Wafatnya Rasul Dan Amukan Umar
Rasul wafat pada lepas dzuhur hari Senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Umar bin Khaththab dan Mughirah bin Syu’bah diperkenankan masuk ke kamar untuk melihat jenazah Nabi. Kedua orang ini termasuk prajurit dalam pasukan Usamah, yang baru tiba dari Jurf bersama Usamah. Umar membuka tutup wajah Rasul dan mengatakan, ‘Rasul hanya pingsan’.
Tatkala meninggalkan kamar itu, Mughirah berkata kepada Umar: “Tetapi Anda mengetahui bahwa Rasul Allah telah wafat”.
Umar menjawab: “Anda bohong, Nabi tidak akan wafat sebelum beliau memusnahkan semua orang munafik”
Umar lalu mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul telah wafat. Ia berkata lagi: “Beberapa orang munafik mengatakan bahwa Rasul telah wafat, sedangkan Rasul tidak wafat. Rasul hanya kembali kepada Allah, seperti Nabi Musa menghadap Allah selama empat puluh hari. Orang mengira Musa telah wafat, tetapi ia kembali lagi; demikian pula, Rasul akan kembali.
“Nabi akan memotong tangan dan kaki siapa saja yang mengatakan bahwa beliau sudah wafat’. Umar berkata pula: ‘Saya akan memenggal kepala siapa saja yang mengatakan bahwa Rasul Allah sudah wafat. Rasul Allah hanya naik ke langit”.
Melihat keadaan Umar, Ibnu Umm Maktum lalu membaca ayat AlQur’an:
“Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu RasulRasul. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikit pun tiada ia merugikan Allah: Allah memberi pahala kepada orangorang yang bersyukur”.
Abbas, paman Rasul, berkata kepada Umar: ‘Rasul jelas telah wafat. Saya telah melihat wajah beliau, seperti wajah jenazah anakanak ‘Abdul Muththalib’. Abbas lalu bertanya kepada hadirin: ‘Apakah Rasul Allah ada mengatakan sesuatu mengenai wafat beliau? Bila ada, beritahukan kepada kami!’ Hadirin menjawab, ‘Tidak’. (maksudnya, Nabi tidak berpesan bahwa beliau ‘hanya menghadap Allah sementara saja’ ,pen.). Kemudian Abbas bertanya kepada Umar: ‘Apakah Anda mengetahui sesuatu? “Umar menjawab, ‘Tidak’. Abbas kemudian berpidato kepada hadirin: ‘Saksikanlah, tiada seorang pun mengetahui bahwa Rasul Allah mengatakan sesuatu tentang wafat beliau. Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Esa dan tiada lain selain Dia, bahwa Rasul Allah telah wafat’.
Umar masih juga marahmarah sambil mengancam akan membunuh siapa saja yang mengatakan Rasul telah wafat. Tetapi Abbas terus berbicara: ‘Rasul Allah, sebagaimana manusia lainnya, dapat meninggal dan menderita sakit, dan beliau telah wafat. Kuburkanlah beliau tanpa menunggununggu. Apakah Allah SWT mematikan kita satu kali dan mematikan Rasul dua kali? Bila apa yang Anda katakan benar, Allah dapat membangunkan beliau dari kubur. Rasul Allah telah menunjukkan kepada manusia jalan yang benar menuju kebahagiaan dan keselamatan selama hidup beliau’.
Umar tetap saja mengamuk. Salim bin ‘Ubaid lalu pergi kepada Abu Bakar yang tinggal di Sunh, sekitar satu kilometer ke arah barat Masjid Nabi. Ia menceritakan apa yang terjadi.
Tatkala Abu Bakar tiba, Umar masih juga kelihatan mengancam orangorang dengan mengatakan: ‘Rasul Allah masih hidup, beliau tidak wafat. Beliau akan keluar dari kamar dan memotong tangan mereka yang menyebarkan kebohongan tentang beliau; beliau akan memenggal kepala mereka. Beliau akan menggantung mereka’. Setelah itu, Umar diam dan menunggu Abu Bakar keluar dari kamar Rasul. Abu Bakar lalu berkata: ‘Barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup; tetapi barangsiapa menyembah Muhammad, Muhammad telah wafat’. Kemudian Abu Bakar membaca ayat alQur’an yang tadi telah dibacakan Ibnu Ummu Maktum kepada Umar:
‘Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu RasulRasul. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikit pun ia tidak merugikan Allah. Allah memberi pahala kepada orangorang yang bersyukur’.
Umar lalu bertanya, ‘Apakah itu ayat AlQur’an?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ya’.
Kemudian, Abu Bakar telah berada di kamar Rasul, bersama beberapa anggota keluarga Banu Hasyim, termasuk Ali,’ Abbas dan putranya, Qutham dan Fadhl. Umar sedang di Masjid, atau di halaman Masjid. Pada saat itu, menurut Jauhari, datanglah dua orang pembawa informasi, Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n bin ‘Adi. Ma’n menyampaikan berita kepada Umar tentang adanya pertemuan kaum Anshar di Saqifah, lalu Umar masuk ke kamar Nabi. Karena kamar itu sempit (4,68 meter x 3,44 meter), bagaimana mungkin Ali dan orangorang lain yang berada di kamar itu tidak mendengar katakata Umar memanggil Abu Bakar sehingga Ali dan kawankawannya tidak mengetahui adanya pertemuan di Saqifah itu? Hal ini disebabkan karena Umar memanggil Abu Bakar di dalam kamar Rasul itu tanpa menyebutnyebut adanya pertemuan kaum Anshar di Saqifah, sebagaimana diceritakan oleh Jauhari.
Yang menjadi tekateki: bagaimana maka Abu ‘Ubaidah dapat bersamasama Umar dan Abu Bakar? Bagaimana pula dengan Mughirah bin Syu’bah, Abdurrahman bin ‘Auf dan Salim maula Abu Hudzaifah? Agaknya, Umar dan Abu Bakar kemudian mampir ke rumah Abu ‘Ubaidah dan merundingkan cara untuk menghadapi kaum Anshar. Versi ini yang paling masuk akal, karena, sebagaimana akan kita ikuti, dalam perdebatan di Saqifah, kesamaan ‘jalan pikiran’ mereka nampak jelas.
Kembali kepada perangai Umar yang ganjil, yang memperagakan keraguannya tentang wafatnya Rasul. Ada dua penafsiran tentang tingkah laku Umar itu. Penafsiran yang pertama didasarkan kepada anggapan tentang kecintaan Umar yang besar kepada Rasul. Kecintaannya yang besar yang membuat ia tidak dapat menerima kenyataan itu. Tetapi, kebanyakan ulama meragukan keanehan Umar yang berlangsung demikian lama, dan baru menjadi tenang dengan datangnya Abu Bakar. Umar adalah seorang Mu’min yang membaca AlQur’an, dan telah dua puluh tahun hidup bersama Rasul, sedang susunan bahasa ayat AlQur’an adalah khas dan mudah dikenal. Aneh pula bahwa keterangan Mughirah, pembacaan ayat Qur’an oleh Ibnu Umm Maktum serta penjelasan Abbas, tidak dapat menyadarkan Umar. Di dalam alQur’an terdapat pula ayat:
‘Sesungguhnya engkau akan mati. Dan sungguh, mereka pun akan mati’
,
yang tentu diketahui Umar.
Penafsiran yang kedua meminjam katakata Ibn AbilHadid : ‘Tatkala Umar mendengar wafatnya Rasul, ia menjadi cemas tentang masalah yang menyangkut pengganti Rasul. Ia takut dan cemas apabila orang Anshar dan yang lain mengambil kekuasaan; maka ia menciptakan keraguan dan memperagakan sikap enggan menerima kenyataan bahwa Rasul telah wafat, untuk melindungi agama, sambil menunggu kedatangan Abu Bakar’’.
Yang di maksud oleh Ibn AbilHadid dengan ‘yang lain’, ialah kelompok yang berada di rumah Nabi sendiri, yang terletak di sisi timur Masjid Nabi, di mana Umar pada waktu itu berada, yaitu Ali bin Abi Thalib. Ibn AbilHadid mengemukakan juga pendapat beberapa ulama yang mengatakan bahwa Umar berbohong untuk kepentingan umat, menghindari ‘anarki’, dan oleh karena itu maka ia tidak berdosa.