Ibnu Arabi

Ibnu Arabi0%

Ibnu Arabi pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Tokoh-tokoh Islam

Ibnu Arabi

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: (http://abatasya.net)
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Pengunjung: 3238
Download: 1423

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 8 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 3238 / Download: 1423
Ukuran Ukuran Ukuran
Ibnu Arabi

Ibnu Arabi

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Ibnu Arabi (transkrip)

oleh: Azhari Kautsar Noor

Moderator :

Alhamdulillah pada siang hari ini kita bisa berkumpul dan bermuwajahah ditempat yang berbahagia ini dalam rangka diskusi seri kita epistemologi seri ke -VII, yang kali ini kita mendiskusikan tentang ilmu pengetahuan dalam perspektif Ibnu Arabi, kali ini, sudah hadir ditengah kita bapak Dr. Kaustsar Azhari Noer, salah satu dosen IAIN Jakarta, yang juga asisten Direktur pada PTS UMJ, kemudian juga ketua Departemen kajian agama Paramadina, dan kepala jurusan perbandingan agama pada tahun 1999-2000, kemudian buku yang sangat popular pada bapak Kaustsar Azhari Noer adalah Ibnu Arabi, Wahdatul Wujud dan juga banyak tulisan-tulisan yang dijurnal yang tentang Ibnu ‘Arabi, mungkin juga ikut Ibnu Arabi Society yang di Inggris. Dan juga saya ucapkan selamat datang buat kawan-kawan dari Peace of Singapure, dan juga pak Joko, senang sekali atas kehadiranya. Kita akan mendengarkan uraian dari Bpk. Dr. Kaustar Azhari Noer kira kira 40 menit setelah itu kita lanjutkan diskusi, Silahkan.!

Kaustar Azhari Noer :

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Para hadirin yang saya hormati pertama kali saya mengucapkan terima kasih kepada moderator yang sudah memberikan kehormatan kepada saya untuk berbicara tentang epistemologi Islam (epistemologi Ibnu Arabi), epistemologi itu adalah teori tentang pengetahuan, teman-teman yang pernah belajar filsafat tahu, teori tentang pengetahuan, apa itu pengetahuan ?

Bagaimana pengetahuan yang benar lalu bagaimana cara memperolehnya ?

Masalah-masalah ini dibicarakan oleh epistemologi, jadi ini salah satu contoh dari pada filsafat, untuk hari ini kita akan bicara konsep Ibnu ‘Arabi tentang epistemologi, saya akan mengawali tentang tempat pengetahuan dalam tradisi Islam atau dalam epistemologi Islam. Pertama, itu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu alatnya apa ?

Alatnya adalah kalbu jadi para nabi dan rasul itu menerima wahyu dengan kalbu bukan dengan akal. Kemudian yang kedua itu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kasyaf , kasyaf itu bahasa arab kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti penyingkapan, pembukaan, penampakan, jadi yang tadinya tertutup oleh hijab jadi tersingkap. Jadi ada hijab antara Tuhan dan manusia lalu hijab itu tersingkap, terbuka maka penyingkapan itu disebut kasyaf. Ada kata-kata lain yang juga dianggap sebagai sinonim dengan kasyaf itu adalah al-dzauq (rasa).

Kemudian ada juga pembukaan, fathun, pembukaan itukan penyingkapan juga, anda kalau lihat salah satu buku Ibnu ‘Arabi itu namanya al-futuhat almakkiyyah. Futuhat itu jamak dari fathun. Fath itu pembukaan , penyingkapan, itu sering juga diterjemahkan dengan revilition, wahyu itu juga penyingkapan, jadi tuhan mengenalkan wahyu, menyingkapkan dirinya, jadi fathun, jadi khasaf itu sering diselewengkan dengan al-dzauqo (rasa) kalau diterjemahkan, kemudian fathun.

Alatnya apa alatnya juga kalbu, (qolbun). Pengetahuan yang kedua ini itu dimiliki oleh para wali atau para sufi dan para filsuf yang sufi. Jadi ada juga para filsuf yang sufi atau sebaliknya para sufi yang filsuf. Ada beberapa tokoh atau pemikir muslim yang dianggap sebagai sufi tetapi sebagai filsuf sekaligus atau filsuf yang dianggap sebagai sufi sekaligus. Misalnya Ibnu ‘Arabi, kalau anda tanya Ibnu ‘Arabi itu sufi atau filsuf, ya jawabya bisa dua-duanya meskipun dia sendiri juga tidak mengaku sebagai filsuf. Lebih condongnya kepada tasawuf, sufi, dia seorang sufi tapi orang sering juga menyebut dia juga seorang filsuf, atau tasaufnya itu adalah tasawuf falsafi.

Atau misalnya Suhrawardi syaihul israf pendiri filsafat illuminasi, teman-teman yang belajar filsafat pasti tahu, dia itu filsuf atau sufi, ya duaduanya ya filsuf ya sufi. Mulla Sadra anda tahukan Mullah Sadra, dari syiah itu juga begitu, dia sufi atau filsuf, dua-duanya, ya sufi, ya filsuf, tapi mungkin Mulla Sadra itu lebih condong kearah filsufnya dari pada kearah sufinya. Kalau Ibnu ‘Arabi kepada tasaufnya, nah pengetahuan yang kedua ini yang diperoleh dengan kasyaf, itu dimiliki oleh sufi, wali atau para filsuf yang sufi sekaligus. Kemudian yang ketiga, itu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran (Nadhor: Arab) Fikr atau refleksi.

Sedangkan alat yang dipakai itu adalah akal (Aql: Arab) tapi ketika saya misalnya membaca beberapa terjemahan inggris kata akal itu kadang-kadang diterjemahkan reason, kadang-kadang juga intellect, itu istilah yang kadang membuat orang bingung. Kadang-kadang reason dan intellect artinya akal juga kalau diterjemahkan ke dalam B. Indonesianya

padahal B. Arabnya cuma satu akal aja. Jadi dalam B. Inggrisnya ada yang diterjemahkan ke dalam Reason dan ada yang diterjemahkan Intellect. Bahkan ada lagi intelligent. Jadi udahlah kita pakai kata akal aja. Pengetahuan yang ketiga ini itu adalah pengetahuan yang diperoleh oleh para Fuqoha.

Fuqoha itu jamak dari faqih, para mutakallim (teolog) dan para Filsuf. Pengetahuan yang nomor empat adalah pengetahuan yang diperoleh melalui taqlid. Taqlid itu adalah meniru, menerima, atau mengikuti sebuah pendapat tanpa mengetahui alasanya, pokoknya udahlah ikuti saja, ya itulah taqlid.

Kata taqlid itu satu akar dengan kata qiladah itu berarti kalung atau kerah atau sesuatu yang mengalungi makhluk hidup misalnya anjing punya kalung, itu kalung juga qiladah, kalau pun tidak dikalungi itu kalung juga, jadi faqih itu adalah sesuatu yang mengalungi, yang mengikat. Baik itu pendapat maupun perbuatan ketika orang mengambil sebuah pendapat atau meniru sebuah perbuatan lalu dia ikatkan kepada keyakinanya namanya itu taqlid.

Taqlid itu dengan akal, tentu akal yang dimaksud disini akal orang banyak, orang awam. Dan pengetahuan yang keempat ini itu dimiliki oleh orang awam atau orang banyak. Kalau kita lihat empat pengetahuan ini, yang paling tinggi itu adalah pengetahuan yang pertama. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu. Dan ini hanya dimiliki oleh para nabi dan para rasul. Baru kemudian pengetahuan yang diperoleh melalui khasaf. Yaitu para wali dan para sufi, baru kebawahnya yang lain.

Jadi kita gak mungkin mendapatkan pengetahuan yang pertama, ya kita kan bukan Nabi, kita bukan rasul. Kalau dalam keyakinan Islam, nabi itu sudah tidak ada lagi, khotamul Anbiya. Tapi ada sebuah pendapat, kenabian menurut Ibnu ‘Arabi ada dua yang pertama adalah kenabian At-tasri’iyyah, kenabian yang membawa syariat. Kemudian yang kedua adalah annubuyyaw al-ammah, kenabian yang umum. Kenabian yang Tashriiyyah, yang membawa syariat baru itu sudah berakhir, nabi Muhammad. Sedangkan kenabian umum kemungkinan masih ada, kalau gitu Ahm,adiyyah mungkin aja benar.

Tapi dia jangan bawa syariat lain , dia tetapi patuh terhadap Muhammad pakai shalat, , dia tetap mengikuti nabi-nabi sebelumnya, jadi tidak membuat shalat baru, puasa baru, shahadat baru dan seterusnya.. karena kata Khottim itu kan, khottam, khotta khoottim, khottam itu bisa dibaca dua khottim, khottam, kalau dibaca khottim itu penutup, kalau dibaca khottam itu cincin. Khottimun nabi, penutup para nabi. Khottam nabi, cincinya.

Cincin, ibarat cincin itu sangat penting bisa dijual. Sesuatu yang bisa dijual itu sangat berharga. Nah sekarang kita ingin bertanya Ibnu ‘Arabi itu termasuk kelompok yang mana. Ya jelas kalau dia adalah seorang sufi maka dia jelas termasuk yang memperoleh pengetahuan melalui khasaf. Saya pindah kenomor dua yaitu tentang cara berpikir. Saya melihat cara berpikir itu secara garis besar itu bisa dibagi menjadi dua. Apapun didunia ini entah itu filsuf, entah itu guru Spiritual, entah itu fuqoha, entah itu siapa aja.

Manusia didunia ini entah itu Islam atau non muslim, itu cara berpikirnya secara garis besar tidak lebih dari yang dua ini walaupun nanti ada perbedaan-perbedaan juga itu hanya berkisar didalam ini saja. Dua cara berpikir ini itu yang pertama adalah berpikir rasional (rasional thinking), cara berpikir seperti ini sering disebut dengan cara berpikir ini atau itu, (this or that) pilih salah satu diantara dua yang berlawanan, hitam atau putih, kafir atau mukmin kemudian Tuhan atau alam, jadi itu pilih salah satu. Alatnya apa ? alat yang digunakan oleh cara berpikir seperti ini itu adalah akal.

Cara berpikir seperti ini itu cenderung menekankan pluralitas, keanekaan, many notion, saya gak bisa menterjemahkan kebanyakan kalau kebanyakan artinya mayoritas, banyak. Jadi banyaknya. Kalaiu dalam bahasa arabnya, kastroh. Keberbilangan.

Atau menekankan keragaman dan sekaligus juga perbedaan. Cara berpikir seperti ini itu dimiliki oleh para fuqoha, mutakallim dan para filsuf. Sekarang kita pindah ke cara berpikir yang kedua. Cara berpikir yang kedua adalah cara berpikir yang disebut dengan imaginer thinking. Cara berpikir imaginer. Kalau yang pertama tadi memilih salah satu diantara yang bertentangan, ini atau itu, hitam atau putih, dst. Maka cara berpikir yang kedua itu adalah cara berpikir yang kedua-duanya, jadi ada alam ada tuhan itu sebenarnya suatu kesatuan meskipun berbeda.

Jadi ada hitam ada putih itu cara berpikir yin yang. Jadi alatnya apa ? alatnya kalbu juga. Cara berpikir yang kedua ini itu menekankan keesaan, wahdah, dan keidentikan, cara berpikir yang kedua ini dimiliki oleh para wali, para sufi dan para filsuf yang sufi. Cara berpikir seperti ini juga dimiliki bukan hanya oleh para sufi di adalam Islam tetapi juga oleh pemikir-pemikir timur. Khususnya di Cina dan India.

Kalau anda baca filsafat Cina atau kearifan cina dan India itu cara berpikirnya seperti ini, cara berpikir yin yang. Yin yang itu prinsip segala sesuatu di alam ini itu terdiri dari dua yang berlawanan tetapi satu sama lain saling melengkapi. Tidak ada secara mutlak yang hitam dan yang putih secara mutlak.

Sebaik-baiknya manusia pasti ada jeleknya walaupun sedikit. Makanya simbol yin yang itukan ada hitam dan ada putih didalam putih itu ada hitam walaupun titiknya kecil dalam hitam ada putih, dalam putih ada hitam. Kalau ada perempuan atau laki-laki, feminist dan maskulin. Di dalam perempuan, seperempuan-perempuanya dia pasti ada kelaki-lakian, apalagi kalau galak. Kalau perempuan galak berartikan unsur maskulin ada di dalam dirinya (tomboi), sebaliknya bisa aja.

Di dalam diri laki-laki itu juga ada sifat feminim. Orang yang besar kasih sayangnya itu sebenarnya lebih besar sifat feminisnya, meskipun dia laki-laki. Karena itu ada yang bilang yesus itu sebenarnya perempuan, Muhammad itu sebenarnya perempuan, meskipun dia laki-laki, kenapa ? karena sifat kasih sayang itu lebih besar dari pada sifat galak misalnya, marah, keras dan seterusnya.

Dan tuhanpun seperti itu. Prinsip seperti ini itu bukan hanya berlaku kepada hal-hal yang bersifat empiris. Tetapi juga berlaklu pada hal yang bersifat metafisis. Termasuk Tuhan. Jadi kalau Tuhan itu, tadikan ada dua hal yang berlawanan , nah di dalam Islam misalnya Tuhan itu dhahir dan batin, awal dan akhir, jadi kedua-duanya bersatu.

Di dalam diri tuhan itu juga terpadu sifat-sifat maskulin dan sifat-sifat feminin. Jadi nama-nama tuhan itukan terbagi dua yaitu nama-nama keagungan (jalal), dan nama-nama keindahan yaitu jamal, yaitu pemaaf, lembut. Nama-nama keindahan yang lembut itu jauh lebih dominan pada diri tuhan ketimbang nama-nama jalalnya (keagunganya).

Jadi persoalan ini bukan hanya persoalan empiris tapi juga persoalan metafisis. Itu pada tuhan tetapi misalnya dalam hubungan vertikal antara tuhan dengan alam itu juga begitu. Jadi antara alam dan tuhan meski tuhan dan alam itu berbeda tetapi dia gak bisa dipisah. Tadi saya katakan cara berpikir yang kedua ini menekankan kesatuan, kesatuan antara alam dan Tuhan meskipun berbeda. Misalnya kalau kita masukkan air kedalam gula itu, airnya menjadi maniskan. Gula tetap gula air tetapi air walaupun gak bisa dipisah.

Tuhan tetap Tuhan alam tetap alam tetapi merupakan suatu kesatuanyang tidak biosa dipisahkan itu memang ada ayat-ayat alquranya. Misalnya, ‘wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil warid’, kami lebih dekat kepadamu dari pada urat nadi, kemudian pa ainama tawallu patsamma wajhullah, kemanapun kamu menghadapmdisitu ada wajah Tuhan itukan menunjukkan bahwa tuhan gak bisa dipisah dengan alam. Tetapi dia berbeda laitsa kamislihi syaiun, jadi begitulah cara berpikir imaginer, jadi memadukan.

Di dalam alam itu ada kualitas-kualitas ketuhanan sebaliknya pada tuhan itu ada kualitas-kualitas kealaman. Jadi cara berpikirnya sepertinya itu, kalau para teolog gak gitu, tuhan ya tuhan, alam ya alam. Kalau npara sufi eggak. Di dalam alam itu ada kualitas-kualitas ketuhanan.

Sebaliknya pada tuhan itu ada kualitas-kualitas kealaman. Semua nama tuhan itu sebenarnya ada pada alam. Karena alam ini merupakan manifestasi, theopani. Tempat penampakkan diri Tuhan. Anda mendengar, tuhan juga mendengar. Berarti ada kesamaanya,.tuhan berbicara, kita juga berbicara, berarti ada kesamaanya.

Bahkan ada hadist tentang orang yang melakukan perbuatan yang di luar kewajiban, sunnah, diluar kewajiban bukan hanya sholat, bersedekah dan segala macam, berbuat baik, aku mencintainya, sehingga aku menjadi pendengaranya, penglihatanya dan tanganya, jadi, itu ada kualitas Tuhan pada kita atau sebaliknuya, jadi cara berpikirnya seperrti itu. Bukankah misalnya ada hadist nabi takhallaqu bi akhlaqillah, jadi berakhlaq dengan akhlak Allah kalau kalau gak ada kemiripan ya gimana berakhlak dengan akhlak Allah, berakhlak dengan akhlak Allah itukan maksudnya berakhlak dengan nama-nama Allah.

Beaakhlak denganh kualitas-kualitas ketuhanan. Ini berbeda dengan cara berpikir para teolog, pokoknya makhluk ya makhluk, Tuhan ya Tuhan. Kalau sufi eggak. Berbeda tetapi ya satu. Jadi Ibnu ‘Arabi ini termasuk yang sufi. Sekarang saya masuk ke poin yang selanjutnya yaitu, tentang makrifat, jadi pengetahuan yang tertinggi yang dapat dicapai oleh para sufi itu disebut makrifat, makrifat itu secara bahasa itu adalah pengetahuan, sama dengan ilmu, secara harfiah ya itu artinya. Pengetahuan yang bagaimana makrifat itu, makrifat itu adalah pengetahuan yang langsung (direct knowledge).

Pengetahuan melalui kehadiran, jadi bukan melalui penalaran yaitu pengetahuan yang benar tentang Tuhan. Apa sih yang dimaksud dengan pengetahuan yang langsung, ya langsung, langsung dialami, melihat. Kalau saya melihat bunga mawar, saya tahu bunga mawar karena saya melihat langsun, megang, sekaligus itu melalui kehadiran. Orang tahu bunga mawar karena dia megang bunga mawar, pernah melihat bunga mawar, pernah mencium bunga mawar, itu namanya pengetahuan melalui kehadiran.

Saya tahu manisnya gula karena saya minum air yang guylanya ada atau, saya cicipi karena saya merasakan dan guloa itu hadir. Itu namanya pengetahuan langsung melalui kehadiran. Ini berbeda dengan pengetahuan yang melalui penalaran. Orang kutub misalnya eggak pernah melihat bunga mawar. Cuma gambarnya aja atau diceritakan oleh orang lalu dia mikir-mikir, itu hanya melalui penalaran.

Dia gak pernah pegang bunga mawar, gak pernah melihat gak pernah mencium, itu bukan pengetahuan melalui kehadiran, jadi makrifat itu adalah pengetahuan melalui kehadiran, jadi kalau anda dengar istilah tentang ilmu huduri, itu kesana, jadi Suhrawardi, Mulla Sadra, Ibnu ‘Arabi itu, itu semua menggunakan makrifat. Atau juga bisa dikatakan memperoleh pengetahuan melalui kehadiran, jadi.

Bukan melalui penalaran, makrifat hanya bisa dicapai hanya dengan praktek spiritual. Amal, taqwa dan suluk (ibadah), bukan denmgan memperlajari buku atau belajar dengan guru, itu kata kata para sufi dan juga landasan Suhrawardi dan Mulla Sadra juga begitu, cuman mungkin begini pengetahuan lewat buku itu memperluas wawasan, atau paling tidak lahanya masih subur, jadi caranya seperti ini, saya akan mengutipkan pendapat Ibnu ‘Arabi, dia mengatakan, al-makrifat ingdal qoum, bagi sekelompok kaum, orang, makrifat itu adalah mahajjah, mahajjah itu jalan, street, pakullu ilmin la yahqulu illa an amalin wat taqwa setiap ilmu itu tidak akan berhasil dicapai kecuali dengan amal, taqwa dan suluk, suluk, pahua makrifatun, dan itulah makrifat, liannahu wa an kaysfin, karena makrifat itu diperoleh dari kasyaf.

Jadi yang dibuktikan kebenaran secara spiritual, la tadhuluhul subhah, tidak masuk kedalamnya keraguan-keraguan, itu berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal, jadi pengetahuan yang diperoleh melaui penalaran, itu biasanya tidak mendatangkan keyakinan, bahkan mendatangkan keraguan, ini npendapat para sufi sedangkan, pengetahuan yang diperoleh secara langsung itu yakin makanya ada hqqul yakin.

Kalau saya lihat bunga mawar, saya pegang bungan mawar itukan saya yakin, tapi kalau hanya lewat penalaran tak pernah lihat bunga mawar, kayak apa ya, jadi mikir aja, jadi itu bedanya, terus makrifat itu adalah pengetahuan yang ditunjukkan oleh al-qur’an, ketika kitab sci ini mengatakan, kerpada allah dan allah akan mengajarmu, tadikan dikatan bahwa pengetahuan ini diperoleh dengfan praktek spiritual, amal, dan suluk, jadi taqwa merupakan unsur yang sangat penting, itukan ada ayat al-Qur’an, wattaqullaha wayuallimuhul lahu.

Bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu, kalau ini pedomanaya maka orang yang tidak bertaqwa tidak akan sampai pada ilmu ini, yang banyak maksiat gak bisa mencapai pengetahuan yang seperti ini, sekarang saya akan lanjutkan point yang berikutnya yaitu tentang macam makrifat, ada dua macam marifat meurut Ibnu ‘Arabi, makrifat yang pertama yaitu makrifat tentang dia (tuhan), dari segi engkau, yaitu dimiliki oleh para filsuf, para teoritikus, para mutakallim.

Apa sih yang bdimaksud makrifat tentang dia, yaitu makrifat tentang haq dari segi engkau, yaitu makrifat yang menekankan perbedaan antara tuhan dengan alam, bagaiman orang mengenal alam, karena ia tahu dirinya, man aropa nafsahu paqod arofa rabbahu, tapi tafsiranya berbeda dengan para sufi, ketika ia mengenal dirinya dia tahu dirinya itu adalah wujud yang mungkin, wujud yang mungkin itu pasti baru, pasti berubah, untuk mengetahui Tuhan maka harus dicari lawanya.

Kalau kita adalah wujud yang mungkin, makhluq itu adalah wujud yang mungkin maka lawanya adalah wujud yang wajib, necessary being, yang mesti ada, kalau alam ini adalah yang berubah maka, Tuhan tidak berubah kalau alam adalah yang baru maka Allah adalah yang qodim, jadi, yang dicari itu adalah lawanya, jadi kita kecil, tuhan besar, kita lemah Tuhan kuat, kita baru tuhan qodim, kita berubah Tuhan tidak berubah, jadi lawanya.

Sekarang makrifat yang kedua, makrifat tentang dia melalui engkau dari segi dia, bukan dari segi engkau, makrifat tentang tuhan melalui engkau, engkau itu alam, engkau manusia, dari sehi dia , bukan dari segi engkau, ini memandang bahwa alam itu adalah temopat penampakan diri Tuhan, karena lam itu adalah tempat penampakan diri Tuhan, theopani tuhan, locus yah, penampakan diri tuhan, maka ada persamaan-persamaan Tuhan dengan alam meskopun juga ada perbedaan-perbedaanya, dan didalam alam itu ada kualitas-kualitas ketuhanan dan didalam manusia sebagai miktokosmos.

Maka dia adalah memiliki kualitas-kualitas ketuhanan, semua nama tuhan ada di dalam diri manusia, semua kualitas ketuhanan itu ada dalam diri manusia, karena itu kalau orang mengenal dirinya dia akan mengenal tuhan, karena sifat-sifat tuhan dan kualitas-kualitas tuhan ada di dalam dirinya, itu berbeda dengan tadinya, kalau tadi melihat perbedaan-perbedaan kalau sekarang, melihat persamaan –persamaan nya meskipun antara Tuhan dan alam itu ada perbedaanya, jadi berbeda, ini sesuai dengan cara berpikir tadi.

Kalau yang tadi ada yang berpikir rasional, ada berpikir imajiner kalau yang imejiner yang berpikir kesatuanya, keindentikanya , keidentikan antara Tuhan dengan alam, kesatuan antara Tuhan dengan alam, meskipun memelihara perbedaan diantara keduanya.

Yang selanjutnya tentang tanjih dan tasbih, tanjih itu artinya membersihkan, mensicikan tuhan dari keserupaan dengan makhluk, jadi tuhan itu berbeda sama sekali dengan makhluk, tasbih itu menyerupakan, jadi menyerupakan tuhan dengan makhluk, itu disebut tasbih, din dalam ilmu kalam atau para teolog itu biasanya lebih menekankan tanjih, dan mengabaikan tasbih atau menghilangkan tasbih sama sekali, sedangkan para sufi itu memadukan antara keduanya, karena itu ibnu arabni mengatakan, pengetahuan yang sempurna tentang tuhan, adalah pengetahuan yang menyatukan atau memadukan tanjih dan tasbih.

Ini terjemahan baru, kalau dulu beberapa sarjana menerjemahkan tanjih itu dengan transenden, tapi W. Chittick itu menterjemahkanya ( ) kalau dulu beberapa sarjana menerjemahkan tasbih itu dengan imanen, W. Chittick menterjemahkanya dangan( ) ternyata kata transenden itu ada lagi B. Arabnya al mutaaliyah.

Pengetahuan tentang tuhan yang diperoleh melalui penalaran, melalui refleksi, nadhar al-fikr, yang alatnya adalah akal, oleh oleh para mutakalllim dan para filsuf itu tidak sempurna, kenapa karena akal hanya mampu mencapai pengetahuan tentang tanjih, atau pengetahuan yang menunjukkan tanjih, pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan yang pincang, sedangkan pengetahuan yang memadukan antara tanjih dan tasbih.

Itulah pengetahuan yang sempurna, pengetahuan yang memadukan antara tanjih dan tasbih, itu dapat dicapai melalui pemaduan akal dan imajinasi, atau daya imajkinasi, wahm, imajinasi itu B, arabnya khayal, kalau kita lihat point yang kedua, pengetahuan yang memadukan antara tanjih dan tasbih, itu bisa dalam pengetahuan yang tetap mempergunakan akal, jadi akal itu tidak diabaikan, tetapi juga menggunakan imajinasi, atau khayal, jadi sebenarnya pola pikir itu tidak mengabaikan akal.

Bahkan Ibnu ‘Arabi mengatakan tidak ada orang yang paling menghormati akal ketimbang nabi, tapi nabi menempatkan akal pada posisinya, sedangjkan para teolog itu menempatkan akal itu bukan pada tempatnya lagi, banyak persoalan-persoalan yang sebenarnya di luar kemampuan akal lalu dipaksakan, untuk menagkapnya, itulah kesalahan para filsuf, dan para teolog, itu yang sering dikritik oleh ibnu arabi. Para hadirin, melanjutkan point yang berikutnya, meskipun para sufu sering mengkritik taklid, sebagai usaha orang-orang awam, ibnu arabi memberikan kepada taklid suatu tingkatan yang tinggi, pada situasi-situasi manusia, tentu saja dengan ketentuan bahwa manusia.

Harus melakukan taklid, kepada Tuhan, tentu dia mempunyai pengertian tersendiri tentang taklid, menurut dia berpikir juga taklid, jadi taklid terhadap pemikiran, dia mengatakan bahwa akal adalah yang paling banyak melakukan taklid, karena akal penuh dengan curiositas, B. Arabnya, fudul, curiositas itu keingintahuan, dan karena iu dikuasasi oleh hukum berpikir, kalau orang ingin tahu terus, maka ingin berpikir terus.

Lalu akal melihat bahwa ia memiliki bukti yang diberikan oleh Tuhan, yaitu B, arabnya dalil, dalam B, inggrisnya dua argument dan crush jadi akal itu mengira bahwa ia memiliki bukti yang diberikan tuhan, dalillul ilahiyyun, B. Arabnya. Tetapi sebenarnyania hanya memiliki bukti yang dihasilkan oleh pemikiranya, keliru, dia menganggap ini yang benar dari tuhan padaal gak seperti itu, itu sebenarnya adalah bukti yang dihasilkan oleh penalaranya sendrii, atau sebenarnya melakukan taqid pada pemikiranya.

Ahlullaha ahli alllaha itu istilah yang dipakai Ibnu ‘Arabi yang sinonim dengan ahliqu’an, yaitu para yang tinggi tingkatannya yang disebuat ahli Qur’an ahlilah dan ahli Qur’an itu tidak melakukan taklid pada pemikiran tetapi melakukan taqlid kepada alllah Ibnu ‘Arabi mengatakan mereka mengetahu Allah melaui allah dan Dia sebagaiman dia katakan sebagi dirinya bukan sebagimana yang ditentukan oleh curisitas akal, jadi benar juga benar juga. Saya akan kutifkan teks arab ya, liannal aqla lahul fudul katsiro, karena akal itu memiliki curiositas yang tinggi, yang dicapai oleh hukum berpikir dan semua kekuatan atau daya yabg ada dalam diri manusia, pala syai akstaru taklidabn minal aql tidak ada sesuatu yang lebih banyak merlakukan taklid dari pada akal ‘ jadi akal itulah yang paing banyak melakukan taklid, wahua yatakhoyyal, dia menganggap atau berhayal annahu shohibu dalilin ilahiyyin, dia mengagap bahwa dia adalah pemilik dari dalil tuhhan, painnama hua shohibu dalilil fikriyyin, sedangkan dia adalah hanya pemilik dalil pikri jadi anggapan itu keliru, sedangkan dalil fikri itu berjalan semaunya, jadi aklitu ibarat orang buta , bahkan dia buta tentang jalan kebenaran,ahlullah tidak melakukan taklid terhadap pemikiran mereka, kenapa, karena makhluk itu tidak boleh bertaklid pada mahluk.pada ahlullah tadi cenderung melakukan taklid pada Allah, dia mengetahui Allah melalui Allah, maka dia Tuhan sesuai denagn apa yang dikatakan Tuhan, jadi Tuhan itu bukan seperti yang dikira oleh akal, atau curiositas akal, jadi inilah pengetahuan yang tinggi menurut Ibnu ‘Arabi, saya lanjutkan ke point berikut sesuai dengan tauhid yang merupakan intisari Islam bagi Ibnu ‘Arabi obyek yang sebebarnya dan yang tertinggi yaitu Tuhan, jadi meskipun tuhan pada dirinya itu tidak bisa diketahui tetapi pada relasinya denagn alam itulah yg hanya bisa diketahui, pengetahuan apapun ttg selain diri Tuhan adalah pengetahuan yang penegtahuan yg ditujukan utk mencapai pengetahuan tentang Tuhan, pengetahuan yang benar tentang Tuhan dapat dicapai melaui Tuhan langsung dari Tuhan denagan merasakan kehadiran Tuhan dengan melakukan taklid kepada Tuhan dan langsung dari Tuhan. Ini perbedaan antar para teolog dengan parasufi. Kalau para teolog sibuk memikirkan Tuhan, sedangkan para sufi itu asyik merasakan kehadiran tuhan, mana yang lebih otentik orang yang merasakan kehadiran tuhan pengetahuannya kadang lebih otentik ketimbang orang yang hanya memiki-mikir, berarti enggak adil kita, pengetahuan yg berguna adalah pengetahuan yg tak terpupus dari dari sumber asalnnya yaitu Tuhan, jadi memang Tuhan itu adakah sumber pengetahuan dan salah nama tuhan itu adalah al’alim maha mengetahui, pengetahuan yg berguna adalah pengetahuan yg mendekatkan dan mengembalikan sendirinya yaitu umat manusia kepada Tuhan, saya kira apa yg dikatakan Ibnu ‘Arabi ini sesuai dengan ayat al-Qur’an inna lillahi wainna ilaihi rajiun, kita milik Tuhan berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan , pengetahuan juga berasal dari Tuhan dan hak kita mengembalikankita pada tuhan dan mendekatkan diri pada tuhan, dengan alasan ini tidak salah jika dikatakan bahwa epistemologi Ibnu ‘Arabi adalah epistemologi teosentris, yang tinggi, yang dicapai oleh hukum berpikir dan semua kekuatan atau daya yabg ada dalam diri manusia, pala syai akstaru taklidabn minal aql tidak ada sesuatu yang lebih banyak merlakukan taklid dari pada akal ‘ jadi akal itulah yang paing banyak melakukan taklid, wahua yatakhoyyal.

Dia menganggap atau berhayal annahu shohibu dalilin ilahiyyin, dia mengagap bahwa dia adalah pemilik dari dalil tuhhan, painnama hua shohibu dalilil fikriyyin, sedangkan dia adalah hanya pemilik dalil pikri jadi anggapan itu keliru, sedangkan dalil fikri itu berjalan semaunya, jadi aklitu ibarat orang buta , bahkan dia buta tentang jalan kebenaran,ahlullah tidak melakukan taklid terhadap pemikiran mereka, kenapa, karena makhluk itu tidak boleh bertaklid pada mahluk.

pada ahlullah tadi cenderung melakukan taklid pada Allah, dia mengetahui Allah melalui Allah, maka dia Tuhan sesuai denagn apa yang dikatakan Tuhan, jadi Tuhan itu bukan seperti yang dikira oleh akal, atau curiositas akal, jadi inilah pengetahuan yang tinggi menurut Ibnu ‘Arabi, saya lanjutkan ke point berikut sesuai dengan tauhid yang merupakan intisari Islam bagi Ibnu ‘Arabi obyek yang sebebarnya dan yang tertinggi yaitu Tuhan.

Jadi meskipun tuhan pada dirinya itu tidak bisa diketahui tetapi pada relasinya denagn alam itulah yg hanya bisa diketahui, pengetahuan apapun ttg selain diri Tuhan adalah pengetahuan yang penegtahuan yg ditujukan utk mencapai pengetahuan tentang Tuhan, pengetahuan yang benar tentang Tuhan dapat dicapai melaui Tuhan langsung dari Tuhan denagan merasakan kehadiran Tuhan dengan melakukan taklid kepada Tuhan dan langsung dari Tuhan. Ini perbedaan antar para teolog dengan parasufi.

Kalau para teolog sibuk memikirkan Tuhan, sedangkan para sufi itu asyik merasakan kehadiran tuhan, mana yang lebih otentik orang yang merasakan kehadiran tuhan pengetahuannya kadang lebih otentik ketimbang orang yang hanya memiki-mikir, berarti enggak adil kita, pengetahuan yang berguna adalah pengetahuan yang tak terpupus dari dari sumber asalnnya yaitu Tuhan, jadi memang Tuhan itu adakah sumber pengetahuan dan salah nama tuhan itu adalah al’alim maha mengetahui.

Pengetahuan yang berguna adalah pengetahuan yang mendekatkan dan mengembalikan sendirinya yaitu umat manusia kepada Tuhan, saya kira apa yang dikatakan Ibnu ‘Arabi ini sesuai dengan ayat al-Qur’an inna lillahi wainna ilaihi rajiun, kita milik Tuhan berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan , pengetahuan juga berasal dari Tuhan dan hak kita mengembalikankita pada tuhan dan mendekatkan diri pada tuhan, dengan alasan ini tidak salah jika dikatakan bahwa epistemologi Ibnu ‘Arabi adalah epistemologi teosentris.

sangat terosentris bukan antroposentris, saya ingin menambahkan diluar pointer ini tentang larakteristik apa sih karakteristik epistemologi Ibnu ‘Arabi yangoleh al-Thusi itu disebut dengan intuitif esotrik knowladge, penegtahuan intuitif atau esoterik. al Thusi salah seorang yg membuat disertasi ttg Ibnu ‘Arabi ada delapan karakteristik pengetahuan intuitif Ibnu ‘Arabi.

Karakteristik yg pertama pengetahuan yg esoterik bersifat bawaan itu berbeda dengan pengetahuan yang intellect atau yang dipeoleh, yang diusahakan, karea itu pengetahuan yang seperti ini dianggap limpahan dari Tuhan, pancrana , yang mencinari setiap muslim, disini posisi manusia itu bersifat fasif, jadi menerima pengetahuan dari Tuhan, jadi itu adalah anugrah daru Tuhan, makanya sering juga dikatakan.

Bahwa pengetahuan itu secara garis besar dibagi menjadi dua, yang pertama itu pengetahuan kasbi yang diuasahakan sedangkan yang kedua adalah pengetahuan yang dianugrahkan oleh tuhan, karakteristik yang kedua bahwa pengetahuan esoterik itu diluar jangkauan akal, it is beyond reason, karena itu gak bisa dicek kebenaranya oleh akal, memang diluar jangkauan akal, dan mungkin tidak heran misalnya, para mutakalllim atau para filsuf, fuqoha, mengkafirkan sufi, klarena mereka mengukur dengan akalnya.

Jadi gakj bisa diukur dengan akal, karena itu diluar jangkauan akal, akal tidak bisa menilai kebenaran yang seperti itu, karakter yang ketiga pengetahuan itu memanifestasikan dirinya dengan cahaya, yang melimpah kedalam hatiu, tadi kan dikatakan bahwa alat untuk menampung atau menerima pengetahua itu hati.

Hati itukan ibarat cermin kalau cerminkanya bersih maka ia dapat menangkap nur atau cahay, tapi kalau cermunya kotor maka dia tak bisa menangkap sinar, menangkap limpahan dari tuhan, ya orang harus banyak berbuat baik beribadah, harus dekat kepada Tuhan, jauh dari maksiat, jadi kalau banyak maksiat itu gak bakal dapat ilmu semacam ini, karakteristik yang keempat bahwa pengetahuan esoterik itu hanya memanifestasikan dirinya pada orang tertentu, karena tadi anugrah dari Tuhan itu dimiliki oleh orang tertentu, pilihan Tuhan, makanya jumlah para Nabi itu sedikit atau para wali, apalagi para Nabi sedikit sekali.

Kemudian yang kelima berbeda dengan pengetahuan eksoterik, yang menghasilkan kemungkinana, maka pengetahuan esoterik itu menghasilkan keyakinan, tadikan sudah saya katakan bahwa penalaran itu tidak melahirkan keyakinan tetapi sering melahirkan keraguan atau paling tidak sering menimbulkan pertanyaanpertanyaan, selalu bertanya-selalu bertanya, sedangkan pengetahuan esoterik itu melahirkan keyakinan, kemudian karakteristik yang keenam adalah bahwa pengetahuan esoterik itu secara esensial identik dengan pengetahuan tuhan ,karena memang itu datangnya dari tuhan jadi apa yang diberikan oleh tuhan itu, itulah yang diterima oleh para sufi, atau para wali karena itu apa yang dia terima itu persis seperti apa yang dioberikan dari tuhan, kemudian yang ketujuh ciri pengetahuan esoterik itu tidak bisa dilukiskan, tidak bisa digambarkan maka itu para sufi sering menggunakan simbol-simbol, misalnya para sufi menggunakan simbol-simbol untuk melukiskan hubungan antara tuhan dengan alaam.

Seperti lautan dengan ombak atau matahari dengan cahayanya, pelangi dengan warna-warnanya, itu hanya sekedar simbol, kita harus memahami bahwa simbol itu bukan realitas tetapi ia menunjukkan sesuatu yang dibalik dirinya, dan simbol itu hanya sekedar alat untuk menjelaskan tetapi bukan hakikat itu sendiri, bukan real;itas itu sendiri, mengapa para fuqoha sering menghantam para sufi itu karena memang gak memahami simbol-simbol, diartika secara harfiah, diartikan secara literal, ya gak ketemu, padahal para sufi yang dimaksud gak seperti itu, jadi para sufi itu punya bahasa sendiri sedangkan fuqoha itu juga punya bahsajadi kalau fuqoha itu dipahamj dengan bahsa sufi ya gak ketemu, sama halnya juga kalau kita ingin memahami sastra kita harus memahami bahasa sastra.

Sekarang karakteristik yang terakhir, melalui pengetahuan itu para mistikus memperoleh tentang pengetahuan yang sempurna tentang Tuhan, tadikan sudah dikatakan bahwa pengetahuan yang sempurna tentang tuhan pengetahua yang emmadukan akal dengan imajinasi, atau juga bisa dikatakan pengetahuan yang sempurna tentang tuhan itu adalah pengetahuan intuitif, atau pengetahuan esoteris, yang dicapai melalui kalbu, karena pengetahuan seperti ini memadukan antara tasbih dan tanjih bukan hanya salah satu diantara keduanya kelemahan akal bahwa akal itu hanya mampu kepada tanjih tidak kepada tasbih pengetahuan yang hanya mengedepankan tasbih adalah pengetahua nyang pincang atau baru separo jadui belum penuh, sedangkan pengetahuan yang sempurna itu dioperoleh melalui kasyaf tadi atau dzauq.

Itu saja yang bisa saya sampaikan mudah-mudahan ini bermanfaat bagi kita semua dan kalau ada pertanyaan saya persilahkan atau komentar.

Moderator : Terimakasih pak Kaustsar, untuk termin pertama saya buka empat penanya.

Pak Amien : Terimakasih pak moderator, yang pertama, dalam diskusi-diskusi sebelumnya kita sudah banyak, teman-teman disini sekarang mulai berpikir bahwa hati itu disini, jadi kalau dulu orang merasa berbesar hati selalu tegang disini, tapi dalam diskusi kita beberapa waktu yang lalu itu ada kecenderungan hati sekarang disini, terutama dalam diskusi psikologi islam, ternyata dalam psikologi terutama dalam ilmu science ternyata ditemukan bahwa fungsi-fungsi yang selama ini kita sebut merasa sakit menderita, itu bukan ibadah tapi itu semua ada diotak.

Belakangan kemudian kita melihat orang menemukan bahwa otak juga ternyata ada otak kiri, otak kanan, apa yang kita sebut rasional thinking disini yang berpikir diferensiasi kemudian menekankan keanekaan itukan lebioh banyak dilakukan olek otak kiri, kemudian yang dimaksud imajiner thinking disini yang berpikir keseluruhan itu sebetulnya otak kanan, jadi bukan dihati, jadi dia ada diotak juga memang yang berdebar debar disini karena itu jantung, tapi sekarangh ini ibnu arabi dengan sangat menyakinkan bahwa akal dan kalbu dapat bertentangan,dalam pendapat-pendapat Ibnu ‘Arabi, jadi kalbu tetap seakan-akan emngatasi akal dalam memahami tuhan terutama.

Saya baca buku mutahari beberapa waktu yang lalu cerita tentang murid ibnu arabi yang bernama Brahmaniar, jadi brahmaniar itu berbicara tentang zaman, lalu dia mengatakan karena zaman itu merupakan bagian dari segala sesuatu dan zaman itu berubah maka segala sesuatu itu berubah, lalu ibnu arabi mengatakan tidak ada yang tidak berubah lalu brahmanian nanya apa yang tidak berubah lalu ibnu arabi tidak menjawab, setelah lama tidak terjadi percakapan Ibnu ‘Arabi berkata ambillah jawabanya apa yang kau tanyakan, kepada siapa saya ambil, kepada yang kau tanya tadi.

Karena yang kau tanya tadi zaman dan zaman sudah berubah dan kau tanya tadi sudah berlalu, nah saya sudah bukan lagi yang tadi.

Dia ingin megatakan kepada muridnya bahwa ada sesuatu yang tidak berubah, saya melihat ibnu arabi juga menggunakan akal dalam hal ini jadi ketika menjelaskan kepada muridnya dia juga menggunakan akal dan dan akal yang diakui sebagai sesuatu yang tidak berubah itu adalah bagian dari ketuhana yang kita sebut tadi bahwa dalam diri manusia, alam itu juga ada sifat ketuhanan, salah satu diskusi yang lalu bahwa akal itu merupakan salah satu karakter tuahn juga ,kita mencarui misalnya dalam teks al Qur’an , kekeliruan akal, berarti akal melakukan kekeliruan.

Bahkan hatilah misalnya yang seirng kotor atau punya penyakit, zuyyida fi qulubihim maradun, memang kemudian yang selalui men ghakimi itu dan yang menang itu adalah yang sudah melewati perjalanan akal, lalu melakukan pensucian hati, lalu mengkritik akal, dan dia enak saja mengatakan bahwa yang menghakimi yang sufi itu pakai akal, padahal akal itu lebih rendah dari seakan-akan orang melewati akal lalu mensucikan punya ilmu yang lebih tinggi dari itu bukan lagi penalaran tapi merasakan, jadi dia mengkleim yang sudah merasakan itu tidak bisq dikritik oleh penalaran oleh akal yang belum merasakan, nah mungkin pertanyaan saya adalah adakah orang yang melakukan perjalaan sebaliknya jadi sudah merasakan tetapi kembali meragukan perasaanya.

Dan yang benar itu adalah akalnya. Karena yang sering kita dengar dari al Ghazali, Ibnu ‘Arabi itu adalah bagaimanapun akal kalah ilmu huduri dan lain sebagainay , mungkin belakangan kita melihat mulla sadra yang dianggap membuat sintesa yang amat harmonis, tapi tidak pernah kita ,mlihat akal kemudian menang diatas itu,

Pak Trisno : saya malah curiga kepada metodologi disini misalnya begini tentang dua hal, antara, kalau kita bicara mengenai sumber pengetahuan, tadi disebut akal. Wahyu, kasyaf dan sebagainya, pada kesempatan ini mletakkan wahyu adalah sumber pengetahuan yang tertinggi, nah itu sebetulnya, bagaimana penarikan kesimpulan seperti itu mnjadi syah, artinya yang perlu dianggap adalah bagaimana sebuah metodologi sehingga melahirkan sebuah kesimpulan seperti itu., bukankah juga sebetulnya kesimpulan seperti itu tanggung jawab akal juga, nah kalau tanggung jawab akal wahyu sebenarnya tanggung jawab akal juga, saya kira agak cocok dengan pak amin tadi , tetapi paling tidak supaya kita bisa berdialog dengan orang luar kkita,bagaimana kita mnjelaskan bahwa wahyu lebih tinggi dari pada, atau gradasi-gradasi ilmu tadi, itu sayakira yang pertama, sayaingat pada Nietzsche misalnya, Nietzsche mengatakan kalau kamu ingin tenang imani saja tetapi kalau kamu ingin kebenaran cari, itu kerja akal, jadi berbeda antara ketenangan, apa yang disebut keimanan, ilmu huduri dan sebagainya , tidak identik dengan kebenaran, atau tidak identik dengan tinggi sumber pengetahuan tadi, itulah yang kedua, dan yang ketiga tadi pengertian hadir, hadir selalu dijelaskan dalam analogi yang non spiritual misalnya, tetapi dalam analogi –analogi yang pisikal, itu bagaimana juga kita menjelaskan hadir dalam pengertian spiritual, terimakasih.