Al-Qasthalani Berpendapat: Shalat Tarawih itu Bid'ah
Anak-anakku sekalian !
Sekarang jika diasumsikan bahwa para sahabat nabi itu menampakkan perhatiannya yang serius dan sungguh-sungguh terhadap shalat Tarawih, yaitu dengan melakukannya secara berjamaah. Lalu, apakah lantas perhatian serius mereka itu dapat dijadikan milak dan tolok ukur diwajibkannya shalat sunat tersebut, sementara jumlah mereka yang hadir ketika itu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan kaum muslim yang tidak hadir? Karena masjid nabi (masjid nabawi) ketika itu palingpaling hanya dapat menampung sekitar 6000 jamaah saja. Karena masjid nabi ketika itu hanya seluas 35 meter X 30 meter. Kemudian Rasulullah saw memperluasnya menjadi 57 meter X 50 meter.
Mungkinkah perhatian serius sebagian mereka itu dapat mengungkap keseriusan dan kesungguhan seluruh umat Islam di sepanjang masa sampai hari kiamat?
Kemudian, jika kamu perhatikan mengenai jumlah malam dimana Rasulullah saw melakukan shalat nafilah, ternyata terdapat ikhtilaf di dalam hadis-hadis Sunni itu sendiri. Al-Bukhari menukil hadis di dalam kitab as-Shaum, bahwa Nabi saw melakukan shalat Tarawih bersama orang-orang selama tiga malam. Tetapi pada bab at-Tahridh 'ala Qiyamillail, ia menukil, bahwa beliau shalat Tarawih bersama mereka dua malam saja. Dan Muslim pun sepakat dengan dua nukilan tersebut. Di dalam hadis-hadis yang lainnya dikatakan bahwa beliau itu keluar ke masjid pada malammalam yang berbeda-beda, yaitu malam ketiga, kelima, ketujuh dan kedua puluh. Sementara di dalam riwayat Abu Dzar dikatakan bahwa nabi saw keluar dan melakukan shalat pada malam 23, 25 dan malam 27.
Jadi, dari hadis-hadis Sunni yang bermacam-macam dan berbeda-beda ini dapat dipahami bahwa sebenarnya mereka itu tidak serius dan tidak bersungguh-sungguh dalam menukil dan menceritakan perbuatan Rasulullah saw yang sebenarnya, sehubungan dengan shalat Tarawih ini. Jika demikian, dari mana kita akan yakin bahwa nabi saw menganggap dan menilai bahwa mereka betul-betul ingin melakukan shalat Tarawih secara serius dan sungguh-sungguh?
Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa seorang ulama Sunni terkenal yang bernama al-Qasthalani dengan terus terang mengatakan bahwa tambahan-tambahan pada shalat Tarawih itu adalah bid'ah. Dia berkata bahwa:
1. Nabi saw tidak menganjurkan shalat Tarawih dilakukan secara berjamaah.
2. Pada masa Khalifah Abu Bakar pun tidak dilakukan secara berjamaah.
3. Shalat Tarawih itu tidak dilakukan pada awal malam (tetapi pada pertengahan malam).
4. Tidak dilakukan setiap malam.
5. Tidak dilakukan sebanyak seperti yang sekarang.
Tetapi, Siapakah Pelopor Bid'ah ?
Perawi: Mayoritas muslimin memang menduga, bahwa shalat Tarawih yang selama ini mereka lakukan adalah mengikuti sunnah Rasulullah saw semasa hidup beliau. Si Baqir pun -salah seorang murid kelas- menduga seperti itu pula. Selama beberapa tahun ini dan pada setiap Ramadhan ia aktif mengikuti shalat Tarawih berjamaah di masjid dekat rumahnya. Ternyata dugaan atau keyakinannya itu keliru. Menyadari hal itu, ia tidak mau ketinggalan dan segera mengajukan pertanyaan berikut ini:
Baqir: Pak ustadz! Jika memang betul dan telah jelas bahwa sebenarnya Rasulullah saw itu tidak melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dan juga tidak shalat sebanyak 20 rakaat, sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Sunni itu sendiri, lalu, sebenarnya kaum muslimin mengikuti siapa dalam melaksanakan shalat Tarawih dengan tata cara dan jumlah rakaat yang ada sekarang ini? Saya pikir, tentu ada yang memulai atau ada yang mempeloporinya kan! Karena tidak mungkin muncul begitu saja. Nah, apakah orang yang memulai atau mempeloporinya itu, betul-betul sebagai panutan dan layak untuk diikuti? Karena, jika memang ia patut diikuti perintahnya, dengan senang hati saya tetap akan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sampai akhir hayat saya. Tetapi jika memang ternyata tidak layak diikuti, saya khawatir, nanti shalat saya itu tidak mendapatkan apa-apa selain hanya capek dan kelelahan belaka. Sudah di siang hari lelah berpuasa, di malam hari lelah pula ber-Tarawih. Jadi, ini gimana pak ustadz, tolong Bapak jelaskan sedetail mungkin, karena ini urusan agama yang berujung kepada surga atau neraka. Tidak main-main kan?!
Ustadz: Pertanyaan-pertanyaan yang kalian ajukan semuanya bagus-bagus. Baqir pun tidak mau kalah, ia juga mempunyai pertanyaan yang bagus. Pertanyaan Baqir itu, jika diringkas, akan menjadi dua buah pertanyaan saja, yaitu:
1. Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini?
2. Apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan RasulNya sehingga patut diikuti, ataukah tidak?
Sebenarnya pertanyaan yang kedua, berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah saw. Masalah imamah ini, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan AlQur'an dan hadis-hadis Rasulullah saw yang sahih bahkan mutawatir.
Baiklah, saya akan menjawab pertanyaan yang pertama. Tetapi alangkah baiknya jika saya berikan sedikit mukaddimah sebelumnya mengenai ibadah dalam agama kita, Islam.
Jangan Coba-coba Menambah atau Mengurangi Ibadah !
Anak-anakku sekalian! Di dalam ibadah, misalnya seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambahi dari yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedikit saja kamu kurangi atau kamu tambah, maka tidak akan diterima oleh Allah Swt. Ibadah apapun yang telah ditambah atau dikurangi tidak akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dan keselamatan atau surga di akhirat kelak. Misalnya saja seperti ibadah shalat, jumlah rakaat shalat dan jumlah sujudnya sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Apabila kamu tambahkan atau kurangi dari jumlah tersebut, pasti shalatmu tidak akan diterima oleh Allah Swt. Demikian pula halnya dengan jumlah thawaf, sa'i, melontar jumrah, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan tata caranya pun telah ditetapkan sedemikian rupa, jika sedikit saja kamu merubah atau menggantinya, maka Allah Swt tidak akan menerimanya. Misalnya berwudhu harus dengan air murni, tidak boleh dengan air buah atau kuah sayur. Shalat harus menghadap ke arah qiblat, tidak boleh ke arah "Gedung Putih" atau menghadap ke arah "Istana Presiden". Bacaan surat al-Fatihah harus lengkap, tidak boleh dikurangi, ditambah atau diganti dengan surat lainnya. Mengenai waktuwaktu ibadah pun harus sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Misalnya waktu shalat subuh ketika terbit fajar shadiq sampai sebelum terbit matahari, shalat zhuhur harus di muali dari tergelincirnya matahari, puasa harus di bulan suci Ramadhan, haji harus pada bulan haji, dan dilakukan di kota Makkah, bukan di kota Cirebon atau Cicago. Dan begitulah seterusnya.
Jadi sedikit saja kamu rubah atau kurangi atau kamu tambahkan, maka bukan saja tidak akan diterima oleh Allah Swt, bahkan malah diancam akan mendapat siksa yang pedih.
Di dalam sebuah hadis, Imam Ja'far as-Shadiq as bersabda:
"Allah Swt telah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam. Tetapi Iblis memprotes dan berkata: "Ya Rabb, jika Engkau bebaskan aku dari sujud kepada Adam, maka aku akan menyembah dan beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun". Kemudian Allah Swt memberikan jawaban: "Sesungguhnya Aku ingin agar Aku ini ditaati sebagaimana yang Aku kehendaki".
Dari riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika kamu berani merubah, menambah atau mengurangi syari'at Allah Swt yang telah Dia tetapkan, maka kamu dengan Iblis tidak jauh berbeda.
Al-Qur'an sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang lengkap dan sempurna untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Dan tidak seorang pun berhak untuk merubah, menambah atau mengurangi ajaran tersebut. Peran Rasulullah saw sendiri, hanyalah sebagai penyampai ajaran tersebut kepada seluruh umatnya. Artinya beliau sendiri tidak berhak merubah, menambah atau mengurangi ajaran Islam tersebut, apalagi bagi selain Rasulullah saw.
Nah, jika mukaddimah singkat ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka perhatikanlah jawaban atas pertanyaan: Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini? Setelah jelas bahwa shalat Tarawih yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini, itu bukan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, dan bukan pula yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat Tarawih tersebut untuk pertama kalinya ditradisikan oleh khalifah Umar bin Khattab pada tahun 14 H. Hal ini sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarawan di dalam kitab-kitab mereka.
Ibnu Abdil Bar menulis: "Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakni shalat Tarawih)".
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: "Dialah (Umar) orang yang pertama yang melarang penjualan ummahat al-awlad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya).
Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam…."
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa' tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: "Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut'ah…….".
Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khattab di dalam kitabnya at-Thabaqat berkata: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. Dia mengangkat dua qari' (imam) di Madinah; seorang mengimami shalat Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita….". Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadis Rasulullah saw yang berbunyi: "Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan……dst"- berkata: "….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat Tarawih").
Muslim pun -di dalam kitab shahihnya- mengutip hadis yang sama dan kemudian memberikan komentar yang seperti itu juga.