Bab 11. Abu Bakar dan Fatimah
Seperti diketahui, Fathimah azZahra’, putri Rasul, juga digelari Sayyidatunnisa’ almu’minin
, salah seorang dari empat wanita sempurna, wanita utama dan wanita teladan. Tiga yang lainnya ialah ‘Asiyah istri Fir’aun
, Mariam binti Imran; ibu ‘Isa as, dan Khadijah AlKubra; istri Nabi Muhammad saw, ibu dari Fathimah ra.
Rasul Allah saw pernah bersabda: “Fathimah dari diri saya, barangsiapa membuat Fathimah marah, atau mengganggunya, menghalangi atau membohonginya, sama seperti ia melakukannya terhadap saya, dan mencintainya sama seperti ia mencintai saya”.
Fathimah telah terlibat dalam perdebatan dengan Abu Bakar, sedemikian hebatnya, sehingga ia menyatakan kemarahannya kepada Abu Bakar dan Umar, serta tidak mau lagi berbicara dengan mereka selama sisa hidupnya. Fathimah bahkan berpesan agar ia dikuburkan secara diamdiam pada tengah malam, dan tidak boleh dihadiri oleh Abu Bakar maupun Umar.
Itulah sebabnya, tatkala Fathimah meninggal enam bulan kemudian, ia telah dikuburkan pada malam hari oleh Ali, keluarga Banu Hasyim serta sahabatsahabat Ali seperti Salman alFarisi, Miqdad, Abu Dzarr alGhifari dan ‘Ammar bin Yasir. Ali bin Abi Thalib mengimami sholat jenazah.
Fathimah berpendapat bahwa Abu Bakar telah bertindak secara berlebihan dengan meninggalkan jenazah Rasul karena kepergiannya ke Saqifah Bani Saidah; ia pun telah bertindak kelewat batas dengan memerintahkan penyerbuan rumah Fathimah. Fathimah telah menyatakan kemarahannya dengan mengatakan bahwa ia tidak akan berbicara baikbaik lagi kepada Umar dan Abu Bakar.
Malah Fathimah berpendapat bahwa Abu Bakar telah merebut kekuasaan secara tidak sah. Ia telah pergi bersama Ali mendatangi rumahrumah kaum Anshar, dan mengajak mereka agar mau membaiat kepada Ali. Kaum Anshar yang didatangi Fathimah menunjukkan penyesalan mereka dan menyayangkan tidak hadirnya Ali di Saqifah, dan mereka telah terlanjur membaiat Abu Bakar.
Fathimah sendiri membenarkan keterlambatan Ali bertindak, dengan mengatakan bahwa Ali tidak dapat meninggalkan jenazah Rasul pada saat itu. Hanya empat atau lima orang yang belum membaiat Abu Bakar, sedang Ali mengatakan bahwa ia hanya bertindak melawan Abu Bakar apabila ada empat puluh orang, sebagaimana dikatakannya pada Abu Sufyan.
Jauhari menulis:
“Tatkala Fathimah melihat apa yang mereka lakukan terhadap Ali dan Zubair ia lalu berdiri dan berkata di depan pintu rumahnya: ‘Ya Abu Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasul Allah, demi Allah aku tidak akan berbicara dengan Umar sampai aku menemui Allah”.
Dan dalam riwayat lain lagi:
“Fathimah keluar sambil menangis, berteriakteriak kemudian terisakisak karena berusaha menahan tangis di depan orangorang!”.
Ya’qubi menulis:
“Fathimah keluar dan berkata: ‘Demi Allah, kamu keluar dari sini! Kalau tidak aku akan membuka tutup kepalaku dan aku akan berteriak mengadu kepada Allah!’ Maka mereka pun keluar dan keluar pulalah orangorang yang ada dalam rumah.”
Mas’udi:
“Tatkala Abu Bakar dibaiat di Saqifah dan diulangi lagi hari ke tiga, Ali keluar menemui mereka dan berkata: ‘Anda menggagalkan wilayah kami, tidak bermusyawarat dengan kami dan tidak menghormati hak kami!’ Dan Abu Bakar menjawab: ‘Tetapi aku takut akan fitnah!’
Ya’qubi:
“Dan sekelompok orang berkumpul kepada Ali bin Abi Thalib dan mereka memintanya agar ia mau dibaiat dan Ali berkata kepada mereka: ‘Kembalilah kamu besok pagi dengan kepala dicukur!’ Dan yang kembali hanyalah tiga orang.”
Kemudian Ali membawa Fathimah menunggang keledai malam hari ke rumahrumah kaum Anshar. Ali memohon bantuan mereka dan Fathimah meminta kaum Anshar agar membantu Ali dan mereka berkata: ‘Ya puteri Rasul Allah, kami telah membaiat lelaki itu, bila anak pamanmu (Ali, pen.) lebih dulu mendatangi kami dari Abu Bakar, maka kami tidak akan ragu membaiatnya.
Sepuluh hari setelah Abu Bakar dibaiat di Saqifah, Fathimah mendatangi Abu Bakar untuk menagih Fadak, sebidang kebun di luar kota Madinah, yang oleh Fathimah dikatakan telah diberikan Rasul kepadanya tatkala beliau masih hidup.
“Dan apa saja harta rampasan (faii) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, Maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
“Apa saja harta rampasan (faii) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kotakota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anakanak yatim, orangorang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orangorang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya”.
Suyuthi dalam adDurru’lMantsur, tatkala menafsirkan ayat
“Berikan kepada kerabat haknya...”, (Surat alIsra’, 26), mengatakan bahwa tatkala ayat tersebut turun, Rasul memanggil Fathimah dan memberikan Fadak kepadanya.
Riwayat ini berasal dari Abu Sa’id; Muttaqi alHindi, dalam Kanzu’l’Ummal, jilid 2, hlm. 108 mengatakan hal yang sama. Demikian juga alHakim dan Ibnu anNajjar, dan adzDzahabi dalam bukunya Mizan alItidal, jilid 2, hlm. 207.
Tuntutan Fathimah kepada Abu Bakar menyangkut tiga hal:
Pertama hibah atau pemberian Rasul Allah, berupa kebun Fadak.
Kedua Sahm dzil Qurba (bagian ‘zakat’ untuk keluarga Rasul, berupa khumus) seperti disebut dalam AlQur’an.
Ketiga adalah warisan dari Rasul.
Dan Abu Bakar menolak ketiganya.
Abu Bakar meminta saksi babwa Rasul telah menghibahkan kebun Fadak itu kepada Fathimah.
Fathimah pun membawa Ummu Aiman, yang oleh Rasul disebut sebagal lbu beliau yang kedua sesudah ibu kandung beliau Aminah.
Fathimah juga membawa Ali bin Abi Thalib sebagai saksi yang kedua. Namun Abu Bakar menolak kesaksian ini dengan mengatakan bahwa kesaksian hanya dianggap sah apabila terdiri dari dua lakilaki atau seorang lakilaki dan dua orang perempuan.
Fathimah menjadi sangat marah atas jawaban Abu Bakar ini. Apabila Khuzaimah bin Tsabit disebut Rasul sebagal dzusysyahadatain atau orang yang kesaksiannya dianggap sebagai kesaksian dua orang, maka kesaksian Ali yang dipandang sebagai saudara Rasul seharusnya sudah lebib dari cukup.
Dalam kedudukan sebagai wanita utama kaum mu’minin, dapatlah dipahami betapa terpukulnya perasaan Fathimah.
Penolakan Abu Bakar untuk menyerahkan kebun Fadak yang dianggap Fathimah sebagai milik pribadinya, pemberian almarhum ayahnya selagi beliau masih hidup menyebabkan Fathimah mengirim utusan kepada Abu Bakar untuk meminta bagian warisan dari Fadak dan seperlima dari kebun Khaibar, yang menjadi milik Rasul, ayah Fathimah, sebelum wafat beliau. Para istri Rasul pun, kecuali Aisyah, mewakilkan kepada Utsman bin ‘Affan untuk menuntut hak yang sama. Permintaan ini pun ditolak oleh Abu Bakar yang mengatakan baliwa ia pernah mendengar Rasul Allah berkata bahwapara Nabi tidak mewariskan, dan yang mereka tinggalkan adalah sedekah”.
Maka terjadilah perdebatan yang hangat dan mengharukan. AlJauhari memuat perdebatan itu secara lengkap dalam Saqifah. Marilah kita ikuti catatan Jauhari:
“Dan tatkala sampai kepada Fathimah bahwa Abu Bakar menolak haknya atas Fadak, maka Fathimah lalu memakai jilbabnya dan datanglah ia mengahadap Abu Bakar, disertai para pembantu dan kaum wanita Banu Hasyim yang mengikutinya dari belakang. Fathimah berjalan dengan jejak langkah seperti jejak langkah Rasul. Ia lalu memasuki majelis yang dihadiri Abu Bakar dan penuh dengan kaum Muhajirin dan Anshar. Fathimah membentangkan tirai antara dia dan kaum wanita yang menemaninya di satu sisi, dan majelis yang terdiri dari kaum pria pada sisi lain. Ia masuk sambil menangis tersedu, dan seluruh hadirin turut menangis. Maka gemparlah pertemuan itu.
Setelah suasana makin tenang, Fathimah pun bicara: “Saya mulai dengan memuji Allah Yang Patut Dipuji. Segala Puji bagi Allah atas segala nikmatNya, dan terhadap apa yang diberikan Nya...” dan setelah mengucapkan khotbahnya yang sungguh indah, ia lalu berkata:
(Fathimah): “Apabila Anda mati, wahai Abu Bakar, siapakah yang akan menerima warisan Anda?’
Abu Bakar: “Anakku dan keluargaku.”
Fathimah: “Mengapa maka Anda mengambil warisan Rasul yang menjadi hak anak dan keluarga beliau?”
Abu Bakar: “Saya tidak berbuat begitu, wahai putri Rasul.”
Fathimah:
“Tetapi Anda mengambil Fadak, hak Rasul Allah yang telah beliau berikan kepada saya semasa beliau masih hidup...
Apakah Anda dengan sengaja meninggalkan Kitab Allah dan membelakanginya, serta mengabaikan firman Allah yang mengatakan, ‘Sulaiman menerima warisan dari Dawud’
, dan ketika Allah mengisahkan tentang Zakaria
Serta firman Allah, Dan keluarga sedarah lebih berhak waris mewarisi menurut Kitab Allah’?.
“Nabi itu lebih utama bagi orangorang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteriisterinya adalah ibuibu mereka, dan orangorang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (warismewarisi) di dalam kitab Allah daripada orangorang mukmim dan orangorang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudarasaudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab.”
Dan Allah berwasiat, ‘Bahwa anak lakilakimu mendapat warisan seperti dua anak perempuan’.
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anakanakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dan firman Allah;
“Diwajibkan atas kamu apabila salah seorang dari kamu akan mati, jika ia meninggalkan harta, bahwa ia membuat wasiat bagi kedua orang tua dan keluarganya dengan cara yang baik, itu adalah kewajiban bagi orangorang yang bertakwa
”.
Apakah Allah mengkhususkan ayatayat tersebut kepada Anda dan mengecualikan ayah saya daripadanya? Apakah Anda lebih mengetahui ayatayat yang khusus dan umum lebih dari ayah saya dan anak pamannya?
Apakah Anda menganggap bahwa ayah saya berlainan agama dengan saya, dan oleh karena itu maka saya tidak berhak menerima warisan?
Diriwayatkan bahwa setelah perdebatan ini Abu Bakar lain menulis surat yang berisi penyerahan Fadak kepada Fathimah tetapi disobek oleh Umar.
Ibnu Qutaibah menceritakan kepada kita pertemuan yang agaknya merupakan pertemuan yang terakhir antara Abu Bakar dan Fathimah azZahra’. Marilah kita ikuti:
“Umar bin Khaththab berkata kepada Abu Bakar: “Marilah kita pergi kepada Fathimah; sesungguhnya kita telah menyakiti hatinya’. Maka keduanya pun pergi kepada Fathimah, dan lalu memohon kepada Ali bin Abi Thalib, lalu Ali memperkenankan mereka masuk ke rumah.
“Tatkala keduanya duduk dekat Fathimah, Fathimah memalingkan wajahnya ke arah dinding rumah. Salam Abu Bakar dan Umar tidak dijawabnya.
Fathimah kemudian berkata: ‘Apakah Anda mau mendengar apabila saya katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasul Allah saw yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?’
Keduanya menjawab: ‘Ya’.
Kemudian Fathimah berkata: ‘Apakah Anda tidak mendengar Rasul Allah saw bersabda, ‘Keridaan Fathimah adalah keridaan saya, dan kemurkaan Fathimah adalah kemurkaan saya. Barangsiapa mencintai Fathimah, puteriku, berarti mencintai saya; dan barangsiapa membuat Fathimah murka, berarti ia membuat saya murka’?
Mereka berdua menjawab: ‘Ya, kami telah mendengarnya dari Rasul Allah saw’.
Fathimah berkata: ‘Aku bersaksi kepada Allah dan malaikatmalaikatNya sesungguhnya kamu berdua telah membuat aku marah dan kamu berdua tidak membuat aku rida. Seandainya aku bertemu dengan Nabi saw, aku akan mengadu kepada beliau tentang kamu berdua.
Abu Bakar berkata: ‘Sesungguhnya saya berlindung kepada Allah dari kemurkaanNya dan dari kemurkaan Anda, wahai Fathimah’.
Kemudian Abu Bakar menangis, hampirhampir jiwanya menjadi goncang.
Fathimah lain berkata: ‘Demi Allah, selalu saya akan mendoakan kejelekan terhadap Anda dalam setiap sholat saya’.
Kemudian Abu Bakar keluar sambil menangis...
Tidak ada orang yang dapat menyangkal bahwa perkebunan Fadak tersebut memang milik Rasul yang diserahkan oleh Banu Nadhir
Umar bin Khatthab sendiri mengakuinya
, dan tidak dapat disangkal pula bahwa Rasul telah memberikannya kepada putri beliau Fathimah tatkala beliau masih hidup.
Suatu hal yang sering dipertanyakan orang adalah keanehan sikap Abu Bakar, yang memenuhi tuntutan orang lain tanpa meminta saksi. Diriwayatkan, Jabir bin ‘Abdillah alAnshari mengatakan bahwa Rasul Allah telah menjanjikan, apabila tiba rampasan perang dari Bahrain, Rasul akan mengizinkan dia mengambil sesuatu dari harta rampasan itu, tetapi harta rampasan itu baru tiba setelah Rasul wafat. Tatkala Abu Bakar menjadi khalifah, tibalah barang tersebut. Khalifah Abu Bakar membuat pengumuman bahwa barangsiapa hendak menuntut janji Rasul Allah, supaya dating kepadanya. Maka Jabir pun datang kepadanya dan mengatakan bahwa Rasul telah berjanji akan memberikan semua barang yang katanya telah dijanjikan itu.
Dari pengalaman Jabir ini, para ulama seperti Syihabuddin Ahmad bin Ali alAtsqalani asySyafi’i, dan Badruddin Mahmud bin Ahmad alAini alHanafi, menulis: “Dari peristiwa ini dapat diambil kesimpulan bahwa kesaksian seorang Sahabat saja sudah cukup dianggap sebagai kesaksian yang sempurna, sekalipun kesaksian ini untuk kepentingan pribadi sendiri, karena Abu Bakar tidak meminta jabir untuk mengajukan saksi sebagai bukti atas tuntutannya.”
Dan setelah Abu Bakar menolak kesaksian Fathimah dan Ali, Fathimah mendatangi Abu Bakar sambil berkata: “Kalau Anda tidak setuju bahwa Rasul telah memberikan Fadak kepada saya, sekurangkurangnya Anda tidak dapat menyangkal bahwa Fadak dan sebagian dari Khaibar adalah milik pribadi Nabi, dan saya adalah pewaris beliau.” Abu Bakar lalu menjawab, ‘Para Nabi tidak mewariskan, dan apa yang mereka tinggalkan adalah sedekah.” Adalah suatu hal yang menarik bahwa Abu Bakar merupakan satusatunya orang yang membawa sabda Nabi tersebut. Dan ini pun bertentangan dengan ayat AlQur’an. Ada riwayat lain yang disampaikan Abu Bakar Jauhari yang terjadi di zaman Umar bin Khaththab: “Telah disampaikan kepada kami oleh Abu Zaid yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Abi Syaibah yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Ibnu ‘Ulayyah dari Ayyub dari ‘Ikramah dari Malik bin Aus, dua buah riwayat: Abbas dan Ali datang kepada Umar dan Abbas berkata: ‘Berikanlah keputusan hukum antara aku dan yang ini (Ali, pen.), tentang (harta peninggalan Rasul) ini dan itu!’, yaitu harta yang mereka pertengkarkan. Maka orangorang berkata: ‘Bagilah antara mereka berdua!’ Umar menjawab: ‘Aku tidak akan membagi untuk mereka berdua! Kita telah mengetahui bahwa Rasul Allah saw bersabda: ‘Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah!’. Tetapi Ibn AbilHadid menulis dengan tepat tentang hadis ini: Ini musykil, karena yang mereka perebutkan sebenarnya bukanlah warisan harta tetapi wilayah atau pemerintahan yang ditinggalkan Rasul Allah saw dan bukan harta warisan!
Dan bagaimana mungkin mereka menuntut harta warisan itu andaikata mereka telah mendengar hadis tersebut dari Rasul dan mereka juga mengetahui sejak dulu bahwa Abu Bakar telah menolak tuntutan Fathimah dengan menyampaikan hadis bahwa Rasul telah bersabda: ‘Kami para Nabi tidaklah mewariskan!’
Ada lagi riwayat lain dari Abu Bakar Jauhari: ‘Telah disampaikan kepada kami oleh Abu Yazid yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Yahya bin Katsir Abu Khassan yang berkata: telah disampaikan kepada kami oleh Su’bah bin Umar bin Murrah dari Abi Bakhtari yang berkata: Ali dan Abbas datang kepada Umar tatkala keduanya sedang bertengkar (mengenai warisan Rasul), dan Umar berkata kepada Thalhah (bin ‘Ubaidillah, pen.), Zubair (bin ‘Awwam, pen.), ‘Abdurrahman (bin ‘Auf, pen) dan Sa’d (bin Abi Waqqash, pen.): ‘Aku ajukan pertanyaan kepadamu dengan nama Alah, tidakkah kamu mendengar bahwa Rasul Allah saw bersabda: ‘Setiap harta Nabi adalah sedekah kecuali yang untuk memberi makan keluarganya. Dan bahwa kami tidak mewariskan!’ Dan mereka menjawab: ‘Betul!’ Dan Umar berkata: ‘Dan Rasul Allah menyedekahkannya. Kemudian setelah Rasul Allah wafat dan Abu Bakar memerintah selama dua tahun dan dia telah memperlakukannya sama seperti yang dilakukan Rasul Allah saw!’ Dan mereka berdua (Abbas dan Ali, pen) berkata: ‘Kami berdua telah salah dan telah berlaku zalim dalam hal ini!’
Dan Ibn AbilHadid berkata tentang riwayat ini: ‘Ini juga musykil, karena kebanyakan ahli hadis berpendapat bahwa hadis (Kami tidak mewariskan) ini hanya disampaikan oleh Abu Bakar seorang diri, sedang ahliahli asal usul fiqih menolak berhujah dengan hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang Sahabat. Dan tokoh kita Abu Ali mengatakan: ‘Jangan lah diterima suatu riwayat kecuali disampaikan oleh dua orang, seperti keadaannya pada saksi!.
Riwayat serupa disampaikan juga oleh Bukhari dan Muslim. Malah Abu Hurairah juga ikut meriwayatkan hadis ‘Kami para Nabi tidak mewariskan!’ yang tentu saja tidak dapat diterima oleh kebanyakan ahli seperti Ibn Abil Hadid, karena Abu Hurairah meriwayatkan apa saja yang ia dengar dari para sahabat, tabi’in malah dari orangorang seperti Ka’b Ahbar dan Hurairah memberi kesan seakanakan ia mendengar lansung dari Rasul Allah. Lihat kata pengantar buku ini.
Bagaimana mungkin suatu peristiwa sejarah yang panjang dan jelas akan dibuang begitu saja dengan penyisipan sebuah riwayat yang musykil seperti itu untuk membela kesaksian satu orang seperti Abu Bakar yang jelas bertentangan dengan AlQur’an. AlQur’an jelas menyebutkan bahwa para Nabi juga memiliki harta pribadi dan juga mewariskan. Dan hadis Abu Bakar ini sukar dipahami, sebab sejarah mencatat bahwa melalui Fathimah sebagai penerima warisan Ali mendapatkan pedang, bagal, sandal dan serban Rasul Allah. Juga para isteri Rasul seperti Aisyah mewarisi rumahrumah dengan segala isinya. Sedang Abu Bakar mengatakan bahwa Rasul Allah bersabda: ‘Kami tidak mewariskan!’ dan bukan: ‘Kami tidak mewariskan ini atau itu!’ Demikian juga keluarga Rasul yang tetap menyampaikan tuntutannya sampai masa sesudah Umar meninggal seperti tercatat dalam sejarah.
Dan andaikata Ali mendengar ucapan “Kami tidak mewariskan dan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah!” dari Rasul Allah saw maka tidak mungkin ia membiarkan isterinya pergi ke masjid dan menuntut Abu Bakar di depan jemaah masjid. Memang sukar dipahami bahwa Rasul Allah saw menyampaikan hadis tersebut kepada orang lain dan tidak memberitahukan kepada anak isterinya yang justru berkepentingan dengan warisan tersebut. (Lihat Ibn AbilHadid, Syarh NahjulBalaghah, jilid, 12, hlm. 220229).
Fathimah memang memerlukan Fadak untuk keperluan keluarga. Suaminya, Ali bin Abi Thalib terkenal sebagai orang yang tidak memiliki apaapa. Dari keluarga Banu Hasyim, hanya Abbas, paman Rasul yang pedagang itu yang berharta Mertua Fathimah, Abu Thalib, begitu miskinnya, sehingga diberikannya anaknya Thalib untuk dipelihara oleh Abbas; Ja’far diserahkannya kepada Hamzah, sedang Ali diserahkannya kepada Muhammad saw. Hanya ‘Aqil yang tetap dipelihara oleh Abu Thalib.
Tatkala Utsman menjadi khalifah, ia memberikan kebun Fadak kepada Marwan bin Hakam, sepupunya. Ibn AbilHadid mengatakan bahwa Marwan menjual hasil Fadak paling sedikit sepuluh ribu dinar setahun.
Pada zaman Mu’awiah, anggota dinasti Banu ‘Umayyah yang pertama ini membagibagikan penghasilan kebun itu: sepertiga untuk Marwan, sepertiga untuk ‘Amr bin Utsman bin ‘Affan, dan sepertiga untuk anaknya Yazid. Ya’qubi menulis, “Untuk menyakitkan keluarga Nabi”.
Pada waktu Marwan menjadi khalifah, ia memberikan Fadak kepada kedua orang putranya, ‘Abdul Malik dan ‘Abdul Aziz. ‘Abdul ‘Aziz kemudian memberikan bagiannya kepada anaknya, Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Tatkala Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi khalifah menjelang akhir abad pertama hijriah, kebun itu dikembalikannya kepada keturunan Rasul. Khalifah yang saleh itu berkata: “Saksikanlah, saya mengembalikannya kepada pemilik yang aslinya.”
Tatkala Yazid bin ‘Abdul Malik berkuasa, ia mengambil lagi Fadak dari ahlu’lbait Nabi. Khalifah pertama Banu Abbas, ‘Abdul Abbas Abdullah ashShaffah mengembalikan lagi Fadak kepada anak cucuk Fathimah. Khalifah Abu Jafar Abdullah alManshur mengambilnya kembali dari anak cucu Fathimah. Muhammad alMahdi Ibnu atManshur, tatkala menjadi khalifah, menyerahkan lagi Fadak kepada keturunan Fathimah. Musa alHadi, alMahdi, dan saudaranya Harun alRasyid mengambilnya kembali. Ja’far alMutawakkil merebut Fadak dengan kekerasan. Anaknya, Muntasir, yang menggantikannya sebagai khalifah, menyerahkan lagi kebun Fadak itu kepada ahlu’lbait Rasul, keturunan Fathimah, kemudian direbut kembali. Pada akhir hayatnya, Abu Bakar menyatakan penyesalannya atas pengepungan rumah Fathimah, dan tidak diserahkannya Fadak kepada putri Rasul itu.
Tetapi, peristiwa Fadak hanyalah suatu akibat dari perebutan kekuasaan setelah wafatnya Rasul Allah saw, barangkali, suatu arena pertempuran antara agama dan kekuasaan.
Ibn AbilHadid bercerita:
“Suatu ketika aku bertanya kepada Syaikh Ali bin alFariqi, guru besar ‘alMadrasah al Maghribiyah’ di Baghdad:
‘Apakah Fathimah jujur dan berkata benar?’
Ia menjawab: ‘Ya’.
Aku melanjutkan:
‘Kalau begitu mengapa Abu Bakar tidak memberikan Fadak kepadanya sedang ia berkata benar?’.
Ia tersenyum dan berkata dengan lembut, tanpa prasangka, meyakinkan, penuh hormat dan bersungguhsungguh:
‘Bila Abu Bakar menyerahkan Fadak kepadanya hari ini, untuk memenuhi tuntutannya, maka ia akan kembali besok dan menuntut kekhalifahan bagi suaminya, Ali bin Abi Thalib, yang akan menggoyahkan kedudukan Abu Bakar sebagai khalifah. [31]
Dengan sendirinya Abu Bakar tidak dapat menolak dan harus konsisten pada pendirian bahwa Fathimah jujur dan berkata benar. Dan dengan demikian ia juga tidak akan minta Fathimah membawa bukti maupun saksisaksi. Katakata ini benar, biarpun disampaikan dengan senda gurau.