Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)0%

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: AS-SHAHID SAYYID MUHAMMAD HUSAYNI BEHESTI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 5821
Download: 1558

Komentar:

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 13 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5821 / Download: 1558
Ukuran Ukuran Ukuran
Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

Tuhan Menurut Al-Quran (bagian pertama)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Maujud dan Konsep Wujud

Apa yang kita pahami dari kata “eksistensi” (wujud) dan akibat-akibatnya dalam bahasa lain? Dan bagaimana konsep ini merambah ke dalam pikiran kita? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi tema diskusi dalam filsafat Islam selama berabad-abad dan isu-isu yang terkait dengannya telah dianggap sebagai bagian dari pasal-pasal terpenting dalam filsafat.

Siapapun bisa membayangkan bahwa semua pembahasan ini merupakan paparan sia-sia dari isu yang begitu jelas. Akan tetapi, secara bertahap, ia memahami bahwa isu-isu dari realitas wujud, kettinggalan wujud, unitas dan multiplisitas, realitas dan penampakan, dan seterusnya merupakan sebagian dari problem-problem filsafat yang paling pokok. Akan tetapi, problem-problem tersebut tampaknya sederhana namun merupakan isu-isu mendalam dan pelik.[49]

Sebagai suatu contoh dari persentuhan modern dengan isu-isu tersebut, mari kita telaah komentar kritis dari seorang ulama Iran ihwal masalah ini.

Dalam bukunya, Philosophy, Syariat Madari[50] telah melakukan kajian kritis atas bagian buku Allamah Thabathaba’i, The Principles of Philosophy and the Method of Realism.[51] Dalam kritiknya, ia menyatakan bahwa pembahasan tentang pemahaman wujud yang analitis dan kesimpulan filosofis dari pemahaman seperti itu, menjadi semacam bahasa permainan sebagaimana dikatakannya: “Allamah Thabathaba’i menganggap wujud sebagai identik dengan realitas dan eksistensi realitas sebagai swabukti.”[52]

Lebih jauh dalam diskusinya, Syariat Madari mengatakan bahwa kini sejumlah persoalan tertanam dalam pikiran mengenai wujud dan realitas sebagai berikut:

Manakah yang swabukti? Maujud ataukah wujud? Apakah manusia menganggap bebatuan, pepohonan, dan manusia sebagai realitas yang swabukti ataukah wujud mereka?[53] Apakah gagasan bahwa kita tidak bisa menangkap realitas wujud, namun pada saat yang sama karena kita mengetahuinya dengan demikian wujud pada dirinya sendiri, merupakan swabukti bagi kita?

Sebagaimana telah ditunjukkan, mengapa penangkapan eksistensi merupakan swabukti? Saya bisa menganggap eksistensi saya sendiri sebagai swabukti sebagaimana saya menganggap bahwa objek-objek lain sebagai swabukti. Tapi apabila saya menganalisis diri saya sendiri dan memisahkan dan menggantikan unsur “eksistensi” dari aspek-aspek lain diri saya, maka saya tidak bisa mengatakan bahwa saya telah memahami eksistensi dan pengertiannya dalam pola swabukti. Bisa dikatakan bahwa apa yang tarnpak swabukti adalah maujud (being) dan bukan wujud (existence).

Lebih jauh ia mengatakan:

Mendudukkan dan membenamkan diri sendiri dalam konsep eksistensi dan memainkan permainan bahasa, tidak saja membatasi aktivitas sosial, tetapi juga menghalangi kita dari menyerap realitas-realitas dan mencegah kita dari isu-isu filosofis yang berkembang saat itu. [54]

Dengan demikian, tampak jelas bahwa problem eksistensi, konsepnya, tingkat otentisitasnya, masih merupakan suatu problem serius dalam pemikiran filsafat kontemporer.

Untuk melanjutkan telaahan kita dengan pemahaman yang jernih atas masalah tersebut, pertama-tama kami akan menjawab persoalan-persoalan berikut:

1. Apakah analisis dan sintesis, dalam arti umum, merupakan metode tepat guna mendapatkan pengetauan baru tentang dunia dan realitas-realitas di dalamnya?

2. Apakah persepsi-persepsi mental mereka sendiri, yakni konsep-konsep yang kita miliki dari realitas-realitas yang terjadi di dunia, adalah keabsahan nyata (aktual) dalam menyuguhkan realitas-realitas tersebut?

3. Apakah kata-kata, baik merujuk pada objek-objek nyata (real things) ataupun objek-objek khayali (imaginary things) merupakan serangkaian fakta ataukah bukan? (Ini tentunya dalam sorotan definisi ekspansir menurut realitas bahkan dalam pemanfaatan saintifik dewasa ini).

4. Jika konsep-konsep mental dan kata-kata digunakan untuk menguraikan realitas, terlihat dalam suatu perspektif yang lebih luas, adalah realitas itu sendiri, apakah kajian akademis dan realistik atas realitas tersebut, merupakan aktivitas ilmiah yang bisa membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat? Atau, apakah ia hanya merupakan suatu tanggung jawab, dalam format bentuk apapun, permainan bahasa?

Dengan suatu wawasan mendalam terhadap apa yang disebut sekarang ini dengan ilmu-ilmu sosial, siapapun bisa menyimpulkan bahwa mayoritas subjek tersebut semata-mata terkait erat dengan kata-kata dan paduannya, konsep-konsep dan pengertian mental, hubungan mereka satu sama lain atau dengan lingkungan sehari-hari manusia, asal-usul dan pertumbuhan kata-kata, makna-maknanya, atau fenomena manusia lainnya senyata huruf-huruf, kata-kata, dan pengertiannya.

Ketika kita mengapresiasi sosiologi dan penyelidikan pencerahannya serta mengarahkan hasil-hasil penyelidikannya untuk membantu kita memilih rangkaian tindakan terbaik dalam banyak aspek kehidupan kita dan menganggapnya sebagai ilmu yang matang membuahkan hasil-hasil yang bermanfaat, maka mengapa kita harns terkejut bahwa analisis saintifik atas suatu kata, persepsi mental, atau fenomena semacam itu bisa membawa kita pada hasil-hasil filosofis yang berharga dan akurat?

Ketika melalui disiplin linguistik dan filsafat analitis, kita menguji asal-usul dan pertumbuhan kata dan bahasa; hubungan mereka dengan faktor-faktor biologis, internal, ataupun lingkungan seperti kepercayaan, keterikatan emosional, ekonomi, politik, kelas-kelas sosial, kebudayaan, dan seterusnya, sehingga menemukan ratusan rahasia menyangkut kehidupan manusia di planet ini, kemudian melanjutkan langkah untuk memperoleh manfaat praktis dari temuan-temuan ini lewat peningkatan taraf kehidupan manusia dengan pelbagai cara, maka mengapa kita tidak bisa melihat riset akurat dan pasti yang telah dijalankan pada konsep eksistensi, pengertiannya, dan realitas eksternal yang darinya konsep ini diturunkan?

Sekarang, mengingat semua yang telah disebutkan, mari kita kembali pada diskusi tentang konsep “eksistensi” dan pengertiannya dan mencoba mengklarifikasi isu-isu yang dimasukkan dalam sorotan pertanyaan yangdiajukan oleh Syariat Madari, dengan harapan bahwa kita akan tetap aman dari bahaya jatuh dalam ilusi dan permainan bahasa.

Pertama-tama, mari kita mulai dari apa yang kita ketahui perihal. masalah ini:

1. Anggaplah ada gelas minum di atas meja di depan Anda. Sekarang saya bertanya kepada Anda: adakah air di dalam gelas itu? Anda melihat gelas tersebut secara lebih cermat atau untuk meyakinkan, Anda menggoyangkan gelas itu seraya berkata: “Ada air, di dalam gelas” atau “Tidak ada air di dalam gelas.”

2 Nah, sekarang anggaplah ada kompor di sudut ruangan tempat ada duduk. Saya bertanya kepada Anda: “Adakah api di dalam kompor itu?” Anda mendekati kompor itu dan memeriksa isinya secara cermat dan berkata: “Ada api di dalam kompor” alau “tidak ada api di dalam kompor”.

Sekarang, simaklah dua pernyataan berikut: (1) Ada air di dalam gelas; dan (2) Ada api di dalam kompor. Dua pernyataan di atas mengandung kata-kata yang berbeda. Masing-masing kata itu mempunyai pengertiannya sendiri, semisal: “di dalam”, “gelas”, “kompor”, “air”, dan “adalah” (is).

Tak ayal lagi, dengan menggunakan setiap kata-kata ini, Anda tengah mengungkapkan persepsi mental yang pasti yang secara jelas bisa Anda bedakan dari persepsi mental lain. Misalnya: “di dalam” berlawanan dengan “di atas” atau “di samping”, “gelas” atau “kompor” berlawanan dengan objek-objek yang ada, “air” dan “api” berlawanan dengan benda-benda lain, dan “adalah” (is) berlawanan dengan “bukan” (is not) dan seterusnya.

3. Persepsi mental yang Anda ekspresikan dengan kata “di dalam” (in) merupakan hal yang jelas dan secara mudah bisa dibedakan dari “di atas” dan seterusnya. Hal yang sama bisa dikatakan tentang persepsi-persepsi mental yang diungkapkan dengan kata-kata, atau, sehingga jika dengan sesuatu yang lain, se- tidaknya Anda tidak pernah menyalahkan mereka untuk satu sama lain. Ini pun merupakan kasus bagi persepsi-persepsi mental yang dilambangkan dengan kata-kata “api” atau “air”. Ketika Anda memegang segelas air untuk diminum, Anda tidak menunjukkan sedikitpun ketakpastian dalam memakai kata “air” untuk menguraikan isi gelas, atau apabila seseorang benar-benar mengetahui kepingan kayu di atas api dan mulai terbakar, Anda sekali lagi tidak akan memastikan dalam penunjukannya sebagai api. Bahkan, ini memang benar, tidak saja untuk Anda, namun bagi semua manusia lain yang sehat dan waras akal.

4. Sekarang bagaimana tentang kata “adalah” (is)? Sudahkah Anda menggunakan kata ini untuk mengekspresikan suatu persepsi mental juga? Bagaimana tentang kata-kata lain seperti kata-kata yang terkait dengan eksistensi atau wujud dalam arti sesuatu yang ada? Apakah kata-kata ini juga berkorespondensi dengan sejumlah persepsi mental yang ada di benak Anda ataukah tidak?

Untuk memudahkan diskusi, mari kita gunakan istilah wujud (existence) dan maujud (being).[55] Pertanyaan: Apakah kata ada dalam dua kalimat berikut: air ada dalam gelas dan api ada dalam kompor, merupakan ucapan tidak bermakna? Atau, apakah ia mempunyai makna yang khusus sebagaimana kata lainnya yang digunakan dalam dua kalimat tersebut? Nah, apabila istilah ada benar-benar memiliki makna khusus pada dirinya sendiri, apakah dan bagaimanakah kata tersebut diterapkan pada air dan api? Apakah fakta bahwa istilah ada digunakan pada air dan api sama-sama menandakan bahwa keduanya memiliki “sebuah kata umum” atau bahwa keduanya memiliki “sebuah pengertian umum”?

Barangkali lebih baik untuk menggambarkan apa yang kami maksud dengan memiliki “kata umum” atau “makna umum” dengan sejumlah contoh dari kehidupan biasa.

Anggaplah, seorang bayi lahir dari keluarga Anda dan Anda menamakannya Parviz. Anggap juga bahwa bayi lain lahir di lingkungan ratusan keluarga lainnya yang jaraknya ratusan mil di kota lain dan keluarga lain, dan mereka, tanpa mengetahui apapun tentang nama anak Anda, juga menamakan anak mereka, Parviz. Hal semacam ini, mengembangkan sebuah ikatan otomatis antara anak Anda dan anak lain, dan ikatan ini tiada lain disebabkan memiliki nama anak yang sama, yang semata-mata merupakan hasil dari cita rasa orangtua mereka.

Sekarang, apakah memiliki nama yang sama menandakan merniliki sesuatu yang lain sam juga? Biasanya tidak. Ia semata-mata merupakan persoalan cita rasa. Anda menjadi suka nama Parviz dan memanggil anak Anda dengannya. Orangtua lain juga menjadi suka nama Parviz dan memilihnya untuk putra mereka. Anda bisa jadi menyukai nama Parviz karena satu alasan; dan orangtua lain mungkin menyukai nama tersebut karena beberapa alasanlain. Bagaimanapun, menyandang nama Parviz yang sama tidak menandakan adanya karakteristik lain yang sama antara dua anak ini. Ini merupakan sebuah contoh dari pemilikan nama yang sama.

Bayangkanlah lagi, Anda memiliki bola putih salju dan kapur putih. Alasan bagi Anda untuk memberi label “putih” kepada kedua benda ini bukan disebabkan bahwa seseorang telah memilih secara sembarang dengan menamakan kedua objek itu “putih”. Alih-alih, ini merupakan suatu indikasi bahwa dua objek ini mempunyai kualitas sama satu sama lain. Dengan kata lain, kata “putih”, menunjukkan bahwa kedua objek ini memiliki “makna umum” yang diletakkan dengan cara lain. Dua objek ini memiliki kesarnaan warna, dan warna ini adalah “pengertian” di mana mereka mempunyai kesamaan. Lebih jauh, pemilikan “pengertian” yang sama ini merupakan sebab dari keduanya yang disebut “putih”.

Inilah mengapa ketika membahas objek-objek yang memiliki sebuah “kata yang sama”, setiap entri baru yang masuk ke dalam kelompok mesti dicapai oleh objek-objek yang mempunyai “pengertian yang sama”. Di sini, tidak ada proses penamaan baru yang penting.

Sekitar 14 abad yang silam seorang anak laki-laki lahir di keluarga Sasanid yang mereka namai Parviz. Jika sejak itu tidak ada keluarga lain yang memilih untuk memanggil nama anak lelakinya Parviz, maka nama ini niscaya menjadi sesuatu yang khusus milik Raja Sasanid, Khosrow Parviz.[56]

Di sisi lain, jika ratusan anak-anak lahir dari keluarga lain dan semua anak ini memiliki karakteristik fisik dan psikologis yang sarna dengan Khosrow Parviz tapi orangtua mereka menamakan anak-anak mereka dengan nama lain, maka tak satu pun kemiripan bisa membenarkan anak-anak ini disebut Parviz dengan sendirinya. Kalaulah ada, amat sedikit anak lelaki yang menunjukkan kemiripan dengan Khosrow Parviz. Tentu saja, ini sama sekali tidak benar dari kata “putih”. Setelah menyebutkan salju sebagai putih karena warnanya dan fakta bahwa ia merefleksikan hampir seratus persen cahaya yang menerpanya, dengan sendirinya kita menyebut putih pada objek apapun yang memiliki kualitas-kualitas yang sama tanpa membutuhkan proses penamaan baru. Ini terjadi demikian karena kata “putih” mewakili persepsi mental yang umum atas subjek-subjek tersebut seperti kapur tulis, salju, dan seterusnya.

Sekarang, setelah memiliki satu “kata yang sama” dan satu “pengertian yang sama” yang secara jelas dibedakan dari satu dengan yang lain, kita bisa kembali ke pembahasan kita ihwal maujud (existent) dan mengulang dua pernyataan: “Ada api dalam kompor” dan “ada air dalam gelas”. Kita melihat bahwa sifat wujud atau “ada” (isness) disandarkan kepada baik api maupun air dan kedua-duanya ada. Dengan demikian, kata ada (existent) merupakan sesuatu di mana mereka berbagi satu sama lain, tidak seperti kata api atau air yang hanya bisa berlaku kepada salah satu di antara keduanya. Nah, kini pertanyaannya adalah: apakah fakta bahwa api dan air mempunyai “ke-ada-an” (isness) yang sama di antara keduanya yang menandakan bahwa dua objek ini mempunyai kata yang sama ataukah pengertian yang sama?

Apabila kedua objek tersebut memiliki “ke-ada-an” dalam pengertian umum yang sama, yang berarti kedua objek ini mempunyai “kata yang sama”, maka menyebut salah satu di antara keduanya sebagai objek yang ada (eksisten) menuntut proses penamaan yang terpisah. Sekarang, apa masalahnya?

Di pihak lain, apabila memiliki kata “is” yang sama di antara “air di dalam gelas” dan “api dalam kompor” yang berarti keduanya mempunyai “pengertian yang sama”, maka proses penamaan terpisah bukan hal penting. Ini akan berarti bahwa kita, bagaimanapun, harus memiliki persepsi mental yang bersesuaian dengan kata “is” yang berlaku pada air di dalam gelas dan api di dalam kompor. Persoalan tersebut dijawab dengan pertanyaan berikut: “apakah persepsi bersama ini dan darimanakah ia asalnya?”

Filsafat eksistensial mengawali analisisnya dengan upaya untuk memahami persepsi mental ini dan sumber objektifnya serta memegang pendapat tersebut bahwa melalui suatu analisis terhadap konsep eksistensi dan temuan dan akal untuk perkembangannya dalam pikiran kita, jalan-jalan baru untuk meraih pengetahuan tentang watak hakiki dunia ini dibukakan untuk kita. Inilah mengapa filsafat ini memula kata-katanya dengan menanyakan, apakah eksistensi sama dalam kata atau makna?

Jawaban yang diberikan para filosof eksistensial atas pertanyaan ini didasarkan pada penyelidikan dan analisis cermat mereka, yaitu, bahwa wujud (existence) adalah sama dalam pengertian kata vokal. Dengan kata lain, istilah wujud dan semua sinonimnya dalam bahasa lain, merujuk pada persepsi, konsep, dan pengertian mental yang tunggal yakni bahwa persepsi esensial dan konkret yang dialami dalam setiap persentuhan dengan realitas. Ini membantu untuk menunjukkan kepada kita bahwa wujud itu sendiri merupakan realitas tunggal yang ada dalam api dan air. Karena, apabila wujud bukan fakta tunggal yang dimiliki api dan air secara umum, niscaya ia tidak akan memunculkan persepsi tunggal yang diderivasikan dari air dan api.

Mulla Shadra memiliki pendapat demikian bahwa tidak perlu bagi kita untuk melewati jalan panjang dan pelik ini untuk memahami universalitas dan keunikan realitas wujud. Cukuplah bagi setiap individu realistik (mystic) peka dan berwawasan untuk mempertimbangkan persepsi pertama yang ia miliki, dari dunia aktual; untuk mengetahui reali.tas wujud itu sendiri. Apa yang saksikan dalam persentuhannya dengan fakta tertentu adalah, pertama-tama, wujudnya fakta itu. Hanya setelah itu, menentukan kuiditas objek yang dibahas. Dan apa yang dimaksud dengan kuiditas di sini adalah esensi dan jumlah kualitas yang manusia pandang dalam objek partikular ini namun gagal menjumpai, entah semua ataupun sebagian, dalam objek-objek lain.

Noktah yang menarik di sini adalah bahwa dalam setiap konfrontasi dengan realitas aktual, pengetahuan manusia akan eksistensinya, aktualitas, dan realitas, sama-sama jelas dan pasti kecuali ia terjerat dalam tarikan sofistik, sementara penangkapan seseorang akan kuiditas suatu objek bisa melibatkan ketidakpastian. Misalnya, ketika Anda melihat sesuatu dari jarak beberapa kilometer, Anda tak meragukan keberadaannya dan penangkapan Anda akan realitasnya adalah jelas dan pasti. Akan tetapi, pengetahuan Anda akan kuiditasnya tetap tidak jelas, dan Anda harus menunggu objek tersebut sampai Anda lebih dekat dengannya atau melihatnya melalui teropong, sebelum mendapatkan persepsi akan kuiditasnya secara relatif.

Pengetahuan Kita akan Wujud Hanya Mungkin Melalui Pengetahuan Langsung (Ilm al-Hudhuri)

Ketika kita mendapatkan sebatang pohon secara kebetulan, kita menyaksikan keberadaannya. Selain persepsi ini, kita mencerap secara relatif jatidirinya. Bagaimanapun, pencerapan kita akan jatidiri pohon tersebut pasti selalu disertai dengan sebuah gambaran yang sempurna atau tanpurna (imperfect) dari pohon tersebut yang ditanamkan dalam pikiran kita. Gambaran ini memberitahu kita akan jatidiri pohon itu dan melambangkan pengetahuan kita dan pengetahuan orang lain akan hal itu. Hubungan gambaran mental ini dengan pohon yang dibicarakan seperti sebuah gambar yang diambil oleh kamera dan pohon aktual itu sendiri, atau antara pohon dan gambar pohon yang dilukis dengan secara hati-hati. Setiap kali gambaran mental ini muncul dalam pikiran Anda secara relatif ia akan memberitahu Anda akan jatidiri dari objek yang kepadanya ia dirujuk. Akan tetapi ia tidak bisa secara otomatis memberitahu Anda akan eksistensi dan aktualitasnya kecuali ia membangun kembali hubungan “pencerapan langsung” antara Anda dan pohon tersebut. Dan melalui hubungan ini Anda akan mengingat eksistensi pohon tersebut sebelumnya. Apabila hubungan ini tidak dibangun kembali dan ingatan akan pohon tersebut tidak dibangkitkan dalam pikiran kita, dengan sendirinya Anda akan meragukan eksistensi pohon itu sendiri dan akan bertanya: “Apakah pohon ini ada?”

Kita bisa menyimpulkan dari hal ini bahwa gambar itu tidak secara otomatis menunjukkan eksistensi objek tersebut. la diduga melambangkan dan pengetahuan kita akan objek-objek tersebut hanya jika diperoleh melalui pencerapan. dan pengetahuan langsung.

Kini setelah butir-butir tersebut dijelaskan, mari kita kembali kepada masalah yang diajukan oleh Shadr al-Muta’allihin. la menyebutkan, hal pertama yang kita cerap adalah wujud (existence) itu sendiri, berdasarkan syarat bahwa kita tidak mencampuradukkan pikiran kita dengan perselisihan pseudo-filosofis.

Merenungkan pengetahuan wujud kita yang diperoleh melalui pencerapan langsung, secara mudah kita bisa menemukan fakta bahwa nirwujud (non-being) tidak pernah memasuki esensi wujud. Dengan kata lain, eksistensi senantiasa dan tidak akan pernah bisa menjadi non-eksistensi. Inilah mengapa wujud senantiasa merupakan wujud wajib (Necessary Existence) (karena nirwujud tidak pernah bisa berperan serta).

Butir lain yang disampaikan di sini, dan itu ada dalam persentuhan pertama kita dengan realitas, adalah apa yang kita lihat sebagai “wujud wajib” dan penangkapan kita akan “wujud mungkin” (contingent) diperoleh hanya muncul setelah kita menyaksikan eksistensi segala sesuatu yang, berkat kebajikan wujud, muncul dari ketiadaan (nothingness) dan menjaga bentuk-bentuk yang akrab yang disebut segala sesuatu: segala sesuatu yang merupakan tanda-tanda, manifestasi-manifestasi dan pantulan wujud. Dan apabila wujud ini tidak ada, segala sesuatu ini akan menjadi sia-sia dan tak-substantif (insubstansial). Diskusi yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa dalam metode pencarian Shadr al-Muta’allihin akan sebab original, tidak perlu untuk membenamkan diri kita sendiri pada konsep wujud atau bersandar pada ketidakabsahan daur atau tasalsul.

Setelah suatu diskusi ekstensif ihwal wujud mungkin dan hubungannya dengan wujud wajib dan setelah menjawab semua pertanyaan dan masalah yang dimunculkan dalam hal ini, Shadr al-Muta’allihin berkata:

...Oleh karena itu, eksistensi Wujud Wajib terbukti melalui argumen ini, sebagaimana keunikannya juga terbukti. Karena eksistensi merupakan sebuah realitas dalam esensi yang tidak menyisakan ruang kekurangan ataupun kelemahan. Watak nirwatas (limitless) dan mutlak wujud tidak meminjamkan dirinya sendiri kepada dualitas ataupun pluralitas. Lagi pula, melalui argumen yang sama, pengetahuan eksistensi kepada dirinya sendiri dan kehidupannya berikut apapun yang ada di baliknya adalah mungkin, karena pengetahuan dan kehidupan sinonim dengan eksistensi. Selain hal-hal tersebut, kekuasaan dan Kehendak Wujud Wajib juga terbukti karena dua hal ini merupakan syarat kehidupan dan pengetahuan. Swawujud-Nya (self existence) membuktikan bahwasanya suatu wujud yang ada dalam keadaan ultimat dan sempurna pastilah sumber semua wujud yang ada di bawahnya. Dengan demikian, Wujud Wajib tidak lain adalah Tuhan, Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Berkehendak, Mahahidup, Maha Menciptakan, Maha Berilmu, dan Mahakuasa. Dan karena semua tingkatan yang lebih rendah dari eksistensi dengan sendirinya mengikuti Wujud Wajib sesuai dengan level martabat dan kekuatan mereka, maka fakta bahwa Dia adalah Pencipta, Tuhan, dan Pemilik adalah terbukti.

Kesimpulan yang bisa ditarik adalah bahwa metode yang telah kami tuntut lebih kuat, lebih sederhana, dan lebih baik ketimbang metode lain yang digunakan untuk menyelidiki sebab pertama. Siapa saja yang mengikuti metode ini untuk memperoleh pengetahuan Tuhan, Zat, Sifat, dan Perbuatan-Nya tidak perlu bersandar kepada segala sesuatu selain Allah, atau ketakabsahan daur dan tasalsul untuk membuktikan eksistensi-Nya. Ia bisa mengenal Tuhan dan keunikan-Nya melalui wujud- Nya sendiri:Allah sendiri menyaksikan tiada tuhan selain Dia... (QS Ali Imran: 18), dan mendapatkan pengetahuan segala sesuatu yang lainnya dalam pola ini:Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya menyaksikan segala sesuatu (QS Fushshilat: 53)

Metode ini mencakupi ahli kesempurnaan (the people of perfection) dalam penyelidikan mereka akan Kebenaran, Sifat-sifat, dan perbuatannya. Tetapi karena setiap orang tidak punya kemampuan untuk menarik banyak kesimpulan dari satu prinsip tunggal, kita tidak punya pilihan selain mengajukan metode lain untuk membimbing para pencari kepada pengetahuan kebenaran, meski metode ini boleh jadi tidak memiliki kekuatan dan efisiensi dari metode pertama dalam mengarahkan para pencari Tuhan.[57]

Apakah Burhan Shiddiqin adalah Argumen yang Benar?

Dari apa yang telah kami katakan sampai noktah ini jelaslah sudah bahwa argumen shiddiqin telah diajukan dalam dua cara yang berbeda. Pertama, cara yang diajukan oleh Ibn Sina, Nashir al-Din ath-Thusi, dan ahli pikir lainnya, sementara cara kedua diusung oleh Mulla Shadra. Dalam komentarnya atas Isyârât Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi menyebut versi argumen shiddiqin Ibn Sina sebagai burhan inni (a priori argument).

Burhan Inni (Argumen A Priori) dan Burhan Limmi (Argumen A Posteriori)

Meski istilah “argumen a priori” dikenal oleh semua mereka yang akrab dengan filsafat, perlu kiranya untuk menjelaskannya di sini sehingga kita bisa menjelaskan diskusi kita dengan kejelasan yang memadai.

Dalam penalaran a priori, sebagai lawan penalaran a posteriori, pertama-tama kita mencerap eksistensi sebab dan pencerapan ini mengantarkan kita untuk mengafirmasi eksistensi akibat. Karena apabila sebab ditemukan ada, eksistensi akibat dengan sendirinya mengikuti. Dalam penalaran a posteriori, masalahnya adalah sebaliknya. Di sini kita mencerap eksistensi akibat awalnya dan kemudian mengafirmasi eksistensi sebab, karena tidak ada akibat tanpa kehadiran sebab. Mari kita kutip sebuah contoh.

Kita melihat langit dan menyaksikan bahwa awan gelap bergerak di kejauhan. Selanjutnya kita katakan bahwa pasti ada hujan di daerah sana. Apa yang menjadikan kita mengenal eksistensi awan di langit dalam jarak tersebut adalah pandangan langsung indrawi kita atasnya. Lagipula, karena kita mengetahui hubungan sebab akibat antara jenis awan dan hujan ini, kita menyimpulkan dua pencerapan ini dan menghasilkan penangkapan ketiga yakni ada hujan di sana. Dengan demikian, inilah apa yang kami maksudkan dengan argumen a priori. Yakni, penangkapan eksistensi akibat melalui penangkapan eksistensi sebab.

Sekarang kita lihat kasus lain. Katakanlah ini terjadi di malam yang dingin di musim dingin. Kita tengah duduk di sebuah ruangan, ditutupi semua pintu dan jendela, dan diselubungi tirai-tirai. Tiba-tiba, kita mendengar tetesan air yang mencurahi atap rumah. Sesaat kita saksikan hujan pun turun. Kita juga tahu bahwa awan mendung tengah melintasi rumah kita. Ini merupakan satu contoh argumen a posteriori. Yakni, mengenal eksistensi sebab melalui penangkapan eksistensi akibat.

Sejauh pengetahuan kita akan sumber orisinal diperhatikan, jika kita kemudian mendapatkan pengetahuan akan eksistensinya pertama-tama dengan menangkap makhluknya dan menyusul penangkapan ini, membayangkan sebuah gagasan bahwa makhluk-makhluk ini mesti mempunyai pencipta yang mempunyai sifat demikian dan demikian. Proses kognitif ini, yang bergerak dari pengetahuan akibat ke afirmasi eksistensi sebab, merupakan bentuk penyimpulan logis. Dan ini, tentu saja, merupakan penalaran a posteriori. Di sisi lain, apabila kita pertama-tama mengenal Allah dan Sifat-sifat-Nya melalui pengetahuan langsung, kita menyimpulkan dari pengetahuan semacam itu bahwa Tuhan yang memiliki sifat-sifat tersebut pasti memiliki ciptaan-ciptaan demikian dan demikian, meski kita tidak punya pengetahuan langsung bahwa makhluk-makhluk tersebut sesungguhnya benar-benar ada, maka kita telah menangkap eksistensi mereka melalui pengetahuan eksistensi sebab. Ini pun merupakan sebentuk penyimpulan logis, yakni penalaran a priori.

Nashir al-Din al-Thusi mengatakan bahwa jalan yang ditempuh oleh Ibn Sina menyangkut pengetahuan “yang asli” (origin) dalam ‘Isyârat, yakni argurnen shiddiqin, sebenarnya merupakan penalaran a priori. Allamah Hilli, dalarn Kasyf al-Murâd fi Syarh al-Tajrîd al-I’tiqâd,[58] juga telah mengatakan bahwa “argumen shiddiqin” Ibn Sina merupakan penalaran a priori.

Akan tetapi, Shadr al-Muta’allihin sama sekali tidak menganggap argumen shiddiqin sebagai sebuah argumen dan oleh sebab itu tidak mendiskusikan persoalan bentuknya, entah a priori atau a posteriori.

Dalarn Asfar-nya, setelah menyebutkan sejumlah contoh argumen filosofis yang mengajukan bukti keberadaan Tuhan, ia mengatakan:

Sebagaimana telah dikatakan menyangkut bukti eksistensi Wujud Wajib, tidak ada argumen yang sesungguhnya bisa disebut argumen. Dan apapun yang dinyatakan sebagai sebuah pembuktian tidak terkait secara langsung untuk membuktikan eksistensi Wujud Wajib. Berkenaan dengan pembuktian eksistensi Tuhan, ada satu argumen [59] yang mirip dengan argumen a posteriori.

Pada catalan kaki tentang bagian di atas dari Asfar, Allamnah Thabathaba’i berkata:

...dan bersama ini butir yang secara jelas ditunjukkan kepada pemahaman bahwa eksistensi Wujud Wajib merupakan prinsip penting dan tak tertolak; dan argurnen yang diajukan untuk membuktikan eksistensi Wujud. Wajib (Necessary Being)

sesungguhnya merupakan sejenis pengingat (dan bukan bukti)...[60]

Bagaimanapun juga kita percaya tentang pengujian yang cermat akan “argumen shiddiqin”, sekalipun versi Shadr al-Muta’allihin menunjukkan bahwa rumusan ini bukan argumen sepenuhnya ataupun seutuhnya bukan suatu argumen. Karena sesungguhnya masalahnya adalah bahwa “argumen shiddiqin” memiliki tiga aspek yang masing-masing aspek harus dibahas secara independen. Inilah tiga aspek berikut:

A. Pengetahuan akan eksistensi sumber (Tuhan) melalui pemahaman lebih baik akan “wujud”.

B. Pengetahuan akan eksistensi sumber (Tuhan) melalui pemahaman sempurna akan “wujud”.

C. Pengetahuan akan tanda-tanda dan akibat-akibat dari Sumber melalui pengetahuan ekstensif akan eksistensi.

Sejauh aspek pertamna dan kedua ini diperhatikan, tugas intelektual kita adalah mendapatkan pengetahuan wujud yang lebih jeluk (deeper) tanpa mencoba membuktikan eksistensi sesuatu melalui pencerapan eksistensi sesuatu yang lain.

Akan tetapi menyangkut aspek ketiga, tugas intelektual kita adalah menemukan akibat pertama-Nya; yakni (emanasi pertama) melalui pengetahuan yang akurat dan luas akan sumber (Tuhan), sehingga menangkap realitas objektif. Selanjutnya dengan memperluas jangkauan metode ini pada akibat-akibat dan tindakan-tindakan lainnya kita bisa mengetahui mereka satu demi satu. Sesungguhnya, kita melibatkan sebuah argumen dalam bagian ini yang sama-sama disebut argumen a priori, karena kita menangkap eksistensi sebuah akibat dan turunan- turunannya melalui pengetahuan komprehensif akan sebabnya.

Oleh sebab itu, argumen shiddiqin Shadr al-Muta’allihin sebanyak mungkin terkait dengan pengetahuan akan eksistensi sumber (sebab pertama) dan sifat- sifat-Nya. Ia dikembangkan dari sebuah pengetahuan akan objek yang telah kita ketahui, yakni konsep eksistensi meskipun ia tidak bisa disebut sebuah argumen. Namun bagian yang menyangkut pengetahuan akan sumber dan sifat-sifat serta perbuatan-perbuatan-Nya –yakni bukti keberadaan intelek dan jiwa universal dalam arti filosofis serta rahmat suci dan paling suci dalam pengertian mistis– tak pelak lagi merupakan suatu argumen yang melaluinya kita menangkap eksistensi akibat melalui pengetahuan akhir akan sebab. Dengan demikian, argumen ini disebut argumen a priori (burhân limmî).

Bukti Eksistensi Tuhan yang Lebih Dekat dengan Pendekatan al-Quran

Dalam karya-karya teologis dan mistis, para sarjana Muslim secara relatif tertarik untuk mengenalkan pandangan umum para filosof dan gagasan-gagasan filsafat mereka pada topik-topik tertentu yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran al-Quran. Seolah-olah mereka ingin meningkatkan kredibilitas pandangan-pandangan mereka atau setidaknya menyelamatkannya dari lawan karena pandangan- pandangan yang anti-agama.

Akan tetapi, jenis pembenaran dan pengakuan tersebut tidak sesuai dengan pengertian umum dari ayat-ayat al-Quran. Yaitu, dalam banyak hal ia hanya merupakan interpretasi mereka sendiri. Di antara pelbagai argumen ihwal eksistensi Tuhan sebagaimana disebutkan di atas, argumen Aristoteles dan para pemikir lain yang mendukungnya sesuai dengan ajaran-ajaran al-Quran. Pasalnya, argumen ini didasarkan pada ketergantungan yang membutuhkan (the needy) pada yang mandiri (independent), entah gerakan kepada penggerak, akibat kepada sebab, objek kepada Pencipta objek, dan kontingensi kepada kemestian.

Apabila penggunaan istilah argumen itu benar dari sudut pandang originologi, ia harus disebut argurnen a posteriori (burhân inni). Bagaimana halnya dengan metode Mulla Shadra? Haruskah kita menyebut eskatologi filosof ini sama seperti pendekatan al-Quran? Shadr al-Muta’allihin mendukung argumennya dengan mengutip beberapa ayat berikut dari al-Quran:

Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang memelihara penciptaan-Nya dengan keadilan. Demikian pula para malaikat dan mereka yang memiliki pengetahuan (memberi kesaksian demikian). Tiada tuhan selain Dia Yang Mahakuasa Mahabijaksana (QS Ali Imran: 18)

Menurut Mulla Shadra, kesaksian Allah akan keunikan-Nya merupakan bukti lain dari lambang “eksistensi” tentang keunikan dan kemestian swamaujud (self-existent). Ini merupakan hal yang sama di mana Shadr al-Muta’allihin memasukkannya dalam argumen shiddîqîn-nya (burhân shiddîqîn) .

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar: Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS An-Nûr: 35)

Dengan demikian, Allah menerangi dunia ini. Eksistensi cahaya-Nya amatlah jelas dan bisa dirasakan dan segala sesuatu pun harus bisa diketahui dalam sorotan cahaya yang menerangi itu.[61] Rumi berkata:

Matahari yang tampak

Bukti dari mentari yang sama

Jika engkau mencari bukti

Janganlah engkau memalingkan wajahmu darinya

Bagaimana kita menangkap keberadaan Tuhan? Jawabannya adalah bahwa kita melihat-Nya secara objektif dan kemudian menangkap-Nya. Bahkan kita menyaksikan dan menangkap maujud-maujud lain dalam cahaya matahari.

Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu (QS FushshiIat: 53)

Ibn Sina, Nashir al-Din Thusi, Allamah Hilli, Shadr al-Muta’allihin dan para pemikir serupa lainnya, percaya bahwa: bagian terakhir ayat ini menyangkut pengetahuan sumber (sebab pertama) adalah mungkin melalui konsentrasi terhadap konsep eksistensi yakni argumen shiddîqîn yang sama sebagaimana yang telah kami diskusikan sebelumnya.

Di antara ayat-ayat al-Quran, ayat Nur (QS an-Nur: 35), sampai tingkat tertentu, relevan dengan argumen ini. Sudah tentu, ini tersedia untuk memberikan wawasan mendalam ke dalam ayat ini guna memahami dan menggunakannya sebagai burhan shiddîqîn.

Dalam ayat 18 surah Ali Imran disebutkan, “Allah menyaksikan bahwa tidak ada tuhan (yang pantas disembah) selain Dia.” Ada masalah kesaksian [62] Tuhan tentang keunikan-Nya sehingga ia perlu mengingat beberapa pengertian untuknya. Pengertian ini mungkin sama sebagaimana yang terdapat argumen shiddîqîn:

Dan jikalau Kami jadikan al-Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan:“Mengapa tidak dijelaskan ayat- ayatnya?...” (QS Fushshilat: 44)

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Taurat lalu diperselisihkan tentang Taurat itu. Kalau tidak ada keputusan yang telah terdahulu dari Tuhanmu, tentulah orang-orang kafir itu sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya mereka terhadap al-Quran benar-benar dalam keragu-raguan yang membingungkan. (QS Fushshilat: 45)

Katakanlah: “Bagaimana pendapatmu jika (al-Quran) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya. Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh?”. (QS Fushshilat: 52)

Kami akan menunjukkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (al-Quran) itu adalah benar (QS Fushshilat: 53)

Menyangkut rangkaian ayat tersebut, persoalan ini bisa mengemuka tentang apakah kata ganti “ia” dalam kalimat “itu adalah benar” yang dirujuk kepada al-Quran adalah Tuhan ataukah sesuatu yang lain. Sebagaimana dikutip dari Qatadah dan para mufasir lainnya dalam hal ini, dengan demikian, ayat ini terkait dengan kebenaran al-Quran, dan bukan Tuhan. Oleh sebab itu, ayat tersebut terkait dengan isu lain dari ajaran Islam, bukan metode tentang pengetahuan sumber.

Kesimpulan

Mengenai diskusi di atas, kita akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan berikut:

1. Isu tentang bukti keberadaan Tuhan diajukan dalam al-Quran dalam suatu pola yang sederhana;

2. Pada saat yang sama, al-Quran tidak mengabaikan keraguan atas eksistensi Tuhan;

3. Dengan demikian, ia hanya terbatas kepada sejumlah persoalan yang membangkitkan sehingga membebaskan manusia dari keraguan tentang eksistensi Tuhan;

4. Dalam sorotan keterjagaan dan kewaspadaan semacam itu, manusia bisa menangkap eksistensi Tuhan melalui pemusatan pikiran terhadap ketergantungan semua maujud kepada Tuhan;

5. Dalam proses perjalanan (mistis), manusia bisa bersandar pada persepsinya (alamiah) yang paling sederhana dan tidak perlu melibatkan dirinya sendiri pada argumen-argumen teknis;

6. Jalan al-Quran ini menyangkut konsep Tuhan secara relatif sesuai dengan sikap banyak ulama terhadap dunia baik secara langsung (melalui penafsiran) maupun tidak langsung;

7. Sejumlah ayat al-Quran yang terpampang dalam buku-buku filosofis dan mistis, menyangkut bukti eksistensi Tuhan tidak relevan dengan diskusi teologis seperti ayat 53 surah Fushshilat ataupun tidak terkait dengan isu-isu lain.

Setelah Bukti Keberadaan Tuhan

Sekarang, di akhir pembahasan ini, persoalan yang muncul adalah apakah manusia, menyangkut konsep “Sumber” (mabda’), hanya bisa mengetahui eksistensi Tuhan yakni mengakui bahwa adanya pencipta dunia ini ataukah ia bisa melampaui tahapan ini dan memperoleh sebuah ide yang jelas tentang Tuhan? Isu ini telah didiskusikan secara mendetail dalam filsafat dan teologi Islam (kalâm) dan kita akan mendiskusikan lebih jauh dalam pasal-pasal lain di buku ini.

Apa yang bisa dikatakan tentang sudut pandang al-Quran adalah bahwa manusia diminta untuk memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang Tuhan dan isu utama dalam pengetahuan komprehensif ini merupakan isu keesaan Tuhan (tauhîd) dan keunikan-Nya yang disandarkan kepada al-Quran.

Daftar Isi :

TUHAN MENURUT AL-QURAN 1

Behesthi, Sayyid Muhammad Husayni 1

Penerjemah : Arif Mulyadi 1

Penerbit : Al- Huda 1

PRAWACANA 2

Sebuah Pendekatan Baru yang Objektif 2

Sebuah Langkah dalam Arahan Ini 4

Catatan Penerjemah Bahasa Persia 5

BAB I: Dari Sains Alam ke Metafisika 6

Langkah Pertama pada Jalan Pengetahuan 6

Pengetahuan Ilmiah tentang Alam 7

Pengetahuan “Bentuk dan Angka” 7

Pengetahuan Prinsip-prinsip Alam 8

Metafisika 9

BAB II: Isu-isu Metafisika 12

Metafisika Aristoteles 12

Originologi (Penyelidikan atas Sumber Ultimat Segala Sesuatu) Problem Pokok Metafisika 15

Apakah Eskatologi Merupakan Iso Metafisika? 15

BAB III: ORIGINOLOGI 17

Pembuktian Eksistensi Tuhan 17

Bukti Eksistensi Tuhan dalam al-Quran 18

Adakah Keragu-raguan Terhadap Eksistensi Tuhan? 20

Apakah Pengetahuan tentang Eksistensi Tuhan Sesuatu yang Fitrah? 28

Perjanjian antara Manusia dan Allah (Alam Pra-eksistensi) 30

Gambaran Ihwal Perjanjian Ini 31

Pandangan Lain tentang Alam Pra-Eksistensi (Alam-e-Zar) 33

Renjana Manusia Mencari Definisi Tuhan Lain Bagi Watak Manusia 35

Pengetahuan Tuhan Berdasarkan Intuisi Jelas dan Sederhana 37

Bukti-bukti Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Aristoteles 40

Bukti Eksistensi Tuhan dalam Filsafat Ibn Sina 42

Bukti Eksistensi dalam Filsafat Mulla Shadra 48

Maujud dan Konsep Wujud 51

Pengetahuan Kita akan Wujud Hanya Mungkin Melalui Pengetahuan Langsung (Ilm al-Hudhuri) 61

Apakah Burhan Shiddiqin adalah Argumen yang Benar? 64

Burhan Inni (Argumen A Priori) dan Burhan Limmi (Argumen A Posteriori) 64

Bukti Eksistensi Tuhan yang Lebih Dekat dengan Pendekatan al-Quran 69

Kesimpulan 74

Setelah Bukti Keberadaan Tuhan 75