Iman dan Kufur (bagian3)

Iman dan Kufur (bagian3)0%

Iman dan Kufur (bagian3) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akidah

Iman dan Kufur (bagian3)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: Markaz Al Risalah
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 2024
Download: 1944

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2024 / Download: 1944
Ukuran Ukuran Ukuran
Iman dan Kufur (bagian3)

Iman dan Kufur (bagian3)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

IMAN DAN KUFUR

Markaz Risalah

PENGANTAR PENERBIT

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Rasul-Nya yang terpercaya, Muhammad Al-Mushthafa dan keluarganya yang suci a.s.

Pembahasan mengenai iman bukanlah pembahasan ulangan yang menjemukan sebagaimana isu-isu yang disebarkan oleh kaum materialis yang saat kini sedang berada dalam masa keemasannya dan sedang membangun asas tersendiri. Karena itu isu-isu tersebut secara langsung berhadapan dengan nilai dan tuntunan-tuntunan iman yang tinggi. Kesimpulan ini diambil dari pengalaman-pengalaman hidup yang membuktikan bahwa propaganda-propaganda mereka hanya terbatas pada ide yang tidak memiliki realita.

Karena itu mereka ingin menciptakan manusia yang bukan manusia yang ada sekarang ini atau mereka menyangka bahwa agama hanyalah khayalan belaka. Akan tetapi ketika mereka melihat bahwa kenyataan bukan seperti yang mereka bayangkan, mereka menyadari selama ini mereka hidup dalam khayalan. Mereka mengatakan bahwa manusia hanyalah sekumpulan daging, darah dan tulang yang hanya hidup di alam ini.

Pemikiran semacam ini dengan sendirinya akan hancur menghadapi realita bahwa manusia adalah makhluk dwi-dimensi dan tidak mungkin mematikan salah satu dimensinya.

Atas dasar ini, iman bukanlah khayalan belaka, akan tetapi iman adalah sebuah realita yang membahas alam manusia dan mengisi kehidupannya.

Dari sisi lain, ketika berbicara tentang iman, Al Qur’an membahasnya dari berbagai sisi dan dimensi, dan tidak menjadikan imam hanya sekedar sarana yang hanya digunakan hari ini demi ketenangan di hari esok sebagaimana keyakinan para pengikut aliran sufi.

Al Qur’an ―pada satu sisi― mengungkapkan bahwa iman adalah sebuah alat individu untuk bertemu Tuhannya dan kebahagiaan di kehidupan akhirat. Allah swt berfirman :

﴿إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات اولئك هم خير البرية﴾

(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, mereka adalah yang paling baik)

Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

﴿أفمن کان مؤمنا کمن کان فاسقا لا يستوون﴾

(Apakah manusia yang beriman sama seperti orang fasiq? Tentu mereka tidak sama)

﴿کنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنکر و تؤمنون بالله﴾

(Kamu adalah umat terbaik yang telah dilahirkan demi man usia. (Tugas kamu adalah) amar ma’ruf - nahi munkar dan beriman kepada Allah)

Dan Al Qur’an pada sisi yang lain mengungkapkan bahwa iman adalah perangkat masyarakat dan umat yang memiliki peranan penting dalam merancang masa depannya dan membangun eksistensinya di muka bumi ini. Allah berfirman:

﴿ولو استقاموا علی الطريقة لأسقيناهم ماء غدقا﴾

(Seandainya mereka istiqamah memegang jalan (agama) ini, niscaya Kami akan memberikan minuman mereka air yang sejuk)

﴿ولو أن اهل القری آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم برکات من السماء والأرض ولکن کذبوا فأخذناهم بما کانوا يکسبون﴾

(Jika penduduk sebuah negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan menurunkan berkah yang berlimpah kepada mereka dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan, lalu Kami siksa mereka karena ulah mereka sendiri)

Begitu juga ia membahas iman sebagai norma-norma kemanusiaan agung yang menjamin terbentuknya sebuah masyarakat ideal. Allah berfirman:

﴿تلك الدّارُ الآخرة نجعلها ببذين لايريدون علوا في الأرض ولا فسادا والعاقبة للمتقين﴾

(Itulah kediaman (abadi) di akhirat. Kami peruntukkan kediaman itu untuk orang-orang yang tidak menyombongkan di muka bumi ini dan tidak berbuat kerusakan. Akibat (kemenangan terakhir) akan dimiliki oleh orang-orang yang bertakwa)

Ini adalah gambaran, hakekat dan dimensi-dimensi iman menurut Al Qur’an.

Iman bukanlah sekedar “cinta sufi” yang menganjurkan setiap manusia menyembunyikan dirinya di puncak-puncak gunung yang tinggi (untuk beribadah) dan bukan sekedar kata-kata yang manis diucapkan. Iman adalah sebuah cakrawala luas yang meliputi pemikiran, suluk dan hubungan manusia dengan sesamanya. Iman adalah sebuah lautan dalam yang sui it untuk diselami, apalagi mengungkapkannya. Iman adalah rahasia kebangkitan dan berkembangnya sebuah umat, sedang kufur adalah rahasia kehancuran dan kemusnahannya.

Atas dasar ini, ketika kita mempelajari hakekat iman dan kufur, bukan hanya sekedar untuk menggembirakan jiwa kita dengan harapan-harapan dan menakut-takutinya dengan siksaan-siksaan, sebagaimana yang dibayangkan oleh sebagian orang. Akan tetapi, tujuan kita sebenarnya adalah untuk menyeimbangkan kehidupan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.

Maka dari itu, ketika kami memilih tema ini sebagai bahan kajian, bukan berarti kami telah mengkaji seluruh tema tersebut dari segala sisi dan dimensinya. Paling tidak kami telah menambah khazanah dalam pembahasan keimanan dan sedikit menyingkap hakekatnya.

Tujuan sebenarnya bukan untuk memperluas wawasan pembaca dalam bidang ini, ataupun membebani pikiran dengan pembahasan yang ―sebenarnya― berat, akan tetapi tujuan utama kami adalah supaya pengetahuan tersebut menjadi sebuah penggerak yang dapat mewarnai kehidupan manusia, baik secara individu atau sosial masyarakat dengan tuntunan-tuntunan iman yang murni.

Akhirnya hanya Allahlah tempat kita meminta pertolongan, dan Ialah satu-satunya penunjuk ke jalan yang lurus.

Mu’assasah Ar-Risalah

MUKADIMAH

Segala puji bagi Allah yang telah menanam benih iman dalam hati hamba-hamba-Nya dan menghiasai hati mereka dengannya serta memberikan rasa benci terhadap kekufuran, kefasikan dan maksiat. Salawat dan salam-Nya semoga terlimpahkan kepada Penunjuk jalan dan kiblat mukminin, pembasmi orang-orang kafir dan para pengikut mereka, Muhammad Al-Musthafa dan keluarganya yang suci.

Amma ba’du. Iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab dan para rasul-Nya adalah inti akidah yang hak dan agama yang mulia ini. Keyakinan ini harus direalisasikan oleh muslimin dalam setiap masa dan generasi dan hendaknya mereka menjadikan iman sebagai tolok ukur hakiki dalam mengukur keistimewaan seseorang, bukan tolok ukur lain yang tidak ada nilainya menurut penilaian Al Qur’an.

Iman bukanlah sekedar syi’ar yang hanya enak digembar-gmborkan. Akan tetapi iman adalah suluk, tata krama dan akhlak yang harus diterjemahkan dalam kehidupan individu yang menghendaki kebaikan dan membenci kejelekan.

Jika bayi yang baru dilahirkan mempunyai keimanan secara fitrah akan tetapi ayah-ibunyalah yang memiliki peranan utama menjadikannya pengikut agama Yahudi, Kristen atau Majusi, fitrah semata tidak cukup dengan sendirinya untuk mengantarkan manusia mencapai tujuan iman seperti yang telah digariskan oleh Alquran, selama tidak disertai dengan pengajaran yang benar dan pendidikan yang tepat.

Jika tidak demikian, tuntunan-tuntunan iman yang tinggi ini akan musnah secara perlahan dan tidak akan membekas dalam sanubari manusia.

Sara tidak menemukan orang berakal yang tidak meyakini peranan iman dalam kehidupan individu dan sosial masyarakat. Jika kita menengok kemenangan dan keberhasilan umat-umat terdahulu dalam bidang materi, seperti menundukkan alam, kedokteran dan industri, hal ini adalah bukti terbaik atas apa yang kami katakan itu. Karena kemajuan dan keberhasilan-keberhasilan itu, dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh positif dalam jiwa mereka, dan akibatnya, mereka tidak akan menemukan ketenanganjiwa dan kedamaian sejati hingga masa kita.sekarang ini.

Oleh karena itu, mereka akan menghadapi gelombang keraguan, kebimbangan dan ketakutan dalam menghadapi masa depan yang menyebabkan mereka lari dari realita atau bunuh diri yang merupakan fenomena hangat yang sedang dihadapi oleh masyarakat Barat. Oleh karena itu, para pemikir telah membunyikan lonceng bahaya sebagai peringatan atas bahaya yang sedang mengancam ini.

Begitu juga, kemajuan dan keberhasilan-keberhasilan secara materi ini, dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh positif bagi sisi etika mereka. Hal ini dapat kita lihat dati menggejalanya dekadensi moral, meningkatnya kriminalitas dan penggunaan obat-obat terlarang secara bebas yang menimpa mayoritas negara dunia ini.

Lebih dari itu, tidak adanya gambaran yang benar bagi manusia mengenai tujuan wujud dan kehidupannya adalah hasil negatif lain dari keberhasilan-keberhasilan tersebut.

Yang sangat menakjubkan adalah munculnya model-model kekufuran baru yang didukung oleh yayasan-yayasan bergengsi, yang berusaha memerangi Islam, memusnahkan tuntunan-tuntunan dan menyimakan kedudukannya. Dengan bermunculannya golongan-golongan baru yang tersebar di seantero dunia, ruang lingkup kekufuran ini makin meluas dan secara terang-terangan mengajak manusia untuk meyembah syetan.

Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, mereka menciptakan ritus-ritus keagamaan baru dan tempat-tempat peribadatan khusus yang dilengkapi dengan sarana-sarana media massa modem yang digunakan untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka.

Atas dasar ini, kita sangat perlu membahas problema iman dan kufur, karena problema ini adalah salah satu problema hayati dan primer yang semestinya harus kita perhatikan.

Betul, ada sebagian orang yang sempit pemikirannya dan tidak memiliki hasrat untuk membahas problema iman dan kufur (secara tuntas). Karena mereka menganggap problema ini sebagai problema sampingan yang tidak penting. Mereka menganggap di dunia ini ada problema-problema lain yang lebih penting dan hayati.

Mereka lupa bahwa problema iman dan kufur adalah salah satu problema yang menentukan masa depan individu dan sebuah masyarakat. Lebih-lebih, karena iman adalah sumber kebaikan dan kufur adalah sumber kerusakan bagi manusia.

Kekufuran telah memenuhi akal manusia dengan khurafat, memusnahkan etika dan mendatangkan permusuhan dan percekcokan.

Oleh karena itu, supaya dapat menyampaikan apa yang menjadi tujuan kami (dari penulisan buku ini), kami membagi pembahasan buku ini dalam empat pasal.

Kami berharap semoga buku kecil ini dapat membantu pembaca dalam membedakan kekufuran dan iman serta pengaruh-pengaruhnya atas kehidupan individu dan masyarakat. Setidaknya ini sebagai satu langkah yang penuh berkah ―insya-Allah― demi menguatkan dan menjaga fitrah manusia yang condang kepada iman dan tidak terjerumus ke dalam jurang kehidupan material dan menuntun mukminin untuk mencapai faktor-faktor yang dapat menguatkan iman dan mengangkat derajat mereka.

Akhirnya kepada Allah swt kami memohon pertolongan dan taufik.

PASAL III

PEMUSNAH IMAN

Orang mu’min adalah orang yang berjalan di atas jalan iman dengan langkah-langkah yang pasti. Akan tetapi, adakalanya ia akan terhembus oleh angin topan hawa nafsu dan syubhah sehingga ia keluar dari jalan yang benar dan terjatuh dari puncak iman menuju lembah kekufuran yang dalam. Dengan demikian ia akan menjadi “miskin” spiritual (ma’nawiyah) setelah ia kaya iman.

Zaid bin Shauhan Al-‘bdi pernah bertanya kepada Amirul Mu’minin a.s.: “Kemiskinan apakah yang paling parah?” Beliau menjawab: “Kufur setelah beriman”.[1]

Terjerumusnya manusia ke dalam lembah kekufuran terjadi melalui beberapa tahapan. Syetan menjerumuskan manusia ke dalam jurang kekufuran menggunakan politik ‘selangkah demi selangkah’. Oleh karena itu, Allah mengingatkan manusia akan strategi syetan tersebut. Ia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syetan”. Dalam ayat yang lain Ia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah syetan. Karena ia adalah musuh yang nyata bagimu”.[2]

Oleh karena itu, syetan berusaha menyesatkan manusia dengan segala cara dan metode. Hal ini karena ia tabu bahwa tidak mungkin memisahkan manusia dari imannya kecuali dengan cara perlahan-lahan melalui beberapa tahapan.

Allah sangat membenci orang-orang yang mengikuti tipuan syetan itu dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepadanya. Salman Al-Farisi berkata: “Jika Allah menginginkan kecelakaan seseorang, maka Ia akan mencabut rasa malu darinya. Jika rasa malu telah dicabut darinya, maka ia akan menjadi seorang pengkhianat. Ketika ia telah menjadi pengkhianat, sifat amanat akan dicabut darinya. Ketika sifat amanat telah dicabut darinya, ia akan menjadi orang yang keras hatinya. Ketika ia telah menjadi orang yang keras hatinya, iman akan dicabut dari hatinya. Dan ketika iman telah dicabut dari hatinya, ia akan menjadi syetan terlaknat”.[3]

Faktor-faktor Pemusnah Iman

Ada beberapa faktor yang dapat mengeluarkan manusia dari jalan iman yang lurus. Antara lain:

1. Tidak mengenal imam a.s.

Para imam a.s. adalah jalan untuk menuju Allah, perantara untuk mencapai keridlaan-Nya dan hujjah-hujjah-Nya atas hamba-Nya. Oleh karena itu, kita wajib untuk mengenal dan mencintai mereka. Allah berfirman: “Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak mengharap upah dari kalian atas apa yang aku sampaikan kepada kalian kecuali kecintaan terhadap keluargaku”. Begitu juga satu hadis mutawatir menguatkan hal itu: “Barang siapa yang meninggal dunia sedangkan ia tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal seperti orang jahiliyah (mati kafir)”.[4] Atas dasar ini, Imam Al-Al-Baqir atau Imam Ash-Shadiq a.s. berkata: “Seorang hamba tidak berhak menyandang gelar mu’min kecuali ia mengetahui Allah, Rasul-Nya, para imam secara keseluruhan dan imam zamannya, dan ia menyerahkan segala urusannya kepadanya”.[5]

Ketika menafsirkan firman Allah:

﴿کَمَن مَثلُهُ فِي الظُلُمَاتِ لَيسَ بخَارِجِ مِنهَا﴾

“Perumpamaannya seperti orang yang berada di dalam kegelapan yang tidak dapat keluar darinya”, Imam berkata: “(Ia adalah) orang yang tidak mengetahui imamnya”.[6]

Atas dasar ini, mu’min yang sempurna imannya harus mengetahui imam zamannya. Karena tanpa itu, ia akan sesat seperti sebuah rombongan yang tidak memiliki penunjuk jalan, mereka akan berjalan tidak menentu.

Sulaim bin Qais Al-Hilali pernah bertanya kepada Amirul Mutminin a.s.: “Kapankah seseorang bisa sesat?” Beliau menjawab: “Ketika ia tidak mengetahui orang yang diwajibkan oleh Allah untuk ditaatinya, berwilayah kepadanya, hujjah-Nya di bumi dan saksi-Nya atas segala pekerjaan makhluk-Nya”. Ia bertanya kembali lagi: “Wahai Amirul Mu’minin, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang Allah sebut: ‘Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, Rasul dan ulil amr dari kalian”.[7] Lalu ia berkata: “Aku cium kepala beliau sambi berkata kepadanya: ‘Anda telah menghilangkan segala keraguan yang selama ini bersemayam di hatiku”.[8]

Dengan demikian, mengingkari para imam a.s. dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kekufuran. Begitu juga, mengaku dirinya sebagai imam akan mengakibatkan hal serupa. Fudlail meriwayatkan bahwa Abu Abdillah a.s. berkata: “Barang siapa yang mengaku sebagai imam sedangkan ia bukan ahlinya, maka ia telah kafir”.[9]

2. Ghuluw (Mempertuhankan sesuatu)

Sikap ini adalah salah satu faktor utama yang dapat mengeluarkan seseorang dari jalan iman. Sa’id bin Zubair meriwayatkan bahwa Amirul Mu’minin a.s. berkata: “Jika salah seorang dari pengikut aliran Qadariyah berlebih-lebihan (dalam meyakini sesuatu), maka ia telah keluar dari jalan iman”.[10]

Buraid Al-‘Ajali bertanya kepada Abu Abdillah a.s.: “Apakah yang menyebabkan seseorang kafir?” Beliau mengambil sebutir kerikil dari tanah, lantas berkata: “Ketika ia meyakini bahwa kerikil ini adalah segala-galanya, dan ia tidak mau mempertimbangkan pendapat orang yang menentang keyakinannya itu. Orang itu telah menyekutukan Allah dan kafir secara tidak ia sadari”.[11]

3. Fanatisme

Iman menyuruh para pengikutnya untuk selalu menjadikan kebenaran sebagai tolok ukur. Dengan ini, iman tidak akan cocok dengan fanatisme yang lebih mengutamakan kepentingan kerabat dan golongan. Atas dasar ini, orang yang masih memiliki semangat fanatisme, ia telah menyeleweng dari jalan iman dan termasuk golongan kaum jahiliyah. Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang masih memiliki semangat fanatisme di hatinya walaupun kecil. pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan bersama kaum jahiliyah”. Imam Ash-Shadiq a.s. juga pernah berkata: “Barang siapa yang memiliki semangat fanatisme atau ia rela memiliki para pengikut yang fanatis buta kepadanya, iman telah dicabut darinya”.[12]

Ada satu arti bagi fanatisme yang tidak tercela dan mengeluarkan seseorang dari iman. Seperti jika seseorang mencintai kaumnya yang tidak berlebihan sehingga menyebabkannya berbuat kelaliman demi membela kaumnya. Imam Zainal Abidin a.s. telah menentukan satu tolok ukur pemisah antara dua arti fanatisme ini. Beliau berkata: “Fanatisme yang menyebabkan dosa adalah jika seseorang memandang kaumnya liang jahat sebagai orang-orang yang baik. Dan bukan termasuk fanatisme yang menyebabkan dosa jika ia mencintai mereka. Akan tetapi, termasuk fanatisme (yang tercela) jika ia membantu kaumnya berbuat kelaliman”.[13]

4. Menafsirkan Alquran menurut selera sendiri

Sebagian orang mempermainkan ayat-ayat Alquran dan menggabungkan satu ayat dengan ayat yang lain menurut seleranya sendiri demi menguatkan argumennya dan mematikan dalil lawannya. Ia lakukan hal ini hanya untuk memutar balikkan kebenaran dan fakta serta mengaburkan arti dan kandungan Alquran yang murni.

Dalam beberapa hadis pekerjaan ini dihitung kekufuran dan pengingkaran terhadap Allah Ta’ala. seperti hadis yang diriwayatkan oleh Qasim bin Sulaiman bahwa Abu Abdillah a.s. berkata: “Telah kafir orang yang mengadu ayat Alquran dengan ayat yang lain (menurut seleranya sendiri sehingga orang lain terjerumus ke dalam jurang kesesatan)”.[14]

5. Rakus dan tamak

Sikap rakus adalah. salah satu faktor yang dapat mengeluarkan seorang mu’min dari lingkaran iman. Amirul Mu’minin a.s. pernah ditanya: “Apakah yang menyebabkan iman seseorang kokoh?” “Wara’”, jawab beliau. Beliau ditanya kembali: “Apakah yang menyebabkan iman seseorang musnah?” “Sikap rakus”, jawab beliau tegas.[15]

Pelaku Dosa Besar

Setelah kami paparkan beberapa faktor yang dapat mengeluarkan seorang mu’min dari lingkaran iman, selayaknya kita membahas perihal orang yang melakukan dosa besar.

Mazhab-mazhab Islam berbeda pendapat mengenai orang yang telah membaca dua kalimat syahadat kemudian ia melakukan dosa besar, seperti membunuh, minum minuman keras dan lain sebaginya. Apakah ia dihukumi kafir dan kekal di neraka atau dihukumi mu’min yang fasiq, disiksa sesuai dengan kadar dosa-dosanya kemudian akan dimasukkan ke surga?

Khawarij meyakini kekufuran orang tersebut. Sementara Syi’ah Imamiah, ‘Asy’ariyah, mayoritas sahabat dan tabi’in menganggapnya sebagai mu’min yang fasiq. Pendapat ketiga dicetuskan oleh Mu’tazilah. Mereka meyakini bahwa orang tersebut tidak kafir dan tidak mu’min (Al manzilah bainal manzilatain).

Berkenaan dengan pembahasan di atas, Syeikh Mufid r.a. memaparkan sebuah bukti dari Alquran yang menegaskan bahwa dosa-dosa besar tidak memusnahkan iman seseorang. Ia menulis: “Tidak diragukan lagi bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf a.s., seperti melemparkannya ke dalam sumur, berbohong kepada ayah mereka dengan memoleskan darah srigala di bajunya dan menyusahkan hati Nabi Ya’kub a.s., ayah mereka adalah tergolong dosa-dosa besar. Karena ―sebagaimana yang diceritakan oleh Alquran― setelah melakukan semua kejahatan itu, mereka memohon ayah mereka untuk memintakan ampun kepada Allah atas segala kejahatan yang telah mereka lakukan itu. Atas dasar ini, jika kedengkian (yang terdapat dalam hati mereka terhadap Yusuf a.s.) tidak mengeluarkan mereka dari lingkaran iman, maka dosa-dosa besarpun demikian”.[16]

Allamah Al-Hilli dalam Syarhut Tajrid memaparkan sebuah argumen yang membenarkan pendapat lmamiah dalam hal ini. Ia menulis: “Seandainya seorang mu’min yang melakukan dosa besar kekal dalam neraka, akibat logis dari pandangan ini adalah seseorang yang telah menyembah Allah selama hidupnya kemudian ia melakukan satu maksiat di akhir umurnya sedangkan ia masih mu’min, harus kekal di neraka sebagaimana orang yang musyrik seumur hidupnya. Hal ini mustahil terjadi, karena orang-orang yang berakal sehat memandang hal itu suatu pekerjaan yang jelek”.[17]

Tidak diragukan lagi, satu perbuatan jelek tidak akan memusnahkan seluruh kebaikan yang telah dilakukan oleh seseorang. Akan tetapi sebaliknya, hasanah yang akan menghapus kejelekan. Allah berfirman: “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk”.[18]

Seorang yang obyektif akan memahami bahwa pandangan Ahlul Bayt a.s. dalam hal ini lebih tepat, sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang murni dan rahmat Allah yang luas.

Manusia adalah makhluk lemah dan selalu dihantui oleh kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu, Allah membuka pintu taubat lebar-lebar di hadapannya. Abu Abdillah a.s. berkata: “Sesungguhnya Allah senangjika hamba-Nya yang beriman bertaubat kepada-Nya, sebagaimana senangnya salah seorang dari kalian yang berhasil menemukan barangnya yang hilang”.[19]

Atas dasar ini, Ahlul Bayt a.s. tidak menjadikan manusia putus asa dari rahmat Allah dan menganggapnya telah kafir hanya dengan melakukan dosa. Karena ia memiliki Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pengampun, dan Ia telah telah bersumpah untuk tidak mengekalkan seorangpun dari orang-orang yang mengesakan-Nya di dalam neraka.

Berkenaan dengan hal di alas, Abu Abdillah a.s. berkata: “Jika seorang mu’min melakukan empat puluh dosa besar dalam sehari semalam, kemudian dengan penuh penyesalan ia berkata:

استغفر الله الذی لااله اله هو الحي القيوم بديع السموات والأرض ذو الجلال والإکرام وأسأله أن يصلی علی محمد وآل محمد و أن يتوب عليّ

“Aku minta ampun kepada Allah yang tiada tuhan selain-Nya yang Maha Hidup, Qayyum, pencipta langit dan bumi serta pemilik segala keagungan dan kemuliaan. Dan aku memohon kepada-Nya agar bersalawat kepada Muhammad dan keluarganya dan mengampuniku”, niscaya Allah azza wa jalla akan mengampuni dosa-dosanya itu”.[20]

Dalam kesempatan yang lain, beliau berkata: “... Seorang hamba mungkin menjadi muslim sebelum ia menjadi mu’min, Akan tetapi, tidak mungkin ia menjadi mu’min sebelum menjadi muslim. Oleh karena itu, Islam berada sebelum iman dan selalu bersama dengannya. Jika ia melakukan satu dosa besar atau kecil yang dilarang oleh Allah azza wa jalla, ia telah keluar dari lingkaran iman. Atas tetapi Islam masih melekat pada dirinya. Kemudian jika ia bertaubat dan mohon ampun (atas dosanya tersebut), ia kembali menyandang gelar mu’min.

Dosa itu tidak akan mengeluarkannya dari lingkaran iman kecuali jika disertai dengan pengingkaran (terhadap Allah), mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya dan menghalalkan apa yang diharamkan-Nya. Ketika ia telah melakukan hal itu, ia telah keluar dari lingkaran Islam dan iman, dan masuk ke dalam jurang kekufuran. Seperti orang yang telah mendapat kehormatan untuk masuk ke Masjidil Haram dan Ka’bah, kemudian ia membuang kotorannya di dalam Ka’bah. Setelah itu ia diusir dari Ka’bah dan Masjidil Haram tersebut. (Setelah sampai keluar) ia dibunuh. (Dengan perbuatannya ini) ia kemudian digiring ke neraka”.[21]

Oleh karena itu, hanya orang yang enggan bertaubat setelah kekufuran dan meninggal dunia dalam keadaan mengingkari Allah Ta’ala, yang tidak akan diampuni Allah swt. Begitu pula, orang yang bertaubat setelah kufur, akan tetapi taubatnya tidak sungguh-sungguh. Karena dengan taubat semacam ini ia akan kembali lagi ke jurang kekufuran dalam sekejap mata. Bahkan ada kemungkinan kekufurannya akan lebih dahsyat dari sebelumnya. Berkenaan dengan ini Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, lalu kafir; kemudian kafir (kembali), kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan mengampuni mereka dan tidak pula menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.[22]

Daftar Isi

IMAN DAN KUFUR 1

Markaz Risalah 1

PENGANTAR PENERBIT 2

MUKADIMAH 7

PASAL III 11

PEMUSNAH IMAN 11

Faktor-faktor Pemusnah Iman 13

Pelaku Dosa Besar 18


[1] Ma’anil Akhbar : 198.

[2] Surah An-Nur 24 : 21; Al-Baqarah 2 : 208.

[3] Ushulul Kafi 2 : 291/10, kitab al-iman wal kufr.

[4] Shahih Al-Bukhari 5 : 13, bab al-fitan; Shahih Muslim 6: 21-22/1849; Ushulul Kafi 1 : 303/5; Kamaluddin 2: 412-413/10, 11, 12 dan 15, bab al-imamah.

[5] Ushulul Kafi 1 : 180/2.

[6] Ushulul Kafi 1 : 185/13.

[7] Surah An-Nisa’ 4: 59.

[8] Ma’anil Akhbar : 394.

[9] Tsawabul A’mal : 255.

[10] Sawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal, Syeikh Shaduq : 254.

[11] Ma’anil Akhbar : 393.

[12] Ushulul Kafi 2 : 308/3, kitab al-iman wal kufr; Ibid. : 307/1

[13] Ibid. 2 : 308/1.

[14] Ma’anil Akhbar : 190.

[15] Al-Ikhtishash : 31.

[16] Al-Fushul Al-Mukhtarah minal ‘Uyuun wal Mahasin : 11, terbitan Maktabah Ad-Dawari 1396 H, cetakan ke 4.

[17] At-Tafsir Al-Kasyif : Syeikh Jawad Mughniah 1 : 139.

[18] Surah Hud 11 : 114.

[19] Ushulul Kafi 2 : 436/13.

[20] Ibid. 2 : 438/7.

[21] Ibid. 2 : 27-28.

[22] Surah An-Nisa’ 4 : 137.