Abu Thalib, Mu’min atau Kafir?
Anak cucu Ali dan Fathimah serta keluarga Rasul Allah saw tidak pernah meragukan keimanan Abu Thalib. Selain Mazhab Imamiah, juga kebanyakan penganut Mazhab Zaidiyah dan Mazhab Mu’tazilah menganggap Abu Thalib sebagai seorang Mu’min. Di dalam Mazhab Ahli Sunnah dapat dibilang satusatunya hadis shahih yang meriwayatkan ‘kekafiran’ Abu Thalib adalah Abu Hurairah. Tetapi bagaimana ia dapat menyaksikan peristiwa meninggalnya Abu Thalib sedang ia pada waktu itu berada di desa Daus, Yaman, dan baru muncul di Madinah dan masuk Islam sepuluh tahun kemudian? Lagi pula para Sahabat besar menganggap Abu Hurairah sebagai pembohong (lihat pembicaraan di bagian lain mengenai Abu Hurairah), maka Abu Hurairah haruslah dicurigai seperti dikatakan oleh Imam Ibnu Qutaibah. Hal ini disebabkan kaum Muslimin lebih percaya kepada para Sahabat seperti Umar, Utsman, Ali serta Aisyah ketimbang Abu Hurairah. Abu Hurairah bukan Sahabat besar, bukan dari kaum Muhajirin, bukan ‘Anshar, bukan penyair Rasul, bukan keluarga Rasul, malah asalusulnya, orang tuanya, bahkan nama aslinya pun tidak diketahui orang. Dan secara moral, orang akan mempertimbangkan keyakinan keluarganya yang tentunya lebih mengetahui Abu Thalib ketimbang orang luar seperti Abu Hurairah yang sama sekali tidak mengenal, melihat apalagi menyelami pribadinya. Lagi pula orang mengetahui bahwa Mu’awiyah ingin melenyapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib untuk memelihara kekuasaannya, dan Abu Hurairah adalah salah seorang yang menyediakan perangkat lunaknya. Ia tidak membuang kesempatan membuat hadis mengenai Abu Thalib, ayah Ali, paman Rasul Allah, yang dikatakannya sebagai kafir yang tentunya sangat menggemaskan keluarga ahlu’lbait. Haruslah diakui betapa susahnya anggota keluarga seperti keluarga Nabi ini membuktikan keislaman Abu Thalib setelah hadis Abu Hurairah muncul lebih dari empat puluh tahun sesudah wafatnya Abu Thalib, yang didukung oleh penguasa yang menganggap hadishadis seperti kekafiran Abu Thalib sangat penting untuk mereka. Betul, pada masa tertentu, Abu Hurairah merasa dongkol kepada Mu’awiyah, yaitu tatkala Mu’awiyah memecatnya dari kedudukannya sebagai gubernur Madinah Mu’awiyah juga yang mengangkatnya menjadi gubernur, lihat pembicaraan di bagian lain mengenai Abu Hurairah dan menggantikannya dengan Marwan bin Hakam, tetapi untuk itu tentu saja ia tidak menarik lagi riwayat dan hadishadisnya terdahulu, tetapi membuat riwayatriwayat dan hadis baru.
Ada hadis yang diriwayatkan oleh murid dan menantu Abu Hurairah yang bernama Said bin Musayyib yang dikatakan didengarnya dari ayahnya yang mengatakan bahwa Abu Thalib tidak mau membaca syahadat pada saat sekarat. Tetapi orang mengetahui Said bin Musayyib adalah seorang yang sangat memusuhi Ali bin Abi Thalib sebagaimana dapat diikuti dalam kisah percekcokan antara Sa’id bin Musayyib dan salah seorang anak Ali.
Lama kemudian, tatkala ia ditegur karena tidak mau menshalati jenazah Ali bin Husain bin Ali, cucu Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan ‘Saya lebih suka shalat dua raka’at dari pada menshalati jenazahnya’ seperti dicatat oleh Waqidi.
Dari segi matan, hadis ini pun jelas dikarang secara tergesagesa. Diceritakan bahwa tatkala Abu Thalib tidak mau mengucapkan La ilaha ilallah, Rasul Allah hendak memohon agar Allah SWT mengampuni Abu Thalib lalu turunlah ayat Surat Taubah:
“Tiadalah pantas hagi Nabi dan orangorang yang beriman bahwa mereka meminta ampun bagi orang yang musyrik, sekalipun mereka kaum kerabat setelah nyata padanya bahwa mereka penghuni neraka”.
Sesudah itu baru turun ayat Surat Qashash:
“Kau tiada dapat memberi hidayah siapa (saja) yang engkau cintai. Tapi Allahlah yang memberi Hidayah siapa yang Ia berkenan. Dan Allah lebih mengetahui orang yang menerima petunjuk”.
Sedang Surat atTaubah termasuk suratsurat Madaniah terakhir
sekitar sepuluh tahun sesudah Abu Thalib meninggal.
Di samping itu ada hadis yang dikatakan diriwayatkan juga oleh Ibnu Abbas, yang tentu saja diragukan. Hadis ini disampaikan oleh Ibnu Mardawaih dan lainlain melalui jalur Abu asSuri bin Sahl dari ‘Abdul Quddus dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Di dalam rangkaian isnadnya terdapat orangorang seperti Abu Sahl AsSuri yang dikenal sebagai pembohong, pencipta hadis palsu dan pencuri hadis,’
dan ‘Abdul Quddus Abu Sa’id adDamasyqi yang merupakan mata rantai yang lain, juga dituduh sebagai pembohong.
Lalu mengapa pula memanfaatkan para pembohong seperti Abu Sahl AsSuri meriwayatkan juga dari pembohong ‘Abdul Quddus di atas dari Nafi dari Ibnu Umar mengenai hadis yang di dalamnya menceritakan turunnya Surat AtTaubah sekitar sepuluh tahun sesudah Abu Thalib meninggal untuk menopang Hadis Sa’id bin Musayyib yang jelas tidak historis itu atau hadis Abu Hurairah yang merupakan hadis yang memperdayakan orang dan mengorbankan tokoh seperti Abu Thalib yang peranannya dalam membela Rasul tidak terlukiskan dengan katakata?
Hadis lain dikatakan berasal dari Qatddah yang dimuat dalam tafsir Thabari, juga hadis yang dikatakan berasal dari Ibnu Abbas melalui jalur ‘Athiyyah al’Aufi dari Ibnu Abbas. Hadishadis ini ditolak karena juga memuat Surah AtTaubah yang secara jumhur diakui sebagai Surat yang turun pada akhir kurun Madinah. Bukhari, misalnya meriwayatkan bahwa ayat ini turun sesudah pembukaan Makkah sedang sebagian lagi sesudah Perang Tabuk.
Abu Thalib merupakan pasukan satu orang yang melindungi Rasul Allah saw selama sepuluh tahun kenabiannya di Makkah, sama seperti yang dilakukan dalam kurun waktu yang sama oleh kaum ‘Anshar dan Muhajirin di Madinah. Seperti isterinya Fathimah binti Asad yang sejak awal telah memeluk Islam, ia memerintahkan anakanaknya untuk mengikuti Muhammad saw. Ia dengan tulusnya melindungi Rasul.
Marilah kita ikuti hadis yang lain. Ibn AbilHadid meriwayatkan dari banyak jalur, dari Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan sebagian lagi dari Abu Bakar bin Abi Quhafah:
‘Sesungguhnya, Abu Thalib sebelum meninggal berkata: ‘La ilaha ilallah, Muhammad Rasul Allah’.
Dan yang termasyhur adalah bahwa Abu Thalib tatkala sedang sekarat kelihatan berbicara pelan. Dan melihat bibir yang bergerak, Abbas, saudaranya, mendekatkan kupingnya dan mendengar Abu Thalib membaca syahadat.
‘Sesungguhnya, tatkala penyakit Abu Thalib bertambah parah, Rasul Allah bersabda kepadanya: ‘Wahai paman! Ucapkanlah syahadat agar melapangkan aku memohon syafa’at untukmu pada hari kiamat’. Dan Abu Thalib menjawab: ‘Wahai anak paman! Andaikata aku tidak takut orang Quraisy mencelaku karena mengira aku takut akan mati, maka aku akan melakukannya’. Dan tatkala maut makin mendekat, bibirnya bergerakgerak, Abbas lalu mendekatkan kupingnya dan Abbas berkata kepada Rasul Allah: ‘Demi Allah, wahai anak saudaraku, ia telah mengucapkan kalimat yang engkau perintahkan kepadanya untuk diucapkan!’. Dan Rasul Allah saw bersabda: ‘Segala syukur bagi Dia yang memberi hidayat kepadamu, wahai paman!.
Ahmad Zaini Dahlan berkata dalam tafsirnya:
AsySyaikh AsSuhaimi dalam bukunya ‘Syarh Jauharah serta lainlain berkata bahwa hadis Abbas memperkuat keyakinan sebagian peneliti (ahlul kasyf) bahwa ia (Abu Thalib) adalah seorang Muslim’.
Umumnya orang berpendapat, seperti dikatakan oleh Ibn AbilHadid
bahwa syairsyair Abu Thalibjelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang Mu’min. Dan memang, tidak ada sumber yang lebih jelas untuk menilai seseorang seperti Abu Thalib dari karyanya sendiri, yaitu syairnya yang sangat banyak, dan tercatat dengan baik dalam bukubuku sejarah.
Beberapa pidatonya yang terkenal di dunia Islam:
Syair yang ditujukan kepada Muhammad saw
:
Demi Allah, Anda tak akan pernah mereka jamah, Sampai aku terkubur di dalam tanah, Teruskanlah misimu, Anda sungguh tiada bercacat, Sebarkanlah ajaranmu, dan bahagia akan mencuat, Aku Anda ajak, dan andalah penasihatku, Anda mengajakku dan Anda adalah alamin, Dan aku tahu agama Muhammad yang terbaik’
Ibnu Hajar meriwayatkan
dari jalur Ishaq bin ‘Isa alHasyimi dari Abi Rafiq:
‘Aku mendengar Abu Thalib berkata: ‘Aku dengar anak saudaraku, Muhammad bin Abdullah, berkata bahwa Tuhannya mengutusnya untuk memperkuat silaturahmi dan agar menyembah hanya kepada Allah yang Maha Esa, dan jangan menyembah kepada yang lain selain Dia, dan Muhammad adalah orang terpercaya dan memegang amanat (ashshaduq alamin)’.
Dan nasihatnasihatnya kepada keluarga Banu Hasyim menjelang wafatnya, seperti: ‘Aku mewasiatkan kepadamu agar memperlakukan Muhammad secara baikbaik, karena dia adalah alamin bagi kaum Quraisy dan ashshiddiq dalam masyarakat Arab’.
Kepada saudarasaudaranya ia berkata:
‘Hai keluarga Banu Hasyim! Patuhlah kepada Muhammad dan terimalah kebenaran yang dibawanya (shaddiquhu) niscaya kamu jaya (tuflihu) dan mengikuti jalan yang lurus (tarsyadu).
Haruslah diakui bahwa catatan sejarah dalam kurun Makkah sangat sedikit dibandingkan dengan kurun Madinah. Tetapi tatkala timbul suratmenyurat antara Ali dan Mu’awiyah di kemudian hari, Ali telah menyebutnyebut Mu’awiyah dan ayahnya sebagai orangorang baru dalam Islam, baru masuk Islam setelah pembukaan Makkah, karena terpaksa (yang disebut thulaqa’, yang dibebaskan). Bila Abu Thalib adalah seorang musyrik, maka pasti Mu’awiyah akan menyebutnya dalam suratnya. Sebab bagaimanapun juga, Abu Sufyan, ayah Mu’awiyah adalah Muslim, meskipun tidak dengan sepenuh hati, karena banyak catatan yang menyebut bahwa ia sesudah menjadi Muslim pun masih sering mengejek agama Islam dan Nabi Muhammad. Dalam alIsti’ab diriwayatkan: ‘Sekali Abu Sufyan memasuki rumah Utsman bin ‘Affan tatkala ia menjadi khalifah. Khalifah telah beralih kepadamu sesudah Banu Taim dan Banu ‘Adi maka gulirkan dia seperti bola dalam lingkungan Banu ‘Umayyah. Sesungguhnya Muhammad itu adalah raja, dan saya tidak percaya akan adanya surga maupun neraka.’
Abu Thalib adalah seorang pemberani yang bertindak sesuai dengan ucapannya. Ia membela Muhammad dengan katakata dan perbuatan, dan untuk itu dia pertaruhkan jiwa raganya. Tapi ia juga bijak. Ia mengetahui bagaimana menempatkan dirinya ditengah masyarakat Jahiliah yang mengepung kemanakannya yang diyakininya sebagai orang jujur, dapat dipercaya, yang harus diikuti oleh seluruh keluarganya, malah seluruh bangsa Arab. Ia bisa menjaga kewibawaannya ditengah masyarakat yang menghormati kejantanan dan kegagahan yang terkenal dengan istilah muruah. Ia tegak seperti batu karang melindungi Muhammad, bukan sebagai pelindung kemanakan, tetapi sebagai pembela kebenaran.
Kita tidak mempunyai catatan apakah 120.000 Sahabat Rasul membaca syahadat pada waktu sekarat. Kita juga mengetahui bahwa pengakuan pada saat sekarat tidak menentukan seseorang beriman atau tidak.
Melihat ayatayat ini Rasul Allah saw tidak akan mengukur keimanan orang dengan syahadat akhir.
Kalau keislaman seseorang diukur dengan membaca syahadat, marilah kita ikuti syairnya yang lain:
Serbuan terhadap kami, tanpa hasil,
Pukulan dan tikaman yang disatukan,
Mendesak kami membunuh Muhammad,
Janganlah mewarnai hari cerah dengan darah,
Kamu berdusta dan demi Bait Allah kamu ‘kan terpecah,
Pikiran kacau, akal tak bersemi,
Silaturahmi diputus, isteri lupakan suami,
Dan yang haram datang bergantiganti,
Kebencian, ingkar, dosa kamu semai,
Watak masa lalu, muncul lagi,
Kamu berlaku kejam kepada Nabi,
Pembawa tuntunan pengemban amanah,
Pemikul tugas dari Dia, Penguasa ‘Arsy
Dan syairnya yang berisi pesan untuk Negus, menggugahnya agar memelihara hubungan bertetangga baik dan agar Negus melindungi kaum Muslimin yang berhijrah ke Habasyah, Ethiopia:
‘Agar ia tahu, insan terbaik, adalah Muhammad,
Wakil Musa dan Isa, pembawa amanat,
Seperti mereka, ialah pandu yang cermat,
Tuntunan dan lindungan ia lakukan dengan tepat,
Atas perintah dan kuasa Allah Maha kuat.
Kamu temukan dia dalam Kitab Sucimu, jelas amat,
Riwayatnya tertulis dengan lengkap’.
Dan syairnya yang lain, yang memuji Muhammad saw:
Allah telah memuliakan AnNabi Muhammad,
Dan makhluk paling mulia ialah Ahmad,
Dia membagi namaNya untuk memuliakannya,
Pemilik ‘Arsy Maha Terpuji,
Dan yang ini adalah yang dipuji.
Sedikit petikan dari demikian banyak syairsyairnya yang selamat dari perusakan, menunjukkan keimanannya kepada Allah SWT dan pengakuannya akan kenabian Muhammad saw.