Bab 15. Ali Dan Peristiwa Saqifah
Pernyataan Langsung dari Ali, Umar dan Abu Bakar Tahu Betul Hak Ali
Sikap ‘Ali terhadap pengangkatan Abu Bakar di Saqifah, diucapakan sekaligus dengan sikapnya terhadap pengangkatan ‘Umar dan ‘Utsman, dalam khotbahnya yang terkenal sebagai asy Syiqsyiqiyyah, yang diucapkannya di arRahbah. Khotbah ini dicatat oleh Syarif arRadhi dalam Nahju’lBalaghah yang terkenal itu, yang memuat khotbahkhotbah, pidatopidato, suratsurat serta ungkapanungkapan ‘Ali bin Abi Thalib. Khotbah itu sebagai berikut:
Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar) telah mengenakan busana (kekhalifahan) itu, padahal ia mengetahui dengan yakinnya bahwa kedudukan saya sehubungan (kekhalifahan) itu sama seperti hubungan sumbu dengan roda. Air bah (kebijaksanaan) mengalir ke bawah saya, dan burung (siapa pun) tidak dapat melampaui (ilmu) saya. Saya memasang tirai terhadap kekhalifahan itu dan melepaskan diri daripadanya.
Saya pun mulai berpikir, apakah saya akan menyerangnya ataukah saya harus menanggung cobaan sengsara kegelapan yang membutakan itu sampai orang dewasa menjadi daif, orang muda menjadi tua, dan Mu’min yang saleh hidup dalam kungkungan sampai ia menemui Allah (di saat kematiannya). Saya pun berpendapat bahwa adalah lebih bijaksana untuk menanggungnya dengan tabah. Saya lalu menempuh jalan kesabaran, kendati pun mata rasa tertusuktusuk dan kerongkongan rasa tercekik. Saya menyaksikan perampasan terhadap warisan saya hingga yang pertama (Abu Bakar) sampai pada ajalnya; namun ia menyodorkan kekhalifahan itu kepada Ibnu Khaththab sendiri. (Lalu ‘Ali mengutip syair A’isya:)
‘Harihariku kini dilewatkan (dalam keresahan) di atas punggung unta, sedang dahulu harihari (kesenangan) kunikmati sambil berkawan dengan Hayyan, saudara Jabir’.
Aneh, semasa hidupnya ia ingin terbebas dari jabatan khalifah, tetapi ia mengukuhkannya kepada yang lain itu (‘Umar) setelah kematiannya. Tidak syak, kedua orang ini hanya berbagi tetek susu di antara keduanya saja. Yang satu ini (‘Umar) mengungkung kekhalifahan itu rapatrapat, ucapannya congkak dan sentuhannya kasar. Kekeliruan sangat banyak, dan karena itu maka dalihnya pun sangat banyak. Orang yang berhubungan dengan kekhalifahan itu ibarat penunggang unta binal. Apabila ia menarik kekangnya, moncongnya akan robek; tetapi apabila ia membiarkannya maka ia akan jatuh terlempar. Sebagai akibatnya, demi Allah, rakyat terjerumus dalam kesembronoan, kelicikan, kegoyahan dan penyelewengan. Sekalipun demikian, saya tetap sabar dalam waktu yang lama dengan cobaan yang keras, sampai, ketika ia (‘Umar) menemui ajalnya ia menaruh urusan (kekhalifahan) itu Pada satu kelompok dan menganggap saya sebagai salah seorang daripadanya.
Tetapi, ya Allah! apa urusan saya dengan ‘musyawarah’ ini? Di manakah keraguan tentang saya dibanding dengan yang pertama dari antara mereka (Abu Bakar) sehingga sekarang saya harus dipandang sama dengan orangorang ini? Namun saya terus merendah sementara mereka merendah, dan membubung tinggi ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka berpaling menentang saya karena hubungan kekeluargaannya, sedang yang lainnya cenderung memihak ke jalan lain karena hubungan iparnya, dan ini, dan itu, sampai yang ketiga dari orangorang ini berdiri dengan dada membusung di antara kotoran dan makanannya. Bersama dia, anakanak dari kakeknya (Banu Umayyah) pun bangkit menelan harta Allah, bagaikan unta melahap dedaunan musim semi, sampai talinya putus, tindak tanduk menyelesaikannya, dan keserakahannya menyebabkan ia terguling.
Khotbah asySyiqsyiqiyyah, selain dihimpun oleh Syarif alRadhi, juga banyak dilaporkan oleh penulispenulis lain, seperti Ibn AbilHadid dalam Syarh Nahju’l Balaghah, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad (meninggal 274 H/ 887 M) dalam Kitab alMahasin, Ibrahim bin Muhammad ats Tsaqafi (meninggal 283 H/896 M) dalam kitabnya alGharat, Abi ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahhab alJuba’i (meninggal 303 H/915 M) dan ‘Abdul Qasim alBalkhi (meninggal 502 H/108 M) dalam kitabnya alInshah; Lihat Saduq (meninggal 381 H/991 M) dalam Ilal asySyara’i, hlm. 68, Ma’ani, AlAkhbar, hlm. 132, Mufid, Irsyad, hlm. 166 dan Thusi, Amali, hlm. 237.
Meskipun Nahju’lBalaghah dihimpun Syarif arRadhi (meninggal 406 H/ 1115 M), tetapi, tulisan ini terdapat pada naskahnaskah yang lebih lama, seperti Nashr bin Muzahim alMinqari dalam bukunya Waq’ah Shiffin, Ya’qubi dalam Tarikhnya, Jahizh, dalam Ansab alBayan wa atTabyin, Mubarrat dalam bukunya Kamil, Baladzuri dalam Ansab alAsyraf dan bukubuku standar dari abad kedua, ketiga dan keempat.
Tatkala ‘Ali mendengar dibentuknya dewan oleh ‘Umar, dan syaratsyarat pemilihan serta penunjuk ‘Abdurrahman bin ‘Auf sebagai suara yang menentukan, ia berkata:
‘Demi Allah, kekhalifahan sekali lagi diambil dari kami, karena suara yang memutuskan terletak di tangan ‘Abdurrahman, seorang sahabat lama ipar ‘Utsman, sedang Sa’d bin Waqqash adalah kemenakan ‘Abdurrahman dari Banu Zuhrah; tentu saja ketiganya saling mendukung, dan andai kata Zubair dan Thalhah memilih saya, tidak akan ada gunanya’.
‘Ali mengatakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar ‘merampas’ haknya. Ia juga mengatakan bahwa Umar memerah susu untuk ‘Umar dan Abu Bakar berdua sekaligus’, yang dimaksudkannya bahwa ‘Umar memperjuangkan kekhalifahan Abu Bakar sambil mengharapkan bahwa Abu Bakar kelak akan menghibahkan kekhalifahan itu kepada ‘Umar. ‘Ali juga menuduh bahwa tindakan ‘Umar mengangkat enam, orang Alul hall wal aqd yang kemudian terkenal sebagai Syura, telah direncanakan untuk menyingkirkan ‘Ali dan memenangkan ‘Utsman.
‘Ali berpendapat bahwa Abu Bakar dan ‘Umar mengetahui betul bahwa kekhalifahan adalah hak ‘Ali, seperti roda sebuah kincir, sebab Nabi ‘mewasiatkan’ Imamah itu kepada ‘Ali, sebagaimana kesimpulan dari pidato ‘Ali tersebut. Mengapa maka ‘Ali mengatakan bahwa Imamah atau kepemimpinan umat adalah hak yang diwariskan kepadanya oleh Rasul dan di ketahui juga oleh ‘Umar dan Abu Bakar, akan kita bicarakan pada bab mengenai nas untuk kekhalifahan. Cukuplah apabila dikemukakan di sini bahwa ‘Ali menganggap bahwa Rasul telah mewariskan kekhalifahan kepadanya, sebagaimana dikatakannya sendiri.
Dengan kata lain Khilafah atau Imamah, menurut ‘Ali, berdasarkan nas. Sebaliknya, menurut Abu Bakar dan ‘Umar, sebagaimana kita ikuti dari pertemuan di Saqifah, berpendapat bahwa khalifah berdasarkan pemilihan, musyawarah. Kalau pun ada nas, maka nas itu hanyalah sebuah hadis yang mengatakan bahwa Imam itu dari orang Quraisy.
Malah menurut ‘Umar, kaum Quraisy yang menentukan terpilihnya seseorang menjadi khalifah. Semua anggota Ahluhallwa’aqd yang ditunjuk ‘Umar untuk memilih khalifah sepeninggalnya adalah orang Quraisy, dan tidak ada seorang pun dari kaum Anshar.