Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)0%

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: AS-SHAHID SAYYID MUHAMMAD HUSAYNI BEHESTI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 5826
Download: 1561

Komentar:

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 13 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5826 / Download: 1561
Ukuran Ukuran Ukuran
Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

BAB III: ORIGINOLOGI

Pembuktian Eksistensi Tuhan

DALAM buku-buku filsafat dan teologi (kalâm), bagian teologi biasanya dimulai dengan pembahasan “pembuktian eksistensi pencipta dunia”. Akan tetapi, dalam kitab-kitab suci, tidak ada topik atau pembahasan semacam itu. Dalam kitab-kitab tersebut, kita jarang memasuki diskusi apapun yang secara langsung terkait dengan isu bukti eksistensi Tuhan. Seakan-akan eksistensi Tuhan hanya tinggal terima jadi.

Dalam bukunya Reason and Revelation in Islam, AJ Arberry menulis:

Di masa Plato, Yunani merupakan pusat pembuktian berkenaan dengan eksistensi Tuhan berikut bukti- bukti dan argumen-argumennya. lni merupakan hal yang pertama kali di Barat di mana orang-orang berusaha menyelidiki ihwal Tuhan mereka. Tak satu pun penulis dan Perjanjian Lama pernah membahas eksistensi Tuhan sebagai suatu masalah pelik yang tentangnya niscaya ada keraguan atas semangat bangsa Semit yang menemukan Tuhan dalam wahyu itu sendiri. Lagi pula, apa yang barusan dikatakan tentang Perjanjian Lama, dengan hanya sedikit perbedaan, berlaku pula pada Perjanjian Baru.[15]

Pandangan yang terdapat di dalam kitab Avesta yang ada pada kita menunjukkan bahwa penerimaan eksistensi Tuhan tidak terkait dengan bangsa Semit dan kitab-kitab agama mereka. Dalam teks agama bangsa Arya eksistensi Tuhan diterima begitu saja tanpa mensyaratkan bukti atau demonstrasi logis.

Dalam Upanishad, yang termasuk kitab-kitab suci agama Hindu, kadang kita menemukan pernyataan yang tampaknya menyumbangkan pertanyaan ihwal eksistensi Tuhan dan sebab pertama. Pernyataan-pernyataan itu misalnya: Apakah sebab itu? Apakah Brahma itu? Darimana kita berasal? Bagaimana kita hidup? Apakah sumber eksistensi kita? Dalam kebahagiaan atau kesengsaraan, di bawah kehendak siapakah kita? Wahai Anda yang mengakrabi cakrawala spiritual, apakah kita hidup di tingkatan-tingkatan yang berbeda?[16]

Bagaimanapun, pernyataan-pernyataan semacam itu sebagaimana terlihat di atas tampak lebih tertuju kepada “ke-siapa-an” (whoness) tentang sebab pertama secara panteistik, ketimbang kepada pertanyaan “ke-apa-an” (whatness) atau Wujud-Nya (pertanyaan ontologis). Lagi pula, kitab Upanishad secara umum merupakan sebuah kitab filsafat dan mistisisme yang menempati kedudukan khusus di kalangan umat Hindu dan mirip kitab yang diwahyukan. Sesungguhnya agama Hindu itu sendiri sarat dengan ajaran-ajaran filosofis dan mistis yang amat mirip dengan mistisisme Islam (tashawwuf) dan mazhab filsafat-mistis lainnya. Agama Hindu diperkaya dengan aktivitas dan kontribusi intelektual dari sejumlah pemikir Hindu. Dengan begitu, melalui penggabungan semua ajaran dan ritual ini sebuah agama telah disusun yang disebut dengan Hinduisme. Namun, dalam struktur agama ini unsur-unsur mistis dan filsafatnya lebih unggul ketimbang agama-agama wahyu lainnya.

Bukti Eksistensi Tuhan dalam al-Quran

Menurut banyak ayat al-Quran, yang, sebagiannya akan kami kutipkan di sini, lingkungan yang di dalamnya kitab suci diturunkan, mengakui eksistensi Pencipta. Bahkan, bangsa Arab penyembah berhala tidak membantah eksistensi pencipta semesta ini:

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:

“Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar) (QS. al-Ankabût:61).

Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka:

“Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” Katakanlah: “Segala puji bagi Allah,” tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya (QS al-Ankabût:63).

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Yang menjadikan bumi untuk kamu sebagai tempat menetap dan Dia membuat jalan-jalan di atas bumi untuk kamu supaya kamu mendapat petunjuk. Dan yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur). Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi” (QS. az-Zukhruf:9-12).

Dalam sejumlah ayat lain dari al-Quran, bangsa Arab penyembah berhala pun mengakui keberadaan Tuhan. Ayat di bawah mencerminkan hal yang dimaksud:

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudaratan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di sisi Allah”. Katakanlah: “Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu) (QS Yunus: 18).

Jelaslah, keyakinan kaum musyrikin terhadap peran perantara dari berhala di antara mereka sendiri dan Tuhan menengarai keyakinan akan eksistensi Tuhan Sang Pencipta.

Adakah Keragu-raguan Terhadap Eksistensi Tuhan?

Dalam ayat 10 surah Ibrahim, ada kalimat yang menyatakan bahwa:

“...Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. Ibrahim: 10). Dalam kajian-kajian keagamaan yang berulang-ulang dilakukan, sebagian orang telah menafsirkan ayat ini dalam arti bahwa al-Quran mengecam keragu-raguan tentang eksistensi Tuhan dam menganggap eksistensi Tuhan sebagai sesuatu yang swabukti bagi mereka semua yang merenungkan rahasia penciptaan langit dan bumi. Namun, sejumlah mufasir penting menentang interpretasi ini. Untuk menyoroti isu ini kami, pertama-tama, akan menukil ayat 9-12 surah Ibrâhîm:

Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti nyata lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian), dan berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu disuruh menyampaikannya (kepada kami) dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya. Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di an tara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang yang mukmin bertawakal. Mengapa kami tidak akan bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri".

Kaum Nuh, ‘Ad, dan Tsamud serta kaum-kaum lainnya yang menggantikan mereka saling berbantah dengan para nabi Allah yang diutus untuk menyelamatkan mereka berkaitan dengan kandungan wahyu-wahyu mereka dan telah menyatakan secara terbuka bahwa mereka tidak percaya akan tujuan seruan yang dilakukan oleh para nabi ini. Apakah kandungan wahyu para nabi tersebut menyangkut eksistensi Tuhan, atau apakah para penyembah berhala suku ini mengakui keberadaan Sang Pencipta dan menganggap berhala-berhala tersebut sebagai manifestasi nyata-Nya yang bisa mengabulkan kebutuhan-kebutuhan mereka dan bertindak sebagai perantara antara mereka dan Pencipta mereka?

Dalam kitab al-Mizan, Allamah Thabathaba'i, mendukung pandangan kedua dan menyatakan secara jelas bahwa perselisihan antara kaum ini dan para nabi, berkisar pada keesaan Allah, kenabian, dan hari kebangkitan, alih-alih persoalan eksistensi Tuhan. Menurut ath-Thabarsi dalam Majma’ al-Bayân dan Sayyid Quthb dalam Fî Zhilal al-Qurân, serta para mufasir lainnya, siapapun harus menyimpulkan bahwa mereka (kaum musyrikin) pun tidak percaya terhadap argumen-argumen yang membahas masalah- masalah seperti keesaan Tuhan, kendali dan kuasa penuh-Nya atas dunia ini, kenabian dari orang-orang pilihan, pahala dan siksa dari Allah di dunia dan akhirat dan seterusnya. Bukan persoalan eksistensi Tuhan itu sendiri.

Namun demikian, teks dari pernyataan para nabi tersebut adalah: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” Jenis penalaran ini, secara otomatis, membawa keragu-raguan seputar eksistensi Tuhan. Secara khusus, ini memang benar dengan tambahan bahwa kualitas-kualitas seperti: pencipta langit dan bumi, yang di dalamnya kata al-Quran fâthir berarti creatio ex nihilo digunakan. Ini menunjukkan bahwa isu tersebut berada di bawah diskusi menyangkut eksistensi Tuhan ketimbang Ketunggalan-Nya. Dalam al-Mizân, Allamah Thabathaba'i menyebut frase ini sebagai bukti yang meneguhkan pandangannya sendiri. Allamah mengatakan:

Apabila frase tersebut berbunyi: khâliqi al-samawâti wa al-ardh(i), yang berarti “pencipta langit dan bumi”, maka ungkapan seperti itu terkait dengan eksistensi Tuhan. Namun, karena para penyembah berhala tidak membantah adanya pencipta dunia ini selain hanya mengingkari keesaan-Nya, maka frase fâthir al-samawâti wa al-ardh(i) yang bermakna “pencipta langit dan bumi” semestinya terkait dengan masalah unitas dan keesaan Tuhan.[17]

Akan tetapi, menurut kami, frase fâthir al-samawâti wa al-ardhi lebih sesuai untuk pembuktian eksistensi Tuhan ketimbang frase khâliq al-samawâti wa al-ardhi.

Para penyembah berhala tidak menolak eksistensi Tuhan, namun hanya tidak percaya terhadap perkara-perkara duniawi yang dikendalikan oleh-Nya dan beribadah hanya kepada-Nya. Hal ini bisa jadi benar hanya dalam kasus para penyembah berhala bangsa Arabia di masa Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, apakah hal itu benar dalam kasus para penyembah berhala di sepanjang masa sehingga kita bisa merujuknya lalu memahami ayat tersebut terkait dengan kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum lain di masa silam?

Lebih jauh, apakah kepercayaan terhadap pencipta alam semesta terkait dengan keesaan Tuhan ketimbang eksistensi-Nya? Jika demikian halnya, kita harus menerima bahwa ayat ini terkait dengan eksistensi Tuhan. Dengan demikian, ide bahwa ayat al-Quran ini menganggap keraguan akan eksistensi Tuhan sebagai keraguan akan sesuatu yang swabukti, tidak sepenuhnya dibenarkan. Karena dengan menggunakan frase: fâthir al-samawâti wa al-ardhi, apa yang ditekankan dan ditunjukkan adalah eksistensi Allah bukan untuk keswabuktian (self-evidentness) dari eksistensi-Nya. Bahkan, menurut sebagian kalangan, ayat-ayat al-Quran yang meragukan tentang eksistensi Allah tidak dikecualikan sepenuhnya dalam kitab suci ini. Misalnya, surah ath-Thûr. Ia termasuk salah satu surah al-Quran yang diturunkan di Makkah sebelum hijrah. Surat ini pertama-tama membahas persoalan Hari Kebangkitan yang secara ekstensif tersaji pada ayat 1 sampai 28. Dari ayat 29 hingga 34 persoalan tentang kenabian Nabi Islam saw dimunculkan. Selanjutnya diskusi diperluas dan kemungkinan-kemungkinan keraguan tentang eksistensi Tuhan dilahirkan dan ayat berikut diturunkan:

Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri) ? Ataukah mereka telah menciptakan langit. dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan) (QS ath-Thûr: 35-36).

Pertanyaan yang akan muncul dalam ayat setelahnya apakah manusia mempunyai akses terhadap perbendaharaan rahmat Allah, ataukah manusia sendiri merupakan sumber kuasa? Atau, apakah manusia punya akses kepada mata air wahyu Ilahi? (ayat 37-46).

Maka dalam ayat 43 tema eksistensi tuhan lain selain Sang Pencipta diajukan. Disebutkan:

Ataukah mereka mempunyai tuhan selain Allah. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan (QS ath-Thûr: 43).

Mempertimbangkan urutan dan topik surah ini yang telah kami sebutkan, tampak bahwa ayat 35 dan 36 memunculkan persoalan ini yakni bahwa Allah tidak punya kekuasaan dalam penciptaan dunia dan umat manusia dan semua ini terjadi dengan sendirinya.

Maka, untuk memecahkan masaIah ini, ayat ini telah menggunakan “metode Sokratik” dan dengan menghadapkan manusia dengan sejumlah pertanyaan yang memancing-pemikiran, membangunkan akal-fitrinya dengan lebih mencurahkan perhatian terhadap pertanyaan-pertanyaan ini maka ia seharusnya bisa menemukan jawaban-jawaban yang tepat. Adapun urutan pertanyaan yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Apakah manusia tercipta tanpa Sang Pencipta?

2. Bisakah mereka menciptakan diri mereka sendiri?

3. Jika manusia bisa menciptakan dirinya sendiri, bagaimana cara kita menjelaskan penciptaan langit dan bumi yang ada sebelum manusia?

Tampaknya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam dan memancing pemikiran ini al-Quran mencoba menyadarkan logika alamiah manusia, sehingga jawaban untuk pertanyaan pertama manusia akan mengatakan: “Tidak. Jika manusia, adalah makhluk, tentunya mereka memiliki sosok Sang Pencipta.”

Dan dalam menjawab pertanyaan kedua, mereka akan menjawab: “Dan jika mereka adalah makhluk, mereka tidak pernah bisa menciptakan diri mereka sendiri.” Yakni, tidak hanya manusia, melainkan semua makhluk lain juga tidak bisa menjadi pencipta bagi diri mereka sendiri. Karena, suatu wujud, yang eksistensinya berasal dari dirinya sendiri, tidak bisa disebut sebagai “makhluk”. Dengan demikian kita tidak bisa mengatakan “makhluk sekaligus pencipta”.

Adapun jawaban untuk pertanyaan ketiga berupa pengakuan berikut: “Meski manusia sangat kreatif dan pencipta sejumlah benda menakjubkan, kompleks, dan mengagumkan semisal misil-misil, lukisan-lukisan, patung-patung, mobil-mobil, pesawat terbang, dan komputer, secara jelas ia menyadari bahwa ia tidak terkait apapun dengan penciptaan langit dan bumi.” Tidakkah menggelikan ketika dengan kekuasaannya yang terbatas, ia segera buru-buru mengklaim bahwa ia adalah Tuhan dan berkata: “Apakah ada pencipta di dunia selain daripada manusia?”

Sudah tentu, ada sejumlah teori dan spekulasi tentang subjek diskusi tersebut namun al-Quran telah memilih untuk tidak mendiskusikannya. Butir yang ingin kami ajukan adalah bahwa persoalan eksistensi Tuhan sangatjelas dari ayat-ayat pembatalan. Kisah Nabi Ibrahim as, Terkait dengan Eksistensi Tuhan?

Dalam surah al-An’âm: 75-80, Ibrahim as dikutip telah mengatakan:

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada pamannya Azar: “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata. Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “lnilah Tuhanku, yang ini lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terhenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar; dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS al-An’âm: 74-79)

Kisah ini secara tidak langsung terkait dengan masalah eksistensi dan kesatuan Tuhan; kesatuan menyangkut penciptaan dunia dan pengendalian urusan-urusannya dan kesatuan dalam ibadah. Selain itu, butir yang menariknya adalah bahwa Ibrahim –dalam investigasi dan penilaiannya alas segala sesuatu di dunia ini dengan tujuan menilai apakah mereka (bintang, bulan, matahari) itu memenuhi syarat sebagai Tuhan ataukah tidak– telah menyimpulkan bahwa sesuatu yang berubah dan memiliki akhir menandakan eksistensi entitas lain yakni wujud yang mahakaya (self-sufficient, al-ghanî) dan yang telah menciptakannya. Ketuhanan, simpul Ibrahim, pastilah merupakan kekuatan dan sang pencipta yang mengatur, kekuatan dari makhluk yang menaatinya.

Shadr al-Muta'allihin (Mulla Shadra) telah menyampaikan penafsiran ini untuk argumentasi logis ihwal eksistensi Tuhan berdasarkan hukum-hukum sains alam. Ia mengatakan:

Untuk mencapai tujuan ini (membuktikan keberadaan Tuhan), kaum naturalis mempunyai metode khusus. Mereka mengatakan bahwa benda-benda langit bergerak dan gerakan mereka merupakan sesuatu yang jelas. Gerakan ini bukanlah suatu gerakan alamiah (jenis gerakan yang sumbernya ia sendiri dan daya gravitasi yang ada antara ia dan tempat aslinya) atau bukan pula gerakan terpaksa (jenis gerakan yang berlawanan dengan kecenderungan alamiah dari objek yang bergerak dan yang disebabkan oleh pengaruh objek lain terhadapnya).

Oleh sebab itu, hanya ada satu penjelasan untuk gerakan ini dan penjelasan itu adalah bahwa ia (gerakan) disebabkan oleh sesuatu yang Ilahi, sesuatu yang seutuhnya terlepas dari materi yang memiliki kuasa mutlak dan tidak melahirkan gerakan untuk menyempurnakan dirinya sendiri. Jika sebab Ilahi semacam itu wujud wajib pada dirinya sendiri (necessary being), maka itulah Tuhan. Di sisi lain, jika bukan wujud wajib pada dirinya sendiri maka ia pasti sebuah akibat dari wujud wajib, yakni Tuhan. Sebaliknya, kita akan mendapatkan lingkaran tak bertepi (tasalsul). Inilah pendapat yang diambil oleh tetua aliran Peripatetik (Aristoteles) dalam dua bab buku pertamanya yang disebut “ajaran pertama”. Yang satu ditempatkan pada bab fisika dan yang lainnya pada teologi. Ini merupakan bentuk penalaran yang sarna yang diajukan oleh al-Quran suci dalarn bentuk kisah Ibrahim Khalilullah (kekasih Allah) –semoga rahmat Allah kepadanya, Nabi kita Muhammad saw dan keluarganya as.

Begitu Ibrahim melihat gerakan dari benda-benda langit, di mana objek-objek di muka bumi dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada planet-planet langit, di mana planet-planet ini mengubah kedudukan mereka, perbedaan ukuran dan kecerahan di antara mereka, ia menyadari bahwa pencipta planet ini, zat yang melimpahi mereka dengan kecerahan dan menyebabkan mereka bergerak, niscaya bukanlah materi atau material. Oleh sebab itu, ia berkata:“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar; dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS al-An’âm: 79).[18]

Menurut kami, mengindentifikasi ayat-ayat di atas dengan bentuk penalaran yang disebutkan oleh Mulla Shadra dengan jenis karakteristik yang ia sebutkan untuknya tampaknya tidak tepat. Sebagaimana bisa dipahami secara jelas dari bagian-bagian yang berbeda dari ayat yang sedang dibicarakan ini, khususnya, pada bagian penutup, wa mâ anâ min al-musyrikîn (aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan), topik dari ayat-ayat tersebut menyangkut monoteisme, bukan bukti keberadaan Tuhan. Tentu saja, ayat-ayat itu berkaitan secara tidak ]angsung dengan argumen tentang bukti eksistensi Allah namun hanya sejauh keperluan dari objek-objek yang sementara hingga yang abadi yang diperhatikan tanpa melibatkan gerakan astronomis dan rumusan- rumusan yang pelik.

Apakah Pengetahuan tentang Eksistensi Tuhan Sesuatu yang Fitrah?

Dalam masalah teologi butir berikut disebutkan ber-ulang-ulang: Jika pengetahuan bukanlah swabukti yang seutuhnya, sedikitnya ia merupakan sesuatu yang fitri. Dalam hal ini, surah Rum ayat 30 menyatakan:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Apakah yang dimaksud dengan Fitrah?

Dalam bukunya, al-Mabda’ wa al-Ma’ad, Mulla Shadra telah mengupas masalah ini:

...Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, (pemahaman) Wujud Wajib (Necessary Being) merupakan hal yang fitrah lantaran ketika manusia berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang menakutkan dan menyulitkari, secara instink mereka meletakkan kepercayaan kepada Allah dan secara otomatis berpaling kepada Wujud yakni Sumber segala sebab dan yang memudahkan semua kesulitan. lnilah mengapa kami melihat bahwa kebanyakan mistikus membuktikan eksistensi Tuhan dan pengendalian-Nya atas masalah-masalah dunia ini dengan merujuk kepada perasaan- perasaan dan kesadaran mereka bahwa melakukan sesuatu yang berhadapan dengan peristiwa-peristiwa yang menakutkan semacam itu ibarat memadamkan api.

Shadr al-Muta'allihin melakukan referensi kepada sejumlah ayat al-Quran berkenaan dengan diskusi ini yang di dalamnya daya tarik manusia kepada Allah dan perlindungannya kepada Dia selama masa-masa sulit diungkapkan. Salah satu ayat yang dimaksud berbunyi:

Dan apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) menyekutukan Allah (QS al-Ankabût: 65)

Ia pun menyebutkan surah Yunus ayat 22-23 dan surah Lukman ayat 32 yang membahas topik yang sama. Bagaimanapun juga, pengawasan yang cermat atas ayat-ayat ini mengarahkan orang untuk meyakini bahwa tak satu pun dari ayat-ayat itu terkait dengan pembuktian eksistensi Tuhan melalui watak manusia. Perhatikan secara cermat ayat yang disebutkan di atas. Ayat ini tidak bermaksud untuk menarik perhatian ketakberdasaran politeisme dan ketakmampuan tuhan-tuhan buatan (man-made gods) dalam membantunya selama masa-rnasa sulit. Demikian pula jika ayat ini membicarakan sesuatu yang fitriah, ia tidak menyebutkan “eksistensi Yang Mahakuasa”. Ia membicarakan Keesaan Tuhan dan ketakberdasaran politeisme. Ayat ini mengajak kaum musyrikin yang mengimani Allah sebagai Pencipta namun di saat yang sama menyembah tuhan-tuhan lain, terus merangsang indra-indra mereka untuk menginsyafi kebenaran yang jelas ini bahwasanya tuhan-tuhan mereka adalah tak kuasa. Satu bukti yang jelas dari kebenaran fitriah ini terlihat dari reaksi mereka ketika dihadapkan pada situasi yang membahayakan dan mengancam. Pada saat itu mereka hanya berdoa kepada Tuhan Sang Pencipta. Mengapa ketika diselamatkan dari bahaya-bahaya ini, mereka melupakan kebenaran ini, dan malah pergi ke kuil-kuil dan merundukkan diri mereka sendiri di hadapan berhala-berhala dan meminta bantuan dari mereka?

Surah Luqman ayat 23, 24, dan 33 pun menyebutkan kurang pedulinya manusia kepada Allah dan menegur manusia agar tidak kufur dan berdoa ketika masa tenang dan kemakmuran karena Allah bisa mencabut semua rah- mat tersebut yang telah Ia karuniakan kepada manusia dan menghukumnya lantaran dosa-dosa dan kekufurannya.

Ayat 30 surah Rûm yang menilai agama mengandung watak Ilahiah juga pada dasarnya terkait dengan isu monoteisme dan kesaksian watak manusia atas kerapuhan politeisme.[19]

Perjanjian antara Manusia dan Allah (Alam Pra-eksistensi)

Surah al-A’râf ayat 172-3 membicarakan suatu perjanjian antara manusia dan Tuhan yang sebagian ulama mengaitkannya dengan watak fitriah keyakinan terhadap Tuhan dan Keesaan-Nya.

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalak orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah kami Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”

Ayat ini mengatakan kepada kita suatu dialog antara segenap manusia dan Tuhan yang di dalamnya mereka berbicara dengan Tuhan dan menyatakan kesaksian bahwa Dia adalah Pencipta mereka dan Pengendali dunia ini. Kesaksian ini sungguh-sungguh mengabaikan dalih apapun bahwa manusia bisa berdebat di Hari Kiamat. Mereka tidak bisa mengatakan kemudian bahwa mereka tidak menyadari, tidak tahu, dan berada di bawah pengaruh leluhur mereka.

Gambaran Ihwal Perjanjian Ini

Dalam buku-buku hadis dan tafsir, kami mendapatkan berbagai pendapat tentang masalah ini.

Dalam sejumlah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw, para sahabatnya, para mufasir al-Quran awal, dan para imam kita, disebutkan jauh sebelum manusia lahir Allah telah mengumpulkan manusia yang berasal dari keturunan Adam dalam bentuk partikel-partikel kecil (arwah) dan dalam keadaan semacam itu, mereka menyatakan bahwa Dia adalah Tuhan, sehingga dengan pengakuan ini semestinya tidak ada alasan bagi manusia [untuk mengingkari Tuhan] kapanpun dan di manapun.[20]

Menurut pendapat ini, perhatian khusus yang telah diberikan untuk dzariyyah (atomis) yakni derivatif dari kala dzarrih (atom), dan pandangan serra tingkatan (pra-eksistensi), di mana semua manusia ada dalam bentuk atomis dan memberi kesaksian bahwa Allah adalah Pencipta dan Tuhan alam semesta, disebut alam zar (pra-eksistensi, alam-e-zar).

Agar khalayak umum bisa lebih memahami rnasalah ini, sejumlah mufasir modern telah menggunakan contoh genetika.[21] Menurut para mufasir ini, setiap insan secara intrinsik dan instinktif mengakui keberadaan Allah Yang Mahasatu. Menurut pendapat ini, manusia dilahirkan dengan kecenderungan alamiah, atau, menggunakan istilah dalam sains alam, dengan genetika yang tersusun, yang penting bagi kepemilikan pengetahuan semacam itu. Gen-gen ini diteruskan dari satu ke lain generasi lain, yang menjadikan generasi baru reseptif dengan pengetahuan akan Allah. Mereka yang memegang pendapat ini juga percaya bahwa kecenderungan genetis ini ada dalam bentuk terpisah pada semua manusia yang ada dalam bentuk yang dipadatkan pada manusia asali (primitive man).

Akan tetapi, Hasan al- Bashri (21-110 H) dan banyak mufasir lainnya, khususnya Mu'tazilah, berpendapat bahwa mereka tidak melihat adanya bukti dalam ayat ini untuk menunjukkan eksistensi suatu alam “atomis” yang di dalamnya semua manusia dalam bentuk partikel yang paling renik dikumpulkan di satu tempat untuk mengadakan perjanjian dengan Sang Pencipta. Apa yang ditunjukkan oleh ayat ini, kata mereka, adalah bahwa ada pemahaman fitriah yang melekat pada manusia ketika dilahirkan dan yang menyampaikan kepadanya bahwa satu Wujud Puncak pasti eksis.

Pemahaman mendasar dan nyaris tidak disadari ini mengalir menjadi pengetahuan akan Tuhan yang sadar dan jelas kcrtika manusia mencapai tingkatan kematangan emosional dan kesadaran intelektual, sehingga dalam menjawab pertanyaan hipotetis dari Tuhan ini bahwa “Bukankah Aku Tuhanmu? Jawab an ini akan datang dari wujud batin manusia setiap hari, “Benar, engkau Tuhan kami”. Oleh sebab itu, ayat al-Quran ini bukanlah suatu paparan dari kejadian tertentu dari masa silam primordial. Sebaliknya, ia menjelaskan sebuah peristiwa dalam jarak yang tidak terlalu jauh di masa lalu dari setiap dan seluruh manusia ketika dirinya tengah mengalami tahap pertumbuhan dan kesadarannya yang pertama. Tahap kesadaran dan dan pengetahuan fitriah ini dalam sejarah jiwa manusia disusul oleh tahapan lain yang di dalamnya faktor pengaruh lingkungan memasuki peristiwa dan dalam banyak hal melemahkan kesadaran fitriah akan Allah ini yang inheren dalam diri manusia.[22]

Pandangan Lain tentang Alam Pra-Eksistensi (Alam-e-Zar)

Dalam kitab al-Mizân-nya, Allamah Thabathaba'i mengajukan pandangan lain tentang peristiwa tersebut yang di dalamnya terdapat perjanjian antara Tuhan dan manusia. Menurutnya, semua manusia dan makhluk lainnya yang tercipta dalam pola yang bertahap, semua ada di hadapan Tuhan yang menembus ruang dan waktu. Menempatkannya dengan cara lain, berlalunya waktu secara bertahap dan konsep untuk kemarin, hari ini, dan besok, merupakan suatu realitas yang dialami oleh kita dan wujud-wujud lain seperti kita, yang ada di dalam waktu. Sekarang kita menghadapi hal tertentu, di saat lain kita menjauh darinya, selanjutnya, ada momen antara kita dan hal tersebut. Kemarin jarak antara kita adalah satu hari, dan tahun depan jarak tersebut adalah satu tahun. Pasase ini, bagaimanapun, yang menambah jarak kita dari masa lalu dan memperpendek jarak kita dari masa depan, tidak sejalan ketika diberlakukan kepada Allah. Hari ini dan kemudian kemarinnya kita tidak lebih dekat ataupun lebih jauh dari Allah, karena eksistensi Allah tidak tunduk pada dimensi ruang dan waktu. Oleh sebab itu jarak ruang dan waktu antara kita dan Tuhan merupakan konsep hampa.

Mengingat butir yang disebutkan di atas, siapapun menyadari bahwa semua makhluk yang ada di kontinum waktu sesungguhnya ada di hadapan Tuhan pada saat yang sama. Seakan-akan semua keturunan Adam, generasi demi generasi bersama-sama ada di hadapan Allah dan menyatakan kesaksian akan Wujud-Nya. Pengakuan dan penyaksian umum ini merupakan bukti jelas bahwa Allah itu ada dan Pencipta dan Tuhan semesta alam.

Namun apa yang terjadi pada manusia yang hanyut dalam sungai waktu dan peristiwa serta perubahan dunia?

Ia menjadi demikian terlibat, asyik, dan tertawan dengan lanskap yang berubah dari dunia temporal, sehingga ia Iura ihwal pengetahuan dan pengalaman langsung akan Tuhan dan Penciptanya yang pertama ia memilikinya.

Kelupaan ini merupakan sesuatu yang mirip dengan “pengabaian diri sendiri” yang telah didiskusikan oleh banyak aliran filsafat baik di masa silam maupun sekarang, termasuk eksistensialisme, sebagai satu dari banyak penderitaan yang menyakitkan di mana manusia mengalaminya di dunia sebagaimana “kehidupan dan masalahnya” merusak kesadaran-diri dari sebagian orang. Sampai ke tingkat tertentu, kadang-kadang mereka melupakan “diri mereka sendiri” sepenuhnya. Kadang-kadang dengan keberhasilan yang sama mereka sepenuhnya menjadi buta dan lalai akan Allah meskipun Dia adalah hadir secara jelas di hadapan mata mereka.

Melalui segenap riak gelombang kehidupannya, Allah menyertai manusia yang hatinya terkunci tidak mampu memandang-Nya, manusia berkeliling dan menyeru: Ya Tuhan, Ya Tuhan.

Apa yang baru disampaikan merupakan ringkasan argumen yang tersaji dalam al-Mizân. Dalam wacana ini Allamah Thabathaba'i membahas secara terperinci dan menjawab banyak persoalan yang mencuatkan “perjanjian antara manusia dan Tuhan” dan relevansi ayat al-Quran. Pembahasannya sangat bermanfaat dan mencerahkan.

Akan tetapi, meski semua penjelasan telah ditawarkan oleh Allamah Thabathaba'i, tampak bahwa relevansi ayat al-Quran ini dengan gagasan perjanjian primordial didasarkan, lebih dari sesuatu yang lain, pada interpretasi seseorang akan maknanya. Apa yang bisa disebutkan dengan pasti ihwal ayat al-Quran ini adalah bahwa ia secara jelas merujuk pada suatu tahap eksistensi manusia di mana manusia mengakui bahwa Allah adalah Pencipta mereka.

Pengakuan ini tidak cukup kuat untuk menjaga semua manusia di sepanjang zaman di jalan lempang penyembahan kepada Tuhan yang satu. Namun ia benar-benar mengalami efek penjagaan terhadap jiwa dan kesadaran mereka yang selalu siap siaga mencari pengetahuan Ilahi. Sehingga, di Hari Kiamat tak seorang yang bisa berdalih bahwa “kami sepenuhnya tak bersalah akan hal ini”. Kesiapan fitriah untuk mencari Tuhan ini cukup kuat yang memudahkan setiap manusia memutuskan hubungan dengan kepercayaan-kepercayaan khayali yang dipegang oleh para orangtua dan leluhurnya dan menghancurkan jalan kebenaran. Dengan kata lain, manusia seperti ini tidak bisa mengatakan bahwa “leluhurku adalah orang-orang musyrik dan aku hanya mengikuti jejak langkah mereka”. Namun sejauh karakteristik tertentu dari tahapan ini (di mana perjanjian dibuat) diamati, tak satu keterangan terperinci yang bisa dijumpai dalam al-Quran suci.

Renjana Manusia Mencari Definisi Tuhan Lain Bagi Watak Manusia

Ada hubungan lain antara manusia dan Tuhan yang bisa dianggap sebagai fitrah Allah (watak Ilahiah). Hubungan ini mengandung cinta pada Yang Mutlak, Maujud Mutlak, Kesempurnaan Mutlak, Kebaikan Mutlak, dan seterusnya, yang bisa dijumpai pada individu-individu normal dalam bentuk, setidaknya, kecenderungan yang sederhana. Kecenderungan inilah yang menjadikannya mengingat Allah dan mendorongnya terhadap Allah. Dan kecenderungan yang sama ini pada sejumlah orang mencapai suatu intensitas dan kekuatan yang mengubah mereka menjadi mulia dan semua pengorbanan para pencinta Kekasih. Menurut para pemikir ini, kecintaan kepada kesempurnaan dan kecenderungan terhadap Kesempurnaan Mutlak bersemayam sekalipun pada orang-orang yang menolak eksistensi Tuhan. Meski mereka boleh jadi tidak menyadari sepenuhnya akan hal itu.

Manusia tidak menyadari bahwa banyak dorongan dan keinginan kuat yang diakui oleh sains-sains eksperimental dan juga merupakan topik dari sekian banyak cabang humaniora yang bermanfaat, yakni psikoanalisis. Oleh sebab itu, seharusnya lebih tepat apabila konsep-konsep yang paling tepat dan akurat yang dikembangkan oleh ilmu-ilmu ini digunakan untuk mempelajari pelbagai keadaan mistis untuk menemukan secara ilmiah prinsip-prinsip yang mendasari dan melatarinya. Ini akan membebaskan kita dari penyandaran pada penilaian-penilaian sembarang dan tidak canggih serta penjelasan-penjelasan akan subjek tersebut yang kebanyakan dangkal dan berdasarkan pada preferensi dan prasangka pribadi.

Pada akhirnya, menurut kaum urafa, jika manusia benar-benar memperhatikan cinta dan rindu akan kesempurnaan fitriah dan memperkuatnya melalui meditasi, praktik-praktik kezuhudan, shalat-shalat, dan bermacam bentuk ibadah, mereka bisa mencapai tingkatan di mana mereka akan menemukan Tuhan, mengenali-Nya melalui pengetahuan bawaan. Kedudukan pengetahuan langsung dan pengalaman akan Tuhan ini tidak meninggalkan ruangan sedikit pun untuk keraguan dan identik dengan Keyakinan Mutlak. Kaum urafa percaya bahwa satu-satunya jalan yang benar untuk memperoleh pengetahuan Tuhan adalah dengan'jalan ini yang diawali dengan pencarian akan Tuhan dan mengarah ke, jika dikejar sampai ke titik ultimat, realisasi-Tuhan. Tentang ini, al-Quran mengatakan:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu), (yaitu orang-orang yang menganggap ada tuhan yang lain di samping Allah; maka mereka kelak akan mengetahui (akibat-akibatnya). Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS al-Hijr: 94-99)

Jadi, kita bisa mengatakan bahwasanya melakukan shalat, meditasi, dan ibadah merupakan suatu cara untuk meraih keyakinan.[23]

Pengetahuan intuitif dan keyakinan yang diperoleh oleh kaum urafa serupa dengan pengetahuan dan keyakinan yang diperoleh seseorang melalui objek-objek empiris. Dalam hal pengetahuan empiris cara terbaik guna membebaskan diri kita sendiri dari semua keraguan adalah memverifikasinya dengan eksperimen. Demikian pula cara terbaik untuk menghapus setiap keraguan ihwal eksistensi Tuhan merupakan pengetahuan langsung, yang tidak diperoleh melalui pandangan illata fisik melainkan melalui pandangan intuitif (bashîrat) dari jiwa. Melalui pengetahuan batin dan intuitif inilah seorang arif menyadari bahwa kekasihnya merupakan Kebenaran Sejati dan bukan ciptaan khayali dari imajinasi yang terpenjara.

Pengetahuan Tuhan Berdasarkan Intuisi Jelas dan Sederhana

Salah satu arti penting dari pendekatan ini adalah bahwa untuk mengetahui Tuhan manusia tidak perlu terlibat dalam argumen-argumen pelik. lnilah mengapa setiap kali al-Quran membicarakan masalah ini ia tidak melebihi ukuran ini dan memusatkan perhatian manusia pada persepsi yang paling dasar dan primordial dan mengajak manusia mengakui dan menerima pengetahuan yang tak bisa ditolak dan wajib dari pendekatan semacam itu.

Dalam banyak hal, al-Quran bahkan tidak mencantumkan argumentasi ini dan mencukupkan dirinya sendiri dengan setiap watak ilutif dan tak berdasar dari sejumlah ide atau kecenderungan ateistik, kemudian mendorong manusia untuk memperdalam dan memperluas pencariannya akan Allah dan mendasarkan pencariannya itu pada asas-asas yang lebih kuat. Satu contoh dari pendekatan semacam itu adalah kasus kaum naturalis.[24]

Menemukan Eksistensi Tuhan Melalui Perenungan Tanda-tanda-Nya

Dalam banyak ayatnya, al-Quran mengajak orang-orang bijak,[25] kaum pemikir,[26] dan kaum perenung[27] untuk merenungkan dunia, keajaiban-keajaibannya, peristiwa-peristiwa alamiah yang normal dan sebab-sebabnya secara menjeluk untuk mendapatkan pengetahuan dari Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijak, dan Pencipta Yang Maha Penyantun. Ayat-ayat ini kebanyakan dimaksudkan untuk menyadarkan manusia dan memikat perhatiannya pacla isu-isu yang terbit setelah membuktikan eksistensi Sang Pencipta, seperti Ketidaksetaraan, Pengetahuan dan Kuasa Mutlak, Kearifan, Kemurahan, dan sifat-sifat lain; khususnya Kuasa untuk membangkitkan manusia setelah kematiannya, memberinya kehidupan abadi selama itu, dan mengganjar atau menyiksanya sejalan dengan perbuatannya di dunia.

Dalam semua ayat al-Quran ini, untuk menyadarkan realitas metafisik manusia diminta untuk memperhatikan segala sesuatu di dunia dan menarik kesimpulan ihwal tanda-tanda ini melalui aplikasi persepsi dan keputusan batin intuitif, sehingga mendapatkan pengetahuan yang bermanfaat dan handal tentang alam lain di balik alam indrawi.

Seraya merujuk kepada diskusi-diskusi sebelumnya persoalan yang bisa muncul adalah: jika seluruh alam dan setiap individu adalah bagian darinya, dari atom hingga galaksi, dan sejak mineral hingga manusia, merupakan bukti-bukti nyata yang mengarah kepada Kearifan, Kuasa, Kehendak, Keesaan, Kasih, dan sifat-sifat lain dari Pencipta alam semesta, bukankah hal yang sama jika alam semesta merupakan bukti nyata dan tak terbantahkan dari eksistensi Pencipta itu sendiri?

Jika jawaban atas persoalan yang disebutkan di atas adalah benar, kita harus menyimpulkan bahwa meski al-Quran tidak memampangkan argumen-argumen yang jelas dan sederhana untuk membuktikan eksistensi Allah mengingat atmosfer intelektual dari orang-orang pada masa itu, ia menggunakan sebuah metode yang sama-sama bermanfaat dalam membuktikan eksistensi Tuhan dan mendapatkan pengetahuan yang jernih dan pasti ihwal isu pokok dari Eksistensi- Nya.

Pada akhimya, apa yang argumen-argumen al-Quran ini sandarkan adalah bahwa setiap makhluk yang kita temui di dunia memerlukan Pencipta Yang Mahakaya yang memiliki kearifan dan kemampuan untuk menciptakan berbagai makhluk yang berbeda. Kebutuhan dan kemandirian fitriah ini dari semua makhluk ini secara tegas menunjukkan kemestian bagi eksistensi dari Wujud Yang Mahakaya dan Mandiri, dan kesementaraan dari setiap makhluk menunjukkan kemestian eksistensi dari Realitas Otonom dan Abadi yang di atasnya makhluk-makhluk itu bersandar.

Barangkali ayat 15 hingga 17 dari surah Fâthir berikut terkait dengan kebutuhan manusia akan Tuhan yang sifatnya mutlak dan kesimpulan yang harus ditarik manusia dari ayat itu adalah:

Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah Dia-lah yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.

Bisa dikatakan bahwa dalam mendiskusikan Sifat- sifat Allah al-Quran menawarkan suatu pendekatan dan cara yang juga bisa digunakan dalam membahas persoalan eksistensi Tuhan.

Bukti-bukti Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Aristoteles

Dalam Metaphysics-nya, Aristoteles[28] berkali-kali menekankan bahwa tujuannya adalah untuk menemukan sebab pokok dari segala sesuatu dan prinsip-prinsip alam melalui penggunaan metode yang sejalan dengan pemikiran filosof (seorang pemikir dan peneliti) dan pemikir bebas. Dengan kata lain, ia tengah mencari sebab orisinal atau sebab pertama. Ia tidak akan mengambiljalan orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap dogma-dogma yang kurang memiliki latar belakang logis. Misalnya, dalam bukunya, Beta, ia mengatakan:

...Namun mereka yang berpikir seperti Epicurus dan yang lainnya yang telah berbicara ihwal objek-objek Ilahi, mereka telah menantang diri mereka sendiri dengan meyakinkan diri mereka sendiri dan tidak pernah bermaksud meyakinkan kami. Mereka tidak berusaha berbuat demikian karena mereka menganggap sebab primer sebagai tuhan-tuhan mereka sendiri.[29]

Oleh karena itu, tidaklah penting untuk menguji secara cermat pandangan dari mereka yang filsafatnya lebih mirip ide-ide dan frase-frase dekoratif. Apa yang tepat bagi kita untuk didiskusikan dan diperselisihkan adalah ide-ide dari orang-orang yang pernyataan-pernyataan-nya berdasarkan logika...[30]

Pencarian Aristoteles akan sumber ultimat dari segala sesuatu berdasarkan hukum umum sebab akibat, yakni “kebutuhan setiap akibat kepada sebab”. Dalam pandangannya, jika segala sesuatu di dunia adalah objek-objek natural dan mempunyai gerakan, maka eksistensi dari sesuatu akan berperan sebagai pencipta alam dan gerakan menjadi tidak penting. Karena, tidak satupun di alam semesta selain alam dan substansi yang bergerak. Di dunia seperti itu, pengetahuan kita menjadi dibatasi pada sains-sains alami dan kita tidak akan mempunyai sesuatu seperti “metafisika”: “...Jika tidak ada substansi lain selain substansi alam, fisika (sains alam) menjadi Filsafat Pertama...[31]

Akan tetapi, dalam pencariannya atas suatu pemahaman watak hakiki dari segala sesuatu dan alam semesta, Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa dunia tidak terbatas pada substansi alamiah yang bergerak. Sehingga, dalam bagian lain dari buku Metaphysics-nya, ia membahas substansi “duniawi” dan “keabadian” dan berusaha menemukan asal-usul mereka dengan pertanyaan “apakah benda-benda duniawi dan ukhrawi mempunyai asal-usul yang sama atau apakah masing-masing kelompok memiliki sumber sebab tersendiri?”[32] Aristoteles melanjutkan penyelidikannya dan akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa segala sesuatu memancar dari substansi Swa-maujud (self-existent) yang sama yakni Yang Mahahidup, Maha Mengetahui, dan Mahakuasa. Sesuatu yang meski tidak bergerak merupakan sebab dari semua gerakan.[33]

Bukti Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibn Sina

Pada bagian keempat dari apa yang mungkin menjadi karya filsafat terakhirnya. al-Isyârât wa al-Tanbihât. Ibn Sina mengajukan dalil baru untuk pembuktian eksistensi Sang Pencipta. lnilah cara dia ketika memulai bahasannya: “Bagian Empat tentang Eksistensi dan Sebab-sebabnya.”

Jadi, alih-alih membicarakan “prinsip-prinsip alam”, ia membahas “eksistensi” dan “sebab-sebab”-nya. Menyangkut bukti adanya sebab pertama dan sumber eksistensi, ia mengatakan:

Wujud (being) itu bisa wajib atau mungkin. Wujud mungkin (mumkin al-wujud) mewujud karena beberapa faktor eksternal.

Jika faktor eksternal itu adalah wujud wajib pada dirinya sendiri, maka itulah sumber (wujud) dan pencipta. Jika faktor eksternal itu wujud mungkin, maka ia pastilah akibat atau efek dari sesuatu yang lain ketimbang dirinya sendiri. Jika rangkaian wujud-wujud mungkin meluas secara tak terbatas tanpa mencapai titik awal, suatu titik sumber dan eksistensi wajib, tak satu pun dari wujud-wujud mungkin dalam rangkaian tak terbatas ini ada karena aktualisasi dari rangkaian ini tergantung pada adanya rangkaian sebelumnya. Dan sekalipun asumsi seperti ini terus berlanjut secara tak terbatas, ia tetap tidak bisa muncul dari wilayah asumsi dan memiliki kepastian.[34]

Untuk menjelaskan argumen Ibn Sina, kami akan memberikan ilustrasi berikut. Anggaplah, sebuah batu karang yang besar jatuh menimpa jalan, sehingga menutupinya. Jelaslah, batu karang itu tidak akan bergerak karena dirinya sendiri. Pejalan pertama yang melewatinya mendapatkan jalan tertutup dan berkata kepada dirinya sendiri: “Jika ada orang lain yang menemani, niscaya kami bisa memindahkan batu karang tersebut dan membersihkan jalannya.” Seorang pejalan kedua muncul namun mendengar ucapan orang pertama, ia menjawab bahwa, “Jika ada orang lain yang menemani maka kami bertiga niscaya bisa memindahkan batu karang.” Pejalan ketiga sampai di tempat tersebut, seraya berkata bahwa, “Jika ada orang keempat muncul dan membantu, maka kami bisa menggeser batu karang itu. Orang keempat muncul dan menanti kedatangan orang kelima, dan seterusnya sampai tak terbatas. Apakah batu karang itu bergerak dalam keadaan semacam itu? Tentu saja tidak. Batu karang itu akan pindah hanya ketika seseorang datang dan mau bertindak tanpa menunggu kemunculan orang lain. Dalam situasi seperti itu baik ia sendirian ataupun bersama-sama akan bertindak dan memindahkan batu karang itu sehingga jalan pun terbuka lagi.

Demikian pula, dalam rantai sebab-akibat, sepanjang kita tidak sampai pada suatu sebab yang ada pada dirinya sendiri, lepas dari benda-benda apapun, maka tak satu rangkaian pun yang niscaya ada. Dengan kata lain, kita harus Sampai pada Wujud yang memiliki eksistensi mandiri atau wujud wajib. Eksistensi berawal di titik ini dan, ketika ia menurun dari rantai sebab-akibat, menyampaikan setiap rangkaian pada wujud dan realitasnya. Oleh sebab itu, dalam bayangan Wujud Mutlak inilah segala sesuatu mencapai keberadaannya.

Dengan demikian, Ibn Sina menemukan Wujud Wajib dan Tuhan tidak melalui penelaahan atas prinsip-prinsip ataupun asal-usul alam, melainkan melalui perhatian yang cermat atas kemungkinan dan kemestian, mungkin dan wajib, dan ketergantungan mutlak dari wujud mungkin pada wujud wajib.

Setelah pembuktian eksistensi Sang Pencipta, Ibn Sina selanjutnya membuktikan Keesaan, Kuasa, Pengetahuan, dan sifat-sifat lain dari Pencipta melalui pengujian persoalan wujud mungkin dan wujud wajib. Ia mengatakan:

Perhatikanlah dan lihatlah bagaimana pembuktian kami ihwal eksistensi Sumber, Kesucian dan Kesempurnaan-Nya[35] tidak membutuhkan perenungan lain[36] selain “eksistensi” itu sendiri. Di sini tidak perlu merenungkan makhluk-Nya. Meski pengujian seperti itu akan mengantarkan kita kepada-Nya, namun pendekatan kami lebih mendalam. Sebab, pertama-tama kami merenungkan wujud itu sendiri, sehingga ia bisa menerangkan realitasnya sendiri secara jelas dan kemudian menjadi sebab keberadaan segala sesuatu yang memancar darinya pada tahapan berikutnya. Ayat berikut merujuk kepada masalah ini,“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar...” (QS Fushshilat: 53).

Penjelasan ini tertuju pada satu kelompok. Kemudian al-Quran mengatakan, “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53).

Penjelasan ini terkait dengan kelompok lain, yakni “orang-orang benar” (al-shiddîqûn) yang menganggap Tuhan sebagai bukti dari segala sesuatu yang lain, bukan segala sesuatu lain sebagai bukti bagi Tuhan.[37]

Mengomentari kata-kata Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi (597-672) berkata:

Para teolog menganggap munculnya objek-objek dan kualitas-kualitas mereka sebagai bukti keberadaan Sang Pencipta. Melalui pengujian dan pengamatan atas makhluk-makhluk, adalah mungkin meraih pengetahuan akan sifat-sifat Allah.

Para filosof alam menganggap eksistensi gerakan sebagai bukti keberadaan Penggerak dan percaya bahwa karena rantai penggerak-penggerak semacam itu tidak bisa terbentang tak terbatas, kita harus sampai pada Penggerak yang ia sendiri tidak bergerak. Akhirnya, mereka mendapatkan Sebab Pertama.

Akan tetapi para arifin (metaphysicians), melalui pengujian “eksistensi” itu sendiri dan fakta bahwa “eksistensi” mestilah berwatak mungkin (contingent) atau wajib (necessary), membuktikan eksistensi Wujud Wajib (Necessary Existent). Kemudian, dengan pengujian implikasi-implikasi logis kemungkinan dan kemestian, mereka mendapatkan sifat-sifat Wujud Wajib. Dan dengan sebuah perenungan atas sifat-sifat ini, mereka menemukan proses di mana semua makhluk terwujud, yang memancar dari Wujud Wajib.

Ibn Sina mengatakan (dalam pernyataan yang baru saja dikutip) bahwa metode ini lebih baik ketimbang metode sebelumnya karena dalilnya lebih kuat dan lebih berharga. Ini disebabkan sebaik-baiknya dalil yang mampu mengantarkan manusia kepada kepastian adalah dalil yang di dalamnya kita menjumpai akibat melalui sebab. Sebaliknya, menganggap akibat sebagai bukti dari sebab tidaklah menggiring seseorang kepada kepastian mutlak dalam beberapa hal. Hal ini, misalnya, dalam kasus di mana satu-satunya cara untuk mengetahui sebab adalah melalui akibat. Ilni lebih jernih dalam bagian argumentasi. Al-Quran mengatakan,“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS Fushshilat: 53).

Ibn Sina mengambil dua aspek penting dari firman Allah ini dan mengaitkan keduanya kepada dua metode yang disebutkan sebelumnya. Dua aspek ini adalah: (i) mengganggap tanda-tanda yang ada di dunia dan pada manusia sebagai bukti bagi keberadaan Tuhan; dan (ii) menjadikan Tuhan sebagai bukti atas keberadaan segala sesuatu yang lainnya. Lagi pula, karena ia memilih metode kedua, ia telah menyebutnya metode shiddîqîn karena shiddîq adalah kelompok manusia yang senantiasa mencari kebenaran.[38]

Sepeninggal Ibn Sina, “argumen kemestian dan kemungkinan”-nya menjadi dalil yang paling populer bagi pembuktian eksistensi Tuhan, sehingga dalam buku-buku filsafat dan teologi yang lebih ringkas, hanya argumen ini yang dirujuk. Dalam bukunya yang paling terkenal, dalam pasal yang membahas bukti eksistensi Tuhan, Nashir al-Din al-Thusi hanya merujuk argumen ini. Ia mengatakan:

Butir ketiga menyangkut bukti keberadaan Tuhan, Sifat-sifat dan Perbuatan-perbuatan-Nya yang terkandung pada pasal-pasal berikut. Pasal yang membahas eksistensi Tuhan. Sesuatu itu adalah Wujud Wajib yang dalam hal ini tidak memerlukan bukti dan Wujud Mungkin yang tergantung pada Wujud Wajib. Jika sebaliknya, maka kita akan berhadapan dengan daur atau tasalsul yang kedua-duanya adalah mustahil.[39]

Dalam bukunya, Kasyf al-Murâd fi Syarh Tajrîd al-I’tiqâd, Allamah Hilli menulis:

Bukti keberadaan Wujud Wajib adalah sebagai berikut: Tak syak lagi, kita mendapatkan bahwa pasti ada suatu Realitas.[40] Realitas ini, yang di atasnya kita tidak bisa ragu, entah Wujud Wajib[41] yang tidak membutuhkan diskusi lebih jauh[42] atau ia bukanlah Wujud Wajib yang berarti ia adalah Wujud Mungkin dan, dengan sendirinya, membutuhkan sebab yang tiada lain adalah sumber keberadaannya. Sekarang sebab ini sendiri apakah Wujud Wajib, yang berarti tidak membutuhkan diskusi lebih jauh ataukah Wujud Mungkin yang artinya bahwa ia membutuhkan sebab. Dan ini artinya kita akan sampai pada daur atau tasalsul di mana kami telah menyebutkan bahwa kedua-duanya salah.[43]

Dalam metode yang digunakan oleh Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi, Allamah Hilli, dan yang lainnya, ada pembahasan daur dan tasalsul. Apabila seseorang tidak mempertimbangkan dua alternatif ini sebagai kemustahilan, maka seluruh dalil tentang kekuatan dan kejelasan yang darinya telah banyak disebutkan, menjadi sia-sia.

Bukti Eksistensi dalam Filsafat Mulla Shadra

Dalam Asfar-nya, Mulla Shadra berpendapat bahwa dalil shiddîqîn (burhan-e shiddîqîn) “merupakan sebaik-baik-nya argumen dalam membuktikan eksistensi Tuhan”. Namun ia menerangkan dalam suatu pola yang, sebagaimana katanya sendiri, tidak akan menghasilkan daur ataupun tasalsul. Oleh sebab itu, pendekatan Shadr al-Muta’allihin merupakan titik balik dalam pencarian terhadap sebab orisinal segala sesuatu. Mari kita simak penjelasannya dengan cermat:

Ketahuilah ada sejumlah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan karena Ia memiliki sejumlah aspek dan kebaikan yang membiarkan setiap individu untuk mengikuti jalan tertentu kepada-Nya.[44] Oleh sebab itu, adalah juga benar bahwa sebagian dari pendekatan ini lebih berharga, lebih kuat, dan lebih terang ketimbang yang lainnya. Argumen dan bukti terbaik adalah di mana batas tengahnya[45] ialah sesungguhnya tiada lain Wujud Wajib itu sendiri. Dengan kata lain, ia merupakan jalan untuk mengenali-Nya[46] dan merupakan jalan shiddîqîn yang mengambil Tuhan sebagai bukti dan saksi atas Eksistensi-Nya sendiri.[47] Kemudian, dari pembuktian Zat-Nya, mereka melangkah kepada pengetahuan akan Sifat-sifat-Nya; dan dari pengetahuan akan Sifat-sifat-Nya kepada pengetahuan akan perbuatan-perbuatan-Nya.

Kelompok lain, seperti mutakallimun (para teolog) dan kaum naturalis mencoba meraih pengetahuan Tuhan dan Sifat-sifat-Nya dengan mengkaji yang lainnya seperti kemungkinan kuiditas, kemunculan ciptaan, dan gerakan objek- objek fisik. lni merupakan bukti eksistensi Tuhan dan Sifat-sifat-Nya. Namun metode pertama lebih kuat dan berharga. Ayat al-Quran berikut merujuk kepada semua jalan ini:“Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu” (QS Fushshilat: 53).

Para filosof gnostik memikirkan eksistensi itu sendiri dan mengetahui bahwa realitas tiada lain adalah Tuhan dan Dia adalah esensi segala sesuatu. Kemudian, dengan pengujian secara cermat akan eksistensi, mereka menyimpulkan bahwa eksistensi secara otomatis adalah Wujud Wajib (Necessary Being) di mana eksisten secara otomatis adalah Maujud Wajib (Necessary Existent). Adapun kemungkinan, kebutuhan, dan hal-ihwal sebab (causedness) tidak bisa dikaitkan dengan esensi dan realitas eksistensi itu sencliri, namun pasti terkait dengan kelemahan dan kekurangan yang terletak di luar esensi dan realitas ini. Selanjutnya, dengan merenungkan implikasi dan keserentakan kemungkinan dan kemestian, mereka mendapatkan keesaan Zat Tuhan dan Sifat-sifat-Nya. Lewat pengetahuan akan Sifat-sifat-Nya mereka inemahami hakikat Perbuatan dan Tindakan-Nya. Inilah jalan para nabi yang al-Quran sendiri mengatakan,“Katakanlah: ‘lnilah jalan-Ku. Aku menyeru kepada Allah dengan pengetahuan (hujah) yang nyata." (QS Yûsuf: 108).

Menyusul penjelasan terperincinya ihwal dalil shiddîqîn yakni memperoleh pengetahuan tentang Tuhan lewat pengetahuan eksistensi yang sempurna, Shadr al-Muta’allihin membuka bab baru di mana ia mendiskusikan dalil-dalil lain yang diuraikan oleh filsafat dan teologi untuk membuktikan eksistensi Tuhan. Lebih dari sekadar argumen lain, ia mendiskusikan dalil “kemestian dan kemungkinan” yang ia uraikan bersama dalil-dalil yang sama yang dipakai oleh Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi dan Allamah Hilli. Ia menyatakan:

...pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan yang paling dekat dengan pendekatan kaum shiddîqîn namun ia tidak identik dengan apa yang diperhatikan kaum shiddîqîn yakni realitas eksistensi[48] sementara di jalan ini ia merupakan konsep eksistensi.

Shadr al-Muta’allihin menerangkan dua keuntungan pokok dari versi argumen shiddîqîn dan perolehan pengetahuan tentang Sang Pencipta lewat pemahaman eksistensi yang utuh. Dua keuntungan tersebut adalah:

1. Bahwasanya ia bersandar pada eksistensi aktual itu sendiri dan pengetahuan langsung kita tentangnya dan bukan bersandar pada konsep eksistensi.

2. Bahwa dalam penghampiran ini, tidak ada ruang untuk daur dan tasalsul.