji'ah berpendapat, bahwa hadis-hadis jang digunakan oleh Ahli Sunnah, sebagai jang kita sebutkan diatas, tidak tjukup sah dan kuatnja untuk menolak sekian banjak berita utjapan Rasulullah, jang telah membajangkan Ali sebagai chalifahnja. Hadis-Hadis Aisjah itu menundjukkan keadaan umum, bahwa Rasulullah tidak meninggalkan 'harta benda, emas dan perak, karena kita ketahui tak 'ada penghargaannja kepada kekajaan duniawi, tetapi ada wasiat2 jang lebih penting, jaitu mengenai penjelenggaraan agamanja, jang ditinggalkannja berupa „Kitabullah dan keluarganja jang sutji. jang tidak dapat dipisahkan sampai hari kiamat."

Rasulullah telah mewasiatkan kepada Ali pada permulaan da'wah Islam sebelum lahir, sebelum kuat Islam itu di Mekkah.. dengan perintah Tuhan : "Berikanlah peladjaran kepada keluargamu jang dekat" (Qur'an). dan tidak putus-putusnja wasiat ini diulang-ulang dalam berbagai bentuk dan bermatjam utjapan. Imam Abdul Husain Sjarfuddin al-Musawi dalam kitabnja "Al-Munadjat" (Nedjef 1963), dalam Mab'has ke II, Muradja'at 20. hal. 144, membitjarakan pandjang lebar ajat-ajat Qur'an dan hadis-hadis jang bersangkut-paut dengan Chilafah Imamah ini, tidak kita ulang lagi disini, tetapi tjukup kita mempersilahkan pembatja mempeladjarinja disana.

Ada sebuah kedjadian jang penting pang dikemukakan oleh golongan Sji'ah jang menarik perhatian kita dalam pemberian alasan wasiat ini, jaitu kedjadian dikala Nabi akan wafat, sebagaimana jang dikemukakan oleh Buchari (II : 18), Muslim dlm. Sahih, Ahmad bin Hanbal dlm Masnad, dan hampir semua ahli hadis. Tatkala itu Nabi berkata : "Berikan daku kertas, aku akan menuliskan bagimu sesuatu wasiat jang dapat mentjegahkan kamu dari kesesatan !" Nabi tidak djadi melakukannja, tetapi jang mendjadi pertanjaan, apa wasiat jang akan ditinggalkan Nabi. Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, pertama bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. kedua bahwa semua orang musjrik harus dikeluarkan dari tanah semenandjung Arab, dan ketiga bahwa utusan-utusan jang datang hendaklah diperlakukan, sebagaimana jang sudah pernah dilakukan.

Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat jang pertama itu diumumkan. Sji'ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Masnad (lih. Al-Muradja'at hal. 255).

Banjak pengarang Sji'ah djuga menolak pengakuan Sitti Aisjah, bahwa Nabi Muhammad meninggal dalam pangkuannja, sebagaimana jang diakui dalam hadis-hadisnja. Menurut pengarang Sji'ah, Nabi Muhammad itu wafat dan melepaskan nafas jang penghabisan dalam pangkuan saiudaranja dan penggantinja (wali), jaitu Ali 'bin Abi Thalib. Jang demikian itu menurut ketetapan ulama-ulama hadis Sji'ah jang mutawatir dan kitab-kitab Sahihnja jang mu'tamad. meskipun Ahli Sunnah berpendapat lain daripada itu (Al-Muradja'at, hal. 255-256).

6. KEIMANAN PADA SJI'AH

Mazhab Sjia'h mewadjibkan kejakinan berpegang kepada imam, jang selalu harus ada ditengah-tengah masjarakat Islam, sebagaimana jang pernah terdjadi dalam masa Rasulullah, bahwa semua orang Islam berimam kepadanja. Imam itu harus merupakan pemimpin dalam urusan dunia dan urusan agama, seolah-olah ia pengganti Nabi dalam kekuasaan dan kesempurnaannja, ia menguruskan peradilan, mengepalai masjarakat. memimpin ketenteraan, mengimami salat, mengurus keuangan negara, menjelenggarakan kepentingan negara, jang semua perkara-perkara itu diatur dengan peraturan-peraturan jang chusus jang disiarkan dan dijalankan oleh pembantu-pembantunja. Semua ini terdjadi pada diri Nabi dalam masa hidupnja.

Dan oleh karena itu mazhab Sji'ah, terutama Imamijah, tidak mau meninggalkan kesempurnaan itu.

Mengenai masaalah pengangkatan imam sesudah wafat Nabi bagi masjarakat Islam seluruhnja, ada bermatjam-matjam pendapat orang.

Orang Sji'ah berkata, kewadjiman itu dikembalikan kepada Allah, ialah jang akan mengkat seseorang imam bagi 'manusia.

Ahli Sunnah berpendapat, kewadjiban itu tidak dapat dikembalikan kepada Tuhan, tetapi kewadjiban itu tetap terletak diatas pundak manusia.

Orang-orang Chawaridj mengatakan, bahwa mengangkat imam itu tidak perlu sama sekali, tidak merupakan suatu kewadjiban jang dikembalikan kepada Tuhan, dan tidak pula merupakan suatu kewadjiban jang dipikulkan kepada manusia.

Seorang ulama Ahli Sunnah, Ala'uddin Ali bin Muhammad Al-Qarasi (mgl. 879 H), berkata dalam kitabnja bernama "Sjarh at-Tadjrid" mengenai sedjarah perkembangan kewadjiban pengangkatan imam sebagai berikut. Dalam menetapkan kewadjiban pengangkatan imam itu, Ahli Sunnah menetapkan dalilnja atas ldjma' sahabat Nabi, sehingga mereka itu menganggap pengangkatan penggantian Nabi itu. jang dinamakan imam atau chalifah itu suatu kewadjiban jang penting. Mereka mengadakan penetapan ini dikala Rasulullah hendak dikuburkan, dan meneruskan adat itu pada tiap-tiap kematian seorang imam. Sebagaimana diriwajatkan, bahwa tatkala Nabi wafat, Abu Bakar lalu berchutbah : "Wahai manusia ! Barangsiapa menjembah Muhammad, Muhammad itu sudah mati, tetapi barangsiapa menjembah Tuhan Muhammad, Tuhan Muhammad itu tidak akan mati-mati, oleh karena itu mesti kita selesaikan pekerdjaan ini, keluarkanlah pendapat dan pandanganmu, moga-moga Tuhan memberi rahmat kepadamu !"

Maka sesudah utjapan Abu Bakar ini, dari segala aliran datanglah mereka mengemukakan pengetahuannja. jang membenarkan pendapat Abu Bakar, bahwa harus ada penjelesaian tentang imam itu, dan tidak ada seorangpun jang mengatakan tidak wadjib pengangkatan imam penggantian Nabi itu.

Chawaridj mendasarkan pendiriannja tidak wadjib mengangKat imam, atas kejakinan, bhw. pengangkatan itu akan menimbulkan fitnah dan peperangan, karena tiap-tiap suku dan golongan akan mengemukakan tjalon sendiri, dengan demikian tidaklah akan didapati persesuaian pendapat diantara golongan-golongan itu. Dengan alasan demikian Chawaridj menganggap lebih baik menutup pintu pengangkatan itu. Tetapi djika didapati kata persesuaian mengenai sjarat-sjarat kesempurnaan imam dan persetudjuan pengangkatannja, barulah mereka membolehkan 'mengangkat imam itu.

Alasan-alasan Sji'ah Imamijah didasarkan kepada kanjataan, bahwa pengangkatan imam itu diserahkan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa dan Maha Esa. Ada tiga sebab mereka berbuat demikian. Pertama penentuan itu tidak terdjadi dengan ichtiar manusia, tetapi atas kemurahan Tuhan dan belas kasihannja terhadap hambanja, karena imam itulah jang mendekatkan manusia itu mentaati Tuhannja, dengan memberikan penerangan dan pertundjuk, dan dialah jang mendjauhkan pengikutnja daripada ma'siat, melarang mereka dan mempertakutinja mengerdjakan Kedjahatan-kedjahatan dengan segala akibatnja. Dan oleh karena itu penundjukan ini sebenarnja wadjib daripada Tuhan sendiri.

Pendirian Sji'ah jang demikian itu didjelaskan pula oleh Ah Ardabli (mgl. 993 H), seorang ulama Sji'ah Imamijah terbesar, menerangkan, bahwa alasan kemurahan Tuhan ini. jang dipakai oleh Imamijah itu tepat, karena dialah jang setepat-tepatnja memilih imam itu, mendjadikannja. memberikan kekuasaan dan ilmu kepadanja. dengan taufik Tuhan ia dapat memilih njash jang didjalankan atas namanja. semua ini terdjadi dengan iradah Tuhan, jang menentukan perkara-perkara dan kewadjiban. ada jang diperuntukkan buat imam dan ada jang diperutukkan buat rakjat. jang mentaati imam itu.

Kedua, bahwa Allah dan Rasulnja telah menjatakan semua hukum-hukumnja, jg. ketjil dan jg. besar, tidak ada pekerdjaan dan perkataan seseorang manusiapun. jang terluput dimasukkan kedalam lingkaran hikmah hukum-hukumnja itu. Maka oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia mengangkat seorang imamnja dengan meninggalkan kekuasaan Tuhan itu baik jang berkenaan dengan urusan keduniaan, maupun jang bersangkutan dengan kehidupan achiratnja.

Ketiga maka oleh karena itu Sji'ah membuat perbandingan dengan diri Nabi Muhammad sendiri, jang tidak seorang djuapun mengangkatnja ketjuali dengan nubuwah, jang hanja berada dalam tangan Tuhan sendiri, baru diketahui oleh Nabi pada waktu diangkatnja mendjadi Rasul, ia sendiri tidak berdaja upaja.

Oleh karena itu orang Sji'ah menjimpulkan. bahwa ichtiar memilih imam itu dikembalikan sadja kepada Allah, tidak ada jang dapat mengetahui rahasia imam itu, melainkan Allah, hanja Allah jang dapat melihat kesanggupannja.

Meskipun demikian orang-orang Sji'ah menetapkan sifat-sifat imam sebagai sjarat, diantara lain, hendaklah ia ma'sum, karena tudjuan daripada keimaman itu ialah memberi pertundjuk kepada manusia atas djalan jang benar dan melarang mereka berbuat jang salah. Oleh karena itu kalau ia sendiri dibolehkan berbuat salah dalam hukum, bagaimana dapat membersihkan sesuatu dengan kekotoran.

Lain daripada itu seorang imam harus lebih mulia dan utama dalam mata rakjatnja melebihi rakjatnja dalam ilmu pengetahuan dan achlak, karena djika dalam hal ini dia tidak lebih afdhal, tentu ada orang lain jang melebihinja, atau jang menjamainja sehingga tidak lajak ia mendjadi orang utama bersamaan dengan mengutamakan murid daripada guru, jang tentu ditjela oleh agama. Lalu orang Sji'ah mendasarkan pendapatnja kepada firman Tuhan, ajat 35 surat Junus, jang berbunji : "Katakanlah, bahwa Allah jang menundjuki kepada kebenaran. Manakah jang lebih patut diikut, jg. menundjuki kepada kebenarankah atau jang tidak dapat pertundjuk melainkan djika ditundjuki ? Mengapa kamu ini ? Bagaimanakah kamu ? mendjatuhkan hukum ?".

Ada satu persoalan mengenai keimanan Sji'ah ini, jaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa Ali ?.

Sesudah Sji'ah menetapkan nash kewadjiban imam daripada Allah, mereka berkata, bahwa menurut hukum imam sesudah Nabi wadjib djatuh kepada Ali bin Thalib, karena dua alasan, menurut alasan Qur'an dan menurut alasan Snnah.

Pertama, sebagai alasan dari Qur'an, diketemukan dlm ajat 58 dari surat al-Ma'idah jg kalau diterdjemahkan berbunji sebagai berikut : ,,Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnja, kemudian mereka jang beriman, jang mendirikan sembahjang. membajar zakat dan mereka itu sedang ruku". Ajat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, jang konon ketika itu sedang ruku, sebagai mendjawab pertanjaan orang, siapa pang harus ditaati.

Kedua, sebagai alasan dari Sunnah orang-orang Sji'ah mengemukakan sebuah hadis, dimana Rasulullah sedang berbitjara dengan Ali bin Abi Thalib, jang berbunji demikian : „Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barangsiapa jang ingin mentjari wali (imam), maka Ali-lah jang akan djadi walinja Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan djadi chalifahku dikemudian hari ", dan banjak lagi hadis hadis jang lain.

Begitulah selandjutnja, orang Sji'ah mempergunakan hadis-hadis, jang menundjukkan ketjintaan Nabi kepada Hasan dan Husain serta keturunannja Ali jang lain, untuk alasan mereka memilih imam dari Ahlil Bait dan keturunan Nabi dari perkawinan Ali' dengan Fatimah itu.

7. ITIKAD SJI'AH IMAMIJAH

Sji'ah Imamijah adalah penganut mazhab Dja'farijah, mejakini, bahwa mereka orang Islam ahli tauhid, pertjaja bahwa Tuhan Allah Satu tunggal dan Muhammad Nabi dan Rasulnja, dan pertjaja djuga semua apa jang disampaikan' oleh Rasul Tuhan itu. Mereka pertjaja bahwa agama Islam harus dilaksanakan dengan mengutjapkan dua kalimat sjahadat dan mendjalankan semua hukum sjara', diantara lain mengenai hukum waris, hukum nikah. Mereka pertjaja, bahwa iman itu lebih tinggi tingkatnja daripada Islam, sesuai dengan djawaban jang pernah dberikan oleh Nabi Muhammad atas pertanjaan seorang Arab, jang datang kepadanja menerangkan, bahwa ia telah beriman, tetapi Nabi Muhammad menjuruh dia mengatakan, bahwa ia sudah masuk Islam, karena iman itu adalah kejakinan jang meresap kedalam hati, tidak terlihat keluar (Qur'an).

Mengenai pokok2 agama, usuluddin, mereka menerangkan, harus diketahui dengan dalil jang kuat, ilmu jang benar dan kejakinan jang teguh, tidak tjukup dengan taqlid. dan dhan (was2 dan ragu-ragu).

Mengenai sifat-sifat Tuhan, mereka berkejakinan, bahwa Tuhan itu bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, bersih daripada segala sifat-sifat kekurangan, karena jang bersifat kekurangan itu adalah sesuatu jang baharu, hadis, sedang Tuhan bersifat qadim dan abadi, berkuasa setjara bebas, mengetahui, hidup, berkehendak, berbitjara dan benar. Dialah jg. mentjiptakan, jang memberi rezeki kepada machluknja, Tuhanlah jang menghidupkan dan mematikan segala machluk. Orang-orang Sji'ah pertjaja, bahwa Tuhan itu adil, jang berbuat baik diberinja pahala, dan jang berbuat dosa disiksanja. Manusia berbuat sesuatu tidak terpaksa, tetapi dengan ichtiarnja sendiri, dan atas ichiarnja inilah Tuhan mengambil tindakan jang bidjaksana. memberi pahala atau menjiksanja.

Wadjib bagi Allah mengirimkan Rasul-Rasul kepada hambanja manusia untuk mengadjarkan matjam-matjam hukum dan peraturan, untuk menerangkan jang halal dan jang haram, untuk memerintahkan berbuat adil dan bersikap lemah lembut sesama manusia. Tuhan menurunkan perintah-perintah itu kepada Rasulnja dengan perantaraan Mala'ikat atau setjara langsung, dan bahwa Nabi-Nabi itu terpelihara daripada dosa besar dan ketjil, memupunjai sifat-sifat jang baik, jang dapat mendjadi tjontoh dan suri teladan bagi umatnja.

Sji'ah Imamijah pertjaja, bahwa Muhammad itu adalah penutup daripada segala Nabi, tidak ada lagi Nabi sesudahnja, dan tidak ada jang memperserikatkannja dalam kenabiannja, ia Nabi jang lebih afdhal dari Nabi-Nabi jang lain, wadjib beriman kepadanja dan membenarkan apa jang disampaikannja daripada Tuhannja. Segala utjapan dan perbuatan Nabi merupakan hudjdjah atau dasar hukum, wadjib ditaati dan dipatuhi, tidak diutjapkannja sesuatu dari hawa nafsunja. melainkan dalam bentuk wahju Tuhan, hukum-hukum jang disampaikannja bukanlah dari hasil pikiran atau idjtihadnja sendiri, tetapi dari sjari'at Tuhan semata-mata.

Nabi Muhammad adalah orang jang mula-mula beriman kepada Tuhan, semua isterinja orang-orang jang beriman, jang sesudah wafatnja haram dikawini oleh orang lain. Sjari'atnja menghapuskan semua sjariat Nabi-Nabi terdahulu, dan berlaku sampai hari kiamat.

Dalam pendiriannja terhadap persoalan Imamah dan Chilafah, Imamijah berkejakinan wadjib adanja kepertjajaan kepada imam-imam itu. karena mereka merupakan pemimpin umum dalam segala urusan agama dan dunia, sesudah wafat Nabi, mereka menganggap, bahwa imam-imam itu dapat mendjalankan dan mengawasi sjari'at jang ditinggalkan Nabi, mereka merupakan mursjid jang harus ditjontoh dan diteladani. Oleh karena itu maka hendaklah imam itu merupakan seorang .pemimpin jang taat kepada Tuhan, seorang jang terdjauh daripada perbuatan fasad dan munkar, bukan seorang jang mengikuti djalan hawa nafsunja sendiri, imam itu harus ma'sum daripada dosa besar dan dosa ketjil.

Jang berhak mendjadi imam sesudah wafat Nabi ialah anak pamannja, Ali bin Thalib, jang telah diwasiatkan dan ditundjuk oleh Nabi Muhammad sendiri, kemudian anaknja Hasan bin Ali, kemudian saudaranja. Husain bin Ali, kemudian anknja. Ali Zainul Abidin kemudian anaknja Muhammad al-Baqir, kemudian anaknja Dja'far as-Shcadiq, kemudian anaknja Musa al-Kazim, kemudian anaknja Ali ar-Ridha kemudian anaknja Muhammad al Djawad, kemudian anaknja Ali al-Hadi, kemudian anaknja Hasan al-Askari, kemudian anaknja Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja berlaku dengan wasiat.

Orang jang menolak kenabian Nabi Muhammad 'dengan mengatakan bahwa ada Nabi lagi sesudah wafatnja atau ada jang memperserikatkannja dalam kenabian, orang itu keluar dari agama Islam dan tidak berhak menamakan dirinja muslim. Tetapi seorang jang mengingkari keimaman dua belas keturunan jang disebut tadi. tidak keluar dari Islam menurut orang-orang Sji'ah karena jang demikian itu bukan suatu kewadjiban agama, tetapi hanja suatu kewadjiban mazhab sadja.

Sji'ah Isna'asjar Imamijah pertjaja, bahwa ada hari kemudian sesudah hidup manusia sekarang ini, ada soal Munkar wa Nakir dalam kubur, ada azab kubur, ada sirath, ada mizan atu timbangan dosa dan pahala, ada hisab, jaitu perhitungan salah dan benar, ada pengakuan anggota badan tentang perbuatan djahat dan baik, ada pembahagian surat mengenai amal buruk dan baik, ada pengumpulan manusia dipadang mahsjar, ada sorga dan neraka sebagai tempat balasan, tidak ada lagi umur tua, sakit dan mati diachirat, apa jang diingini oleh orang jang berbuat baik sampai, ada ampunan Tuhan, ada sjafa'at Nabi Muhamad dan lain-lain urusan hari kemudian.

Mereka pertjaja djuga dalam garis besar ada Luh Mahfud, ada Qalam, ada Arasj, ada Kursi, tetapi menurut penafsiran mereka sendiri, jang kadang-kadang sedikit berlainan dengan pendirian Asj'ari atau Ahli Sunnah wal Djama'ah atau dengan penafsiran aliran-aliran Islam jang lain.

Sebagaimana kita lihat, itikad Sji'ah Imamijah sama dengan itikad Ahli Sunnah wal Djama'ah, bahkan sama mengenai persoalan chalifah sesudah wafat Nabi, jang semua mazhab mengatakan berdasarkan idjtihad, ketjuali mereka memilih chalifah itu dari keturunan Nabi Muhammad, karena tidak ada keturunan dari lakilaki, maka dipilihnja dari keturunan Ali bin Abi Thalib, jang sudah diakui saudara, pengganti dan menantunja Nabi, sehingga mereka terus-menerus berimam kepada keturunan Ali bin Abi Thalib itu, dan lantaran itu mereka dinamakan Sji'ah Ali atau dengan ringkas Sji'ah.

Pernah seorang ulama besar Sji'ah, Imam Abdul Husain Sjarfuddin al"Musawi, ditanjai apa sebab-sebab Sji'ah tidak mau mengikuti salah sebuah mazhab djamhur Islam, dalam usuluddin mazhab Al-Asji'ari dan dalam masaalah furu' (fiqh) salah satu daripada Mazhab Empat, Hanafi, Sjafi'i, Maliki atau Hanbali. AlMusawi mendjawab dalam kitabnja jang terkenal "Al-Muradja'a" (Nedjef, 1963), dengan alasan-alasan Qur'an "dan Hadis jang menurut pendapat saja tidak dapat dibantah oleh seorang ulama Sunni-pun dalam masanja, bahwa ibadat golongan Sji'ah dalam usul tidak berpegang kepada Asji'ari dan dalam furu' tidak berpegang kepada salah satu 'Mazhab Empat, bukanlah karena menjendiri dalam golongan atau ta'assub mazhab, dan bukan pula karena ada keraguan tentang kebenaran idjtihad daripada imam-imam besar itu, bukan karena tidak adilnja, tidak ada amanahnja, tidak mendalam ilmunja dan sebagainja, terdjauh semuanja daripada persangkaannja-persangkaan jang djahat itu. Tetapi katanja orang-orang Sji'ah dikala ada perselisihan paham antara imam-imam mazhab itu, sesuai dengan adjaran Qur'an dan pertundjuk Muhammad, berpegang kepada perdjalanan atau mazhab Nabi Muhammad sendiri dan keluarga rumahnja, sumber tempat kedatangan risalah, sumber tempat kundjungan malaikat, tempat turun wahju Tuhan kepadanja. Maka baik dalam furu', maupun dalam aqa'id baik dalam usul fiqh maupun dalam kaidah-kaidahnja, baik dalam mengenal sunnah maupun dalam mendalami isi Kitab Allah, dalam ilmu achlak dan adab. dalam tjara menggunakan dasar dan alasan hukum, semua orang-orang Sji'ah kembali kepada sumber pokok itu, dan beribadat dengan sunnah Nabi dan keluarganja (hal. 40 Murtadja'at no. 4).

Kemudian Al-Musawi ini membahas alasan-alasan, mengapa Sji'ah harus berbuat demikian, diantara lain dikemukakannja, bahwa idjtihad, amanah, keadilan dan kebesaran, tidaklah teruntuk bagi imam2 Sunni sadja. tetapi djuga, sebagaimana jang ditundjuk Kan oleh Nabi sendiri djuga terdapat dari kalangan keluarganja. Djika orang menuduh bahwa Sji'ah menjeleweng daripada adjaran Salf as-Salih, karena tidak mengikuti imam-imam itu al-Musawj mengatakan, bahwa selain daripada tingkat sahabat, sudah tidak ada lagi orang mentjontoh djedjak Salf as-Salih, dan inilah pula sebabnja maka Sji'ah ingin menghidupkan kembali adjaran itu agar dekat kepada pengertian pesan Rasulullah, bahwa ,,sebaik-baik umatku adalah dlm tiga kurun sesudah wafatku" (hadis) .Apakah dasar adjaran itu terikat kepada masa sadja atau tjara bertindak dalam menjelesaikan persoalan Islam ?

Al-Musawi menerangkan nama2 ulama jang hidup dalam tiga kurun ini jang tidak berpegang kepada adjaran Salaf. Asj'ari dilahirkan tahun 270 H dan mati kira2 tahun 330 H. Ibn Hanbal dilahirkan tahun 164 H, dan mati tahun 241 H. Sjafi'i lahir tahun 150 H. mati tahun 204 H., Malik lahir th. 95 H. dan mati tahun 179 H. Abu Hanifah lahir tahun 80 H. dan mati tahun 150 H. Adakah mereka bersatu dalam pendirian mengenai furu' dan mendekai Salaf ? Oleh karena itu Sji'ah mengambil mazhab imam-imam Ahlil Bait, sedang ummat Islam jang. lain beramal dengan mazhab Sahabat dan Tabi'in. Al-Musawi bertanja : "Darimanakah alasan jang mewadjibkan ummat Islam bermazhab kepada mazhab mereka, dan tidak memperkenankan orang bermazhab kepada Ahlil Bait. Sedang mazhab Ahlil Bait ini djuga berpegang kepada Kitab Allah, kepada Sunnah Nabinja, kepada keluarga-keluarganja jang diwasiatkan harus ditaati, jang merupakan sampan jang dapat menjelamatkan ummat, pemimpinnja, orang jang dapat dipertjajainja dan pintu ilmu pengetahuannya" (hal. 42).

Perbedaan-perbedaan antara satu mazhab dengan mazhab lain dari Ahlus Sunnah wal Djama'ah dalam masaalah furu' tidak kurang banjaknja, disaksikan oleh ribuan kitab-kitab, bahkan kadang-kadang lebih banjak daripada perbedaan jang ada pada mazhab Sji'ah dengan salah satu daripada Mazhab Empat itu. Missal nja dengan Sjafi'i. Mengapa orang ingin memaksakan kepada ummat Islam hanja Empat Mazhab itu sadja dan tidak Lima Mazhab, jaitu ditambah dengan mazhab Ahlil Bait, mazhab jang dianut oleh keluarga Nabi sendiri dan jang mereka landjutkan sekarang ini. Demikian tanja Al-Musawi dalam kitabnja jang kita sebutkan namanja diatas ini. Baginja jang dimaksudkan dengan Ahlil Bait, semua imam dari mazhab manapun djuga, jang sesuai amal ibadahnja dengan Rasulullah dan keluarganja. Ulama-ulama, jang tidak sempit hatinja membenarkan pendirian ini, diantaranja lbn Hadjar, jang pernah menerangkan, bahwa mazhab Ahlil Bait itu adalah mazhab jang dipimpin oleh ulama-uamanja jang piawai dan aman, jang dapat memberikan pertundjuk sebagai bintang dilangit, jang apabila sewaktu-waktu ummat sesat dan meraba-raba, bintang-bintang itulah jang akan mendjadi pertundjuknja (Al-Muradja'at hal. 53).

II NABI MUHAMMAD DAN ALI

1.ALI BIN ABI THALIB

Ali bin Abi Thalib adalah anak paman Nabi, jang mengurus dan membela Nabi sedjak ketjil sampai ia diangkat mendjadi Rasul dari pada penghinaan dan serangan Quraisj, bernama Abu Thalib anak Abdul Muttalib. Ibunja bernama Fathimah binti Asad bin Hasjim, wanita Bani Hasjim jang mula-mula masuk Islam.

Ali termasuk salah seorang dari rombongan sepuluh sahabat, jang sedjak masih hidup sudah didjamin Nabi masuk sorga. Oleh Nabi Muhammad, Ali didjadikan saudara angkatnja. Nabi mengawinkan Ali dengan anaknja jang bernama Fathimah Zahra, djuga salah seorang wanita terdahulu masuk Islam, anak Nabi jang ditjintainja dari perkawinan dengan Sitti Chadidjah. Baik Ali maupun Sitti Chadiidjah, kedua-duanja merupakan modal perdjuangan dan kemenangan Nabi dalam menegakkan agama Islam. Nabi pernah berkata : "Islam berdiri karena pedang Ali dan harta Chadidjah" (Hasjim Ma'ruf Al-Hasani, Tarkhul Fiqbil Dja'fari, t. tp. dan t. th., hal. 63).

Ali bin Abi Thalib seorang jang banjak ilmunja, baik mengenai rahasia ketuhanan (alim Rabbani), maupun mengenai segala persoalan Islam dan umum. Bagaimana alimnja diterangkan dalam sebuah hadis Nabi jang berbunji : "Aku kota ilmu pengetahuan dan Ali pintunja." Tatkala hadis ini didengar oleh golongan Chawaridj, mereka mendjadi dengki dan tjemburu, terhadap Ali. Bermufakatlah sepuluh orang alimnja masing-masing hendak beranjakan satu persoalan mengenai ilmu, untuk mengudji apakah Ali betul-betul alim seperti jang dikatakan Nabi.

I. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta?

Ali : Ilmu lebih utama daripada harta karena ilmu itu pusaka Nabi-Nabi, sedang harta, pusaka Karun, Sjaddad dan Firaun.

II. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena ilmu memelihara engkau, sedangkan harta, engkaulah jang harus memeliharanja.

III. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena harta menjebabkan banjak musuh, ilmu menjebabkan banjak teman sahabat.

IV. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta makin dikeluarkan makin kurang, sedang ilmu makin dikeluarkan makin bertambah.

V. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang punja harta kadang-kadang dapat dipanggil dengan nama kikir dan chizit. Sedang orang jang punja ilmu selalu dipanggil dengan nama megah dan mulia.

VI. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta banjak pentjurinja dan ilmu tidak ada pentjurinja.

VII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang jang punja harta dihisab pada hari kiamat, sedang orang jang punja ilmu diberi sjafa'at pada hari kiamat.

VIII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta bisa habis karena lama masanja, sedang ilmu tidak bisa habis meskipun tidak ditambah.

IX. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena ilmu membuat hati jang punja terang benderang, sedangkan harta membuat kasar hati jang punja.

X. Manakah jang lebih utama ilmu, atau harta ?

Ali : Ilmu, sebab orang jang mempunjai ilmu termasuk ubudijah. jang diberi pahala oleh Tuhan, sedangkan orang mempunjai harta termasuk rubudijah.

Demikianlah kita batja tjeriteranja dalam "Mawa'iz al-Usfurijah" jang menerangkan selandjutnja, bahwa orang-orang jang bertanja pada Ali itu jang achirnja mengakui akan luasnja ilmu pengetahuan Ali dan bidjaksananja dalam memberikan djawaban atas satu-satu pertanjaan.

Ali terkenal salah seorang sahabat Nabi jang paling berani dan gagah perkasa dalam peperangan. Hampir pada seluruh peperangan dalam masa Nabi dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib dengan pedangnja jang terkenal, bernama Zulfikar. Ia terkenal pula sebagai seorang pahlawan jang diserahi tugas membawa pandji-pandji Nabi.

Dalam dunia tasawwuf dan tarekat Ali terkenal sebagai waliullah, jang selalu dipudji-pudji oleh orang-orang Sufi, karena mutiara hikmahnja jang pelik-pelik.

Dalam hal berpidato dan sastera Ali terkenal sebagai salah seorang sasterawan jang lantjar dan sangat petah lidahnja. Pidato-pidatonja ditjatat dan dikumpul orang mendjadi buku jang berdjilid-djilid diantaranja bernama "Nahdjul Baliaghah".

Disamping memangku djabatan Chalifah, jang diakui sah, baik oleh Sji'ah maupun oleh Ahli Sunnah wal Djama'ah, Ali adalah seorang jang termasuk kedalam golongan penulis wahju, jang disampaikan oleh Nabi kepada umatnja, salah seorang pengumpul Al-Qur'an dan penuils tafsirnja. Ali djuga adalah salah seorang chalifah jang pertama dari Bani Hasjim.

Menurut penetapan Ibn Abbas, Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, Salman Al-Farisi dan lain-lain sahabat jang banjak, bahwa dialah orang jang mula-mula masuk Islam dan beriman pada Nabi.

Mengenai Ali banjak sekali ditulis orang riwajat hidupnja, jang ditindjau dari bermatjam-matjam segi hidup. Banjak hadishadis jang menerangkan keutamaan Ali melebihi sahabat jang lain-lain. Semua sahabat Nabi, besar dan ketjil segan kepadanja, dan tidak mau memutuskan perkara-perkara besar sebelum berunding dengannja.

Ibn Taimijah mengatakan, bahwa tidak dapat disamakan sirna sekali Mu'awijah dengan Ali dalam haknja mendjadi chalifah. Mu'awijah tidak berhak mendjadi chalifah, karena dia tidak dapat menjamai Ali dalam ilmu pengetahuannja, dalam persoalan agamanja dan dalam keberaniannja, begitu djuga. dalam kelebihan-kelebihan jang lain dan keutamaannja jang hanja sama dengan keutamaan saudara-saudaranja Abu Bakar, Umar dan Usman. Tidak ada ketinggalan daripada teman-teman Nabi bermusjawarat sesudah Usman selain Ali. Ada Sa'ad (bin Abi Waqqash ?) tetapi Sa'ad telah melepaskan kesediaannja mendjadi chalifah, sehingga seluruh kesempatan ini kembali kepada Ali dan Usman, dan sesudah Usman terbunuh, bulat segala pikiran umum mengenai kedudukan chalifah hanja untuk Ali.

Mu'awijah jang menganggap dirinja chalifah sebenarnja belum diakui orang, dan diberikan sumpah setia tatkala ia memerangi Ali, dan Ali-pun tidak memerangi dia karena kedudukan Mu'awijah sebagai chalifah karena ia tidak berhak mendjadi chalifah itu. Peperangan dimulai krena kezaliman, bukan karena rebutan chalifah, karena seluruh kesatuan pendapat, hanjalah Ali jang diakui sebagai chalifah sesudah Usman.

Demikian kita batja dalam kitab "Lawa'ihul Anwar", karangan As-Safarini al-Hanbali. Dalam kitab itu kita batja lebih Lndjut pendapat Ibn Taimijah, bahwa ia menolak segala fitnah dan sangka-menjangka ada perselisihan antara Ali dan Usman, ia menuduh dusta pendapat orang jang mengatakan, bahwa Ali memerintah membunuh Usman bin Affan, jang sekali-kali tidak masuk dalam akal jang waras. Ali bersumpah, bahwa ia tidak membunuh Usman dan tidak rela atas pembunuhan itu, dan sumpah Ali itu dalam sedjarah hidupnja benar dan tidak diperselisihkan orang. Ibn Taimijah menerangkan bahwa ada -dua golongan manusia, golongan jang mentjintai Ali dan golongan jang membentjinja. Golongan jang mentjintainja mengandung niat menentang Usman dan berpendapat bahwa Usman berhak dibunuh. Golongan jang membentjinja menentang Ali dan menuduhnja, bahwa ia sekurang-kurangnja membantu atas pembunuhan Usman dan tidak mentjegah pertumpahan darah. Perbedaan paham ini lalu menimbulkan dua golongan, dalam Islam, jaitu golongan Usmanijah dan golongan Sji'ah. Bagaimanapun djuga perbedaan pahamnja, kedua golongan ini berpendirian, bhwa Mu'awijah bukan saingan Ali untuk mendjadi chalifah Nabi sesudah wafat Usman.

Ibn Taimijah melandjutkan tjeriteranja, bahwa sesudah pembunuhan Usman, segera pada keesokan harinja dilakukan sumpah setia serempak terhadap Ali. Orang datang berdujun-dujun kepadanja dan berkata : "Bentangkan tanganmu, kami akan bersumpah setia kepadamu !" Begitu besar tjinta umat Islam ketika itu kepada Ali. Tetapi Ali masih menampik desakan massa itu dengan utjapannja : "Penetapan ini bukan urusanmu. Hanja Ahli Badarlah jang berhak menetapkan aku mendjadi chalifah atau tidak mendjadi chalifah." Semua Ahli Badar ketika itu mendatangi Ali dan berkata : "Kami tidak melihat seorangpun selain engkau jang berhak mendjadi chalifah. Bentangkan tanganmu dan kami akan memberikan sumpah setia kami kepadamu !" Maka berlakulah sumpah setia jang sah terhadap keangkatan Ali mendjadi chalifah (hal. 11:326).

Disini terdjadilah pokok permusuhan. Marwan dan anaknja lari dari orang banjak itu untuk membuat onar.

Sesudah Ali diangkat mendjadi chalifah, barulah ia berasa berhak memeriksa perkara-pembunuhan atas diri Usman, melalui isterinja dan orang-orang jang dianggap mendjadi saksi atau melihat dan mengetahui kedjadian itu. Ia memukul anaknja Hasan, mengetjam Muhammad bin Thalhah karena dianggapnja kurang rapi mendjalankan tugas dalam mendjaga keselamatan diri Usman. Ada orang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair tjuma melakukan sumpah setia karena terpaksa, kemudian mereka pergi ke Mekkah mengadjak Aisjah pergi ke Basrah menuntut bela atas darah Usman. Maka terdjadilah peperangan Djamal dalam bulan Djumadil Achir tahun 36 H. Dalam peperangan ini tidak kurang terbunuh manusia dari tiga belas ribu djiwa banjaknja. Mu'awijah dan tentara-tentaranjapun keluar dari Sjam menuntut bela kematian Usman kepada Ali. Tjeritera tentang perbedaan dan perselisihan ini akan kita bahas dalam bahagian tersendiri setjara terperintji.

Orang membitjarakan dalam hukum tentang keutamaan sahabat, mana jang lajak mendjadi chalifah lebih dahulu sesudah wafat Nabi. Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang terdiri dari golongan Asarijah, Asj'arijah dan Maturidijah, menetapkan tertib chaliffah sebagai berikut : Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Semua ulama sepaham dan sependirian, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi ialah Abu Bakar sebagai chlifah I dan Umar sebagai chaliffah ke II. Dibelakang itu terdapat perselisihan paham. Ahmad dan Imam Sjafi'i, begitu djuga pendapat jang masjhur dari Imam Malik, jang terutama sesudah Abu Bakar dan Umar ialah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ulama-ulama Kufi, diantaranja Sufjan As-Sauri, mengutamakan Ali lebih dahulu daripada Usman. Ada ulama jang memutuskan, tidak boleh membitjarakan, mana jang lebih utama daripada Usman dan Ali.

Ditjeriterakan orang, bahwa Abu Abdullah al-Mazari pernah menerangkan, bahwa pada suatu hari Malik ditanjai orang manakah orang-orang jang utama sesudah Nabi. Ia mendjawab Abu Bakar, sesudah itu Umar, kemudian ia diam. Lalu orang katakan, bahwa Imam Malik ragu dan minta kepastian antara Ali dan Usman. Dengan terpaksa Imam Malik mengatakan : "Saja belum pernah mendapati seorang sahabat jang membeda-bedakan keutamaan antara Usman dan Ali.

Susunan keutamaan sebagai jang disebut diatas tentu dilihat dari sudut hukum, tapi djika dilihat dari sudut kekeluargaan dan nasab, tidak ada seorangpun jang berani mengatakan, bahwa keutamaan Ali tidak melebihi daripada segala sahabat jang ada. Abu Bakar sendiri jang menurut kebulatan pikiran umum seorang sahabat Nabi jang utama sekali, masih mengakui Ali lebih afdhal dari dia.

Ditjeriterakan orang, bahwa Nabi pada suatu hari mengemukakan pengadjaran kepada sahabat-sahabatnja. Karena pengadjaran itu sangat penting semua orang ber-desak2 duduk dekat Nabi, agar dapat mendengar dengan baik. Ali datang kemudian, den oleh karena tidak ada tempat lagi dekat Nabi ia terpaksa berdiri djauh. Tidak ada seorangpun jang mau mengalah memberikan tempat duduk dekat Nabi kepadanja. Abu Bakar melihat Ali dalam keadaan demikian, lalu segera ia bangun dan memberikan tempat duduknja jang dekat kepada Nabi kepada Ali. Nabi, jang dengan matanja jang tadjam melihat keadaan Abu Bakar menghormati Ali, lalu berkata : "Tidak mengerti akan keutamaan, melainkan orang jang utama djuga."

Ulama-ulama Sji'ah melihat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi jang paling utama, dan menetapkannja dengan nash Nabi berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi. Mughnijah menerangkan, bahwa sedjarah Sji'ah adalah sedjarah keterangan Nabi, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah wafatnja ialah Ali bin Abi Thalib. Dan banjak sekali sahabat-sahabat besar jang melihat keutamaannja dan kechalifahannja itu mutlak. Ibn Abil Hadid menjebut diantara sahabat-sahabat besar itu ialah Ammar bin Jasar, Miqdad bin Aswad, Abu Zarr, Salman al-Farisi, Djabii bin Abdullah, Ubay bin Ka'ab, Huzaifah al-Jamani, Buraidah, Abu Ajjub al-Anshari. Sahal bin Hanief, Usman bin Hanief, Abui Haisam bin Taihan, Abu Thufai, dan semua Bani Hasjim, semuanja mengatakan bahwa keutamaan mutlak bagi Ali dan chalifah pertamapun baginja.

Ditjeriterakan bahwa Salman al-Farisi pernah menerangkan: "Kami bersumpah kepada Rasulullah untuk memberi nasihat kepada kaum muslimin dan mengimami Ali bin Abi Thalib serta menganggapnja wali. Abu Sa'id al-Chudri pernah berkata : "Manusia diperintahkan Tuhan mengerdjakan lima perkara, tetapi jang dikerdjakannja hanja empat, sedang jang satu perkara lagi ditinggalkan." Tatkala orang menanjakan kepadanja, apa empat perkara jang dikerdjakan orang itu, ia mendjawab : "sembahjang, zakat, puasa dan hadji". Tatkala ditanjakan orang apakah jang satu perkara jang tidak dikerdjkan, ia mendjawab : "Mengaku pimpinan kepada Ali bin Abi Thalib". Tatkala orang bertanja kepadanja, apakah itu diwadjibkan dalam Islam, ia mendjawab : "Memang itu diwadjibkan, sebagaimana diwadjibkan shalat, zakat, puasa dan hadji".

Sahabat-sahabat jang sependapat dengan itu dapat kita sebutkan misalnja Abu Zar al-Ghiffari. Ammar Jasir, Huzaifah alJamani, Abu Ajjub al-Anshari, Chalid bin Sa'id dan Qais bin Ubbadah.......

Ada orang berpendapat, bahwa Sji'ah itu lahir pada hari peperangan Djamal, ada jang mengatakan, bahwa ia lahir pada hari timbulnja golongan Chawaridj. Thaha Hussain dalam kitabnja "Ali wa Banuhu", mengatakan bahwa Sji'ah itu tersusun sebagai Suatu partai politik jang teratur untuk mempertahankan Ali dan anak-anaknja, terdjadi dalam masa Hasan bin Ali.

Mughnijah dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimyn" (Beirut, 1962) menerangkan, bahwa pendapat jang mengatakan, bahwa Sji'ah itu didirikan oleh Abdullah bin Saba', adalah tidak benar, dan utjapan ini dikeluarkan oleh mereka jang tidak memahami Sji'ah serta sedjarahnja (hal. 18).