Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (5)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (5)0%

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (5) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Sejarah & Biografi

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 17 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Pengunjung: 2401 / Download: 688
Ukuran Ukuran Ukuran
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (5)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (5)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

sejarah islam

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah

by: O. Hashem

Jakarta

2004

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM

“Wahai orang­orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar­benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Al­Qur’an

Surah An­Nisa’: 135

Prakata Penulis

Buku‘Saqifah’ cetakan keempat oleh Yapi ini bertambah tebal hampir dua kali lipat dibandingkan cetakan sebelumnya. Kritik­kritik tertulis dalam bentuk buku dan artikel di beberapa majalah maupun kritik lisan dalam diskusi­diskusi khusus untuk membicarakan buku ini, memaksa penulis melengkapinya.

Pembaca dapat langsung mengikuti peristiwa Saqifah dengan meloncat ke bab 2; ‘Sumber’.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada penulis ahli sejarah Islam Al Allamah, Habib Zainal 'Abidin bin Husain Al Muhdhar atas kebaikannya meminjamkan buku­buku yang sukar didapat.

Demikian juga kepada Ustadz Ahmad bin Abdurrahman Al Aydrus, seorang ahli sastra yang juga memberikan buku­buku yang penulis butuhkan. Juga kepada kawan yang penulis cintai Wancik Cherid yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini. Penulis juga berhutang budi kepada banyak teman­teman yagg tidak mungkin penulis sebut satu demi satu.

Akhirnya kepada isteri penulis Hadijah yang dengan sabar membaca dan memberi catatan­catatan pada naskah buku ini.

Tanpa semua ini buku ini tidak mungkin ada.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah.

Penerbit

Bab 3. Madinah al­Munawwarah

Akhir Hayat Rasul

Sekitar lohor, hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriah, bertepatan dengan 8 Juni 632 M, wafatlah Muhammad Rasul Allah saw, Nabi terakhir. Beliau menarik napas akhir di pangkuan atau di dada Aisyah, istri beliau, tanpa memberi wasiat apa­apa. Ini menurut ummu’l­ mu’minin Aisyah. Menurut Ummu Salamah yang juga ummu’l­mu’minin, Nabi saw wafat sementara bersandar ke dada Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu beliau. Ali pun mengatakan demikian, begitu pula Umar bin Khaththab. Nabi telah memberi wasiat, sekurang­kurangnya dalam hal menentukan orang yang akan memandikan jenazah dan membayarkan hutang­hutang beliau, yang kemudian dipenuhi oleh Ali bin Abi Thalib. Dalam kamar petak, hujrah, tempat tinggal Aisyah di sisi sebelah Timur Masjid Nabi ini, berakhirlah hidup Rasul dalam usia 63 tahun, 10 tahun di Madinah dan 53 tahun di Makkah.

Madinah al­Munawwarah

Batas Utara Madinah adalah Bukit atau Jabal Tsaur dan Lembah atau Wadi Qanat, Perbukitan Tsaur, tepat di Utara Uhud, terletak sekitar 8 (delapan) km Utara Masjid Madinah.

Batas Selatan Jabal ‘Air dan Wadi Aqiq. Jarak antara Jabal ‘Air dan Masjid Madinah sekitar 8 (delapan) km.

Di Barat laut terletak Jabal Sala’. Yang melintas di tengah Wadi Bathhan (Abu Jaidah).

Uhud terkenal dengan Perang Uhud (Ma’rikah Uhud) yang terjadi tahun 3 H/624 M dan menyebabkan gugurnya 70 sahabat, 64 kaum Anshar dan 7 kaum Muhajirin.

Batas Barat adalah Labah (al­Harrah al­Gharbiyah atau Lahar Barat) berupa bukit batu lahar berwarna hitam. Sebelah Timur terdapat Labah (al­Harrah al­Syarqiyah, Lahar Timur). Kedua Labah ini masing­masing berjarak 4 km dari Madinah.

Karena Labah ini sulit dilalui maka musuh, kaum Jahiliah, menyerbu Madinah dari Utara. Khandaq dibuat di sebelah Utara sebagai perintang untuk menghambat musuh.

Al­Harrah Syarqiyah sangat terkenal di zaman para sahabat dan tabi’in di kemudian hari, karena pada tahun 63 H/683 M pasukan Yazid bin Mu’awiyah menyerbu Madinah melalui Lahar Timur ini, ‘agar orang­orang Madinah menghadap matahari dan silau oleh sinar matahari’. Sepuluh ribu tujuh ratus delapan puluh (10780) orang dibunuh, diantaranya para sahabat Muhajirin dan Anshar masing­masing sebanyak tujuh ratus orang serta anak­anak mereka serta serta seribu gadis hamil akibat perkosaan.[1]

Khandaq adalah suatu terusan yang digali Rasul dan para Sahabat atas usul Salman al­Farisi antara Bukit ‘Ubaid dan suatu tempat yang bernama Syaikhan. Terletak sekitar 1 km dari Madinah dan terkenal dengan Perang Khandaq atau Perang Ahzab (Marikah al­Khandaq atau Marikah al­Ahzab) yang berlansung tahun 5 H/626 M.

Batas Selatan adalah Jabal ‘Air dan Wadi ‘Aqiq yang terletak sekitar 8 km dari ‘kota’ Madinah.[2]

Arah ke Timur, jarak Madinah ke Laut Merah, sekitar 375 km. Makkah berada di Selatan dan berjarak sekitar 497 km. Damaskus, ibu kota Syam, yang sekarang jadi ibu kota Syria, di Utara berjarak sekitar 1303 km.

Masjid Nabi

Masjid ini terletak di bagian yang disebut sebagai ‘Kota Madinah’, kurang lebih di tengah pemukiman berupa kampung­kampung yang terpancar luas di sekelilingnya. Sejak dulu diketahui adanya klan besar ‘Aus dan Khazraj dengan puluhan anak sukunya, serta beberapa suku Yahudi. Di masa­masa terakhir, banyak pendatang memasuki kota ini, antara lain kaum Muhajirin dan sejumlah pemeluk baru agama Islam. Walaupun jumlah penduduknya mungkin hanya belasan ribu jiwa, namun menjadi pusat pemerintahan Islam yang meliputi seluruh jazirah Arab. Karena Rasul tinggal di sisi masjid ini, dan pusat kegiatan serta pusat pertemuan beliau dengan para tokoh Sahabat yang terpenting terjadi di Masjid ini, maka patut juga masjid ini disebut sebagai pusat pemerintahan Islam.

Masjid ini sendiri ­setelah perluasan dari bentuknya yang asli sepuluh tahun yang lalu­ berukuran 45 meter[3] setiap sisinya, dan hanya memiliki dua pintu untuk umum, sebuah di sisi Utara dan sebuah di sisi Barat. Ketika kiblat masih mengarah ke Baitul Muqaddis, dinding sisi Utara tidak berpintu. Ketika kiblat berpindah mengarah Ka’bah di kota Makkah, dibuatlah sebuah pintu di sisi Utara bersamaan dengan ditutupnya pintu di sisi Selatan.

Sepanjang sisi Barat terdapat serambi Masjid (shuffah), tempat tinggal beberapa Sahabat Nabi. Pada sisi Timur masjid ini, berurut dari Utara ke Selatan, terdapat empat buah kamar petak dengan sekat yang terbuat dari pelepah dan daun kurma yang ditambal dengan tanah liat. Dinding sisi Baratnya menyatu dengan dinding masjid. Pintu­pintunya menghadap ke halaman masjid. Selanjutnya terdapat lima buah kamar atau rumah kecil.

Tatkala pertama kali dibuat, kamar sebelah Timur Masjid ini hanya dua buah. Satu kamar Rasul dan sebuah lagi kamar Fathimah. Tatkala kumpul dengan Aisyah, kamar Rasul ini sering juga dinamakan kamar Aisyah. Kamar­kamar lain dibuat kemudian.

Kamar Rasul yang Disucikan[4]

Sayid Samhudi[5] mengukur kamar Rasul saw.

Panjang dinding Selatan kamar Rasul dari Timur ke Barat 4,8 meter[6] Dinding Utara 4,68 meter.[7]

Dinding Timur dan Barat, dari Utara ke Selatan, 3,44 meter[8]

Kamar Rasul ini di sebelah Timur berhubungan dengan sebuah kamar tempat Rasul menyembahyangi jenazah[9] Tinggi rumah dan kamar­kamar ini tujuh hasta atau 3,15 meter, sama dengan tinggi Masjid. Kecuali dinding Timur, tebal dinding 68 cm[10] Tebal dinding Timur 61 cm[11] .

Kelihatannya dinding ini sangat tebal untuk ukuran sekarang, tetapi demikianlah yang dicatat Samhudi dalam Wafa’ al­Wafa’ yang dikutip A. Hafizh.

Pintu kamar Barat yang membuka ke Masjid, ditutup tirai, sehingga menurut ummu’l­mu’minin Aisyah, ia pernah menyisir rambut Rasul dari dalam kamar dan Rasul berada dalam Masjid.

Rasul tinggal dan menutup usia di kamar ini, yang sering juga disebut kamar Aisyah (18 tahun).[12]

Di sebelah Utara kamar Aisyah terletak kamar Ali bin Abi Thalib (34 tahun) dan Fathimah (18 atau 26 tahun) serta kedua putranya, Hasan (7 tahun) dan Husain (6 tahun).

Di antara kedua kamar itu terdapat sebuah lobang berupa jendela kecil; kuwah, yang telah ditutup Rasul beberapa waktu lalu atas permintaan Fathimah. Sebelum ditutup, Rasul sering menjenguk Fathimah melalui jendela ini untuk menanyakan keadaannya.

Fathimah meminta untuk menutup jendela itu, setelah bertukar kata dengan Aisyah pada suatu malam, karena Aisyah memasuki rumah Fathimah melalui jendela ini.[13]

Di hadapan jendela kamar Fathimah terdapat sebuah tiang dari batang kurma, yang sekarang dinamakan tiang maqam Jibril[14] Tiap hari Rasul mendatangi kamar Fathimah, dan di dekat tiang ini Rasul Allah mengangkat tangan sambil mengucap: ‘Assalamu’alaikum, ahlu’l­baitku, Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah) dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya’.[15]

Di sebelah Selatan kamar Aisyah terletak sebuah hujrah lagi, yaitu hujrah Hafshah putri Umar bin Khaththab, istri Rasul, yang dipisahkan oleh sebuah lorong yang memanjang dari Timur ke Barat, dan berakhir di Masjid dengan lebar 0,68 meter. Sebelah Timur lorong ini berakhir di halaman Masjid dengan lebar 1,37 meter. Luas kamar­kamar ini sama.

Lantai Masjid terbuat dari batu, dindingnya tersusun dari batu bata atau balok­balok tanah liat yang dikeringkan dengan sinar matahari (labin). Tiang Masjid dibuat dari batang kurma (juzu), atapnya dari pelepah (jarid) dan daun kurma (khush) berbentuk bangsal yang ditambal dengan tanah liat dan tidak terlalu padat; apabila hujan, lantai masjid akan basah karena tiris.

Di sebelah Utara kamar Fathimah ada sebuah lorong yang memanjang dari Timur ke Barat dan berakhir ke sebuah pintu masuk ke Masjid. Pintu ini hanya digunakan oleh Rasul saja, dan diberi nama ‘pintu Jibril’.[16]

Di samping pintu untuk Rasul, ada sebuah pintu lagi dari kamar Ali dan keluarganya. Pintu­pintu lain di sisi Timur masjid ini, beberapa waktu yang lalu, telah diperintahkan Rasul untuk ditutup, kecuali pintu masuk untuk Ali. ‘Semua pintu ditutup,’ sabda Rasul, ‘kecuali pintu masuk untuk Ali.[17]

Di antara rumah atau kamar­kamar istri Rasul, ada gang­gang yang menuju ke Masjid. Sebelumnya paman­paman Rasul dan para Sahabat seperti Abu Bakar, menggunakan gang­gang yang berakhir ke pintu Masjid ini untuk sholat. Agaknya pintu­pintu ini disuruh tutup oleh Rasul, karena mengganggu kehidupan keluarga beliau. Dibukanya pintu untuk keluarga Ali berhubungan dengan turunnya ayat Al­Qur’an: ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, wahai ahlul bait, dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya’. (Al­ Qur’an, 33:33). Tatkala ayat ini turun, Rasul membentangkan baju beliau dan mengerudungkannya di atas diri Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Dengan demikian maka Ali dan keluarganya dapat memasuki Masjid dalam keadaan junub sekalipun. Hadis yang antara lain berbunyi, ‘Tutuplah semua pintu (di sisi Timur Masjid), kecuali pintu untuk Ali’ adalah hadis mutawatir, diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam.[18]

Juga Abdullah bin Umar bin Khaththab, yang berkata: “Ali bin Abi Thalib mendapat tiga keistimewaan; bila satu saja yang aku dapat, maka aku akan lebih senang daripada mendapatkan sekawan unta; ia mengawini putri Rasul dan mendapatkan anak­anak; semua pintu ke Masjid ditutup, kecuali pintu untuknya dan ia memegang bendera pada waktu perang Khaibar”.[19]

Di riwayatkan oleh Ibnu Abbas, Jarir bin Abdullah, Sa’d bin Abi Waqqash, Buraidah al­Islami, Ali bin Abi Thalib dan lain­lain. Sa’d bin Abi Waqqash berkata: ‘Sesungguhnya Rasul Allah saw menutup semua pintu Masjid dan membuka pintu untuk Ali; dan orang­orang menghebohkannya. Maka bersabdalah Rasul, ‘Bukan saya yang membukanya, melainkan Allah yang membukakan untuknya’.[20]

Buraidah al­Islami berkata: ‘Rasul Allah memerintahkan menutup semua pintu; maka ributlah para Sahabat, dan sampailah kepada Rasul Allah saw, Rasul mengajak sholat berjamaah, dan setelah orang berkumpul, Rasul naik ke atas mimbar dan berkhotbah. Setelah membaca tahmid dan ta’zhim sebagaimana layaknya, Rasul lalu bersabda, ‘Bukan saya yang menutupnya, dan bukanlah saya yang membukanya, tetapi Allah yang menutup dan membukanya. Kemudian Rasul membaca ayat:

‘Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu tiadalah sesat dan tiada kesasar. Dan dia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. (Perkataannya) tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)’ .[21]

Dengan demikian maka Ali dapat masuk keluar Masjid dalam keadaan junub, sebagaimana dicatat oleh Abu Nu’aim dalam Fadha’il ash­Shahabah. Kemudian, ada pula sebuah hadis yang berbunyi: ‘Tutuplah semua lobang (khaukhah) ke Masjid, kecuali khaukhah untuk Abu Bakar’, namun hadis ini jelas dimasukkan di kemudian hari.

Di sebelah Timur lorong ini, di halaman Masjid, terdapat rumah Abu Bakar, yang berhadapan dengan rumah Utsman yang kecil. Berdempetan dengan rumah Utsman yang lain, yang di sebut rumah Utsman yang besar. Di sebelah Selatan rumah Utsman, arah ke Selatan, terletak rumah Abu Ayyub al­Anshari yang bertingkat. Rasul pernah menginap di rumah ini pada saat permulaan Hijrah, sebelum Masjid dibangun.

Di sebelah Selatan, berdempetan dengan rumah Abu Ayyub, terdapat rumah Fathimah yang lain. Rumah ini dihadiahkan oleh seorang Anshar, Haritsah bin Nu’man, kepada Fathimah, sebagai hadiah perkawinannya. Ali bin Abi Thalib membangun sebuah rumah di luar halaman Masjid, tetapi Fathimah menghendaki tinggal dekat dengan ayahnya, maka dengan gembira Haritsah memberikan rumah tersebut kepada Fathimah.

Agaknya, setelah Rasul wafat, keluarga Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan menetap di rumah pemberian Haritsah bin Nu’man, yang lebih luas ini. Setelah memandikan jenazah Rasul, keluarga Ali dan para sahabatnya berkumpul di rumah ini. Agaknya, rumah inilah yang dikepung dan diancam akan dibakar oleh Umar, sekembalinya ia dalam rombongan Abu Bakar dari Saqifah Bani Sa’idah di sore hari itu, untuk mendapatkan baiat Ali.

Jurf

Tempat ini terletak sekitar tujuh kilometer sebelah Barat laut kota Madinah, dan sebelah Barat bukit Uhud. Di sana terdapat delapan mata air. Padang datar dan sumber air ini menjadikan Jurf tempat perkemahan kafilah yang datang ke atau yang akan berangkat dari Madinah. Pada hari Senin sesudah dzhuhur ini, tatkala Rasul wafat, terlihat suatu pasukan kaum Muhajirin dan Anshar yang sedang mempersiapkan diri untuk berangkat ke Mu’tah; suatu daerah di Palestina, untuk berperang melawan orang Romawi. Semua tokoh kaum Muhajirin pertama, seperti Abu Bakar dan Umar, serta tokoh kaum Anshar seperti Sa’d bin ‘Ubadah, diperintahkan Rasul ikut dalam ekspedisi ini. Komandan pasukannya ialah Usamah bin Zaid bin Haritsah yang berusia tujuh belas tahun. Ia sedang berada di atas punggung kudanya tatkala datang utusan Ummu Aiman, ibunya, yang memberitahukan bahwa Rasul sedang menghadapi saat­saat terakhir beliau. Pasukan ini pun kembali ke Madinah.

Sunh

Sunh terletak di tepi Barat laut Bukit Sala’ dekat sebuah masjid yang bernama masjid al­Fatah, berjarak 1,6 kilometer dari Masjid Nabi. Ketika wafatnya Rasul, Abu Bakar berada di rumahnya yang berada di perkampungan Harits bin Khazraj di Sunh. Hampir semua catatan mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar ikut dalam pasukan Usamah, karena diperintahkan Rasul, dan beliau mengutuk siapa saja yang meninggalkan pasukan ini. Dengan alasan bahwa Usamah berusia muda, kaum Muhajirin pertama membangkang terhadap perintah Nabi. Catatan sejarah yang sukar dibantah mengatakan demikian. Mengapa Abu Bakar bisa berada di Sunh, ada dua versi. Yang pertama mengatakan bahwa Abu Bakar telah berada di Jurf, dan setelah mendengar Rasul sedang menghadapi saat­saat terakhir beliau, ia mampir ke Sunh sesudah memimpin sholat subuh di Masjid Nabi. Riwayat yang terakhir ini agaknya dimasukkan kemudian untuk memperkuat ‘Nas bagi Abu Bakar’, karena hadis ini mengandung pertentangan yang sukar didamaikan.

Saqifah Bani Sa’idah

Saqifah atau balairung ini terletak di suatu tempat sekitar lima ratus meter sebelah Barat Masjid Nabi. Di sini terdapat sebuah sumber air yang bernama Bi’r Budha’ah dan sebuah masjid. Marga Sa’idah yang mendiami ‘desa’ ini memiliki sebuah balairung (Saqifah) tempat bermusyawarah, yang terkenal dengan nama Saqifah Bani Sa’idah. Di sinilah kaum Anshar berkumpul pada saat Rasul wafat, untuk mengangkat Sa’d bin Ubadah, pemimpin kaum Anshar, menjadi pemimpin umat. Seorang Anshar membocorkan pertemuan ini kepada Umar bin Khalhthab, dan bersama empat orang Mekkah lainnya, Umar dan Abu Bakar datang ke Saqifah. Terjadilah perdebatan hangat, dan kalau bukan karena anak Sa’d bin ‘Ubadah yang bernama Qais, mungkin Sa’d bin ‘Ubadah telah dibunuh Umar pada saat itu. Abu Bakar dibaiat di Saqifah. Kecuali beberapa orang yang tetap tidak mau membaiat Abu Bakar, seperti tokoh Anshar Sa’d bin ‘Ubadah, mayoritas yang hadir telah membaiatnya. Lembaga baiat yang di zaman Nabi merupakan lembaga pengukuhan, telah dijadikan lembaga pemilihan. Bagaimana dengan pihak yang tidak setuju? Timbul paksaan. Kekerasan datang susul menyusul. Rombongan Saqifah kembali ke Masjid Nabi.

Rumah Fathimah

Setelah sampai ke Masjid Nabi, Umar lalu memimpin serombongan orang untuk mengepung dan mengancam akan membakar rumah Fathimah putri Rasul, ‘biarpun Fathimah ada di dalam rumah’. Pengepungan ini dimaksudkan untuk mendapatkan baiat dari Ali yang tidak mau membaiat Abu Bakar. Usaha ini gagal, karena Fathimah putri Rasul keluar dan mengusir mereka. Sejak itu, Fathimah tidak berbicara baik­baik lagi dengan Umar maupun Abu Bakar, sampai wafatnya. Wanita utama ini berpesan untuk dikuburkan secara diam­diam pada malam hari, dan tidak membolehkan Abu Bakar, Umar maupun Aisyah menghadiri pemakamannya.

Kamar Rasul

Rasul wafat di kamar beliau, setelah berulang­ulang berpesan umuk dimakamkan di kamar ini, lama sebelum beliau wafat, dan bersabda bahwa yang terletak diantara ‘kamarku’ atau ‘kuburku’ atau ‘rumah Aisyah’ di satu sisi, dan ‘mimbarku’, disisi lain, adalah taman dari taman­taman surga. Beliau bersabda:

1. Antara rumah dan mimbarku adalah taman (raudhah) dari taman­taman disurga. Ma baina baiti wa minbari raudhatun min riyadhi’l jannah[22]

2. Antara kuburku dan mimbarku adalah taman dari taman­taman di surga. Ma baina qabri wa minbari raudhatun min riyadhi’l jannah.[23]

3. Antara kamarku dan mimbarku adalah taman dari taman­taman di surga. Ma baina hujrati wa minbari raudhatun min riyad­hi’l jannah.[24]

4. Antara mimbar dan rumah Aisyah adalah taman dari taman­taman di surga. Ma bainal minbari wa bait Aisyah raudhatun min riyadhi’l jannah.[25]

5. Barangsiapa ingin bergembira sholat dalam taman dari taman­taman di surga, maka sholatlah di antara kubur dan mimbarku. Man sarrahu an yushalli fi raudhatin min riyadhi’l jannah fal yushalli baina qabri wa minbari.[26]

Ibn Abil­Hadid mengatakan: “Bagaimana mungkin orang berbeda pendapat mengenai tempat penguburannya, sedang beliau telah mengatakan kepada mereka: “Kamu letakkan saya di atas ranjangku di rumahku ini, ditepi kuburku”, (fa dha’ uni ‘ala sariri fi baiti hadaz ‘ala syafiri qabri) dan hal ini menjelaskan agar ia dikuburkan di rumah dimana mereka sedang berkumpul, yaitu rumah Aisyah.[27]

Hadis­hadis ini termasuk hadis yang sangat kuat.

Bacalah uraian al­Amini dalam al­Ghadir, jilid 7, hlm. 187­189. Dengan demikian maka semua Sahabat dan keluarga Rasul telah mengetahui di mana Rasul akan dimakamkan. Bahkan Aisyah sendiri mengatakan bahwa keluarga Rasul, di antaranya Ali bin Abi Thalib menginginkan Rasul dimakamkan di situ.

Rasul wafat di kamar ini. Umar dan Mughirah bin Syu’bah melayat ke kamar Rasul. Sekeluarnya dari kamar Rasul, Umar, seperti dalam keadaan panik, lalu mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul sudah wafat. Setelah Abu Bakar dipanggil dari Sunh dan memberi nasihat kepadanya, Umar baru diam.

Atas informasi rahasia dari dua orang Anshar tentang adanya pertemuan kaum Anshar di Saqifah, yang disampaikan kepada Umar, Umar lalu meneruskan informasi itu kepada Abu Bakar, lalu bersama­sama keduanya ke Saqifah. Setelah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah, rombongan dari Saqifah kembali ke Masjid Nabi, lalu mengepung dan mengancam hendak membakar rumah Ali bin Abi Thalib untuk mendapatkan baiatnya.

Setelah pemakaman Rasul pada hari ketiga sesudah wafat beliau, pergilah Ali bersama Fathimah mendatangi kaum Anshar untuk mencari pendukung. Tetapi, hanya tinggal empat atau lima orang saja yang belum membaiat Abu Bakar.

Melihat bahwa hampir seluruh kaum Anshar telah membaiat Abu Bakar maka mestinya selama tiga hari sejak Rasul wafat, rombongan Umar telah berpencar mendatangi perkampungan kaum Anshar, seperti Banu Ubaid, Banu Syaikhan, Banu ‘Abdul Asyhal, Banu ‘Auf untuk mengambil baiat mereka. Malah rombongan­rombongan kabilah yang datang berbelanja ke pasar Madinah ­ yang sejak sepuluh tahun lalu telah dirubah Nabi dari hari Jumat ke hari Kamis­ seperti Bani Aslam, telah dihadang Umar dan dibawa ke Masjid untuk membaiat Abu Bakar sebagaimana dilaporkan Syekh Mufid dalam al­Jamal.

Hari Senin itu juga ­hari wafatnya Rasul­ keluarga Banu Hasyim memandikan jenazah Rasul dan mengafani serta menyelimuti beliau.[28]

Ajakan Abbas, paman Nabi, untuk membaiat Ali, ditolak oleh Ali, Pada hari ketiga setelah beliau wafat, Ali serta keluarga Banu Hasyim terpaksa memakamkan jenazah Rasul.[29]

Pemakaman ini terjadi pada pagi hari Rabu tengah malam atau tengah malam menjelang Rabu.[30]

Yang melakukan penguburan hanyalah keluarga Rasul, yaitu orang­orang yang memandikannya seperti Abbas, Ali, Fadhl dan Shalih (maula Rasul Allah) tiada orang lain.[31]

Aisyah sendiri, yang agaknya menginap di rumah atau kamar Hafshah, mendengar bunyi­bunyi gemerisik dan gesekan orang menggali kubur, pada tengah malam menjelang Rabu. Aisyah berkata: ‘Kami tidak mengetahui penguburan Rasul sampai kami mendengar suara­suara gesekan di tengah malam Rabu’.[32] ‘Dan tiada yang mengurus (penguburan Rasul) kecuali keluarga dekatnya dan Banu Ghanm yang berada di rumah mereka telah mendengar suara keriat­keriut’.[33]

Seorang tua kaum Anshar dari Banu Ghanm berkata: ‘Aku mendengar bunyi sesuatu yang bergesek pada akhir malam’.[34]

‘Yang masuk ke liang kubur adalah Ali, Fadhl bin Abbas dan Qutsam bin Abbas serta Syuqran, (maula Qutsam). Dan ada yang menyebutkan juga Usamah bin Zaid. Merekalah yang membalikkan jenazah Rasul Allah saw, memandikan dan mengafaninya serta mengurus segala sesuatunya. Abu Bakar dan Umar tidak menghadirinya’.[35]

Ada sebuah hadis yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, dan dikatakan sebagai berasal dari Aisyah ­ sebuah hadis mursal­yaitu tatkala orang­orang bertanya di mana Rasul hendak dimakamkan. Tak seorang pun yang dapat menjawab, maka Abu Bakar berkata: ‘Saya mendengar Rasul bersabda, ‘Setiap Nabi dimakamkan di bawah tempat (madhja) wafatnya’. ‘Hadis ini jelas dimasukkan kemudian, karena catatan­catatan yang lebih kuat menunjukkan bahwa Rasul telah menetapkan sebelumnya tempat pemakaman beliau. Kalau hadis yang disampaikan Abu Bakar tentang warisan Nabi, yang dikatakan sebagai didengarnya dari Rasul bahwa ‘para Nabi tidak mewariskan dan yang ditinggalkannya adalah sedekah’ oleh Fathimah dianggap bertentangan dengan ayat Al­ Qur’an ­sebagaimana nanti akan dibicarakan pada bagian lain dari buku ini­ maka hadis ini bertentangan dengan keyakinan kaum Muslimin yang hidup pada abad­abad permulaan. Thabrani mengatakan, misalnya, bahwa Adam wafat di Makkah dan dimakamkan di sebuah gunung di India, atau sebagian orang mengatakan, dimakamkan di bukit Abi Qibais di Makkah. Nabi Ya’qub wafat di Mesir, dan Yusuf meminta izin Raja Mesir untuk meninggalkan Mesir bersama ayahnya (Ya’qub A.S), membawanya kepada keluarganya dan memakamkannya di Hebron.[36]

Demikian pula Ibrahim dan anaknya Ishaq.[37]

Aus dan Khazraj

‘Aus dan Khazraj adalah nama dua orang putra Harits bin ‘Amr Muziqiyyah bin Amir Ma’a as­ Sama’ bin Haritsah bin Imra al­Qais bin Tsa’labah bin Mazim bin Azd. Mereka berasal dari Yaman. Setelah bobolnya bendungan Arim, menjadi tanduslah Yaman di Arabia Selatan ini. Azd, kakek dari kedua pemuda ini lalu pindah dan menetap di Yaman bagian Utara. Di kemudian hari, keluarga ‘Aus dan Khazraj pindah ke Yatsrib, yang pada masa itu didiami antara lain oleh suku Badui dan sejumlah orang Yahudi, dan harus membayar upeti. Penindasan terhadap ‘Aus dan Khazraj berakhir tatkala kedua keluarga ini memberontak, dan menang melawan orang Yahudi hampir dua abad sebelumnya. Sebagian tanah milikYahudi dibagi­bagi di antara mereka. Kedua keluarga ini berkembang biak dan menjadi klan besar dan kuat. Klan Khazraj tumbuh dan membentuk keluarga (marga) kecil­kecil seperti Banu Najjar, Banu Haritsah, Banu Hubla al­ Kawakilah, Banu Saidah, Banu Salimah, Banu Zuraiq dan Banu Bayada. Klan ‘Aus berkembang menjadi Banu ‘Abdul Asyhal, Banu Haritsah, Banu Zhafar, Banu Amr bin ‘Auf, Banu Wakif dan Banu Khatma (Banu ‘Aus Manat).

Klan­klan kecil ini sering berselisih dan berperang di antara sesama mereka. Sudah pasti, sengketa ini akan menyeret marga­marga lain menjadi peperangan antara keluarga besar ‘Aus dan Khazraj. Dengki dan hasad, kekufuran dan kemunafikan sangat merajalela, sehingga Allah SWT menurunkan firman­Nya dalam Al­Qur’an.[38]

“Orang­orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum­hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul­Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Ada empat peperangan besar antara klan Khazraj dan klan ‘Aus yang terjadi sebelum Islam:

(1) Perang Sumir, ‘Aus menang atas Khazraj.

(2) Perang Ka’b, Khazraj menang atas ‘Aus.

(3) Perang Hathib, Khazraj menang atas ‘Aus.

(4) Perang Bu’ats, ‘Aus menang atas Khazraj.

Dalam perang Bu’ats ini keluarga ‘Aus bersekutu dengan dua marga Yahudi, Bau Quraizhah dan Banu Nadzir. Mulanya klan Khazraj menang, tetapi setelah pemimpinnya, ‘Amr bin Nu’man terbunuh, kaum Khazraj pun kalah habis­habisan. Kebun dan rumah­rumah mereka dibakar. Hampir saja klan Khazraj ini punah. Sejak itu, kedua suku bersaudara ini hidup berdampingan secara tegang, penuh perselisihan dan kecurigaan serta dendam kesumat, sementara masing­ masing menunggu lawannya lengah, untuk diterkam, sampai datangnya Rasul, lima tahun setelah perang Bu’ats.

Rasul menamakan klan ‘Aus dan Khazraj ini ‘kaum Anshar’, atau penolong. Para pengikut beliau dari Makkah yang hijrah ke Madinah, beliau namakan ‘kaum Muhajirin’, atau orang yang berhijrah.

Ketika Rasul wafat, kaum Anshar mengadakan pertemuan di balairung Banu Saidah, anggota suku Khazraj. Sa’d bin ‘Ubadah akan mereka angkat menjadi pemimpin kaum Muslimin. Tetapi, tatkala Abu Bakar dicalonkan, orang pertama yang membaiat Abu Bakar adalah Usaid bin Hudhair[39] , ketua suku ‘Aus, karena takut kalau­kalau pemimpin Khazraj ini akan membalas dendam terhadap mereka, suku ‘Aus, apabila suku Khazraj berkuasa.

Thabari menulis: ‘Beberapa orang dari suku ‘Aus, termasuk Usaid bin Hudhair, berbicara di antara sesama mereka, ‘Demi Allah, sekali Khazraj menjadi penguasamu, mereka akan mempertahankan kekuasaan, dan tidak akan pernah membagikan kekuasaan itu kepadamu; maka berdirilah, dan baiatlah Abu Bakar!’[40]

Karena suku Khazraj juga sadar bahwa mereka tidak dapat melawan suku ‘Aus dan Muhajirin sekaligus, maka mereka pun membaiat Abu Bakar.

Daftar Isi :

sejarah islam 1

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah 1

by: O. Hashem 1

Jakarta 1

2004 1

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM 2

Prakata Penulis 3

Bab 3. Madinah al­Munawwarah 6

Akhir Hayat Rasul 6

Madinah al­Munawwarah 7

Masjid Nabi 9

Kamar Rasul yang Disucikan 11

Jurf 18

Sunh 19

Saqifah Bani Sa’idah 20

Rumah Fathimah 21

Kamar Rasul 22

Aus dan Khazraj 29


[1] Lihat bab ‘Pengantar’, sub bab “Membunuh Muhajirin dan Anshar”

[2] Lihat Peta Madinah

[3] 100 hasta.

[4] Al­bait al­muthah­har, hujrah al­muthahhar

[5] Lihat Bab 2: Sumber, sub bab, Samhudi.

[6] 10 + 2/3 hasta.

[7] 10 + 1/4 + 1/6 hasta.

[8] 7 + 1/2 +1/8 hasta.

[9] Denah Masjid no. 3.

[10] 1 + 1/2 hasta + 2 inci.

[11] I + 1/4 + 1/8 hasta. A. Hafizh, Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah, Jiddah, hlm. 103­105.

[12] Denah Masjid Nabi, no. 3.

[13] A. Hafizh, Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah, Jiddah, hlm. 103­105.

[14] Denah Masjid no. 2.

[15] Al­Qur’an, 33:33. A. Hafizh, Fushul min Tarikh al­Madinah al­Munawwarah, Jiddah, hlm. 59; dikutip dari Muslim pada bab Bait as­Sayyidah Fathimah. Ibnu ‘Abbas berkata: ‘Aku menyaksikan Rasul Allah saw selama 6 bulan mendatangi pintu rumah ‘Ali bin Abi Thalib, tiap waktu salat, dan mengatakan: ‘Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh ahlu’l­bait, Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah) dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya, ash­shalatu rahimakumullah!’ Tiap hari Rasul Allah saw melakukannya sebanyak lima kali’. Lihat juga Ad­Durru’l­Mantsur, tatkala menafsirkan ayat tersebut di atas, Al­Qur’an 33:33, dan bab ‘Perintahkan Keluargamu’. Yang lain berasal dari Abi al­Hamra’, maula Rasul Allah saw: ‘Rasul Allah saw selama delapan bulan di Madinah, belum pernah keluar untuk salat kecuali beliau mendatangi pintu ‘Ali, meletakkan tangan beliau disamping pintu dan bersabda; ‘Ash­shalah, ‘Sesungguhnya..dst’ (al­Isti’ab, jilid 2, hlm. 598, Usdul Ghabah, jilid 5, hlm. 174, Nuruddin al­Haitsami, Majma’ Az­Zawa’id, jilid 9, hlm. 168). Yang lain lagi dari Abu Barzah yang berkata bahwa ia salat bersama Rasul Allah selama enam bulan, dan Rasul, bila keluar dari rumahnya, mendatangi pintu Fathimah... dst. (Majma’ az­Zawa’id, jilid 9, hlm. 169) Yang lain lagi dari Anas bin Malik yang melaporkan bahwa Rasul Allah saw melakukan hal tersebut selama enam bulan juga. (Musnad Ahmad, jilid 3, hlm. 259, 275; al­Mustadrak, jilid 3, hlm. 159; Usdul­Ghabah, jilid 5, hlm. 531).

[16] Denah Masjid no. 5.

[17] Denah Masjid Nabi no. 4.

[18] Musnad Imam Ahmad, jilid 4, hlm. 369; dan lain­lain.

[19] Musnad Imam Ahmad, jilid 2, hlm. 26; Ibnu Hajar, dalam Fat’h al­Bari, jilid 5, hlm. 12; dan banyak yang lainnya.

[20] Ibnu Katsir, dalam Tarikh­nya, jilid 5, hlm. 342, dan lain­lain.

[21] Al­Qur’an, an­Najm (LIII), ayat 1­4.

[22] “Antara rumahku dan minbarku”, diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Imam Ahmad, Ad­ Daraquthni, Abu Ya’la, al­Bazzar, Nasa’i, ‘Abdurrazaq, Thabrani, Ibnu an­Najjar­melalui jalur Jabir dan ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah al­Mazani dan Abu Bakar. Lihatlah Shahih Bukhari kitab “Ash­Shalah” bab “Kemuliaan antara Kubur dan Mimbar” dan kitab “Haji”; Shahih Muslim, kitab “Haji”, bab “Kemuliaan antara Kubur dan Mimbar Rasul”; Taisir Al­Wushul, jilid 3, hlm. 323; Tamyiz ath­Thib, hlm. 139 dan ditambahkan bahwa hadits ini telah disepakati shahih­nya; Kanzu’l Daqa’iq, hlm. 129; Kanzu’l­’Ummal, jilid 6, hlm. 254; Al­ Jami’ ash­Shaghir, dan mensahihkan hadits ini dengan mengatakan bahwa hadits ini mutawatir seperti tertera dalam al­Faidh al­Qadir, jilid 5 hlm. 433; Tuhfatul Bari dalam Dzail Al­Irsyad, jilid 4, hlm. 412; Wafa’ a1­Wafa’, jilid 1, hlm. 302­303 dan disahihkan melalui jalur Ahmad dan Al­Bazzar.

[23] “Antara kuburku dan mimbarku”, diriwayatkan oleh Bukhari, Imam Ahmad bin Hanbal, ‘Abdurrazaq, Said bin Manshur, Baihaqi, al­Khathib, al­Bazzar, Thabrani, Abu Nu’aim, Ibnu Asakir melalui jalur Jabir, Sa’d bin Abi Waqqash, ‘Abdullah bin ‘Umar dan Sa’id al­Khudri, Lihatlah Tarikh al­Khatib, jilid 9, hlm. 228 dan 290, Irsyad as­Sari oleh Qasthalani, jilid 4, hlm. 413; Kanzu’l­’Ummal oleh Muttaqi al­Hindi, jilid 6, hlm. 254; Wafa’ al­Wafa’ oleh Samhudi, jilid 1, hlm. 303; mereka mengutip dari Bukhari dan Muslim dari jalur al­Bazzar.

[24] “Antara kamarku dan minbarku” diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Said bin Manshur dan Khathib Baghdadi dari jalur Jabir dan ‘Abdullah Al­Mazini, seperti tertulis dalam Tarikh Al­Khathib, jilid 3, hlm. 360; Kanzu’l­ ’Ummal, jilid 6, hlm. 254; Syarh Nawawi Li Muslim, Hamish Al­Irsyad, jilid 6, hlm. 103.

[25] “Antara minbar dan rumah ‘A’isyah”, diriwayatkan oleh Thabrani, al­Awshad, dari jalur Abu Sa’d Al­Khudri, seperti tertulis dalam Irsyad as­Sari, jilid 4, hlm. 413; Wafa’ al­ Wafa’, jilid 1, hlm. 303.

[26] Diriwayatkan oleh Dailami dari jalur ‘Ubaidillah bin Labid, seperti tertera dalam Kanzu’1­’Ummal, jilid 6, hlm. 254.

[27] Lihat Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahju’l­Balaghah, jilid 13, hlm. 39. Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d, Al­Hakim, Baihaqi dan Thabrani dalam al­Awsath dari jalur Ibnu Mas’ud. Lihat Suuythi, Al­Khasha’ish al­Kubra, jilid 2, hlm. 276 dan lain­lain.

[28] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, hlm. 76.

[29] Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 3, hlm. 271, Abu’l­Fida’, Tarikh, jilid 1, hlm. 152.

[30] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, hlm. 58; Ibnu Hisyam, as­Sirah an­Nabawiyah, jilid 4, hlm. 342­344; Musnad Imam Ahmad, jilid 6, hlm. 284; Sunan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 499; Abu’l­Fida’, Tarikh, jilid 1, hlm. 152; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 171 dan lain­lain.

[31] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, hlm. 78.

[32] Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hlm. 344; Thabari, Tarikh, jilid 2, hlm. 452, 455 (terbitan Leiden, jilid 1, hlm. 1833, 1837); Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 5, hlm. 270; Ibnu Atsir, Usdu’l­Ghabah, jilid 1, hlm. 34, dalam membicarakan Ar­Rasul disebut juga riwayat lain, bahwa terdengarnya suara gesekan dan bunyi keriak keriuk adalah pada malam Selasa, seperti dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, jilid 2, Bab 2, hlm. 78 dan Tarikh Khamis, jilid 1, hlm. 191; sedang Dzahabi dalam Tarikh­nya, jilid 1, hlm. 327 menguatkan bahwa penguburan dilakukan pada akhir malam Rabu juga Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 62 dan pada hlm. 242 dan 274: “Kami tidak mengetahui di mana ia dikuburkan sampai kami mendengar..”

[33] Ibnu Sa’d, Thabaqat, jilid 2, Bab 2, hlm. 78.

[34] Ibnu Sa’d, ibid, hlm. 78.

[35] Alauddin Muttaqi al­Hindi, Kanzu’l­Ummal, jilid 3, hlm. 14.

[36] Thabari, Tarikh, jilid 1, hlm.80­81; Ibnu Atsir, al­Kamil, jilid 1, hlm. 22; Ibnu Katsir, Tarikh, jilid 1, hlm. 97; Sya’labi, al­Ara’is, hlm. 29.

[37] Lihat al­Amini, al­Ghadir, jilid 7, hlm. 189­190.

[38] Al­Qur’an, at­Taubah (IX), 97.

[39] Ibnu ‘Abd al­Barr, al­Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, jilid 1, hlm. 32. Ada yang mengatakan bahwa yang mendahului ‘Umar adalah Basyir bin Sa’d.

[40] Thabari, Tarikh, jilid 3, hlm. 200.