• Mulai
  • Sebelumnya
  • 19 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Pengunjung: 2329 / Download: 727
Ukuran Ukuran Ukuran
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (7)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (7)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

sejarah islam

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah

by: O. Hashem

Jakarta

2004

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM

“Wahai orang­orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar­benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Al­Qur’an

Surah An­Nisa’: 135

Prakata Penulis

Buku‘Saqifah’ cetakan keempat oleh Yapi ini bertambah tebal hampir dua kali lipat dibandingkan cetakan sebelumnya. Kritik­kritik tertulis dalam bentuk buku dan artikel di beberapa majalah maupun kritik lisan dalam diskusi­diskusi khusus untuk membicarakan buku ini, memaksa penulis melengkapinya.

Pembaca dapat langsung mengikuti peristiwa Saqifah dengan meloncat ke bab 2; ‘Sumber’.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada penulis ahli sejarah Islam Al Allamah, Habib Zainal 'Abidin bin Husain Al Muhdhar atas kebaikannya meminjamkan buku­buku yang sukar didapat.

Demikian juga kepada Ustadz Ahmad bin Abdurrahman Al Aydrus, seorang ahli sastra yang juga memberikan buku­buku yang penulis butuhkan. Juga kepada kawan yang penulis cintai Wancik Cherid yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini. Penulis juga berhutang budi kepada banyak teman­teman yagg tidak mungkin penulis sebut satu demi satu.

Akhirnya kepada isteri penulis Hadijah yang dengan sabar membaca dan memberi catatan­catatan pada naskah buku ini.

Tanpa semua ini buku ini tidak mungkin ada.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah.

Penerbit

Bab 11. Abu Bakar dan Fatimah

Seperti diketahui, Fathimah az­Zahra’, putri Rasul, juga digelari Sayyidatunnisa’ al­mu’minin[1] , salah seorang dari empat wanita sempurna, wanita utama dan wanita teladan. Tiga yang lainnya ialah ‘Asiyah istri Fir’aun[2] , Mariam binti Imran; ibu ‘Isa as, dan Khadijah Al­Kubra; istri Nabi Muhammad saw, ibu dari Fathimah ra.

Rasul Allah saw pernah bersabda: “Fathimah dari diri saya, barangsiapa membuat Fathimah marah, atau mengganggunya, menghalangi atau membohonginya, sama seperti ia melakukannya terhadap saya, dan mencintainya sama seperti ia mencintai saya”.[3] Fathimah telah terlibat dalam perdebatan dengan Abu Bakar, sedemikian hebatnya, sehingga ia menyatakan kemarahannya kepada Abu Bakar dan Umar, serta tidak mau lagi berbicara dengan mereka selama sisa hidupnya. Fathimah bahkan berpesan agar ia dikuburkan secara diam­diam pada tengah malam, dan tidak boleh dihadiri oleh Abu Bakar maupun Umar.

Itulah sebabnya, tatkala Fathimah meninggal enam bulan kemudian, ia telah dikuburkan pada malam hari oleh Ali, keluarga Banu Hasyim serta sahabat­sahabat Ali seperti Salman al­Farisi, Miqdad, Abu Dzarr al­Ghifari dan ‘Ammar bin Yasir. Ali bin Abi Thalib mengimami sholat jenazah.[4]

Fathimah berpendapat bahwa Abu Bakar telah bertindak secara berlebihan dengan meninggalkan jenazah Rasul karena kepergiannya ke Saqifah Bani Saidah; ia pun telah bertindak kelewat batas dengan memerintahkan penyerbuan rumah Fathimah. Fathimah telah menyatakan kemarahannya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan berbicara baik­baik lagi kepada Umar dan Abu Bakar.

Malah Fathimah berpendapat bahwa Abu Bakar telah merebut kekuasaan secara tidak sah. Ia telah pergi bersama Ali mendatangi rumah­rumah kaum Anshar, dan mengajak mereka agar mau membaiat kepada Ali. Kaum Anshar yang didatangi Fathimah menunjukkan penyesalan mereka dan menyayangkan tidak hadirnya Ali di Saqifah, dan mereka telah terlanjur membaiat Abu Bakar.

Fathimah sendiri membenarkan keterlambatan Ali bertindak, dengan mengatakan bahwa Ali tidak dapat meninggalkan jenazah Rasul pada saat itu. Hanya empat atau lima orang yang belum membaiat Abu Bakar, sedang Ali mengatakan bahwa ia hanya bertindak melawan Abu Bakar apabila ada empat puluh orang, sebagaimana dikatakannya pada Abu Sufyan.[5]

Jauhari menulis:

“Tatkala Fathimah melihat apa yang mereka lakukan terhadap Ali dan Zubair ia lalu berdiri dan berkata di depan pintu rumahnya: ‘Ya Abu Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasul Allah, demi Allah aku tidak akan berbicara dengan Umar sampai aku menemui Allah”.[6]

Dan dalam riwayat lain lagi:

“Fathimah keluar sambil menangis, berteriak­teriak kemudian terisak­isak karena berusaha menahan tangis di depan orang­orang!”.[7]

Ya’qubi menulis:

“Fathimah keluar dan berkata: ‘Demi Allah, kamu keluar dari sini! Kalau tidak aku akan membuka tutup kepalaku dan aku akan berteriak mengadu kepada Allah!’ Maka mereka pun keluar dan keluar pulalah orang­orang yang ada dalam rumah.”[8]

Mas’udi:

“Tatkala Abu Bakar dibaiat di Saqifah dan diulangi lagi hari ke tiga, Ali keluar menemui mereka dan berkata: ‘Anda menggagalkan wilayah kami, tidak bermusyawarat dengan kami dan tidak menghormati hak kami!’ Dan Abu Bakar menjawab: ‘Tetapi aku takut akan fitnah!’[9]

Ya’qubi:

“Dan sekelompok orang berkumpul kepada Ali bin Abi Thalib dan mereka memintanya agar ia mau dibaiat dan Ali berkata kepada mereka: ‘Kembalilah kamu besok pagi dengan kepala dicukur!’ Dan yang kembali hanyalah tiga orang.”[10]

Kemudian Ali membawa Fathimah menunggang keledai malam hari ke rumah­rumah kaum Anshar. Ali memohon bantuan mereka dan Fathimah meminta kaum Anshar agar membantu Ali dan mereka berkata: ‘Ya puteri Rasul Allah, kami telah membaiat lelaki itu, bila anak pamanmu (Ali, pen.) lebih dulu mendatangi kami dari Abu Bakar, maka kami tidak akan ragu membaiatnya.[11]

Sepuluh hari setelah Abu Bakar dibaiat di Saqifah, Fathimah mendatangi Abu Bakar untuk menagih Fadak, sebidang kebun di luar kota Madinah, yang oleh Fathimah dikatakan telah diberikan Rasul kepadanya tatkala beliau masih hidup.[12]

“Dan apa saja harta rampasan (fai­i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

“Apa saja harta rampasan (fai­i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota­kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak­anak yatim, orang­orang miskin dan orang­orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang­orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.

Suyuthi dalam ad­Durru’l­Mantsur, tatkala menafsirkan ayat

“Berikan kepada kerabat haknya...”, (Surat al­Isra’, 26), mengatakan bahwa tatkala ayat tersebut turun, Rasul memanggil Fathimah dan memberikan Fadak kepadanya.

Riwayat ini berasal dari Abu Sa’id; Muttaqi al­Hindi, dalam Kan­zu’l­’Ummal, jilid 2, hlm. 108 mengatakan hal yang sama. Demikian juga al­Hakim dan Ibnu an­Najjar, dan adz­Dzahabi dalam bukunya Mizan al­Itidal, jilid 2, hlm. 207.

Tuntutan Fathimah kepada Abu Bakar menyangkut tiga hal:

Pertama hibah atau pemberian Rasul Allah, berupa kebun Fadak.

Kedua Sahm dzil Qurba (bagian ‘zakat’ untuk keluarga Rasul, berupa khumus) seperti disebut dalam Al­Qur’an.

Ketiga adalah warisan dari Rasul.

Dan Abu Bakar menolak ketiganya.

Abu Bakar meminta saksi babwa Rasul telah menghibahkan kebun Fadak itu kepada Fathimah.

Fathimah pun membawa Ummu Aiman, yang oleh Rasul disebut sebagal lbu beliau yang kedua sesudah ibu kandung beliau Aminah.[13] Fathimah juga membawa Ali bin Abi Thalib sebagai saksi yang kedua. Namun Abu Bakar menolak kesaksian ini dengan mengatakan bahwa kesaksian hanya dianggap sah apabila terdiri dari dua laki­laki atau seorang laki­laki dan dua orang perempuan.[14]

Fathimah menjadi sangat marah atas jawaban Abu Bakar ini. Apabila Khuzaimah bin Tsabit disebut Rasul sebagal dzusy­syahadatain atau orang yang kesaksiannya dianggap sebagai kesaksian dua orang, maka kesaksian Ali yang dipandang sebagai saudara Rasul seharusnya sudah lebib dari cukup.[15]

Dalam kedudukan sebagai wanita utama kaum mu’minin, dapatlah dipahami betapa terpukulnya perasaan Fathimah.

Penolakan Abu Bakar untuk menyerahkan kebun Fadak ­­­yang dianggap Fathimah sebagai milik pribadinya, pemberian almarhum ayahnya selagi beliau masih hidup­ menyebabkan Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar untuk meminta bagian warisan dari Fadak dan seperlima dari kebun Khaibar, yang menjadi milik Rasul, ayah Fathimah, sebelum wafat beliau. Para istri Rasul pun, kecuali Aisyah, mewakilkan kepada Utsman bin ‘Affan untuk menuntut hak yang sama. Permintaan ini pun ditolak oleh Abu Bakar yang mengatakan baliwa ia pernah mendengar Rasul Allah berkata bahwa­­­para Nabi tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah sedekah”.[16]

Maka terjadilah perdebatan yang hangat dan mengharukan. Al­Jauhari memuat perdebatan itu secara lengkap dalam Saqifah. Marilah kita ikuti catatan Jauhari:

“Dan tatkala sampai kepada Fathimah bahwa Abu Bakar menolak haknya atas Fadak, maka Fathimah lalu memakai jilbabnya dan datanglah ia mengahadap Abu Bakar, disertai para pembantu dan kaum wanita Banu Hasyim yang mengikutinya dari belakang. Fathimah berjalan dengan jejak langkah seperti jejak langkah Rasul. Ia lalu memasuki majelis yang dihadiri Abu Bakar dan penuh dengan kaum Muhajirin dan Anshar. Fathimah membentangkan tirai antara dia dan kaum wanita yang menemaninya di satu sisi, dan majelis yang terdiri dari kaum pria pada sisi lain. Ia masuk sambil menangis tersedu, dan seluruh hadirin turut menangis. Maka gemparlah pertemuan itu.

Setelah suasana makin tenang, Fathimah pun bicara: “Saya mulai dengan memuji Allah Yang Patut Dipuji. Segala Puji bagi Allah atas segala nikmat­Nya, dan terhadap apa yang diberikan­ Nya...” dan setelah mengucapkan khotbahnya yang sungguh indah, ia lalu berkata:

(Fathimah): “Apabila Anda mati, wahai Abu Bakar, siapakah yang akan menerima warisan Anda?’

Abu Bakar: “Anakku dan keluargaku.”

Fathimah: “Mengapa maka Anda mengambil warisan Rasul yang menjadi hak anak dan keluarga beliau?”

Abu Bakar: “Saya tidak berbuat begitu, wahai putri Rasul.”

Fathimah:

“Tetapi Anda mengambil Fadak, hak Rasul Allah yang telah beliau berikan kepada saya semasa beliau masih hidup...

Apakah Anda dengan sengaja meninggalkan Kitab Allah dan membelakanginya, serta mengabaikan firman Allah yang mengatakan, ‘Sulaiman menerima warisan dari Dawud’[17] , dan ketika Allah mengisahkan tentang Zakaria[18] Serta firman Allah, Dan keluarga sedarah lebih berhak waris mewarisi menurut Kitab Allah’?.[19]

“Nabi itu lebih utama bagi orang­orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri­isterinya adalah ibu­ibu mereka, dan orang­orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris­mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang­orang mukmim dan orang­orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara­saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab.”

Dan Allah berwasiat, ‘Bahwa anak laki­lakimu mendapat warisan seperti dua anak perempuan’.[20]

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak­anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu­ bapa, bagi masing­masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu­ bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian­pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak­anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dan firman Allah;

Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta, bahwa ia membuat wasiat bagi kedua orang tua dan keluarganya dengan cara yang baik, itu adalah kewajiban bagi orang­orang yang bertakwa ”.[21]

Apakah Allah mengkhususkan ayat­ayat tersebut kepada Anda dan mengecualikan ayah saya daripadanya? Apakah Anda lebih mengetahui ayat­ayat yang khusus dan umum lebih dari ayah saya dan anak pamannya?[22]

Apakah Anda menganggap bahwa ayah saya berlainan agama dengan saya, dan oleh karena itu maka saya tidak berhak menerima warisan?[23]

Diriwayatkan bahwa setelah perdebatan ini Abu Bakar lain menulis surat yang berisi penyerahan Fadak kepada Fathimah tetapi disobek oleh Umar.[24] Ibnu Qutaibah menceritakan kepada kita pertemuan yang agaknya merupakan pertemuan yang terakhir antara Abu Bakar dan Fathimah az­Zahra’. Marilah kita ikuti:

“Umar bin Khaththab berkata kepada Abu Bakar: “Marilah kita pergi kepada Fathimah; sesungguhnya kita telah menyakiti hatinya’. Maka keduanya pun pergi kepada Fathimah, dan lalu memohon kepada Ali bin Abi Thalib, lalu Ali memperkenankan mereka masuk ke rumah.

“Tatkala keduanya duduk dekat Fathimah, Fathimah memalingkan wajahnya ke arah dinding rumah. Salam Abu Bakar dan Umar tidak dijawabnya.

Fathimah kemudian berkata: ‘Apakah Anda mau mendengar apabila saya katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasul Allah saw yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?’

Keduanya menjawab: ‘Ya’.

Kemudian Fathimah berkata: ‘Apakah Anda tidak mendengar Rasul Allah saw bersabda, ‘Keridaan Fathimah adalah keridaan saya, dan kemurkaan Fathimah adalah kemurkaan saya. Barangsiapa mencintai Fathimah, puteriku, berarti mencintai saya; dan barangsiapa membuat Fathimah murka, berarti ia membuat saya murka’?

Mereka berdua menjawab: ‘Ya, kami telah mendengarnya dari Rasul Allah saw’.

Fathimah berkata: ‘Aku bersaksi kepada Allah dan malaikat­malaikat­Nya sesungguhnya kamu berdua telah membuat aku marah dan kamu berdua tidak membuat aku rida. Seandainya aku bertemu dengan Nabi saw, aku akan mengadu kepada beliau tentang kamu berdua.

Abu Bakar berkata: ‘Sesungguhnya saya berlindung kepada Allah dari kemurkaan­Nya dan dari kemurkaan Anda, wahai Fathimah’.

Kemudian Abu Bakar menangis, hampir­hampir jiwanya menjadi goncang.

Fathimah lain berkata: ‘Demi Allah, selalu saya akan mendoakan kejelekan terhadap Anda dalam setiap sholat saya’.

Kemudian Abu Bakar keluar sambil menangis...[25]

Tidak ada orang yang dapat menyangkal bahwa perkebunan Fadak tersebut memang milik Rasul yang diserahkan oleh Banu Nadhir[26] Umar bin Khatthab sendiri mengakuinya[27] , dan tidak dapat disangkal pula bahwa Rasul telah memberikannya kepada putri beliau Fathimah tatkala beliau masih hidup.

Suatu hal yang sering dipertanyakan orang adalah keanehan sikap Abu Bakar, yang memenuhi tuntutan orang lain tanpa meminta saksi. Diriwayatkan, Jabir bin ‘Abdillah al­Anshari mengatakan bahwa Rasul Allah telah menjanjikan, apabila tiba rampasan perang dari Bahrain, Rasul akan mengizinkan dia mengambil sesuatu dari harta rampasan itu, tetapi harta rampasan itu baru tiba setelah Rasul wafat. Tatkala Abu Bakar menjadi khalifah, tibalah barang tersebut. Khalifah Abu Bakar membuat pengumuman bahwa barangsiapa hendak menuntut janji Rasul Allah, supaya dating kepadanya. Maka Jabir pun datang kepadanya dan mengatakan bahwa Rasul telah berjanji akan memberikan semua barang yang katanya telah dijanjikan itu.[28]

Dari pengalaman Jabir ini, para ulama seperti Syihabuddin Ahmad bin Ali al­Atsqalani asy­Syafi’i, dan Badruddin Mahmud bin Ahmad al­Aini al­Hanafi, menulis: “Dari peristiwa ini dapat diambil kesimpulan bahwa kesaksian seorang Sahabat saja sudah cukup dianggap sebagai kesaksian yang sempurna, sekalipun kesaksian ini untuk kepentingan pribadi sendiri, karena Abu Bakar tidak meminta jabir untuk mengajukan saksi sebagai bukti atas tuntutannya.”[29]

Dan setelah Abu Bakar menolak kesaksian Fathimah dan Ali, Fathimah mendatangi Abu Bakar sambil berkata: “Kalau Anda tidak setuju bahwa Rasul telah memberikan Fadak kepada saya, sekurang­kurangnya Anda tidak dapat menyangkal bahwa Fadak dan sebagian dari Khaibar adalah milik pribadi Nabi, dan saya adalah pewaris beliau.” Abu Bakar lalu menjawab, ‘Para Nabi tidak mewariskan, dan apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah.” Adalah suatu hal yang menarik bahwa Abu Bakar merupakan satu­satunya orang yang membawa sabda Nabi tersebut. Dan ini pun bertentangan dengan ayat Al­Qur’an. Ada riwayat lain yang disampaikan Abu Bakar Jauhari yang terjadi di zaman Umar bin Khaththab: “Telah disampaikan kepada kami oleh Abu Zaid yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Abi Syaibah yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyub dari ‘Ikramah dari Malik bin Aus, dua buah riwayat: Abbas dan Ali datang kepada Umar dan Abbas berkata: ‘Berikanlah keputusan hukum antara aku dan yang ini (Ali, pen.), tentang (harta peninggalan Rasul) ini dan itu!’, yaitu harta yang mereka pertengkarkan. Maka orang­orang berkata: ‘Bagilah antara mereka berdua!’ Umar menjawab: ‘Aku tidak akan membagi untuk mereka berdua! Kita telah mengetahui bahwa Rasul Allah saw bersabda: ‘Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah!’. Tetapi Ibn Abil­Hadid menulis dengan tepat tentang hadis ini: Ini musykil, karena yang mereka perebutkan sebenarnya bukanlah warisan harta tetapi wilayah atau pemerintahan yang ditinggalkan Rasul Allah saw dan bukan harta warisan!

Dan bagaimana mungkin mereka menuntut harta warisan itu andaikata mereka telah mendengar hadis tersebut dari Rasul dan mereka juga mengetahui sejak dulu bahwa Abu Bakar telah menolak tuntutan Fathimah dengan menyampaikan hadis bahwa Rasul telah bersabda: ‘Kami para Nabi tidaklah mewariskan!’

Ada lagi riwayat lain dari Abu Bakar Jauhari: ‘Telah disampaikan kepada kami oleh Abu Yazid yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Yahya bin Katsir Abu Khassan yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Su’bah bin Umar bin Murrah dari Abi Bakhtari yang berkata: Ali dan Abbas datang kepada Umar tatkala keduanya sedang bertengkar (mengenai warisan Rasul), dan Umar berkata kepada Thalhah (bin ‘Ubaidillah, pen.), Zubair (bin ‘Awwam, pen.), ‘Abdurrahman (bin ‘Auf, pen) dan Sa’d (bin Abi Waqqash, pen.): ‘Aku ajukan pertanyaan kepadamu dengan nama Alah, tidakkah kamu mendengar bahwa Rasul Allah saw bersabda: ‘Setiap harta Nabi adalah sedekah kecuali yang untuk memberi makan keluarganya. Dan bahwa kami tidak mewariskan!’ Dan mereka menjawab: ‘Betul!’ Dan Umar berkata: ‘Dan Rasul Allah menyedekahkannya. Kemudian setelah Rasul Allah wafat dan Abu Bakar memerintah selama dua tahun dan dia telah memperlakukannya sama seperti yang dilakukan Rasul Allah saw!’ Dan mereka berdua (Abbas dan Ali, pen) berkata: ‘Kami berdua telah salah dan telah berlaku zalim dalam hal ini!’

Dan Ibn Abil­Hadid berkata tentang riwayat ini: ‘Ini juga musykil, karena kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa hadis (Kami tidak mewariskan) ini hanya disampaikan oleh Abu Bakar seorang diri, sedang ahli­ahli asal usul fiqih menolak berhujah dengan hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang Sahabat. Dan tokoh kita Abu Ali mengatakan: ‘Jangan lah diterima suatu riwayat kecuali disampaikan oleh dua orang, seperti keadaannya pada saksi!.

Riwayat serupa disampaikan juga oleh Bukhari dan Muslim. Malah Abu Hurairah juga ikut meriwayatkan hadis ‘Kami para Nabi tidak mewariskan!’ yang tentu saja tidak dapat diterima oleh kebanyakan ahli seperti Ibn Abil Hadid, karena Abu Hurairah meriwayatkan apa saja yang ia dengar dari para sahabat, tabi’in malah dari orang­orang seperti Ka’b Ahbar dan Hurairah memberi kesan seakan­akan ia mendengar lansung dari Rasul Allah. Lihat kata pengantar buku ini.

Bagaimana mungkin suatu peristiwa sejarah yang panjang dan jelas akan dibuang begitu saja dengan penyisipan sebuah riwayat yang musykil seperti itu untuk membela kesaksian satu orang seperti Abu Bakar yang jelas bertentangan dengan Al­Qur’an. Al­Qur’an jelas menyebutkan bahwa para Nabi juga memiliki harta pribadi dan juga mewariskan. Dan hadis Abu Bakar ini sukar dipahami, sebab sejarah mencatat bahwa melalui Fathimah sebagai penerima warisan Ali mendapatkan pedang, bagal, sandal dan serban Rasul Allah. Juga para isteri Rasul seperti Aisyah mewarisi rumah­rumah dengan segala isinya. Sedang Abu Bakar mengatakan bahwa Rasul Allah bersabda: ‘Kami tidak mewariskan!’ dan bukan: ‘Kami tidak mewariskan ini atau itu!’ Demikian juga keluarga Rasul yang tetap menyampaikan tuntutannya sampai masa sesudah Umar meninggal seperti tercatat dalam sejarah.

Dan andaikata Ali mendengar ucapan “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah!” dari Rasul Allah saw maka tidak mungkin ia membiarkan isterinya pergi ke masjid dan menuntut Abu Bakar di depan jemaah masjid. Memang sukar dipahami bahwa Rasul Allah saw menyampaikan hadis tersebut kepada orang lain dan tidak memberitahukan kepada anak isterinya yang justru berkepentingan dengan warisan tersebut. (Lihat Ibn Abil­Hadid, Syarh Nahjul­Balaghah, jilid, 12, hlm. 220­229).

Fathimah memang memerlukan Fadak untuk keperluan keluarga. Suaminya, Ali bin Abi Thalib terkenal sebagai orang yang tidak memiliki apa­apa. Dari keluarga Banu Hasyim, hanya Abbas, paman Rasul yang pedagang itu yang berharta­ Mertua Fathimah, Abu Thalib, begitu miskinnya, sehingga diberikannya anaknya Thalib untuk dipelihara oleh Abbas; Ja’far diserahkannya kepada Hamzah, sedang Ali diserahkannya kepada Muhammad saw. Hanya ‘Aqil yang tetap dipelihara oleh Abu Thalib.

Tatkala Utsman menjadi khalifah, ia memberikan kebun Fadak kepada Marwan bin Hakam, sepupunya. Ibn Abil­Hadid mengatakan bahwa Marwan menjual hasil Fadak ­paling sedikit­ sepuluh ribu dinar setahun.

Pada zaman Mu’awiah, anggota dinasti Banu ‘Umayyah yang pertama ini membagi­bagikan penghasilan kebun itu: sepertiga untuk Marwan, sepertiga untuk ‘Amr bin Utsman bin ‘Affan, dan sepertiga untuk anaknya Yazid. Ya’qubi menulis, “Untuk menyakitkan keluarga Nabi”.

Pada waktu Marwan menjadi khalifah, ia memberikan Fadak kepada kedua orang putranya, ‘Abdul Malik dan ‘Abdul Aziz. ‘Abdul ‘Aziz kemudian memberikan bagiannya kepada anaknya, Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.

Tatkala Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi khalifah menjelang akhir abad pertama hijriah, kebun itu dikembalikannya kepada keturunan Rasul. Khalifah yang saleh itu berkata: “Saksikanlah, saya mengembalikannya kepada pemilik yang aslinya.”

Tatkala Yazid bin ‘Abdul Malik berkuasa, ia mengambil lagi Fadak dari ahlu’lbait Nabi. Khalifah pertama Banu Abbas, ‘Abdul Abbas Abdullah ash­Shaffah mengembalikan lagi Fadak kepada anak cucuk Fathimah. Khalifah Abu Jafar Abdullah al­Manshur mengambilnya kembali dari anak cucu Fathimah. Muhammad al­Mahdi Ibnu at­Manshur, tatkala menjadi khalifah, menyerahkan lagi Fadak kepada keturunan Fathimah. Musa al­Hadi, al­Mahdi, dan saudaranya Harun al­Rasyid mengambilnya kembali. Ja’far al­Mutawakkil merebut Fadak dengan kekerasan. Anaknya, Muntasir, yang menggantikannya sebagai khalifah, menyerahkan lagi kebun Fadak itu kepada ahlu’l­bait Rasul, keturunan Fathimah, kemudian direbut kembali. Pada akhir hayatnya, Abu Bakar menyatakan penyesalannya atas pengepungan rumah Fathimah, dan tidak diserahkannya Fadak kepada putri Rasul itu.[30] Tetapi, peristiwa Fadak hanyalah suatu akibat dari perebutan kekuasaan setelah wafatnya Rasul Allah saw, barangkali, suatu arena pertempuran antara agama dan kekuasaan.

Ibn Abil­Hadid bercerita:

“Suatu ketika aku bertanya kepada Syaikh Ali bin al­Fariqi, guru besar ‘al­Madrasah al­ Maghribiyah’ di Baghdad:

‘Apakah Fathimah jujur dan berkata benar?’

Ia menjawab: ‘Ya’.

Aku melanjutkan:

‘Kalau begitu mengapa Abu Bakar tidak memberikan Fadak kepadanya sedang ia berkata benar?’.

Ia tersenyum dan berkata dengan lembut, tanpa prasangka, meyakinkan, penuh hormat dan bersungguh­sungguh:

‘Bila Abu Bakar menyerahkan Fadak kepadanya hari ini, untuk memenuhi tuntutannya, maka ia akan kembali besok dan menuntut kekhalifahan bagi suaminya, Ali bin Abi Thalib, yang akan menggoyahkan kedudukan Abu Bakar sebagai khalifah. [31] Dengan sendirinya Abu Bakar tidak dapat menolak dan harus konsisten pada pendirian bahwa Fathimah jujur dan berkata benar. Dan dengan demikian ia juga tidak akan minta Fathimah membawa bukti maupun saksi­saksi. Kata­kata ini benar, biarpun disampaikan dengan senda gurau.

Bab 12. Reaksi Terhadap Saqifah

Fadhl bin Abbas dan ‘Utbah bin Abi Lahab

Yaqubi meriwayatkan pidato Fadhl bin Abbas: “Setelah orang­orang keluar dari rumah Rasul, Fadhl bin Abbas berdiri dan berseru kepada kaum Quraisy: ‘Kamu tidak berhak menegakkan kekhalifahan dengan kepalsuan! Kami adalah ahlinya dan bukan kamu. Sahabat kami Ali lebih pantas untuk kekhalifahan ini dari kamu’.

Kemudian ‘Utbah bin Abu Lahab membaca sajaknya:

Tak terlintas di akal hak Banu Hasyim akan di alihkan

Tidak juga kusangka mereka akan tinggalkan Abul Hasan,

Paling tahu akan Al­Qur’an dan Sunnah

Paling awal mengikuti Rasul Allah

Dan yang terakhir meninggalkan jenazah

Untuk menolong Ali, memandikan dan mengafan

Malaikat turun ke tempat peristirahatan

Di kaum ini, tiada yang sebaik ayah Hasan’.

Ali mengirim utusan dan mengingatkan ‘Utbah agar berhenti membacakan syairnya, dan Ali berkata: ‘Keselamatan umat lebih kami inginkan dari hal­hal lain’.[32]

Salman al­Farisi

Jauhari dalam Saqifah meriwayatkan bahwa Salman, Zubair dan kaum ‘Anshar ingin membaiat Ali setelah Rasul wafat. Dan tatkala mengetahui bahwa Abu Bakar telah dibaiat, Salman berkata:

“Kamu mendapat sedikit dan membuat kesalahan besar”

Dan di bagian lain: “Kamu memilih orang tua, dan membuat kesalahan kepada Ahlu’l­bait Nabimu. Bila saja kamu menyerahkan kekhalifahan kepada mereka, tidak akan ada dua orang yang berselisih paham dan kamu akhirnya akan menikmatinya juga.”[33]

Baladzuri mencatat: “Kardaz atau Na kardaz, lihat apa yang kamu lakukan, andaikata kamu membaiat Ali, kamu akan menikmatinya dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka”.[34]

Ummu Misthah binti Utsatsah

“Tatkala penolakan Ali terhadap pembaiatan Abu Bakar bertambah dan Abu Bakar serta Umar bertambah keras menentang Ali, Ummu Misthah, puteri Utsatsah, pergi kekuburan Nabi dan bersyair:

Kericuhan sesudahmu, telah dimulai,

Andai engkau ada, tentu terlerai,

Kehilangan engkau, bak kehilangan bumi dan unta,

Umat merosot, aku saksikan dengan mata”[35]

Abu Dzarr

Ia tidak berada di Madinah tatkala Rasul Allah wafat, tetapi tatkala ia kembali dan mendengar Abu Bakar diangkat jadi khalifah, ia berkata: Kamu mendapat sekerat, dan meninggalkan kerabat. Bila kamu mendukung tuntutan Keluarga Rasul untuk menduduki kekhalifahan itu, kamu akan mendapat keuntungan lebih besar, dan tidak akan ada dua orang yang berselisih di antara umat”.[36]

Dan Yaqubi meriwayatkan:

Ali bin Abi Thalib adalah pengemban wasiat Muhammad dan pewaris ‘ilmunya. Wahai umat yang kebingungan ditinggalkan Nabinya! Andaikata kamu mendahulukan orang yang didahulukan Allah dan mengakhirkan orang yang diakhirkan Allah dan menempatkan perwalian (wilayah) dan pewarisan (wiratsah) kepada ahlu’l­bait Nabimu, kamu akan makan dari atas kepala dan dari bawah kaki mereka. Maka mengapa kamu menindas Wali Allah?

Tidak boleh mengalihkan keutamaan yang diberikan Allah! Tidak boleh berselisih mengenai Hukum Allah! Sedang mereka paling memahami Kitab Allah serta Sunnah Nabi­Nya. Sejauh apa yang kamu lakukan, akan kamu rasakan! Perhatikanlah! Mereka yang zalim akhirnya akan tahu juga!”[37]

Miqdad[38]

Ia bergabung dengan keluarga Al­Aswad bin Abd Yaghuts Az­Zuhri dan dia diberi nama keluarga Aswad, sehingga namanya jadi Al­Miqdad bin Al­Aswad Al­Kindi. Tatkala turun ayat “Panggillah mereka dengan (nama­nama) ayah mereka” (QS. Al­Ahzab: 5) dia lalu dipanggil sebagai Miqdad bin ‘Amr. Meninggal tahun 33 H/654 M. Ia bereaksi tatkala Abu Bakar dibaiat.

Ya’qubi mencatat dalam Tarikh­nya dari seorang yang melihat seorang laki­laki di Masjid Madinah, dalam keadaan cemas seperti baru dirampok kekayaannya. Lelaki itu sedang berkata: “Aneh, kedudukan itu telah diambil dari orang yang paling berhak!”[39]

Seorang Wanita dari Banu Najjar

Setelah Abu Bakar jadi khalifah, ia mengirim uang kepada beberapa wanita kaum Muhajirin dan Anshar. Zaid bin Tsabit membawa bagian seorang wanita Banu Najjar, tapi ia menolak dan berkata:

‘Abu Bakar ingin membeli agama kita dengan sogokan’.

Abu Sufyan

Ia adalah Sakhr bin Harb, anak Umayyah, anak ‘Abdu Syams, anak ‘Abdul Manaf. Ia memerangi Rasul Allah sampai Pembukaan Makkah dan Rasul memberikan pengampunan kepadanya. Pada waktu Rasul Allah wafat, ia tidak berada di Madinah. Tatkala kembali ke Madinah, Abu Sufyan mendengar bahwa Rasul Allah telah wafat dan Abu Bakar telah diangkat menjadi khalifah.

Dalam Iqd al­Farid dan Abu Bakar al­Jauhari dalam bukunya Saqifah yang diriwayatkan oleh Ibn Abil­Hadid: “Rasul Allah saw wafat, dan Abu Sufyan tidak berada di Madinah. Ia berada di Mas’at, melakukan tugas sebagai pengumpul zakat yang diberikan Rasul Allah saw. Dan tatkala ia kembali ke Madinah ia bertemu dengan seorang laki­laki di sebuah jalan menuju ke Madinah:

Abu Sufyan: “Muhammad wafat?”

Jawab: “Ya!”

Abu sufyan: “Dan siapa menggantinya?”

Jawab: “Abu Bakar!”

Abu sufyan: “Dan apa yang dikerjakan dua orang lemah Ali dan Abbas?”

Jawab: “Mereka sedang duduk­duduk saja!”

Abu sufyan: “Demi Allah, aku akan pacu mereka berdua. Aku melihat debu di udara yang hanya dapat dibersihkan dengan hujan darah!”

Setelah sampai ke Madinah ia berkeliling kota sambil membacakan syairnya: Hai Banu Hasyim, jangan biarkan ketamakan orang merugikanmu Terutama Taim bin Murrah atau ‘Adi (Abu Bakar dan Umar.) Kedaulatan Umat dimulai olehmu dan harus kembali kepadamu. Dan tiada yang lebih pantas kecuali ayah Hasan, Ali’.[40]

Menurut Thabari, Abu Sufyan berkata:[41] “Ada debu di udara, demi Allah, hanya hujan darah yang dapat membersihkannya.

Wahai anak­anak Banu ‘Abd Manaf, mengapa Abu Bakar dibiarkan mencampuri urusanmu? Di mana Ali dan Abbas, di mana kedua orang yang lemah itu?”

Kemudian dia berkata kepada Ali. “Ayah Hasan, ulurkan tangan, akan aku baiat Anda!”. Dan Ali menolak. Abu sufyan lalu membaca syair berikut: Hanya keledai, bukan manusia bebas, mau dihina, Dua lambang rasa rendah diri yang tercela adalah Pasak kemah yang ditimpa godam, Unta kafilah yang diberi beban.

Secara historis kedua keluarga ini, Ali dan Abu Sufyan bermusuhan. Kakek Abu sufyan adalah sepupu kakek Rasul Allah saw dan Ali. Kedua keluarga yang sangat berdekatan ini adalah bangsawan Arab yang bersaing untuk mendapatkan kepimpinan bangsa Arab. Abu Sufyan benar tatkala ia mengatakan bahwa barangsiapa menguasai suku Qusay, suku Abu Sufyan dan Ali, mereka akan menguasai bangsa Arab. Pecahnya suku ini menjadi dua, melemahkan kepemimpinan bangsa Arab. Dalam merebut kepemimpinan ini, kakek Muhammad mendapat kemenangan.

Tuntutan Muhammad saw sebagai Nabi, tambah mengguncangkan Banu ‘Umayyah tetapi juga memberi kesempatan kepada Abu sufyan sebagai pemimpin Banu ‘Umayyah untuk menghasut suku­suku bangsa Arab memerangi Muhammad dengan agama barunya. Dua puluh tahun Muhammad diperangi dan berakhir dengan kemenangan Muhammad saw. Tatkala Makkah dibuka, Banu ‘Umayyah masuk Islam karena terpaksa, yang terkenal dengan istilah thula­qa’ (bentuk jamak dari thaliq, yang dibebaskan) tetapi secara tersembunyi permusuhan terhadap Banu Hasyim tetap menjalar seperti api dalam sekam.

Kalau Ali menerima tawaran Abu Sufyan, sejarah mungkin menjadi lain. Mengapa Ali menolaknya? Baru tiga hari yang lalu, tatkala jenazah Rasul masih hangat, rumahnya dikepung oleh kelompok Abu Bakar dan diancam akan dibakar, biarpun putera dan cucu Rasul saw berada di dalam. Baru tiga hari yang lalu ia membantah Abu Bakar dan mengatakan bahwa ia lebih berhak dari Abu Bakar akan kekhalifahan dengan menggunakan argumentasi Abu Bakar sendiri. Ia, bersama keluarganya baru saja menguburkan Rasul, tatkala lawannya masih sedang sibuk menghimpun kekuatan menghadapinya. Dalam suasana seperti itu, Abbas, pamannya menawarkan diri untuk membaiatnya yang berarti juga dukungan terhadapnya dari seluruh keluarga Banu Hasyim. Kemudian Abu Sufyan, pemimpin Banu ‘Umayyah datang menawarkan baiatnya. Sedang ia sendiri tidak mau membaiat Abu Bakar yang baru dilakukannya enam bulan kemudian, setelah Fathimah meninggal.

Abu Sufyan meski telah Muslim, hanya menganggap Muhammad sebagai pemimpin dan tidak lebih dari itu. Misalnya, beberapa waktu kemudian setelah ia membaca syahadat, ia berkata kepada Abbas: “Demi Allah, Ayah Fadhl, kemanakanmu sekarang telah menjadi raja!”. Abbas menjawab: “Ya, Abu Sufyan, ini kerasulan!”. Padahal ia sudah hampir dua puluh tahun memerangi Rasul Allah saw dan mengetahui betul tuntutan Rasul. Abu Sufyan juga tidak peduli, apakah Ali kafir atau Muslim, tetapi sebagai pemimpin Banu ‘Umayyah ia merasa hina dipimpin oleh orang asing. Abbas sendiri baru tiga tahun yang lalu menyelamatkan Abu Sufyan, karena ‘ashabiyah atau kefanatikan suku, seperti diriwayatkan Ibnu Hisyam. “Tatkala Makkah sedang dikepung kaum Muslimin pada malam Pembukaan Makkah, Abbas menyelinap masuk kota dengan menunggang bagal (jenis hewan tunggangan, hasil perkawinan antara keledai dengan kuda, pen.) untuk mengabarkan kaum Quraisy tentang kedatangan Rasul Allah saw dan bahwa kotanya sedang dikepung dan menganjurkan mereka untuk minta pengampunan. Abbas tiba­tiba melihat pemimpin Banu ‘Umayyah itu. Ia sedang memata­matai kaum Muslimin. Melihat Abu Sufyan Abbas beriak: ‘Demi Allah, bila mereka berhasil, engkau akan dipenggal!’ Kemudian Abbas membawanya di atas punggung bagal untuk menghadap Nabi memohonkan perlindungan.

Keduanya lalu menunggangi bagal milik Rasul Allah tersebut. Abbas duduk di depan. Dan tatkala mereka melewati cahaya lampu­lampu kaum Muslimin yang bertebaran, orang­orang berkata: “Lihat, paman Rasul Allah sedang menunggangi bagal Rasul Allah!”. Tatkala bertemu Umar bin Khaththab, Umar melihat Abu Sufyan yang sedang duduk di punggung bagal. Ia berseru: “Musuh Allah! Segala puji bagi Dia yang memungkinkan engkau sekarang berada di tangan kami dan tiada yang akan melindungimu!”, Umar kemudian lari ke Nabi (untuk mendapatkan izin membunuh Abu Sufyan). Tetapi Abbas mempercepat bagalnya mendahului Umar. (Abbas melanjutkan riwayatnya). ‘Dan aku meloncat turun dari bagal dan segera masuk menghadap Rasul Allah saw”.

Umar pun tiba, masuk serta berseru: ‘Ya Rasul Allah, Allah SWT telah memungkinkan Abu Sufyan berada pada kita dan tiada yang menjamin untuk melindunginya! Izinkantah saya memenggal lehernya!” (Abbas melanjutkan riwayatnya). Dan aku berkata: “Saya telah memberikan perlindungan untuknya!”, Umar bersiteguh, tetapi Abbas berkata: ‘Tenanglah Umar, bila Abu Sufyan bermarga ‘Adi bin Ka’b (marga Umar, pen.) engkau tentu tidak akan memaksa membunuhnya! Tapi karena dia bermarga ‘Abdu Manaf, maka engkau mengeluarkan kata­kata keras!”

Tindakan Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan kata­kata Abbas menunjukkan betapa besar ‘ashabiyah bangsa Arab. Abbas tidak menyadari bahwa pembelaannya, terhadap Abu Sufyan, akan membuat tragedi di kemudian hari. Keturunan dua tokoh ini menurunkan Dinasti Banu ‘Umayyah dan Banu Abbas. Dan kedua Dinasti ini memburu keturunan Ali.

Untuk menenangkan Abu Sufyan setelah pembaiatan Abu Bakar, Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk tidak usah menagih sadaqah yang dikumpulkan Abu Sufyan sebagai amil yang diperintahkan Rasul Allah saw yang menyebabkan ia terlambat tiga hari dan tidak menyaksikan wafatnya Rasul Allah. Kemudian Umar mengangkat Yazid, anak Abu Sufyan menjadi gubernur di Syam. Dan akhirnya Umar mengangkat Mu’awiyah, anak Abu Sufyan yang lain untuk menggantikan kakaknya yang kemudian membentuk Dinasti ‘Umayyah. Tindakan Umar ini membuat Abu Sufyan menghentikan protesnya.

Jelaslah sudah bahwa Ali menolak tawaran Abu Sufyan karena mengetahui bahwa tawaran itu didasarkan pada ‘ashabiyah yang justru ingin diberantas dan dikubur Rasul Allah saw.

Khalid bin Said al­Amawi

Khaild bin Sa’id bin ‘Ash bin Umayyah bin ‘Abd Sayms adalah pemeluk ketiga, atau keempat dan ada yang mengatakan yang kelima. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa Khalid lebih dulu memeluk Islam dari Abu Bakar[42] .

Ia termasuk Sahabat yang berhijrah ke Habasyah. Kedua saudaranya ‘Amr dan Aban ditugaskan Rasul Allah sebagai amil (pengumpul zakat) Banu Madzhaj. Dan ia sendiri sebagai pengumpul zakat di Yaman dan tatkala Rasul Allah wafat ia kembali dari tugasnya bersama kedua saudaranya ‘Amr dan Aban. Abu Bakar berkata:

“Apa sebabnya kamu kembali dari tugasmu?’ Tiada seorang pun yang lebih berhak atas tugas dari tugas­tugas yang dibebankan kepada kamu oleh Rasul Allah!”

Mereka menjawab: “Kami, Banu Uhaihah, kami tidak akan bekerja untuk siapa pun setelah Rasul Allah wafat!”[43]

Dan Khalid serta kedua saudaranya ‘Amr dan Aban memperlambat baiat mereka kepada Abu Bakar.

Khalid pada waktu itu berkata kepada Banu Hasyim: “Sesungguhnya, kamulah pohon yang rindang dan terhormat serta berbuah lebat, kami akan mengikutimu!”

Setelah baiat berlalu dua bulan Khalid berkata: “Rasul Allah telah memberi tugas kepadaku, dan ia tidak memecatku sampai wafatnya!”

Dan tatkala ia bertemu Ali bin Abi Thalib dan Utsman ia berkata: ‘Ya Banu ‘Abdu Manaf! Kami tidak menyelesaikan urusanmu dengan sungguh­sungguh, sehingga orang lain memerintah atas dirimu!”.[44]

Dan ia mendatangi Ali dan berkata: “Mari, aku akan membaiatmu! Demi Allah tidak ada manusia yang lebih utama pengganti Rasul Allah dari Anda!’[45]

Setelah Banu Hasyim membaiat, baru Khalid membaiat Abu Bakar.

Kemudian Abu Bakar mengirim Pasukan ke Syam, dan orang pertama yang ditunjuk sebagai pemimpin seperempat pasukan adalah Khalid bin Sa’id. Umar bertengkar dengan Abu Bakar. Ia bertanya: “Engkau mengangkatnya? “Dan Abu Bakar akhirnya memecat Khalid dan menggantinya dengan Yazid bin Abu Sufyan.[46]

Nu’man bin Ajlan

Nu’man bin ‘Ajlan membacakan kasidahnya sebagai jawaban syair ‘Amr bin ‘Ash tentang riwayat Saqifah: Dan kamu katakan Sa’d haram jadi khalifah, Dan ‘Atiq bin Utsman, Abu Bakar, halal, Dan bila Abu Bakar adalah pemegang kuasa yang baik, Maka Ali adalah pemimpin yang terbaik, Cinta kami tertumpah pada Ali, dan orang tentu tahu, Ialah ahlinya, wahai ‘Amr, bagaimana Anda sampai tak tahu, Dengan bantuan Allah dia mengajak kepada tuntunan, Mencegahmu dari yang keji, kelaliman dan kemungkaran, Dialah pengemban wasiat dan sepupu Nabi, namanya terukir, Ia perangi pasukan yang sesat dan kafir, Dan dengan memuji Allah ia menuntun yang buta, Dan membuka pendengaran hati manusia.[47]