Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (5)

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (5)0%

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (5) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akhlak & Doa

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 14 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 3941 / Download: 2936
Ukuran Ukuran Ukuran
Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (5)

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi (5)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Renungan Jumat; Meraih Cinta Ilahi

Al- Huda

PENGANTAR EDITOR

Kehidupan manusia sejak kecil adalah meniru orang-orang yang di sekitamya. Seorang anak akan menjadikan kedua orang-tuanya sebagai contoh pertama dalam dalam menjalani hidupnya. Apa yang dilakukan dan diajarkan orang-tua bagi seorang anak akan menjadi bekal dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Apabila orang-tuanya mengajarkan kehidupan dengan akhlak yang buruk, maka kehidupan selanjutnya (walaupun tidak selalu) bagi si anak akan dijalani dengan akhlak yang buruk pula.

Namun, apabila orang-tuanya mengajarkan cinta dan kasih sayang pada anaknya, maka anaknya akan tumbuh pula dengan jiwa kasih sayangnya. Begitu pula dengan ajaran keimanan yang diberikan orang-tuanya, akan menjadikan kehidupan anak itu penuh dengan keimanan pula. Kekuatan iman yang telah tumbuh dalam dirinya selanjutnya akan tumbuh menciptakan dunia cinta. Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Ali, Rasulullah saw menjawab pertanyaan tentang berkasih sayang sesama mereka (orang-orang beriman) (QS. Al-Fath:29) dengan berkata,“Jiwa yang paling disayangi Allah adalah yang kukuh dalam agama, suci dalam iman, dan baik hati terhadap orang-orang beriman.”

Menumbuhkan kekuatan keimanan sehingga berbuah akhlak yang mulia adalah adalah persoalan yang sulit. Salah satu cara untuk mendapatkan kemuliaan akhlak adalah dengan metode mencontoh seperti yang dilakukan oleh anak kecil itu. Cara lainnya adalah dengan memahami konsep tentang akhlak mulia dan menjalaninya. Agama Islam mengajarkan bahwa Nama-nama Allah (Asma-ul Husna) itu merupakan konsep tentang akhlak yang mulia.

Adalah Laleh Bakhtiar, pakar Psikologi Konseling dari Institute for Traditional Psychoethics yang menulis sebuah buku Moral Healing through the Most Beatiful Names, yang isinya menyatakan bahwa kunci penyembuhan jiwa secara moral bagi pesuluk (pejalan ruhani) adalah dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna. Setidaknya ada dua ayat al-Quran yang memerintahkan kita untuk berakhlak dengan Asma-ul Husna ini. Dua ayat al-Quran itu adalah surat al-A’raf ayat 180 dan surat Thâhâ ayat 8, yang berbunyi, Hanya milik Allah Asma-ul Husna maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu, dan, Dia mempunyai Asma-ul Husna. Dua ayat itu dengan jelas memerintahkan manusia untuk meneladani Asma-ul Husna agar dapat menyempurnakan jiwanya untuk dapat meraih cinta Ilahi.

Perjalanan meraih cinta Ilahi tidaklah mudah. Berbagai perjuangan batin harus dilaluinya untuk mendapatkannya. Karena dengan ‘jiwa’ ini manusia dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendak bebasnya; manusia dapat bertindak adil dan terpuji atau buruk dan merusak. Dalam hal ini, perjuangan manusia untuk memilih tindakan adil dan terpuji sehingga berbuah akhlak mulia merupakan tindakan yang penuh perjuangan dan penderitaan. Memang bukan hal mudah untuk melawan godaan hawa nafsu yang menjauhkannya dari sifat kesempurnaan (baca:yang sesuai dengan Asma-ul Husna).

Untuk meraih sifat kesempurnaan itu, kita terlebih dahulu harus mengenal apa yang disebut dengan ‘jiwa’, sehingga kita dapat mengarahkan jiwa menuju kesempurnaan. Jiwa pada prinsipnya berbeda dengan tubuh dan ia berdiri sendiri. Jiwa itu baru atau tidak bersifat kadim. Untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami jiwa hanya dapat dilakukan secara tidak langsung melalui daya nalar kognitif atau persepsi mental, dengan mengamati kegiatan yang berasal dari jiwa tersebut. Jiwa terjelma dalam keadaan yang terus-menerus berubah, sehingga perlu dipusatkan agar sifatnya dapat disempurnakan.

Pada dasarnya jiwa mempunyai fungsi untuk menangkap hal-hal yang bersifat imaterial dengan esensinya sendiri dan mengatur serta mengendalikan tubuh fisik dengan menggunakan fakultas dan organ. Jiwa bukanlah tubuh, tidak bersifat fisik, dan tidak dapt ditangkap oleh indra. Jiwa mencakup jiwa nabati (fakultas nutritif, fakultas augmentatif, dan fakultas yang mengalami pertumbuhan san kehancuran), jiwa hewani (fakultas persepsi san motivasi), san jiwa manusiawi, yang mengandung empat aspek utama: ruh (rûh), hati (qalb), akal (‘aql), dan hawa nafsu atau aspek irasional jiwa.

Dalam hati inilah terdapat ruh yang tak memiliki jumlah, kuantitas, atau ukuran. Ruh adalah sumber dari Asma-ul Husna yang akan diberikan kepada hati, agar hati dapat menjalani kehidupan, mendapatkan pengetahuan, dan kemampuan kognitif. Hal ini merupakan berkah bagi hati, karena sebagai pusat kesadaran tentang Allah, hati dapat mengantarkan jiwa menuju kesempurnaan. Hati disebut qalb yang berarti ‘berbolak-balik’. Pada kenyataannya hati memang senantiasa berbolak-balik antara dua dunia —material dan spiritual.

Menjaga hati agar terus dalam kondisi menuju kesempumaan jiwa memang tidak mudah. Menurut Imam Ghazali, sebagaimana dikutip Laleh, ada tiga cara agar manusia dapat memperoleh pengetahuan jiwa. Pertama, pengetahuan tentang makna Asma-ul Husna sebagai ayat-ayat Allah di ufuk dan di dalam jiwa dapat melalui penyaksian dan penyingkapan. Kedua, dengan memuliakan dan menghormati sifat-sifat ini, yang ingin dimiliki pesuluk agar ia bertambah dekat dengan-Nya dalam arti kualitas bukan tempat. Sedangkan yang ketiga adalah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, pesuluk mengosongkan diri dari semua hasrat kecuali untuk Allah.

Dengan mengaktulisasikan Asma-ul Husna ini, maka manusia dapat menyucikan hatinya, sehingga Cahaya fitrah yang terkandung dalam dirinya dapat mewujud. Melalui bimbingan Cahaya fitrah ini, maka hati akan mengikuti akal budi menuju nilai spiritual, dan menjauhi hawa nafsu dan dunia materi. Wujud dari bimbingan Cahaya fitrah itu adalah seorang pesuluk dapat mengaplikasi Asma-ul Husna dalam pergaulannya di masyarakat dengan mempunyai akhlak yang mulia dan terpuji.

Dengan terhujam dan menyatu Asma-ul Husna dalam dirinya, maka seorang pesuluk akan menjelmakannya menjadi kepatutan moral seorang yang saleh dan cerdas. Ia akan mengenali tujuan hidupnya adalah untuk menyempurnakan dirinya. Tanpa moralitas, tak akan ada kesempurnaan. Tanpa disiplin diri tak akan ada moralitas. Dalam kesehariannya seorang pesuluk akan bersifat penyantun, tidak tergesa-gesa menghakimi sesama. Kepatutan moral menyebabkan ia merenungkan apa yang dianggapnya agung mengenai dirinya, dan menjauhi dirinya dari hal yang dapat menuntun dirinya kepada kesombongan, keangkuhan, dan takabur kepada sesama.

Seorang pesuluk akan memperkuat imannya sebagai ahli tauhid yang saleh dan cerdas, dan ia dapat menjadi penutup kesalahan orang lain dan bersyukur kepada Allah atas berkahnya. Ia akan menjalankan sifat kedermawanan terhadap sesama demi Allah semata. Dalam kehidupannya, seorang pesuluk adalah pengemban amanat Allah untuk alam semesta. Ia menjadi kuat dan kukuh dalam mengalahkan musuh dan menjadi teman untuk ‘teman-teman’ (baca:pengikut) Allah. Dalam ibadahnya ia menjadi yang paling awal, dan yang terakhir dalam menegur kesalahan sesamanya dengan terlebih- dahulu menegur kesalahan dirinya.

Pada puncak ruhaninya, seorang pesuluk akan menjelmakan dalam kehidupannya, yakni pengetahuan, perasaan dan perilakunya sebagai Cahaya Allah. Sehingga seorang pesuluk merupakan petunjuk bagi sesama, dan selalu menyibukkan dirinya dengan amal-amal saleh dengan penuh kesabaran. Akhlak mulia dan terpuji itu merupakan buah dari proses riyadhah (penyucian diri) yang dilakukan seorang pesuluk dalam meraih cinta Ilahi.

Buku Renungan Jumat: Meraih Cinta Ilahi yang sedang Anda baca ini memaparkan bahwa dalam meraih cinta Ilahi itu tidaklah mudah. Buku ini banyak menjelaskan mengenai bagaimana kita dapat beriman kepada Allah dan menumbuhkan cinta kepada-Nya sehingga berbuah akhlak yang mulia sebagaimana tercermin dalam Asma-ul Husna-Nya. Berbagai pengertian yang sering terdapat dalam istilah akhlak juga dijelaskan dalam buku ini seperti taubat, itsar, qalb, hawa nafsu, zikir, dan lain-lain dengan penjelasan yang mudah dipahami. Buku ini merupakan buku kedua dari kumpulan tulisan Buletin Jumat yang diterbitkan oleh Islamic Culture Centre melalui divisi penerbitannya Al-Huda. Adapun buku pertamanya adalah Renungan Jumat: Penyuluh Akhlaqul Karimah, yang telah mendapat sambutan baik dari pembaca.

Penerbitan buku ini didukung oleh tim redaksi Buletin Jumat yakni Ahmad Subandi, Arif Mulyadi, Ali Alatas, Andito, dan Irman Abdurrahman. Namun demikian, seluruh tulisan ini merupakan tanggung jawab saya selaku editor dan penanggung jawab Buletin Jumat. Begitu pula dengan Ahmad Rivai yang mengerjakan proses produksinya. Tak lupa saya haturkan terima kasih kepada seluruh staf Al-Huda yang dengan caranya masing-masing telah membantu penerbitan buku ini. Terakhir buku ini saya persembahkan kepada anak saya, Dewi Nadya Maharani, yang menjadi penguat hati saya dalam menjalani kehidupan yang kadang penuh dengan cobaan.

Semoga pembaca dapat mengambil hikmah dari karya sederhana ini, yang merupakan sumbangan al-Faqir bagi perkembangan dakwah Islam. Semoga pula Allah meridhai apa-apa yang menjadi amal saleh kita dalam kehidupan sehari-hari. Amien.

Depok, Sya’ban 1424 H/Oktober 2003 M

Rudhy Suharto

BAB V: MANUSIA DAN IBADAH

Manusia dan Ibadah

Manusia dalam hidupnya tidak mempunyai kebebasan yang mutlak. Manusia sebagaimana halnya makhluk yang lain dalam hidup ini juga mempunyai aturan-aturan yang harus ditaati. Aturan-aturan kehidupan manusia inilah yang dalam pandangan Islam termaktub dalam al-Quran dan hadis Nabi saw. Ada sebuah hadis yang berbunyi, “Allah sangat suka agar manusia juga bebas dalam berbagai masalah yang di dalamnya ia diberi kebebasan.” Maksud dari hadis ini adalah hendaknya manusia menganggap kebebasan yang diberikan sebagai kebebasan juga. Dalam hadis lain, Imam Ali berkata, “Sesungguhnya Allah meletakkan larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar. Karena itu, janganlah engkau melanggarnya. Allah telah meletakkan serangkaian kewajiban yang harus dilakukan. Maka, janganlah engkau meninggalkannya. Begitu juga dalam beberapa masalah, Allah bersikap diam. Namun, itu bukan karena lupa. Maka janganlah engkau kemudian menetapkan kewajiban-kewajiban tertentu yang memberatkanmu.”

Tindakan dalam mentaati ketentuan dan larangan Allah inilah yang disebut ibadah. Ibadah mempunyai pengertian ada yang umum dan yang khusus. Definisi yang di atas itu merupakan ibadah umum, sedangkan ibadah khusus meliputi shalat, puasa, zakat, berdoa, haji dan lain-lain. Ibadah ialah suatu keadaan yang ada dalam diri manusia. Dari sisi batin, manusia mengarahkan perhatiannya kepada Zat yang telah menciptakannya dan juga menggenggam wujudnya dalam kekuasaan-Nya. Manusia membutuhkan Zat itu. Pada hakikatnya, ini merupakan perjalanan yang ditempuh manusia dari makhluk kepada pencipta-Nya. Terlepas dari semua faedah dan pengaruh yang ditimbulkannya, ibadah merupakan salah satu kebutuhan jiwa manusia. Tidak dilaksanakannya ibadah akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam jiwa manusia.

Dalam hal ini, ada sebuah contoh sederhana. Jika kita hendak meletakkan dua wadah di kedua sisi punggung seekor hewan, maka kedua wadah itu harus seimbang. Tidak boleh satu wadah penuh berisi barang, sementara wadah lainnya dibiarkan kosong. Dalam jiwa manusia ada ruang-ruang kosong. Dalam hati manusia, ada banyak tempat kosong. Setiap kebutuhan yang tidak terpenuhi akan membuat jiwa manusia gelisah dan tidak seimbang. Jika manusia berniat menghabiskan seluruh umumya dengan hanya melakukan ibadah dan tidak mau memperhatikan berbagai kebutuhan lainnya, maka kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi itu akan berontak, menyakitinya, dan membuatnya resah. Sebaliknya juga demikian. Sekiranya manusia sepanjang hidupnya hanya berusaha memenuhi keinginan-keinginan materi saja dan tidak mau sama sekali memperhatikan kebutuhan-kebutuhan spiritualnya, maka ruh dan jiwanya akan senantiasa berada dalam keadaan resah dan memberontak.

Di masa mudanya, Nehru, tokoh India, adalah seorang yang sama sekali tidak beragama. Namun pada masa-masa akhir hidupnya, keadaanya berubah. Ia mengatakan, “Aku merasakan ada sebuah ruangan hampa dalam hatiku dan juga di alam ini, yang tidak mungkin bisa kupenuhi kecuali dengan masalah-masalah spiritual. Terjadinya berbagai goncangan dan keresahan di alam ini ialah disebabkan kekuatan-kekuataan spiritual telah dilemahkan. Inilah vag menyebabkan tidak ada lagi keseimbangan di alam ini.”

Jelaslah bahwa manusia benar-benar membutuhkan ibadah dan ketaatan. Berbagai penyakit jiwa banyak merajalela di zaman sekarang yang disebabkan manusia jauh dari ibadah. Terlepas dari semua pertimbangan, shalat adalah dokter yang senantiasa siap melayani penghuni sebuah rumah. Jika olah raga sangat bermanfaat bagi kesehatan badan, jika air bersih sangat penting dan diperlukan oleh seisi penghuni rumah, jika udara bersih sangat dibutuhkan oleh setiap orang, dan jika makanan sehat dan bergizi diperlukan oleh setiap orang, maka shalat juga penting bagi keselamatan dan kesehatan manusia. Betapa banyak orang bisa membersihkan jiwanya. sekiranya mereka mengkhususkan satu jam saja dari sehari semalam untuk mengadu dan bermunajat kepada Tuhannya.

Dengan demikian, unsur-unsur yang akan meresahkan jiwa manusia bisa dikeluarkan dengan perantaraan shalat. Islam adalah agama yang mencakup sosial dan akhlak. Mengapa? Sebab Islam mengajarkan kepada kita pelajaran-pelajaran sosial yang lebih utama. Allah berfirman dalam al-Quran,

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al- Hadid:25).

Dalam ayat lain Allah berfirman,

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari tengah-tengah mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. (QS. al-Jumu’ah:2)

Apakah di sini berarti bahwa Islam memandang rendah nilai yang dimiliki ibadah karena Islam demikian tinggi memandang nilai yang dikandung dalam ajaran,ajaran sosial? Dalam hal ini, Islam tidak mengecilkan arti ibadah, meskipun hanya sebesar biji saqwi. Bahkan, Islam tetap menjaga kedudukan dan derajat ibadah di atas segala sesuatu ini. Dalam pandangan Islam, Ibadah merupakan pokok ajaran. Jika ibadah tidak dilaksanakan secara benar, maka masalah-masalah sosial dan akhlak juga tidak akan benar. Jika ibadah tidak diwujudkan, maka kedua ajaran tersebut, yaitu ajaran akhlak dan ajaran sosial tidak akan bisa berubah menjadi realitas di alam nyata.

Dalam pandangan Islam, tidak diakui bahwa diri seseorang yang tidak mengerjakan shalat ada ciri-ciri seorang Muslim. Imam Ali berkata, “Tidak ada sesuatu yang mencapai derajat shalat setelah beriman kepda Allah.” Rasulullah saw bersabda, “Shalat tidak ubahnya seperti mata air hangat yang ada dalam rumah seseorang. Di situ ia mandi sebanyak lima kali dalam sehari dengan menggunakan air hangat itu.” Imam Ali berkata, “Engkau harus menepati shalat dan engkau harus memeliharanya. Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw,

Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mendirikannya. (QS. Thaha:132)

Dalam ayat lain dikatakan,

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya knmu berdiri (mengerjakan shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam, atau sepertiganya. Dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. (QS. al-Muzzammil:20).

Seorang manusia tidak akan menjadi manusia sempurna tanpa ibadah. Nabi saw tetap seorang Nabi. Namun demikian, beliau tetap mengerjakan ibadah ketaatan dan istighfar. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Setiap kali Rasulullah saw duduk dalam satu majelis, beliau mengucapkan istighfar sebanyak dua puluh lima kali. Yang beliau ucapkan ialah: Astaghfirullah rabbî wa atûbu ilâîh, yaitu aku memohon ampun kepada Allah yang merupakan Tuhan-Ku dan aku bertaubat kepada-Nya.” Jika Rasulullah saw yang seorang Nabi saja masih tetap melakukan ibadah kepada Allah, apalagi kita sebagai pengikutnya yang banyak kelemahan dan dosa.

Jalan Menuju Kesempurnaan Manusia

Dalam diri manusia, menurut tradisi tasawuf, terdapat dua keperihan yang merupakan salah satu jalan menuju manusia yang sempurna. Dua keperihan itu adalah berupa kerinduan ‘kembali kepada asal’ dan keperihan melihat penderitaan orang lain. Sehingga dengan penekanan kepada dua sisi ini, maka manusia tersebut dapat menjalankan dengan apa yang sering disebut hablum minallah dan hablum minnannas.

Keperihan manusia yang pertama yakni rindu pada Ilahi banyak diceritakan dalam tradisi tasawuf. Misalnya, diceritakan dalam kisah-kisah sufi bagaimana seekor beo dalam sangkar yang dibawa dari India selalu ingin menghancurkan sangkar itu dan terbang kembali ke kampung halamannya. Begitu pula Maulawi bercerita tentang buluh perindu yang dipotong dari rumpunnya, lalu Anda mendengar rintihan seruling yang meratapi perpisahan itu dan kerinduan untuk bersatu kembali.

Ibarat-ibarat itu menggambarkan kegelisahan manusia yang ingin kembali ke dunia berikutnya, yang merasakan perihnya perpisahan dan yang rindu akan persatuan Ilahi. Itulah penderitaan menjadi orang asing di dunia ini dan terpisah dari sumber aslinya di dunia lain. Ia rindu kembali. ke rumahnya sendiri, kepada Tuhan, kepada surga tempat ia dulu diusir. Namun kedatangannya ke dunia ini tidaklah salah dan sia-sia melainkan mempunyai tujuan.

Sebuah hadis Nabi saw mengatakan, “Barangsiapa mengenal dirinya ia mengenal Tuhannya.” Kerinduan manusia akan Tuhan, menurut hadis ini dapat dicari dalam diri manusia itu sendiri. Sebagaimana al-Quran juga memberikan keterangan tentang masalah ini,

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu. (QS. Fushshilat:53)

Jadi, manusia itu sendiri menurut hadis dan ayat al-Quran, merupakan tempat memasuki dunia spiritual. Ini bisa terjadi, karena di dalam hakikat manusia ada unsur-unsur yang tidak selaras dengan dunia materi. Ini bukan hanya dipercayai para psikolog lama; psikolog modernpun mengakuinya secara jelas. Selain itu kriteria kemanusiaan manusia dan yang memberinya kepribadian tidak dibentuk oleh alam atau sesuatu yang lain, tapi oleh manusia sendiri. Imam Ali bin Musa al-Ridha as mengatakan, “Yang ada di sana diketahui melalui yang ada di sini.”

Dengan demikian, ketika manusia sudah mengenal dirinya yang ini berarti manusia mengenal Tuhannya, maka dengan sendirinya tumbuh rasa pengabdian pada-Nya. Pengabdian ini harus didasarkan atas cinta sejati, bukan cinta pamrih. Cinta sejati kepada Tuhan ini membuat manusia sepenuhnya tak sadar dengan apa yang terjadi di sekitarnya dan tak merasakan sakit apa pun, sekalipun anak panah dicabut dari badannya. Sakit perpisahan dengan Tuhan dan kerinduan akan kedekatan dengan-Nya ini tidak berakhir sampai ia bersatu dengan Tuhan.

Keperihan lain manusia adalah bila ia merasakan penderitaan manusia lain. Apabila lapar dan derita orang lain menjadi lebih sulit ditanggung daripada lapar dan derita sendiri, itu adalah nilai dasar kepribadian dan sumber nilai-nilai manusiawi lainnya. Ia mencakup rasa tanggung jawab terhadap orang lain, terhadap kesusahan dan penderitaan sesama manusia. Sa’adi berkata:

Bukan kemiskinan yang membuatku pucat.

Aku pucat karena meratapi fakir miskin.

Tentang ini dapat kita simak pandangan para sufi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Murtadha Muthahhari dalam buku Manusia Sempurna. Selama seseorang terpisah dari Tuhan, segala sesuatu salah. Tetapi, setelah bersatu dengan Tuhan, mengenal dan mendekati-Nya serta merasakan-Nya dengan diri sendiri, seseorang harus berpaling kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kesertaan-Nya untuk menolong, menyelematkan dan membawa mereka mendekati Tuhan. Apabila seorang manusia berjalan dari manusia kepada Tuhan, ia tak akan mencapai apa pun. Apabila ia bergerak ke arah manusia tanpa bergerak kepada Tuhan, ia akan seperti penganut paham materialis sekarang, yang tak mampu melaksanakan sesuatu, karena jalan itu sama sekali palsu. Hanya orang-orang yang telah menyelamatkan diri sendiri yang akan menyelamatkan orang lain dari perbudakan alam dan manusia. Itu berarti, ia mula-mula harus bebas dari hawa nafsu, kemudian dari dominasi dunia lahiriah dan sesama manusia.

Dalam ayat al-Quran dijelaskan keperihan Nabi saw yang melihat penderitaan umatnya. Allah berfirman,

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang yang mukmin. (QS. at-T aubah:128)

Ayat ini menunjukkan betapa Nabi saw begitu berhasrat membimbing dan menyelamatkan manusia dari perbudakan dan kesulitan-kesulitan di dunia ini sehingga beliau serasa hendak bunuh diri karena keperihan hatinya. Jadi, Nabi merasakan kesusahan manusia lain dan berbuat sebesar mungkin untuk mereka.

Sahabat Nabi saw yang mempunyai rasa keperihan seperti Nabi adalah Imam Ali. Imam Ali menunjukkan perasaan yang sama. Disebutkan dalam Nahjul al-Balaghah, suatu kali ia menerima laporan dari Basrah bahwa Utsman bin Hanif menghadiri suatu pesta. Memang di pesta itu tidak ada minum-minum, perjudian, dan maksiat. Tetapi Ali menegur gubenurnya itu karena menghadiri pesta yang hanya dihadiri para aristokrat, dan tidak menyertakan fakir miskin. Lalu Ali menggambarkan keperihan-keperihannya sendiri; bahwa ia dapat memperoleh semua sarana kenikmatan, hiburan dan kesenangan bila ia kehendaki, tapi ia tidak ingin melepaskan kendali kehidupannya di tangan hawa nafsu. Ia memikirkan semua orang di berbagai negeri yang miskin dan sangat memerlukan. Inilah yang dimaksud dengan ‘merasakan keperihan orang lain’. Ia mengatakan, “Haruskah saya puas dengan gelar ‘khalifah’ dan ‘amir al-mukminin’ tanpa turut mengambil bagian dalam kesusahan kaum mukmin?”

Kisah berikut ini juga menceritakan keperihan Imam Ali terhadap penderitaan pengikutnya. Suatu hari, Imam Ali melihat seorang wanita membawa kantung air dari kulit dan berpikir bahwa tentulah ia sendirian sehingga terpaksa harus melakukan pekerjaan seperti itu. Ia mendekati wanita itu sambil menawarkan bantuan. Wanita itu menerima tawaran itu. Ketika tiba di rumahnya, Imam Ali menanyakan kepadanya apakah tak ada orang lain yang akan menolongnya. Wanita itu mengatakan bahwa suaminya telah gugur di pihak Ali, dan tak ada lagi orang yang mengurusnya. Mendengar itu, segenap tubuh Ali serasa terbakar belas kasihan, dan ia tak dapat tidur semalam suntuk. Esok paginya ia dan para sahabatnya membawa perbekalan ke rumah wanita itu. Di sana beliau sendiri memasakkan daging memberi makan anak-anak wanita itu yang telah piatu dan mengelus-elus mereka seraya mengatakan, “Maafkan Ali karena telah melalaikan kamu.” Kemudian ia menyalakan tungku, mendekat untuk merasakan panasnya, seraya berkata kepada dirinya sendiri, “Ali, rasakan panasnya ini agar kau tidak melupakan panasnya neraka karena melalaikan kaum yatim piatu, miskin dan lain-lain.”

Dengan demikian dua keperihan ini, rindu Ilahi dan merasakan penderitaan orang lain haruslah terpatri di hati-hati kita. Dengan keperihan ini maka kehidupan akan selamat, yaitu ketika mengarungi dunia menuju kehidupan abadi, akhirat.

Pentingnya Itsar

Di tengah kesulitan yang sedang menimpa bangsa kita sekarang ini, ada baiknya kita simak satu riwayat yang mengajarkan kepada kita untuk mendahulukan orang lain dibanding diri kita sendiri (itsar). Pada satu ketika ada tiga orang sahabat Nabi saw sedang berada di medan peperangan melawan orang-orang kuffar. Ketiga sahabat Nabi saw itu terkena anak panah yang terhujam di tubuhnya. Salah seorang di antara mereka terkena panah pada bagian leher, seorang lagi terkena pada bagian dada dan yang satu lagi pada bagian paha. Tiba-tiba ada seorang sahabat lain datang dengan membawa secawan air menghampiri mereka bertiga yang sedang dalam kesakitan yang amat sangat dan mendekati sakratul maut.

Pada saat itu lah suatu persaudaran sejati yang diikat tali akidah tauhid terlihat. Betapa dalam keadaan yang sedang sulit sekalipun mereka saling memperhatikan sesamanya. Begitu minuman itu sampai di orang yang pertama ia pun menolaknya, dan seraya mengatakan, “Berikanlah air kepada sahabatku, karena ia kesakitan.” Ketika orang yang kedua hendak minum air, ia teringat sahabatnya dan menolak minuman itu seraya berkata, “Berikanlah air kepada sahabatku yang lain, karena ia kesakitan.” Demikian pula dengan orang yang ketiga, ia pun menolaknya. Pada akhimya mereka bertiga meninggal dunia. Sampai sedemikian rupa sifat itsar yang mereka miliki.

Begitulah sifat itsar yang terpelihara dalam diri sahabat Nabi saw. Sifat ini amat relevan jika diterapkan pada keadaan kita sekarang ini. Di saat harga-harga yang membumbung tinggi yang telah menyesakkan dada masyarakat miskin. Kita saksikan pula di media massa, jutaan orang yang tidak dapat hidup layak di tengah kekayaan negeri ini. Para nelayan tidak bisa lagi melaut karena tidak mampu lagi membeli solar yang harganya demikian tinggi. Para pedagang menaikkan harga barangnya sehingga masyarakat makin sulit membelinya. Dalam situasi seperti ini sifat itsar menjadi penting kita lakukan. Bukan malah kita menunjukkan ketidaksederhanaan, dengan pesta-pesta mahal di tengah himpitan kemiskinan masyarakat. Sungguh kata Nabi saw, “Bukan termasuk golonganku barangsiapa yang tidak mementingkan yang lain.”

Jadi di tengah kesulitan hidup ini, tidak pantaslah kita menunjukkan kesenangan di hadapan penderitaan orang lain. Pernah pada suatu hari menantu Rasulullah saw yang bernama Ali bin Abi Thalib as bekerja menimba air dari sumur yang sangat dalam dengan mendapat upah tiga biji kurma dan sebungkus nasi yang cukup untuk dimakan sekeluarga. Istri beliau, Fatimah as amat gembira tatkala melihat Ali bin Abi Thalib pulang dari bekerja dengan membawa makanan. Fatimah as segera memanggil kedua putranya untuk makan bersama, tiba-tiba di depan pintu ada seorang pengemis sedang mengetuk pintu. Fatimah as membuka pintu dan Ali bin Abi Thalib memberikan sebungkus nasi itu kepada pengemis.

Begitulah pendidikan yang beliau terapkan dalam keluarga yang bersumber dari didikan Rasulullah saw. Tentu kita pernah mendengar tentang kisah hijrah Rasulullah saw bersama para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah, dan muncullah istilah Muhajirin dan Anshar, ketika kaum Muhajirin sampai di kota Madinah disambut dengan lapang dada oleh kaum Anshar. Setelah dipersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, kemudian mereka kaum Anshar memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum Muhajirin, seperti hewan, pakaian bahkan tempat tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Antara Muslim yang satu dengan yang lain adalah bersaudara bagaikan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain.”

Memang untuk menjalani sifat itsar ini amat sulit. Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu pernah menulis tentang akhlak yakni mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama Muslim. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syariah, ternyata perlakuan kepada sesama Muslim juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam.

Menurutnya ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dan juga dalam persahabatan terhadap sesama saudara seiman. Ia merujuk pada satu hadis yang menyebutkan, “Mukmin itu saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya.” Kelanjutan dari hadis itu mengatakan, “Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya.” Kemudian, “Terkutuklah orang yang menipu saudaranya.” Kemudian berikutnya, “Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya.” Dan yang terakhir, “Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya.”

Sayyid Abdullah menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik dalam menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Yang paling rendah adalah bahwa kita menganggap saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta.

Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Memang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 3500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 2000,00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah.

Sedangkan pada tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada saudara kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua.

Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun kita sangat memerlukan. Mungkin orang-orang seperti Nabi dan Wali Allah saja yang bisa itsar. Orang-orang yang sudah menjadikan itsar itu jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya.

Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, “Ada golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari ‘Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt.” Ia adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali. Dan juga orang yang meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada sesama Muslim. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya.

Mengenal Allah dan Menegakkan Keadilan Sebagai Misi Para Nabi

Bila kita merujuk kepada al-Quran kita akan mendapati dua konsep yang menjadi tujuan diutusnya para nabi. Kedua konsep itu ialah: (1) Pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. (2) Menegakkan keadilan dalam masyarakat manusia. Inilah inti tujuan semua ajaran para nabi.

Berkaitan dengan tujuan para nabi a-Quran menjelaskan,

Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada Agama Allah dengan seizing-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi. (QS. al-Ahzab:45-46)

Dari semua aspek yang disebutkan dalam ayat ini, tampak jelas bahwa “mengajak kepada Tuhan” merupakan tujuan utama diutusnya para nabi. Sementara di sisi lain, al-Quran berkata di dalam surat al-Hadid ayat 25, Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

Ayat ini berbicara secara gamblang bahwa tujuan utama misi kenabian ialah menegakkan keadilan.

Jika kita mencermati kedua ayat al-Quran ini yang berbicara tentang tujuan para nabi, terlihat ada dua macam tujuan, yaitu tujuan yang bersifat individual dan sosial. Tujuan yang bersifat individual ini adalah mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya, ini dapat kita sebut sebagai monoteisme individual. Sedangkan tujuan yang bersifat sosial ialah melakukan penegakkan nilai keadilan di tengah masyarakat yang dapat kita sebut sebagai monoteisme sosial.

Di antara dua tujuan para nabi ini, manakah yang paling hakiki? Apakah untuk memperkenalkan Tuhan kepada manusia dan mengajak mereka untuk menyembah kepada-Nya atau menegakkan keadilan. Atau dengan kata lain manakah yang menjadi tujuan dan mana yang menjadi sarana. Apakah menegakkan keadilan di masyarakat merupakan tujuan utama para nabi, sementara mengenal Tuhan dan menyembah-Nya hanyalah sebagai sarana untuk merealisasikan tujuan ini, atau sebaliknya keadilan sebagai sarana dan mengenal Tuhan merupakan tujuan yang hakiki.

Dengan kata lain, apakah tujuan sesungguhnya dari misi kenabian adalah monoteisme individual atau monoteisme sosial? Ada beberapa pendapat seputar masalah ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa para nabi mempunyai tujuan ganda. Artinya, mereka mempunyai dua tujuan yang berdiri sendiri. Yang pertama berkaitan, dengan kehidupan dan kebahagiaan di akhirat yaitu monoteisme individual. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan kebahagiaan duniawi, yaitu monoteisme sosial.

Adapun pendapat kedua meyakini bahwa sesungguhnya tujuan diutusnya para nabi ialah untuk menegakkan monoteisme sosial, namun untuk dapat sampai ke sana harus ada yang menjadi prasyarat utamanya, yaitu tegaknya monoteisme individual. Pandangan ini meyakini, oleh karena kesempurnaan manusia terletak pada mengubah diri dari “aku” menjadi “kita” dalam monoteisme sosial, dan itu tidak akan bisa dicapai tanpa monoteisme individual, maka Tuhan pun menjadikan pengenalan dan penyembahan kepada-Nya sebagai prasyarat tegaknya monoteisme sosial. Dengan kata lain mengenal Tuhan merupakan sarana untuk menegakkan keadilan.

Pendapat ketiga berpendapat bahwa tujuan utama diutusnya para nabi ialah agar manusia mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, sementara monoteisme sosial hanya sebagai prasyarat dan sarana untuk mencapai tujuan ini. Alasannya ialah bahwa dalam pandangan dunia monoteistik, dunia memiliki sifat “berasal dari Tuhan” dan “kembali kepada Tuhan”. Jadi, kesempurnaan manusia terletak pada tindakan manusia menuju Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Karena itu, kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan dan kesejahteraan manusia bergantung kepada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah kepada-Nya dan berjalan menuju kepada-Nya.

Adapun mengapa para nabi menaruh kepedulian terhadap keadilan serta penolakan terhadap penindasan dan diskriminasi. Hal ini disebabkan fitrah manusia yang berorientasi kepada Tuhan tidak akan dapat terealisasi kecuali jika lembaga-lembaga kemasyarakatan yang seimbang telah menguasai masyarakat. Namun demikian, pandangan ini mengatakan bahwa nilai-nilai sosial seperti keadilan, kemerdekaan dan juga moralitas-moralitas sosial seperti kemurahan hati, mudah memaafkan, kebaikan budi dan kedermawanan, bukanlah sesuatu yang inheren dalam diri manusia, dan tidak dipandang sebagai sesuatu yang secara absolut mencerminkan kesempurnaan manusia. Semua nilai-nilai ini hanya sarana atau alat untuk mencapai kesempurnaan. Nilai-nilai tersebut adalah sarana ke arah keselamatan bukan keselamatan itu sendiri.

Pandangan keempat hampir mirip dengan pandangan ketiga, namun dengan perbedaan, bahwa meskipun nilai-nilai sosial dan moral tetap merupakan sarana menuju nilai hakiki manusia yaitu menyembah dan beriman kepada Tuhan, namun nilai-nilai tersebut masih dianggap memiliki nilai-nilai inheren.

Kalau kita ingin menganalisa lebih jauh timbul perbedaan di antara pandangan ketiga dan keempat, sebenarnya permasalahan tersebut terletak pada perbedaan jenis hubungan antara sesuatu yang menjadi sarana dengan sesuatu yang menjadi tujuan yang sesungguhnya. Dalam hal ini, terdapat dua jenis hubungan antara apa yang menjadi sarana dengan tujuan. Pada jenis hubungan yang pertama, nilai tidak lebih hanya sebagai sarana untuk sampai kepada sesuatu, dan ketika telah sampai, maka keberadaan dan ketidakberadaannya adalah sama. Atau dengan kata lain, keberadaannya sudah tidak berarti. Sebagai contoh, seseorang ingin menyeberangi sebuah sungai kecil, lalu dia menempatkan sebuah batu besar di tengah-tengah sungai kecil tersebut sebagai batu loncatan ke seberang sungai. Setelah mencapai tepi seberang, jelas, keberadaan batu tersebut tidak penting lagi bagi orang tersebut. Demikian juga dengan tangga yang digunakan untuk mencapai atap.

Adapun jenis hubungan yang kedua ialah keberadaan sarana tersebut tetap berarti dan mempunyai nilai walaupun tujuan tersebut telah tercapai. Sebagai contoh, pengetahuan yang diperoleh di kelas satu dan dua merupakan prasyarat untuk mencapai kelas yang lebih tinggi. Orang tidak bisa mengatakan bahwa ketika seorang murid telah mencapai kelas yang tinggi maka ia tidak akan rugi apabila menghapus pengetahuan yang diperolehnya di kelas satu dan dua dari memorinya, dan ia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi tanpa pengetahuan tersebut. Karena hanya dengan bantuan pengetahuan itulah dia dapat melanjutkan studinya di kelas yang lebih tinggi.

Yang menjadi inti masalahnya ialah bahwa terkadang kedudukan prasyarat tersebut sangat lemah atau penting di hadapan tujuan yang akan dicapai. Kedudukan prasyarat yang lemah dihadapan tujuan, seperti sebuah tangga bukanlah komponen dari atap, seperti juga halnya sebuah batu besar di tengah anak sungai bukanlah bagian dari tepi seberang sungai. Sedangkan prasyarat yang penting seperti kedudukan pengetahuan yang diperoleh di kelas yang rendah maupun di kelas yang tinggi bisa merupakan bagian dari suatu kebenaran yang sama.

Hubungan antara nilai-nilai moral dan sosial dengan pengenalan terhadap Tuhan dan penyembahan kepada-Nya merupakan jenis hubungan yang kedua. Apabila manusia telah mencapai pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan dan penyembahan yang sempurna kepada-Nya, maka keberadaan nilai kebenaran, kejujuran, keadilan, kebaikan budi, kemurahan hati dan sifat mudah memaafkan tetap berarti dan mempunyai nilai.

Jadi, dapat kita katakan bahwa yang menjadi tujuan utama diutusnya para nabi ke dunia ini lalah agar manusia mengenal Tuhan dan menyembah kepada-Nya, sementara nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial merupakan sarana yang bersifat inheren dalam diri manusia untuk mengenal Tuhan.

Menumbuhkan Kesalehan Sosial

Syahdan, dalam kisah yang diceritakan A.A. Navis lewat cerpennya Robohnya Surau Kami, tersebutlah seorang saleh bernama Haji Saleh, yang tak henti beribadah kepada Tuhan. Ia selalu berzikir, tidak berbuat dosa, dan selalu membaca Kitab suci-Nya, namun ia dimasukkan ke dalam neraka oleh Tuhan. Karena tak habis pikir, ia bersama dengan kawan-kawan senasib menghadap Tuhan hendak mengajukan protes.

Maka, Tuhan pun menjawab, “Kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri engkau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya bisa beramal di samping beribadah. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira Aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembah-Ku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.”

Bahkan, dikisahkan, malaikat pun ikut menimpali, “Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.”

Ringkasnya novel itu ingin memberi sebuah pesan bahwa dalam sesuatu kesalehan yang bersifat individu terkandung sebuah kesalahan yang fatal. Haji Saleh memang orang yang taat beribadah kepada Tuhan, tapi ia melupakan lingkungan sosialnya, keluarga. Begitu pula yang banyak terjadi di negara kita, banyak orang kaya pergi haji untuk yang kesekian kalinya, dan mereka hanya ingin merasakan ‘kenikmatan spiritual’ berhaji yang tak terlukiskan itu. Kasus haji Saleh dan orang kaya yang pergi haji berkali-kali menyisakan sebuah pertanyaan, yakni apa yang salah dengan dengan kesalehan ini (‘kesalehan individual’). Padahal agama menganjurkan untuk memperbanyak salat sunah, pergi haji, berpuasa ala Nabi Daud, dan terpekur dalam alunan beribu-ribu zikir.

Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mempunyai sistem yang harmonis (seimbang) memandang kesalahannya tidak selalu terletak pada perilaku ibadah itu, tapi Islam melihat perilaku ibadah tersebut dalam konteks keseluruhan. Ini bisa saja terjadi karena ada ketidakseimbangan perlakuan terhadap tiap-tiap bagian dalam suatu sistem. Sama halnya dalam simfoni sebuah lagu. Nada sol, secara fisika, jelas sama di manapun berada. Akan tetapi, dalam hubungannya dengan berbagai nada pada sebuah lagu, intensitas dan tinggi-rendahnya akan berbeda dengan nada sol pada lagu yang lain. Artinya, dalam menikmati sebuah lagu, kita tidak dapat memisahkan nada per nada secara otonom.

Dengan demikian, Islam sebagai suatu sistem memandang bahwa kebahagiaan, kesuksesan, dan kesempurnaan hidup yang dijanjikannya tidak akan pemah diperoleh Muslim tanpa perlakuan yang harmonis terhadap tiap-tiap bagian sebagai suatu keseluruhan. Islam tidak pernah membicarakan kewajiban-kewajiban individual tanpa mengaitkannya dengan maslahat-maslahat sosial: shalat-berjamaah; puasa-zakat; dan haji-kurban. Dalam al-Quran, amal saleh dan iman selalu ditampilkan berpasangan ketika Islam berbicara tentang tujuan pamungkas (ultimate goal) hidup manusia. Perhatikan ayat berikut,

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhan- Nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhan-Nya. (QS. al-Kahf:110)

Itulah prinsip Islam yang sesungguhnya. Meskipun demikian, banyak orang lalai bahwa prinsip ini mempunyai akibat yang luar biasa. Misalnya adalah masalah kebaikan. Kebaikan dalam prinsip Islam tidaklah identik dengan keadilan dan kebenaran. Orang yang gemar bersedekah alias dermawan mungkin baik, tetapi belum tentu adil dan benar. Semuanya mesti dilihat dari berbagai unsur dalam sistem Islam: dari mana hartanya diperoleh; bagaimana niatnya, popularitas ataukah ikhlas (tentu saja yang satu ini hak prerogatif Allah untuk menilainya); tepatkah caranya; dan lain-lain.

Jika ini dilupakan, maka akan mengakibatkan kita sering salah dalam melihat gejala-gejala modern. Apakah orang yang memiliki ‘kesalehan individual’ tinggi –sekalipun terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme, tetap dianggap telah mengerjakan amal saleh? Apakah orang yang pergi haji berkali-kali dengan maksud ‘ekstasi spiritual’– sementara tetangganya dan saudara sebangsanya menggelepar, merenggang nyawa, tetap dianggap saleh? Bukankah Nabi saw bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu yang membiarkan tetangganya kelaparan, sedangkan ia tidur kenyang.”

Lebih jauh lagi yang dapat terjadi adalah bahwa manusia modern yang hidup serba praktis dan mekanis membuat mereka melihat segala sesuatu dengan standar kepemilikan, termasuk terhadap hal-hal spiritual. Jadi, ‘kenikmatan spiritual’ dalam ibadah haji dengan berbagai bonus-bonus pahala hendak mereka rengkuh sebanyak-banyaknya. Di sinilah, berlakunya akuntansi pahala. Coba bayangkan jika shalat di Masjidil Haram diganjar dengan 100.000 kali pahala shalat di tempat lain, berapa puluh juta pahala yang diperoleh seseorang yang telah berhaji sampai berkali-kali? Tentu saja, bukan itu yang dimaksud oleh hadis-hadis tentang ganjaran atau pahala.

Untuk tidak terjebak dalam perangkap kesalehan individual ini, kita tampaknya mesti mengoreksi kembali sistem pengetahuan kita tentang penghambaan (ibadah) kepada Tuhan. Ibadah, selama ini, lebih kita anggap sebagai pemujaan atas kebesaran-Nya, menyebut-nyebut nama-nama-Nya, dan membaca kitab suci-Nya. Padahal, pada hakikatnya, ibadah disyariatkan selain diniatkan untuk Allah, ibadah juga adalah untuk kepentingan manusia. Dalam al-Quran, jelas bahwa setiap perintah kepada suatu kewajiban selalu diiringi dengan paparan tentang manfaatnya bagi pengembangan diri manusia, baik sebagai makhluk pribadi maupun sosial.

Selama seseorang masih menganggap ibadah adalah hanya untuk Allah dan tidak berdampak pada sisi kemanusiaan, maka ia tidak akan meyakini bahwa keikutsertaannya dalam program-program pemberdayaan manusia sebagai sebuah penghambaan kepada Allah. Ia masih akan mempertentangkan antara ibadah-ibadah spiritual dengan kerja-kerja sosial; yang profan dengan yang sakral; dan yang ukhrawi dengan yang duniawi.

Oleh karena itu, boleh jadi ia berpikir dua kali untuk menafkahkan hartanya untuk program-program pemberdayaan manusia dibanding program-program ritual keagamaan. Perhatikan bagaimana orang gemar mendirikan masjid yang indah-indah, tetapi lupa memberdayakan marbot (pengurus masjid), petani, buruh, dan nelayan; orang sibuk mengadakan musabaqah tilawatil Quran daripada membangun perpustakaan dan pusat pengkajian al-Quran. Mereka beranggapan bahwa membangun masjid adalah melayani Tuhan, sedangkan memberdayakan orang lemah hanya melayani manusia.

Padahal pelayanan kemanusiaan, menurut al-Quran, jelas merupakan satu bentuk penghambaan kepada Allah. Bahkan, dalam surah al-Maun, orang-orang yang shalat dicela karena mereka membiarkan orang-orang miskin dan anak-anak yatim piatu kelaparan. Artinya, tidak akan diterima ibadah seseorang yang abai terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Demikianlah, nama-nama Allah meski kita singkap pada wajah-wajah kuyu orang-orang miskin, jerit kepedihan orang-orang teraniaya, dan tangis kelaparan anak-anak yatim piatu. Alangkah indahnya ketika Rasulullah saw bersabda, “Aku akan bersama dengan orang yang mengasihi anak yatim seperti halnya kebersamaan jari telunjuk dengan jari tengah.”