Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (3)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (3)0%

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (3) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Sejarah & Biografi

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 28 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2383 / Download: 1166
Ukuran Ukuran Ukuran
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (3)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (3)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

sejarah islam

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah

by: O. Hashem

Jakarta

2004

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM

“Wahai orang­orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar­benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Al­Qur’an

Surah An­Nisa’: 135

Prakata Penulis

Buku‘Saqifah’ cetakan keempat oleh Yapi ini bertambah tebal hampir dua kali lipat dibandingkan cetakan sebelumnya. Kritik­kritik tertulis dalam bentuk buku dan artikel di beberapa majalah maupun kritik lisan dalam diskusi­diskusi khusus untuk membicarakan buku ini, memaksa penulis melengkapinya.

Pembaca dapat langsung mengikuti peristiwa Saqifah dengan meloncat ke bab 2; ‘Sumber’.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada penulis ahli sejarah Islam Al Allamah, Habib Zainal 'Abidin bin Husain Al Muhdhar atas kebaikannya meminjamkan buku­buku yang sukar didapat.

Demikian juga kepada Ustadz Ahmad bin Abdurrahman Al Aydrus, seorang ahli sastra yang juga memberikan buku­buku yang penulis butuhkan. Juga kepada kawan yang penulis cintai Wancik Cherid yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini. Penulis juga berhutang budi kepada banyak teman­teman yagg tidak mungkin penulis sebut satu demi satu.

Akhirnya kepada isteri penulis Hadijah yang dengan sabar membaca dan memberi catatan­catatan pada naskah buku ini.

Tanpa semua ini buku ini tidak mungkin ada.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah.

Penerbit

‘Urwah bin Zubair Buat Hadis Palsu: Ali Masuk Neraka

Marilah kita lihat beberapa contoh: Az­Zuhri meriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair yang menyampaikan kepadanya: Aisyah menyampaikan kepadaku dengan kata­kata: ‘Aku bersama Rasul Allah tatkala muncul Abbas dan Ali bin Abi Thalib, dan Rasul bersabda: ‘Ya Aisyah, sesungguhnya kedua orang itu akan mati di luar millatku atau di luar agamaku’.

Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazaq dari Ma’mar yang berkata: ‘Zuhri mempunyai dua hadis yang berasal dari ‘Urwah dari Aisyah tentang Ali; dan pada suatu hari aku bertanya kepadanya tentang mereka berdua dan ia berkata: ‘Apa yang engkau akan lakukan dengan mereka berdua dan kedua hadis tentang mereka berdua! Allah mengetahui keduanya. Aku sendiri mendahulukan. mereka berdua di antara Banu Hasyim’. Selanjutnya ia berkata: ‘Tentang hadis pertama, telah kami beritahukan. Dan hadis kedua berasal dari ‘Urwah yang menyatakan bahwa hadis itu didengarnya dari Aisyah. Aisyah berkata: ‘Aku. bersama Nabi saw tatkala muncul Abbas dan Ali kemudian Rasul bersabda: ‘Ya Aisyah, bila menyenangkan hatimu, untuk melihat kepada dua orang lelaki ahli neraka, maka lihatlah kepada kedua orang yang akan muncul’ dan aku melihat, tiba­tiba muncul Abbas dan Ali bin Abi Thalib’.

‘Amr bin ‘Ash Buat Hadis: Ali Dengan Fathimah merupakanPerkawinan Politik

Sedang ‘Amr bin ‘Ash yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka yang berasal dari ‘Amr bin ‘Ash yang berkata: ‘Aku mendengar Rasul Allah saw bersabda: ‘Sesungguhnya keluarga Abi Thalib, bukan wali­waliku. Sesungguhnya waliku adalah Allah dan orang­orang mu’minin yang shalih.’

Abu Hurairah Buat Hadis: Agama Diamanatkan Pada Mu’awiyah, Ali Buat Bid’ah

Contoh lain adalah Abu Hurairah. Sesudah Utsman meninggal, Abu Hurairah membaiat Mu’awiyah. Kepribadiannya yang piknikus itu dapat dilukiskan dengan kata­katanya sendiri: ‘Sesungguhnya semarak makan di meja Mu’awiyah, dan sungguh sempurna shalat di belakang Ali bin Abi Thalib’. Dan ia pun memilih makan di meja Mu’awiyah. Ia membaiat Mu’awiyah sebagai khalifahnya. Lalu hadis­hadis pun mulai bermunculan. Yang pertama berbunyi: ‘Aku mendengar Rasul Allah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mengamanatkan wahyu­Nya kepada tiga oknum, yaitu saya, Jibril serta Mu’awiyah.’[1]

Karena senangnya akan makanan kesukaan Mu’awiyah maka orang menamakannya Syaikh al­ Mudhirah. Seluruh hadisnya disampaikan di zaman Mu’awiyah.

Mudhirah berasal dari makanan yang disukai Mu’awiyah yang terbuat dari daging dimasak dengan susu. Syaikh Muhammad ‘Abduh telah membuat sindiran tatkala ia menulis tentang Mudhirah: ‘Dan Mu’awiyah mengangkat dirinya menjadi khalifah setelah pembaiatan Ali bin Abi Thalib dan tiada yang mengakuinya selama Ali masih hidup kecuali pemburu kelezatan dan syahwat. Menikmati makanan Mu’awiyah akan menyeretnya mengakui Mu’awiyah sebagai khalifah, sedang Ali masih hidup dan telah dibaiat menurut syariat.[2]

Abu Hurairah sekali menyaksikan Aisyah binti Thalhah yang terkenal cantlk luar biasa (al­jamal al­fa’iq), maka ia berkata: “Mahasuci Allah! Alangkah cantiknya. Demi Allah aku tidak (pernah) menyaksikan wajah secantik wajahmu, kecuali wajah Mu’awiyah (tatkala berada) di atas mimbar Rasul Allah!. [3]

Tatkala Mu’awiyah mendengar berita meninggalnya Ali bin Abi Thalib, ia demikian gembira, sehingga ia shalat dhuha enam raka’at. Kemudian Banu ‘Umayyah memerintahkan mengeluarkan hadis tentang kemuliaan shalat dhuha enam raka’at meskipun shalat demikian tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tidak oleh Abu Bakar, tidak oleh Umar dan tidak juga oleh Ibnu Umar. Abu Hurairah lalu membuat hadis yang berbunyi: ‘Sahabatku mewasiatkan kepadaku agar tidak kutinggalkan tiga hal sampai aku mati. Puasa tiga hari tiap bulan, dan shalat dhuha dan tidur sesudah shalat witir.’[4]

Dan A’masy meriwayatkan: ‘Tatkala Abu Hurairah sampai ke Iraq bersama Mu’awiyah pada ‘Tahun Persatuan’ (am jamaah, tahun 41 H/661 M), ia telah pergi ke Masjid al­Kufah. Dan tatkala ia melihat banyak orang menyambutnya ia lalu duduk bersila, menepuk berkali­kali kepalanya yang botak, kemudian berkata: ‘Hai penduduk Irak! Apakah kamu menganggap aku (berbohong) terhadap Rasul Allah? Biarlah aku dibakar di neraka (bila demikian)! Demi Allah aku telah mendengar Rasul Allah bersabda: ‘Sesungguhnya setiap Nabi mempunyai tempat suci. Dan sesungguhnya tempatku yang Suci (Haram) adalah Madinah yaitu antara bukit ‘Air dan Tsaur. Dan barang siapa melakukan bid’ah di dalamnya maka terlaknatlah dia oleh Allah dan para malaikat serta seluruh manusia. Dan aku bersaksi bahwa Ali telah melakukan bid’ah di dalamnya!’ Dan tatkala sampai berita ini kepada Mu’awiyah, ia lalu membenarkan Abu Hurairah, menyambutnya dengan hormat dan mengangkatnya menjadi gubernur Madinah’.[5]

Begitu gembira ia menjadi gubernur Madinah sehingga diriwayatkan dalam khotbah pertamanya sebagai gubernur ia telah berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan agama ini tegak teguh dan menjadikan Abu Hurairah sebagai imam’.[6]

Sufyan ats­Tsauri meriwayatkan dari Abdurrahman bin al­Qasim dari Umar bin ‘Abdul­Ghafffar, bahwa suatu ketika Abu Hurairah datangke Kufah bersama rombongan Mu’awiyah. Ia duduk dikerumuni oleh jemaah. Lalu datang seorang pemuda Kufah yang langsung duduk di dekatnya dan berkata: ‘Ya Abu Hurairah, apakah Anda mendengar Rasul Allah saw bersabda mengenai Ali bin Abi Thalib: ‘Allahumma, cintailah siapa yang mencintainya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya? Maka Abu Hurairah menjawab: ‘Allahumma, benar!’. Dan pemuda itu melanjutkan: ‘Maka aku bersaksi dengan nama Allah, Anda telah mencintai musuh­Nya dan telah memusuhi wali­Nya’. Kemudian ia bangkit dan pergi.

Samurah bin Jundab ­ Jual Hadis Pada Muawiyah

Contoh lain adalah hadis oleh Samurah bin Jundab. Diriwayatkan di bagian lain bahwa Mu’awiyah mengadakan tawar menawar dengan Samurah bin Jundab. Mu’awiyah menawar 100.000 dirham bahwa ayat berikut diturunkan berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib, yaitu ayat:

‘Dan di antara manusia ada orang yang menakjubkan kau. Karena perkataannya tentang kehidupan di dunia ini. Dan yang bersaksi kepada Allah atas kandungan hatinya. Padahal ialah pembangkang yang paling keras. Dan bila ia berbalik, ia berusaha menebarkan kerusakan dimuka bumi. Dan membinasakan tanam­tanaman dan ternak. Sedang Allah tiada suka kerusakan’.[7]

Dan ayat kedua berkenaan Ibnu Muljan’[8] :

‘Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan jiwanya untuk mencari keridaan Allah. Allah Maha Penyantun terhadap hamba­hamba­Nya. [9]

Dan Samurah bin Jundab tidak menerima. Mu’awiyah menaikkan 200.000 dirham. Ia belum mau. Dan Mu’awiyah menaikkan 300.000 dirham dan ia masih menolak. Mu’awiyah naikkan 400.000 dirham baru diterima Samurah.[10] Samurah bin Jundab pernah sebentar jadi gubernur di Bashrah dan ia membunuh Syi’ah Ali sebanyak 8.000 orang atas petunjuk Mu’awiyah. Thabari menceritakan dari jalur Muhammad bin Salim yang berkata: ‘Aku bertanya kepada Anas bin Sirin: ‘Apakah Samurah pernah membunuh seseorang?’. Anas menjawab: ‘Apakah kau tahu berapajumlah orang yang dibunuh Samurah bin Jundab?’ Ia mengganti Ziyad di Bashrah, kemudian Kufah dan ia telah membunuh 8.000 orang’. Suatu ketika Ziyad bertanya kepadanya: ‘Tidakkah engkau takut telah membunuh orang secara sewenang­wenang?’ Samurah menjawab: ‘Tidak, andaikata yang kubunuh seperti mereka, aku tidak takut!’ Abu Siwar al­’Adwi berkata: ‘Samurah telah membunuh dari kaumku dalam satu pagi hari 47 pemuka agama’.

Contoh lain lagi adalah Abdullah bin Umar.

Ibnu Umar: Ali Tidak Masuk Khalifah Rasyidun

Abdullah bin Umar, yang sering disebut Ibnu Umar, anak khalifah Umar bin Khaththab, tidak mau membaiat Ali, tapi ia membaiat Mu’awiyah setelah ‘Tahun Persatuan’, Yazid dan ‘Abdul Malik. Ia juga shalat di belakang Hajjaj bin Yusuf, gubernur ‘Abdul Malik. Diceritakan tatkala ia mengulurkan tangan untuk membaiat Hajaj, Hajjaj bin Yusuf memberikan kakinya.

Ibnu Umar adalah pembuat hadis terbanyak sesudah Abu Hurairah. Ummu’l mu’minin Aisyah nomor empat.[11] Ibnu Umar juga dituduh menghidupkan ijtihad ayahnya. Beberapa hadisnya mengenai kuutamaan (fadha’il) akan dikemukakan disini:

Ibnu Umar berkata: ‘Kami tidak memilih­milih antara sesame kami dizaman Rasul saw dan kami memilih Abu Bakar, kemudian Unar bin Khaththab kemudian Utsman bin ‘Affan ra’.[12] Dan di bagian lain[13] : ‘Kami di zaman Nabi saw tidak mendahulukan Abu Bakar dengan siapapun, kemudian Umar kemudian Utsman, kemudian kami meninggalkan sahabat Nabi yang lain, kami tidak saling mengutamakan di antara mereka’ dan lain­lain.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Thabrani dari Ibnu Umar: ‘Kami berbicara pada saat Rasul Allah saw masih hidup: ‘Yang paling utama di antara manusia adalah Nabi saw, setelah beliau Abu Bakar, kemudian Umar dan kemudian Utsman. Rasul Allah mendengarnya dan beliau tidak mengingkarinya.[14]

Sunni menolak hadis ini, karena Sunni juga mengakui Ali sebagai khalifah lurus yang keempat. Orang hanya mengatakan bahwa Ibnu Umar tidak menyebut Ali karena ia tidak membaiat Ali.

Ibnu Umar baru berumur 15 tahun waktu pecah perang Khandaq. Oleh karena itu Ali bin al­Ja’d misalnya mengatakan: Lihat anak itu, mengurus istri saja tidak bisa, lalu dia berani mengatakan ‘Kami mengutamakan..![15]

Maka bila ada hadis yang berpasangan, misalnya, yang satu untuk Ali dan yang satu lagi untuk ‘Abu Bakar atau Umar atau Utsman maka telitilah. Lihatlah konteks keluarnya hadis itu.

Misalnya ada hadis ‘Rasul menutup semua pintu kecuali pintu (bab) untuk Ali. Tapi ada pula hadis serupa ‘Rasul menutup semua pintu kecuali pintu (Khaukhah) untuk Abu Bakar.

Atau hadis yang diucapkan Rasul pada saat akan wafat: ‘Bawalah kemari tinta dan kertas agar kutuliskan bagimu surat agar kamu tidak akan pernah tersesat sepeninggalku’[16] Hadis di atas ada pasangannya yang dimuat dalam shahih Bukhari, Muslim dan shahih­shahih lain yang diriwayatkan Aisyah bahwa Rasul saw pada saat sakit berkata kepadanya: ‘Panggil ayahmu, aku akan menulis untuk Abu Bakar sebuah surat, karena aku takut seseorang akan mempertanyakan atau menginginkan (kekhalifahan), karena Allah dan kaum mu’minin menolakinya, kecuali Abu Bakar’.[17]

Atau untuk menerangkan keterlambatan penguburan Rasul timbul sebuah hadis yang berasal dari Aisyah bahwa orang berselisih paham mengenai tempat penguburan Rasul dan untung Abu Bakar ingat sabda Rasul bahwa tiap Nabi dikuburkan di tempat ia wafat. Dan padanannya adalah hadis yang berbunyi: “Antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman­taman di surga’. Dan penguburan dilakukan oleh keluarga Rasul saw dan tidak dihadiri Abu Bakar yang diakui oleh Aisyah.

Hadis Sepuluh Masuk Surga

Hadis ini menyangkut sepuluh orang yang telah dinyatakan akan masuk surga (sepuluh yang mendapat kabar gembira masuk surga), yang dilaporkan oleh Sa’id bin Zaid, ipar Umar bin Khaththab, di zaman Mu’awiyah. Baiklah kita ikuti riwayat munculnya hadis ini di zaman ‘pengucilan’ Ali bin Abi Thalib ini.

Said meninggal dunia tahun 51 H/671 M. Di tahun itu juga Mu’awiyah membunuh Hujur bin ‘Adi bersama dua belas kawan­kawannya. Ibnu Atsir meriwayatkan bahwa pemulanya ialah Mughirah bin Syu’bah, gubernur yang diangkat Mu’awiyah di Kufah, melaknat Ali dan Hujur membantahnya. Pada tahun 40 H/660 M, Mughirah bin Syubah digantikan oleh Ziyad bin Abih yang mengejar dan menganiaya siapa saja yang tidak mau mencerca Ali bin Abi Thalib.

Hadis ini timbul pada masa itu, dengan lafal: ‘Pada suatu ketika, di masjid (Kufah), seseorang telah menyebut (melaknat pen.) Ali bin Abi Thalib. Maka berdirilah Said bin Zaid seraya berkata: ‘Aku bersaksi dengan nama Rasul Allah saw bahwa sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, ‘Sepuluh orang masuk surga: Nabi, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf’. Kemudian orang bertanya, ‘Siapa yang kesepuluh?’ Setelah ditanyakan berkali­kali, ‘Sa’id bin Zaid’ menjawab, ‘Aku’. Dalam lafal yang lain, nama Abu Ubaidah bin al ‘Jarrah disebut, sedang Nabi tidak dimasukkan.[18]

Dalam kemelut seperti itu, Said bin Zaid’ telah bertindak sangat berani. Orang­orang yang disebut oleh ‘Sa’id bin Zaid’ sudah tepat. Abu Bakar, Umar dan Abu ‘Ubaidah pernah bergesekan dengan Ali, mengepung dan hendak membakar rumah ‘penghulu wanita mu’minin’ Fathimah, ‘meskipun Fathimah ada di dalam’, sebagaimana nanti akan terbaca dalam peristiwa Saqifah. Utsman adalah dari marga Umayyah, marganya Mu’awiyah. Thalhah dan Zubair memerangi Ali dalam perang Jamal. Ali menyebut mereka sebagai kelompok Nakitsun, yaitu kelompok yang membatalkan baiat, karena mereka berdua merupakan orang­orang pertama yang membaiat Ali, tetapi kemudian berbalik memeranginya. Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Ali setelah Utsman meninggal dunia. Abdurrahman bin ‘Auf ­meskipun kemudian menyesal­ pernah mengancam akan membunuh Ali dengan pedang, bila Ali tidak membaiat Utsman dalam Syura yang dibentuk oleh Umar. Dengan cerdiknya, ‘Sa’id’ memasukkan nama Ali untuk mencegah para penguasa mengutuk Ali di mimbar­mimbar seluruh desa dan kota dan secara tidak langsung berusaha menyelamatkan kaum Syi’ah agar tidak dibantai seperti Hujur. Dan untuk menyelamatkan dirinya, ‘ia’ memasukkan namanya pula. Hadis ini, ditinjau dari segi sejarah, tidak dapat ditafsirkan lain dari itu. Hadis yang merupakan ‘pemberontakan’ terhadap penguasa yang zalim seperti ini, tidak dapat dikatakan salah, tetapi tidak juga dapat dikatakan benar. Riwayat di atas kemungkinan besar dibuat orang dengan mengatas namakan Sai’id bin Zaid.

Imam Malik, misalnya, meriwayatkan: Rasul Allah saw bersabda kepada para Syuhada’ Perang Uhud: ‘Aku menjadi saksi mereka (bahwa mereka telah mengorbankan nyawa mereka) di jalan Allah’. Dan berkatalah Abu Bakar ash­Shiddiq: ‘Wahai Rasul Allah, bukankah kami saudara­ saudara mereka? Kami memeluk Islam seperti mereka, dan kami berjihad seperti mereka berjihad!’. Dan Rasul Allah menjawab: ‘Ya, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kamu lakukan sesudahku’. Dan menangislah Abu Bakar sambil berkata: ‘Apakah kami akan masih hidup sesudahmu?[19]

Perawi ‘sepuluh orang masuk surga’ tidak menceritakan kepada kita dalam hubungan apa Rasul Allah saw menyampaikan hadis ini, dan siapa saja yang ikut mendengarkan.

Dan mengapa Sa’id, misalnya, tidak berdiri di depan massa yang sedang mengepung rumah Utsman yang berakhir dengan pembunuhan khalifah ketiga itu dan mengatakan kepada mereka hadis yang penting ini?

Mengapa Sa’id bin Zaid, misalnya, tidak menasihati Abdullah bin Umar agar membaiat Ali tatkala terjadi pembaiatan terhadap Ali sesudah Utsman terbunuh, karena bagaimanapun juga Ali termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasul Allah? Malah membaiat Mu’awiyah, Yazid dan ‘Abdul Malik serta Hajjaj bin Yusuf?

Mengapa tidak menasihati ummu’l­mu’minin Aisyah dan menyampaikan hadis itu agar ia tidak memerangi Ali dan agar menetap di rumahnya sebagaimana diperintahkan Al­Qur’an?

Mengapa pula Thalhah dan Zubair dimasukkan ke dalam sepuluh masuk surga dan bukan, misalnya, Abu Dzarr al­Ghifari dan Hamzah paman Rasul? Mengapa pula Sad bin Abi Waqqash dimasukkan ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan misalnya Miqdad atau Abu Ayyub at­ Anshari?

Begitu pula Abu Ubaidah bin al­Jarrah, seorang penggali kubur di Madinah dimasukkan pula ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan, misalnya Salman al­Firisi?

Meskipun menyesal di kemudian hari Sa’d bin Abi Waqqash tidak mau membaiat Imam Ali sedang Rasul mengatakan bahwa ‘barangsiapa tidak mengenal imam pada zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliah’. Dan hadis ini diakui sebagai hadis shahih di semua mazhab?

Apakah surga ini hanya diperuntukkan bagi para khalifah dan mereka. yang ikut dalam pergolakan kekuasaan dan bukan orang­orang seperti ‘Ammar bin Yasir, Miqdad, Abu Dzarr al­ Ghifari atau Salman al­Farisi?

Lagi pula dalam Al­Qur’an, Allah SWT telah berfirman[20] :

“Dan barangsiapa melalukan amal kebajikan, laki­laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, mereka itu masuk surga”. (An­Nisa’: 124)

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga­surga yang mengalir sungai­sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah­buahan dalam surga­surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu.” mereka diberi buah­buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri­isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya di syurga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.” (Al­Baqarah: 25)

“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal.” (At­Taubah: 21)

“Sesungguhnya orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal­amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni­penghuni syurga; mereka kekal di dalamnya.” (Hud: 23)

“Sesungguhnya Allah memasukkan orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga­surga yang di bawahnya mengalir sungai­sungai. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al­Hajj: 14)

“Adapun orang­orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan.” (As­Sajdah: 19)

“Supaya Dia memasukkan orang­orang mukmin laki­laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai­sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan­kesalahan mereka. dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al­Fat’h: 5)

“Seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat­ayat Allah yang menerangkan supaya Dia mengeluarkan orang­orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga­surga yang mengalir di bawahnya sungai­sungai; mereka kekal di dalamnya selama­lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (Ath­ Thalaq: 11)

“Allah menjanjikan kepada orang­orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang dibawahnya mengalir sungai­sungai, kekal mereka di dalamnya, dan tempat­tempat yang bagus di surga ‘Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (At­Taubah: 72)

Rasul Allah juga telah bersabda: Jibril datang kepadaku dan berkata: ‘Sampaikanlah kabar gembira kepada umatmu, bahwa barang siapa meninggal dunia tanpa menyerikatkan sesuatu kepada Allah SWT, maka ia akan masuk surga’. Aku bertanya: ‘Hai, Jibril, meskipun ia pernah mencuri dan berzina?

Jibril menjawab, ‘Betul’ (sampai tiga kali). Akhirnya Jibril menjawab, ‘Betul, meskipun ia peminum minuman keras.[21]

Nabi juga bersabda: Sampaikanlah kabar gembira, bahwa barangsiapa mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allah secara tulus, maka ia akan masuk surga.[22] Nabi iuga bersabda: “Sesungguhnva Allah SWT telah menjanjikan kepadaku bahwa Ia akan memasukkan ke dalam surga 70.000 (ada yang mengatakan 700.000) orang dari umat­Ku tanpa hisab.”[23]

Rasul Allah juga berkata: “Ali dan Syi’ahnya masuk surga”.[24]

Hadis seperti ini banyak diriwayatkan.[25] Juga hadis shahih lainnya, seperti Shuhaib, Shahabat Rasul yang orang Roma, masuk surga, Bilal Sahabat dari Habasyah, masuk surga, Salman yang dari Persia masuk surga, Hasan dan Husain masuk surga, ‘Amr bin Tsabit masuk surga, Tsabit bin Qais dan berpuluh­puluh lainnya yang tidak mungkin disebut disini. Yang masuk surga tidak dapat dibatasi pada mereka yang berhasil menduduki kekhalifahan atau yang ikut dalam pergolakan politik dan tidak dapat dibatasi pada sepuluh orang. Alangkah banyaknya umat Muhammad yang akan masuk surga.

Law, dapatkah orang­orang yang akan masuk surga ini, termasuk para Sanabat, berbuat salah? Tidak ada satu ayat pun yang mengatakan sebaliknya. Tiada sebuah hadis pun yang mengatakan bahwa para Sahabat atau Ibu­ibu Kaum Mu’minin (ummahat al­muminin) tidak dapat berbuat salah. Kemudian, apakah penghormatan kita kepada para Sahabat atau para Ibu Kaum Mu’minin akan berkurang dengan menulis sejarah sebagaimana adanya? Tidak, kita akan tetap menghormati para Sahabat dan para Ibu Kaum Mu’minin sebagaimana mestinya. Ibu kita adalah tetap ibu yang kita hormati, andaikata pun dia berbuat salah kepada anaknya sendiri. Ali bin Abi Thalib mengatakan demikian terhadap ummu’l­mu’minin Aisyah. Hisab dan pengampunan ada pada Allah.

Hadis­Hadis Keutamaan

Hampir pada semua pengantar buku tentang Saqifah, para penulis sejarah tradisional memulai dengan hadis tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar. Misalnya, tulisan Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (M. 270 H/883 M.) dalam kitab tarikhnya al­Imamah wa’s­ Siyasah yang terkenal dengan Tarikh Khulafa’ur Rasyidin wa Daulah Banii Umayyah jilid pertama. Dalam kata pengantarnya yang berjudul “Keutamaan Abu Bakar dan Umar”, ia mengemukakan empat hadis tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar, dengan rangkaian isnad yang lengkap. Hadis yang pertama dilaporkan oleh Ali bin Abi Thalib, kedua oleh Abdullah bin Abbas, ketiga oleh Ali lagi, sedang yang keempat oleh Qasim bin Abdurrahman.

Sebagai contoh, baiklah kita ikuti hadis pertama secara lengkap, sekaligus sebagai contoh bagaimana pencatat sejarah zaman dulu merangkaikan isnad atau jalur pelapor[26] : “Telah disampaikan kepada kami oleh Abi Mariam yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Asad bin Musa yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Waqi’ dari Yunus bin Abi Ishaq, dari Asy­Sya’bi, dari Ali bin Abi Thalib, karramallahu wajhahu; “Aku sedang duduk bersama Rasul Allah saw ketika datang Abu Bakar dan Umar maka bersabdalah Rasul Allah saw kepadaku: ‘Mereka berdua itulah penghulu orang dewasa di surga, sejak orang terdahulu sampai pada orang terakhir, kecuali para Nabi dan para Rasul as; dan janganlah engkau sampaikan berita ini kepada mereka berdua, wahai Ali.’ Lafal ketiga hadis lainnya sejenis itu pula.

Hadis seperti ini sangat banyak. Para penulis itu ingin menunjukkan bahwa pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama berlangsung secara lancar dan wajar, karena yang berhak menjadi khalifah ­sekurang­kurangnya menurut penulis itu­ adalah Sahabat paling utama; dan yang paling utama di antara seluruh umat manusia, selain para Nabi dan Rasul, adalah Abu Bakar dan Umar. Karena itu maka merekalah yang paling pantas menjadi khalifah; dan Ali sendiri konon mendengar hal ini langsung dari Rasul.

Tetapi, dalam bab ‘Bagaimana Baiat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu’, Ibnu Qutaibah memulai dengan kalimat­kalimat berikut: “Sesungguhnya Abu Bakar merasa kehilangan suatu kaum yang enggan membaiatnya, yang sedang berkumpul di rumah Ali. Mereka tidak mau keluar untuk membaiat Abu Bakar. Umar lalu mengumpul kayu bakar, seraya berkata: ‘Demi Allah, Pemilik jiwa Umar, kalau kalian tdak segera keluar, aku akan bakar rumah ini dengan seluruh isinya’. Orang lalu berkata kepada Umar: ‘Wahai, Ayah Hafshah (Umar), Fathimah (puteri Rasul Allah) ada di dalam!’ Dan Umar menjawab: Sekalipun!”[27]

Hadis­hadis keutamaan seperti itu sungguh sangat tidak adil, bertentangan dengan fakta sejarah. Sekiranya benar Ali bin Abi Thalib pernah mendengar Rasul Allah bersabda demikian, jalannya sejarah tidak akan seperti itu. Dalam kumpulan khotbah, ucapan dan tulisan Ali yang dikumpulkan dalam Nahju’l Balaghah, tidak ditemukan hadis semacam itu. Bila kita hendak berlaku jujur, hadis seperti ini haruslah dianggap sebagai “hadis­hadis politik” yang muncul untuk membenarkan kekuasaan de facto. Ini merupakan preseden timbulnya kebiasaan mendukung pemerintahan de facto oleh kebanyakan ulama Sunni, seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman.[28]

Riwayat dan Hadis Abu Hurairah

Ada beberapa riwayat yang disampaikan Abu Hurairah sebagai saksi pelapor dalam peristiwa Saqifah. Abu Hurairah pun telah menyampaikan keutamaan­keutamaan Abu Bakar dan Umar yang melebihi keutamaan para Sahabat lain. Tetapi sehubungan dengan peristiwa Saqifah, riwayat dan hadis yang disampaikan Abu Hurairah, harus dipandang dengan kritis.

Asal­usul Abu Hurairah, Hanya 1 Tahun 9 Bulan di Shuffah

Abu Hurairah datang kepada Rasul Allah pada bulan Safar tahun 7 Hijriah, Juni 628 M, setelah Perang Khaibar. Kaum dari klan ad­Daus, klan Abu Hurairah, dan kaum al­’Asy’ari mendatangi Rasul Allah tatkala Rasul berada di Khaibar. Kaum ‘Asy’ari terlambat mengunjungi Rasul, seperti diceriterakan Abu Musa al­’Asy’ari, karena sedang berperang dengan kaum kafir. Tentang Abu Hurairah biarlah ia sendiri yang menceriterakan:

Aku mendatangi Rasul Allah yang pada waktu itu berada di Khaibar, setelah Khaibar ditaklukkan, dan aku berkata: “Ya Rasul Allah adakah bagian untukku? Tolong bicarakan dengan kaum Muslimin itu untuk membagikan bagian mereka dengan kami.”[29]

Ia kemudian tinggal di emperan Masjid Madinah (Shuffah) sampai bulan Dzulqaidah tahun 8 Hijriah/Maret 630 M, karena pada bulan itu ia disuruh Rasul ke Bahrain menemani al­’Ala’ al­ Hadhrami sebagai mu’azin. Sedang peristiwa Saqifah terjadi pada tahun 11 H/8 Jum 632 M. Dengan demikian ia tinggal di Shuffah selama 1 tahun 9 bulan. Ia meninggal tahun 59 Hijriah. Dan umat Islam kehilangan sahabat yang paling banyak menyampaikan hadis. Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan dari Abu Abdurrahman Baqi Ibnu Mukhallad al­Andalusi yang mencatat dalam “Musnadnya” bahwa Abu Hurairah meriwayatkan 5374 hadis, di antaranya Bukhari meriwayatkan 446 hadis.

Berbeda dengan para sahabat lain, para ahli sejarah tidak dapat memastikan nama yang sebenarnya dari Abu Hurairah, namanya di zaman jahiliah maupun di zaman Islam. Begitu pula asal usulnya. Abu Hurairah adalah nama julukan yang berarti Ayah Anak Kucing. Menurut ceritanya ia pernah bekerja sebagai buruh pengembala dan sering membawa anak kucing bersamanya. Dari situlah ia diberi gelar Abu Hurairah.[30]

Ia sendiri menceritakan bahwa ia mendatangi Rasul bukan karena ia mendapat hidayat atau karena kecintaannya kepada Nabi saw seperti yang lain, tetapi untuk mendapatkan makanan.

Dalam riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah berkata: ‘Aku adalah seorang miskin, aku bersahabat dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku’. Dan dalam riwayat lain: ‘untuk memenuhi perutku yang lapar’. Dalam riwayat Muslim: ‘Aku melayani Rasul Allah untuk mengisi perutku’, atau ‘Aku menetap dengan Rasul Allah untuk mengisi perutku’.

Ia mendatangi para sahabat seperti Umar dan Abu Bakar dengan berpura­pura meminta dibacakan sebuah ayat al­Qur’an, menurut pengakuannya sendiri, padahal ia ingin agar ditawarkan makanan, tetapi tiada seorang sahabat pun menawarkan makanan kepadanya kecuali Ja’far bin Abi Thalib yang langsung mengajak Abu Hurairah ke rumahnya.

Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah: ‘Demi Allah, tiada lain kecuali Dia, aku sering menekan perutku ke bumi karena lapar, dan pada suatu hari, karena lapar aku menekan perutku dengan batu sambil duduk di jalan tempat mereka keluar dari masjid. Aku bertemu dengan Abu Bakar dan aku bertanya kepadanya tentang ayat Kitab Allah, dan aku tidak menanyainya kecuali (dengan maksud) agar dia memberi aku makan; tapi ia berlalu dan tidak melakukannya. Dan Umar bertemu denganku dan aku bertanya mengenai ayat Kitab Allah, aku tidak bertanya (kepadanya) kecuali agar ia mengajak aku makan, dan ia tidak melakukannya.’[31]

Bukhari: ‘Aku, bila bertanya mengenai sebuah ayat (al­Qur’an) kepada Jafar (bin Abi Thalib) maka dia tidak akan menjawab kecuali setelah ia mengajakku ke rumahnya’. Di bagian lain: ‘Aku meminta kepada Jafar bin Abi Thalib untuk membacakan kepadaku ayat (Al­Qur’an), yaitu artinya, agar dia memberi aku makan, dan dia adalah orang yang paling baik terhadap orang miskin; Jafar bin Abi Thalib. Ia mengajak kami ke rumahnya dan memberi kami makan seadanya’.[32]

Tirmidzi meriwayatkan: ‘Dan bila aku bertanya kepada Jafar mengenai ayat, ia tidak menjawab (pertanyaanku) sampai ia tiba di rumahnya’. Menurut Abu Hurairah, Ja’far­lah yang terbaik di kalangan sahabat. Hadis mengenai ‘laparnya’ Abu Hurairah ini, banyak jumlahnya. Lalu di mana ‘pundi­pundinya’? (Lihat hadis ‘mizwad’ atau pundi­pundi).

Kepribadian Abu Hurairah

Kepribadian Abu Hurairah lemah. Tatkala kembali dari Bahrain, Umar bin Khaththab mencurigainya menggelapkan uang baitul mal. Umar menuduhnya sebagai pencuri, dan menyebutnya sebagai musuh Allah dan musuh kaum Muslimin, dalam riwayat lain, musuh Kitab Allah atau musuh Islam.[33]

Abu Hurairah pada masa itu menjadi gubernur ketiga di Bahrain sesudah al ‘Ala’ al­Hadrami dan Qudamah bin Mazh’un.

Jarud al­’Aqdi datang kepada Umar dari Bahrain dan melaporkan bahwa Qudamah bin Mazh’un minum minuman keras dan mabuk. Umar bertanya: ‘Siapa yang menyaksikan bersama Anda?’ Jarud: ‘Abu Hurairah!’. Umar memanggil Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata: ‘Aku tidak melihatnya minum, tetapi aku melibatnya mabuk dan muntah­muntah’. Umar berkata: ‘Engkau telah mengubah kesaksian!’ Dan Umar menyuruh panggil isteri Qudamah yang bernama Hindun binti al­Walid, dan Hindun memberikan kesaksian yang benar dan memberatkan suaminya... ‘Qudamah adalah pengikut Perang Badr satu­satunya yang dihukum Umar karena minum minuman keras’.[34]

Ia juga punya hobi makan. Karena kesukaannya yang berlebihan akan makanan, maka ia sering juga disebut sebagai pembawa ‘hadis lesung’.[35]

Karena seringnya ia meriwayatkan hadis, ummu’l­mu’minin Aisyah dan para sahabat yang utama menuduhnya sebagai ‘berbicara tak karuan’ (mazzah), ‘berbohong’ (kadzdzab) dan lain­lain.

Umar mengancam akan memukul dan mengasingkannya apabila ia meriwayatkan hadis. Ia sendiri mengaku tidak berani mengucapkan sebuah hadis pun di zaman Umar. Ummu’l­mu’minin Aisyah mengatakan bahwa ia tidak pernah mendengar Rasul bercerita seperti yang disampaikan Abu Hurairah. Ali menamakannya pembohong umat. Demikian pula tokoh­tokoh yang terdahulu. Sayid Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa andaikata Abu Hurairah meninggal sebelum Umar maka umat Islam tidak akan mewarisi hadis­hadis yang penuh khurafat, isykalat, dan isra ‘iliyat.

Banyaknya Hadis Abu Hurairah

Hadis­hadis yang disampaikan Abu Hurairah, menurut Abu Muhammad bin Hazm berjumlah 5.374 buah. Bila dibandingkan dengan seluruh hadis yang disampaikan oleh keempat Khulafa’ur­ Rasyidin, jumlah ini sangat banyak. Abu Bakar, misalnya, menyampaikan 142 hadis (yang dimasukkan dalam Bukhari 22), Umar 537 hadis (yang dianggap shahih 50), Utsman 146 (Bukhari memasukkan 9 hadis, Muslim 5), dan Ali 586 hadis (yang dianggap shahih 50); semuanya hanya 1.411 hadis, dan itu berarti cuma 2l% dari jumlah hadis yang disampaikan Abu Hurairah seorang diri. Dan jumlah ini hampir sama dengan jumlah ayat­ayat al­Qur’an. Sebagai perbandingan, maka seluruh hadis yang disampaikan Abu Bakar selama 20 tahun pergaulannya dengan Rasul, hanya diperoleh Abu Hurairah dalam 16,7 hari duduk di Shuffah setelah ia menganut Islam, Umar dalam 63,1 hari, Utsman dalam 17,1 hari, Ali dalam 68,9 hari, Thalhah bin Ubaidillah dalam 4,4 hari, Salman at­Farisi dalam 7 hari, Zubair bin ‘Awwam dalam 1,1 hari, Abdurrahman bin ‘Auf dalam 1 hari.

Penghuni shuffah yang lain seperti Hajjah bin Amr al­Mazini a I­Anshari Hajjah bin Amr al­Mazini at­Anshari, Hazib bin Armalah, Tinkhafah bin al­Qais alGhifari, Zaid bin Khaththab al­Adawi, Abdullah bin Qaridzah al­Tumali dan Furat bin Hayyan bin al­Ali masing­masing hanya meriwayatkan 1 (satu) hadis. Safinah, sahaya Rasul Allah saw meriwayatkan 14 hadis, satu hadis diriwayatkan oleh Muslim. Syarqan, juga sahaya Rasul Allah saw hanya meriwayatkan 1 (satu) hadis dan diriwayatkan oleh Tirmidzi.

Dan seluruh hadis­hadisnya baru diucapkannya hampir 30 tahun sesudah Rasul Allah saw wafat sebagaimana pengakuannya, karena sekembalinya, dari Bahrain dia tidak diperkenankan mengobral hadisnya.

Tidak Hadir, Bilang Hadir

Abu Hurairah sering menjadi saksi pelapor dari suatu kejadian padahal dia tidak hadir di tempat tersebut. Sebagaimana dikatakan di atas ia hanya tinggal selama satu tahun sembilan bulan di shuffah Masjid Nabi di Madinah, yaitu antara bulan Safar tahun 7 Hijriah, sampai bulan Zulqaidah tahun 8. Setelah itu ia berada jauh di Bahrain. Tetapi, ia telah menyampaikan laporan­ laporan sebagai saksi mata tentang hal­hal yang terjadi pada masa­masa sebelum dan sesudahnya. Bukhari menulis bahwa Abu Hurairah telah berkata: ‘Kami membuka (menaklukkan) Khaibar dan kami tidak mendapat rampasan perang berupa emas atau perak. Yang kami dapat adalah lembu, unta dan alat­alat rumah tangga (mata’)’. Hadis serupa disampaikan juga oleh Muslim. Sedang Abu Hurairah masuk Islam sesudah Perang Khaibar tersebut.

Begitu pula Abu Hurairah mengatakan bahwa dia berada dalam perjalanan haji Abu Bakar sebagaimana diceritakan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, Baihaqi dari Abu Hurairah: ‘Abu Bakar ra mengutusku pada musim haji tersebut­ untuk menyampaikan kepada penyeru­penyeru yang dikirimkannya pada hari an­Nahr di Mina agar mengumumkan bahwa kaum musyrikin tidak boleh naik haji sesudah tahun itu, dan tidak boleh melakukan thawwaf di Bait Allah dalam keadaan telanjang. Kemudian Nabi saw menyusulkan Ali bin Abi Thalib ra dan menyuruhnya untuk mengumumkan Surat al­Bara’ah[36] dan Ali bersama kami mengumumkan Surat al­Baraah kepada orang­orang yang berkumpul di Mina pada hari An­Nahr dan agar kaum Musyrikin tidak naik haji sesudah tahun itu dan tidak boleh berthawwaf di Bait Allah dalam keadaan telanjang’.

Ibnu Ishaq dalam Sirah menulis: Rasul Allah mengutus Abu Bakar sebagai pemimpin (Amir) haji tahun 9 Hijriah. Dan tatkala Abu Bakar keluar dari Madinah, turunlah Surat al­Baraah dan orang bertanya kepada Rasul Allah. ‘Bagaimana kiranya kalau Anda mengirimnya bersama Abu Bakar?[37] Maka Rasul Allah menjawab: ‘Tidak boleh orang lain menyampaikannya atas namaku kecuali seorang dari ahli bait­ku’. Kemudian Rasul Allah memanggil Ali dan bersabda kepadanya: ‘Pergilah kamu dengan membawa Surat Bara’ah dan umumkan kepada orang­orang di hari an­ nahr pada waktu mereka berkumpul di Mina... Maka berangkatlah Ali menyusul Abu Bakar dan bertemu dengannya di perjalanan dan setelah Abu Bakar melihat Ali ia berkata: ‘Amir atau makmur?’[38] Ali menjawab: ‘Makmur’. Sampai tiba Hari An­Nahr Ali ra berdiri dan mengumumkan kepada orang­orang apa yang diperintahkan oleh Rasul Allah. Dan yang diumumkan Ali adalah: ‘Bahwa orang kafir tidak akan masuk surga, dan orang musyrik tidak boleh naik haji sesudah musim haji tahun itu, dan tidak boleh ber­thawwaf sekeliling Bait Allah dengan telanjang dan barang siapa ada perjanjian dengan Rasul Allah maka dia mendapat tenggang waktu’. Hadis ini diperkuat oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Ali dan Abu Bakar.

Di bagian lain ia berkata: ‘Aku masuk (ke rumah) Ruqayah anak Nabi Allah, isteri Utsman yang sedang memegang sisir: Rasul Allah keluar lebih dulu dari aku. Rambutnya terurai. Rasul Allah bertanya kepada Ruqayah: ‘Bagaimana keadaan Abu Abdullah (Utsman, pen) Ruqayah menjawab: ‘Baik!’ Rasul Allah berkata: “Hormatilah dia karena dia adalah sahabat yang diciptakan paling menyerupaiku!”[39]

Al­Hakim berkata: ‘hadis ini isnadnya shahih tapi matannya lemah. Karena Abu Hurairah memeluk Islam sesudah Perang Khaibar tahun 7 Hijriah (setelah Ruqayah meninggal). Tetapi dasarnya Abu Hurairah!’

Di bagian lain Abu Hurairah berkata: ‘Rasul Allah jadi imam kami dalam shalat Dzuhur atau Ashar dan ia mengucapkan salam (baru) shalat dua raka’at. Dan berkata Dzul Yadain: ‘Anda mempersingkat shalat atau Anda lupa?. Sedang Dzul Yadain syahid pada Perang Badr jauh sebelum Abu Hurairah masuk Islam. Di bagian lain Abu Hurairah berkata ‘shalat bersama kami pada suatu shalat isi, Dzuhur atau Asar’. Di bagian lain lagi ia berkata: ‘Ia jadi Imam kami shalat Asar’ dan di bagian lain lagi: ‘Sedang aku shalat bersama Rasul Allah shalat Dzuhur!’ Dan semua riwayat ini dimuat dalam Bukhari dan Muslim.

Di bagian lain lagi. ‘Rasul Allah bersabda kepada pamannya Abu Thalib: ‘Katakanlah ‘La ilaha ilallah’ dan dengan ini aku akan menjadi saksi di hari kiamat’. Abu Thalib menjawab: ‘Andaikata saja kaum Quraisy tidak mengejekku dan mengatakan: ‘Dia dipaksa melakukannya!’ maka aku akan mengucapkan perintahmu’. Maka Allah SWT menurunkan ayat: ‘Engkau tidak dapat memberi hidayat kepada siapa yang engkau sukai, tapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa Ia berkenan’.[40]

Dan di bagian lain: ‘Rasul Allah bersabda kepada pamannya tatkala ia sedang sekarat: ‘Ucapkan ‘La ilaha ilallah’, aku akan menjadikannya saksi bagimu di hari kiamat’, dan Abu Thalib menolak. Dan Allah SWT menurunkan ayat dst’ Diriwayatkan oleh Muslim.

Abu Thalib meninggal di Makkah 3 tahun sebelum Hijrah dan Abu Hurairah masuk Islam 7 tahun sesudah Hijrah, yaitu sesudah Perang Khaibar. Dengan kata lain ia baru datang dari Yaman sepuluh tahun setelah Abu Thalib meninggal. Dan ia menyampaikan hadis ini sebagai saksi mata.