sji'ah

sji'ah16%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 13726 / Download: 3998
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

6. HUSAIN DAN KARBALA.

Orang bertanja kepada ketua Mahkamah Sjar'ijah Agung Dja'farijah di Beirut, Sjeih Muhammad Djawad Mughnijah, jang pada waktu ini merupakan tokoh penting dalam mazhab Sji'ah mengapa perajaan Karbala itu dichususkan untuk memperingati Imam Husain sadja, mengapa tidak neneknja Muhammad atau ajahnja Ali, apakah Husain itu lebih penting daripada neneknja dan ajahnja itu.

Dalam djawaban Sjeih Muhammad Djawad Mughnijah, jang dimuat pandjang lebar dalam madjalah „Risalah Al-Islam" tahun 1959, Djuli, dengan kepala „Sjiah dan Hari Asjura", didjelaskan duduk perkaranja jang sebenarnja menurut paham Sji'ah. Orang2 Sjiah tidak melebihi seorang djuapun lebih daripada Rasulullah. Mereka menganggap Nabi Muhammad itu dalam Islam se-baik2 machluk Tuhan dengan tidak ada ketjualinja. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada jang lebih mulia daripada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib itu pernah membanggakan dirinja dengan berkata : „Aku adalah seorang tukang tambal sepatu Rasulullah" Dan ia berkata : „Apa bila peperangan sudah selesai, maka kegembiraan jang sebesar-besarnja bagi kami ialah bergaul dengan Rasulullah". Memang Sji'ah Imamijah menganggap bahwa Muhammad itu tidak ada jang menjainginja dalam keagungan, malaikat tidak, rasul2 lainpun tidak, bahwa Ali bin Abi Thalib hanjalah chalifah jang berhak sesudah ia wafat, bahwa Ali bin Abi Thalib adalah keluarganja dan sahabatnja jang terbaik. Adapun penghormatan Husain pada tiap2 tahun selama sepuluh hari berturut-turut di Karbala, jang terkenal dengan Asjura, tidak lain maksudnja ialah untuk mempertahankan dan mengabadikan pendirian itu serta melaksanakannja dalam bentuk tindakan jang kelihatan.

Hal ini akan lebih djelas, djika diketahui rahasia2 jang dikandung peringatan tersebut, sebagai berikut.

1: Sebagaimana diketahui Rasulullah kawin tatkala dia berumur 25 tahun dan wafat pada waktu berumur 63 tahun. Setahun Rasulullah tidak beristeri setelah wafatnja Chadidjah. Kemudian ia kawin dan banjak istrinja, sehingga ia pernah mengalami perkawinan dengan sembilan isteri dalam suatu masa hidup. Masa perkawinan itu tidak kurang dari 37 tahun. Dari perkawinan dengan Chadidjah ia beroleh dua orang anak laki2, jang tjantik dan sutji, seorang bernama Qasim dan seorang bernama Abdullah, ke-dua2nja mati diwaktu masih ketjil. Dari perkawinan dengan Chadidjah itu djuga dia beroleh-empat anak -perempuan,--masing2 bernama Zainab, Ummu Kalsum, Ruqajjah dan Fatimah. Semuanja masuk Islam, semuanja kawin dan semuanja wafat dikala hiddupnja, ketjuali hanja tinggal seorang mainan mata dan kenangan kepada keluarganja jang sudah tidak ada jaitu Fatimah. Memang Rasulullah dikurniai lagi seorang anak laki" dari isterinja jang bernama Marijah Qubtijah jang diberi nama Ibrahim, anaknja inipun diwaktu ketjil diambil Tuhan, ia meninggalkan ajahnja dalam keadaan sepi dan sunji itu, dalam keadaan ia mentju-tjurkan air mata karena sedihnja, berpulang kerahmatullah dalam umur hanja setahun sepuluh bulan dan delapan hari. Tidak ada lagi tunasnja, tidak ada lagi keturunannja, jang dapat menghiburkan dia dalam keluarga, jang menjambungnja dalam keturunan, ketjuali dengan Fatimah dan dua orang anaknja jang diperolehnja dari perkawinan dengan Ali jaitu Hassan dan Husain. Merekalah jang merupakan keluarganja, merekalah jang merupakan harapan dan kemenangan, mainan mata dan hiasan rumah tangganja.

Fatimah, Ali, Hasan dan Husain itulah satu2 empat tunggal keturunan Nabi, satu2nja ketenangan dan kebanggaan kaum muslimin sesudah wafat Nabi. Jang lain tidak ada, tidak ada keluarganja dan tidak ada keturunan jang ditinggalkan dalam bentuk rumah tangganja jang sebenarnja. Tetapi Fatimah wafat pula, hanja sesudah 72 hari ajahnja kembali kepada Tuhan. Tinggallah rumah tangga Nabi jang gelap gulita itu, djika tidak diterangi oleh tiga sumber tjahaja dan sumber hiasan, jaitu Ali, Hasan dan Husain. Kemudian Ali dibunuh orang pula, dan hanja tinggal dua „Ketjantikan", dua Hasanah. Ketjintaan kaum Muslimin berkumpul pada kedua anak ini, dahulu mereka dapat menumpahkan tjinta dan ichlas kepada Nabinja jang mulia, sekarang tak ada lagi salurannja ketjuali kepada tjutjunja itu, kepada kedua tjutjunja, jang hanja merupakan keturunan dan jang hanja merupakan Ahli Baitnja.

Tidak berapa lama kemudian Hasan pergi pula menemui Tuhannja, sehingga dari Ahli Baitnja hanja tinggal satu2nja jaitu Husain. Seluruh bentuk rumah Rasulullah kembali kepada kepribadiannja. Satu'nja tempat melihat Nabi ialah Husain, satu2nja jang dapat merupakan kenang2an kepada keluarganja ialah Husain, hanja Husain jang dapat menampung seluruh ketjintaan kaum Muslimin karena dialah satu2nja jang mewakili Ahli Bait Nabi, jang mewakili Nabi, jang mewakili Ali, jang mewakili Hasan dan jang nrewakili dirinja sendiri. Tjinta akan tidak dapat terpentjar kepada jang lain. sebagaimana seluruh kenangan2 kepada keluarga Nabi akan berpusat kepadanja ....

Tjobalah kenangkan djika saudara mempunjai lima orang anak jang sama ditjintai kemudian mati satu persatu sehingga tinggal seorang sadja. Akan tak dapat tidak tjinta kepada jang seorang itu berlipat ganda, karena kepadanja berkumpul seluruh tjinta kepada jang sudah tidak ada itu.

Djika kita mengerti jang demikian itu, barulah, kita paham akan utjapan Zainab. jang meratapi saudaranja Husain, dikeluarkan pada hari jang kesepuluh dalam bulan Muharram : „Pada hari ini wafat nenekku Rasulullah, pada hari ini pula mati ibuku Fatimah, pada hari ini ajabku Ali dibunuh dan pada hari ini saudaraku Hasan diratjuni". Dengan pengertian diatas itu djuga baru dapat kita memahami apa jang pernah diutjapkan Husain, beberapa saat sebelum djiwanja ditjabut musuh katanja kepada tentara Jazid : „Demi Tuhan tidak ada lagi ditimur dan dibaratpun putera anak perempuan lagi ketjuali aku jang berdiri didepanmu, tidak pula ada keturunannja didepan orang selain kamu semua."

Pintu rumah Rasulullahpun tertutuplah dengan pembunuhan atas diri Husain, tidak ada lagi tinggal dari keluarganja barang seorangpun, sedang ia itu merupakan perlambang bagi rumah Nabi seluruhnja dan kenang'an hidupnja kepada semua umat Islam.

2. Matinja keturunan Nabi ini tak dapat tidak merupakan suatu kedjahatan besar jang tidak ada taranja. Hari itu tidak dapat diartikan hari peperangan dan hari pembunuhan jang biasa, hari itu adalah hari pertumpahan darah dan hari pembasmian seluruh keluarga Nabi besar dan ketjil. Dari seluruh pendjuru diadakan serangan, dari seluruh pendjuru dihadapkan dendam jang dipuaskan sepuas-puasnja kepada keluarga Nabi. Mereka diboikot makan dan minum berhari2 dengan tidak ada rasa belas kasihan kepada manusia. Tatkala keluarga Nabi itu sudah dilumpuhkan, karena mereka laki2 dan perempuan lebih mengutamakan mati kelaparan dan dahaga daripada menjerah diri kepada musuh jang kotor, diserbulah dari segala djurusan dengan pelepasan panah, pelemparan beling dan batu, ditetak dan ditjentjang dengan pedang dan ditikam ditusuk dengan tombak sepuasanja dengan kedjamnja. Tatkala semua sudah djatuh kepalanja lalu dipenggal, badannja disuruh indjak2 dengan kaki kuda, diseret kesana dan kemari sebagai mainan. Kekedjaman ini belum memuaskan tentara Jazid, sebelum anak2 ketjil jang mendjerit2 karena kematian ibunja diindjak2 perutnja, sebelum mereka dengan tempik sorak kegembiraan melemparkan api jang me-njala2 ke-tengah2 perempuan jang panik dan tidak berdaja itu.

Kita tidak mengetahui, apakah pekerdjaan ini dianggap baik oleh orang jang mentjintai Nabinja, dapat disetudjui oleh orang jang membesarkan Nabinja serta keluarganja itu. Apakah hal itu tidak menegakkan buluroma menghadapi kedjadian itu dengan penuh ketakutan. Kedjadian jang berlumuran darah ini tak akan dapat dilupakan selama hajat dikandung badan.

Tatkala Jazid membasmi pemberontakan Husain itu dengan menggunakan pedang terhunus, ada seorang utusan Kaesar Masehi datang kepadanja dan berkata : „Ditempat kami masih terdapat seorang tukang mengurus keledai Isa, jang sampai sekarang kami biarkan dia hidup bahagia. Dari seluruh sudut bumi orang datang ziarah kepadanja, pergi melepaskan nazar dan mengantarkan hadiah. Kami menghormati tukang keledai itu sebagaimana kamu menghormati kitab sutjimu. Sekarang nampaklah padaku bahwa kamu itu berada diatas djalan jang salah". Mughnijah mengatakan moga2 Tuhan mendjadikan kedjadian di Karbala ini suatu kedjadian jang tersebar dalam sedjarah, suatu kedjadian jang abadi, jang pernah dikenal oleh kitab2 tarich dibumi, karena kedjadian itu memang merupakan kedjahatan jang sangat menghinakan dan menjakitkan diantara kedjahatan jang pernah berlaku diatas muka bumi ini.

Husain dalam kalangan Sji'ah dan orang2 arif jang bidjaksana, jang mengetahui sedjarah dan maksud tjutju Rasulullah tidaklah merupakan suatu nama orang sadja. Husain merupakan bagi mereka simbul dan perlambang jang lebih dalam, simbul kepahlawanan, kemanusiaan dan kesempurnaan tjita2, suluh dan penerangan bagi agama dan sjari'at, tjontoh perlawanan dan pengorbanan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam pada itu adalah Jazid bagi golongan Sjji'ah tidak lain daripada suatu perlambang kedjahatan, perbudakan dan pendjadjahan, tjontoh jang kedji dan rendah, tjontoh kerusakan budi jang tidak ada taranja dari satu pihak kedjahatan, kerendahan budi, kehantjuran kehormatan, pertumpahan darah manusia, kesombongan dan keangkuhan, perampasan hak dan pelanggaran hukum, semua itu adalah nama Jazid dan perbuatannja. Sebaliknja ketenangan, keichlasan, keagungan dan keutamaan, ketinggian budi, inilah nama Husain dan prinsip hidupnja. Seorang penjair Sji'ah memudji Husain dalam gubahannja dan mengatakan, bahwa tiap tempat itu Karbala dan tiap zaman itu Asjura untuk kenang'an kepada Husain.

Maka oleh karena itu orang2 Sji'ah menganggap, bahwa menghidupkan kepahlawanan Husain serta mengabadikan djihad nja dan prinsip hidupnja sama dengan menghidupkan kebenaran, kebadjikan dan kemerdekaan, pengorbanan dirinja, keluarganja dan sahabat'nja terhadap kezaliman Jazid dan teman2nja adalah wadjar.

Anak Muawijah itu hendak menghantjjurkan Ahli Bait Nabi dan memadami tjahaja Tuhan serta menggunakan Kalimatul Ulja untuk menaburkan kedjahatan dan kezaliman dan dia menjangka bahwa dia akan menang serta hendak menjudahi tampuk kemenangannja itu dengan membunuh "Husain, ketahuilah bahwa kemenangannja itu gagal dan hantjur. Disamping kehantjuran Bani Umajjah, timbul peringatan Karbala dan peringatan Husain jang berdjalan sampai hari kebangkitan. Demikian pendirian Sji'ah.

Hal ini sudah diperingatkan Zainab kepada Jazid tatkala ia berpidato menerangkan : „Hai Jazid, engkau menjangka bahwa engkau dengan memangkas diri kami akan menguasai bumi Tuhan jang luas dan langit Tuhan jang membumbung keangkasa dan dengan menghinakan kami sebagai engkau menghinakan tawanan2, bahwa kami akan dihinakan Tuhan dan engkau akan dimuljakannja ? Tidak, tjamkanlah. Tuhan tidak akan mengubak ketjuali dagingmu. Meskipun pidatomu ber-api2, aku tidak merasa ketjil menjerahkan diri kepada kekuasaanmu, engkau tidak akan dapat membesarkan perkosaan, engkau tidak dapat merampas kami. Kemegahanmu boleh engkau perbesarkan, kekajaanmu boleh engkau timbun2 dan perlawanan boleh engkau perbesar dan engkau perkuat, tetapi demi Tuhan engkau tidak dapat menghilangkan semangat jang ada pada kami, engkau tidak dapat menghilangkan djiwa kami, engkau tidak dapat merendahkan kami dari pada kedudukan kami. Pendapatmu hanja merupakan chajal, zaman kekuasaanmu hanja merupakan bilangan hari dan kesatuanmu hanja merupakan kekuatan sementara."

Utjjapan Zainab ini segera terbukti. Jazid dan chalifahnja djatuh satu persatu. Dinasti Umajjah tidak ada setengah abad sesudah pembunuhan Husain hantjur lebur. Orang2 Islam melaknatkan Jazid, dan berkumpul memperingati Imam Husain pada hari pembunuhannja dan hari kelahirannja pada tiap2 tahun. Mesir bangkit memukul rebananja pada hari lahir Imam dan hari wafat Imam Husain dan hari lahir saudaranja sebagai pahlawan2 Karbala. Bukanlah hanja orang2 Sji'ah sadja jang merajakan peringatan Husain itu, tetapi semua orang Islam, baik Adjam atau Arab, pada tiap sempat dan tempat. Kadang2 berlainan tjaranja, tapi tudjuan dan maksudnja satu dan bersamaan.

Mughnijah mentjeritakan, bahwa ia pernah membatja dalam madjalah „Al-Ghadi", jang terbit di Mesir, Pebruari tahun 1959, sebuah karangan jang berkepala „Maulid Sajjidah (Zainab dan hari-hari besar umat Arab".

7. BANI MARWAN DAN IBN ZUBAIR

Dengan hantjurnja Jazid hantjur pulalah keturunan Bani Sufjan dan berpindah pemerintahan Bani Umajjah kedalam tangan Bani Marwan, jang dimulai dengan Marwan bin Hakam, jang pemerintahannja berumur hanja sembilan bulan. Sementara ia sibuk menjelesaikan peperangannja, dari satu pihak melawan sisasisa Bani Sufjan, dari lain pihak menentang perlawanan Ibn Zubair, diteruskannja sikap Mu'awijah dan Jazid memusuhi Ali dan pengikutnja dengan setjara tjutji maki diatas mimbar dan menjuruh algodjonja menghukum ulama-ulama Sji'ah, seperti Sulaiman bin Sjarad Al-Chuza'i, Hasib bin Nudjban Al-Chuzari, Abdullah Al-Azdi d.U. pengikutnja jang tidak kurang dari lima ribu orang terbunuh.

Sebagaimana ajahnja, begitu djuga anaknja Abdul Malik jang memerintah Sjam tidak sedikit membasmi orang-orang Sji'ah dan menggunakan Ubaidillah bin Zijad melawan dan merantai pengikut-pengikut Ali itu, kebanjakan sampai mati.

Begitu Abdul Malik diangkat mendjadi radja, ia segera menulis surat kepada Al-Hadjdjadj : "Pelihara darah Bani Abdul Muttalib, kalau perlu lindungi, karena kulihat, bahwa keturunan Abu Sufjan dikala mereka menelan habis, mereka sendiri mendjadi susut kehabisan." Demikian amanat Abdul Malik hanja mentjegah pertumpahan darah Bani Abdul Muttalib, karena ketakutan tertumbang singgasananja, sedang darah keturunan Ali halal ditumpahkan.

Sementara Abdul Malik membunuh orang-orang jang sudah menjerah, atas perintah Ibn Zubair, Mas'ab membunuh golongan jang dinamakan muchtarin, tidak kurang tudjuh ribu orang, termasuk perempuan dan anak-anak ketjil. Wanita-wanita pahlawan ini sampai kepada saat terachir menjalakan kesetiaannja kepada Ali bin Abi Thalib. Keberanian orang-orang Sji'ah dikagumi. Muhammad bin Hanifah berani menaiki mimbar dan menolak keluar Ibn Zubair jang sedang mentjatji maki keluarga Rasulullah, dan meneruskan chotbahnja dengan mentjatji maki Ibn Zubair, dan achirnja mendjadi korban pula. Abdul Malik menggunakan Al-Hadjdjadj sebagai pelaksana dendamnja jang kedjam. Tidak ada seorang Sji'ah jang aman dalam tangannja, meskipun sudah menjerah, dan hukumannja diluar prikemanusiaan, seperti potong lidah, potong tangan dan kaki dan disula hidup-hidup. Qambar, pelajan Saidina Ali disembelihnja seperti menjembelih kambing dan Kumail bin Zijad, seorang Sji'ah jang saleh dan sudah terlalu tua, dikedjar diuber-uber achirnja dibunuh. Sa'id bin Zubair seorang Tabi'in jang zahid, ahli ibadat, ahli Ilmu tafsir, murid Imam Zainul Abidin, ditangkap oleh Qusri dan dikirimkan kepada Al-Hadjdjadj, jang dihukum bunuh, hanja karena menerangkan bahwa Abubakar dan Umar masuk sorga sebagai chalifah. Ibn Asir menerangkan, bahwa Sa'id bin Zubair dikala kepalanja putus dari badannja, masih kedengaran mulutnja mengutjapkan sjahadat. Pada malam hari Al-Hadjdjadj bermimpi, bahwa Sa'id bertanja kepadanja : "Apa salahku engkau bunuh, wahai musuh Allah ?"

Al-Hadjdjadj djuga merusakkan kehormatan wanita-wanita bangsawan. Ia pernah memaksakan dengan pedangnja gadis Asma anak kepala suku Bani Fazarah dan gadis Sa'id bin Qais AlHamdani, radja Al-Jamanijah, dengan Abdullah bin Hani, seorang pesuruhnja jang biasa, seorang jang berlaku buruk dan djelek mukanja. Baik Al-Mas'udi, maupun Ibn Asir mengetjam Al-Hadjdjadj habis-habisan atas kekedjamannja dan durhakanja.

Apa jang diperbuatnja atas Ibn Zubair di Mekkah, semua orang dapat membatja dalam sedjarah Islam. Dan kekedjamannja itu dilakukan disekitar Masdjidil Haram dan disaksikan oleh Ka'bah, ditanah Haram, dimana menurut adjaran Islam seekor semutpun tidak boleh dibunuh.

Sesudah selesai dengan Ibn Zubair, ia meneruskan kekedjamannja ke Madinah dan menghabiskan sisa-sisa Sahabat dan Anshar Nabi, diantaranja Djabir bin Abdullah Al-Anshari dan Sanal bin Sa'ad (Thabari).

Menurut Ibn Mas'ud dalam kitabnja "Murudjuz Zahab" (1948 III: 175) selama Al-Hadjdjadj mendjadi panglima perang dua puluh lima tahun ia telah membunuh rakjat biasa sebanjak dua puluh ribu orang, tidak termasuk kedalam djumlah ini orang-orang jang terbunuh dalam peperangan dan pemberontakan dimana-mana. Tatkala Al-Hadjdjadj mati, masih didapati orang lima puluh ribu tawanan perempuan, jang diantara mereka enam belas ribu telandjang bulat. Kebiasaan Al-Hadjdjadj menawan laki2 dan perempuan dalam sebuah pendjara, jang terbuka musim panas dan dingin dan tidak ketahuan makan dan minumnja.

Mughnijah menerangkan : "Ini adalah tjontoh-tjontoh ketjil daripada kezaliman Al-Hadjdjadj, jang disebut-sebut oleh ahli sedjarah dalam kitab-kitabnja. Apa jang aku batja dan aku dengar tentang Al-Hadjdjadj ini, memperbuat aku memperbandingkannja dengan Nero, jang pernah menjuruh membakar kota Roma, kemudian ia duduk terbahak-bahak, melihat kepada lidah-lidah api jang menjala-njala membakar wanita-wanita, orang-orng tua dan anak2 jang putus asa lari kesana-kemari. Al-Hadjdjadj adalah musuh Allah dan prikemanusiaan pada umumnja dan musuh Nabi Muhammad serta keturunannja pada chususnja. Hari-hari pemerintahannja adalah hari-hari jang merupakan azab jang tersukar bagi golongan Sji'ah, dalam masa pemerintahan Mu'awijah dan Jazid, ketjuali hari-hari ketenangan dibelakangnja. Bagaimana tidak, karena Al-Hadjdjadj lebih suka menamakan Ali itu zindiq dan kafir daripada menamakannja Sahabat. Hanja karena keturunan Ali ini sadja Sji'ah dianggap orang djahat dan berhak dihukum berat (Asj-Sji'ah wal Hakimun, 1962, hal. 98—99).

Meskipun agak tenang mengenai permusuhan, sikap Walid bin Abdul Malik mentjemaskan, karena ketika itu jang diangkat mendjadi gubernur di Mekkah ialah Chalid bin Abdullah Al-Qusri, jang masih mempermainkan nama chalifah diatas mimbar. Chalid menjuruh membawa air sungai Eufrat ke Mekkah untuk menilai dengan air zam-zam. Diantara edjekan-edjekannja ialah, bahwa ia memudji-mudji chalifah Walid dari Bani Marwan dan mengatakan, bahwa djika perlu akan dipindahkannja Ka'bah ke Sjam, atas perintahnja, dan bahwa chalifahnja itu mulia pada Allah daripada Nabi-Nabinja.

Chalid Al-Qusri ini adalah seorang kafir zindiq, ibunja adalah seorang Nasrani, ia memasukkan banjak adjaran-adjaran Nasrani kedalam Islam. Tatkala ia mendjadi gubernur di Kufah, ia mendirikan sebuah geredja untuk ibunja didepan mesdjid (Terich Datotafctl Artobijàh, hal. 319).

8. UMAR BIN ABDUL AZIZ DAN SJI'AH,

Diantara kekedjaman Bani Umajjah terhadap Sji'ah ialah apa jang dinamakan mala'nat atau mengutuk Ali diatas mimbar dan dalam chotbah-chotbah Djum'at jang mula pertama dimulai oleh Mu'awijah bin Abi Sufjan sendiri, kemudian diikuti oleh Jazid, Marwan, Abdul Malik dan Walid, jang lalu merupakan instruksi umum diseluruh keradjaan Bani Umajjah. Segala isi dada dan dendam kepada Ali bin Abi Thalib ditjurahkan dalam segala matjam susunan kalimat jang kedji. Walid pernah menjebut nama Ali dengan menjusulkan dibelakangnja kutukan "la'natullah", "anak pentjuri", sehingga orang mendjadi heran, apakah utjapan jang demikian itu lajak ditudjukan kepada kemenakan dan menantu Nabi serta seorang sahabat besar daripada chulafaur rasjidin (M. Djawad Mughnijjah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, Beirut 1962, hal. 105).

Mughnijjah mentjeriterakan djuga, bahwa Chalid bin Abdullah al-Qusri, salah seorang ulama besar Bani Umajjah djuga pernah melantjarkan kata-kata jang kedji kepada Ali di Mesdjid Mekkah sebagai do'a dalam chotbahnja : "Ja Tuhanku, la'natilah Ali bin Abi Thalib anak Abdul Muttalib anak Hasjim, menantu Nabi, ajah Hasan dan Husain !" Semua orang jang hadir meneteskan air mata dan menekan perasaan ketika mendengar kata2 jang tidak lajak dalam chotbah itu, karena orang tahu! bahwa membeda-bedakan sahabat Nabi, apalagi mentjatji-makinja didalam chotbah Djum'at, tidak lajak diutjapkan oleh mulut seorang Islam.

Chotbah ini membuat Ubaidillah Assahmi menjerang dengan sjair-sjairnja jang berirama sbb. :

Tuhan mela'nat pengutuk Ali,

Pentjatji maki anak tjutjunja,

Sedangkan neneknja tali-temali,

Hubungan bapak serta pamannja.

Demikian kelakuan bangsawan,

Kotor hati serta mulutnja,

Mentjintai burung terbang diawan,

Tetapi mendendam keluarga nabinja.

Indah budimu wahai djundjungan,

Serta keturunan semuanja,

Selalu mengeluarkan kata sandjungan.

Mengutjapkan salam tanja menanja.

(Dala'ilus Shidiq, karangan Ibn Abil Hadid djuz III, hal. 476, djuz I. hal. 366).

Kazaliman Bani Umajjah itu, meskipun digunakan sebagai topeng politik, berachir pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, jang melarang menggunakan chotbah Djum'at untuk serang-menjerang. Sebaliknja dialah jang mula-mula memperdekatkan kembali antara Bani Umajjah dan Sji'ah serta menghapuskan suasana permusuhan antara dua keturunan jang sebenarnja satu mojang dan seasal.

Perubahan sikap Umar bin Abdul Aziz bukan tidak ada latar belakangnja. Sedjak ia mendjadi gubernur di Madinah, ia sudah menundjukkan pembawaan bentji kepada kezaliman dan atjapkali mengeluh tentang kekedjaman Al-Hadjdjadj.

Tetapi saja berpendapat, bahwa bukan pembawaannja sadja jang mempengaruhi sifatnja, tetapi djuga pendidikannja. Meskipun ia seorang pangeran keturunan Bani Umajjah jang. hidup dalam istana, dimasa ketjil ia menerima pendidikan dari seorang ulama jang baik, tjutju dari Ibn Mas'ud, sahabat Nabi jang terkenal itu.

Umar -bin Abdul Aziz mentjeriterakan pengalamannja dengan gurunja itu sbb. :

"Aku beladjar membatja Qur'an pada anak Utbah bin Mas'ud. Pada suatu hari sedang aku bermain-main dengan anak-anak lain dan sedang sibuk, kami mengutuk Ali, ia lalu dekat aku dengan muka jang masam tidak menegur, terus masuk kedalam mesdjid. Melihat sikapnja jang kurang senang itu, aku tinggalkan anak-anak sepermainan segera aku datanginja untuk menerima peladjaran. Tatkala ia melihat aku, ia terus berdiri sembahjang, dan diperpndjangkannja sembahjang itu seolah-olah ia hendak menghindarkan pertemuannja dengan aku, sehingga akupun merasakan sesuatu dalam hatiku. Kutunggu sampai ia selesai sembahjang. Dan sesudah ia selesai, ia menghadapi daku dengan mukanja jang murung. Aku bertanja kepadanja mengapa ia bersikap demikian menghadapi daku. Ia mendjawab : "Karena engkau mela'nati Ali, bukankah demikian ?" Sahutku : "Ja, benar". Maka iapun berkata : "Apakah engkau mengetahui bahwa Allah pernah marah kepada pengikut perang Badar dan peserta Sumpah Ridwan, sesudah Tuhan mengurniai mereka keridhaannja ?" Kataku: "Apakah Ali seorang dari pedjuang Badar ?" Djawabnja : "Tjis. semua kemenangan Badar atas usahanja !"

Lalu aku berkata : "Wahai tuan guru, aku tidak akan ulangi lagi." Ia bertanja kepadaku : "Apakah engkau berdjandji dengan nama Allah bahwa engkau tidak mengulanginja kutuk terhadap Ali ?" Aku mendjawab, bahwa aku berdjandji dan sedjak itu aku tidak pernah lagi mela'nati Abi bin Abi Thalib."

Latar belakang jang lain adalah sbb. : Umar bin Abdul Aziz mentjeriterakan, bahwa ia pernah hadir, tatkala ajahnja berchotbah di Madinah pada hari Djum'at. Ia lihat ajahnja mengatjau dalam chotbahnja dengan menjerang dan mengutuk Ali, jang membuat ia heran. Pada suatu hari ia berkata kepada bapaknja : "Ajah, engkau seorang chatib jang paling baik dan paling fasih, tjuma djika engkau sudah mulai mengutuk orang dalam chotbahmu, mungkin djauh nilaimu dalam mata orang." Ajahnja berasa bahwa anaknja melihat jang demikian itu, lalu udjarnja : "Hai anakku djika penduduk Sjam dan orang2 lain mengetahui tentang keutamaan Ali, sebagaimana jang kita ketahui, pasti seorangpun tidak ada jang mengikuti kita, semuanja akan meninggalkan kita dan menjebelah kepihak tjutju Ali." Umar menerangkan, bahwa keterangan bapaknja itu termasuk dalam hati ketjilnja, sebagaimana telah melekat kepadanja utjapan gurunja pada waktu ia masih ketjil. Katanja : "Aku lalu berdjandji dengan Tuhan, akan mengubah keadaan ini, djika pada suatu masa aku dianugerhi Tuhan memegang kendali pemerintahan" (Mughnijjah, Asj-Sji'ah wal Hakimun, hal. 106).

Umar menepati djandjinja dan melenjapkan penggunaan kutuk dan serangan terhadap Ali dalam chotbah. Ditempat orang mengutjapkan kutuk dan ketjaman, diperintahkan membatja ajat Qur'an, jang berbunji : "Tuhan Allah menjuruh berbuat adil dan menjuruh berbuat kebadjikan dan menjuruh mentjintai sanak kerabat dan menjuruh mentjegah perbuatan jang kedji dan, munkar serta segala kedjahatan. Tuhan Allah memperingatkan hal itu kepadamu, semoga engkau mengingatnja" (Qur'an).

Perintah ini disiarkan keseluruh keradjaan Bani Umajjah dan semua mesdjid menerima dengan rasa sjukur, sehingqa umat manusia memudji-mudji sikap Umar Ibn Abdul Aziz atas kebidjaksanaannja (Ibn Asir, Hawadis Sanah 69).

Memang dalam sedjarah Islam dua Umar jang terpudji. Umar ibn Chattab, Chalifah jang kedua dan Umar bin Abdul Aziz. dari Bani Umajjah, kedua-duanja adalah pentjipta daripada keradjaan Islam jang adil, dimana rakjat hidup makmur dan damai.

Pernah kita mendengar tjeritera bahwa Umar bin Abdul Aziz memerintahkan sekretarisnja untuk membagi-baai zakat kepada oran2 miskin dalam pemerintahannja. Sebulan lamanja sekretaris itu keliling, tetapi tidak ada seorangpun jang merasa berhak menerima zakat itu dengan alasan : "Kami sudah mendjadi kaja karena keadilan Umar bin Abdul Aziz".

Sikap Umar jang bidjaksana itu tak dapat tidak didorong dan dipupuk oleh gurunja Ibn Utbah bin Mas'ud, seorang jang teguh imannja dan mendalam tjintanja kepada Allah dan Rasulnja serta ahli rumahnja. Beberapa waktu ketjintaan ini disembunjikan, karena berbahaja djika dilahirkannja tetapi dimana ada kesempatan dimasukkannja adjaran jang baik itu kepada Umar bin Abdul Aziz, jang menurut penglihatannja mempunjai pembawaan kearah damai. Usaha ini tidak sia-sia, dan Umar bin Abdul Aziz mendjadi seorang besar dalam sedjarah Islam. Keutamaan Umar kembali kepada gurunja jang merahasiakan niat baiknja dari detik-kedetik, dan menelan air mata dari tetes-ketetes tatkala mendengar tjutji maki terhadap Ali.

Tetapi sajang rahasia ini kemudian terbuka, dan dengan tuduhan, bahwa ia kaki tangan Sji'ah, ia dihukum bunuh dan dikubur kan hidup-hidup.

9. BANI ABBAS DAN SJI'AH.

Sebenarnja Bani Abbas lebih dekat kepada Sji'ah daripada Bani Umajjah, Tetapi kekuasaan dan keduniaan jang djatuh ketangannja membuat mereka tamak, ditambah pula oleh fitnah2 jang dimasukkan oleh manteri-manteri dan pembesar-pembesarnja. Mereka mendjadi hasad dan mendendami golongan Sji'ah, terutama dalam masa Abul Abbas As-Safah (749—754 M.) dalam masa Abu Dja'far Al-Mansur (754—775 M.), dimana kaum Sji'ah di Hedjaz mulai memberontak menentang kekuasaan Abbassijah. Pada masa Musa Al-Hadi (785—786 M.) terdjadi lagi pemberontakan kaum Alawijjin di Hedjaz, dibawah pimpinan Husain bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Oleh penduduk Madinah Husain diangkat mendjadi chalifah. Tetapi Husain dengan para pengikutnja dapat dikalahkan oleh tentara Abbasijjah di Wadi Fuch, antara kota Madinah dan Mekkah.

Dikala-kala Bani Abbas dalam pemerintahannja mendekati Sji'ah, seperti jang terdjadi dalam masa Abu Muslim Al-Churasani dan Harun-Ar-Rasjid (786—809 M.), tenteranja mendjadi kuat dan dengan mudah dapat menentang sisa-sisa kekuatan Bani Umajjah. Dengan demikian kita lihat kerdjasama ini pernah ditjoba setjara resmi oleh Al-Ma'mun, terutama untuk menarik hati Parsi jang kebanjakannja bermazhab Sji'ah, tetapi dalam djalan sedjarah selandjutnja selalu kita dapati hasad dan dengki terhadap golongan Sji'ah itu.

Saja tjari-tjari sebabnja. Kitab-kitab sedjarah hanja menerangkan, bahwa sebab-sebabnja itu ialah karena orang Sji'ah lebih mengutamakan agama dan kehidupan achirat, sedang Bani Abbas kebanjakannja mengutamakan kehidupan duniawi dan tamak dalam memperluaskan daerah pemerintahan Arabnja.

Tetapi apakah tidak ada sebab jang lain, jang mendjadi pokok dendam jang lebih mendalam. Apakah pokok dendam ini tidak dimulai dari masa, ketika dalam salah satu peperangan Abbas tertawan dan diikat pada sebatang tiang, dimana Ali bin Abi Thalib lalu dan mengedjeknja sebagai seorang musjrik penjembah berhala, meskipun Abbas mengemukakan djasa-djasanja dalam memperbaiki Ka'bah. Kedua bukankah hasad ini ditimbulkan karena orang-orang jang merupakan imam Sji'ah Ali itu adalah orang-orang jang sangat ditjintai oleh Sahabat-Sahabat dan Tabi'in, serta umat banjak, sehingga kehormatan jang diberikan kepada imam-imam keturunan Ali ini djauh melebihi kehormatan rakjat terhadap chalifah-chalifah Abbasijjah.

Satu diantara tjontoh jang banjak ialah kedjadian dalam masa Chalifah Ma'mum (809—833 M.), dimana Imam Ali ArRidha demikian besar kedudukannja dalam mata rakjat, sehingga mentjemaskan chalifah dan seluruh pembesarnja. Mughnijah mentjeriterakan dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimun" (Beirut, 1962, hal. 166) tentang imam Ali bin Musa bin Dja'far, jang disebut Imam Ridha, sebagai berikut :

"Imam Ali bin Musa bin Dja'far adalah manusia jang sebaikbaiknja dalam masanja, seorang jang mempunjai kedudukan tinggi dan terhormat dalam agama dan dalam pandangan manusia ketika itu. Ahli-ahli sedjarah menerangkan, bahwa Imam Ridha apabila ia melalui djalan raja berbondong-bondong manusia, rakjat dan jang berpangkat, mengikutinja. Ia diikuti oleh ulama-ulama dan ahli fiqh dengan kenderaan dan tunggangan, untuk menanjakan betmatjam-matjam masalah, jang melimpah-limpah dari ilmunja. Orang-orang mengudjinja dan memudji keturunannja. Pernah ia melalui djalan besar di Naisabur, untuk mengimami sembahjang Hari Raja. Ditempat ia berdjalan itu penuh sesak manusia, segala djalan dan lorong padat, begitu djuga tingkattingkat rumah dan atap penuh dengan laki-laki perempuan dan anak-anak. Tatkala ia melihat kelangit dan mengutjapkan takbir, seakan-akan djawaban takbirnja oleh lautan manusia itu menggontjangkan gedung-gedung langit dan bumi disekitarnja. Ketjintaan manusia kepadanja tidak dapat ditahan-tahan, jang membuat pengaruhnja begitu besar dalam kalangan umat, sehingga pengaruh jang demikian itu tidak pernah ditjapai oleh seorang radja Abbasijahpun, meskipun jang terbesar dalam sedjarahnja seperti Harunur Rasjid. Kepergiannja kesembahjang hari raja pada waktu itu disaksikan oleh Al-Fadhal bin Sahal, pembesar dari Chalifah Ma'mun, jang menjampaikan berita itu kepada madjikannja dengan penuh takdjub, sambil menjatakan pendapatnja dengan segera, bahwa, djika Imam Ridha pada hari itu dibiarkan mengimami shalat untuk lautan manusia jang sekian banjaknja, pasti akan menimbulkan fitnah sebagai akibatnja. Ia minta agar Chalifah Ma'mum segera melarang Imam Ridha meneruskan perdjalanannja dan memerintahkan balik kembali." (hal. 166).

Maka pulanglah orang besar ini dengan ta'at kepada perintah radja meninggalkan sembahjangnja, sedang rakjat disekitarnja mengikutinja dengan teriak dan tjutjuran air mata.

Bagaimanakah tidak mendjadikan hasad bagi radja-radja Abbasijah ketjintaan orang banjak jang meluap-luap kepada keturunan Ali, dan hasad ini lama-kelamaan berubah mendjadi haqad, dendam chasumat dan iri hati, jang lalu disalurkan dalam tindakan-tindakannja untuk menghantjurkan keluarga Ahlil Bait ini. Sedang sebaliknja segala tantangan itu selalu didjawab dengan lunak lembut, sopan santun penuh dengan sabar dan ta'at, sesuai dengan achlak-achlak terpudji, jang terdapat pada golongan ini.

Oleh karena Ma'mun tahu, bahwa pengaruh umum ada sama Imam Ridha, pernah ia menanjakan Imam ini pada suatu hari dengn kasar, dan pertjakapan itu kita salinkan dibawah ini.

Ma'mun : Aku ingin turun dari singgasana chalifah, dan kedudukan kehormatan ini kuserahkan kepadamu.

Ridha : Djika singgasana Chalifah itu hakmu, dan engkau menganggap dirimu tjakap untuk itu, lebih baik djangan engkau tinggalkan dan djangan engkau serahkan kepada orang lain.

Ma'mun : Mesti engkau terima penjerahan ini.

Ridha : Aku lebih bangga dan merasa beruntung dalam ibadah, dan dengan zuhud dalam dunia aku ingin terlepas dari pada kedjahatan duniawi, terbebas daripada segala jang diharamkan Tuhan, dan dengan tawadhu' aku mengharapkan tingkat jang lebih mulia pada sisi Allah.

Ma'mun : Djika engkau tidak mau menerima kedudukan chalifah ini, aku mengharap engkau terima kedudukan putera mahkota.

Ridha : Sekali-kali aku tidak akan memilih tawaran itu.

Ma'mum dengan menjindir : Sebenarnja engkau bermaksud dengan zuhudmu kedudukan duniawi dalam mata umum.

Ridha : Demi Allah aku tak pernah berdusta sedjak aku dilahirkan Tuhan, dan belum pernah aku zuhud didunia untuk kepentingan dunia. Aku tidak mengerti maksudmu.

Ma'mun : Apa jang kau maksudkan ?

Ridha : Barangkali engkau maksudkan, agar manusia berkata, bahwa Ali bin Musa ar-Ridha, tidak zuhud jang sebenarnja tetapi aku berlaku pura-pura zuhud didunia. Apakah engkau tidak melihat hal jang demikian itu, djika kesempatan mendjadi putera mahkota ini aku terima ? Maka Ma'munpun marah dan berkata dengan kedjam: Demi Allah ! Djika engkau tidak mau menerima tawaranku ini, aku akan tebaskan lehermu.

Ridha : Allah telah melarang kepadaku untuk meletakkan tanganku turut dalam kebinasaan. Djika engkau telah mempunjai niat demikian, teruskan niatmu, aku terima dengan pendirian, aku tidak menjuruh, aku tidak melarang, aku tidak bertindak dan aku tidak mengubah sesuatu.

Siapa jang menjangka, bahwa pertjakapan ini merupakan pantjingan pertentangan, jang mengakibatkan pembunuhan atas diri Imam Ridha, dengan menggunakan ratjun. Segala apa jang dapat dilakukan, telah dikerdjakan oleh imam ini sedjak pemerintahan Rasjid, ajahnja Ma'mun jang tidak kurang melakukan kekedjaman kepada Imam Ridha itu. Sajid Al-Amin dalam kitab "A'jan.usj Sji'ah" (1:60), mentjeriterakan, bahwa sesudah wafat Imam Al-Kazim, Rasjid mengirimkan suatu kekuatan tentara ke Madinah dengan perintah menghantjurkan seluruh perkampungan keturunan Abu Thalib dan merampasi semua harta benda wanitanja, meskipun sepotong kain dibadannja. Konon dikatakan, bahwa tentara itu sampai kekampung Imam Ridha, jang mengetahui kedatangannja dan mengumpulkan semua wanita-wanita itu dalam sebuah rumah, sedang ia sendiri berdiri didepan pintu rumah itu. Kepala tentara itu berkata : "Berikan kami masuk akan mengambil semua barang wanita itu." Imam tidak memberikan ia masuk, tetapi ia sendiri pergi mengambil semua harta benda dan pakaian jang ada pada diri wanita-wanita itu, jang diangkutnja untuk diserahkan kepada Rasjid.

Konon Ma'mun membawa perobahan, ia mengantjam kepada tentara itu akan membunuhnja atas perbuatan jang kedjam. Imam Ridha jang kebetulan hadir ketika itu meminta ampun untuk keselamatan kepala tentara itu.

Kelakuan-kelakuan jang seperti ini membuat rakjat dalam masa Bani Abbas lebih mentjintai keturunan Ali.

Selain daripada itu ulama-ulama hampir semuanja berpihak kepada imam itu, jang terdiri daripada orang-orang alim dan zahid, sebaliknja daripada keadaan radja-radja dan pangeran-pangeran Bani Abbas, jang terdiri daripada orang-orang jang kurang pengetahuannja tentang agama dan banjak diantaranja jang tidak mendjalankan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memusuhi ulama-ulama besar jang hidup ketika itu, hanja karena fatwa-fatwanja jang sesuai dengan hukum Islam, kelihatan seakan-akan membela pendirian Sji'ah. Kita lihat, bagaimana ulama-ulama beroleh kedudukan selama mereka ta'at kepada pemerintahan Abbasijah dan bagaimana siksaan atau hukuman jang didjatuhkan kepada mereka jang tidak mau kerdjasama dengan Bani Abbas itu, seperti Malik, Abu Hanifah, Sufjan as-Sauri, Ahmad bin Hanbal dll., jang semuanja berguru kepada ulama-ulama keturunan Ali bin Abi Thalib, seperti Imam Dja'far AshShadiq.

Saja sangka, bahwa dendam Bani Abbas kepada Sji'ah itu lebih banjak terletak dalam iri hati terhadap pengaruh jang besar dan ilmu pengetahuan jang melimpah-limpah, jang diperoleh imam-imam merupakan ketjintaan rakjat umum kepadanja, sehingga djika dibandingkan dengan pengaruh dan kekuasaan jang ditjapai oleh Bani Abbas jang memerintah itu, tidak ada artinja sama sekali. Dalam pandangan rakjat radja-radja Bani Abbas itu hanja orang-orang jang tamak kepada kekuasaan duniawi dan kepada harta benda serta kekajaan, jang dikumpulkan dari bangsa-bangsa jang ditaklukkannja dengan pertumpahan darah, baik bangsa-bangsa Arab. maupun bangsa-bangsa Parsi atau bangsa Adjam jang lain.

Dendam chasumat dari radja-radja Bani Abbas ini terhadap kepada imam-imam dan orang-orangnja akan kita bitjarakan dalam perintjian berikut ini.

IV. SJI'AH IMAMIJAH

5. WASIAT NABI KEPADA ALI

Salah satu perbedaan paham jang besar antara Sji'ah dan Ali Sunnah ialah, bahwa Ahli Sunnah tidak mau mengaku ada nash mengenai wasiat Nabi Muhammad tentang pengangkatan Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifahnja sesudah ia wafat. Sudah kita terangkan, bahwa meskipun seseorang Islam mau mejakini chalifah atau Imamah Ali atau tidak, ia tidak keluar dari agama Islam, karena persoalan ini merupakan persoalan mazhab. Tetapi oleh karena kejakinan imamah ini merupakan dasar perdjuangan pokok daripada gerakan Sji'ah, ada baiknja djika kita ketahui alasan-alasan agamanja mengenai persoalan itu dan perlainan alasan dari gerakan Ahli Sunnah. jang selalu menentang adanja nash, jang mewadjibkan Ali bin Abi Thalib diangkat sebagai chalifah jang pertama sesudah wafat Nabi.

Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak adanja wasiat Nabi mengenai Ali, berdasarkan diantara lain kepada sebuah hadis, jang diriwajatkan oleh Buchari dalam Sahihnja daripada Al-Aswad. Kata Al-Aswad bahwa Aisjah pada suatu hari ditanjakan orang tentang wasiat Nabi kepada Ali, lalu ia mendjawab dengan keheranan : „Siapa jang mengatakannja ? Pada waktu Nabi akan wafat, ia bersandar kepada dadaku dan ia meminta air untuk membersihkan mukanja, lalu ia wafat. Bagaimana ia meninggalkan wasiat kepada Ali ?"

Hadis ini dikeluarkan Buchari dalam kitab wasiat, hal 83. djuz jang ke-II dari kitab Sahihnja. djuga disinggungnja dalam bab Nabi Sakit dan wafat hal 64 djuz ke III dari kitab jang sama sebagaimana Muslim mengemukakannja dalam djuz ke II. hal 14 dari kitab Sahihnja. Hadis jang sematjam ini banjak diriwajatkan Buchari dari bermatjam sumber dan dengan bermatjam lafadh. Dalam kitab Hadis Muslim dikemukakan sebuah hadis dari Aisjah. jang berkata : „Rasulullah tidak meninggalkan satu dinar atau satu dirham, atau seekor kambing atau seekor kuda, serta tidak mewasiatkan sesuatu".

Dalam dua kitab Sahih Buchari dan Muslim dimuat sebuah hadis berasal dari Thalhah bin Masraf. katanja : „Saja tanjakan kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah Nabi pernah meninggalkan wasiat ?". Katanja : „Tidak". Lalu kataku : „Bagaimana ia menulis wasiat kepada manusia, kemudian ia meninggalkannja ?". Djawabnja : „Ia berwasiat dengan kitab Allah". Dengan alasan-alasan ini Ahli Sunnah wal Djama'ah menolak ' adanja wasiat Nabi, jang menjuruh mengangkat Ali sebagai chalifah sesudah wafatnja.

Tetapi orang Sji'ah mempunjai alasan-alasan jang tjukup kuat pula untuk menundjukkan nash-nash mengenai wasiat itu dan mempertahankan pendiriannja, bahwa Nabi Muhammad memang sudah berkali-kali mewasiatkan agar Ali bin Abi Thalib mendjadi chalifah, jang akan meneruskan urusan agama Islam. Wasiat itu katanja tidak dapat disangkal lagi. sesudah Nabi mewariskan kepadanja ilmu dan chidmat (Al-Musawi. Al-Muradja'at, no 66, hal 234), sesudah Nabi memerintahkan Ali dikala mati memandiKannja. mengafaninja serta menguburkannya (Ibn Sa'ad dj. II, bg. 2 hal, 61, dan djuga hadis-hadis lain, sesudah Nabi meneruskan penjiaran agamanja, melaksanakan djandjinja dan tjita-tjitanja (Hadis Thabrani, Abu Ju'la, Ibn Mardawaih. Dailumi dll sesudah Nabi menerangkan kepada umatnja. apa jang akan mereka pertengkarkan dan menjuruh Ali menjelesaikannja (Dailumi Abu Zar, Dailumi bin Anas, lih. Kanzul Ummal, VI : 156), sesudah dijelaskan bahwa Ali saudaranja (Hadis Ummu Sulaim dim Masnad imam Ahmad V : 31. ajah anaknja Abu Ju'la (sesudah dinjatakan djadi wazirnja (Ahmad, Nasa'i. Hakim. Zahabi dll), sesudah dinjatakan pemenangnja (Hakim, Mustadrak II : 472), sesudah dinjatakan mendjadi walinja dan orang jang diwasiatkan (Ibn Abbas), sesudah disebutkan Ali djadi pintu gudang ilmunja (Thabrani Ibn Abbas. Hakim-Djabir). sesudah digelarkan kampung hikmahnja (Tarmizi, Ibn Djarir), sesudah Ali dinjatakan mendjadi pintu perlindungan umat (Darquthnrlbn Abbas), sesudah dinjatakan mendjadi ketjintaanja, sesudah dinjatakan mendjadi penghulu orang Islam, Imam Aulia Allah, sesudah ditempatkan seperti tempat Nabi Harun dan Musa, sesudah diterangkan semisal kepala dan badan dengan dia, dan sesudah dinjatakan Ali itu dipilih Tuhan untuk dunia ini dsb. Orang Sji'ah menganggap semua hadis-hadis itu merupakan wasiat atau penundjukan Ali sebagai gantinja. Mazhab Empat menolaknja, hanjalah karena dianggap tidak sesuai dengan sesudah kedjadian keangkatan tiga chalifah sebelum Ali dan keputusan Sji'ah diambil lama sesudah kedjadian itu.

Orang Sji'ah menerangkan, bahwa pendapat Ibn Abi Aufa. bahwa Nabi ada meninggalkan wasiatnja berupa Kitabullah benar adanja. tetapi sebagaimana disebutkan dalam hadis "Saqalain", kitab itu ditinggalkan bersama-sama dengan „'Itrah". keluarganja. jang terpenting Ali bin Abi Thalib.

Djuga orang Sji'ah tidak menjangkal. bahwa Sitti Aisjah adalah salah seorang isteri Nabi jang afdhal. tetapi bukan jang utama dan pertama, karena banjak hadis (diantaranja dari Aisjah sendiri) menerangkan, bahwa Nabi pernah berkata : "Wanita utama ialah Chadidjah binti Chuwailid. Fatihimah binti Muhammad, Asjah binti Mazahim dan Marjam binti Imran, semuanja wanita utama ini isi sorga" (Buchari). Selain daripada itu tatkala Safijah binti Hujaj menangis karena diedjek Aisjah dan Hafsah, Nabi menjuruh mengatakan kepada kedua isterinja jang lain itu, bahwa ia lebih baik daripada mereka, karena ajahnja Harun, pamannja Musa dan suaminja Muhammad (Tarmizi).

Dengan tidak mengurangi kelebihan Aisjah sebagai ibu orang mu'min dan isteri Nabi jang disajanginja, orang Sji'ah menundjukkan beberapa perkara, dimana Aisjah kelihatan agak tidak sangat keistimewaannja Ali dalam utjapannja. Salah satu sikapnja jang dapat menggambarkan suasana ini ialah tindakannja dalam peperangan Djamal Besar, dimana Aisjah dengan tenteranja menghadapi pasukan Ali bin Abi Thalib. sebagaimana jang diterangkan oleh Ibn Djarir dan Ibn Asir dalam kitab2 sedjarahnja. Selain daripada itu, pada waktu ia menerangkan kisah Rasulullah sakit dan digotong dua orang kiri-kanannja, ia hanja menjebut jang menggotong itu seorang bernama Abbas bin Abdul Muttal'b sedang jang lain disebut sadja seorang laki-laki, padahal ia kenal namanja. menurut Ibn Abbas, Aisjah tahu bahwa orang itu adalah Ali bin Abi Thalib.

Lain tjontoh lagi tentang sikap Aisjah ini terhadap Ali ialah, bahwa ia lebih banjak berbitjara tentang Ammar daripada Ali, taikala kedua-duanja datang kepada Aisjah (Masnad Imam Ahmad VI : 113). Pada waktu itu Aisjah tidak mau berbitjara tentang Ali dan ia menerangkan, apa jang harus dikerdjakan oleh Ammar.

Penjembunjian jang sematjam ini dari Aisjah tentu digerakkan oleh rasa kurang senang terhadap Ali. dan oleh karena itu orang sji'ah menganggap, bahwa banjak hal-hal jang tidak disampaikan oleh Aisjah mengenai Ali. Nas2 mereka mengenai wasiat dianggap iebih kuat daripada beberapa hadis umum jang diriwajatkan oleh Aisjah.

Saja peringatkan disini akan suatu perkara antara Sitti Aisjah dan Ali, dikala Aisjah mendapat tuduhan dari kaum munafik Madinah, karena ketinggalan kafilah dalam sesuatu peperangan, perkara jang dikenal dalam sedjarah Islam dengan Hadis Ifki. Dikala itu Ali mengeluarkan pendapatnja kepada Nabi, jang rupanja menjinggung perasaan Sitti Aisjah. Kemudian ada pula perkara tanah jang oleh Sitti Fathimah dianggap berhak menerimanja sebagai pusaka, tetapi oleh Abu Bakar, jang ketika itu mendjadi chalifah diputuskan, bahwa Nabi tidak meninggalkan harta pusaka kepadanja. Rupanja kedjadian-kedjadian ketjil ini djuga mempengaruhi sikap sebagian golongan Sji'ah terhadap mereka jg menduduki singgasana sesudah wafat Nabi. dengan-akibat'jang berlarut-larut.

Kembali kepada wasiat Nabi kepada Ali, Sji'ah berpendapat, bahwa hadis-hadis jang digunakan oleh Ahli Sunnah, sebagai jang kita sebutkan diatas, tidak tjukup sah dan kuatnja untuk menolak sekian banjak berita utjapan Rasulullah, jang telah membajangkan Ali sebagai chalifahnja. Hadis-Hadis Aisjah itu menundjukkan keadaan umum, bahwa Rasulullah tidak meninggalkan 'harta benda, emas dan perak, karena kita ketahui tak 'ada penghargaannja kepada kekajaan duniawi, tetapi ada wasiat2 jang lebih penting, jaitu mengenai penjelenggaraan agamanja, jang ditinggalkannja berupa „Kitabullah dan keluarganja jang sutji. jang tidak dapat dipisahkan sampai hari kiamat."

Rasulullah telah mewasiatkan kepada Ali pada permulaan da'wah Islam sebelum lahir, sebelum kuat Islam itu di Mekkah.. dengan perintah Tuhan : "Berikanlah peladjaran kepada keluargamu jang dekat" (Qur'an). dan tidak putus-putusnja wasiat ini diulang-ulang dalam berbagai bentuk dan bermatjam utjapan. Imam Abdul Husain Sjarfuddin al-Musawi dalam kitabnja "Al-Munadjat" (Nedjef 1963), dalam Mab'has ke II, Muradja'at 20. hal. 144, membitjarakan pandjang lebar ajat-ajat Qur'an dan hadis-hadis jang bersangkut-paut dengan Chilafah Imamah ini, tidak kita ulang lagi disini, tetapi tjukup kita mempersilahkan pembatja mempeladjarinja disana.

Ada sebuah kedjadian jang penting pang dikemukakan oleh golongan Sji'ah jang menarik perhatian kita dalam pemberian alasan wasiat ini, jaitu kedjadian dikala Nabi akan wafat, sebagaimana jang dikemukakan oleh Buchari (II : 18), Muslim dlm. Sahih, Ahmad bin Hanbal dlm Masnad, dan hampir semua ahli hadis. Tatkala itu Nabi berkata : "Berikan daku kertas, aku akan menuliskan bagimu sesuatu wasiat jang dapat mentjegahkan kamu dari kesesatan !" Nabi tidak djadi melakukannja, tetapi jang mendjadi pertanjaan, apa wasiat jang akan ditinggalkan Nabi. Setengah sahabat menerangkan, bahwa wasiat jang akan ditulis itu terdiri dari tiga perkara, pertama bahwa Nabi akan mendjadikan Ali sebagai wali atau penggantinja. kedua bahwa semua orang musjrik harus dikeluarkan dari tanah semenandjung Arab, dan ketiga bahwa utusan-utusan jang datang hendaklah diperlakukan, sebagaimana jang sudah pernah dilakukan.

Tetapi keadaan politik dan perimbangan kekuatan ketika itu tidak mengizinkan, wasiat jang pertama itu diumumkan. Sji'ah menuduh, bahwa banjak sahabat jang melupakannja. Buchari berkata pada penutup hadis wafat Rasulullah itu, bhw. ia berwasiat tiga perkara, jaitu mengeluarkan orang musjrik dari djazirah Arab, menerima utusan sebagaimana jang diterima, kemudian ia berkata, bahwa ia lupa wasiat jang ketiga. Demikian djuga pengakuan Muslim dan pengakuan semua pengarang Sunnan dan Masnad (lih. Al-Muradja'at hal. 255).

Banjak pengarang Sji'ah djuga menolak pengakuan Sitti Aisjah, bahwa Nabi Muhammad meninggal dalam pangkuannja, sebagaimana jang diakui dalam hadis-hadisnja. Menurut pengarang Sji'ah, Nabi Muhammad itu wafat dan melepaskan nafas jang penghabisan dalam pangkuan saiudaranja dan penggantinja (wali), jaitu Ali 'bin Abi Thalib. Jang demikian itu menurut ketetapan ulama-ulama hadis Sji'ah jang mutawatir dan kitab-kitab Sahihnja jang mu'tamad. meskipun Ahli Sunnah berpendapat lain daripada itu (Al-Muradja'at, hal. 255-256).

6. KEIMANAN PADA SJI'AH

Mazhab Sjia'h mewadjibkan kejakinan berpegang kepada imam, jang selalu harus ada ditengah-tengah masjarakat Islam, sebagaimana jang pernah terdjadi dalam masa Rasulullah, bahwa semua orang Islam berimam kepadanja. Imam itu harus merupakan pemimpin dalam urusan dunia dan urusan agama, seolah-olah ia pengganti Nabi dalam kekuasaan dan kesempurnaannja, ia menguruskan peradilan, mengepalai masjarakat. memimpin ketenteraan, mengimami salat, mengurus keuangan negara, menjelenggarakan kepentingan negara, jang semua perkara-perkara itu diatur dengan peraturan-peraturan jang chusus jang disiarkan dan dijalankan oleh pembantu-pembantunja. Semua ini terdjadi pada diri Nabi dalam masa hidupnja.

Dan oleh karena itu mazhab Sji'ah, terutama Imamijah, tidak mau meninggalkan kesempurnaan itu.

Mengenai masaalah pengangkatan imam sesudah wafat Nabi bagi masjarakat Islam seluruhnja, ada bermatjam-matjam pendapat orang.

Orang Sji'ah berkata, kewadjiman itu dikembalikan kepada Allah, ialah jang akan mengkat seseorang imam bagi 'manusia.

Ahli Sunnah berpendapat, kewadjiban itu tidak dapat dikembalikan kepada Tuhan, tetapi kewadjiban itu tetap terletak diatas pundak manusia.

Orang-orang Chawaridj mengatakan, bahwa mengangkat imam itu tidak perlu sama sekali, tidak merupakan suatu kewadjiban jang dikembalikan kepada Tuhan, dan tidak pula merupakan suatu kewadjiban jang dipikulkan kepada manusia.

Seorang ulama Ahli Sunnah, Ala'uddin Ali bin Muhammad Al-Qarasi (mgl. 879 H), berkata dalam kitabnja bernama "Sjarh at-Tadjrid" mengenai sedjarah perkembangan kewadjiban pengangkatan imam sebagai berikut. Dalam menetapkan kewadjiban pengangkatan imam itu, Ahli Sunnah menetapkan dalilnja atas ldjma' sahabat Nabi, sehingga mereka itu menganggap pengangkatan penggantian Nabi itu. jang dinamakan imam atau chalifah itu suatu kewadjiban jang penting. Mereka mengadakan penetapan ini dikala Rasulullah hendak dikuburkan, dan meneruskan adat itu pada tiap-tiap kematian seorang imam. Sebagaimana diriwajatkan, bahwa tatkala Nabi wafat, Abu Bakar lalu berchutbah : "Wahai manusia ! Barangsiapa menjembah Muhammad, Muhammad itu sudah mati, tetapi barangsiapa menjembah Tuhan Muhammad, Tuhan Muhammad itu tidak akan mati-mati, oleh karena itu mesti kita selesaikan pekerdjaan ini, keluarkanlah pendapat dan pandanganmu, moga-moga Tuhan memberi rahmat kepadamu !"

Maka sesudah utjapan Abu Bakar ini, dari segala aliran datanglah mereka mengemukakan pengetahuannja. jang membenarkan pendapat Abu Bakar, bahwa harus ada penjelesaian tentang imam itu, dan tidak ada seorangpun jang mengatakan tidak wadjib pengangkatan imam penggantian Nabi itu.

Chawaridj mendasarkan pendiriannja tidak wadjib mengangKat imam, atas kejakinan, bhw. pengangkatan itu akan menimbulkan fitnah dan peperangan, karena tiap-tiap suku dan golongan akan mengemukakan tjalon sendiri, dengan demikian tidaklah akan didapati persesuaian pendapat diantara golongan-golongan itu. Dengan alasan demikian Chawaridj menganggap lebih baik menutup pintu pengangkatan itu. Tetapi djika didapati kata persesuaian mengenai sjarat-sjarat kesempurnaan imam dan persetudjuan pengangkatannja, barulah mereka membolehkan 'mengangkat imam itu.

Alasan-alasan Sji'ah Imamijah didasarkan kepada kanjataan, bahwa pengangkatan imam itu diserahkan kepada Tuhan Jang Maha Kuasa dan Maha Esa. Ada tiga sebab mereka berbuat demikian. Pertama penentuan itu tidak terdjadi dengan ichtiar manusia, tetapi atas kemurahan Tuhan dan belas kasihannja terhadap hambanja, karena imam itulah jang mendekatkan manusia itu mentaati Tuhannja, dengan memberikan penerangan dan pertundjuk, dan dialah jang mendjauhkan pengikutnja daripada ma'siat, melarang mereka dan mempertakutinja mengerdjakan Kedjahatan-kedjahatan dengan segala akibatnja. Dan oleh karena itu penundjukan ini sebenarnja wadjib daripada Tuhan sendiri.

Pendirian Sji'ah jang demikian itu didjelaskan pula oleh Ah Ardabli (mgl. 993 H), seorang ulama Sji'ah Imamijah terbesar, menerangkan, bahwa alasan kemurahan Tuhan ini. jang dipakai oleh Imamijah itu tepat, karena dialah jang setepat-tepatnja memilih imam itu, mendjadikannja. memberikan kekuasaan dan ilmu kepadanja. dengan taufik Tuhan ia dapat memilih njash jang didjalankan atas namanja. semua ini terdjadi dengan iradah Tuhan, jang menentukan perkara-perkara dan kewadjiban. ada jang diperuntukkan buat imam dan ada jang diperutukkan buat rakjat. jang mentaati imam itu.

Kedua, bahwa Allah dan Rasulnja telah menjatakan semua hukum-hukumnja, jg. ketjil dan jg. besar, tidak ada pekerdjaan dan perkataan seseorang manusiapun. jang terluput dimasukkan kedalam lingkaran hikmah hukum-hukumnja itu. Maka oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia mengangkat seorang imamnja dengan meninggalkan kekuasaan Tuhan itu baik jang berkenaan dengan urusan keduniaan, maupun jang bersangkutan dengan kehidupan achiratnja.

Ketiga maka oleh karena itu Sji'ah membuat perbandingan dengan diri Nabi Muhammad sendiri, jang tidak seorang djuapun mengangkatnja ketjuali dengan nubuwah, jang hanja berada dalam tangan Tuhan sendiri, baru diketahui oleh Nabi pada waktu diangkatnja mendjadi Rasul, ia sendiri tidak berdaja upaja.

Oleh karena itu orang Sji'ah menjimpulkan. bahwa ichtiar memilih imam itu dikembalikan sadja kepada Allah, tidak ada jang dapat mengetahui rahasia imam itu, melainkan Allah, hanja Allah jang dapat melihat kesanggupannja.

Meskipun demikian orang-orang Sji'ah menetapkan sifat-sifat imam sebagai sjarat, diantara lain, hendaklah ia ma'sum, karena tudjuan daripada keimaman itu ialah memberi pertundjuk kepada manusia atas djalan jang benar dan melarang mereka berbuat jang salah. Oleh karena itu kalau ia sendiri dibolehkan berbuat salah dalam hukum, bagaimana dapat membersihkan sesuatu dengan kekotoran.

Lain daripada itu seorang imam harus lebih mulia dan utama dalam mata rakjatnja melebihi rakjatnja dalam ilmu pengetahuan dan achlak, karena djika dalam hal ini dia tidak lebih afdhal, tentu ada orang lain jang melebihinja, atau jang menjamainja sehingga tidak lajak ia mendjadi orang utama bersamaan dengan mengutamakan murid daripada guru, jang tentu ditjela oleh agama. Lalu orang Sji'ah mendasarkan pendapatnja kepada firman Tuhan, ajat 35 surat Junus, jang berbunji : "Katakanlah, bahwa Allah jang menundjuki kepada kebenaran. Manakah jang lebih patut diikut, jg. menundjuki kepada kebenarankah atau jang tidak dapat pertundjuk melainkan djika ditundjuki ? Mengapa kamu ini ? Bagaimanakah kamu ? mendjatuhkan hukum ?".

Ada satu persoalan mengenai keimanan Sji'ah ini, jaitu persoalan sesudah Nabi, mengapa Ali ?.

Sesudah Sji'ah menetapkan nash kewadjiban imam daripada Allah, mereka berkata, bahwa menurut hukum imam sesudah Nabi wadjib djatuh kepada Ali bin Thalib, karena dua alasan, menurut alasan Qur'an dan menurut alasan Snnah.

Pertama, sebagai alasan dari Qur'an, diketemukan dlm ajat 58 dari surat al-Ma'idah jg kalau diterdjemahkan berbunji sebagai berikut : ,,Adapun imam kamu itu Allah dan Rasulnja, kemudian mereka jang beriman, jang mendirikan sembahjang. membajar zakat dan mereka itu sedang ruku". Ajat ini turun dengan disepakati oleh semua ahli tafsir mengenai Ali bin Abi Thalib, jang konon ketika itu sedang ruku, sebagai mendjawab pertanjaan orang, siapa pang harus ditaati.

Kedua, sebagai alasan dari Sunnah orang-orang Sji'ah mengemukakan sebuah hadis, dimana Rasulullah sedang berbitjara dengan Ali bin Abi Thalib, jang berbunji demikian : „Engkau terhadapku seperti Harun dan Musa. Barangsiapa jang ingin mentjari wali (imam), maka Ali-lah jang akan djadi walinja Engkau saudaraku, engkau tempat wasiatku, dan engkau akan djadi chalifahku dikemudian hari ", dan banjak lagi hadis hadis jang lain.

Begitulah selandjutnja, orang Sji'ah mempergunakan hadis-hadis, jang menundjukkan ketjintaan Nabi kepada Hasan dan Husain serta keturunannja Ali jang lain, untuk alasan mereka memilih imam dari Ahlil Bait dan keturunan Nabi dari perkawinan Ali' dengan Fatimah itu.

7. ITIKAD SJI'AH IMAMIJAH

Sji'ah Imamijah adalah penganut mazhab Dja'farijah, mejakini, bahwa mereka orang Islam ahli tauhid, pertjaja bahwa Tuhan Allah Satu tunggal dan Muhammad Nabi dan Rasulnja, dan pertjaja djuga semua apa jang disampaikan' oleh Rasul Tuhan itu. Mereka pertjaja bahwa agama Islam harus dilaksanakan dengan mengutjapkan dua kalimat sjahadat dan mendjalankan semua hukum sjara', diantara lain mengenai hukum waris, hukum nikah. Mereka pertjaja, bahwa iman itu lebih tinggi tingkatnja daripada Islam, sesuai dengan djawaban jang pernah dberikan oleh Nabi Muhammad atas pertanjaan seorang Arab, jang datang kepadanja menerangkan, bahwa ia telah beriman, tetapi Nabi Muhammad menjuruh dia mengatakan, bahwa ia sudah masuk Islam, karena iman itu adalah kejakinan jang meresap kedalam hati, tidak terlihat keluar (Qur'an).

Mengenai pokok2 agama, usuluddin, mereka menerangkan, harus diketahui dengan dalil jang kuat, ilmu jang benar dan kejakinan jang teguh, tidak tjukup dengan taqlid. dan dhan (was2 dan ragu-ragu).

Mengenai sifat-sifat Tuhan, mereka berkejakinan, bahwa Tuhan itu bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, bersih daripada segala sifat-sifat kekurangan, karena jang bersifat kekurangan itu adalah sesuatu jang baharu, hadis, sedang Tuhan bersifat qadim dan abadi, berkuasa setjara bebas, mengetahui, hidup, berkehendak, berbitjara dan benar. Dialah jg. mentjiptakan, jang memberi rezeki kepada machluknja, Tuhanlah jang menghidupkan dan mematikan segala machluk. Orang-orang Sji'ah pertjaja, bahwa Tuhan itu adil, jang berbuat baik diberinja pahala, dan jang berbuat dosa disiksanja. Manusia berbuat sesuatu tidak terpaksa, tetapi dengan ichtiarnja sendiri, dan atas ichiarnja inilah Tuhan mengambil tindakan jang bidjaksana. memberi pahala atau menjiksanja.

Wadjib bagi Allah mengirimkan Rasul-Rasul kepada hambanja manusia untuk mengadjarkan matjam-matjam hukum dan peraturan, untuk menerangkan jang halal dan jang haram, untuk memerintahkan berbuat adil dan bersikap lemah lembut sesama manusia. Tuhan menurunkan perintah-perintah itu kepada Rasulnja dengan perantaraan Mala'ikat atau setjara langsung, dan bahwa Nabi-Nabi itu terpelihara daripada dosa besar dan ketjil, memupunjai sifat-sifat jang baik, jang dapat mendjadi tjontoh dan suri teladan bagi umatnja.

Sji'ah Imamijah pertjaja, bahwa Muhammad itu adalah penutup daripada segala Nabi, tidak ada lagi Nabi sesudahnja, dan tidak ada jang memperserikatkannja dalam kenabiannja, ia Nabi jang lebih afdhal dari Nabi-Nabi jang lain, wadjib beriman kepadanja dan membenarkan apa jang disampaikannja daripada Tuhannja. Segala utjapan dan perbuatan Nabi merupakan hudjdjah atau dasar hukum, wadjib ditaati dan dipatuhi, tidak diutjapkannja sesuatu dari hawa nafsunja. melainkan dalam bentuk wahju Tuhan, hukum-hukum jang disampaikannja bukanlah dari hasil pikiran atau idjtihadnja sendiri, tetapi dari sjari'at Tuhan semata-mata.

Nabi Muhammad adalah orang jang mula-mula beriman kepada Tuhan, semua isterinja orang-orang jang beriman, jang sesudah wafatnja haram dikawini oleh orang lain. Sjari'atnja menghapuskan semua sjariat Nabi-Nabi terdahulu, dan berlaku sampai hari kiamat.

Dalam pendiriannja terhadap persoalan Imamah dan Chilafah, Imamijah berkejakinan wadjib adanja kepertjajaan kepada imam-imam itu. karena mereka merupakan pemimpin umum dalam segala urusan agama dan dunia, sesudah wafat Nabi, mereka menganggap, bahwa imam-imam itu dapat mendjalankan dan mengawasi sjari'at jang ditinggalkan Nabi, mereka merupakan mursjid jang harus ditjontoh dan diteladani. Oleh karena itu maka hendaklah imam itu merupakan seorang .pemimpin jang taat kepada Tuhan, seorang jang terdjauh daripada perbuatan fasad dan munkar, bukan seorang jang mengikuti djalan hawa nafsunja sendiri, imam itu harus ma'sum daripada dosa besar dan dosa ketjil.

Jang berhak mendjadi imam sesudah wafat Nabi ialah anak pamannja, Ali bin Thalib, jang telah diwasiatkan dan ditundjuk oleh Nabi Muhammad sendiri, kemudian anaknja Hasan bin Ali, kemudian saudaranja. Husain bin Ali, kemudian anknja. Ali Zainul Abidin kemudian anaknja Muhammad al-Baqir, kemudian anaknja Dja'far as-Shcadiq, kemudian anaknja Musa al-Kazim, kemudian anaknja Ali ar-Ridha kemudian anaknja Muhammad al Djawad, kemudian anaknja Ali al-Hadi, kemudian anaknja Hasan al-Askari, kemudian anaknja Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja berlaku dengan wasiat.

Orang jang menolak kenabian Nabi Muhammad 'dengan mengatakan bahwa ada Nabi lagi sesudah wafatnja atau ada jang memperserikatkannja dalam kenabian, orang itu keluar dari agama Islam dan tidak berhak menamakan dirinja muslim. Tetapi seorang jang mengingkari keimaman dua belas keturunan jang disebut tadi. tidak keluar dari Islam menurut orang-orang Sji'ah karena jang demikian itu bukan suatu kewadjiban agama, tetapi hanja suatu kewadjiban mazhab sadja.

Sji'ah Isna'asjar Imamijah pertjaja, bahwa ada hari kemudian sesudah hidup manusia sekarang ini, ada soal Munkar wa Nakir dalam kubur, ada azab kubur, ada sirath, ada mizan atu timbangan dosa dan pahala, ada hisab, jaitu perhitungan salah dan benar, ada pengakuan anggota badan tentang perbuatan djahat dan baik, ada pembahagian surat mengenai amal buruk dan baik, ada pengumpulan manusia dipadang mahsjar, ada sorga dan neraka sebagai tempat balasan, tidak ada lagi umur tua, sakit dan mati diachirat, apa jang diingini oleh orang jang berbuat baik sampai, ada ampunan Tuhan, ada sjafa'at Nabi Muhamad dan lain-lain urusan hari kemudian.

Mereka pertjaja djuga dalam garis besar ada Luh Mahfud, ada Qalam, ada Arasj, ada Kursi, tetapi menurut penafsiran mereka sendiri, jang kadang-kadang sedikit berlainan dengan pendirian Asj'ari atau Ahli Sunnah wal Djama'ah atau dengan penafsiran aliran-aliran Islam jang lain.

Sebagaimana kita lihat, itikad Sji'ah Imamijah sama dengan itikad Ahli Sunnah wal Djama'ah, bahkan sama mengenai persoalan chalifah sesudah wafat Nabi, jang semua mazhab mengatakan berdasarkan idjtihad, ketjuali mereka memilih chalifah itu dari keturunan Nabi Muhammad, karena tidak ada keturunan dari lakilaki, maka dipilihnja dari keturunan Ali bin Abi Thalib, jang sudah diakui saudara, pengganti dan menantunja Nabi, sehingga mereka terus-menerus berimam kepada keturunan Ali bin Abi Thalib itu, dan lantaran itu mereka dinamakan Sji'ah Ali atau dengan ringkas Sji'ah.

Pernah seorang ulama besar Sji'ah, Imam Abdul Husain Sjarfuddin al"Musawi, ditanjai apa sebab-sebab Sji'ah tidak mau mengikuti salah sebuah mazhab djamhur Islam, dalam usuluddin mazhab Al-Asji'ari dan dalam masaalah furu' (fiqh) salah satu daripada Mazhab Empat, Hanafi, Sjafi'i, Maliki atau Hanbali. AlMusawi mendjawab dalam kitabnja jang terkenal "Al-Muradja'a" (Nedjef, 1963), dengan alasan-alasan Qur'an "dan Hadis jang menurut pendapat saja tidak dapat dibantah oleh seorang ulama Sunni-pun dalam masanja, bahwa ibadat golongan Sji'ah dalam usul tidak berpegang kepada Asji'ari dan dalam furu' tidak berpegang kepada salah satu 'Mazhab Empat, bukanlah karena menjendiri dalam golongan atau ta'assub mazhab, dan bukan pula karena ada keraguan tentang kebenaran idjtihad daripada imam-imam besar itu, bukan karena tidak adilnja, tidak ada amanahnja, tidak mendalam ilmunja dan sebagainja, terdjauh semuanja daripada persangkaannja-persangkaan jang djahat itu. Tetapi katanja orang-orang Sji'ah dikala ada perselisihan paham antara imam-imam mazhab itu, sesuai dengan adjaran Qur'an dan pertundjuk Muhammad, berpegang kepada perdjalanan atau mazhab Nabi Muhammad sendiri dan keluarga rumahnja, sumber tempat kedatangan risalah, sumber tempat kundjungan malaikat, tempat turun wahju Tuhan kepadanja. Maka baik dalam furu', maupun dalam aqa'id baik dalam usul fiqh maupun dalam kaidah-kaidahnja, baik dalam mengenal sunnah maupun dalam mendalami isi Kitab Allah, dalam ilmu achlak dan adab. dalam tjara menggunakan dasar dan alasan hukum, semua orang-orang Sji'ah kembali kepada sumber pokok itu, dan beribadat dengan sunnah Nabi dan keluarganja (hal. 40 Murtadja'at no. 4).

Kemudian Al-Musawi ini membahas alasan-alasan, mengapa Sji'ah harus berbuat demikian, diantara lain dikemukakannja, bahwa idjtihad, amanah, keadilan dan kebesaran, tidaklah teruntuk bagi imam2 Sunni sadja. tetapi djuga, sebagaimana jang ditundjuk Kan oleh Nabi sendiri djuga terdapat dari kalangan keluarganja. Djika orang menuduh bahwa Sji'ah menjeleweng daripada adjaran Salf as-Salih, karena tidak mengikuti imam-imam itu al-Musawj mengatakan, bahwa selain daripada tingkat sahabat, sudah tidak ada lagi orang mentjontoh djedjak Salf as-Salih, dan inilah pula sebabnja maka Sji'ah ingin menghidupkan kembali adjaran itu agar dekat kepada pengertian pesan Rasulullah, bahwa ,,sebaik-baik umatku adalah dlm tiga kurun sesudah wafatku" (hadis) .Apakah dasar adjaran itu terikat kepada masa sadja atau tjara bertindak dalam menjelesaikan persoalan Islam ?

Al-Musawi menerangkan nama2 ulama jang hidup dalam tiga kurun ini jang tidak berpegang kepada adjaran Salaf. Asj'ari dilahirkan tahun 270 H dan mati kira2 tahun 330 H. Ibn Hanbal dilahirkan tahun 164 H, dan mati tahun 241 H. Sjafi'i lahir tahun 150 H. mati tahun 204 H., Malik lahir th. 95 H. dan mati tahun 179 H. Abu Hanifah lahir tahun 80 H. dan mati tahun 150 H. Adakah mereka bersatu dalam pendirian mengenai furu' dan mendekai Salaf ? Oleh karena itu Sji'ah mengambil mazhab imam-imam Ahlil Bait, sedang ummat Islam jang. lain beramal dengan mazhab Sahabat dan Tabi'in. Al-Musawi bertanja : "Darimanakah alasan jang mewadjibkan ummat Islam bermazhab kepada mazhab mereka, dan tidak memperkenankan orang bermazhab kepada Ahlil Bait. Sedang mazhab Ahlil Bait ini djuga berpegang kepada Kitab Allah, kepada Sunnah Nabinja, kepada keluarga-keluarganja jang diwasiatkan harus ditaati, jang merupakan sampan jang dapat menjelamatkan ummat, pemimpinnja, orang jang dapat dipertjajainja dan pintu ilmu pengetahuannya" (hal. 42).

Perbedaan-perbedaan antara satu mazhab dengan mazhab lain dari Ahlus Sunnah wal Djama'ah dalam masaalah furu' tidak kurang banjaknja, disaksikan oleh ribuan kitab-kitab, bahkan kadang-kadang lebih banjak daripada perbedaan jang ada pada mazhab Sji'ah dengan salah satu daripada Mazhab Empat itu. Missal nja dengan Sjafi'i. Mengapa orang ingin memaksakan kepada ummat Islam hanja Empat Mazhab itu sadja dan tidak Lima Mazhab, jaitu ditambah dengan mazhab Ahlil Bait, mazhab jang dianut oleh keluarga Nabi sendiri dan jang mereka landjutkan sekarang ini. Demikian tanja Al-Musawi dalam kitabnja jang kita sebutkan namanja diatas ini. Baginja jang dimaksudkan dengan Ahlil Bait, semua imam dari mazhab manapun djuga, jang sesuai amal ibadahnja dengan Rasulullah dan keluarganja. Ulama-ulama, jang tidak sempit hatinja membenarkan pendirian ini, diantaranja lbn Hadjar, jang pernah menerangkan, bahwa mazhab Ahlil Bait itu adalah mazhab jang dipimpin oleh ulama-uamanja jang piawai dan aman, jang dapat memberikan pertundjuk sebagai bintang dilangit, jang apabila sewaktu-waktu ummat sesat dan meraba-raba, bintang-bintang itulah jang akan mendjadi pertundjuknja (Al-Muradja'at hal. 53).

II NABI MUHAMMAD DAN ALI

1.ALI BIN ABI THALIB

Ali bin Abi Thalib adalah anak paman Nabi, jang mengurus dan membela Nabi sedjak ketjil sampai ia diangkat mendjadi Rasul dari pada penghinaan dan serangan Quraisj, bernama Abu Thalib anak Abdul Muttalib. Ibunja bernama Fathimah binti Asad bin Hasjim, wanita Bani Hasjim jang mula-mula masuk Islam.

Ali termasuk salah seorang dari rombongan sepuluh sahabat, jang sedjak masih hidup sudah didjamin Nabi masuk sorga. Oleh Nabi Muhammad, Ali didjadikan saudara angkatnja. Nabi mengawinkan Ali dengan anaknja jang bernama Fathimah Zahra, djuga salah seorang wanita terdahulu masuk Islam, anak Nabi jang ditjintainja dari perkawinan dengan Sitti Chadidjah. Baik Ali maupun Sitti Chadiidjah, kedua-duanja merupakan modal perdjuangan dan kemenangan Nabi dalam menegakkan agama Islam. Nabi pernah berkata : "Islam berdiri karena pedang Ali dan harta Chadidjah" (Hasjim Ma'ruf Al-Hasani, Tarkhul Fiqbil Dja'fari, t. tp. dan t. th., hal. 63).

Ali bin Abi Thalib seorang jang banjak ilmunja, baik mengenai rahasia ketuhanan (alim Rabbani), maupun mengenai segala persoalan Islam dan umum. Bagaimana alimnja diterangkan dalam sebuah hadis Nabi jang berbunji : "Aku kota ilmu pengetahuan dan Ali pintunja." Tatkala hadis ini didengar oleh golongan Chawaridj, mereka mendjadi dengki dan tjemburu, terhadap Ali. Bermufakatlah sepuluh orang alimnja masing-masing hendak beranjakan satu persoalan mengenai ilmu, untuk mengudji apakah Ali betul-betul alim seperti jang dikatakan Nabi.

I. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta?

Ali : Ilmu lebih utama daripada harta karena ilmu itu pusaka Nabi-Nabi, sedang harta, pusaka Karun, Sjaddad dan Firaun.

II. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena ilmu memelihara engkau, sedangkan harta, engkaulah jang harus memeliharanja.

III. bertanja : Manakah jang lebih utama ilmu atau harta?

Ali : Ilmu, karena harta menjebabkan banjak musuh, ilmu menjebabkan banjak teman sahabat.

IV. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta makin dikeluarkan makin kurang, sedang ilmu makin dikeluarkan makin bertambah.

V. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang punja harta kadang-kadang dapat dipanggil dengan nama kikir dan chizit. Sedang orang jang punja ilmu selalu dipanggil dengan nama megah dan mulia.

VI. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta banjak pentjurinja dan ilmu tidak ada pentjurinja.

VII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena orang jang punja harta dihisab pada hari kiamat, sedang orang jang punja ilmu diberi sjafa'at pada hari kiamat.

VIII. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena harta bisa habis karena lama masanja, sedang ilmu tidak bisa habis meskipun tidak ditambah.

IX. bertanja : Manakah jang lebih utama, ilmu atau harta ?

Ali : Ilmu, karena ilmu membuat hati jang punja terang benderang, sedangkan harta membuat kasar hati jang punja.

X. Manakah jang lebih utama ilmu, atau harta ?

Ali : Ilmu, sebab orang jang mempunjai ilmu termasuk ubudijah. jang diberi pahala oleh Tuhan, sedangkan orang mempunjai harta termasuk rubudijah.

Demikianlah kita batja tjeriteranja dalam "Mawa'iz al-Usfurijah" jang menerangkan selandjutnja, bahwa orang-orang jang bertanja pada Ali itu jang achirnja mengakui akan luasnja ilmu pengetahuan Ali dan bidjaksananja dalam memberikan djawaban atas satu-satu pertanjaan.

Ali terkenal salah seorang sahabat Nabi jang paling berani dan gagah perkasa dalam peperangan. Hampir pada seluruh peperangan dalam masa Nabi dihadiri oleh Ali bin Abi Thalib dengan pedangnja jang terkenal, bernama Zulfikar. Ia terkenal pula sebagai seorang pahlawan jang diserahi tugas membawa pandji-pandji Nabi.

Dalam dunia tasawwuf dan tarekat Ali terkenal sebagai waliullah, jang selalu dipudji-pudji oleh orang-orang Sufi, karena mutiara hikmahnja jang pelik-pelik.

Dalam hal berpidato dan sastera Ali terkenal sebagai salah seorang sasterawan jang lantjar dan sangat petah lidahnja. Pidato-pidatonja ditjatat dan dikumpul orang mendjadi buku jang berdjilid-djilid diantaranja bernama "Nahdjul Baliaghah".

Disamping memangku djabatan Chalifah, jang diakui sah, baik oleh Sji'ah maupun oleh Ahli Sunnah wal Djama'ah, Ali adalah seorang jang termasuk kedalam golongan penulis wahju, jang disampaikan oleh Nabi kepada umatnja, salah seorang pengumpul Al-Qur'an dan penuils tafsirnja. Ali djuga adalah salah seorang chalifah jang pertama dari Bani Hasjim.

Menurut penetapan Ibn Abbas, Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, Salman Al-Farisi dan lain-lain sahabat jang banjak, bahwa dialah orang jang mula-mula masuk Islam dan beriman pada Nabi.

Mengenai Ali banjak sekali ditulis orang riwajat hidupnja, jang ditindjau dari bermatjam-matjam segi hidup. Banjak hadishadis jang menerangkan keutamaan Ali melebihi sahabat jang lain-lain. Semua sahabat Nabi, besar dan ketjil segan kepadanja, dan tidak mau memutuskan perkara-perkara besar sebelum berunding dengannja.

Ibn Taimijah mengatakan, bahwa tidak dapat disamakan sirna sekali Mu'awijah dengan Ali dalam haknja mendjadi chalifah. Mu'awijah tidak berhak mendjadi chalifah, karena dia tidak dapat menjamai Ali dalam ilmu pengetahuannja, dalam persoalan agamanja dan dalam keberaniannja, begitu djuga. dalam kelebihan-kelebihan jang lain dan keutamaannja jang hanja sama dengan keutamaan saudara-saudaranja Abu Bakar, Umar dan Usman. Tidak ada ketinggalan daripada teman-teman Nabi bermusjawarat sesudah Usman selain Ali. Ada Sa'ad (bin Abi Waqqash ?) tetapi Sa'ad telah melepaskan kesediaannja mendjadi chalifah, sehingga seluruh kesempatan ini kembali kepada Ali dan Usman, dan sesudah Usman terbunuh, bulat segala pikiran umum mengenai kedudukan chalifah hanja untuk Ali.

Mu'awijah jang menganggap dirinja chalifah sebenarnja belum diakui orang, dan diberikan sumpah setia tatkala ia memerangi Ali, dan Ali-pun tidak memerangi dia karena kedudukan Mu'awijah sebagai chalifah karena ia tidak berhak mendjadi chalifah itu. Peperangan dimulai krena kezaliman, bukan karena rebutan chalifah, karena seluruh kesatuan pendapat, hanjalah Ali jang diakui sebagai chalifah sesudah Usman.

Demikian kita batja dalam kitab "Lawa'ihul Anwar", karangan As-Safarini al-Hanbali. Dalam kitab itu kita batja lebih Lndjut pendapat Ibn Taimijah, bahwa ia menolak segala fitnah dan sangka-menjangka ada perselisihan antara Ali dan Usman, ia menuduh dusta pendapat orang jang mengatakan, bahwa Ali memerintah membunuh Usman bin Affan, jang sekali-kali tidak masuk dalam akal jang waras. Ali bersumpah, bahwa ia tidak membunuh Usman dan tidak rela atas pembunuhan itu, dan sumpah Ali itu dalam sedjarah hidupnja benar dan tidak diperselisihkan orang. Ibn Taimijah menerangkan bahwa ada -dua golongan manusia, golongan jang mentjintai Ali dan golongan jang membentjinja. Golongan jang mentjintainja mengandung niat menentang Usman dan berpendapat bahwa Usman berhak dibunuh. Golongan jang membentjinja menentang Ali dan menuduhnja, bahwa ia sekurang-kurangnja membantu atas pembunuhan Usman dan tidak mentjegah pertumpahan darah. Perbedaan paham ini lalu menimbulkan dua golongan, dalam Islam, jaitu golongan Usmanijah dan golongan Sji'ah. Bagaimanapun djuga perbedaan pahamnja, kedua golongan ini berpendirian, bhwa Mu'awijah bukan saingan Ali untuk mendjadi chalifah Nabi sesudah wafat Usman.

Ibn Taimijah melandjutkan tjeriteranja, bahwa sesudah pembunuhan Usman, segera pada keesokan harinja dilakukan sumpah setia serempak terhadap Ali. Orang datang berdujun-dujun kepadanja dan berkata : "Bentangkan tanganmu, kami akan bersumpah setia kepadamu !" Begitu besar tjinta umat Islam ketika itu kepada Ali. Tetapi Ali masih menampik desakan massa itu dengan utjapannja : "Penetapan ini bukan urusanmu. Hanja Ahli Badarlah jang berhak menetapkan aku mendjadi chalifah atau tidak mendjadi chalifah." Semua Ahli Badar ketika itu mendatangi Ali dan berkata : "Kami tidak melihat seorangpun selain engkau jang berhak mendjadi chalifah. Bentangkan tanganmu dan kami akan memberikan sumpah setia kami kepadamu !" Maka berlakulah sumpah setia jang sah terhadap keangkatan Ali mendjadi chalifah (hal. 11:326).

Disini terdjadilah pokok permusuhan. Marwan dan anaknja lari dari orang banjak itu untuk membuat onar.

Sesudah Ali diangkat mendjadi chalifah, barulah ia berasa berhak memeriksa perkara-pembunuhan atas diri Usman, melalui isterinja dan orang-orang jang dianggap mendjadi saksi atau melihat dan mengetahui kedjadian itu. Ia memukul anaknja Hasan, mengetjam Muhammad bin Thalhah karena dianggapnja kurang rapi mendjalankan tugas dalam mendjaga keselamatan diri Usman. Ada orang mengatakan bahwa Thalhah dan Zubair tjuma melakukan sumpah setia karena terpaksa, kemudian mereka pergi ke Mekkah mengadjak Aisjah pergi ke Basrah menuntut bela atas darah Usman. Maka terdjadilah peperangan Djamal dalam bulan Djumadil Achir tahun 36 H. Dalam peperangan ini tidak kurang terbunuh manusia dari tiga belas ribu djiwa banjaknja. Mu'awijah dan tentara-tentaranjapun keluar dari Sjam menuntut bela kematian Usman kepada Ali. Tjeritera tentang perbedaan dan perselisihan ini akan kita bahas dalam bahagian tersendiri setjara terperintji.

Orang membitjarakan dalam hukum tentang keutamaan sahabat, mana jang lajak mendjadi chalifah lebih dahulu sesudah wafat Nabi. Ahli Sunnah wal Djama'ah, jang terdiri dari golongan Asarijah, Asj'arijah dan Maturidijah, menetapkan tertib chaliffah sebagai berikut : Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Semua ulama sepaham dan sependirian, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi ialah Abu Bakar sebagai chlifah I dan Umar sebagai chaliffah ke II. Dibelakang itu terdapat perselisihan paham. Ahmad dan Imam Sjafi'i, begitu djuga pendapat jang masjhur dari Imam Malik, jang terutama sesudah Abu Bakar dan Umar ialah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ulama-ulama Kufi, diantaranja Sufjan As-Sauri, mengutamakan Ali lebih dahulu daripada Usman. Ada ulama jang memutuskan, tidak boleh membitjarakan, mana jang lebih utama daripada Usman dan Ali.

Ditjeriterakan orang, bahwa Abu Abdullah al-Mazari pernah menerangkan, bahwa pada suatu hari Malik ditanjai orang manakah orang-orang jang utama sesudah Nabi. Ia mendjawab Abu Bakar, sesudah itu Umar, kemudian ia diam. Lalu orang katakan, bahwa Imam Malik ragu dan minta kepastian antara Ali dan Usman. Dengan terpaksa Imam Malik mengatakan : "Saja belum pernah mendapati seorang sahabat jang membeda-bedakan keutamaan antara Usman dan Ali.

Susunan keutamaan sebagai jang disebut diatas tentu dilihat dari sudut hukum, tapi djika dilihat dari sudut kekeluargaan dan nasab, tidak ada seorangpun jang berani mengatakan, bahwa keutamaan Ali tidak melebihi daripada segala sahabat jang ada. Abu Bakar sendiri jang menurut kebulatan pikiran umum seorang sahabat Nabi jang utama sekali, masih mengakui Ali lebih afdhal dari dia.

Ditjeriterakan orang, bahwa Nabi pada suatu hari mengemukakan pengadjaran kepada sahabat-sahabatnja. Karena pengadjaran itu sangat penting semua orang ber-desak2 duduk dekat Nabi, agar dapat mendengar dengan baik. Ali datang kemudian, den oleh karena tidak ada tempat lagi dekat Nabi ia terpaksa berdiri djauh. Tidak ada seorangpun jang mau mengalah memberikan tempat duduk dekat Nabi kepadanja. Abu Bakar melihat Ali dalam keadaan demikian, lalu segera ia bangun dan memberikan tempat duduknja jang dekat kepada Nabi kepada Ali. Nabi, jang dengan matanja jang tadjam melihat keadaan Abu Bakar menghormati Ali, lalu berkata : "Tidak mengerti akan keutamaan, melainkan orang jang utama djuga."

Ulama-ulama Sji'ah melihat Ali bin Abi Thalib sebagai sahabat Nabi jang paling utama, dan menetapkannja dengan nash Nabi berhak mendjadi chalifah sesudah Nabi. Mughnijah menerangkan, bahwa sedjarah Sji'ah adalah sedjarah keterangan Nabi, bahwa jang berhak mendjadi chalifah sesudah wafatnja ialah Ali bin Abi Thalib. Dan banjak sekali sahabat-sahabat besar jang melihat keutamaannja dan kechalifahannja itu mutlak. Ibn Abil Hadid menjebut diantara sahabat-sahabat besar itu ialah Ammar bin Jasar, Miqdad bin Aswad, Abu Zarr, Salman al-Farisi, Djabii bin Abdullah, Ubay bin Ka'ab, Huzaifah al-Jamani, Buraidah, Abu Ajjub al-Anshari. Sahal bin Hanief, Usman bin Hanief, Abui Haisam bin Taihan, Abu Thufai, dan semua Bani Hasjim, semuanja mengatakan bahwa keutamaan mutlak bagi Ali dan chalifah pertamapun baginja.

Ditjeriterakan bahwa Salman al-Farisi pernah menerangkan: "Kami bersumpah kepada Rasulullah untuk memberi nasihat kepada kaum muslimin dan mengimami Ali bin Abi Thalib serta menganggapnja wali. Abu Sa'id al-Chudri pernah berkata : "Manusia diperintahkan Tuhan mengerdjakan lima perkara, tetapi jang dikerdjakannja hanja empat, sedang jang satu perkara lagi ditinggalkan." Tatkala orang menanjakan kepadanja, apa empat perkara jang dikerdjakan orang itu, ia mendjawab : "sembahjang, zakat, puasa dan hadji". Tatkala ditanjakan orang apakah jang satu perkara jang tidak dikerdjkan, ia mendjawab : "Mengaku pimpinan kepada Ali bin Abi Thalib". Tatkala orang bertanja kepadanja, apakah itu diwadjibkan dalam Islam, ia mendjawab : "Memang itu diwadjibkan, sebagaimana diwadjibkan shalat, zakat, puasa dan hadji".

Sahabat-sahabat jang sependapat dengan itu dapat kita sebutkan misalnja Abu Zar al-Ghiffari. Ammar Jasir, Huzaifah alJamani, Abu Ajjub al-Anshari, Chalid bin Sa'id dan Qais bin Ubbadah.......

Ada orang berpendapat, bahwa Sji'ah itu lahir pada hari peperangan Djamal, ada jang mengatakan, bahwa ia lahir pada hari timbulnja golongan Chawaridj. Thaha Hussain dalam kitabnja "Ali wa Banuhu", mengatakan bahwa Sji'ah itu tersusun sebagai Suatu partai politik jang teratur untuk mempertahankan Ali dan anak-anaknja, terdjadi dalam masa Hasan bin Ali.

Mughnijah dalam kitabnja "Asj-Sji'ah wal Hakimyn" (Beirut, 1962) menerangkan, bahwa pendapat jang mengatakan, bahwa Sji'ah itu didirikan oleh Abdullah bin Saba', adalah tidak benar, dan utjapan ini dikeluarkan oleh mereka jang tidak memahami Sji'ah serta sedjarahnja (hal. 18).


3

4

5

6

7

8

9

10

11

12