sji'ah

sji'ah0%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11891
Download: 2886

Komentar:

sji'ah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11891 / Download: 2886
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

1. SJI'AH IMAMIJAH

Salah satu daripada mazhab Sji'ah jang terdekat kepada mazhab Sunnah ialah mazhab Sji'ah Imamijah atau Dja'farijah. Perbedaannja diantara lain terletak dalam kewadjiban beriman dan imam itu harus ma'sum, jaitu terpelihara dari segala perbuatan ma'siat, ketiga jang terachir dan terpenting ialah kewadjiban memegang kepada nash, jaitu Qur'an dan Hadis sebagai sumber hukum, dan kemudian menggunakan akal untuk beridjtihad, jang menurut kejakinan mereka tidak pernah tertutup pintunja sampai sekarang.

Sam'ani mentjeriterakan, bahwa Imamijah itu merupakan suatu golongan Sji'ah dan kuat, mereka dinamakan demikian karena mereka itu menumpahkan iman atau kepertjajaan jang sepenuhpenuhnja kepada Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknja, begitu djuga mereka mempunjai i'tikad jang teguh bahwa manusia itu tidak boleh tidak harus mempunjai imam atau menantikan seorang imam, jang akan lahir pada achir masa, membawa keadilan jang penuh untuk dunia ini. Pengarang Sji'ah jang terkenal, Sajjid Muhsin Al-Amin, dalam kitabnja A'janusj Sji'ah (Beirut, 1960 M.) menerangkan bahwa Imamijah atau Isna 'Asjarijah tidaklah sebagaimana jang dituduh orang demikian fanatiknja kepada Ahlil Bait, sehingga mereka memasukkan kejakinan itu kedalam pekerdjaan ubudijah, tetapi kejakinan itu hanja merupakan suatu tjitatjita mazhabnja, jang tidak termasuk bertentangan dengan usul Islam, jang tiga, jaitu tauhid, nubuwah dan ma'ad, hanja merupakan adjaran furu' dalam mazhabnja, jang kebebasannja tidak menolak prinsip ke-Islaman.

Mazhab Imamijah ini menurut Al-Amin masih terbagi pula dalam beberapa aliran lain, jang tidak sama pendiriannja antara satu sama lain. Imamijah itu umumnja dapat dibagi atas Isna' 'Asjarijah, jang sedjarahnja dan perkembangan adjaran kejakinannja terbanjak akan kita bitjarakan dalam risalah ini, tetapi dapat kita simpulkan bahwa mereka mejakini kesutjian dua belas orang imam, jaitu Ali bin Abi Thalib, Hasan anak Ali bin Abi Thalib, Husain anak Ali bin Abi Thalib, Ali bin Husain atau Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, Dja'far Shadiq, Musa al-Kazim, Ali Ridha, Muhammad al-Djawad, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari dan Muhammad bin Hasan al-Mahdi, semuanja anak tjutju dan tjitjit dari Ali bin Abi Thalib.

Àliran Kisanijah, (jang kini sudah tidak ada lagi) jang mendjatuhkan pilihan imam Muhammad bin Hanafiah, semua mereka itu sahabat2nja, jang digelarkan djuga Kisan. Diantara aliran itu ialah Zaidijah, jang memilih imamnja Zaid bin Ali bin Husain, dengan alasan dialah jang terberani dan selalu keluar dengan pedang, dan dialah anak dari Ali dengan Fathimah, satu2 imam jang alim dan berani. Maqrizi menambahkan sebab2 pemilihan Zaidijah djatuh kepadanja ialah karena Zaid itu mempunjai enam perkara pada dirinja, jaitu ilmu, zuhud. berani, kebadjikan, berbuat baik dan tidak ada kedjahatan.

Aliran jang lain ialah aliran Ismailijah, jang mendjatuhkan pilihan imamnja kepada Ismail anak Dja'far Shadiq, sesudah bapaknja, golongan ini kebanjakan terdapat di India, sangat banjak amalnja, diantaranja membuat asrama-srama bagi orang miskin, orang mengerdjakan hadji dan orang jang datang ziarah dari djauh-djauh. Mereka itu berlainan dengan aliran, jang dinamakan Ismailijah Bathinijah, pengikut Aga Khan.

Aliran jang lain lagi dinamakan Fathahijah, jang mendjatuhkan pilihan imamnja kepada Abdullah al-Al-Fath, anak Imam Djafar Shadiq jang menurut mereka berhak mendjadi imam sesudah bapaknja. Ada aliran djuga jang bernama Waqifah, jang ingin melihat pemilihan imam hanja djatuh kepada Ali al-Kazim. Adapun aliran Nawusijah menurut Sjahrastani dalam bukunja Al-Milal wal Nihal, adalah suatu golongan jang berkejakinan, bahwa pemilihan imam hanja tertentu bagi Dja'far bin Muhammad Shadiq, dan kata Nawusijah berasal dari nama desa Nawusa. Penganut-penganut aliran ini berkejakinan, bahwa Shadiq itu belum mati dan tidak akan mati, ia akan lahir kembali dibumi ini dan akan mengatur masjarakat, dan dialah jang berhak digelarkan Al-Mahdi.

Semua aliran-aliran itu sudah tidak ada lagi, aliran-aliran jang tinggal sekarang ini dari Sji'ah Imamijah itu hanjalah aliran Isna 'Asjarijah, jang terbanjak djumlahnja, aliran Zaidijah dan aliran Ismailijah Bathinijah dari Aga Khan.

Dalam mazhab Isna'asjarijah ada dua perkara jang terpenting kita ketahui, jang bagi mazhab ini merupakan pokok kejakinannja.

Pertama mengenai usul atau kejakinan dasar, jaitu kejakinan harus mempunjai imam, imamah, sehingga tiap penganut aliran Sji'ah ini diwadjibkan mengakui kedua belas orang jang tersebut diatas. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan kejakinan terhadap kedua belas imam itu, baik sesudah mengetahui atau tidak, disengadja atau tidak disengadja, meskipun ia iman kepada tiga pokok adjaran atau usul Islam, jaitu tauhid, nubuwwah dan ma'ad, menurut mazhab ini, ia bukan orang Sji'ah, hanja orang Islam biasa. Djadi kejakinan kepada imam itu menentukan, apa seorang oleh aliran ini dianggap seorang muslim biasa atau muslim Sji'ah, Orang Sji'ah aliran ini mendasarkan kewadjiban ini kepada sebuah hadis Nabi, jang berbunji : "Ahli Bait-ku adalah sebagai kapal, barangsiapa menumpang kapal itu ia akan djaja tetapi barangsiapa jang tidak ikut ia akan tenggelam."

Kedua pokok jang terpenting bagi aliran ini, ,jang mengenai furu' atau tjabang Islam, ialah tidak menjeleweng dan ta'assub, wadjib ada saksi pada waktu mendjatuhkan talak, dan terbuka bab idjtihad, dan lain-lain masaalah jang tidak terdapat pada aliran Islam jang lain. Mengenai persoalan ini ditetapkan, bahwa barangsiapa jang menentang hukum furu' itu dengan mengetahui sungguh-sungguh adanja hukum itu dalam mazhab Sjij'ah, maka ia keluar dari Sji'ah.

Dengan keterangan diatas ini djelaslah, bahwa Sji'ah Isna 'Asjarijh ini tidak pernah menolak hukum-hukum jang tersebut dalam kitab-kitab hadis, jang sahih, dan tidak pernah menolak kitab-kitab fiqh jang dikarang oleh ulama-ulama Islam jang lain, ketjuali beberapa masaalah jang tersebut diatas. Tidak ada sebuah kitabpun, jang dijakini kebenarannja oleh Imamijah itu benar dari awal sampai keachirnja ketjuali Qur'an dan tidak ada hadis jang chusus jang dijakini benarnja oleh orang Sji'ah aliran ini ketjuali jang termuat dalam kumpulan kitab-kitab hadis biasa. Tentu sadja tiap pribadi Sji'ah jang memenuhi sjarat2 idjtihad merdeka memilih ajat-ajat Qur'an dan hadis-hadis itu untuk menetapkan sesuatu hukum, karena pintu idjtihad itu tidak pernah tertutup menurut prinsip alirannja.

Dengan terbukanja pintu idjtihad ini baginja, terdjadilah hukum-hukum fiqh sebagaimana jang terdjadi dengan mazhab-mazhab jang lain, seperti Hanafi,, Sjafi'i, Maliki, Hanbali; dan sebagainja, dan lahirlah pula kitab-kitab fiqh, baik jang ringkas maupun jang pandjang lebar, lengkap dengan bahagian ibadat dan mu'amalat, dan persoalan-persoalan jang lain.

Dengan demikian kita bertemu dalam aliran Sji'ah Imamijah ini kitab-kitab pokok jang dikarang oleh Muhammad al-Kulaini. Muhammad as-Sadiq dan Muhammad at-Thusi, seperti kitab AlIstibsar, Man la jahdhuruhul Faqih, Al-Hafi, dan At-Tahzàb, jang bagi mereka merupakan kitab-kitab Sahih seperti dalam golongan Sunnah.

Seorang ulama besar Sji'ah Dja'far Kasjiful Ghitha' (mgl. 1228 H), dalam kitabnja, bernama Kasjful Ghitha', hal. 40, berkata tentang kitab-kitab ini sebagai berikut : "Ketiga Muhammad itu bukan kepalang bersungguh-sungguh mengumpulkan ilmu tentang riwajatnja antara hadis itu, tetapi masih ragu-meragui tentang riwatnja antara satu sama lain..........Pada permulaan keempat kitab itu mereka terang tidak mengatjuhkan ketjurigaan, jang mendjadi pokok baginja mentjari hadis jang dapat didjadikan hudjdjah antaranja dengan Tuhan atau sekedar ang dapat ditegaskan dengan ilmu bukan dengan sangkaan belaka, karena penegasan jang lahir tidak membuahkan ilmu pada pendapat kami, ilmu mereka jang demikian itu tidak menggagalkan pengetahuan kami."

Djika ahli pengetahuan sebagai mereka keempat itu demikian pendapatnja mengenai dalil pengambilan sanad hadis, bagaimanakah mengenai diri mereka jang sama sekali tidak pertjaja kepada Sji'ah.

Apabila seorang penulis ingin berpegang kepada pokok dan tjabang hukum (usul dan furu') sesuatu mazhab, hendaklah ia mengetahui sungguh-sungguh tiap kata, tiap istilah dan tjara ulama mazhab itu menetapkan usul atau furu' hukum, kemudian memperbandingkan kejakinan mazhab itu dengan tidak ada rasa sentimen dengan pendapat mazhab lain. Pada ketika itu barulah djelas kepadanja, bahwa usul hukum mazhab Sji'ah Imamijah itu tidak hanjak didasarkan kepada perkataan rawi ini dan rawi itu sadja, setjara dungu dan setjara sentimen, tetapi melalui djalan-djalan jang sah dan sudah ditentukan.

Sebagai tjontoh kita kemukakan, bagaimana seorang Sji'ah mengupas sesuatu hukum Islam, misalnja mengenai ta'rif agama Islam sendiri, Sjech Dja'far tersebut pada hal. 398 dari kitabnja jang sudah kita perkenalkan, berkata : "Diperoleh hakikat Islam itu dengan mengutjapkan "Asjhadu an lailaha illallah, Muhammadun Rasulullah" atau dengan utjapan jang sama maksudnja dalam bahasa apapun djuga dan dengan susunan pengakuan jang demikian itu, ia telah dianggap masuk Islam, dengan tidak usah ditanja tentang keadaan sifat Tuhan, baik mengenai Subutijah maupun mengenai Salbijah, dan tidak diminta dalil-dalil tauhid atau alasan-alasan kenabian" (lihat djuga Risalatul Aqaid AlDja'farijah).

Mengenal iman didjelaskannja, bahwa iman itu "membenarkan dengan hati dan lidah bersama-sama, tidak tjukup dengan salah satu daripada keduanja", (Muhammad Djawad Mughnijah, Ma'asj Sji'ah Imamijah, Beirut, 1956).

Seperkara jang atjapkali sukar dipahami mengenai kejakinan aliran ini ialah tentang pengertian Ismah. Biasa disebut orang ismah itu berarti terpelihara daripada semua dosa, dan orang jang demikian itu dinamakan ma'sum. Orang bertanja, apakah bisa manusia itu selain dari Nabi, ma'sum ?

Orang Sji'ah aliran ini mempunjai beberapa penqertian jang chusus mengenai perkataan ismah itu. jang djika diikuti dengan seksama, akan ternjata, bahwa kwalifikasi ini dapat diterima akal.

Ada ulama Sji'ah jang mengartikan ma'sum itu artinja mengerdjakan taat dengan tidak ada kemampuannja mengerdjakan ma'siat, sehingga ia terpaksa mengerdjakan perbuatan jang baik dan meninggalkan jang buruk. Ada ulama Sji'ah jang menerangkan, bahwa ma'sum itu ialah suatu naluri jang mentjegah seseorang membuat sesuatu kema'siatan, seperti pembawaan keberanian mentjegah seseorang lain dari perkelahian, naluri kemurahan tangan mentjegah seseorang dari memberi hadiah. Nasiruddin at-Thusi dalam kitabnja "At-Tadjrid, hal 228 mengatakan: "Ma'sum itu artinja berkuasa berbuat ma'siat, karena djika tidak berkuasa jang demikian itu, maka seseorang tidak dipudji dikala ia meninggalkan ma'siat itu, dan tidak diberi pahala, karena djika memang dia tak berkuasa, maka ia sudah keluar daripada sesuatu hukum taklif". Nasiruddin at-Thusi adalah seorang ulama besar dalam mazhab Imamijah, djuga seorang ahli filsafat jang terkemuka, (mgl. 672 H).

Sjeich Al-Mufid, salah seorang ulama Imamijah jang lain, (mgl. 413 H, dalam kitabnja "Sjarh Aqaid as-Sudduq", menerangkan tentang ismah itu sebagai berikut : "Ismah itu tidak dapat mentjegah kekuasaan mengerdjakan jang buruk, tidak pula dapat mendorong mengerdjakan jang baik, dan oleh karena itu ma'na ismah dalam aliran Imamijah ialah, bahwa orang jang ma'sum itu berbuat jang wadjib dengan ada kebenarannja meninggalkannja, meninggalkan jang haram dengan ada kekuasaannja melakukannja, dengan demikian orang jang ma'sum itu tidak meninggalkan jang wadjib dan tidak memperbuat jang diharamkan."

Pengarang Tafsir Mudjma'ul Bajan, dalam mengulas ajat 68, surat Al-An'am, menerangkan : "Imamijah itu tidak dibolehkan lupa atau lengah terhadap kepada pengikut-pengikutnja dalam menjampaikan perintah Allah ta'ala, adapun selain daripada itu, artinja selain dari perintah Tuhan, mereka diperkenankan lupa atau terlengah, selama tidak menjeleweng daripada akal jang benar. Bagaimana tidak diperkenankn jang demikian itu kepadanja? Karena semua orang tidak dianggap berdosa karena ketiduran atau pitam, meskipun ini adalah merupakan permulaan lupa. Maka inilah jang membuat orang-orang menuduh jang bukan-bukan terhadap kepada sjarat jang ditentukan bagi imam Sji'ah. jaitu ma'sum". Tafsir tersebut memang sebuah tafsir Qur'an jang terbesar dan jang terhebat, jang pernah sampai ketangan saja. Saja sebagai pemeluk mazhab Sunnah kagum melihatnja. Pengarangnja ialah At-Tabrasi, salah seorang ulama Sji'ah Imamijah jang terbesar, (mgl. 548).

2. IMAM DJA'FAR SHADIQ

I

Asad Haidar menulis tentang Imam Dja'far As-Shadiq dan mazhab empat dalam enam djilid kitab besar, diterbitkan di Nedjef dalam th. 1956, jang saja anggap sebuah kitab jang sangat penting tidak sadja untuk penganut-penganut mazhab Sji'ah, tetapi djuga untuk penganut-penganut mazhab Ahlus Sunnah wal Djama'ah, terutama penganut-penganut mazhab Hanafi, Sjafi'i, Maliki dan Hanbali, karena kitab tersebut meriwajatkan sedjarah tumbuhnja mazhab-mazhab Fiqh dalam Islam dan imam-imam mazhab itu, jang hampir semuanja langsung atau tidak langsung adalah murid-murid daripada Dja'far bin Muhammad As-Shadiq, anak Ali, anak Husain, anak Ali bin Abi Thalib.

Sebelum kitab ini keluar orang hanja mengenal Imam AsShadiq anak Muhammad Al-Baqir, guru Abu Hanifah, orang hanja kenal dia sebagai Imam Mazhab Ahlil Bait, jang dalam masa perkembangan ilmu fiqh dan ilmu pengetahuan umum turut diketjam atau dilenjapkan namanja untuk kepentingan suasana politik anti Ali dan keluarganja dalam masa Bani Umajjah dan dalam masa Bani Abbas. Ulama-ulama pemerintah, qadhi-qadhi radja dalam kedua masa pemerintahan itu untuk kepentingan kedudukannja sengadja memperketjil nama Dja'far Shadiq, dan ulama-ulama jang bebas, meskipun tidak menghilangkan nama orang besar ini tetapi tidak membesar-besarkan dan memudji-mudjinja, karena tentu takut dituduh "supersip", bersimpati dengan golongan Sji'ah jang dimusuhi, sebagaimana pernah terdjadi dengan Muhammad bin Idris As-Sjafi'i, jang pernah ditarik kehadapan pengadilan Abbasijah karena dalam penetapan hukumnja lebih mengutamakan hadis jang diriwajatkan oleh Ahlil Bait dan pernah beladjar di Jaman pada beberapa ulama Sji'ah.

Hanja Abu Hanifah dan Malik bin Anas jang kedua-duanja murid Imam Dja'far berani menjebut dan memudji gurunja disana-sini dalam kitabnja. Begitu djuga Imam Ahmad ibn Hanbal jang berani mempertahankan kemurnian Ahlil Bait, dan mengeluarkan pendapatnja, bahwa Hasan bin Ali termasuk dalam golongan jang diperkenankan memakai gelar "chalifah" sebagai jang tersebut dalam sebuah hadis Nabi (Bazzar Abu Ubaidah ibn Djarrah, Lawa'ihul Anwar, karangan As-Safarini al-Hanbali 11:939) dan karena pengakuannja jang kuat bahwa Qur'an bukan machluk. Baik Ahmad bin Hanbal baik Abu Hanifah, kedua-duanja termasuk ulama jang ditjurigai oleh radja-radja Bani Abbas, dipukul dan dipendjarakan. Maka dengan demikian hilang lenjaplah kebenaran dan kehormatan, djika ia berasal dari Ali bin Abi Thalib.

Sampai Ibn Chaldun, seorang ahli sedjarah jang paling berani mengemukakan pendapatnja, untuk keselamatannja sendiri dan kitab-kitabnja, terpaksa mengetjam mazhab Ahlil Bait dan menuduhnja berbuat bid'ah, karena Sanjak mengemukakan hadis-hadis, jang berlainan atau tidak sesuai dengan pendapat umum ulama-ulama Bani Umajjah dan Bani Abbas itu.

Ketjaman-ketjaman ini membuat Asad Haidar membanting tulang dan mengadakan penjelidikan bertahun-tahun setjara mendalam untuk mengarang sedjarah hidup dan perdjuangan Imam Dja'far As-Shadiq, sehingga lahirlah djilid besar kitab "Al-Imam As-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah" (Nedjef, 1956), jang terletak didepan saja sekarang ini sebagai kitab pindjaman dari Asad Shahab, pengurus Lembaga Penjelidikan Islam, jang saja gunakan sebagai salah satu sumber untuk menulis tentang Dja'far Shadiq dan mazhab jang dinamakan sekarang ini mazhab Dja'farijah, jang merupakan suatu mazhab fiqh jang resmi diakui dan anut oleh semua aliran Sji'ah dan fiqh. Mazhab ini sekarang diadjarkan dalam Universitas Al-Azhar di Mesir. Tentu sadja saja tidak akan membahas berdalam-dalam masalah ini berhubung dengan lembaran jang dapat disediakan oleh risalah ketjil untuk perkenalan ini.

Kita baru dapat memahami kehidupan Imam Dja'far Shadiq. djika kita ketahui kekatjauan jang terdjadi sekitar masa lahirnja Pembunuhan atas diri Chalifah Usman didjadikan alasan oleh Bani Umajjah untuk bertengkar dengan Ali chususnja dan Bani Hasjim umumnja, untuk merebut kekuasaan dalam pemerintahan. Usman bin Affan bin Ash bin Umajjah bin Abdusj Sjams, adalah orang jang terkemuka dari Bani Umajjah, masuk Islam dan dipungut mantu oleh Nabi, mendjadi chalifah ketiga sesudah wafatnja. Kebidjaksanaan sahabat2 menundjukkan keadilan, bahwa Usman dari Bani Umajjah mendjadi chalifah lebih dahulu dari Ali bin Abi Thalib, jang berasal dari Bani Hasjim. Sebenarnja suasana politik ketika itu sudah baik. Tetapi dengan takdir Tuhan Usman dibunuh, dan pembunuhan ini dituduhkan oleh Bani Umajjah kepada Ali, jang tidak mungkin masuk diakal turut melakukan kedjahatan atau membiarkan berlaku kedjahatan itu atas diri sahabatnja Usman.

Usman mendjadi chalifah tahun 23 H., dibunuh pagi Djum'at tanggal 18 Zulhidjdjah tahun 35 dalam masa umurnja 63 tahun.

Pembunuhan ini menjebabkan kekatjauan tidak sadja dalam urusan politik, tetapi merembet-rembet kepada permusuhan antara Bani Umajjah (Mu'awijah dan keturunannja) dengan Bani Hasjim (Ali dan keturunannja). Pemerintahan Mu'awijah disambung oleh Jazid, pemerintahan Jazid disambung lagi oleh anaknja, sampai generasi Bani Sufjan hantjur sama sekali, diganti oleh Bani Marwan.

Marwan tidak lama mendjadi radja, ia mati tahun 65 H., dibunuh oleh Ibn Chalid bin Jazid. Kematiannja diganti oleh Abdul Malik bin Marwan. Pergantian semua radja2 itu tidak ada membawa perbaikan dalam urusan agama Islam dan dalam hubungan antara Bani Umajjah dan Bani Hasjim. Kekatjauan terus menerus, kehidupan agama rusak, ibadat dan mu'amalat katjau, hukum fiqh jang harus didjalankan untuk mengatur umat Islam belum ada, fatwa sahabat-sahabat jang sudah bertjerai-berai sukar didapat dan kadang-kadang bertentangan antara satu sama lain dan sebagainja.

Dalam masa pemerinahan Abdul Malik bin Marwan inilah lahir Imam Dja'far Shadiq. Ia lahir pada malam Djum'at, bulan Radjab, tahun 80 H., dikala umat Islam mengalami kekatjauan dalam hukum dan pemerintahan, dikala pemerintah dan pembesar-pembesarnja melakukan kezaliman dengan sewenang-wenang, tidak ada djiwa terdjamin, tidak ada kemerdekaan berpikir dan berbitjara dihormati, siapa jang kuat menang dan siapa jang kalah hantjur. Keadaan umat Islam pada waktu itu dibandingkan dengan masa Rasulullah dan sahabat-sahabatnja, seperti siang dengan malam, sedang daerah Islam jang luas dengan umatnja jang banjak menanti-nanti hukum Islam jang terkenal adil dan lengkap itu dalam segala bidang.

Imam Dia'far Shadiq lahir sebagai suatu bantuan Tuhan kepada umat Islam janq bingung itu. Ia dididik oleh ajahnja Al-Baqir dan kakeknja Zainal Abidin, dua belas tahun lamanja merasakan asuhan kakeknja Ali bin Husain. Dari orang-orang besar inilah beroleh pengadjaran dan pendidikan, terutama dalam pembentukan djiwanja. Tidak dapat disangkal bahwa kakeknja Zainal Abidin adalah anggota Bani Hasjim jang utama dan tokoh terpenting dari Ahlil Bait, seorang jang sangat alim. war'a. dan sangat dipertjaia perkataannja dan mempunjai achlak dan budi pekerti jang bersih.

Sesudah mati kakeknja ini ia dididk oleh ajahnja Al-Bagir. seoranq jang luas pengetahuannya dan salih jang oleh orang Sji'ah dianggap salah seorang Imam Dua Belas. Sembilan belas tahun ia bergaul dengan ajah dan kakeknja.

Ia hidup ketika itu dalam bersembunji dengan ketakutan, tetapi dengan segala kegiatan dikumpulkan ilmu-ilmu dari ajah, kakek dan mojangnja dan disiarkannja kepada umum dalam masa perpetjahan, kezaliman, zindiq dan ilhad itu. Jang paling menderita kezaliman ketika itu ialah keluarga rumah tangga Rasulullah, keturunan Ali dan pembantu-pembantunja, dan oleh karena itu mereka djarang kelihatan dalam mesdjid-mesdjid, karena chotbah-chotbah Djum'at itu isinja tidak lain dari ketjaman dan tjatji-maki terhadap mereka. Dja'far Shadiq hidup setjara sederhana, tetapi orang tahu dan umat Islam setjara diam-diam berdujun-dujun datang kepadanja untuk mengambil ilmunja dan mengakuinja sebagai Imam. Diantara peralihan pemerintahan Bani Umajjah dan Bani Abbas, orang menaksir muridnja tidak kurang dari empat ribu orang. Rumahnja merupakan perguruan tinggi untuk ulama-ulama besar dalam ilmu hadis, tafsir, filsafat dan lain-lain ilmu pengetahuan, ulama-ulama jang kemudian memimpin mazhab-mazhab dan perguruan-perguruan jang ternama dalam Islam. Murid-murid itu jang merupakan rawi-rawi hadis jang terpenting, berasal dari bermatjam-matiam kabilah, seperti Bani Asad, Muchariq, Sulaim, Ghathafan, Ghiffar, Al-Azdi, Chuza'ah; Chaz'am; Machzum; Bani Dhabbah, Quraisj. Banil Haris dan Banil Hasan.

Semua mereka itu mengambil hadis dan ilmu daripada Imam Dja'far, dan kemudian mendjadi guru-guru besar, dan imam-imam mazhab jang terpenting, seperti Jahja ibn Sa'id al-Anshari, Ibn Djuraidj, Malik bin Anas, As-Sauri, Ibn Ujajnah, Abu Hanifah, Sju'bah, Abu Ajjub As-Sadjastani dan lain-lain, jang kemudian mendapat kehormatan dan keutamaan dalam Islam karena beroleh ilmu daripada Imam Dja'far As-Shadiq (Asad Haidar. 1:9-30).

2. IMAM DJA'FAR-SHADIQ

II

Penting kita bitjarakan agak pandjang mengenai tokoh AsShadiq ini karena ia merupakan tokoh terpenting dalam dunia Sji'ah dalam bidang fiqh jang mendjadi pokok-pokok ibadat dan mu'amalat mereka. Nama jang sebenarnja ialah Abu Abdillah Dja'far bin Muhammad Ash-Shadiq. Ajahnja Muhammad AlBaqir, anak Ali Zainal Abidin, anak Husain, anak Ali bin Abi Thalib. Menurut Ar-Rafi'i ia lahir tahun 80 H. di Madinah, meninggal dalam usia 65 tahun pada tahun 148 di Madinah dan dikuburkan di Baqi'. Ada jang mengatakan, diantaranja Abul Fatah al-Arabi dan Ahmad bin Hadjar al-Hatami, bahwa ia dilahirkan dalam tahun 83 H. Ia anak terbesar dari Imam Muhammad al-Baqir dan pada waktu ketjil ia beladjar pada ajahnja itu dalam segala ilmu pengetahuan dan achlak. Pengaruh kemurnian dan kehalusan budi pekerti ajahnja Zainal Abidin berbekas sangat kepada dirinja, terutama dalam zuhud, taqwa dan qina'ah. Dinamakan Ash-Shadiq karena ia sangat djudjur dan bersikap benar dalam segala keadaan.

Ibunja bernama Farwah anak Al-Qasim, anak Muhammad, anak Chalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Djumlah anaknja tudjuh orang laki2 dan tiga perempuan. Oleh golongan Sji'ah Isna-Asjarijah ia dianggap Imam, jang keenam. Al-Muqaddasi menerangkan, bahwa ia termasuk Tabi'in terbesar dan tinggi kedudukannja da'am ilmu pengetahuan. Diantara muridnja ialah Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Djabir ibn Hajjan. Djabir bin Hajjan adalah muridnja jang mula-mula menulis sedjarah hidup dan perdjuangannja sebanjak seribu halaman, bernama "Rasa'il al-Imam Dja'far ash-Shadiq".

Diantara orang-orang jang mengakui keistimewaannja ialah Malik bin Anas, jang berkata : ,.Apabila aku melihat terasa kepadaku bahwa aku melihat kepada Dja'far bin Muhammad terasa kepadaku bahwa ia dari keturunan Nabinabi". (Tahzib II: 104: Abu Hanifah berkata : "Djikalau tidak ada dua tahun, pasti Nukman binasa", dengan maksud bahwa djika Abu Hanifah tidak beladjar pada Dja'far selama dua tahun, pasti ia tidak akan berhsil dalam menuntut ilmu agama Islam (At-Tuhfah Isna Asjarijah VIII :t-l). Ar-Rifa'i menerang kan bahwa Ash-Shadiq ahli dalam ilmu Kimia, ilmu Angka dan kitab ketika atau fal. lbnal Wardi menegaskan dalam kitab tarichnja, bahwa Dja'far pernah digelarkan orang jang sabar, orang jang terutama dan orang jang sutji. Berita ini diperolehnja dari Abu Hanifah, Ibn Djuraidj, Sju'bah, kedua Sufjan, Malik dll.

Demikian masjhurnja Imam Shadiq ini dalam masa hidupnja, sehingga Al-Mansur, Chalfah Abbasijah kedua, selalu mengundangnja dengan hormat keistana, memuliakannja, menanjakan pikiran-pikirannja, nasihatnja dan beberapa pertundjuknja. Abu Muslim al-Churasani, pentjipta keradjaan Abbasijjah, pernah menawarkan kedudukan chalifah kepada Imam Dja'far, tetapi ditampiknja (Qamusul A'lam, karangan Sami, III: 1821, terdj. bah. Turki).

Selandjutnja Zaid bin Ali menerangkan, bahwa Imam Dja'far banjak meninggalkan tulisannja jang dapat membersihkan ibadat Sji'ah, ia orang jang terpilih dalam kebadjikan dan ahli hadis dalam golongannja. Ad-Dawaniqi menerangkan, bahwa ia tiap mengundjungi Imam Dja'far selalu menemuinja dalam tiga hal, dalam sembahjang, dalam puasa atau dalam membatja Qur'an dan bahwa dia seorang jang alim, ahli ibadat dan wara', sementara Ibn al-Muqaddam tatkala ia mentjeriterakan keadaan Imam Dja'far mendjelaskan bahwa Imam tersebut adalah seorang jang sangat ahli dalam hukum fiqh. Katanja, bahwa Abu Hanifah pernah pada suatu hari mengemukakan empat puluh persoalan fiqh, jang didjawabnja dengan lantjar, kemudian ia berkata : "Engkau berkata begini, ahli Madinah berkata begitu dan kami berkata sebagai pendirian jang kami kemukakan ini. Barangkali ada orang jang mengikut kami, ada orang jang mengikut mereka atau orang jang menjalani kita semuanja". Abu Hanifah mendjawab : "Bukankah orang jang dianggap alim ialah jang banjak mengetahui tentang perselisihan (ichtilaf) diantara manusia.

Menurut kitab "Al-Milal wan Nihal" (1: 272 , Ibn Abil Audja' mentjeriterakan, bahwa Imam Ash-Shadiq adalah seorang jang banjak ilmunja, sempurna adabnja dalam kebidjaksanaan, zuhud dan wara', terdjauh dari sjahwat, pernah tinggal di Medinah mengadjar golongannja Sji'ah, pernah masuk ke Irak dalam masa berkobar perselisihan paham tentang persoalan Imamah, sedang Abul Fatah As-Sjaharastani menambah keterangan, bahwa Imam Ash-Shadiq memang seorang jang ahli tentang hadis, banjak diriwajatkan daripadanja oleh Jahja bin Sa'id, Ibn Djuraih, Malik bin Anas, Ibn Ujajnah, Abu Ajjub as-Sadjastani dll. Al-Qarmani, seorang ahli sedjarah menerangkan, bahwa Imam Dja'far adalah merupakan seorang pangeran dari Ahlil Bait, banjak ilmunja, terutama pribadinja dan ahli dalam hukum, sedang Ibn Hibban mejakini bahwa keterangan-keterangan Imam Dja'far tinggi kebenarannja, djarang terdapat tjontoh jang seperti itu (Tahzib, 11:104).

Pandjang sekali Abu Hatim bertjeritera tentang Imam Dja'far, diantaranja bahwa ia seorang ulama jang terkemuka dari Ahlil Bait banjak ilmunja, ahli ibadat, ahli wirid jang ma'sur, zahid, banjak ta'wil jang indah-indah tentang arti Qur'an, menghabiskan waktunja untuk mengerdjakan ta'at, orang-orang akan mendjadi zahid djika mendengar utjapan-utjapannja, akan beroleh sorga dengan pertundjuknja, ia keturunan Nabi, jang mendjadi ikutan bagi banjak imam-imam dan orang-orang alim, seperti Jahja bin Sa'id al-Anshari, Ibn Djuraih, Malik dan Anas, As-Sauri, Ibn Ujajnah, Ajjub as-Sadjastani dll., semuanja disebutkan dalam kitab "Mathalibus Su'ul," II : 55, sedangkan Abu Mu'ain berpendapat, bahwa Imam Djaa'far tidak suka pudjian dan kedudukan. Abul Mudhaffar mentjeriterakan, bahwa ia di Kufah pernah mendapat? sembilan ratus ulama-ulama jang semuanja sering menjampaikan hadis jang diriwajatkan dari Dja'far (Al-Madjalis, karangan Sajjid Amin, V: 209). Diantara orang lain jang mengeluarkan pudjian saja sebutkan Ibn Djauzi, Al-Wisja', Al-Bisthami, Al-Djahiz, Ibn Hadjar al-Asqalani, Ibn Zuhrah, Abdul Mahasin, Az-Zarkali As-Salami, As-Suwaidi, Ad-Dawardi, Sajjid Mir Ali, Ibn Sjaraf, Al-Chafadji, Az-Zahabi, Az-Zurqani, Ibn Chalkan, Al-Jafi'i Asj-Sjabrawi, Al-Djazari, Al-Chudhari, Dr. Ahmad Amin, Faridj Wadjdi Bathras al-Bustani, dll, jang semuanja memudji pribadi Imam Ash-Shadiq, jang ditindjau dari segala sudut (Batja "Al-Imam Ash-Shadiq wal Mazahibul Arba'ah, karangan Asad Haidar, Nedjef, 1956, 1:41—57).

3. DJA'FARIJAH.

Mazhab ini didirikan oleh Imam Dja'far Sadiq, seorang Ta'biin tokoh besar, ahli Hadis dan mudjtahid mutlak, menurut Kulajni antara 83 — 148 H. sebagai jang sudah kita tjeriterakan. Ibunja bernama Farwah anak Al-Qasim anak tjutju dari Abu Bakar As-Siddiq, Chalifah I ses. Nabi. Konon itu sebabnja maka Dja'far memakai nama dibelakangnja Sadiq, dan tidak pernah menjerang tiga Chalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Bahkan pernah ia berkata, sepandjang jang diriwajatkan Sajuti : „Aku berlepas tangan dari orang-orang jang mengatakan sesuatu sesudah Nabi tentang Abu-Bakar dan Umar ketjuali jang baik (Sajiuti Tarichul Chulafa). Konon pula itulah sebabnja, maka ia tidak pernah diganggu oleh chalifah Umajjah, seperti Hisjam, Walid, Ibrahim dan Marwan dan oleh Chalifah Abbasijah, seperti AsSafah dan Al-Mansur.

Baik Sji'ah maupun Ahli Sunnah menghormati Dja'far Sadiq. Orang Sji'ah mempunjai banjak tjerita mengenai keistimewaan Dja'far Sadiq, Kulajni mentjeritakan, bahwa konon Chalifah AlMansur pernah memerintahkan membakar rumahnja di Madinah, tetapi Imam Dja'far memadami api itu hanja dengan menendang dan berkata, bahwa ia anak tjutju Ibrahim Chalilullah, jang tidak dimakan api. Ibn Chalkan mentjeriterakan, bahwa Al-Mansur pernah memerintahkan Imam Dja'far pindah dari Madinah ke Irak dengan teman-temannja. Ia tidak sudi pindah dan ingin tinggal bersama keluarganja, karena ia mendengar melalui ajah dan neneknja Rasulullah berkata, bahwa barang siapa keluar mentjari rezeki, Tuhan akan mengurniai rezekinja, tetapi barang siapa tinggal tetap pada keluarganja, Tuhan akan memandjangkan umurnja. Dengan demikian Al-Mansur tidak djadi mengusir dia ke Irak.

Memang Imam Dja'far Sadiq seorang jang mulia hati, tjerdas, alim dan salih, dan ditjintai orang. Ia mengadjar dan menerima tamu dalam suatu kebun jang indah dekat rumahnja di Madinah. Banjak orang2 alim dari bermatjam2 mazhab datang mengundjungi pengadjian itu, jang merupakan seakan-akan sekolah Socrates. Memang Imam Dja'far dikagumi oleh murid-muridnja, terutama dalam ilmu fiqh dan ilmu kalam. Diantara muridnja terdapat Abu Hanifah dan Malik bin Anas, jang turut mengambil ilmu fiqh dari padanja, begitu djuga Wasil bin Atha, kepala kaum Mu'tazilah dan Djabir bin Hajjan, ahli kimia jang masjhur. Ada orang jang mengatakan bahwa Abu Hanifah tidak pernah beladjar padanja, hanja pernah bersoal djawab dalam beberapa persoalan mengenai pemakaian kijas dan akal dalam masalah fiqh. Bagaimanapun djuga hubungan Imam Dja'far dengan Abu Hanifah sangat rapat, terutama dalam masa Abu Hanifah mengadjar di Kufah dan Imam Dja'far di Madinah kelihatan benar persesuaian pendapat, sedang masa itu adalah masa jang terlalu sukar.

Ronaldson dalam karangannja mengenai kejakinan Sji'ah mengatakan, bahwa djika tidak karena tiga buah pendapat Imam Dja'far jang berlainan dengan Abu Hanifah, Abu Hanifah sudah menerima seluruh adjaran Imam Dja'far itu. Tiga buah pendapat jang berlainan itu ialah: Imam Dja'far berpendapat, bahwa kebaikan itu berasal dari Tuhan, sedang kedjahatan berasal dari perbuatan manusia sendiri, Abu Hanifah berpendirian bahwa segala jang baik dan jang djahat itu berasal dari Tuhan. Kedua Dja'far berkata, bahwa setan itu dibakar dalam api neraka pada hari kiamat. Abu Hanifah berpendapat, bahwa api tidak dapat membakar api, dan setan itu ditjiptakan Tuhan daripada api. Ketiga Imam Dja'far mengatakan, bahwa melihat Tuhan didunia dan achirat mustahil. Abu Hanifah berpendirian, bahwa tiap jang maudjud mungkin melihat Tuhan djikalau tidak didunia, ia akan melihat nanti diachirat. Konon perdebatan ini didengar oleh penganut-penganut adjaran Imam Dja'far jang fanatik, jang lalu melempari kepala Abu Hanifah dengan sepotong batu tembok. Tatkala orang itu ditanjai mengapa, ia mendjawab, bahwa ia tidak berbuat kedjahatan itu, dan kedjahatan itu datang dari Tuhan dan bukan dari manusia dan bukan dari ichtiar, bahwa ia tidak dapat menjakitkan Abu Hanifah dengan tanah tembok itu. karena Abu Hanifah terbuat daripada tanah, dan ia minta Abu Hanifah memperlihatkan kesaktian, pada kepala, kalau benar ia dapat melihat Tuhan didunia dan diachirat.

Dalam pada itu banjak pengikut-pengikut Imam Dja'far jang sedang pada Abu Hanifah, karena ia turut mengetjam Al- Mansur dan chalifah-chalifah jang lain daripada Bani Atbas dan Bani Umajjah. Katanja bahwa mereka betul mendirikan mesdjid, dan oleh karena itu mereka fasik tidak lajak mendjadi imam. Konon utjapan ini terdengar oleh Al-Mansur. jang menjuruh menangkap Abu Hanifah dan memasukkannja kedalam pendjara sampai mati. Hal ini sesuai dengan firman Tuhan kepada Ibrahim : "Aku akan mendjadikan dikau Imam bagi manusia." Kata Nabi Ibrahim : ..Apakah anak tjutjuku djuga ? Firman Tuhan : "Djandjiku itu tidak akan meliputi orang2 jang zalim" (Al-Baqarh, 124). Lalu pengarang-pengarang Sji'ah, seperti Madjlisi senang terhadap Baidhawi, Zamachsjari dan Abu Hanifah karena sepaham dengan mereka dalam menafsirkan ajat itu.

Golongan Dja'far Sadiq ini biasa dinamai Imamijah Ishna Asjarijah, jaitu suatu golongan Sji'ah jang mengaku, bahwa imam mereka jang sah terdiri dari 12 orang, sebagaimana jang sudah kita sebutkan dalam pembitjaraan mengenai golongan Sji'ah ini.

Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqj dalam kitabnja „Hukum Islam" (Djakarta, 1962 banjak menulis tentang Sji'ah, dan berkata tentang Dja'far Sadiq sbb. : "Orang-orang Sji'ah jang menobatkan dia mendjadi imam, tiada memperoleh kepuasan hati dari padanja, karena ia tidak menghendaki dan tidak menjukai dirinja dinobatkan itu. Ia ini adalah seorang ulama jang sangat berbakti kepada Allah. Ia tidak suka diperbudak-budakan kaum Sji'ah. Lantaran demikian, ia dapat mengarungi samudera hidupnja dengan aman dan tenang, tidak mendjadi kebentjian chalifah2 jang menguasai negeri. Dan jang perlu ditegaskan, bahwa ia ini pemuka dan pentasis fiqh Sji'ah jang kemudian petjah kepada beberapa mazhab."

Tentng fiqh dan hukumnja, Hasbi menerangkan sbb. : Fiqh Sji'ah walaupun berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah djuga, namun melaini fiqh djumhur dari beberapa djurusan.

a. Fiqh mereka berdasar kepada tafsir jang sesuai dengan pokok pendirian mereka. Mereka tidak menerima tafsir orang lain, dan tidak menerima Hadits jang diriwajatkan oleh selain Imam ikutannja.

b. Fiqh mereka berdasarkan Hadiets, Qaedah, atau Furu' jang mereka terima dari imam-imamnja. Mereka tidak menerima segala rupa qaedah jang dipergunakan oleh djumhur Ahli Sunnah.

c. Fiqh mereka tidak mempergunakan Idjma' dan tidak mempergunakan qijas. Mereka menolak idjma', adalah karena lazim dari pengikut-pengikut idjma', mengikuti faham lawan, jaitu Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it tabi'ien. Mereka tidak menerima qijas sekali-sekali, karena qijas itu fikiran. Agama diambil dari Allah dan Rasulnja, serta dari imam-imam jang mereka ikuti sahadja.

d. Fiqh mereka tidak memberi pusaka kepada perempuan kalau jang dipusakai itu tanah dan 'kebun. Perempuan itu hanja mempusakai bendaé jang dapat dipindah-pindah sahadja.

Lebih landjut diterangkan, bahwa : Terkadang-kadang apabila disebut golongan Sji'ah, maka jang dikehendaki, Imamijah.

Imamijah ini berkembang di Iran dan Irak, Madzhab mereka dalam soal fiqh, lebih dekat kepada mazhab Asj Sjafi'i walaupun mereka dalam beberapa masalah menjalahi Ahlus Sunnah jang empat.

Mereka serupa dengan Zaidijah, berpegang dalam soal Fiqh kepada Al-Qur'an dan kepada Hadiest-Hadiest jang diriwajatkan oleh imam-imam mereka dan oleh orang-orang jang semazhab dengan mereka. Mereka berpendapat, bahwa Babul Idjitihad masih terbuka; dan mereka menolak qijas selama masih ada beserta mereka imam-imam mereka jang mengetahui hukum-hukum sjari'at.

Demikian tersebut dalam kitab „Hukum Islam.", karangan Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqj, hal. 43 — 44. Memang dalam masalah usul dan ibadah hampir tidak berbeda antara Sji'ah Dja'farijah dan Ahli Sunnah, disana sini berbeda tentang furu' agama dan mu'amalat. Hal ini dapat kita lihat dalam sebuah kitab karangan Muhammad Djawwad Mughnijah, jang bernama, Al-Fiqh Ala Mazahibil Chamsah (Berirut, 1960) suatu kitab mengenai perbandingan lima mazhab, jaitu mazhab Dja'fari, Hanafi, Maliki, Sjafi'i dan Hambali, jang perbedaannja antara satu sama lain sedikit sekali.

Oleh karena itu Ahmad Hasan Al-Baquri, pernah djadi menteri urusan wakaf dalam salah satu kabinet pemerintah Mesir, berkata dalam pendahuluan kitab fiqh Sji'ah, ,,A1-Muchtasar an-Nafi'," jang pendahuluan kitab fiqh Sji'ah, ,,A1-Muchtasar Islam pada Universitas Al-Azhar, bahwa (golongan Sunnah dan Sji'ah itu) kedua-duanja berpokok kepada Islam dan kepada iman dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul, kedua-duanja bersama benar dalam pokok-pokok umum mengenai agama kita. Djika ada perlainan pendapat dalam furu' fiqh dan penetapan hukum-hukum, hal ini terdapat pada semua mazhab kaum muslimin, dan hal ini adalah hal jang biasa bagi tiap-tiap mudjtahid, jang dalam idjtihadnja beroleh pahala baik salah atau benar. (Al-Hilli (mgl. 676 H) Al-Muchtasar An-Nafi' fil fiqhil Imamijah, Mesir, 1376 H.

Mahmassani menerangkan bahwa Imam Dja'far Saddiq itu masjhur dalam kalangan Sji'ah Imamijah itu, jang menganggapnja sebagai mudjtahid besar, jang dikagumi karena kedjudjurannja, karena kemuliaannja dan karena ilmu pengetahuannja. Oleh karena itu mazhab Imamijah itu atjap kali dinamakan mazhab Dja'fariah, meskipun asalnja nama mazhab ini hanja mengenai mazhab ilmu fiqh.

Imam Dja'far tidak hanja terkenal dalam masalah2 fiqh, ilmu kalam, ilmu kimia dll. tetapi djuga dalam ilmu tasawwuf, banjak hadis-hadis jang diriwajatkannja mengenai ilmu-ilmu itu, misalnja mengenai teori Nur Muhammad, ia mendengar dari ajahnja, bahwa Ali bin Abi Thalib pernah menerangkan : „Allah mendjadikan Nur Muhammad sebelum ia mendjadikan Adam, Nuh, Ibrahim, Ismail, dll. Dan Tuhan mendjadikan bersama nur itu dua belas Hidjab, Hidjab Qudrah, Hidjab Uzmah, Hidjab Mumah, Hidjab Rahmah, Hidjab Sa'adah, Hidjab Karamah, Hidjab Manzilah, Hidjab Hidajah, Hidjab Nubuwah, Hidjab Rafa'ah, Hidjab Haibah, dan Hidjab Sjafa'ah, kemudian Muhammad itu dipendjarakan dalam Hidjab selama 7 ribu tahun dan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang kaja, tidak pernah miskin", kemudian diselubungi dengan Hidjab Manzilah selama 6 ribu tahun serta diperintahkan membatja „Maha Sutji Tuhan jang Tinggi dan Agung", kemudian dipendjarakan pula dalam Hidjab Hidajah selama 5 ribu tahun serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang mempunjai Arasj jang agung," kemudian diselubungi lagi dengan Hidjab Raf'ah selama 4 ribu tahun serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang dapat mengubah dan tidak berubah", kemudian dimasukkan djuga kedalam Hidjab Mawrah selama tiga ribu tahun serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji Tuhan jang mempunjai malak dan malakut" dan kemudian diselubungi lagi dalam Hidjab Haibah selama 2 ribu tahun serta diperintahkan membatja : „Maha Sutji Allah dengan segala pudjiannja."

Kemudian barulah Tuhan menjatakan nama Muhammad itu diatas luh, dan luh itu bertjahja selama empat ribu tahun, kemudian ditaruh diatas Arasj (langit jang ke sembilan) dan tetap disana selama 7 ribu tahun, kemudian barulah Tuhan meletakkannja dalam sulbi Adam, jang berpindah kemudian kedalam sulbi Nuh dan nabi-nabi jang lain turun-temurun hingga sampai kepada sulbi Abdul Muthalib dan dari sana ke sulbi Abdullah ajah Nabi Muhammad.

Selandjutnja tjerita ini menerangkan, bahwa tatkala Tuhan itu mengirimkan ruh Muhamad kemudian melengkapkannja dengan luar keramat, jaitu mengenakan badju Ridha, memberikan sandang selendang Haibah, memberikan tjelana Ma'rifah, memberikan tali pingang Mahabbah, memberikan terompah Chauf, kemudian menjerahkan kepadanja tongkat Manzilah, lalu Tuhan berkata : „Hai Muhammad, pergi menemui manusia dan perintahkan kepadanja: "Utjapkan : tidak ada Tuhan melainkan Allah! Tjerita ini pandjang dan disulam dengan bermatjam-matjam kindahan mengenai badju dan lain-lain jang diperbuat dari pada jakut dan lukluk dan mardjan, sampai kemudian kepada melukiskan badju nabi dalam pengertian Sufi, suatu tjerita jang digambarkan setjara luas oleh Donaldson dalam kitabnja „Aqidah Sji'ah" (Mesir 1933. hal. 146 — 149).

Saja dapati tjerita Nur Muhammad ini dengan keterangan jang lebih luas dan riwajatnja jang lebih teratur dalam kitab Sji'ah jang paling penting, bernama Isbatul Wasjjah Lil Imam Ali bin Abi Thalib", karangan Al-Mas'udi, pengarang „Murudjuz Zahab" (mgl. 346 H) jang berisi riwajat-riwajat dan petundjuk bagi golongan Sji'ah mengenai Imam Ali dan Imamimam jang lain. Kitab ini ditjap dan ditjetak di Nedjef, kota sutji Sji'ah, dalam tahun 1374 H atau 1955 M, dengan tjetakan jang keempat. Bagi mereka jang akan mempeladjari djiwa berpikir dan kehidupan Sji'ah kitab ketjil ini sangat penting artinja.

V. MAZHAB AHLIL BAIT