Tuhan Menurut Al-Quran bagian2

Tuhan Menurut Al-Quran bagian20%

Tuhan Menurut Al-Quran bagian2 pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Ushuludin

Tuhan Menurut Al-Quran bagian2

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: AS-SHAHID SAYYID MUHAMMAD HUSAYNI BEHESTI
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 2462
Download: 1452

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 6 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2462 / Download: 1452
Ukuran Ukuran Ukuran
Tuhan Menurut Al-Quran bagian2

Tuhan Menurut Al-Quran bagian2

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

TUHAN MENURUT AL-QURAN

Behesthi, Sayyid Muhammad Husayni

Penerjemah : Arif Mulyadi

Penerbit : Al- Huda

PRAWACANA

TEMA metafisika merupakan bagian pengetahuan yang paling penting dalam al-Quran. Kekayaan wahyu ilahi ini bisa diakses oleh para pencari kebenaran.

Sejatinya, ajaran metafisika al-Quran merupakan dasar untuk memahami Islam. Dengan demikian, mengkaji tema-tema tersebut merupakan hal penting guna pemahaman Islam yang benar. Karena alasan inilah, selama empat belas abad silam sejarah Islam, sebagian dari sarjana Muslim yang paling masyhur telah mencurahkan diri mereka untuk penelitian lema itu dan mengkaji ajaran-ajaran tersebut. Berkat usaha mereka, telah banyak buku berharga yang diwariskan kepada generasi penerus yang membahas tema-tema metafisika.

Sayangnya, tidak semua kajian tersebut yang telah dibuat dan buku-buku yang telah ditulis sepenuhnya bebas dari prasangka dan prakonsepsi pribadi dalam satu atau lain cara. Kadang, kita menemukan karya-karya dari sejumlah ulama terhormat dan besar yang telah berkarya di bidang ini terpengaruh oleh prasangka dan kepicikan pikiran mereka. Tentu saja, ini mengurangi keabsahan karya-karya mereka dan melemahkan watak “suci dan

pencarian kebenaran” yang seharusnya menjadi jaminan dari semua upaya ilmiah yang sesungguhnya.

Sebuah Pendekatan Baru yang Objektif

Mereka semua yang menginsyafi kekurangan-kekurangan itu dalam karya-karya tertulis, yang sampai sekarang memperhatikan ajaran-ajaran al-Quran, merasakan kebutuhan untuk memahami ajaran-ajaran Islam, sebagaimana yang dilukiskan oleh al-Quran dan sunnah dalam sebuah metode baru sepenuhnya, yakni: ilmiah, objektif seutuhnya, juga bebas dari prasangka.

Sesungguhnya untuk melakukan kajian ilmiah, objektif, dan bebas prasangka di bidang sains-sains ilmiah secara relatif merupakan tugas ringan. Di masa lalu, penelitian bebas di bidang-bidang ini mengalami kemunduran penting, tapi kini menikmati atmosfer yang menggembirakan dan telah melewati masa krisis. Sekarang, faktanya adalah bahwa seorang peneliti yang berusaha melakukan sebuah kajian objektif dan investigatif atas masalah-masalah tersebut mungkin menghadapi pertanyaan berikut: Mungkinkah, dalam kajian-kajian keagamaan, menggunakan penelitian seutuhnya, dan metode objektif sepenuhnya bebas dari pendapat subjektif dan prasangka pribadi? Prasyarat utama dari sebuah penelitian objektif adalah bahwa seorang peneliti mesti bebas dari segala jenis prasangka entah tuntutan pribadi, sosial, ataupun politis, atau tuntutan jenis lainnya yang bisa mempengaruhi pemahamannya atas masalah ini. Persoalannya adalah: apakah kebebasan semacam itu secara praktis dimungkinkan dalam bidang agama? Jika seorang peneliti menganut agama tertentu, tidakkah ia secara tak terelakkan menunjukkan keabsahan bahwa agama akan menyerangnya secara lebih kuat ketimbang bukti yang menentangnya? Apa solusi untuk masalah ini? Haruskah kita mempercayakan tugas penyelidikan dari aktivitas semacam ini kepada mereka yang tidak percaya terhadap agama manapun?

Pendekatan semacam itu bisa membuahkan hasil yang berlimpah menyangkut isu-isu minor tertentu, namun ia tidak berhasil menyangkut isu-isu utama agama khususnya, pertanyaan inti dari sebuah agama.

Tidak loyal kepada dua sisi bisa menyebabkan kecenderungan otomatis terhadap posisi lain. Seseorang akan cenderung terhadap sebuah posisi jika tidak percaya akan eksistensi Tuhan, kebenaran wahyu, dan misi para nabi, khususnya misi Nabi Muhammad saw.

Menurut kami, dalam masalah kajian keagamaan, jika ada harapan, itu pasti ada pada orang-orang tersebut yang tidak dipengaruhi oleh kecenderungan. Hanya jenis orang-orang ini yang condong untuk belajar dan siap untuk mengubah pandangan-pandangan mereka, sekiranya mereka dihadapkan pada keterangan yang membuktikan bahwa kebenaran merupakan sesuatu selain dari apa yang mereka percayai sampai sekarang. Orang-orang semacam itu percaya bahwa keyakinan menjeluk cdan tak tergoyahkan merupakan sesuatu yang satu-satunya keyakinan yang didasarkan pada keterangan yang jelas dan tak bisa ditolak. Orang-orang semacam itu selalu bersandar pada penalaran, dan siap untuk melayani perubahan apapun, selama mereka memegang secara kuat pandangan-pandangan yang ditunjang oleh bukti dan akal.

Sebuah Langkah dalam Arahan Ini

Buku ini, yang disajikan kepada para pencari kebenaran, ditujukan sebagai suatu langkah menuju pencarian objektif terhadap isu-isu metafisika dalam al-Quran. Penulis tidak mengklaim bahwa langkah ini merupakan langkah yang sempura, bebas dari kekurangan atau kelemahan. Ia percaya bahwa suatu penyelidikan atas topik ini mesti ditunaikan di lingkungan Islam. Sesungguhnya, penulis bersyukur kepada Allah Swt dan menganggapnya sebuah sukses besar jika ikhtiarnya terbukti menjadi langkah baru terhadap sebuah pemahaman atas ajaran hakiki al-Quran dan membuka sebuah temuan baru kepada realisasi ideal ini.

Saya harap bahwa ketika melangkah di atas jalan kajian metafisis, sebuah jalan yang bergelombang kita semua akan dirahmati dengan petunjuk Allah dan dilindungi dari setiap penyimpangan.

Sayyid Muhammad Husaini Behesyti

Teheran

27 Syahriwar 1352

20 Sya'ban 1393

Catatan Penerjemah Bahasa Persia

BUKU ini merupakan sebuah kajian metafisika, yang membahas pelbagai argumen filosofis ihwal keberadaan Tuhan dengan rujukan khusus kepada konsep Tuhan dalam al-Quran. Pengarang percaya bahwa ajaran metafisika al-Quran merupakan bagian pengetahuan yang terpenting.

Studi ini didasarkan pada sumber-sumber orisinal. Penulis mengutip pelbagai teks untuk mempermudah pembaca membandingkan pandangan-pandangan yang berbeda. Buku ini dibagi dalam lima bab di luar kata pengantar. Setelah menjelaskan tujuan utama risalahnya, Ayatullah Behesyti memulai diskusi mengenai istilah-istilah dan isu-isu metafisika dengan rujukan kepada berbagai argumen filosofis tentang eksistensi Tuhan. Selanjutnya ia menguraikan doktrin monoteisme (tauhid) dalam al-Quran. Ia membahas isu nama dan sifat Tuhan dalam al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya.

Dalam menerjemahkan buku ini, saya amat berutang budi kepada Prof. Wahid Akhtar; Ketua Jurusan Filsafat Universitas Muslim Aligarh yang mendorong saya untuk melakukan proyek terjemahan ini. Terima kasih juga kepada Tn. Syahyar Sadat yang menerjemahkan satu bab dan buku ini; kepada Dr. ‘Ali Atsar atas saran-sarannya yang berharga untuk terjemahan buku ini yang lebih baik. Saya pun berutang budi kepada Penerbit IPO (International Publishing Co.), yang menerbitkan buku otoritatif ini yang mengandung pemikiran-pemikiran yang menggairahkan.

‘Ali Naqi Baqirsyahi

BAB IV: TAUHID (MONOTHEISME)

Keesaan Tuhan

Teologi dalam al-Quran, lebih dari segalanya, bersandar pada keesaan Tuhan. Slogan utamanya adalah la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah). Pernyataan ini telah diulang-ulang dalam al-Quran lebih dari 60 kali dengan kata-kata yang berbeda. Bahkan dalam ayat pendek berikut, pernyataan ini diulang sebanyak dua kali:

Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang memelihara penciptaan-Nya dengan keadilan. Demikian pula para malaikat dan mereka yang memiliki pengetahuan (memberi kesaksian demikian). Tiada tuhan selain Dia Yang Mahakuasa Mahabijaksana (QS Ali Imran: 18)

Dibawah ini ayat-ayat yang mengandung pernyataan ini namun dalam frase-frase lain:

Tiada tuhan selain Allah (QS ash-Shaffat: 35)

Tiada tuhan selain Dia (QS al-Baqarah: 163)

Tiada tuhan selain Engkau (QS al-Anbiyâ’: 87)

Tiada tuhan selain Aku (QS an-Nahl: 2)

Tiada tuhan selain Allah (QS Ali ‘lmrân: 61).

Tiada tuhan selain Tuhan yang satu (QS al-Maidah: 73).

Tiada tuhan bagimu selain-Nya (QS al-A’râf: 65).

Dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya (QS al-Mu’minûn: 91).

Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Mahasatu (QS an-Nisâ’: 171).

Sesungguhnya Tuhan kalian Tuhan yang satu (QS al-Kahfi: 110).

Sesungguhnya Tuhan kalian hanyalah Allah (QS Thâhâ: 98).

Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Satu (QS al-An’âm: 19).

Tuhan kalian Tuhan yang Satu (QS al-Baqarah: 163).

Sesungguhnya Tuhan kalian Tuhan yang Satu (QS ash-Shaffat: 4).

Dialah Allah yang Satu (QS al-Ikhlash: 1).

Allah

Ada dua istilah dalarn bahasa Arab untuk Tuhan yang keduanya satu sama lain saling dekat dalam pengertiannya. Namun, pada saat yang sama, keduanya berbeda. Yang satu adalah ilâh dan satunya lagi, Allâh. Ilâh secara tatabahasa merupakan kata benda umum dan dalam bahasa Persia disebut khudâ. Adapun bentuk jamaknya adalah khudâyân. Dalam bahasa Arab, bentuk plural dari ilâh, yakni ilâhah, juga digunakan.

Tapi Allâh merupakan kata benda yang tepat dan pengungkapannya dalarn bahasa Persia adalah Khudâ, khudâwând, yazdân, dan ‘Izad.[1]

Dengan demikian, Khudâ dalam bahasa Persia digunakan dalam dua pengertian baik berupa kata benda umum maupun kata benda khusus. Sementara kata benda umum dijamakkan, yang keduanya tidak.

Dalam bahasa Inggris, istilah untuk khudâ adalah Tuhan. Ia sama dengan istilah Persia dengan perbedaan bahwa Tuhan dalam bahasa Inggris ditulis dengan dua cara: tuhan (god) dan Tuhan (God). Yang pertama dengan ‘t’ kecil yang sinonim dengan ilâh dalam bahasa Arab dan khudâ dalam bahasa Persia. Ia merupakan kata benda umum. Kata yang ditulis dengan huruf kapital T digunakan sebagai kata benda tertentu (proper noun) dalam arti istilah All-âh dalam bahasa Arab dan istilah Khudâ dalam bahasa Persia. Kata benda dalam arti Allah disimpulkan dari literatur dan kesusastraan Arab pra-Islam, dan direkam dalam sejarah dan al-Quran itu sendiri. Bangsa Arab mengakui Tuhan yang menciptakan dunia dan menyebut-Nya Allâh. Dengan demikian, Allah merupakan nama khusus dari pencipta alam semesta sebagai Allât, Alâzzi, Manât, dan Yaqus.

Besar kemungkinan kata benda ini (proper name) untuk pencipta alam semesta digunakan sebagai hasil dari perujukan mereka kepada pencipta sebagai al-ilâh yang bermakna “tuhan” dengan imbuhan al di depan kata ilâh. Imbuhan al kedudukannya sarna dengan the dalam the god. Secara perlahan, seiring dengan berlalunya waktu, ia diterima sebagai rujukan kepada pencipta dunia. Dengan waktu yang kian merambat, huruf hamzah dari ilâh antara al dan ilâh dihapus dan kata Allâh menjadi istilah baru dan nama tertentu bagi pencipta alam semesta.[2]

‘Ala kulli hal, kami akan menyamakan baik Allâh ataupun ilâh sebagai khudâ dalam terjemahan bahasa Parsi dari ayat-ayat al-Quran dan pasase-pasase bahasa Arab. Kami harap pembaca tidak kebingungan dalam memahami apa yang kami maksudkan dengan istilah ini.

Tauhid

Istilah “keesaan Allah” (tawhîd) berarti keyakinan akan realitas tunggal. Dalam konteks teologi, ia merujuk kepada keesaan Tuhan, sumber wujud, dan mempunyai keyakinan akan keunikan-Nya dalam semua hal yakni dari pandangan Zat, Kreativitas, Kedaulatan, dan Pengaturan-Nya akan alam semesta di satu sisi, dan di sisi lain, dari sudut pandang penghambaan dan ibadah atau doa dan seterusnya (di sisi manusia).

Tauhid dalam al-Quran

Sebagian besar ayat-ayat monoteistik al-Quran bersandar pada “tauhid dalam perintah dan petunjuk” dan “tauhid dalam ibadah dan ketaatan” kepada satu Tuhan. Di tempat pertama al-Quran memusatkan perhatian manusia kepada keesaan Sang Pencipta dan Pemberi rezeki. Setelah menjelaskan butir ini bahwa penciptaan dan pengaturan alam semesta merupakan tugas Tuhan dan kedaulatan atas alam semesta hanya milik-Nya, ia menyatakan bahwa doa dan ibadah hanyalah ditujukan kepada Tuhan.

Tauhid dalam Penciptaan dan Perintah[3]

Ayat pertama al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi adalah tentang tauhid yang memulai dengan rujukan kepada “penciptaan dan perintah”-Nya.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS al-‘Alaq [96]: 1-5).

Menurut al-Quran, sebagian besar musyrikin Arab percaya akan “tauhid dalam penciptaan dan perintah” atau setidaknya mereka siap menerima keyakinan ini.

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS al-Ankabût [29]: 61)

Dalam al-Quran surah Luqman [31]: 10-11 dan surah al-A’lâ [87] terdapat makna yang sama dengan ayat di atas. Padahal saat itu sebagian orang tidak memahami tauhid dalam penciptaan dan perintah. Al-Quran meminta mereka untuk menunjukkan, apabila ada tuhan-tuhan lain yang bertanggungjawab pada penciptaan dan pengaturan dunia.

Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu dan mengembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan(mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS Luqman [31]: 10-11)

Katakanlah: “Terangkanlah kepada-Ku tentang sekutu- sekutumu yang kamu seru selain Allah. Perlihatkanlah kepada-Ku (bagian) manakah dari bumi ini yang telah mereka ciptakan ataukah mereka mempunyai saham dalam (Penciptaan) langit atau adakah Kami memberi mereka sebuah Kitab sehingga mereka mendapat keterangan-keterangan yang jelas daripadanya? Sebenarnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka tidak menjanjikan kepada sebagian lain melainkan tipu daya.

Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS Fâthir [35]: 40-41).

Al-Quran mengatakan kepada mereka yang meragukan atas kelemahan tuhan-tuhan buatan manusia dan meminta mereka berpikir kembali tentang hal itu sehingga mereka bisa memahami fakta benderang ini.

Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” jawabnya: “Alla”. Katakanlah: “Maka pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka tidak memberi manfaat dan tidak pula mudarat bagi diri mereka sendiri?” Katakanlah: “APakah sama orang buta dan orang awas, atau samakah gelap gulita dan terang benderang; apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu itu serupa menurut pandangan mereka?” Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dialah Tuhan Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa.” (QS ar-Ra’d [13]: 16).

Al-Quran kembali memalingkan perhatian dari mereka yang akalnya tidak cukup tajam untuk memahami fakta sederhana.[4]

Hai manusia, telah dibuat perumpaman-perumpaan, maka dengarkanlah olehmu perumpaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakanya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dan lalal itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amal lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat dan Mahaperkasa. (QS al-Hajj [22]: 74).

Surah ar-Rûm [30]: 40, al-Furqan [25]: 1-4. Fâthir [35]: 3, az-Zumar [39]: 44 menekankan butir bahwa kita harus berpikir secara tepat terhadap isu-isu penciptaan dan perintah, yakni penciptaan alam semesta dan pengaturan atasnya. Jika kita berpikir benar dan logis dalam masalah ini, kita akan diarahkan kepada gagasan bahwa semua doa dan ibadah kita hanyalah milik Allah Yang Mahakuasa.

Ayat 54 surah al-A’râf mengatakan bahwa penciptaan dan pengaturan alam semesta merupakan hak Allah semata. Tidak pada yang lainnya.

Sesuhgguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam bulan, lalu Dia bersemayam di atas Arasy’, Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-gemintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam.

Bukti-bukti Tauhid di Alam Penciptaan dan Perintah dalam al-Quran

Menurut al-Quran, tatanan unik dan teratur yang menguasai seluruh alam semesta merupakan bukti yang jelas akan keunikan dan keesaan Pencipta dan Pengatur alam semesta. Dan, kita diminta untuk merenungi sistem utuh dan padu tersebut untuk mengetahui keesaan dalam penciptaan dan perintah.

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air; lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan perputaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS al-Baqarah [2]: 163-4)

Surah al-An’âm [6]: 94-99; al-A’râf [7]: 58; Yûnus [10]: 3-6, 67-68; an-Nahl [16]: 10-20, 65-74, 80-81; al-Isrâ’ [17]: 12; Yâsîn [36]: 33-41; al-Jâtsiyah [45]: 1-5, dan sejumlah ayat lain dalam al-Quran menarik perhatian manusia pada tanda-tanda nyata dalam sistem yang teratur dari alam semesta yang menunjukkan keesaan Sang Pencipta.

Bantahan atas Doktrin Politeisme

Al-Quran suci membantah doktrin politeisme.

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan- tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang gaib dan semua yang tampak, maka Mahatinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS al-Mu’minûn [23]: 91-92)

Sekiranya banyak pencipta, maka hubungan di antara mereka dengan alam semesta niscaya masuk pada salah satu hubungan di bawah ini:

Pertama, setiap pencipta memiliki bagian tertentu dari alam semesta yang diciptakan olehnya dan diatur olehnya. Dalam hal ini, semestinya ada yang memisahkan tatanan atau disiplin pada setiap bagiannya, yang terlepas dari yang lainnya. Namun asumsi ini salah. Karena, pada kenyataannya, seluruh bagian dunia diatur satu tatanan yang konsisten dan padu.

Kedua, salah satu pencipta alam (tuhan-tuhan) mungkin lebih besar (kuasanya) ketimbang yang lainnya dan lebih utama daripada pencipta-pencipta lainnya dan fungsi-Nya mungkin menyatukan pencipta-pencipta lain dan membawa kesatuan dan harmoni di antara mereka. Dalam hal ini, ia dianggap pencipta riil dan penguasa alam sementara tuhan-tuhan lain dianggap sebagai perantara- perantara-Nya.

Ketiga, marilah kita anggap bahwa semua pencipta mengatur dunia dan tidak ada batasan yang jelas yang membagi antara wilayah-wilayah kekuasaan mereka dan mereka yang bertindak sertra bergerak di manapun dan kapanpun mereka suka. Akibatnya, sistem tersebut menjadi suatu anarki konflik dalam kehendak-kehendak mereka yang sembarang.

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arasy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS al-Anbiyâ’ [21]: 22)

Menurut konsep-konsep ini, keesaan dan keabadian sistem alam semesta menafikan doktrin multiplisitas tuhan dan kedaulatan mereka. Kepercayaan bahwa kesatuan tatanan dan tujuan ini di alam semesta diperintah oleh banyak tuhan juga dibantah. Asumsi lain yang berpendapat bahwa ada dua atau lebih tuhan di alam semesta yang mengoperasikan secara serentak dan koordinatif setiap tempat hanyalah ilusi belaka. Sebab, menganggap ada dua atau banyak tuhan mensyaratkan keniscayaan adanya, setidaknya, beberapa perbedaan di antara mereka. Ia akan, bagaimanapun, mempengaruhi keharmonisan dan akan mempengaruhi tatanan dan tujuan alam semesta.

Shadr al-Muta’allihin dalam bukunya al-Asfâr merujuk ayat di atas dalam konteks ini dan menyimpulkan:

Cara lain untuk membuktikan keesaan Tuhan diterapkan dalam ketuhanan, kedaulatan, dan keesaan-Nya, sementara keutuhan alam semesta merupakan bukti nyata dari keesaan Tuhan. Ini merupakan pendekatan yang sana dimana Aristoteles, guru Peripatetik, menerimanya dan Kitab Suci pun menunjukkannya. (al-Asfâr, jilid 6, hal.94)

Di tempat lain di buku yang sama, Mulla Shadra menyoroti masalah ini dengan mengatakan bahwa:

...Ketahuilah cakrawala wujud adalah unik dan ruang lingkup serta areanya diintegrasikan secara organis yang satu sama lain terpadu. Dalam keragamannya ada kesatuan. Ada bukti nyata akan keesaan, kemahiran, kekuasaan, kebesaran serta kemurahan-Nya –Mahaagung dan Mahabesar nama Tuhanmu. Karena ranah wujud adalah satu, pencipta wujud pun pasti tidak lebih dari satu. Kedaulatan-Nya mencakup semua maujud. [Al-Quran berkata,] “Dan Allah meliputi segala sesuatu. (QS al-Burûj [85]:20)”4

Menyusul noktah ini, Mulla Shadra menyatakan bahwa Kitab Suci menunjukkan ayat-ayat al-Quran berikut yang telah kami kutipkan sebelumnya.

Sebab-sebab: Kedudukan dan Peranan Mereka di Dunia

Al-Quran menyandarkan keyakinan tauhid dalam penciptaan dan perintah. Dengan demikian, ia tidak mengabaikan peranan sebab-akibat (causation) di dunia. Al- Quran berkata:

Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). (QS an-Nahl: 65)

Frase Dihidupkan-Nya Bumi Bermakna Peran Air sebagai Sarana Menghidupkan Bumi

Apa yang ditunjukkan dari ayat al-Quran menyangkut “sebab-sebab dan peranan mereka” adalah bahwa Allah, Yang Mahakuasa dan Yang Maha Berilmu, mengetahui segala sesuatu dan kuasa melakukan segala sesuatu. Tetapi Dia menciptakan dunia menurut pola tertentu dan dalam sistem tersebut. Dia memberikan kepada semua yang diciptakan tugas penciptaan tertentu pada fenomena lain. Namun semua ciptaan tersebut secara total tunduk kepada kehendak dan maksud Tuhan serta berperan sebagai agen-agen Tuhan.

Agen-agen ini melakukan tugas-tugas mereka dengan taat. Mereka bergerak di bawah perintah Tuhan mereka dan tidak menyimpang sedikit pun dari jalur-Nya dan sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan. “...matahari, bulan, dan bintang-gemintang (masing-masing) tunduk kepadaperintah-Nya...” (QS al-A’râf[7]: 54).

Kekuatan gravitasi matahari yang dahsyat amat efektif dalam ranah luas kedaulatan-Nya berdasarkan kehendak-Nya semata. Bahkan kekuatan semacam itu bergerak senapas dengan perintah Tuhan. Gravitasi bumi yang menakjubkan juga sangat efektif, tetapi itu sangat tidak signifikan dibandingkan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Tidakkah Anda saksikan bahwa apabila Allah berkehendak, Dia bisa memberikan kemampuan kepada seekor burung kecil untuk terbang melawan gravitasi bumi dan melayang di udara terbuka selama berjam-jam?

Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (QS an-Nahl [16]: 79)

Tuhan: Pencipta dari Penghancur Sebab-sebab

Oleh sebab itu, dari perspektif al-Quran, hukum sebab-akibat merupakan kekuatan besar dalam sistem alam semesta. Ia adalah hukum sahib dan berharga. Meskipun memiliki Tuhan, manusia diberi daya, pengetahuan serta kekuatan manipulasi yang bertambah dan melakukan hal-hal menakjubkan di dunia ini. Oleh sebab itu, dalam semua upaya dan perbuatannya, manusia harus mengetahui hukum sebab-akibat di dalam ruang geraknya. Hanya melalui hukum ini, ia mampu berbuat. Jika sebaliknya, semua upayanya menjadi muspra.

Akan tetapi, sistem sebab-akibat yang dahsyat ini berada di bawah dominasi kehendak Allah. lni berarti ketika ada sistem bagi manusia dan wujud lain untuk berbuat di dalamnya, tidak ada pembatasan apapun pada Tuhan dan sistem [sebab-akibat] ini tidak berarti apa-apa bagi sebab efisien hakiki. Karena, Dialah, dengan kuasa dan ilmu-Nya, yang menciptakan semua sebab dengah suatu akibat tertentu atau akibat-akibat dan kualitas ganda lainnya. Setiap kali Dia berkehendak, Tuhan bisa mencabut sebab tertentu atau senarai sebab dari akibatnya.

Mereka berkata: “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar bertindak.” Kami berfirman: “Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”. Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami jadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. (QS al-Anbiyâ’: 68-70)

Sebab itu, setiap kali Dia merasa perlu untuk meniadakan daya bakar (burning capasity) api, Dia bisa melakukannya dengan perintah yang sama ketika Dia menciptakan dunia.

Jika manusia bijak dan berkuasa di abad ini telah mencapai kemampuan menghentikan ledakan bom atau bahan-bahan peledak lainnya yang diciptakannya melalui radio atau pesan-pesan elektronik, mengapa Tuhan tidak mampu menghentikan hal yang sama?

Pendekatan yang sama terdapat juga pada agama lain. Disebutkan, dalam kitab Upanishad bahwasanya Brahma menghentikan daya bakar: Sekarang Brahma meloloskan keberhasilan bagi dewa-dewa. Sekarang, dalam kemenangan Brahma ini, dewa-dewa bergembira. Mereka berkata kepada diri sendiri: “Sesungguhnya milik kami adalah kemenangan ini. Sesungguhnya kepunyaan kami adalah keagungan ini!”

Mereka berkata kepada Angi (Api): “Jatavedas, carilah apakah wujud luar biasa ini.”

Maka, demikianlah itu terjadi.

Ia berlari kepadanya.

Kepadanya, ia berbicara: “Siapakah engkau?”

“Sesungguhnya, akulah Angi,” katanya.

“Sesungguhnya, akulah Jatavedas”

“Kekuatan apa yang kaumiliki?”

“Sesungguhnya aku bisa membakar segala sesuatu di sini, segala sesuatu yang ada di muka bumi."

Ia meletakkan jerami di depannya.

“Bakarlah!”

Ia keluar dengan kecepatan penuh. Ia tidak bisa membakarnya.

Sesungguhnya ia kembali seraya berkata: “Aku tidak bisa melakukannya, temukan siapakah wujud luar biasa ini.” (362-363/Upanishad)

Dengan demikian, Brahma mampu menghentikan Angi (dewa api) dari dara bakarnya sampai tingkat tertentu ia tidak bisa membakar. Sekalipun jerami.

Mukjizat dan Peristiwa-peristiwa Dialami dari Perspektif Quran

Antara mukjizat dan hukum kausalitas sesungguhnya tidak ada pertentangan. Hal ini Lelah diskusikan di muka. Sesuai dengan hukum kausalitas, “tidak ada fenomena yang terjadi tanpa dihasilkan sejumlah sebab”. Dari perspektif al-Quran, sebab-sebab mukjizat pun merupakan kehendak khusus Allah. Dengan demikian, peristiwa mukjizat bukan hanya tak sesuai dengan prinsip umum kausalitas, namun juga tidak inkonsisten dengan nilai umum ilmiah dan praktis dari hukum hubungan sebab-akibat. Karena, dalam pencariannya kepada penerapan hukum-hukum ilmiah yang telah ia temukan dalam sistem kausalitas yang bergerak di dunia fisik, tidak mengecualikan untuk menemukan hukum alam mutlak yang tidak membolehkan pengecualian apapun.

Semua orang yang terlibat dalam penelitian di bidang sains-sains empiris, mengetahui bahwasanya sebagian besar hukum-hukum alamiah yang ditemukan sebagai hukum alam, disubordinasikan kepada hukum relativisme. Para ahli sains alam yang awas, yang tidak arogan, tidak percaya terhadap kemutlakan dan kepastian hukum-hukum ini ratusan persen. Meski begitu, mereka melanjutkan penelitian mereka yang bersandar pada hukum-hukum relatif yang sama pada mereka dan menarik kesimpulan senapas dengan hukum-hukum yang sama yang secara relatif benar dan dapat diterapkan. Jika tidak, lebih jauh penemuan-penemuan dalam sains membuktikan mereka tidak bersandar pada apa yang telah dikenal sebagai hukum saintifik dan empiris. Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak menanti-nanti penemuan mutlak dan hukum-hukum absah seratus persen.

Untuk perjalanan, semua orang bijak di seluruh dunia menggunakan sarana-sarana transportasi semacam mobil, kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang yang dikendalikan oleh para pakar di bidangnya dan dijalankan oleh para supir dan pilot yang berpengalaman dan terlatih. Meskipun mengetahui dengan baik, semua sarana transportasi ini tidak dijamin seratus persen aman. Pada saat tertentu, di antara semua sarana transportasi yang paling canggih, meskipun dikendalikan dan dijalankan oleh para pakar terbaik di bidangnya, mungkin menghadapi kesulitan tak terduga dan, sebagai akibatnya, kegagalan teknis akan berbuntut kecelakaan. Para ilmuwan menapaki jalan yang sama dalam karya riset mereka. Setiap saintis yang berpengalaman amat menyadari bahwa eksperimen apapun yang dijalankan dalam situasi baru dengan piranti-piranti anyar bisa menggiring kepada penemuan fakta-fakta baru dan hubungan-hubungan di antara pelbagai objek natural. Hal ini bisa mengarahkannya untuk menafikan asumsi-asumsi sebelumnya dan menolak hukum-hukum saintifik sebelumnya atau mungkin membuktikan bahwa rumusan-rumusan terdahulu menghasilkan efek yang keliru dalam keadaan tertentu dan kasus-kasus eksepsional yang dipicu oleh sejumlah faktor tak dikenal yang menggugurkan rumusan-rumusan awal yang ditemukan oleh mereka sendiri.

Pada langkah pertama, mereka berupaya meninjau ulang asumsi-asumsi yang diterima dan mencoba memodifikasinya. Pada langkah kedua, mereka mencoba meraih validitas maksimum dari hukum yang dimodifikasi dengan persentase yang mungkin paling tinggi, misalnya 999.999 per 1.000.000 dan ujung-ujungnya dalam karya-karya mereka bersandar pada hukum ini. Kini, frekuensi keajaiban dan peristiwa-peristiwa adialami (supranatural events) yang terjadi dalam kasus-kasus pengecualian tertentu karena Perintah Allah sangatlah kecil bahkan kurang dari 1/1.000.000 sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa menerima kementakan (possibility) peristiwa-peristiwa ganjil karena kehendak dan perintah Allah tidak memperlemah dan mempengaruhi validitas ilmiah dan empiris dari kaidah-kaidah umum sebab-akibat.

Ilmu Sebab: Perpisahan dari Konsepsi-konsepsi Khayali

Salah satu ajaran berharga dari al-Quran berkenaan dengan sebab-sebab dan validitas-validitas mereka diuraikan sebagai berikut:

Ketika mengetahui sebab-sebab dan maujud dari akibat, kita harus bersandar semata-mata pada pengetahuan yang jelas, tidak ambigu, dan swabukti, yakni kita bisa bergantung hanya pada bukti-bukti konklusif yang mampu mengenyahkan semua kesamaran dan tidak berpijak pada dugaan-dugaan tak berdasar dan tak bisa diuji. Percaya terhadap faktor-faktor fisikal imajiner memicu kemunduran dalam sains dan teknologi dan membawa retrogesi serta ketakmampuan untuk menggali sumber-sumber daya alam sebagaimana halnya orang-orang terdahulu yang ketika mengalami bencana-bencana dan penyakit-penyakit tertentu tidak mencoba menemukan sebab-sebab riil mereka dengan cara ilmiah. Alih-alih demikian, mereka memilih takhayul tak berdasar seperti pengaruh bintang pada nasib manusia dan, sebagai akibatnya, menggunakan instrumen-instrumen yang dikembangkan secara ilmiah semacam astrolab (ostorlâb)[5] untuk meramalkan pengaruh sfera benda-benda langit pada urusan-urusan manusia dengan mengabaikan penggunaan metode saintifik. Percaya pada daya-daya khayali dan imajiner dalam lingkup metafisis lebih berbahaya ketimbang dalam bidang sains, karena ia memisahkan manusia dari prinsip sublim tauhid dan menjerat mereka ke dalam paham syirik (politeisme). Itulah mengapa al-Quran, menyangkut sebab-sebab metafisis, secara empatik dan eksplisit menyatakan bahwa seseorang harus menghindar dari tindakan-tindakan yang bertolak dari perkiraan dan pendapat meragukan secara sembarang.

Dan mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran (QS an-Najm [53]:28).

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.” Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah:“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (QS al-Baqarah [2]:111).

Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata, “Allah mempunyai anak.” Mahasuci Allah. Dialah Yang Mahakaya. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS Yunus [10]:68)

Katakanlah: “Sesungguhnya aku (berada) di atas hujah yang nyata (al-Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah Hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik. (QS al-An’am [6]:57).

Kutipan ayat-ayat al-Quran di atas menekankan pengetahuan ilmiah berasaskan bukti, kesimpulan, argumen, swabukti, dan verifikasi.

Doa

Doa merupakan salah satu sebab yang efektif dalam persoalan manusia. Ia menuntut manusia memusatkan perhatian kepada Tuhan dengan totalitas eksistensinya dalam meminta pertolongan-Nya. Tak syak lagi, Allah sangat mengetahui kebutuhan-kebutuhan manusia dan hasrat-hasrat terpendamnya. Namun karena Dia telah menciptakan satu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan alam dalam kehidupannya, maka tidak sesuatu pun yang bisa diperoleh tanpa perjuangan dan tindakan. Sesungguhnya, setiap perbuatan menghasilkan buahnya. Dalam hal ini, Tuhan telah meletakkan prinsip bahwa tidak ada kekayaan yang bisa diperoleh tanpa kerja keras serta tidak, ada ganjaran yang diberikan tanpa seseorang mengusahakannya. Demikian pula menyangkut hubungan langsung manusia dengan Tuhan, suatu sistem doa dan pengabulannya oleh Tuhan telah ditetapkan.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS al-Baqarah [2]:186)

Jangan sampai seseorang mengatakan: “Apakah kehendak Allah berubah karena doa kita, ketika Dia meminta kita berdoa untuk mendapatkan sesuatu dari-Nya? Bukankah kehendak Tuhan bisa berubah?”

Pertanyaan ini mirip dengan pertanyaan menyangkut kerja dan usaha di satu sisi, serta kehendak dan takdir (qadha wa qadar) Tuhan di sisi lain, yang telah memicu kontroversi kehendak, determinisme, dan posisi tengah (amr bayn al-amrain).

Dalam konteks ini juga dikatakan: Bukankah segala sesuatu ditetapkan bagi setiap orang oleh Allah sejak alam pra-keabadian (pre-eternity)? Atau, apakah kehendak Allah atau apapun yang Dia tentukan dari permulaan bisa berubah sebagai akibat dari ikhtiar dan perbuatan manusia? Dalam hal ini, kita sampai pada kesimpulan bahwa ikhtiar dan tindakan di pihak manusia bagaimanapun tetap efektif. Kami mencoba memecahkan masalah ini dengan cara berikut: “Tuhan memberi otoritas kepada manusia dari alam pra-keabadian berupa kebebasan memilih dan kemerdekaan bertindak untuk mencapai tujuannya menurut kehendaknya.”

Dalam masalah doa dan pengabulannya kita mungkin sampai pada kesimpulan yang sama yakni: Allah itu baka. Kehendak-Nya pun baka. Adalah kehendak mutlak-Nya yang mengatur sebagian besar wujud, yakni alam, untuk ada dalam keadaan “menjadi” (becoming) ketimbang tetap sebagai [sekadar] “wujud” (being). Di sisi wujud (alam) ini, suatu fenomena baru bisa melesak dengan sendirinya setiap saat dan dalam proses tunak (continuous process) ini faktor-faktor terdahulu memainkan peran penting. Misalnya, dalam kasus tertentu, usaha dan doa saya (yang juga diakui sebagai suatu bagian dari ikhtiar saya) adalah efektif dan memainkan peran penting –peran atau tugas yang sama yang telah Tuhan tentukan untuk kita sejak awal.

Demikian pula, Allah itu abadi. Pengetahuan dan kehendak-Nya juga abadi. Pada saat yang sama, dalam momen apapun, fenomena baru terbit di dunia ini dan bahwa perbuatan, kehendak, dan doa manusia memainkan peran efektif dan penting dalam kemunculannya. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. (QS ar-Rahman [55]: 29).

Apabila Anda mengalami dan menghadapi kesulitan, Anda seharusnya tidak kecewa. Anda seharusnya tidak meninggalkan ikhtiar-ikhtiar Anda melainkan berjuang dan meminta bantuan Allah, karena Anda tidak pernah menduga secara pasti bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi yang sulit. “Setiap hari Dia melakukan kekuasaan (universal).” Bagaimana Anda bisa menganggap diri Anda sendiri dikalahkan seratus persen? Sebagian besar situasi tersebut bisa mengubah hari esok sesuai selera Anda.

Di sini dikutip sejumlah peristiwa baru di dalam al-Quran yang terjadi berlawanan dengan dugaan manusia. Misalnya, memohon pertolongan oleh Nabi Musa as (QS Thaha [20]:25-6); meminta anak oleh Nabi Zakaria as (QS Maryarn [19]:19) dan lain-lain. Doa dianggap sebagai sebab efektif karena termasuk jenis sebab lain di alam semesta. Misalnya, Tuhan melimpahkan sifat-sifat partikular untuk cahaya, panas, listrik, dan daya gravitasi dan lain-lain atau memerintahkan bahwa sebagian tanaman herbal dengan komposisi kimiawianya yang khusus bisa efektif dalam menyembuhkan suatu penyakit. Maka itu, Dia menernpatkan peran dan efek tertentu terhadap “doa” yang bisa efektif dalam pemenuhan hasrat-hasrat manusia. Keefektifan doa ini tidak hanya sebatas pada efek psikologis. Pengaruh doa secara psikologis masih memiliki banyak efek yang diketahui dan tidak diketahui. Misalnya, ia membangkitkan asa, kekuatan, kehendak, dan mengaktifkan banyak potensi tersembunyi dalam diri manusia, bahkan mendorong manusia untuk memulai sebuah pekerjaan di mana ia tidak berharap bisa melakukannya. Namun cara di mana al-Quran memberikan keefektifan doa mencakup aspek-aspek yang jauh lebih besar selain dari yang dibahas di atas. Paparan terbaik perihal efek doa menurut al-Quran adalah sebagai berikut:

Doa itu sendiri merupakan sejenis sebab yang mempunyai efeknya. Ia tidak hanya berefek secara psikologis semisal memperkuat kehendak dan lain-lain.

Doa dalam kitab-kitab suci agama lain juga dinilai sebagai sarana efektif dalam melancarkan segenap aktivitas dan masalah manusia. Pandangan ini tidak hanya dibentuk dalam kitab-kitab agama Semitik namun juga dalam kitab-kitab Arya. Dalam hal ini kitab Avesta mengatakan:

Wahai Mazda Ahura, semua orang bijak yang Engkau anggap saleh dan takwa, berikan kepada mereka keberhasilan, karena saya percaya bahwa mengungkapkan aspirasi seseorang di hadapan-Mu membuahkan hasil dan kesuksesan bagi keselamatan seseorang (34:10, Avesta)

Perbedaan asasi antara pandangan al-Quran dan Avesta serta kitab-kitab agama lain adalah bahwa pada yang kedua doa tidak hanya ditujukan kepada Sang Pencipta alam semesta dalam doa berikut

Wahai Mazda! Ahura! Wahai Urdibehist! Wahai Bahman! jangan sampai hamba-hamba saleh-Mu ini menimbulkan kesedihan bagi-Mu. Permudahlah kami untuk berusaha menyampaikan kasih sayang dan doa kepada-Mu. Engkaulah yang lebih mampu ketimbang semua orang di dunia untuk melimpahkan kesuksesan kepada orang yang saleh dan membangkitkan mereka ke alam ruh. (34:9, Avesta)

Ada sejumlah contoh lain dalam Avesta. Akan tetapi dalam al-Quran meminta pertolongan dan mengajukan doa hanya ditujukan kepada Allah. Al-Quran menandaskan bahwa kita harus menengadahkan tangan kita hanya kepada Allah untuk memohon pertolongan dan mencegah dari memohon pertolongan kepada selain Allah, karena dewa-dewa hanyalah agen-agen yang tidak bisa melakukan apapun secara mandiri. Mereka tidak bisa memberi sesuatu kepada siapapun dan dengan cara yang sama tidak bisa menghilangkan sesuatu dari siapapun. Katakanlah: “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (QS al-Jinn [72]:20)