• Mulai
  • Sebelumnya
  • 19 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4429 / Download: 2707
Ukuran Ukuran Ukuran
Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (4)

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (4)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Buah Kesabaran

Sabar dalam menghadapi musibah dan bencana merupakan sifat yang terpuji. Sabar adalah buah berharga jika kita membebaskan diri dari diperbudak hawa nafsu. Nashiruddin al-Thusi, seorang ulama terkemuka dari mazhab Ahlulbait, mengartikan sabar sebagai menahan diri untuk tidak teragitasi pada hal-hal yang tidak diinginkan. Demikian pula dengan seorang arif termasyhur Khawajah ‘Abdullah al-Anshari mengatakan, “Arti sabar adalah menahan diri untuk tidak mengeluh karena derita terpendam.”

Jika seseorang memandang musibah dan kemalangan itu sebagai hal yang menjijikkan dan merasa menderita sekali karenanya, ini menandakan orang tersebut makrifatnya kurang. Ini berarti orang tersebut kurang berpantang dari dosa-dosa, dan kurang menunaikan kewajibannya (taat) pada Allah. Orang yang paham realitas ibadah, dan percaya pada bentuk-bentuk akhirati dari ibadah dan dosa, akan memandang penting sabar dalam ibadah dan tidak mau berbuat dosa. Bila dia mendapati bahwa kegembiraan atau sukacita menyebabkan lalai beribadah, atau menyebabkan dia berbuat dosa, maka keduanya itu menjadi menjijikkan baginya. Orang seperti ini penderitaan batiniahnya yang berat menjadi semakin berat ketimbang orang yang menanggung musibah dan kemalangan dengan sabar.

Dalam suatu riwayat diceritakan ‘Ali bin Thawus merayakan hari pertamanya ketika dia menjadi mukallaf (yang terkena kewajiban keagamaan), karena Allah Swt telah mengizinkannya untuk menunaikan kewajiban pada hari itu. Ali bin Thawus amat senang dapat melaksanakan kewajiban agamanya. Kalau kita melihat diri kita, betapa beda antara kita dan hamba-hamba yang taat itu. Kita menganggap Allah Swt membebani kita dengan kewajiban-kewajiban. Kita memandang kewajiban-kewajiban itu menyusahkan dan menganggu kita. Jika salah seorang di antara kita berusaha shalat pada awal waktu, dia mengatakan bahwa lebih baik melakukannya dan semakin cepat semakin baik. Segala musibah kita disebabkan oleh kebodohan dan kejahilan serta kurang atau tak adanya iman.

Dalam Syarh Manazil as-Sa’irin, ‘Abdurrazzaq al-Kasyani mengatakan, “Yang dimaksud oleh sang Syeikh, ketika dia berkata arti sabar adalah tidak mengeluh kepada makhluk. Dengan kata lain, mengeluh kepada Allah Swt dan memohon kepada-Nya agar diberi pertolongan tidak bertentangan dengan sabar. Nabi Ayyub as mengeluh kepada Allah seraya berkata,Lihatlah, setan telah mendatangiku dengan kelesuan dan azab (QS. Shâd:41).Sesungguhnya Kami mendapatinya orang yang sabar. Betapa hamba unggul dia itu! Dia (sangat) menyesal (QS. Shâd:44).Dan Nabi Yaqub as berkata, Kukeluhkan derita dan dukacita kepada Allah (QS. Yusuf:86), meskipun dia itu orang yang sabar. Namun, tidak mengeluh kepada Allah merupakan wujud keras kepada (hati) dan tanda dendam (enggan).

Riwayat para nabi mengungkapkan bahwa meskipun maqam mereka jauh di atas maqam sabar, ridha dan taslim (pasrah), toh mereka senantiasa memohon, meratap dan mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan mereka kepada Allah Swt, dan ini tidak bertentangan dengan maqam spiritual mereka. Tetapi, ingat kepada Allah, mendekat kepada Allah Sang Tercinta, dan mengungkapkan penghambaan dan kerendahan hati di depan yang Mahabesar dan Mahasempurna, merupakan tujuan akhir harapan kaum arifin dan tujuan akhir perjalanan salik.

Dalam hal ini, sikap sabar memberikan banyak hasil, di antaranya adalah pembinaan dan disiplin jiwa. Kalau manusia sabar menghadapi musibah dan kemalangan untuk beberapa lama, jika dia tabah dalam menghadapi kesulitan yang ditimbulkan oleh ibadah dan pahitnya meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasadi, dan bila dia melakukan semua ini demi menaati Tuhannya yang memberinya rezeki, maka secara berangsur-angsur jiwanya menjadi terbiasa dengan hal-hal ini. Lalu jiwanya penuh disiplin dan taat, dan tidak lagi keras kepala. Baginya, menghadapi kesulitan itu merupakan sesuatu yang mudah. Dan berkembanglah di dalam jiwanya itu fakultas yang senantiasa bercahaya, sehingga dia bisa melampaui maqam sabar menuju maqam spiritual lain yang lebih tinggi. Sabar tidak berbuat dosa merupakan sumber ketakwaan diri. Sabar dalam ketaatan merupakan sumber keakraban dengan Allah. Sedangkan sabar dalam musibah merupakan sumber ridha atau puas menerima takdir Allah. Inilah maqam-maqam ahlul iman atau maqam-maqam ahlul irfan.

Dalam hadis-hadis mulia Ahlulbait as, sabar sangat ditekankan sekali. Imam ash-Shadiq as berkata, “Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala tanpa tubuh. Tubuh akan hancur tanpa kepada. Begitu pula, bila sabar tiada, lenyap pula iman.” Dalam hadis lain, “Imam Sajjad (Zainal Abidin) mengatakan,“Sesungguhnya, sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh: orang yang tidak sabar, maka dia tidak beriman.” Banyak hadis yang berkaitan dengan topik ini.

Sabar merupakan kunci pembuka pintu kebahagiaan dan sarana utama untuk melepaskan diri dari bahaya besar. Sabar membuat manusia menanggung kemalangan dengan mudah dan menghadapi kesulitan dengan tenang. Sabar memperkuat kehendak dan daya ketetapan hati. Sabar membuat jiwa merdeka. Di lain pihak, sedih dan cemas, selain keduanya ini merupakan watak yang memalukan, juga merupakan gejala-gejala kelemahan jiwa. Sedih dan cemas membuat orang tidak stabil, melemahkan ketetapan hati, dan meloyokan akal. Khwajah Nashiruddin al-Thusi berkata, “Sabar membuat batin tidak sedih, membuat lidah tidak mengeluh dan membuat anggota badan tidak melakukan gerakan-gerakan buruk.”

Sebaliknya, batin orang yang tidak sabar penuh dengan kecemasan dan kegelisahan. Hatinya penuh dengan guncangan, dan ini sendiri merupakan bencana terbesar yang dapat menimpa manusia dan membuatnya kehilangan kedamaian. Namun, sabar menyingkirkan musibah, menjadikan hati dapat mengatasi kesulitan, dan membantu kehendak mengatasi bencana. Orang yang tidak sabar senantiasa mengeluh tentang kesulitan-kesulitannya kepada semua orang. Hal ini, selain membuat dia buruk di mata orang –dipandang rendah sebagai orang lemah yang berwatak labil– membuat dia kehilangan kedudukan di mata, Tuhan dan di depan para malaikat-Nya. Iman dan tawakal kepada Allah macam apa yang dimiliki hamba yang tidak tahan menghadapi kesengsaraan, setelah sebelumnya dia menerima ribuan karunia dan rahmat-Nya, dan lalu membuka mulutnya di depan orang serta mengeluh begitu kesengsaraan menimpanya? Maka tepat kalau dikatakan bahwa orang yang tidak sabar itu tidak memiliki iman.

Jika kita beriman kepada Tuhan dan percaya semua urusan ada di tangan-Nya, tentu kita tidak akan mengeluh tentang kesulitan hidup dan kemalangan atau kesengsaraan yang menimpa kita. Kita menerimanya dengan rela hati. Adanya guncangan batin, ucapan sedih, gerakan tubuh yang buruk – semuanya hanyalah bukti bahwa kita ini kurang beriman. Selama kita merasakan karunia dan rahmat, kemudian kita bersyukur dengan syukur yang formal belaka dan kurang mengandung substansi batiniah, itu pertanda kita menghendaki lebih banyak lagi karunia.

Namun, bila tragedi terjadi, atau kesedihan atau penyakit menimpa kita, kitapun lalu mengeluh tentang Allah Swt di depan makhluk-Nya. Dengan lidah yang mengeluh dan tiada mencela serta sinis, kita mengeluh tentang Dia kepada semua orang. Berangsur-angsur keluhan, kecemasan dan kekhawatiran itu menebarkan benih-benih permusuhan terhadap Allah dan ketentuan-Nya di dalam diri. Perlahan-lahan benih-benih itu pun tumbuh sehingga menjadikan perasaan itu sebagai watak yang abadi. Dengan demikian, na’udzu billah min dzalik, bentuk batin orang itu berupa memusuhi Allah dan ketentuan-ketetentuan-Nya. Bila hal itu terjadi, dia tidak dapat lagi mengendalikan pikiran dan perasaannya. Lahir dan batinnya pun diwarnai dengan permusuhan terhadap Allah Swt, dan dia meninggalkan dunia ini untuk menghadapi keadaan amat buruk dan kegelapan yang abadi, sementara ruhnya diwarnai permusuhan dan kebencian terhadap Tuhan Yang Maha Pemurah. Aku berlindung kepada Allah dari buruknya suatu akhir yang membawa malapetaka dan dari iman mustawda’ (iman yang bersifat sementara). Karena itu, memang benar bahwa bila sabar tiada iman pun tiada.

Pentingnya Kesabaran

Dalam diri manusia ada satu hal yang amat penting, dan jika manusia tidak mempunyainya maka manusia akan kehilangan orientasi hidupnya. Faktor ini adalah masalah keimanan kepada Allah Swt. Dengan landasan keimanan kepada Allah maka manusia, menurut ulama besar Ali Khamene’i, mempunyai (1) Landasan untuk memahami manusia dan dunia, yakni dikenal sebagai pandangan dunia. (2) Petunjuk umum untuk gerakan dan tindakan manusia (ideologi). (3) Panduan atau regulasi hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya, sesamanya, dan makhluk-makhluk lain. (4) Serangkaian petunjuk umum untuk memelihara momentum penting yang diperlukan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan, dan merampungkan kesuksesan dalam pelbagai bidang kehidupan.

Dalam menegakkan bangunan keimanan inilah dibutuhkan kesabaran. Seperti halnya seorang yang ingin mencapai tempat tertentu, maka ia harus tahu lokasi tujuannya dan ketika menuju ke sana harus dengan kesabaran, karena kalau tidak ia akan mendapat hambatan seperti kecelakaan lalu lintas. Faktor kesabaran inilah yang dalam bangunan keimanan merupakan ciri dari seorang mukmin sejati.

Dalam penegakkan keimanan dan mazhab agama juga membutuhkan kesabaran. Tanpa kesabaran, kebenaran dan logika ketabahan dari mazhab agama yang suci tidak akan bisa dipahami. Kesabaran akan memberikan harapan puncak bagi kejayaan kebenaran di atas kepalsuan, memberikan darah segar kehidupan kepada tangan-tangan kuat dan langkah-angkah tabah kaum mukmin. Demikian pula, hukum serta bimbingan agama yang mengendalikan dan memeriksa kecenderungan pelanggaran batas manusia niscaya menjadi tidak berdaya.

Jika kesabaran tidak terpatri dalam diri seorang mukmin, maka kongres internasional haji tetap menyisakan kehampaan. Begitu pula gambaran elok dari jihad akbar dengan diri (“perjuangan besar dalam melawan hawa nafsu”), yakni berpuasa dan pengekangan diri niscaya kehilangan daya tariknya. Dan sedekah berikut penunaian zakat demi mendapatkan ridha Allah niscaya diabaikan.

Dalam buku Discourse on Patience, Khamene’i menjelaskan tanpa kesabaran semua nilai etis dan pendidikan luhur Islam (kesalehan, kejujuran, dan kebajikan) niscaya terlupakan; dan pada dasarnya, setiap parameter agama yang menuntut perbuatan dan tindakan, niscaya tercerabut dari mereka. Karena agama menuntut perbuatan nyata, yang tidak mungkin tanpa kesabaran, oleh sebab itu, yang memberikan darah kehidupan segar kepada komplek raksasa ini, atau yang memberikan gerakan ke kereta ini tidak lain adalah kesabaran. Dalam sejumlah hadis disebutkan tentang arti penting dari kesabaran yang didefinisikan sebagai berikut,“Kesabaran atas iman laksana kepala atas tubuh.”

Kepala bagi seseorang memiliki kedudukan yang sangat penting sejauh kehidupan ini diperhatikan. Barangkali siapapun tak peduli dengan tidak adanya anggota-anggota tubuh yang berbeda dalam tubuh manusia seperti tangan, kaki, mata, telinga, dan seterusnya. Akan tetapi jika kepala yang merupakan ruang pengendalian bagi seluruh sistem syaraf tidak ada atau lumpuh, maka semua anggota dan sistem tubuh pun akan menjadi lumpuh atau timpang. Tubuh mungkin tetap hidup, tapi nyatanya ia tak berbeda dengan jasad yang mati.

Kadang-kadang, boleh jadi satu bagian tubuh bisa melakukan sebuah tugas penting. Boleh jadi tinju, kepalan tangan, jari-jemari, atau mata seseorang bisa melakukan perbuatan mulia dalam melepaskan banyak kewajiban, namun semua itu dituntaskan disebabkan adanya kepala. Kesabaran mempunyai kedudukan penting yang sama dalam struktur agama.

Selanjutnya Khamene’i menjelaskan, tanpa kesabaran, eksistensi monoteisme (tauhid) tidak mungkin ada. Begitu pula kenabian dan misi kenabian tidak akan membuahkan hasil apapun. Hak-hak orang yang teraniaya tidak bisa diperoleh dari para penguasa. Shalat, puasa, dan ritus-ritus ibadah lainnya niscaya menjadi muspra (meaningless). Oleh sebab itu, adalah kesabaran yang memenuhi semua aspirasi agama dan kemanusiaan. Jika pada awal permulaan Islam, Nabi saw tidak menawarkan perlawanan terhadap semua oposisi sengit, demi kebenaran tentunya, maka slogan tiada tuhan selain Allah (lâ ilâha illa Allah ) niscaya tercekik dalam dinding-dinding rumahnya, sejak kelahirannya.

Yang menjadikan Islam tetap hidup dan sempuma tiada lain adalah kesabaran. Apabila ahlullah (people of Allah) yang takwa dan para nabi besar tidak bersabar terhadap oposisi dan rintangan-rintangan di jalan mereka, niscaya hari ini tidak ada jejak dan pengaruh apapun dari monoteisme. Satu-satunya faktor yang bertanggung jawab yang tetap rnenghidupkan sistem monoteisme, sejak awal penciptaan manusia, adalah kesabaran. Yang menjadi pengusung bendera untuk ideologi samawi ini sampai kiwari, dan akan melanjutkan hal yang sama sampai hari kiamat.

Ide-ide dan ucapan-ucapan manusia yang paling logis, jika tidak disertai dengan kesabaran yang dipraktikkan oleh para pendiri mereka, niscaya mengeringkan tenggorokan dan lidah rnereka. Mereka niscaya tenggelam dalam gelombang bergolak dari sarnudra sejarah selamanya. Oleh sebab itu, sangat jelas bahwa kesabaran memiliki hubungan yang sama dengan tubuh agama, sebagaimana halnya kedudukan kepala atas tubuh manusia. Amirul Mukminin dalam khutbah al-Qâshi’ah (Khutbah Penghinaan)-nya memberikan kejayaan kaum tertindas atas kaum tiran dan keberhasilan ide-ide mulia mereka sebagai berikut:

“Ketika Allah menyaksikan kesabaran mereka dalam menanggung penderitaan dan kesulitan yang menimpa mereka, karena kecintaan mereka kepada-Nya dan mengikuti jalan kebenaran, maka Ia membukakan kepada mereka pintu-pintu bantuan Ilahi di tengah-tengah kesulitan kemacetan bencana. Setelah melewati masa-masa sulit itu; mereka mendapatkan diri mereka sebagai penguasa dan gubemur. Kemuliaan, kemasyhuran, dan keistirnewaan rnereka sarnpai pada suatu titik yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka dalam mimpi-mimpi terbaik mereka . (Nahj al-Balaghah, Khutbah No.191).”

Demikian kesabaran telah menjadikan manusia mencapai kemenangan dari berbagai kesulitan hidup.

Hikmah Kesabaran

Dalam sebuah riwayat diceritakan ada seorang penjual pakaian yang buta huruf, akan tetapi kedudukan keilmuannya telah mencapai suatu tingkatan di mana ilmunya masih terus dimanfaatkan hingga sekarang. Dialah, Ibn Sirin, seorang yang diceritakan Husain Mazhahiri dalam kitab Jihad an-Nafs, membuat kagum banyak orang khususnya dalam masalah ta’bir mimpi.

Diceritakan, seorang wanita datang kepada penjual pakaian ini (Ibn Sirin) dan membeli sejumlah pakaian. Ketika Ibn Sirin membawakan pakaian yang telah dibeli kepada wanita tersebut, dia diajak oleh wanita tersebut untuk melakukan maksiat. Supaya dia selamat dari siksa neraka Hawiyah yang menghinakan, dia berpura-pura minta izin untuk pergi ke WC. Lalu, dia pun pergi ke WC dan mengotori seluruh tubuhnya, dari atas kepala hingga ujung kaki, dengan kotoran. Akhirnya wanita tersebut terpaksa mengeluarkannya dari rumahnya. Tubuh lahir Ibn Sirin najis, akan tetapi dirinya tidak menjadi najis, bahkan bercahaya dengan cahaya Allah. Ketika dia menyucikan tubuhnya, dan kemudian pulang ke rumah, dia merasakan sebuah cahaya meliputi dirinya.

Kisah Ibn Sirin mirip dengan dengan apa yang telah dilakukan oleh Nabi Yusuf as. Allah kemudian menganugerahkan karamah mengenai tafsir mimpi kepada Ibn Sirin, seperti salah satu karamah Nabi Yusuf as adalah tafsir-tafsir mimpinya. Karamah itu diberikan Allah kepada Ibn Sirin karena ia tetap dalam kesabaran dan menjaga hawa nafsunya walaupun pesona dunia ada di hadapannya.

Hal ini dapat terjadi, menurut Husain Mazhairi, karena Islam mengajarkan dengan menjauhi dosa akan menguatkan keinginan, dan memperkuat dimensi spiritual seorang manusia. Pada keadaan itu seorang manusia mampu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi di hadapan syahwat dan gharizah, dan mampu memenangkan peperangan batin (al-harb ad dakhili) yang terhitung sebagai sebesar-besamya peperangan yang dihadapi manusia. Karena itu, memenangkan peperangan ini adalah suatu perkara yang sulit sekali, dan membutuhkan kesabaran. Sehingga untuk bisa memperoleh kemenangan kita harus menghadapkan wajah kita ke arah Islam. Allah berfirman,Dan jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.

Al-Quran banyak sekali berbicara seputar manusia yang berbuat dosa. Dalam al-Quran banyak sekali ayat yang memerintahkan untuk kita memperhatikan sejarah mengenai orang yang berbuat dosa untuk diambil pelajaran. Al-Quran mengatakan,

Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. Ali ‘Imran:137)

Dusta dalam ayat tersebut dinyatakan sebagai sebuah dosa. Sesungguhnya dusta adalah dosa besar. Akan tetapi, karena manusia telah terbiasa berkata dusta, maka ketakutan terhadapnya telah tercabut dari hati mereka. Satu dusta saja, sangat membahayakan kita. Begitu juga dengan mengumpat. Imam Khomeini, di dalam sebuah bukunya mengenai mengumpat, mendefinisikan perbuatan mengumpat sebagai berikut, “Anda menyebutkan di belakang saudara Anda, sesuatu yang tidak disukainya.” Mengatakan suatu perkara di belakang seseorang, yang jika perkara itu di hadapannya maka dia tidak suka, inilah yang disebut dengan mengumpat. Jika seseorang mempunyai sifat buruk, lalu Anda mengatakannya di belakang dia, maka ini juga perbuatan mengumpat. Akan tetapi, jika dia tidak mempunyai sifat buruk sebagaimana yang Anda katakan, maka ini namanya ‘fitnah’. Oh, sungguh celaka karena dosa fitnah itu lebih besar daripada dosa membunuh.

Al-Quran mengatakan bahwa kehidupan seorang manusia yang berdosa rawan tertiup angin. Dia tidak mempunyai kehidupan yang tenang dan bahagia. Rumah baginya tidak ubahnya seperti penjara, masyarakat baginya adalah sumber keresahan dan kegelisahan, dan pada akhimya dia mempunyai penyakit lemah syaraf dan senantiasa tertimpa bencana hingga meninggal dunia. Allah berfirman,

Dan orang-orang kafir kepada Tuhannya, amalan- amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. (QS. Ibrahim:18)

Perumpamaan kehidupan manusia berdosa yang terdapat di dalam ayat itu, adalah merupakan penyerupaan pada hal-hal yang rasional (al-ma’qulat) dengan hal-hal yang bisa diindera (al-mahsusat). Artinya, tatkala al-Quran hendak menjelaskan suatu perkara yang bersifat maknawi, al-Quran meletakkannya dalam tataran sesuatu yang bersifat inderawi. Misalnya, ini dapat kita bayangkan jika kita berada di tengah padang pasir, dan di sana kita mengumpulkan angin kencang, maka tentu rumput-rumput kering itu beterbangan tertiup angin.

Allah menyerahkan urusan orang yang berdosa kepada dirinya. Oleh karena itu kehidupannya menjadi gelap. Al-Quran memberikan perumpamaan mengenai orang yang berdosa,

Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. (QS. al-Hajj:31)

Jika seseorang jatuh dari langit ketujuh ke bumi, be tapa tubuhnya akan bercerai berai. Apalagi jika dia jatuh dari pesawat terbang ke tempat yang tidak diketahui oleh seorang pun. Al-Quran mengatakan bahwa demikianlah keadaan orang yang berdosa. Al-Quran mengatakan bahwa dosa menjatuhkan manusia ke tempat yang paling bawah dan mencerai-beraikan tubuhnya menjadi serpihan-serpihan. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka dia seolah-olah jatuh dari langit. Syirik yang disebutkan di dalam ayat ini bukanlah syirik karena menyembah berhala melainkan syirik karena dosa dan mengikuti hawa nafsu.

Al-Quran berkata kepada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu bahwa mereka itu musyrik,

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya. (QS. al-Jatsiyah:23)

Ayat ini mengatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu dianggap sebagai penyembah berhala, dan berhalanya itu adalah hawa nafsunya.

Akibat dari perbuatan dosa bukan hanya akan meliputi diri kita saja, tetapi juga akan membuat genting masyarakat. Suatu bangsa akan menjadi punah, tidaklah oleh datangnya gempa bumi, melainkan sesuatu yang paling banyak menghancurkan suatu bangsa dan mendatangkan ketegangan syaraf di kalangan komponen bangsa tersebut adalah hilangnya iman dan rusaknya akhlak; dan yang lebih fatal lagi daripada itu ialah munculnya hawa nafsu pikiran. Al-Quran mengatakan,

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menaati Allah], tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur- hancurnya. (QS. al-Isra’:16)

Dengan demikian, menjauhi dosa akan sangat bermanfaat jika kita menginginkan kemenangan di dalam pertempuran ini, pertempuran melawan hawa nafsu. Demikian pula hubungan dengan Allah akan memperkuat keinginan dan mendatangkan kehidupan yang bahagia bagi kita. Hubungan dengan Allah akan sangat berpengaruh pada kehidupan kita, juga keluarga dan masyarakat kita.

Derajat dan Tingkatan Sabar

Suatu ketika Sama’ah bin Mihran ditanya Imam al-Kazhim as, “Apa yang telah menghentikanmu sehingga kamu tidak pergi haji?” Sama’ah menjawab, “Semoga aku menjadi tebusanmu, aku telah ditimpa utang besar, aku telah kehilangan hartaku. Namun, utang yang menjadi bebanku lebih memberatiku dibanding hilangnya harta. Jika bukan karena seorang sahabat kami, tentu aku tidak dapat keluar darinya.” Imam berkata, “Jika kamu sabar, kamu akan menjadi sasaran iri hati, dan jika kamu tidak, Allah akan memberlakukan ketentuan-Nya, entah kamu suka atau tidak.”

Dari riwayat itu digambarkan bahwa orang yang tidak mempunyai sikap sabar akan dilanda sikap cemas dan sedih. Cemas dan sedih bukan saja tiada guna, namun juga dapat menimbulkan mudharat yang besar dan diikuti akibat yang fatal, yaitu kerusakan iman. Di lain pihak, sabar, tabah dan menahan diri memberikan banyak kebaikan, yaitu pahala di akhirat. Abu Hamzah al-Tsumali ra pernah meriwayatkan bahwa al-Imam ash-Shadiq as telah berkata, “Barangsiapa di antara kaum Mukmin yang menanggung kesengsaraan yang menimpanya dengan sabar, maka pahalanya sama dengan pahala seribu orang yang syahid.”

Banyak hadis yang berkaitan dengan pokok persoalan ini. Imam ash-Shadiq as pernah berkata, “Ketika sang Mukmin memasuki kuburnya, shalat ada di sisi kanannya, zakat di sisi kirinya, kebajikan ada di depannya, dan sabar melindunginya. Ketika dua malaikat menanyainya, sabar berkata kepada shalat, zakat dan kebajikan, ‘Pedulikanlah sahabatmu, dan jika kamu tidak dapat membantunya, aku sendiri yang akan mempedulikannya.”

Seperti ditunjukkan oleh hadis mulia tersebut, terdapat berbagai derajat dan tingkatan sabar. Pahala dan kebaikan sabar bervariasi, selaras dengan derajat dan tingkatannya. Hal itu diuraikan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Amirul Mukrninin dari Nabi Muhammad saw, “Ada tiga macam sabar: sabar ketika menderita, sabar dalam ketaatan, dan sabar untuk tidak berbuat maksiat. Orang yang menanggung derita dengan sabar dan senang hati, maka Allah menuliskan baginya tiga ratus derajat, ketinggian satu derajat atas derajat atas lainnya seperti jarak antara bumi dan langit. Dan orang yang sabar dalam ketaatan, maka Allah menuliskan baginya enam ratus derajat, ketinggian satu derajat atas derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan Arsy. Dan orang yang sabar untuk tidak berbuat maksiat, maka Allah menuliskan baginya sembilan ratus derajat, ketinggian satu derajat lainnya seperti jarak antara dalamnya bumi dan batas-batas terjauh ‘Arsy.”

Hadis mulia ini mengungkapkan bahwa sabar untuk tidak berbuat maksiat lebih unggul dibandingkan tingkat sabar lainnya, sebab tidak saja jumlah derajatnya lebih besar, namun juga jarak antara derajat-derajatnya dalam jenis sabar yang lain. Ini juga memperlihatkan bahwa luasnya surga itu jauh lebih besar dibandingkan yang dapat dibayangkan, sebab penglihatan kita terbatas. Apa yang disebut sebagai gambaran tentang surga bahwa,...Dan surga luasnya seperti luasnya langit dan bumi... (QS. al-Hadid:21), barangkali merujuk ke surganya watak, dan kriteria surga watak adalah kuat dan sempurnanya kehendak. Karena itu, luasnya tidak akan terbatas. Sebagian orang mengatakan bahwa apa yang dimaksud di sini adalah tinggi, yaitu barangkali sama lebarnya (dengan surganya amal perbuatan) namun tingginya berbeda. Tapi, ini tampaknya jauh, sebab “lebar” di sini menunjuk ke luas, bukan ke lebar lawannya panjang. “Lebar” dalam kaitannya dengan langit dan bumi juga tak ada artinya bila dipahami dalam pengertian biasa; yaitu sesuatu yang berlawanan dengan panjang, meskipun keduanya memiliki “lebar” dalam pengertian “dimensi kedua” menurut terminologi ahli fisika. Namun, Kitabullah tidak berbicara menurut terminologi tertentu.

Imam Ja’far ash-Shadiq meriwayatkan bahwa Nabi saw berkata, “Akan tiba suatu masa ketika otoritas politik dicapai melalui pertumpahan darah dan tirani, ketika kekayaan diperoleh dengan menjarah dan kekikiran, ketika kasih sayang terjadi melalui pencampakkan agama dan pemanjaan hawa nafsu. Barangsiapa hidup di masa seperti itu, dan menanggung kemiskinan dengan sabar meskipun meniliki kepasitas untuk menjadi kaya (secara haram), dan menghadapi permusuhan dengan sabar meski dapat mengambil hati orang, dan menanggung penghinaan dengan sabar meskipun dapat memperoleh penghormatan maka Allah akan menganugerahinya pahala lima puluh orang yang sangat benar (shiddiqun), di antara orang-orang yang membenarkan.”

Sabar memiliki tingkatan-tingkatan lain, selain yang dipahami oleh awam, yaitu tingkatannya para penempuh jalan kesempurnaan (salik) dan para wali. Salah satu tingkatan sabar seperti itu adalah shabr fîllah (sabar dalam Allah), tingkatannya orang-orang yang diberkati dengan Kehadiran dan Penglihatan Amat Menyenangkan (ahl usy-syuhud wal-‘ayan), yang terjadi pada saat keluar dari pakaian kemanusiaan, dan pada saat terbebas dari tirai-tirai perbuatan dan sifat, pada saat tersinarinya hati oleh cahaya-cahaya Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, dan pada saat dimasuki keadaan keakraban dan kekaguman, dan terlindunginya diri terhadap perubahan dari warna ke warna, dan kemangkiran dari keakraban dan penglihatan ruhani.

Tingkatan lainnya lagi yaitu tingkatan shabr ‘anillah (sabar dari Allah), yang berkaitan dengan maqam pencinta Allah dan pendamba Allah, di antara ahlusy-syuhud wa-‘ayan pada saat kembali ke dunia mereka sendiri, dunia pluralitas dan ketenangan hati (setelah mabuk kepayang dengan Allah). lnilah maqam paling sulit, suatu maqam yang disebut-sebut oleh ‘Ali bin Abi Thalib as dalam doa Kumail, “Ya Ilahi, Junjunganku, Pelindungku, Tuhanku! Sekiranya aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu?”

Berikut ini kisah tentang al-Syibli. Diriwayatkan bahwa seorang pemuda dari kalangan pencinta Allah bertanya kepada al-Syibli tentang sabar, “Sabar macam mana yang paling sulit?” Jawab al-Syibli, “Sabar demi Allah.” Kata si pemuda, “Bukan.” “Sabar dalam Allah,” jawab al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Sabar dengan Allah,” kata al-Syibli. “Bukan,” kata si pemuda lagi. “Terkutuklah kamu, sabar macam apa itu?” kata al-Syibli dengan jengkel. “Sabar dari Allah,” begitu jawabnya. al-Syibli menangis, lalu pingsan.

Tingkatan lain adalah tingkatan shabr billah, yaitu tingkatannya orang-orang yang diberkati kemantapan, tingkatan yang dicapai setelah keadaan ketenangan hati dan baka dengan Allah (baqa’ billah). Tingkatan yang hanya dapat dicapai oleh orang yang sempurna. Dan segala puji bagi Allah, pada awal dan akhimya. Dan shalawat Allah atas Muhammad dan Keturunannya yang suci. Semoga kita dapat mencapai derajat kesabaran seperti itu.

Menahan Marah dengan Kesabaran

Banyak di antara kita dalam bergaul tak dapat menahan rasa amarah. Dari awal yang mulanya bercanda sering akhirnya berbuah pertengkaran. Pertengkaran ini timbul karena adanya ke dua belah pihak tak dapat menahan rasa amarahnya. Padahal Islam mengajarkan untuk mengendalikan sifat amarah ini.

Dalam sejarah Islam, Malik al-Asytar dikenal sebagai Panglima Pasukan Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib as. Tentang Malik al-Asytar ini, Imam Ali as berkata, “Kedudukan Malik bagiku adalah sebagaimana kedudukanku bagi Rasulullah saw.” Malik al-Asytar adalah pembesar kabilah Kindah dan berkedudukan sebagai Panglima Besar.

Dengan kedudukannya itu, tidak ada keinginan baginya untuk menindas orang yang lebih kecil. Pemah pada suatu hari, Malik berjalan di pasar Kufah dengan mengenakan pakaian yang lusuh dan berlengan pendek. Tiba-tiba seorang pemuda yang tidak mengenalnya dengan isengnya mencela Malik al-Asytar, bahkan pemuda itu kemudian melemparinya dengan tanah kering. Tetapi, Malik al-Asytar tidak menoleh kepadanya dan terus berjalan.

Seorang yang mengenali Malik berkata kepada pemuda itu, “Apakah engkau tahu siapa orang yang kau lempari itu?” “Tidak”, jawabnya. “Dia adalah Malik al-Asytar!” Pemuda itu lalu menjadi gemetar dan takut. Dikejarya Malik al-Asytar untuk meminta maaf atas perbuatannya. Belum sempat ia menemuinya, dilihatnya Malik al-Asytar masuk ke dalam masjid untuk mengerjakan shalat. Maka ia pun mengikutinya. Begitu Malik al-Asytar selesai mengerjakan shalat, pemuda itupun menemuinya. Lalu, ia berlutut di bawah kedua kakinya dan memohon maaf atas kesalahannya. Malik al-Asytar berkata kepadanya, “Engkau tidak perlu merasa takut. Aku telah memaafkanmu sejak awal, dan aku memasuki masjid ini adalah untuk memohonkan ampunan kepada Allah untukmu.”

Sesungguhnya, Malik al-Asytar dan orang-orang yang menahan kemarahannya adalah orang-orang yang menahan diri mereka ketika marah untuk menjaga kehormatannya. Allah berfirman,

Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka. (QS. al-Furqân:72)

Kemampuan menahan diri ketika marah merupakan sifat orang yang beriman. Sedangakan marah termasuk sifat kebinatangan yang dimiliki manusia. Dan ia merupakan hal alami yang terlahir dalam diri manusia atau hewan dari perasaan yang keras dan tajam terhadap yang lain. Ini terjadi, jika seseorang mendapatkan penghalang bagi keinginannya atau bertentangan dengannya, maka ia akan merasakan kesempitan (susah dan kesal), seperti ia mendengar perkataan yang buruk atau tertimpa kezaliman. Lalu timbullah pada dirinya perasaan ingin membalas dendam. dan kemudian bergolaklah darahnya. Karena itu. kita menyaksikan bahwa pada kondisi demikian. sebagian orang berubah mukanya menjadi merah dan tampak dengan jelas pergerakan darah yang ada di wajahnya. Pada saat itu jiwa seseorang cenderung untuk membalas dendam dan berusaha untuk melakukannya.

Kemudian. dari mulutnya ia melontarkan kata-kata yang bertentangan dengan yang sebenamya. mencela orang lain dengan ungkapan-ungkapan yang keji dan hina. Atau menggunakan tangan dan kakinya. Sering dalam dalam kondisi yang demikian ia tidak sadar dengan apa yang ia perbuat. Itulah kondisi kebinatangan. Ia tidak lagi memperhatikan kebenaran. Ia ulurkan tangannya kepada kebatilan dengan pandangan seperti pandangan hewan. Pada saat ia dalam keadaan marah. tidak ada yang ia lihat di hadapannya selain dendam, sehingga terkadang ia merobek pakaiannya, melontarkan celaan kepada sesuatu yang tidak ada di hadapannya, ataupun memukul dirinya sendiri!

Sering pula terjadi, jika rasa marahnya yang amat sangat tidak tersalurkan (pembalasan), maka ia dapat menderita shock (guncangan) atau serangan jantung disebabkan gejolak darah di uratnya. Bahkan orang seperti itu, dapat terkena stroke ketika marah kemudian mereka mati karenanya. Sebagian lagi ada yang mengalami kelumpuhan. Padahal mereka orang-orang yang mengerjakan shalat. Tetapi mengerjakan shalat semata-mata belumlah dapat menjadikan seseorang sebagai manusia. Melainkan ia harus menahan nafsunya dan mengekangnya. Janganlah ia memberikan ruang bagi sifat kebinatangan untuk bergerak agar ia tidak menjadi hewan yang buas. Jika anjing atau beruang di antara tabiatnya adalah mengoyak-ngoyak daging dan kulit. Adapun manusia, pada saat marah ia merobek dan mengoyak kehormatan dan kemuliaan orang lain, dan ini jauh lebih buruk daripada kezaliman lahiriah.

Untuk menghindari dari keburukan marah, maka manusia harus mengekang nafsunya ketika marah. Seorang manusia yang sebenarnya jika menyikapi sesuatu yang dibencinya akan memilih aspek kemanusiaan yakni kesantunan, sedangkan sifat binatang adalah dengan kemarahan. Memang yang namanya binatang itu tidak mengenal kesantunan. Dan ia tidak mengerti apa itu kesantunan? Sedangkan kita sebagai manusia, adalah orang-orang yang memiliki pemahaman. Jika yang ada pada kita hanya marah, lalu apa perbedaan antara kita dengan binatang?

Jadi, perbedaan merespon hal yang dibencinya atau tidak disenangi ini akan menunjukkan sifat kebinatangan atau kemanusiaan. Sifat kebinatangan merespon dengan kemarahan, sedangkan sifat kemanusiaan dengan kesantunan. Santun berarti sabar dan menahan diri pada saat menghadapi sesuatu yang dibenci. Pada saat melihat hal yang tidak disenangi, ia menahan diri, mengekang lidah, dan mencegah, tangan atau kaki dari berbuat kezaliman. Sesunguhnya menjaga diri sejak awal akan dapat menghindarkan terjadinya pertengkaran dan membuat orang yang menyakiti kita akan merasa malu dengan perbuatannya. Bahkan, dapat membawanya untuk meminta maaf.

Ada sebuah riwayat sufi, yang dapat kita simak dan ambil hikmahnya. Khawajah Nashiruddin ath-Thusi, adalah seorang muhaqiq besar. Pernah suatu kali ada seorang yang bodoh memanggilnya dengan sebutan ‘anjing’. Tapi apa yang dikatakan ath-Thusi jauh dari rasa kemarahan. Ia berkata, “Engkau memanggilku dengan ‘anjing’, padahal aku hanya bekerja dengan pikiranku sehingga aku lihat tak ada sesuatu yang membuatku sama dengan anjing. Aku hanya memiliki dua kaki sedangkan anjing memiliki empat, ia mempunyai gigi-gigi yang tajam untuk memakan tulang, sedangkan gigi-gigiku diam saja dan tidak bekerja, ia memiliki bulu-bulu yang aku tidak memilikinya, dan ia pun memiliki taring, sedangkan aku tidak.” Begitulah ia rnenghadapinya dengan penuh kesabaran, sehingga orang tersebut terdiam. Seandainya ia membalasnya dengan perkataan, “Engkaulah yang anjing; begitu juga ayah dan ibumu!” Tentulah pertengkaran akan semakin memanas dan keadaan pun semakin memburuk.

Memang salah satu pekerjaan berat dalam menjalani hidup ini adalah bagairnana kita dapat menahan diri dari rasa marah. Pada awal mulanya, melatih diri dalam menahan marah adalah suatu hal yang sangat berat, tetapi setelah itu, ia akan menjadi mudah dan sederhana. Sehingga buah dari menahan dan meredam kemarahan akan membawa kepada kebahagiaan dan kemuliaan bagi pelakunya.

Hawa Nafsu dan Pengendaliannya

Setiap awal tahun baru, kita kaum Muslimin diingatkan satu peristiwa besar dalam sejarah Islam, yakni hijrah. Hijrah selain bermakna lahiriah, perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, namun juga dapat bermakna ruhaniah. Pemaknaan hijrah secara ruhaniah ini akan memberikan pada diri kita wahana spiritual yang lebih mendalam. Dengan demikian hijrah secara ruhaniah dapat diartikan sebagai transformasi dari suatu keburukan kepada kebaikan. Seseorang ingin melakukan hijrah, pada dasarnya karena ia ingin mencari perubahan menuju keadaan yang lebih baik.

Perjalanan hijrah ini tak hanya dilakukan oleh manusia. Dalam puisi mistik sufi ‘Konferensi Burung-Burung’ karya Faridduddin Attar diceritakan tentang sekawanan burung yang ‘hijrah’ untuk mencari hakikat yang tertinggi. Attar melukiskan pencarian sekawanan burung untuk menemukan Simurgh, seekor burung legendaris. Nama itu berarti “tiga puluh ekor burung,” yang sekaligus mewakili sejumlah burung dalam kawanan, yang juga berjumlah 30. Setelah mengarungi tujuh lembah dan setelah mengatasi berbagai hambatan yang berat, mereka akhirnya berhasil bertatap muka dengan Simurgh yang tiada bandingannya itu. Puncak cerita merupakan bagian yang paling mengharukan dalam puisi mistik. Kini upaya burung untuk menemukan Simurgh tiada lain merupakan lambang dari pencarian manusia untuk menemukan Allah, atau Realitas Mutlak.

Proses menemukan realitas Mutlak ini bukan hal mudah, manusia harus mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk mencapainya. Sehingga tak heran Rasulullah saw menggambarkan perjuangan ini sebagai jihad akbar. Karena ini memang merupakan medan yang berat. Tapi jika dapat melaluinya maka berbahagialah orang yang beranjak menuju kebaikan. Ia akan makin mendekat ke sumber dari segala sesuatu. Sedangkan jika mereka tak beranjak dari posisi yang sekarang, tetap berada dalam kenistaan, sungguh amat menyedihkan karena ia tetap berada di sebuah penjara bagi dirinya sendiri.

Padahal Tuhan Yang Maha Perkasa dengan kebijaksanaan- Nya telah mengirimkan rahasia Dzat-Nya dari Langit Tersembunyi ke Bumi, dan telah menyembunyikan rahasia itu dalam sifat manusia untuk menunjukkan Nama dan Sifat-Nya sendiri. Tetapi manusia yang tenggelam dalam kegelapan telah melupakan nilai-nilai dan kesempurnaan yang dimilikinya sebelum ia datang ke dunia ini. Demikian pula Allah telah menurunkan nabi-nabi dan (kitab-kitab suci kepada mereka agar mereka bangun dari tidur terlelap, untuk menuntun mereka ke jalan yang lurus, untuk memurnikan dan menata luar dan dalam diri mereka sehingga mereka mampu menyapu jaringan kegelapan dan nafsu, menemukan Alam Terang, mengingat tempat asalnya dan kembali ke sana.

Jika orang mendekati Allah satu sentimeter dengan kemauan keras, Allah akan mendekat kepadanya satu meter, dan Allah datang dengan berlari kepada mereka yang datang dengan berjalan.

Begitu pedulinya Allah pada hambanya yang bernama manusia, namun manusia tetap tidak mengerti dan berada dalam kenistaan. Mengapa manusia dapat bersikap demikian? Dalam diri manusia, terdapat dua ruh; ruh hewan, dan ruh manusia. Ruh hewan adalah zat spiritual halus yang terdiri dari nyawa, kesadaran, daya gerak dan kehendak tubuh, yaitu sifat-sifat manusia yang juga dimiliki hewan. Diri yang bersatu dengan ruh ini disebut diri hewan (nafs al-haywani).

Sedangkan semua kemampuan yang lebih tinggi pada manusia dimasukkan dalam ruh manusia. Diri yang bersatu dengan ruh ini merupakan diri yang bicara/berpikir (nafs al-natiqa), dan diri inilah yang mampu mendorong ke tingkatan diri yang lebih tinggi: tenang, puas, diridhai, dan sempurna. Diri hewan merupakan substrat-nya, makin sering diri manusia tidak dapat hadir tanpa ini, diri hewan menjadi lebih jinak dan orang dapat menahan keinginan hewan. Inilah satu-satunya jalan agar makin banyak aspek manusia dan Ilahi dari diri dapat bangkit. Namun jika diri hewan begitu dominan terhadap manusia, hal inilah yang menyebabkan manusia terjerambah ke dalam perbuatan nista itu, karena banyak mengumbar nafsu hewaniahnya.

Salah seorang wali sufi yang terkenal; Ahmad Sirhindi berkata, “Dalam keadaan aktif, diri hina berusaha untuk menjadi penguasa, menjadi pemimpin, dan lebih besar dari sesamanya. Ia menghendaki agar semua makhluk tergantung kepadanya dan agar mereka mematuhi perintah dan larangannya. Ia menolak ketergantungan dan hutang kepada pihak lain. Ia mengaku bersifat Ilahi dan bersekutu dengan Allah. Tentu saja, diri yang bersifat memaksa, mengerikan dan jauh dari kebahagiaan, tidak akan tenang meski berpartner dengan Allah. Ia bahkan ingin mengalahkan Allah dengan memperhamba segala yang ada. Oleh karena itu maka perbuatan membantu dan membina diri hina ini, hingga ia dapat mempertahankan kepemimpinan dan kekuasaan, merupakan kebodohan dan bencana terbesar.”

Apa yang dikatakan Ahmad Sirhindi tentang diri hina merupakan hasil dari mengedepankan nafsu hewaniahnya itu. Sehingga ia akan terjebur dalam perbuatan-perbuatan yang menjauhi Allah, bahkan dapat menjadi sekutu-Nya. Tentu untuk menaklukan diri hina ini bukan persoalan mudah, karena ia begitu mempesona dan memberikan berbagai kesenangan duniawi.

Salah satu tokoh Sufi, Syeikh Abdukadir Jailani pernah memberikan nasehat panjang untuk mengalahkan diri hina ini. Menurutnya, diri hina itu hanya dapat dijinakkan dengan pengendalian. Caranya yaitu dengan memberikan pendorong atas hak-haknya, tetapi jangan biarkan ia menikmatinya. Misalnya, hak-hak diri adalah makan, minum, pakaian, dan rumah, lakukan dan miliki seperlunya. Begitu pula kenikmatan merupakan hal yang disukainya, berikan haknya menurut ukuran yang ditentukan di dalam syariat. Berikan kepadanya apa-apa yang halal atau bersih, jangan sekali-sekali memberinya barang haram atau kotor. Puaslah dengan yang sedikit, asalkan halal. Biasakan dirimu dengan hal ini.

Selanjutnya Syeikh Abdulkadir menasehatkan, “Bila kamu ingin kebebasan, lawanlah dirimu sebagai tanda kepatuhanmu terhadap Tuhanmu. Jika dirimu cenderung mematuhi-Nya, setujuilah. Jika cenderung terhadap dosa, lawanlah. Jangan singkirkan tongkat perjuangan dari belakangmu. Jangan percaya pada tipu dayanya. Ia akan pura- pura tertidur. Ketika binatang buas itu pura-pura tidur atau kelelahan, kamu mungkin tidak memiliki perlindungan. Ia selalu mencari kesempatan ketika ia tampak tidur atau lelah. Begitulah sifat predator. Diri adalah bagaikan predator. Ia beraksi ketika tampak mengantuk atau tidur, namun ketika melihat kesempatan, ia beraksi. Di luar, tampaknya diri itu patuh, taat, dan setuju dengan kebaikan; tetapi ia menyembunyikan kebalikannya. Jadi, hati-hatilah ketika ia tampak patuh.” Ia melanjutkan, “Obati dirimu sendiri dan berjuanglah melawan dirimu sendiri.” Hal ini sebagaimana firman Allah,

Siapa pun yang berjuang di jalanKu, Kami akan membimbingnya ke jalan yang lurus. (QS. al-Ankabut:69)

Dan juga,

Jika kamu menolong agama Allah, Ia akan membantumu. (QS. Muhammad:7)