Cerita-Cerita Hikmah Bab2

Cerita-Cerita Hikmah Bab20%

Cerita-Cerita Hikmah Bab2 pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Buku Umum

Cerita-Cerita Hikmah Bab2

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Muhamad, Muhamadi
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 1691
Download: 1519

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 35 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1691 / Download: 1519
Ukuran Ukuran Ukuran
Cerita-Cerita Hikmah Bab2

Cerita-Cerita Hikmah Bab2

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

CERITERA - CERITERA HIKMAH

BAGIAN 2

Muhammadi, Muhammad

Sekapur Sirih

ACAPKALI gagasan atau hikmah yang terkandung dalam sebuh tulisan acap terasa begitu sulit dicerna. Lebih-lebih jenis tulisan ilmiah yang selalu disesaki istilah teknis yang rumit dan membingungkan. Kesulitan ini diperparah dengan minimnya contoh-contoh kasus yang diajukan. Jadilah kemudian buku tersebut buku vampir yang menyedot habis energi pembacnya.

Ada sebuah kalimat bijak, “Sebuah kisah enteng jauh lebih baik dari paparan panjang lebar yang serius, prestisius, dan berbobot sekalipun.” Sebuah tulisan akan jauh lebih hidup, dialogis, dan menggelitik benak pembacnya pabila di sana-sini diselipkan kisah-kisah menarik dan penuh hikmah. Apapun jenis tulisannya; Tapi kisah yang bagaimana?

Sebuah kisah yang handal adalah kisah Yang bersahaja, diungkapkan dengan bahasa sehari-hari (vernakulistis), namun punya makna yang amat bertenaga. Sebuah kisah dapat dimaksudkan untuk menghibur, tapi juga untuk direnungkan. Tentunya secara moral, kisah yang kedua disebutkan jauh lebih bermakna tinimbang lainnya. Namun begitu, dalam metode penyajiannya, kedua maksud tersebut bisa digabungkan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kisah yang witty; renyah, “enteng”, jenaka, menggelitik, sekaligus menukik dan menghujamkan makna yang cerdas ke lubuk hati pembacnya. Buku kisah bernuansa keagamaan ini kirnya ingin berbuat seperti itu.

Dalam buku kisah-kisah religius ini, pembaca akan diajak bolak-balik dari zaman ke zaman. Mulai dari zaman nabi-nabi atau Rasul ke zaman berikutnya atau sekarang, balik lagi ke zaman nabi-nabi atau Rasul, begitu seterusnya. Gaya ini menjadikan pembaca mampu merajut kesinambungan konteks antarkisah, sekalipun satu dengan lainnya terpisah jarak waktu ratusan bahkan ribuan tahun.

Kisah-kisah dalam buku ini disusun sedemikian rupa agar mudah dikunyah pemahaman setiap orang. Sehingga para pembaca dapat menemukan makna atau hikmah yang melambari masing-masingnya. Terus terang, kisah-kisah religius yang disuguhkan dalam buku ini sebagian besarnya memiliki daya kejut dan daya bongkar terhadap pemahaman kita selama ini mengenai ihwal kehidupan beragama yang ideal.

Semoga saja setelah membaca rangkaian kisah dalam buku ini, para pembaca memperoleh wawasan dan kesadaran baru yang lebih jenius perihal bagaimana menempuh arung kehidupan ini. Sekali lagi, semoga....

BAB II

Hukuman atas Pemimpin nan Kejam

Salah seorang pemimpin pasukan musuh yang membantai Imam Husain dan para sahabatnya di Karbala, bernama Akhnas bin Zaid. Ia adalah orang yang kejam, buas, dan tak punya belas kasih. Di antara kekejamannya adalah memimpin sepuluh orang berkuda untuk menginjak-injak jasad suci Imam Husain, sampai tulang dada dan punggung beliau hancur.

Orang biadab ini selamat dari pembalasan Mukhtar al-Tsaqafi yang bangkit mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah membantai Imam Husain berserta para sahabatnya. Ia tetap hidup hingga berusia 90 tahun.

Pada suatu malam, ia―dengan berpura-pura menjadi orang asing―bertamu ke rumah, seorang muslim pecinta Ahlul Bait bernama Sudai. Sekarang marilah kita dengarkan kisahnya secara langsung dari lisan Sudai:

Pada suatu malam, seorang lelaki bertamu kerumahku dan aku menyambut kedatangannya dengan baik. Aku berharap malam itu aku dapat menjalin persahabatan dengannya. Ia adalah Akhnas bin Zaid. Sebelumnya, aku tidak mengenalnya. Aku mencurahkan isi hatiku, sampai akhirnya masuk ke pembahasan tragedi Karbala. Aku menarik nafas panjang. Ia bertanya, “Ada apa denganmu, mengapa engkau tampak bersedih?”

“Aku teringat berbagai musibah, yang berbagai musibah apapun (selain musibah itu) terasa amat ringan,” jawabku.

“Apakah engkau hadir di Karbala?” tanyanya.

“Aku bersyukur kepada Allah karena aku tidak hadir di sana,” jawabku.

“Ungkapan syukurmu ini untuk apa?”

“Karena aku tidak ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain. Tidakkah engkau mendengar bahwa Rasulullah saww bersabda, ‘Barangsiapa ikut serta dalam (tertumpahnya) darah al-Husain, maka ia akan diperiksa sebagaimana orang yang menumpahkan darah al- Husain; pada hari kiamat timbangan amal (baik)nya akan menjadi ringan.’ Tidakkah engkau mendengar bahwasanya Rasulullah saww juga bersabda, ‘Barangsiapa membunuh puteraku al-Husain, maka di Jahanam nanti ia akan dimasukkan ke dalam peti yang dipenuhi dengan api.’ Tidakkah engkau mendengar....”

Mendengar itu, Akhnas berkata, “Engkau jangan percaya semua itu; bohong belaka.”

“Bagaimana aku tidak mempercayainya Sedangkan Rasulullah saww bersabda, ‘Aku tidak berbohong dan tidak pula dibohongi.’” jawabku.

Akhnas menjawab, “Mereka mengatakan bahwa Rasul saww bersabda, ‘Pembunuh al-Husain tidak akan berumur panjang.’ Tapi aku bersumpah demi nyawamu bahwa aku berumur lebih dari sembilan puluh tahun. Tidakkah engkau mengenalku?”

“Tidak,” tegasku.

“Aku adalah Akhnas bin Zaid, yang sesuai perintah Umar bir Sa’ad membawa kudaku ke jasad Husain dan menginjak-injaknya sampai tulang-tulangnya hancur....”

Sudai berkata, “Saat itu aku amat bersedih dan hatiku terasa sakit dan terbakar. Lalu aku berkata pada diriku sendiri, ‘Aku harus membinasakannya.’ Aku melihat nyala pelita di ruangan mulai meredup. Lalu aku bangkit untuk mengatur nyala apinya. Akhnas berkata, ‘Duduklah, biarkan aku yang melakukannya.’ Ia tampak sombong dan takabur atas panjangnya usia dan keselamatannya. Ia lalu bangkit untuk mengatur nyala pelita itu. Tiba-tiba pelita itu menyambar dan membakar telapak tangannya. Sekalipuan ia menggosok-gosokkan tangannya ke tanah, nyala api itu tak kunjung padam. Perlahan-lahan api itu membakar lengannya.”

“Kemudian dengan memelas ia memohon kepadaku, ‘Tolonglah aku! Aku terbakar.’ Sekalipun bermusuhan dengannya, aku segera mengambil air dan menyiramkan ke tangannya. Namun siraman itu sama sekali tidak berarti. Nyala api terus bekobar-kobar. Lalu ia berlari dan menceburkan dirinya ke sungai. Namun saking besarnya, kobaran api itu bukan padam, malah kian berkobar dan menjilat habis tubuhnya. Demi Allah, biarpun ia menceburkan dirinya ke dalam sungai, api tersebut tidak padam. Tak pelak, Akhnas pun menjadi arang dan mengapung di permukaan air .”

Penegasan Imam Ali al-Ridha tentang Upah Pekerja

Sulaiman bin Ja’far berkata, “Saya berjalan bersama Imam Ali al-Ridha untuk suatu pekerjaan. Sampai akhirnya saya ingin kembali ke rumah. Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Ikutlah denganku dan malam ini menginaplah di rumahku.’ Saya menerima ajakan beliau dan berangkat menuju rumah beliau. Imam Ali al-Ridha memandangi budak-budaknya yang saat itu sedang sibuk membuat adonan tanah liat untuk membangun dinding. Pandangan mata beliau tertumbuk pada seorang budak hitam asing.

Beliau berkata kepada para budaknya, ‘Budak hitam ini, apa yang dikerjakannya di sini?’ Mereka menjawab, ‘Ia kami jadikan pekerja di sini untuk membantu pekerjaan kami dan nantinya kami akan memberinya upah.’ Imam Ali al-Ridha bertanya, ‘Apakah kalian telah membuat kesepakatan perihal upahnya?’ Para budak menjawab, ‘Belum, tapi ia yang datang untuk bekerja dengan kami, sehingga akan mendapat upah sesuai kerelaan kami.’ ‘Imam Ali al-Ridha merasa tidak senang terhadap cara seperti itu. Beliau memarahi budak-budaknya, bahkan mencambuknya. Setelah itu, beliau berkata, ‘Mengapa kalian tidak menentukan upah pekerja!’”

Sulaiman bin Ja’far bertanya, “Mengapa Anda begitu marah?” Imam Ali al-Ridha menjawab, “Saya telah berulangkali melarang budak-budak ini agar jangan sampai tidak menentukan jumlah upah bagi pekerja. Berulangkali saya berpesan kepada mereka agar terlebih dulu membuat perjanjian soal jumlah upah yang akan diterima pekerja. Hai Sulaiman! Ketauhilah bahwa jika engkau tidak terlebih dulu menentukan upah, setelah usai bekerja, dan engkau memberi upah kepada pekerja itu tiga kali lebih bnyak dari upah yang semestinya, maka ia tetap akan mengira bahwa upah yang diterimanya itu kurang dari semestinya. Dan bila engkau telah menentukan upahnya, maka tatkala perkerjaannya selesai lalu engkau memberi upah (yang telah disepakati bersama), niscaya ia akan berterimakasih kepadamu. Sekiranya engkau memberinya tambahan (dari ketentuan yang ada), ia akan tahu bahwa engkau telah memberi tambahan kepadanya.”

Jawaban Sulaiman untuk Seorang ‘Abid

Suatu hari Nabi Sulaiman as bersama pengawal kerajaannya mengadakan perjalanan. Burung-burung beterbangan di atas beliau demi melindungi beliau dari sengatan sinar matahari. Jin serta manusia yang berada di sekelilingnya, berjalan dengan penuh santun. Di tengah jalan, ia berjumpa dengan seorang ‘abid yang duduk di suatu sudut dan sibuk beribadah kepada Allah.

Sewaktu melihat Nabi Sulaiman berserta rombongannya, ‘abid itu mendekat dan berkata, “Hai putera Daud. Benarkah Allah Swt telah memberimu kerajaan dan kekuasaan yang amat besar?!”

Nabi Sulaiman as yang tidak memiliki keterikatan hati dengan kedudukan dan tidak terperdaya oleh status yang bersifat lahiriah berkata kepada sang ‘abid, “Tasbih di hati seorang mukmin lebih baik dari apa-apa yang diberikan kepada putera Daud. Sesungguhnya apa-apa yang diberikan kepada putera Daud akan lenyap sedangkan tasbih senantiasa kekal.”

Peperangan Abu al-Fadl Abbas dengan Marid bin Shudaif

Zuhair bin al-Qain adalah seorang prajurit dan pembela Imam Husain di Karbala yang gagah berani pada hari ‘Âsyûrâ’, tatkala Abbas bin Ali bin Abi Thalib hendak berangkat menuju medan perang, Zuhair menghampirinya dan berkata, “Wahai putera Amirul Mukminin! aku hendak menyampaikan sesuatu kepadamu.” Abbas menjawab, “Sampaikanlah, waktunya sempit.”

Wahai Abu al-Fadhl! Tatkala ayahmu hendak menikah dengan ibumu, Ummul Banin, ia berkata kapada suadaranya Aqil yang ahli dalam silsilah keturunan (nasab), “Pinanglah untukku seorang wanita yang berasal dari keturunan yang gagah berani, supaya Allah mengaruniaiku putera yang gagah berani, sehingga menjadi tangan dan rela berkorban demi menolong anakku al-Husain.’ Wahai Abbas! Ayahmu menghendakimu hari ini, oleh karena itu, janganlah engkau kurang sempurna dalam membela kehormatan Imam Husain.”

Mendengar ucapan ini Abbas amat tersentuh. Dengan bergegas dan mantap, ia menunggangi kudanya dan berkata, “Wahai Zuhair! Pada kesempatan ini, engkau hendak memberiku semangat dan kekuatan. Demi Allah, aku akan menunjukkan padamu pengorbananku, yang engkau sama sekali belum pernah saksikan tandingannya.”

Setelah menyampaikan jawabannya ini, Abbas memacu kudnya ke arah musuh. Ia menyerang musuh sedemikian dahsyat. Pedangnya bagaikan kilat yang menyambar-nyambar. Ia berhasil membunuh seratus pasukan musuh.

Saat itu, seorang musuh yang dikenal keberaniannya bernama Marid bin Shudaif Taghlabi, dengan topi besi melekat kuat di kepalnya dan mengenakan dua lapis pakaian besi yang rantainya kecil-kecil, bergegas menunggang kuda. Ia menggenggam sebuah tombak panjang. Dengan teriakan yang menggema ke seluruh medan laga, ia memacu kudnya ke arah Abbas dan berkat, “Hai anak lelaki! Kasihanilah dirimu. Masukkan kembali pedangmu ke sarungnya. Perlihatkanlah kepada orang-orang penyerahanmu; bagimu keselamatan jauh lebik baik dari penyesalan.”

Abbas menjawab sesumbar Marid, “Hai musuh Allah dan Rasul-Nya! Aku telah siap untuk berlaga dengan bertawakal kepada Allah yang Mahabesar, dan akan senantiasa bersabar. Karena aku memiliki hubungan kerabat dengan Rasulullah saww dan dibesarkan dari pohon kenabian. Orang yang berasal dari keturunan semacam ini, sama sekali tak akan menyerah kepada thaghût (orang zalim), dan tak akan bersedia bertekuk lutut di bawah panji penguasa zalim, tidak merasa gentar terhadap tebasan pedang. Aku adalah putera Ali dan tak akan pernah merasa lemah dalam menghadapi penantang....”

Kemudian Abbas melantunkan syair yang ditujukan kepada Marid.

Bertahanlah, ketahuilah bahwa segala sesuatu itu bakal musnah

Tak mungkin orang sepertiku akan merasa takut

Sekonyong-konyong Marid mengarahkan tombaknya yang penjang ke tubuh Abbas. Namun Abbas memegang erat tombak itu dan menariknya dengan kuat sehingga hampir saja Marid terlempar dari kudanya. Ia terpaksa melepas tombaknya dan menghunus pedangnya.

Abbas mengayunkan tombak Marid dan berteriak, “Hai musuh Allah, aku memohon kepada Allah agar mampu mengantarkanmu ke dasar neraka Jahanam.”

Segera saja Abbas menancapkan tombak Marid ke paha kuda yang ditunggangi Marid. Kudanya menjadi tidak terkendali. Marid pun menjatuhkan dirinya ke tanah. Kejadian ini sungguh memalukan. Melihat itu pasukan musuh guncang dan kebingungan. Kontan Syimr berteriak kepada pasukannya, “Celakalah kalian bantulah teman kalian, jangan sampai ia terbunuh.”

Seorang pemuda dari pasukan musuh menunggang kuda (kudanya itu berjuluk “thawiyah”) untuk menjemput Marid. Seketika itu, Marid berteriak, “Hai pemuda! Segara bawalah kemari Thawiyah, sebelum masuk ke dalam Hawiyah (neraka).”

Tatkala pemuda itu telah mendakat, Abbas menancapkan tombaknya ke dadanya. Ia pun jutuh tersungkur. Lalu Abbas menunggangi kuda thawiyah. Tak lama, datanglah 500 tentara musuh ke arah Abbas demi meyelamatkan Marid dari tangan Abbas. Kedatangan mereka sama sekali tidak membuat Abbas gentar. Dalam hitungan detik Abbas menancapkan tombaknya ke leher Marid. Akhirnya, Marid pun tersungkur ke tanah dan tewas. Kemudian Abbas menyerang musuh yang menghampirinya. Ia berhasil membunuh 70 orang. Sisanya lari tungang langgang.

Imam Ja’far al-Shadiq menyifati keberanian Abbas dengan mengatakan, “Aku bersaksi sesungguhnya engkau tidak lemah dan tidak pula takut dan engkau telah mengerahkan seluruh tenagamu (dalam menghadapi musuh).”

Syafaat Bagi Siapa?

Seorang ulama menceritakan bahawa seorang penyair bernama Hajib keliru dalam memahami syaafaat. Ia melantukan syair ini:

Jika Hajib bertransaksi di hari kebangitan dengan Ali (bin Abi Thalib)

Berbuatlah dosa sesukamu, dan saya akan menjamin

Di malam hari, ia bermimpi berjumpa dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam keadaan marah dan berkata kepadanya, “Engkau tidak melantunkan syair yang bagus.”

“Bagaimanakah sebaiknya?” tanya Hajib.

Imam Ali menjawab, “Perbaikilah syairmu menjadi ini:

Hayib jika bertransaksi di hari kebangkitan dengan Ali

Malulah kepada Ali, sedikitlah berbuat dosa.

Ya, harus terdapat keserasian antara pemberi syafaat dan penerima syafaat. Antara pemberi syafaat (syafî’) dan yang diberi syafaat (masyfû’) harus memiliki hubungan maknawi. Itu agar masyfû’ dapat memperoleh syafaat. Sebab syafaat adalah pertolongan yang diberikan kepada seorang yang memang patut mendapatkannya.

Bahaya Tanggung Jawab dalam Mengadili

Di Bani Israil, hidup seorang hakim yang senantiasa menghakimi berbagai permasalahan di tengah masyarakat dengan adil. Tatkala berada di ambang kematian, ia berkata kepada isterinya, “Kalau aku sudah mati, mandikanlah aku dan kafanilah. Tutupilah wajahku dan letakkanlah aku di sebuah peti. Insya Allah, engkau tak akan menyaksikan sesuatu yang buruk.”

Tatkala ia meninggal, isterinya mengurus jenazahnya sesuai perintahnya. Selang beberapa menit, ia menyingkapkan kain penutupi wajahnya. Tiba-tiba ia melihat sekumpulan ulat meng¬gerumuti wajahnya dan menggerogoti hidungnya. Ia merasa takut menyaksikan kejadian ini (segera menutup kembali wajah [jenzah suaminya] dan menguburkannya)

Pada malam itu, ia bermimpi melihat suaminya yang berkata, “Apakah engkau merasa takut terhadap apa yang dilakukan ulat-ulat itu?”

Wanita itu menjawab, “Ya.”

Sang Hakim berkata, “Demi Allah, pemandangan menakutkan itu disebabkan kecenderunganku pada saudaramu. Suatu hari, saudaramu bersengketa dengan seseorang dan datang kepadaku. Tatkala keduanya duduk di hadapanku dan memintaku menghakiminya, aku berkata kepada diriku sendiri, ‘Ya Allah, berilah kebenaran pada pihak saudara isteriu.’ Sewaktu persengketaan mereka selesai diteliti, ternyata kebenaran berada di pihak saudaramu. Aku merasa senang. Dan ulat yang engkau saksikan itu merupakan balasan atas kecenderunganku pada saudaramu, sekalipun saudaramu berada di pihak yang benar. Namun saat itu aku tak mampu menjaga hawa nafsuku untuk bersikap netral.”

Wajah Orang-orang Syiah

Pada suatu malam di bulan purnama, Imam Ali bin Abi Thalib keluar dari masjid Kufah dan hendak bertolak ke padang pasir. Sekolompok muslimin menyertai beliau. Imam Ali berhenti dan menghadapkan wajahnya kepada mereka lalu berkata, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah pengikut [Syiah]mu, wahai Amirul Mukminin.”

Imam Ali memandangi wajah mereka satu persatu dengan seksama, lalu berkata, “Tapi mengapa saya tidak melihat wajah Syiah pada wajah kalian?” Mereka bertanya, “Bagaimanakah wajah Syiah itu?” Beliau menjawab, “Wajahnya kekuningan karena tidak tidur malam, matanya rusak karena banyak menangis, punggungnya bungkuk karena banyak berdiri, perutnya kempis karena berpuasa, bibirnya kering karena berdoa, padanya terdapat tanda-tanda orang yang khusuk (rendah hati).”

Menghormati Hak Orang Lain

Ayatullah Burujurdi pada saat mengajar dan berdiskusi dengan para muridnya, kadangkala marah (jelas kemarahannya itu bukan kemarahan yang bertentangan dengan ridha Allah). Namun seusai memberi pelajaran, beliau amat menyesali kemarahannya itu. Beliau menemui murid yang telah dimarahinya dan meminta maaf kepadanya. Adakalanya demi menarik simpatinya, beliau memberi bantuan harta. Dikarenakan itulah, di antara teman-teman muncul sebuah anekdot, “Marahnya Ayatullah Burujurdi membawa berkah.”

mengajar para muridnya, beliau kembali meminta maaf kepada orang tersebut. Dengan demikian, kita tahu betapa besarnya Beliau perhatian beliau dalam menjaga hak dan kehormatan orang lain. Belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq yang mengatakan, “Seorang mukmin kehormatannya lebih agung dari kehormatan Kabah.” Yakni, penghormatan terhadap seorang mukmin jauh lebih agung dari penghormatan terhadap Kabah.

Perhatikanlah kisah di bawah ini:

Ayatullah Burujurdi mengajar pelajaran ushul fiqh (pririsip- pririsip fikih) di masjid ‘Isyqali. Suatu hari, salah seorang yang mulia bernama Syaikh Ali Capluqi melontarkan sanggahan. Beliau memberi jawabannya. Syaikh Ali kembali membantah jawaban beliau. Lalu beliau marah sehingga Syaikh Ali merasa terpukul dan hampir saja menangis. Pelajaran pun usai.

Salah seorang sahabat Ayatullah Burujurdi (Syaikh Khunshari) menuturkan bahwa dirinya baru saja selesai menunaikan shalat maghrib, tiba-tiba pembantu Ayatullah Burujurdi menghampirinya dan berkata, “Tuan! Ayatullah Burujurdi sedang berdiri di depan pintu perpustakaan dan merasa sedih dan menyesal dan berkata kepada saya, ‘Pergi dan panggillah Syaikh Khunshari.’” Kemudian ia pun bergegas menunaikan shalat isya dan langsung menemui beliau. Tatkala melihat kedatangannya, beliau langsung berkata, “Apa yang telah saya lakukan? Saya telah menyakiti, hati seorang alim yang mulia (yaitu Syaikh Ali Capluqi). Sekarang saya harus mendatanginya, mencium tangannya, serta meminta kerelaannya sehingga ia memaafkanku. Setelah itu barulah saya akan menunaikan shalat maghrib dan isya.”

Syaikh Khunshari berkata kepada beliau (Ayatullah Burujurdi) bahwa Syaikh Ali menjadi imam shalat di masjid Syah Zaid, dan seusai shalat menyampaikan beberapa permasalahan hukum fikih. Dengan demikian, setelah dua atau tiga jam, barulah beliau pulang ke rumah. “Sekarang saya akan menyampaikan kepadanya bahwa esok pagi Anda akan menemuinya,” kata Syekh Khunshari.

Di pagi hari, sepulang dari masjid, Syaikh melihat Ayatullah Burujurdi telah menunggu di samping rumahnya dengan menaiki andong. Lalu ia bersama beliau bertolok menuju rumah Syaikh Ali. Tatkala berhadapan dengan Syaikh Ali, Ayatullah Burujurdi hendak langsung mencium tangannya. Namun Syaikh Ali menolak. Ayatullah Burujurdi berkata, “Maafkanlah saya. Saya telah keluar dari keadaan normal dan marah kepada Anda....” Syaikh Ali menjawab, “Anda adalah penghulu muslimin. Sikap anda menumbuhkan kebanggaan dalam diri saya dan....” Ayatullah Burujurdi sekali lagi berkata, “Maafkanlah saya, maafkanlah saya.”

Kejadian ini menjadikan Syaikh Ali―sampai akhir hayatnya―mendapatkan curahan kasih dan sayang khusus dari Ayatullah Burujurdi.

Kedermawanan Suami Sayyidah Zainab

Abdullah bin Ja’far adalah sepupu Ali bin Abi Thalib dan suami Sayyidah Zainab binti Abi Thalib. Ia amat dermawan. Suatu hari, ia memasuki sebuah kebun kurma. Di situ ia melihat seorang budak hitam sedang bekerja. Tak lama, makanan dibawa untuk para budak. Dan ketika budak pekerja itu tengah menyantap jatah makannya, saat itu pula datanglah seekor anjing ke hadapannya. Ia lalu memberikan sekerat rotinya untuk anjing itu yang langsung memakannya. Begitu seterusnya; kerat demi kerat roti ia berikan untuk si anjing. Sampai semua jatah makannya pun diberikan kepada anjing tersebut.

Abdullah bertanya kepada sang budak, “apakah Cuma itu jatah makanmu?” Ia menjawab, “Ya, Cuma itu.” Abdullah kembali bertanya “Engkau tidak menyisakan sedikitpun untukmu. Semuanya engkau berikan kepada anjing, lalu bagaimana engkau menghilangkan rasa laparmu?” Budak menjawab, “Dalam keadaan lapar ini, aku tetap bertahan sampai malam tiba.” Abdullah bergumam, “Budak ini jauh lebih dermawan dariku.” Kemudian ia membeli kebun kurma beserta peralatan yang ada, termasuk budak tersebut dari pemiliknya. Ia lalu membebaskan si budak. Bukan cuma itu, ia juga menyerahkan kebun kurma besarta segenap perlengkapan dan peralatannuya kepada si budak.”

Akibat Rela dan Tidak Rela Ibu

Di tengah Bani Israil, hidup seorang ‘abid (orang yang rajin beribadah) bernama Juraih. Setiap hari ia sibuk beribadah di gua. Suatu hari, ibunya mendatangi gua tempatnya beribadah dan memanggilnya. Namun dikarenakan sibuk beribadah, ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.

Ibunya kembali ke rumah. Selang beberapa jam, sang Ibu kembali mendatangi tempat peribadahannya dan memanggil Juraih. Namun Juraih tetap tak menghiraukan pangilan ibunya. Begitu pula untuk yang ketiga kalinya; sang ibu mendatangi tempat peribadahannya dan memanggilnya. Namun lagi-lagi lantaran sibuk beribadah, ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan ibunya. Sang ibu merasa sakit hati atas perlakuan anaknya itu dan berkata, “Ya Allah, turunkan bencana terhadap anakku.”

Kesokan harinya, datanglah seorang wanita amoral yang sedang hamil ke tempat peribadahan sang ‘abid. Di sanalah ia melahirkan anaknya. Lalu ia menyerahkan anak itu kepada sang ‘abid dan menuduh anak itu sebagai anak ‘abid yang telah melakukan hubungan dengannya secara ilegal; bayi itu adalah anaknya.

Kemudian kasus ini menyebar ke tengah masyarakat di mana sang ‘abid telah didakwa berbuat zina. Raja pada masa itu mengeluarkan keputusan untuk menghukum mati ‘abid. Tatkala masyarakat tengah berkumpul untuk menghukum mati ‘abid, ibunya datang dan akan kembali mengutuknya (anaknya). Namun, dikarenakan rasa sedih yang mendalam, ia memukuli wajahnya sendiri dan menangis. Juraih menghadap ibunya dan berkata, “Ibuku! Tenanglah, kutukanmulah yang menyebabkan aku seperti ini. Sebenarnya aku tidak bersalah.”

Seluruh hadirin berkata kepada ‘abid, “Kami tak akan menerima pengakuanmu, kecuali jika kamu dapat membuktikan tuduhan kepadamu itu palsu.”

Saat itu (tatkala sang ibu telah merasa rela terhadapnya) ‘abid berkata, “Bawalah kemari bayi yang kalian tuduhkan sebagai anakku.” Lalu mereka membawa bayi itu. ‘Abid lalu mengambilnya dan berkata, “Siapakan ayahmu?” Si bayi dengan bahasa yang jelas menjawab, “Ayahku adalah si fulan (seorang pengembala).”

Dengan demikian, Allah telah mengembalikan harga diri dan kehormatan ‘abid, sekaligus menyingkap kepalsuan tuduhan wanita amoral itu. Sejak saat itu, Juraih bersumpah untuk tidak meninggalkan ibunya dan akan senantiasa berkhidmat kepadanya.”

Wanita Tua Mengadukan Angin

Allah Swt memberi kekuasaan kepada Nabi Sulaiman as terhadap segenap yang ada di langit dan bumi. Suatu hari, seorang wania tua, lantaran terpaan angin yang cukup kuat, terjatuh dari atap rumahnya dan tangannya patah. Ia menemui Nabi Sulaiman as untuk mengadukan perbuatan angin terserbut.

Nabi Sulaiman as memanggil sang angin dan menyampaikan pengaduan wanita tua itu. Angin berkata, “Allah mengirimku untuk menyelamatkan para penumpang kapal yang akan tenggelam di tengah laut, supaya kapal itu dapat bergerak ke tepian. Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan wanita tua yang sedang berada di atap rumahnya ini. Kakinya terpeleset dan jatuh ke tanah. Tangannya patah (saya tidak bermaksud melakukannya, alias tidak sengaja, lantaran sedang dalam perjalanan).”

Nabi Sulaiman as terdiam dan tak tahu bagaimana menentukan keputusan yang semestinya. Beliau berkata, “Ya Allah! Bagaimanakah aku menentukan hukuman atas perkara ini?” Allah Swt berfirman, “Ambillah biaya pengobatan untuk kecelakaan yang menimpa wanita tua dari pemilik kapal yang telah diselamatkan angin dari tenggelam di tengah lautan, karena Aku tidak rela ada seseorang yang teraniaya.”

Hukuman Nabi Yunus Meninggalkan yang Utama (tarkul aulâ)

Nabi Yunus as tinggal di sebuah kota bernama Nainawa (terletak di wilayah Irak, sekitar Kufah dan dekat Karbala). Masyarakat kota itu jumlahnya kurang lebih 100 ribu orang. Beliau sibuk mengajak mereka menjalankan ajaran agama.

Selama 33 tahun, ia menyampaikan ajaran Allah. Namun tak seorang pun yang beriman kepada-Nya melainkan cuma dua orang saja; seorang ‘abid bernama. Malikha dan seorang alim bernama Rubail. Selain keduanya, orang-orang tetap menyembah berhala.

Nabi Yunus as memutuskan untuk mengutuk mereka. Menurut sebagian pendapat, itu semata-mata atas usulan ‘abid. Akhirnya beliau pun mengutuk mereka. Setelah itu, beliau menerima wahyu bahwa di suatu masa nanti, Kami akan menurunkan azab. Tatkala masa turunnya azab Allah semakin mendekat, Nabi Yunus as dalam keadaan marah bersama sang ‘abid meninggalkan mereka dan sampai di pantai. Di situ terdapat sebuah kapal yang penuh dengan penumpang dan barang. Beliau meminta mereka mengijinkan dirinya dan sang ‘abid naik ke kapal.

Seandainya Nabi Yunus as tetap bertahan dan bersabar di tengah umatnya, hingga detik-detik terakhir menjelang turunnya azab Allah, justru jauh lebih baik dan utama. Namun ia malah meninggalkan yang lebih baik dan utama (tarkul aulâ) dan tergesa-gesa dalam bertindak; keluar meninggalkan kaumnya dan menaiki kapal untuk menjauh dari kawasan itu. Tiba-tiba seekor ikan paus menghadang perjalanan kapal dan mengangakan mulutnya, seakan-akan meminta makanan. Para penumpang terpakasa melakukan pengundian untuk menentukan siapa orang yang akan dilempar ke laut sebagai santapan ikan paus. Tiga kali mereka mengundi, tiga kali pula nama Nabi Yunus as yang keluar. Kemudian mereka melemparkan Nabi Yunus as ke laut dan ditelan ikan paus. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. (al-Shaffât: 142)

Nabi Yunus as berada dalam berbagai kegelapan; kegelapan dalam perot ikan paus, dalam lautan, dan malam. Namun beliau senantiasa mengingat dan menyebut nama Allah, serta berulang kali mengucapkan: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-Anbiyâ: 87)

Akhirnya Allah Swt mengabulkan doa beliau dan menerima tobatnya. Dia memerintahkan ikan paus untuk mengelurkan Nabi Yunus as di tepi laut. Lalu ikan paus berenang ke tepian laut dan mengelurakan Nabi Yunus dari mulutnya.

Ya, Nabi Yunus as bertobat dengan sebenar-benarnya, semurni-murninya, dan bertasbih kepada Allah dan mengakui kesalahan yang telah dilakukannya sampai akhirnya meraih keselamatan. Jika tidak demikian, niscaya beliau akan senantiasa berada dalam perut ikan paus sampai hari kiamat. Maka kalau sekiranya ia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal dalam perut ikan itu sampai bari berbangkit. (al-Shaffât:143-144)

Peran Penyelamatan Seorang Bijak

Nabi Yunus as berkata kepada kaumnya bahwa azab Allah akan turun pada hari rabu, pertengahan bulan Syawal setelah terbit matahari. Tetapi kaumnya menganggap ia telah berbohong. Mereka lalu mengusir Nabi Yunus as yang langsung pergi meninggalkan kaumnya dengan ditemani soorang ‘abid (Malikha). Tetapi Rubail, orang alim dan bijak yang juga keturunan nabi, tetap tinggal bersama kaumnya. Tatkala bulan Syawal tiba, Rubail pergi mendaki bukit. Dengan suara lantang ia memperingatkan masyarakat, “Hai manusia! Waktu turunnya siksa Allah sudah dekat! Saya amat mengasihi dan menyayangi kalian. Sekarang selama masih ada kesempatan, mohon ampunlah dan bertobatlah kepadah Allah, agar Allah tidak jadi menurunkan siksa atas kalian.”

Hati masyarakat tersentuh oleh nasihat Rubail. Mereka bersama-sama menemui Rubail dan berkata, “Kami tahu anda adalah seorang arif, bijak dan penuh kasih sayang. Kami akan mengikut perintah Anda”.

Rubail berkata, “Pisahkanlah anak-anak dari ibunya dan bawalah mereka ke padang pasir. Letakkan mereka secara terpisah. Bila menyaksikan datangnya angin topan dari arah timur, kalian semua, kecil maupun besar, harus menangis dan merintih dengan merendahkan diri, bertobat, dan memohon ampunan-Nya agar kalian memperoleh curahan rahmat-Nya....” Semua hadirin siap melaksanakan nasihat Rubail. Pada hari yang telah ditentukan, saat terbit matahari, tiba-tiba mereka menyaksikan angin kuning (topan) bertiup dengan kuat. Seketika itu pula mereka―kecil maupun besar―menangis, merintih, serta memohon ampun dan pertolongan Allah. Mereka bertobat dengan sebenar-benarnya.

Rubail juga berdoa demi keselamatan mereka. Jadinya, Allah pun menjauhkan azab itu dari mereka. Allah Swt menerima tobat mereka dan memerintahkan Malaikat Israfil untuk mengalihkan arah angin topan ke daerah pengunungan di pinggiran kota. Tatkala masyarakat menyaksikan azab urung menimpa, mereka bersyukur kepada Allah. Pada hari kamis, Nabi Yunus as dan sang ‘abid, mengetahui soal pembatalan azab Allah terhadap kaumnya. Nabi Yunus as dan sang ‘abid bergegas menuju pantai dan menjauhi kota Nainawa. Keduanya menaiki kapal sampai akhirnya ditelan ikan paus (sebagaimana telah disebutkan pada kisah sebelumnya). Sedangkan Malikha kembali ke kota dan menemui si alim (Rubail), dan berkata, “Aku mengira dikarenakan kezuhudanku, aku lebih baik darimu. Namun sekarang aku mengerti bahwa ilmu yang diiringi ketakwaan jauh lebih baik dari kezuhudan dan ibadah yang tidak disertai ilmu.” Setelah itu, si ‘abid dan si alim saling bersahabat dan tinggal bersama masyarakat serta memberikan bimbingan kepada mereka.

Nabi Yunus as Kembali ke Kaumnya

Tatkala berada di dalam perut ikan paus, Nabi Yunus as bertobat dan memohon ampun kepada Allah. Lalu Allah Swt memerintahkan ikan paus untuk membawa Nabi Yunus as ke pantai dan melempar keluar dari mulutnya.

Tatkala keluar dari mulut ikan paus, tenaga Nabi Yunus as sudah habis sehingga tak mampu berjalan. Berkat karunia dan rahmat Ilahi, tumbuhlah tanaman labu di tepi pantai. Nabi Yunus as berteduh di bawahnya seraya berzikir dan menyebut nama Allah setiap saat. Setelah memakan buah tanaman tersebut, secara berangsur-angsur tenaganya kembali pulih. Lalu Allah mengutus seekor cacing untuk memakan akar tetumbuhan itu. Tanaman itupun mengering.

Tatkala tanaman itu kering dan mati Nabi Yunus as berada dalam kesulitan dan merasa bersedih. Lalu Allah menurunkan wahyu: Mengapa engkau bersedih? Beliau menjawab, “Tanaman ini melindungiku dari panas, lalu Engkau mengutus cacing untuk memakan akarnya sehinga tumbuhan ini kering dan mati.” Allah berfirman: Mengapa engkau bersedih atas keringnya tanaman yang engkau tidak menanam dan mengairinya, tetapi tidak merasa bersedih terhadap turunya siksa dan bencana atas seribu orang. Sekarang ketahuilah bahwa seluruh penduduk Nainawa telah beriman dan berjalan di jalan ketakwaan, dan azab telah Kami singkirkan dari mereka. Pergilah menemui mereka.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahawa setelah tanaman itu kering Nabi Yunus as menampakkan rasa sedih dan susahnya. Lalu Allah memfirmankan: Hai Yunus! Hatimu tidak merasa sedih atas azab yang menimpa lebih dari seratus ribu jiwa tetapi engkau tidak mampu bertahan dalam menghadapi derita walau dnya satu jam saja.

Di sini Nabi Yunus as menyadari kekeliruannya dan berkata, “Ya Rabb, afwaka, afwaka (ya Allah aku memohon ampunan-ampunan-Mu).” Kemudian Nabi Yunus as bertolak menuju Nainawa. Tatkala sudah dekat dengan Nainawa, beliau merasa malu memasukinya. Tiba-tiba beliau melihat seorang pengembala. Beliau pun menemuinya seraya berkata, “Pergilah menemui penduduk Nainawa dan katakan kepada mereka bahwa Yunus akan datang.”

Pengembala berkata, “Tidakkah engkau berbohong? Tidakkah engkau merasa malu? Yunus telah tenggelam di dasar laut dan lenyap.”

Dengan perintah Nabi Yunus as seekor kambingnya mampu berbicara dengan bahasa yang jelas dan memberi kesaksian bahwa beliau adalah Nabi Yunus as. Pengembala itupun percaya bahwa sosok di hadapannya itu adalah Nabi Yunus as. Ia pun bergegas ke Nainawa dan mengabarkan kepada penduduk perihal kedatangan Nabi Yunus as. Ketika mendengar kabar itu, penduduk Nainawa tidak mempercayainya dan menangkap si pengembala. Mereka memutuskan memukulinya. Pengembala berkata, “Aku memiliki bukti atas kebenaran kabar yang aku sampaikan.” Mereka bertanya, “Apa buktinya?” “Buktinya adalah kambing ini,” jawab pengembala. Lalu kambing itu berbicara dengan kata-kata yang jelas dan memberi kesaksian atas kedatangan Nabi Yunus as. Mendengar itu, penduduk Nainawa pun percaya bahwa kabar itu benar adnya. Mereka lalu menyiapkan diri menyambut kedatangan Nabi Yunus as. beliau pun memasuki kota Nainawa dengan penuh kewibawaan dan mereka beriman kepadanya. Selama bertahun-tahun mereka hidup di bawah naungan dan bimbinga Nabi Yunus as.

Seseorang bertanya kepada Imam Muhammad al-Baqir tentang berapa lama Nabi Yunus meninggalkan kaumnya?

Imam Muhammad al-Baqir menjawab, “Selama empat minggu (28 hari); pada minggu pertama Nabi Yunus as keluar dari Nainawa dan sampai ke tepi taul; minggu kedua Nabi Yunus as berada di perut ikan; minggu ketiga Nabi Yunus as berteduh di bawah tanaman labu di tepi pantai; dan minggu keempat berangkat menuju kaumnya di Nainawa. Maka perjalanan berangkat dan kembali ditempuhnya selama 28 hari

Pertemuan Nabi Yunus as dengan Qarun di Dasar Laut nan Dalam

Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib menceritakan bahwa tatkala Nabi Yunus as berada dalam perut ikan besar, ikan itu berenang ke dalam laut dan menuju laut Qulzum. Dari sana, ia berenang ke laut Mesir dan melanjutkannya ke laut hitam. Dari situ, ia masuk ke laut Tigris (Dajlah) di Bashrah. Di laut inilah, Nabi Yunus as dibawa ke dasar laut nan dalam.

Qarun hidup di masa Nabi Musa as dan mendapat murka Allah (Allah Swt berfirman pada bumi untuk menelannya). Saat itu seorang malaikat utusan Allah diperintahkan untuk membenamkan Qarun setiap harinya setinggi tubuh manusia. Nabi Yunus as dalam perut ikan senantiasa berzikir dan beristigfar. Di perut bumi, Qarun mendengar lantunan zikir Nabi Yunus as. Ia lalu berkata kepada malaikat yang menguasainya, “Berilah saya sedikit kesempatan untuk tetap berada di sini karena saya mendengar suara manusia.”

Allah Swt berfirman kepada malaikat itu untuk memberi kesempatan pada Qarun. Malaikat pun memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati sumber suara. Qarun bekata, “Siapa kamu?” Nabi Yunus as menjawab, “Aku adalah orang yang bersalah dan berdosa Yunus bin Matta.” Kemudian Qarun menanyakan keadaan sanak keluarganya. Pertama kali ia bertanya, “Bagaimana keadaan nabi Musa?”

Nabi Yunus, “Musa as telah lama meninggal dunia.”

“Bagamana kabar Harun saudara Musa as?”

“Ia juga sudah meninggal dunia.”

“Bagaimana kabar tunanganku, Ummu Kultsum yang juga saudari Musa as?”

“Ia juga telah meninggal dunia.”

Di sini Qarun menangis dan merasa menyesal (hatinya merasa sedih memikirkan nasib sanak keluarganya).

Kemudian Allah mencurahkan rahmat-Nya kepadanya dan memerintahkan malaikat penjagnya untuk menghentikan siksaan dunia terhadap Qarun (ia berhenti sampai di situ dan tidak lagi ditenggelamkan ke dalam tanah setiap hari setinggi tubah manusia).

Tatkala Nabi Yunus as mengetahui kenyataan ini (ia menyadari bahwa Allah Swt mengasihi hamba-hamba-Nya yang berbuat baik), di tengah kegelapan ia menjerit, “Lâ ilâha illa anta subhânaka inni kuntu min al-zâlimîn (tak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim).”

Kemudian Allah Swt mengabulkan doanya dan memerintahkan sang ikan untuk melemparkannya ke pantai. Lalu ikan itu berenang ke tepian dan melemparkan Nabi Yunus as ke pantai. Di sana Allah Swt menumbuhkan tanaman labu dan Yunus as tidur di bawah naungannya. Berangsur-angsur, kesehatannya kembali pulih.

Kita dapat menyaksikan dengan jelas bahwa menjalin hubungan keluarga (silaturahmi), demikian pula dengan berdoa dan bertobat secara tulus dan murni serta mengakui dosa-dosa, akan menyebabkan keselamatan.

Ali dalam Asuhan Rasul saww

Tatkala Ali bin Abi Thalib mencapai usia sekitar enam tahun, daerah Mekah dan sekitarnya dilanda musim paceklik dan kekurangan pangan. Abu Thalib, ayahanda Imam Ali, seorang yang terhormat dan punya banyak anak. Tak pelak, ia pun dijepit kesulitan. Sanak keluarga Abu Thalib berniat merawat dan mengasuh sebagian anak-anaknya. Rasulullah saww menemui pamannya itu (Abu Thalib), dan bersabda, “Biarlah Ali bersama saya, dan saya akan berusaha keras mengasuh dan mendidiknya.” Abu Thalib menyetujui permintaan Rasulullah saww. Sejak itu, Ali bin Abi Thalib tinggal di rumah Rasulullah saww dan berada di bawah pengawasan dan bimbingan langsung beliau saww. Hingga saat Rasulullah saww diutus menjadi Rasul, orang pertama yang beriman kepada beliau saww adalah Imam Ali bin Abi Thalib as, yang saat itu sudah berusia 10 tahun.

Muslimin Asing dari Masjid

Konon, hiduplah seseorang yang secara lahiriah muslim, yang diistilahkan sekarang sebagat Islam KTP. Ia benar-benar tidak peduli terhadap hukum-hukum Islam. Sebagai contoh, ia sama sekali tak pernah datang ke masjid. Baginya, mendatangi masjid amatlah berat. Bila sewaktu-waktu melintas di samping masjid, ia akan cepat-cepat mengayunkan langkahnya dan sama sekali tidak melirik, apalagi menoleh, ke arah masjid.

Suatu hari, ia bertengkar dengan salah seorang anaknya yang masih kecil sekaitan dengan suatu persoalan. Ia hendak berdiri untuk memukul anaknya. Tapi, anaknya itu lari. Ia juga berlari mengejar anaknya. Akhirnya, si anak tiba di masjid dan masuk ke dalamnya. Sang ayah hanya berhenti di pintu masjid dan enggan masuk. Dari situ ia berteriak, “Ayo keluar! Ayo keluar! Seumur hidupku aku tak pernah masuk ke masjid. Janganlah engkau membuatku masuk masjid. Ayo keluar!”

Ya, orang-orang semacam ini memang ada. Sebagian hadir di masjid hanya untuk menghadiri acara pembacaan doa dan ayat-ayat suci al-Quran bagi sanak keluarganya yang meninggal dunia. Seakan-akan masjid itu dibangun hanya khusus untuk acara kematian saja.

Ayatullah al-Hâirî, Teladan Kemulian dan ketakwaan

Salah seorang ulama terkemuka dan agung adalah almarhum Ayatullah Syaikh Murtadha al-Hâirî. Beliau putera pendiri Hauzah Ilmiyah (sekolah agama), almarhum Syaikh Abdulkarim al-Hâirî. Beliau dilahirkan di Arak (Iran selatan) pada 14 Dzulhijjah 1334 Hijriah Qamariah. Pada tanggal 23 Jumadi al-Tsani dalam usia 72 tahun beliau wafat. Kubur beliau terletak di sekitar makam suci Sayyidah Fathimah al-Ma’shumah (di kota Qum) dan berada di samping kubur ayahandanya.

Syaikh Murtadha al-Hâirî benar-benar seorang alim serta memiliki pelbagai kesempurnaan maknawi dan kebersihan hati. Selama lebih dari 50 tahun, beliau aktif mengajar dan mendidik para pelajar di berbagai tingkat pendidikan. Beliau berperan sungguh luar biasa dalam mengembangkan Hauzah ilmiyah dalam berbagai aspeknya.

Berkenaan dengan pribadi Ayatullah al-Hâirî, Imam Khomeini menyatakan, “Sejak awal didirikannya Hauzah ilmiyah yang penuh berkah di kota Qum oleh ayah beliau yang mulia dan memberi berkah cukup banyak, saya telah mengenal beliau (Ayatullah Murtadha al-Hâirî). Setelah beberapa waktu, saya mengenal beliau lebih dekat dan menjadi sahabat beliau. Dalam pergaulan yang cukup lama, saya tidak melihat apapun pada diri beliau kecuali kebaikan. Beliau senantiasa berusaha keras mengemban tugas ilmiah dan keagamaan. Pribadi agung ini adalah sosok yang adil dan memiliki maqam (kedudukan) yang tinggi di bidang fikih. Pada awal pergerakan Islam Iran, beliau termasuk orang yang brerada di garda depan.”

Banyak kisah menarik berkenaan dengan perihidup Ayatullah Syaikh Murtadha al-Hâirî. Selama hidupnya, beliau sudah 64 kali pergi ke Masyhad untuk berziarah ke makam Imam Ali al-Ridha. Menurut cerita salah seorang ulama, beliau pernah berkata, “Dalam ziarah banyak 64 kali ini, saya senantiasa meminta kepada Imam Ali al-Ridha untuk menyambut panggilan saya dan melindungi saya di tiga tempat yang amat menakutkan; di saat pembagian buku amal perbuatan; di saat melintas jembatan (shirât); di saat berada di samping neraca (tempat penimbangan amal baik dan buruk).”

Dalam hal ini, Imam Ali al-Ridha sendiri berkata, “Barangsiapa datang dari tempat yang jauh untuk berziarah kepadaku, pada hari kiamat nanti aku akan mendatanginya di tiga tempat [di atas], dan akan menolongnya.”

Sejumlah orang yang dapat dipercaya, mengisahkan bahwa beliau (Ayatullah Syaikh Murtadha al- Hâirî) pernah berkata, “Pada perjalanan terakhirku ke Masyhad, Imam Ali al-Ridha berkata kepadaku (dalam mimpi atau lainnya) sebagai berikut, ‘Engkau jangan datang lagi kepadaku. Sekarang giliranku menemuimu.’” Dengan itu, beliau sadar bahwa ajalnya sudah dekat.

Kesejahteraan atasnya pada saat dilahirkan, wafat, dan dihidupkan kembali di hari dibangkitkan.

Nasihat Rasulullah saww pada Haji Terakhir

Pada tahun kesepuluh Hijriah (di bulan Dzulhijjah) Rasulullah saww menunaikan ibadah haji yang terakhir.

Ibadah haji ini dianggap sebagai hujjatul wida’. Saat itu banyak muslimin yang ikut menunaikannya.

Tatkala datang ke Mina untuk menunaikan sebagian amal ibadah haji, Rasul saww mengumpulkan orang-orang dan berceramah. Setelah mengucapkan pujian kepada Allah, beliau saww bersabda, “Wahai manusia! Hari apakah yang paling terhormat di antara hari-hari yang ada?”

Mereka menjawab, “Hari ini.”

Beliau saww kembali bertanya, “Bulan apakah yang paling terhormat di antara bulan-bulan ada?”

Mereka menjawab, “Bulan ini.”

Kembali beliau saww bertanya, “Kota manakah yang terhormat dari berbagai kota yang ada?”

Mereka menjawab, “Kota ini (Mekah).”

Beliau saww bersabda, “Hai manusia! Ketahuilah bahwa darah dan harta kalian adalah sebagaimana terhormatnya hari ini, di bulan ini, dan di Mekah ini, sampai kalian berjumpa dengan Allah. Pada hari itu (kiamat) Allah akan memeriksa amal perbuatan kalian. Ketahuilah apakah aku telah menyampaikan tugasku?”

Mereka menjawab, “Ya (anda telah menyampaikannya).”

Beliau saww bersabda, “Ya Allah saksikanlah!”

Kemudian beliau saww melanjutkan, “Wahai manusia ketahuilah! Barangsiapa memiliki amanat, hendaklah mengembalikan kepada pemiliknya dan ketahuilah bahwa darah dan harta muslimin itu tidak halal, melainkan dengan kerelaannya. Janganlah kalian berbuat zalim terhadap diri kalian sendiri, dan sepeninggalku janganlah kalian menggunakan cara-cara orang-orang kafir.”

Hud-hud dan Nabi Sulaiman

Nabi Sulaiman as adalah pemimpin dan penguasa masyarakat di zamannya. Pusat pemerintahan beliau terletak di Baitul Maqdis dan Syam. Allah Swt memberinya berbagai kekuasaan dan kemampuan. Sampai-sampai petir dan guntur, jin dan manusia, seluruh burung dan binatang melata, tunduk, patuh, dan berada di bawah perintah beliau. Beliau memahami betul seluruh pembicaraan dan bahasa mereka.

Nabi Sulaiman as memanfaatkan selurah karunia Ilahi itu untuk menarik manusia kepada Allah Swt. Khususnya dengan mencegah mereka dari berbagai penyimpangan dan dosa-dosa.

Pada masa Nabi Sulaiman as hidup seorang Ratu di negeri Yaman bernama Balqis. Ia memiliki kekuasaan dan kerajaan yang sangat besar. Namun Balqis dan rakyatnya bukan menyembah Allah, melainkan matahari dan berhala. Mereka jauh dari ajaran dan tuntunan Ilahi, serta tenggelam dalam kerusakan dan penyimpangan. Karena itu, Nabi Sulaiman as berkat pentunjuk dan arahan orang-orangnya yang cerdik dan pandai, mengajak mereka (Balqis dan rakyatnya) untuk keluar dari jalan gelap itu, menuju cahaya tauhid.

Pada suatu hari, Nabi Sulaiman as duduk di singgasananya. Seluruh burung―yang semunya dijadikan Allah tunduk dan patuh dan di bawah kekuasaan Nabi Sulaiman as terbang di atas kepala Nabi Sulaiman as dengan cara berjejer dan membentuk sebuah barisan dengan sayap selalu mengepak. Jadinya, Nabi Sulaiman as terlindung dari sengatan sinar matahari. Namun salah satu jenis burung (hud-hud) tidak hadir di antara burung-burung itu. Posisinya di udara nienjadi kosong. Dan kekosongannya menyebabkan sinar matahari langsung memancar ke dekat singgasana Nabi Sulaiman as.

Tatkala mengetahui peristiwa ini, Nabi Sulaiman as langsung mengangkat kepalnya memandang ke arah burung-burung di angkasa. Beliau tahu bahwa burung hud-hud tidak hadir. Beliau as bertanya: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud apakah ia termasuk yang tidak hadir? Sungguh aku akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau menyembelihnya kecuali jika ia datang kepadaku dengan alasan yang terang.” (al-Naml: 20-21)

Tak lama datanglah burung hud-hud, yang langsung meminta maaf kepada Nabi Sulaiman as sebagai berikut: Aku telah mengetahui suatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang benar.”

Nabi Sulaiman as menerima alasan dan permintaan maaf burung hud-hud. Lebih dari itu, beliau merasa bertangung jawab untuk menyelamatkan Ratu Saba dan rakyatnya. Beliau as segera menulis surat untuk Ratu Balqis dan mengajaknya kepada tauhid. Surat tersebut sangat singkat namun penuh makna. Isinya: “Dengan menyebut nama Allah. Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” (al-Naml: 30-31)

Lalu Nabi Sulaiman as menyerahkan surat itu pada hud-hud seraya mengatakan, “Aku hendak mengujimu, apakah engkau termasuk jujur atau pembohong? Bawalah surat ini dan letakanlah di sebelah singgasana Ratu Saba kemudian kembalilah. Aku ingin melihat bagaimana sikap mereka dalam menghadapi ajakan kita?!”

Hud-hud membawa surat itu dan terbang dari Syam menuju Yaman. Dari atas udara, ia melemparkan surat itu tepat di samping singgasana Ratu Balqis, yang langsung mengambil dan membukanya. Mengetahui isi surat tersebut teramat penting dan dikirim seseorang yang agung, ia lalu memutuskan untuk bermusyawarah dengan para pembesar kerajaannya.