sji'ah

sji'ah0%

sji'ah pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Agama & Aliran

sji'ah

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: PROF. DR. H . ABOEBAKAR ATJEH
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 11894
Download: 2886

Komentar:

sji'ah
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 70 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 11894 / Download: 2886
Ukuran Ukuran Ukuran
sji'ah

sji'ah

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

1. ALIRAN DALAM ISLAM

Ketjuali ulama-ulama dan ahli-ahli hadis djarang di Indonesia orang mengetahui, bahwa ada mazhab jang dinamakan Mazhab Ahlil Bait. Hanja dalam ilmu kalam dan filsafat Islam ada terdapat keterangan-keterangan jang menguraikan sedjarah tumbuhnja aliran-aliran paham jang bersimpang siur sesudah wafat Nabi dan sesudah pemerintahan Chalifah Abu Bakar dan Umar. Adanja aliran-aliran ini, sebahagian lahirnja dalam masa Bani Umajjah dan sebahagian berkembang biak dalam masa kemerdekaan berpikir pemerintahan Bani Abbas, menjebabkan orang Islam katjau balau dalam memegang dan mendjalankan hukum agamanja.

Diantara aliran-aliran jang banjak itu dapat kita sebutkan tiga golongan besar, jaitu Mu'tazilah, Chawaridj dan Sji'ah.

Dalam garis-garis besar Mu'tazilah itu mempunjai lima pokok pendirian terpenting :

1. At-Tauhid, artinja bahwa Allah itu satu dengan zatnja dan sifatnja, dan bahwa sifatnja itu adalah zat Allah itu sendiri.

2. Al-'Adal, bahwa Allah itu adil, tidak mungkin Allah itu menggerakkan manusia mengerdjakan jang djahat, hanja baik-baik sadja. Oleh karena itu manusia itu mempunjai ichtiar sendiri dalam perbuatannja. tidak bergantung kepada kodrat dan iradat Tuhan sadja.

3. Manzilah bainal Manzilatain, menetapkan suatu tempat bagi orang-orang jang berbuat dosa besar diantara tempat orang mu'min dan tempat orang kafir, ia bukan orang mu'min karena tidak menjempurnakan kebadjikan, ia bukan orang kafir karena sudah mengutjapkan dua kalimah sjahadat, tetapi djuga diazab dalam neraka untuk selama-lamanja.

4. Al-Wa'ad wal Wa'id, artinja bahwa Allah, apabila berdjandji dengan pahala untuk kebadjikan. ditepatinja. dan apabila ia mendjandjikan siksaan untuk kedjahatanpun mesti ditepatinja, tidak berhak memberi ampunan.

5. Amar Ma'ruf dan Nahi Munkar, menjuruh berbuat baik dan melarang berbuat djahat bagi Mu'tazilah wadjib karena akal, bukan karena nash Quran dan hadis.

Chawaridj mempunjai pokok-pokok pendirian jang terpenting, diantara lain bahwa Chalifah sesudah Nabi tidak mesti dari orang Quraisj, djuga tidak mesti dari orang Arab, semua manusia dalam pandangan Tuhan sama, jang berbuat dosa besar djadi kafir, salah dalam berpikir dan beridjtihad mendjadi dosa besar, djika menjebabkan petjah-belah, oleh karena itu mereka mengkafirkan Ali bin Abi Thalib karena menerima usul Mu'awijah bertahkim kepada Qur'an. Diantara aliran ini terdapat Azragijah, jang lebih keras pendiriannja, bahwa tiap orang Islam jang bersalahan pendiriannja dengan Chawaridj djadi musjrik, abadi dalam neraka, wadjib diperangi dan dibunuh.

Sji'ah mempunjai pendirian diantara lain, bahwa Ali bin Abi Thalib telah ditundjukkan Nabi dengan nash untuk mendjadi chalifahnja sesudah ia wafat, bahwa tiap orang jang mendjadi imam wadjib ma'sum, artinja terpelihara dari pada dosa besar dan dosa ketjil, bahwa Ali bin Abi Thalib ialah sahabat Nabi jang paling afdhal dan utama sesudah Nabi Muhammad sendiri.

Daripada tiga golongan ini lahirlah bermatjam-matjam aliran, seperti Djabbarijah, Qadarijah, dll., dan aliran-aliran itu meskipun berselisih satu sama lain dalam perkara aqidah atau kejakinan, tetapi tidak membawa akibat kepada penetapan hukum fiqh.

Maka lahirlah aliran Asj'arijah, jang menentang Mu'tazilah dalam lima pokok pendirian. Asj'arijah, jang dikepalai oleh Imam Asj'ari, berkata, bahwa' sifat Allah itu bukan zatnja, tetapi tambahan atas zat, bahwa manusia berbuat menurut qadha dan qadar Tuhan, tetapi djuga menurut ichtiarnja, bahwa Allah bebas dalam melaksanakan djandji untuk kebadjikan dengan pahala dan untuk kedjahatan dengan dosa, Allah dapat mënjiksa orang jang berbuat baik dan dapat memberi ampunan kepada orang jang berbuat djahat, bahwa orang jang berbuat dosa besar tidak diletakkan pada suatu kedudukan antara orang mukmin dan kafir, tetapi djika ia orang jang beriman akan dikeluarkan dari neraka, manakala siksaannja sudah habis, bahwa perkara amar ma'ruf dan nahi mungkar diwadjibkan karena nash daripada wahju Tuhan dan sunnah rasulnja, bukan karena ukuran akal manusia.

Sji'ah sepaham dengan Mu'tazilah dalam dua masalah, jaitu masalah tauhid dan keadilan Tuhan, tetapi menjalahinja dalam tiga pendirian jang lain, jang mengikuti paham Asj'arijah dalam pendiriannja. Dalam persoalan chalifah Sji'ah mengikuti hadis Nabi jang mengutamakan Ali, dengan utjapannja : "Ini penggantiku, wazirku, orang jang aku beri wasiat dan chalifahku untukmu sesudah daku." Dan hadis-hadis lain jang sama pengertiannja dengan itu, banjak diriwajatkan oleh ulama-ulama Sji'ah. Lihat misalnja kitab "Asj-Sji'ah wal Hakümin" (Beirut, 1962). karangan Muhammad Djawad Mughnijah.

Dalam persoalan lain Sji'ah berselisih paham mengenai "assaqalain", peninggalan Rasulullah kepada umat Islam dua perkara jang berat, jang tersebut dalam hadisnja terachir, dan jang disuruh pegang teguh-teguh kepada umat Islam sesudah ia wafat, apakah dua jang berat itu, Qur'an dan Sunnah atau Qur'an dan Keturunannja ? Sji'ah mengemukakan hadis-hadis, jang menerangkan perkara tersebut dibelakang ini, oleh karena itu mengutamakan keluarga Nabi termasuk kejakinan jang disuruh pegang olehnja sebagai dua perkara jang berat.

Asad Haidar dalam kitabnja jang besar dan terpenting bagi penganut mazhab Sji'ah, bernama „Imam As-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah" mengupas persoalan "as-saqalain" ini setjara pandjang lebar, dan menekankan lebih banjak disamping berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul, ialah berpegang kepada fatwa-fatwa keluarga atau Ahlil Bait Rasulullah, terutama dalam masa kekatjauan mengenai persoalan-persoalan Islam. Zaid bin Arqam jang menjampaikan isi chotbah Nabi, menerangkan bahwa Nabi pernah berkata : "Aku meninggalkan kepadamu dua jang berat, Kitabullah jang didalamnja ada petundjuk dan tjahaja, ambil kitab itu dan pegang teguh-teguh". Kemudian setelah ia mengandjurkan kitab Allah itu dan kegemaran mempeladjarinja ia berkata : "Dan Ahli Baitku, aku peringatkan kamu kepada Allah tentang keluarga rumahku" (Sahih Muslim, VII : 122). Hadis sematjam ini djuga disebut oleh Tarmizi dalam kitabnja, dj. II hal. 308.

Imam Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnja, djuz II, hal. 14, menjebutkan djuga sebuah hadis jang diriwajatkan oleh Zaid bin Arqam, jang menerangkan bahwa Rasulullah pernah berkata : "Aku meninggalkan kepadamu dua perkara jang berat, selama engkau berpegang kepadanja, engkau tidak sesat sesudah aku. seperkara lebih besar daripada jang lain, jaitu Kitabullah, jang merupakan tali dari langit kebumi, dan kedua keturunanku. Ahli Bait-ku, keduaduanja tidak bertjerai satu sama lain, hingga didjadikan untukku sebuah telaga. Awasilah djangan kamu memperselisihkan keduanja."

Abu Sa'id al-Chudri menerapjcan djuga hadis jang sematjam itu bunjinja, sampai mengulang beberapa kali. Dan Chatib al-Bagdadi dalam kitabnja d j. VIII, hal. 443 menerangkan sebuah hadis dari Huzaifah bin Usaid, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah mengutjapkan hadis sematjam itu djuga, begitu djuga Hakim dari hadis Zaid bin Arqam dalam Al-Mustadrak (IV: 109), sedang Sajuthi meriwajatkan hadis itu dari tiga djalan, dari Zaid bin Arqam, Zaid ibn Sabit dan Abu Sa'id al-Chudri. Selain daripada itu didapat djuga hadis sematjam itu diriwajatkan oleh Muhammad bin Jusuf Asj-Sjafi'i dalam kitabnja "Kifajatut Thalib", diriwajatkan djuga oleh At-Thabari dalam kitab "Az-Zacha'ir", oleh Ibn Had jar dalam kitab "As-Sawa'iq al-Muhriqah", hal. 136 dari bermatjam-matjam rawi, oleh As-Sjabrawi, oleh Al-'Adawi, oleh Al-Alusi, oleh Ibn Kasir dalam tafsirnja (111:486) dll. uama dalam kitabnja masing-masing.

An-Naqsjabandi dalam kitabnja "Al-'Aqdul Wahid" sesudah memudji-mudji Ahlil Bait (hal. 78) sebagai bintang agama Islam, sumber sjara' dan tiang Islam dan sahabat-sahabat Nabi, menjebut kembali hadis itu dengan penuh hormat.

Asj-Sjafi'i-pun mengatakan, bahwa umat Islam diandjurkan mentjintai keluarga Nabi dengan mewadjibkan salawat dan salam kepada keluarganja itu dalam tasjahhud achir pada tiap-tiap sembahjang, dan ia menjanjikan sebuah sadjak, jang kalau saja terdjemahkan bebas dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :

Oh Ahli Bait Rasulullah,

Mentjintai kamu diwadjibkan,

Didjadikan fardhu oleh Allah,

Didalam Qur'an diturunkan.

Tjukup mendjadi ukuran besarmu,

Dengan hukum ibadat jang ada,

Siapa tidak salawat atasmu,

Sembahjangnja bathal, dianggap tiada.

Pernah muntjul sebuah karangan dalam madjallah "Al-Muslim", jang terbit di Mesir tahun 1271 H., jang berturut-turut mengupas kedudukan Ahlil Bait ini dalam agama, dan memberi keterangan pandjang lebar tentang hadis jang kita bitjarakan diatas itu. Penafsiran "as-saqalain" ini begitu luas sampai masuk kedalam kamus-kamus dengan hadis jang mengandung kitab Allah dan keluarga Nabi, misalnja dalam At-Tadj oleh Muhibuddin, Lisanul Arab oleh Ibn Abi Manzur, An-Nihajah oleh Ibn Asir, dll. keterangan, jang memberi bukti kepada orang Sji'ah, bahwa jang dimaksudkan dengan "as-saqalain" ialah Kitabullah dan keluarga Nabi atu Ahlil Bait.

Oleh krena itu mereka merasa ketjewa terhadap Buchari sebagai imam Hadis terbesar tidak memasukkan hadis ini kedalam kitab sahihnja, dan banjak menghilangkan hadis-hadis Ahlil Bait jang tidak disebut dalam karangannja. Banjak orang Sji'ah mengetjam Imam Buchari ini dalam kitab-kitabnja untuk menundjukkan sikapnja jang berat sebelah, dan mengemukakan "sunnati" lebih banjak daripada "itrati", tetapi saja menjangka, bahwa Imam Buchari karena itu tidak untuk memperketjilkan arti Ahlil Bait, tetapi sebab alasan-alasan jang lain. Kita ketahui ulama-ulama jang banjak memudji-mudji keturunan Ali dalam masa Abbasijah segera ditjap pro Alawijjin, ditahan dan dihukum. Oleh karena itu banjak ulama-ulama dan pengarang-pengarang dalam masa itu untuk keselamatan dirinja dan karangannja, menghindatkan hal-hal jang dapat membawa kepada tuduhan sematjam itu.

2. AHLIL HADIS DAN AHLIR RAJI

Sudah kita katakan dalam bahagian pertama dari pokok persoalan ini, bahwa timbulnja aliran-aliran jang banjak menjebabkan djuga kekatjauan dalam peraturan hukum Islam, jang dinamakan hukum fiqh Islam, karena bermatjam-matjam penafsiran, mengenai ajat-ajat Qur'an dan berbagai bentuk hadis, dirajah dan riwajahnja, sehingga mempengaruhi sumber-sumber pokok penetapan hukum itu.

Dengan demikian lahirlah dua aliran besar dalam kalangan ulama Islam, jaitu golongan jang berpegang kepada Sunnah jang dinamakan AhluI Hadis, terutama dalam daerah jang banjak terdapat sahabat-sahabat Nabi jang masih hidup, seperti Madinah dan Mekkah dan golongan janq banjak menggunakan pikiran dan qijas, jang dinamakan Ahlur Ra'ji, jang banjak terdapat di Irak dan daerah-daerah jang tidak banjak terdapat sahabat-sahabat Nabi, jang dapat mentjeriterakan keadaan hukum dalam masa Rasulullah.

Mengenai dirajah dan riwajah hadis itu djuga menghadapi kesukaran, karena banjak riwajat jang tidak dapat dipertjaja, karena sudah dipengaruhi oleh politik dan perkembangan aliranaliran paham itu.

Kemudian perbedaan riwajat dan penafsiran mengenai hadis "as-saqalain", jang sepihak menerangkan peninggalan dua jang berat oleh Rasulullah itu ialah Qur'an dan Sunnah, pihak jang lain mengatakan Qur'an dan Ahlil Bait Rasulullah. Perbedaan ini mengakibatkan dua golongan dalam penetapan hukum fiqh, pertama bernama Mazhab Ahlus Sunnah wal Djama'ah, kedua bernama Mazhab Ahlil Bait.

Dengan sendirinja Sji'ah Ali, memilih dan mengutamakan Mazhab Ahlil Bait dalam memegang hukum-hukum ibadat dan mu'amalatnja, karena mereka lebih banjak bergaul dengan ulama-ulama anggota keluarga Nabi dan lebih mempertjajainja dalam dirajah dan riwajah, terlepas daripada pengaruh pemerintahan Bani Umajiah dan Bani Abbas.

Kota Madinah, jang untuk sementara waktu tidak diganggugugat oleh pemerintahan itu, merupakan tempat berfatwa mengenai dasar-dasar tasjri' Islam, karena kota Nabi itu banjak didiami oleh sahabat-sahabat Nabi. Ahlil Baitnja dan Tabi'in jang baik.

Sedjak permulaan pemerintahan Bani Umajjah, sudah memperhatikan kota ini dengan penuh ketjemasan, karena ia merupakan perkampungan sekolah tinggi Islam, dan oleh karena itu ia membudjuk banjak ulama-ulama dengan kekajaan dan djandjidjandji untuk membantunja dalam pentjiptaan kodifikasi hukum-hukum Islam dan dengan demikian djuga ia membendung meluasnja pengaruh golongan Ali bin Abi Thalib.

Dalam masa Bani Abbas terdjadi kemadjuan penuntutan ilmu pengetahuan jang luas, ,dan sudah mendjadi kebiasaan, bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang dalam pimpinan dan pengawasan pemerintah, sehingga radja-radja Bani Abbas itu beroleh kedudukan dalam mata rakjat dan menganggap mereka imam, apalagi mereka berasal dari keturunan keluarga Nabi dari pihak pamannja. Tjuma sajang kedudukan ini achirnja membawa mereka menjeleweng memadjukan ilmu-ilmu pengetahuan dunia sadja atjapkali melupakan achirat, mempermain-mainkan Sunnah Nabi dan hukum agama Tuhan. Pengadjaran dan pendidikan agama mendjadi tersia-sia.

Maka bangunlah Ahlil Bait dan ulama-ulama lain bekerdja keras menjiarkan ilmu Islam ditengah-tengah kemadjuan pengetahuan duniawi itu menjelamatkan umat jang sedang menggunakan kemerdekaan berpikir jang luas. Adjaran mereka disambut oleh rakjat. Dja'far As-Shadiq adalah orang jang pertama melihat kepentingan ini dan memimpin kemadjuan ilmu pengetahuan itu dalam batas-batas kejakinan Islam jang benar. Dibukanja sebuah sekolah besar, jang dikundjungi oleh umat Islam dari seluruh pendjuru daerah, hingga djumlah muridnja tidak kurang dari empat ribu orang, sebagaimana sudah kita sebutkan diatas.

Kemadjuan ini pada mula pertama tidak begitu memusingkan Bani Abbas, tetapi sesudah mereka mempunjai kekuasaan, timbullah tjuriganja, kalau-kalau pengadjaran agama berpengaruh untuk melemahkan kedudukannja. Mereka tidak ahli dalam persoalan agama, hanja memerintah dengan kekuasaan dan mengumpulkan harta benda dari rakjat-rakjat jang telah dikalahkannja. Djiwa dan iman rakjat tertumpah kepada ulama-ulama, jang mengadjarkan mereka Islam dengan keadilan hukum-hukumnja.

Mulailah Bani Abbas mengambil tindakan terhadap mereka jang merupakan pengikut Ahlil Bait dan ulama-ulama serta rakjat umum jang merupakan pengikutnja. Meskipun mereka mengambil tindakan kekerasan, tetapi penduduk kota Madinah tetap taat, karena mereka sudah melakukan sumpah setia kepada keluarga Ali, bukan keluarga Bani Abbas.

Untuk sementara mereka dapat memerintah bangsa Persi, tetapi tidak dapat mengambil hati mereka, jang telah terlekat tjintanja kepada Alawijjin, meskipun bukan orang Arab. Konon dimulailah siasat melakukan sewenang-wenang, sampai membunuh orang-orang di Persi sendiri jang menggunakan bahasa Arab.

Kekedjaman ini dilakukan turun-temurun. Sesudah As-Safah datang Al-Mansur, jang terkenal dengan tangan besi dan orang jang haus kepada pertumpahan darah. Maka dipetjah-belahkan ulama itu dalam dua golongan, golongan fiqh di Irak jang menggunakan qijas, jang dibantunja, dan golongan ulama-ulama di Madinah, jang lebih mengutamakan hadis dan memeliharanja, terdiri daripada ulama-ulama Sahabat jang baik dan dipertjajai.

Hadis sedikit di Irak. Oleh karena itu dalam penetapan hukum agama mereka memakai dasar pikiran dan qijas, dimulai oleh Hummad, jang menuruti Ibrahim An-Nacha'i (mgl. 95 H.), dan dari Hummad diperkembangkan oleh Abu Hanifah (mgl. 150 H). Bahkan demikian beraninja, sehingga kadang-kadang lebih mau mereka menggunakan qijas daripada mengambil hadis uhad, sehingga sikap mereka itu mendjadi edjekan oleh ulama-ulama ahli hadis.

Ulama-ulama ahli hadis tidak mau menggunakan pikiran dan qijas dalam hal sematjam itu, artinja djika mereka masih menemui hadis, meskipun sifatnja uhad, karena takut mengadakan sesuatu hukum agama hanja berdasarkan kepada pikiran manusia. Diantara pemuka ulama-ulama sematjam ini ialah Imam Zaid bin Ali (mgl. 122 H), Imam Dja'far bin Muhammad As-Shadiq, Imam Malik (mgl. 179 H) dan Amir Asj-Sju'bi (mgl. 105 H) seorang ahli hadis terkenal di Kufah dalam masanja. Lalu terdjadi edjek mengedjek dan serang menjerang antara Ahli Qijas atau ra'ji di Irak dan Ahli Hadis di Madinah. Dengan sendirinja pemerintah Abbasijah jang bersifat keduniaan membantu golongan Ahli Ra'ji pada hari-hari pertama dan menekan kepada Ahli Hadis, jang kemudian bernama Ahli Sunnah wal Djama'ah.

Kedalam golongan Ahli Sunnah wal Djama'ah ini termasuk Mazhab Sjafi'i jang dikepalai oleh Muhammad bin Idris, jang banjak mempeladjari hadis dari Malik dan sahabat-sahabatnja, Mazhab Hanbali, jang didirikan oleh Ahmad bin Hanbal (mgl. 241 H.) jang banjak mempeladjari hadis dari Imam Sjafi'i (mgl. 204 H). Mazhab Maliki, jang terdiri dari pengikut-pengikut Imam Malik (mgl. 179 H). Semua dinamakan Ahli Hadis, karena mereka berusaha mentjari hadis dan dasar Sunnah Nabi untuk menetapkan hukum-hukum jang didasarkan atas nash, lebih dahulu daripada menggunakan qijas. Sjafi'i mengatakan : "Apabila engkau mendapati sebuah penetapan mazhab jang didasarkan atas hadis jang lebih sah daripada penetapanku, ketahuilah bahwa mazhabku jang sebenarnja adalah jang berdasarkan hadis jang lebih sah itu".

Banjak orang jang mendjadi pengikut Sjafi'i, diantaranja Ismail bin Janja Al-Mazani, Kabi' bin Sulaiman al-Djizi, Harmalah bin Jahja, Abu Jakub al-Buwaithi, ibn Shaibah, lbn Abdul Hakam al-Mishri, Abu Saur, dll.

Kemudian masuk kedalam ikatan Ahlus Sunnah ini Abu Hanifah an-Nu'man bin Sabit (mgl. 150 H), jang meskipun seorang tokoh Ahli Qijas, tetapi keterangan .akal itu digunakan untuk menguatkan. Pengikut-pengikutnja ialah Muhammad bin Hasan asj-Sjaibani, Abu Jusuf al-Qadhi, Zafar bin Huzaidi, Hasan bin Zijad al-Lu'lu'i, Abu Muthi al-Balchi, Basjar al-Muraisi, dll. jang semuanja mengaku bahwa Sjari'at itu disudahi dengan akal, dalam penetapan hukum mereka tidak melampaui batas nash, mereka gemar mengemukakan alasan dan tudjuan hukum, dan bersedia mengembalikan hadis-hadis jang berbeda satu sama lain kepada dasar-dasar pokok agama Islam.

Anggota Ahlus Sunnah ini bertambah luas dengan mazhab-mazhab sebagai berikut :

Mazhab Sufjan as-Sauri (mgl. 161 H).

Mazhab Sufjan bin Ujainah (mgl. 198 H).

Mazhab Hasan al-Basri (mgl. 110 H).

Mazhab Al-Auza'i (mgl. 157 H).

Mazhab Muhammad bin Djarir (mgl. 310 H).

Mazhab Umar bin Abdul Aziz (mgl. 101 H).

Mazhab Al-A'masj (mgl. 147 H).

Mazhab Asj-Sju'bi (mgl. 105 H).

Mazhab Ishak (mgl. 238 H).

Mazhab Al-Lais (mgl. 920 H).

Mazhab Abu Saur (mgl. 240 H).

Mazhab Daud az-Zahiri (mgl. 270 H).

Ada orang memasukkan lagi kedalamnja Mazhab A'isjah, Mazhab Ibn Umar, Mazhab Ibn Mas'ud, Mazhab Ibrahim an Nacha'i, dan lain-lain Imam Mazhab ketjil-ketjil, jang uraiannja semuanja tidak saja bitjarakan disini pandjang lebar, tetapi saja tangguhkan untuk mengisi karangan saja jang lain, jang saja namakan Ahlus Sunnah wal Djama'ah, dalam rangka serie gubahan saja Perbandingan mazhab dalam Islam, disamping kitab Sji'ah Ali dan Perdjuangan Salaf.

Dengan demikian dapat kita lihat, bahwa ulama-ulama fiqh sesudah berpetjah belah karena politik dan perlainan tjra berpikir, dari ulama-ulama Madinah, Irak dan Kufah, kemudian kembali bersatu kedalam ikatan Ahli Sunnah wal Djam'ah, jang sebagaimana kita lihat sedjarahnja tumbuh daripada Mazhab Ahlil Bait.

3. AHLUS SUNNAH DAN SJI'AH

Atjapkali kita mendengar pertanjaan : apa perbedaan mazhab Ahlus Sunnah wal Djama'ah dengan mazhab Ahlil Bait ?

Dalam pengertian hukum fiqh kedua mazhab ini hampir tidak berbeda. Kedua-duanja bersumber pokok pada Qur'an dan Hadis, Kita sudah melihat dalam sedjarah pendidikan dan pengadjaran, imam-imam mazhab Ahlus Sunnah jang terpenting adalah murid-murid daripada ulama-ulama Ahlil Bait. Jang tertarik kepada hadis "as-saqalain" jang menerangkan "Kitabullah wa Sunnati" menamakan ikatan ini Ahlus Sunnah, jang tertarik kepada hadis jang menerangkan "as-saqalain" itu ialah "Kitabullah wa Itrati, Ahli Baiti," meneruskan nama ikatan ini dengan Ahlil Bait, terutama Sji'ah Ali bin Abi Thalib.

Orang-orang Sji'ah menggunakan istilah ini, karena istilah itu telah terdapat dalam sebuah ajat Qur'an, jang berbunji : "Allah sesungguhnja menghendaki menghilangkan ketjemaranmu Ahli Bait, dan membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnja" (Qur'an XXX: 33). Lalu digunakan perkataan Ahlil Bait, jang pernah dihadapkan Tuhan kepada Nabi Muhammad dalam firmannja, untuk nama mazhab jang mereka anut dan amalkan.

Orang Sji'ah menganggap, bahwa mazhab Ahlil Bait itu adalah mazhab jang tertua dan jang tergiat memperdjuangkan Islam, sedjak agama ini lahir, dengan berpedoman kepada Qur'an dan Sunnah Nabinja. Nabi sedjak keangkatannja bersungguhsungguh menanamkan bibit-bibit ke-Islaman itu kepada keluarganja dan kepada semua orang Islam jang mengamalkan tjara beribadat sematjam itu dalam masa sahabatnja.

Usaha ini diteruskan djuga oleh keturunannja, terutama Iman Ash-Shadiq, sebagai jang sudah kita djelaskan. Dalam keadaan susah dan senang ia meneruskan menanam bibit-bibit hukum Tuhan ini, sebagaimana ditanamkan oleh kakeknja kedalam djiwanja, bagaimanapun pertentangan jang dihadapi dari Bani Umajjah dan Bani Abbas, dan tantangan dari pengadjaran-pengadjaran dan tjara berpikir jang sesat. Maka lahirlah beribu-ribu muridnja jang menjiarkan adjaran-adjarannja itu dan mendirikan mazhab-mazhabnja pula.

Mazhab Ahhil Bait atau dalam fiqh dinamakan djuga Mazhab Al-Dja'fariah, tidak sama sedjarah pertumbuhannja dan perdjuangannja dengan mazhab-mazhab Islam jang lain, la mempunjai dasar-dasar dan kekeluargaan jang kuat, sehingga ia dengan bantuan Tuhan djaja dalam perdjuangannja. Sementara mazhab-mazhab jang lain mengalami pasang surut penganutnja, mazhab Ahlil Bait ini berdjalan terus setiap masa dan zaman sampai tersiar keseluruh negara Islam diatas muka bumi ini.

Pemerintah Bani Umajjah menentang perkembangannja dengan tiga sebab; Pertama, sifat permusuhannja terhadap keluarga Nabi jang tidak kundjung padam,, turun-temurun dari ajah kepada anak dan tjutjunja. Agama Islam, jang telah mendjadi anutan tidak dapat mengubah dendam Bani Umajjah itu terhadap keluarga Nabi, Kedua, perkembangan mazhab Ahlil Bait jang begitu pesat, merupakan pukulan terhadap hukum-hukum peradilan dan merupakan pertentangan antara siasat Ahlil Bait dengan siasat Bani Umajjah. Ketiga, Bani Umajjah tahu betul akan pengaruh Ahlil Bait dan tjinta rakjat kepadanja, sehingga tidak merupakan perbandingan lagi dalam persoalan chalifah antara Bani Umajjah dan Ahlil Bait, bukan dari Bani Umajjah.

Dalam dua perkara terachir sama sikap Bani Abbas dengan Bani Umajjah, hanja Bani Abbas berbeda dalam perkara permusuhan terhadap keluarga Nabi. Pada hari-hari jang pertama mereka tidak memusuhi Ahlil Bait, karena senenek dan masih berkeluarga, tetapi tatkala mereka melihat, bahwa seluruh ummat Islam datang menjokong Ahlil Bait itu, merekapun mendjadi chawair dan kemudian mengambil sikap jang sama seperti Bani Umajjah.

Dengan demikian Ahlil Bait dan penganut-penganutnja menderita kesukaran. Meskipun begitu penjiaran mazhab ini tidak dapat dibendung. Adjarannja tersiar terus sampai keibu negeri keradjaan Bani Umajjah. Jang mula-mula menjiarkan mazhab ini di Sjam ialah sahabat besar Abu Zar al-Ghiffari. Sebagai orang jang djudjur dan tjinta kepada rakjat djelata, ia menjampaikan dengan terus-terang adjaran" Islam jang bersifat sosiali dan demokrasi. Dengan tidak segan-segan ia mengetjam sikap Mu'awijah, jang bersifat feodal dan tidak sesuai dengan adjaran sosial dalam Islam. Demikian berbahajanja adjaran-adjaran Abu Zar ini, Jang membuka mata rakjat untuk melihat pemerintahan Islam jang sebenarnja, sehingga Mu'awijah meminta tolong kepada Chalifah Usman bin Affan jang ketika itu memegang tampuk pemerintahan Islam di Madinah, untuk mengeluarkan sosialis Abu Zar ini. Abu Zar diperintahkan berangkat ke Rabzah dan mati disana.

Hadjar bin Adi, seorang sahabat Nabi jang ichlas, mengemukakan adjaran ini di Kufah dan dalam pengadjiannja di Pusat Kemadjuan Islam itu, ia mengetjam kemungkaran-kemungkaran jang dikerdjakan oleh pemerintah Bani Umajjah, membuktikan bahwa mereka telah meninggalkan adjaran Islam jang sebenarnja, memprotes tjutji maki terhadap Ali dan keluarganja diatas mimbar Djum'at dan membuktikan bahwa Ali bin Abi Thalib itu adalah pahlawan Islam jang terbesar, penjiar agama jang ulung orang dan keluarga jang terdekat kepada Rasulullah. Utjapan-utjapan itu menjebabkan Hadjar menemui nasib dan adjalnja. Sedjarah mentjeriterakan, bahwa Hadjar bin Adi adalah seorang pembela Ali jang sangat berani, ia pernah hadir dalam perang Shiffin, Nahrawan, dengan dua belas orang temannja jang gagah perkasa, dan berdjasa djuga untuk Mu'awijjah dalam mengamankan keadaan di Maradj Uzara. Sebagai pembalasan djasa, kemudian ia dengan teman-temannja dihukum ditempat itu smpai mati.

Saja tidak ingin turut mengetjam kekedjaman Bani Umajjah terhadap kepada penjiar-penjiar mazhab ini jang berlaku terus terang dalam mengemukakan adjaran Islam sebenarnja. Kitab-kitab Sji'ah memuat tjeritera-tjeritera pandjang lebar jang menjeramkan bulu roma. Jang perlu saja kemukakan, bahwa mazhab Ahlil Bait ini meskipun dalam keadaan demikian penjiarannja berdjalan terus, sebagai terusnja Imam As-Shadiq mentjetak murid dan kadernja jang ribuan banjaknja dengan ribuan pula karangan-karangannja tersiar dan mengalir sebagai air bah ketiap podjok bumi.

Memang disana-sini kita mendengar ketjaman terhadap mazhab Ahlil-Bait, jang menggunakan hadis-hadis tersendiri dan berbuat banjak bid'ah, misalnja oleh pengarang sedjarah jang terkenal Ibn Chaldun (Muqaddimah, hal. 274), tetapi atjapkali orang lupa, bahwa dibelakang tuduhan-tuduhan itu terdapat politik propaganda Bani Umajjah atau Bani Abbas, jang membentji mazhab ini, karena ia teruntuk chusus bagi Sji'ah Ali bin Abi Thalib. Untuk kemaslahatan dan keselamatan diri serta karangan-karangannja, banjak penjusun-penjusun kitab dalam segala bidang, meninggalkan kemegahan bagi Sji'ah, meskipun pada batinnja kadang-kadang mereka membenarkannja.

Mengenai djawaban ilmijah atas ketjaman Ibn Chaldun, batjalah kitab "Al-Imam as-Shadiq wal Mazahibil Arba'ah", karangan Asad Haidar, diantara lain djilid kesatu, hal. 216—218.

4. SEDJARAH MAZHAB AHLIL BAIT

Sebenarnja bukan tidak beralasan, baik Bani Umajjah maupun Bani Abbas, menuduh Sji'ah Ali senantiasa kalah menggerakkan pemberontakan rakjat terhadap pemerintahan mereka. Djiwa pengadjaran Islam dalam daerahnja banjak dititik beratkan kepada kehidupan duniawi, melalui djalan kasar atau djalan halus terhadap ulama-ulamanja, sedang adjaran Islam menurut mazhab Ahlil Bait lebih banjak ditekankan kepada kehidupan dunia dan achirat.

Djiwa pengadjaran Imam As-Shadiq diantara lain adalah kemerdekaan roh, jang sangat dihargakan tinggi oleh Islam, dan dengan demikian pengikut-pengikutnja selalu berdaja upaja melepaskan kemerdekaan djiwanja itu daripada belenggu kekuasaan jang dianggap zalim ketika itu. Sedjak berdirinja mazhab ini terikat dengan dua peninggalan Nabi jang kuat "as-saqalain" jaitu Kitabullah dan Itrah Rasulnja, Qur'an dan keluarga Nabi, jang berpadu keduanja, tidak bertjerai dalam penunaian kewadjibannja untuk memberi pertundjuk dan hidajat kepada umat. Qur'an mentjegah memberi bantuan kepada orang jang berbuat zalim dan mempertjajainja. Dalam sebuah firman Tuhan berseru : "Djangan kamu lekatkan kepertjajaanmu kepada mereka jang berbuat zalim, karena pasti kamu akan masuk neraka. Tidak ada lain pemimpinmu ketjuali Allah, jang lain tidak akan dapat menolongmu" (Qur'an. surat Hud, ajat 113).

Adjaran seperti dalam masa Nabi ini sudah tidak sesuai lagi dengan masa Bani Umajjah dan Bani Abbas jang tamak kekajaan dan bertindak setjara kekerasan. Mereka menganggap adjaranadjaran Imam as-Shadiq itu ditudjukan kepadanja.

Dengan penuh keberanian Imam mendjalankan terus adjaran sematjam ini. Pengikut-pengikutnja diadjar meresapkan rasa adil, jang merupakan pokok terpenting daripada dasar-dasar penetapan hukum Islam. Murid-muridnja hanja mematuhi peraturan-peraturan jang tidak melampaui batas Tuhan, jaitu Qur'an dan mentaati imam-imam jang adil serta memelihara agama, imam-imam jang ingin damai, bermutu tinggi dalam achlak dan budi pekerti.

Sebagai akibatnja rakjat tidak mau mentjari penjelesaian dalam urusannja kepada hakim-hakim pemerintah jang dianggap zalim itu, mendjauhkan dirinja dari ulama-ulama jang ditunggangi oleh pemerintah (Abu Na'im, Hiljatul Aulia, 111:194). Dengan demikian Chalifah Mansur As-Saffah dan Hadjdjadj bin Jusuf lalu mengambil tindakan, dan gugurlah ulama-ulama hadis dan fiqh dalam mempertahankan agamanja itu.

Imam As-Shadiq menghendaki, agar disamping pemerintah dunia, terdapat pimpinan agama, jang betul-betul mendjalankan kebidjaksanaannja menurut hukum Tuhan, berdasarkan kepada da'wah jang benar kebadjikan, keadilan, persamaan uchuwah Islamijah umum, peradaban jang baik dan kebudajaan jang benar, membasmi hawa nafsu, membasmi bid'ah dan kesesatan, jang semuanja itu dapat diperoleh hanja dari keturunan sutji, pemimpin-pemimpin mazhab ini. Karena merekalah jang sanggup memimpin umat kepada agamanja, membawanja kepada kebahagiaan, kepada tudjuan-tudjuan jang mulia dan tinggi, kepada tjontoh-tjontoh jang tinggi.

Mazhab Ahlil Bait ini adalah mazhab jang terdahulu lahir dalam sedjarahnja, karena sebenarnja bukan Imam As-Shadiq jang meletakkan batu pertama dan menaburkan benihnja, tetapi ialah Rasulullah sendiri. Nabilah jang meletakkan sumber-sumber dan peraturan-peraturannja dengan utjapannja menjuruh berpegang kepada Qur'an dan keluarganja, agar umat djangan tersesat (Hadis).

Mazhab ini terlahir dalam masa Nabi dan Imam jang pertama ialah Ali bin Abi Thalib, Imam jang paling tinggi nilainja dan paling banjak ilmunja. Ia merupakan diri Nabi Muhammad, mengikutinja dalam segala waktu, menampung ilmu langsung dasung daripadanja, memperoleh tasjri'amali sahabatnja dikampung dan dalam perdjalanan, ia duduk djika Nabi duduk, ia bekerdja djika Nabi bekerdja. Rasulullah adalah guru langsung dari Ali, pendidik dan pengasuhnja.

Penjair Mutanabbi menggambarkan keindahan pewarisan ilmu itu kepada Ali sebagai berikut :

Kuletakkan sandjunganku kepada pewaris.

Pewaris Nabi, wasiat Rasul.

Karena ia nur tjahaja berbaris.

Sambung menjambung, susul menjusul.

Sesuatu jang tetap terus-menerus.

Pasti achirnja berdiri sendiri.

Busah lenjap karena arus.

Laksana sifat matahari.

Tatkala Ali wafat, gerakan ilmijah dan pimpinan mazhab ini dipimpin oleh puteranja, Imam Hasan, tjutju Rasulullah dan mainan hatinja. Dialah tempat rakjat mengembalikan urusannja dan segala persengketaan. Tetapi urusan mazhab itu tidak berdjalan dengan lantjar, karena tekanan beberapa kedjadian dan saling sengketa dengan Mu'awijah. Ketjurangan-ketjurangan Mu'awijah terhadap keluarga Ali dan kekedjaman-kekedjamannja jang banjak menumpahkan darah, menghambat kemadjuan perkembangan hukum. Kita ketahui bahwa perdjandjian antara Hasan dan Mu'awijah untuk menjelamatkan perkembangan hukum dan adjaran Islam, jang sebenarnja, tidak ditepati oleh Mu'awijah.

Masa Imam Husain jang menggantikan saudaranja, lebih katjau lagi. Tidak sadja peperangan-peperangan sudah terbuka, tetapi kekuasaan jang telah ditjapai oleh Mu'awijah digunakannja dengan sengadja untuk merusakkan kedudukan hukum kaum muslimin. Urusan peradilan diserahkan kepada anaknja Jazid, seorang fasik dalam berbuat dosa dan kufur jang tidak ada taranja. Kemudian ia mendjadi chalifah buat orang Islam, mendjadi imam jang duduk diatas singgasana kechalifahan Islam.

Siapa Jazid ? Dalam "As-Sa'r al-Anwal fil Islam", karangan Muhammad Abdul Baqi (hal. 79) kita batja, bahwa ia seorang fasik jang durhaka, ia membolehkan meminum-minuman keras, membolehkan berzina, memperkenankan njanji-njanjian dalam madjelis-madjelis kehormatan, mendjadikan adat kebiasaan meminum anggur dalam sidang-sidang pengadilan, memberikan rantai dan kalung andjing dan monjet mainannja dengan emas, sedang ratusan orang Islam disekeliling tempat itu mati kelaparan.

Lalu mendiadilah kedudukan hukum Islam ketika itu sangat buruk. Imam Husain tidak dapat berdiam diri, ia terpaksa bangkit membela kebenaran, melakukan amar-ma'ruf nahi munkar. hingga terpaksa ia mengobarkan djiwanja dengan tjara jang sangat menjedihkan sebagai pahlawan Islam.

Urusan peradilan Islam dan pimpinan mazhab berpindah kepada anaknja Imam Ali bin Husain, jang bergelar Zainal Abidin, seorang jang sangat wara' dan takwa dalam masanja, tetapi djuga seorang alim dalam segala bidang ilmu Islam. Dengan tjara diam-diam ia meneruskan usaha ajahnja, janq meskipun suasana ketika itu sangat buruk, melahirkan banjak ulama-ulama ahli hukum dan ahli hadis.

Masa anaknja Imam Al-Bagir, memimpin mazhab Ahlil Bait ini. suasana politik sudah agak berubah, pemerintah Bani Umaijah sudah mulai lemah, diserang kanan kiri dan dibentji oleh rakjat karena sifat feodalnia. Pengadjaran-pengadjaran Ahlil Bait digiatkan kembali dimana-mana. ulama-ulamanja memantjar pergi menjiarkan adjaran Kitabullah dan Sunnah Nabi di Madinah dan dalam Masdjidil Haram, terutama ruang jang terkuat dengan nama "Ruang Ibn Mahil."

Kemadjuan jang sangat pesat ditjapai dalam masa Imam As« Shftdiq, Ditiap negeri sudah ada orang alim jang mengadjäf mazhab ini. Madrasah Imam As-Shadiq di Madinah merupakan sebuah universitas jang besar, jang dikundjungi oleh mahasiswa dari seluruh podjok bumi Islam. Banjak jang mengirimkan utusanutusannja.

Sedjarah pendidikannja menerangkan, bahwa ia seorang mudjtahid besar. Tidak ada pertanjaan jang tidak didjawabnja, dan djawabannja itu mendjadi sumber hukum pula bagi muridmuridnja. Terkenal sebuah utjapannja : "Tanjakanlah kepadaku, sebelum aku mati, tidak akan ada seorangpun dapat memberikan kepadamu pendjelasan seperti jang engkau dengar daripadaku" (Tarkiracul Huffaz, II : 157). Mengapa tidak demikian, karena dialah pewaris ilmu kakeknja jang masjhur itu. Mengenai Ali bin Abi Thalib, Nabi berkata : "Aku ini gudang ilmu dan Ali pintunja" (hadis).

Maka oleh karena itu sebuah hadis jang diriwajatkan oleh Imam As-Shadiq dari ajahnja Al-Baqir, dari ajahnja Zainal Abidin, dari Husain bin Ali dan dari Nabi, dianggap sanad jang paling baik dan paling kuat. Riwajat sematjam ini dinamakan "silsilah zahabijah", urutan keemasan demikian tersebut dalam kitab "Ma'rifah Ulumjul Hadis", karangan Hakim An-Naisaburi, hal. 55.

Djelaslah kepada kita mengapa ulama-ulama mengutamakan mazhab ini dalam sesuatu penetapan hukum. Tidak lain sebabnja melainkan karena salurannja sangat bersih.

Pemerintah melihat bahajanja orang banjak lari mentjan hukum kepada Imam As-Shadiq, dan tidak mau mendatangi hakim-hakim dan pengadilan resmi. Lalu diambil siasat, menjuruh ulamanja mengeluarkan fatwa, bahwa pintu idjtihad hukum Islam sudah tertutup.

Mazhab Ahlil Bait, jang kemudian terkenal dengan Mazhab Al-Dja'fari, tidak mau mentaati siasat pemerintah ini, pertama karena rakjat tidak mau mematuhinja, kedua karena menjebabkan orang Islam mendjadi beku, tidak mau berpikir dan menggunakan akal, satu-satunja anugerah Tuhan jang sangat mulia kepada manusia. Sebagai akibat keputusan ini, pemerintah menganggap mazhab itu menentang kebidjaksanaannja dan menghukum orangorang jang tidak taat itu.

Dengan alasan ini pemerintah menganggap mazhab Ahlil Bait musuhnja, lalu dinjatakan sebagai suatu golongan jang diang gap keluar dari Islam karena salah i'tikadnja, padahal ulama-ulama Ahlil Bait tidak mau mentaatinja karena hakim-hakimnja itu zalim, dan umat Islam diperintahkan meninggalkan orang-orang jang zalim itu dan radjanja.

Sebagaimana terdjadi dalam salah satu permusuhan, pemerintahan Bani Abbas lalu mentjari-tjari dan membuat-buat alasan untuk memburuk-burukkan mazhab ini dan Sji'ah Ali jang memeluknja. Mereka menggunakan uang untuk menggadji muballig-hmuballigh jang menjampaikan ketjaman-ketjaman mereka dalam mesdjid-mesdjid, menggunakan ahli-ahli pidato jang ulung didjalan-djalan, mengumpulkan ulama-ulama untuk mengeluarkan fatwa jang sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menjerang Sji'ah sebagai musuh negara dan sebagai musuh Islam.

Mereka menjiarkan berita bohong, bahwa Sji'ah mengkafirkan semua sahabat Nabi, bahwa mereka tidak bermal menurut Qur'an dll. Dengan demikian diratjuni pikiran rakjat dan digerakkan untuk membasmi golongan jang disebut salah itu. Batjalah kitab "Imam As-Shadiq wal Mazhahibil Arba'ah", karangan Asad Haidar, terutama djilid ketiga, hal. 21—23.

Dengan demikian pula tuduhan-tuduhan jang bukan-bukan kepada Sji'ah ini berlarut-larut dari generasi kegenerasi, dari ulama keulama dari kitab kekitab, sebagaimana jang akan kita singgung djuga dimana ada kesempatan.