• Mulai
  • Sebelumnya
  • 20 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 3963 / Download: 1496
Ukuran Ukuran Ukuran
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (1)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Khalifah Utsman yang Dituduh Nepotis

Mari kita lihat ‘ramalan’ Umar bin Khaththab. Tatkala Ali menolak mengikuti peraturan­peraturan dan keputusan­keputusan Abu Bakar dan Umar, dalam pertemuan anggota Syura, Utsman justru sebaliknya. Ia berjanji menaati peraturan dan keputusan Abu Bakar dan Umar.[43] Ia menjadi khalifah tanggal 1 Muharam tahun 24 H pada umur 79 tahun dan meninggal dibunuh tanggal 18 Dzulhijjah tahun 35 H/ 17 Juni 656 M.

Pemerintahannya dianggap nepotis oleh banyak kalangan. Misalnya, ia mengangkat anggota keluarganya, yang bernama Marwan anak Hakam Ibnu ‘Abi’l Ash yang telah diusir Rasul saw dari Madinah kerana telah bertindak sebagai mata­mata musuh. Utsman membolehkan ia kembali dan mengangkatnya menjadi Sekretaris Negara. Ia memperluas wilayah kekuasaan Mu’awiyah, yang mula­mula hanya kota Damaskus, sekarang ditambah dengan Palestina, Yordania dan Libanon. Ia memecat gubernur­gubernur yang ditunjuk Umar dan menggantinya dengan keluarganya yang Thulaqa[44] , ada di antaranya yang pernah murtad dan disuruh bunuh oleh Rasul, dilaknat Rasul, penghina Rasul dan pemabuk. Ia mengganti gubernur Kufah Sa’d bin Abi Waqqash dengan Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith, saudara seibu dengannya. Walid disebut sebagai munafik dalam Al­ Qur’an.

Ali, Thalhah dan Zubair, tatkala Utsman mengangkat Walid bin ‘Uqbah jadi gubernur Kufah, menegur Utsman: “Bukankah Umar telah mewasiatkan kepadamu agar jangan sekali­kali mengangkat keluarga Abi Waith dan Banu ‘Umayyah untuk memerintah umat?” Dan Utsman tidak menjawab sama sekali’.[45]

Walid adalah seorang pemabuk dan penghambur wang negara. Utsman juga mengganti gubernur Mesir ‘Amr bin ‘Ash dengan Abdullah bin Sa’id bin Sarh, seorang yang pernah disuruh bunuh Rasul saw kerana menghujat Rasul. Di Bashrah ia mengangkat Abdullah bin Amir, seorang yang terkenal sebagai munafik.

Utsman juga dituduh telah menghambur­hamburkan wang negara kepada keluarga dan para gubernur Banu ‘Umayyah’ yaitu orang­orang yang disebut oleh para sejarahwan sebagai tak bermoral (fujur), pemabuk (shahibu ‘l­khumur), tersesat (fasiq), malah terlaknat oleh Rasul saw (la’in) atau tiada berguna (‘abats). Ia menolak kritik­kritik para sahabat yang terkenal jujur. Malah ia membiarkan pegawainya memukul saksi seperti Abdullah bin Mas’ud, pemegang baitul mal di Kufah sehingga menimbulkan kemarahan Banu Hudzail.

Ia juga membiarkan pemukulan ‘Ammir bin Yasir sehingga mematahkan rusuknya dan menimbulkan kemarahan Banu Makhzum dan Banu Zuhrah. Ia juga menulis surat kepada penguasa di Mesir agar membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Meskipun tidak sampai terlaksana, tetapi menimbulkan kemarahan Banu Taim.

Ia membuang Abu Dzarr al­Ghifari ­­pemrotes ketidakadilan dan penyalahgunaan wang negara­ ke Rabdzah dan menimbulkan kemarahan keluarga Ghifari. Para demonstran datang dari segala penjuru, seperti Mesir, Kufah, Bashrah dan bergabung dengan yang di Madinah yang mengepung rumahnya selama 40 hari[46] yang menuntut agar Utsman memecat Marwan yang tidak hendak dipenuhi Utsman. Tatkala diingatkan bahwa wang Baitul Mal adalah milik umat yang harus dikeluarkan berdasarkan hukum syariat seperti sebelumnya oleh ‘Abu Bakar dan Umar ia mengatakan bahwa ia harus mempererat silaturahmi dengan keluarganya. Ia mengatakan: “Akulah yang memberi dan akulah yang tidak memberi. Akulah yang membagi wang sesukaku!”.[47]

Utsman memberikan kebun Fadak kepada Marwan, yang tidak hendak diberikan Abu Bakar kepada Fathimah yang akan dibicarakan di bagian lain.

Memerlukan beberapa buku tersendiri untuk menulis penyalahgunaan ‘wang negara’ oleh para penguasa dan ‘politisi’ pada masa itu sedang sebagian besar sahabat dan anggota masyarakat hidup kekurangan.

Al­Amini mencatat daftar singkat hadiah yang dihambur Utsman:

Dalam dinar:

• Marwan bin Hakam bin Abi’l­’Ash 500.000

• Ibnu Abi Sarh 100.000

• Khalifah Utsman 100.000

• Zaid bin Tsabit 100.000

• Thalhah bin Ubaidillah 200.000

• Abdurrahman bin ‘Auf 2.560.000

• Ya’la bin ‘Umayyah 500.000

Jumlah dinar 4.310.000

Dalam Dirham:

• Marwan bin Abi’l­’Ash 300.000

• Keluarga Hakam 2.020.000

• Keluarga Harits bin Hakam 300.000

• Keluarga Said bin ‘Ash bin Umayya 100.000

• Walid bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith 100.000

• Abdullah bin Khalid bin ‘Usaid (1) 300.000

• Abdullah bin Khalid bin ‘Usaid (2) 600.000

• Abu Sufyan bin Harb 200.000

• Marwan bin Hakam 100.000

• Thalhah bin Ubaidillah (1) 2.200.000

• Thalhah bin Ubaidillah (2) 30.000.000

• Zubair bin ‘Awwam 59.800.000

• Sa’d bin Abi Waqqash 250.000

• Khalifah Utsman sendiri 30.500.000

Jumlah dirham 126.770.000

Dirham adalah standar mata wang perak dan dinar adalah standar mata wang emas. Satu dinar berharga sekitar 10­12 dirham. Satu dirham sama harganya dengan emas seberat 55 butir gandum sedang. Satu dinar seberat 7 mitsqal. Satu mitsqal sama berat dengan 72 butir gandum. Jadi satu dinar sama berat dengan 7 X 72 butir gandum atau dengan ukuran sekarang sama dengan 4 grain. Barang dagangan satu kafilah di zaman Rasul yang terdiri dari 1.000 unta, dan dikawal oleh sekitar 70 orang berharga 50.000 dinar yang jadi milik seluruh pedagang Makkah. Seorang budak berharga 400 dirham.

Contoh penerima hadiah dari Utsman adalah Zubair bin ‘Awwam. Ia yang hanya kepercikan wang baitul mal itu, seperti disebut dalam shahih Bukhari, memiliki 11 (sebelas) rumah di Madinah, sebuah rumah di Bashrah, sebuah rumah di Kufah, sebuah di Mesir…Jumlah wangnya, menurut Bukhari adalah 50.100.000 dan di lain tempat 59.900.000 dinar, di samping[48] seribu ekor kuda dan seribu budak.[49]

Aisyah menuduh Utsman telah kafir dengan panggilan Na’tsal[50] dan memerintahkan agar ia dibunuh. Zubair menyuruh serbu dan bunuh Utsman. Thalhah menahan air minum untuk Utsman. Akhirnya Utsman dibunuh. Siapa yang menusuk Utsman, tidak pernah diketahui dengan pasti. Siapa mereka yang pertama mengepung rumah Utsman selama empat bulan dan berapa jumlah mereka dapat dibaca sekilas dalam catatan berikut. Mu’awiyah mengejar mereka satu demi satu.

Cerita Demonstran

Satu tahun sebelum Utsman dibunuh, orang­orang Kufah, Bashrah dan Mesir bertemu di Masjid Haram, Makkah. Pemimpin kelompok Kufah adalah Ka’b bin ‘Abduh, pemimpin kelompok Bashrah adalah al­Muthanna bin Makhrabah al­’Abdi dan pemimpin kelompok Mesir adalah Kinanah bin Basyir bin ‘Uttab bin ‘Auf as­Sukuni kemudian diganti at­Taji’i.

Kelompok Keluarga yang Dizhalimi Khalifah

Said bin Musayyib menceritakan adanya keluarga Banu Hudzail dan Banu Zuhrah yang merasa sakit hati atas perbuatan Utsman terhadap Abdullah bin Mas’ud, kerana Ibnu Mas’ud berasal dari kedua klan ini. Keluarga Banu Taim untuk membela Muhammad bin Abi Bakar, keluarga Banu Ghiffari untuk membela Abu Dzarr al­Ghifari, keluarga Banu Makhzum untuk membela ‘Ammar bin Yasir. Mereka mengepung rumah khalifah dan menuntut khalifah memecat sekretaris Negara Marwan bin Hakam.

Kelompok Penduduk Bashrah

Kemudian dari Bashrah datang ke Madinah 150 orang. Termasuk kelompok ini adalah Dzarih bin ‘Ubbad al­Abdi, Basyir bin Syarih al­Qaisi, Ibnu Muharrisy. Malah menurut Ibnu Khaldun jumlah mereka sama banyaknya dengan jumlah pendatang Mesir, 1000 orang, dan terbagi dalam 4 kelompok.

Kelompok Kufah

Dari Kufah datang 200 orang yang dipimpin Asytar. Ibnu Qutaibah mengatakan kelompok Kufah terdiri dari 1000 orang dalam empat kelompok. Pemimpin masing­masing kelompok adalah Zaid bin Suhan al­’Abdi, Ziyad bin an­Nashr al­Haritsi, Abdullah bin al­’Ashm al­’Amiri dan ‘Amr bin al­ Ahtam.

Kelompok Mesir

Dari Mesir datang 1.000 orang.[51] Dalam kelompok ini terdapat Muhammad bin Abi Bakar, Sudan bin Hamrin as­Sukuni, ‘Amr bin Hamaq al­Khaza’i. Mereka dibagi dalam empat kelompok masing­ masing dipimpin oleh ‘Amr bin Badil bin Waraqa’ al­Khaazi, Abdurrahman bin ‘Adis Abu Muhammad al­Balwi, ‘Urwah bin Sayyim bin al­Baya’ al­Kinani al­Laitsi, Kinanah bin Basyir Sukuni at­Tajidi.

Mereka berkumpul disekitar ‘Amr bin Badil al­Ghaza’i, seorang sahabat Rasul saw dan Abdurrahman bin ‘Adis al­Tajibi.

Kelompok Madinah

Mereka disambut oleh kelompok Madinah yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar seperti ‘Ammar bin Yasir al­’Abasi, seorang pengikut Perang Badr, Rifaqah bin Rafi’ al­Anshari, pengikut Perang Badr, at­Hajjaj bin Ghaziah seorang sahabat Rasul saw, Amir bin Bakir, seorang dari Banu Kinanah dan pengikut Perang Badr, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin ‘Awwam, peserta Perang Badr.[52]

Aisyah: ‘Bunuh Na’tsal!’

Dan sejarah mencatat bahwa ummu’l­mu’minin Aisyah, bersama Thalhah, Zubair dan anaknya Abdullah bin Zubair, telah melancarkan peperangan terhadap Amiru’l­mu’minin Ali bin Abi Thalib, yang memakan korban lebih dari 20.000 orang, dengan alasan untuk menuntut balas darah Utsman.

Padahal ummu’l­muminin Aisyah adalah pelopor melawan Utsman dengan mengatakan bahwa Utsman telah kafir.

Thalhah menahan pengiriman air minum kepada Utsman, tatkala rumah khalifah yang ketiga itu dikepung para ‘pemberontak’ yang datang dari daerah­daerah.

Zubair menyuruh orang membunuh Utsman pada waktu rumah khalifah itu sedang dikepung. Orang mengatakan kepada Zubair: “Anakmu sedang menjaga di pintu, mengawal (Utsman)”. Zubair menjawab: “Biar aku kehilangan anakku tetapi Utsman harus dibunuh!”.[53] Zubair dan Thalhah juga adalah orang­orang pertama membaiat Ali.

Khalifah Utsman mengangkat Walid bin ‘Uqbah, saudara seibunya jadi Gubernur di Kufah. Ayahnya ‘Uqbah pernah menghujat Rasul Allah di depan orang banyak, dan kemudian dibunuh Ali bin Abi Thalib. Walid sendiri dituduh sebagai pemabuk dan menghambur­hamburkan wang baitul mal. Ibnu Mas’ud (Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud), seorang Sahabat terkemuka, yang ikut Perang Badr, yang mengajar Al­Qur’an dan agama di Kufah, penanggungjawab baitul mal, menegur Walid. Walid mengirim surat kepada Utsman mengenai Ibnu Mas’ud. Utsman memanggil Ibnu Mas’,ud menghadap ke Madinah.

Baladzuri menulis:

Utsman sedang berkhotbah di atas mimbar Rasul Allah. Tatkala Utsman, melihat Ibnu Mas’ud datang ia berkata: “Telah datang kepadamu seekor kadal (duwaibah) yang buruk, yang (kerjanya) mencari makan malam hari, muntah dan berak!”.

Ibnu Mas’ud: “Bukan begitu, tetapi aku adalah Sahabat Rasul Allah saw pada Perang Badr dan baiat ar­ridhwan”.[54]

Dan Aisyah berteriak: “Hai Utsman, apa yang kau katakan terhadap Sahabat Rasul Allah ini?”.

Utsman: “Diam engkau!”. Dan Utsman memerintahkan mengeluarkan Ibnu Mas’ud dari Masjid dengan kekerasan. Abdullah bin Zam’ah, pembantu Utsman lalu membanting Ibnu Mas’ud ke tanah. Kemudian ia menginjak tengkuk Ibnu Mas’ud secara bergantian dengan kedua kakinya hingga rusuk Ibnu Mas’ud patah.

Marwan bin Hakam berkata kepada Utsman: “Ibnu Mas’ud telah merusak Irak, apakah engkau ingin ia merusak Syam?...Dan Ibnu Mas’ud ditahan dalam kota Madinah sampai meninggal dunia tiga tahun kemudian. Sebelum mati ia membuat wasiat agar ‘Ammir bin Yasir menguburnya diam­ diam, yang kemudian membuat Utsman marah.

Kerana Utsman sering menghukum saksi pelanggaran agama oleh pembantu­pembantunya, timbullah gejolak di Kufah. Orang menuduh Utsman menghukum saksi dan membebaskan tertuduh.[55] Abu’l­Faraj menulis: “Berasal dari Az­Zuhri yang berkata: ‘Sekelompok orang Kufah menemui Utsman pada masa Walid bin ‘Uqbah menjadi Gubernur. Maka berkatalah Utsman: ‘Bila seorang di antara kamu marah kepada pemimpinnya, maka dia lalu menuduhnya melakukan kesalahan! Besok aku akan menghukummu’. Dan mereka meminta perlindungan Aisyah. Besoknya Utsman mendengar kata­kata kasar mengenai dirinya keluar dari kamar Aisyah, maka Utsman berseru: ‘Orang ‘Iraq yang tidak beragama dan fasiklah yang mengungsi di rumah Aisyah’. Tatkala Aisyah mendengar kata­kata Utsman ini, ia mengangkat sandal Rasul Allah saw dan berkata: ‘Anda meninggalkan Sunnah Rasul Allah, pemilik sandal ini’. Orang­orang mendengarkan. Mereka datang memenuhi masjid. Ada yang berkata: ‘Dia betul!’ dan ada yang berkata: ‘Bukan urusan perempuan!’. Akhirnya mereka baku hantam dengan sandal”.[56]

Baladzuri menulis: Aisyah mengeluarkan kata­kata kasar yang ditujukan kepada Utsman dan Utsman membalasnya: ‘Apa hubungan Anda dengan ini? Anda diperintahkan agar diam di rumahmu (maksudnya adalah firman Allah yang memerintahkan istri Rasul agar tinggal di rumah: ‘Tinggallah dengan tenang dalam rumahmu’)[57] dan ada kelompok yang berucap seperti Utsman, dan yang lain berkata: ‘Siapa yang lebih utama dari Aisyah?” Dan mereka baku hantam dengan sandal, dan ini pertama kali perkelahian antara kaum Muslimin, sesudah Nabi saw wafat.[58]

Tatkala khalifah Utsman sedang dikepung oleh “pemberontak” yang datang dari Mesir, Bashrah dan Kufah, Aisyah naik haji ke Makkah.

Thabari menulis: ‘Seorang laki­laki bernama Akhdhar (datang dari Madinah) dan menemui Aisyah.

Aisyah: “Apa yang sedang mereka lakukan? “

Akhdhar: “Utsman telah membunuh orang­orang Mesir itu!’

Aisyah: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Apakah ia membunuh kaum yang datang mencari hak dan mengingkari zalim? Demi Allah, kita tidak rela akan (peristiwa) ini”.

Kemudian seorang laki­laki lain (datang dari Madinah).

Aisyah: “Apa yang sedang dilakukan orang itu”

Laki­laki itu menjawab: “Orang­orang Mesir telah membunuh Utsman!”

Aisyah: “Ajaib si Akhdhar. Ia mengatakan bahwa yang terbunuhlah yang membunuh’. Sejak itu muncul peribahasa, “lebih bohong dari Alkdhar”.[59]

Abu Mikhnaf Luth al­’Azdi menulis: Aisyah berada di Makkah tatkala mendengar terbunuhnya Utsman. Ia segera kembali ke Madinah tergesa­gesa. Dia berkata: ‘Dialah Pemilik Jari.”[60] Demi Allah, mereka akan mendapatkan kecocokan pada Thalhah. Dan tatkala Aisyah berhenti di Sarif,[61] ia bertemu dengan ‘Ubaid bin Abi Salmah al­Laitsi.

Aisyah berkata: ‘Ada berita apa?’.

Ubaid: Utsman dibunuh’.

Aisyah: ‘Kemudian bagaimana?’.

‘Ubaid: ‘Kemudian mereka telah menyerahkannya kepada orang yang paling baik, mereka telah membaiat Ali’.

Aisyah: ‘Aku lebih suka langit runtuh menutupi bumi!. Selesailah sudah Celakalah Anda! Lihatlah apa yang Anda katakan!’.

‘Ubaid: ‘Itulah yang saya katakan pada Anda, ummu’l­mu’minin’.

Maka merataplah Aisyah.

‘Ubaid: ‘Ada apa ya ummul­mu’minin! Demi Allah, aku tidak mengetahui ada yang lebih utama dan lebih berhak dari dirinya. Dan aku tidak mengetahui orang yang sejajar dengannya, maka mengapa Anda tidak menyukai wilayah­nya?’.

Aisyah tidak menjawab.

Dengan jalur yang berbeda­beda diriwayatkan bahwa ‘A.’isyah, tatkala sedang berada di Makkah, mendapat berita tentang pembunuhan Utsman, telah berkata:

‘Mampuslah dia (ab’adahu’llah)! Itulah hasil kedua tangannya sendiri! Dan Allah tidak zalim terhadap hambanya!’.

Dan diriwayatkan bahwa Qais bin Abi Hazm naik haji pada tahun Utsman dibunuh. Tatkala berita pembunuhan sampai, ia berada bersama Aisyah dan menemaninya pergi ke Madinah. Dan Qais berkata: “Aku mendengar ia telah berkata:

‘Dialah Si Pemilik Jari!’

Dan tatkala disebut nama Utsman, ia berkata:

‘Mampuslah dia!

Dan waktu mendapat kabar dibaiatnya Ali ia berkata: ‘Aku ingin yang itu (sambil menunjuk ke langit, pen.) runtuh menutupi yang ini!’ (sambil menunjuk ke bumi, pen.)

Ia lalu mernerintahkan agar unta tunggangannya dikembalikan ke Makkah dan aku kembali bersamanya. Sampai di Makkah ia berkhotbah kepada dirinya sendiri, seakan­akan ia berbicara kepada seseorang.

‘Mereka telah membunuh Ibnu ‘Affan (Utsman, pen.) dengan zalim’. Dan aku berkata kepadanya: ‘Ya ummu’l­mu’minin, tidakkah aku mendengar baru saja bahwa Anda telah berkata: ‘Ab’adahu’llah’!

‘Dan aku melihat engkau sebelum ini paling keras terhadapnya dan mengeluarkan kata­kata buruk untuknya!’

Aisyah: ‘Betul demikian, tetapi aku telah mengamati masalahnya dan aku melihat mereka meminta agar dia bertobat.. kemudian setelah ia bertobat mereka membunuhnya pada bulan haram’.

Dan diriwayatkan dalam jalur lain bahwa tatkala sampai kepadanya berita terbunuhnya Utsman ia berkata:

‘Mampuslah dia! Ia dibunuh oleh dosanya sendiri. Mudah­mudahan Allah menghukumnya dengan hasil perbuatannya (aqadahu’llah)!. Hai kaum Quraisy, janganlah kamu berlaku sewenang­wenang terhadap pembunuh Utsman, seperti yang dilakukan kepada kaum Tsamud!. Orang yang paling berhak akan kekuasaan ini adalah Si Pemilik Jari!’.

Dan tatkala sampai berita pembaiatan terhadap Ali, ia berkata: ‘Habis sudah, habis sudah (ta’isa), mereka tidak akan mengembalikan kekuasaan kepada (Banu) Taim untuk selama­lamanya!’

Dan jalur lain lagi: “Kemudian ia kembali ke Madinah dan ia tidak ragu lagi bahwa Thalhahlah yang memegang kekuasaan (khalifah) dan ia berkata:

‘(Allah) menjauhkan dan membinasakan si Natsal. Dialah si Pemilik Jari! Itu dia si Abu Syibi![62] , ah dialah sudah misanku!. Demi Allah, mereka akan menemukan pada Thalhah kepantasan untuk kedudukan ini. Seakan­akan aku sedang melihat ke jarinya tatkala ia dibaiat! Bangkitkan unta ini dan segera berangkatkan dia!”[63]

Dan tatkala ia berhenti di Sarf dalam perjalanan ke Madinah ia bertemu dengan Ubaid bin Umm Kilab[64] Aisyah bertanya: ‘Bagaimana’?

Ubaid: ‘Mereka membunuh Utsman, dan delapan hari tanpa pemimpin!’ Aisyah: ‘Kemudian apa yang mereka lakukan?” Ubaid: ‘Penduduk Madinah secara bulat (bi’l­ijma) telah menyalurkannya ke jalan yang terbaik, mereka secara bulat telah memilih Ali bin Abi Thalib’.’

Aisyah: ‘Kekuasaan jatuh ke tangan sahabatmu! Aku ingin yang itu runtuh menutupi yang ini. ‘Bagus![65] Lihatlah apa yang kamu katakan!’

Ubaid: ‘Itulah yang aku katakan, ya ummu’l­mu’minin’.

Maka merataplah Aisyah. ‘Ubaid melanjutkan: ‘Ada apa dengan Anda, ya ummu’l­mu’minin?. Demi Allah, aku tidak menemukan antara dua daerah berlafa gunung berapi (maksudnya Madinah) ada satu orang yang lebih utama dan lebih berhak dari dia. Aku juga tidak melihat orang yang sama dan sebanding dengannya, maka mengapa Anda tidak menyukai wilayahnya?’

Ummul­mu’minin lalu berteriak: ‘Kembalikan aku, kembalikan aku’. Dan ia lalu berangkat ke Makkah. Dan ia berkata: ‘Demi Allah, Utsman telah dibunuh secara zalim. Demi Allah, kami akan menuntut darahnya!’

Ibnu Ummu’l­Kilab berkata kepada Aisyah: ‘Mengapa, demi Allah, sesungguhnya orang yang pertama mengamati pekerjaan Utsman adalah Anda, dan Anda telah berkata: ‘Bunuhlah Naltsal! Ia telah kafir! Aisyah: ‘Mereka minta ia bertobat dan mereka membunuhnya. Aku telah bicara dan mereka juga telah bicara. Dan perkataanku yang terakhir lebih baik dari perkataanku yang pertama’.

Ibnu Ummu’l­Kilab:

Dari Anda bibit disemai,

Dari Anda kekacauan dimulai,

Dari Anda datangnya badai,

Dari Anda huj an berderai,

Anda suruh bunuh sang imam,

Ia ‘lah kafir, Anda yang bilang,[66]

Jika saja kami patuh,

Ia tentu kami bunuh,

Bagi kami pembunuh adalah penyuruh,

Tidak akan runtuh loteng di atas kalian,

Tidak akan gerhana matahari dan bulan,

Telah dibaiat orang yang agung,

Membasmi penindas,

menekan yang sombong,

Ia selalu berpakaian perang,

Penepat janji, bukan pengingkar.

Menurut Mas’udi:[67]

Dari Anda datang tangis,

Dari anda datang ratapan,

Dari Anda datangnya topan,

Dari Anda tercurah hujan,

Anda perintah bunuh sang imam,

Pembunuh bagi kami adalah penyuruh.[68]

Perang Jamal, Aisyah Memerangi Imam Ali, Dua Puluh Ribu Muslim Mati

Aisyah berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan pintu masjid menuju ke al­Hajar kemudian mengumpul orang dan berkata: ‘Hai manusia. Utsman telah dibunuh secara zalim! Demi Allah kita harus menuntut darahnya’. Dia dilaporkan juga telah berkata: ‘Hai kaum Quraisy! Utsman telah dibunuh. Dibunuh oleh Ali bin Abi Thalib. Demi Allah seujung kuku atau satu malam kehidupan Utsman, lebih baik dari seluruh hidup Ali.’[69]

Ummu Salamah Menasihati Aisyah

Ummu’l­mu’minin Ummu Salamah menasihati Aisyah agar ia tidak meninggalkan rumahnya:

“Ya Aisyah, engkau telah menjadi penghalang antara Rasul Allah saw dan umatnya. Hijabmu menentukan kehormatan Rasul Allah saw, Al­Qur’an telah menetapkan hijab untukmu.[70]

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang­orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul­Nya”. (Al­Ahzab: 33)

Dan jangan engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan Allah SWT dan janganlah engkau keluar. Allah­lah yang akan melindungi umatnya. Rasul Allah saw mengetahui tempatmu. Kalau Rasul Allah saw ingin memberimu tugas tentu telah beliau sabdakan. Ia telah melarang engkau mengelilingi kota­kota. Apa yang akan engkau katakan kepada Rasul Allah saw seandainya engkau bertemu dengan beliau di perjalanan dan engkau sedang menunggangi untamu dan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain? Allah sudah menetapkan tempatmu dan engkau suatu ketika akan bertemu dengan Rasul Allah saw di akhirat. Dan seandainya aku disuruh masuk ke surga firdaus, aku malu berjumpa dengan Rasul Allah saw dalam keadaan aku melepaskan hijabku yang telah diwajibkan Allah SWT atas diriku. Jadikanlah hijabmu itu sebagai pelindung dan jadikanlah rumahmu sebagai kuburan sehingga apabila engkau bertemu dengan Rasul Allah saw ia rela dan senang akan dirimu!”[71]

Aisyah tidak menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan Abdullah bin Zubair pergi bergabung dengan Aisyah di Makkah. Demikian pula Banu ‘Umayyah serta penguasa­penguasa Utsman yang diberhentikan Ali dengan membawa harta baitul mal.

Hafshah binti Umar yang juga ummu’l­mu’minin, diajak Aisyah, tapi membatalkan niatnya karena dilarang oleh kakaknya Abdullah bin Umar.

Abu Mikhnaf Luth al­’Azdi berkata: ‘Setelah Ali tiba di Dzi Qar[72] , Aisyah menulis kepada Hafshah binti Umar bin Khaththab:

‘Amma ba’du. Aku kabarkan padamu bahwa Ali telah tiba di Dzi Qar, dan ia benar­benar sedang ketakutan setelah mengetahui jemaah kami telah siap siaga. Dan ia berada di tepi jurang, bila ia maju, akan dipancung; ‘uqira, bila mundur disembelih; nuhira, dan Hafshah memanggil para dayangnya dan menyuruh mereka menyanyi sambil memukul rebana:

Apa kabar, apa kabar,

Ali dalam perjalanan,

Seperti penunggang di tepi jurang,

Maju, terpancung,

Mundur, terpotong.

Wanita­warita para thulaqa’ (mereka yang baru masuk Islam pada waktu dibukanya kota Makkah, pen) masuk ke rumah Hafshah ketika mendengar nyanyian itu. Mereka berkumpul dan menikmati nyanyian. Setelah sampai berita ini kepada Ummu Kaltsum binti Ali bin Abi Thalib, ia lalu pakai jilbabnya untuk menyaru. Sampai di tengah­tengah mereka, dia buka jilbabnya. Setelah Hafshah tahu bahwa orang itu adalah Ummu Kaltsum ia merasa malu dan berhenti bernyanyi. Lalu Ummu Kaltsum berkata: ‘Kalau engkau berdua (maksudnya Aisyah dan Hafshah, pen.) menentang Ali bin Abi Thalib sekarang, dahulu pun kamu berdua menentang saudara Ali bin Abu Thalib (maksudnya Rasul Allah saw) sehingga turun ayat mengenai kamu berdua’. Hafshah lalu menyela: ‘Stop! Mudah­mudahan Allah merahmatimu!’. Ia lalu mengambil surat Aisyah tersebut, merobeknya dan minta ampun kepada Allah!.[73]

Setelah sampai di wilayah ‘Iraq, Sa’id bin ‘Ash bertemu Marwan bin Hakam dan kawan­kawannya. Ia berkata: ‘Tunggu apa lagi kamu! Pemberontak dan pembunuh Utsman berada di sekeliling unta (yang ditunggangi Aisyah) itu! Bunuhlah mereka dan kembalilah ke tempatmu sesudah itu. Jangan kamu membunuh diri kamu sendiri!’ Mereka menjawab: ‘Biar mereka saling membunuh dan pembunuh Utsman dengan sendirinya akan terbunuh!’ Mereka lalu bergabung dengan Aisyah.[74]

Dalam perjalanan menuju Bashrah, Aisyah, Thalhah dan Zubair berhenti di Sumur Abi Musa dekat Bashrah. Utsman bin Hunaif, gubernur Bashrah mengirim utusan yang bernama Abu al­ Aswad ad­DuAli yang langsung menemui Aisyah dan ia bertanya kepada Aisyah akan maksud perjalanannya.

Aisyah: ‘Aku menuntut darah Utsman!’

Abu al­Aswad: ‘Tak ada seorang pun pembunuh Utsman di Bashrah!’

Aisyah: ‘Engkau benar. Mereka berada bersama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Dan aku datang membangkitkan orang Bashrah untuk memerangi Ali. Kami memarahi Utsman karena cambuknya yang memecuti kamu (umat Islam, pen.). Maka tidakkah kami juga harus membela Utsman dengan pedangmu?’

Abu al­Aswad: ‘Apa urusanmu dengan cambuk dan pedang!’ Engkau adalah istri Rasul Allah saw. Engkau diperintahkan untuk tinggal di rumahmu dan mengaji Kitab Tuhanmu dan perempuan tidaklah pantas untuk berperang dan tidak juga untuk menuntut darah. Sesungguhnya Ali lebih pantas dan lebih dekat hubungan keluarga untuk menuntut, karena mereka berdua (Ali dan Utsman), adalah anak ‘Abdi Manaf!’.

Aisyah: ‘Saya tidak akan mundur, sebelum saya melaksanakan apa yang telah saya rencanakan. Apakah engkau menduga bahwa seseorang mau memerangi saya?’.

Abu al­Aswad: ‘Ya, demi Allah! Engkau akan berperang dalam suatu peperangan yang bagaimanapun kecilnya, masih akan tetap paling dahsyat!’. Tiba di tepi kota Bashrah, orang­orang terkagum­kagum melihat unta Aisyah yang besar dan mengagumkan. Jariyah bin Qudamah mendatangi Aisyah dan berkata:

‘Wahai ummu’l­mu’minin! Pembunuhan Utsman merupakan tragedi, tetapi tragedi yang lebih besar lagi adalah bahwa Anda telah keluar dari rumah Anda, menunggangi unta terkutuk ini dan merusak kedudukan dan kehormatan Anda. Lebih baik Anda pulang.’

Aisyah tidak peduli dan orang­orang merasa heran. Ayat Al­Qur’an yang memerintahkan para istri Rasul agar tinggal di rumah tidak dapat lagi menahannya.

Tatkala pasukan ini berusaha masuk kota Bashrah, Gubernur Bashrah Utsman bin Hunaif datang untuk menghalangi mereka dan tatkata dua pasukan saling berhadapan, mereka mencabut pedang masing­masing dan saling menyerbu. Waktu sejumlah anggota pasukan telah berguguran Aisyah datang melerai dan kedua pasukan sepakat bahwa sampai Amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib tiba, pemerintahan yang ada berjalan sebagaimana biasa, dan Utsman bin Hunaif harus tetap dalam kedudukannya sebagai gubernur.

Pembunuhan Berdarah Dingin, Mencabuti Rambut Gubernur

Tetapi, baru dua hari berlalu, mereka menyergap Utsman bin Hunaif pada malam hari, membunuh empat puluh orang yang tidak bersalah, memukuli gubernur Utsman bin Hunaif, mencabut tiap helai rambut dan jenggotnya kemudian menawannya. Mereka lalu menyerang dan merampok Bait al­Mal sambil membunuh dua puluh orang di tempat serta lima puluh orang dibunuh berdarah dingin setelah menyerah. Setelah itu mereka merebut gudang gandum. Seorang tokoh tua kota Bashra yang bernama Hakim bin Jabalah tidak dapat lagi menahan diri. Ia mendatangi mereka dengan anggota suku dan keluarganya. Ia berkata kepada Abdullah bin Zubair: ‘Tinggalkan sebagian gandum untuk penduduk kota! Bagaimanapun juga penindasan harus ada batasnya. Kamu telah menyebarkan maut dan perusakan serta menawan Utsman bin Hunaif. Demi Allah tinggalkan perbuatan celaka ini dan lepaskanlah Utsman bin Hunaif. Apakah tidak ada lagi takwa dalam hatimu?’. Abdullah bin Zubair berkata: ‘Ini kami lakukan untuk menuntut darah Utsman!’ Hakim bin Jabalah menjawab: ‘Adakah orang­orang yang kamu bunuh itu pembunuh Utsman? Demi Allah bila aku punya pendukung, tentu akan ku tuntut balas terhadap pembunuhan kaum Muslimin tanpa sebab ini!’ Ibnu Zubair menjawab: ‘Kami sama sekali tidak akan memberikan apa pun dari gandum ini, dan tidak akan kami lepas Utsman bin Hunaif!’. Akhirnya terjadi pertempuran dan gugurlah Hakim bin Jabalah dan kedua anaknya Asyraf dan Ri’l bin Jabalah bersama tujuh puluh anggota sukunya yang lain.

Perang yang paling menyedihkan dalam sejarah Islam. Dalam perang ini bapak dan anak serta saudara saling membunuh, melemahkan jiwa dan raga masyarakat Islam yang sebenarnya merupakan awal berakhirnya Daulah Islamiyah dan membuka jalan kepada kerajaan.

Ibnu ‘Abd Rabbih meriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah, sesudah Perang Jamal mendatangi Aisyah. Aisyah berkata kepadanya: ‘Hai Abu ‘Abdillah aku ingin engkau berada bersama kami pada Perang Jamal; bagaimana anak­anak panah menembus haudaj­ku[75] dan sebagian menyentuh tubuhku!’. Mughirah bin Syu’bah menjawab: ‘Aku menghendaki satu dari panah­panah itu membunuhmu? Aisyah: ‘Mudah­mudahan Allah mengampunimu! Mengapa demikian?’ Mughirah menjawab: ‘Agar terbalas apa yang engkau lakukan terhadap Utsman!’.[76]

Diriwayatkan bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada Aisyah tentang hukumnya seorang ibu yang membunuh anak bayinya. Aisyah menjawab: ‘Neraka tempatnya bagi ibu yang durhaka itu!’. ‘Kalau demikian’, tanyanya: ‘bagaimana hukum seorang ibu yang membunuh dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?’. Aisyah berteriak dan menyuruh orang melempar keluar wanita tersebut. Aisyah, memang, sebagai istri Rasul ditentukan Allah SWT sebagai ibu kaum mu’minin.[77]

“Nabi itu lebih utama bagi orang­orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri­isterinya adalah ibu­ibu mereka. dan orang­orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak di dalam kitab Allah daripada orang­orang mukmim dan orang­orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara­saudaramu. adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab”.

[1200] Maksudnya: orang­orang mukmin itu mencintai Nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.

[1201] Yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah Berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta.

Dan perang yang dilancarkannya terhadap Imam Ali telah menyebabkan terbunuhnya dua puluh ribu anaknya sendiri. Setelah semua ini Aisyah kembali ke rumahnya.

Thalhah misan Aisyah, yang diharapkan Aisyah akan menjadi khalifah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh Marwan bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan Utsman. Setelah memanah Thalhah, Marwan berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah Utsman!” Zubair bin ‘Awwam, iparnya, suami kakaknya Asma binti Abu Bakar meninggalkan pasukan setelah mendengar nasihat Ali. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang yang bernama ‘Amr bin Jurmuz. Ali berkata: ‘Zubair senantiasa bersama kami sampai anaknya yang celaka[78] menjadi besar’.

Sepanjang masa peperangan Jamal ini Abdullah bin Zubair menjadi imam shalat, karena Thalhah dan Zubair berebut jadi imam dan Aisyah menunjuk Abdullah. Juga, Abdullah bin Zubair menuntut bahwa ia lebih berhak terhadap kekhalifahan dari ayahnya dan Thalhah, dan menyatakan bahwa Utsman telah mewasiatkan kepadanya untuk menjabat khalifah.[79]

Orang sering mengajukan pertanyaan mengenai Zubair dan Thalhah, seperti ‘mengapa harus Abdullah bin Zubair yang mengimami shalat padahal Zubair dan Thalhah adalah Sahabat Rasul dan mengapa mereka berdua harus berebut dan bertengkar menjadi imam sehingga Aisyah lalu menunjuk Abdullah bin Zubair? Mengapa membaiat Ali, kemudian memerangi Ali? Kalau menganggap Ali kafir, maka lari atau menyerah dari perang melawan orang kafir adalah kafir. Kalau Ali adalah Muslim, maka memerangi Ali adalah kafir’. Sedih, memang! Muhammad bin Abu Bakar, adik Aisyah yang berperang di pihak Ali melawan Aisyah, akhirnya di kemudian hari dibunuh oleh Mu’awiyah, dimasukkan dalam perut keledai lalu dibakar. Ali benar tatkala ia mengatakan bahwa ia diuji oleh empat hal. Pertama oleh orang yang paling cerdik dan dermawan, yaitu Thalhah. Kedua oleh orang yang paling berani yaitu Zubair. Ketiga oleh orang yang paling bisa mempengaruhi orang, yaitu Aisyah. Yang terakhir oleh orang yang paling cepat terpengaruh fitnah, yaitu Ya’la bin ‘Umayyah. Yang terakhir ini adalah penyedia dana utama untuk Perang Jamal, dengan membawa harta baitul mal tatkala ia jadi gubernur Utsman di Yaman. Lalu menyerahkan 400.000 dinar kepada Zubair dan menanggung pembiayaan tujuh puluh anggota pasukan orang Quraisy. Ia membelikan seekor unta yang terkenal besarnya untuk Aisyah seharga delapan puluh dinar.[80]

Aisyah adalah seorang luar biasa. Bagaimana ia mengguncangkan dua khalifah sekaligus dan bagaimana ia berubah dari seorang yang mengeluarkan fatwa untuk membunuh Utsman dan setelah Utsman terbunuh, ia menuntut dara Utsman dan membuat umat Islam berontak melawan Ali. Rasanya, Utsman tidak akan terbunuh tanpa fatwa Aisyah yang punya pengaruh demikian besar terhadap kaum Muslimin karena kedudukannya sebagai istri Rasul. Setelah Utsman terbunuh ia gembira. Tetapi setelah Ali dibaiat ia mampu menghimpun para pembunuh dan keluarga yang terbunuh untuk bangkit melawan Ali bin Abi Thalib. Ia dapat mengubah kesan orang terhadap Ali yang membela Utsman menjadi orang yang tertuduh membunuh Utsman.

Aisyah punya kelebihan. Setelah meruntuhkan dua khalifah­ia bisa berubah menjadi orang yang tidak berdosa. Dan perannya dalam menentukan aqidah umat berlanjut sampai sekarang dengan hadis­hadisnya yang banyak.

Ummu Salamah, misalnya, yang juga ummu’l­mu’minin tidaklah mendapat tempat yang terhormat seperti Aisyah. Hal ini disebabkan karena Ummu Salamah berpihak kepada ahlu’l­bait’ dengan sering meriwayatkan hadis hadis yang mengutamakan Ali, seperti hadis Kisa’. Ummu Salamah juga membiarkan putranya yang bernama Umar bergabung dengan Ali. Ia diangkat Ali jadi gubernur di Bahrain dan berperang bersamanya dalam perang Jamal.

Abu Bakar, ayah Aisyah, maupun Umar bin Khaththab menyadari kemampuan Aisyah, dan sejak awal mereka menjadikan Aisyah sebagai tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya, meriwayatkan dari al­Qasim: “Aisyah sering diminta memberikan fatwa di zaman Abu Bakar. Umar dan Utsman dan Aisyah terus memberi fatwa sampai mereka meninggal”.[81] Dari Mahmud bin Labid: Aisyah memberi fatwa di zaman Umar dan Utsman sampai keduanya meninggal’. Dan sahabat­sahabat Rasul Allah saw yang besar, yaitu Umar dan Utsman sering mengirim orang menemui Aisyah untuk menanyakan Sunnah’. Malah Umar memberikan uang tahunan untuk Aisyah lebih besar 20% dari istri Rasul yang lain. Tiap istri Rasul mendapat sepuluh ribu dinar sedang Aisyah dua belas ribu. Pernah Umar menerima satu kereta dari Irak yang di dalamnya terdapat mutiara (jauhar) dan Umar memberikan seluruhnya pada Aisyah.[82] Di samping pengutamaan Umar kepada Aisyah dalam fatwa maupun hadiah, Umar juga menahannya di Madinah dan hanya membolehkan Aisyah melakukan sekali naik haji pada akhir kekhalifahan Umar dengan pengawalan yang ketat. Umar menyadari betul peran Aisyah yang tahu memanfaatkan kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu kaum mu’minin dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi orang. Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan. Sedangkan Utsman, terutama pada akhir kekhalifahannya, melalaikan hal ini.

Dan di pihak lain, Ali seperti juga Fathimah sejak awal menjadi bulan­bulanan ummu’l­mu’minin Aisyah. Para ahli tidak dapat memecahkan misteri kebencian ummu’l­mu’minin Aisyah terhadap anak tirinya Fathimah dan Ali yang barangkali belum ada taranya dalam sejarah umat manusia bila kita pikirkan betapa tinggi kedudukan Fathimah dan Ali di mata Rasul Allah saw. Fathimah adalah satu dari empat wanita utama dalam dunia Islam, sedang Ali dikenal sebagai orang yang paling mulia dan paling utama sesudah Rasul dan jasanya terhadap Islam sangatlah besar. Kalau Mu’awiyah bersujud dan diikuti orang­orang yang menemaninya, dan shalat dhuha enam raka’at saat mendengar Ali meninggal dunia di kemudian hari, sedangkan Aisyah melakukan sujud syukur ketika mendengar berita gembira ini seperti dilaporkan oleh Abu’l­Faraj at­Ishfahani.[83]

Thabari, Abu’l­Faraj al­Ishfahani, Ibnu Sa’d dan Ibnu al­Atsir melaporkan bahwa tatkala seorang menyampaikan berita kematian Ali, ummu’l­mu’minin Aisyah bersyair:

‘Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah’

‘Seperti musafir gembira pulang ke rumah!’

Kemudian ia bertanya: “Siapa yang membunuhnya”?

Jawab: “Seorang laki­laki dari Banu Murad”!

Aisyah berkata:

“Walaupun ia jauh,

Berita matinya telah sampai,

Dari mulut seorang remaja,

Yang tak tercemar tanah!”.[84]

Maka berkatalah Zainab puteri ummu’l­muminin Ummu Salamah: “Apakah Ali yang engkau maksudkan?”

Aisyah menjawab: “Bila aku lupa kamu ingatkan aku!”.[85]

Kemudian Zainab berkata:

Selalu kasidah dihadiahkan di berbagai kalangan,

Tentang “Shiddiq” dan bermacam­macam julukan,

Akhirnya kau tinggalkan juga,

Di setiap pertemuan, kau keluarkan kata­kata,

Seperti dengungan lalat belaka.[86]

Daftar Isi :

sejarah islam 1

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah 1

by: O. Hashem 1

Jakarta 1

2004 1

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM 2

Prakata Penulis 3

Bab 1. Pengantar 6

Hadis Sebagai Sumber Sejarah, hadis Shahih Belum Tentu Shahih 11

Hati­hati Terhadap 700 Pembuat Hadis Aspal 15

Hati­hati Terhadap 150 Sahabat Fiktif 21

Bukhari Tidak Suka Imam Az­Zaki Al­Askari? 22

Hati­hati Terhadap Sejarah yang Telah Baku,Ali dan Zubair Menyembelih Ratusan Orang Tak Berdaya? Rasul Menggali Kubur Mereka di Madinah? 23

Menjatuhkan Khalifah Utsman, Sifat Jahiliyah di Kalangan Para Sahabat 26

Umar Buka Jalan Bagi Banu ‘Umayyah 32

Khalifah Utsman yang Dituduh Nepotis 36

Cerita Demonstran 41

Kelompok Keluarga yang Dizhalimi Khalifah 41

Kelompok Penduduk Bashrah 41

Kelompok Kufah 42

Kelompok Mesir 42

Kelompok Madinah 43

Aisyah: ‘Bunuh Na’tsal!’ 43

Perang Jamal, Aisyah Memerangi Imam Ali, Dua Puluh Ribu Muslim Mati 54

Ummu Salamah Menasihati Aisyah 55

Pembunuhan Berdarah Dingin, Mencabuti Rambut Gubernur 60