KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS

KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS0%

KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS pengarang:
Kategori: Buku Umum
Halaman: 9

KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS

pengarang: BABAI AMULI
Kategori:

Halaman: 9
Pengunjung: 114285
Download: 740

Komentar:

KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 114285 / Download: 740
Ukuran Ukuran Ukuran
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS

KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS

pengarang:
Indonesia
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM AS






Diterjemahkan dari:

DASTANE IZDIVAJ-E MA'SHUMIN

KARYA: BABAI AMULI


1
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

DAFTAR ISI
BAB I

MUKADIMAH

Sejajar dengan Kisah-kisah Al-Qur'an
Menghindari Fiksi
Pesan Utama dan Penutup

BAB II

HIKMAH PERNIKAHAN RASULULLAH SAW

Jawaban atas Tuduhan
Rasa Malu dan Kesucian Rasulullah saw
Kisah Pernikahan Rasulullah saw Dengan Khadijah
Persiapan Pernikahan
Tata Cara Meminang
Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin
Catatan Penting atas Pernikahan Nabi dengan Khadijah
Peran Abu Thalib dalam perkawinan dan kehidupan Nabi
Pernikahan Nabi dengan Saudah
Pernikahan Nabi dengan Aisyah
Beberapa Poin Penting
Pernikahan Nabi dengan Hafshah
Pernikahan Nabi saw dengan Zainab binti Khuzaimah
Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah
Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah
Ummu Salamah di rumah Rasul yang mulia
Keutamaan-keutamaan Ummu Salamah
Pernikahan Nabi saw dengan Zainab binti Jahsy Asadi
Takdir Ilahi dan Perceraian
Hancurnya tradisi Arab
Tuduhan Keji
Penjelasan Ayat
Pernikahan Rasul saw dengan Juwairiyah
Pernikahan Rasul saw dengan Safiyah
Berkah-berkah Pernikahan ini
Pernikahan Rasul saw dengan Maimunah
Pernikahan Rasul saw dengan Mariyah Qibtiyah
Sepuluh Poin Penting

BAB III

KISAH PERNIKAHAN IMAM ALI AS DENGAN FATHIMAH AS

Biografi Sayyidah Fatimah as
Pancaran Sinar Muhammad
Pernikahan Imam Ali as dengan Sayyidah Fatimah as
Perkakas rumah Sayyidah Fatimah as
Mahar Spiritual Sayyidah Fatimah as
Khotbah Nikah
Dari Pertunanangan Hingga Pernikahan
Perasaan Sayyidah Fatimah as di Malam Pengantin
Kisah Palsu Pernikahan Imam Ali as dengan Putri Abu Jahal
Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah as dalam Riwayat
Pernikahan Imam Ali as dengan Amamah
Pernikahan Imam Ali as dengan Khulah
Pernikahan Ali as dengan Umul Banin
Pernikahan Amirul Mu'minin dengan Asma' binti 'Umais
Layla binti Ma'ud Darmiah
Umu Sa'id putri 'Urwah
Mihyah putri Umrul Qais
Shahba' Taghlabiah

KISAH PERNIKAHAN IMAM HASAN MUJTABA as

Pernikahan Imam Hasan as dengan Kholah Fazariah
Aisyah Khats'amiah

KISAH PERNIKAHAN IMAM HUSAIN as

Syahr Banu putri Yazdgard, Raja Iran
Kesimpulan
Laila, Ibu Hadrat Ali Akbar as.
Rubab putri Umrul al Qais bin 'Udda
Kesimpulan dari Kritikannya
Ummu Ishaq
Ummu Walad Qadha'iah

KISAH PERNIKAHAN IMAM SAJJAD as

Ummu Abdullah putri Imam Hasan as

KISAH PERNIKAHAN IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR as

2- Ummu Hakim binti Usaid bin Mughirah Tsaafi

BAB IV

KISAH PERNIKAHAN IMAM JA`FAR AS SHADIQ

Kisah Perkawinan
Hamidah Mushoffah
Fathimah putri Husain bin Ali bin Husain as
Nafisah istri Ishak bin Ja'far as-Shadiq

PERNIKAHAN IMAM MUSA BIN JA'FAR as

Najmah Istri Imam yang ketujuh

KISAH PERKAWINAN IMAM ALI BIN MUSA AR-RIDHA as

Kisah Pernikahan Imam Ali bin Musa ar-Ridha as
Sabikah (Khizron)
Ummu Habibah putri Ma'mun.

KISAH PERNIKAHAN IMAM JAWAD as

Pernikahan dengan Ummu Fadl Putri Ma'mun
Acara Pernikahan
Jawaban atas Satu Pertanyaan
Pernikahan dengan Sammanah Maghribiyah
Hakimah Khatun as

KISAH PERNIKAHAN IMAM HADI as

Hudais atau Salil, isteri Imam Hadi as

KISAH PERNIKAHAN IMAM HASAN ASKARI as

Pernikahan beliau dengan Narjis Khatun as

KISAH PERNIKAHAN IMAM ZAMAN as

Imam Zaman as
Isu-Isu seputar Istri dan Anak Imam Mahdi as

2
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

BAB I

MUKADIMAH
Bismillâhirrahmânirrahîm

Allah Yang Maha Bijaksana telah meletakkan keinginan dan naluri yang beraneka ragam dalam diri manusia, sehingga dengan perantara itu ia dapat menyempurnakan kehidupan material dan spiritualnya. Yang penting di antara naluri-naluri itu harus terdapat keseimbangan, sehingga tidak ada dominasi satu atau beberapa naluri terhadap naluri-naluri fitri yang lain. Jika tidak demikian, manusia akan mengalami stagnasi dalam rangka mewujudkan pengembangan diri yang menyeluruh dan ia tidak akan dapat menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.
Menurut terminologi para ulama etika, agama Islam yang suci menginginkan penyeimbangan seluruh fungsi naluri manusia, bukan menonaktifkan seluruh fungsinya. Di antara faktor utama pengontrol naluri adalah pernikahan dan pembentukan keluarga.
Pernikahan akan memberikan arti kepada kehidupan. Seorang pemuda yang datang melamar seorang gadis, ia akan ditanya, 'Apakah engkau berani menghadapi kehidupan?' Pertanyaan ini artinya, apakah ia memiliki kesiapan untuk memikul tanggungjawab?
Jadi, pernikahan bukan hanya sekadar sarana untuk membebaskan diri dari kesendirian, bahkan ia merupakan jalan untuk mencapai kesehatan, kebersamaan, dan kesatuan naluri. Dan ini adalah yang paling penting."1
Dengan menelaah cerita dan kisah pernikahan ahlul bait as, kita akan mampu menggambarkan tiga pesan penting berikut ini bagi para pembaca budiman: seni menciptakan cerita yang menarik, kesucian pernikahan, dan sunah ahlul bait yang terpuji. Karena, masyarakat secara umum akan tertarik mendengarkan kisah kehidupan orang-orang yang mulia.

Sejajar dengan Kisah-kisah Al-Quran
Kisah pernikahan ahlul bait as adalah sebuah kisah pertalian suci yang dimulai antara Nabi Muhammad saw dan Khadijah, Imam Ali as dan Sayidah Fathimah az-Zahra`, sampai antara Imam Hasan al-'Askari as dan ibunda Imam Mahdi as. Sebagian besar kisah ini serasi dengan kisah-kisah al-Qur'an dan terkait dengannya. Oleh karena itu, penulis dalam menukilnya-dengan menggunakan referensi-referensi historis dan tekstual hadis-selalu berusaha memperhatikan keistimewaan-keistimewaan kisah-kisah al-Qur'an.
Tujuan utama al-Qur'an dalam menyampaikan kisah-kisah tersebut adalah mengantarkan umat manusia dari jalan yang gelap menuju jalan petunjuk yang terang-benderang. Demi mencapai tujuan utama itu, kadang-kadang sebuah cerita dipaparkan dengan metode yang menarik dan memukau. Kisah itu tidak disampaikan berdasarkan khayalan atau dongeng fiktif, namun berlandaskan pada metode seni baru dan realita yang tidak dapat diragukan lagi. Mengenai metode al-Qur'an dalam memaparkan kisah dan cerita ini, kita harus membuat satu pembahasan tersendiri dengan tema "Metode al-Qur'an dalam memaparkan cerita."2
Berkenaan dengan tujuan utama kisah-kisah al-Qur'an, Ayatullah Ja'far Subhani menyatakan: "Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menjelaskan tujuan memaparkan kisah-kisahnya: Pertama, memberikan nasihat (Q.S. Yusuf: 11), kedua, kesatuan tujuan dakwah para nabi (Q.S. An-Nahl: 36), dan ketiga, memperkuat semangat Rasulullah saw (Q.S. Hud: 12)."3
Dengan mengambil bukti-bukti dari ayat al-Qur'an, beliau menyebutkan karakter-karakter kisah-kisah al-Qur'an sebagai berikut:

a. Realistis.
b. Menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi.
c. Memilih kisah-kisah (bukan sembarang kisah).

Menghindari Fiksi
Kisah pernikahan ahlul bait as tidak berbau fiktif. Akan tetapi, karena tuntutan sastra dan keprigelan dalam menulis cerita, penulis memandang perlu untuk membeberkan kondisi dan karakter kedua belah pihak (pria dan wanita). Di samping itu, pihak lelaki secara keseluruhan adalah orang-orang yang terjaga dari dosa (maksum), sedangkan pihak wanita, kecuali Sayidah Fatimah tidak terjaga dari dosa dan berasal dari kalangan orang-orang biasa.
Dengan demikian, jika dalam kisah pernikahan yang terdapat dalam buku ini terlihat satu adegan khusus, seperti kisah cinta Khadijah dan Muhammad al-Amin, maka itu semua adalah penjelasan atas semua cinta-kasih suci sebagai dasar utama sebuah cerita yang menarik. Membuang sebagian alur cerita yang aneh dan tidak ada hubungannya dengan cerita-cerita historis dan hadis sengaja kami lakukan, karena hal itu tidak sesuai dengan kedudukan ahlul bait as. Pembaca yang budiman dapat menelaah hal tersebut dalam kisah pernikahan Rasulullah saw dengan Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkat beliau, Zaid, padahal telah turun ayat-ayat yang tegas dan hadis-hadis yang gamblang berkenaan dengan hal ini. Dan Anda akan memahami bahwa alur cerita tak sopan itu tidak sesuai dengan kedudukan Raslullah saw, meskipun orang-orang yang menukilnya adalah para ulama kenamaan.
Mengikuti metode al-Qur'an dalam memaparkan suatu cerita dan kisah adalah cara yang terbaik. Dalam al-Qur'an, Allah telah memaparkan kisah Nabi Yusuf dan Zulaikah dengan metode yang terindah. Di permulaan surah Yusuf, Ia berfirman, "Kami akan menceritakan kepadamu kisah terbaik."
"Pemaparan kisah Yusuf seperti yang dikisahkan oleh al-Qur'an adalah pemaparan yang terbaik. Sebab, meskipun cerita itu adalah cerita romantis, al-Qur'an telah menceritakannya sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun dapat menceritakannya sesantun dan seindah itu."4
Salah satu contoh dari metode pemaparan al-Qur'an yang terindah dan terbaik itu dapat kita baca dalam ayat 23 dimana Ia berfirman,

وَ رَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَ غَلَّقَتْ الْأَبْوَابَ فَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ قَالَ مَعَاذَ اللهِ إِنَّهُ

رَبِّيْ أَحْسَنَ مَثْوَايَ إِنَّهُ لاَ يُصْلِحُ الظَّالِمُوْنَ

"Wanita yang ia (Yusuf) berada di rumahnya itu merayunya. Ia menutup pintu dan berkata, 'Kemarilah!' Ia (Yusuf) berkata, 'Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya Ia adalah Tuhanku. Ia telah memperbaiki kedudukanku. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan berbahagia".
Berkenaan dengan ayat tersebut, Ayatullah Subhani menulis, "Memperhatikan kandungan ayat tersebut dapat mengenalkan kita kepada ketegasan dan kesopanan penjelasan al-Qur'an. Sekarang, kami akan menyebutkan poin-poin ayat ini:

a. Dalam bahasa Arab, kosa kata 'râwada' mengandung arti meminta dengan memaksa. Kosa kata ini mengindikasikan bahwa permintaan istri pembesar Mesir itu disertai dengan paksaan. Akan tetapi, demi menjaga kesopanan cara pemaparan cerita, al-Qur'an tidak menjelaskan apa yang dikehendaki olehnya. Tentu hal itu tidak lain adalah hubungan seksual.

b. Al-Qur'an tidak menyebutkan nama wanita yang memaksa itu. Ia tidak menyebutkan nama Zulaikah atau istri seorang pembesar Mesir yang mengadakan pemaksaan itu. Bahkan, ia hanya mengenalkannya dengan ucapan 'allatî huwa fî baitihâ'. Yaitu, seorang wanita yang Yusuf berada di rumahnya. Meskipun wanita itu berkuasa atas Yusuf dari segala sisi, al-Qur'an tetap menyebutkan ketegaran Yusuf yang luar biasa.

c. Jumlah 'ghallaqotil abwâb' (ia menutup seluruh pintu) mengindikasikan tempat bercinta yang amat harmonis. Akan tetapi, aspek ini tidak ditegaskan secara jelas dan gamblang.

Kalimat 'qôlat haita lak' (bergegaslah menggapai apa yang telah tersedia bagimu) adalah akhir ucapan sang wanita untuk dapat memperdaya Yusuf. Akan tetapi, Yusuf tetap menolak dan bertindak tegas, tanpa ia merasa tergoda."5
Keindahan dan cara memilih kosa kata dalam ayat-ayat berikutnya (ayat 24 dan 25) adalah salah satu keajaiban dan mukjizat al-Qur'an.
Dr. Syarif ketika berbicara tentang kandungan arti jumlah 'wa qod syaghafahâ hubban' menulis, "Dalam bahasa Arab, banyak kosa kata yang menunjukkan arti cinta; hubb, wala', 'azm, 'isyq, qorm, dan lain sebagainya. Akan tetapi, semua kosa kata itu hanya memiliki satu tingkatan dari arti cinta. Oleh karena itu, arti dari kata hubb dan wudd sudah pasti. Begitu juga dengan kosa kata syaghaf. Para ahli bahasa mengatakan bahwa syaghaf adalah suatu cinta dimana orang yang dihinggapinya tidak akan takut tercemar nama baiknya. Pokoknya apa pun boleh terjadi asal yang diinginkannya terwujud. Al-Qur'an sangat memperhatikan sesuatu yang detail semacam ini."
Tujuan kami dalam mengemukakan poin-poin di atas adalah bahwa dalam memaparkan seni bercerita, kita harus menghindari efek pendidikan yang buruk. Ketika membaca peristiwa terperdayanya Abdurrahman bin Muljam al-Muradi dalam perangkap Qutham (wanita yang ingin dinikahinya), saya sangat menyayangkan metode menulis sebagian para penulis. Menurut hemat saya, memaparkan cerita kegenitan dan rayuan Qutham tidak membawa manfaat yang signifikan. Selayaknya kita harus belajar dari kesopanan cara pemaparan al-Qur'an dan sejarah ahlul bait as dalam memaparkan suatu cerita atau kisah.

Pesan Utama dan Penutup
Pernikahan adalah sebuah perintah Ilahi. Dalam Kitab-Nya, Ia berfirman, "Nikahilah wanita yang baik bagi kalian". Pembentukan keluarga sangat penting dalam logika al-Qur'an, sehingga di samping ia memerintahkan untuk melakukan pernikahan lebih dari satu, ia memperingatkan, "Jika kalian takut tidak dapat berbuat adil, maka cukuplah satu."6
Masalah kepemimpinan kaum lelaki atas wanita yang telah disebutkan dalam surah an-Nisâ`: 34, bukan berarti kepemimpinan kaum lelaki yang bersifat sewenang-wenang. Al-Qur'an dalam surah ar-Rûm: 21, di samping menunjukkan tanda-tanda kekuasaan yang ada di bumi dan langit, Ia juga menyebutkan pernikahan, "Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Ia telah menciptakan bagi kalian istr-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian dapat merasa tenteram bersama mereka, dan menciptakan kecintaan dan rahmat di antara kalian. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda (keagungan) bagi kaum yang mau merenung."
Apakah logika al-Qur'an tersebut sesuai dengan kepemimpinan kaum lelaki yang bersifat sewenang-wenang? Apakah indahnya ungkapan 'litaskunû ilaihâ' (supaya kalian dapat merasa tenteram bersama mereka) tidak mengindikasikan kefleksibelan dan ketenangan? Apakah ungkapan 'wa ja'ala bainakum mawaddah' tidak mengindikaskan rasa kasih-sayang dan persahabatan? Apakah Allah yang Rasul-Nya menyatakan bahwa talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci (abghodh al-halâl) memperbolehkan kesewenang-wenangan lelaki terhadap wanita? Dalam lanjutan ayat 'ar-rijâl qowwâmûna 'alan-nisâ`' itu, Allah juga menjelaskan perihal wanita yang enggan menaati suaminya (nâsyizah). Hanya dalam kondisi pembangkangan istri, suami berhak untuk melakukan tiga hal untuk menjadiikan istri taat kembali. Pada hakikatnya, tiga hal itu adalah cara untuk mencari solusi, sehingga mahligai rumah tangga tidak sampai pada jurang perpisahan. Tiga hal itu adalah menasihati, pisah ranjang, dan "memukul", sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur'an.
Kisah pernikahan ahlul bait ini kami persembahkan bagi pengantin pria dan wanita yang teguh dalam memerangi penyimpangan nilai-nilai agama, baik secara teoritis (ilmiah) maupun praktis.

17 Syawal 1422

Babai Amuli


BAB II

HIKMAH PERNIKAHAN RASULULLAH SAW
Ketika Anda berhadapan dengan seorang pemuda terpelajar, mungkin ia dengan semangat kritisnya akan bertanya kepada Anda, "Saya sedang mencari hakikat, dan saya tidak memiliki urusan dengan jawaban-jawaban kontradiktif para penulis dan orator Barat ataupun selain Barat. Sebetulnya apa hikmah poligami Rasulullah saw?
Para ahli sejarah menulis bahwa minimal Nabi saw memiliki 11 istri. Mereka adalah Khadijah, Saudah, 'Aisyah, Hafshah, Zainab binti Khuzaimah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Jawiriyah, dan Maimunah. Dan masih ada beberapa sahaya yang menjadi hak milik Baitul Mal. Mariah al-Qibthiyah adalah seorang sahaya yang menjadi istri resmi Rasulullah saw dan darinya beliau mempunyai seorang putra bernama Ibrahim. Mereka juga menulis, di antara sebelas wanita itu, dua orang (Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah) meninggal dunia di saat Rasulullah masih hidup dan kesembilan orang lainnya meninggal setelah beliau wafat."
Ini adalah sebuah pertanyaan yang menarik. "Akar mayoritas penyelewengan agama dan etika generasi muda harus kita cari di sela-sela pemikiran dan keyakinan mereka (para intelektual). Dari sisi agamis, pola pikir generasi ini belum tercerahkan sebagaimana mestinya. Dan dari sini, ia sangat memerlukan pencerahan. Jika terdapat sebuah problema dalam membimbing generasi ini, pada umumnya hanya terbatas pada pemahaman bahasa dan logikanya. Pada waktu itulah setiap orang akan merasakan bahwa generasi muda ini tidak selalu menentang kebenaran bahkan ia memiliki kesiapan yang sangat besar untuk menerima hakikat agama."1
Anda, pembaca budiman, pasti mengetahui bahwa maksud kami adalah generasi muda yang sedang mencari hakikat dan kebenaran dan ingin mengarungi kehidupannya dengan merenungkan pengetahuan agama. Selanjutnya, dari pertanyaan-pertanyaan kritis yang diutarakannya, ia ingin memetik bunga-bunga jawaban yang semerbak mewangi sehingga kehidupannya menjadi bahagia nan tenteram.
Para ahli sejarah berasumsi bahwa penulis buku Tamaddun-e Islam va Arab (Kebudayaan Islam dan Arab), Dr. Gostave Lebon asal Prancis adalah seorang penulis yang jujur dimana dalam menggambarkan wajah kebudayaan Islam dan Arab, pandangan-pandangannya layak diacungi jempol. Kami pun setuju dengan hal itu. Akan tetapi, kami juga mengharapkan dari Anda untuk bersikap obyektif dan kritis.
Apakah orang yang menulis demikian, "Abul Fida`, seorang sejarawan Arab, dengan bersandarkan kepada ucapan para sahabat Rasulullah saw. Ia menyifatinya demikian, 'Akal beliau lebih sempurna dari akal semua orang. Dalam berpikir, beliau lebih unggul dari seluruh manusia. Beliau tidak berbicara sia-sia, selalu sibuk mengingat Allah, selalu menghadapi masyarakatnya dengan wajah tersenyum, dan ...'
Di samping itu semua, seperti pendapat para ahli sejarah Arab, Nabi Muhammad adalah seseorang yang selalu menjaga diri, pemikir, sedikit berbicara, bertindak hati-hati, berhati baik, dan ...
Menurut cerita, Rasulullah saw bukan orang terpelajar, dan kami pun menerima pendapat ini. Karena, jika ia adalah orang yang terpelajar, ia pasti menyusun al-Qur'an dengan lebih baik, dan jika ia adalah orang yang terpelajar, ia tidak akan mampu menyebarkan agama barunya. Karena, hanya orang yang tidak terpelajarlah yang memahami kondisi orang-orang yang tidak terpelajar."2 Apakah orang yang menulis demikian ini masih dapat dianggap sebagi seorang penulis yang jujur?
Apa yang dinukil oleh ilmuan Kristen dari Abul Fida` dan selainnya ini, serta pendapatnya, "Dan kami pun menerima ucapan ini, karena jika ia adalah seorang terpelajar, ia akan manyusun al-Qur'an secara lebih baik", adalah pertanda kekurangan informasi penulis akan asbab nuzul dan pengumpulan al-Qur'an. Begitu juga, di bagian kedua pasal tersebut3, ia juga memberikan penilaian-penilaian tidak benar, namun tulisan ini tidak selayaknya untuk mengkritisinya lebih jauh. Satu hal yang berhubungan dengan buku tersebut dan mungkin menjadi senjata utama para intelektual dan penentang Islam, seperti Salman Rusydi adalah pandangannya sebagai berikut, "Hanya satu hal yang dapat dijadikan alat untuk mengkritik Nabi yang tak tertandingi ini, yaitu, kecintaannya kepada wanita. Meskipun usianya sudah mencapai 50 tahun, ia tidak mencukupkan diri dengan istri pertamanya, Khadijah. Dan kecintaan ini tampak semakin meraja-lela di akhir-akhir usianya. Ia tidak pernah menutu-nutupi kecintaannya kepada wanita. Karena, ia sendiri pernah berkata, 'Dari dunia kalian ini hanya tiga hal yang kucintai: minyak wangi, wanita, dan, shalat, cahaya mataku.'"
Selanjutnya ia menulis, "Muhammad tidak memandang usia wanita yang hendak diambil. Karena, ia menikah dengan Aisyah yang masih berusia sepuluh tahun dan juga dengan Maimunah yang sudah berumur lima puluh tahun. Kecintaanya kepada wanita sudah sangat keterlaluan sehingga suatu hari ia memandang istri Zaid, anak angkatnya dan rasa cinta kepadanya merekah di hatinya. Oleh karena itu, Zaid menceraikan istrinya supaya dapat menikah dengan Nabi. Melihat peristiwa ini, Muslimin menjadi gundah-gulana. Malaikat Jibril setiap hari turun untuk datang menemuinya dan membawakan ayat-ayat yang menyatakan bahwa pernikahan itu dikarenakan sebuah kemaslahatan belaka. Oleh karena itu, kaum Muslim diam seribu bahasa dan tidak berani membicarakannya lagi."

Jawaban atas Tuduhan
Jawaban atas tuduhan-tuduhan penulis dan orang-orang sepemikiran dengannya dapat didapatkan dengan jelas dari nukilan penulis sendiri. Ia kadang-kadang mencampur-adukkan antara argumentasi dan klaim yang hal itu hanya dapat dipahami oleh pembaca yang kritis. Di sini, kami hanya akan menyebutkan hal itu secara sepintas. Dan bagi para pembaca yang ingin mengetahui lebih mendetail, kami sarankan untuk merujuk kepada buku tafsir al-Mîzân edisi Persia, jilid 2 dan 4, serta dua buku berharga Nezâm-e Huqûq-e Zan dar Islam dan Mas`aleh-ye Hejâb.

Pertama, ia menulis, "Nabi yang tak tertandingi". Kami ingin bertanya, tak tertandingi dalam hal apa? Berdasarkan etika insani dan Islami, serta kesempurnaan-kesempurnaan yang dimiliki oleh Rasulullah saw, dalam buku tersebut Anda tidak mungkin menjawab, "Tak tertandingi dalam mencintai wanita , yakni mengumbar syahwat."

Kedua, ia menulis, "Meskipun usianya sudah mencapai lima puluh tahun, ia tidak mencukupkan diri dengan istri pertamanya, Khadijah". Kami ingin bertanya, "Berapakah usia Rasulullah saw ketika beliau menikah dengan Khadijah?" Anda akan menjawab, "Pada usia dua puluh lima tahun". Apakah di usia-usia bergeloranya jiwa muda ini, selain julukan al-Amîn, ia memiliki julukan yang lain? Apakah antara usia dua puluh lima tahun hingga lima puluh tahun itu, yang sepuluh tahunnya adalah periode kenabian beliau di Makkah dengan segala tuduhan tidak benar yang dilontarkan oleh para pembesar Quraisy, seperti pembohong, gila, penyihir, dan lain-lain, adakah seseorang dari mereka yang menuduh beliau sebagai seorang pengumbar syahwat yang tak tahu malu? Bukankah sebaliknya di hadapan iming-iming material dan duniawi mereka, beliau menolak semua itu demi menjaga keagungan kalimat lâ ilâha illallôh?

Ketiga, ia menulis, "Kecintaannya kepada wanita ini tampak semakin meraja-lela di akhir-akhir usianya." Kami ingin bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan akhir-akhir uasia beliau adalah sepuluh tahun periode Madinah? Apakah tahun pertama Hijriah yang beliau selalu sibuk dengan memperkuat pondasi-pondasi pemerintahan Islam, membangun masjid-masjid, dan mengadakan perdamaian dengan kabilah-kabilah yang ada waktu itu? Ataukah tahun kedua Hijriah hingga beliau meninggal dunia yang selama periode itu beliau harus menghadapi delapan puluh empat lebih peperangan yang dipaksakan melawan Abu Sufyan, antek-antek Abu Jahal, Abu Lahab, dan kaum munafik? Gostave Lebon dan para penulis yang memiliki pemikiran serupa dengannya harus menjawab semua pertanyaan itu. Melihat rumah Rasulullah saw sebagai tempat turunnya wahyu dan terletak di samping masjid, rumah Allah, dan shalat malam adalah wajib bagi beliau, serta semua istrinya, selain Aisyah, adalah janda dan wanita-wanita yang sudah lanjut usia, kapankah dan dengan semangat apa beliau dapat mempraktikkan kecintaan kepada wanita yang kalian maksudkan itu, khususnya ketika masa mudanya beliau lalui di gunug-gunung Makkah dan bersama Khadijah di bawah tekanan musyrikin?

Keempat, ia menulis, "Kecintaanya kepada wanita sudah sangat keterlaluan sehingga suatu hari ia memandang istri Zaid ..." Kami ingin bertanya, "Siapakah Zaid itu? Siapakah istri Zaid itu? Ia adalah putri bibi (misanan) beliau, putri Umaiyah bin Abdul Mutalib.4 Apakah mungkin Rasulullah saw menikahkan putri bibinya dengan Zaid pada tahun 5 Hijriah, lima tahun terakhir umur beliau, dan beliau belum pernah melihatnya sehingga "suatu hari ia memandang istri Zaid" dan Allah mencari-cari alasan untuk merekomendasikan pernikahan tersebut? Apakah demikian cara berpikir seorang ilmuwan tentang seorang Nabi yang tak tertandingi dan penghulu para zahid dan orang-orang suci di dunia ini? Untung saja ia masih menulis, "Hal itu didasarkan oleh sebuah kemaslahatan."

Rasa Malu dan Kesucian Rasulullah saw
- Asma` binti Abu Bakar, saudari Aisyah pernah datang bertamu ke rumah Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian tipis sehingga anggota-anggota tubuhnya kelihatan. Beliau memalingkan wajahnya darinya sambil bersabda, "Wahai Asma`, jika seorang wanita sudah berusia balig, maka anggota badannya tidak boleh kelihatan kecuali ini dan ini". Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.5
- Pada persitiwa haji Wadâ', seorang wanita muda datang menjumpai Rasulullah saw untuk menanyakan suatu permasalahan. Fadhl bin Abbas sedang menunggangi kuda di belakang beliau. Lirik dan pandang mereka saling bertemu. Rasulullah saw mengerti bahwa mereka berdua saling melirik, dan wanita muda itu yang seharusnya memperhatikan jawaban permasalahannya, namun ia malah memfokuskan perhatiannya pada Fadhl, pemuda beliau yang tampan itu. Beliau memutar kepala Fadhl dengan tangannya seraya berkata, "Seorang pemudi dan pemuda (jika saling melihat), maka saya takut setan meletakkan kakinya di antara mereka."6
- Rasulullah saw pernah mengambil baiat dari kaum wanita. Akan tetapi, beliau tidak berjabatan tangan dengan mereka. Beliau memerintahkan supaya mendatangkan air sebelanga. Beliau mencelupkan tangannya ke dalam air itu dan memerintahkan mereka untuk mencelupkan tangan mereka. Beliau menjadikan hal itu sebagai cara berbaiat dengan kaum wanita.
Peristiwa ini telah disepakati oleh para sejarawan dan ahli tafsir. Para sejarawan menceritakannya dalam peristiwa pembebasan Makkah dan para ahli tafsir menyebutkannya dalam tafsir surah al-Mumtahanah ayat 12.
Aisyah berkata, "Selama hidupnya, tangan Rasulullah saw tidak pernah menyentuh tangan tangan seorang wanita yang bukan muhrimnya."
Dalam sebuah riwayat, Aisyah pernah ditanya, "Bagaimanakah akhlak Rasulullah saw?" Ia menjawab, "Akhlak Rasulullah saw adalah akhlak al-Qur'an. Allah telah mendidiknya dengan al-Qur'an." Jelas bahwa akhlak Qurani ini berdiri tegak di atas pondasi tazkiah dan penyucian diri.
Al-Waqidi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Zaid al-Hudzali berkata, "Saya pernah melihat rumah-rumah Rasulullah saw ketika Umar bin Abdul Aziz memerintahkan supaya rumah-rumah itu dimusnahkan. Temboknya terbuat dari tanah liat mentah, kamar-kamarnya terbuat dari kayu dan pelepah kurma yang dilapisi tanah liat. Aku menghitung kamar-kamar itu dan seluruhnya berjumlah sembilan kamar." Tujuan menukil pernyataan itu adalah kami ingin menunjukkan kesederhanaan kehidupan Rasulullah.
Al-Waqidi menukil dari Mu'adz bin Muhammad al-Anshari dari 'Atha` al-Khurasani bahwa ia berkata, "Saya pernah mendengar Sa'id bin Mussayyib berkata, 'Demi Allah, saya sangat mengharapkan kamar-kamar itu dibiarkan seperti semula dan tidak digabungkan dengan bagian masjid atas perintah Walid bin Abdul Malik, sehingga masyarakat Madinah dan setiap orang yang datang ke Madinah melihat bagaimana Rasulullah saw menjalani kehidupannya. Hal ini akan menyebabkan mereka hidup dengan kezuhudan dan menghindari kehidupan mewah.'"
Abu Umamah bin Sahl bin Hanif al-Anshari sebagai saksi mata atas penghancuran kamar-kamar itu berkata, "Seandainya mereka tidak menghancurkan kamar-kamar itu dan membiarkannya seperti keadaan semula sehingga masyarakat tidak membangun rumah dengan penuh kemewahan dan melihat sejauhmana Allah ridha atas kehidupan Rasul-Nya, padahal semua kunci harta dunia berada di tangannya."7
Itulah Nabi Islam yang agung, hamba Allah termulia yang telah menjalani kehidupan dan meninggal dunia dengan penuh kesucian. Inilah kisah pernikahan Muhammad dan ahlul baitnya sebagai simbol kejujuran dan penunjuk jalan hidayah.
Ya Allah, curahkan shalawat atas Nabi Muhammad saw dan keluarganya.
Imam Ali as berkata,

إِنَّ الْمَرْأَةَ رَيْحَانَةٌ وَ لَيْسَتْ بِقَهْرَمَانَةٍ

Sesungguhnya wanita itu adalah bunga yang semerbak mewangi, bukan seorang pekerja kasar.8

Kisah Pernikahan Rasulullah saw Dengan Khadijah
Siang dan malam hati Khadijah telah terpikat oleh Muhammad Amin. Ia selalu mencari alasan untuk mendekatkan dirinya kepada putra Abu Thalib yang yatim itu. Ia terbakar dalam api cinta kepada putra Aminah itu. Siang hari ia selalu gundah dan di malam hari ia tertidur pulas dalam harapan untuk menyatu dengannya.
Suatu malam, dalam mimpinya Khadijah melihat matahari berputar-putar di atas Makkah, lalu turun ke bawah di dalam rumahnya. Ia menceritakan mimpi tidurnya itu kepada Waraqah bin Naufal. Waraqah menyingkap takbir mimpinya dengan berkata, "Engkau akan menikah dengan orang agung yang ketenarannya akan mendomisai jagad raya ini."9
Kecintaan kepada Muhammad Amin adalah kecintaannya kepada kejujuran dan spiritualitas, sebuah kecintaan kepada Tuhan Muhammad yang selama empat puluh tahun ia selalu bermunajat kepada-Nya di gua Hira`.
Jangan Anda mengira bahwa kecintaan putri Khuwailid, seorang wanita terkenal dan terhormat di Makkah itu adalah sebuah kecintaan fiktif. Atau Anda berpikiran bahwa kecintaannya bukanlah kecintaan suci dan tak bermakna. Tidaklah demikian. Khadijah adalah seorang wanita berakal yang seluruh wujudnya telah dikuasai oleh api asmara terhadap Muhammad al-Amin.
Khadijah tidak hanya terpesona oleh ketampananan Muhammad al-Amin yang menarik hati itu, sebagaimana kecintaan Zulaikha kepada Yusuf. Ia pernah mendengar dan melihat bahwa jagad raya ini tenteram karena keberadaannnya.

Persiapan Pernikahan
Abu Thalib sebagai orang besar di kalangan Quraisy dan dikenal dengan kedermawanan, keberanian, dan keteguhan jiwa sangat prihatin terhadap kondisi kehidupan keponakannya yang serba sulit. Ia mengambil keputusan untuk mengutarakan keinginannya kepadanya. Suatu hari ia berkata kepadanya, "Khadijah putri Khuwailid, salah seorang saudagar (kaya) Quraisy sedang mencari seorang yang dapat dipercaya untuk diserahkan tanggungjawab mengurus dagangannya dan membawanya ke negeri Syam (Syiria). Alangkah baiknya jika engkau memperkenalkan dirimu kepadanya."
Untuk seorang pemuda berusia dua puluh lima tahunan seperti Muhammad yang masih dikuasai oleh rasa malu, usulan semacam itu amatlah berat baginya. Di sisi lain, kepribadian tinggi yang dimilikinya tidak mengizinkannya untuk melakukan hal semacam itu.
"Paman, Khadijah telah mengenal kejujuran dan amanahku. Mungkin ia sendiri yang akan mengutus seseorang kepadaku untuk mengutarakan usulan seperti usulan Anda itu", jawabnya singkat.
Dan memang itulah yang terjadi. Karena ia sangat mengenal pemuda jujur Makkah itu dan juga mengetahui kondisi kehidupannya yang serba sulit. Menurut sebagian pendapat, ia juga mengetahui perundingan yang telah terjadi antara Muhammad al-Amin dan Abu Thalib. Ia mengutus seseorang untuk memanggil Muhammad. Ketika pertama kali bertemu dengannya, ia berkata, "Satu hal yang membuatku tertarik kepadamu adalah kejujuran dan akhlakmu yang baik. Saya siap memberi dua kali lipat (upah) dari yang biasa kuberikan kepada orang lain dan mengutus dua budak bersamamu untuk menjadi pembantumu selama dalam perjalanan."
Muhammad menceritakan apa yang telah terjadi kepada pamannya. Sang paman menjawab, "Kejadian ini adalah sebuah perantara untuk sebuah kehidupan yang telah Allah skenariokan untukmu. Ini adalah sebuah rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadamu."
Rombongan pedagang Quraisy telah siap untuk berangkat. Setelah sampai di tujuan, semua barang dagangan terjual habis. Dan mereka juga melakukan transaksi di pasar Tuhâmah dengan membeli barang-barang dagangan yang diperlukan sewaktu mereka kembali ke daerah asal mereka. Rombongan dagang Khadijah yang memiliki laba melimpah di bawah kepemimpinan Muhammad itu akhirnya pulang kembali ke Makkah.
Sesampainya rombongan di Makkah, salah seorang budak yang bersama Muhammad itu berkata kepada Khadijah, "Anda memiliki berita bagus. Rombongan dagangmu telah kembali dari Syam dengan membawa laba yang melimpah dan barang-barang dagangan yang sangat bagus."
"Apa yang telah kalian katakan itu? Kalian pasti memiliki kenangan indah dalam perjalanan kali ini. Coba ceritakan kepadaku", kata Khadijah.
Maisarah menceritakan dua kenangan indah kepadanya: Pertama, Muhammad al-Amin berselisih pendapat dengan seorang pedagang dalam suatu masalah. Pedagang itu berkata kepadanya, "Bersumpahlah demi Lâta dan 'Uzzâ. Barulah akan kuterima ucapanmu." Muhammad al-Amin menjawab, "Makhluk paling hina dan paling kubenci adalah Lâta dan 'Uzzâ yang kau sembah itu."10 Kedua, di Bushra, Muhammad al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat. Salah seorang Rahib melihatnya dari tempat peribadatannya. Ia menghampirinya dan menanyakan namanya. Ketika mendengar nama Muhammad al-Amin, ia berkata, "Orang ini adalah nabi yang telah banyak kubaca kabar gembira berkenaan dengannya."
Melalui kisah-kisah mengesankan itu dan pengenalannya yang yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu, api cinta Khadijah semakin berkobar. Di samping memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, Khadijah juga memberikan hadiah kepadanya sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Semua yang diterimanya dari Khadijah itu diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib. Adalah benar bahwa Muhammad adalah seorang pemuda teladan, memiliki kemampuan manajemen hidup yang baik, sehingga keluarga-keluarga mulia Makkah merasa bangga ketika dapat menjalin hubungan kekeluargaan dengannya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah orang terhormat dan pelindungnya.

Tata Cara Meminang
Khadijah menceritakan segala yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal. Dan Waraqah, orang pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum Khadijah mengenalnya, membenarkan semua ceritanya.
Pembenaran Waraqah itu menyebabkan Khadijah semakin menaruh hati kepada nabi yang dijanjikan itu. Bahkan dengan tegas ia menolak mentah-mentah semua pembesar Arab yang datang untuk meminangnya. Para pembesar seperti 'Uqbah bin Mu'ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan adalah di antara para peminang Khadijah.
Tidak aneh-seperti kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi-jika Khadijah berkata kepada Muhammad, "Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap dirimu, aku sangat berharap dapat menikah denganmu."
Muhammad Al-Amin itu pun menjawab, "Seyogianya aku mengutarakan masalah ini kepada paman-pamanku sehingga aku dapat mengambil keputusan atas dasar musyawarah dengan mereka."
Sebagian ahli sejarah juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah binti Aliyah, salah seorang sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada Muhammad dengan berkata, "Mengapa di malam hari engkau tidak menyinari kehidupanmu dengan seorang istri? Jika aku mengajakmu kepada keindahan, kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?"
Muhammad bertanya, "Siapakah maksudmu?"
"Khadijah", jawabnya.
"Apakah ia rela dengan kondisi hidupku ini?"
"Ya. Tentukanlah harinya sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk membicarakan pesta pernikahan."11
Inilah Khadijah dan dunia indah kehidupan Muhammad al-Amin, seorang pemuda kharismatik Makkah yang tampak agung di mata seluruh masyarakatnya. Tuhannya pun memuliakannya. Khadijah adalah seorang wanita pemburu yang sangat mahir sehingga ia enggan menangkap "buruan" kecuali keponakan Abu Thalib yang yatim, meskipun sahabatnya yang berwawasan pendek dan musuhnya sering mencelanya dalam pilihannya yang suci itu.
Perdagangan itu hanya sebuah alasan untuk mewujudkan keinginan Khadijah yang jelas, sehingga ia dapat mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada kekasihnya tanpa perantara. Ia pernah berkata kepada Muhammad, "Engkau telah menguasai seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh Tuhanmu dan sesuai dengan keinginanmu."
Mimpi Khadijah sudah mendekati kenyataan. Ia membaca takwil mimpi indahnya itu di sekujur tubuh putra Aminah itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia berkata kepada dirinya, "Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah wanita pertama yang dicintai oleh al-Amin, Muhammad yang orang lain harus tersiksa dan terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?"

3
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin
Dengan pesan Khadijah, nabi yang dijanjikan itu pergi bertamu ke rumah Khadijah. Atau setelah bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib ia pergi ke rumah Khadijah. Ia mendapatkan penghormatan khusus dari Khadijah dan melantunkan beberapa syair untuk itu.
"Apakah engkau memiliki keperluan yang dapat kulakukan?"
Putra Aminah tidak mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya yang tinggi.
"Apakah aku dapat bertanya sesuatu kepadamu?"
"Silakan."
"Apakah yang akan kau lakukan dengan upah perdagangan itu?"
"Apa maksudmu?"
"Aku ingin tahu apakah aku dapat melakuan sesuatu untukmu?"
"Pamanku, Abu Thalib menginginkan aku menikah dengan modal tersebut."
Dengan senyuman yang bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata, "Apakah kamu setuju jika aku merealisasikan keinginan pamanmu itu? Aku kenal seorang wanita yang-dari segi kesempurnaan dan kecantikan-sangat sesuai denganmu; seorang wanita yang baik, suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang yang ingin menjalin hubungan dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya. Wahai Muhammad, selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah bersuami dua kali dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun."12
"Siapakah namanya?"
"Budakmu, Khadijah!"
"Oh, Tuhanku! Ia telah bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat kepalaku, apa yang dapat kukatakan?"
"Mengapa engkau tidak menjawabku? Demi Allah, aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan."
Diamnya Muhammad yang disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu membuat air mata Khadijah menetes, dan ia melantunkan beberapa bait syair secara spontan. "Hatiku telah tertambat kepadamu. Di dalam taman hatiku terdapat kecintaanmu. Jika engkau tidak menerima tawaranku, ruhku akan terbang dari ragaku."
"Mengapa engkau tidak menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan aku selalu menaatimu."
"Mengapa engkau berkata demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku seorang pemuda miskin."
"Orang yang rela mengorbankan jiwanya untukmu, apakah ia mau mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan menutupi kepapaanmu. Seluruh wujud dan modal material dan sosialku 'kan kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku dan wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu mengharapkan engkau bersanding dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku. Berikanlah hak kepadaku jika aku tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat Yusuf dan ia menjadi tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh ketampanannya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi Ka'bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah menemui paman-pamanmu, serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia."
Rasulullah saw keluar dari rumah Khadijah dan pergi menemui pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat paman-pamannya sedang berkumpul. Abu Thalib memandang wajah Rasulullah seraya berkata, "Keponanaku, aku ucapkan selamat atas hadiah yang telah kau terima dari Khadijah. Kukira ia telah mencurahkan seluruh hadiah atasmu."
Rasulullah berkata perlahan, "Paman, aku ingin sesuatu dari Anda."
Dengan tidak sabar Abu Thalib bertanya, "Permintaan apa? Katakanlah sehingga kulaksanakan secepatnya."
"Paman, berangkatlah sekarang juga bersama paman-paman yang lain dan pergilah menemui Khuwailid untuk meminang putrinya, Khadijah untukku," jawabnya.
Tidak satu pun dari paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya kecuali Abu Thalib. Ia berkata, "Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus belajar darimu dan bermusyawarah denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau sendiri mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang sempurna, berkepribadian dan menjaga diri dari segala cela dan aib. Seluruh raja Arab, para pembesar Quraisy, para pembesar Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para pembesar Thaif telah meminangnya dan mereka bersedia mengorbankan harta berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia tidak menanggapi mereka semua dan melihat dirinya lebih tinggi dan lebih berkepribadian dari mereka. Anakku, engkau adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Khadijah adalah seorang wanita yang senang bergurau. Kukira ia ingin bergurau denganmu. Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya ini. Janganlah kau sebarkan berita ini, karena semua itu akan sampai ke telinga semua orang Quraisy."
Abu Lahab berkata, "Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami sebagai buah bibir seluruh penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang Khadijah."
Abbas beranjak dari tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu dengan lantang. Ia berkata, "Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku buruk. Cela apakah yang dapat mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia memiliki ketampanan yang memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin Khadijah menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Dengan perantara harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka'bah, jika ia meminta mahar darinya, maka akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara dan memasuki kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh Khadijah itu."
Rasulullah berkata, "Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian berdebat dengan masalah yang tidak ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Kalian tidak mengetahui apa yang kuketahui."
Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari tempatnya seraya berkata, "Demi Allah, aku tahu bahwa setiap yang dikatakan oleh keponakanku ini adalah benar. Ia adalah seorang yang jujur. Mungkin saja Khadijah hanya ingin bergurau dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih dahulu."
Ia mengenakan pakaiannya yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah. Sebagian sahaya Khadijah melihat Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan hal itu secepatnya.
Pada waktu itu, Khadijah sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari rumah bagian atas ke bagian bawah dan memberikan izin kepada semua sahayanya untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah mengetahui Shafiah hendak datang, ia bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena terburu-buru, bagian bawah bajunya terinjak oleh kakinya. Pada waktu itu, Shafiah masih berada di luar rumah. Ia mendengar ketika Khadijah berseru, "Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu, wahai Muhammad!" Shafiah berkata kepada dirinya, "Sudah jelas bahwa ini bukanlah sebuah pegurauan."
Ia mengetuk pintu rumah Khadijah. Para sahaya mengantarkannya bertemu Khadijah dan menjamunya dengan penuh kehormatan. Khadijah ingin mengambilkan makanan untuktnya. Akan tetapi, ia berkata, "Aku tidak datang untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti."
Khadijah yang memahami maksudnya dengan isyarat tersebut berkata, "Hal itu benar. Jika kau mau, sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dulu. Aku telah meminang Muhammad untuk diriku dan menerima mahar yang diusulkannya. Jangan sampai kalian membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah membenarkannya."
Shafiah tersenyum merekah seraya berkata, "Aku memahami jika engkau memiliki rasa cinta demikian. Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya seperti wajah Muhammad, belum pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari ucapannya, dan belum pernah melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya bicaranya."
Shafiah ingin keluar dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak mengizinkannya seraya berkata, "Sabar dulu sebentar." Ia lalu beranjak dan mengambil secarik kain yang sangat berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah sebagai hadiah, lalu memeluknya seraya memohon sesuatu. Ia berkata, "Demi Allah, tolonglah aku sehingga aku dapat menjadi istri Muhammad." Shafiah berjanji untuk membantunya sekuat tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah saudara-saudaranya.
Mereka bertanya apa yang telah terjadi. Ia menjawab, "Ia begitu tergila-gila terhadap keponakan kalian sehingga sulit untuk menceritakannya." Mendengar berita itu, mereka semua gembira dan bahagia kecuali Abu Lahab yang hal itu menambah kemarahan dan kebenciannya. Kemarahan dan kebenciannya itu sudah pernah terjadi sebelumnya dan sekarang bertambah parah. Abbas berkata lantang, "Sekarang ketika rencana sudah sampai pada tahap ini, mengapa kalian semua duduk di sini?"
Di sini, sejarah menukil satu pasal panjang tentang sikap Khuwailid terhadap Abu Thalib dan para peminang yang bersamanya. Mereka keluar dari rumah Khuwailid dengan penuh keputus-asaan. Akan teapi, sesuai dengan pendapat Kulaini dalam buku al-Kâfî dan al-Waqidi, yang melaksanakan akad pernikahan Khadijah adalah pamannya. Al-Waqidi menulis, "Khuwailid telah meninggal dunia sebelum peristiwa perang Fijâr."
Seperti diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Bakri, setelah putra-putra Abdul Muthalib keluar dari rumah Khuwailid, ketika Khadijah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia berkata, "Katakanlah kepada pamanku, Waraqah untuk datang kemari." Ketika ia datang, Khadijah sangat menghormati kedatangannya dan menanyakan perihal ketidakpeduliannya.
Waraqah melihat Khadijah dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, "Keponakankku, apa yang sedang terjadi? Mengapa engkau bersedih hati?"
"Mengapa aku tidak boleh sedih setelah semua harapanku terbang dibawa angin?" jawabnya.
"Selama ini aku belum pernah mendengar engkau berbicara demikian. Mungkin maksudmu adalah pernikahan?" tanyanya lagi.
"Ya", jawabnya singkat.
"Pernikahan 'kan buan suatu masalah yang penting. Para pembesar Arab telah meminangmu dan kamu pun menolak mereka", jawabnya.
"Aku tidak ingin keluar dari Makkah", katanya lagi.
"Tidak sedikit para peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti Syaibah bin Rabi'ah, 'Uqbah bin Mu'ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi Yahab. Tidak satu pun dari mereka yang kau terima", kata Waraqah lagi.
"Aku tidak ingin suamiku memiliki cela", jawab Khadijah.
"Mereka ini memiliki cela apa?", tanya Waraqah.
"Syaibah adalah seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek hati, 'Uqbah sudah tua renta, dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong, dan selalu mengumpat. Adapun Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku, apakah engkau mendengar berita bahwa ada orang lain selain mereka telah meminangku?", kata Khadijah.
"Ya, aku mendengar berita itu. Muhammad bin Abdullah telah meminangmu", jawab Waraqah.
"Apakah engkau melihat cela pada dirinya?", tanyanya lagi.
Waraqah bin Naufal mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi. Ketika ia mendengar pertanyaan Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya berkata, "Apakah engkau ingin kuceritakan cela-celanya?", tanyanya.
"Ya!", jawab Khadijah.
Ia berkata, "Ia memiliki ras yang mulia dan keturunan yang berkepribadian. Ia memiliki wajah yang menarik, akhlak yang indah, keutamaan yang telah diketahui oleh khalayak, dan kemurahan hati yang sangat besar. Demi Allah, Khadijah, ini adalah sebuah kenyataan."
Khadijah bertanya, "Sepertinya aku minta supaya engkau menceritakan cela-celanya!"
Waraqah berkata, "Khadijah, dahinya bercahaya bak bintang-gumintang, kedua matanya seperti permata yang bergemilau, dan bahasanya lebih manis dari madu yang murni. Ketika sedang berjalan, ia memancar seperti rembulan yang cemerlang."
Khadijah berkata, "Pamanku, jangan bergurau. Tolong ceritakan cela dan aibnya."
Waraqah berkata, "Semua wujudnya adalah keindahan, keturunannya bebas dari segala aib kekotoran, dan ia lebih tampan dari seluruh penduduk semesta alam. Ia memiliki hati yang penyayang. Rambutnya lembut dan terurai. Ia memiliki bau badan yang lebih harum dari minyak misik dan gaya bicara yang lebih manis dari madu. Khadijah, aku mengambil Allah sebagai saksiku, aku sangat mencintainya."
Khadijah berkata, "Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela dan aibnya, engkau selalu menceritakan karakter -karakter baiknya!"
Waraqah, "Anakku, dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?"
Khadijah berkata, "Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela baginya dan mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia miskin, kekayaanku sangat banyak. Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku pun telah meminangnya."
Waraqah berkata, "Apa yang akan kau berikan padaku jika malam ini aku menikahkanmu dengannya?"
Khadijah berkata, "Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu? Kuserahkan semua kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai."
Waraqah berkata, "Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia. Masa depan memiliki perhitungan dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan akan dimiliki oleh orang yang mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya. Celakalah orang yang menyimpang dari jalan surga dan memilih jalan menuju neraka."
Khadijah berkata, "Apa yang kau inginkan akan kuberikan padamu."
Menurut versi sejarah ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik. Khuwailid beralasan, "Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah tidak akan mau."
Waraqah menjawab kedua alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk pergi bersama ke rumah Abu Thalib demi menebus kesalahannya selama ini dan mengambil hati Bani Hasyim kembali. Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh urusan putrinya kepada Warqah bin Naufal di rumah Abu Thalib dan mengumumkan bahwa ia adalah wakilnya dalam semua urusan Khadijah.
Hamzah, paman nabi tidak puas dengan perwakilan ini dan menetapkan agar perwakilan itu dinyatakan di depan kaum Quraisy. Kemudian mereka bersama-sama datang ke Ka'bah dimana sekelompok orang sudah berkumpul disana seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah bin abi Mu'ith, Umayah bin Khalaf dan Abu Sufyan. Di hadapan mereka, Khuwailid juga mengakui perwakilan itu dan memutuskan bahwa esok harinya akan melangsungkan pertunangan resmi.
Imam Shadiq as bersabda: "Ketika Rasulullah saw ingin menikahi Khadijah, Abu Thalib bersama rombongan Quraisy datang menemui paman Khadijah, Waraqoh bin Naufal. Pertama, Abu Thalib yang mulai berbicara dan berkata: "Puji syukur kepada Tuhan seluruh alam pemilik rumah ini yang telah menjadikan kami dari golongan Ibrahim al-Khalil dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh keamanan. Dia menjadikan kami sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada kami. Inilah keponakanku, Muhammad bin Abdillah, orang termulia di kalangan Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan serupa dengannya. Sekalipun ia miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan kekayaan adalah teman pengkhianat dan cepat pergi). Ia sangat mencintai Khadijah dan ia juga mencintainya. Kami datang untuk meminangnya. Berapa saja maskawin yang ia relakan kami akan memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya Allah, saya bersaksi bahwa keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa depan yang jernih, agama serta keyakinan yang suci."13
Abu Thalib mengakhiri pembicarannya dan berakhir pula pertunangan dari pihak lelaki. Paman Khadijah, Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya terasa berat dan tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Disaat inilah Khadijah berbicara: Paman, sekalipun engkau pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku namun kali ini aku yang labih berhak maju, lalu ia mengucapkan akad nikah sendiri sebagai berikut:

قَدْ زَوَّجْتُكَ نَفْسِيْ وَ الْمَهْرُ فِيْ مَالِيْ فَأْمُرْ عَمَّكَ فَلْيَنْحَرْ نَاقَةً فَلْيُوْلِمْ بِهَا وَ ادْخُلْ عَلَى

أَهْلِكَ


"Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah istrimu kapan saja engkau mau."

Abu Thalib memanfaatkan kesempatan yang ada dan berkata: "Jadilah kalian saksi bahwa Khadijah telah menerima maskawin yang diambil dari hartannya." Sebagian orang Ouraisy yang hadir di situ, karena merasa iri, dengan suara mengejek berteriak; "Aneh sekali! Dulu kaum lelaki yang memberi maskawin, tapi sekarang kami lihat orang perempuan yang justru menyerahkan maskawin kepada calon suaminya." Abu Thalib merasa terpukul dan marah dengan ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik dimana orang ketakutan sewaktu marah) lalu berkata: "Jika mempelai lelaki seperti keponakanku maka tidak menjadi masalahperempuan yang memberi maskawin yang mahal, akan tetapi jika yang menikah seperti kamu maka memang selayaknya kamu menanggung maskawin yang besar."14
Akhirnya, Abu Thalib menyembelih unta dan mengadakan walimah serta menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.15

Catatan Penting atas Pernikahan Nabi dengan Khadijah
- Nabi saw lahir di tahun gajah dan Sayyidah Khadijah lahir ke dunia lima belas tahun sebelum tahun gajah. Usia beliau sewaktu menikah dua puluh lima tahun dan usia Khadijah empat puluh tahun.
Di tahun kesepuluh bi'sah, Sayyidah Khadijah meninggal dunia setelah mencapai usia enam puluh lima tahun. Semasa Khadijah masih hidup Rasulullah saw tidak menikah dengan wanita lain.
- Beliau mempunyai tujuh anak, tiga laki-laki dan empat perempuan. Anak laki tebebesar dari mereka adalah Qosim yang dengannya Rasulullah dijuluki Abul Qosim. Kedua, Abdullah yang dipanggil Thahir, Thayyib, dan Ibrahim dari keturunan Mariyah yang lahir di tahun kedelapan Hijriyah dan meninggal dunia di tahun kesepuluh Hijriyah sebelum Rasulullah saw wafat.
Ibnu Hisyam menulis: Putri beliau terbesar adalah Ruqoyah lalu Zainab, Ummu Kulstum dan Fatimah. Dan sebagian orang juga meyakini bahwa Zainab anak terbesar dimana ia wafat di tahun kelahiran Ibrahim.
Semua putra beliau meninggal dunia sebelum bi'sah, akan tetapi putri-putrinya sempat mengalamii masa kenabian.16
" Syeikh Shaduq dalam kita Amali dengan sanad-nya sendiri menukil dari Imam Shadiq as yang bersabda: "Ketika Khadijah ra kawin dengan Rasulullah saw, para wanita Makkah lari darinya dan tidak mau datang atau memberi salam kepadanya, bahkan mereka mencegah wanita lain datang kepadanya. Khadijah ketakutan dan menyampaikan rasa takut dan sedihnya kepada Rasulullah saw. Ketika beliau mengandung Fatimah, ia dari dalam perut ibunya berbicara dan mengajak ibunya agar bersabar. Khadijah menyembunyikan masalah ini kepada Rasulullah saw, sehingga pada suatu hari beliau masuk kamar dan mendengar Khadijah sedang berbicara dengan Fatimah, lalu beliau bertanya: Kamu berbicara dengan siapa? Khadijah menjawab: Bayi dalam perutku ini berbicara denganku dan menghiburku. Lalu beliau berkata kepada Khadijah, Jibril telah membawa kabar kepadaku bahwa bayi itu perempuan, suci dan membawa berakah. Allah SWT menjadikan keturunanku darinya dan darinya Allah menjadikan para imam dan penggantiku di atas bumi".
Khadijah melewati masa kehamilan sampai tiba waktu untuk melahirkan. Ia menyampaikan pesan kepada para wanita Quraisy dan Bani Hasyim yang berbunyi: Bantulah aku dan lakukanlah untukku semua urusan yang hanya bisa dilaksanakan oleh kaum wanita. Namun mereka mengutus seseorang untuk mengatakan padanya: Kau telah melanggar perintah kami dan tidak mendengarkan ucapan kami dimana kau menikah dengan Muhammad, anak yatim Abi Thalib yang fakir dan miskin. Sekarang, kami semua tidak peduli dengan urusanmu.
Khadijah tenggelam dalam kesedihan. Dan tiba-tiba, ia melihat sosok empat wanita besar berkulit sawo matang menyerupai para wanita Bani Hasyim masuk rumah dan ia ketakutan melihat mereka. Akan tetapi satu dari mereka mengatakan: Janganlah sedih wahai Khadijah, kami adalah utusan Tuhan dan saudarimu. Aku Sarah dan ini Asiyah putri Mazahim yang akan menemanimu di surga dan ini Maryam puteri Imran dan ini adalah Kultsum saudari Musa bin Imran. Allah mengirim kami kepadamu untuk membantumu.
Kemudian satu dari mereka duduk di sebelah kanan, satu lagi berada di sebelah kiri, yang ketiga menempati posisi depan dan yang keempat duduk di belakang kepalanya. Tak lama kemudian Fatimah as yang suci lahir. Tatkala bayi suci itu jatuh ke bumi, tiba-tiba muncul cahaya darinya yang menyinari seluruh rumah di Makkah dan tidak ada tempat di barat atau timur kecuali tersinari oleh cahaya tersebut.
Setelah Fatimah as dilahirkan, ada sepuluh bidadari mendatanginya yang masing-masing membawa air segar kautsar dari surga. Perempuan yang duduk didepan Khadijah mengambil air itu dari mereka dan memandikan bayi mungil dengannya. Kemudian ia mengeluarkan dua helai kain yang lebih putih dari susu dan lebih wangi ketimbang misyik dan anbar, lalu ia membungkus Fatimah dengan salah satu dari kain tadi dan menutup kepalanya dengan yang lain, kemudian ia mengajaknya bicara. Fatimah as tersenyum, seraya berkata: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Tuhan yang Maha Esa, ayahku Rasulullah penghulu para nabi, suamiku pimpinan para imam, dan keturunanku adalah cucu-cucu para rasul, lalu ia mengucapkan salam kepada wanita-wanita tersebut sambil menyebutkan nama mereka satu persatu, kemudian mereka tertawa. Para bidadari dan penghuni langit satu sama lain saling mengucapkan selamat atas kelahiran Fatimah as. Cahaya besar memancar di langit yang malaikat tak pernah menyaksikan selama itu.
Para wanita itu berkata: Wahai Khadijah, ambillah bayi suci, mungil dan penuh barakah ini yang ia dan keturunannya telah diberkati.
Khadijah ra dengan senang dan gembira mengambil dan menimangnya. Fatimah as dalam sehari sedemikian pesat perkembangannya seakan bayi berumur satu bulan, dan dalam satu bulan seperti bayi berumur satu tahun.18

Peran Abu Thalib dalam perkawinan dan kehidupan Nabi
Peran Abu Thalib, ayah yang mulia dari Amirul mu'minin Ali as sejak awal hingga perkawinan Rasulullah dengan Khadijah dan khotbah nikahnya yang indah pantas untuk dipuji dan diperhatikan. Abu Thalib adalah pelindung anak saudaranya sejak masa awal kenabian yang penuh tantangan sampai masa jayanya, dan ia meninggal dunia pada tahun kesepuluh bi'sah beberapa hari sebelum wafatnya Sayyidah Khadijah.
Ibnu Sa'ad dalam kitab Thabaqot menulis, "Kepergian Khadijah terjadi satu bulan lima hari setelah wafatnya Abu Thalib. Kelompok lain seperti Ibnu Astir dalam kitab Kamil, juz 2, halaman 63 meyakini bahwa beliau wafat sebelum itu, yakni tidak sampai satu bulan lima hari.
Almarhum Ayati menulis, "Wafatnya Abu Thalib terjadi kira-kira dua bulan setelah keluarnya Bani Hasyim dari syu'b dan tiga tahun sebelum Hijrah, dan tiga hari setelahnya ( yaitu pada bulan Ramadan tahun ke sepuluh bi'sah) Sayyidah Khadijah pun meninggal dunia. Khadijah (menurut sejarah ini) berusia 65 tahun dan Abu Thalib berumur 80 tahun lebih, sedangkan Rasululah saw saat itu sudah mencapai umur 49 tahun delapan bulan sebelas hari.
Abu Thalib dan Khadijah dikuburkan di Makkah (Hajun). Kepergian dua pribadi agung ini adalah musibah besar bagi Rasulullah saw. Beliau sendiri mengatakan: "Sampai hari wafatnya Abu Thalib orang Quraisy tidak berani mengganguku."19
Ibnu Hisyam menulis, "Tak lama setelah meninggalnya Abu Thalib, ada satu pemuda Quraisy melemparkan tanah ke kepala Rasulullah. Beliau masuk rumah dan seorang puterinya dengan sedih membersihkan tanah itu dari kepala dan wajah ayahnya dan menyiramnya dengan sedikit air sambil meneteskan air mata. Rasulullah saw menghibur puterinya seraya mangatakan: "Jangan menangis, Allah pelindung ayahmu." Lalu beliau bersabda: "Selama Abu Thalib masih hidup orang-orang Quraisy tidak berhasil berbuat apa-apa untukku."
Istri Abu Thalib, ibu Amirul Mukminin Ali as adalah Fathimah binti Asad. Sejak Rasulullah menginjakkan kakinya di rumah mereka sampai Abu Thalib dan isterinya menjadi pengasuh beliau, wanita ini dengan keikhlasan dan kesetiaan mendidik Rasul sampai beliau bersabda : "Wahai Ali, ibumu meninggalkan anaknya kelaparan tapi aku selalu disuapi. Mereka menyisiri dan meminyaki rambutku serta menghidangkan makanan hangat untukku."
Anas bin Malik meriwayatkan bahwasanya ketika Fatimah binti Asad meninggal dunia, Nabi datang dan duduk di samping kepalanya sambil mengucapkan: "Semoga Allah merahmatimu wahai ibuku, engkau menjadi ibuku setelah ibuku wafat, menyuapiku dan menutupiku ... Engkau lakukan semua ini demi keridhaan Allah dan bekal akhirat."

Pernikahan Nabi dengan Saudah
Saudah adalah puteri Zum'ah bin Qais yang Rasulullah saw menikahinya sepeninggal Khadijah dan sebelum Aisyah. Saudah pernah menikah dengan putra pamannya, Sakron bin Amr. Setelah Sakron menjadi Muslim, ia hijrah ke Habasyah dan setelah beberapa bulan kembali lagi ke Makkah. Sakron meninggal dunia di Makkah sebelum masa Hijrahnya Rasulullah saw. Setelah itu, Saudah menjadi isteri Nabi saw. Dalam riwayat lain diceritakan bahwa Khulah binti Hakim yang meminangkan Saudah kepada beliau. Ia wafat diakhir masa kekhalifahan Umar atau tahun ke-54.
Saudah memberikan malam-malamnya kepada Aisyah dan diwaktu Rasul mau mentalaknya -sebab perceraainya tidak tercatat dalam sejarah- ia berkata: aku tidak punya gairah untuk lelaki melainkan aku hanya ingin menjadi bagian dari isteri-isterimu.20

Pernikahan Nabi dengan Aisyah
Nabi saw-sepeninggal Khadijah-menikah dengan Saudah yang umurnya satu tahun lebih tua dari beliau. Diceritakan bahwa ayah dan ibu Aisyah dengan beberapa alasan menawarkan puterinya kepada Nabi untuk dinikahi. Saat itu Aisyah masih berusia tujuh atau sembilan tahun. Nabi saw menunda-nunda jawabannya. Dan terkadang karena desakan bapak dan ibu Aisyah, beliau mengakatakan, 'Ya nanti.' Akan tetapi mereka terus menampakkan keinginannya dalam merealisasikan hubungan ini. Dan akhirnya, Nabi menerima jika sekadar akad atau tunangan saja.
Acara akad atau pertunangan berlangsung di Makkah, dan di tahun kedua Hijriyah Aisyah resmi menjadi isteri beliau. Dalam versi lain dikatakan bahwa Khulah binti Hakim (orang pertama yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah saw) setelah Khadijah meninggal datang menemui Nabi saw dan menawarkan Saudah dan Aisyah kepadanya untuk dinikahi, lalu beliau merima.21
Ibnu Abil Hadid pensyarah terkenal kitab Nahjul Balaghah pada khotbah yang ke-156 saat menjelaskan kondisi Aisyah menulis: "Di khotbah ini kosa kata yang tidak jelas (fulanah) adalah kiasan dari Ummul Mukminin Aisyah, ayahnya adalah Abu Bakar yang nasabnya telah dijelaskan di atas (penjelasan khotbah ketiga)22 sedangkan ibunya Ummu Ruman, putri Amir. Nabi saw dua tahun sebelum Hijrah dan setelah Khadijah wafat, meminang Aisyah yang baru berusia tujuh tahun dan menikahinya di Madinah setelah ia berumur sembilan tahun. Sebelumnya, tersebar isu pernikahan Aisyah dengan Jubair bin Muth'im dan orang-orang menyebut-nyebut dia didepan Jubair. Nabi saw setelah kematian Khadijah bermimpi melihat Aisyah berada dalam kain sutera putih, dan beliau bersabda: "Jika perkawinan ini datang dari Allah maka Ia yang akan menyiapkan semua itu". Kisah ini dinukil dalam kitab-kitab hadis shahih.23 Resepsi pernikahannya terjadi pada bulan Syawal dan karena sebab inilah Aisyah merasa bangga jika pernikahan keluarganya dan teman-temannya diadakan di bulan Syawal. Aisyah sering mengatakan: "Adakah di antara isteri-isteri Nabi yang lebih beruntung dariku. Nabi saw melangsungkan akad dan resepsi pernikahannku di bulan Syawal."
Ketika Rasulullah saw wafat, Aisyah berusia dua puluh tahun. Aisyah meminta beliau untuk memberikan julukan kepadanya. Rasulullah memanggilnya Ummu Abdillah. Dan Abdullah bin Zubair adalah paman Aisyah. Aisyah tidak punya keturunan dan tinggal di rumah Nabi sebagai ibu tiri dari anak Nabi Sayyidah Fatimah.

Beberapa Poin Penting:
" Tampak dari sejarah tersebut bahwa menikahkan anak perempuan dimasa muda adalah satu hal yang lumrah. Dan perkembangan kaum lelaki dan wanita saat itu sangatlah cepat dimana kaum wanita bisa menikah pada usia sembilan tahun. Sayyidah Fathimah, menurut versi yang masyhur, pada usia sembilan tahun telah pergi ke rumah Ali as (menikah).
"Berkenaan dengan faktor-faktor poligami dari kaca mata psikologi, Mantiskio, cendikiawan ternama danpengarang buku Ruhul Qowanin, menjelaskan bahwa perempuan yang hidup di lingkungan panas pada usia delapan sampai sepuluh tahun memiliki potensi untuk dinikahi. Oleh karena itu, di negara-negara seperti itu sebagian besar wanita telah menikah di usia mereka yang sangat muda (masih kanak-kanak)."24
" Sejak Aisyah dipinang sampai menikah, kira-kira berjarak tiga tahun. Dan selama ini (dimana dilihat dari masa pertunangan cukup lama) kedua orang tua Aisyah dan dia sendiri tidak pernah protes. Dan jika Nabi punya niat "berkumpul" pasti beliau lakukan, bahkan tawaran pertama kedua orang tua Aisyah akan beliau jawab hari ini atau besok. Di sisi lain, jika Nabi memang punya niat itu, beliau bisa menikah dengan perempuan lain yang seumur atau lebih tua darinya atau bahkan para janda, akan tetapi beliau tidak melakukannya.
Diriwayatkan bahwa beliau pernah bersabda: "Ambillah separuh agama kalian dari Aisyah."
Sekitar usia sembilan tahun Aisyah tinggal di rumah wahyu dan belajar permasalahan syariat dari Nabi. Dari sisi kefasihan, ia mendapat pujian ahli sastra. Mereka menulis bahwasanya ia seorang penyair, homoris dan memuji Nabi dengan lantunan-lantunan syair. Namun yang terpenting adalah kalimat "Ambillah separuh agama kalian dari Aisyah" yang mungkin ingin menyinggung bahwasanya hukum-hukum kewanitaan dan masalah etika bisa dipelajari dari Aisyah.
Ibnu Jauzi Jamaluddin (597 H) dalam buku Shifatus Shafwah, jilid 1, halaman 16 pasal kedua, menulis: Diriwayatkan dari Masruq, ia berkata: Demi Allah, kami melihat para pembesar sahabat Rasulullah saw bertanya tentang Faraid kepada Aiyah.
Dari Urwah (Hisyam bin Urwah dari bapaknya), ia berkata: "Saya tidak menemukan satu orang pun dari manusia lebih pintar tentang Al Qur'an, hukum halal dan haram, syair, sastra Arab dan ilmu geneologi daripada Aisyah ra."
Ibnu Jauzi dalam halaman 19 menukil riwayat dari Ahnaf bin Qais (wafat di Kufah tahun 67) dimana ia berkata: "Saya mendengar ceramah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, namun saya tidak mendengar pembicaraan yang lebih indah dan fasih dibanding pembicaraan Aisyah ra."
Dalam tulisan ini kami tidak ingin mengecek benar dan salahnya pernyataan-pernyataan dan riwayat-riwayat di atas, namun kami hanya ingin menyatakan bahwa penyampaian hukum-hukum kewanitaan dari isteri-isteri Nabi juga bisa menjadi salah satu motivasi menarik dari pernikahan beliau. Sebagaiman Khadijah dan Ummu Salama dalam hal ini sepertinya telah mendahului mereka. Aisyah juga termasuk dari wanita-wanita yang menjadi tempat rujukan kaum wanita dalam hal kewanitaan (khususnya para gadis). Cerita di bawah ini adalah bukti dari asumsi di atas dimana Aisyah sendiri mengatakan: "Asma', puteri Yazid Anshari datang kepada Nabi saw dan bertanya bagaiman aku mandi haid? Beliau menjawab: "Ambilah kapas pembalut dan berwudulah." Asma' tidak paham lalu sekali lagi ia bertanya dan Nabi memberikan jawaban yang sama. Pertanyaan itu terulang lagi ketiga kalinya, lalu beliau jawab sambil menundukkan kepalanya karena malu: "Subhanallah (Maha Suci Allah)." Lalu Aisyah memanggil wanita itu dan menjelaskan kepadanya maksud Nabi.25
Aisyah mempunyai unta dan keledai. Ia dilahirkan di tahun keempat bi'sah dan meninggal dunia pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57/58 di kota Madinah dan Abu Hurairah (periwayat hadis terkenal dan wakil Marwan bin Hakam, gubernur Madinah) yang menyolati mayatnya dan beliau dikebumikan di Baqi'.26

Pernikahan Nabi dengan Hafshah
Hafshah adalah puteri Umar bin Khattab, Khalifah kedua. Ia sebelumnya pernah menikah dengan Khunais bin Huzafah Sahmi. Khunais masuk Islam sebelum Nabi saw menjadi keluarga Arqam dan ia ikut dalam peperangan Badar dan Uhud. Akibat lukanya di perang Uhud, ia meningal dunia.
Mereka menulis, Hafshah dari sisi moral mirip dengan ayahnya. Setelah ditinggal suaminya, Umar membawa ke rumahnya. Kegagalan dan kehancuran tatanan rumanhnya membuat Hafshah tersiksa dan semakin kacau. Seakan-akan ayahnya ingin mengatakan: Puteriku, berrsabarlah sedikit, banyak wanita tanpa suami sepertimu, lupakan sedikit kesedihan dan kegundahanmu!
Pada suatu hari, Umar membisikkan sesuatu kepada salah satu teman lamanya, Abu Bakar, "Apakah kau tidak ingin menikah dengan putriku Hafshah?" Tapi Abu Bakar menolak tawaran itu. Dan Umar tidak marah, akan tetapi ia tidak mau memutuskan tali persahabatannya dengan Abu Bakar demi maslahat yang lebih besar. Tawaran ini Umar tawarkan kepada Usman yang isterinya (Ruqoyah puteri Nabi) baru saja meninggal. Dia juga menolak tawaran itu, lalu Umar kembali ke rumah sambil berbicara dengan dirinya: "Setiap kegagalan yang dialami manusia berasal dari dirinya sendiri."
Hafshah yang sedih, gundah dan tersiksa dengan kegagalan Umar berkata; Ayahku, apakah kau mulai jemu denganku? Apakah putus- asa dan rasa capek telah menyiksamu? Kemudian Umar berdiri dan hendak pergi. Hafsah bertanya, "Mau kemana ayah?" Umar menjawab, "Aku ingin menemui Rasulullah saw dan aku akan adukan dua orang itu."
Sesampainya Umar di hadapan Nabi saw, ia berkata: "Ya Rasulullah, Anda kan tahu nasib puteriku. Sekarang urusan begitu sulit bagiku. Sebelum aku datang ke mari, aku menawarkan puteriku Hafsah kepada Abu Bakar dan Usman, tetapi keduanya menolak." Lalu beliau menjawab: "Jangan sedih, tidakkah kau tahu bahwa putus asa dari rahmat Allah termasuk kufur, tidakkah kau telah mendengar bahwa buah sabar adalah keberhasilan? Putrimu akan menikah dengan orang yang lebih baik daripada Usman."27
Umar dengan muka gembira pulang ke rumah dan bercanda dengan putrinya sambil menceritakan hasil pertemuannya dengan Rasulullah saw. Kemudian Hafsah dengan antusias mendengarkan sampai ayahnya berkata; Yang lebih penting dari semua adalah bahwa dalam hari-hari ini Nabi akan datang ke rumah kita untuk menemuimu.
Putrinya dengan terheran-heran bertanya, apa benar Nabi saw akan ke mari? Umar menjawab: Ia datang bukan untuk bertamu dan juga bukan untuk menghibur hati, melainkan untuk melamar putriku Hafsah. Akhirnya, Nabi saw melamar Hafsah dan menikahinya.
Hafsah menikah dengan Rasulullah saw pada tahun ketiga Hijriyah dan wafat di tahun ke 41/45, dan menurut pendapat yang lain di tahun ke-28 Hijriyah.

Pernikahan Nabi saw dengan Zainab binti Khuzaimah
Zainab binti Khuzaimah bin Haris adalah keturunan Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sho'shoah. Ia dijuluki Ummu Masakin. Suaminya-Abdullah bin Jahsy-syahid di perang Uhud. Ia menjadi isteri Rasulllah saw setelah Hafsah. Setelah dua atau tiga bulan bersama beliau, ia meningggal dunia di usianya yang ke-30 tahun. Nabi saw pada bulan Rabiul Awwal tahun ke-4 Hijriyah menyolati janazahnya, dan ia dikuburkan di Baqi'. Sebagian orang menjulukinya Mauhubatun Nafs (wanita yang mempersembahkan dirinya kepada Nabi).
Menurut buku Raihanatul Adab, jilid 6, halaman 24, penjelasan tentang wanita ini terdapat dalam kitab Majmauz Zawaid Haitsami, A'lamul Wara dan Tanqihul Maqol.

Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah
Ramlah binti Abu Sufyan adalah saudari Muawiyah yang ibunya bernama Shafiyah putri Abu Ash. Setelah suaminya meninggal di Habasyah, ia menikah dengan Rasulullah saw dan dikirim ke Madinah.
Dalam hijrahnya yang pertama ke Habasyah, ia membawa seorang gadis bernama Habibah yang biasa dipanggil Ummu Habibah. Julukan lainnya adalah Ummu Jamilah. Suaminya adalah Ubaidillah bin Jahsy yang hijrah ke Habasyah dan di sana berubah menjadi Nasrani dan meninggal dalam keadaan Nasrani. Kekafiran dan kematiannya ditanah asing membuat sedih Ummu Habibah. Setelah Nabi mendengar kondisinya, beliau tawarkan 400 Dinar kepada Najasyi, Raja Habasyah agar ia menikahkannya dengan beliau. Yang menikahkan Ummu Habibah dengan beliau adalah Kholid bin Said bin Ash.28
Ayahnya, Abu Sufyan, pada kejadian Fathu Makkah berlindung di rumah anaknya, Ummu Habibah, namun ia tidak mengizinkan untuk duduk ditempat Nabi dengan berkata, 'Anda masih musyrik dan tidak berhak duduk di tempat beliau.' Abu Sufyan merasa tidak enak dan akhirnya menjadi Muslim.

Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah
Sebelum menceritakan pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah, sebaiknya kita mengenal secara singkat kehidupan wanita mulia ini karena ini sangat bermanfaat.
Ia bernama Hind, lalu dipanggil Ummu Salamah karena anaknya bernama Salamah.
Ayahnya adalah Abu Umayah, seorang dermawan Quraisy yang terkenal dengan panggilan zadur rokib (bekal tunggangan). Setiap kali bepergian, ia tidak mengizinkan orang yang bersamanya untuk membawa bekal.
Ibunya adalah Atikah, putri Amir bin Robi'ah Kanani. Dalam sejarah lain tercatat bahwa Atikah adalah putri Abdul Muttolib yang diyakini bahwa Ummu Salamah putri dari bibi Nabi (sepupu beliau-pent.), padahal suaminya Abu Salamah Makhzumi adalah sepupu Nabi dan ibunya Barih binti Abdul Muttolib. Jadi Abu Salamah dan Ummu Salamah sebelum menjadi suami isteri adalah sepupu.
Abu Salamah mendapat perhatian khusus dari Nabi dan ia termasuk salah satu dari pejuang Islam yang berhasil.
Alkisah, kaum Quraisy bersiap-siap untuk berperang melawan Rasulullah saw di Badar. Kali ini mereka berkumpul di Uhud. Sudah barang tentu bahwa Abu Salamah berada di pihak pasukan Islam. Lesatan anak panah yang mengenainya membuat luka parah di badannya dan selama satu bulan ia obati sendiri. Ketika sembuh, ia maju lagi ke medan perang. Nabi mengirimnya untuk mengantisipasi serangan anak-anak Mukhlad dari kabilah Bani Asad. Setelah kemenangan perang ini, luka dalam yang ditimpanya di perang Uhud telah mengambil nyawanya dan gugurlah ia sebagai syahid.
Ummu Salamah berkata: 'Kepergian Abu Salamah adalah satu musibah bagiku maka aku katakan, ya Allah anggaplah musibah ini sebagai musibahku, dan hatiku tidak rela jika berkata; ya Allah, gantilah untukku yang lebih baik darinya.' Saat itu Ummu Salamah berkata: 'Siapa yang lebih baik dari Abu Salamah, tidakkah dia begini dan begitu....? Setelah iddah Ummu Salamah selesai, Abu Bakar datang melamarnya, akan tetapi ia menolak, kemudian Umar juga mencoba melamarnya, Ummu Salamah juga menolaknya. Lalu Rasullah saw melamarnya dan ia menjawab: 'Selamat datang wahai Rasulullah saw.'29

Ummu Salamah di rumah Rasul yang mulia
Ummu Salamah adalah pendahulu wanita-wanita Muslim dan termasuk Muhajir yang baik dimana ia segera memeluk Islam, puas dengan ajaran-ajarannya dan berakhlak dengan akhlak Islam. Keberadaannya di sisi suami pertamanya (Abu Salamah) membuat ilmu dan imannya bertambah. Ia hidup bersama lelaki dari kelompok Muslim pertama, sehingga ia membayangkan bahwa tiada lelaki lain di tengah kaum Muslim yang lebih baik darinya karena iman, takwa dan sikap baiknya yang ia rasakan.
Ummu Salamah dalam kehidupan keluarga banyak mengambil pelajaran berhaga darinya. Kepergiaannya ke Habasyah dan Madinah menambah wawasan dan pengalaman kepadanya. Jadi, ia hidup dalam masyarakat baru dimana dilihat dari sisi pemikiran dan praktik berbeda sekali dengan apa-apa yang ada di lingkungan sebelumnya.
Tahun demi tahun telah berlalu bagi Ummu salamah. Tahun-tahun ini memberikan pengetahuan dan hikmah kepadanya dan menjadikannya sebagai contoh dari sifa-sifat mulia. Dengan kelebihan-kelebihan inilah Ummu Salamah memasuki rumah Rasulullah saw dan masalah pertama yang ia utamakan adalah mencari kerelaan Nabi saw dan memenuhi keinginan-keinginan beliau. Dia mencintai orang yang dicintai Rasul dan memusuhi orang yang dimusuhi beliau. Ummu Salamah melihat Nabi mencintai Khadijah dan mengingatnya dengan kebaikan. Oleh karena itu, ia juga mencintainya dan berkata kepada Rasulullah berkenaan dengan Khadijah: 'Anda tidak menyebut sesuatu dari Khadijah kecuali apa yang telah Anda sampaikan yaitu dia selalu bergegas menuju Tuhannya. Jadi, Tuhan menjadikan hal ini suatu kenikmatan baginya dan berputar di antara kami dan dia di surga.'
Ummu Salamah mengetahui bahwa Nabi mencintai Ali as, maka ia juga mencintai Ali as. Ia sering mendengar Nabi menjunjung tinggi nama Ali, maka ia ingat hal itu dan ia praktikkan serta ajarkan kepada orang lain.
Ummu Salamah juga melihat Nabi saw cinta kepada putrinya Fatimah, maka ia juga mencintainya dan merasa ikhlas dengannya dan tidak mau lepas darinya sekalipun berada dalam kondisi yang sulit dan menyakitkan.
Usaha Ummu Salamah dalam meraih kerelaan Nabi melebihi hal ini, sampai-sampai dalam hal makanan dan minuman pun ia berusaha menyiapkan makanan dan semacamnya yang memberikan kelezatan kepada beliau.
Ummu Salamah mengakhiri kehidupannya bersama Rasul saw yang mulia dengan sebaik-baik cara yang bisa ia lakukan. Dalam sejarah Rasululah saw tidak tercatat sedikitpun aspek buruk dari Ummu Salamah, padahal sejarah telah menyinggung banyak hal dari istri-isteri beliau yang lain.

Keutamaan-keutamaan Ummu Salamah
Sehubungan dengan urutan pernikahan Nabi saw terdapat perbedaan pendapat dan tidak ada alasan untuk menbahasnya di sini. Dalam A'lamul Wara Thabarsi diceritakan bahwa Ummu Salamah adalah isteri ketujuh beliau, putri bibi Nabi dan isteri terakhir beliau yang wafat tahun 62.
- Ummu Salamah mempunyai seorang budak yang tidak senang jika disebutkan keutamaan-keutamaan Ali as. Ia menyuruhya untuk bertaubat, lalu budak itu merima perintahnya dan akhirnya ia menjadi sahabat Ali as.30
- Ummu Salamah mendukung kepemimpinan Ali. Surat dan nasihat-nasihatnya kepada Aisyah menarik sekali untuk dibaca. Ia berusaha agar supaya Aisyah tidak bergabung dengan Thalhah dan Zubair dalam perang Jamal (tidak menginginkan perang ini terjadi).

Pernikahan Nabi saw dengan Zainab binti Jahsy Asadi
Zainab putri Jahsy berasal dari bani Asad dan puteri bibi Rasulullaha saw yang menikah dengan Zaid bin Haritsah atas perintah beliau. Di saat Zaid mencerainya, Ummu Salamah sudah menjadi isteri Rasuluulah saw. Zainab wafat pada tahun ke-20 Hijriyah.31 Sebelum menceritakan pernikahan beliau saw, kita perlu mengenal sedikit tentang siapa sih Zaid?
Hakim bin Huzam Khowailid membelikan bibinya (Khodijah) budak bernama Zaid dari pasar Ukkadz seharga 400 Dirham. Ketika Khodijah menikah dengan pemuda wibawa Quraisy, Muhammad bin Abdullah, ia memberikan Zaid kepadanya.
Beberapa waktu setelah itu, ketika Rasulullah saw sudah menyaksikan kesukaan Zaid kepada beliau, beliau bawa Zaid ke Ka'bah dan di depan khalayak umum beliau berkata: "Hadirin yang budiman, jadilah kalian semua saksiku bahwa Zaid anakku dan aku akan mewarisinya begitu juga ia akan mewarisiku."32
Mereka menulis, Zaid menjabat pimpinan perang atas perintah Nabi dan ikut serta dalam banyak peperangan antara hak dan batil. Aisyah mengatakan: "Tidak ada pasukan perang yang Nabi saw kirim kecuali Zaid-lah yang jadi pimpinannya, sampai beliau berniat untuk mencarikan jodoh yang cocok untuknya dari perempuan Arab agar supaya punya pegangan dan tempat sandaran dalam hidupnya." Beliau demi merealisasikan keinginannya memutuskan untuk mengambil wanita untuknya dari keluarganya sendiri. Oleh karena itu, beliau melamar Zainab putri Jahsy yang juga putri bibinya sendiri (Amimah putri Abdul Motthalib) untuk Zaid sebagai balasan dari amanah dan kejujurannya serta bukti kerelaan beliau terhadapnya.
Namun Abdullah, saudara Zainab tidak setuju dengan hubungan ini dan tidak terima jika saudarinya dinikahkan dengan Zaid, apalagi Zainab sendiri juga tidak suka menikah dengan lelaki selain Quraisy.. Sebab, orang Quraisy selalu bersikeras untuk menjaga keturunannya dan menganggap berhubungan (menikah) dengan golongan lain tidak sesuai dengan dirinya. Namun karena perintah itu keluar dari lisan suci Rasulullah saw dan lelaki serta wanita mukmin tidak boleh melanggar hukum Al Qur'an yang dalam hal ini mereka tidak punya ikhtiyar, akhirnya pemuda dan gadis ini menikah dan mulai hidup bersama.

Takdir Ilahi dan Perceraian
Setelah sekian lama tatanan keluarga Zainab dengan suaminya penuh dengan kecintaan dan keharmonisan, hubungan mereka berdua mulai mendingin dan akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
Suatu hari, Zaid datang menemui Rasulullah saw dan mengeluhkan istrinya dan bermusyawarah dengan beliau tentang percerain. Beliau perihatin dan sedih sekali melihat kejadian ini dan berusaha menasihati Zaid: "Hai Zaid, Allah SWT menyiapkan pernikahannmu ini setelah aku banyak mengeluarkan tenaga dan merasakan capek, kau tahu betul kan! Kalau Zainab sekian lama menolak jalinan ini, sekarang aku mengharap darimu supaya berlapang dada dan banyak bersabar dan aku berharap kepada Allah supaya memperbaik hubunganmu dengannya sekali lagi. Takutlah kepada Allah SWT dan jagalah kehormatan-Nya dengan tidak bercerai."
Di saat Muhammad saw menyampaikan pesan ini, turunlah takdir Ilahi dimana gadis dan pemuda ini bercerai. Setelah beberapa waktu berlalu, Zainab menjadi isteri beliau dan gugurlah aturan khurafat Arab bahwa seseorang tidak boleh menikah dengan mantan isteri dari anak angkatnya.
Rasulullah saw terus menerus menghadap Allah dengan kerendahan hati dan memohon kepada-Nya supaya hubungan ini membaik. Barangkali dengan perantara ini takdir itu berubah. Namun hal ini tidak terjadi dan perintah Allah tetap harus dijalankan. Oleh karena itu, Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya: "Dan apa yang kau sembunyikan di dalam hatimu, Allah telah mengungkapkannya dan engkau merasa takut terhadap cemoohan masyarakat. Selayaknya engkau merasa takut kepada Allah. Ketika Zaid telah menceraikan wanita itu, Kami menikanhkannya denganmu supaya muslimin tidak merasa terlarang menikahi istri-istri anak-anak angkat yang diceraikannya." 33

Hancurnya tradisi Arab
Rasulullah saw tidak mengaklamasikan perintah Allah itu, karena pertama, beliau masih mengharap hubungan dua pasangan tadi harmonis kembali. Kedua, beliau tidak punya keinginan untuk menikah dengan mantan istri anak angkatnya sebelum hukum pembatalan budaya Arab itu diputuskan.
Jelas sekali bahwa pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang selain Rasulullah saw yang memiliki takwa, iman dan sifat berani. Dan beliaulah satu-satunya yang mampu membatalkan dan mengahancurkan keyakinan menyimpang dan batil ini.
Akhirnya, setelah perpisahan Zaid dan Zainab berlalu dan iddah Zainab selesai, Allah menyiapkan pernikahan Rasulullah saw dengannya. Zainab dengan alsan ini (bahwa persiapan pernikahannya dengan Muhammad saw telah Allah siapkan dan berlansung dengan sederhana) selalu berbangga di antara isteri-isteri beliau yang lain.
Fenomena ini adalah penghancur salah satu adat-istiadat Arab yang sudah berlaku lama. Sebab orang-orang Arab di saat itu menganggap anak angkat sebagai anak sendiri dimana mereka memberikan hak anak sendiri kepadanya, dan menjaga aturan-aturan warisan dan keturunan untuknya. Masalah ini sudah mengakar di benak mereka dan tidak pernah terbayangkan pembatalan hal ini bisa terjadi.
Akhirnya Rasulullah saw dengan argumen yang jelas dan memuaskan melakukan pembatalan dan pengahancuran kebiasaan menyimpang ini. Hanya Rasulullah yang menjadi pemimpin agama suci ini yang layak melakukan hal ini. Beliau-lah yang mengumumkan haramnya riba di zaman Jahiliyah dan menerapkan hukum ini yang dimulai dari Abbas pamannya sendiri, sehingga masyarakat menjadi saksi keadilan dalam penerapan konstitusi ini dan menjauhkan diri dari iming-iming setan.

Tuduhan Keji
Kisah antara Zaid dan Zainab menimbulkan syubhat di kalangan orang-orang yang gemar menyebarkan fitnah dan masih terpengaruh oleh kegelapan alam Jahiliyah. Mereka yang masih terbelenggu oleh hawa nafsu ini melemparkan tuduhan-tuduhan keji terhadap Rasulullah saw. Salah satu tuduhan mereka adalah bahwa setelah beliau menikahkan Zaid dengan Zainab, beliau sendiri lalu jatuh hati kepada Zainab.
Menjawab tuduhan ini, kita katakan bahwa Rasul saw tidak pernah tunduk kepada hawa nafsunya dan melanggar perintah Tuhannya. Lagi pula, keagungan pribadi beliau tidak memberi jalan bagi tuduhan-tuduhan semacam ini.
Bukankah sebelum Zainab menikah dengan Zaid, ia berada dalam tanggungan Rasul dan ia masih perawan?Andai beliau menaruh hati terhadap Zainab, beliau akan segera melamarnya, bukan setelah berlalunya tiga belas tahun dari pernikahan Zainab dan lunturnya kecantikan dan keremajaannya.
Dari sisi lain, apakah posisi sosial dan tanggung jawab Rasul sebagai nabi meluangkan waktu bagi beliau untuk mencurahkan perhatiannya pada hal-hal rendah seperti ini? Apakah masalah-masalah ini sesuai dengan pribadi mulia Rasul saw dan kehormatan keluarganya?
Muhammad saw adalah seorang rasul dan nabi agung yang senantiasa menjauhi gemerlap emas permata dan kilau duniawi. Andaipun beliau tidak memiliki kemaksuman, harga diri dan akhlak mulianya akan mencegahnya dari melirik wanita yang bukan muhrimnya.34
Alhasil, pedoman dongeng para orientalis ini adalah apa yang dinukil oleh Ibnu Atsir,35 Tabari dan sebagian penulis tafsir dalam buku-buku mereka, yaitu:
"Suatu kali, tanpa disadari, pandangan Rasul saw tertuju pada Zaid dan Zainab. Zaid merasa bahwa Rasul saw tertarik kepada Zainab. Dikarenakan kecintaannya terhadap Rasul saw, Zaid datang menemui beliau dan mengutarakan niatnya untuk menceraikan istrinya hingga tak ada penghalang bagi Rasul untuk menikahi Zainab. Meskipun Rasul saw berulangkali melarang Zaid untuk menceraikan istrinya, namun ia tetap bersikeras dan akhirnya ia bercerai dengan istrinya. Setelah itu, Rasul saw menikah dengan Zainab. "
Para orientalis tidak sekadar mengabaikan penelitian sanad kisah ini dan mencukupkan diri dengannya, bahkan mereka membumbuinya sedemikian rupa hingga menyerupai kisah-kisah seribu satu malam. Adalah jelas bahwa orang-orang yang mengenal persis sejarah Rasul saw akan menganggap kisah ini bertentangan dengan lembaran gemilang kehidupan beliau. Bahkan para ulama besar seperti Fakhrur Razi dan Alusi terang-terangan membantah kisah ini dan mengatakan bahwa kisah ini adalah buatan musuh-musuh Islam yang disebarkan di tengah penulis Muslim.36
Dengan semua ini, bagaimana bisa penggalan sejarah ini diyakini oleh Thabari dan Ibnu Atsir, sedangkan puluhan ulama yamg lain menukil kebalikan kisah ini dan menyucikan pribadi Rasul saw dari segala aib dan cela.
Sebenarnya, kami pikir, topik ini sudah demikian jelas hingga tidak lagi membutuhkan pembelaan. Meski demikian, kami akan sebutkan bukti-bukti kepalsuan kisah ini. Berikut bukti-bukti yang kami kumpulkan:

1. Kisah ini jelas bertentangan dengan sandaran utama Islam, yaitu Al-Qur'an. Karena dalam surat Al-Ahzab ayat 37 telah disebutkan bahwa tujuan pernikahan Rasul saw dengan Zainab adalah menentang adat Jahiliyah dimana seseorang tidak boleh menikahi mantan istri anak angkatnya. Lagi pula, Allah-lah yang memerintahkan hal ini, bukan karena ketertarikan Rasul saw terhadap Zainab. Di masa awal Islam, tidak ada seorangpun yang membantah hal ini. Apabila ucapan Al-Qur'an bertentangan dengan kenyataan, niscaya orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum munafik akan bangkit mengkritiknya. Sedangkan kita lihat dalam sejarah tidak ada satupun kritik yang ditujukan kepada Rasul saw dari mereka.

2. Sebelum menikah dengan Zaid, Zainab telah meminta Rasul untuk menikahinya. Namun Rasul saw tetap bersikeras agar ia menikah dengan Zaid, anak angkatnya. Apabila beliau memang tertarik kepada Zainab, mengapa beliau tidak segera menikahinya, padahal tidak ada satupun penghalang di waktu itu? Jadi, meski beliau melihat Zainab menampakkan kecintaan kepadanya, namun beliau tidak sekadar menolak permintaaannya, bahkan menyuruhnya menikah dengan orang lain.

Penjelasan Ayat
Untuk menyempurnakan pembahasan, kita akan menjelaskan ayat yang berkaitan dengan hal ini yang menyebabkan timbulnya keraguan bagi sebagian orang. Ayat itu adalah: "(Ingatlah) ketika kau berkata kepada budakmu (Zaid) yang telah diberi nikmat oleh Allah dan dirimu 'tahanlah istrimu dan jangan ceraikan dia serta bertakwalah kepada Allah.'"37Sampai di sini, tidak ada keraguan sedikitpun. Selanjutnya, Allah berfirman, "Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam dirimu yang akan disingkap Allah. "
Setelah semua nasihat yang Rasul saw berikan kepada Zaid, apa yang disimpan beliau dalam hatinya hingga Allah akan menampakkannya?
Apakah mungkin secara lisan beliau melarang Zaid mencerikan istrinya, namun dalam hatinya beliau menyetujui niat Zaid hingga ia bisa menikahi Zainab?
Indikasi ini sama sekali tidak benar. Karena apabila Rasul saw memang memiliki niat ini, mengapa Allah tidak menyingkap niat batin beliau dalam ayat-ayat lain? Padahal Allah sendiri dalam ayat ini telah berjanji menampakkan niat batin beliau.
Oleh karena itu, mufasirin mengatakan bahwa yang disembunyikan Rasul saw dalam hatinya adalah wahyu Allah kepada beliau untuk menikahi Zainab setelah ia diceraikan Zaid dengan tujuan menentang adat Jahiliyah (yaitu ayah tidak boleh menikah dengan mantan istri anak angkatnya). Ketika beliau menasihati Zaid, beliau tahu akan wahyu ilahi ini, namun beliau menyembunyikannya dari orang lain. Tapi Allah dalam ayat tersebut memberitahu Rasul bahwa Dia akan menyingkapnya.
Bukti penafsiran ini adalah kandungan ayat berikut: "Setelah Zaid menceraikan istrinya, Kami perintahkan kepadamu untuk menikahi (mantan) istrinya supaya tidak ada beban bagi orang-orang mukmin untuk menikah dengan (mantan) istri anak-anak angkat mereka."
Dari kandungan ayat di atas, menjadi jelas bahwa yang disimpan Rasul saw dalam hatinya adalah wahyu Allah untuk menikahi mantan istri anak angkatnya demi menentang adat Jahiliyah.
Ayat lain yang perlu dijelaskan maknanya adalah: "Engkau takut pada orang-orang, sedangkan Allah lebih berhak untuk engkau takuti."38
Kesamaran makna ayat ini lebih sedikit dari ayat pertama, karena menentang sebuah adat yang telah lama berlaku di sebuah lingkungan yang tercemar sedikit-banyak akan menimbulkan kekhawatiran. Namun, dengan inayah dari Allah, para nabi akan mudah menghilangkan rasa khawatir mereka.
Kekhawatiran Rasul saw disebabkan oleh sangkaan beliau bahwa kaum Arab yang baru lepas dari pemikiran-pemikiran Jahiliyah akan menuduhnya melakukan perbuatan salah, padahal yang dilakukannya merupakan wahyu dari Allah.39

Dalam tafsir Al-Qummi disebutkan: "Allah berfirman, "Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian memasuki rumah nabi....."40 Sebab turunnya ayat ini adalah..... " selanjutnya, penulis menukil kisah pernikahan Rasul saw dengan Zainab.41
Dalam kitab A`lamul Waro,42 disebutkan: "Setelah Nabi wafat, Zainab adalah istri pertama beliau yang meninggal di masa pemerintahan Umar. "

Pernikahan Rasul saw dengan Juwairiyah
Juwairiyah putri Harits bin Abi Dharar, dari kabilah Bani Mushtaliq. Ia ditawan dalam perang Bani Mushtaliq pada tahun lima atau enam Hijriyah. Ketika Rasul saw membagi para tawanan kepada Muslimin, Juwairiyah termasuk dalam kekuasaan Tsabit bin Qois. Ia lalu bersepakat dengan Tsabit untuk memberinya sejumlah uang supaya ia bebas.
Juwairiyah lalu datang menemui Rasul saw untuk meminta bantuan uang dari beliau. Menjawab permohonannya, Rasul saw berkata, "Apakah kau ingin aku lakukan yang lebih baik dari ini?" Ia bertanya, "Apa yang hendak Anda lakukan?" Rasul saw menjawab, "Aku bayar hutangmu dan kau menikah denganku." Juwairiyah lalu menyetujui usulan Rasul saw.43
Ketika kabar pernikahan Rasulullah saw dan Juwairiyah tersebar di tengah Muslimin, dan secara otomatis hubungan kekerabatan terwujud antara Rasul saw dan Bani Mushtaliq, maka mereka membebaskan semua tawanan dari kabilah ini. Berkat pernikahan ini, seratus keluarga Bani Mushtaliq bebas dari tawanan.


4
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

Pernikahan Rasul saw dengan Safiyah
Safiyah putri Huyai bin Akhtab dari kabilah Yahudi Bani Nadhir. Ia pertama kali menikah dengan Salam bin Misykam, lalu diperistri oleh Kinanah bin Abil Huqoiq.44 Kinanah terbunuh dalam perang Khaibar di tahun tujuh Hijriyah.
Safiyah tertawan dalam perang ini. Bilal membawa Safiyah dan sepupunya menemui Rasul saw. Ia membawa mereka melewati orang-orang Yahudi yang terbunuh dalam perang. Melihat mayat-mayat itu, sepupu Safiyah kehilangan kontrolnya dan memukuli wajah dan kepalanya. Namun, Safiyah tetap tenang. Ketika mereka menghadap Rasulullah saw, beliau menyiapkan tempat duduk khusus buat mereka. Saat beliau tahu bahwa mereka melewati tempat terbunuhnya pasukan Yahudi, beliau berkata kepada Bilal, "Apakah engkau tidak memiliki perasaan hingga kau bawa mereka melewati jenazah kerabat-kerabat mereka?" Di saat itu, Rasul saw melihat wajah memar Safiyah dan bertanya kepadanya, "Kenapa wajahmu memar?" Safiyah menjawab, "Semalam aku bermimpi melihat bulan turun di pangkuanku. Pagi harinya, aku ceritakan mimpiku kepada suamiku (atau ayahku). Dia lalu menampar wajahku dan berkata: "Sepertinya kau mengharapkan Muhammad dalam hatimu?" Rasulullah saw berkata, "Apabila kau masuk Islam, kau akan kujadikan sebagai istriku. Tapi bila kau tetap memeluk agama Yahudi, kau akan kubebaskan dan kukembalikan ke kabilahmu."
Safiyah menjawab, "Aku telah beriman sebelum Anda mengajakku masuk Islam. Tinggal di sisi Rasulullah saw lebih berharga bagiku."

Berkah-berkah Pernikahan ini:
1. Kegelisahan jiwa Safiyah terobati.
2. Dengan perlakuan penuh hormat yang sesuai dengan kedudukan Safiyah sebagai putri kepala kabilah, ia memeluk Islam dan menyatukan keluarganya dan orang-orang Yahudi yang baru memeluk Islam.
3. Dengan pernikahan ini, para tawanan dibebaskan dan diperlakukan dengan hormat. Mereka kembali ke tengah kaum mereka dan menyampaikan kemuliaan akhlak Rasul saw hingga mereka masuk Islam.
" Disebutkan bahwa Safiyah termasuk wanita pandai di kabilah Bani Nadhir. Dalam perang Khaibar, ia di bawah kekuasaan Dihyah Al-Kalbi yang kemudian dihadiahkan kepada Rasulullah saw. Beliau membebaskannya dan menikahinya serta menjadikan pembebasannya sebagai mahar nikah. Dalam kitab A'lamul Waro disebutkan: "Rasulullah saw memilih Safiyah dari para tawanan lalu membebaskannya dan menikahinya. Pembebasan Safiyah adalah mahar nikahnya. Ia meninggal di tahun 36 Hijriyah."
" Di hari pernikahannya dengan Safiyah, Rasul saw mengadakan acara walimah. Ketika beliau sampai di Madinah, beliau menitipkannya di rumah Harits bin Nu`man. Para wanita Anshar berdatangan menemui Safiyah dan mengucapkan selamat kepadanya. Empat orang dari istri-istri Rasul saw, termasuk Aisyah, menemui Safiyah untuk melihat kecantikan dan kesempurnaannya yang mereka dengar sebelumnya. Rasulullah saw bertanya kepada Aisyah, "Bagaimana kau lihat dia?" Ia menjawab, "Ia tidak lebih baik dari wanita-wanita Yahudi lainnya." Rasul saw menjawab, "Jangan berkata seperti ini! Safiyah adalah wanita Muslim yang bertakwa."
" Safiyah seorang wanita yang beradab, cerdas dan sangat menghormati Rasul saw. Salah satu ucapannya yang menunjukkan cinta dan hormatnya kepada Nabi saw adalah: "Andai aku mati sebagai tebusan Nabi hingga tidak ada yang mengganggunya." Mengomentari ucapannya, Rasul saw berkata, "Ia mengatakan yang sebenarnya." Thabari menulis: "Di saat ajal mendekati Rasul saw, Safiyah adalah istri beliau yang paling bersedih. (Dan ia juga menghibur Sayidah Fatimah as).

Pernikahan Rasul saw dengan Maimunah
Maimunah putri Harits bin Huzn dari Bani Hilal. Suami pertamanya adalah Abu Ruham bin Abdul Uzza. Kemudian di bulan Dzul Qaedah tahun tujuh Hijriyah, dalam perjalanan Umratul Qadha`, ia dinikahkan dengan Rasul saw oleh Abbas bin Abdul Muthalib di sebuah tempat bernama Sarif (dekat Makkah).
Dalam kitab-kitab rijal dan diroyah disebutkan: "Maimunah adalah wanita yang terpercaya dalam meriwayatkan hadis. Setelah Ummu Salamah, dia adalah istri Nabi yang paling bertakwa. Menurut sebuah pendapat, ia meninggal dalam usia delapan puluh tahun. Ibnu Abbas menyalati jenazahnya dan ia dikuburkan di Baqi`."
Apabila Maimunah meninggal di tahun 63 atau 66 Hijriyah, maka ia meninggal setelah Ummu Salamah, karena ia meninggal di tahun 62 Hijriyah. Maimunah berasal dari kabilah Humair (Hamir) atau Kananah. Nama aslinya adalah Birrah yang diganti oleh Nabi saw menjadi Maimunah.
Maimunah adalah saudari seibu Asma` binti Umais. Saudara perempuan lainnya adalah Ummul Fadhl Lubabah, istri Abbas bin Abdul Muthalib. Salma binti Umais, saudarinya yang lain, adalah istri Hamzah Sayidus Syuhada. Tentang keutamaan Asma atau Hindun ibunya, disebutkan: "Wanita paling mulia dari sisi para menantunya (Jafar Thayyar, Ali as, Abbas, Hamzah Sayidus Syuhada dan Rasulullah saw)." Dalam kitab Majmauz Zawaid dikatakan bahwa Maimunah menghibahkan dirinya kepada Rasul saw.
Para mufasirin menjelaskan bahwa ayat ke-51 dari surat Al-Ahzab menunjukkan sebagian wanita, termasuk Maimunah, yang menghibahkan diri mereka kepada Rasul saw.
Di antara keistimewaan Rasul saw adalah beliau dapat menikah tanpa mahar dengan para wanita Muslimah yang bercerai atau ditinggal mati suami mereka. Oleh karenanya, pernikahan seperti ini memiliki sisi penghibahan, seperti yang ditunjukkan oleh ayat "Dan wanita mukminah bila ia hibahkan dirinya kepada Nabi."45 Dalam kitab Durrul Mantsur, ada riwayat dari Imam Ali Zainal Abidin as bahwa ayat 51 dari surat Al-Ahzab turun berkaitan dengan Ummu Syarik Azdi yang menghibahkan dirinya kepada Rasul saw. Allamah Thababai mengatakan, "Diriwayatkan bahwa nama wanita itu adalah Khulah binti Hakim. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia adalah Laila binti Hatim atau Maimunah. Tampaknya, ada beberapa wanita yang menghibahkan diri mereka kepada Rasul saw."
Ibnu Abbas berkata, "Wanita yang menghibahkan dirinya itu adalah bibiku Maimunah." Dalam Al-Kafi, Muhammad bin Abi Qois meriwayatkan dari Abu Jafar as: "Seorang wanita dari Anshar datang menghadap Rasul saw dan berkata kepadanya, "Wahai Rasulullah, meskipun bukan adat wanita datang melamar suami, tapi karena sudah lama aku menjanda dan tidak punya anak, maukah Anda menikah denganku? Kalau Anda setuju, aku hibahkan diriku kepadamu." Rasulullah saw lalu mendoakannya dan berkata kepadanya, "Wahai saudari Anshar, Allah akan memberikan pahala terbaik kepada kalian lewat utusan-Nya. Kaum lelaki kalian telah menolongku dan wanita-wanita kalian menunjukkan penghormatan mereka kepadaku." Hafshah, putri Umar, berkata kepada wanita itu, "Apakah kau tidak punya harga diri dan rasa malu di depan lelaki?" Rasulullah saw bersabda, "Hafshah, jangan kau ganggu dia karena ia lebih baik darimu. Ia tunjukkan cinta dan hormatnya kepada Rasul Allah, tapi kau malah mencelanya."
Kemudian beliau berkata kepada wanita itu, "Semoga Allah merahmatimu dan mengaruniakan surga-Nya padamu, karena kau telah tunjukkan cintamu kepadaku dan membuatku gembira. Pulanglah dan akan kuberi kabar secepatnya kepadamu, insya Allah."
Ayat di atas lalu turun menyusul peristiwa ini. Imam Sajjad as berkata, "Dengan ini, Allah menyampaikan pesan bahwa bila ada wanita yang menghibahkan dirinya kepada Nabi saw, maka Ia menghalalkannya bagi beliau, tapi mengharamkannya bagi selain beliau."46
Dalam kitab Majma`ul Bayan, menukil pendapat sebagian orang, Thabarsi menulis: "Ketika wanita itu menghibahkan dirinya kepada Rasul saw, Aisyah berkata, "Apa yang terjadi pada para wanita sampai mereka menghibahkan diri tanpa mahar?" Kemudian, ayat ini diturunkan. Kata Aisyah, "Betapa seringnya Allah bertindak sesuai keinginanmu!"47
Ada empat wanita yang dicatat para fukaha dan sejarawan sebagai wanita yang menghibahkan diri mereka kepada Rasul saw:
1. Ummu Syuraik binti Jabir.
2. Zainab binti Khuzaimah.
3. Khulah binti Hakim.
4. Maimunah binti Harits.
Sebagian dari mereka menambahkan nama Laila binti Khutaim. Keempat wanita ini juga dijuluki Ummul Mukminin.
Almarhum Imad Zadeh menulis: Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa Rasul saw bersabda, "Aku tidak pernah menikah dengan seorang wanita dan tidak pernah aku nikahkan putriku dengan seseorang kecuali dengan wahyu Allah yang dibawa Jibril as."
Maimunah, saudari Ummul Fadhl istri Abbas, yang terpengaruh oleh daya tarik Rasul saw, berkata kepada iparnya Abbas, paman Rasul saw, bahwa ia bersedia menikah dengan beliau. Beliau menyetujui tawaran Maimunah dan dengan ini, beliau semakin mengokohkan hubungannya dengan Quraisy. Ketertarikan seorang gadis kepada lelaki yang jauh lebih tua darinya menunjukan pengaruh dan kharisma spiritual lelaki itu. Rasulullah saw meminta dari wakil Quraisy untuk memberinya waktu hingga beliau dapat melangsungkan acara pernikahan di Mekkah dan dihadiri oleh para pembesar Quraisy. Namun, wakil Quraisy menolak permintaan beliau dan berkata bahwa kami tidak membutuhkan makanan dari kalian.
Rasul saw lalu memerintahkan kaum Muslim pergi keluar Mekkah di tengah hari dan jangan ada yang tinggal di sana sampai Zhuhur. Beliau hanya menyuruh pelayannya, Abu Rafi` untuk tinggal di sana dan membawa istri beliau di saat terbenamnya matahari.48
Setelah Muslimin keluar dari Mekkah, kaum musyrik mengecam Maimunah. Namun, kecaman dan cemoohan mereka tidak berrpengaruh dalam dirinya. Dengan ini, janji yang Rasul saw berikan kepada Muslimin lewat mimpi beliau untuk berziarah ke Kabah telah terwujud. Ayat 27 dari surat Al-Fath turun dalam rangka mengabarkan kebenaran janji Rasul ini. Dalam ayat ini, Allah menceritakan kemenangan yang dekat, yaitu penaklukan kota Mekkah yang terjadi pada tahun delapan Hijriyah.

Pernikahan Rasul saw dengan Mariyah Qibtiyah
Pada tahun enam Hijriyah, Rasulullah saw mengutus duta-dutanya ke kawasan luar Hijaz. Beliau mengrim salah satu suratnya kepada Maququs, penguasa Iskandaria di Mesir dan menyerunya memeluk agama Islam. Meskipun ia tidak menjawab seruan beliau, namun ia membalas surat Nabi saw dengan mengirim hadiah-hadiah, termasuk seorang budak wanita bernama Mariyah.49
Setelah itu, Mariyah diperistri oleh Nabi saw dan melahirkan seorang anak bernama Ibrahim. Ibrahim sangat disayang oleh Nabi dan seedikit banyak dapat mengurangi kesedihan beliau setelah kematian putra terdahulunya. Namun, kegembiraan beliau tidak berlangsung lama, karena Ibrahim meninggal pada usia 18 bulan di tahun sepuluh Hijriyah tiga bulan sebelum beliau wafat.
Muhammad Jadul Maula dan rekan-rekannya dalam buku "Kisah-kisah Al-Qur'an" menulis:
"Maququs, penguasa Mesir mengirimkan hadiah-hadiah kepada Nabi saw, termasuk Mariyah Qibtiyah dan seorang pembantu wanita. Beliau menikahi Mariyah, namun ia tidak ditempatkan di samping masjid seperti istri-istri beliau yang lain. Beliau menempatkannya di sebuah kebun di sekitar Madinah yang dipenuhi pohon kurma dan anggur. Beliau selalu mengunjungi Mariyah hingga ia melahirkan Ibrahim."50
Dalam buku-buku sejarah, nama saudara permpuan Mariyah termasuk dalam hadiah yang dikirimkan kepada Nabi saw. Ia bernama Syirin atau Sirin yang kemudian Rasul saw menghibahkan atau menikahkan dengan Hassan bin Tsabit.
Allamah Majlisi dalam kitab Hayatul Qulub menukil dari Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jilid 1, halaman 209 dari Syaikh Thusi: "Rasul saw memiliki dua pembantu perempuan yang beliau perlakukan sama dengan istri-istri beliau yang lain. Salah satunya adalah Mariyah binti Syamun Qibtiyah dan yang lain bernama Raihanah binti Zaid Qardhiyah. Keduanya dihadiahkan oleh Maququs penguasa Iskandaria Mesir kepada Rasul. Mariyah meninggal lima tahun setelah wafatnya Rasul saw."

Sepuluh Poin Penting
Istri-istri Rasul saw berasal dari:
1. Kerabat dekat beliau.
2. Putri-putri para pembesar Quraisy dan teman-teman beliau di Makkah (sebagian dari negeri lain).
3. Para wanita tawanan perang yang mereka sendiri rela menikah dengan beliau.
4. Sebagian mereka dilamar sendiri oleh beliau dan sebagian yang lain menawarkan dan menghibahkan diri mereka kepada beliau.
5. Kecuali satu-dua wanita, istri-istri beliau adalah janda.
6. Selama Khadijah hidup, beliau tidak pernah menikah dengan wanita lain. Beliau menikah dengan istri-istri lain dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir kehidupan beliau di Madinah.
7. Beliau hanya mempunyai anak dari Khadijah dan Mariyah Qibtiyah.
8. Beliau selalu memberi pilihan kepada istri-istrinya untuk memilih kehidupan duniawi atau hidup dengan beliau. Ayat 28-32 surat Al-Ahzab menyinggung hal ini.
9. Dikarenakan akhlak dan kesucian jiwa beliau, tidak ada seorangpun dari istri-istri beliau yang meminta cerai. Ketika beliau wafat, sembilan wanita menangisi kepergiannya.
10. Semua istri beliau senantiasa menjaga kesucian mereka. Setelah beliau wafat, tidak ada seorangpun yang menikah dengan lelaki lain sesuai dengan perintah Allah.
Inilah kumpulan kisah pernikahan Rasul saw dengan motivasi-motivasi berbeda yang telah kami sebutkan dalam awal atau akhir setiap kisah. Sedikit banyak, kami telah gambarkan riwayat hidup beliau dari masa muda hingga kenabian, dari kenabian hingga hijrah dan dari hijrah hingga wafat. Bagi mereka yang ingin lebih memperdalam pengetahuan mereka tentang beliau, kami persilakan untuk merujuk kitab-kitab tafsir dan sejarah.





BAB III
Rasulullah saw bersabda:

اِبْنَتِيْ فَاطِمَةُ سَيِّدَةُ نِسَاءِ الْعَالَمِيْنَ

"Putriku Fatimah adalah penghulu wanita surga."


KISAH PERNIKAHAN IMAM ALI DENGAN SAYYIDAH FATHIMAH as

Biografi Sayyidah Fatimah as
Nama: Fatimah
Julukan Mashur: Az-Zahra
Kunyah (panggilan) Mashur: Ummu Abiha
Nama Ayah: Muhammad bin Abdullah
Nama Ibu: Sayyidah Khadijah
Tangggal Lahir: Jumat, 20 Jumadits Tsani dua tahun setelah diutusnya Nabi saw
Tanggal Pernikahan: 1 atau 6 Dzulhijjah 2 Hijriyah
Nama Suami: Ali bin Abi Thalib as
Nama Anak-anak: Imam Hasan, Imam Husain, Sayyidah Zainab dan Ummu Kultsum as
Tanggal Wafat: 75 hari setelah wafatnya Rasul saw di tahun 11 Hijriyah
Makam: Kemungkinan di Baqi`
Para ulama besar Syiah seperti Kulaini, Thabarsi dan Ibnu Syahr Asyub dalam kitab Kafi, A`lamul Waro dan Manaqib berpendapat bahwa Sayyidah Fatimah as lahir lima tahun setelah bi`tsah. Allamah Majlisi dalam Biharul Anwar, jilid 43, halaman 19 menukil semua pendapat ini.
Syaikh Thusi dalam kitab Misbahul Mutahajjid berkata bahwa beliau lahir dua tahun setelah bi`tsah. Para ulama Sunni berpendapat bahwa beliau lahir lima tahun sebelum bi`tsah. Namun, pendapat ini tidak sesuai dengan penolakan Nabi saw terhadap para pelamar dengan alasan usia putrinya yang masih kecil. Karena, bila lima tahun sebelum bi`tsah ditambah dengan 13 tahun risalah Nabi saw di Makkah, berarti ketika menikah di Madinah, Sayyidah Fatimah berusia di atas 18 tahun.

Pancaran Sinar Muhammad
Kisah pernikahan Imam Ali as dan Sayyidah Fatimah as penuh dengan keindahan seperti kisah perkawinan Rasul saw dan Sayyidah Khadijah as.
Ini adalah kisah pernikahan antara dua cahaya dan pernikahan yang penuh dengan berkah samawi. Setelah sekian abad, semua orang, bahkan non-Muslim, mengenal dua pribadi agung ini dan keutamaan mereka. Mungkin tidak perlu lagi kami sebutkan kisah kelahiran mereka. Riwayat dari Imam Shadiq as yang telah kami sebutkan di akhir kisah perkawinan Rasul saw dan Sayyidah Khadijah as cukup untuk menjelaskan kedudukan mereka.
Tiga tahun setelah peristiwa mi`raj Nabi saw, pada tanggal 20 Jumadits Tsani tahun kelima bi`tsah, ibunda para imam suci lahir dan cahayanya memenuhi bumi hingga langit. Para penghuni langit pun bersukaria menyambut kelahiran bayi mulia ini.
Nama-nama putri Nabi saw dan penjelasan maknanya akan menghabiskan berlembar-lembar kertas. Para sejarawan, sesuai dengan kemampuan mereka, telah menuliskan nama-nama putri Nabi saw dalam karya-karya mereka. Kitab-kitab seperti Biharul Anwar dipenuhi oleh cahaya nama-nama Fatimah as. Sayyid Abdur Razzaq Muqram dalam makalahnya menulis makna nama-nama Sayyidah Fatimah as dengan bersandarkan riwayat para imam ahlul bait. Salah satunya adalah riwayat dari Imam Shadiq as:
"Fatimah as mempunyai sembilan nama di sisi Allah SWT: Fatimah, Shiddiqah, Mubarokah, Thahirah, Zakiyah, Radhiyah, Mardhiyah, Muhaddatsah dan Az-Zahra`..."1
Tidak ada satupun dari nama-nama ini yang tak memiliki makna yang dalam. Kita dapat mencari makna nama-nama ini di kitab-kitab para ulama. Supaya buku ini mendapatkan cahaya, akan kami sebutkan mengapa beliau dinamakan Az-Zahra. Imam Shadiq as berkata: "Ia dinamakan Az-Zahra karena ia bersinar tiga kali dalam sehari bagi Amirul Mukminin as; di waktu Shubuh ketika orang-orang tidur, cahaya putih menyebar dan memasuki rumah-rumah kaum Muslim. Mereka keheranan melihat hal ini dan bertanya kepada Nabi saw. Beliau lalu menyuruh mereka pergi ke rumah Fatimah as. Ketika mereka pergi ke rumahnya, mereka melihat Fatimah as sedang shalat dan cahaya memancar dari wajahnya. Mereka mengerti bahwa cahaya yang menyinari rumah mereka adalah cahaya Fatimah.
Di tengah hari, ketika Fatimah bersiap untuk shalat, wajah mulianya memancarkan cahaya kuning yang menyebar ke rumah penduduk Madinah hingga membuat wajah dan pakaian mereka berwarna kuning. Mereka datang menghadap Nabi saw dan menceritakan apa yang mereka lihat. Beliau lalu menyuruh mereka perrgi ke rumah putrinya. Sampai di sana, mereka melihat Fatimah sedang shalat di mihrabnya dan cahaya kuning memancar dari wajahnya. Mereka sadar bahwa cahaya yang mereka lihat adalah cahaya Fatimah as.
Ketika matahari tenggelam, dikarenakan kegembiraannya dan rasa syukurnya kepada Allah, wajahnya memerah bercahaya. Cahaya wajahnya kembali menyebar ke seluruh penjuru Madinah dan membuat halaman-halaman rumah penduduk Madinah bercahaya. Mereka kembali datang menemui Nabi saw dan menanyakan sebabnya. Beliau kembali menyuruh mereka pergi ke rumah Fatimah as. Di sana, mereka menyaksikan Fatimah sedang bertasbih dan wajahnya memerah bercahaya.
Cahaya ini selalu memancar dari wajahnya sampai ia melahirkan Husain as dan berpindah kepadanya. Cahaya itu akan tetap memancar dari wajah-wajah kami ahlul bait sampai hari kiamat.2
Ketika Sayyidah Fatimah as lahir, semua saudara perempuannya telah menikah. Namun, suami-suami mereka tidak memperlakukan mereka sebagaimana mestinya. Hanya Abul Ash bin Rabi`, keponakan Sayyidah Khadijah, menantu yang layak bagi Nabi saw. Tapi, karena ia tetap dalam keadaan musyrik sampai penaklukan Makkah, ia menyebabkan berbagai kesulitan bagi Zainab putri Nabi seperti yang telah disebutkan oleh para sejarawan. Saudarinya yang lain, Ummu Kultsum meninggal di tahun tujuh atau sembilan Hijriyah.
Ya, Fatimah putri Nabi saw yang paling kecil menyaksikan kematian saudari-saudarinya yang menggantikan kedudukan ibunya. Ia harus mengisi tempat kosong saudari-saudarinya setelah mereka meninggal. Dengan kondisi ini, putri Khadijah yang dipanggil ayahnya dengan sebutan Ummu Abiha ini, bisa dipastikan sangat disayang oleh ayahnnya. Apabila dalam situasi tertentu di Makkah dan Madinah, Nabi saw memberikan putri-putrinya kepada Abul Ash dan Utsman, maka berkaitan dengan Fatimah, Allah dan Nabi-lah yang mengambil keputusan. Mungkin Allah berkehendak untuk menghilangkan kesedihan Nabi saw dengan memilihkan menantu yang sesuai bagi putrinya. Para pembesar Quraisy menghasut Abul Ash dan Utbah bin Abu Lahab untuk menceraikan putri-putri Nabi saw (Zainab dan Ruqayyah) hingga beliau akan menemui kesulitan dalam menghidupi putri-putrinya. Namun, Abul Ash tidak menghiraukan hasutan mereka dan tetap setia kepada istrinya. Kesetiaannya ini kelak membuahkan keimanannya dan ia mempunyai seorang putri bernama Amamah yang kelak diperistri oleh Imam Ali as. Adapun anak Abu Lahab, ia menceraikan istrinya atas hasutan para musyrikin Quraisy.
Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad3 menulis: "Ibnu Abbas berkata: Aku dan ayahku sedang duduk bersama Rasul saw ketika Ali as masuk dan mengucapkan salam. Rasul saw menjawab salamnya dan menampakkan kegembiraannya atas kedatangan Ali as. Beliau bangkit dari duduknya, memeluk Ali dan mencium antara dua matanya lalu mendudukkannya di sampingnya. Ayahku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau mencintai Ali?" Beliau menjawab," Wahai paman, demi Allah, Dia lebih mencintai Ali dibanding diriku, karena Dia menjadikan keturunan setiap nabi dalam sulbi mereka, namun Ia menjadikan keturunanku dalam sulbi Ali (karena Fatimah as hanya putri beliau yang masih hidup dan semua putra beliau telah meninggal). "
Kandungan riwayat ini dinukil oleh :
1. Kharazmi dalam Manaqib, halaman 229.
2. Muhibbuddin Thabari dalam Dzakhairul Uqba.
3. Humawaini dalam Faraidus Simtain.
4. Dzahabi dalam Mizanul I`tidal.
5. Ibnu Hajar dalam Showaiqul Muhriqoh.
6. Muttaqi Hindi dalam Muntakhab Kanzul Ummal.
7. Qanduzi dalam Yanabiul Mawaddah.4
Tsalabi saat menafsirkan ayat ke-4 surat At-Tahrim berkata bahwa yang dimaksud dengan sholihul mukminin adalah Ali bin Abi Thalib as.5

1. Pernikahan Imam Ali as dengan Sayyidah Fatimah as
Pernikahan antara dua manusia suci ini berlangsung pada tahun kedua Hijriyah.6 Semua syarat pernikahan putri Nabi saw telah terpenuhi. Banyak orang yang berniat mengambil Fatimah as sebagai istrinya dan menjadikannya sebagai bagian dari keutamaan mereka. Dengan berbagai cara, mereka ungkapkan keinginan mereka kepada Nabi saw. Abu Bakar dan Umar mengedepankan persahabatan mereka dengan Nabi saw dan menyebutkan keutamaan mereka untuk mengambil hati beliau. Namun, Nabi saw menolak lamaran mereka.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa setelah lamaran mereka ditolak Nabi saw, mereka datang menemui Imam Ali as dan mendorong beliau untuk melamar Fatimah as. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa yang mendorong Imam Ali as untuk melamar putri Nabi saw adalah Sa'ad bin Muadz.7
Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saw sendiri yang menanyakan kepada Imam Ali as tentang niatnya untuk menikah dengan Sayyidah Fatimah as dan menjelaskan tugas yang diembannya dari Jibril as untuk menikahkannya dengan putrinya. Namun, dalam riwayat lain, demikian disebutkan:
Imam Ali as pergi sendiri menghadap Nabi saw untuk melamar Fatimah as. Ia sangat malu untuk mengutarakan niatnya hingga Nabi saw dengan raut muka gembira bertanya kepadanya, "Untuk apa kau datang? Sepertinya kau datang untuk melamar Fatimah?"
"Benar wahai Rasulullah!"
"Sebelum kau, banyak orang telah datang kepadaku dengan niat sama. Tapi setiap kali aku berunding dengan Fatimah, ia tidak menjawab lamaran mereka. Aku pun ridha dengan apa yang diridhai olehnya. Tunggulah sebentar supaya aku memberitahu Fatimah tentang niatmu."
Nabi saw datang menemui putrinya dan berkata kepadanya, "Anakku, Ali anak pamanku datang melamarmu. Dia bukan orang asing bagimu dan kau sudah tahu keutamaannya. Ia ingin menjadikanmu sebagai istrinya. Apa pendapatmu?"
"Wahai Rasulullah, engkau lebih berhak untuk memberi pendapat."
"Anakku, sesunguhnya Allah telah mengizinkanmu menikah dengannya."
Sambil tersenyum gembira, Fatimah berkata, "Aku ridha dengan apa yang diridahi oleh Allah dan Rasul-Nya." (Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Fatimah as berkata, "Aku rela Allah sebagai Tuhanku dan ayahku sebagai Nabiku dan putra pamanku sebagai suamiku.")8
Nabi saw lalu datang menemui Ali as dan mengabarkan persetujuan putrinya. Beliau bertanya, "Wahai Ali, putriku setuju untuk menikah denganmu. Mahar apa yang hendak kau berikan kepadanya?"
"Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu wahai Rasulullah, engkau sendiri tahu keadaan hidupku. Semua hartaku hanyalah sebilah pedang, baju besi dan seekor unta."10
"Wahai Ali, pedangmu akan kau gunakan untuk berjihad dan untamu akan kau gunakan untuk mengambil air dan mengangkut barang. Karena itu, juallah baju besimu."
Imam Ali as lalu pergi menjual baju besi yang merupakan ghanimah dari perang Badar seharga 380 atau 500 Dirham11 dan menyerahkan uangnya kepada Nabi saw. Beliau membaginya menjadi tiga bagian:
1. Sepertiga untuk membeli perlengkapan rumah.
2. Sepertiga untuk minyak wangi.
3. Sisanya beliau serahkan kepada Ummu Salamah sebagai amanat. Menjelang malam pernikahan, beliau menghadiahkannya kepada Imam Ali as hingga ia bisa menyiapkan walimah pernikahan. (Sahabat-sahabat Imam Ali as pun memberi bantuan kepada beliau untuk acara walimah seperti yang disebutkan oleh Abul Futuh Ar-Razi dalam tafsirnya jilid 14, halaman 261).
Nabi saw menyuruh sebagian sahabatnya untuk menyiapkan perlengkapan rumah putri tercintanya. Ada beberapa versi tentang nama-nama para sahabat yang disuruh Nabi saw untuk membeli perkakas rumah Fatimah as. Mungkin beliau menyerahkan urusan alat-alat rumah kepada ahlinya. Misalnya, nama Ummu Aiman12 disebutkan dalam riwayat-riwayat ini.
Abu Bakar, Ammar Yasir, Bilal Habsyi dan Salman Al-Farisi pergi ke pasar untuk menyiapkan perlengkapan rumah bagi dua kekasih Nabi saw ini. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Miqdad nin Aswad Al-Kindi juga termasuk para sahabat yang menyiapkan perkakas rumah Ali as. Sebagian yang lain tidak menyebutkan nama mereka. Alhasil, para sahabat melaksanakan tugas mereka dan membawa barang-barang yang mereka beli kepada Nabi saw. Beliau membolak-balikkan barang-barang itu dan bersabda, "Semoga Allah memberkati penghuni rumah ini." Atau beliau bersabda, "Ya Allah, berkatilah kaum yang sebagian besar barang mereka terbuat dari tanah liat."
Mereka yang sebelumnya datang melamar Fatimah dan ditolak oleh Nabi saw, kembali datang menemui beliau dan berkata, "Kenapa Anda menikahkan Fatimah dengan Ali dengan mahar sedikit." Beliau menjawab, "Bukan aku yang menikahkan mereka. Tapi Allah-lah yang menikahkan mereka di malam mi`raj di dekat Shidratul Muntaha. Aku manusia seperti kalian. Aku menikah dengan wanita di antara kalian dan aku nikahkan putriku dengan kalian. Tapi, aku tidak dapat mengambil keputusan berkaitan dengan Fatimah, karena perintah pernikahannya datang dari langit."
Banyak orang yang memiliki pikiran Jahiliyah Pada waktu itu, tanpa melihat kelayakan-kelayakan menantu Nabi saw, para wanita Quraisy mencela Fatimah karena ia menikah dengan lelaki miskin. Fatimah as datang menghadap Nabi saw sambil menangis dan mengadukan ucapan mereka kepada ayahnya. Beliau bersabda, "Wahai Fatimah, apakah kau tidak ridha aku nikahkan kau dengan orang yang lebih dahulu masuk Islam, paling berilmu dan paling bijak?" Fatimah menjawab, "Aku ridha dengan apa yang diridhai Allah dan rasulnya."13
Barangkali Fatimah as tidak mengetahui lamaran Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan yang datang melamarnya dengan motivasi tertentu. Anas bin Malik berkata, "Suatu hari, Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan yang lebih terkenal di antara sahabat, datang ke rumah Rasulullah saw. Abdurrahman berkata kepada beliau, "Wahai Nabi, nikahkanlah putrimu denganku! Aku akan memberinya mahar seratus unta hitam bermata biru dan semuanya adalah unta Mesir yang sedang hamil. Selain itu, aku akan tambahkan sepuluh ribu Dinar." Utsman berkata, "Akupun siap memberi sejumlah itu. Lagi pula, aku lebih dahulu masuk Islam ketimbang Abdurrahman." Tapi Rasulullah saw menolak lamaran mereka.
Kekuasaan tidak akan kekal bagi siapapun
Tidak bagi Kaisar dan tidak bagi Kisra2

Perkakas rumah Sayyidah Fatimah as
1. Sebuah kasur dengan seprai dari katun yang berisi bulu domba.
2. Taplak dari kulit kambing.
3. Sebuah kasur lain yang dibungkus katun dan berisikan pelepah kurma.
4. Sehelai tikar Hajari (Hajar adalah sebuah desa dekat Madinah yang-penduduknya bekerja sebagai pembuat tikar).
5. Sehelai tikar Qithri (sejenis tikar lembut yang terbuat dari bambu).
6. Sehelai permadani.
7. Dua sandaran bantal berlapis kapas hitam yang diisi dengan pelepah kurma dan dua bantal.
8. Tirai dari wol.
9. Sebuah wadah dari tembaga untuk mencuci pakaian, mangkuk besar dan mangkuk dari kayu untuk susu.
10. Selimut hitam dari Khaibar dan sebuah jubah buatan Khaibar dan ranjang yang dibuat dari kullit pohon kurma.
11. Kantung besar air yang terbuat dari kulit kerbau untuk menyimpaan air dan sebuah kendi.
12. Sebuah penggiling gandum dan saringan.
13. Handuk, sapu tangan dan minyak wangi.
14. Pakaian dan baju hangat.
15. Cadar dan kerudung.
16. Timba dari kulit untuk mengmabil air dari sumur.
17. Kendi untuk bersuci.
18. Gantungan baju.

Rasulullah saw telah menyediakan segala hal yang diperlukan oleh kedua mempelai untuk memulai hidup baru. Meski semua peralatan ini sangat sederhana dan bersahaja, tapi bukan berarti tidak memiliki nilai. Tentunya, dari sisi materi, ia tidak bisa dibandingkan dengan peralatan rumah para pengantin Quraisy zaman itu. Yang pasti, prinsip keadilan dan penghematan harus dijaga di setiap masa, karena kanaah adalah kerajaan yang abadi dan ketamakan adalah kefakiran yang kekal.

Mahar Spiritual Sayyidah Fatimah as
Semua yang telah kita sebutkan tentang perkakas rumah Az-Zahra, tidak berperan dalam keridhaan putri Nabi saw ini. Ia selalu memandang jauh ke depan dan seperti ayahnya, ia pun menaruh iba terhadap para pendosa umat ayahnya. Ahmad bin Yusuf dalam kitab Akhbarud Duwal wa Atsarul Awwal menulis:
Diriwayatkan bahwa ketika Nabi saw menikahkannya dengan Ali as dan menentukan maharnya, ia berkata, "Wahai Rasulullah, semua wanita bersuami dan menentukan kadar mahar nikah mereka. Lalu, apa perbedaan mereka denganku?Aku ingin kau kembalikan maharku kepada Ali dan kau mohonkan kepada Allah supaya Ia menjadikan syafaatku bagi umatmu sebagai mahar nikahku." Jibril as lalu turun sambil membawa sehelai kertas sutra yang bertuliskan: "Allah telah menjadikan syafaat Fatimah bagi umat ayahnya sebagai mahar nikahnya."
Oleh karena itu, menjelang wafatnya, Sayyidah Fatimah as berwasiat untuk meletakkan kertas ini dalam kafannya. Ketika wasiatnya dilaksanakan, beliau berkata, "Di hari kiamat, aku akan memegang kertas ini dan memberikan syafaat kepada orang-orang yang berdosa dari umat ayahku."

Khotbah Nikah
Di hadapan para penduduk Madinah dan para pembesar Quraisy, setelah memanjatkan puja dan puji kepada Allah SWT, Rasulullah saw membaca akad nikah dan berkata, "Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk menikahkan putriku Fatimah as dengan saudaraku dan anak pamanku Ali bin Abi Thalib..."
Kemudian beliau duduk dan berkata kepada Ali as, "Wahai Ali, bangkit dan bacalah khotbah nikahmu." Ali menjawab, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku berkhotbah di hadapanmu?" Beliau menjawab, "Jibril memerintahkanku untuk meyuruhmu membaca khotbah nikah."
Ali as lalu berdiri dan setelah memuji Allah dan mengucapkan salam atas Rasul saw, beliau mengakhiri khotbahnnya dengan berkata, "Menikah adalah hal yang diperintahkan Allah dan diizinkan oleh-Nya. Majlis ini adalah majlis yang dilangsungkan atas perintah-Nya dan diridhai oleh-Nya. Sekarang ini, Muhammad bin Abdullah telah menikahkan putrinya Fatimah denganku dengan mahar empat ratus Dinar. Saksikanlah bahwa aku rela dengan akad ini. Mintalah kalian kesaksian dari Rasulullah!"
Hadirin lalu menanyakan kesaksian Rasulullah saw. Beliau mengiyakan ucapan Ali as dan menyebutnya sebagai menantu yang pantas. Para hadirin lalu mengucapkan selamat kepada Ali as. Majlis pernikahan itu diakhiri dengan jamuan kurma.14

Dari Pertunanangan Hingga Pernikahan
Setiap kali Rasulullah saw berduaan dengan Imam Ali as, beliau selalu berkata, "Istrimu sungguh rupawan dan baik. Berbahagialah engkau, karena kau telah kunikahkan dengan penghulu wanita semesta."15
Hampir sebulan telah berlalu dari masa pembelian peralatan rumah. Meskipun Imam Ali as selalu shalat dengan Nabi saw dan bertemu dengan beliau, tapi masalah pernikahannya tidak pernah dibicarakan.
Dari satu sisi, para wanita Quraisy selalu datang menemui Fatimah as dan berkata kepadanya bahwa ia dinikahkan dengan seorang lelaki yang tidak memiliki apapun. Sayyidah Fatimah as menghadap ayahnya dan mengadukan ucapan mereka kepada beliau.
Sebagai jawaban pengaduan putrinya, Nabi saw selalu memuji Ali as sebagai manusia mulia dan sahabat setianya yang selalu diridahi Allah. Ali as yang menginginkan untuk memulai hidup barunya, merasa malu untuk mengutarakan niatnya kepada Nabi saw. Hingga pada suatu hari, Aqil datang menemu saudaranya dan berkata kepadanya, "Saudaraku, tidak ada yang lebih menggembiranku dari pernikahanmu dengan Fatimah. Kenapa kau tidak meminta dari Rasul untuk mengirimkan putrinya ke rumahmu?"
"Demi Allah, akupun menghendaki hal ini, tapi aku malu terhadap Nabi," jawab Ali as.
"Mari kita pergi menemui beliau dan membicarakan masalah ini. "
Mereka berdua lalu pergi menghadap Nabi saw. Ummu Salamah dan istri-istri Nabi mengetahui masalah Ali dan meminta kepadanya supaya mereka yang menghadap Nabi saw.
Para istri Nabi datang berombongan menemui beliau dan berkata kepadanya, "Kami datang menemui Anda untuk suatu hal yang akan membuat Khadijah gembira bila ia masih hidup."
Nama Khadijah membuat Nabi saw terharu dan melinangkan air mata. Mengingat istri dan penolong setianya, beliau berkata, "Siapa yang dapat menyerupai Khadijah? Ketika tidak ada orang yang mempercayai ucapanku, ia mendukungku dan menyerahkan hartanya demi tegaknya agama Allah. Maka itu, Allah akan memberinya ganjaran rumah dari zamrud di surga."
Ummu Salamah berkata, "Ayah dan ibu kami menjadi tebusanmu wahai Rasulullah! Semua apa yang Anda katakan tentang Khadijah benar. Ali datang dan ingin membawa istrinya ke rumahnya."
"Kenapa ia sendiri tidak meminta dariku?"
"Ia malu untuk mengutarakan niatnya kepada Anda. "
Rasulullah saw lalu menyuruh Ummu Aiman untuk membawa Ali as datang menghadapnya. Ali as datang sambil menundukkan kepala karena malu dan mengucapkan salam kepada Rasul. Beliau menjawab salamnya dan berkata, "Apakah kau ingin membawa Fatimah ke rumahmu?"
"Ya wahai Rasulullah. "
"Malam ini atau besok malam, Fatimah akan kubawa ke rumahmu," sabda Rasul.
Ali gembira mendengar jawaban Rasul. Kabar ini lalu tersebar di Madinah. Haritsah bin Numan yang tahu keadaan ekonomi Ali as, datang menemui Rasul saw dan menghadiahkan rumahnya yang tidak jauh dari rumah beliau. Beliau lalu mendoakan kebaikan untuknya. Tentunya, ini berkaitan dengan awal pernikahan dua manusia mulia ini, karena nantinya rumah mereka pindah dekat masjid Nabi.
Ali as lalu menyebar kerikil dan pasir di lantai rumahnya, menggantungkan kayu untuk meletakkan pakaian dan menghamparkan kulit kambing serta sebuah bantal sebagai sandaran duduk. Dengan ini, Ali as siap menyambut kedatangan istrinya di rumahnya.16
Rasululllah saw berkata kepada Ali as, "Kita harus mengadakan walimah, karena banyak kebaikan di dalamnya dan Allah menyukainya. Aku sediakan daging dan roti, sedangkan kau menyiapkan korma dan minyaknya."
Begitu mendengar kabar, Saad bin Muadz menghadiahkan seekor kambing untuk menjamu para tamu. Setelah semuanya siap, Rasulullah saw menyingsingkan lengan bajunya, membelah-belah kurma dan melumurinya dengan minyak. Beliau bersabda kepada Ali, "Pergilah ke masjid dan undanglah siapa yang kau kehendaki."
Ali pergi ke masjid dan melihat masjid penuh dengan orang. Ia merasa malu untuk mengundang sebagian orang dan tidak mengundang yang lain. Ia naik mimbar dan berkata, "Pergilah kalian ke majlis walimah Fatimah as dan penuhilah undangannya."
Orang-orang datang berombongan ke rumah Ali. Beliau merasa malu karena hanya sedikit makanan yang tersedia. Rasulullah saw memahami masalah Ali dan bersabda kepadanya, "Wahai Ali, aku telah berdoa kepada Allah untuk memberkati walimah ini. Cuma karena rumah ini kecil, katakan kepada mereka untuk datang bergantian sepuluh orang."
Ali as berkata, "Semua orang datang dan mendoakan kebaikan bagi kami, namun makanan masih tersisa." Rasulullah saw lalu meminta sebuah wadah, lalu mengisinya dengan makanan dan mengirimkannya ke rumah para tetangga. Beliau menyisakan makanan dan menaruhnya di sebuah wadah sendiri dan bersabda bahwa makanan ini khusus untuk Fatimah dan Ali as.
Kemudian Rasulullah saw menyuruh Ummu Salamah membawa Fatimah as menemuinya. Ummu Salamah berkata, "Aku membawa Fatimah as menghadap ayahnya sementara wajahnya berkeringat karena malu terhadap Rasul saw.. Beliau bersabda, "Semoga Allah menyelamatkanmu dari ketergelinciran dunia dan akhirat." Ketika Fatimah duduk menghadap ayahnya, beliau menyingkapkan cadar dari wajahnya hingga Ali as melihatnya.17
Rasulullah saw menyiapkan sehelai pakaian putih untuk putrinya. Di malam pernikahan, seorang pengemis datang ke pintu rumah Ali as dan meminta pakaian lama yang tak terpakai. Sayyidah Fatimah as berniat memberikan pakaian lamanya, tapi ia teringat ayat Alquran yang mengatakan: "Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan kecuali kalian berikan apa yang kalian cintai."18 Beliau lalu memberikan pakaian hadiah dari ayahnya kepada pengemis itu.19 Sebagai balasannya, Allah memberikan pakaian dari surga kepada Sayyidah Fatimah as.
Rasulullah saw yang mengawasi jalannya pernikahan, menaruh kain di punggung hewan tunggangannya dan menyuruh para wanita Muhajirin dan Anshar serta putri-putri Abdul Muthallib mengiringi Fatimah as dan menampakkan kegembiraan mereka. Beliau meminta mereka bertakbir dan bersyukur kepada Allah. Kendali kuda beliau serahkan kepada Salman sedangkan Hamzah, Aqil, Jafar dan para lelaki bani Hasyim berjalan di belakang kuda. Ummu Salamah bersyair,
"Wahai para wanita, majulah kalian dengan pertolongan Allah dan bersyukurlah kepada-Nya di semua keadaan.
Ingatlah nikmat Allah yang telah menghapus keburukan dan menggantikannnya dengan kebaikan. Kita telah keluar dari kesesatan dan mendapatkan petunjuk. Bersama kami, iringlah wanita terbaik semesta, putri manusia yang dimuliakan Allah dengan wahyu dan risalah."
Aisyah melantunkan syair ini:
"Puja dan puji kepada Allah atas segala nikmatnya,
Bawalah Fatimah, wanita yang telah disucikan oleh Allah."
Sedangkan Hafshah bersyair:
"Fatimah wanita terbaik semesta yang rupawan bak bulan
Allah telah meninggikan derajatmu melebihi manusia-manusia lain
Allah telah menjadikanmu istri pemuda terbaik, yaitu Ali.
Maka, wahai para wanita, iringlah dia, karena ia adalah wanita mulia dan putri manusia agung."
Muadzah, ibu Saad bin Muadz bersyair demikian:
"Aku katakan suatu hal yang mengandung kebenaran dan kebaikan. Muhammad adalah manusia terbaik yang tidak sesat dan tidak takabur.
Berkat dia, kami temukan jalan lurus. Semoga Allah memberinya ganjaran terbaik.
Kami mengiringi putri Nabi yang memiliki kesempurnaan. Aku tidak melihat yang setara dengannya."
Ketika para pengiring melantunkan syair-syair ini, mereka mengulang bait pertama dan masuk rumah sambil bertakbir. Diriwayatkan dari Imam Shadiq as bahwa ketika Fatimah as diantar ke rumah suaminya, Jibril, Mikail dan Israfil turun ke bumi beserta tujuh puluh dua ribu malaikat. Jibril memegang tali kendali kuda Nabi saw dan Israfil mengiringi di tengah rombongan dan Mikail mengikuti dari belakang. Sementara malaikat yang lain bertakbir. Sepertinya sunah bertakbir di acara pernikahan dimulai sejak saat itu.20
Setelah pengantin wanita diantar ke rumah suaminya, orang-orang pergi meningggalkan rumah Ali dan hanya Asma binti Umais yang tinggal di sana. Ketika Nabi saw memintanya pergi, ia menjawab, "Kalau Anda izinkan, saya akan tinggal di samping Fatimah. Karena menjelang wafat, Khadijah menangis. Saat saya menanyakan sebabnya, ia berkata, "Aku tidak menangis karena mati. Tapi setiap wanita akan membutuhkan wanita lain di sampingnya saat ia menikah untuk memenuhi keperluannya dan menjaga rahasianya. Aku khawatir tidak ada yang menemani Fatimah ketika ia menikah nanti." Saya berkata, "Saya berjanji bila saya masih hidup waktu Fatimah menikah, saya akan mendampinginya dan menggantikan kedudukan Anda." Nabi saw menangis dan bersabda, "Apakah untuk ini kau hendak tinggal di sini?" Saat aku mengiyakan, beliau mendoakan kebaikan untukku.21
Kemudian Nabi saw mendudukkan Ali dan Fatimah as di sampingnya. Beliau meletakkan tangan Fatimah di atas tangan Ali dan bersabda, "Wahai Abul Hasan, ini adalah amanat Allah dan amanat Rasul-Nya di sisimu. Ingatlah Allah dan perhatikan cintaku terhadapnya."22
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau bersabda, "Wahai Ali, Fatimah adalah istri terbaik. Wahai Fatimah, Ali adalah suami terbaik."
Beliau lalu meminta wadah air dan meminum airnya untuk bertabaruk. Beliau lalu memberikannya kepada Ali dan Fatimah dan menyuruh mereka meminum airnya. Beliau lalu mengambil sisa air dan mencipratkannya ke wajah dan dada Ali dan Fatimah sambil membaca ayat: "Innama yuridullahu an yudzhiba `ankumur rijsa ahlal bait…". Beliau lalu berdoa, "Ya Allah, Engkau tdak utus seorang nabi kecuali Kau berikan ia keturunan. Ya Allah, jadikanlah keturunanku dari Ali dan Fatimah!" Setelah itu, beliau keluar dari rumah.23

5
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

Perasaan Sayyidah Fatimah as di Malam Pengantin
Salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia adalah malam pengantinnya. Malam itu bisa menjadi saat paling manis dari sisi materi dan ruhani atau dikarenakan kelalaiannya untuk mengingat Allah, bisa menjadi malam yang berlumuran dosa baginya. Selain ia terjerumus dalam dosa, ia pun menyebabkan orang lain bergelimang dalam maksiat. Betapa banyak pria dan wanita yang menjadikan saat ini sebagai dalih untuk berfoya-foya dan melakukan hal yang dilarang syariat. Mereka berpikir bahwa untuk saat semacam ini, Tuhan memberikan izin kepada mereka berpesta pora dan melupakan kewajiban mereka sebagai hamba-Nya.
Apakah orang-orang seperti ini bisa disebut sebagai pengikut Ali as?
Apakah tindakan semacam ini akan mendekatkan manusia kepada Allah?
Mari kita lihat apa yang dilakukan Ali dan Fatimah as di malam pengantin mereka.
Di malam itu, Ali as melihat Fatimah menangis. Ketika beliau menanyakan sebabnya, Fatimah as menjawab, "Aku memikirkan keadaan dan kelakuanku. Aku teringat hari akhir hidupku dan tempat bernama kubur. Hari ini aku meninggalkan rumah ayahku menuju rumah ini. Kelak aku akan pergi dari rumah ini menuju alam kubur. Dalam awal mula kehidupan bersama ini, aku ingin kita melakukan shalat dan beribadah kepada Allah."24
Inilah manusia yang telah mencapai cinta hakiki tidak akan tertipu oleh cinta semu materi. Ia memilih teman seperjalanan yang tepat hingga lebih cepat sampai ke tujuan. Ia pilih teman hidup yang mampu mencabut segala duri rintangan dan memiliki keberanian dan kelayakan menuju puncak kesempurnaan.
Dua manusia kekasih Nabi saw ini senantiasa bergerak di bawah naungan ubudiyyah dan mengutamakan kelezatan liqoullah di atas kelezatan materi.25

Kisah Palsu Pernikahan Imam Ali as dengan Putri Abu Jahal
Kisah pemalsuan hadis atas Imam Ali as adalah sebuah kisah lama yang telah dijelaskan di tempatnya. Meskipun para ulama tahu akan hal ini, namun kadang mereka menyebutkan beberapa hal yang saling bertentangan dalam kitab-kitab mereka. Di samping itu, para "pakar Islam" atau yang lazim disebut orientalis selalu memberikan kajian-kajian tentang Al-Qur'an, agama atau sejarah yang membuat para ulama sejati Islam menanggung banyak beban supaya hakikat-hakikat agama dan peristiwa-peristiwa penting sejarah tidak diselewengkan.
Hasilnya adalah mereka memulai pencemaran nama Ali as sejak hari awal pernikahannya. Sepertinya mereka hendak mengatakan bahwa hadis "Barang siapa yang membuat Fatimah marah, berarti ia telah membuatku marah" berkaitan dengan pernikahan Imam Ali as dengan putri Abu Jahal. Padahal mereka sendiri juga menulis bahwa selama Fatimah as masih hidup, Ali as tidak menikah dengan wanita lain.
Membahas sanad dan isi riwayat-riwayat palsu ini di luar dari tujuan buku ini. Pembaca budiman dapat merujuk mukadimah dan catatan kaki buku "Ats-Tsughurul Basimah fi Fadhaili As-Sayyidah Fatimah" karya Jalaluddin Suyuthi dan buku "Fatimah Az-Zahra, minal Mahdi ilal Lahd " tulisan almarhum Qazvini hingga dapat mengetahui kebohongan kisah-kisah palsu ini.
Al-Qunduzi Hanafi dalam kitab Yanabiul Mawaddah, bab 56 meriwayatkan dari Hudzaifah dan Jabir bin Abdullah Al-Anshari bahwa Nabi saw bersabda, "Ali adalah manusia terbaik. Barangsiapa yang mengingkarinya, berarti ia telah kufur."
Ia juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas sabda Nabi saw kepada Ali as, "Wahai Ali, Allah menikahkanmu dengan Fatimah dan menjadikan bumi sebagai maharnya. Orang yang memusuhimu haram berjalan di atas bumi."
Ali as disebut dalam Al-Qur'an sebagai sholihul mukminin, sahabat setia Nabi saw dan eksistensi shiratul mustaqim (Tafsir Furat Al-Kufi, surat Al-Hajar, halaman 224, surat An-Nahl, halaman 233). Apabila tidak ada Ali, niscaya tidak akan ada jodoh bagi Fatimah. Kehidupan dua manusia suci yang dimulai pada tahun kedua Hijriyah ini dilalui dengan perjuangan melawan musuh-musuh agama. Bukankah Abu Jahal yang disebut sebagai mertua Ali as oleh Bukhari dan Muslim (berdasarkan riwayat Musawir bin Makhzumah yang lahir di tahun kedua Hijriyah), adalah orang yang disebut Nabi saw lebih buruk dari Firaun di zaman Nabi Musa? Orang yang hingga ia mati dibunuh oleh Abdullah bin Masud26 dalam perang Badar pun tetap tidak beriman kepada Allah? Apakah masuk akal orang yang pertama beriman kepada Nabi saw dan menjadi perwujudan ayat: "Orang yang menjual jiwanya demi keridhaan Allah"27 lebih mengutamakan putri Abu Jahal ketimbang Fatimah as dan membuat Nabi saw marah?

Kisah Pernikahan Ali dan Fatimah as dalam Riwayat
Dalam kitab Thabaqat Ibnu Saad disebutkan: "Ali menikah dengan Fatimah di bulan Rajab setelah kedatangan Nabi saw ke Madinah dan berlalunya lima bulan dari perang Badar. Pada saat itu, Fatimah berusia delapan belas setengah tahun."
Baihaqi dalam kitab Dalailun Nubuwwah meriwayatkan dari Ali as bahwa ia berkata, "Ketika orang-orang melamar Fatimah, pembantu wanita Nabi datang kepadaku dan bertanya, "Apakah kau tahu ada yang melamar Fatimah?" Waktu aku menjawab tidak tahu, dia berkata, "Apa gerangan yang menghalangimu melamar putri Nabi untuk menikah denganmu?" Aku jawab, "Aku tidak punya sesuatu apapun hingga aku bisa menikah." Ia berkata, "Apabila engkau datang sendiri menghadap Nabi dan melamar putrinya, pasti dia akan menikahkannya denganmu."
Bazzaz dengan sanad hasan meriwayatkan dari Buraidah: "Seseorang berkata kepada Ali, "Alangkah baiknya bila kau melamar putri Nabi. "Ali as lalu pergi menemui Nabi saw. Sesampainya di sana, Nabi saw bertanya, "Apa keperluanmu, wahai Ali?" Ali menjawab, "Aku ingin melamar Fatimah." Nabi saw bersabda, "Ahlan wa marhaban" dan tidak mengatakan hal lain. Orang-orang berkata, "Ketika Nabi menjawabmu dengan ucapan ini, berarti beliau menyetujui pernikahanmu."
Abu Dawud melalui Ikrimah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas bahwa ketika Ali hendak menikah dengan Fatimah, Nabi saw bersabda kepada Ali, "Wahai Ali, apa mahar yang akan kau berikan?" Ali menjawab, "Aku tidak memiliki apapun." Nabi lalu bertanya, "Lalu, di mana baju besi Hutami itu?" Ibnu Saad meriwayatkan hadis ini secara mursal dari `Ikrimah. Ia menambahkan bahwa Ali kemudian menyerahkan baju besi itu sebagai mahar nikah dengan harga empat ratus Dirham.
Ibnu Saad juga meriwayatkan dari `Alaba bin Ahmar Yasykari bahwa ketika Ali hendak menikah dengan Fatimah, ia menjual hewan miliknya dengan harga emapt ratus delapan puluh Dirham. Rasulullah bersabda, "Bagilah uang ini menjadi tiga bagian. Dua bagiannya kau gunakan untuk membeli minyak wangi dan bagian yang lain untuk membeli pakaian."28
Ibnu Saad meriwayatkan dari Atha`: Ketika Ali melamar Fatimah, Rasulullah meminta pendapat putrinya. Ketika Fatimah diam tidak menjawab, beliau lalu menikahkannya dengan Ali.29
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ali: Malam hari ketika kau membawa putri Nabi ke rumahku, aku tidak memiliki alas tidur kecuali hanya sehelai kulit kambing.30
Bazzaz menukil dari Jabir, "Kami menghadiri acara pernikahan Ali dan Fatimah dan aku tidak pernah melihat pernikahan yang lebih baik dari itu. Kami mengisi ranjang dan kasur dengan kulit kurma. Hidangannya adalah kurma dan kismis.
Ibnu Saad meriwayatkan dari seseorang yang paman-pamannya berasal dari Anshar, "Nenekku bercerita kepadaku bahwa ia hadir di antara wanita-wanita yang mengantarkan Fatimah ke rumah Ali. Kami mengantarkan Fatimah ke rumah suaminya sambil membawa dua kain katun yang di atasnya ada gelang perak yang dilumuri safron hingga berwarna kuning. Memasuki rumah Ali, kami lihat sehelai kulit kambing yang belum disamak, bantal berisi kulit kurma, sebuah tempat air, sebuah saringan dan sebuah handuk."31

Pernikahan Imam Ali as dengan Amamah
Melaksanakan wasiat Fatimah as, Imam Ali as menikah dengan Amamah putri Abul Ash bin Rabi`.
Amamah adalah putri Zainab yang diperistri Abul Ash bin Rabi`. Fatimah as berwasiat kepada Ali as untuk menikah dengan keponakannya hingga bisa menggantikan kedudukan ibu bagi anak-anaknya dan mengasihi mereka.
Allamah Majlisi dalam kitab Biharul Anwar meriwayatkan bahwa Ali as menikah dengan Amamah sembilan hari setelah Fatimah meninggal. Mas`udi dalam kitab Murujudz Dzahab menulis: Abul Ash memiliki seorang putri bernama Amamah yang dinikahi oleh Ali as setelah Fatimah meninggal.
Bukti sejarah ini mendukung pendapat kami bahwa Ali menikah dengan Amamah untuk mengurusi anak-anaknya yang masih kecil. Mungkin selang waktu sembilan hari dalam tradisi kita kurang diterima oleh masyarakat. Namun, wasiat ini berdasarkan pengetahuan Fatimah terhadap kondisi hidup dan karakter Ali serta kejiwaan keponakannya yang tidak mencicipi kasih sayang ibu setelah Zainab putri Nabi meninggal dan dekat dengan bibinya Fatimah.
Syaikh Abbas Al-Qummi dalam kitab Baitul Ahzan, bab wasiat Fatimah menulis demikian: Menjelang wafatnya, Fatimah berkata kepada Ali, "Setelah aku mati, menikahlah dengan Amamah. Ia adalah putri saudariku Zainab dan ia juga menyayangi anak-anakku."
Ibnu Syahr Asyub dari Raudhatul Wa`idhin menukil kumpulan wasiat Fatimah as, termasuk wasiatnya kepada Ali as untuk menikah dengan Amamah.32

Pernikahan Imam Ali as dengan Khulah
Khulah binti Jafar bin Qois, ibu Muhammad bin Hanifah. Muhammad mendapat julukan ini dari nama ibunya.33
Ada perselisihan tentang diri Khulah. Sebagian mengatakan dia adalah tawanan orang-orang yang murtad setelah wafatnya Rasul saw dan keluarganya menolak membayar zakat kepada khalifah Abu Bakar. Bani Hanifah mengakui kenabian Musailamah.34 Mereka terbunuh dalam perang melawan Khalid bin Walid. Abu Bakar lalu menyerahkan Khulah kepada Imam Ali as sebagai bagian rampasan perang.
Sebagian lain mengatakan bahwa Khulah adalah salah satu tawanan perang di zaman Rasul saw. Menurut mereka, waktu itu Rasul mengutus Imam Ali as ke Yaman. Bani Rubaid murtad dari Islam dan menyerang Bani Hanifah dan menawan Khulah. Setelah Bani Rubaid kalah dalam perang melawan Rasul, Khulah termasuk dalam bagian ghanimah Ali as. Rasul bersabda kepada Ali as, "Apabila Khulah melahirkan anak lelaki untukmu, berilah ia nama dan panggilanku." Khulah melahirkan Muhammad setelah wafatnya Fatimah as dan Imam Ali as memberinya panggilan Abul Qosim.35 (Pendapat ini didukung oleh Madaini dan masih bisa diperdebatkan).
Allamah Majlisi meriwayatkan sabda Rasul saw kepada Imam Ali as, "Wahai Ali, engkau akan mempunyai anak yang akan kau beri nama dan panggilanku."36
Ibnu Abil Hadid dalam menjelaskan khutbah kesebelas Nahjul Balaghah37 menulis demikian, "Kelompok lain yang pendapat mereka lebih kuat dan terkenal mengatakan bahwa Bani Asad menjarah Bani Hanifah di zaman Abu Bakar dan menawan Khulah binti Jafar. Mereka membawanya ke Madinah dan menjualnya kepada Ali as. Ketika kerabatnya mendengar kabar Khulah, mereka pergi ke Madinah dan menemui Ali as. Seraya menjelaskan kedudukan Khulah dalam Bani Hanifah, mereka meminta kejelasan nasibnya. Pertama, Ali as membebaskannya dan menentukan mahar lalu menikahinya. Dari Khulah, beliau mendapatkan Muhammad dan memberinya panggilan Abul Qosim. (Ahmad bin Yahya Baladzari juga mendukung pendapat ini dalam kitabnya Ansabul Asyraf ).
Muhammad bin Hanifah adalah putra Imam Ali as yang terkenal pemberani dan riwayat hidupnya menarik untuk disimak. Sebuah kalimat dari wasiat Imam Ali as untuk Imam Hasan as menunjukkan kecintaan beliau terhadap Muhammad. Imam Ali as berwasiat kepada Imam Hasan as, "Aku berwasiat kepadamu untuk berlaku baik dengan saudaramu Muhammad. Ia adalah saudaramu dan anak ayahmu dan kau tahu kecintaanku kepadanya..."38
Syaikh Abbas Qummi dalam kitab Safinatun Najah, jiild 2, halaman 464 menukil dari Kharaij Rawandi tentang kisah penawanan Khulah dan pengaduannya di sisi makam Rasul saw. Beliau menulis: Thalhah dan Khalid ingin menikah dengannya, tapi ia menolak niat mereka. Abu Bakar lalu berkata kepada Imam Ali as, "Ambillah ia untukmu, wahai Abul Hasan. Semoga Allah memberkatinnya untukmu." Imam Ali as lalu mengirim Khulah kepada Asma binti Umais (yang diperistri Abu Bakar setelah Jafar At-Thayyar syahid) dan berpesan kepadanya, "Ambillah wanita ini dan muliakanlah ia." Khulah lalu tinggal bersama Asma sampai saudaranya datang dan Imam Ali as menikah dengannya.
Disebutkan bahwa Muhammad bin Hanifah ikut serta dalam memandikan jenazah Imam Hasan bersama Imam Husain dan Abbas.

Pernikahan Ali as dengan Umul Banin
Aqil as saudara Imam Ali as sudah dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu nasab. Dia ahli dalam bidang ini dan namanya sering disebut-sebut.
Karena pengetahuan dan pengalaman Aqil inilah suatu hari Imam Ali as meminta kepadanya untuk dicarikan dan dipilihkan seorang gadis untuknya dari kabilah ternama di Arab supaya dia bisa mendapatkan keturunan yang baik, pemberani dan gagah darinya.
Setelah sekian lama mencari dan menyelidiki di berbagai kabilah dan suku di Arab serta mempelajari akhlak dan kepribadian mereka, Aqil akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Fathimah yang kemudian dikenal dengan Umul Banin. Aqil kemudian menceritakan sifat-sifat yang dimiliki Fathimah (Umul Banin) kepada Imam Ali as. Setelah itu, Imam Ali as meminta Aqil untuk mendatangi keluarga Fathimah (Umul Banin) dan melamar Fathimah untuk dirinya.
Aqil datang untuk melamar Umul Banin. Ia memberitahukan maksud kedatangannya ini kepada Hazam bin Khalid ayah Fathimah. Hazam dengan segenap kejujuran berkata: "Amirul Mu'minin tidak layak menikah dengan wanita desa dan berperadaban rendah. Beliau selayaknya menikah dengan seorang wanita terhormat dan berperadaban tinggi. Kedua budaya ini sangat berbeda satu dengan yang lainnya."
Setelah mendengarkan pendapatnya, Aqil berkata: "Amirul Mu'minin as mengetahui dan menyadari apa yang kau katakan ini. Walau demikian, beliau ingin menikah dengan putrimu dengan apa adanya."
Ayah Umul Banin meminta waktu kepada Aqil untuk membicarakan masalah ini dengan istrinya dan meminta pendapat dari anaknya sendiri. Dia berkata: "Para wanita lebih mengenal watak, keadaan dan kemauan anak-anak gadisnya, dan mereka lebih tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya."
Ketika ayah Umul Banin mendatangi istri dan anak gadisnya, dia melihat istrinya sedang menyisir rambut putrinya, dan Umul Banin menceritakan mimpinya yang tadi malam dia lihat dalam tidurnya kepada ibunya:
"Ibu tadi malam aku bermimpi. Aku duduk di sebuah kebun yang subur dan hijau dan dipenuhi pohon-pohon yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di sana banyak sekali buah-buahan dan bulan serta bintang bergemerlapan. Mereka sangat menarik perhatianku. Di sana aku merenungi keagungan ciptaan dan makhluk Tuhan tentang langit yang menjulang tinggi tanpa tiang, begitu juga tentang terangannya bulan dan bintang dst... Aku tenggelam dalam lamunanku dan tiba-tiba tiba-tiba bulan turun dari langit dan jatuh di pangkuannku. Cahaya memancar darinya dan membuat kagum setiap mata yang melihatnya. Belum hilang rasa kaget dan kagumku, aku melihat ada tiga bintang lain yang bergemerlapan di pangkuanku. Cahaya mereka pun membuatku terpesona. Aku masih dalam keadaan terpana dan keheranan, lalu aku mendengar suara yang misterius dimana dia memanggil namaku. Aku mendengar suaranya tetapi aku tidak melihat orangnya. Dia berkata: "Fathimah, berbahagialah kamu dengan keutamaan dan kesucian serta tiga bintang yang cemerlang. Ayah mereka adalah pemimpin dan pemimpin setiap umat manusia setelah Rasul saww. Setelah itu, aku terbangun dari tidurku dalam keadaan ketakutan. Ibu, apa gerangan takwil mimpiku ini?" Sang ibu berkata kepada putrinya: "Putriku, mimpimu adalah mimpi benar dan nyata. Wahai putriku, tak lama lagi kau akan menikah dengan seorang laki-laki gagah perkasa yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Seorang laki-laki yang ditaati umatnya. Kau akan mendapatkan empat putra darinya. Dimana yang pertama wajahnya bagaikankan bulan yang cemerlang, dan tiga lainnya bagaikan bintang-bintang di langit."
Setelah mendengarkan percakapan ibu dan anak yang penuh keakraban, Hazam bin Khalid masuk ke kamar dan bertanya kepada mereka apakah lamaran Ali bin Abi Thalib mau diterima atau tidak. Dia berkata: "Apakah menurutmu putri kita layak menjadi istri Amirul Mu'minin?"
Istrinya yang hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada Imam berkata: "Wahai Hazam, demi Tuhan aku bersumpah, aku telah mendidik putriku dengan baik. Dan aku memohon kepada Allah SWT supaya dia benar-benar bahagia dan senang, mampu dan cakap dalam mengabdi kepada Amirul Mu'minin Ali as. Karena itu, nikahkan dia dengan Ali bin Abi Thalib, junjunganku."39
Hazam juga memberitahukan berita penting dan membahagiakan ini kepada putrinya Fathimah supaya ia ikut merasakan kebahagiaan yang ia rasakan.
Ketika Fathimah (Umul Banin) mengetahui identitas dan keutamaan orang yang melamar dirinya, dalam keadaan keringat membasahi keningnya karena rasa malu, ia tidak mampu membendung kegembiraannya. Walaupun secara lahir dia diam, tetapi kebahagiaan menyelimuti sekujur tubuhnya. Ya, mengapa dia harus tidak bahagia? Bukankah Ali as manifestasi kesederhanaan dan di kedua tangannya ada kekuatan Islam? Di setiap langkahnya ada ketabahan dan keadilan dan di hatinya terdapat cahaya hidayah Muhammadi. Terjalinnya hubungan yang penuh berkah ini merupakan kebanggaan dan kehormatan bagi dirinya dan keluarganya serta kemuliaan yang tak terbayangkan sebelumnya.
Umul Banin berkata: "Demi Tuhan, aku akan menjadi ibu yang baik dan penuh kasih sayang untuk Hasan as dan Husain as." Karena itu, ia menapakkan kakinya di rumah suci itu dengan hati yang dipenuhi cinta dan pengertian.40
Aqil sebagai wakil dari saudaranya Amirul Mu'minin Ali as membacakan khotbah nikah (akad nikah). Kemudian Fathimah putrid Hazam segera diberangkatkan menuju rumah Amirul Mu'minin Ali as.

Pernikahan Amirul Mu'minin dengan Asma' binti 'Umais
Asma' binti Umais Khats'ami adalah sosok wanita yang cemerlang dalam sejarah Islam. Dia ikut andil dalam banyak peristiwa pada awal-awal kenabian di Mekah, begitu juga dalam peristiwa-peristiwa di Madinah sampai wafatnya Nabi saw. Sedikit keluarga yang lebih berkah dari keluarga ini dari sisi memilih menantu laki dan membela risalah. Dia sendiri adalah istri Ja'far Thayar bin Abu Thalib dan saudari seibunya (Maimunah), istri Rasulullah saww, Umu Fadhil istri Abas bin Abdul Mutholib, dan saudarinya yang lain (Salma binti Umais) istri Hamzah, sayidus syuhada'.
Dengan demikian suami pertamanya adalah Ja'far saudara Amirul Mu'minin Ali as.41 Ibnu Atsir menulis: Ja'far bin Abi Thalib masuk Islam tak lama setelah saudaranya Ali as. Dan diriwayatkan bahwa dia melihat Abu Thalib, Rasulullah saw dan Ali as sedang menunaikan shalat. Ali berdiri di sebelah kanan Nabi saw. Dia berkata kepada Ja'far: "Kau juga jadilah sayap yang lain untuk putra pamanmu dan shalatlah di sebelah kirinya." Dan Ja'far mengamalkan saran saudaranya. Kemudian Ja'far masuk Islam sebelum Rasulullah pergi ke rumah Arqam dan menyebarkan Islam di sana.42
Asma' binti 'Umais dengan beberapa umat Islam lainnya atas perintah Rasul saw berhijrah ke Habasyah di bawah pimpinan suaminya pada tahun ke lima bi'tsat. Suaminya adalah juru bicara Islam di kerajaan Najasi.
Dengan bacaan ayat-ayat suci al Qur'an surat Maryam, ia telah menimbulkan revolusi dalam hati dan jiwa raja Masehi (Kristen ) Habasyah. Dia menangis ketika ayat 24 dan 25 dibacakan:

وَ هُزِّيْ إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا فَكُلِيْ وَ اشْرَبِيْ وَ قَرِّيْ عَيْنًا...

"Dan orang-orang sekitarnyapun dibuatnya menangis dan …….."

Di Habasyah Asma' melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Abdullah bin Ja'far adalah suami Zainab al-Kubra. Dengan demikian, Asma' juga memiliki kebanggaan sebagai ibu mertua dari putri Ali as Zainab. Dan kebanggaan ini menambahi kebanggaan-kebanggaan yang telah dia raih selama ini.
Dia dan suaminya serta para muhajir yang lain kembali ke Madinah pada tahun ke tujuh Hijriah. Yaitu pada hari kemenangan Kaibar di tangan orang-orang perkasa tiada tanding, seperti pahlawan Islam Ali as. Nabi saw menyambut mereka dan mencium kening Ja'far, kemudian bersabda: "Aku tidak tahu mana yang lebih membahagiakanku dari dua kejadian ini kedatangan Ja'far atau kemenangan Khaibar?"43 Wahai masa, seberapa banyak orang-orang mulia keluarga nabi yang kau pisahkan dari Rasul saww, dimana kesedihan karena kehilangan mereka membuat gunung hancur berkeping-keping. Dulu dalam perang Uhud Hamzah dan sekarang di tahun ke delapan Hijriah Ja'far.
Ya, surya cemerlang yang penuh cahaya, saudara Ali, pemimpin perang yang gagah dan ikhlas, suami Asma' yang penuh pengorbanan, dengan berbagai keutamaan serta kemuliaan pada bulan Jumadil Awal tahun delapan Hijriah syahid dalam perang Mu'tah di usia 41 tahun. Rasulullah saw beserta putrinya dan Asma'binti 'Umais mendatangi jenazah Ja'far. Keduanya menangis lalu Rasulullah saww bersabda: "Orang seperti Ja'far layak ditangisi."

Kemudian Nabi saww memerintahkan Fathimah untuk menyediakan makanan dan melayani keluarga Ja'far selama tiga hari. Beliau berkabung atas kepergian Ja'far dan pemimpin perang lainnya yang syahid di Mu'tah. Dan mereka selalu dikenang dengan baik. 44
Jibril dalam rangka meyampaikan ucapan bela sungkawa dari Allah SWT datang kepada Nabi Muhammad saw, dan memberitahukan bahwa Ja'far diberi gelar Thoyar. Asma' dari Ja'far memiliki tiga putra, mereka adalah Abdullah, Muhammad dan 'Aun. Yang dua terahir ini syahid di Karbala (menurut pengakuan Mas'udi dalam Muruju Al-Dzahab).
Setelah kesyahidan Ja'far, Asma' diperistri oleh Abu Bakar dimana darinya ia mendapatkan seorang putra yang diberi nama Muhammad (Muhammad bin Abu Bakar). Sejak masih bayi, ia diberi makan susu yang dipenuhi dengan cinta ahlul bait dan dengannya pula ia dididik. Ia tidak mengenal ayah lain untuk dirinya selain Ali as. Dalam hal ini, Ali juga berkata: "Muhammad adalah putraku dari sulbi Abu Bakar."
Qosim adalah seorang putra Muhammad bin Abu Bakar dan ia seorang alim dan faqih di Hijaz. Dia mempunyai seorang putri yang bernama Umu Farwah, yang kemudian diperistri oleh Imam Baqir as, dan darinya lahirlah Imam Shadiq as.
Muhammad bin Abu Bakar diangkat menjadi gubernur di Mesir dan syahid di tangan Mu'awiah bin Hudaij pada tahun 38 Hijriah. Ia dibunuh dengan sangat menyedihkan (pembunuh Muhammad bin Abu Bakar adalah seorang laki-laki terkutuk dan kotor dan dia selalu menghina Ali as).
Ketika berita kesyahidan Muhammad sampai ke telinga saudarinya Aisyah, ia menangis dan meratapi kesyahidannya. Sejak saat itu, ia selalau melaknat dan mengutuk orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan saudaranya, termasuk Mu'awiah bin Hudaij dalan setiap shalatnya.
Ibrahim Tsaqafi (meninggal tahun 283 Hijriah) dalam kitab al Gharat menulis: Abu Ishaq mengatakan: "Ketika berita kesyahidan Muhammad bin Abu Bakar dan apa-apa yang telah menimpanya sampai kepada ibunya Asma' binti 'Umais, ia menahan dan menelan kesedihannya dan pergi ke mihrabnya (tempat sholat). Dan tiba-tiba darah keluar dari kedua susunya."45
Surat-surat Ali as dalam Nahjul Balaghah dan surat-surat ucapan bela sungkawanya setelah kesyahidan Muhammad adalah pertanda kecintaan Imam yang teramat dalam kepadanya. Abdullah bin Abas dari Bashrah datang kepada Ali as dan mengucapkan belasungkawa atas kesyahidan Muhammad bin Abu Bakar kepadanya.
Dia berkata: "Anda sangat menyesalkan dan sedih dengan meninggalnya Muhammad bin Abu Bakar?" Imam menjawab: "Betapa aku tidak bersedih, sedangkan dia adalah didikanku. Dia adalah saudara anak-anakku dan aku adalah ayahnya dan dia sudah kuanggap sebagai anakku." (Sumber yang sama, hal. 109).
Abu Bakar meninggal tahun tiga belas Hijriah pada malam selasa bulan Jumadil Akhir dalam usia 63 tahun. Beliau lahir tiga tahun setelah tahun gajah dan menjadi khalifah setelah Nabi saw selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari.
Abu Bakar memiliki tiga putra dan dua putri; mereka ialah: Abdullah, Abdurrahman, Muhammad, Asma' Dzatu al Nuthaqin, ibunya Abdullah bin Zubair, umurnya mencapai seratus tahun dan ia buta di akhir hayatnya.
Setelah Abu Bakar meninggal, Amirul Mu'minin Ali as menikah dengan Asma' binti 'Umais, dan darinya lahirlah Yahya. Ia tercatat dalam penutup setiap kitab yang menulis tentang nasab keluarga Abu Thalib.
Asma' binti 'Umais tidak pernah lalai dan lupa untuk menghibur anak-anak Ali as setelah kepergian Fathimah. Dia sadar bahwa ia sudah memasuki keluarga Ali as. Dia adalah istri yang baik bagi Imam dan ibu yang penuh kasih sayang untuk anak-anak Fathimah sa . Keberadaan Asma' sebelum menikah dengan Ali as di sisi Fathimah yang sedang sakit, mendengarkan keluhan-keluhan hati dan wasiat-wasiatnya adalah pertanda kedudukannya yang tinggi dalam keluarga Nabi saw dan para imam as. Sampai Amirul Mu'minin syahid, Asma' masih hidup.

Layla binti Ma'ud Darmiah
Dia adalah tawanan Muslimin dari bumi Armanistan. Dia dinikahi Imam Ali as setelah ia bebas. Dari perkawinan ini, Layla melahirkah Muhammad Ashghar dan Abdullah Makki yang kemudian dikenal dengan Abu Bakar dimana keduanya syahid di Karbala. Para perawi tidak menyebut nama Abu Bakar dalam urutan Syuhada' Karbala. Sementara Abul Faraj dan yang lainnya yang menukil dari Imam Baqir as mengatakan: "Dia adalah seorang laki-laki dari kabilah Hamadan dan Muhammad Ashghar seorang laki-laki dari kabilah Bani Abban Tamimi. Keduanya syahid di Karbala."

Umu Sa'id putri 'Urwah
Umu Sa'id putri 'Urwah bin Tsaqafi adalah seorang wanita terhormat dari kabilah besar bernama Tsaqafi. Ia adalah pencinta ahlul bait. Darinya lahirlah Ummul Hasan dan Ramlah. Dikatakan dia adalah bibi (dari ayah) Layla binti Abi Marrah, istri Syayidus Syuhada, ibu dari Ali akbar as. Sementara Ibnu Syahr Asyub mengatakan: "Ibu Umul Hasan dan Ramlah adalah Ummu Syu'aib Mahzumiah." Dan dia menulis bahwa anak Ummu Sa'id tiga orang, mereka adalah: Nafisah, Zainab Shughra dan Ruqayah. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan: "Ibu Ruqayah Shughra adalah Ummu Habib, yang menikah dengan Muslim bin Aqil. Syeh Mufid dalam Irsyad menulis: Umul Hasan dan Ramlah adalah dari Umu Sa'id, putri 'Urwah.

Mihyah putri Umrul Qais
Ayahnya bernama Umrul Qais. Setelah mengenal Imam Ali as, dia berkata: "Kami menginginkan terjalin hubungan keluarga di antara kita. Dan saya sangat ingin menikahkan putri saya Mahya dengan Anda." Dan Imam untuk menarik dan menambah rasa cintanya kepada kelurganya, menerima tawarannya. Darinya Imam dikarunia seorang putri yang meninggal ketika masih kecil. (Almarhum 'Imad Zadeh, sumber yang sama, 391).
Ini adalah Amr al Qais bin 'Adi al Kalbiah, bukan Umrul Qais bin 'Abis seorang penyair Arab terkenal yang dikecam Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah bagian hikmah no 464. Dalam kitab Maqotil, Abul Faraj, Ansabul Asyraf Baladzri dan kitab-kitab lainnya menyebutkan bahwa Rubab, istri Imam Husain as juga putri Umrul Qais bin 'Adi. Dan putrinya yang lain ia nikahkan dengan Imam Hasan as. Jadi, bapak ini mempunyai kehormatan sebagai ayah mertua imam Ali as dan kedua putranya.
Di bawah ini adalah nukilan kata-kata yang dinukil persis dari perkataan Baladzri setelah kisah singkat diterimanya Islam sebagai agamanya dan perkenalannya dengan Imam Ali as:
"Dan Imam Ali as. berkata: 'Wahai paman, saya adalah Ali bin Abi Thalib anak dari paman Nabi saw. Dan kedua anak ini adalah anak saya al-Hasan dan al-Husain. Ibu keduanya adalah Fathimah binti Rasulullah saw. Saya beserta kedua anak saya ini ingin menjadi keluarga paman. Oleh karena itu, maka nikahkanlah saya dengan putri paman."
Umrul Qais berkata: "Baiklah, dengan penuh kesenangan dan kemuliaan, aku nikahkan engkau wahai Aba al-Hasan dengan Muhayya binti Umrul Qais, sementara Hasan dengan Zainab binti Umrul Qais, dan Husain dengan Rubab binti Umrul Qais."46

Shahba' Taghlabiah
Shahba' Taghlabiah dikenal dengan sebutan Ummu Habib bin Bujair al Taghla (Ansabul Asyraf 413/2). Dia berasal dari Yamamah, dan menjadi tawanan kaum Muslim di daerah ('Ainul Tamar). Amirul Mu'minin membelinya seharga empat puluh Dinar dan setelah itu menikahinya. Dia adalah seorang wanita yang fasih lagi santun dalam bahasa dan setia.
Almarhum Qomi dalam kitab Muntahal Amal ketika menyebutkan anak-anak Amirul Mu'minin dan anak-anak Umar Athraf putra Shahba' mengatakan: "Umar al Athraf, panggilannya adalah Abul Qasim. Karena dia memiliki kemuliaan dan kebangsawanan dari satu pihak, maka dia dipanggil Athraf. Sedangkang Umar bin Ali bin Husain karena memiliki kebangsawanan dan kemuliaan dari dua belah pihak, maka ia dipanggil Umar Asyraf. Ibunya adalah Shahba' Tsa'labiah. Dan dia adalah Ummu Habib binti 'Ibad bin Rabiah bin Yahya dari Sabbi Yamamah. Menurut salah seorang sabbi bernama Kholid bin Walid, ia dibeli Amirul Mu'minin dari daerah Ainul Tamar. Dia melahirkan dua anak kembar yang diberi nama Umar dan Ruqayah. Dia adalah anak terahir (bungsu) Amirul Mu'minin as. Dia adalah ahli sastra dan retorika, fasih, dermawan dan sederhana. Dan Umar Athraf meninggal pada usia tujuh puluh lima atau tujuh puluh tujuh tahun. Dia meninggalkan banyak anak yang berakhir pada Muhammad bin Umar dari empat anak laki-laki: Abdullah, Ubaidullah dan Umar. Ibu dari ketiga anak ini adalah Khadijah, putri Imam Zainal Abidin. Dan Ja'far ibunya adalah Ummu Walad.....
Menurut almarhum Muqarram, Abbas Asghar adalah salah seorang putra Ali as dari Shahba' yang pada malam Asyura pergi ke tepi sungai Furat untuk mengambil air dan syahid.(al Abbas/52).
Baladzuri dan penulis lainnya mengatakan bahwa Ruqayah dipersunting Muslim bin Aqil (و رقية امها الصهباء تزوجها مسلم بن عقيل بن ابي طالب عليه السلام).47 Perlu saya ingatkan bahwa mereka juga menulis (Shahba' Tsa'labiah).

Seorang laki-laki bertanya kepada imam Hasan as: "Menurut anda, putriku harus saya nikahkan dengan siapa?"

Imam Hasan menjawab: "Nikahkan dia dengan seorang laki-laki yang bertakwa kepada Allah SWT, sehingga kalau ia mencintainya dia akan menghormatinya dan kalau dia membencinya, dia tidak akan menindasnya."



KISAH PERNIKAHAN IMAM HASAN MUJTABA as
Dengan alasan sebagaimana alasan kakeknya Rasulullah saw dan ayahandanya yang mulia Amirul Mu'minin as, beliau juga menikah dengan beberapa wanita yang kalau dilihat dari posisinya pada masa itu sangat bisa dimaklumi.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan masa Nabi saw dan Imam Ali as dengan masa Imam Hasan Mujtaba as, dimana masa ini merupakan masa propaganda anti Ali dan putra-putra Ali as Setelah tiga peperangan besar yang berbahaya, mereka memulai perang psikologis dan perang melawan budaya ahlul bait.
Selama mereka mampu di masa Amirul Mu'minin, mereka senantiasa melakukan kekacauan. Mereka senantiasa menyebarkan isu dan fitnah. Mereka mendirikan pabrik pembuat hadis palsu, pamflet-pamflet mereka keluarkan dan mereka sebarkan di antara orang-orang kepercayaannya yang berada di daerah-daerah di bawah kekuasaan mereka supaya mereka dapat menindas dan mempersulit para pecinta Ali as. Siasat dan politik kotor ini tidak berhenti setelah kesyahidan Ali as, bahkan ini tetap terjadi pada masa hidup dan setelah kesyahidannya. Akibatnya, Imam Hasan harus mengalami cobaan berat berikut ini:
1- Disibukkah dengan perang paksaan.
2- Usulan damai paksaan.
3- Pengikisan musuh dari dalam dan luar, sampai-sampai istrinya meracuni Imam.
4- Hujan panah pada jenazah Imam as

Dan mulai abad kedua dan ketiga permusuhan yang terjadi berupa:
1- Perdamaian Imam Hasan as dengan Bani Umayyah.
2- Berita-berita tentang banyaknya pernikahan Imam Hasan as (yang jelas tidak bisa dibenarkan).
Lalu apa tugas kita?
1- Lebih mengenali maqam kepemimpinan.
2- Lebih mengenali musuh-musuh para imam dan ahlul bait dan menganalisa secara luas taktik dan siasat musuh-musuh mereka.
3- Mengemukakan surat-surat perjanjian zaman Nabi saw dan menyimak secara saksama peristiwa-peristiwa arbitrasi dan dasar-dasar perdamaian Imam Hasan as serta isi perdamaian tersebut.
4- Membahas diamnya Imam Husain as dalam sepuluh tahun di masa hidup Mu'awiah setelah kesyahidan Imam Hasan Mujtaba as sampai pada tahun 60 Hijriah (peristiwa Karbala).
5- Mempelajari sejarah secara obyektif dan komprehensif. Mempelajari budaya nikah dalam dua masa tersebut: yaitu masa Nabi saw dan Imam Ali as dengan masa Imam Hasan as
6- Menyimak istri-istri Imam dan alasan perkawinan mereka serta anak-anak yang lahir dari para wanita yang terhitung sebagai istri Imam as.
7- Menyimak kehidupan akhir anak-anak Imam Hasan Mujtaba as yang dengan gerakan revolusionernya telah mempersulit pemerintahan Abbasi. Dan kebanyakan kehidupan putra-putra Imam berakhir dalam kesyahidan.
8- Dan yang terakhir, mempelajari dan menyimak sejarah keilmuan dan amalan serta akhlak Imam Mujtaba as (akhlak pribadi dan sosial serta politik Imam as).
Penulis-dengan berpegang teguh kepada kepemimpinan Ali dan ahlul bait- mengenai masalah penting ini telah menulis secara terpisah dalam kitab yang berjudul (Imam Hasan phayambar-e shulh-Imam Hasan utusan perdamaian). Terbit pada bulan Ramadhan tahun 1422 Hijriah/1380 Hijriah Syamsiah. Dalam makalah itu secara singkat kami menyinggung kewajiban penting di atas. Dan dalam buku ini, juga dengan tujuan yang sama yaitu menolak fitnah tentang nikah poligami Imam dengan tanpa dalil. Kisah perkawinan Imam Hasan as dan penjelasan ringkas tentang keadaan putra-putranya kami persembahkan kepada para pembaca dan pencari kebenaran yang budiman, sehingga mampu menilai dengan seadil-adilnya (bukan hanya karena punya-tidaknya rasa hormat dan cinta terhadap keluarga agung dan suci ini).
Yang sangat menarik di sini adalah pada masa Mu'awiah, dimana ia adalah masa pembunuhan Ali dan keluarga Ali as, tak satu pun tersiar berita atau hadis-hadis dan cerita-cerita tentang masalah ini.
Para penganalisa kontemporer meyakini bahwa semua tuduhan ini (nikah poligami tanpa dalil) bersumber dari tiga orang:
1-Muhammad bin Ali bin 'Athoyyah Abu Thalib Makki, penulis kitab Quatul Qulub (meninggal tahun 380 Hijriah).
2- Abul Hasan Ali bin Muhammad Madaini (meninggal tahun 225 Hijriah).
3- Manshur Dawaniqi.
Ibnu Syahr Asyub menukil dari kitab Qutul Qulub48: Sebanyak 250 sampai 300 wanita dicerai. Dalam kitab ini banyak terdapat hadis-hadis tak berdasar. Banyak orang besar telah men-dhoif-kan dan melemahkannya, di antaranya:
1-Ibnu Katsir dalam al Bidayah, jilid 11, hal. 319.
2-Ibnu Hajar dalam Lisanul Mizan, jilid 5, hal. 200.
3-Ibnu Jauzi dalam al Muntadzam, jilid 7, hal. 190.
4-Ibnu Atsir, dalam Libabul Insab, jilid 3, hal. 174.
5-Dan Muhaddits Qommi dalam al Kauni wa al Alqab.

Ustadz Muhammad Baqir Syarif Qursyi dalam kitab Hayatul Imam al Hasan as jilid 2, hal. 456, mengatakan: "Abu Thalib Makki seorang laki-laki yang memiliki kelainan jiwa dan mengidap penyakit amnesia. Suatu hari ia naik ke atas mimbar dan menyampaikan masalah dengan mengacau. Dalam ocehannya dia mengatakan:
"Tak ada yang lebih merugikan makhluk kecuali Khaliq."
Kebanyakan ulama' mengatakan:
"Sesungguhnya ia memuat hadis yang tidak memiliki sumber dalam bukunya Qutu al-Qulub."
Penulis kitab "Dar maktab-e karim-e ahli bait", DR Ali Qoimi mengadakan penyelidikan menarik tentang masalah ini. Tetapi Madaini yang dinukil oleh Abi Abil Hadid dalam syarah 31 Nahjul Balaghah mengatakan: "Aku telah menghitung istri-istri Hasan bin Ali. Mereka berjumlah tujuh puluh orang." (Madaini sendiri hanya menyebutkan sebelas orang dengan jumlah anak-anak yang bisa dihitung).
Menurut sebuah riwayat, Madaini tergolong dhuafa' (orang fakir dan miskin). Dengan alasan ini, Muslim dalam Shahih-nya tidak menukil hadis darinya (Mizanul I'tidal, jilid 3, hal. 138).
Dia membuat hadis untuk menyanjung dan memuji Bani Umayah.
Almarhum Muqarram dalam kitab Hadhrat-e Sukainah dengan tema Durugh pardozon (orang-orang pembohong) mengecam Madaini. Akan tetapi Manshur Dawaniki, dia adalah khalifah kedua Abbasi yang karena geram menghadapi pemberontakan-pemberontakan putra-putra dan cucu-cucu Imam Hasan as, mengarang hadis-hadis bohong menentang keluarga ini.
Mas'udi dalam Muruju al-Dzahab menulis: "Setelah ia menangkap Abdullah bin al Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, ia berpidato dimana dalam pidatonya ia mengecam Ali dan anak-anaknya. Dan ketika sampai ke Imam Hasan Mujtaba as, ia berkata:
"Dia (setelah perdamaian dan menyerahkan pemerintahan kepada Bani Umayyah) suka mengawini wanita lalu mencerainya setelah sehari. Begitu seterusnya sampai ia mati di atas pembaringannya."49
Dalam Ushul Kafi, mengenai dua riwayat di atas yaitu perceraian Imam Hasan yang banyak, salah seorang perawinya adalah Yahya bin 'Ulak. Dia adalah Qadhi (mufti) Manshur Dawaniqi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama' Rijal terjemahan Ja'far bin Yahya. Dan yang lainnya bernama Abdullah bin Sanan. Dia adalah penjaga harta dan qodhi Manshur, Mahdi, Hadi dan Rasyid. Oleh karena itu, dalam masalah ini kata-kata mereka tidak bisa dipercaya, walaupun perkataannya dinisbatkan kepada Imam Shadiq as. Dan mungkin saja ia berbicara demikian dalam rangka berpura-pura supaya bisa selalu berada bersama Manshur. Abu Ja'far mengganti nama Manshur dengan Ja'far bin Muhammad dan kemudian diubah dengan Abi Abdillah. (Dalam catatan kaki Maqotil Abu al Faraj-seorang muhaqqiq berpengalaman, Ali Akbar Ghifari).
Selain dari tiga orang yang telah kami sebutkan di atas, orang keempatnya bernama "Syablanji", dari ulama awal abad keempat belas. Dalam kitab Nurul Abshor, ia mengatakan: "al-Mujtaba memiliki sembilan puluh wanita (istri) yang dicerai." Berhubung kata-katanya tak memiliki sanad, maka tidak bisa diteliti lebih lanjut.
Pemahaman kami adalah bahwa Manshur Dawaniki dan para pembuat hadis berpengalaman menjalankan siasat kotor dengan tidak memperhatikan maqam dan posisi Imam adalah semata-mata untuk mencemarkan dan menodai keluarga suci Nabi saw.

Pernikahan Imam Hasan as dengan Kholah Fazariah
Kholah putri Mandzur Fazariah, di kalangan para wanita dikenal dengan akal dan kesempurnaannya. Sebelum menikah dengan Imam Hasan as, ia diperistri Muhammad bin Thalhah, yang terbunuh dalam perang Jamal, dan ia mendapatkan tiga putra darinya. Setelah beberapa lama, banyak laki-laki datang melamarnya. Tetapi ia sendiri menampakkan keinginannya untuk menikah dengan cucu terbesar Rasulullah saw. Oleh karena itu, ia menyerahkan urusannya kepada Imam Hasan as. Dan Imam Hasan as menikahinya. Dari perkawinan ini lahirlah Hasan bin Hasan (Hasan Mutsanna). Sampai akhir hayat Imam Hasan as, kebanggaan ini (kebanggaan menjadi istri Imam) tetap dimilikinya. Dan pada saat Imam syahid, ia begitu sedih dan berduka meratapi kepergian suami tercintanya. Dalam ucapan bela sungkawa dan untuk menghibur putrinya, ayahnya membacakan dua bait syair ini:

Kudengar jeritan Kholah kemarin
Karna ribuan bencana telah menimpa

Jangan mengeluh dan bersabarlah wahai Kholah
Karena kemuliaan dibangun di atas kesabaran.

Penjelasan keadaan putranya, al marhum Muhaddits Qommi menyebutkan secara terperinci dalam "Muntahal Amal." Penjelasan keadaan Kholah dan kisah pernikahannya dengan Imam Hasan as terdapat dalam Durrul Mantsur, halaman 187 dan 'Umdatu at Thullab, halaman 73. Dan untuk lebih jelasnya silahkan Anda merujuk kepada kitab "Hayatu al Imam al Hasan, Qarasyi, halaman 666).

Aisyah Khats'amiah
Aisyah adalah salah seorang wanita yang menikah dengan Imam Hasan as di masa hidup ayahnya, Amirul Mu'mini Ali as. Dan ketika Imam Ali as syahid, dengan wajah riang gembira ia mendatangi Imam Hasan as dan berkata: "Kekhalifahan tidak akan menjadi milikmu."
Imam as marah karena perkataan yang menandakan kejelekan hatinya ini dan berkata: "Atas kematian Ali as kau menampakkan keceriaan? Pergilah, kau telah kucerai."
Aisyah pergi dan tinggal di rumah sampai masa `iddah-nya habis, dan Imam membayar sisa mahar (maskawinnya) serta memberikan uang sebanyak sepuluh ribu Dirham untuk biaya hidupnya. Ketika pandangannya tertuju pada Aisyah, Imam berkata: "Sedikit keuntungan berpisah dari teman."
Dan sejarah perceraian Imam Hasan tidak disebut kecuali perceraian ini dan perceraian Ummu Kultsum putri Fadhl bin Abbas serta seorang wanita dari kabilah Bani Syaiban. Lalu dimana para wanita yang telah dicerai itu yang oleh para pendusta telah dinisbatkan dan dituduhkan kepada Imam Hasan as?!

Ju'dah putri Asy 'ats bin Qais
Mengenai nama wanita ini, di kalangan perawi ada perbedaan. Ada yang mengatakan ia bernama Sukainah, ada yang mengatakan Sya'tsak, dan Aisyah. Tetapi yang paling benar adalah Ju'dah. Dan sebab pernikahan ini adalah:
Suatu hari Amirul mukminin Ali as melamar putri Sa'id bin bin Qais Hamadani yang bernama Ummu Imran untuk putranya Hasan as. Sa'id berkata: "Berilah saya waktu karena dalam hal ini saya harus bermusyawarah dahulu." Kemudian dia pergi meninggalkan Imam Ali as. Dalam perjalanan, dia berjumpa dengan Asy'ats, kemudian ia menceritakan peristiwa yang ia alami kepadanya.
Laki-laki munafik itu dengan liciknya berkata kepada Sa'id: "Bagaimana kamu akan memberikan putrimu kepada Hasan yang akan selalu membangakan dirinya atas putrimu. Dan tidak akan pernah berbuat adil kepadanya dan ia akan diperlakukan dengan buruk. Dan akan selalu mengatakan: "Aku adalah putra Rasulullah saw dan Amirul Mu'minin as, sedangkan dia (putrimu) tidak memiliki kemuliaan dan keutamaan apa-apa. Karena itu, lebih baik kau berikan putrimu itu kepada putra pamannya. Mereka sesuai dan cocok satu sama lain."
1- "Anak pamannya yang mana?"
2- "Muhammad putra Asy 'ats"
Laki-laki malang itu tertipu, lalu berkata: "Putriku telah kuberikan kepada putramu." Asy 'at segera mendatangi Amirul Mu'minin dan berkata:
3- "Anda melamar putri Sa'id untuk putramu Hasan as?"
4- "Ya."
5- "Apakah Anda tidak menginginkan seorang gadis yang lebih utama dan dari keluarga yang lebih besar, lebih cantik serta lebih kaya?"
6- "Siapa gadis itu?"
7- "Ju'dah putri Asy 'ats."
8- "Dalam masalah ini, kami sudah berbicara dengan orang lain."
9- "Dalam pembicaraan itu tidak ada jalan bagi Anda."
10- "Dia sedang pergi untuk bermusyawarah dengan ibunya."
11- "Dia telah memberikan putrinya kepada Muhammad bin Asy 'ats."
12- "Kapan ia melakukan hal ini?"
13- "Sebelum saya datang kemari."
Amirul Mu'minin menyetujui usulnya. Ketika Sa'id menyadari bahwa ia telah tertipu oleh Asy 'at, ia segera mendatanginya dan berkata: "Wahai Asy 'ats, kau telah berbuat licik kepadaku." Asy'ats berkata: "Orang buta yang dengki, kamulah yang ingin bermusyawarah tentang putra Rasul saw. Apakah kamu tidak bodoh?"
Asy'ats segera mendatangi Hasan as dan berkata: "Apakah Anda tidak ingin menjumpai istri Anda? Dia khawatir akan kehilangan kesempatan." Lalu dia menghampari jalan yang menghubungkan rumah Hasan as dengan rumahnya dengan permadani dan menikahkan putrinya dengan Imam as.50 Demikianlah Ju'dah memasuki rumah Imam Hasan as.
Seandainya wanita ini tidak menginjakkan kakinya ke rumah Imam, maka ia tidak akan semenderita kakeknya Rasul saw. Putra Nabi ini dibuat tak berdaya oleh Ju'dah, putri Asy'ats dengan kelicikan Muawiah dan racun oleh-oleh raja Rumawi. Ju'dah tidak mendapatkan keturunan dari Imam Hasan as.51
Dikatakan bahwa sepeninggal Imam Hasan as, Ju'dah menikah lagi dan mendapatkan keturunan dimana dalam setiap pertengkaran anak-anak, mereka mengejek anak-anak Ju'dah dengan ejekan: "Wahai anak wanita yang telah meracun suaminya."
Keluarga Asy'ats adalah keluarga yang pandai memanfaatkan kesempatan, yang dengan perilaku mereka yang tak terpuji mereka telah menulis sejarah hitam untuk diri mereka sendiri. Imam Shadiq as berkata: "Asy'ats punya andil dalam pembunuhan Amirul Mu'mini as. Putrinya meracun Imam Hasan as dan Muhammad putranya terlibat dalam penumpahan darah Imam Husain as." (A'yanu as Syi 'ah, 4/78).
Perlu diperhatikan bahwa sebagaimana Muntahal Ummal dalam Syarah Hal-e Aulad-e Imam Hasan as (penjelasan keadaan putra-putra Imam Hasan as), kami sebutkan dari sumber-sumber yang terbaik. Sampai saat ini-hari Rabu pagi sebelum terbit matahari, tanggal 16 Dzulqa'dah tahun 1422 Hijriah-di depan penulis ada beberapa karya tulis yang berhubungan dengan kehidupan Imam Hasan Mujtaba as, yang dari sisi analisis sangat berdasar dan bisa diperhitungkan, seperti kitab-kitab:
1- Shulh-e Imam Hasan as, karya Syekh Radhi Aali Yasin-terjemahan Ayatullah
Khamenei.
2- Hayatu al Imamu al Hasan as, karya Muhammad Baqir Syekh Muhammad Baqir
Syarif Qursyi.
3- Dar Maktab-e Karim-e Ahli Bait-e Imam Hasan as, karya Dr Ali Qoimi.
4- Zindegi-e Tahlili-e Phisywoyon-e mo, karya Adil Adib.52 Ini semua tergolong
yang terbaik.
Harapan kami, semoga para pembaca mengetahui dengan baik sisi kehidupan Imam yang tertindas ini dengan pengetahuan yang lebih benar dan serius, sehingga debu penghinaan dan fitnah yang tak berdasar terangkat dari seluruh kehidupan cahaya suci putra Zahra ini.
Apakah lidah teman tidak lebih tajam dari tombak musuh? Walaupun dia sendiri berkata kepada saudaranya Husain as:
"Tidak ada hari ( penderitaan ) seperti harimu wahai Aba Abdillah."53
Walaupun tulisan ini keluar dari tugas dan kewajiban buku ini, akan tetapi ketika langkah pena sudah sampai di sini, seakan-akan kertas putih yang tanpa hiasan ini dengan penuh rendah diri memanggil-manggil saya seraya berkata: "Tulislah, tulislah! Mungkin seorang di antara teman-teman Imam ada yang tidak mampu menjangkau kitap-kitab yang lengkap dan terperinci itu."
Satu contoh saja sudah cukup, supaya kalian tahu bahwa para penulis tak berharga seperti Lamans, Filip dan bahkan Ahmad Abbas Shaleh serta orang-orang yang sepaham dan seakidah dengan mereka telah melakukan apa saja untuk merusak keluarga suci ini. Tulisan mereka itu dipersembahkan kepada masyarakat Islam sebagai karya tulis dan tanda keintelektualan mereka.
Ahmad bin Abbas Shaleh dalam buku berjudul "Chaph wa Rast dar Islam", halaman 142 mengatakan: "Yang sangat menakjubkan di sini adalah pendirian yang kokoh dan keteguhan hati yang sangat diharapkan dalam menghadapi Muawiah tidak dimiliki oleh Imam Hasan as. Husain sangat berbeda dengan Hasan. Dalam dirinya banyak terdapat kekhususan-kekhususan yang dimiliki sang ayah. Husain tidak setuju dengan apa yang telah dilakukan saudaranya. Ia berdebat dengannya dan sangat berpegang teguh pada pendapat dan akidahnya."
Dalam kitabnya yang bejudul "Nihdhatha-e zir Zamini dar Islam" (kebangkitan bawah tanah dalam Islam) ia mengatakan: "Setelah meninggalnya Ali as, orang-orang Syi'ah bekumpul mengelilingi Hasan as, tetapi dia memilih ketenangan. Dengan kerelaah hati, ia tidak merebut apa yang telah menjadi haknya, supaya tidak terjadi fitnah. Setelah meninggalnya Hasan, Husain yang menginginkan kekhalifahan dan mengingkari kekhalifahan sebagai warisan Bani Umayah menjadi perhatian mereka."54

Berkata Imam Husain as:

اتقوا هذه الأهواء التي جماعها الضلالة و ميعادها النار

"Takutlah kepada hawa-hawa nafsu yang hasilnya adalah kesesatan dan akibatnya
adalah api neraka."
(Ihqaqu al Haq, jilid 11, hal. 591)

6
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

KISAH PERNIKAHAN IMAM HUSAIN as
Menurut kesepakatan para perawi, Imam Husain tidak menikah dengan lebih dari lima orang wanita. Menurut Syekh Mufid, enam orang anak telah lahir dari para wanita ini (pendapat lain juga menulis tentang jumlah anak-anak Imam as).

Nama istri-istri Sayyidu Syuhada adalah:

1. Syahr Banu putri Yazdgard, raja Iran
Syahr Banu putri Yazdgard-raja terahir kerajaan Syasyani-menjadi tawanan Muslimin setelah penaklukan kota-kota di Iran. Kemudian dari Iran, ia dibawa ke Madinah untuk bermukim dalam pemerintahan Islam. Ia bebas di bawah perlindungan Amirul Mu'minin Ali as, dan kemudian diperistri oleh Husain bin Ali as, yang kemudian mendapat kebanggaan menjadi ibu Imam Sajjad as, dan sembilan Imam maksum berasal dari keturunannya.
Ali as berkata kepada Husain as: "Jagalah istrimu-Syahr Banu-dengan baik dan perlakukan dia dengan baik pula. Karena dia akan melahirkan dan memberimu seorang anak yang paling baik di muka bumi ini."
Ayahnya adalah Raja terahir kerajaan Syasyani yang runtuh setelah kemenangan Islam.55 Silakan pelajari buku Allamah Askari dalam jilid satu "Naqsy-e Aimmah dar Ihyak-e din" (Peranan para Imam dalam Menghidupkan Agama) halaman 452 karena buki ini sangat menarik untuk dibaca.
Banyak nama yang diberikan kepada ibu Imam Sajjad, tetapi yang paling terkenal adalah Syahr Banu. Tentang sejarah kapan Syahr Banu dibawa dari Iran ke Madinan dan menjadi Istri Imam Husain as, ada tiga pendapat:
1. Sebagian sumber menyebutkan bahwa tertawannya Syahr Banu dan kepindahannya ke
Madinah terjadi pada masa kekhalifahan Umar.56
2. Ada yang mengatakan pada masa kekhalifahan Utsman.57
3. Dan sebagian lainnya meyakini terjadi pada masa kekhalifahan Amirul Mu'minin Ali
as.58

Dalil yang melemahkan pendapat pertama
1- Yazdgard tidak terbunuh setelah jatuhnya Madain. Melainkan setelah masa itu, ia masih meneruskan masa pemerintahannya selama bertahun-tahun. Pertama, ia melarikan diri ke Halawan, kemudian ke Qom, Kasyan, Esfahan, Kerman dan Maru. Dan dalam masa itu, keluarga dan sanak kerabatnya menyertainya.
Mengingat bahwa kemenangan daerah utara dan timur Iran bukan di bawah tanggung jawab khalifah kedua, maka putra-putranyapun menjadi tawanan bukan pada masa kekhalifahan Umar, melainkan peristiwa tersebut terjadi pada akhir-akhir kekhalifahan Utsman atau awal-awal masa kekhalifahan Ali as.
2- Khalifah kedua meninggal pada tahun 23 Hijriah,59 sedangkan hari kelahiran Imam Sajjad sebagai putra pertama dan yang terahir bagi Syahr Banu pada tahun 36-38, maka sangat jauh kemungkinannya dalam waktu lima belas tahun Syahr Banu menjadi istri Husain bin Ali as dan tidak punya anak.
Hal itu menunjukkan bahwa pendapat yang benar harus dicari dalam kemungkinan kedua.60
Para penulis kontemporer yang menyelidiki secara luas dan terperinci tentang ibu Imam Sajjad as, seperti Dr Sayid Ja'far Syahidi dalam kitab "Zindegoni-e Ali bin Husain as" memuat semua cerita yang berhubungan dengan Syahr Banu. Dan dengan berpegang kepada banyak sumber, ia menyangkal dan menyimak banyak pendapat dan riwayat. Dan pada akhirnya ia mengatakan: "Sebaiknya saya tidak memperpanjang pembahasan sampai seperti ini, tetapi saya tidak bisa menerima apa yang telah ditulis oleh para pendahulu tanpa pembuktian dan penyelidikan....Anggapan yang mengatakan bahwa kisah Syahr Banu tidak berdasar adalah sama sekali tidak benar. Lalu siapakah ibu Imam Ali bin Husain as? Dan karena tidak ada orang lain selain Syahr Banu, maka sebutan tersebut sudah cukup sebagai sanad dan dalil. Pendapat semacam ini tidak memiliki nilai keilmuan.
Terlepas dari kesimpulan-kesimpulan sejarah ini, kami masih punya sanad dan sumber yang mengatakan bahwa sampai permulaan abad kedua Hijriah, Syahr Banu atau tuan putri dari Iran belum ada dalam keluarga Bani Hasyim."
Almarhum 'Imad Zadeh Ishfahani menulis: "Sayid Ja'far Syahidi dalam kitabnya- karena ia tidak bisa mendapatkan dan memecahkan masalah sampai ke akar-akarnya dan sedalam-dalamnya dan menjabarkan perbedaan sejarah dengan baik, maka ia mengingkarinya, sedangkan hal tersebut merupakan bukti sejarah dan tidak bisa diingkari."61
Hakikatnya adalah menurut sejarah, permulaan dan akhir cerita Syah Banu sepertinya tidak ada. Mungkin para penulis cerita yang berikutnya telah membumbuhi peristiwa-peristiwa semacam ini dengan hiasan-hiasan dongeng, sehingga menyebabkan para ahli sejarah kebingungan dan mereka mempercayai perkiraan dan kemungkinan-kemungkinan. Dan kejadian ini dibawakan dan ditulis dalam kitab-kitab dengan manis dan panjang lebar.
Syekh Shaduq adalah salah seorang yang dibanggakan oleh masyarakat Iran dimana ia adalah salah seorang penulis terpercaya dan ternama. Karya-karyanya begitu mu'tabar bagi para ulama Islam selama ribuan tahun. Dalam kitab 'Uyunu Akhbar al Ridha, ia mengatakan: "Syahr Banu adalah ibu Imam Zainal Abidin as dan ia meninggal dalam keadaan nifas."
Ulama' Syi'ah mengakui dan menguatkan riwayat ini sebagai riwayat yang bisa dipercaya. Dimana Syahr Banu meninggal dunia setelah melahirkan Imam Sajad dan dalam keadaan nifas.
Yang menjadi kesalahan di sini adalah, Ibnu Syahr Asyub seorang ahli sejarah dan ahli hadis yang tinggi kedudukannya dalam Manaqib mengatakan: "Syahr Banu ada bersama Imam Husain di Karbala dan ia menjatuhkan dirinya ke dalam sungai Furat."62
Di zaman kita ini para penulis mengatakan: "Pada tahun enam puluh Hijriah Syahr Banu diutus ke Iran oleh Imam Husain as untuk membentuk sebuah pasukan dan menjatuhkan pemerintahan Mu'awiah. Cerita ini diangkat dari majalah-majalah humor oleh kitab dan majalah-majalah keilmuan, dan tak lama lagi ia akan menjadi salah satu sumber bagi para peneliti dan penyelidik."63
Mungkin pandangan Dr Syahidi ini ditujukan kepada sebuah tulisan seperti "Kisah Syahr Banu" karya Rahim Zodeh, yang di akhir ceritanya ia memperkenalkan seorang Syahr Banu yang memasuki kata Rei dan sangat menginginkan berjumpa dengan ibunya (Moh Ofarin) sampai ia mendapat serangan musuh dan bersembunyi di sebuah gunung.
Di sana dia mendengar sebuah suara yang mengatakan: "Bahman, bawalah mereka masuk dan tutup pintunya." Nyanyian orang tersebut membuat Moh Ofarin sadar, dan ia menarik Syahr Banu ke dalam gua.....Tak lama kemudian dari dalam gua dan sekitar mulut gua tersebut tidak tampak tanda-tanda orang yang sebelum ini terlihat dan berada di sekitar tempat tersebut.(halaman 246).
Masalah mengenai pernikahan Imam Husain as dengan Syahr Banu putri Yazdgar dan kelahiran Imam Sajjad dari tuan putri dari Iran dan penghubung para imam setelah beliau kepada keluarga kesultanan dan kerajaan Iran adalah dalih yang diberikan kepada sekelompok penghayal dan dengki dimana mereka mengatakan: "Kecenderungan orang-orang Iran kepada keluarga Rasul adalah karena hubungan mereka (para imam) dengan keturunan raja-raja kerajaan Syasyani......"
Kisah kecintaan orang-orang Iran kepada para imam yang disebabkan karena keturunan mereka dihubungkan kepada keluarga Syasyani melalui Syahr Banu, dari pandangan sejarah, persis seperti kisah orang yang mengatakan: "Putra imam yang bernama Ya'qub di cabik-cabik serigala di atas menara." Yang lainnya mengatakan: "Bukan putra imam, tetapi Nabi, bukan Ya'qub, tetapi Yusuf, bukan di atas menara, tetapi di dasar sumur. Dasar permasalahannya bohong dan Yusuf tidak dicabik-cabik serigala."
Di sini juga asli cerita yang mengatakan bahwa Yazdgar memiliki seorang putri bernama Syahr Banu atau dengan sebutan yang lain dan mendapat kebanggaan sebagai istri Imam Husain dan ibu Imam Sajjad menurut bukti-bukti sejarah sangat mencurigakan. Para ahi sejarah zaman ini pada umumnya meragukan peristiwa ini. Dan mereka menganggap masalah ini tak berdasar. Mereka mengatakan: "Di antara ahli sejarah hanya Yakqubilah yang memiliki kata-kata yang dalam makna kalimatnya dimana ia mengatakan: "Ibu Ali bin Husain as adalah Harar, putri Yazdjard, dan Husain as mengganti namanya dengan Ghazalah."
Edward Brown sendiri salah seorang yang menganggap cerita di atas sebagai karangan belaka. Cristin Sin juga meragukan peristiwa tersebut. Sa'id Nafisi dalam bukunya 'Sejarah Rakyat Iran' menganggap kejadian itu merupakan sebuah dongeng.
Kalau kita anggap bahwa yang membuat-buat cerita ini adalah orang-orang Iran, maka sudah pasti pembuatannya pada dua ratus tahun setelah kejadian, yakni di jaman kemerdekaan Iran secara politik. Sementara itu muncul dan berkembangnya Syi'ah di Iran sudah sejak sekiar dua ratus tahun sebelum kemerdekaan politik Iran tersebut. Oleh karena itu bagaimana mungkin dinyatakan bahwa kecenderungan orang-orang Iran kepada Syi'ah disebabkan oleh cerita-cerita palsu di atas?
Yang kami katakan bahwa perkawinan Imam Husain as dengan putri Yazdgar merupakan hal yang diragukan adalah dilihat dari kacamata sejarah. Akan tetapi dilihat dari kaca mata hadis peristiwa itu dikuatkan olehnya, di antaranya yang diriwayatkan di dalam Ushul Kafi64 yang mengatakan: "Putri-putri Yazdgar dibawa ke Madinah pada zaman pemerintahan Umar dan para wanita Madinah pada berdatangan untuk melihat mereka. Atas anjuran Imam Ali as, Umar membebaskan dia (Syahr Banu) untuk memilih orang yang disukainya, dan ia pun memilih Imam Husain bin Ali as."
Selain tidak seiramanya hadis ini dengan sejarah, ia juga memiliki kelemahan dari sisi sanad sehingga ia sulid diterima. Di dalam silsilah sanad-nya terdapat dua orang yang tidak bisa dipercaya. Yang pertama, bernama Ibrahim bin Ishaq Ahmar Nahawandi yang, menurut para ulama rijal dilihat dari sisi agama ia tidak baik yang menyebabkan riwatnya tidak bisa dipercaya. Yang kedua, bernama Umar bin Syimr yang dikenal sebagai pembohong dan pembuat hadis palsu.
Saya tidak tahu apakah riwayat-riwayat lain yang semacam dengan ini juga termasuk yang tidak bisa dipercaya atau tidak. Meneliti sekumpulan hadis-hadis yang membicarakan peristiwa di atas memerlukan kajian dan penelitian yang lebih banyak.65

Ringkasnya
Adanya para tawanan Iran pada zaman Umar diriwatkan dalam beberapa riwayat yang dapat dipercaya sebagaimana yang diriwatkan dalam buku: Kharaij Rawandi, Husain bin Sa'id dan 'Adad. Tetapi Syekh Shaduq dalam kitabnya, 'Uyunu al Akhbar meriwayatkan bahwa masuknya para tawanan ke Madinah pada masa 'Utsman,66 dimana Allamah Majlisi lebih menguatkan hal ini sesuai dengan kaidah sejarah.67
Namun Muhammad bin Jarir Thabari sebagai ahli sejarah meriwayatkan bahwa: 68
Para tawanan Iran dibawa ke Madinah dan Umar ingin menjual mereka (para tawanan wanita) dan menjadikan para tawanan lelakinya sebagai budak-budak orang Arab. Akan tetapi Imam Ali as melarangnya dan berkata: "Nabi berpesan, 'Hormatilah pemuka setiap kaum. Oleh karena itu, sangatlah tidak sesuai untuk menjadikan keluarga istana mereka sebagai budak-budak." Kemudian Imam Ali as membebaskan bagiannya yang berupa tawanan-tawanan itu dan langkah itu di ikuti oleh Bani Hasyim. Lalu Muhajirin dan Anshar memberikan bagiannya kepada Imam Ali as untuk dibebaskan. Sementara itu ada sebagian dari orang-orang Quraisy yang ingin memperistri para tawanan Iran tersebut. Kemudian Imam Ali as berkata: "Kalau begitu, biarkan mereka yang menentukan sendiri calon suami mereka."
Beberapa orang meminang Syahr Banu, akan tetapi dia diam saja lalu dengan tak disangka ia menunjuk kepada Imam Husain as dan berkata: "Kalau aku mesti memilih sendiri suamiku, maka kupilih pemuda ini." Kemudian Imam Husain as menikahinya. Ketika Imam Ali as menanyakan namanya ia berkata: "Syah Zanon (Ratu)." Imam Ali as berkata: "Kalau begitu nama aslimu Syahr Banu dan nama saudaramu Murworid (mutiara)." Ia menjawab dengan bahasa Parsi: "Ori" (ya).69
Dalam buku Kharaaij karya Rawandi diriwayatkan bahwa: Ketika orang-orang memberikan kebebasan memilih kepadanya, ia menunjuk kepada Imam Husain as. Lalu Imam Husain as berbincang dengannya menggunakan bahasa Parsi dan ketika beliau bertanya: "Siapa namamu?" Ia menjawab: "Jahon Syah (Ratu dunia)." Imam Husain as berkata: "Bukankah engkau ini Syahr Banu?" Ia menjawab: "Dia adalah saudariku." Imam berkata : "Ya, benar katamu."70
Tentang sebab pilihannya yang jatuh kepada Imam Husain as adalah sebuah mimpi yang pernah dilihatnya sebelum datangnya serangan tentara Islam ke Iran. Dalam mimpinya, ia melihat bahwa Nabi datang ke rumahnya. Dan di malam yang lain, ia melihat Fathimah bintu Nabi mendatanginya sambil menjelaskan Islam, dan menikahkannya dengan Imam Husain as.71
Sebenarnya tidak ada keraguan bahwa salah satu dari putri Yazdgar telah menikah dengan Imam Husain as. Hanya saja periwayatan namanya yang berbeda-beda. Syekh Mufid mengatakan Syah Zanon dan yang lainnya mengatakan Syahr Banu dan Jahon Banu. Sebagian mengatakan bahwa Syah Zanon putri dari Syirwieh Parwiz tapi yang masyhur ia putri dari Yazdgar. Oleh karena itu riwayat 'Uyunu al Akhbar lebih kuat dan sesuai dengan kaidah sejarah. Hal itu disebabkan oleh kenyataan sejarah bahwa Yazdgar terbunuh pada pemerintahan 'Utsman. Dan sudah tentu tidak dapat dipungkiri bahwa putri-putrinya menderita setelah ia terbunuh. Dan dimungkinkan nama yang ada pada periwayatan kitab Bashairu al Darajat itu sebenarnya adalah 'Utsman yang tertulis dengan nama Umar sebagaimana diyakini oleh Allamah Majlisi.72
Alhasil, Hermiz adalah kakek perempuan ini. Karena Yasdgar putra Syariyor putra Parwiz putra Hermiz putra Anu Syirwon. Yang dikatakan bahwa: "Celakalah Hermiz" maksudnya adalah kalau Parwiz tidak merobek surat Nabi saw dan ia masuk Islam maka putri-putrinya tidak akan ditawan.
Di dalam al-Kafi hadis ini juga diriwayatkan.73 Dan yang sesuai dengan penelitian dan penyesuaian hadis dan sejarah adalah bahwa kelahiran Imam Sajjad as (Ali Zaina al-'Abidin) di masa kekhalifaan Imam Ali as dan ibu beliau adalah Syah Zanan, putri dari Yazdigard. Beliau (Syah Zanan) meninggal dalam nifas setelah kelahiran tersebut dan penyusuan Imam Ali as dilimpahkan kepada ibu susuan yang dijuluki dengan 'Ibu', dan ibu susuan inilah yang dinikahkan oleh Imam Husain as dengan pembantu lelakinya. Putri-putri Yazdigard yang menjadi tawanan dan dibawa ke Madinah sebanyak tiga orang dan Syahr Banu adalah salah satu dari mereka. Dan ketika mau "ditawarkan" (dengan perincian yang telah lalu), dari ketiga orang tersebut salah satunya menikah dengan Imam Hasan asdan yang kedua menikah dengan Muhammad bin Abu Bakar dan Syah Zanan menikah dengan Imam Husain as. Hanya saja, ia tidak bersama Imam Husain as sewaktu di Karbala. Sangat mungkin bahwa Syahr Banu yang berada di Karbala itu adalah janda Imam Hasan as atau Muhammad bin Abu Bakar (setelah keduanya meninggal) yang kemudian menikah dengan Imam Husain as. Imam Ali bin Abi Thalib as memberi nama baru kepada Syah Zanan dengan sebutan Maryam atau Fathimah, dan masyarakat menjulukinya dengan Sayyidah Nisa' (penghulu wanita), dan menjuluki Imam Ali Zainal-'Abidin dengan Ibnu al-Khairatain (anak dua kebaikan). ini sesuai dengan hadis Nabi yang mengatakan: "Sesungguhnya Allah memiliki dua pilihan (kebaikan) dalam makhluk-Nya: pilihan-Nya (kebaikan-Nya) dari Arab adalah Quraisy dan dari Ajam adalah Persia."74

2. Laila, Ibu Hadrat Ali Akbar as.
Laila putri dari Marwah bin 'Urwah bin Mas'ud Tsaqafi. Ibu Laila adalah Maimunah binti Abu Sofyan, sedang ibu Maimunah anak dari Abu an-'Ash bin Muawiyah. Nama-nama yang disebutkan dalam sejarah sebagai istri Imam Husain as ini adalah Laila, Aminah dan Barrah.
Dalam kitab al-Irsyad, A'lamu al-Wara, Tarikh Thabari, Tarikh Ibnu Atsir dan Tarikh Ya'qubi, namanya dikatakan sebagai Laila. Ibnu Jauzi dalam kitabnya Tadzkiratu al-Khawash, dan Khurazmi dalam Maqtal, mengatakan bahwa dia bernama Aminah. Diriwayatkan bahwa: "Ali Akbar, terbunuh bersama ayahnya di Karbala. Dia tidak punya anak. Ibunya bernama Aminah binti Abu Marrah 'Urwah bin Mas'ud al-Tsaqafi, sedang nama ibu dari ibunya adalah binti Abi Sofyan bin Harb."75

Tapi Ibnu Syahr Asub dalam Manakib-nya menyebutnya sebagai Barrah binti 'Urwah. Namun demikian, yang masyhur adalah Laila dari keluarga besar dan terhormat dimana kakeknya 'Urwah termasuk salah satu dari dua pembesar Mekkah yang orang-orang Quraisy mengatakan:
"Mengapa Al-Qur'an ini tidak turun kepada lelaki dari dua kota besar ini."76
Nasab Laila dan Mukhtar bin Abi 'Ubaidah Tsaqafi sama-sama bertemu pada Mas'ud Tsaqafi, karena Laila putri dari Abu Marrah bin 'Urwah bin Mas'ud sementara Mukhtar anak dari Abu 'Ubaid bin Mas'ud. Dengan demikian, Abu Marrah paman dari Mukhtar.
Abu Marrah ayahnya Laila lahir pada zaman Nabi saw dan sempat bertemu dengan beliau. Karena pada waktu itu, ketika ayahnya ('Urwah) terbunuh, ia bersama saudaranya (Abu Malih) mengabarkan kepada Rasulullah saw dan setelah mereka masuk Islam, mereka kembali ke Thaif.
Tentang Laila, Harits bin Khalid Makhzumi melukiskan: "Mentari bersedih karna sinarnya telah disia-siakan. Ia (Laila) mempunyai ayah ibu yang merupakan orang tersetia dari Quraisy dalam menjaga perjanjian. Dan kalau ingin mengenali paman-pamannya maka kenalilah mereka melalui tajamnya panah-panah mereka."77
Abu al Faraj Eshfahani melantunkan syair untuk Ali bin Husain dalam bukunya Maqotil:

"Yakni anak Laila yang kasih dan santun
Yakni anak dari ibu yang utama nan dibanggakan
Yang tak mendahulukan dunia atas agamanya
Yang tak menjual benar dengan batil.

Kelahiran Ali Akbar dapat dijadikan pedoman dalam menentukan masa pernikahan Imam Husain dengan Laila. Ali Akbar lahir pada tanggal 11 Sya'ban tahun 33 H, dua tahun sebelum terbunuhnya 'Utsman-mengingat 'Utsman terbunuh pada tahun 35 H, sementara beliau berumur 27 tahun ketika syahid di Karbala dan Imam Sajjad as kala itu berumur 23 tahun, sesuai dengan kesepakatan ahli sejarah.78
Membicarakan anak-anak Imam Husain as memiliki keutamaan atau keuntungan tersendiri, namun demikian para pembesar sejarah telah melalaikan pembicaraan mengenai lebih dulunya perkawinan Syahr Banu dengan beliau. Sementara hal itu bisa menjadi kunci untuk menyelesaikan kemuskilan-kemuskilan hari dan tahun yang saling berdekatan. Mungkin karena kelalaian itulah yang telah membuat para pembesar dan ahli hadis seperti Syeh Mufid dalam Irsyad-nya dan Thabarsi dalam 'A'lamu al Wara berkata: "Yang telah syahid di Karbala itu Ali Asghar (kecil), sementara Ali Akbar (besar) memiliki ibu yang merupakan wanita termulia dari kerajaan Syasyan.79
Muqarram saat menolak pernyataan ini menulis:
"Pendapat yang benar adalah bahwa yang syahid di Karbala itu adalah Ali-Besar kakak dari Imam Sajjad. Karena Iman Sajjad sendiri mengatakan kepada Ibnu Ziad: 'Aku mempunyai saudara yang lebih besar dari aku yang telah kalian bunuh ......'."
Tahun wafat, umur dan kehadiran ibu Laila ini di Karbala tidak dapat diketahui dengan pasti. Al Qommi, dalam bukunya Nafasu al Mahmum mengatakan: "Saya tidak dapat menemukan bukti sejarah bahwa beliau hadir di Karbala.

3. Rubab putri Umru`ul Qais bin 'Udda 80
Kebanyakan penulis kitab Maqotil menulis kisah putri-putri Umrul al Qais yang telah dinikahkan dengan Ali as dan kedua putranya Hasan dan Husain as, seperti Qanduzi dalam Yanabu'u al Mawaddah, al marhum Qommi dalam Muntahal Amal, almarhum Samawi dalam Absharu al 'Ain dan almarhum Muhammad Arbab Qommi dalam Arba'in Husaini dan .........
Akan tetapi al marhum Muqarram dalam kitab Hadhrat-e Sukainah, halaman 235, kisah perkawinan putri-putri Umrul al Qais, menukil dari Maqotil Abu al Faraj Eshfahani dalam Syarah Hal Abdullah (anak bayi Imam Husain as), dimana penulis tidak menemukan kisah ini dalam Maqotil Abu al Faraj, melainkan kisah ini ada dalam kitab Aghani, jilid 8, halaman 361, terbitan Bairut.81
Gambaran peristiwa itu dinukil demikian:
"Suatu hari, pada masa kekhalifahan Umar, seorang laki-laki memasuki masjid, ia memberi salam kepadanya (Umar) dengan cara Islam, dan Umar menanyakan namanya. Dia menjawab: "Nama saya Umrul al Qais bin 'Adi Kalabi. Dan saya adalah pemeluk agama Nasrani. Umar menerangkan Islam kepadanya dan ia menerimanya. Kemudian ia memberikan sebuah bendera kepadanya supaya ia menjumpai Muslimin kabilah Qadha'ah di Syam (dan menyebarkan agama di sana). Setelah ia mengambil bendera tersebut, ia keluar dari masjid. Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husain as mengikutinya dari belakang. Ali berkata kepadanya: "Saya adalah putra paman dan menantu Rasulullah. Dan dua pemuda ini adalah putra-putraku. Kami ingin memiliki hubungan denganmu. Oleh karena itu, kalau kamu memiliki beberapa putri, nikahkanlah dengan kami. Umrul al Qais menjawab: "Saya mempunyai tiga putri, dan saya akan menikahkan mereka dengan kalian. Masihah (Mihya' dalam sebagian kitab) akan kunikahkan denganmu, Salma dengan Hasan, dan Rubab dengan Husain."
Almarhum Muqarram menyoal cerita ini dengan lima dalil, dan dia mengatakan: Nilainya hanya sebatas dongeng. Salah satu dalilnya adalah lemahnya sanad yang telah diriwayatkan oleh Mujahid dan Muhammad bin Hisyam Saib Kalabi. Di antara mazhab yang ada keduanya belum bisa dipastikan.
Di dalil kelima ia mengatakan: "Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayah Rubab bernama Anif, yang tidak disebut-sebut dalam dongeng ini.82
Rubab putri Umrul al Qais sebagaimana yang dikatakan Abu al Faraj dan yang lainnya dan atau putri Anif menurut Ibnu Katsir, adalah istri Imam Husain as. Dan darinya lahirlah Sukainah dan Abdullah yang masih menyusu (Ali Ashghar). Walaupun cerita di atas, seluk beluk lamaran, penyebutan jumlah putri-putri, orang yang baru masuk Islam menjadi mubalig dimana ia dari kabilah Qadha'ah, telah mendukung kepalsuan peristiwa tersebut-di samping dalil-dalil yang telah diisyaratkan oleh penulis tersebut.
Almarhum Samawi mengatakan: "Umrul al Qais memiliki tiga putri yang dinikahkan dengan Amirul Mu'minin, Imam Hasan dan Imam Husan as di Madinah, dimana ceritanya sangat terkenal."
Mungkin pendapat almarhum Samawi dari cerita terkenalnya adalah kisah di atas yang lebih mirip dongeng daripada kisah nyata.
Rubab adalah wanita yang akhlaknya baik, tiada tandingan dalam keutamaan dan ketakwaannya. Ia bersama rombongan Imam Husain as pergi ke Karbala. Setelah keluarganya syahid, ia menjadi sandra sebagaimana yang lain. Di Madinah, siang-malam ia selalu menangis, dan sering duduk di bawah terik matahari (mengenang derita Imam Husain as ), lalu setahun setelah itu ia meninggal dunia.83
Adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa Rubab-setelah perjalanan kembali ke Madinah (dari Syam)-tinggal di Karbala84 dimana ia siang-malam menangis. Karena Zainab Kubra, sebagai pengayom keluarga Imam Husain as tidak akan mungkin membiarkannya sendirian di Karbala yang sewaktu itu hanya merupakan padang pasir yang sangat panas dan tiada berpenghuni.85
Almarhum Syekh 'Abbas Qummi menukil cerita ini dari kitab al-Kamil, karya Ibnu Atsir dan dia tidak menolaknya. Dan di sana disebut juga menangisnya Fathimah binti Husain as selama setahun di kuburan Hasan at-Tsani.
Setelah syahidnya Imam Husain as, beberapa pembesar Quraisy meminang Rubab. Tapi dia selalu menolaknya dan berkata: "Setelah berkeluarga dengan Rasulullah saw, saya tidak akan berkeluarga dengan siapapun, dan setelah bersuamikan putra Fathimah as, saya tidak akan pernah bersuami lagi."86
Dari keterangan Ibnu Jauzi dapat diambil pengertian bahwa dia wafat karena kesedihan yang mendalam akibat kesyahidan Imam Husain as. Ia menulis: "Ia (Rubab) meninggal karena sedih setelah setahun dari syahidnya al-Husain."
Istri setia Imam Husain as di majlis Ibnu Ziad meminta agar kepala Aba Abdillah al Husain as diberikan kepadanya lalu ia memeluk dan mencium kepala suci tersebut sambil meratap:
"Oh Husainku, engkau telah berpisah denganku. Betapa sedih hatiku untuk selama-lamanya. Aku tidak akan pernah melupakan Husain. Ujung tombak-tombak musuh menyerbunya di Karbala dan telah membuatnya bermandikan pasir dan darah."

Yaqut Humawi menisbatkan dua bait ini dalam bukunya Mu'jamu al Buldan jilid 7, hal. 229 kepada 'Atikah binti Zaid bin Umar bin Nufail dimana menurutnya ia adalah istri Imam Husain as. Menurut dia, adalah tidak penting bila para sejarawan besar tidak menyebutkan hal ini (bahwa 'Atikah salah satu istri Imam Husain as).
Alangkah indahnya syair yang dilantunkan untuk 'Atikah dalam Qashidah Taiyyah sebagaimana berikut:
"Ya Husain, ya Husain, ya Husain sampai mati takkan kulupakan Husain. Ia (Rubab) di Baqi' tak meratapi dirinya karena kesetiaan kepada janjinya."

Anak-anak Rubab dari Imam Husain yang disebutkanl para ahli sejarah adalah Sukainah dan Abdullah.
Catatan: Dalam kitab-kitab Syiah dan Sunni telah dinukil syair-syair Imam Husain as yang memuji Rubab dan Sukainah.
Almarhum Muqarram mengkritisi penulisan sejarah yang telah meriwayatkan dari Sukainah (tentang pertengkaran antara Imam Hasan as dan Imam Husain as) sebagaimana yang ditulis oleh Abu al Faraj Eshfahani dalam bukunya Aghani. Riwayat seperti itu dari sisi sanad sangat lemah dan meragukan menurut para ulama ahli rijal. Dalam riwayat tersebut Sukainah berkata: "Pamanku (Imam Hasan as) mencacimaki ayahku berkenaan dengan ibuku Rubab. Tetapi ayahku dalam jawabannya berkata: 'Aku menyukai rumah yang ditinggali oleh Sukainah dan Rubab. Aku menyukai mereka dan paling banyak perbelanjaanku untuk mereka dan aku tidak peduli kepada cacian para pencaci'."87

Kesimpulan dari kritikannya
Mereka tidak mengetahui kedudukan para imam yang ma'shum. Anggaplah bahwa Imam Hasan as telah mencerca Imam Husain, maka Imam Husain yang dikenal sebagai orang yang syahid, yang takwa dan adabnya begitu mulia, tidak mungkin akan membalas balik perkataan Imam zamannya (Imam Hasan as). Apalagi bersikeras dan mendebatnya. Apakah suatu kemuliaan bagi Imam Husain as untuk melantunkan syair-syair pujian untuk istri dan anaknya (sebagaimana dikatakan oleh sejarawan besar di atas)? Bukankah Imam Husain as ketika menjawab pertanyaan Jabir Anshari: "Apakan engkau akan berdamai (dengan pemerintahan Bani Umayah) sebagaimana kakakmu?", beliau mengatakan: "Sebagaimana kakakku telah berbuat sesuai dengan perintah Tuhan maka saya pun akan melakukan apa yang diperintah-Nya."
Ibnu Syahr Asyub meriwayatkan bahwa kalau Imam Husain as berhadapan dengan Imam Hasan as, maka ia tidak mengeluarkan kata-kata ketika membicarakan dan menyelesaikan masalah, sebagaimana Muhammad bin Hanafiah ketika berhadapan dengan Imam Husain as.88
Imam Shadiq as pernah berkata: "Imam Husain as untuk menghormati Imam Hasan as sama sekali tidak pernah lewat di depannya, dan tidak pernah mendahuluinya dalam berbicara."89


4. Ummu Ishaq
Ummu Ishaq putri Thalhah bin Abdullah atau Ubaidullah Taimiah adalah ibu dari Fathimah binti Husain as. para ulama berpendapat ia adalah salah seorang wanita yang dijanjikan surga. Pada awalnya wanita ini adalah istri Imam Hasan as dan beliau mempunyai beberapa anak darinya, yang karena kecintaannya kepada Ummu Ishaq, dan ia memiliki potensi dan akhlak yang baik, maka ia diamanatkan kepada Imam Husain as, supaya dijaga dan beliau tidak menginginkan dia keluar dari keluarga ahlul bait.
Imam Husain as mengamalkan wasiat Imam Hasan as, dan dari pernikahan ini lahirlah seorang putri yang diberi nama Fathimah yang kemudian dinikahkan dengan putra pamannya Hasan bin Hasan al Mujtaba as.90 Almarhum Muhadits Qommi mengatakan: "Fathimah dalam ketakwaan, kesempurnaan, keutamaan dan kecantikan tidak ada yang menyamai dimana ia disebut dengan Hauru al 'Ain. Fathimah dari Hasan Mutsanna mendapatkan tiga anak yang masing-masing bernama Abdullah Mahdh, Ibrahim Umar dan Hasan Mutsallits.
Ibnu Jauzi dalam Tadzkiratu al Khawash menulis selain dari tiga putra ini ia mempunya seorang putri bernama Zainab.

5. Ummu Walad Qadha'iah
Wanita ini adalah ibu dari Ja'far bin Husain as dari kabilah (suku) Qadha'iah. Ja'far meninggal ketika Imam Husain as masih hidup (Irsyad, Syekh Mufid).
Tentang istri Imam Husain ini, orang lain tidak mensyarahi lebih dari apa yang Syekh Mufid nukilkan dalam Irsyad.
Almarhum Syekh Abbas Qommi menulis: Istri Imam Husain yang lain adalah seorang wanita yang tidak jelas namanya, dan ia ada bersama Imam Husain as di Karbala. Dan ia menjadi tawanan setelah kesyahidan Imam as dimana ia sedang hamil. Dan ketika ahlul bait dibawa ke Syam (dari kufah) dan setelah sampai di dekat Jabal (gunung) Jausyan, kandungannya keguguran.91
Kisah tentang Urinab istri Abdullah Salam dan tipu daya Mu'awiah dan Yazid untuk mendapatkan wanita cantik Arab ini dan pembelaan Imam Husain terhadapnya sudah terkenal. Dan setiap orang yang ingin mengetahui secara terperinci tentang peristiwa ini dan kedatangannya ke rumah Imam Husain as yang penuh dengan cinta, silakan Anda merujuk kitab "Zingony-e Imam Husain as", karya al Marhum Zainu al 'Abidin Rahnamo. Pembahasan pertama bukunya tentang cerita Urinab dengan tema sejarah lainnya-dengan kemasan dan istilah-istilah romantik dan bergaya cerita yang menarik.
Banyak pembahasan yang perlu dikupas tentang anak-anak Imam Husain as, tetapi karena nama-nama mereka selalu disebut-sebut dalam buku-buku maqtal al Husain as dan mimbar-mimbar, maka kami tidak membahasnya di sini.


Imam Sajjad as berkata:

من تزوج لله و لصلة الرحم توجه الله بتاج الملك

"Barangsiapa menikah karena Allah untuk menyambung tali silaturahmi, maka Allah seru sekalian alam akan mengangkatnya ke maqam yang tinggi."

( Hadis Tarbiat, jilid.3, hal.123)


KISAH PERNIKAHAN IMAM SAJJAD as
Banyak anak yang dinisbatkan kepada Imam Zainul Abidin dari beberapa istri, tetapi di antara istri-istri ini hanya seorang yang dinikahi secara permanen, dan yang lainnya adalah budak-budak yang dibeli beliau dan mendapatkan kebanggaan memiliki anak dari Imam as.

Ummu Abdullah putri Imam Hasan as
Satu-satunya istri yang dinikahi secara permanen oleh Imam Sajjad as adalah Ummu Abdillah, putri pamannya Imam Hasan Mujtaba as.
Imam Hasan demi menghormati ibunya dan supaya anaknya dapat meniru ibunya, beliau memberi nama putrinya Fathimah. Ia memiliki banyak julukan, di antaranya Ummu al-Hasan, Ummu 'Abdihi, dan Ummu 'Abdillah sebagai julukan yang paling terkenal. Demi kesucian dan kejujurannya, ia dikenal dengan julukan Shiddiqah (wanita yang jujur).
Ia seorang wanita yang taat, terhormat, suci hati dan mengerti, pandai, shaleh, zuhud, dan berbagai sifat mulia yang dikatakan oleh para Imam as kepadanya.
Begitu mulianya maqam yang dimilikinya sehingga Imam Shadiq as mengatakan:

"Dia adalah wanita yang jujur dalam perkataan dan perbuatannya, dan tak seorangpun dari wanita yang dapat menyainginya."

Atau dalam hadis yang lain beliau berkata:
"Dia adalah wanita yang jujur yang tidak dapat dijumpai sepertinya dalam keterunan Imam Hasan as."

Dia dikenal dengan kemustajaban doanya. Dalam hal ini telah diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Imam Baqir as. yang mengatakan:
"Suatu hari ibuku duduk di bawah sebuah tembok, kemudian tembok itu roboh. Ibuku berkata: 'Demi Musthafa, Tuhan tidak mengizinkanmu untuk jatuh menimpaku.' Setelah itu tembok itu kembali ke tempatnya seperti sedia kala, lalu ibuku berpindah dari tempatnya. Kemudian ayahku bersedekah atas kejadian itu sebanyak seratus Dinar."92
Dia mengikuti suaminya Imam Sajjad as sewaktu terjadi peristiwa pembantaian di Karbala. Dia bersama suami dan anaknya yang berumur empat tahun, Imam Baqir as menjalani penyanderaan dengan seluruh penderitaan dan kepahitannya. Penderitaannya semakian bertambah ketika dua saudaranya yang lebih muda, Qosim (13 tahun) dan 'Abdullah (15 tahun) syahid di sana.
Fathimah Ummu 'Abdillah adalah seorang istri yang sangat tepat bagi Imam keempat dimana ia memiliki banyak sekali kelebihan lahir batin dari wanita lain di zamannya. Di antaranya adalah bahwa dia adalah anak, istri dan ibu dari Imam ma'sum as. Suami Ummu 'Abdillah adalah Imam Sajjad as yang telah menggabungkan dua arah imamah93 sehingga karenanya muncullah seorang anak yang dapat meneruskan silsilah kepemimpinan, yang dikenal dengan julukan Baqiru al-'Ilmi (yang dalam ilmunya).94
Sedangkan jumlah anak dari Imam Sajjad as yang ditulis dalam buku-buku sejarah berbagai macam. Ada yang mengatakan lima belas95, enam belas96, tujuh belas97, dan bahkan ada yang mengatakan dua puluh orang.98

Berkata Imam al-Baqir as.:

لا فضل كالجهاد و لا جهاد كمجاهدة الهوى

"Tidak ada keutamaan melebihi jihad, dan tidak ada jihad melebihi jihad melawan hawa nafsu."


KISAH PERNIKAHAN IMAM MUHAMMAD AL-BAQIR as
"Namanya adalah Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan ibunya adalah Ummu Abdillah binti al-Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia diberi nama al-Baqir karena banyak sujudnya. Dari asal kata baqara, yakni baqara al-sujud, artinya meluaskan/melapangkan sujud (baca: banyak sujudnya). Tapi ada juga yang mengatakan bahwa dia disebut al-Baqir karena keluasan ilmunya."99
Tahun kelahirannya adalah tahun ke-57 H, dan syahidnya pada tahun ke-114 H., lalu ia dikuburkan di pekuburan Baqi, di samping kuburan kakeknya Ali bin al-Husain as.

Imam baqir memiliki dua istri, diantaranya:

1. Ummu Farwah putri Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar 100
Dia adalah wanita yang penuh pengertian, mengerti tanggung jawab dan pencinta ahlul bait as., sangat tawadhu' di depan Imam Baqir as serta merasa senang menjadi istrinya.
Imam Shadiq as pernah mengatakan:
"Ibuku adalah seorang wanita yang penuh dengan iman, takwa dan penyantun, dan Allah menyukai orang-orang penyantun."
Syekh Jalil Ali bin Husain Mas'udi dalam kitabnya Itsbatu al-Washiyyah mengatakan:
"Ummu Farwah adalah wanita paling takwa di zamannya."
Imam Shadiq as mengatakan: "Ibuku mengatakan bahwa ayahku pernah berkata kepadanya: 'Wahai Ummu Farwah, aku akan mendoakan orang-orang yang berdosa dari pengikut-pengikut kami (ahlul bait) sebanyak seribu kali dalam setiap harinya. Hal itu dikarenakan, mereka tidak mengerti akan penderitaan (dalam taat kepada Allah SWT), sehingga mereka tidak bisa sabar di dalamnya, sementara kami mengetahui akan pahalanya. Oleh karena itu, kami bisa sabar dalam menghadapi apapun."101
Ummu Farwah sangat dikenal dengan kemuliaannya, hingga Imam Shadiq as sendiri sering dipanggil dengan sebutan anak wanita mulia (Ibnu al-Mukarramah). Dan telah diriwayatkan dari Abdu al-A'la bahwa: "Saya melihat Ummu Farwah menutupi dirinya dengan kain tebal ketika bertawaf, supaya tidak dikenali oleh orang. Ia bertawaf mengelilingi Ka'bah dengan penuh kekhusukan. Kemudian ia memegangi Hajar Aswad dengan tangan kirinya. Seorang lelaki yang berdiri di dekatnya berkata kepadanya:
"Wahai budak Tuhan, engkau telah keliru melakukan sunnah."
Ummu Farwah menjawab: "Kami tidak memerlukan ilmumu."102
Marhum Muhaddits al-Qommi mengatakan:
"Secara dhahir lelaki itu dari salah satu fuqaha' (ahli fiqih). Dan benar katanya, bagaimana mungkin ia tidak kaya dengan ilmu fiqih, sementara suaminya pemilik ilmu yang lampau dan yang akan datang, dan ayah dari suaminya adalah Imam Ali Zainu al-'Abidin as (penghulu para penyembah Tuhan), serta putranya adalah sumber segala ilmu keislaman dan hikmah Imam Ja'far as-Shadiq as.. Begitu pula ayahnya sendiri bernama Qosim bin Muhammad yang tergolong dari tsiqat (orang yang dipercaya) dan dipercaya oleh Ali bin al-Husain as dan termasuk dari salah satu ahli fiqih yang ada di Madinah. Oleh karenanya, ia (Ummu Farwah) di timang dalam pangkuan ilmu dan dibesarkan dalam rumah kefaqihan."

2. Ummu Hakim binti Usaid bin Mughirah Tsaafi
Wanita ini adalah wanita yang memiliki maqam yang tinggi dan salah satu pecinta Imam Muhammad al-Baqir as serta istri yang layak untuk beliau. Tidak ada informasi yang banyak tentangnya yang dapat didapat dari buku-buku sejarah. Yang disebutkan hanyalah bahwasannya ia adalah ibu dari Ibrahim dan Abdullah yang keduanya meninggal di zaman Imam Baqir as.
Syekh dalam kitabnya Irsyad mengatakan bahwa Imam Baqir as memiliki tujuh anak.



BAB IV

KISAH PERNIKAHAN IMAM JA`FAR AS SHADIQ as
Imam Shadiq as berkata:

طوبى لمن كانت أمه عفيفة

"Sungguh beruntung orang yang memiliki ibu yang menjaga kehormatannya."

Dia adalah Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as, dan panggilannya Abu Abdillah atau Abu Isma'il dan julukannya As-Shadiq, As-Shobir, Al-Fadhil, At-Thahir dan yang paling terkenal adalah As-Shadiq.
Bila pembaca pernah membaca buku-buku sejarah kehidupan para imam, maka Anda akan mengetahui dengan baik bahwa pernikahan mereka tidak disebutkan dalam buku-buku tersebut. Karena itu kami mencoba menyampaikan bagaimana pernikahan mereka secara lebih rinci dan lebih mendalam kecuali beberapa hal yang tidak mungkin untuk itu.
Kota Yatsrib dikarenakan keberadaan Nabi saaw diganti namanya menjadi Madinah. Pada tanggal 17 Rabi'ul Awal tahun 83 Hijriyah lahirlah Imam Ja'far bin Muhammad as dan kelahirannya menerangi kota Madinah.
Imam Ja'far hidup bersama ayah dan kakek beliau selama 31 tahun. Dan setelah syahidnya Imam kelima pada umur 34 tahun, beliau memulai tanggung jawab kepemimpinan umat menghidupkan syariat Nabi sampai sekarang ini dan terus hidup untuk selamanya.
Dalam sepuluh tahun terakhir kehidupannya, beliau mengalami berbagai kesusahan dan ketidakamanan yang disebabkan oleh khalifah Manshur yang selalu meneror beliau hingga beliau mencapai kesyahidan pada tahun 148 Hijriyah.
Keutamaan dan keagungan Imam Ja'far as tidak mampu untuk ditulis atau digambarkan oleh manusia biasa. Sablanji dalam kitab Nurul-Abshar: "Keutamaan Imam Ja'far as sangat banyak dan tidak mungkin untuk dihitung jumlahnya, bahkan para pakar dan penulis besar tertegun dan takjub melihat keutamaan beliau."
Ibnu Hajar dalam kitab Showaiq berkata: "Ilmu beliau dinukil oleh masyarakat dari mulut kemulut dan dari kota yang satu kekota yang lain, dan nama suci beliau selalu disebut-sebut dihampir semua kota oleh masyarakat."
Jalaluddin Husainy dalam kitab 'Umdatut-Tholib berkata: "Masyarakat menjuluki beliau sebagai tiang keutamaan. Keutamaan beliau tersebar luas di kalangan masyarakat, baik kalangan khusus maupun kalangan umum. Dan Manshur Dawaniqi berusaha berulang-ulang untuk membunuh beliau tapi Allah menjaganya."
Hasan bin Rayyan dalam kitab Musnad Abu Hanifah berkata: "Saya mendengar dari Abu Hanifah setiap dia ditanya, siapa orang yang paling paham masalah agama yang kamu lihat, maka dia menjawab: Ja'far bin Muhammad."
Ibn Abi Auja' (salah seorang pemimpin madzhab di zaman Imam Shadiq as) berkata: "Orang ini (Imam Shadiq) bukan dari golongan manusia biasa yang sedikit dapat dilihat di dunia ini. Beliau adalah ruh yang berwujud badan dan kapanpun dia inginkan dia dapat berwujud dalam sebuah badan dan kapan ia inginkan kembali ke wujud ruh."1
Abu Na'im dalam kitab Hilyatul-Auliya' dengan silsilah sanad dari Umar bin Maqdaam berkata: "Jika aku melihat Ja'far bin Muhammad maka aku yakin dia dari keturunan para nabi."2

Kisah Perkawinan:3

1. Hamidah Mushoffah4
Ibn Akkâsyah bin Mahdh Asadi berkata: Suatu hari saya berada di samping Imam Bagir as. Lalu saya bertanya: Kenapa Anda tidak memilihkan istri buat Aba Abdillah (Imam Shadiq)?
Imam as menjawab: Akan tiba penjual budak dari Barbar5 dan dia akan tinggal di rumah Maimun.6 Dengan sekantung uang ini kami akan membeli seorang budak wanita darinya.
Beberapa waktu telah berlalu. Suatu hari saya datang memenuhi panggilan beliau, lalu beliau berkata: Apakah kamu mau berbicara tentang penjual budak yang pernah saya katakan? Sekarang ia telah tiba. Pergilah kamu dengan sekantung uang ini lalu belilah seorang budak wanita. Lalu kami pergi ke tempat penjual budak tersebut. Dia berkata: Semua budak yang saya miliki sudah saya jual tingal dua budak wanita yang salah satunya lebih baik dari lainnya. Kami berkata: Bawalah kemari kedua-duanya karena kita mau melihat. Setelah dia bawa, lalu kami bertanya: Itu yang lebih baik kamu mau jual berapa? Dia menjawab: Kami jual 70 Dinar. Kami berkata: Jangan terlalu mahal menjual kepada kami, tolong kamu kurangi harganya. Dia berkata: Saya tidak menjual di bawah 70 Dinar. Lalu kami tawar dengan uang yang ada di kantung ini dimana kami sendiri tidak tahu jumlahnya. Orang tua di sampingnya berkata: Kamu buka kantung itu dan kamu hitung jumlahnya. Penjual budak berkata: Jangan kau lakukan, karena kalau kurang sedikit pun dari 70 Dinar saya tiadak akan jual. Lalu orang tua tersebut berkata: Bukalah dan hitunglah. Lalu kami buka dan kami hitung. Tiba-tiba kami terkejut ketika melihat uang yang ada di dalam kantung tersebut dimana ia sejumlah 70 Dinar: tidak lebih dan tidak kurang. Akhirnya kami beli budak wanita tersebut, lalu kami bawa kepada Imam Bagir as. Saat itu Imam Shadiq as berada di samping beliau, dan kami ceritakan kejadiannya lalu beliau bersyukur kepada Allah. Kemudian beliau bertanya pada budak wanita tersebut: Siapa namamu? Ia menjawab: Hamidah. Dan Imam berkata: "Hamidah (yang memuji) di dunia dan mahmudah (yang terpuji) di akhirat." Apakah kamu masih gadis atau sudah janda? Dia menjawab: Gadis. Imam as bertanya: Bagaimana kamu bisa terhindar dari tangan kotor (perbuatan cabul) penjual budak! Dia menjawab: Setiap kali ia berniat melakukan perbuatan itu, Allah jadikan seorang yang sudah beruban dan tua itu menghalanginya melakukan perbuatan tersebut. Bahkan jika melawan, dia pukul penjual budak tersebut, dan beberapa kali hal ini terulang dan orang tua itu juga berulang kali memukulnya. Imam Bagir lalu mengatakan kepada Imam Ja'far: "Kamu ambil dia sebagai milikmu."7
Allamah Mamaqaniy setelah menukil riwayat ini dia berkata: Dalam riwayat tersebut ada tiga karamah: Pertama, ucapan Imam Bagir as 'Penjual budak dari Barbar akan datang membawa seorang budak wanita. Yang kedua, uang di dalam kantung, yang jumlahnya persis dengan yang diinginkan si penjual budak .Dan karamah yang ketiga, berhubungan dengan tindakan orang tua tersebut terhadap si penjual budak untuk menjaga Hamidah hingga ia selamat sampai ke tangan Imam Ja'far as.
Mas'udiy, seorang ahli sejarah dan geografi terkenal abad ke-4 Hijriyah, menjelaskan bagaimana kisah pembelian Hamidah. Ia berkata: Diriwayatkan dari Jabir, suatu hari Imam Bagir mengatakan padaku: Seseorang dari Maghrib telah datang membawa beberapa budak. Jabir mengatakan: Imam Bagir menerangkan ciri-ciri seorang budak wanita yang ada di antara mereka dan beliau memerintahkan kepadaku untuk membelinya dengan sekantung uang. Lalu aku pergi ke penjual budak.Dia menjelaskan satu-satu dari mereka kepadaku. Aku berkata: Adakah budak selain yang engkau ceritakan? Ia berkata: Hanya tinggal seorang dan sedang sakit. Aku berkata: Tunjukkan padaku. Lalu ia menunjukkan Hamidah. Kemudian aku bertanya: berapa kamu mau jual dia? Dia menjawab: 70 Dinar. Lalu aku berikan kantung uang tersebut. Lalu dia berkata: Lailaha illallah! Demi Allah, aku semalam bermimpi melihat Rasulullah sedang membeli budak wanita ini dengan sekantung uang ini. Jabir berkata: Aku beli budak tersebut darinya dengan kantung uang yang di dalamnya sejumlah 70 Dinar. Lalu ia menyerahkan budak tersebut padaku. Lalu aku bawa ia ke hadapan Imam Bagir as. Imam menanyakan namanya dan ia menjawab: Hamidah. Beliau mengatakan: Hamidah di dunia dan mahmudah di akhirat. Lalu beliau bertanya tentang keadaannya dan ia menjawab kalau ia masih gadis dan belum ada seorang pun yang menyentuhnya. Imam as lalu bertanya: Bagaimana ini bisa terjadi? Ia menjawab: Jika pemilikku datang mendekatiku, seseorang yang memiliki wajah yang anggun yang hanya saya yang bisa melihatnya, dia mencegahnya untuk mendekatiku dan tidak membiarkan tangannya menyentuhku. Imam as bersabda: Alhamdulillah, lalu beliau mengatakan kepada Imam Shadiq as: "Wahai Aba Abdillah, Hamidah adalah pemimpin budak wanita. Ia terdidik dan suci dari kehinaan seperti lempengan emas yang selalu dijaga oleh para malaikat hingga sampai ke tanganmu sebagai kemuliaan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Agung."8
Allamah Thabarsy menukil riwayat lain tentang pembelian Hamidah: Hisyam bin Ahmar mengatakan, 'Pada suatu hari saat udara sangat panas, Imam Shadiq as memanggilku lalu beliau berkata: Pergilah kamu ke seorang Afrika lalu belilah darinya seorang budak dengan ciri-ciri begini dan begitu. Hisyam berkata: Saya lalu pergi dan saya tidak menemukan budak dengan ciri-ciri demikian. Saya kembali lalu saya sampaikan hal tersebut kepada Imam. Beliau berkata: Kembalilah , budak itu ada padanya. Untuk kedua kalinya, saya pergi ke rumah orang Afrika tersebut. Orang itu bahkan bersumpah bahwa budak tersebut tidak ada padanya, lalu ia berkata: Saya punya seorang pembantu yang sedang sakit yang kurang layak untuk ditawarkan. Lalu saya berkata: Coba kau perlihatkan dia padaku. Ia dalam kondisi sakit dan sedang digandeng dan bersandar pada dua budak yang lain, dan ciri-ciri yang telah disebutkan oleh Imam as saya lihat ada padanya. Saya berkata pada si penjual budak: Berapa kamu mau jual budak ini? Ia menjawab: Kamu bawa ia ke Imam, beliau yang akan menentukan harganya. Lalu si penjual budak mengatakan: Demi Allah, ketika saya jadi pemiliknya, saya pernah ingin mendekatinya tapi saya nggak mampu. Demikian juga orang yang menjualnya padaku juga mengalami hal yang sama. Hisyam berkata: Lalu saya melaporkan peristiwa ini kepada Imam Shadiq as .Beliau memberi 200 Dinar untuk diberikan pada si penjual budak. Lalu beliau mengatakan: Aku bebaskan ia di jalan Allah. Setelah itu, Hisyam menyampaikan kepada Imam as apa yang dikatakan oleh si penjual budak, lau beliau berkata: Wahai putra Ahmar,9 sesungguhnya ia (Hamidah) akan melahirkan seorang anak yang tidak ada hijab antara ia dengan Allah.10 Allamah Al-Bahrony setelah menukil riwayat ini, ia mengatakan: Dalam al-Irsyad juga dinukil riwayat tersebut dari Hisyam bin Ahmar tapi disebutkan bahwa Imam Musa as yang membeli budak tersebut dan beliau mengatakan bahwa ia adalah ibu Imam ar-Ridha as.
Dalam riwayat yang lain-setelah menceritakan kisah pembelian Hamidah- juga disebutkan bahwa Imam Baqir as mengatakan: Hamidah adalah penghulu budak wanita dan kebahagiaan mereka, seperti batang emas dari kotak yang suci. Malaikat selalu menjaganya sehingga ia mendapat karamah dari Allah SWT.
Saat pertama bertemu dengan Hamidah, Imam Shadiq as bertanya tentang namanya? Ia menjawab: Hamidah. Lalu Imam berkata: "Hamidah di dunia dan mahmudah di akhirat."11 Dia adalah ibu Imam Musa bin Ja'far as. Seorang ahli sejarah terkenal Mas'udiy menulis:12 Abu Bashir mengatakan: Pada tahun dimana Abu Ibrahim as13 dilahirkan kami bersama Imam Ja'far as menunaikan ibadah haji. Ketika kami sampai di sebuah rumah di tempat yang terkenal degan sebutan Abwa', Imam menyiapkan makanan buat kami (kebiasaan Imam as jika menyiapkan makanan buat sahabatnya maka beliau menyajikan dengan baik dan banyak). Ketika kita sedang menikmati makanan, tiba-tiba datang utusan Hamidah dan berkata: Ia (Hamidah) mengatakan: Aku dalam kondisi sulit! Engkau perintahkan kami agar tidak mendahului kamu dalam setiap kejadian yang berhubungan dengan anak yang akan lahir tersebut! Lalu Imam berdiri dan pergi. Tidak beberapa lama beliau datang, sebagai penghormatan kita berdiri lalu kami mengucapkan: Semoga Allah selalu membahagiakan kalian dan kami sebagai tebusanmu. Apa yg terjadi pada Hamidah? Beliau berkata: Allah memberikan keselamatan padanya dan Dia memberiku darinya seorang putra, dan sebaik-baik orang yang Ia ciptakan pada zamannya. Hamidah mengatakan sesuatu yang ia menyangka bahwa aku tidak tahu, padahal aku lebih tahu darinya atas hal tersebut. Kami bertanya tentang apakah hal itu ya Imam? Beliau menjawab: Ia berkata: Sewaktu bayi tersebut lahir, dia meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan kepalanya menengadah ke langit. Aku mengatakan padanya bahwa itu adalah tanda-tanda yang dimiliki oleh Rasulullah dan Amirul Mu'minin as dan tanda-tanda seorang pemimpin jika dilahirkan ke dunia. Dengan meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan menengadahkan kepalanya ke langit, ia membaca: "Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Dia dan malaikat serta orang-orang alim berdiri menegakkan keadilan tidak ada Tuhan selain Dia Yang Maha Mulia dan Bijaksana."
Tapi tidak seorang pun tahu akan hal ini. Ketika ia membaca kalimat tersebut, Allah menganugerahkan padanya ilmu awal dan akhir dan pada malam al-qadr, ia berhak menjadi tempat ziarah ruh.14

2. Fathimah putri Husain bin Ali bin Husain as15
Dia adalah putri Husain bin Ali bin Husain as. Ayahnya adalah seorang sayid yang utama dan manifestasi takwa dan wara'. Ahmad bin Isa menukil dari ayahnya sebuah hadis yang mengatakan: Saya melihat Husain bin Ali dimana jika ia berdoa maka ia tidak menurunkan tangannya dari berdoa kecuali Allah telah mengabulkan doanya.
Yahya bin Sulaiman bin Husain meriwayatkan dari pamannya Ibrahim bin Husain dari ayahnya Husain bin Ali bin Husain as bahwa Husain berkata: Ibrahim bin Hisyam Makhzumi, wali Madinah, setiap hari Jum'at kami datang ke masjid Nabi saw. Kami duduk di dekat mimbar lalu ia naik ke mimbar dan mengucapkan sesuatu yang buruk terhadap Ali bin Abi Thalib as. Pada waktu itu masjid dipenuhi oleh masyarakat. Tiba-tiba aku mengantuk lalu tertidur. Saat itu, aku melihat kubur Rasulullah saw terbuka dan seorang denga jubah putih muncul dan berkata padaku: Wahai Abu Abdillah, apakah engkau tidak bersedih atas apa yang ia katakan? Aku menjawab: Iya, aku sedih, demi Allah. Dia berkata: Lihatlah, apa yang telah dia perbuat di hadapan Tuhannya! Setelah itu, aku lihat Ibrahim bin Hisyam sedang menngucapkan hal yang buruk tentang Ali as dan tiba-tiba dari atas mimbar ia jatuh ke bawah dan mati. Laknat Allah atasnya.16
Istri Imam Shadiq as putri dari bapak tersebut di atas dan kelak ia memberikan 3 anak untuk Imam as, yaitu: 1.Ismail 2. Abdullah

3. Nafisah istri Ishak bin Ja'far as-Shadiq
Nama Nafisah adalah nama yang cukup dikenal dimana banyak dari kalangan pengikut ahlul bait as memberi nama putrinya dengan nama Nafisah dan bangga dengan nama tersebut.
Dia adalah putri Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib as. Dia adalah istri Ishak Mu'taman, putra Imam as-Shadiq as. Betapa bahagianya suaminya putra Imam dan istrinya putri cucu Imam Hasan as dan ayah dari suaminya adalah Imam Shadiq as. Dia dengan kekerabatan yang mulia ini tidak sombong. Zainab, putri saudara laki-laki Nafisah yang bekerja untuknya mengatakan: Saya telah berkhidmat pada bibiku Nafisah selama 40 tahun. Aku tidak pernah melihat ia tidur malam dan siang kecuali dalam keadaan berpuasa dan dia selalu mendirikan shalat siang dan malam. Aku pernah berkata kepadanya: Apa engkau tidak memperhatikan dirimu? Lalu ia menjawab: Bagaimana aku harus memperhatian diriku sedang akibat (ganjaran) yang akan aku terima sungguh sangatlah besar.
Dan negeri Mesir menjadi terhormat dengan kedatangan beliau. Beliau mempunyai seorang tetangga Yahudi yang buta lalu ia bertabaruk dari air wudhu beliau dan akhirnya dia bisa melihat kembali. Akibat kejadian itu, orang-orang Yahudi banyak yang memeluk Islam dan akidah orang-orang Mesir pun menjadi semakin kuat. Bahkan mereka memintanya untuk tetap tinggal di Mesir supaya mereka dapat mengambil pelajaran dari iman dan ilmunya.
Nafisah pada bulan Ramadhan tahun 208 Hijriyah meninggal dunia dimana saat itu dia sedang berpuasa. Ketika ia diminta untuk membatalkan puasanya, dia mengatakan bahwa sungguh aneh tiga puluh tahun aku memohon kepada Allah supaya mencabut nyawaku di saat aku puasa lalu sekarang kalian menginginkan agar aku membatalkan puasaku? Lalu ia membaca ayat: "Untuk mereka darus salam di sisi Tuhannya." Makam beliau terletak di Kairo, ibu kota Mesir yang sekarang menjadi tempat ziarah terkenal di sana. Nafisah memberikan dua putra kepada suaminya Ishak, yaitu: Qosim dan Ummu Kaltsum.

7
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

PERNIKAHAN IMAM MUSA BIN JA'FAR as
Beliau dilahirkan di Abwa'(sebuah tempat di antara Makkah dan Madinah) pada tanggal 128 Hijriah dan pada bulan keenam tahun 182 beliau mencapai kesyahidannya. Penjara terakhir yang beliau tempati adalah penjara "Sindi bin Shohak" dinama ini adalah nama seorang Yahudi.
Harun mengasingkan Imam dari Madinah ke Baghdad pada bulan Syawal tahun 179. Beliau dijuluki Abul Hasan Awal, Abu Ibrahim, dan Abu Ali. Bahkan beliau terkenal dengan dengan julukan Abdus Shalih, Kadzimdan Babul Hawaij.
Pada 25 Rajab tahun 183 dalam usia lima puluh tahun, beliau mencapai kesyahidan akibat racun yang diberikan Harun.
Makam beliau ada di Kadzimiyain di Iraq (ada perbedaan pendapat tentang umur beliau, silakan Anda melihat Tadzkirotul Khowash, hal. 314).
Almarhum Imam Zadeh menulis: Imam Musa al-Khadzim as beliau tidak menikah secara da'im (permanen), karena semenjak Imam Shadiq syahid, kerajaan Bani Abbas selalu mengisolir beliau dari satu kota ke kota lain (dari satu penjara ke penjara lain). Dan yang tercatat dalam sejarah tentang istri-istri beliau selain ibu Imam Ridha as, beliau banyak memiliki budak perempuan atau istri-istri yang bangga dengan menjadi istri beliau seperti Ummu Isma'il, Ummu Ibrahim dan Ummu Walad.17

Najmah Istri Imam yang ketujuh.
Najmah (bintang yang gemerlap) adalah ibu Imam Ridha dan Sayyidah Ma'shumah as (Fathimah binti Musa bin Ja`far). Silakan Anda merujuk Dalailul Imamah, Thobary Syi'iy, hal. 149).
Najmah adalah dari Maghrib (utara Afrika). Hamidah, ibu Imam Kadzim, membelinya dan mendidiknya di rumah yang penuh dengan keilmuan dan pendidikan serta kesempurnaan ilmu dan akhlak yang tinggi-dikatakatan bahwa setelah mendapat pendidikan dan bimbingan lalu ia dinikahkan dengan putranya.
Hamidah mengatakan: Suatu malam aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw lalu beliau bersabda: "Wahai Hamidah, nikahkanlah Najmah dengan putramu Musa bin Ja'far as, sehingga seorang putra sebaik-baik penduduk bumi akan segera lahir darinya."18 Hamidah menjalankan perintah tersebut, lalu beliau menikahkan Najmah dengan Imam Musa bin Ja'far. Dan setelah Najmah melahirkan seorang putra ma'shum yaitu Imam Ridha as, maka beliau mendapat julukan "thahirah" (yang suci).
Diriwayatkan bahwa saat Hamidah hendak menikahkan Najmah dengan Imam Kadzim as, dia berpesan kepada Imam as: "Putraku, Tuktam (nama lain Najmah) adalah wanita yang baik dimana aku tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih baik daripada dia. Aku titipkan ia kepadamu untuk kau jadikan istri maka hendaklah kamu berbuat baik padanya."
Najmah memiliki ketakwaan dan kecintaan kepada ibadah, munajat dan zikir kepada Allah SWT. Ketika sedang menyusui putranya, Imam Ridha as, beliau meminta bantuan kepada seorang yang bisa memberi susu. Ketika ditanya apakah air susumu telah kering? Dia menjawab: "Demi Tuhan tidaklah demikian, air susuku tidak kering. Hanya saja aku sebelumnya biasa melakukan ibadah, munajat dan zikir sedang sekarang aku tidak bisa melakukannya secara lengkap maka dari itu aku meminta tolong agar aku bisa menjalankan semua ibadah tersebut."
Syeikh Shaduq dengan sanad yang kuat meriwayatkan dari Ali bin Maitsam: "Najmah dari sisi agama, akal dan adab adalah termasuk wanita terbaik, namun demikian dia menghormati Hamidah, hingga dia tidak pernah duduk di depannya.
Syeikh Shaduq meriwayatkan dari Hisyam bin Ahmar: Imam Musa bin Ja'far as berkata padaku, 'Apa engkau tahu seseorang dari Maghrib telah datang kemari?' Aku berkata: Tidak. Imam berkata: Orang itu telah datang. Mari kita bertemu dia. Lalu Imam menaiki tunggangannya dan kami pun juga naik. Aku lihat orang dari Maghrib tersebut memiliki tempat penampungan budak wanita, lalu aku berkata: Coba tunjukkan mereka kepada kami. Kemudian dia membawa tujuh budak tapi semuanya ditolak oleh Imam. Imam berkata: Bagaimana kalau yang itu juga kamu bawa kemari. Tapi orang tersebut keberatan untuk menunjukkan budak wanita yang satu itu. Lalu Imam pun akhirnya bangun dan meninggalkan tempat tersebut. Keesokan harinya, kami pun diutus untuk menanyakan berapa harga budak tersebut yang dimaukan oleh pemiliknya. Imam berpesan kepada kami: "Berapa pun ia minta, belilah budak itu dengan harga tersebut. Hisyam mengatakan: Saya pergi kepadanya dan dia sudah menetukan harganya dan berkata: Saya tidak akan jual kurang dari harga ini karena saya juga segini dulu membelinya. Aku jual kepadamu tapi saya mau tanya orang yang beserta kamu kemarin siapa dia? Saya jawab: Seorang dari Bani Hasyim. Orang itu bertanya: Dia dari kabilah yang mana dari Bani Hasyim? Saya jawab: Saya tidak tahu lebih dari itu. Lalu dia berkata: Saya akan ceritakan padamu sebuah kejadian yang berhubungan dengan budak wanita ini. Aku beli dia dari tempat terpencil di Maghrib. Seorang perempuan ahlul kitab bertemu dengan kami lalu ia berkata: siapakah budak wanita ini? Saya jawab; dia saya beli. Perempuan itu berkata: Budak ini tidak cocok untuk jadi pendampingmu karena budak wanita ini akan jadi pendamping sebaik-baik penghuni muka bumi ini, dan darinya nanti akan lahir seorang putra yang tidak ada yang menyamainya dari barat sampai timur. Hisyam berkata: Saya bawa budak perempuan tersebut kepada Imam Musa as dan tidak lama setelah itu lahirlah Imam Ridha as.
Ketika menikahi Najmah, Imam al-Kadzim as berkata kepada para sahabatnya: Demi Allah, aku tidak membeli dia kalau tidak karena wahyu dari Allah.19
Wanita ini ternyata memiliki hati yang terang dan jiwa yang bersih. Syeikh Shaduq meriwayatkan tentang Najmah dan berkata: Saat aku mengandung putraku yang agung (Imam Ridha as), aku tak mengalami kesulitan dan ketika aku akan tidur, aku mendengar suara tasbih dan tahlil serta tamjid dari perutku...)


KISAH PERKAWINAN IMAM ALI BIN MUSA AR-RIDHA as
قال عل? بن موس? الرضا عل?ه السلام : صاحب النعمه ?جب ان ?وسع عل? ع?اله

Imam Ali bin Musa ar-Ridha as berkata: "Barangsiapa yang punya harta maka wajib baginya untuk membiayai keluarganya ."

Kisah Pernikahan Imam Ali bin Musa ar-Ridha as
Hamidah, Najmah dan Imam Kazim as menghitung hari saat menunggu kelahiran bayi yang menyenangkan. Setelah masa kehamilan berakhir, lahirlah dari seorang ibu bayi mungil, bercahaya, suci dan menarik dimana kezuhudan dan ketakwaan tampak di wajahnya.20
Imam Shadiq as mengharap bisa melihat bayi itu sebagaimana telah diriwayatkan dari Imam Musa bin Ja'far as dimana beliau berkata: "Saya sering mendengar ayahku berkata kepadaku; 'Alimi Ali Muhammad (julukan Imam Ridha) ada di sulbimu. Andaikan aku bisa melihatnya. Namanya sama dengan Amirul Mu'minin Ali as. "

1. Sabikah (Khizron)
Istri Imam Ridha as tidak lebih dari dua yang satu bernama Sabikah ibu dari Imam Jawad as dan yang kedua bernama Ummu Habibah, putri atau saudari Ma'mun Abbasi (tidak pasti apakah ia betul istri beliau, dan kalaulah benar, Imam as tidak punya anak darinya).21
Mereka menyebut ibu mulia Imam Jawad as Sabîkah dan Imam Ridha as memberi nama Khizran. Ia berasal dari Nubah22 dari keluarga Mariyah Qibthiyah, ibu Ibrahim (putra Rasulullah saw). Wanita ini adalah wanita termulia pada zamannya dimana Rasulullah saw pernah bersabda: "Ayahku, demi anak budak termulia dari Nubah." Imam Musa bin Ja'far berkata kepada Yazid bin Salit: "Jika kamu melihatnya, sampaikan salamku kepadanya."23
Istri Imam Ridha as yang bernama Sabikah Nubiyah bersama rombongan dari Afrika datang ke Madianah dan menikah dengan beliau. Dari pernikahan ini, lahirlah Imam Jawad as. Di sebagian riwayat disebutkan bahwa wanita ini berasal dari keluarga Mariyah Qibthiyah, isrti Nabi saw. Tapi hal ini jauh dari realita.24
Ahli sejarah meyakini bahwa wanita agung ini-yang mempunyai nama banyak-berasal dari Morasiyah (Mesir atau Maroko ) atau Naubah.
Adalah tidak mengherankan jika istri Imam Ridha as bukan berasal dari orang Arab. Sebab, takdir Ilahi memginginkan supaya Islam yang muncul bersama Nabi saw di tanah Hijaz menyebar keseluruh penjuru dunia dan menaungi masyarakat manusia dengan rahmat dan petunjuk.
Jadi, karena sebab inilah sebagian ibu para Imam as berasal dari berbagai daerah dan bukan dari penduduk Hijaz .Berdasarkan hikmah dan rahasia tersebut, di sini ada beberapa contoh tentang hal itu:
Syahr Banu putri Yazdigar raja dari Iran pergi ke Madinah dan disana menikah dengan Imam Husain as. Imam Ali Zainal Abidin dilahirkan dari wanita berkebangsaan Iran.25
Hamidah Barbari26 berasal dari perbatasan antara Khurasan dan Afganistan dimana ia datang ke Madinah dan menjadi istri Imam Shadiq as. Dari wanita ini lahirlah Imam ketujuh Musa bin Ja'far as.27
Sammanah Maghribiyah berkebangsaan Mesir atau barat Afrika datang ke Madinah dan menikah dengan Imam Jawad as lalu lahirlah darinya Imam Hadi as, Imam yang kesepuluh.28
Terakhir adalah ibu Imam Hasan Askari yang bernama Sammanah atau Salil atau Hudais atau Susan yang bukan Arab dimana ia datang ke Madinah dan menikah dengan Imam Hadi as lalu lahirlah darinya Imam yang kesebelas.29
Allamah Majlisi, Syaikh Mufid, Muhaddis Qomi dan sebagian ahli sejarah menulis: Ketika Imam Ridha as meninggal dunia, kami tidak melihat anak beliau kecuali Muhammad Jawad as yang berumur tujuh tahun beberapa bulan.

2. Ummu Habibah putri Ma'mun.
Menurut pendapat Ya'qubi dan Muhaddis Qomi, Ma'mun menikahkan putrinya Ummu Habibah kepada Imam Ridha as.30 Cerita pernikahannya seperti di bawah ini:
Setelah tempat resepsi dihias, Ma'mun meminta Imam as untuk menyampaikan khotbah nikahnya, beliau turuti lalu beliau mengatakan:
Puji syukur kepada Allah SWT Pemegang semua takdir, dan semua perbuatan akan sempurna dengan iradah-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain-Nya dan aku juga bersaksi bahwa Muhammad saw utusan Allah yang dipilih di antara hamba-hanba-Nya. Beliau menetapkan kenabiannya dengan dalil dan argumen dan menjauhi semua perbuatan yang dilarang Allah dan melakukan apa yang diinginkan oleh-Nya. Aku berdoa semoga Allah SWT memberikan kepada kita sesuatu yang bermanfaat dan baik bagi kita.
Sehubungan dengan Ummu Habibah, putri Amirul Mu'minin, aku mau menikah dengannya dengan maskawin 500 Dirham. Wahai Amirul Mu'minin, apakah Anda terima? Ma'mun menjawab: Aku terima dan rela.31
Perkawinan Ummu Habibah dengan Imam Ridha as terjadi di awal tahun 202 H, yakni kira-kira empat bulan setelah beliau menerima Wilayatu al-'Ahdi dari Ma'mun pada tahun 201 H.

قال الجواد عل?ه السلام: من اطاع هواه اعط? عدوه مناه

"Barangsiapa yang mengikuti hawa nafsunya, ketahuilah bahwa musuhnya telah menyampaikan kepada keinginannya."


KISAH PERNIKAHAN IMAM JAWAD as
Imam Jawad as sekalipun usianya masih muda, namun pintar berpolitik. Ma'mun dengan politik dan kepicikannya menikahkan putrinya kepada beliau. Karena Ma'mun telah membunuh Imam Ridha as, maka ia tidak banyak ikut campur dalam urusan Imam Jawad as.
Abu Ishak (Ibrahim bin Harun ) yang terkenal dengan panggilan Mu`tasham saudara Ma'mun al-Rasyid adalah lelaki durjana, pemabuk dan bodoh.32 Ia tidak mampu membaca politik Ma'mun. Oleh sebab inilah, sepanjang masa khilafahnya selama kurang lebih delapan tahun terjadilah beberapa kajadian pahit, di antaranya adalah pembunuhan Imam Jawad as.
Abdullah bin Zarrin Asy'ari mengatakan: Di Madinah, aku bertetangga dengan Abu Ja'far Jawad as dan aku melihat beliau setiap hari di waktu Dzuhur pergi ke masjid Rasulullah saw untuk berziarah ke pusara beliau. Kemudian beliau masuk ke rumah Fatimah as dan melakukan shalat didalamnya.
Imam Jawad as meninggal dunia di Bagdad dan dikebumikan di sisi kakeknya Imam Musa bin Ja'far as, Imam ketujuh di kota Kadzimain.33

1. Pernikahan dengan Ummu Fadl Putri Ma'mun
Setelah meracuni Imam Ridha as di kota Thus pada hari Jum'at tanggal 23 Ramadhan tahun 202 H atau akhir bulan Shafar 203,34 Ma'mun al-Rasyid pergi ke Baghdad guna menyelesaikan persoalan yang terjadi di ibu kota Irak.35
Setelah itu, Ma'mun memanggil Imam Muhammad Taqi as yang baru berumur sembilan tahun ke Baghdad dengan penuh penghormatan dan sambutan. Ia berniat untuk menikahkan putrinya Zainab yang terkenal dengan panggilan Ummu Fadl kepada beliau.36
Mas'udi, Thabari, Ya'qubi dan mayoritas ahli sejarah menulis bahwa Ma'mun sebelumnya sudah menikahkan putrinya yang lain (Ummu Habibah ) kepada Imam Ridha as.37
Ma'mun dalam perkawinan ini menampakkan niat baiknya dan rasa cintanya kepada Imam Muhammad Taqi as, padahal bukti-bukti sejarah telah membuktikan bahwa pada kenyataannya ia tidak punya niat selain mengelabuhi dan meredahkan kemarahan keluarga Imam Ridha as dan Alawiyun (para pengikut beliau) dan menutup-nutupi pembunuhan Imam Ridha as.
Bagaimanapun juga, ketika Ma'mun berniat menikahkan putrinya dengan Imam Muhammad Taqi as, ia mendapat protes dan tantangan dari sahabat dan pencinta ahlul bait. Bahkan Bani Abbas juga berunjuk rasa di depan Ma'mun. Tapi dengan alasan: Pertama, Imam Taqi as masih kecil. Kedua, karena dengan perkawinan ini khilafah dan kekuasaan akan keluar dari kelurga Bani Abbas. Di samping itu, kelurga dekat Ma'mun sendiri berkumpul di rumahnya dan menyebut-nyebut permusuhan lama dan mengakar antara Bani Hasyim dan Bani Abbas. Mereka menyuruh Ma'mun untuk membatalkan perkawinan ini.38
Ma'mun menolak keberatan pertama Bani Abbas dengan mengatakan: "Sesungguhnya Allah SWT telah mengkhususkan ilmu dan keutamaan kepada keluarga ini (ahlu bait). Mereka lebih utama dari orang lain dan sedikitnya usia tidak menghalangi kesempurnaan dan kemuliaan mereka. Tidakkah kalian tahu bahwa ketika Rasulullah saw mengajak Amirul Mu'minin Ali as kepada Islam ia masih berusia 10 tahun? Lalu ia menerima Islam, padahal beliau tidak mengajak seseorangpun masuk Islam dalam usia seperti itu. Begitu juga Hasan dan Husain as berbaiat kepada Rasulullah saw tatkala mereka berusia 6 tahun dan beliau tidak mengambil baiat dari anak kecil selain mereka? Jadi, mereka ini adalah keluarga luar biasa dan tidak seorangpun bisa disamakan dengan mereka."39

Acara Pernikahan
Setelah perdebatan selesai antara Imam Muhammad Taqi as yang masi kecil dan Yahya bin Aktsam, Hakim Baghdad yang paling pintar dan dimenangkan oleh Imam, Ma'mun berkata kepada para hadirin: Karena inilah aku memilih Abu Ja'far as. Sekalipun dia masih kecil akan tetapi keilmuan, keutamaan dan kesempurnaannya melebihi semua orang dan kalian tidak mengenalnya dengan baik.
Aku lebih tahu tentang pemuda ini daripada kalian. Anggota keluarga ini mendapatlkan ilmu dan pengetahunnya dari ilham Allah. Ayah-ayahnya dalam ilmu agama, sastra dan kesempurnaan insani tidak pernah bisa ditandingi oleh siapapun.40
Ma'mun berkata kepada Imam Muhammad Taqi as: Aku datang untuk menikahkan putriku kepadamu dan bacalah akad nikahnya. Imam Mohammad Taqi as menyampaikan khotbah nikahnya sebagai berikut:
"Puji syukur kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat-Nya. Tiada Tuhan selain Allah, shalawat serta salam kepada Muhammad saw dan keluarganya. Amma ba'du, sesunguhnya pernikahan adalah anugerah Allah kepada manusia. Dan orang yang paling utama adalah orang adalah yang tahu tentang hukum halal dan haram. Allah SWT berfirman:

وانکحو الا?ام? منکم والصالح?ن من عبادکم وامائکم ان ?کونو فقرا ?غنهم الله من فضله والله واسع عل?م.

Dan sesunguhnya Muhammad bin Ali bin Musa melamar Ummu Fadl, putri Abdullah al-Mu`tasham dengan maskawin neneknya Fatimah as, putri Muhammad saw yaitu 500 Dirham. Apakah Anda mau menikahkan aku denganya, wahai Amirul Mu'mimin dengan maskawin tersebut?
Ma'mun setuju dan menerima maskawin yang telah ditentukan. Lalu ia berkata kepada Imam as: Apakah kamu menerima perknikahan ini? Imam as menjawab: Aku terima dan aku rela."40
Muhammad bin Rayyan meriwayatkan bahwa setelah akad nikah dibaca Ma'mun menyuruh masyarakat umum, orang-orang khusus dari para ulama, hakim, para pembesar dan pejabat pemerintah untuk menghadiri acara dan mengucapkan selamat kepada Imam as. Kemudian mereka menikmati berbagai bermacam hidangan yang sudah siap di atas meja makan. Dan Ma'mun memberikan hadiah kepada setiap orang yang hadir di situ.41
Setelah itu, seratus budak sambil membawa bejana emas mengarak mempelai wanita menuju rumah yang sudah disiapkan untuk Imam as.
Imam as dengan penuh ketenangan, wibawa dan tidak perhatian terhadap gemerlapnya dunia, menasihati lelaki tua berjenggot panjang yang mereka panggil untuk membacakan syair-syair (yang kadang-kadang merendahkan kedudukan Imam) supaya berhenti dari pekerjaan ini.42
Kemudia Imam as mulai hidup bersama dengan putri khalifah tersebut.
Setelah satu tahun Imam as tinggal di Baghdad, beliau (yang saat itu berusia 15 tahun, menurut Thabari43) bersama Ummu Fadl meninggalkan Baghdad pergi ke Madinah. Ma'mun di samping memberi hadiah kepada orang-orang, juga menghormati Imam as, dan mereka mengatar ke Madinah.44 Akhirnya Imam agak sedikit bebas dan menjalani kehidupan biasanya serta melanjutkan misi yang ada di pundaknya.
Ya'qubi menulis: Ma'mun sering mengatakan, Aku melakukan pernikahan ini karena aku ingin Abu Ja'far punya keturunan dari putriku dan aku menjadi kakek sorang bayi dari keluarga Nabi saw dan Ali bin Abi Thalib.45
Namun takdir Tuhan tidak mengizinkan Imam bertahu-tahun untuk memiliki keturunan dari putri Ma'mun dan beliau menikah dengan wanita suci dan agung dari selain Arab yang bernama Sammanah dari Maroko.
Jawaban atas satu pertanyaan:
Mengapa Imam Jawad as mau menjadi menantu Ma'mun, padahal menurut satu pendapat Ma'mun telah membunuh ayah beliau, Imam Ridha as?
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini, kita harus melihat kembali pergerakan yang dilakukan oleh para imam as dan sejauh mana pergerakan ini terjadi di zaman Imam Ridha as dan anaknya Imam Jawad as...46

2. Pernikahan dengan Sammanah Maghribiyah
Muhammad bin Faraj Rukhji-yang berasal dari Rukhj salah satu desa dikota Kirman (Iran)47 dan termasuk salah satu sahabat Imam Ridha as, Imam jawad as dan Imam Hadi as, meriwayatkan:
Abu Ja'far Imam Jawad as pada suatu hari memanggilku dan memberikan 70 Dirham kepadaku sambil mengatakan: Dalam waktu singkat rombongan pedagang akan memasuki kota Madinah dengan membawa budak-budak untuk diperdagangkan, salah satu dari budak itu memiliki ciri-ciri khusus yang beliau jelaskan kepadaku dan memerintahkanku untuk membelinya.
Sesuai dengan perintah beliau tatkala rombongan itu memasuki Madinah, aku mendatangi mereka guna membeli budak itu. Namun pemiliknya beralasan kalau budak itu sakit. Akan tetapi, sesuai pesan Imam aku beli budak itu dan aku bawa kepada beliau.48
Imam Jawad as menikah dengan budak Maroko (Afrika) itu. Menurut versi Kulaini49, Tabari50 dan Ibn Tsalaj Bagdadi (wafat tahun 325 H) Imam Hadi as, anak Imam Jawad lahir pada tanggal 5 Rajab tahun 214 H.51 Dengan melihat pendapat ini, maka kita bisa memprediksikan bahwa Imam Jawad as pada tahun itu juga menikah dengan wanita besar ini.
Ummu Fadl mengatakan: Pada suatu hari tatkala aku sedang duduk di rumah, tiba-tiba masuk seorang wanita dan memberikan salam kepadaku. Aku bertanya, Siapa Anda?
Ia menjawab: Aku dari keluarga Ammar Yasir, istri Ja'far Muhammad bin Ridha as suamimu. Ketika aku mendengar kabar ini, diriku tidak terkontrol karena marah, dan rasa-rasanya aku ingin pergi ke padang pasir, syetan membujukku untuk kurang ajar kepada perempuan itu, namun aku kendalikan rasa marahku.52
Ketika Imam Jawad as dikaruniai anak laki-laki dari permpuan ini, Ummu Fadl sedemikian iri dan marah sehingga dari satu sisi memusuhi Imam dan dari sisi lain menulis surat keluhan kepada bapaknya di Baghdad dan meminta supaya melakukan sesuatu untuknya.
Akan tetapi Ma'mundi salah satu suratnyamenjawab: Bertahanlah! Karena beliau adalah darah daging Rasulullah saw.53
Disurat yang lain Ma'mun menjawab keluhan Ummu Fadl: Aku tidak menikahkan engkau dengan Aba Ja'far as untuk mengharamkan sesuatu yang halal (poligami), maka dari sekarang engkau tidak boleh menulis surat lagi tentang itu.54
Imam Jawad as syahid diusianya yang ke 25 tahun (tiga bulan dua belas hari) pada bulan Dzulqo'dah tahun 220 H di tangan Mu`tasham Abbasi, di Baghdad.

3. Hakimah Khatun as
Hakimah adalah wanita yang agung, cerdas dan perawi hadis. Ia sempat bertemu dengan empat Imam ma'sum as dan berbakti kepada mereka, dan juga pernah menimang serta menciumi Imam Mahdi as.
Wanita muda dan cerdik ini, sekalipun ayahnya yang masih muda dan ma'sum dibunuh oleh isteri beliau sendiri-Ummu Fadl-atas perintah Mu'tasham Abbasi, namun dengan jiwa insaniahnya dan cerminan dari ahlul bait ia mau menemui wanita pengkhianat tersebut guna mengucapkan bela sungkawa dan tidak memutuskan hubungan dengannya.
Abu Nasr Hamadani mengatakan: Hakimah putri Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far as yang sekaligus bibi Imam Hasan Askari as meriwayatkan kepadaku: Setelah ayahku, Muhammad bin Ali as syahid, aku menemui istri beliau,Ummu Fadl putri Mu'tasham untuk mengucapkan bela sungkawa. Ia sangat sedih dan menangis tersedu-sedu dan hampir-hampir mati akibat tangisan dan rintihannya. Namun aku hibur sehingga agak sedikit tenang dan pahitnya kematian ayahku bertambah kurang baginya. Di saat itulah ia mulai membuka keagungan, keutamaan, kemuliaan akhlak ayahku, dan keikhlasan yang Allah berikan kepadanya.
Lalu ia melanjutkan: Aku sangat cemburu dan iri terhadap suamiku. Beliau aku jaga ketat dan bahkan unek-unek dan keluhan-keluhanku yang menyangkut beliau aku sampaikan dan laporkan kepada ayahku. Namun ayahku menjawab: Putriku, bersabarlah dan tahanlah, sebab suamimu adalah darah daging Nabi saw.55
Hakimah setelah memiliki suami, keturunan dan usia yang panjang dan penuh berkah, meninnggal dunia pada tahun 274 H di Samarro' dan dikebumikan di pemakaman saudaranya Imam Hadi as dan keponakannya Imam Hasan Askari as, Imam yang kesebelas.56

قال الامام الهاد? عل?ه السلام :" وارفض الشهوات وخالف الهو? واعلم انک لن تخلوا من ع?ن الله فانظر ک?ف تکون.

"Jauhilah syahwat dan perangilah hawa nafsu serta ketauhilah bahwasanya Allah selalu melihatmu, maka lihatlah apa akan yang engkau lakukan"


KISAH PERNIKAHAN IMAM HADI as
Beliau adalah Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali ibn Abi Thalib as.
Julukannya adalah Abul Hasan Askari. Ia dijuluki Askari karena Ja'far al-Mutawakkil mengasingkan beliau dari Madinah ke Baghdad (Surra Man Ro'a). Beliau tinggal di sana selama 20 tahun 9 bulan. Ibunya bernama Sammanah Maghribiyah.
Para sejarawan berkata: Sesungguhnya al-Mutawakkil mengasingkan beliau dari Madinah ke Baghdad kerena ia benci kepada Ali dan keluarganya as. Setelah kabar tentang kedudukan Ali an-Naqi as di Madinah dan sambutan masyarakat setempat sampai ke telinga kepada Mutawakkil, ia merasa takut dan memanggil Yahya bin Hartsamah lalu berkata kepadanya: Pergilah kau ke Madinah dan jagalah dia serta laporkan semua yang terjadi kepadaku.
Beliau wafat diusianya yang ke 40 tahun 6 hari pada bulan Jumadil Akhir tahun 254 H di Surra Man Ro'a (nama tempat) di masa kekuasaan al-Mu'taz Billah dan dikebumikan di Surra man Ro'a. Dan menurut satu versi diceritakan bahwa beliau meninggal karena diracun. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab tahun 214 H.57
Julukan beliau ialah: an-Naqi, al-'Alim, al-Faqih, al-Amin, al-Thayyib dan Abul Hasan al-Tsalis.
"Imam Hadi as dilahirkan dari seorang ibu bertakwa yang bernama Sammanah Maghribiyah yang terkenal dengan panggilan Sayyidah. Berkenaan dengan ibunya, beliau berkata: "Ibuku tahu betul hak-hakku dan ia termasuk penduduk surga. Setan tidak pernah mendekatinya dan tipu daya para makar tidak pernah sampai kepadanya dan Allah-lah penjaganya....Ia kekal dalam Jannatul Khulud yang penuh dengan kenikmatan, dan tidak seorangpun bisa menyamai kezuhudan dan ketakwaannya."58

Hudais atau Salil, isteri Imam Hadi as
Syaikh Mufid dalam buku Irsyad berkenaan dengan nama ibu Hasan Askari as menulis: "Ibunya dipanggil Hudaitsah. Almarhum Qommi menulis: "Ibu mulia Imam Hasan Askari as bernama Hudais dan menurut satu versi Salil, dan dipanggil Jaddah. Ia memiliki wara' dan takwa yang luar biasa, dan kekal dalam surga. Dan sudah cukup baginya suatu kemuliaan bahwasanya ia tempat berlindung para pengikut ahlul bait setelah Imam Hasan Askari as wafat.
Mas'udi dalam buku Isbatul Washiyah berkata: Diriwayatkan dari 'Alimi Ali Muhammad (Imam Ali Ridha as) bahwasanya ketika Salil masuk kepada Imam Ali an-Naqi, beliau bersabda: Salil adalah wanita suci dan bersih dari setiap kotoran dan dosa, lalu beliau berkata kepada istrinya: "Betapa cepat Allah SWT memberikan hujah kepadamu sehingga engkau yang akan mengisi bumi ini dengan keadilan sebagaimana sebelumnya telah penuh dengan kelaliman."
Lalu Mas'udi berkata: Ia (Salil) mengandung Imam Hasan Askari as... Umur Imam Ali an-Naqi saat itu 15 tahun beberapa bulan. Kemudian pada tahun 236 H beliau pergi ke Irak, sementara usia Imam Askari baru 4 tahun beberapa bulan.59 Sedangkan beliau sendiri waktu ayahnya syahid dan menerima jabatan imamah baru berumur 8 tahun.
Dalam kitab Safinatul Bihar, Mas'udi berkata: "Nama ibu beliau sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh ahli hadis adalah Salil ra atau Hudais, namun yang benar adalah Salil. Ia termasuk wanita arif dan salehah."
Syaikh Shaduq dalam buku Kamaluddin meriwayatkan dari Ahmad bin Ibrahim, ia berkata: Aku datang ke rumah Hakimah putri Imam Jawad as (bibi Imam Hasan Askari as) pada tahun 262 H, ia berbicara denganku dari balik tabir. Aku bertanya soal Imam, lalu ia sebut satu persatu sampai Imam Zaman as. Aku bertanya lagi, Anda melihatnya atau sekedar mendengar? Ayahku Muhammad (Imam Askari as) memberitahukan kepadaku bahwa Hujjah (Imam Zaman) akan lahir ke dunia ini. Aku bertanya lagi: Para pengikutnya akan kembali kepada siapa? Ia menjawab: kepada ibu Imam Hasan Askari as (Jaddah).
Aku lanjutkan pertanyaanku: Apakah aku harus mengikuti orang yang telah berwasiat kepada seorang wanita? Ia jawab: Mengikuti perintah ini adalah mengikuti Imam Husain yang telah berwasiat kepada Sayyidah Zainab. Semua keilmuan dan karamah yang tampak pada pribadi Imam Sajjad as mereka sandarkan kepada Sayyidah Zainab.60
Dalam kitab itu juga diriwayatkan dari Muhammad bin Shaleh Qanbary bahwasanya ketika Sayyidah Jaddah meninggal dunia, ia berwasiat supaya dikuburkan di rumahnya, namun Ja'far (yang terkenal dengan sebutan Kazzab dan Tawwab)61 menolak sambil berkata: Ini adalah rumahku, maka jangan kubur di sini. Di saat itu tiba-tiba muncul Hujjah (Imam Zaman as) menegor pamannya, Ja'far: Hai Ja'far, ini rumahmu? Setelah itu, beliau ghaib dan tidak tampak lagi dari pandangan mata.62
Almarhum Imad Zadeh menulis: Istri Imam Hadi as yang bernama Susan adalah wanita suci, guru besar dan meyakini betul tentang kenabian dan kepemimpinan .
Susan seperti halnya wanita mulia lain juga memiliki banyak nama. Ia dipanggil Hudaitsah, Salil dan selainnya.
Dalam budaya Arab, memiliki banyak nama adalah hal biasa, khususnya para budak yang banyak merantau dari kota ke kota lain atau dari kabilah ke kabilah lain.
Pengarang buku U'yunul Mu'jizat menulis: Salil adalah wanita arif, salehah, dari keluarga ahlul bait dan meninggal dunia di Samrro' setelah Imam Hasan Askari syahid. Ia dikuburkan di samping pusara beliau.
Imam Hasan Askari as memberi kabar kepada ibunya tentang kesyahidan dirinya, dan di tahun itu juga beliau mengirim ibunya pergi haji. Wanita ini mendengar anaknya (Imam Hasan Askari ) dibunuh tatkala sedang di Madinah, lalu ia kembali ke Samarro' dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya dan dikebumikan di pemakaman suaminya. Ahli sejarah menulis bahwa wanita mulia ini meninggal setelah tahun 260 H.63

قال ابومحمد الامام الحسن العسکر? عل?ه السلام : حسن الصوره جمال ظاهر حسن العقل جمال باطن

"Kecantikan wajah adalah kecantikan luar dan kecantikan akal adalah kecantikan batin."


KISAH PERNIKAHAN IMAM HASAN ASKARI as
Abu Muhammad Imam Hasan Askari as lahir pada bulan Rabi'ul akhir tahun 230 H dan meninggal dunia pada hari Jum'at bulan Rabiul Awal tahun 260 dimana di saat itu beliau berusia 28 tahun. Pusara beliau berada di Samarro.'
Pengarang Usul Kafi di bab kelahiran beliau menulis: Imam Hasan Askari as lahir pada bulan Ramadhan (di referensi lain bulan Rabiul Awal) tahun 232 H, dan ibunya bernama Hudais atau Susan (menurut versi lain). Sejarawan menulis bahwa masa kepemimpinan beliau 6 tahun.64
Julukannya ialah: al- Hadi, as-Siroj, al-Askari. Beliau dan ayahnya dijuluki Ibnu al-Ridha. Banyak yang mengatakan bahwa beliau mati diracun, begitu juga ayahnya, kakeknya dan imam-imam yang lain yang meninggalkan dunia ini dengan gelar syahid. Mereka berargumentasi dengan perkataan Imam Shadiq as: "Demi Allah, tidak satupun dari kami kecuali gugur sebagai syahid."65 Allah yang lebih tahu hal itu semua.

Pernikahan beliau dengan Narjis Khatun as
Pernikahan beliau terjadi di zaman ayahnya. Dalam hal ini ada empat pendapat yang bisa disimpulkan dari referensi-referensi yang ada:
Pertama, Malikah putri Yasyu'ah putri kaisar Rum.
Syaikh Shaduq dengan sanad-nya sendiri menukil dari Abul Husain bin Muhammad bin Bahr Syibani, ia berkata: Pada tahun 286 H aku memasuki Karbala' dan berziarah ke pusara putra Rasulullah saw. Lalu aku kembali ke Baghdad. Dengan udara yang panas dan menyengat, aku pergi ke kuburan Quraisy. Ketika sampai di pusara Imam Kazim as yang tanahnya membawa rahmat dan ampunan, aku duduk bersimpuh sambil menangis tersedu-sedu sehingga air mataku menghalangi penglihatannku. Setelah kondisiku kembali seperti semula, aku mulai membuka mataku. Tiba-tiba aku melihat lelaki tua renta bongkok yang kulit wajah dan tangannya menebal lantaran banyak sujud. Lelaki tua itu berkata: Hai saudaraku, pamanmu-berkat rahasia-rahasia ilmu berharga yang tidak dimiliki orang kecuali seperti Salman yang dua tuan itu memberikan ilmu itu kepadanya-mendapatkan kedudukan yang tinggi. Pamanmu sebentar lagi akan wafat dan sekarang sedang menjalani detik-detik akhir hayatnya. Dan ia tidak mendapatkan seseorang dari keluarganya yang bisa diserahi rahasia-rahasianya.
Aku berkata kepada diriku: Betapa berat perjalananku. Aku selalu mencari ilmu kesana kemari dengan menunggangi unta dan keledai. Sekarang aku mendengar satu ucapan dari orang tua ini yang menunjukkan bahwa ia mempunyai ilmu yang banyak dan pengaruh yang besar.
Aku bertanya kepada lelaki tua itu, siapakah dua tuan yang Anda maksud?
- Mereka berdua adalah dua bintang yang bersemayam di bawah tanah di Surro Man Ro'a (Samarro').
- Demi kecintaan dan kedudukan agung dua pembesar ini, aku bersumpah akan selalu mencari ilmu dan aku bersumpah akan menjaga rahasia-rahasia mereka.
- Jika perkataanmu benar, tunjukkan peninggalan dan bukti-bukti para perawi hadis yang ada di tanganmu.
- Setelah orang tua itu mengoreksi kitab-kitabku dan melihat riwayat-riwayat mereka, ia berkata: Perkataanmu benar. Aku adalah Basyar bin Sulaiman Nakhas, cucu Abu Ayub Anshari, sahabat Abul Hasan dan Abu Muhammad (Imam Hadi dan Imam Askari as ) dan aku di Surro Man Ro'a bertetangga dengan mereka.
- Sekarang hormatilah saudara seagamamu yang menyebut-nyebut segelintir dari keutamaan dan kemuliaan para pembesar tadi.
- Imamku Abul Hasan, Ali bin Muhammad Askari as mengajariku hukum jual- beli budak dan aku tidak pernah melakukan itu kecuali atas izin beliau. Aku selalu menjauhkan diri dari syubhat sampai akhirnya aku menguasai permasalahan-permasalahan itu dan bisa membedakan yang haram dari yang halal.
Pada suatu malam, di Surro Man Ro'a aku sedang sendirian di rumah. Tiba-tiba terdengar ketokan pintu. Aku segera membukanya. Kemudian Kafuru Khodim (pembantu Imam Hadi as) sudah berdiri di depan pintu dan mengajak aku untuk menemui beliau. Aku bersiap-siap dan bergegas pergi. Setelah aku sampai di rumah beliau, tampak dari balik jendela Abu Muhammad sedang berbicara bersama anak dan saudarinya (Hakimah). Setelah aku duduk, beliau berkata: Hai Basyar, engkau adalah putra dari Anshar dan kecintaan kepada para imam selalu tampak di tengah-tengah kalian dari generasi ke generasi yang lain. Dan kami percaya kepada kalian. Aku melihat engkau lebih utama dari yang lain dan lebih cepat mendapatkan hal itu . Banyak rahasia yang aku sampaikan kepadamu dan aku akan mengirimmu untuk membeli budak.
Saat itu beliau menulis surat dengan bahasa Rum lengkap dengan tanda tangannya dan memberikan 220 Dinar kepadaku yang terbungkus dalam kain kuning. Beliau berkata: Ambilah surat dan uang ini dan pergilah ke Baghdad pada hari ini (beliau telah menentukan harinya). Ketika terbit matahari, pergilah ke pinggir Furot. Ketika perahu pembawa tawanan dan budak sampai ke pinggir, engkau akan melihat satu kelompok dari anak buah khalifah Bani Abbasi dan sekelompok pemuda Arab (Irak) yang tawanan-tawanan berada di bawah kekuasaan mereka.
Di saat itu, pasanglah strategi yang bagus dan jagalah penjual budak yang bernama Umar bin Yazid Nakhasi dengan ketat. Ketika ia menawarkan budak-budaknya kepada para pembeli, belilah darinya budak yang pernah aku ceritakan kepadamu. Budak itu memakai dua helai kain sutra dan tidak mau dipegang atau membuka kepala dan wajahnya serta tidak mau melihat para pembeli. Nakhas (penjual budak) memukuli budak itu, ia menjerit dengan khas suara Rum-nya. Ketahuilah bahwasanya ia sedang berbicara demikian dengan bahasa Rum: Ah....! Kehormatanku telah diinjak-injak.
Salah satu pembeli mengatakan: Aku berani membeli budak ini seharga 300 Dirham, sebab harga dirinya telah membuat aku lebih tertarik. Budak itu menjawabnya dengan bahasa Arab: Seandainya engkau bertampang seperti Sulaiman dan meraih kerajaannya, kemudian datang kepadaku, aku tetap tidak akan suka kepadamu, maka jangan sia-siakan hartamu.
Nakhas berkata kepada budak itu: Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untukmu. Engkau tidak suka setiap pembeli padahal aku tidak punya jalan lain kecuali harus menjualmu. Budak itu menjawab: Kenapa kau terburu-buru? Pasti ada pembeli yang cocok dengan keinginanku sehingga aku bisa setia dan percaya kepadanya.
Ketika percakapan sampai di sini, pergilah kau ke pemilik budak itu dan katakanlah: Saya membawa satu surat dari seorang pembesar mulia yang ditulis dengan bahasa dan tulisan yang penuh kecintaan dan kelemahlembutan dimana beliau dalam surat ini telah menggambarkan kemuliaan, kedermawanan dan kesetiaan dirinya. Di saat itu, berilah surat ini kepada budak itu. Jika setelah membaca surat ini, budak itu rela terhadap penulisnya, maka katakan kalau engkau diutus oleh pembesar tadi untuk membeli budak itu.
Basyar bin Sulaiman berkata: Semua yang diperintahakan Imamku Imam Hadi as berkenaan dengan budak itu aku lakukan. Ketika budak itu melihat surat Imam Hadi as tanpa sadar ia menangis. Lalu berkata kepada Umar bin Yazid: Juallah aku kepada pemilik surat ini dan aku bersumpah jika engkau tidak menjualku kepadanya, akan kumusnahkan diriku.
Basyar berkata: Setelah kejadian ini, aku tawar-menawar dengan penjual budak mengenai harganya sampai ia rela dengan harga yang telah ditentukan oleh Imam Hadi as. Akhirnya, penjual budak itu mengambil uang dariku dan aku mengambil budak itu darinya dalam keadaan senyum. Lalu aku bawa ke Baghdad. Ia kelihatan gelisah dan tidak tenang, lalu mengeluarkan surat Imam dari kantongnya dan diciuminya, diletakkan di dahinya dan diusapkan ke badannya.
Aku berkata kepada budak itu dengan penuh heran: Bagaimana engkau menciumi surat yang pemiliknya tidak kau kenali? Ia menjawab: Engkau belum pernah merasakan keagungan dan kebesaran keluarga para Nabi. Perhatikan pembicaraanku dengan betul sehingga engku kenal siapa aku! Aku adalah Malikah, putri Yasyu'a, putri Kaisar Rum dan ibuku dari keturunan Hawariyun yang disandarkan kepada Syam'um washi Nabi Isa as. Sekarang aku akan membuat engkau terheran-heran dengan masalah ini. Kakekku adalah Kaisar Rum dan aku pada usia tiga belas tahun dikawinkan dengan anak saudaranya. Tiga ratus orang dari cucu Hawariyun, pendeta dan Rahib, tujuh ratus orang dari pegawai dan empat ribu orang dari pembesar kabilah berkumpul di istana. Saat itu Kaisar menyuruh untuk mengambil singgasana yang sudah terhiasi dengan aneka ragam permata di zaman kekuasaannya. Singgasana itu memiliki 40 puluh tangga di mana anak saudaranya duduki di ujungnya.
Di saat inilah salib-salib dipasang, para uskup melingkarinya dan para pendeta membacakan Injil. Tiba-tiba salib-salib itu berjatuhan ke tanah dan kaki-kaki singgasana tadi patah dan keponakan raja itu jatuh tertindih singgasana. Semua pendeta gemetar ketakutan menyaksikan kejadian ini. Pembesar mereka berkata kepada kakekku: Tuanku, maafkan kami atas kejadian ini. Sebab, tampak dari pernikahan ini kejelekan.
Kakekku melakukan istikharah, tapi hasilnya buruk. Kemudian berkata kepada para pendeta: Angkatlah singgasana ini untuk yang kedua kalinya dan pasanglah salib-salib itu di tempatnya lalu hadirkan saudara dari mempelai lelaki yang sial sebagai ganti darinya dimana ia yang akan menjadi suami gadis ini. Barangkali nasib baikya bisa menolak dan menepis kejelekan-kejelekan ini. Perintah kakekku dilakukan, namun kejadian sebelumnya terulangi lagi. Setelah kejadian ini, semua orang balik ke rumahnya masing-masing dan kakekku masuk ke istananya dalam kondisi sedih dan tabir-tabir pada berjatuhan.
Malam itu juga aku bermimpi melihat Nabi Isa as, Syam'um dan sebagian dari Hawariyun berkumpul di istana kakekku dan membangun mimbar persis di tempat singgasana kakekku . Saat itulah Nabi Muhammad saw beserta rombongan pemuda dan keluarganya masuk untuk menemui mereka. Nabi Isa as pergi menyambut beliau dan satu sama lain saling berpelukan. Nabi saw berkata kepada Nabi Isa as: Wahai Ruhullah, kami datang untuk menikahkan Malikah, putri washi-mu Syam'um dengan anakku (beliau menunjuk Imam Askari as pemilik surat ini).
Setelah itu Nabi Isa menoleh ke arah Syam'um dan berkata: Kebanggaan dua alam telah kau miliki. Adalah kemuliaan bagimu ketika dapat menyambung tali kekeluargaan dengan Muhammad saw. Sya'um menjawab: Ini akan aku lakukan. Di saat itu Nabi saw naik mimbar menyampaikan khotbahnya dan menikahkan aku dengan Imam Hasan Askari as sementara Nabi Isa as dan keluarga Rasulullah saw serta Hawariyun menjadi saksi pernikahan itu.
Ketika aku bangun tidur, karena aku kawatir akan terbunuh, aku tidak ceritakan mimpiku kepada ayah dan kakekku dan rahsia ini aku simpan dalam dadaku. Bara cinta kepada Imam Askari as membakar hatiku sampai aku lupa makan dan minum. Setiap hari badanku bertambah kurus sehingga aku jatuh sakit. Kakekku memanggil semua dokter Rum utuk mengobatiku, namun mereka tidak berhasil. Setelah kakekku merasa putus asa dengan pengobatanku, pada suatu hari ia berkata kepadaku: Sayangku, apakah hatimu tidak ingin harta hingga aku penuhi?
Aku menjawab, kakekku sayang, aku sengaja tutup pintu-pintu pengobatanku. Jika Anda perintahkan mereka untuk menghentikan penyiksaan terhadap para tawanan Muslim yang ada di penjara-penjaramu dan Anda lepaskan belenggu dan rantai-rantai dari tangan dan kaki mereka serta Anda keluarkan hukum pembebasan mereka, insya Allah Nabi Isa dan ibunya akan memberikan kesembuhan kepadaku.
Setelah kakekku menuruti permintaanku, aku sedikit mendapatkan kesembuhan dan sedikit-sedikit aku mulai makan. Kakekku sangat senang dan melakukan penghormatan kepada para tawanan.
Empat malam setelahnya, aku bermimpi melihat Sayyidah Fatimah as bersama Sayyidah Maryam putri Imran dan seribu bidadari surga datang menjengukku. Sayyidah Maryam berkata kepadaku: Wanita mulia ini adalah Sayyidah Zahra' as, ibu suamimu Imam Hasan Askari. Aku pegang tangan Zahra' yang suci sambil aku meneteskan air mata. Aku katakan kepadanya: Anakmu Hasan Askari bersikap dingin terhadap diriku dan tidak mau melihatku.
Fatimah Zahra' as menjawab: Bagaimana anakku mau menemuimu sementara kau menyekutukan Tuhan dan mengikuti agama Tarsayan yang saudariku Maryam merasa tidak menerima agama ini dan agamamu. Kalau engkau ingin diridhai Allah, Nabi Isa dan Maryam, dan Imam Hasan Askari as mau melihatmu, maka katakan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah." Ketika aku mengucapkan kalimat ini, pemimpin wanita alam langsung memelukku dan aku gembira sekali. Lalu beliau berkata kepadaku: Sekarang tunggulah anakku, aku akan kirim kepadamu.
Selepas bangun tidur, aku berkata kepada diriku sendiri: Betapa nikmatnya bertemu dengan Abu Muhammad as. Malam berikutnya, aku bermimpi melihat Imam Hasan Askari as datang kepadaku dimana seakan aku berkata kepada beliau: Hai kasih pujaanku, setelah hatiku kau jadikan tawanan cintamu, kenapa aku tidak boleh menemuimu? Beliau menjawab: Ketidakhadiranku karena kemusyrikanmu. Nah sekarang kau sudah Muslim, maka setiap malam aku akan hadir di sisimu sampai Allah Yang Maha Kuasa menyatukan aku dengan dirimu. Sejak itu sampai sekarang beliau selalu menemuiku.
Basyar berkata: Aku bertanya kepadanya (Malikah): Bagaiman engkau bisa berada di tengah-tengah para tawanan? Ia menjawab: Imam Askari as pada suatu malam pernah berkata kepadaku: Kakekkmu pada suatu hari akan mengirim pasukan untuk memerangi kaum Muslim dan engkau sebagai budak-tanpa dikenali oleh mereka- akan bergabung dengan mereka. Beliau menentukan kepadaku jalan yang harus dilewati, lalu aku menurutinya. Para tentara Islam berhadap-hadapan dengan kami dan akhirnya kami menjadi tawanan mereka. Jadi, singkatnya, aku adalah orang yang pernah engkau lihat dan sampai sekarang tidak satupun selain engkau yang tahu kalau aku putri Raja Rum. Dalam kelompok tawanan, aku bergabung dengan seorang lelaki tua. Dia bertanya namaku, aku jawab: Namaku Narjis. Nama ini adalah nama seorang budak, sahut lelaki itu.
Basyar melanjutkan: Aku berkata kepada budak itu, Menakjubkan sekali, engkau yang dari Rum bisa berbahasa Arab. Ia Menjawab: Kakekku atas dasar kecintaannya kepadaku betul-betul mendidikku (mengajariku setiap ilmu). Oleh karena itu, ia menunjuk perempuan penerjemah untuk mengajariku bahasa Arab pagi dan malam, sehingga akhirnya aku menguasai bahasa tersebut.
Basyar berkata: Aku membawa wanita mulia ini ke Surro Man Ro'a dan menyerahkannya kepada Imam Hadi as. Beliau memandangi wanita itu sambil berkata: Lihatlah, bagaimana Allah SWT menunjukkan kepadamu tentang kemuliaan agama Islam dan kerendahan agama Nasrani serta keagungan ahlul baiyt as?
Ia menjawab: Wahai cucu Rasulullah, bagaimana aku bisa menjelaskan satu perkara yang Anda lebih tahu dariku.
- Imam Hadi AS menjawab : Aku ingin menyenangkan kamu dengan dua hal. Apakah hadiah 10 ribu Asyrafi (mata uang) lebih menggiurkan dirimu, ataukah kamu lebih bangga dengan upah yang kekal?
- Ia menjawab: Berilah aku upah yang membuatku gembira selama-lamanya.
- Kamu akan dikaruniai anak yang akan menguasai dunia dan menghiasinya dengan keadilan dimana sebelunya sudah penuh dengan kelaliman.
- Anak yang akan menjadi kebangganku dari keturunan siapa?
- Dari orang yang Rasulullah saw pada malam tertentu dan tahun tertentu di Rum telah memikatkan kamu dengannya.
- Apakah dari keturunan Isa dan washi-nya?
- Isa dan washi-nya menikahkan kamu dengan siapa?
- Menikahkan aku dengan anak Anda Imam Askari as?
- Apakah kau kenal anakku?
- Sejak malam itu dimana aku menjadi Muslim di tangan wanita termulia (Zahra' as) ia setiap malam selalu hadir di sisiku.
Kemudian Imam Hadi as menyuruh Kafur, pembantunya, untuk memangil Hakimah (saudari beliau) . Setelah Hakimah hadir, Imam Hadi as berkata kepadanya: Inilah budak yang sering aku ceritakan, bawalah ia kerumah dan ajarilah hukum-hukum agama. Dialah yang akan menjadi istri Imam Hasan Askari dan ibu Qoim (Imam Zaman as).66
Semua yang telah diceritakan di atas adalah keseluruhan dari kejadian yang diriwayatkan oleh Syaikh Shaduq, Tabari dan Syaikh Thusi berkenaan dengan nama dan nasab istri Imam Hasan Askari as. Dari cerita ini kita bisa menarik beberapa poin di bawah ini:
1. Nama wanita itu adalah Malikah dan ayahnya bernama Yasyu'a, anak Kaisar Rum.
2. Pada suatu malam, Imam Hadi as, anaknya (Imam Hasan Askari as) dan saudarinya (Hakimah) bersama-sama musyawarah tentang pernikahan Imam Askari. Untuk melakukan pekerjaan ini, mereka mengirim seseorang kepada Basyar bin Sulaiman Nakhas.
3. Wanita itu sudah balig dan bahkan usianya sudah mencapai 13 tahun.
4. Dia wanita pintar, ahli sastra dan bisa berbahasa Arab.
5. Waktu menjadi tawanan ia sudah Muslim.
6. Imam Hadi as menyerahkan wanita itu kepada Hakimah supaya diajari hukum-hukum agama.
Namun sejarah tidak menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi setelah kejadian ini semisal: Berapa hari istri Imam Hasan tinggal di rumah Hakimah, kapan Imam Hasan Askari datang ke rumah Hakimah untuk menemui wanita itu dan kapan beliau menikah dengannya.
Kedua, Narjis budak Hakimah .
Selain pandangan Syeikh Shaduq di atas, ada pendapat lagi dimana Muhammad bin Abdullah Muthahari mengatakan: "Setalah Imam Hasan Askari as wafat, aku datang menemui Hakimah putri Imam Jawad as guna menanyakan soal Hujjah (pemimpin), perbedaaan dan ujian yang ada ditengah-tengah masyarakat. Setelah mengizinkan aku untuk duduk, ia berkata: Hai Muhammad, sesunguhnya Allah tidak akan membiarkan bumi ini sunyi dari Hujjah, baik tampak maupun sembunyi, dan Dia tidak membatasi imamah (kepemimpinan ) setalah Hasan-Husain as pada dua bersaudara sehingga kebanggaan ini hanya dimiliki mereka berdua. Anak-anak Imam Husain as dengan perantara imamah lebih mulia ketimbang anak-anak Imam Hasan as, sebagaimana keturunan Harun dengan perantara nubuwah (kenabian ) lebih mulia daripada keturunan Musa as, sekalipun Musa sendiri Hujjah bagi Harun. Namun keutamaan kenabian sampai kiamat akan selalu ada dalam kelurga Harun. Oleh karena itu maka umat manusia terpaksa harus dikasih ujian dan cobaan supaya orang-orang yang tulus dapat dibedakan dari para pembangkang dan mereka tidak punya alasan lagi di depan tuhan. Dan sekarang, setelah Imam Hasan Askari wafat, tibalah saat kebingungan. Aku bertanya: Hai junjunganku, apakah Imam Hasan Askari punya anak laki-laki?
Ia tersenyum lalu berkata: Jika Imam Hasan tidak punya anak, siapa yang akan menjadi imam setelah beliau? Aku kan sudah katakan padamu bahwa setelah Imam Hasan dan Husain as, maka imamah berlanjut kepada imam-imam berikutnya sampai Imam Akhir Zaman.
Aku bertanya lagi: Junjunganku, ceritakan kelahiran dan keghaiban Imam Ku?
Ia menjawab: Aku punya budak bernama Narjis. Keponakanku datang untuk menemuiku. Aku berkata kepadanya, tuanku, barangkali Anda suka kepadanya?
Tidak bibiku, tapi aku merasa terheran tatkala melihatnya.
Kenapa?
Beliau jawab: Karena dalam waktu dekat akan lahir darinya seorang bayi laki-laki yang mendapat kemuliaan di sisi Allah. Dan Allah SWT dengan perantara bayi ini akan memenuhi bumi ini dengan keadilan dimana sebelumnya ia dipenuhi kelaliman.
Aku berkata kepadanya: Aku kirim budak itu kepadamu?
Beliau menjawab: Izinlah ke ayahku dalam masalah ini.
Hakimah berkata: Aku mengenakan pakaian dan pergi ke Imam Hadi as dan memberikan salam kepada beliau. Beliau berkata: Hai Hakimah, kirimlah Narjis ke anakku Abu Muhammad?
Pimpinanku, aku datang demi masalah ini dan minta izin darimu.
Beliau berkata: Hai Mubarakah, Allah SWT menginginkan kau mendapatkan pahala ini sehingga Ia mencurahkan kepadamu anugerah dan kebaikan sekalipun sedikit.
Hakimah berkata: Aku segera pulang ke rumah dan mempercantik Narjis lalu aku berikan kepada Abu Muhammad as. Dan aku simpan perlengkapan mereka di rumahku sendiri. Beberapa hari Abu Muhammad tinggal bersamaku lalu pergi ke rumah ayahnya yang mulia dan aku kirim Narjis bersama beliau."67
Riwayat ini menceritakan bahwa isteri Imam Hasan Askari dan ibu Imam Zaman (Qoim as) adalah budak Hakimah dan buktinya adalah pernyataan Hakimah sendiri dimana ia mengatakan: "Aku punya budak dan ia tidak mengatakan bahwa ada budak di sisiku."
Poin lain yang bisa diambil dari riwayat ini adalah setelah Hakimah mendapatkan izin dari Imam Hadi as dan Imam Askari as tentang budak itu, maka ia berkata: "Aku segera pulang ke rumah dan mempercantiki Narjis lalu memberikan dia kepada Abu Muhammad." Arti memberikan adalah bahwa budak itu milik Hakimah dan ia menghadiahkannya kepada keponakannya, Imam Hasan Askari as.
Ketiga, budak yang lahir di rumah Hakimah.
Penulis buku Uyunul Mu'jizat mengatakan: "Dalam banyak buku, aku telah membaca beberapa riwayat yang menceritakan bahwa Hakimah putri Abu Muhammad bin Ali (Imam Jawad as) memiliki budak bernama Narjis yang lahir di rumahnya dan berada di bawah didikannya. Ketika sudah balig, Abu Muhammad as datang ke rumahnya dan melihat budak itu, lalu bibi beliau berkata: Pimpinanku, aku melihat Anda sedang memperhatikan budak ini.
Beliau menjawab: Aku melihatnya karena merasa heran, sebab akan lahir seorang bayi darinya yang di sisi Allah mendapatkan kehormatan tersendiri. Disaat itu beliau meminta bibinya untuk meminta izin dari Imam Hadi as berkenaan dengan pemberian budak kepadanya. Hakimah memenuhi permintaan ini dan Imam Hadi as menyuruh agar budak itu diberikan kepada Imam Askari as.68
Keempat, Maryam Alawiyah putri Zaid.
Maryam putri Zaid, saudari Hasan dan Muhammad adalah keturunan dari Husaini sorang da'i dari kota Tabristan (Mozandaran).69 Sandaran pendapat ini adalah buku Hidayatul Kubro Hadlini dan Durusi Syahid awal. Syahid awal mengatakan: "Dikatakan bahwasanya istri Imam Askari as bernama Narjis atau Maryam Alawiyah, putri Zaid.70
Berkenaan dengan istri Imam Askari, kita mendapatkan tiga kajian: kajian pertama telah disepakati oleh ahli sejarah, satu lagi masih diperdebatkan dan yang ketiga tidak jelas bagi kita.
Yang disepakati adalah:
1. Istri Imam Hasan Askari dan ibunya Imam Zaman as adalah seorang budak.
2.Budak itu hidup di rumah Hakimah, putri Imam Jawad as.
3. Hakimah bermusyawarah dengan saudaranya Imam Hadi as mengenai pernikahan Imam Askari dengan budak tersebut.
Yang menjadi perberdaan pendapat ialah: Apakah budak ini budak yang dibeli Basyar bin Sulaiman atas perintah Imam Hadi as, ataukah budak Hakimah yang ia hadiahkan kepada Imam Askari as ataukah budak yang lahir di rumah Hakimah? Apakah perkawinan ini hasil permintaan Hakimah dari Imam Askari as dimana ia minta pendapat dari saudaranya (Imam Hadi) ataukah pernikahan itu terjadi atas perintah Imam Askari as? Apakah budak ini putri Yasyu'a ataukah yang lahir di rumah Hakimah atau putri Zaid Alawi? Apakah namanya Malikah, Narjis, Shoiqal dan Hakimah atau Roihanah atau ada nama lain?
Permasalahan yang tidak begitu jelas bagi kami dalam hal ini atau sudah dijelaskan tapi belum kami ketahui adalah tahun pernikahan beliau dan apakah Imam Hasan Askari as mempunyai anak lagi selain Hujjah (Imam Mahdi as) atau tidak?71
Analisa luas mengenai kehidupan beliau telah dilakukan oleh pengarang buku Bokhursyidi Samarro' dan Ustadz Mohammad Baqir Syarifi Qurasyi dalam bukunya yang berjudul Hayatul Imam al- Hasan al-Askari (Kehidupan Imam Hasan Askari). Semoga Allah SWT menjadikan para penulis yang tulus sebagai tentara Imam Zaman as dan memberikan taufik yang melimpah ruah kepada orang-orang yang berjuang menghidupkan ajaran-ajaran agama dan ilmu ahlul bait.

?ا وص? الحسن والخلف الحجه ا?ها القائم المنتظر المهد? ?ا بن رسول الله ?ا حجه الله عل? خلقه ?ا س?د نا ومولانا انا توجهنا واستشفعنا وتوسلنا بک ال? الله وقدمناک ب?ن ?د? حاجاتنا ?ا وج?ها عند الله اشفع لنا عند الله


8
KISAH PERNIKAHAN PARA MA'SHUM

KISAH PERNIKAHAN IMAM ZAMAN as

Imam Zaman as
Para sejarawan dan ahli hadis meyakini bahwa kelahiran Imam Hujjah bin Hasan al-Mahdi as terjadi pada tahun 255 H (pendapat masyhur) atau 256 H. Ahli sejarah menulis bahwa beliau lahir pada malam Jum'at pertengahan Sya'ban.
Kajian yang sudah ada mengenai Mahdi Mau'ud tidak meninggalkan kesamaran tentang kapan beliau dilahirkan, siapakah ayah, ibu dan kakek-kakeknya yang suci dan apa falsafah serta hikmah dari keghaibannya. Dan alhamdulillah, buku-buku dan artikel-artikel yang mengkaji tentang kemunculan dan pemerintahan beliau sangat banyak sekali sehingga rasanya di sini tidak tepat untuk kami bahas.
Salah satu pemikir dan teolog Syi'ah di abad ketiga yang tercatat sebagai filosof Syi'ah adalah Abu Sahal Ismail Nobakhti yang hidup di tahun 238-311. Beliau termasuk cendikiawan Syi'ah ternama dan menguasai berbagai ilmu serta mampu melahirkan murid-murid unggul.
Mereka mengatakan: Beliau dalam filsafat dan teologi memiliki aliran sendiri dimana aliran tersebut mampu bertahan sampai beberapa tahun, dan pemikiran-pemikiran filosof ini sempat menjadi kajian hangat di tengah-tengah para pakar. Sekelompok cendikiawan banyak menimba dan menggunakan pemikiran-pemikirannya. Di abad keempat Hijriyah, beliau juga berada di barisan pertama kebangkitan pemikiran.72 Abu Ubadah Bukhtari, penyair ternama, memujinya dengan bait-bait syair.73 Abu Sahal Nobakhti meninggalkan lebih dari 30 buku dalam berbagai bidang keilmuan; fisafat, teologi dan kajian lain.74
Filosof dan pemikir alim ini termasuk dari sahabat Imam Hasan Askari as. Ia adalah orang yang menjenguk Imam Askari as di waktu beliau sakit dan melihat Imam Mahdi as di sisi ayahnya.75 Abu Sahal menukil pertemuanya dengan Imam Mahdi as dengan terperinci, misalnya ia mengatakan:
Dalam kondisi sakit, Imam Askari as menginginkan supaya anak kecil itu dibawa ke sisinya. Mereka membawa Mahdi yang masih kecil ke sisi ayahya. Beliau memberikan salam kepada ayahnya. Saat itu aku memperhatikannya. Ia berkulit putih, rambutnya keriting dan giginya terbuka. Imam Askari as memanggilnya dengan Ya Sayyida Ahli Baitihi (wahai pimpinan keluarganya). Kemudian beliau meminta anak itu untuk mengambil obat yang sudah dipanaskan dan ia menurutinya. Lalu ia membantu ayahnya dalam berwudhu. Tatkala itu Imam Hasan Akari as berkata kepadanya: "Engkau adalah Mahdi dan Hujah Allah di muka bumi............."76
Dalam riwayat disebutkan: Wajah Al-Mahdi ibarat bulan purnama berseri-seri, badannya tertutupi cahaya yang memancarkan sinar keesaan dan kelembutan serta memancarkan warna indah seindah bunga mawar, besar dan tinggi badanya ideal, di wajah kanannya terdapat tanda, dan postur tubuhnya seimbang dimana mata tidak pernah menyaksikan keseimbangan semacam itu."77

Isu-Isu seputar Istri dan Anak Imam Mahdi as
Berkenaan dengan persoalan ini, apakah Baqiyatulah as saat mengalami ghaibah kubro memiliki istri dan keturunan ataukah tidak? Kita tidak punya dalil yang kuat tentang hal itu. Yang ada hanya tiga indikasi yang menetapkan keberadaan istri dan anak beliau, yaitu:
1. Kaidah umum
2. Riwayat
3. Doa-doa.
*Hukum-hukum universal dari syariat Muhammad saw menuntut Baqiyatullah as untuk membentuk keluarga sebagaimana para imam as yang lain yang menjalankan sunah kakek mereka.
Mirza Nuri mengatakan: "Bagaimana mungkin beliau akan meninggalkan sunah kakeknya yang sangat dianjurkan dan terdapat ancaman jika ditinggalkan. Paling layaknya orang untuk menjalankan sunah Nabi saw ini adalah Imam di setiap zaman dan sampai sekarang tidak ada orang yang meyakini bahwa meninggalkan sunah ini adalah ciri-ciri beliau."78
* Sehubungan dengan istri atau istri-istri Baqiyatullah as, kita hanya punya satu riwayat, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Marhum Kif'ami dalam buku Misbah. Berdasarkan hadis ini istri beliau adalah keturunan Abdul Uzza putra Abdul Muthalib.79 Adapun berkenaan dengan anak-anak beliau, ada beberapa riwayat yang dengan jelas menetapkan keberadaan mereka, yaitu:
1. Sayyid Ibnu Thawus dalam buku Jamalul Usbu', mengatakan: Saya mendapatkan satu riwayat dengan sanad sempurna yang menceritakan bahwa Imam Zaman as mempunyai beberapa anak yang menjadi hakim dan wali di beberapa kota di pinggiran laut.80
2. Imam Shadiq as pernah berkata: "Imam Zaman as mengalami dua ghaibah, satu darinya sangat panjang sekali dimana masyarakat sampai mengatakan, beliau meninggal, sebagian yang lain mengatakan, beliau terbunuh, dan ada juga yang mengatakan, pernah hadir dan pergi lagi, kecuali segelintir pengikut ahlul bait yang tetap pada pendapatnya. Dan tidak seorang pun yang tahu tempat keberadaannya, bahkan anak-anak beliau sendiri tidak mengetahui tempatnya, kecuali wakil-wakil beliau."81
3. Mohammad bin Masyhadi dalam buku Mazâr menukil dari Imam Shadiq as yang berkata: "Sepertinya aku melihat turunnya Qoim as dan keluarganya di masjid Sahlah."82
4. Almarhum Allamah Majlisi mengkhususkan satu pintu kepada para khalifah dan anak-anak Mahdi as.83
Selain hadis-hadis di atas, kita hanya punya satu hadis yang tampak bertentangan dengan hadis-hadis tadi. Hadis itu berbunyi: "Setiap Imam harus punya keturunan kecuali Imam Mahdi as yang tidak punya keturunan."84
Mirza Nuri mengatakan: Maksud pernyataan Imam as: "...tidak punya anak," adalah anak yang menjadi Imam, sebab beliau Khotamul Aushiya' (penutup para washi).85
Syaikh Thusi setelah melihat hadis ini mengatakan: Setiap orang yang mengatakan bahwa Imam Mahdi as mempunyai anak yang berstatus imam, ucapannya batil, sebab jumlah imam akan menjadi tiga belas.86
* Dalam doa-doa para imam as atau Nahiyah Moqoddasah yang dibaca di zaman ghaibah atau tempat-tempat suci, terdapat sebutan anak-anak Imam Zaman as, dimana para imam mendoakan mereka atau mengucapkan salam atas mereka. Ini bukti kuat untuk menetapkan keberadaan ana-anak beliau apalagi doa-doa tersebut doa Ma'tsur. Dalam doa-doa ini terdapat kosa kata jelas yang menetapkan keberadaan istri dan anak beliau seperti kata walad (anak), Dzurriyah (keturunan), ahli bait (keluarga) dan ali bait (keluarga).87
Buku ini tidak bisa menampung kajian tentang biografi Imam Zaman as lebih dari ini. Dan mengutip pernyataan salah satu mujtahid, penghukuman secara pasti tentang kehidupan pribadi (istri dan anak) beliau lepas dari tanggung jawab kita, sekalipun di situ ada bukti-bukti untuk menetapkan hal itu.





Catan Kaki Bab I:
1 Nigoh to Nigoh, Muhaddisi, hal. 43.
2 Dâstân-hâ-ye Quran va Târîkh-e Anbiyâ dar Al-Mîzân, hal. 9.
3 Tafsir-e Mauzû'î-ye Quran, jilid 11 hal. 9.
4 Terjemahan tafsir al-Mîzân, jilid 11, hal. 102.
5 Tafsir-e Mauzû'î-ye Quran, jilid 1, hal. 286.
6 Q.S. An-Nisâ`: 3.

Catatan Kaki Bab II:
1 Prolog buku Mas`aleh-ye Hejâb (Masalah Hijab), karya Syahid Muthahhari ra.
2 Tamaddun-e Islam va Arab, Pasal IV, hal. 112-115, terjemahan Sayid Hasyim Huseini.
3 Hal. 131.
4 Kisah pernikahan Zaid dengan Zainab binti Jahsy, kemudian pernikahannya dengan Rasulullah saw akan disebutkan nanti.
5 Mas`aleh-ye Hejâb, hal. 134, menukil dari Sunan Abu Dawud, jilid 2, hal. 383.
6 Ibid. hal. 169, menukil dari Shahih Bukhari, jilid 8, hal. 63. Dalam buku al-Masâlik, Syahid Tsani menjadikan hadis ini sebagai sandaran terhadap fatwa wajibnya menutupi wajah dan telapak tangan.
7 Sîreh-ye Nabawî, Tehrani, jilid 1, hal. 226, menukil dari ath-Tabaqât al-Kubrâ, jilid 1, hal. 499-500.
8 Nahj al-Baâghah, surat No. 31.
9 Forûgh-e Abadiyat, jilid 1, hal. 196.
10 Ath-Thabaqât al-Kubrâ..
11 Wakilnya adalah 'Amr bin Asad. Sudah masyhur bahwa ayah Khadijah telah meninggal dunia pada peristiwa perang Fijar. Oleh karena itu, pamannya membacakan akad nikah sebagai wakil darinya. Dengan demikian, statemen sebagian ahli sejarah bahwa pertama kali ayah Khadijah tidak merestui pernikahan tersebut, lalu ia rela karena keinginan Khadijah itu, tidak berlandaskan alasan. Lihat Forûgh-e Abadiyat, karya Ayatullah Ja'far Subhani.
12 Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah sudah pernah menikah dengan Abu Halah at-Tamimi dan 'Utayyiq bin 'A`idz bin Abdullah. Di sini ada juga pendapat yang lain yang berbeda.
13 Kafi, juz 2 hal 19
14Penyampai ucapan ini pada referensi lain adalah Abu Jahal. Lihat Biharul Anwar, juz 17 hal. 70.
15 Ringkasan dari apa yang tersirat dalam referensi-referensi Syi'ah dan Sunni.
16 Manaqebe ibnu Syahrosyub ,Qurbul Isnad, Tarikh Thabari, Biharul Anwar, Isti'ab dan referensi-referensi lain dari sejarah Syiah dan Sunni. Karena cetakan kitab-kitab ini berbeda-beda maka kami cukup menyebut nama-namanya saja dan para Muhaqqiq mengetahui bahwa kitab sejarah ini mencatat semua kejadian sesuai dengan tahun dan bulan Hijriyah. Menjelaskan kondisi ma'sumin dan khulafa sesuai dengan urutan zaman tidak akan merusak alamat di atas.
17 Amali Syekh Shaduq , hal. 353, Biharul Anwar, juz, 43, hal. 2, 3.
18 Majmui-ye Maqolatuz Zahro' 233-238, karya almarhum Moqorram.
19 Cekidi-ye torikhe piyombare Islam, hal. 56, Dr Mohammad Ibrahim Ayati.
20 A'lamul waro, hal 280,,juz 1 dinukil dari referensi berbeda-beda.
21 Naqsyi Aisyah dar Islam, Allamah sayyid Murtaza Askari, juz 1 hal 171
22 Abu Bakar putera Abu Qohafah, nama lamanya adalah Abdul Ka'bah dan Nabi memanggilnya Abdullah, nama asli Abu Qohafah adalah Usman dimana ia menjadi Muslim ketika Fathu Makkah. Anaknya (Abu Bakar) membabawa dia yang sudah tua dan semua rambutnya telah memutih kepada Nabi saw, lalu masuk Islam. Nabi berkata: Semirlah dan pacarilah rambutnya.
23 Kisah mimpi ini dinukil dalam buku Shifatus Shafwah, hal. 8, cerita tentang kondisi Aisyah.
24Udzri taqshir be pisyqohe Muhammad wa Quran, Jon Divan Purt dari Ingris, hal. 228 terjemahan Marhum Sayyid Ghulam Riza Saidi. Pasal ketiga buku ini bertajuk penolakan terhadap tuduhan-tuduhan kepada Nabi saw yang memuat kajian-kajian berharga.
25 Zanone peyombare Islam, almarhum Imad Zodeh, hal. 348.
26 Asadul Ghabah, juz 5, hal. 504.
27 Yaitu Ummu Kulsum putri Nabi saw yang menikah dengan Usman setelah Roqoyah, puteri nabi, syahid. Ada juga yang menulis kebalikannya. Silakan lihatHayatul Qulub, juz 4, bab 51.
28 Sirotun Nabi, juz 1, hal. 243.
29 Sofwatus Sofwah, juz 2, hal. 21, Ibnu Jauzi.
30 AlMarhum Majlisi.
31 Asadul Ghabah, juz 4, hal. 465. Ustad Ja'far Subhani menyebut tiga fenomena sejarah yang terjadi di tahun ke-5 Hijriyah dimana pernikahan beliau dengan Zainab berlansung sebelum dua tragedi tadi terjadi, yaitu perang Ahzab dan hancurnya Bani Quraidzah.
32 Sebelum Islam datang, mengadopsi anak adalah satu hal biasa di kalangan Arab. Akan tetapi setelah itu Islam membatalkan dan menghitungnya bagian dari budaya Jahiliyah.
33 Al-Ahzab ayat 37.
34 Qashaish Qur'an, hal. 583-587.
35 Tarikh Kamil, jilid, 2 hal. 121.
36 Mafatihul Ghaib, jilid 25, hal. 212, Ruhul Ma`ani, jilid 22, hal. 23-24.
37 Al-Ahzab 37.
38 Al-Ahzab 37.
39 Furugh-e Abadiyat, hal.115-119.
40 Al-Ahzab 53.
41 Tafsir Al-Qummi, jilid 2, hal. 195.
42Jilid 1, hal. 277.
43 Sirah Ibnu Hisyam, jilid 3, hal. 307.
44 Riwayat hidup Huyai bin Akhtab dapat Anda lihat di kitab Al-Irsyad, karya Syaikh Mufid, bab 2, pasal 26.
45 Al-Ahzab 50.
46 Al-Kafi, jilid 5, hal. 568 hadis 53.
47 Majmaul Bayan, jilid 8, hal. 365, Al-Mizan, jilid 16, hal. 514.
48 Sirah Ibnu Hisyam, jilid 3, hal. 12-14, Tarikhul Khamis, jilid 2, hal. 62-65.
49 Menurut Ya`qubi, (Tarikh Ya`qubi, jilid 2, hal. 82) ada 12 surat yang dikirim Rasul saw. Tapi, para pengkaji sejarah di zaman sekarang berpendapat bahwa ada 26 surat yang ditulis dan dikirim sejak tahun enam Hijriyah sampai wafatnya beliau. Ibnu Jazm berkata: Kecuali Kaisar Romawi, semua raja yang mendapatkan surat dari Nabi saw beriman kepada beliau.
50 Sebelum kelahiran Ibrahim, Rasul saw kehilangan tiga putra (Qasim, Tayyib dan Thahir ) dan tiga putri ( Zainab, Ummu Kultsum dan Ruqayyah). Sebagian sejarawan mengatakan bahwa Tayyib dan Thahir adalah julukan Abdullah. Jadi, Sayidah Khadijah mempunyai dua anak.

Catan Kaki Bab III:
1 Biharul Anwar, jilid 43, hal. 10-14.
2 Maqolatuz Zahra, hal. 248-250.
3 Jilid 1, hal. 316.
4 Fatimatuz Zahra Minal Mahdi Ilal Lahd, menukil dari Tarikh Baghdad, jilid 1, hal. 316.
5 Ihqoqul Haq, jilid 3, hal. 311, Biharul Anwar, jilid 36, hal. 30, Manaqib Ibnu Mughazali 216.
6 Ada enam pendapt sehubungan dengan hari, bulan dan tahun pernikahan Sayidah Fatimah as. Paling sedikit usia beliau yang ditulis oleh sejarawan adalah sembilan tahun dan paling banyak adalah dua puluh lima tahun.
7 Saad bin Muadz bin Numan Khazraji Anshari, pembesar kabilah Aus. Ia syahid dalam perang Khaibar.
8 Nahjul Hayat, hal. 28-29 menukil dari berbagai sumber. Dalam Biharul Anwar, jilid 43, hal. 31 disebutkan bahwa diamnya Fatimah adalah tanda persetujuannya.
9 Orang yang mengetahui kondisi Muslimin di masa awal Islam akan mengakui bahwa kehidupan Imam Ali as hingga hari pernikahannya tidak lebih baik dari ini. Di samping itu, semenjak beliau menikah hingga Nabi saw wafat, kaum Muslim disibukkan oleh perang, seperti Badar hingga Hunain. Di zaman dua puluh lima tahun pemerintahan para khalifah, beliau sibuk bertani dan berkebun. Dalam masa kekhalifahannya pun, beliau tetap bekerja dan tidak menggunakan haknya dari Baitul Mal. Beliau pernah berkata,"Aku ingat masa-masa ketika aku bersama Rasulullah saw dimaan beliau mengikat batu di perut untuk menahan lapar. Tapi, sekarang sedekah hartaku mencapai empat puluh Dinar tiap tahun." Beliaupun berkata,"Sedekah dari hartaku cukup untuk semua fakir Bani Hasyim." Ibnu Thawus dalam kitab Kasyful Mahajjah menukil bahwa Ali as berkata,"Ketika aku menikah dengan Fatimah as, aku tidak memiliki alas tidur. Tapi sekarang, sedekah hartaku cukup untuk semua Bani Hasyim."(Malekiyat-e Khusus-e Zamin, Ayatullah Miyanaji, yang menukil dari riwayat Sunnah-Syiah).
10 Asqalani dalam kitab Al-Ishabah, hal. 365 berkata,"Nabi saw menghadiahkan baju besi ini kepada Ali bin Abi Thalib dalam perang Badar. Baju besi ini disebut Khatmiyyah, karena setiap pedang yang mengenainya akan patah." Ada beberapa riwayat dalam hal penjualan baju besi ini.
11 Ummu Aiman adalah pembantu wanita dari Habsyah yang dibebaskan oleh Abdullah ayah Nabi saw. Pada masa-masa awal Islam, ia telah beriman kepada Nabi saw dan berhijrah ke Habsyah dan Madinah. Nabi saw bersabda, "Setelah ibuku, Ummu Aiman adalah ibuku." Beliau selalu mengunjungi Ummu Aiman di rumahnya. Setelah wafatnya Aminah, dialah yang merawat Nabi saw. Anaknya, Aiman bin Ubaid Khazraji, saudara seibu Usamah bin Zaid, syahid dalam perang Hunain. Ummu Aiman meninggal lima bulan setelah wafatnya Nabi saw.
12 Tafsir Abul Futuh Al-Razi, jilid 14 hal, 244, Nahjul Hayat, hal. 32 menukil dari 77 sumber hadis dan sejarah Syiah dan Sunni.
13 Kaisar: sebutan bagi Raja Romawi. Kisra: sebutan bagi Raja Persia.
14 Biharul Anwar, jilid 23, hal. 63, Tafsir Abul Futuh Ar-Razi, jilid 14, hal. 256-257, Nahjul Khitobah, Ayatullah Alamul Huda, No. 11 dan 12.
15Kasyful Ghummah, jilid 1, hal. 359.
16 Manaqib Ibnu Syahr Asyub, hal. 353.
17 Biharul Anwar, jilid 43, hal. 95-96.
18 Al-Imran 93.
19 Ihqoqul Haq, jilid 10, hal. 402.
20 Dalailul Imamah, hal. 25.
21 Kasyful Ghummah, jilid 1, hal. 366.
22 Syajarotu Thuba, hal. 245.
23 Biharul Anwar, jilid 43, hal. 115-117.
24 Nahjul Haya`, hadis 12, hal. 35.
25 Fatimah Az-Zahra Minal Mahdi Ilal Lahd, hal. 59.
26 Abdullah bin Masud termasuk dari sahabat Nabi saw yang berilmu dan menguasai hadis dan fiqh. Ia ikut serta dalam perang Badar, Uhud, Khandaq, Baitur Ridhwan dan perang-perang yang lain. Abdullah bin Mas`ud dalam perang Badar memenggal kepala Abu Jahal dan membawanya ke Nabi saw. Beliau lalumengucapkan syukur kepada Allah atas terbunuhnya orang yang paling memusuhi Islam ini.Setelah ia berhijrah dari Kufah ke Madinah, ia meningggal pada tahun 32 H dalam usia lebih dari 60 tahun. Ia berwasiat untuk dikuburkan di malam hari.
27 Al-Baqarah 27.
28 Thabaqat Ibnu Saad, jilid 8, hal. 20.
29 Ibid, hal. 21 (Dalam syariat Islam, diamnya gadis perawan cukup untuk menunjukkan persetujuannya. Namun bagi wanita bukan perawan, diamnya dia tidak cukup dan ia harus menjawab. Dengan hal ini, Rasulullah saw hendak mengajarkan bahwa tidak ada paksaan bagi anak perempuan untuk menikah. Memuliakan kedudukan anak perempuan adalah bermusyawarah dengannya, meski ayahnya adalah penghulu para nabi.
30 Shahih Ibnu Majah, bab Zuhd, hal. 316.
31 Thabaqat Ibnu Saad, jilid 8, hal. 14.
32 Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jilid hal. 117.
33 Khulah binti Jafar bin Qois bin...bin Hanifah bin ...Bakr bin Wail.
34 Musailamah datang ke Madinah pada tahun kesepuluh Hijriyah dan memeluk Islam. Tapi setelah ia kemballi ke kampung halamannya, ia mengaku sebagai nabi dan dikenal dengan julukan Al-Kadzdzab. Ia terbunuh dalam perang Yamamah.
35 Sejarah Khulah ditulis dalam kitab Biharul Anwar, jilid 41, hal. 33 dan 326, Safinatun Najat Qummi, jilid 2, hal. 463. Adapun sejarah Muhammad bin Hanifah ditulis dalam kitab Thabaqat Ibnu Saad, Ansabul Asyraf, jilid 3, hal. 269-296 dan Safinatun Najat Qummi, jilid 2, hal. 380.
36 Biharul Anwar, jilid 18, hal. 112, jilid 38, hal. 304, jilid 42, hal. 99.
37 Ketika Imam Ali as memberi panji perang kepada Muhammad dalm perang Jamal, beliau berkata, "Andai gunung-gunung tercabut dari tempatnya, kau harus tetap tegak. Rapatkan gigi-gigimu, persembahkan jiwamu kepada Allah, teguhkan kakimu di atas tanah, pandanglah barisan akhir musuh dan jangan lihat banyaknya musuh. Ketahuilah bahwa kemenangan akan datang dari sisi Allah."
38 Biharul Anwar, jilid 42, hal. 203 dan 245.
39 Maulid Abbas bin Ali as, Muhammad Ali al-Naashiri, 36-38.
40 Ummu al-Banin adalah Wanita Penuh Pengorbanan, hal. 19
41 Abu Thalib mempunyai empat putra dari Fathimah binti Asad, masing-masing berjarak sepuluh tahun. Dan Ali as adalah anak yang terahir (bungsu) dan yang paling utama dari saudara-saudaranya yang lain adalah: Thalib, Aqil, Ja'far dan Ali as.
42 Usdu al-Ghabah, jilid 1, hal. 287.
43 Usdu al-Ghabah, halaman yang sama, al Itsi'ab, jilid 1, hal. 210.
44 Bihar, jilid 21, hal 54, Maghazi dan Aqdi, jilid 2, hal. 766.
45 Al Gharat, hal. 104-terjemahan Abdul Muhammad Aiti.
46 Jilid 2, hal. 415 dan 416 dimana pernyataan Almarhum Muqarram atas cerita ini telah kami tulis dalam Syarah Hal-e Rubab.
47 Silakan merujuk kitab Muslim bin Aqil, karya al marhum Abdurrozaq
Muqaram
48 Qutu al-Qulub, jilid 2, hal. 412, Beirut.
49 Dalam terjemahan Muruju al-Dzahab, terjemahan Almarhum Poyandeh dimana di bagian ini ada yang terpotong. Silakan merujuk jilid 2, hal. 304.
50 Halaman 667 dan 668 yang menukil dari al Adzkiyak Ibnu Jauzi, hal 27. Mungkin cara melamar dan soal jawab antara Asy 'ats dan Imam berkurang nilainya dari sisi kebenaran ceritanya. Atau setidaknya sulit diterima menurut para pembaca dan orang-orang pada umumnya. Akan tetapi karena menurut sejarah dan hubungan kemasyarakatan serta contoh-contoh pernikahan Rasulullah saw dan Amirul Mu'minin as dengan putri-putri kepala suku dan kabilah dengan dalil yang bermacam-macam, terjalinnya hubungan semacam ini tidak mustahil. Pemikiran-pimikiran semacam ini bisa dihilangkan. Kami juga tidak ragu bahwa Ju'dah putri Asy 'ats adalah istri Imam as, dan Asy 'ats adalah dari kalangan penipu sejarah. Dan salah satu dari ketidakjelasan kehidupan sebagian imam adalah sejarah nikah poligami mereka. Tetapi dengan memperhatikan hari lahir, masa balig dan budaya yang berlaku dalam keluarga ini, maka bisa diperkirakan kapan hari pernikahan pertamanya, lalu kemudian kita bisa menilai.
51 Dalam Tadzkiratul Khawash, hal. 195, menukil dari Thabaqaat Ibnu Sa'ad tertulis: ".... dan Ismail serta Ya'qub, ibu keduanya adalah Ju'dah binti Asy 'ats bin Qais allati sammatahu (yakni yang telah meracun Imam as).
52 Sampai tahun 72 Hijriah Syamsyiah, yang bertepatan dengan tahun 1414 Hijriah, kitab ini sudah mengalami cetakan yang keenam belas dengan sirkulasi yang sangat cepat dan diterbitkan oleh kantor kebudayan Islam. Bahkan dari cetakan ketujuh sampai dengan yang keenam belas dicetak hampir empat puluh ribu eksemplar.
53 Bihar, jilid 10, hal. 123.
54 Mukadimah kitab Adil Adib Mishri, terjemahan Mubasysyiri. Jawaban atas bualan semacam ini terdapat dalam kitab tersebut. Begitu pula dapat Anda dapat merujuk kitab Naqsy Aimmah Dar Ihyae Din, hal. 452.
55 Dalam kitab-kitab sejarah banyak terdapat penilaian yang bertentangan tentang penyebab runtuhnya silsilah kerajaan Syasyani. Penilaian-penilaian itu menyebutkan beberapa sebab di antaranya: Nasionalisme dan fanatik serta semangat kebangsaan yang agamis. Seseorang mengatakan: "Dari satu pihak anarki dalam pemerintahan di Iran sendiri, dan kekuatan Arab pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar dari pihak lain, telah meruntuhkan silsilah kerajaan Syasyani. (Pokok pembicaraannya adalah tentang kekuatan Arab, bukan kekuatan dan peperangan Islam dengan Iran)." Yang lainnya mengatakan: "Salah satu sebab kalahnya orang-orang Iran dengan tenaga dan kekuatan mereka yang begitu besar adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan keyakinan (agama) yang mereka anut. Rakyat Iran sudah hilang kesabaran, dan mereka telah memiliki kesiapan yang sempurna ....... Kalau mereka mendengar suara beduk keadilan dan kebenaran, maka mereka akan segera mendatanginya ......" Dan yang ketiga mengatakan: "Penyebab kekalahan pemerintahan fasad ini adalah Islam, bukan bangsa Iran."
56 Usul Kafi, 2/396, Mutarjem, 2/491, Ihqaqul Haq, 12/54.
57 Tarikh Thabari, 3/248, 'Diwan Akhbar al Ridha, Syekh Shaduq 2/128, Biharul Anwar 46/10.
58 Kamil Mubarrad, Thabari 4/46, Irsyad, Syekh Mufid, I'lamul Wara, Kasyful Ghumah, 2/275 dan Wifayatul I'yan 2/43.
59 Setelah kemenangan-kemenangan tahun 21 dan 22 (Muslim Arab dengan Iran) dan pada tahun 23 dini hari, hari Rabu terahir di bulan Dzulhijjah, Umar terbunuh di tangan Abu Lu`luk yang orang Iran (budaknya Mughirah).
60 Jamal Niyoyisygaron, Zindegoni-e Imam Zainal Abidiin as, Musawi Muqarra, hal. 24 sampai 36.
61 Zendegoni-e Imam Husain as, hal. 125.
62 Perbuatan seperti ini tidak akan pernah dilakukan oleh istri Imam Husain as.
63 Syahidi, sumber yang sama, hal. 26.
64 Ushul Kafi, kitab al Hujjah, bab lahirnya Imam Ali bin Husain as, riwayat pertama.
65 "Khadamat Mutaqabil Islam wa Iran", karya Syahid Muthahhari.
66 Shaduq, 'Uyu Akhbaru al-Ridha, jilid 2, hal. 128.
67 Biharu al-Anwar, jilid. 46, hal. 10.
68 Akan tetapi Majlisi mengatakan bahwa Muhammad bin Jarir Thabari ini Syi 'ah, bukan penulis terkenal itu. Lihat Majlisi dalam kitab Biharu al-Anwar, jilid.46, hal.15.
69 Dalailu al Imamah, hal. 81, karya Muhammad bin Jarir Thabari, cet. Najaf; Biharu al Anwar, jilid 46, hal. 15, 40 dan 330; Mubarrid dalam bukunya, Kamil, jilid. 2, hal. 93; dan Ibnu Syahr Asyub dalam bukunya al Manaqib, jilid 4.
70 Majlisi, Biharu al-Anwar, jilid. 46, hal. 11 dan 15.
71 Biharu al-Anwar jilid, 46, hal. 11.
72 Biharu al Anwar, jilid, 46, hal. 11.
73 Al Kafi, jilid, 1, hal. 466.
74 Biharu al-Anwar, jilid, 46, hal. 8; Arba'in Husainiah oleh Qommi, hal. 130.
75 Tadzkiratu al-Khawash, hal. 249, cet. Bairut, Muassasah Ahlulbait as.
76 Dua lelaki yang dimaksud adalah, 'Urwah bin Mas'ud al-Tsaqafi dan Walid bin
Mughirah Makhzumi yang dijuluki Wahid. Dan yang dimaksud dua kota besar ialah Mekah dan Thaif
77 Hadharat Ali Akbar, karya Marhum Muqarram, hal. 17.
78 Muqarram, hal. 18, Tsarullah, DR. H. Syekh Husain 'Andalib, hal 215.
79 Kita mengetahui Ali-besar ini dari perkataan Ali-kecil (Ali al Sajjad). Sebenarnya Syekh Mufid sendiri menulis bahwa ibu Imam al Sajjad adalah Syah Zanon dan ibu Ali-besar adalah Laila dengan perbedaan bahwa Imam al Sajjad sebagai Ali-besar dan Ali-kecil sebagai anak Laila.
80 Dia bukan Imrau al Qais bin 'Abis, seorang penyair ternama. Sebenarnya ia adalah Rabab-dengan dibaca fathah pada huruf Ro'-, tetapi dalam pengucapan ia dikenal dengan Rubab -dengan dibaca dhommah pada huruf Ro'-nya.
81 Kami sangat berterima kasih kepada rekan dan sahabat yang mulia Hujjatu al Islam wa al Muslimin Husain Phur karena kerjasamanya dalam menemukan alat ini.
82 Al-Bidayah, jilid. 8, hal. 218.
83 Al-Kamil fi al-Tarikh, Ibnu Atsir, jilid. 4, hal. 36.
84 Ibid.
85 Hadhrat Ali Akbar, Almarhum Muqarram, hal. 256.
86 Tadzkiratu al-Khawash, hal. 238.
87 Aghani, jilid. 14, hal. 157; Nasabu al Quraisy, karya Mas'ab Subairi, hal. 59, Thabari dalam al Muntahab.
88 Manaqib, jilid. 2, hal. 143.
89 Misykatu al-Anwar, Thabarsi, hal. 154.
90 Penjelasan ringkasnya kami tulis dalam mukadimah buku Payom oqaron-e Karbala. Kebanyakan sejarah menyebutkan keagungannya, dan Syekh Thabarsi dalam Ihtijaj membawakan khotbahnya yang panjang dan berapi-api. Ia dan saudarinya Sukainah meninggal pada tahun 117 Hijriah di Madinah.
91 Silakan merujuk Muntaha al Ummal, pasal 6, jilid pertama. Almarhum Qommi menukil kenangan dan keramat yang menarik dari Mukhsin bin Husain as yang gugur di tempat itu. Cetakan Islamiah, hal. 421. Almarhum Muhammad Arbab Qommi juga menyebutkan peristiwa ini dalam Arba'in al Husainiah, hadis kesebelas, hal. 136 dengan menukil dari Mu'jamu al Buldan Yaqut Humawi, jilid. 2, hal. 284, cetakan Beirut.
92 Biharu al-Anwar, jilid. 46, hal. 215; al-Ushulu al-Kafi, bab Wiladah Imam Baqir as, hadis pertama.
93 A'lamu al-Wara', 259; Manaqib, jilid. 3, hal. 338; Kasyfu al-Ghummah, jilid.2, hal. 322.
94 Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa Ummu 'Abdillah juga memiliki putra-putra yang lain dari Imam Sajjad as selain Imam Baqir as yakni Hasan, Husain, Akbar dan 'Abdullah. Lihat Thabaqat Ibnu Saad, jilid. 5, hal. 156; Ansabu al-Asyrof, jilid. 3, hal. 147; Tarikh Ya'qubi, jilid. 2, hal. 305.
95 Irsyad, jilid. 2, hal. 154; Fushu al-Muhimmah, 206; Tadzkiroh al-Aimmah, 124; Nuru al-Abshor 142.
96 Thabaqot Ibnu Saad, jilid. 5, hal. 156.
97 A'lamu al-Wara' 297; Kasyfu al-Ghummah, jilid.2, hal. 286; A'yanu al-Syi'ah, jilid 1, hal. 630.
98 Tarikh Alu Muhammad, 127; Tarikh Guzideh 203.
99 Tadzkiratu al-Khawash, hal. 302.
100 Riwayat dari Imam Ja'far as: "Ibuku Farwah, Asma' binti Abdurrahman bin Abu Bakar."
101 Ushu al-Kafi, kitab al-Hujjah, bab: wiladah Imam Shadiq as.
102 Furu' al-Kafi, jilid. 4, hal. 428.

Catan Kaki Bab IV:
1 -(Al-Imam Ja'far as-Shadiq, penulis Ahmad Mughniyah.
2 - Tadzkirotul Khowâs, 307.
3 -Disebutkan bahwa Imam as memiliki 3 istri dan beberapa budak wanita, tapi yang terkenal adalah dua orang ini saja.
4 -Kisah hidup wanita ini penuh dengan keajaiban dan karamah.
5 - Barbar adalah nama yang meliputi sekelompok orang yang tinggal di kaki gunung Maghrib (Mu'jam al-Buldan, juz 1,hal. 368). Sekarang Maghrib lebih dikenal sebagai Maroko atau sebagiannya dinamakan Maroko.
6 -Tampaknya Maimun adalah nama dari seseorang.
7 -Al-Kafi, juz 1, hal. 476 & 477; Tankihul Maqâl, juz 3, bagian 2, hal. 76; Muntaha Amal, juz 2, hal. 336.
8 -Itsbâtul Wasiyyah, Masu'diy, hal. 189-190.
9 -Yaitu Hisyam bin Ahmar.
10 -I'lamul Wara', juz 2, hal. 31-32; A'walim Bahroniy, juz 21, hal.13 dan 14.
11 -Tanqihul Maqal, juz 3 bagian kedua, hal 76; Muntaha al-Amal, juz 2, hal. 336.
12 -Syarh Wiladatu lImam, di kitab Hayattul Imam Musa bin Ja'far as, juz 1, hal. 43-45.
13 -Julukan Imam Musa al-Kadzim as.
14 -Itsbatul Washiyyah, hal. 190-191.
15 -Ibn Jauzi dalam al-Tadzkiroh, hal. 312; Fathimah binti Husain al-Atsram bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as.
16 -Muntahal Amal, juz 2, hal. 69, dzikr Imam zainal Abidin as.
17 -Imam Shadiq as menurut sebuah riwayat syahid pada tahun 148 H, sedang Imam Khadzim lahir pada tahu 128 H, yakni 20 tahun beliau hidup bersama dan pada masa imamah ayah beliau (Imam Shadiq) setelah syahadah ayah beliau, beliau hidup 34 tahun, dan jumlah putra beliau seperti yang ditulis Syeikh Mufid adalah 37 putra.dan Ibn Jauziy dalam Tadzkirah menulis 20 putra dan 20 putri.Hitungan ini menurut 'Imad Zodeh kurang sesuai. Tujuannya adalah beliau hidup 20 tahun bersama ayah beliau dimana beliau juga telah menikah dan Imam Ridha as pada bulan ke 11 tahun 148 lahir ke dunia, yakni 16 hari setelah syahidnya kakek beliau Imam Shadiq as yang lain juga telah menulis tentang syahadah beliau.
18 -'Uyun Akhbar- ar-Ridha as, juz 1, hal. 17. Untuk menghilangkan kesamaran tentang pembelian budak beberapa istri imam as, silakan merujuk kitab "Hamidah Mushoffah", tulisan Ashghar Nezod, hal. 62-68.
19 -Muntahal Amal, juz 2, hal. 258 dengan menukil dari Durru Nadhim dan Itsbatul Wasiyyah. Dalam kisah pembelian Najmah dari penjual budak kebanyakan ulama Syiah dan penulis masa kini menulis bahwa Hamidah memberikan budak ini kepada putranya Imam Musa as, dan dua kejadian ini mungkin berhubungan.
20 Kelahiran beliau menurut pendapat masyhur adalah tanggal 11 Dzulqo'dah tahun 148 H di Madinah. Pendapat lain menulis hal itu tanggal 11 Zulhijjah atau Rabiu'l Awal tahun 153 H. Sebagian yang lain juga menulis hari Jum'at dan hari Selasa dan hari-hari lain. Dengan perhitungan ini berarti hari kelahiran belaiu adalah: 1- lima belas hari setelah syahadah Imam Shadiq as, 2-atau lima tahun setelah syahadah kakeknya.( Dalailul Aimmah, hal 175, Kasyful Ghummah , hal 256, Uyunu Akhbaral-Ridla as dan Irsyadi, Syeikh Mufid).
21 Dar Maktabi Alimi Ali Muhammad saw, hal. 473.
22 An-Nub dan an-Nubah, keduanya adalah Nuba pemuda dari Jordania (Lisan al-Arab, juz 1, hal. 776).
23 Muntahal Amal, hal. 325.
24 Hidayatgaroni Rohi Nur, juz 2, hal. 231.
25 Usûl Kâfi, juz 1, hal. 466.
26 Al-Irsyad, hal. 288, Usûl Kâfi, juz 1, hal. 467.
27 Al-Irsyad, hal. 228, Usûl Kâfi, juz 1, hal. 426.
28 Qurratu al Bâshirah, hal. 29.
29 Zindiqoni-e Imam Jawad, Ardistani, hal. 37, Muntahal Amal, juz 2, hal. 264.
30 Bihar, juz 49, hal. 221, Irsyad, bab 22, Muntahal Amal, juz 2, hal. 312, di sini juga ada pendapat lain.
31 Maktabi Alimi âli Muhammad, hal. 474.
32 Tatimmatu al-Muntaha, hal. 219.
33 Biharul Anwar, juz 50, hal. 16.
34 Biharu Anwar,juz 49, hal. 292, Dalaiul Imamah, hal. 351, al Kafi, juz 1, hal. 406, Tazkiratu Khowas, hal. 355.
35 Al-Imam Ali bin Musa al-Ridha, Dukhayyal, hal. 97.
36 Biharul Anwar, juz 50, hal. 73.
37 Muruju al-Dzahab, juz 3, hal. 441, Tarikh Ya'qubi, juz 2, hal. 453, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, juz 5, pasal 10, hal. 251.
38 Biharul Anwar, juz 50, hal. 74 dan 311.
39 Tuhaful Uqul, hal. 334, al-Ihtijaj, juz 2, hal. 245, Biharul Anwar, juz 50, hal. 74-75.
40 Biharul Anwar, juz 50, hal. 77, al-Irsyad, hal. 321 dan Tarjumah 273.
41 Biharul Anwar, juz 50, hal. 72, Manaqibi Ibnu Syahr Osyub, juz 2, hal. 428.
42 Manaqibi Ali Abi Thalib, juz 2, hal. 427, Usul Kafi, juz 1, hal. 495.
43 Dalail al-Imamah, hal. 319.
44 Al-Irsyad, hal. 321, Biharul Anwar, juz 50, hal. 77.
45 Tarikh Ya'qubi, juz 2, hal. 454.
46 Di masa khilafah Ma'mun, pergerakan ini berubah menjadi satu pergerakan dimana beliau bisa menyusup dalam pemerintahan dan mengambil manfaat darinya. Pada hakikatnya Imam as dalam hal ini sudah sampai pada dua tujuan; a. dari pernikahannya dengan putri Ma'mun, beliau dapat membatalkan niat Ma'mun untuk membunuhnya. (Ma'mun tidak menghiraukan keluhan putrinya tentang Imam as dan dia sendiri tidak mau meracuni beliau atau mengganggunya. Adapun kenapa Ma'mun menggunakan politik semacam ini, ini adalah kajian lain.). b. Dari perkawinan ini Imam as mampu menghalangi segala bentuk gangguan dan penyiksaan dari pihak pemerintahan dan bawahannya terhadap para pemimpin pergerakan Syiah.(Hidayatgaroni Rohi Nur, juz 2, hal. 259 dan 260).
Semua pernyataan dan jawaban ini bisa dilontarkan dan dikoreksi terlepas dari ilmu dan pengetahuan beliau terhadap maslahat dirinya dan Syiah. Begitu juga halnya dengan penerimaan ayahnya Imam Ridha as terhadap wilayatul ahdi. Mengetahui revolusi dan pergerakan Alawi dari anak-anak dan cucu-cucu para imam yang suci di zaman pemerintahan Bani Abbasi adalah memperkuat ucapan Ayatullah Mudarrisi dan para pemikir lain yang telah memperhatikan poin menarik ini. Lihatlah satu contoh dari pergerakan serius ini pada Mohammad bin Qosim bin Ali bin Umar bin Zainal Abidin as (Hidayatgaroni Rohi Nur, hal. 263), Imaman wa Junbasyhaye Maktabi, hal. 290- 313, Maqotil al-Thalibin, no 79, hal. 536, Hadiqotu al-Syiah, karya Moqoddas Ardabili dan Ihtijaj, karya Thabarsi.
47 Imam Jawad as Minal Mahdi Ilal Lahdi.
48 Dalâilul Imâmah, hal. 410.
49 Usul Kafi, juz 1, hal. 479.
50 Dalailul Imamah, hal. 409.
51 Tarikhul Aimmah, hal. 8.
52 Biharul Anwar, juz 50, hal. 96.
53 Biharul Anwar, juz 50, hal. 96.
54 Biharul Anwar, juz 50, hal. 80, al Irsyad, hal. 323.
55 Biharul Anwar, juz 50, hal. 96.
56 Imam Jawad as Minal Mahdi Ilal Lahdi, hal. 87, Muntahal Amal, juz 2, hal. 238, Zindiqoni-e Jawadul Aimmah, Ardistani.
57 Tazkiratul Khowas 323-324. Dalam Usul Kafi diceritakan bahwa beliau lahir pada pertengahan Zulhijah tahun 212 H. Dalan satu riwayat dikatakan bahwa beliau lahir pada bulan Rajab tahun 214 dan meninggal pada bulan Jumadi Akhir tahun 254. Diriwayat yang lain disebutkan bahwa beliau meninggal pada bulan Rajab tahun 254 H dalam usianya yang ke-41 tahun 6 bulan, dan 40 tahun menurut riwayat lain. Marhum Muhaddis Qomi berkenaan dengan kelahiran bapak dan anak, menulis: dalam do'a Nahiyah Moqoddasah terdapat :
" اللهم ان? اسئلک بالمولود?ن ف? رجب محمد بن عل? الثان? وابنه عل? بن محمد المنتجب " lihatlah kitab Muntahal Amal pasal Syahadah Imam Hadi as, hal. 384. Syaikh Mufid dalam buku al Irsyad mengatakan: Kelahiran beliau di Sharya dekat Madinah pertengahan Zulhijjah tahun 212 dan meninggal pada bulan Rajab tahun 254 di Samarro'.
58 Muntahal Amal, hal. 361.
59 Muntahal Amal, juz 2, hal. 393.
60 Biharul Anwar, juz 5, hal. 363.
61 Ayatullah Mudarrisi dalam buku Hidayat Qarone Rohe Nor, juz 2 , hal. 335 menulis: Ja'far ini adalah orang yang digelari Kazzab (pembohong ) dan Tawwab (banyak tobat) sebab ia pernah mengaku sebagai imam lalu kemudian bertaubat.
62 Safinah, juz 2, hal. 202, Bihar, juz 52, hal. 42.
63 Muntahal Amal, juz 2, hal. 411.
64 Irsyad, Usul Kafi, A'lamul Wara', Raudhatul Wa'izdin dan Manaqibi Ibn Syahr Asuyub.
65 A'lamul Wara, juz 2, hal. 131-132 dinukil dari Kifayatul Atsar, hal .162, Manaqibi Syahr Ibn Asyub, juz 2, hal. 209.
66 Kamaluddin, juz 2, hal. 417, Dalailul Aimmah, hal. 263, al-Ghaibah, hal. 124.
67 Kamaluddin, juz 2, hal. 426, Bihar, juz 51, hal. 11 sesuai dengan nukilan Kamaluddin.
68 Uyunul Mu'jizat, hal. 136.
69 Hidayatul Kubro, hal 328.
70 Durus, hal 155, Bihar, juz 51, hal. 28.
71 Bo Khursyidi Samarro. Cerita perkawinan Narjis Khatun dimuat dalam mayoritas buku sejarah dan buku-buku yang berkenaan dengan Imam Askari as dan Baqiyatullah as.
72 Falasifi-e Syi'ah, hal 172 dst.
73 Ibid.
74 Ibid.
75 Safinatul Bihar, juz 1, hal 676
76 Muntahal Amal,bab 13, fasal 5
77Muntahal Amal, hal. 528, Allamah Hasan Zadeh Amili dalam buku Nahjul Wilayah memperkenalkan buku-buku tentang Imam Mahdi as, cendekiawan moderen Ustad Muhammad Ridha Hakimi dalam buku Khursyidi Maghrib menulis dengan bagus, Marhum Kazwini di buku Hayutul Mahdi Minal Mahdi ilal Lahdi juga menulis hal itu. Dan yang lebih luas dibanding buku-buku lain adalah buku Muntakhobul Atsar, karya Ayatullah Shofi Gulbaigani dan terjemahan Biharul Anwar berkenaan dengan Mahdi as yang diterjemahkan oleh Ustaz Dawani, penulis buku Mafakhirul Islam serta buku Muntahal Amal, karya Syaik Abbas Qommi.
78 Najmu al-Saqib, hal. 224.
79 Najmu al-Saqib, hal. 225.
80 Jamalul Usbu', hal. 512.
81 Ghaibati Syaikh Thusi , hal. 103 dan Biharul Anwar, juz 52, hal. 153.
82 Najmu al-Saqib, hal. 225.
83 Biharul Anwar, juz 53, hal. 145.
84 Ghaibati Syaikh Thusi, hal. 134.
85 Najmu al-Saqib, hal. 226.
86 Ghaibat, hal. 137.
87 Jaziri-e Khodro', hal. 37-40.

9