• Mulai
  • Sebelumnya
  • 20 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4050 / Download: 1931
Ukuran Ukuran Ukuran
STUDI  KRITIS ATAS SHALAT TARAWIH(1)

STUDI KRITIS ATAS SHALAT TARAWIH(1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

STUDI KRITIS

ATAS

SHALAT TARAWIH

(Dalam Dialog antara Guru dan Murid)

Penyusun :

Abu Qurba LC

Kata Pengantar

Menurut saya pribadi, sangat sulit mencari dan menemukan suatu syari'at, ajaran, aliran atau mazhab yang bersih dari berbagai bid'ah dan khurafat. Sebagaimana pula sangat sulit membasmi dan menyingkirkan berbagai bid'ah dan khurafat dari ajaran Islam yang murni. Tetapi hendaknya kita tidak berdiam diri dan berhenti dalam mencarinya. Kita juga tidak boleh berputus asa dalam upaya membersihkan agama Islam ini dari berbagai kotoran dan sampah bid'ah dan khurafat yang banyak berserakan disana-sini di dalam masyarakat Islam. Untuk tujuan itu, berbagai cara dan metode harus kita cari semaksimal mungkin. Setelah kita menemukannya, hendaknya kita tuangkan dalam tulisan atau lewat lisan secara logis dan rasional dengan argumen yang kokoh yang tidak mudah roboh diterpa angin.

Barangkali, salah satu metode yang patut mendapatkan perhatian untuk menyampaikan pesan dan risalah Islam yang murni kepada masyarakat Islam adalah metode dialog. Metode dialog, bukan saja akan mudah dapat dipahami, bahkan metode ini akan lebih melekat dalam benak pembaca atau pendengar di samping mempunyai daya tarik tersendiri tentunya.

Karena itulah, saya berusaha -sesuai dengan kemampuan saya yang sangat terbatas ini- untuk mencoba menerapkan metode dialog tersebut, yakni dialog antara seorang guru dengan beberapa orang muridnya di dalam kelas, dalam menyampaikan pesan-pesan risalah Islam yang murni kepada masyarakat Islam dan kaum muslimin. Pada kesempatan kali ini, saya telah berhasil -dengan taufik Allah- menyusun sebuah buku sederhana yang saya beri tema: Studi Kritis atas Tradisi Ritual Islam Edisi Shalat Tarawih dalam Dialog.

Harapan dan doa saya, kiranya usaha kecil ini dapat membuahkan hasilnya di dalam masyarakat Islam di masa-masa mendatang, khususnya untuk para mahasiswa yang mempunyai wawasan luas, pikiran terbuka dan lapang dada dalam menerima berbagai saran dan kritikan. Dan semoga pula usaha kecil ini mendapatkan rahmat, berkah, ridha dan taufik dari Allah Swt baik di dunia dan khususnya di hari akhirat kelak. Amin, Ya Rabbal 'Alamin……………

Bulan Panen Rahmat, Pahala dan Keberkahan

Perawi: Seperti biasanya, ustadz Muhammad -yang pernah belajar di luar negeri itu, dan kini aktif mengajar murid-murid di pesantren "Cahaya Iman" selama beberapa tahun- memasuki kelas tepat pada waktunya, dan murid-murid pun sudah menanti kedatangannya sejak 10 menit yang lalu untuk menerima pelajaran fiqih darinya. Beliau mengajar beberapa materi penting, di antaranya: fiqih, akidah dan tafsir AlQur'an. Dan sebagian muridnya adalah mahasiswa yang belajar di luar pesantren. Melihat ustadz Muhammad memasuki kelas, murid-murid pun segera berdiri tegak untuk menghormatinya. Dengan kompak dan rapih, mereka menjawab salam ustadz yang hangat. Setelah membacakan absen satu persatu, seperti kebiasaannya, beliau memulai pengajarannya dengan hamdalah, puja-puji dan syukur kepada Allah Swt serta shalawat kepada baginda Rasulullah saw dan seluruh keluarganya yang mulia dan disucikan oleh Allah Swt dari segala kenistaan. Kemudian ustadz berkata:

Ustadz: Anak-anakku sekalian, sebentar lagi kita dan seluruh kaum muslimin yang bermadzhab apapun- akan memasuki bulan suci Ramadhan. Suatu bulan yang sangat mulia dan penuh berkah, karena pada bulan itu kaum muslimin diwajibkan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Bahkan amalan-amalan ibadah sunat, seperti shalat Tarawih atau shalat nafilatullail, membaca Al-Qur'an, bersedekah, dan lain-lain, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah Swt.

Rasulullah saw, di dalam “khutbah Sya’baniyah” nya yang terkenal, menilai bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan ampunan dan keberkahan. Bulan itu adalah bulan rahmat, karena seluruh amal perbuatan rutinitas manusia, seperti tidur dan bernafas mendapat ganjaran pahala ibadah, terlebih lagi amal ibadah itu sendiri.

Bulan itu adalah bulan ampunan dan pemberian maaf dari Allah Swt. Karena pada bulan itu, lautan kasih sayang Ilahi dan pemberian maaf-Nya melimpah ruah. Pintupintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, sementra setan-setan dibelenggu dengan rantai. Setiap malam, sebagaimana tersebut di dalam riwayat, Allah mengampuni tujuh puluh ribu orang. Dan pada malam Qadar, Dia mengampuni sejumlah orang-orang yang diampuni selama satu bulan, kecuali orang-orang yang menyimpan kemarahan dan mengadakan permusuhan terhadap saudara-saudara seagama muslim. Dosa-dosa mereka itu tidak akan diampuni sebelum mereka berdamai.

Anak-anakku sekalian! Bulan itu, adalah bulan penuh keberkahan. Karena pada bulan itu, berbagai macam kenikmatan, karunia, baik yang berupa maknawiyah maupun Ilahiyah diturunkan. Pada bulan itu, rahmat Ilahi turun dengan deras kepada hamba-Nya. Nikmat yang paling besar adalah turunnya Al-Qur'an al-Karim yang merupakan hidangan langit yang paling besar. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat meneguk air jernih pengetahuan darinya, sempat merenung dan bertadabbur atasnya, mengambil permata-permata dari lautan ajarannya, kebun indah hikmahnya dan nasihatnasihatnya yang semerbak.

Mari kita berdoa kepada Allah Swt; semoga pada bulan suci Ramadhan yang sudah di ambang pintu itu, kita semua diberikan taufiq oleh Allah Swt, sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar pada siang harinya, dan mengisi atau meramaikan malam-malamnya dengan tadarrus Al-Qur'an, shalat malam atau shalat Tarawih, dengan berdiskusi atau mentelaah ilmu-ilmu agama, dan lain sebagainya.

Apakah Shalat Tarawih Wajib Berjamaah? Dan apa Makna Qiyam?

Murtadha (Ia tidak sabar dan memotong ucapan ustadz dengan mengacungkan tangannya. Setelah diizinkan ia angkat bicara): Ustadz ! yang menjadi masalah dan merupakan problem yang hingga kini masih saja menjadi bahan perbincangan dan perdebatan antara sesama kaum muslimin itu sendiri adalah masalah shalat Tarawih. Sepengetahuan saya, bahwa shalat Tarawih itu hukumnya sunat, sebagaimana sunat-sunat lainnya, seperti shalat malam, shalat rawatib, dll. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu hukumnya wajib. Yang ingin saya tanyakan adalah: Apakah shalat Tarawih -yang hukumnya suant itu- harus dilakukan secara berjama'ah? Artinya tidak sah jika dilakukan secara munfarid (sendiri-sendiri)? Ataukah boleh saya melakukannya sendirian di rumah? Dan bagaimana dengan shalat-shalat sunat lainnya, seperti shalat 'Idul Fitri, 'Idul Adh-ha, shalat-shalat Rawatib (Qabliyah dan Ba'diyah), dll?

Tolong Pak ustadz berikan jawaban dengan bahasa yang semudah mungkin, agar kami dapat memahaminya dengan baik dan benar. Karena saya ingin mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan dan tidak sekedar ikut-ikutan saja!

Ustadz : Pertanyaan yang bagus dan insya Allah bermanfaat. Murtadha dan anakanakku semua! Perhatikanlah jawaban yang akan saya berikan ini dengan baik dan serius !

Sehubungan dengan amalan-amalan sunat pada bulan Ramadhan, apabila kamu sempat membuka kitab-kitab hadis, misalnya kitab hadis shahih al-Bukhari, shahih alMuslim,1 dll, maka di sana akan kamu temukan sebuah hadis yang berkaitan dengan anjuran untuk melakukan amalan-amalan sunat pada bulan suci Ramadhan. Dengan kata lain terdapat hadis dimana Rasulullah saw menganjurkan umatnya agar menghidupkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan sunat. Hadis itu berbunyi begini:

[1] من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya: "Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) atau barang siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ikhlas karena Allah, maka seluruh dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni".

Ungkapan :من قام رمضان mungkin dapat diartikan dengan "Barangsiapa yang mengerjakan shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan Ramadhan", dan bisa juga diartikan dengan "Barangsiapa yang menghidupkan dan mensyiarkan bulan suci Ramadhan".

Menurut makna yang kedua, maka yang dapat dipahami dari riwayat atau hadis ini adalah, bahwa Rasulullah saw memberikan perintah yang bersifat umum kepada seluruh umatnya. Perintah umum itu apa? Yaitu agar umatnya menghidupkan dan meramaikan atau mensyi'arkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan ibadah yang dianjurkan oleh Allah Swt. Di dalam hadis ini beliau tidak menentukan atau membatasinya dengan amalan ibadah tertentu. Dengan demikian -berdasarkan hadis ini dengan makna yang kedua- kita boleh-boleh saja menghidupkan dan meramaikannya dengan shalat-shalat sunat, dengan membaca Al-Qur'an, diskusi ilmiah, membaca kitab tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Asal bukan maksiat dan halhal yang dilarang oleh syariat. Jadi, di dalam hadis di atas, sama sekali Rasulullah saw tidak membatasinya dengan mengatakan : "Ramaikanlah bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih". Tidak, tidak demikian.

Mengenai, apakah shalat Tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya itu harus dilakukan secara berjamaah, dan jika dilakukan tanpa berjamaah tidak sah? Jawabannya adalah: Yang masyhur menurut madzhab Ahli Sunah adalah, bahwa seluruh shalat-shalat sunat -tanpa kecuali dan termasuk shalat Tarawih- dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah. Tetapi ada sebagian shalat sunat yang lebih utama jika dilakukan secara munfarid atau infirad yaitu sendirian dan tanpa mengikuti imam jamaah.

Ikhtilaf Ulama Sunni mengenai Shalat Tarawih

Perlu kamu ketahui bahwa madzhab Ahli Sunnah itu mempunyai beberapa orang ulama fikih. Di antaranya adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Mereka semua adalah para Imam fikih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni). Walaupun mereka semua adalah para imam Ahli Sunnah, tetapi di antara mereka terdapat ikhtilaf dan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fikih. Dan hal ini merupakan hal yang biasa dalam masalah fikih. Tetapi hendaknya kamu harus mengetahui dan memahaminya dengan baik, agar sesama Ahli Sunnah tidak berkelahi hanya gara-gara masalah fikih yang tidak dipahaminya dengan benar. Akhirnya musuh-musuh Islam yang diketuai oleh Iblis merasa senang, bergembira dan bertepuk tangan. Untuk mengetahui ikhtilaf dan perbedaan pendapat atau pandangan di anatara para Imam Sunni itu, mengenai shalat-shalat sunat, perlu saya jelaskan agak rinci, perhatikanlah baik-baik!

Al-Malikiyah atau Imam Malik (gurunya Imam Syafi'i) mengatakan bahwa, shalat Tarawih itu hukumnya mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat-shalat nawafil atau sunat yang lain, ada yang makruh hukumnya jika dilakukan secara berjamaah. Misalnya, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah di dalam masjid, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah jika jamaahnya banyak sekali. Makruh juga hukumnya melakukan shalat sunat di suatu tempat dimana banyak orang-orang yang berlalu lalang di tempat tersebut. Ada juga shalat-shalat sunat yang hukumnya ja'iz atau boleh dilakukan secara berjamaah. Yang ja'iz ini misalnya seperti: Jika jamaahnya sedikit, atau dilakukan di dalam rumah, atau di tempat yang bukan tempat berlalu lalangnya orangorang. Ini pendapat Al-Malikiyah atau Imam Maliki.

Al-Hanafiyah atau Imam Hanafi mengatakan bahwa shalat Tarawih dan shalat jenazah itu hukumnya sunat kifayah jika dilakukan secara berjamaah. Adapun shalatshalat nawafil hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah. Shalat Witir juga hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah pada selain bulan suci Ramadhan. Kemakruhan tersebut apabila makmumnya lebih dari tiga orang. Artinya jika makmumnya hanya dua atau tiga orang saja, maka tidak dimakruhkan. Adapun pada bulan suci Ramadhan, tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir secara berjamaah. Artinya hukumnya ja'iz (boleh-boleh saja). Ada juga yang mengatakan bahwa menurut al-Hanafiyah, hukumnya sunat melakukan shalat Witir secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.

Lain lagi pendapat as-Syafi'iyah (Imam Syafi'I; muridnya Imam Maliki), beliau mengatakan bahwa, hukumnya sunat melakukan shalat 'Idhul Fitri, 'Idhul Adh-ha, Istisqa', Kusuf (gerhana matahari), Tarawih dan Witir Ramadhan secara berjamaah. Tetapi ada juga yang menukil bahwa Imam Syafi'i pernah berkata bahwa: "shalat munfarid (sendiri, tanpa imam) itu lebih aku sukai".

Apabila kamu mengkaji fatwa-fatwa dan pandangan Imam Syafi'i, memang terdapat dan terjadi perubahan antara qaul qadim (pandangan lama) dengan qaul jadid (pandangan baru). Bahkan terkadang para ulama yang mengikuti dan membela pandangan beliau saling berbeda pendapat dalam menafsirkan fatwa-fatwa beliau.

Adapun pendapat al-Hanabilah (Imam Hanbali; muridnya Imam Syafi'i), beliau mengatakan bahwa, Shalat-shalat sunat ada dua bagian; sebagiannya sunat dilakukan secara berjamaah, yaitu seperti shalat Istisqa', Tarawih, 'Idhul Fitri dan 'Idhul Adh-ha. Dan sebagian lainnya mubah dilakukan secara berjamaah, yaitu seperti shalat Tahajjud dan shalat-shalat Rawatib fardhu.

Adalagi ulama Sunni lainnya yang bernama al-Maqdisi (Ibnu Quddamah alMaqdisi), beliau menulis di dalam kitabnya as-Syarhil Kabir begini: Shalat-shalat

sunat itu boleh dilakukan secara berjamaah dan boleh juga secara munfarid (sendiri). Karena Rasulullah saw pernah melakukan kedua-duanya. Tetapi kebanyakan shalatshalat sunat tersebut, beliau lakukan secara munfarid. Oleh karena itu mereka (para ulama) bersepakat bahwa shalat-shalat sunat itu lebih utama dilakukan di dalam rumah. Karena Rasulullah saw telah bersabda:

"Hendaknya kalian melakukan shalat di dalam rumah kalian. Dan sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik itu, jika dilakukan di rumahnya, kecuali shalat Maktubah (shalat-shalat fardhu)".

Di dalam hadis lainya Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat di masjidnya, maka hendaknya ia menyisahkan sebagian shalatnya untuk dilakukan di rumahnya. Karena sesungguhnya Allah Swt menjadikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya tersebut."[2]

Dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah saw bersabda: "Shalat seseorang di dalam rumahnya itu lebih utama daripada shalatnya di dalam masjidku ini, kecuali shalat maktubah".[3]

Alasan lainnya adalah karena shalat di dalam rumah itu lebih mendekati kepada keikhlasan dan lebih jauh dari sifat riya', karena hal itu termasuk amal ibdah secara tersembunyi. Amal secara tersembunyi itu lebih baik daripada terang-terangan.[4]

Pandangan Ulama Ahlulbait as mengenai Shalat Tarawih

Demikianlah pendapat, pandangan dan hasil ijtihad para tokoh dan ulama fikih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni).

Anak-anakku, untuk melengkapi pembahasan di atas, dengarkanlah baik-baik pandangan dan pendapat ulama Ahlulbait as atau ulama madzhab Syi'ah Imamiyah. Sebagaimana madzhab Ahli Sunnah mempunyai beberapa atau banyak ulama fikih dan juga ulama akidah, demikian juga halnya dengan madzhab Ahlulbait as (Syi'ah Imamiyah). Hanya saja dalam hal ini, dan banyak lagi dalam hal-hal lainnya, tidak terdapat perbedaan pandangan dan pendapat di antara mereka. Dengan kata lain bahwa para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait as bersepakat kata dalam memberikan keputusan hukum atas persoalan di atas. Jadi, bagaimanakah pandangan mereka itu? Mereka (para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait as) mengatakan bahwa sesungguhnya shalat-shalat fardhu yang lima itu dianjurkan dan disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah. Yakni hukumnya sunat muakkad (sangat ditekankan).

Adapun shalat-shalat sunat, tidak disyariatkan dilakukan secara berjamaah. Artinya harus dilakukan secara munfarid (sendiri), kecuali shalat Istisqa', 'Idhul Fitri dan 'Idhul Adh-ha. Jelasnya bahwa ketiga macam shalat sunat ini mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah ketika syarat-syaratnya masih kurang. Tetapi jika syaratsyaratnya sudah terpenuhi (di antaranya kehadiran Imam Zaman ajf), maka ketiga macam shalat itu, hukumnya wajib dilakukan secara berjamaah. Jadi bukan lagi sunat atau mustahab. Adapun menurut empat orang Imam madzhab Sunni (al-Madzahibul Arba'ah), berjamaah itu disyariatkan secara mutlak, baik dalam shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunat. [5]

Mujtaba: Ustadz! Yang dapat saya pahami dari uraian di atas, sehubungan dengan shalat Tarawih adalah: Umat Islam boleh melakukannya secara munfarid atau sendirian di rumahnya masing-masing. Artinya hal itu dianggap sah. Bukankah begitu pak ustadz? Saya kira cukup jelas jawaban yang diberikan oleh Pak Ustadz. Tetapi ada hal yang menarik yang tadi Bapak singgung, yaitu pandangan madzhab Ahlulbait as mengenai tidak disyariatkannya shalat Tarawih jika dilakukan secara berjamaah, dan para ulama mereka bersepakat kata dalam hal ini. Yang ingin saya tanyakan adalah, mengapa pandangan Imam dan ulama madzhab Ahlul bait ini berbeda sendiri dalam masalah ini? Apa sebenarnya yang melandasi pemikiran dan pandangan mereka itu? Tetapi kalau bisa, sebelum Pak ustadz memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, saya pikir, alangkah baiknya, jika pak ustadz menerangkan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebenarnya. Sebab, sudah bukan merupakan rahasia lagi, bahwa kaum muslimin berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat shalat Tarawih ini.

Misalnya di sebagian tempat atau masjid, shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat. Sementara di masjid atau tempat lainnya hanya 8 rakaat. Padahal kan mereka itu semua adalah bermadzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni)? Bahkan seringkali melalui mimbar-mimbar ceramah, masing-masing penceramah saling menjatuhkan dan meremehkan pandangan lainnya. Sehingga hal semacam ini malah menambah renggang hubungan antar kaum muslimin yang notabene satu madzhab (Sunni). Yah, sangat disayangkan, hal ini seakan-akan sudah melekat di masyarakat muslim. Hampir tidak pernah saya dengar pembahasan ilmiah sebagaimana yang pak ustadz uraikan di atas tadi. Di samping itu, saya juga ingin tahu, apakah madzhab Ahlul bait memiliki jumlah rakaat tersendiri dalam shalat Tarawih ini? Dan juga ustadz, bagaimana mereka melakukan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan?

Berapa Sebenarnya Jumlah Rakaat Shalat Tarawih? 20 Rakaat Ketetapan Umar

Ustadz : Baiklah, memenuhi permintaan Mujtaba, saya akan jelaskan pandangan fuqaha' Ahli Sunnah dan juga fuqaha Syi'ah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih ini. Ya, betul memang, sebagaimana yang kamu singgung bahwa para ulama Sunni berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah rakaat shalat Tarawih. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki dalil yang sharih dan jelas dari Rasulullah saw, baik melalui dalil ucapan, perbuatan ataupun taqrir beliau saw. Jelas, bahwa terdapatnya ikhitlaf di antara para ulama Sunni yang tidak mungkin bisa disatukan itu menunjukkan tidak adanya dalil yang sharih (jelas dan terang) dari Rasulullah saw.

Misalnya di dalam salah satu kitab fikih Sunni yang bernama al-Mughni, di sana seorang ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi mengatakan bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat. Hal ini sama dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Sementara Imam

Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.[6]

Jelas, bahwa pandangan mereka itu tidak mewakili pandangan Rasulullah saw dan tidak juga bersumber dari beliau. Tetapi yang jelas adalah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat, itu bersandar atau bersumber dari perbuatan dan ketetapan Umar bin Khattab. Sementara pendapat yang mengatakan 36 rakaat, bersumber dan bersandar kepada perbuatan Umar bin Abdul Aziz. Jika kamu ingin mengetahuinya lebih detail lagi, maka kamu dapat merujuk sebuah kitab fikih Ahli Sunnah yang bernama "Al-Fiqhu 'Alal Madzahibil Arba'ah" yang ditulis oleh Abdul Rahman al-Jazairi. Di antara tulisan al-Jazairi di dalam kitabnya tersebut yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini dan dengan bahasa yang mudah, begini: "Syaikhan, dua orang Syaikh yaitu al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah saw keluar dari rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Lalu beliau saw shalat di dalam masjid. Dan orang-orang pun ikut melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau saw melakukan shalat sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah-rumah mereka……." Kemudian al-Jazairi menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: "Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi saw

telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih secara berjamaah. Tetapi beliau saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (setelah wafat Rasulullah saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Dan setelah keluar pada tiga malam itu, beliau saw tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana disinggung di dalam riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi saw. Ya, betul memang, jumlah rakaat tersebut ditambah lagi pada masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz sehingga jumlahnya menjadi 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut adalah untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka'bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Dengan itu, beliau (Umar bin Abdul Aziz) memandang perlu menambahkannya dalam setiap thawaf sebanyak 4 rakaat". Itulah apa yang ditulis oleh al-Jazairi di dalam kitabnya al-Fiqhu 'Alal Madzahibil Arba'ah.[7]

Mari Menghitung Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Sekarang, mari kita coba berhitung ! Dikatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz menambah jumlah rakaat tersebut menjadi 36 rakaat, yakni tadinya 20 rakaat, kemudian ditambah 16 rakaat menjadi 36 rakaat. Kenapa ditambah? Karena orangorang Makkah setiap mendapatkan 4 rakaat, melakukan thawaf satu kali. Lho kalau memang setiap selesai 4 rakaat mereka melakukan thawaf satu kali, jadi jumlah rakaatnya bukan 36 rakaat dong, melainkan yang betul adalah menjadi 40 rakaat. Karena jika mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat dan setiap 4 rakaat satu kali thawaf, kan jumlah thawafnya menjadi 5 kali, betul ngga? Jika setiap satu kali thawaf diganti 4 rakaat, kan menjadi 20 rakaat. Dengan demikian 20 rakaat ditambah 20 rakaat lagi sebagai ganti thawaf, maka menjadi 40 rakaat, bukan 36 rakaat.

Di dalam madzhab Ahli Sunnah, kitab al-Bukhari adalah kitab hadis yang paling shahih dan kedudukannya nomor dua setelah Al-Qur'an. Kitab ini banyak yang mensyarahinya. Apabila kamu membuka-buka kitab-kitab syarahnya dan berusaha mengetahui jumlah rakaat shalat Tarawih menurut para ulama pensyarah tersebut, maka akan kamu dapati bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, ada yang bilang 20 rakaat, ada yang berpendapat 24 rakaat, ada yang mengatakan 28 rakaat, ada lagi yang berpendapat 36 rakaat, ada juga yang mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan begitulah seterusnya[8]

Nah itulah, pandangan ulama Ahli Sunnah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih. Anehnya lagi bahwa Umar bin Abdul Aziz ikut campur dalam menentukan urusan syariat ini. Untuk menyamakan keutamaan dan pahala penduduk Madinah dengan penduduk Makkah, dia memasukkan apa yang bukan bagian darinya dengan pendapatnya sendiri. Jika hal semacam ini dibiarkan, maka nantinya syariat Islam akan menjadi permainan para penguasa dengan menambah, mengurangi atau merubah syariat sesuai dengan pendapat mereka sendiri.

Shalat Tarawih di dalam Mazhab Ahlul Bait as

Kemudian, mengenai shalat Tarawih (qiyamullail fi Ramadhan) di dalam madzhab Ahlulbait as, memang berbeda dengan madzhab Sunni, baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya. Yang jelas, para Imam dan ulama mereka tidak berikhtilaf dan tidak berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut, tidak seperti para Imam dan ulama Sunni. Apabila kamu mencoba merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau kitab-kitab tuntunan ibadah bulan suci Ramadhan, maka akan kamu temukan bahwa para Imam maksum as dan para ulama Ahlulbait as melakukan shalat atau qiyamullail pada bulan suci Ramadhan sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh.

Mulai malam pertama sampai pada malam ke dua puluh, mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat. Jadi selama 20 malam itu berjumlah 400 rakaat. Kemudian pada sisa-sisa malam selanjutnya, yaitu mulai malam 21 sampai malam terakhir, mereka melakukannya 30 rakaat. Jadi selama 10 malam berjumlah 300 rakaat. Sedang pada tiga malam ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahnya 100 rakaat. Jadi tambahannya pada tiga malam itu sebanyak 300 rakaat. Dengan demikian 400 + 300 + 300 = 1000 rakaat. Tentu saja hal ini bagi yang mampu melakukannya dan tidak mengganggu pekerjaan lainnya yang lebih utama dan lebih penting. Pekerjaan yang jauh lebih utama dan lebih penting adalah mudzakarah atau diskusi tentang ilmu-ilmu agama, seperti akidah, tafsir, fiqih, dan lain sebagainya. Ketika seorang ulama ditanya mengenai amalan atau pekerjaan apakah yang paling utama untuk dilakukan pada malam-malam Qadar? Dia menjawab: "Mudzakarah ilmu". Jawaban ulama ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Syaikh Abbas al-Qummi di dalam kitabnya "Mafatihul Jinan".[9]

Kitaf tafsir "Al-Mizan" yang ditulis oleh 'Allamah Muhammad Husain AtThaba'thaba'i, merupakan kitab tafsir yang terbaik pada masa sekarang ini. Jika kamu membuka jilid terakhir, yaitu jilid ke 20, kamu baca bahwa beliau merampungkan tulisannya itu bertepatan pada malam Qadar.[10]

Artinya, malam-malam Ramadhan itu beliau isi dengan menulis kitab tafsir tersbut. Sehubungan dengan shalat 1000 rakaat, di dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin as biasa melakukan shalat malam sebanyak 1000 rakaat, dan ini pada selain bulan suci Ramadhan. Beliau as mengikuti jejak kakeknya, yaitu Imam Ali as dan Rasulullah saw.

Dalil Ketidak bolehan Shalat Nafilah secara Berjamaah

Mengenai berjamaah dalam shalat Tarawih atau qiyamullail di dalam madzhab Ahlulbait as, saya ulangi lagi bahwa sebenarnya para Imam maksum as dan para ulama Ahlulbait as bersepakat mengatakan bahwa ajaran Ahlulbait as tidak mensyariatkan dan tidak membenarkan jika shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan suci Ramadhan itu dilakukan secara berjamaah. Dengan kata lain yang lebih jelas, bahwa menurut mereka, hukumnya bid'ah melakukan shalat-shalat sunat pada malammalam Ramadhan jika dilakukan secara berjamaah. Landasan mereka adalah perbuatan dan tuntunan Rasulullah saw dan tauladan para Imam maksum as. Mereka berpandangan bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah melakukan shalat Tarawih atau qiyamullail secara berjamaah. Dan shalat Tarawih berjamaah itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab, atas perintahnya dan dengan pendapatnya sendiri. Padahal, pada masa-masa khalifah sebelumnya pun, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, kaum muslimin tidak ada yang melakukan shalat Tarawih ini secara berjamaah.

Jadi, kesimpulannya menurut madzhab Ahlulbait as, hukumnya tidak boleh dan bid'ah melakukan shalat-shalat nawafil atau shalat sunat secara berjamaah, termasuk di dalamnya shalat Tarawih, kecuali beberapa shalat sunat yang memiliki dalil khusus dan pada kondisi tertentu, sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Imam Muhammad al-Baqir as, yaitu Imam maksum yang kelima dalam madzhab Ahlulbait as pernah berkata:

"Tidak boleh melakukan shalat Tathawwu' (shalat-shalat sunat) secara berjamaah (karena itu bid'ah). Dan setiap bid'ah itu dhalalah. Dan setiap dhalalah itu di neraka".[11]

Imam Ali al-Ridha as, yaitu Imam maksum yang kedelapan pernah berkata dalam suratnya yang ia tujukan kepada Makmun: "Dan tidak boleh shalat Tathawwu' itu dilakukan secara berjamaah, karena hal itu adalah bid'ah".[12]

Kedua riwayat tersebut berbicara mengenai shalat-shalat sunat secara umum yang tidak boleh dilakukan secara berjamaah. Dan termasuk di dalamnya adalah shalat Tarawih. Adapun mengenai larangan melakukan shalat Tarawih dengan berjamaah secara khusus, terdapat di dalam riwayat-riwayat lainnya yang disampaikan oleh para Imam maksum madzhab Ahlulbait as.

Imam Ali as Sendiri Menyuruh Mereka Shalat Tarawih Berjamaah

Syahid: Saya kira sudah cukup jelas apa yang ustadz sampaikan. Tetapi ustadz, saya pernah mendengar bahwa Sayyidina Ali -Karramallu Wajhahu- secara terangterangan menyuruh puteranya al-Hasan agar menyuruh kaum muslimin pada masa khilafahnya untuk melakukan shalat Tarawih secara berjamaah. Nah, ini bagaimana ustadz? Apakah riwayat itu bisa dibenarkan? Apa maksud beliau menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah?

Di sini, nampaknya ada kontradiksi antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. Kontradiksi lainnya adalah: dari satu sisi Sayyidina Ali itu melakukan shalat-shalat sunat dan qiyamullail pada malam-malam bulan Ramadhan secara sendirian, artinya tidak berjamaah. Tetapi dari sisi lain, beliau menyuruh kaum muslimin untuk melakukannya secara berjamaah di masjid? Tolong ustadz jelaskan segamblang mungkin agar kami dapat memahaminya !

Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus dan memang cukup menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik dan benar. Bahkan ini penting untuk diketahui, baik oleh para pecinta madzhab Ahlulbait as, maupun kaum muslimin secara umum. Baiklah ! Sebenarnya riwayat yang berisikan perintah Imam Ali as yang kamu sebutkan itu, memang terdapat di dalam salah satu kitab ulama Ahlulbait as.[13]

Riwayat itu disampaikan oleh Imam Ja'far as-Shadiq as, yaitu Imam maksum yang keenam. Beliau adalah gurunya Imam Hanafi dan Imam Maliki serta 4000 ulama lainnya. Imam Hanafi dan Maliki sangat menghormati dan banyak memuji beliau as. Riwayat itu, jika saya sampaikan dengan gaya bahasa saya, begini isinya -agar lebih mudah dipahami-: Imam Ja'far as-Shadiq as pernah berkata:

"Ketika Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as datang di kota Kufah, beliau menyuruh puteranya yang bernama al-Hasan as agar memberitahukan kepada kaum muslimin "Hendaknya mereka tidak melakukan shalat-shalat sunat pada bulan suci Ramadhan secara berjamaah di masjid". Nah ketika perintah itu disampaikan oleh al-Hasan as kepada kaum muslimin, mereka banyak yang tidak menerima dan memprotes. Mereka menduga bahwa perintah itu sebagai kebijakan yang baru dari Imam Ali as. Karena tradisi shalat Tarawih secara berjamaah yang merupakan sunnah Umar, sudah begitu mendarah daging di kalangan mereka. Karenanya, ketika mendengar larangan itu mereka berteriak: "Waa Umaraah…Waa Umaraah…!!" Artinya: Kasihan sekali si Umar…kasihan sekali si Umar..!! Mendengar teriakan mereka seperti itu al-Hasan as pun kembali ke rumah. Setibanya di rumah, Imam Ali as bertanya kepadanya: "Teriakan apakah itu?". Al-Hasan as menjawab: "Wahai Amirul mukminin, ketika perintah Antum saya sampaikan, mereka berteriak "Waa Umaraah, waa Umaraah..!!". Melihat kondisi kaum muslimin masih seperti itu, kemudian Imam Ali as berkata kepada puteranya tersebut: "Qul Lahum: Shallu !". Artinya: "Katakan kepada mereka: Lakukanlah shalat !".

Sudah jelas, bahwa perintah Imam Ali as kepada mereka dengan ucapan "Shallu" itu, bukan berarti bahwa beliau merestui dan memerintahkan mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sebagaimana yang selama ini mereka lakukan pada masa khalifah Umar dan Usman. Karena beliau as, baik sebelum itu maupun setelahnya dan selama hayatnya, tidak pernah melakukannya secara berjamaah. Bahkan -sama sekali- tidak ada murid-murid dan para pengikut setia beliau yang melakukannya secara berjamaah. Hal ini berarti bahwa beliau tetap mengingkari shalat Tarawih yang dilakukan secara berjamaah. Lalu mengapa beliau mengeluarkan perintah seperti itu? Sudah jelas, bahwa beliau merasa terpaksa untuk mengeluarkan perintah semacam itu dan dengan perasaan kesal dan tidak rela. Mengapa beliau terpaksa mengeluarkan perintah seperti itu? Apabila kamu memahami kondisi kaum muslimin pada saat beliau menduduki kursi khilafah, maka kamu akan dengan mudah dapat memahami mengapa beliau mengeluarkan ucapan dan perintah seperti itu. Dan sebenarnya saja, beliau -dengan ucapannya itu- tidak mengingkari keaslian dianjurkannya melakukan shalat-shalat sunat pada malammalam bulan suci Ramadhan. Yang beliau ingkari adalah dilakukannya secara berjamaah, baik di masjid atau di tempat-tempat lainnya.

Khutbah Imam Ali as : Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu

Ada sebuah khutbah yang pernah disampaikan oleh Imam Ali as yang diriwayatkan oleh Sulaim bin Qais. Dengan membaca dan memahami kandungan khutbah[14] ini, kita dapat mengetahui kondisi umat Islam pada saat itu dengan lebih jelas lagi. Dan melalui khutbah ini pula, kita dapat memahami lebih jelas lagi mengapa Imam Ali as mengeluarkan perintah seperti itu.

Di dalam khutbahnya itu, Imam Ali as menyampaikan puja dan puji kepada Allah Swt, shalawat kepada Rasulullah saw dan keluarganya yang suci. Kemudian beliau menjelaskan tentang bahaya mengikuti hawa nafsu dan banyak berangan-angan. Pada bagian lain dari khutbahnya beliau menjelaskan berbagai peristiwa dan ritual-ritual keagamaan yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw yang dibuat-buat. Setelah itu beliau berkata dalam khutbahnya, yang kandungannya begini:

"Apabila aku larang mereka (dalam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah), maka banyak bala tentaraku dan pengikutku yang akan bercerai berai dan meninggalkanku. Demi Allah, aku telah menyuruh mereka agar tidak melakukan jamaah pada bulan suci Ramadhan kecuali dalam shalat-shalat fardhu. Aku juga telah sampaikan kepada mereka bahwa berjamaah dalam shalat-shalat nawafil itu bid'ah. Tetapi sebagian dari bala tentaraku yang ikut berperang bersamaku berteriak: "Wahai kaum muslimin, "Sunnah Umar" telah dirubah. Kita dilarang shalat sunat pada bulan Ramadhan".

Sebagaimana kamu ketahui bahwa Imam Ali as menduduki kursi khilafah itu, karena permintan dan desakan kaum muslimin setelah terbunuh Usman dengan cara yang mengenaskan. Ketika itu Imam Ali as menghadapi berbagai fenomena yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw. Ketika berkuasa, beliau ingin mengembalikan kaum muslimin kepada masa Rasulullah saw dalam berbagai bidang, termasuk dalam tata cara menghidupkan dan meramaikan malam-malam bulan suci Ramadhan. Tetapi beliau mendapatkan rintangan yang sangat berat, sehingga beliau terpaksa membiarkan sebagian dari ritual yang dilakukan tidak sesuai dengan perintah Rasulullah saw. Hal itu karena beliau as memperhatikan hal-hal yang lebih penting, misalnya masalah persatuan umat. Karena musuh-musuh Islam dan kaum muslimin yang setiap saat mengintai- akan dengan mudah menyerbu dan menghabiskan mereka ketika mereka berselisih di dalam tubuh Islam. Oleh karena itu, beliau as menyuruh puteranya al-Hasan as agar membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu, agar persatuan umat Islam -pada kondisi yang sangat memprihatinkan itu- tetap terjaga.

Perlu saya tambahkan bahwa Abu al-Qasim Ibnu Qaulawaih (wafat th 369 H), salah seorang perawi Syi'ah, meriwayatkan sebuah hadis dari Imam al-Baqir dan Imam as-Shadiq as. Kedua Imam maksum tersebut bersabda:

"Ketika Amirul mukmini Ali as tinggal di kota Kufah, masyarakat mendatangi beliau dan berkata kepadanya: "Angkatlah seorang imam shalat buat kami untuk menjadi imam pada bulan suci Ramadhan!". Beliau as menjawab: "Tidak". Dan beliau as melarang mereka untuk melakukan jamaah pada bulan suci tersebut. Lalu mereka memprotes dan berkata: "(Wahai muslimin!), tangisilah Ramadhan..! Waa Ramadhaanaah….! (Betapa malangnya bulan Ramadhan…!)". Al-Haris al-A'war segera mendatangi beliau bersama orang-orang dan ia berkata: "Wahai Amirul mukminin, kaum muslimin menjadi ribut, mereka memprotes ucapanmu!". Ketika itu beliau as berkata: "Biarkanlah apa yang mereka inginkan. Biarkan seorang imam yang mereka pilih shalat bersama mereka!".[15]

Dari riwayat di atas menjadi jelas bagi kita bagaimana sebenarnya sikap para Imam suci Ahlulbait as terhadap shalat-shalat sunat yang dilakukan secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.

Bagaimanakah Tarawih Rasulullah saw ?

Perawi: Zainal Abidin yang sejak awal asyik mendengarkan penjelasan pak ustadz, kini tiba-tiba suaranya memecahkan keheningan dan kekhusyuan rekan-rekannya. Sedari tadi, ia merasa bahwa pak ustadz hanya menyuguhkan hadis-hadis dan riwayatriwayat Ahlulbait as melulu. Hatinya berontak dan iapun berkata.

Zainal : Maaf pak ustadz, hadis-hadis atau riwayat yang Bapak sampaikan barusan adalah ucapan para Imam Ahlulbait as. Bapak belum menyampaikan hadishadis yang datang dari Rasulullah saw yang menyinggung ketidak bolehan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah, baik hadis yang keluar dari lisan suci beliau secara langsung, ataupun yang berupa ketetapan atau perbuatan beliau saw. Jadi, untuk memperjelas masalah di atas, alangkah baiknya jika Pak ustadz juga menyinggung hadis-hadis Rasulullah saw mengenai larangan berjamaah dalam shalatshalat sunat atau Tarawih, baik hadis-hadis itu datangnya dari kitab-kitab Sunni maupun dari kitab-kitab Syi'ah. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya Rasulullah saw sendiri melakukan shalat Tarawih atau shalat nawafil pada bulan suci Ramadhan, baik menurut madzhab Sunni maupun Syi'ah?

Ustadz: Begini Zainal, hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para Imam Ahlulbait as -sehubungan dengan masalah ini- memang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para perawi Ahli Sunnah. Hadis-hadis yang bersumber dari kitab-kitab Syi'ah memang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa Rasulullah saw melarang shalat-shalat nawafil itu dilakukan secara berjamaah pada bulan suci

Ramadhan. Jika kamu membaca hadis-hadis mereka tentang masalah itu, kamu dapat menyimpulkan bahwa pada sebagian malam di bulan suci Ramadhan, Rasulullah saw keluar ke masjid dan melakukan shalat nafilah sendirian. Kemudian kaum muslimin mengikutinya di belakang beliau. Tetapi kemudian beliau melarang mereka. Ketika mereka memaksa beliau terus untuk menjadi imam shalat, akhirnya beliau tidak lagi melakukannya di masjid. Kemudian beliau melakukannya di rumah.

Beberapa orang perawi hadis Syi'ah, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim dan Fudhail pernah bertanya kepada Imam Abu Ja'far al-Baqir as dan Imam Abu Abdillah as-Shadiq as mengenai shalat nafilah lail secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan? Kedua Imam maksum itu menjawab: "Sesungguhnya Nabi saw apabila usai melakukan shalat (di masjid) pada akhir isya' (menjelang tengah malam), pulang ke rumahnya. Kemudian beliau keluar lagi ke masjid pada akhir malam untuk melakukan shalat sunat. Pada malam pertama bulan suci Ramadhan, beliau saw pernah keluar (ke masjid) untuk melakukan shalat sunat seperti yang biasa beliau lakukan sebelumnya. Ketika itu kaum muslimin berdiri berbaris di belakang beliau (menjadi makmum). Mengetahui hal itu, beliau keluar meninggalkan mereka dan melanjutkan shalatnya di rumah beliau. Hal semacam itu (menjadi makmum) mereka lakukan selama tiga malam. Pada malam keempat beliau saw naik ke mimbar. Setelah memuji Allah Swt beliau saw berkata: "Wahai kaum muslimin, sesungguhnya shalat sunat pada malam Ramadhan, jika dilakukan secara berjamaah adalah bid'ah, shalat Dhuha juga bid'ah. Janganlah kalian melakukan shalat nafilah secara berjamaah pada malam bulan Ramadhan, jangan pula kalian melakukan shalat Dhuha. Karena hal itu merupakan maksiat. Ketahuilah sesungguhnya setiap bid'ah itu adalah sesat. Dan setiap kesesatan jalannya ke neraka".

Kemudian beliau saw turun dari mimbarnya dan berkata: "Perbuatan yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah, lebih baik dari perbuatan banyak dalam ke-bid'ahan".[16]

Hadis-hadis yang senada dengan itu, juga diriwayatkan oleh para perawi Syi'ah lainnya di dalam kitab-kitab Syi'ah. Di dalam hadis-hadis tersebut dengan jelas dan tegas Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk melakukan shalat nafilah atau Tarawih secara berjamaah. Dan larangan itu beliau sampaikan pada malam keempatnya.

Beberapa kitab hadis Sunni pun[17] mencatat berbagai riwayat mengenai shalat nafilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw pada sebagian malam-malam bulan Ramadhan. Dan silsilah hadis-hadis Sunni tersebut kebanyakan berujung kepada A'isyah ummul mukminin. Informasi yang disampaikan oleh A'isyah di dalam beberapa hadis itu begini, bahwa pada suatu tengah malam Rasulullah saw keluar untuk melakukan shalat sunat di masjid. Kemudian orang-orang ikut shalat di belakang beliau. Pada pagi harinya mereka bercerita, sehingga pada malam kedua jamaah bertambah banyak. Pada malam ketiga lebih banyak lagi dan pada malam keempat masjid tidak bisa menampung jamaah lagi karena saking banyaknya. Tetapi pada malam keempat ini, beliau saw tidak lagi datang ke masjid, kecuali untuk melakukan shalat subuh. Setelah shalat subuh beliau berpidato, di antaranya beliau berkata:

"Aku tahu kondisi kalian tadi malam. Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya

("ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها )

Kemudian sampai Rasulullah saw wafat, shalat-shalat sunat tersebut tetap tidak dilakukan secara berjamaah.

Apabila hadis-hadis di atas dan yang lainnya kamu perhatikan dengan baik, maka dapat kamu pahami bahwa di antara perbedaan antara hadis-hadis Syi'ah dengan hadis-hadis Sunni adalah, bahwa di dalam hadis-hadis Syi'ah dengan tegas Rasulullah saw melarang shalat nafilah itu dilakukan secara berjamaah, bahkan beliau menilainya sebagai bid'ah. Tetapi di dalam hadis-hadis Sunni, beliau tidak mau melakukannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan menjadi wajib bagi umatnya yang lemah, dan nantinya mereka tidak mampu untuk melakukannya. Dan yang cukup menarik adalah jika kamu baca hadis lainnya di dalam kitab Sunni[18] ,

yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit. Di dalam hadis tersebut Zaid bercerita bahwa ketika Rasulullah saw tidak lagi datang ke masjid, jamaah shalat itu berteriak-teriak dan melempar pintu rumah Rasulullah saw dengan kerikil. Barangkali maksud mereka ingin membangunkan beliau, karena mereka menduga, barangkali beliau ketiduran atau lupa. Mengetahui mereka berbuat biadab seperti itu, beliau saw kelaur dengan sangat marah dan berkata kepada mereka: "Masih saja kalian ingin melakukan shalat nafilah berjamaah, sehingga aku menduga nantinya akan diwajibkan kepada kalian. Lakukanlah shalat nafilah itu di rumah-rumah kalian. Karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah jika dilakukan di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu".[19]

Di dalam riwayat ini dengan jelas dan tegas, Rasulullah saw menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih atau nafilah itu di dalam rumah-rumah mereka, tentunya tanpa berjamaah.