Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil

Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil0%

Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil pengarang:
Kategori: Imam Jawad as
Halaman: 3

Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil

pengarang: Sayyid Mahdî Ayatullâhî
Kategori:

Halaman: 3
Pengunjung: 2794
Download: 578

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 3 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 2794 / Download: 578
Ukuran Ukuran Ukuran
Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil

Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil

pengarang:
Indonesia
Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil


Diterjemahkan dari :
Asynâ bâ Ma'sumin
Hadrat Imam Muhammad Taqî Al-Jawâd
Imame Nuhum
Karya : Sayyid Mahdî Ayatullâhî
Terbitan : Intisyârât Jahân arâ
Islâmic Republic of Iran
Penerjemah : A. Kamil
Penyunting : Abu 'Ali
Diperbanyak oleh : Yayasan Putra Ka'bah
Qum Al-Muqaddas
Jumadi Tsani 1424

1
Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil

Imam Muhammad Taqî Al-Jawâd
Adik-adik dan remaja tercinta

Adik-adik, dalam kehidupan dunia ini, kita memerlukan teladan dari yang berakhlak agung dan mulia, sehingga dengan keteladanan dari mereka, kita dapat meniru akhlak luhur mereka. Para pemimpin agama dan para Imam Ahlul Bait As adalah contoh dan teladan bagi kita semua. Oleh karena itu, kami telah membuat penelitian perihal kehidupan mereka, dengan maksud untuk memperkenalkan kepada adik-adik akan kehidupan mereka. Dan semaksimal mungkin kami telah menyusun buku-buku ihwal kehidupan mereka dengan bahasa sederhana sehingga dapat dipahami dengan mudah.
Kumpulan kisah manusia-manusia suci ini disusun seringkas mungkin dengan tidak melupakan keabsahan kisah-kisah teladan Imam Ahlul Bait itu.
Para ahli sejarah Islâm telah mengkajinya secara serius dan mereka mendukung adanya penyusunan buku ini.
Kami berharap, adik-adik sekalian sudi mengkajinya secara serius pula. Hasil dari pelajaran ini, kami meminta kepada adik-adik untuk dapat menyampaikan kesan dan pandangannya.
Kami sangat berterima kasih atas perhatian adik-adik. Dan semoga adik-adik mau bersabar menantikan edisi-edisi selanjutnya.


Wiladah
Memasuki usia lebih empat puluh tahun Imam ke delapan Syiah, Imam Ridâ As belum dikaruniai anak putra seorang pun. Para pengikut beliau menunjukkan kerisauan dan kecemasan mereka dan berdoa kepada Allah Swt agar menganugerahi putra kepada Imam Ridâ As, seorang putra yang dinanti-nantikan. Syi'ah Imam Ridâ mendengar dari para Imam sebelumnya bahwa Imam mereka yang ke sembilan adalah anak dari Imam ke delapan. Bahkan setiap kali mereka mengunjungi Imam Ridâ, mereka senantiasa menanyakan pada beliau tentang siapa pengganti beliau kelak. Imam menjawab, "Allah Swt akan menganugerahiku seorang putra yang akan menjadi pewarisku dan menjadi Imam setelah aku."
Akhirnya, pada hari ke sepuluh bulan Rajab tahun 195 Hijriah penantian mereka berakhir. Imam lahir dari ibunya yang bernama "Khaizran." Ibunda Imam Jawâd ini berasal dari keluarga Mâria Qibtia istri Rasulullâh Saw yang terkenal dan masyhur dikalangan Arab itu, karena kesucian, kesederhanaan dan ketinggian budi pekertinya.
Imam memiliki banyak gelar dan gelar yang paling masyhur adalah Taqî dan Jawâd. Hakima, saudari Imam Ridâ As, berkata: "Pada malam hari kelahiran Imam Jawâd, Imam Ridâ memerintahkan kepadaku untuk berada di sisi istri beliau, melayani istri Imam Ridâ As. Putra Imam lahir ke dunia dengan selamat dan ketika lahir, putra Imam itu menatap ke atas langit dan menyatakan, menegaskan ke-Esaan Allah Swt dan kerasulan Muhammad Saw." Aku yang menyaksikan peristiwa agung ini bergetar dan segera pergi menjumpai saudaraku dan menceritakan semua ini. Saudaraku berkata: "Wahai ukhti, Jangan engkau terganggu dengan peristiwa ini, engkau akan saksikan peristiwa yang lebih menakjubkan lagi."
Kelahiran ini merupakan rahmat, berita gembira bagi kaum Syi'ah. Kelahiran ini menjawab segala rasa penasaran, keraguan, kebimbangan dan kecemasan mereka.
Naûf'Ali menceritakan: "Ketika Imam Ridâ As melakukan perjalanan ke Khurasan aku berkata kepada beliau: "Apakah anda tidak memiliki perintah untuk aku kerjakan." Beliau berkata: "Ikutilah anakku setelahku dan tanyakan padanya segala kesulitan-kesulitan yang engkau hadapi."
Imam berulang kali mengatakan kepada sahabatnya, "Tidak perlu kalian mengajukan pertanyaan kepadaku, ajukan pertanyaanmu dan bertanyalah kepada anak kecil ini yang kelak akan menjadi Imam setelahku." Tatkala beberapa orang sahabat menunjukkan keheranan dan keterkejutan mereka, bagaimana mungkin seorang anak diangkat menjadi Imam umat?" Beliau berkata: "Allah Swt telah mengangkat Nabi 'Isâ sebagai nabi ketika beliau masih lebih muda lagi dari Abû Ja'far. Usia dan ketuaan seseorang tidak ikut campur dalam urusan Nubuwwah dan Imamah."
Imam ke sembilan umat ini, Imam Jawâd As menerima tanggung jawab Imamah pada usia sembilan tahun. Salah seorang sahabat beliau berkata: " 'Ali bin Ja'far paman Imam Jawâd di Madinah adalah seorang yang memiliki pengaruh yang besar. Orang-orang Madinah menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya. Setiap kali ia berangkat menuju masjid, orang-orang pun segera datang mengerumuninya dan bertanya tentang masalah-masalah yang mereka hadapi. Suatu hari Imam Jawâd memasuki masjid tersebut, 'Ali bin Ja'far yang merupakan orang tua dan sesepuh kota itu, berdiri dari tempatnya dan mencium tangan Imam lalu berdiri di sisi beliau. Imam berkata: "Paman duduklah." Sang paman berkata padanya: "Bagaimana mungkin aku dapat duduk selagi Anda masih berdiri?"
Ketika 'Ali bin Ja'far kembali ke kerumunan sahabat-sahabatnya, mereka menegurnya dan berkata: "Anda adalah orang tua dan paman dari anak ini. Mengapa Anda begitu rupa menghormatinya? Ali Ja'far menjawab : "Diamlah, kedudukan Imamah merupakan sebuah kedudukan dan maqam yang telah digariskan oleh Allah Swt. Allah Swt tidak memandang orang tua ini (Abû Ja'far, penj.) mampu dan cakap untuk mengemban kepemimpinan (Imamah) atas umat. Namun Dia memandang anak ini cakap untuk kedudukan itu. Dan kalian harus mentaati perintahnya."

Keunggulan Akhlâk Imam Jawâd As
Imam As masih belia ketika ayahandanya wafat. Namun sedikit pun ia tidak pernah berlaku sebagaimana anak-anak seusianya. Bahkan pernah suatu hari salah seorang sahabatnya membeli alat mainan untuk Imam dan membawanya ke rumah beliau. Kisah ini terjadi sewaktu ayah Imam masih hidup. Imam sangat terganggu dengan kelakuan anak tersebut. Kepadanya Imam berkata: "Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini? Kami adalah keluarga yang cinta akan ilmu dan kebaikan."
Satu tahun berselang setelah syahadah Imam Ridâ As, Ma'mun yang pada saat itu pergi berburu binatang bersama dengan pasukan pengawal pribadinya. Tatkala ia memasuki sebuah jalan, beberapa orang anak sedang bermain di jalan itu. Dan seorang anak berdiri di tepi jalan dan mengamati mereka yang sedang bermain. Ketika mereka melihat Ma'mun dan pasukannya hendak melewati jalan tersebut, mereka semuanya berlarian menjauh dari tempat itu. Namun anak yang berusia sebelas tahun itu tetap tidak bergeming dari tempatnya dan tetap berdiri di situ. Ma'mun mendekati anak itu dan bertanya, "Wahai bocah kecil, mengapa engkau tidak kabur sebagaimana anak-anak lainnya?"
Anak itu menjawab, "Jalan tidak begitu sempit. Aku tidak menjadi penghalang bagimu untuk lewat. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun sehingga aku tidak perlu takut. Aku pikir anda tidak akan mengganggu seseorang tanpa alasan. Dengan demikian, bagiku kabur adalah suatu langkah yang tidak beralasan." Ma'mun terkejut dan heran atas keberanian, kegagahan dan kecerdasan anak itu. Ia bertanya: "Siapakah namamu?"
Anak itu menjawab: " Muhammad."
Ma'mun bertanya lagi: "Putra siapakah engkau?"
Anak itu menjawab: "Putra 'Ali."
Ma'mun berkata: "Apakah engkau ini adalah putra Ridâ?"
Anak itu menjawab: "Iya."
Ma'mun memuji dan menepuk kedua tangannya tanda kagum terhadap anak itu. Setelah itu ia beranjak dari tempat itu diikuti oleh pasukannya.

Surat Imam Ridâ As untuk putranya
Bazantî berkata, "Suatu hari Imam Ridhâ As menulis surat kepada putranya di Madinah. Isi surat tersebut sebagai berikut:
Wahai putraku! Aku mendengar bahwa para pelayan khâlifah tidak memperkenankan orang-orang untuk datang mengunjungimu atau sekedar menghubungimu dan mengemukakan kesulitan-kesulitan mereka padamu.
Ketahuilah mereka (para pelayan khâlifah) itu tidak ingin kebaikan darimu dan tidak ingin melihat engkau bahagia. Kini aku perintahkan padamu untuk membuka pintu kepada semua orang sehingga mereka dengan bebas dapat berkunjung dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka. Bilamana engkau pergi bawalah uang bersamamu sehingga engkau dengan segera dapat membantu orang-orang yang tertimpa kesulitan dan membutuhkan pertolonganmu.
Pikirkanlah orang orang yang mendapat kesulitan hidup, rawat dan bantu mereka dengan baik. Jangan engkau lupakan untuk senantiasa bersikap pemurah dan merawat orang-orang yang tertimpa kemalangan.

Hubungan Imam As dengan alam gaib
Setelah syahadah Imam Ridâ, delapan puluh orang ahli ilmu dan hikmah mengadakan safar ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Dalam perjalanan mereka menuju Mekah mereka singgah di Madinah dan menyempatkan diri untuk mengunjungi Imam Jawâd As. Imam yang ketika itu masih sangat muda, masuk ke tempat di mana mereka berkumpul untuk menantikan Imam. Ketika Imam datang, mereka semuanya berdiri untuk memuliakan dan memberikan penghormatan kepada beliau.
Lalu mereka bertanya kepada Imam tentang masalah-masalah yang mereka hadapi. Mereka mendengarkan Imam memberikan jawaban dan sangat gembira atas jawaban Imam itu. Salah seorang dari mereka yang bernama "Ishâq" berkata: "Aku menulis beberapa masalah untuk aku tanyakan kepada Imam dan meminta beliau untuk mendoakan aku sehingga Allah Swt berkenan menganugerahi seorang putra kepadaku. Karena hari itu orang-orang ramai berdatangan, aku berdiri pergi dari tempat itu dan berhajat untuk datang lagi pada hari berikutnya. Imam As melihatku dan berkata: "Wahai Ishâq! Allah Swt telah mengabulkan permohonanmu dan akan segera menganugerhakan padamu seorang putra. Berikan nama pada anak itu dengan nama "Ahmad."
Kemudian, Imam As memberikan jawaban atas seluruh masalah-masalah yang aku hadapi. Aku belum sempat bertanya, Imam telah menjawabnya. Aku terkejut dengan jawaban yang beliau berikan, meskipun aku belum sempat mengutarakannya.
Begitu agung nikmat yang dianugerahkan Allah Swt kepada kita. Anugerah Imam yang menjadi hujjah bagi Allah Swt di muka bumi ini. Hingga ketika aku kembali ke kotaku dalam waktu yang tidak terlalu lama, Allah Swt memberikan aku seorang putra persis dengan apa yang telah disabdakan Imam kepadaku. Aku beri nama putraku itu dengan nama: "Ahmad."
Asharî Qumî berkata: "Aku mendapat kehormatan mengunjungi Imam As. Aku dengan rendah berkata: "Salah seorang wanita, yang merupakan salah seorang sahabat Anda juga, telah mengajurkan aku untuk membawa pulang salah satu dari pakaian Anda untuk ia gunakan sebagai kain kafan.
Imam berkata: "Dia tidak memerlukannya lagi." Aku tidak begitu paham apa yang disabdakan oleh Imam hingga aku meminta diri dari hadapan beliau. Setelah itu aku mengerti bahwa beberapa hari sebelum berkunjung ke hadirat Imam As, wanita itu telah meninggal dunia. Imam telah mengetahui perihal kematian wanita itu sebelumnya. Beliau ingin memberitahukan perihal wanita itu kepadaku melalui isyarat.
Ummiya berkata: "Selama masa Imam Ridâ di Khurasan, aku selalu mengunjungi rumah beliau. Suatu hari beliau berkata kepada kerabatnya "Bersiap-siaplah untuk melaksanakan acara duka esok pagi. Aku berkata: "Untuk siapa?" Acara duka untuk sebaik-baik manusia, ayahku Hadrat Imam Ridâ As."
Abâ Salât yang merupakan salah seorang sahabat Imam berkata: "Setelah syahadah Imam Ridâ, aku ditangkap atas perintah Ma'mun. Aku menjadi tawanan selama satu tahun dan sangat bersedih dan berduka. Suatu hari, aku terjaga dan sibuk beribadah, berdoa dan bertawassul kepada Imam As untuk menolongku. Aku belum lagi selesai mengerjakan shalât aku melihat Imam Jawâd putra Imam Ridâ As datang mendekat padaku. Beliau menyapaku: "Wahai Abâ Salât, nampaknya engkau begitu sedih dan berduka?" Aku berkata: "Benar, wahai Imam. Imam mendekatiku dan menghantam rantai itu dengan tangannya. Dengan seketika rantai itu terputus dan jatuh ke bumi. Lalu beliau berkata: "Berdirilah." Beliau mengambil tanganku dan menuntunku keluar dari penjara. Beliau berkata: "Kaburlah dari sini, sehingga Ma'mun tidak melihatmu dan tidak menyiksamu lagi. Setelah kabur dari tahanan Ma'mun, ia tidak lagi dapat menyiksaku. Dan demikian adanya apa yang dikatakan oleh Imam terjadi.

Pernikahan Imam Jawâd As
Ma'mun, setelah berhasil meracun Imam Ridâ, ia berjuang dan berusaha keras untuk menunjukkan bahwa kematian Imam Ridâ adalah sebuah kematian yang wajar dan alami. Namun, berangsur-angsur kelicikan dan kebusukannya tercium oleh orang-orang 'Alawiyûn dan orang-orang Syi'ah. Mereka mengetahui bahwa Ma'mun telah melakukan sebuah tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap Imam Ridâ As. Oleh karena itu, sorak-sorak, kritikan, gejolak dan pemberontakan terjadi di berbagai sudut kota. Ma'mun berupaya memadamkan api pemberontakan dan gejolak itu. Ia membawa putra Imam Ridâ itu, Imam Taqî al-Jawâd As dari Khurasan ke Madinah untuk menikahkannya dengan putrinya Ummul Fadal.
Orang-orang 'Abbâsiyah berusaha untuk menghentikan keinginan Ma'mun itu, namun Ma'mun tidak menyetujuinya. Ia berkata kepada sanak keluarganya: "Kalian tidak mengenalnya. Bagaimana kalian menentangku untuk tidak memilih sebaik-baik ciptaan Tuhan dan sealim-alim manusia untuk aku jadikan menantuku." Kalian dapat mengujinya. Jika dia menjawab pertanyaanmu dan mengalahkanmu, jangan berkata apa-apa lagi, dan tarik kembali tuntutanmu itu. Jika dia tidak dapat menjawab pertanyaanmu, aku akan mengalah pada permintaanmu dan tidak memberikan putriku kepadanya.
Orang-orang 'Abbâsiyah mendekati Yahyâ bin Aktsam dan memintanya untuk menyiapkan beberapa pertanyaan untuk menguji Imam Jawâd di hadapan majelis resmi Ma'mun. Yahyâ mengabulkan permintaan mereka. Mereka mendatangi Ma'mun dan mengumandangkan kesediaan Yahyâ. Ma'mun menentukan hari untuk tanya-jawab tersebut. Pada hari yang telah ditentukan, orang-orang Abbâsiyah bersama dengan Yahyâ bin Aktsam memasuki majelis akbar itu. Majelis itu dihadiri oleh orang-orang terhormat, bangsawan dan para punggawa kerajaan. Kemudian, datanglah Imam Jawâd ke majelis itu. Orang-orang yang hadir di dalam majelis itu berdiri menyambut kedatangan Imam Jawâd As. Imam melangkah ke depan dan mengambil tempat duduk dekat Ma'mun yang tidak berhasrat pada acara tanya-jawab ini karena ia berpikir Imam tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Ia berkata kepada Imam: "Yahyâ bin Aktsam ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Imam menjawab: "Ia boleh bertanya apa pun yang ia ingin tanyakan."
Yahyâ mulai melontarkan pertanyaannya kepada Imam: "Apa pendapatmu tentang orang yang mengenakan pakaian Ihrâm dan berziarah ke Ka'bah sementara pada saat yang sama ia juga pergi berburu dan membunuh seekor binatang di sana?"
Imam bersabda : " Wahai Yahyâ, masalah ini memiliki dimensi yang sangat luas (global, penj.). Mana yang ingin kau tanyakan? Apakah orang itu berada di luar Haram atau di dalam? Apakah ia tahu dan mengerti tentang larangan perbuatan itu atau tidak? Apakah dia membunuh binatang itu dengan sengaja atau tidak? Apakah dia itu seorang budak atau seorang merdeka? Apakah ia pelaku perbuatan itu menyesali perbuatannya atau tidak? Apakah kejadian ini terjadi pada malam atau siang hari? Apakah perbuatannya itu untuk yang pertama kali atau kedua kalinya atau ketiga kalinya? Apakah binatang yang dimaksud adalah binatang buruan itu seekor burung atau sebaliknya? Apakah binatang buruan itu besar atau kecil?
Yahyâ kebingungan dan juga kagum tatkala Imam menjelaskan dan menggambarkan permasalahan itu dengan sempurna. Dari raut wajahnya terbersit tanda kekalahan dan kegagalan. Lisannya terkatup. Seluruh hadirin menghaturkan penghargaan dan pujian kepada Imam Jawâd As. Kemudian Imam mendatangi Yahyâ dan berkata : " Aku juga ada pertanyaan untukmu? Yahyâ berkata : " Silahkan, bertanyalah. Jika aku tahu, aku akan berikan jawabannya, namun jika tidak aku akan mengambil manfaat dari anda.
Kemudian Imam melontarkan pertanyaan kepadanya tentang sebuah masalah yang membuat seluruh hadirin di tempat itu bungkam, terdiam dan menanti-nanti jawaban dari Yahyâ. Orang-orang Abbâsiyah dan para pelayan Ma'mun termasuk pemujanya menjadi tidak tenang dan mereka berkata pada diri mereka sendiri : " Jika Aktsam tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan itu, maka kita semua akan menjadi malu dan terhina. Kehormatan dan kemuliaan Imam semakin melambung tinggi dengan adanya peristiwa itu.
Pada saat yang sama, ulama yang hadir di tempat itu menundukkan kepala mereka dengan malu dan berkata : " Aku tidak memiliki jawaban atas permasalahan ini. Andalah yang dapat menjelaskan masalah ini sehingga kami pun dapat mengambil manfaat darinya." Kemudian Imam memberikan jawaban dengan deskripsi yang indah dan memuaskan sahabat-sahabat beliau dan sekaligus menjatuhkan musuh-musuhnya.
Pada waktu itu, Ma'mun menyampaikan ucapannya kepada orang-orang Abbâsiyun, ia berkata : " Apakah kalian dapat menemukan orang-orang diantara kalian yang mampu memberikan jawaban dengan cara seperti ini?"
Mereka menjawab : " Demi Allah. Kami tidak akan mampu".
Lalu akhirnya, Ma'mun menikahkah putrinya dengan Imam Jawâd di majelis itu juga.

Apa yang diinginkan oleh Ma'mun dengan pernikahan ini?
1. Ma'mun memiliki tujuan politik dan dengan pernikahan ini, yakni mengirim putrinya ke kediaman Imam Jawâd As untuk memantau dan memata-matai kegiatan Imam. Sebagaimana terbukti dalam sejarah, putrinya melakukan tugas itu dengan baik.

2. Ma'mun menginginkan dengan pernikahan ini ia dapat mengenal Imam lebih jauh, berkumpul bersama menikmati hidup yang mewah, berpesta dan ingin menyibukkan Imam dengan gelimang kemewahan hidup. Hasilnya ia, pada malam pernikahan itu, mengirim seorang budaknya yang cantik jelita mendendangkan lagu-lagu diiringi dengan musisi yang dipersembahkan untuk Imam. Imam mengecam kedatangan mereka dan mengusir mereka dari hadirat beliau. Salah seorang sahabat Imam berkata : " Aku hadir di hadirat Imam di Baghdad dan berpikir tentang bagaimana Imam meninggalkan kehidupan yang mewah pemerintahan Kh'Alifah Ma'mun dan memilih pergi ke Madinah. Imam bersabda : " Wahai sahabatku, ketahuilah bahwa memakan roti dan garam (makanan sederhana) dan mengenakan pakaian kasar dan tinggal di Madinah di sisi marqad (makam) Rasulullah Saw adalah lebih baik bagiku dari pada tinggal di sini. Untuk alasan yang sama, tekad Ma'mun agar Imam tetap tinggal di Baghdad, juga tetap ditepiskan oleh beliau. Beliau tidak tinggal di Baghdad dan tiba di Madinah bersama istrinya Ummul Fadal dan tinggal di sana hingga tahun ke 220 Hijriah.

3. Ma'mun mendambakan bahwa bila seorang putra akan lahir dari putrinya dan kelak ditunjuk sebagai Imam. Dan dengan begitu ia akan mendapatkan kehormatan dan kebanggan tersendiri. Khususnya ketika ia mendengar dari Imam sebelumnya bahwa Imam yang ke dua belas akan menjadi pendiri pemerintahan alam semesta ini. Imam ini adalah keturunan dari Imam yang sekarang menjadi anak menantunya. Namun putrinya tidak melahirkan seorang anak pun adapun anak-anak Imam, Imam Hâdî, Musâ Mubarraq adalah anak-anak yang lahir dari istri Imam yang lain. Seorang istri yang berbudi baik, seorang kaniza yang sederhana dan memiliki keunggulan akhlak yang tinggi. Harapan Ma'mun ini tetap tersimpan dalam sanubarinya hingga meninggal dunia tanpa pernah dapat terwujud.

Ketinggian dan kedudukan Ilmu Imam
Pada kisah sebelumnya telah kita ketahui bagaimana Imam mengalahkan dan membuat ulama istana tidak mampu menjawab pertanyaan Imam pada pertemuan di majelis Mu'tasimin tersebut. Dengan peristiwa ini, Imam telah menjadi pusat perhatian para ulama kala itu. Pada bagian ini perlu di jelaskan peristiwa yang terjadi dalam pertemuan istana " Mu'tasimin " yang merupakan Kh'Alifah Dinasti 'Abbâsiyah dan saudara Ma'mun.
Sebuah kejadian yang memicu kemarahan para ulama istana sehingga mereka menghasut " Mu'tasimin " untuk membunuh Imam As. Kejadiannya berlaku ketika seorang pencuri telah diseret ke hadapan sidang Mu'tasimin sehingga ia dapat dieksekusi atas perintah Khalifah. Sebagai pendahuluan, ia meminta pendapat para ulama yang hadir dalam majelis tersebut. Dalam hubungannya dengan pimpinan ulama itu - yang merupakan seorang yang terkenal dan masyhur - berkata sesuatu yang tidak mendapat persetujuan dari Mu'tasimin.
Ia lalu mengirim pertanyaan itu kepada Imam untuk mencarikan jalan keluar dari masalah yang tengah dihadapinya. Imam tiba dan seluruh ulama dalam sidang itu berdiri untuk menunjukkan penghormatan dan pemuliaan mereka terhadap Imam Jawâd As.
Imam duduk di antara mereka dan memutuskan hukuman terhadap si pencuri berdasarkan al-Qur'ân dan hadits. Mu'tasimin menerima jawaban Imam itu dan meminta untuk mengeksekusi jawaban tersebut.
Setelah Imam meninggalkan majelis itu, kemarahan para ulama itu ditumpahkan kepada Mu'tasimin. Mereka berkata : " Anda telah mengalahkan kami dan menghinakan kami sehingga dengan perbuatan anda itu, Syi'ah menjadi bernilai dan melambung namanya di tengah-tengah masyarakat. Kini terbukti bahwa orang-orang yang anda dan kami telah sesatkan itu berada di jalan yang sesat dan Imam serta orang-orang yang setia mengikuti beliau berada di jalan yang haq.
Mu'tasimin sangat gusar dan murka dengan perkataan ini. Ia membuat keputusan untuk memperbaiki semua yang telah terjadi, menebus semua kesalahannya dan mensyahadakan Imam. Keputusan ini pun menjadi kenyataan.


2
Muhammad al Jawâd As; Insân Kâmil

Akhir dari perbuatan Ma'mun
Ma'mun Abdûs memberontak melawan pemerintahan Ma'mun di Mesir. Kh'Alifah Ma'mun mengambil tindakan untuk memadamkan api pemberontakan itu. Setelah ia berhasil memerangi Ma'mun Abdûs, ia bertolak ke Roma dan merebut kota itu dan menawan banyak orang. Sekembalinya dari Roma, secara kebetulan ia melewati sebuah sumur yang dikenal dengan nama " Qushaerah ". Ia memutuskan untuk berkemah beberapa hari di tempat itu, karena tempat itu memiliki iklim yang sejuk dan tenang.
Ma'mun jatuh sakit di tempat itu. Ketika ia tahu bahwa arti dari " Raqqa " dan " Qushaerah " ia artikan sebagai sebuah pertanda buruk dan ia sangat gusar dan kesal, karena ia mendengar ia akan mati di sebuah dataran yang bernama " Raqqa ". Badannya bergetar dan berkuduk sesaat dan ia tahu bahwa ia akan segera akan berlalu dari kehidupan ini.
Akhirnya, Ma'mun meninggal dunia setelah beberapa hari menderita sakit. Ia dikuburkan di tempat itu juga. Setelah kematiannya, Mu'tasimin sebagai saudaranya yang merupakan orang yang keji, jahat dan berperangai buruk naik takhta menggantikannya. Ia memanggil Imam dari Madinah untuk pergi ke Baghdad sehingga ia dapat mengawasi Imam dari dekat.

Sahabat-sahabat Imam As
Karena selama periode Imamah Imam Jawâd As tekanan dan pengawasan musuh-musuh sangat berat dan ketat (dari masa-masa sebelumnya) murid-murid yang dapat digembleng juga sangat sedikit. Beberapa orang yang menjadi murid-murid Imam Jawâd As adalah sebagai berikut :

1. 'Ali bin Mahazyar

'Ali bin Mahazyar merupakan sahabat khusus Imam As. Ia termasuk salah seorang zuhud dan yang bermukim di Ahwaz. Ia menulis tiga puluh buah kitab tentang Ahlul Bait. Ia telah mencapai kedudukan yang disebutkan oleh Imam sebagai : " Dengan Nama Allah, Wahai 'Ali, semoga Allah Swt memberkatimu dengan sebaik-baiknya ganjaran dan kedudukan di surga kelak. Dan semoga Dia menganugerahimu kemuliaan dan keutamaan di dunia dan di akhirat. Aku tidak menemukan seorang pun selainmu yang sibuk dalam pelayanan dan pengorbanan untuk kami."

2. Abû Nazar Bazantî

Abû Nazar Bazantî adalah salah seorang sahabat Imam yang bermukim di Kufah. Seluruh Ulama Syi'ah sepakat dan mengakui kedudukannya dalam bidang Fiqih dan ilmu pengetahuan. Ia adalah orang yang sama yang mengunjungi Imam Ridâ As dan memberikan penghormatan khusus untuk Imam Ridâ As.

3. Zakaria Adam

Zakaria bin Adam merupakan salah seorang sahabat utama Imam yang bermukim di Qum dan. Kuburannya berada di Qum. Ia adalah salah seorang sahabat yang didoakan oleh Imam dan diperkenalkan sebagai seorang sahabat yang setia. Ketika salah seorang sahabat beliau bertanya : " Aku tinggal jauh sehingga aku tidak dapat berhubungan dengan anda untuk menanyakan hukum-hukum agama. Hadrat Imam berkata : " Bertanyalah kepada Zakaria bin Adam. Ia adalah salah seorang sahabatku yang dapat dipercaya dalam urusan dunia dan urusan akhirat.

Syahadah Imam
Kisah syahadah Imam telah dinukil dalam hadits yang berbeda-beda. Ibn Zâher Ashâb, seorang sejarawan kawakan juga menulis : Karena kegusaran dan kemurkaan Mustasim yang bersemayam di hatinya terhadap Imam, ia menghasut dan meyakinkan Ummul Fadal untuk membunuh Imam As. Perasaan kewanitaanya yang menjadikan ia menerima perintah pembunuhan itu, ia meracuni Imam dan memberikan syahadah terhadap beliau. Syahadah Imam terjadi pada hari selasa tanggal 6 Dzulhijjah tahun 220 H, pada usia 25 tahun. Jasad dan raga beliau yang suci nan kudus dimakamkan di pekuburan Quraisy di samping marqad (kuburan muqaddas) datuknya Imam Mûsâ Kâzim As. Pusara kedua Imam ini kemudian dikenal dengan nama Kâzimaîn dan merupakan salah satu tempat ziarah orang-orang Syi'ah.[]




Mutiara Hadits Imam Muhammad Jawâd As
Seseorang datang ke hadirat Imam dan berkata : " Berikan padaku nasihat". Beliau bersabda : " Jangan engkau taati keinginan nafsumu, karena engkau senantiasa dibawah pengawasan Rabbmu".

Pendosa yang tidak menghentikan perbuatan dosa dan bangga atas perbuatan itu, maka dia telah berlaku sombong dan orang yang sombong kepada Allah Swt akan binasa.

Sebaik-baik Iman adalah orang yang akhlaknya

Kesempurnaan insan terletak pada akalnya

Siapa saja yang bersandar pada Allah Swt, Allah Swt akan menjaganya dari segala bentuk kejahatan.


Jawablah pertanyaan berikut ini dengan singkat:

1. Hubungan macam apa yang dimiliki oleh Imam dengan alam gaib?
2. Mengapa Ma'mun ingin menikahkan putrinya dengan Imam As?
3. Mengapa Imam ketika bertemu dengan Ma'mun tidak kabur seperti dengan anak-anak yang lain?
4. Surat apa yang ditulis oleh Imam Ridhâ untuk putranya?
5. Pada zaman kekh'Alifahan siapa Imam syahid dan sebutkan alasannya?




Riwayat Hidup Imam Muhammad Jawâd As
Nama : Muhammad
Gelar : Taqî dan Jawâd
Panggilan : Abu Ja'far
Nama Ayah : Imam Ridâ As
Wiladah : Tahun 195 Hijriah
Masa Imamah: 17 Tahun
Syahadah :Tahun 220 H, diracun oleh istrinya atas perintah Mu'tasimin
Marqad : Kâzimaîn ( sebuah kota di Irak )




Seri Pemuka Manusia Suci

Muhammad bin 'Abdullâh
'Ali bin Abî Tâlîb
Fâtimah binti Muhammad
Hasan bin 'Ali bin Abî Tâlîb
Huseîn bin 'Ali bin Abî Tâlîb
'Ali bin Huseîn Zainal Abidin
Muhammad bin 'Ali al-Bâqir
Ja'far bin Muhammad Bâqir
Mûsâ bin Ja'far al-Kâzim
'Ali bin Mûsâ ar-Ridâ
Muhammad bin 'Ali al-Jawâd
'Ali bin Muhammad al-Hâdî
Hasan bin 'Ali al-'Askarî
Muhammad bin Hasan al-Mahdî




3