• Mulai
  • Sebelumnya
  • 20 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 4707 / Download: 3072
Ukuran Ukuran Ukuran
STUDI  KRITIS ATAS SHALAT TARAWIH(1)

STUDI KRITIS ATAS SHALAT TARAWIH(1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

STUDI KRITIS

ATAS

SHALAT TARAWIH

(Dalam Dialog antara Guru dan Murid)

Penyusun :

Abu Qurba LC

Kata Pengantar

Menurut saya pribadi, sangat sulit mencari dan menemukan suatu syari'at, ajaran, aliran atau mazhab yang bersih dari berbagai bid'ah dan khurafat. Sebagaimana pula sangat sulit membasmi dan menyingkirkan berbagai bid'ah dan khurafat dari ajaran Islam yang murni. Tetapi hendaknya kita tidak berdiam diri dan berhenti dalam mencarinya. Kita juga tidak boleh berputus asa dalam upaya membersihkan agama Islam ini dari berbagai kotoran dan sampah bid'ah dan khurafat yang banyak berserakan disana-sini di dalam masyarakat Islam. Untuk tujuan itu, berbagai cara dan metode harus kita cari semaksimal mungkin. Setelah kita menemukannya, hendaknya kita tuangkan dalam tulisan atau lewat lisan secara logis dan rasional dengan argumen yang kokoh yang tidak mudah roboh diterpa angin.

Barangkali, salah satu metode yang patut mendapatkan perhatian untuk menyampaikan pesan dan risalah Islam yang murni kepada masyarakat Islam adalah metode dialog. Metode dialog, bukan saja akan mudah dapat dipahami, bahkan metode ini akan lebih melekat dalam benak pembaca atau pendengar di samping mempunyai daya tarik tersendiri tentunya.

Karena itulah, saya berusaha -sesuai dengan kemampuan saya yang sangat terbatas ini- untuk mencoba menerapkan metode dialog tersebut, yakni dialog antara seorang guru dengan beberapa orang muridnya di dalam kelas, dalam menyampaikan pesan-pesan risalah Islam yang murni kepada masyarakat Islam dan kaum muslimin. Pada kesempatan kali ini, saya telah berhasil -dengan taufik Allah- menyusun sebuah buku sederhana yang saya beri tema: Studi Kritis atas Tradisi Ritual Islam Edisi Shalat Tarawih dalam Dialog.

Harapan dan doa saya, kiranya usaha kecil ini dapat membuahkan hasilnya di dalam masyarakat Islam di masa-masa mendatang, khususnya untuk para mahasiswa yang mempunyai wawasan luas, pikiran terbuka dan lapang dada dalam menerima berbagai saran dan kritikan. Dan semoga pula usaha kecil ini mendapatkan rahmat, berkah, ridha dan taufik dari Allah Swt baik di dunia dan khususnya di hari akhirat kelak. Amin, Ya Rabbal 'Alamin……………

Bulan Panen Rahmat, Pahala dan Keberkahan

Perawi: Seperti biasanya, ustadz Muhammad -yang pernah belajar di luar negeri itu, dan kini aktif mengajar murid-murid di pesantren "Cahaya Iman" selama beberapa tahun- memasuki kelas tepat pada waktunya, dan murid-murid pun sudah menanti kedatangannya sejak 10 menit yang lalu untuk menerima pelajaran fiqih darinya. Beliau mengajar beberapa materi penting, di antaranya: fiqih, akidah dan tafsir AlQur'an. Dan sebagian muridnya adalah mahasiswa yang belajar di luar pesantren. Melihat ustadz Muhammad memasuki kelas, murid-murid pun segera berdiri tegak untuk menghormatinya. Dengan kompak dan rapih, mereka menjawab salam ustadz yang hangat. Setelah membacakan absen satu persatu, seperti kebiasaannya, beliau memulai pengajarannya dengan hamdalah, puja-puji dan syukur kepada Allah Swt serta shalawat kepada baginda Rasulullah saw dan seluruh keluarganya yang mulia dan disucikan oleh Allah Swt dari segala kenistaan. Kemudian ustadz berkata:

Ustadz: Anak-anakku sekalian, sebentar lagi kita dan seluruh kaum muslimin yang bermadzhab apapun- akan memasuki bulan suci Ramadhan. Suatu bulan yang sangat mulia dan penuh berkah, karena pada bulan itu kaum muslimin diwajibkan menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Bahkan amalan-amalan ibadah sunat, seperti shalat Tarawih atau shalat nafilatullail, membaca Al-Qur'an, bersedekah, dan lain-lain, akan dilipat gandakan pahalanya oleh Allah Swt.

Rasulullah saw, di dalam “khutbah Sya’baniyah” nya yang terkenal, menilai bahwa bulan Ramadhan merupakan bulan ampunan dan keberkahan. Bulan itu adalah bulan rahmat, karena seluruh amal perbuatan rutinitas manusia, seperti tidur dan bernafas mendapat ganjaran pahala ibadah, terlebih lagi amal ibadah itu sendiri.

Bulan itu adalah bulan ampunan dan pemberian maaf dari Allah Swt. Karena pada bulan itu, lautan kasih sayang Ilahi dan pemberian maaf-Nya melimpah ruah. Pintupintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, sementra setan-setan dibelenggu dengan rantai. Setiap malam, sebagaimana tersebut di dalam riwayat, Allah mengampuni tujuh puluh ribu orang. Dan pada malam Qadar, Dia mengampuni sejumlah orang-orang yang diampuni selama satu bulan, kecuali orang-orang yang menyimpan kemarahan dan mengadakan permusuhan terhadap saudara-saudara seagama muslim. Dosa-dosa mereka itu tidak akan diampuni sebelum mereka berdamai.

Anak-anakku sekalian! Bulan itu, adalah bulan penuh keberkahan. Karena pada bulan itu, berbagai macam kenikmatan, karunia, baik yang berupa maknawiyah maupun Ilahiyah diturunkan. Pada bulan itu, rahmat Ilahi turun dengan deras kepada hamba-Nya. Nikmat yang paling besar adalah turunnya Al-Qur'an al-Karim yang merupakan hidangan langit yang paling besar. Sungguh beruntung orang-orang yang dapat meneguk air jernih pengetahuan darinya, sempat merenung dan bertadabbur atasnya, mengambil permata-permata dari lautan ajarannya, kebun indah hikmahnya dan nasihatnasihatnya yang semerbak.

Mari kita berdoa kepada Allah Swt; semoga pada bulan suci Ramadhan yang sudah di ambang pintu itu, kita semua diberikan taufiq oleh Allah Swt, sehingga dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar pada siang harinya, dan mengisi atau meramaikan malam-malamnya dengan tadarrus Al-Qur'an, shalat malam atau shalat Tarawih, dengan berdiskusi atau mentelaah ilmu-ilmu agama, dan lain sebagainya.

Apakah Shalat Tarawih Wajib Berjamaah? Dan apa Makna Qiyam?

Murtadha (Ia tidak sabar dan memotong ucapan ustadz dengan mengacungkan tangannya. Setelah diizinkan ia angkat bicara): Ustadz ! yang menjadi masalah dan merupakan problem yang hingga kini masih saja menjadi bahan perbincangan dan perdebatan antara sesama kaum muslimin itu sendiri adalah masalah shalat Tarawih. Sepengetahuan saya, bahwa shalat Tarawih itu hukumnya sunat, sebagaimana sunat-sunat lainnya, seperti shalat malam, shalat rawatib, dll. Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu hukumnya wajib. Yang ingin saya tanyakan adalah: Apakah shalat Tarawih -yang hukumnya suant itu- harus dilakukan secara berjama'ah? Artinya tidak sah jika dilakukan secara munfarid (sendiri-sendiri)? Ataukah boleh saya melakukannya sendirian di rumah? Dan bagaimana dengan shalat-shalat sunat lainnya, seperti shalat 'Idul Fitri, 'Idul Adh-ha, shalat-shalat Rawatib (Qabliyah dan Ba'diyah), dll?

Tolong Pak ustadz berikan jawaban dengan bahasa yang semudah mungkin, agar kami dapat memahaminya dengan baik dan benar. Karena saya ingin mengamalkan ajaran Islam dengan penuh keyakinan dan tidak sekedar ikut-ikutan saja!

Ustadz : Pertanyaan yang bagus dan insya Allah bermanfaat. Murtadha dan anakanakku semua! Perhatikanlah jawaban yang akan saya berikan ini dengan baik dan serius !

Sehubungan dengan amalan-amalan sunat pada bulan Ramadhan, apabila kamu sempat membuka kitab-kitab hadis, misalnya kitab hadis shahih al-Bukhari, shahih alMuslim,1 dll, maka di sana akan kamu temukan sebuah hadis yang berkaitan dengan anjuran untuk melakukan amalan-amalan sunat pada bulan suci Ramadhan. Dengan kata lain terdapat hadis dimana Rasulullah saw menganjurkan umatnya agar menghidupkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan sunat. Hadis itu berbunyi begini:

[1] من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya: "Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) atau barang siapa yang menghidupkan bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ikhlas karena Allah, maka seluruh dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni".

Ungkapan :من قام رمضان mungkin dapat diartikan dengan "Barangsiapa yang mengerjakan shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan Ramadhan", dan bisa juga diartikan dengan "Barangsiapa yang menghidupkan dan mensyiarkan bulan suci Ramadhan".

Menurut makna yang kedua, maka yang dapat dipahami dari riwayat atau hadis ini adalah, bahwa Rasulullah saw memberikan perintah yang bersifat umum kepada seluruh umatnya. Perintah umum itu apa? Yaitu agar umatnya menghidupkan dan meramaikan atau mensyi'arkan bulan suci Ramadhan dengan berbagai amalan ibadah yang dianjurkan oleh Allah Swt. Di dalam hadis ini beliau tidak menentukan atau membatasinya dengan amalan ibadah tertentu. Dengan demikian -berdasarkan hadis ini dengan makna yang kedua- kita boleh-boleh saja menghidupkan dan meramaikannya dengan shalat-shalat sunat, dengan membaca Al-Qur'an, diskusi ilmiah, membaca kitab tafsir, fikih, dan lain sebagainya. Asal bukan maksiat dan halhal yang dilarang oleh syariat. Jadi, di dalam hadis di atas, sama sekali Rasulullah saw tidak membatasinya dengan mengatakan : "Ramaikanlah bulan Ramadhan dengan shalat Tarawih". Tidak, tidak demikian.

Mengenai, apakah shalat Tarawih dan shalat-shalat sunat lainnya itu harus dilakukan secara berjamaah, dan jika dilakukan tanpa berjamaah tidak sah? Jawabannya adalah: Yang masyhur menurut madzhab Ahli Sunah adalah, bahwa seluruh shalat-shalat sunat -tanpa kecuali dan termasuk shalat Tarawih- dianjurkan agar dilakukan secara berjamaah. Tetapi ada sebagian shalat sunat yang lebih utama jika dilakukan secara munfarid atau infirad yaitu sendirian dan tanpa mengikuti imam jamaah.

Ikhtilaf Ulama Sunni mengenai Shalat Tarawih

Perlu kamu ketahui bahwa madzhab Ahli Sunnah itu mempunyai beberapa orang ulama fikih. Di antaranya adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Mereka semua adalah para Imam fikih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni). Walaupun mereka semua adalah para imam Ahli Sunnah, tetapi di antara mereka terdapat ikhtilaf dan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah fikih. Dan hal ini merupakan hal yang biasa dalam masalah fikih. Tetapi hendaknya kamu harus mengetahui dan memahaminya dengan baik, agar sesama Ahli Sunnah tidak berkelahi hanya gara-gara masalah fikih yang tidak dipahaminya dengan benar. Akhirnya musuh-musuh Islam yang diketuai oleh Iblis merasa senang, bergembira dan bertepuk tangan. Untuk mengetahui ikhtilaf dan perbedaan pendapat atau pandangan di anatara para Imam Sunni itu, mengenai shalat-shalat sunat, perlu saya jelaskan agak rinci, perhatikanlah baik-baik!

Al-Malikiyah atau Imam Malik (gurunya Imam Syafi'i) mengatakan bahwa, shalat Tarawih itu hukumnya mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah. Adapun shalat-shalat nawafil atau sunat yang lain, ada yang makruh hukumnya jika dilakukan secara berjamaah. Misalnya, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah di dalam masjid, makruh hukumnya melakukan shalat sunat secara berjamaah jika jamaahnya banyak sekali. Makruh juga hukumnya melakukan shalat sunat di suatu tempat dimana banyak orang-orang yang berlalu lalang di tempat tersebut. Ada juga shalat-shalat sunat yang hukumnya ja'iz atau boleh dilakukan secara berjamaah. Yang ja'iz ini misalnya seperti: Jika jamaahnya sedikit, atau dilakukan di dalam rumah, atau di tempat yang bukan tempat berlalu lalangnya orangorang. Ini pendapat Al-Malikiyah atau Imam Maliki.

Al-Hanafiyah atau Imam Hanafi mengatakan bahwa shalat Tarawih dan shalat jenazah itu hukumnya sunat kifayah jika dilakukan secara berjamaah. Adapun shalatshalat nawafil hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah. Shalat Witir juga hukumnya makruh jika dilakukan secara berjamaah pada selain bulan suci Ramadhan. Kemakruhan tersebut apabila makmumnya lebih dari tiga orang. Artinya jika makmumnya hanya dua atau tiga orang saja, maka tidak dimakruhkan. Adapun pada bulan suci Ramadhan, tidak dimakruhkan melakukan shalat Witir secara berjamaah. Artinya hukumnya ja'iz (boleh-boleh saja). Ada juga yang mengatakan bahwa menurut al-Hanafiyah, hukumnya sunat melakukan shalat Witir secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.

Lain lagi pendapat as-Syafi'iyah (Imam Syafi'I; muridnya Imam Maliki), beliau mengatakan bahwa, hukumnya sunat melakukan shalat 'Idhul Fitri, 'Idhul Adh-ha, Istisqa', Kusuf (gerhana matahari), Tarawih dan Witir Ramadhan secara berjamaah. Tetapi ada juga yang menukil bahwa Imam Syafi'i pernah berkata bahwa: "shalat munfarid (sendiri, tanpa imam) itu lebih aku sukai".

Apabila kamu mengkaji fatwa-fatwa dan pandangan Imam Syafi'i, memang terdapat dan terjadi perubahan antara qaul qadim (pandangan lama) dengan qaul jadid (pandangan baru). Bahkan terkadang para ulama yang mengikuti dan membela pandangan beliau saling berbeda pendapat dalam menafsirkan fatwa-fatwa beliau.

Adapun pendapat al-Hanabilah (Imam Hanbali; muridnya Imam Syafi'i), beliau mengatakan bahwa, Shalat-shalat sunat ada dua bagian; sebagiannya sunat dilakukan secara berjamaah, yaitu seperti shalat Istisqa', Tarawih, 'Idhul Fitri dan 'Idhul Adh-ha. Dan sebagian lainnya mubah dilakukan secara berjamaah, yaitu seperti shalat Tahajjud dan shalat-shalat Rawatib fardhu.

Adalagi ulama Sunni lainnya yang bernama al-Maqdisi (Ibnu Quddamah alMaqdisi), beliau menulis di dalam kitabnya as-Syarhil Kabir begini: Shalat-shalat

sunat itu boleh dilakukan secara berjamaah dan boleh juga secara munfarid (sendiri). Karena Rasulullah saw pernah melakukan kedua-duanya. Tetapi kebanyakan shalatshalat sunat tersebut, beliau lakukan secara munfarid. Oleh karena itu mereka (para ulama) bersepakat bahwa shalat-shalat sunat itu lebih utama dilakukan di dalam rumah. Karena Rasulullah saw telah bersabda:

"Hendaknya kalian melakukan shalat di dalam rumah kalian. Dan sesungguhnya shalat seseorang yang paling baik itu, jika dilakukan di rumahnya, kecuali shalat Maktubah (shalat-shalat fardhu)".

Di dalam hadis lainya Rasulullah saw bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian melakukan shalat di masjidnya, maka hendaknya ia menyisahkan sebagian shalatnya untuk dilakukan di rumahnya. Karena sesungguhnya Allah Swt menjadikan kebaikan di dalam rumahnya dari shalatnya tersebut."[2]

Dari Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah saw bersabda: "Shalat seseorang di dalam rumahnya itu lebih utama daripada shalatnya di dalam masjidku ini, kecuali shalat maktubah".[3]

Alasan lainnya adalah karena shalat di dalam rumah itu lebih mendekati kepada keikhlasan dan lebih jauh dari sifat riya', karena hal itu termasuk amal ibdah secara tersembunyi. Amal secara tersembunyi itu lebih baik daripada terang-terangan.[4]

Pandangan Ulama Ahlulbait as mengenai Shalat Tarawih

Demikianlah pendapat, pandangan dan hasil ijtihad para tokoh dan ulama fikih madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni).

Anak-anakku, untuk melengkapi pembahasan di atas, dengarkanlah baik-baik pandangan dan pendapat ulama Ahlulbait as atau ulama madzhab Syi'ah Imamiyah. Sebagaimana madzhab Ahli Sunnah mempunyai beberapa atau banyak ulama fikih dan juga ulama akidah, demikian juga halnya dengan madzhab Ahlulbait as (Syi'ah Imamiyah). Hanya saja dalam hal ini, dan banyak lagi dalam hal-hal lainnya, tidak terdapat perbedaan pandangan dan pendapat di antara mereka. Dengan kata lain bahwa para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait as bersepakat kata dalam memberikan keputusan hukum atas persoalan di atas. Jadi, bagaimanakah pandangan mereka itu? Mereka (para Imam dan ulama madzhab Ahlulbait as) mengatakan bahwa sesungguhnya shalat-shalat fardhu yang lima itu dianjurkan dan disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah. Yakni hukumnya sunat muakkad (sangat ditekankan).

Adapun shalat-shalat sunat, tidak disyariatkan dilakukan secara berjamaah. Artinya harus dilakukan secara munfarid (sendiri), kecuali shalat Istisqa', 'Idhul Fitri dan 'Idhul Adh-ha. Jelasnya bahwa ketiga macam shalat sunat ini mustahab atau sunat dilakukan secara berjamaah ketika syarat-syaratnya masih kurang. Tetapi jika syaratsyaratnya sudah terpenuhi (di antaranya kehadiran Imam Zaman ajf), maka ketiga macam shalat itu, hukumnya wajib dilakukan secara berjamaah. Jadi bukan lagi sunat atau mustahab. Adapun menurut empat orang Imam madzhab Sunni (al-Madzahibul Arba'ah), berjamaah itu disyariatkan secara mutlak, baik dalam shalat-shalat wajib maupun shalat-shalat sunat. [5]

Mujtaba: Ustadz! Yang dapat saya pahami dari uraian di atas, sehubungan dengan shalat Tarawih adalah: Umat Islam boleh melakukannya secara munfarid atau sendirian di rumahnya masing-masing. Artinya hal itu dianggap sah. Bukankah begitu pak ustadz? Saya kira cukup jelas jawaban yang diberikan oleh Pak Ustadz. Tetapi ada hal yang menarik yang tadi Bapak singgung, yaitu pandangan madzhab Ahlulbait as mengenai tidak disyariatkannya shalat Tarawih jika dilakukan secara berjamaah, dan para ulama mereka bersepakat kata dalam hal ini. Yang ingin saya tanyakan adalah, mengapa pandangan Imam dan ulama madzhab Ahlul bait ini berbeda sendiri dalam masalah ini? Apa sebenarnya yang melandasi pemikiran dan pandangan mereka itu? Tetapi kalau bisa, sebelum Pak ustadz memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, saya pikir, alangkah baiknya, jika pak ustadz menerangkan jumlah rakaat shalat Tarawih yang sebenarnya. Sebab, sudah bukan merupakan rahasia lagi, bahwa kaum muslimin berbeda pendapat dalam menentukan jumlah rakaat shalat Tarawih ini.

Misalnya di sebagian tempat atau masjid, shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat. Sementara di masjid atau tempat lainnya hanya 8 rakaat. Padahal kan mereka itu semua adalah bermadzhab Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni)? Bahkan seringkali melalui mimbar-mimbar ceramah, masing-masing penceramah saling menjatuhkan dan meremehkan pandangan lainnya. Sehingga hal semacam ini malah menambah renggang hubungan antar kaum muslimin yang notabene satu madzhab (Sunni). Yah, sangat disayangkan, hal ini seakan-akan sudah melekat di masyarakat muslim. Hampir tidak pernah saya dengar pembahasan ilmiah sebagaimana yang pak ustadz uraikan di atas tadi. Di samping itu, saya juga ingin tahu, apakah madzhab Ahlul bait memiliki jumlah rakaat tersendiri dalam shalat Tarawih ini? Dan juga ustadz, bagaimana mereka melakukan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan?

Berapa Sebenarnya Jumlah Rakaat Shalat Tarawih? 20 Rakaat Ketetapan Umar

Ustadz : Baiklah, memenuhi permintaan Mujtaba, saya akan jelaskan pandangan fuqaha' Ahli Sunnah dan juga fuqaha Syi'ah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih ini. Ya, betul memang, sebagaimana yang kamu singgung bahwa para ulama Sunni berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah rakaat shalat Tarawih. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki dalil yang sharih dan jelas dari Rasulullah saw, baik melalui dalil ucapan, perbuatan ataupun taqrir beliau saw. Jelas, bahwa terdapatnya ikhitlaf di antara para ulama Sunni yang tidak mungkin bisa disatukan itu menunjukkan tidak adanya dalil yang sharih (jelas dan terang) dari Rasulullah saw.

Misalnya di dalam salah satu kitab fikih Sunni yang bernama al-Mughni, di sana seorang ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi mengatakan bahwa shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat. Hal ini sama dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam Syafi'i. Sementara Imam

Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan orang-orang Madinah.[6]

Jelas, bahwa pandangan mereka itu tidak mewakili pandangan Rasulullah saw dan tidak juga bersumber dari beliau. Tetapi yang jelas adalah bahwa pendapat yang mengatakan bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20 rakaat, itu bersandar atau bersumber dari perbuatan dan ketetapan Umar bin Khattab. Sementara pendapat yang mengatakan 36 rakaat, bersumber dan bersandar kepada perbuatan Umar bin Abdul Aziz. Jika kamu ingin mengetahuinya lebih detail lagi, maka kamu dapat merujuk sebuah kitab fikih Ahli Sunnah yang bernama "Al-Fiqhu 'Alal Madzahibil Arba'ah" yang ditulis oleh Abdul Rahman al-Jazairi. Di antara tulisan al-Jazairi di dalam kitabnya tersebut yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini dan dengan bahasa yang mudah, begini: "Syaikhan, dua orang Syaikh yaitu al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadis bahwa Rasulullah saw keluar dari rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Lalu beliau saw shalat di dalam masjid. Dan orang-orang pun ikut melakukan shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau saw melakukan shalat sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka di rumah-rumah mereka……." Kemudian al-Jazairi menyimpulkan pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: "Dari riwayat ini jelaslah bahwa Nabi saw

telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih secara berjamaah. Tetapi beliau saw tidak melakukannya -bersama-sama dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa sahabat (setelah wafat Rasulullah saw) dan pada masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Dan setelah keluar pada tiga malam itu, beliau saw tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas mereka sebagaimana disinggung di dalam riwayat lainnya. Dan telah jelas pula bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu disetujui oleh para sahabat Nabi saw. Ya, betul memang, jumlah rakaat tersebut ditambah lagi pada masa kekuasaan Umar bin Abdul Aziz sehingga jumlahnya menjadi 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut adalah untuk menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka melakukan thawaf (mengelilingi Ka'bah) satu kali setelah setiap 4 rakaat. Dengan itu, beliau (Umar bin Abdul Aziz) memandang perlu menambahkannya dalam setiap thawaf sebanyak 4 rakaat". Itulah apa yang ditulis oleh al-Jazairi di dalam kitabnya al-Fiqhu 'Alal Madzahibil Arba'ah.[7]

Mari Menghitung Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Sekarang, mari kita coba berhitung ! Dikatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz menambah jumlah rakaat tersebut menjadi 36 rakaat, yakni tadinya 20 rakaat, kemudian ditambah 16 rakaat menjadi 36 rakaat. Kenapa ditambah? Karena orangorang Makkah setiap mendapatkan 4 rakaat, melakukan thawaf satu kali. Lho kalau memang setiap selesai 4 rakaat mereka melakukan thawaf satu kali, jadi jumlah rakaatnya bukan 36 rakaat dong, melainkan yang betul adalah menjadi 40 rakaat. Karena jika mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat dan setiap 4 rakaat satu kali thawaf, kan jumlah thawafnya menjadi 5 kali, betul ngga? Jika setiap satu kali thawaf diganti 4 rakaat, kan menjadi 20 rakaat. Dengan demikian 20 rakaat ditambah 20 rakaat lagi sebagai ganti thawaf, maka menjadi 40 rakaat, bukan 36 rakaat.

Di dalam madzhab Ahli Sunnah, kitab al-Bukhari adalah kitab hadis yang paling shahih dan kedudukannya nomor dua setelah Al-Qur'an. Kitab ini banyak yang mensyarahinya. Apabila kamu membuka-buka kitab-kitab syarahnya dan berusaha mengetahui jumlah rakaat shalat Tarawih menurut para ulama pensyarah tersebut, maka akan kamu dapati bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13 rakaat, ada yang bilang 20 rakaat, ada yang berpendapat 24 rakaat, ada yang mengatakan 28 rakaat, ada lagi yang berpendapat 36 rakaat, ada juga yang mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi mengatakan 39 rakaat, pendapat selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat lainnya adalah 47 rakaat, dan begitulah seterusnya[8]

Nah itulah, pandangan ulama Ahli Sunnah mengenai jumlah rakaat shalat Tarawih. Anehnya lagi bahwa Umar bin Abdul Aziz ikut campur dalam menentukan urusan syariat ini. Untuk menyamakan keutamaan dan pahala penduduk Madinah dengan penduduk Makkah, dia memasukkan apa yang bukan bagian darinya dengan pendapatnya sendiri. Jika hal semacam ini dibiarkan, maka nantinya syariat Islam akan menjadi permainan para penguasa dengan menambah, mengurangi atau merubah syariat sesuai dengan pendapat mereka sendiri.

Shalat Tarawih di dalam Mazhab Ahlul Bait as

Kemudian, mengenai shalat Tarawih (qiyamullail fi Ramadhan) di dalam madzhab Ahlulbait as, memang berbeda dengan madzhab Sunni, baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara lainnya. Yang jelas, para Imam dan ulama mereka tidak berikhtilaf dan tidak berbeda pendapat mengenai jumlah rakaat dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut, tidak seperti para Imam dan ulama Sunni. Apabila kamu mencoba merujuk kepada kitab-kitab fiqih atau kitab-kitab tuntunan ibadah bulan suci Ramadhan, maka akan kamu temukan bahwa para Imam maksum as dan para ulama Ahlulbait as melakukan shalat atau qiyamullail pada bulan suci Ramadhan sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh.

Mulai malam pertama sampai pada malam ke dua puluh, mereka melakukannya sebanyak 20 rakaat. Jadi selama 20 malam itu berjumlah 400 rakaat. Kemudian pada sisa-sisa malam selanjutnya, yaitu mulai malam 21 sampai malam terakhir, mereka melakukannya 30 rakaat. Jadi selama 10 malam berjumlah 300 rakaat. Sedang pada tiga malam ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahnya 100 rakaat. Jadi tambahannya pada tiga malam itu sebanyak 300 rakaat. Dengan demikian 400 + 300 + 300 = 1000 rakaat. Tentu saja hal ini bagi yang mampu melakukannya dan tidak mengganggu pekerjaan lainnya yang lebih utama dan lebih penting. Pekerjaan yang jauh lebih utama dan lebih penting adalah mudzakarah atau diskusi tentang ilmu-ilmu agama, seperti akidah, tafsir, fiqih, dan lain sebagainya. Ketika seorang ulama ditanya mengenai amalan atau pekerjaan apakah yang paling utama untuk dilakukan pada malam-malam Qadar? Dia menjawab: "Mudzakarah ilmu". Jawaban ulama ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Syaikh Abbas al-Qummi di dalam kitabnya "Mafatihul Jinan".[9]

Kitaf tafsir "Al-Mizan" yang ditulis oleh 'Allamah Muhammad Husain AtThaba'thaba'i, merupakan kitab tafsir yang terbaik pada masa sekarang ini. Jika kamu membuka jilid terakhir, yaitu jilid ke 20, kamu baca bahwa beliau merampungkan tulisannya itu bertepatan pada malam Qadar.[10]

Artinya, malam-malam Ramadhan itu beliau isi dengan menulis kitab tafsir tersbut. Sehubungan dengan shalat 1000 rakaat, di dalam riwayat disebutkan bahwa Imam Ali Zainal Abidin as biasa melakukan shalat malam sebanyak 1000 rakaat, dan ini pada selain bulan suci Ramadhan. Beliau as mengikuti jejak kakeknya, yaitu Imam Ali as dan Rasulullah saw.

Dalil Ketidak bolehan Shalat Nafilah secara Berjamaah

Mengenai berjamaah dalam shalat Tarawih atau qiyamullail di dalam madzhab Ahlulbait as, saya ulangi lagi bahwa sebenarnya para Imam maksum as dan para ulama Ahlulbait as bersepakat mengatakan bahwa ajaran Ahlulbait as tidak mensyariatkan dan tidak membenarkan jika shalat-shalat sunat pada malam-malam bulan suci Ramadhan itu dilakukan secara berjamaah. Dengan kata lain yang lebih jelas, bahwa menurut mereka, hukumnya bid'ah melakukan shalat-shalat sunat pada malammalam Ramadhan jika dilakukan secara berjamaah. Landasan mereka adalah perbuatan dan tuntunan Rasulullah saw dan tauladan para Imam maksum as. Mereka berpandangan bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak pernah melakukan shalat Tarawih atau qiyamullail secara berjamaah. Dan shalat Tarawih berjamaah itu terjadi pada masa khalifah Umar bin Khattab, atas perintahnya dan dengan pendapatnya sendiri. Padahal, pada masa-masa khalifah sebelumnya pun, yaitu pada masa khalifah Abu Bakar, kaum muslimin tidak ada yang melakukan shalat Tarawih ini secara berjamaah.

Jadi, kesimpulannya menurut madzhab Ahlulbait as, hukumnya tidak boleh dan bid'ah melakukan shalat-shalat nawafil atau shalat sunat secara berjamaah, termasuk di dalamnya shalat Tarawih, kecuali beberapa shalat sunat yang memiliki dalil khusus dan pada kondisi tertentu, sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Imam Muhammad al-Baqir as, yaitu Imam maksum yang kelima dalam madzhab Ahlulbait as pernah berkata:

"Tidak boleh melakukan shalat Tathawwu' (shalat-shalat sunat) secara berjamaah (karena itu bid'ah). Dan setiap bid'ah itu dhalalah. Dan setiap dhalalah itu di neraka".[11]

Imam Ali al-Ridha as, yaitu Imam maksum yang kedelapan pernah berkata dalam suratnya yang ia tujukan kepada Makmun: "Dan tidak boleh shalat Tathawwu' itu dilakukan secara berjamaah, karena hal itu adalah bid'ah".[12]

Kedua riwayat tersebut berbicara mengenai shalat-shalat sunat secara umum yang tidak boleh dilakukan secara berjamaah. Dan termasuk di dalamnya adalah shalat Tarawih. Adapun mengenai larangan melakukan shalat Tarawih dengan berjamaah secara khusus, terdapat di dalam riwayat-riwayat lainnya yang disampaikan oleh para Imam maksum madzhab Ahlulbait as.

Imam Ali as Sendiri Menyuruh Mereka Shalat Tarawih Berjamaah

Syahid: Saya kira sudah cukup jelas apa yang ustadz sampaikan. Tetapi ustadz, saya pernah mendengar bahwa Sayyidina Ali -Karramallu Wajhahu- secara terangterangan menyuruh puteranya al-Hasan agar menyuruh kaum muslimin pada masa khilafahnya untuk melakukan shalat Tarawih secara berjamaah. Nah, ini bagaimana ustadz? Apakah riwayat itu bisa dibenarkan? Apa maksud beliau menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah?

Di sini, nampaknya ada kontradiksi antara satu riwayat dengan riwayat yang lain. Kontradiksi lainnya adalah: dari satu sisi Sayyidina Ali itu melakukan shalat-shalat sunat dan qiyamullail pada malam-malam bulan Ramadhan secara sendirian, artinya tidak berjamaah. Tetapi dari sisi lain, beliau menyuruh kaum muslimin untuk melakukannya secara berjamaah di masjid? Tolong ustadz jelaskan segamblang mungkin agar kami dapat memahaminya !

Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus dan memang cukup menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik dan benar. Bahkan ini penting untuk diketahui, baik oleh para pecinta madzhab Ahlulbait as, maupun kaum muslimin secara umum. Baiklah ! Sebenarnya riwayat yang berisikan perintah Imam Ali as yang kamu sebutkan itu, memang terdapat di dalam salah satu kitab ulama Ahlulbait as.[13]

Riwayat itu disampaikan oleh Imam Ja'far as-Shadiq as, yaitu Imam maksum yang keenam. Beliau adalah gurunya Imam Hanafi dan Imam Maliki serta 4000 ulama lainnya. Imam Hanafi dan Maliki sangat menghormati dan banyak memuji beliau as. Riwayat itu, jika saya sampaikan dengan gaya bahasa saya, begini isinya -agar lebih mudah dipahami-: Imam Ja'far as-Shadiq as pernah berkata:

"Ketika Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as datang di kota Kufah, beliau menyuruh puteranya yang bernama al-Hasan as agar memberitahukan kepada kaum muslimin "Hendaknya mereka tidak melakukan shalat-shalat sunat pada bulan suci Ramadhan secara berjamaah di masjid". Nah ketika perintah itu disampaikan oleh al-Hasan as kepada kaum muslimin, mereka banyak yang tidak menerima dan memprotes. Mereka menduga bahwa perintah itu sebagai kebijakan yang baru dari Imam Ali as. Karena tradisi shalat Tarawih secara berjamaah yang merupakan sunnah Umar, sudah begitu mendarah daging di kalangan mereka. Karenanya, ketika mendengar larangan itu mereka berteriak: "Waa Umaraah…Waa Umaraah…!!" Artinya: Kasihan sekali si Umar…kasihan sekali si Umar..!! Mendengar teriakan mereka seperti itu al-Hasan as pun kembali ke rumah. Setibanya di rumah, Imam Ali as bertanya kepadanya: "Teriakan apakah itu?". Al-Hasan as menjawab: "Wahai Amirul mukminin, ketika perintah Antum saya sampaikan, mereka berteriak "Waa Umaraah, waa Umaraah..!!". Melihat kondisi kaum muslimin masih seperti itu, kemudian Imam Ali as berkata kepada puteranya tersebut: "Qul Lahum: Shallu !". Artinya: "Katakan kepada mereka: Lakukanlah shalat !".

Sudah jelas, bahwa perintah Imam Ali as kepada mereka dengan ucapan "Shallu" itu, bukan berarti bahwa beliau merestui dan memerintahkan mereka agar melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sebagaimana yang selama ini mereka lakukan pada masa khalifah Umar dan Usman. Karena beliau as, baik sebelum itu maupun setelahnya dan selama hayatnya, tidak pernah melakukannya secara berjamaah. Bahkan -sama sekali- tidak ada murid-murid dan para pengikut setia beliau yang melakukannya secara berjamaah. Hal ini berarti bahwa beliau tetap mengingkari shalat Tarawih yang dilakukan secara berjamaah. Lalu mengapa beliau mengeluarkan perintah seperti itu? Sudah jelas, bahwa beliau merasa terpaksa untuk mengeluarkan perintah semacam itu dan dengan perasaan kesal dan tidak rela. Mengapa beliau terpaksa mengeluarkan perintah seperti itu? Apabila kamu memahami kondisi kaum muslimin pada saat beliau menduduki kursi khilafah, maka kamu akan dengan mudah dapat memahami mengapa beliau mengeluarkan ucapan dan perintah seperti itu. Dan sebenarnya saja, beliau -dengan ucapannya itu- tidak mengingkari keaslian dianjurkannya melakukan shalat-shalat sunat pada malammalam bulan suci Ramadhan. Yang beliau ingkari adalah dilakukannya secara berjamaah, baik di masjid atau di tempat-tempat lainnya.

Khutbah Imam Ali as : Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu

Ada sebuah khutbah yang pernah disampaikan oleh Imam Ali as yang diriwayatkan oleh Sulaim bin Qais. Dengan membaca dan memahami kandungan khutbah[14] ini, kita dapat mengetahui kondisi umat Islam pada saat itu dengan lebih jelas lagi. Dan melalui khutbah ini pula, kita dapat memahami lebih jelas lagi mengapa Imam Ali as mengeluarkan perintah seperti itu.

Di dalam khutbahnya itu, Imam Ali as menyampaikan puja dan puji kepada Allah Swt, shalawat kepada Rasulullah saw dan keluarganya yang suci. Kemudian beliau menjelaskan tentang bahaya mengikuti hawa nafsu dan banyak berangan-angan. Pada bagian lain dari khutbahnya beliau menjelaskan berbagai peristiwa dan ritual-ritual keagamaan yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw yang dibuat-buat. Setelah itu beliau berkata dalam khutbahnya, yang kandungannya begini:

"Apabila aku larang mereka (dalam melakukan shalat Tarawih secara berjamaah), maka banyak bala tentaraku dan pengikutku yang akan bercerai berai dan meninggalkanku. Demi Allah, aku telah menyuruh mereka agar tidak melakukan jamaah pada bulan suci Ramadhan kecuali dalam shalat-shalat fardhu. Aku juga telah sampaikan kepada mereka bahwa berjamaah dalam shalat-shalat nawafil itu bid'ah. Tetapi sebagian dari bala tentaraku yang ikut berperang bersamaku berteriak: "Wahai kaum muslimin, "Sunnah Umar" telah dirubah. Kita dilarang shalat sunat pada bulan Ramadhan".

Sebagaimana kamu ketahui bahwa Imam Ali as menduduki kursi khilafah itu, karena permintan dan desakan kaum muslimin setelah terbunuh Usman dengan cara yang mengenaskan. Ketika itu Imam Ali as menghadapi berbagai fenomena yang terjadi setelah wafat Rasulullah saw. Ketika berkuasa, beliau ingin mengembalikan kaum muslimin kepada masa Rasulullah saw dalam berbagai bidang, termasuk dalam tata cara menghidupkan dan meramaikan malam-malam bulan suci Ramadhan. Tetapi beliau mendapatkan rintangan yang sangat berat, sehingga beliau terpaksa membiarkan sebagian dari ritual yang dilakukan tidak sesuai dengan perintah Rasulullah saw. Hal itu karena beliau as memperhatikan hal-hal yang lebih penting, misalnya masalah persatuan umat. Karena musuh-musuh Islam dan kaum muslimin yang setiap saat mengintai- akan dengan mudah menyerbu dan menghabiskan mereka ketika mereka berselisih di dalam tubuh Islam. Oleh karena itu, beliau as menyuruh puteranya al-Hasan as agar membiarkan mereka dalam kondisi seperti itu, agar persatuan umat Islam -pada kondisi yang sangat memprihatinkan itu- tetap terjaga.

Perlu saya tambahkan bahwa Abu al-Qasim Ibnu Qaulawaih (wafat th 369 H), salah seorang perawi Syi'ah, meriwayatkan sebuah hadis dari Imam al-Baqir dan Imam as-Shadiq as. Kedua Imam maksum tersebut bersabda:

"Ketika Amirul mukmini Ali as tinggal di kota Kufah, masyarakat mendatangi beliau dan berkata kepadanya: "Angkatlah seorang imam shalat buat kami untuk menjadi imam pada bulan suci Ramadhan!". Beliau as menjawab: "Tidak". Dan beliau as melarang mereka untuk melakukan jamaah pada bulan suci tersebut. Lalu mereka memprotes dan berkata: "(Wahai muslimin!), tangisilah Ramadhan..! Waa Ramadhaanaah….! (Betapa malangnya bulan Ramadhan…!)". Al-Haris al-A'war segera mendatangi beliau bersama orang-orang dan ia berkata: "Wahai Amirul mukminin, kaum muslimin menjadi ribut, mereka memprotes ucapanmu!". Ketika itu beliau as berkata: "Biarkanlah apa yang mereka inginkan. Biarkan seorang imam yang mereka pilih shalat bersama mereka!".[15]

Dari riwayat di atas menjadi jelas bagi kita bagaimana sebenarnya sikap para Imam suci Ahlulbait as terhadap shalat-shalat sunat yang dilakukan secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan.

Bagaimanakah Tarawih Rasulullah saw ?

Perawi: Zainal Abidin yang sejak awal asyik mendengarkan penjelasan pak ustadz, kini tiba-tiba suaranya memecahkan keheningan dan kekhusyuan rekan-rekannya. Sedari tadi, ia merasa bahwa pak ustadz hanya menyuguhkan hadis-hadis dan riwayatriwayat Ahlulbait as melulu. Hatinya berontak dan iapun berkata.

Zainal : Maaf pak ustadz, hadis-hadis atau riwayat yang Bapak sampaikan barusan adalah ucapan para Imam Ahlulbait as. Bapak belum menyampaikan hadishadis yang datang dari Rasulullah saw yang menyinggung ketidak bolehan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah, baik hadis yang keluar dari lisan suci beliau secara langsung, ataupun yang berupa ketetapan atau perbuatan beliau saw. Jadi, untuk memperjelas masalah di atas, alangkah baiknya jika Pak ustadz juga menyinggung hadis-hadis Rasulullah saw mengenai larangan berjamaah dalam shalatshalat sunat atau Tarawih, baik hadis-hadis itu datangnya dari kitab-kitab Sunni maupun dari kitab-kitab Syi'ah. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya Rasulullah saw sendiri melakukan shalat Tarawih atau shalat nawafil pada bulan suci Ramadhan, baik menurut madzhab Sunni maupun Syi'ah?

Ustadz: Begini Zainal, hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para Imam Ahlulbait as -sehubungan dengan masalah ini- memang berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para perawi Ahli Sunnah. Hadis-hadis yang bersumber dari kitab-kitab Syi'ah memang dengan jelas dan tegas mengatakan bahwa Rasulullah saw melarang shalat-shalat nawafil itu dilakukan secara berjamaah pada bulan suci

Ramadhan. Jika kamu membaca hadis-hadis mereka tentang masalah itu, kamu dapat menyimpulkan bahwa pada sebagian malam di bulan suci Ramadhan, Rasulullah saw keluar ke masjid dan melakukan shalat nafilah sendirian. Kemudian kaum muslimin mengikutinya di belakang beliau. Tetapi kemudian beliau melarang mereka. Ketika mereka memaksa beliau terus untuk menjadi imam shalat, akhirnya beliau tidak lagi melakukannya di masjid. Kemudian beliau melakukannya di rumah.

Beberapa orang perawi hadis Syi'ah, seperti Zurarah, Muhammad bin Muslim dan Fudhail pernah bertanya kepada Imam Abu Ja'far al-Baqir as dan Imam Abu Abdillah as-Shadiq as mengenai shalat nafilah lail secara berjamaah pada bulan suci Ramadhan? Kedua Imam maksum itu menjawab: "Sesungguhnya Nabi saw apabila usai melakukan shalat (di masjid) pada akhir isya' (menjelang tengah malam), pulang ke rumahnya. Kemudian beliau keluar lagi ke masjid pada akhir malam untuk melakukan shalat sunat. Pada malam pertama bulan suci Ramadhan, beliau saw pernah keluar (ke masjid) untuk melakukan shalat sunat seperti yang biasa beliau lakukan sebelumnya. Ketika itu kaum muslimin berdiri berbaris di belakang beliau (menjadi makmum). Mengetahui hal itu, beliau keluar meninggalkan mereka dan melanjutkan shalatnya di rumah beliau. Hal semacam itu (menjadi makmum) mereka lakukan selama tiga malam. Pada malam keempat beliau saw naik ke mimbar. Setelah memuji Allah Swt beliau saw berkata: "Wahai kaum muslimin, sesungguhnya shalat sunat pada malam Ramadhan, jika dilakukan secara berjamaah adalah bid'ah, shalat Dhuha juga bid'ah. Janganlah kalian melakukan shalat nafilah secara berjamaah pada malam bulan Ramadhan, jangan pula kalian melakukan shalat Dhuha. Karena hal itu merupakan maksiat. Ketahuilah sesungguhnya setiap bid'ah itu adalah sesat. Dan setiap kesesatan jalannya ke neraka".

Kemudian beliau saw turun dari mimbarnya dan berkata: "Perbuatan yang sedikit tetapi sesuai dengan Sunnah, lebih baik dari perbuatan banyak dalam ke-bid'ahan".[16]

Hadis-hadis yang senada dengan itu, juga diriwayatkan oleh para perawi Syi'ah lainnya di dalam kitab-kitab Syi'ah. Di dalam hadis-hadis tersebut dengan jelas dan tegas Rasulullah saw melarang kaum muslimin untuk melakukan shalat nafilah atau Tarawih secara berjamaah. Dan larangan itu beliau sampaikan pada malam keempatnya.

Beberapa kitab hadis Sunni pun[17] mencatat berbagai riwayat mengenai shalat nafilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw pada sebagian malam-malam bulan Ramadhan. Dan silsilah hadis-hadis Sunni tersebut kebanyakan berujung kepada A'isyah ummul mukminin. Informasi yang disampaikan oleh A'isyah di dalam beberapa hadis itu begini, bahwa pada suatu tengah malam Rasulullah saw keluar untuk melakukan shalat sunat di masjid. Kemudian orang-orang ikut shalat di belakang beliau. Pada pagi harinya mereka bercerita, sehingga pada malam kedua jamaah bertambah banyak. Pada malam ketiga lebih banyak lagi dan pada malam keempat masjid tidak bisa menampung jamaah lagi karena saking banyaknya. Tetapi pada malam keempat ini, beliau saw tidak lagi datang ke masjid, kecuali untuk melakukan shalat subuh. Setelah shalat subuh beliau berpidato, di antaranya beliau berkata:

"Aku tahu kondisi kalian tadi malam. Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya

("ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها )

Kemudian sampai Rasulullah saw wafat, shalat-shalat sunat tersebut tetap tidak dilakukan secara berjamaah.

Apabila hadis-hadis di atas dan yang lainnya kamu perhatikan dengan baik, maka dapat kamu pahami bahwa di antara perbedaan antara hadis-hadis Syi'ah dengan hadis-hadis Sunni adalah, bahwa di dalam hadis-hadis Syi'ah dengan tegas Rasulullah saw melarang shalat nafilah itu dilakukan secara berjamaah, bahkan beliau menilainya sebagai bid'ah. Tetapi di dalam hadis-hadis Sunni, beliau tidak mau melakukannya secara berjamaah karena khawatir hal itu akan menjadi wajib bagi umatnya yang lemah, dan nantinya mereka tidak mampu untuk melakukannya. Dan yang cukup menarik adalah jika kamu baca hadis lainnya di dalam kitab Sunni[18] ,

yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit. Di dalam hadis tersebut Zaid bercerita bahwa ketika Rasulullah saw tidak lagi datang ke masjid, jamaah shalat itu berteriak-teriak dan melempar pintu rumah Rasulullah saw dengan kerikil. Barangkali maksud mereka ingin membangunkan beliau, karena mereka menduga, barangkali beliau ketiduran atau lupa. Mengetahui mereka berbuat biadab seperti itu, beliau saw kelaur dengan sangat marah dan berkata kepada mereka: "Masih saja kalian ingin melakukan shalat nafilah berjamaah, sehingga aku menduga nantinya akan diwajibkan kepada kalian. Lakukanlah shalat nafilah itu di rumah-rumah kalian. Karena sesungguhnya sebaik-baik shalat seseorang adalah jika dilakukan di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu".[19]

Di dalam riwayat ini dengan jelas dan tegas, Rasulullah saw menyuruh mereka agar melakukan shalat Tarawih atau nafilah itu di dalam rumah-rumah mereka, tentunya tanpa berjamaah.

Rahasia Penundaan Larangan Nabi saw

Zainal: Terimakasih banyak Pak ustadz atas penjelasannya. Tetapi Pak ustadz, masih ada satu atau dua hal yang masih belum dapat saya mengerti. Dan saya berharap, Pak ustadz masih bersedia menjelaskannya kepada kami. Yang pertama, tadi Pak ustadz menukil, baik dari hadis-hadis Sunni maupun Syi'ah, bahwa Rasulullah saw keluar ke masjid beberapa malam untuk melakukan shalat nafilah. Kemudian orang-orang bermakmum di belakang beliau. Pertanyaannya ustadz, mengapa ketika itu Rasulullah saw tidak langsung melarang mereka dan menyuruh mereka agar shalat sendiri-sendiri saja. Mengapa larangan itu baru beliau keluarkan pada malam yang keempat? Kemudian yang kedua, tolong Pak ustadz perjelas ucapan beliau :

ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها

(Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya). Apakah ucapan semacam ini memang betul-betul keluar dari lisan suci beliau saw? Karena nyatanya, kalau hanya shalat Tarawih 20 rakaat saja, jangankan anak-anak muda, bahkan banyak orang-orang tua kita yang sudah lanjut usianya, masih mampu melakukannya? Jadi mengapa beliau beralasan dengan kekhawatiran semacam itu? Kalau begitu, kenapa ibadah-ibadah yang jelasjelas berat bagi kita, seperti : pergi haji, thawaf 7 kali dengan berdesak-desakan, melontar Jumrah yang betul-betul memayahkan, bahkan sampai ada korban, puasa di musim panas bagi yang mempunyai musim panas, dan lain-lain, tidak dihapus saja? Atau yang tadinya wajib, disunatkan saja?

Ustadz: Pertanyaanmu cukup bagus dan kritis! Perhatikanlah jawabannya baikbaik! Sehubungan dengan shalat nafilah Rasulullah saw di dalam masjid beliau, yang diikuti oleh sebagian kaum muslimin ketika itu, yang perlu kamu ketahui adalah: pertama, dengan jelas dan tegas adanya larangan dari beliau saw dalam melakukan shalat nafilah secara berjamaah. Bahkan para Imam dan ulama Sunni pun mengakui larangan beliau ini. Nyatanya pada masa khilafah Abu Bakar, sama sekali tidak ada shalat Tarawih secara berjamaah. Ini perlu kamu pahami baik-baik!

Yang kedua adalah, bahwa segala apapun yang beliau ucapkan, atau yang beliau lakukan, itu tidak keluar dari wahyu Allah Swt. Artinya beliau tidak mengadaadakannya sendiri. Beliau tidak mengeluarkan pendapatnya sendiri. Dengan kata lain beliau tidak melakukan ijtihad dengan pendapatnya sendiri. Allah Swt berfirman:

وماينطق عن الهوی. إن هو إلا وحي يوحی

Artinya: "Dan beliau tidak pernah mengucapkan sesuatu pun berdasarkan keinginan dan pendapatnya sendiri. Apa yang disampaikannya hanyalah merupakan wahyu murni dari Allah kepadanya".[20]

Bahkan di dalam ayat-ayat yang lain dengan tegas Allah Swt mengancam RasulNya jika beliau ikut campur dengan pendapatnya sendiri.[21]

Dengan demikian apa saja yang beliau ucapkan atau lakukan, baik berupa perintah ataupun larangan, termasuk pada kasus shalat nafilah tersebut, merupakan wahyu dari Allah Swt.

Yang ketiga, yang juga perlu kamu pahami adalah, bahwa taklif dan tugas umat Islam hanyalah mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya, yaitu dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhkan segala bentuk larangan-Nya. Dan sama sekali kita tidak dituntut atau diwajibkan untuk menggali dan memahami hikmah atau falsafah perintah atau laranga-Nya tersebut. Apalagi jika kita tidak memiliki alat-alatnya yang lengkap. Tugas utama kita adalah melakukan segala perintah-Nya dan meninggalkan atau menjauhkan segala larangan-Nya. Tentu setelah memahaminya dengan baik dan benar.

Ketika kamu haus -misalnya- atau ingin mandi atau ingin membersihkan pakaian, kamu tinggal menggunakan air yang ada di sumur atau yang mengalir di sungai dekat rumahmu itu. Kamu tidak dituntut untuk mengetahui bagaimana proses muncul dan timbulnya air tersebut. Dengan kata lain, kamu tidak diwajibkan untuk mengetahui bagaimana munculnya air sumur, bagaimana datangnya air dari gunung, bagaimana gunung itu menyimpan air, bagaimana proses terjadinya hujan, dll? Kamu tidak dituntut untuk memahami itu semua. Kamu hanya dituntut bagaimana caranya mandi, bagaimana caranya mensucikan najis, dll. Apabila kamu merasa haus dan kamu tidak mau minum sebelum memahami proses munculnya air tersebut, maka kamu akan mati kehausan. Dan ketika itu, tidak seorang pun yang akan membelamu. Pasti semua orang akan menyalahkanmu; kenapa tidak langsung minum.

Lain halnya jika kamu punya waktu yang luas dan memiliki seperangkat alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami bagaimana proses terjadinya air hujan, atau bagaimana munculnya air sumur dan bagaimana mengalirnya air sungai dari gunung. Maka ketika itu, kamu boleh-boleh saja mengkaji dan memahaminya. Dengan ungkapan lain, jika kita memiliki waktu yang banyak dan juga telah memiliki berbagai ilmu alat, seperti ilmu mantiq, maka tidak ada salahnya, atau bahkan malah dianjurkan, kalau kita mengkaji dan memahami hikmah dan falsafah adanya suatu hukum, baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan atau ketetapan Syariat.

Nah, kalau mukaddimah ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka ketahuilah bahwa pertanyaanmu tadi, (yaitu: mengapa ketika itu Rasulullah saw tidak langsung melarang mereka dan menyuruh mereka agar shalat sendiri-sendiri saja, mengapa larangan itu baru beliau keluarkan pada malam yang keempat?) itu berhubungan erat dengan hikmah dan falsafah hukum suatu perintah atau larangan! Mengenai hikmah atau falsafah hukum-hukum Islam, tidak banyak yang disinggung oleh Al-Qur'an atau hadis-hadis. Al-Qur'an dan hadis-hadis, memang terkadang menjelaskan tentang hikmah, falsafah atau rahasia suatu hukum, tetapi tidak banyak. Karenanya, masalah hikmah dan falsafah hukum itu, kebanyakan diserahkan kepada para ulama dan ilmuan yang telah memiliki berbagai sarana dan pengetahuan yang cukup. Dan tentunya, kamu pun boleh mencari-cari dan menggali hikmah atau falsafah suatu hukum, jika telah memiliki berbagai cabang pengetahuan yang memadahi.

Jika keterangan singkat ini dapat kamu pahami dengan baik, maka -sehubungan dengan pertanyaanmu itu- kamu pun pasti dapat memahami, bahwa sesungguhnya diamnya Rasulullah saw pada beberapa malam itu tidak mungkin atas dasar kehendak dan kemauannya sendiri, artinya pasti ada maslahat dan tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh syariat. Yang jelas bahwa hal itu merupakan kehendak Allah Swt. Tetapi apa hikmahnya? Apa falsafah dan rahasia atau alasannya?

Mungkin hikmah atau falsafah atau rahasia yang terkandung di dalamnya itu, ada yang untuk jangka pendek, yakni dapat dipahami langsung pada masa itu dan untuk umat Islam yang hidup pada masa itu. Dan ada yang untuk jangka panjang, yakni agar dapat diketahui dengan meyakinkan oleh uamt Islam di masa mendatang sampai hari kiamat, dan agar mereka betul-betul tahu, siapakah di antara kaum muslimin yang betul-betul mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan siapakah yang bandel membangkang. Siapakah di antara mereka yang betul-betul bertakwa, dan siapakah di anatara mereka yang berani merubah-rubah hukum syariat.

Hikmah atau falsafah jangka pendeknya barangkali, bahwa dengan menunda-nunda larangan tersebut, dan menunggu sampai kaum muslimin semakin banyak yang melakukan shalat Tarawih berjamaah, larangan itu akan menjadi semakin mantap dan jelas serta dapat didengar dan diketahui oleh kebanyakan mereka. Sehingga nantinya, informasi yang akan mereka sampaikan kepada orang-orang yang belum atau tidak mendengarnya pun akan lebih meyakinkan. Dan juga, tidak mudah dilupakan oleh mereka apalagi diremehkan. Jadi yang meremehkan larangan itu, dapat dikatakan sudah betul-betul keterlaluan dan tidak mengerti peranan beliau sebagai nabi dan Rasul Allah. Sampai di sini insya Allah sudah jelas kan?

Mengapa Nabi saw Takut Shalat Tarawih itu diwajibkan ?

Adapun mengenai ucapan beliau saw :

ولکنی خشيت أن تفرض عليکم فتعجزوا عنها

(Tetapi aku khawatir shalat sunat itu akan diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu melakukannya). Apakah ucapan semacam ini memang betul-betul keluar dari lisan suci beliau saw? Jawaban yang dapat saya berikan mengenai hal itu adalah, menurut kacamata ulama Syi'ah jelas, bahwa beliau sama sekali tidak pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu. Bahkan sebagian ulama Sunni pun meragukan jika ucapan semacam itu keluar dari lisan suci Rasulullah saw.

Dan jika diasumsikan bahwa ungkapan semacam itu keluar dari lisan suci beliau, mereka pun tidak dapat mengungkap maksud dan penafsirannya dengan jelas, sehingga sampai sekarang ini masih merupakan teka-teki yang tidak dapat dipecahkan yang akibatnya mereka pun meragukan keabsahan hadis tersebut.[22]

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa kata-kata semacam itu tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah saw. Sebagaimana banyak sekali hadis-hadis palsu dan dibuat-buat yang bertebaran di dalam kitab-kitab Sunni, termasuk di dalam kitab alBukhari dan Muslim.

Jadi, hadis ini pun tidak selamat dari kepalsuan dan ikut campur tangan para pemalsu hadis. Apalagi masa tadwin, penulisan dan pengumpulan hadis-hadis Sunni itu, jauh setelah wafat Rasulullah saw, yakni kira-kira 100 tahun setelah wafat beliau. Sementara hadis-hadis Syi'ah memiliki matarantai emas yang tidak pernah terputus di sepanjang sejarah, bahkan sampai sekarang ini. Karena jika hadis tersebut dianggap benar dan sahih, maka berarti hukum-hukum dan ketentuan syariat itu takluk dan tunduk kepada kehendak dan selera manusia. Artinya jika mayoritas masyarakat muslim menaruh perhatian dan semangat terhadap suatu ibadah, maka hal itu nantinya akan diwajibkan. Tetapi jika mereka tidak tertarik, malas-malasan dan menolak ibadah tersebut, maka tidak akan diwajibkan oleh Allah. Padahal tolok ukur dan yang menjadi landasan suatu hukum atau ketentuan itu adalah adanya maslahat yang riil di dalamnya, tanpa memandang ada atau tidaknya perhatian manusia terhadapnya. Dan sesungguhnya syariat Allah Swt itu tidak tunduk dan tidak mengikuti kehendak dan selera manusia atau penolakan mereka. Akan tetapi tunduk berdasarkan maslahatmaslahat yang hanya Dia yang mengetahuinya. Manusia -sama sekali- tidak boleh ikut campur dalam masalah syariat, sekalipun nabi saw.

Kenapa Rasulullah saw harus takut bahwa shalat Tarawih itu akan diwajibkan oleh Allah Swt? Bukankah banyak amalan-amalan mustahab lainnya yang dilakukan oleh beliau dan kaum muslimin, sementara beliau tidak merasa khawatir hal itu akan diwajibkan oleh Allah Swt? Bahkan ada sebagian masalah yang diwajibkan, sementara banyak kaum muslimin tidak melakukannya, sekalipun pada masa hayat Rasulullah saw, terlebih lagi pada masa-masa setelah wafat beliau, dan -nyatanyahukum tersebut tidak berubah dari wajib menjadi mustahab. Misalnya seperti hukum berjihad. Tidak sedikit kaum muslimin yang enggan dan menolak jihad ini. Tetapi Allah Swt tetap tidak menghapus kewajiban jihad ini, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur'an.[23] Di samping itu, adanya kekhawatiran beliau tersebut bertentangan dengan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa faraidh itu hanya ada lima, sebagaimana terdapat dalam hadis Isra'.[24]

Al-Qasthalani Berpendapat: Shalat Tarawih itu Bid'ah

Anak-anakku sekalian !

Sekarang jika diasumsikan bahwa para sahabat nabi itu menampakkan perhatiannya yang serius dan sungguh-sungguh terhadap shalat Tarawih, yaitu dengan melakukannya secara berjamaah. Lalu, apakah lantas perhatian serius mereka itu dapat dijadikan milak dan tolok ukur diwajibkannya shalat sunat tersebut, sementara jumlah mereka yang hadir ketika itu masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan kaum muslim yang tidak hadir? Karena masjid nabi (masjid nabawi) ketika itu palingpaling hanya dapat menampung sekitar 6000 jamaah saja. Karena masjid nabi ketika itu hanya seluas 35 meter X 30 meter. Kemudian Rasulullah saw memperluasnya menjadi 57 meter X 50 meter.[25]

Mungkinkah perhatian serius sebagian mereka itu dapat mengungkap keseriusan dan kesungguhan seluruh umat Islam di sepanjang masa sampai hari kiamat?

Kemudian, jika kamu perhatikan mengenai jumlah malam dimana Rasulullah saw melakukan shalat nafilah, ternyata terdapat ikhtilaf di dalam hadis-hadis Sunni itu sendiri. Al-Bukhari menukil hadis di dalam kitab as-Shaum, bahwa Nabi saw melakukan shalat Tarawih bersama orang-orang selama tiga malam. Tetapi pada bab at-Tahridh 'ala Qiyamillail, ia menukil, bahwa beliau shalat Tarawih bersama mereka dua malam saja. Dan Muslim pun sepakat dengan dua nukilan tersebut. Di dalam hadis-hadis yang lainnya dikatakan bahwa beliau itu keluar ke masjid pada malammalam yang berbeda-beda, yaitu malam ketiga, kelima, ketujuh dan kedua puluh. Sementara di dalam riwayat Abu Dzar dikatakan bahwa nabi saw keluar dan melakukan shalat pada malam 23, 25 dan malam 27.[26]

Jadi, dari hadis-hadis Sunni yang bermacam-macam dan berbeda-beda ini dapat dipahami bahwa sebenarnya mereka itu tidak serius dan tidak bersungguh-sungguh dalam menukil dan menceritakan perbuatan Rasulullah saw yang sebenarnya, sehubungan dengan shalat Tarawih ini. Jika demikian, dari mana kita akan yakin bahwa nabi saw menganggap dan menilai bahwa mereka betul-betul ingin melakukan shalat Tarawih secara serius dan sungguh-sungguh?

Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa seorang ulama Sunni terkenal yang bernama al-Qasthalani dengan terus terang mengatakan bahwa tambahan-tambahan pada shalat Tarawih itu adalah bid'ah. Dia berkata bahwa:

1. Nabi saw tidak menganjurkan shalat Tarawih dilakukan secara berjamaah.

2. Pada masa Khalifah Abu Bakar pun tidak dilakukan secara berjamaah.

3. Shalat Tarawih itu tidak dilakukan pada awal malam (tetapi pada pertengahan malam).

4. Tidak dilakukan setiap malam.

5. Tidak dilakukan sebanyak seperti yang sekarang.[27]

Tetapi, Siapakah Pelopor Bid'ah ?

Perawi: Mayoritas muslimin memang menduga, bahwa shalat Tarawih yang selama ini mereka lakukan adalah mengikuti sunnah Rasulullah saw semasa hidup beliau. Si Baqir pun -salah seorang murid kelas- menduga seperti itu pula. Selama beberapa tahun ini dan pada setiap Ramadhan ia aktif mengikuti shalat Tarawih berjamaah di masjid dekat rumahnya. Ternyata dugaan atau keyakinannya itu keliru. Menyadari hal itu, ia tidak mau ketinggalan dan segera mengajukan pertanyaan berikut ini:

Baqir: Pak ustadz! Jika memang betul dan telah jelas bahwa sebenarnya Rasulullah saw itu tidak melakukan shalat Tarawih secara berjamaah dan juga tidak shalat sebanyak 20 rakaat, sebagaimana terdapat di dalam hadis-hadis Sunni itu sendiri, lalu, sebenarnya kaum muslimin mengikuti siapa dalam melaksanakan shalat Tarawih dengan tata cara dan jumlah rakaat yang ada sekarang ini? Saya pikir, tentu ada yang memulai atau ada yang mempeloporinya kan! Karena tidak mungkin muncul begitu saja. Nah, apakah orang yang memulai atau mempeloporinya itu, betul-betul sebagai panutan dan layak untuk diikuti? Karena, jika memang ia patut diikuti perintahnya, dengan senang hati saya tetap akan melakukan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid sampai akhir hayat saya. Tetapi jika memang ternyata tidak layak diikuti, saya khawatir, nanti shalat saya itu tidak mendapatkan apa-apa selain hanya capek dan kelelahan belaka. Sudah di siang hari lelah berpuasa, di malam hari lelah pula ber-Tarawih. Jadi, ini gimana pak ustadz, tolong Bapak jelaskan sedetail mungkin, karena ini urusan agama yang berujung kepada surga atau neraka. Tidak main-main kan?!

Ustadz: Pertanyaan-pertanyaan yang kalian ajukan semuanya bagus-bagus. Baqir pun tidak mau kalah, ia juga mempunyai pertanyaan yang bagus. Pertanyaan Baqir itu, jika diringkas, akan menjadi dua buah pertanyaan saja, yaitu:

1. Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini?

2. Apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan RasulNya sehingga patut diikuti, ataukah tidak?

Sebenarnya pertanyaan yang kedua, berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah saw. Masalah imamah ini, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan AlQur'an dan hadis-hadis Rasulullah saw yang sahih bahkan mutawatir.

Baiklah, saya akan menjawab pertanyaan yang pertama. Tetapi alangkah baiknya jika saya berikan sedikit mukaddimah sebelumnya mengenai ibadah dalam agama kita, Islam.

Jangan Coba-coba Menambah atau Mengurangi Ibadah !

Anak-anakku sekalian! Di dalam ibadah, misalnya seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain, sama sekali tidak boleh dikurangi atau ditambah-tambahi dari yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedikit saja kamu kurangi atau kamu tambah, maka tidak akan diterima oleh Allah Swt. Ibadah apapun yang telah ditambah atau dikurangi tidak akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan dan keselamatan atau surga di akhirat kelak. Misalnya saja seperti ibadah shalat, jumlah rakaat shalat dan jumlah sujudnya sudah ditetapkan oleh Allah Swt. Apabila kamu tambahkan atau kurangi dari jumlah tersebut, pasti shalatmu tidak akan diterima oleh Allah Swt. Demikian pula halnya dengan jumlah thawaf, sa'i, melontar jumrah, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan tata caranya pun telah ditetapkan sedemikian rupa, jika sedikit saja kamu merubah atau menggantinya, maka Allah Swt tidak akan menerimanya. Misalnya berwudhu harus dengan air murni, tidak boleh dengan air buah atau kuah sayur. Shalat harus menghadap ke arah qiblat, tidak boleh ke arah "Gedung Putih" atau menghadap ke arah "Istana Presiden". Bacaan surat al-Fatihah harus lengkap, tidak boleh dikurangi, ditambah atau diganti dengan surat lainnya. Mengenai waktuwaktu ibadah pun harus sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Misalnya waktu shalat subuh ketika terbit fajar shadiq sampai sebelum terbit matahari, shalat zhuhur harus di muali dari tergelincirnya matahari, puasa harus di bulan suci Ramadhan, haji harus pada bulan haji, dan dilakukan di kota Makkah, bukan di kota Cirebon atau Cicago. Dan begitulah seterusnya.

Jadi sedikit saja kamu rubah atau kurangi atau kamu tambahkan, maka bukan saja tidak akan diterima oleh Allah Swt, bahkan malah diancam akan mendapat siksa yang pedih.

Di dalam sebuah hadis, Imam Ja'far as-Shadiq as bersabda:

"Allah Swt telah memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam. Tetapi Iblis memprotes dan berkata: "Ya Rabb, jika Engkau bebaskan aku dari sujud kepada Adam, maka aku akan menyembah dan beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun". Kemudian Allah Swt memberikan jawaban: "Sesungguhnya Aku ingin agar Aku ini ditaati sebagaimana yang Aku kehendaki". [28]

Dari riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika kamu berani merubah, menambah atau mengurangi syari'at Allah Swt yang telah Dia tetapkan, maka kamu dengan Iblis tidak jauh berbeda.

Al-Qur'an sendiri telah menyatakan bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang lengkap dan sempurna untuk seluruh umat manusia hingga hari kiamat. Dan tidak seorang pun berhak untuk merubah, menambah atau mengurangi ajaran tersebut. Peran Rasulullah saw sendiri, hanyalah sebagai penyampai ajaran tersebut kepada seluruh umatnya. Artinya beliau sendiri tidak berhak merubah, menambah atau mengurangi ajaran Islam tersebut, apalagi bagi selain Rasulullah saw.

Nah, jika mukaddimah singkat ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, maka perhatikanlah jawaban atas pertanyaan: Siapakah pencetus shalat Tarawih dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini? Setelah jelas bahwa shalat Tarawih yang dilakukan oleh kaum muslimin sekarang ini, itu bukan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw, dan bukan pula yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat Tarawih tersebut untuk pertama kalinya ditradisikan oleh khalifah Umar bin Khattab pada tahun 14 H. Hal ini sebagaimana dicatat oleh para ulama dan sejarawan di dalam kitab-kitab mereka.[29]

Ibnu Abdil Bar menulis: "Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakni shalat Tarawih)".[30]

Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: "Dialah (Umar) orang yang pertama yang melarang penjualan ummahat al-awlad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya).

Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan dia pulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam…."[31]

As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa' tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata: "Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut'ah…….".

Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khattab di dalam kitabnya at-Thabaqat berkata: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. Dia mengangkat dua qari' (imam) di Madinah; seorang mengimami shalat Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita….". Imam al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadis Rasulullah saw yang berbunyi: "Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan Ramadhan……dst"- berkata: "….Sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat Tarawih").[32] Muslim pun -di dalam kitab shahihnya- mengutip hadis yang sama dan kemudian memberikan komentar yang seperti itu juga.[33]

Malam Kemunculan Ide Bid'ah

Pada pasal "Shalat Tarawih", al-Bukahri menukil sebuah riwayat bahwa Abdur Rahman bin 'Abd al-Qari' (seorang pejabat Umar dalam urusan baitul mal) berkata: "Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kemudian kami melihat banyak orang yang sedang melakukan shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari yang lainnya. Ketika itu Umar berkata: "Sekiranya mereka itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik." Kemudian ia menginstruksikan rencananya tersebut dan mengumpulkan mereka dalam satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab. Pada malam lainnya aku keluar lagi bersama Umar, sementara kami menyaksikan orangorang sedang shalat di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan hal itu, Umar berkata: "Alangkah baiknya bid'ah ini!".

Al-'Allamah al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadis tersebut (yakni alangkah baiknya bid'ah ini) berkata: "Ia (Umar) menamakannya bid'ah, sebab Rasulullah saw sendiri tidak menyunatkannya kepada mereka untuk melakukannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan, ataupun tentang jumlah rakaatnya. (yakni 20 rakaat seperti sekarang).[34]

Anak-anakku sekalian!

Saya kira sudah cukup banyak dan meyakinkan kamu, apa yang telah saya nukil dan sampaikan dari para ulama Sunni di atas. Kalau kamu masih kurang puas juga, silahklanlah buka kitab-kitab Sunni lainnya yang tentunya masih banyak sekali. Pasti nantinya kamu akan sampai pada satu kesimpulan bahwa sesungguhnya orang pertama yang mencetuskan atau menyelenggarakan shalat Tarawih secara berjamaah seperti yang kamu saksikan sekarang ini, tiada lain adalah Khalifah Umar bin Khattab. Bahkan dengan tegas dan terus terang Umar sendiri mengatakan bahwa hal itu adalah bid'ah. Bukan hanya bid'ah bahkan "Ni'mal Bid'ah" (Bid'ah yang paling baik).

Anehnya, sebagian orang yang selalu berusaha membela Umar, bahkan banyak memuji dan menyanjungnya, tetapi dalam hal shalat Tarawih ini, mereka menolak ketepan Umar. Karena Khalifah Umar telah menetapkan dan memerintahkan agar shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Tetapi mereka tidak melakukannya sebanyak itu. Mereka melakukannya hanya delapan rakaat saja. Dengan keras dan secara fanatik buta mereka menentang kelompok lain yang melakukan shalat Tarawih 20 rakaat. Padahal sebenarnya, tidak secara langsung mereka menentang sepenggal "

Sunnah Umar" itu sendiri. Tetapi mereka tidak menyadarinya. Jika mereka mengikuti perbuatan Rasul saw yang ketika shalat di masjid sebanyak 8 rakaat, tetapi kenapa mereka tidak menambahkannya lagi di rumah, sebagaimana yang dilakukan Rasul saw? Jika demikian halnya, mereka mengambil sebagian "Sunnah Rasul", yaitu shalat 8 rakaat. Dan meninggalkan sebagian "Sunnah Rasul" yang lainnya, yaitu menambahkan shalatnya di dalam rumah. Di samping itu juga mereka mengambil sebagian "Sunnah Umar", yaitu shalat sunnat Tarawih secara berjamaah. Dan meninggalkan sebagian "Sunnah Umar" yang lainnya, yaitu shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat. Dengan demikian, dan jika dikatakan mereka juga berijtihad, maka kelompok ini bisa dikatakan lebih parah lagi, karena di samping mereka itu menentang dan merubah ketetapan Rasul saw, juga menentang dan merubah kebijakan Khalifah Umar sekaligus. Bukankah demikian?! Mengapa mereka tidak mengiktui "Sunnah Umar bin Abdul Aziz" saja, yang telah menetapkan dan memerintahkan agar shalat Tarawih itu dilakukan sebanyak 36 rakaat?

Barang kali di antara kamu ada yang berpendapat begini: Ah, barangkali, jika di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu, shalat Tarawih 36 rakaat sama dengan 20 atau 8 rakaat, maka seharusnya pada zaman modern sekarang ini, yaitu zaman serba singkat, cepat dan praktis, cukup 4 rakaat sajalah!

Nabi saw Sendiri dilarang Mengeluarkan Pendapatnya

Nah, kalau jawaban pertama itu sudah jelas bagi kamu sekalian, maka, mari kita pindah kepada jawaban yang kedua, dari pertanyaan yang tadi dilontarkan oleh Baqir. Baqir ! Pertanyaan kamu yang kedua tadi apa?

Baqir : Anu pak ustadz, apakah pencetusnya itu mendapat wewenang atau mandat dari Allah dan Rasul-Nya sehingga patut diikuti, ataukah tidak?

Ustadz: Ya, betul pertanyaannya begitu. Anak-anakku sekalian! Sebagaimana telah saya katakana tadi, bahwa sebenarnya pertanyaan yang kedua ini, berhubungan erat dengan pembahasan imamah, yakni kepemimpinan dalam Islam setelah wafat Rasulullah saw. Masalah imamah ini, insya Allah, nanti akan saya jelaskan secara mendetail pada pelajaran akidah Islam. Pada kesempatan ini, saya akan memberikan jawaban secara global saja. Tetapi insya Allah akan dapat kamu pahami dengan baik, karena jawabannya berdasarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis Rasulullah saw yang sahih bahkan mutawatir.

Sebagaimana telah saya sampaikan tadi dan berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an, bahwa Rasulullah saw sendiri, yang langsung menerima wahyu dari Allah Swt melalui malaikat Jibril, dilarang keras oleh Allah Swt untuk memasukkan pendapat, ijtihad atau pandangannya sendiri di dalam urusan syariat. Beliau tidak berijtihad, tidak pernah menyelipkan pandangannya sendiri dalam urusan ibadah atau syariat dan beliau hanya sebagai penyampai risalah Allah Swt kepada seluruh umat manusia. AlQur'an menukil ucapan beliau di dalam surat yasin dan surat lainnya:[35]

وما علينا الا البلاغ المبين

(Aku hanyalah penyampai yang nyata).

Lebih tegas lagi bahwa Rasulullah saw pernah berpidato di hadapan masyarakat ketika itu, dan diantara ceramahnya beliau mengatakan:

"Wahai manusia, …….sesungguhnya aku tidak menghalalkan sesuatu apapun, selain yang telah dihalalkan oleh Allah Swt. Dan aku juga tidak mengharamkan sesuatu apapun, selain yang telah diharamkan oleh Allah Swt". Demikian pula para Imam maksum as setelah beliau, tidak ada yang berijtihad dan mengeluarkan pendapat atau pandangannya atas syariat Allah Swt. Mereka semua hanyalah penyampai, penjelas dan penyambung risalah Rasulullah saw yang telah lengkap dan sempurna.[36]

Demikianlah peranan dan tugas para nabi dan rasul sebelum beliau saw. Mereka hanya ditugaskan oleh Allah Swt untuk menyampaikan wahyuNya dan menjelaskan kepada umat manusia serta menjaganya dari jamahan dan sentuhan tangan-tangan kotor dan para penguasa zalim.

Apabila Rasulullah saw, para imam maksum as dan para nabi serta rasul itu sendiri tidak boleh mengeluarkan pendapatnya dalam masalah syariat, dan mereka sama sekali tidak mendapat izin dari Allah Swt untuk merubah, menambah atau mengurangi syariat yang telah Allah Swt turunkan demi kemaslahatan seluruh hambaNya, apalagi orang-orang yang kedudukannya jauh di bawah mereka.

Jadi, sama sekali tidak ada izin, atau wewenang atau mandat bagi siapapun untuk merubah, menambah atau mengurangi syariat Allah Swt. Dan ini ketetapan Allah Swt yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk ikut campur tangan dalam urusan syariat, hatta bagi Nabi saw. Dan alasan apapun yang diajukan untuk itu, tidak akan diterima oleh Allah Swt. Kenapa? Karena hanya Allah sajalah yang tahu maslahat dan mudharrat bagi segenap makhluk-Nya. Rasulullah saw sendiri mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Qur'an : "Aku hanyalah manusia seperti kalian. Hanya saja aku mendapatkan wahyu dari Allah".[37] Artinya -kata beliau- : "Aku juga diwajibkan melakukan seluruh yang diperintahkan Allah kepada kalian dan meninggalkan semua larangan-Nya. Hanya saja kelebihanku, bahwa aku dipilih sebagai nabi, rasul, pembawa risalah, penyampai dan penjelas syariat kepada kalian semua. Dan aku tidak boleh ikut campur tangan dalam urusan wahyu-Nya".

Anak-anakku sekalian! Banyak sekali ayat-ayat dan hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw itu hanya ditugaskan untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu Allah kepada umat manusia, tidak lebih dari itu. Jika penjelasan ini sudah dapat kamu pahami dengan baik, tentunya kamu pun sudah bisa mengetahui jawaban dari pertanyaan: "Khalifah Umar mendapat wewenang dan mandat dari mana, sehingga kok beliau berani ikut campur tangan dalam masalah urusan syariat, yang dalam hal ini menetapkan shalat Tarawih dalam waktunya, jumlah rakaatnya dan secara berjamaah?"

Ikutilah Pendapat Kedua Orang Khalifah !

Perawi: Di antara murid-murid itu ada yang bernama Ja'far. Ja'far rajin belajar, mengaji dan suka mendengarkan ceramah agama di mana-mana. Ketika mendengar nama Khalifah umar dan Abu Bakar di singgung oleh gurunya tersebut, ia teringat ceramah seorang muballig mengenai kemuliaan dua orang Khalifah tersebut. Langsung saja si Ja'far nyeletuk dengan menukil ucapan seorang muballig tersebut:

Ja'far: Pak ustadz maaf, saya pernah mendengar ceramah seorang muballig yang menukil hadis Rasulullah saw bahwa artinya kira-kira: "Ikutilah apa-apa yang disampaikan oleh kedua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!" Nah, bukankah ucapan Rasulullah saw di dalam hadis ini merupakan wewenang dan mandat bagi kedua orang Khalifah tersebut? Tidakkah, berdasarkan hadis ini, kita dibolehkan atau bahkan dianjurkan untuk mengikuti kedua Khalifah tersebut? Artinya, sehubungan dengan shalat Tarawih yang dicetuskan oleh Umar itu, bukankah kita diperintahkan oleh Rasullah untuk mengikuti dan melaksanakannya?

Ustadz: Pertanyaan yang sangat bagus!

Sebenarnya untuk menjawab pertanyaan akhi Ja'far ini, memerlukan waktu yang banyak. Tetapi untuk sementara ini dapat saya sampaikan secara singkat saja dulu. Jawabannya begini: Hadis tersebut dan banyak hadis-hadis lainnya yang semacam itu[38] , perlu diadu dan dihadapkan dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis shahih lainnya. Dan ini -tentu saja- memerlukan waktu yang tidak sedikit. Apabila hadis tersebut atau yang semacamnya diadu dan dihadapkan dengan ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis lainnya, yang kesemuanya terdapat di dalam kitab-kitab Sunni juga, maka akan dapat diketahui hasilnya, bahwa hadis tersebut dhaif dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kesahihannya.

Nah, sekarang katakanlah (bil fardh, diasumsikan) bahwa hadis itu shahih dan benar. Asumsikanlah bahwa Rasulullah saw benar-benar berkata seperti itu! Seandainya dan sekiranya hadis itu dan semacamnya dianggap sahih dan kuat, tetapi hadis-hadis itu tidak bisa dipakai untuk menopang atau mendukung apa yang kamu maksudkan. Yaitu mengikuti sunah Umar tersebut. Kenapa demikian?

Dengan kata lain, bahwa sekiranya hadis itu sahih maka maksudnya begini, seakanakan Rasulullah saw ingin mengatakan begini: "Ikutilah kedua orang Khalifah, yaitu Abu Bakar dan Umar, setelahku nanti, selama mereka berdua mengikuti Allah dan Rasul-Nya!"

karena di dalam hadis lain Rasulullah saw juga bersabda:

لا طاعه لمخلوق في معصيه الخالق

Artinya: "Tidak boleh taat kepada makhluk siapa pun dalam hal maksiat kepada Allah, sang Pencipta".

Sementara hadis yang terdapat kata-kata"Al-Khulafa ar-Rasyidun" itu, perlu dicarikan dan diterapkan secara tepat dan benar, yaitu sesuai dengan sifat-sifat seorang Khalifah yang Rasyid. Dengan kata lain, harus jelas mishdaq-nya itu siapa?

Kan sudah saya jelskan bahwa para nabi dan Rssul itu, termasuk juga Rasulullah saw tidak boleh ikut campur dalam urusan syariat. Apabila -seandainya- mereka ikut campur dan mengeluarkan pendapatnya dalam syariat, maka berarti mereka itu bermaksiat. Apabila mereka itu bermaksiat, maka dalam hal maksiat, mereka tidak boleh diaati.

Jelasnya bahwa apabila Khalifah Umar menyuruh kamu puasa pada bulan Ramadhan, maka kita wajib mentaatinya. Karena perintah beliau itu sesuai dengan perintah syariat. Tetapi apabila beliau menyuruh kita dalam hal maksiat, maka tidak boleh ditaati. Nah, Khalifah Umar telah melakukan ikut campur dalam syariat, yaitu dengan mencetuskan shalat Tarawih berjamaah. Padahal nabi dan Khalifah Abu Bakar sendiri tidak melakukan hal itu. Dalam hal ini berarti Khalifah Umar telah berbuat maksiat dengan melanggar atau merubah ketentuan Allah tersebut. Kalau sudah jelas bahwa dia melanggar dan berbuat maksiat, maka natijahnya -dalam masalah ini- kita tidak boleh mentaati beliau.

Sebenarnya bukan hanya masalah shalat Tarawih saja yang ditetapkan oleh Khalifah Umar, atau yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya, kemudian dihapus oleh Umar. Sebagai contoh misalnya, dalam masalah talak tiga sekaligus, masalah azan subuh, masalah khumus, masalah nikah mut'ah, haji tamattu', dll. Apabila perintah Umar mengenai shalat Tarawih berjamaah itu ditaati oleh kaum muslimin, tetapi mengapa larangan beliau mengenai haji tamattu' tidak seorang muslim pun yang mentaatinya?

Daftar Isi :

Kata Pengantar 2

Bulan Panen Rahmat, Pahala dan Keberkahan 4

Apakah Shalat Tarawih Wajib Berjamaah? Dan apa Makna Qiyam? 7

Ikhtilaf Ulama Sunni mengenai Shalat Tarawih 10

Pandangan Ulama Ahlulbait as mengenai Shalat Tarawih 14

Berapa Sebenarnya Jumlah Rakaat Shalat Tarawih? 20 Rakaat Ketetapan Umar 17

Mari Menghitung Jumlah Rakaat Shalat Tarawih 20

Shalat Tarawih di dalam Mazhab Ahlul Bait as 22

Dalil Ketidak bolehan Shalat Nafilah secara Berjamaah 24

Imam Ali as Sendiri Menyuruh Mereka Shalat Tarawih Berjamaah 26

Khutbah Imam Ali as : Bahaya Mengikuti Hawa Nafsu 29

Bagaimanakah Tarawih Rasulullah saw ? 32

Rahasia Penundaan Larangan Nabi saw 37

Mengapa Nabi saw Takut Shalat Tarawih itu diwajibkan ? 43

Al-Qasthalani Berpendapat: Shalat Tarawih itu Bid'ah 46

Tetapi, Siapakah Pelopor Bid'ah ? 48

Jangan Coba-coba Menambah atau Mengurangi Ibadah ! 50

Malam Kemunculan Ide Bid'ah 54

Nabi saw Sendiri dilarang Mengeluarkan Pendapatnya 57

Ikutilah Pendapat Kedua Orang Khalifah ! 61


[1] Shahih Bukhari, bab Fadhlu Man Qama Ramadhan No. 2008 dan Shahih muslim jilid 2 hal 176 bab at-Targhib Fi Qiyami Ramadhan Wahuwa at-Tarawih. Terbitan Darul Jabal, Darul Afaq, Beirut.

[2] Kedua hadis tersebut diriwatkan oleh Muslim.

[3] Hadis ini diriwatkan oleh Ibnu Dawud.

[4] Lihat al-Mughni Wa as-Syarah jilid 1 hal. 771, Darul Kitab al-Arabi. Terbitan offset : 1403/1983.

[5] Lihat kitab al-Fiqhu 'Ala al-Madzahibul Khamsah 1/133 oleh Allamah Ustadz Muhamamd jawad Mugfhniyah.

[6] Lihat al-Mughni 2/137 – 138.

[7] Lihat kitab al-Fiqhu 'Alal Madzahibikl Arba'ah 1/251, pada kitab as-Shalat, mabhats Shalatu atTarawih.

[8] Lihat Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam kitabnya Fathul Bari: 4/204, Syihabuddin al-Qasthalani di dalam Irsyadu as-Syari: 3/426 dan al-'Ayni: 'Umdatul Qari: 11/126.

[9] Lihat Mafatihul Jinan bab : A'mal al-Lailati at-Tasi' 'Asyar.

[10] Lihat tafsir Al-Mizan jilid 20 hal. 461.

[11] Lihat kitab al-Khishal 2/152 oleh Syaikh as-Shaduq.

[12] Lihat kitab 'Uyunu Akhbari al-Ridha hal. 266 oleh Syaikh as-Shaduq.

[13] Lihat kitab at-Tahdzib oleh Syaikh at-Thusi pada jilid 3 hadis ke 227.

[14] Lihat khutbah tersebut di dalam kitab al-Kafi 8/548 oleh al-Kulayni.

[15] Lihat kitab as-Sara'ir 3/638 oleh Muhammad bin Idris.

[16] Lihat kitab al-Faqih, kitab as-Shaum: 87 oleh as-Shaduq. Al-Kulayni juga di dalam kitabnya al-Kafi 4/154 menyinggung masalah tersebut.

[17] Lihat shahih al-Bukhari pada bab: Fadhlu man qama Ramadhana 3/58, pada bab at-tahajjud billaili 2/63. Shahih Muslim 6/41, dll.

[18] Lihat kitab as-Syarhul Kabir 'alal muqni 1/749 oleh Ibnu Quddamah al-Maqdisi.

[19] Alih bahasa secara agak bebas.

[20] Lihat QS an-Najm ayat 3-4.

[21] Lihat QS al-Haqqah ayat: 44-46 : "Dan sekiranya beliau mengada-adakan sebagian perkataan atas nama Kami (Allah Swt). Pasti Kami pegang tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya".

[22] Lihat Fathul bari 3/10 dan Irsyadu as-Sari 3/428.

[23] Lihat QS at-Taubah: 38.

[24] Lihat Fathul Bari 3/10.

[25] Lihat al-Fiqhu ala al-Madzahibi al-Khamsah : 287.

[26] Lihat Sunan an-Nasa'i3/165 dan Sunan Ibnu Majah : 42.

[27] lihat Irsyadu as-Sari 3/426 oleh al-Qasthalani.

[28] Lihat Biharul Anwar 2: 262 dan Qishashul Anbiya' : 46

[29] Lihat Tarikh al-Khulafa oleh as-Suyuthi hal. 51.

[30] Lihat kitab al-Isti'ab oleh Ibnu Abdil Bar.

[31] Lihat kitab sejarah Raudhat al-Manadhir 2/122.

[32] Lihat shaih al-Bukahri juz 1 pasal "shalat Tarawih".

[33] Lihat shahih Muslim juz 1 bab "Anjuran shalat malam bulan Ramadhan".

[34] Lihat kitab Irsyadu as-Sari fi Syarhi Shahih al-Bukhari 5/4 oleh al-Qasthalani.

[35] Lihat QS. Yasin: 17, Al-Ankabut: 18, An-Nahl: 35 dan 82, Al-Maidah: 92, dll.

[36] Mengenai kesempurnaan syariat lihat QS al-Maidah: 3.

[37] Lihat QS al-Kahfi : 110.

[38] Seperti hadis yang berbunyi : "Hendaklah kalian berpegang teguh kepada para Khalifah Rasyidin", "Para sahabtku bagaikan bintang-bintang. Yang mana saja kamu ikuti, pasti kamu akan mendapat hidayah", dan hadis-hadis lainnya yang semisal ini.