• Mulai
  • Sebelumnya
  • 18 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2131 / Download: 1442
Ukuran Ukuran Ukuran
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (9)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (9)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

sejarah islam

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah

by: O. Hashem

Jakarta

2004

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM

“Wahai orang­orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar­benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Al­Qur’an

Surah An­Nisa’: 135

Prakata Penulis

Buku‘Saqifah’ cetakan keempat oleh Yapi ini bertambah tebal hampir dua kali lipat dibandingkan cetakan sebelumnya. Kritik­kritik tertulis dalam bentuk buku dan artikel di beberapa majalah maupun kritik lisan dalam diskusi­diskusi khusus untuk membicarakan buku ini, memaksa penulis melengkapinya.

Pembaca dapat langsung mengikuti peristiwa Saqifah dengan meloncat ke bab 2; ‘Sumber’.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada penulis ahli sejarah Islam Al Allamah, Habib Zainal 'Abidin bin Husain Al Muhdhar atas kebaikannya meminjamkan buku­buku yang sukar didapat.

Demikian juga kepada Ustadz Ahmad bin Abdurrahman Al Aydrus, seorang ahli sastra yang juga memberikan buku­buku yang penulis butuhkan. Juga kepada kawan yang penulis cintai Wancik Cherid yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini. Penulis juga berhutang budi kepada banyak teman­teman yagg tidak mungkin penulis sebut satu demi satu.

Akhirnya kepada isteri penulis Hadijah yang dengan sabar membaca dan memberi catatan­catatan pada naskah buku ini.

Tanpa semua ini buku ini tidak mungkin ada.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah.

Penerbit

Bab 17. Nas Bagi Abu Bakar

Apakah Rasul Allah telah menunjuk atau mengisyaratkan seseorang untuk menjadi khalifah setelah wafatnya Rasul? Kalau ada, siapakah dia?

Dalam pidatonya di Saqifah, Abu Bakar berkata: “Kami adalah orang yang pertama masuk Islam di antara kaum Muslimin, kedudukan kami paling baik, keturunan kami paling mulia dan hubungan kami dengan Nabi paling dekat...

Tentunya sebagian dari kalian mengetahui, bahwa Nabi telah bersabda: ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy,’ maka janganlah kalian bersaingan dengan saudara­saudara kalian kaum Muhajirin dalam anugerah yang dilimpahkan Allah bagi mereka...”

Terlihat, dalam pidatonya, Abu Bakar membawa alasan bahwa kaum Quraisy lebih dekat pada Rasul, lebih dahulu masuk Islam, dan dengan demikian berhak menjadi pemimpin. Ia juga menyampaikan hadis Nabi yang mengatakan bahwa ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy’. Tetapi Abu Bakar tidak mengatakan bahwa Nabi menunjuknya atau memberi isyarat kepadanya untuk menjadi pemimpin. Malah di bagian lain Abu Bakar mengatakan: Saya mengusulkan kepada kalian satu dari dua orang, terimalah siapa yang kalian senangi’. Ia kemudian mengangkat tangan ‘Umar bin Khaththab dan Abu ‘Ubaidah bin al­Jarrah.

Dari pidato ini jelas bahwa Abu Bakar tidak merasa telah ditunjuk atau diisyaratkan sebagai suksesi Rasul dalam kepemimpinan umat.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pengangkatan Abu Bakar didasarkan pada ‘musyawarah’ yang dihadiri oleh kaum Anshar dan enam orang Quraisy: Abu Bakar, ‘Umar, Abu ‘Ubaidah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Mughirah bin Syu’bah dan Salim maula Abu Hudzaifah. Dan sebagaimana kita lihat, Abu Bakar mencalonkan ‘Umar dan Abu ‘Ubaidah, tetapi kedua orang ini menolak, ‘selama masih ada Abu Bakar’.

Itulah sebabnya Ibnu Katsir[1] dan as­Suyuthi[2] mengatakan bahwa Nabi tidak menunjuk pengganti beliau. Imam Nawawi, dalam keterangannya pada Shahih Muslim, memetik perkataan ummu’l­mu’minin Aisyah, bahwa ‘Nabi tidak menunjuk pengganti beliau’. “Dengan ini,” kata Imam Nawawi, ‘Jelaslah bagi Ahlus Sunnah, kekhalifahan Abu Bakar bukanlah berdasarkan nas.[3]

Demikian pula, Imam Asy’ari menjelaskan pada akhir kitabnya al­Lam’a, bahwa kekhalifahan Abu Bakar tidaklah berdasarkan nas, begitu pula yang tersebut pada akhir kitabnya al­Ibbanah.

Tetapi, setelah timbulnya protes­protes dari Banu Hasyim, serta para Sahabat yang terkemuka, bahwa peristiwa Saqifah bukanlah ‘musyawarah’ karena banyak yang tidak diikutsertakan, dan pengakuan ‘Umar bahwa peristiwa tersebut adalah suatu perbuatan keliru karena dilakukan secara tergesa­gesa (faltah), serta pengakuan Abu Bakar bahwa ia bukanlah yang terbaik, maka timbullah polemik yang bersifat apologi. Lemahnya argumen bahwa pengangkatan Abu Bakar adalah Ijma’, membutuhkan dalil bahwa Rasul telah menunjuk atau mengisyaratkan Abu Bakar sebagai khalifah yang akan menggantikan beliau.

Ada hadis yang mengatakan bahwa Rasul telah menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat jemaah, tatkala Rasul sedang sakit, menjelang akhir hayat beliau. Alasan ini menunjukkan keridaan Rasul Allah menjadikan Abu Bakar sebagai imam shalat, dan oleh karena itu maka kaum Muslimin merelakan Abu Bakar sebagai pemimpin umat Islam. Tetapi, alasan bahwa Rasul Allah menunjuk Abu Bakar sebagai imam shalat tatkala Rasul sedang sakit, didukung oleh hadis yang lemah, saling bertentangan, dan tidak juga tepat dipakai sebagai alasan untuk mendukung kepemimpinan umat.

Rasul tidak menunjuk seseorang untuk mengimami kaum Muslimin ketika beliau sedang sakit, menurut catatan al­Muttaqi al­Hindi.[4]

Ibnu ‘Abdil Barr, ketika membicarakan khalifah Abu Bakar, dalam al­Isti’ab, mengatakan: “Rasul Allah berkata, ‘Suruhlah siapa saja menjadi imam shalat!’ Lalu Rasul bersabda lagi, ‘Siapa yang mau berjemaah, boleh, siapa yang tidak mau, tidak apa­apa!’.

Alasan Rasul tidak menunjuk Abu Bakar jadi imam shalat adalah:

1. Hadis Ibnu Zam’ah yang menceritakan bahwa Rasul menyuruh ‘Umar menjadi imam shalat, dan kemudian, setelah mendengar suara ‘Umar bertakbir, Rasul bertanya, ‘mana Abu Bakar?’ dan bahwa Allah dan kaum Muslimin tidak akan menyetujui orang lain menjadi imam selain Abu Bakar, mengandung kontradiksi yang tidak dapat didamaikan. Sebab, andai kata Rasul menyuruh ‘Umar menjadi imam, maka sebagai seorang Nabi, beliau tidak lagi akan menanyakan di mana Abu Bakar, apa lagi mengatakan bahwa ‘Umar tidak disetujui Allah dan kaum Muslimin. Dan apabila yang diperintah adalah Abu Bakar, maka perintah terhadap ‘Umar adalah batil. Apabila ‘Umar yang diperintahkan, maka kata­kata ‘di mana Abu Bakar?’ adalah batil. Dan mustahillah Rasul berbicara tanpa tujuan dan batil seperti itu. Dengan demikian maka hadis tersebut, tidak sah, merupakan tambahan yang diada­adakan kemudian. Ini alasan yang pertama.

2. Alasan kedua yang menolak bahwa Rasul memerintah Abu Bakar menjadi imam shalat, adalah bahwa Abu Bakar, pada waktu Rasul sedang sakit, berada di bawah komando Usamah di Jurf, di luar kota Madinah, dan Rasul mengutuk barangsiapa yang meninggalkan ekspedisi Usamah. Bagaimana mungkin Rasul memerintahkan Anu Bakar dan Umar menjadi imam shalat?

3. Alasan yang ketiga adalah: Sekiranya Rasul menunjuk Abu Bakar menjadi imam shalat, maka ini bertentangan dengan kata­kata Rasul terhadap Ummahat al­muminin dengan kata­kata yang sangat tajam: ‘Kamu wanita­wanita adalah seperti wanita­wanita yang mengganggu Nabi Yusuf, yang memaksudkan perempuan yang turut mencampuri urusan orang lain,[5] sebagaimana tersebut dalam Shahih Bukhari dan Muslim.[6]

4. Alasan keempat: yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih­nya, yang berasal dari ummu’l­ mu’minin ‘A’isyah, yang berkata: ‘Rasul Allah wafat sementara Abu Bakar berada di Sunh suatu tempat di luar Madinah, dan ‘Umar berkata, ‘Demi Allah, (Nabi) tidak wafat’. ‘ Ini menunjukkan bahwa Abu Bakar sama sekali tidak hadir pada shalat dzhuhur di Masjid Nabi pada hari wafatnya Rasul. Bagaimana mungkin Rasul memerintahkan Abu Bakar mengimami shalat itu, sedang ia berada di Sunh?

5. Andai kata benar adanya hadis yang diriwayatkan ‘A’isyah, maka Rasul memerintah Abu Bakar mengimami shalat ini pun tidak dapat dijadikan petunjuk bahwa Rasul hendak mengangkat Abu Bakar menjadi khalifah. Hal ini disebabkan:

I. Apabila imam shalat jemaah dijadikan alasan untuk menjadi khalifah, maka yang paling pantas untuk itu ialah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, karena seperti diriwayatkan oleh Ibnu Katsir[7] dan lain­lain, Rasul Allah pernah shalat di belakangnya; dan ini tidak menunjukkan bahwa ‘Abdurrahman bin ‘Auf berhak menjadi khalifah kaum Muslimin di kemudian hari.

II. Rasul Allah mengangkat Amr bin ‘Ash sebagai panglima perang yang membawahi Abu Bakar, ‘Umar, dan kaum Muhajirin lainnya serta kaum Anshar, dalam ekspedisi Dzatus­ Salasil, dan Amr bin ‘Ash menjadi imam untuk seluruh prajuritnya, sebagaimana disebut oleh Ibnu Katsir[8] , Halabi asy­Syafi’i[9] , dan Diyar Bakri.[10] Kalau imam shalat menunjukkan keutamaan seseorang, maka Amr bin ‘Ash lebih berhak menjadi khalifah, sebab Abu Bakar pernah menjadi makmum di belakangnya. Demikian pula Salim maula Abu Hudzaifah pernah diajukan Rasul sebagai imam kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sebelum datangnya Rasul di Madinah, karena Salim memang paling banyak menghapal ayat­ayat Al­Qur’an, seperti diriwayatkan Bukhari[11] Bila imam shalat dijadikan patokan keutamaan seseorang untuk menjadi khalifah, maka Salim yang menjadi imam Abu Bakar dan kaum Anshar serta Muhajirin lebih pantas menjadi khalifah.

6. Hadis yang berasal dari ummu’l­mu’minin Aisyah itu juga mengandung banyak pertentangan. Pertama yang diriwayatkan oleh Amasy, bahwa ‘A’isyah berkata, ‘Nabi shalat sambil duduk di sebelah kiri Abu Bakar’, seperti tercantum dalam Sahih Bukhari[12] dan di bagian lain yang diriwayatkan oleh al­Aswad, ummu’l­mu’minin Aisyah berkata bahwa ‘Rasul shalat duduk di samping Abu Bakar’. Dan di bagian lain lagi ummu’l mu’minin disebutkan sebagai telah berkata bahwa Nabi, tatkala beliau sedang sakit, ‘shalat sambil duduk di sebelah kanan Abu Bakar yang shalat sambil berdiri’.

7. Hadis di atas bertentangan dengan hadis Shahih Bukhari, yang berbunyi:

‘Sesungguhnya imam itu dijadikan pemimpin untuk diikuti; kalau imam shalat sambil duduk, maka seluruh jemaah harus shalat sambil duduk’[13] Oleh karena itu maka bila Rasul, sebagai imam, shalat duduk, maka Abu Bakar sebagai makmum juga harus duduk. Ini menunjukkan lemahnya hadis tersebut.

8. Kalau nilai imam shalat demikian pentingnya, dan Abu Bakar betul ditunjuk sebagai imam shalat tatkala Rasul sedang sakit, maka tentulah Abu Bakar telah mengemukakannya di Saqifah.

9. Semua ulama sependapat atas hadis Nabi: ‘Shalatlah di belakang orang orang yang baik maupun orang­orang jahat’.

Demikianlah beberapa tanggapan yang dikemukakan Sayyid Amir Muhammad al­Kizhimi al­ Qazwi­ni dalam bukunya Ma’a Nasyasyibi fi Kitabihi al­Islam ash­Shahih. Syaikh Muhammad Ridha al­Muzhaffar, dalam bukunya as­Saqifah, mengemukakan pula alasan­ alasan tentang lemahnya hadis­hadis tersebut: ‘Apabila dengan memerintahkan Abu Bakar menjadi imam shalat Rasul bermaksud mengisyaratkan kekhalifahannya, maka mengapa Rasul memerlukan keluar dari rumahnya dalam keadaan sakit parah, untuk shalat sambil duduk, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis tersebut?

Kemudian, riwayat itu berbunyi: ‘Sesungguhnya Abu Bakar shalat mengikuti Nabi, dan jemaah shalat mengikuti Abu Bakar’. Maka, siapakah sebenarnya yang menjadi imam? Kalau Abu Bakar yang menjadi imam, tidak mungkin ia shalat mengikuti Rasul; kalau Rasul Allah yang menjadi imam, maka tidak mungkin jemaah shalat mengikuti Abu Bakar. Maka dikatakanlah bahwa Rasul shalat duduk sebagai imam, dan jemaah tidak dapat melihat rukuk dan sujudnya, sehingga harus mendengar dan melihat Abu Bakar yang shalat berdiri. Tetapi ini bertentangan dengan hadis Nabi dalam Shahih Bukhari, bahwa kalau imam duduk maka makmum juga harus duduk. Hadis­hadis yang berasal dari ummu’l­muminin ‘A’isyah ini berisi banyak pertentangan, sebagaimana dikemukakan oleh al­Jauhari:

1. Hubungan ‘Umar dengan shalat. Dalam riwayat itu, Nabi bersabda: ‘Perintahkan ‘Umar menjadi imam!’ setelah ummu’l­mu’minin ‘A’isyah meminta ayahnya (Abu Bakar) menjadi imam dan ditolak oleh Rasul Allah, tetapi ‘Umar berkata kepada Bilal, ‘Katakan kepada beliau (Rasul) bahwa Abu Bakar ada di pintu!’ Maka Abu Bakar diperintahkan Rasul, ketika itu, untuk menjadi imam. Ketiga, yang pertama shalat adalah ‘Umar, tanpa izin Nabi; Setelah Nabi mendengar suara ‘Umar, beliau bersabda, ‘Allah dan kaum mu’minin tidak akan menyetujui selain Abu Bakar’ lalu Rasul perintahkan Abu Bakar menjadi imam, menggantikan ‘Umar. Keempat, ‘Umar shalat, sedang Abu Bakar tidak ada di sana. Kelima, Nabi menyuruh Abu Bakar jadi imam; Abu Bakar lalu meminta ‘Umar menggantikannya, tetapi ‘Umar menolak.

2. Tentang perintah Nabi, dengan kata­kata: ‘Perintahkan Abu Bakar!’ sebagian mengatakan berasal dari Aisyah, sebagian dari Bilal, dan sebagian lagi dari ‘Abdullah bin Zam’ah.

3. Tentang siapa yang meminta Rasul menyuruh Abu Bakar menjadi imam. Sebagian mengatakan ‘ummu’l­muminin Aisyah yang melakukannya sebanyak tiga kali atau lebih, sebagian mengatakan bahwa ‘A’isyah meminta pada Rasul, melalui Hafshah (ummu’l­mu’minin, anak ‘Umar bin Khaththab), sekali atau dua kali, dan tatkala Rasul menghardik, Hafshah berkata kepada ‘Aisyah, ‘Belum pernah aku mendapat kebaikan dari Anda’. Mengenai shalat itu sendiri; sebagian mengatakan shalat ‘ashr, sebagian mengatakan shalat ‘isya, dan sebagian lagi shalat shubuh.

5. Tentang keluarnya Nabi dari rumah. Sebagian berkata Rasul Allah keluar dari rumahnya dan shalat, sebagian mengatakan bahwa Rasul hanya menjengukkan kepala beliau dari tirai dan melihat orang­orang shalat di belakang Abu Bakar; dan setelah melihat Abu Bakar jadi imam, beliau menutup tirai dan tidak shalat bersama mereka.

6. Apa yang dilakukan Nabi sesudah keluar. Sebagian mengatakan bahwa Rasul Allah shalat sebagai makmum di belakang Abu, Bakar, setelah Abu Bakar mau mundur dan ditolak oleh Nabi. Sebagian berkata bahwa Abu Bakar mundur dan Nabi maju menjadi imam. Sebagian berkata bahwa Abu Bakar shalat mengikuti Rasul, sedang orang­orang yang di belakang mengikuti Abu Bakar. Sebagian lagi mengatakan bahwa Rasul membaca ayat Al­Qur’an setelah Abu Bakar selesai membaca.

7. Tentang duduknya Rasul di samping Abu Bakar. Ada yang mengatakan Rasul duduk di sebelah kiri, ada yang mengatakan di sebelah kanan.

8. Mengenai lamanya shalat. Sebagian mengatakan bahwa Abu Bakar menjadi imam selama Rasul sakit, sebagian mengatakan selama tujuh belas kali shalat. Sebagian mengatakan bahwa Abu Bakar menjadi imam selama tiga hari, sebagian lagi mengatakan enam hari. Yang terbanyak mengatakan bahwa Abu Bakar mengimami shalat hanya satu kali, pada waktu itu saja.

9. Waktu keluarnya Nabi untuk shalat. Sebagian mengatakan bahwa Rasul keluar untuk shalat setelah memerintahkan Abu Bakar menjadi imam, sebagian mengatakan bahwa Rasul hanya keluar untuk shalat dzhuhur, setelah berhari­hari Abu Bakar menjadi imam, dan sebagian lagi berkata bahwa Rasul hanya keluar untuk shalat subuh.

Apabila kita ingat bahwa pada waktu itu Rasul Allah memerlukan keluar Masjid untuk shalat, dengan digotong oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Fadhl bin ‘Abbas sampai ‘kaki beliau tidak menyentuh tanah’, seperti disepakati oleh semua, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Rasul tidaklah menunjuk seseorang untuk menjadi imam shalat. Hadis­hadis yang disebut di atas jelas muncul agaknya dibuat karena argumentasi bahwa pengangkatan Abu Bakar merupakan ijma’ sukar dipertahankan.

Kesimpulan lain, seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Ridha al­Muzhaffar, adalah bahwa Rasul keluar dengan maksud menjadi imam untuk membuktikan kepada istri­istri Nabi (‘A’isyah putri Abu Bakar dan Hafshah putri ‘Umar), bahwa beliau tidak menunjuk siapa pun untuk menjadi imam shalat; sebab, sebagaimana dapat kita simpulkan dari hadis­hadis tersebut yang meminta Rasul mengangkat Abu Bakar dan ‘Umar menjadi imam shalat adalah ‘Aisyah dan Hafshah; dan hadis­hadis yang disampaikan kemudian terbanyak berasal dari Aisyah.

Cukup kita simpulkan di sini penyesalan Abu Bakar yang diucapkannya pada akhir hayatnya, bahwa ia menyesal tidak menanyakan kepada Rasul apakah kaum Anshar dapat menjadi khalifah Rasul, yang menunjukkan keraguan Abu Bakar sendiri terhadap hadis ‘Pemimpin itu adalah dari kaum Quraisy’, yang digunakan Abu Bakar sebagai hujah di Saqifah. Dan Abu Bakar adalah satu­ satunya Sahabat yang meriwayatkan hadis ini.

Akhirnya, tentang alasan Abu Bakar bahwa orang Quraisy adalah paling utama dan lebih dekat dengan Rasul, dan hadis Rasul yang dikemukakan bahwa ‘Pemimpin adalah dari orang Quraisy’ tidak dapat menyingkirkan Banu Hasyim, apa lagi ‘Ali bin Abi Thalib sebagaimana nanti akan dibicarakan pada bab Nas Bagi ‘Ali.

Bab 18. Nas bagi Ali

Al­Qur’an Tentang Keluarga Para Nabi

Dalam Al­Qur’an diceritakan tentang para Nabi yang berdoa kepada Allah SWT bagi keluarganya, dan memohon kepada­Nya untuk menuntun keturunan mereka. Allah SWT selalu mengabulkan doa para Nabi dengan memberikan berkah­Nya kepada keturunannya, agar anak cucu Nabi itu dapat melestarikan ajaran orang tua dan datuk kakek mereka, mencontohi kesalehan orang tua mereka, dan menjaga jalan yang lurus’ yang diajarkan Nabi itu, yaitu dzurriyah, al, ahl, dan qurba. Dzurriyah, misalnya, yang berarti keluarga, turunan atau keturunan langsung, terdapat dalam 32 ayat al­Qur’an. Misalnya, Allah SWT berfirman:

(Ingatlah) ketika Ibrahim mendapat ujian dari Tuhannya untuk memenuhi beberapa suruhan, lalu ia menunaikannya. Berfirman (Allah), ‘Akan kujadikan kau pemimpin (imam) bagi manusia’. (Ibrahim memohon) ‘Dari keturunanku (dzurriyati), juga jadikan pemimpin­pemimpin)’. Menjawab (Tuhan) dan berfirman. ‘Janji­Ku tidak berlaku bagi orang yang zalim.[14]

Di bagian lain, Ibrahim as berdoa kepada Allah SWT:

‘Tuhan kami! Aku telah menetapkan sebagian keturunanku di lembah tanpa tanaman, dekat Rumah­Mu yang suci. Tuhan kami! Supaya mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia mencintai mereka, dan berilah mereka rezeki buah­buahan, supaya mereka berterima kasih’.[15]

Doa ini dikabulkan Allah:

Mereka yang diberi nikmat oleh Allah, para Nabi keturunan Adam dan (keturunan) mereka, yang Kami bawa bersama Nuh (dalam bahtera), keturunan Ibrahim dan Isra’il, dan (keturunan mereka) yang Kami beri petunjuk dan Kami pilih. Bila dibacakan kepada mereka ayat­ayat Allah Yang Maha Pemurah, mereka tunduk bersujud dan berurai air mata.[16]

Dan semua ahli tafsir sependapat bahwa Nabi Muhammad saw adalah dari keturunan (dzurriyah) Ibrahim. Dalam ayat yang lain Nabi Muhammad disebut sebagai keluarga (al) Ibrahim:

Sungguh Allah telah memilih Adam dan Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran di atas segala bangsa.[17]

Istilah al (keluarga) seperti pada ayat di atas terdapat pada 26 ayat Al­Qur’an yang berhubungan dengan keturunan para Nabi, serta berkah khusus yang dilimpahkan kepada mereka. Di bagian lain Allah SWT berfirman:

Ataukah mereka dengki kepada manusia, karena Allah memberi mereka sebagian dari karunia­ Nya? Sungguh, telah Kami beri keluarga Ibrahim Kitab dan Hikmah, dan Kami beri mereka kerajaan yang besar.[18]

Istilah ahl (keluarga) mempunyai arti yang sama dengan al. Tetapi, bila dirangkaikan dengan bait (rumah) menjadi ahlu’l­bait, maka yang dimasukkan adalah keturunan langsung, seperti terdapat pada ayat Al­Qur’an yang berikut:

Allah hanya hendak menghilangkan (segala) kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah), dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya.[19]

Jumhur atau kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan ahlu’lbait dalam ayat itu adalah putri Nabi Fathimah, sepupu dan menantu beliau ‘Ali bin Abi Thalib, serta kedua cucu yang sangat beliau cintai Hasan dan Husein.

Hadis Kisa

Hadis Kisa yang menyangkut turunnya ayat ini, diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, ummu’l­muminin ‘A’isyah dan ummu’l­muminin Ummu Salamah, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Umar bin Abi Salmah, Abu Said al­Khudri, Sa’d bin Abi Waqqash, Anas bin Malik dan lain­lain.

Ummu Salamah berkata: “Ayat Allah hanya hendak menghilangkan (segala) kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah), dan menyucikan kamu sebersih­bersihnya turun di rumahku. Dan di rumahku ada tujuh, Jibril dan Mikail as., ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain ra dan saya berada di dekat pintu rumahku.”

“Aku bertanya: ‘Ya Rasul Allah apakah saya tidak termasuk ahlu’l­bait?” Rasul menjawab: ‘Sesunggulmya engkau dalam kebaikan, engkau adalah istri Rasul’. Di bagian lain Rasul menutup ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dengan kain (Kisa’), lalu turunlah ayat di atas sehingga dinamakan Hadis Kisa’ dan ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain dinamakan Ahlul Kisa’.[20]

Istilah lain, yakni qurba (berasal dari kata qaruba yang berarti dekat) dimaksudkan juga keturunan langsung dari seseorang, seperti tersebut pada firman Allah dalam Al­Qur’an:

Itulah (karunia) yang Allah kabarkan beritanya yang gembira kepada hamba­hamba­Nya yang beriman dan melakukan amal kebaikan. Katakanlah, ‘Tiada kuminta kepadamu upah untuk itu, hanya kasih sayang kepada keluarga (qurba)’. Dan barangsiapa yang memperoleh kebaikan Kami akan tambahkan pula kepadanya kebaikan. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Berterima kasih.[21]

Dan sekali lagi, jumhur sependapat bahwa istilah qurba (keluarga) di sini memaksudkan keluarga Muhammad saw, yaitu Fathimah az­Zahra’ ‘Ali bin Abi Thalib, Hasan serta Husain. Tentu yang dimaksudkan dengan jumhur (mayoritas) disini adalah tokoh­tokoh Sunni yang mempertimbangkan ‘Enam Kitab Shahih’, ash­shihah as­sittah, dalam menafsirkan ayat tersebut di atas. Sebab bagaimanapun juga ‘Enam Kitab Shahih’ yang ditulis oleh enam tokoh terpercaya Ahlus Sunnah seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Dan disini penulis tidak bermaksud mengabaikan pemikir­pemikir besar seperti Imam Ibnu Taimiyah, tapi penulis tidak memasukkan tokoh­tokoh seperti Ibnu Taimiyah tersebut karena pertimbangan di atas. Misalnya Ibnu Taimiyah dalam bukunya Minhaj al­Karamah fi ma’rifah al­Imamah menyangkal Musnad Ahmad dan hadis Bukhari serta Muslim, menganggap Iman Ahmad dan orang­orang sejenisnya sebagai orang­orang bodoh yang tidak mengetahui dan tidak mau mempelajari kitab­kitab ilmuwan (ahlul ilm) dan bahwa Imam Ahmad membohongi ‘kesepakatan ilmuwan’, di antaranya ayat Surat Asy­Syura di atas. Sebab ayat tersebut adalah Makkiah menurut ‘kesepakatan’ Ahlus Sunnah sedang ‘Ali belum lagi kawin dengan Fathimah dan Hasan serta Husain belumlah lahir. Ia menyangkal penyaksian Ibnu ‘Abbas. Alasan­alasannya memang cukup banyak dan menarik untuk dipelajari. Tetapi Ibnu Taimiyah tidak memberikan alasan sedikit pun mengapa ia memasukkan Asy­Syura ayat 23 tersebut (juga ayat 24, 25 dan 26) sebagai ayat­ayat Makkiah. Lagi pula, andaikata ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum Quraisy Makkah seperti dikatakan Ibnu Taimiyah, atau sebagai ‘kesepakatan ilmuwan’, maka konteks ayat ini menjadi tidak terpahami. Bagaimana mungkin ayat ini ditujukan kepada kaum Quraisy sedang bunyi ayat itu: Tiada kuminta kepadamu upah untuk (tablighku) itu, hanya kasih sayang kepada keluarga (qurba) sedang mereka tidak menerima tabligh Rasul Allah, malah menyiksa, menghina, memburunya sehingga sebagian Sahabat berhijrah ke Habasyah dan Rasul serta sebagian Sahabat lagi berhijrah ke Madinah?

Dalam hadis Ibnu Abbas, diceritakan pertengkaran ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib dengan orang Anshar. Abbas merasa terhina dan menyampaikannya kepada Rasul. Kemudian terdengar bisikan yang sampai kepada Rasul bahwa kaum Anshar pernah berkata bahwa Rasul dikeluarkan oleh kaumnya, orang Quraisy Makkah, dan beruntunglah ada orang Anshar yang melindungi beliau. Setelah itu orang Anshar merasa menyesal dan ingin mengorbankan seluruh harta dan apa yang ada pada mereka untuk Allah dan RasulNya. Sebagai jawaban, turunlah ayat di atas. Dan tatkala Ibnu ‘Abbas ditanya tentang maksud dari istilah qurba dalam ayat tersebut, Ibnu Abbas menjawab: al (keluarga, ahlu’l­bait) Muhammad saw’. Dan dengan demikian, hadis ini berhubungan dengan hadis­hadis Tsaqalain, Manzilah, Pintu Ilmu, Kisa’, Safinah, al­Haqq, Dakwah Kepada Keluarga Dekat, Hadis Qasim dan masih banyak hadis lain yang tercantum dalam Enam Kitab Shahih dan buku­buku Sunni terpercaya lainnya yang berhubungan dengan keutamaan dan kedudukan Fathimah, ‘Ali, Hasan dan Husain.

Lebih dari seratus ayat Al­Qur’an memuat doa untuk mendapatkan anugerah khusus dari Allah SWT, dan terkabulnya doa tersebut menunjukkan bahwa kesucian keluarga Rasul pada masa itu tidaklah dapat diragukan. Dan tidaklah dapat disangkal keutamaan keluarga Rasul dalam bidang agama, sekurang­kurangnya pada zaman itu. Tidak ada suatu suku Arab ­seperti suku Taim bin Murrah (suku Abu Bakar) atau dari suku Banu ‘Adi bin Ka’b (suku ‘Umar)­ yang dapat disamakan, dilihat dari segi agama, dengan Banu Hasyim (dalam hal ini, ‘Ali bin Abi Thalib). ‘Ali adalah cicit dari Hasyim dan cucu ‘Abdul Muththalib, anak dari paman Rasul Abu Thalib yang merawat Muhammad saw yang yatim piatu itu. ‘Ali adalah kawan Rasul yang paling dekat, yang kemudian diangkat Rasul sebagai saudaranya sebelum dan sesudah hijrah. Kalau Khadijah adalah orang pertama, maka ‘Ali adalah laki­laki pertama yang masuk Islam. ‘Ali adalah suami Fathimah yang memberikan kepadanya Hasan dan Husain, cucu yang sangat dicintai Muhammad saw, yang bahkan disebut beliau ‘anak­anakku’.

Hadis al­Ghadir

Tatkala ‘Ali menjadi khalifah, sekali ia mengumpulkan orang banyak di pekarangan masjid, lalu ia berkata kepada mereka:

Aku menghimbau, demi Allah, kepada setiap orang di antara kalian yang telah mendengar apa yang diucapkan Rasul Allah saw pada peristiwa Ghadir Khumm, agar berdiri dan memberikan kesaksiannya mengenai apa yang telah didengarnya. Dan hendaklah jangan berdiri selain mereka yang benar­benar telah menyaksikan Rasul Allah dengan kedua matanya dan kedua telinganya.

Maka berdirilah tiga puluh orang di antara para sahabat, dua belas di antaranya adalah pejuang Badr. Dan mereka memberikan kesaksian bahwa Rasul Allah saw telah mengangkat lengan ‘Ali dan bersabda: ‘Bukankah kalian ­semua mengetahui bahwa diri saya adalah yang paling utama menjadi wali bagi diri Anda, lebih dari diri Anda sendiri? ‘Mereka menjawab, ‘Benar’. Dan beliau berkata lagi, ‘Barangsiapa yang mengakui saya sebagai maulanya, maka inilah saudaranya! Ya Allah, cintailah siapa yang memperwalikannya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya!’[22]

Dengan kata lain, ‘Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa ia telah ditunjuk Rasul sebagai penggantinya. Suatu hal yang menarik dari riwayat ini ialah adanya tiga orang yang tidak mau berdiri dan memberikan kesaksiannya pada waktu itu, meskipun ketiganya ikut menyaksikan pidato Rasul di Ghadir Khumm, dan ‘Ali menyumpahi mereka. Malah di Ghadir Khumm sendiri pun pada masa itu, seorang yang bernama Harits bin Numan al­Fihri telah membangkang terhadap Rasul dan menuduh beliau belum juga merasa puas dengan agama yang disampaikannya, ‘dan mengangkat lengan sepupu Anda (‘Ali) dan mengutamakannya di atas kami semua’, dan pergilah ia meninggalkan Rasul.

Suatu keanehan, ‘Umar bin Khaththab, yang pada waktu Rasul habis berpidato datang memberi selamat kepada ‘Ali sebagai pemimpin umat sesudah Rasul, telah ‘merampas’ kekhalifahan ‘Ali ­ meminjam istilah ‘Ali sendiri­ meskipun ia telah mengetahui hak ‘Ali untuk kekhalifahan ‘seperti roda dari sebuah kincir’.

Kuatnya hadis Ghadir Khumm ini tidak dapat disangkal. Di antara para ahli yang menguatkan hadis ini ialah Imam Ahmad bin Hanbal, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan penulis­ penulis Sunni lain, seperti Ibnu Atsir dalam Usdu’l­Ghabah, Ibnu ‘Abdil Barr dalam Isti’ab, Ibnu ‘Abdu Rabbih dalam al­’Iqd al­Farid, dan Jahizh dalam ‘Utsmaniyyah. Lebih dari seratus saluran isnad yang berbeda­beda dan paling sedikit 110 Sahabat yang telah menyampaikan kesaksiannya, dan tercatat dalam buku­buku sejarah Sunni membuktikan kuatnya hadis ini. Ibnu Katsir, seorang Sunni yang fanatik, menulis tujuh setengah halaman tentang peristiwa ini.

Setelah melakukan ibadah Haji Perpisahan (Hajjatu’l­Wada) bersama jemaah haji, Rasul berhenti di Ghadir Khumm. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Dzul Hijjah tahun 10 Hijriah, 73 hari sebelum wafatnya Rasul Allah saw, 12 Rabi’ul Awal, tahun 11 Hijriah.

Ghadir Khumm adalah suatu tempat beberapa kilometer dari Makkah ke arah Madinah. Tempat berpaya dan ditumbuhi beberapa pohon rindang ini merupakan sebuah persimpangan. Disini mereka berpisah ke berbagai jurusan. Ada yang ke arah Madinah, Mesir dan Syria.

Di tempat ini pada siang hari itu turunlah ayat Al­Qur’an:

Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhan­mu. Jika tiada kau melakukannya, tiadalah kau menyampaikan amanat­Nya. Allah akan melindungimu dari orang (yang berniat jahat). Sungguh, Allah tiada memberi petunjuk orang yang ingkar.[23]

Bahwa ayat yang terkenal dengan nama ayat tabligh (sampaikan) turun dalam peristiwa ‘Ali bin Abi Thalib di Ghadir Khumm, diriwayatkan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath­Thabari yang berasal dari Zaid bin Arqam[24] , Ibnu Hatim dari Said al­Khudri dan Ibnu Mardawaih juga dari Sa’id al­Khudri. Yang lain dari Ibnu Mas’ud dan berpuluh­puluh rangkaian isnad yang tidak mungkin dikemukakan disini.

Mufasir Sunni yang kenamaan Jaliluddin Suyuthi (849­911 H/1445­1505 M) dalam tafsirnya ad­ Durru’l­Mantsur meriwayatkan dari Abu Said al­Khudri bahwa ayat ini diturunkan di Ghadir Khumm berkenaan dengan ‘Ali bin Abi Thalib. Begitu pula Sulaiman bin Ibrahim bin Muhammad at­Hanafi (1220­1294 H/1805­1877 M) dalam tafsirnya, Yanabi’u’l Mawaddah; Abu Salim bin Thalhah asy­Syafi’i dalam tafsirnya Mathalibu’s­Sa’ul, dan lain­lain.

Dalam tafsirnya, Suyuthi mencatat riwayat dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan: Pada waktu Rasul masih hidup, kaum Muslimin membaca ayat itu (dengan pengertian) demikian:

Hai, Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu bahwa ‘Ali adalah wali mu’minin, dan jika tiada kau melakukannya, tiadalah kau menyampaikan amanatnya. Allah akan melindungimu dari orang (berniat jahat). Sungguh Allah tiada memberi petunjuk orang yang ingkar.[25]

Karena polemik yang yang kelewat batas, ada yang berusaha menerangkan bahwa ayat ini turun berkenan dengan takutnya Rasul kepada orang Kristen dan Yahudi. Tetapi pada musim haji perpisahan ini tidak ada orang Kristen dan Yahudi di sana yang harus ditakuti Rasul, karena yang hadir pada masa itu hanyalah kaum Muslimin. Dan ayat­ayat mengenai Ahlul Kitab telah turun lama sebelumnya.

Setelah turun ayat tabligh tersebut beliau lalu menunggu orang­orang yang berjalan di belakang sambil menyuruh orang memanggil mereka yang di depan.[26] Rasul Allah melarang para Sahabat berhenti di bawah pohon­pohon yang tersebar di dalam lembah itu, dan memerintahkan membersihkan duri­duri yang berhamburan di bawah pohon­ pohon tersebut. Beliau kemudian memerintahkan shalat berjemaah.[27]

Beliau juga menyuruh menjadikan batang­batang pohon sebagai tiang untuk membangun kemah dengan merentangkan kain untuk berteduh dari sengatan matahari.[28]

Setelah shalat dzuhur pada tengah hari yang menyengat,[29] beliau mengucapkan ‘Alhamdulillah, memuji Allah SWT, lalu menyampaikan khotbahnya. Setelah mengucapkan apa yang dikehendaki Allah SWT untuk disampaikarmya, beliau berucap:

Wahai manusia, hampir tiba saatnya aku akan dipanggil dan aku pasti akan memenuhi panggilan itu. Dan aku akan dimintai pertanggungjawaban, maka apa yang akan kamu katakan?

Mereka menjawab: Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan dan telah memberi nasihat dengan tulus. Semoga Allah memberi balasan yang sebaik­baiknya.

Lalu Rasul Allah saw bersabda lagi: Bukankah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, dan bahwa surga­Nya adalah benar, dan neraka adalah haq. Jemaah: Kami bersaksi seperti yang engkau sampaikan!. Rasul Allah saw: Ya Allah saksikanlah!. Apakah kamu mendengarkan?

Jemaah: Betul!

Rasul Allah saw: Wahai manusia sekalian, ketahuilah bahwasanya aku akan menjadi pendahulumu meninggalkan dunia ini, dan aku akan menunggumu di telaga Haudh. Haudh yang lebih luas dari (daerah antara) Bashra (sebuah kota dekat Baghdad atau dekat Damaskus pen.) sampai ke Shan’a di mana tersedia gelas­gelas perak sebanyak bilangan bintang­bintang di langit. Dan aku akan bertanya kepadamu tentang dua hal yang berat dan berharga, ats­tsaqalain, bagaimana kamu memperlakukannya sepeninggalku. Yang sebuah adalah yang terbesar yaitu Kitab Allah ‘Azza wa Jalla, ujungnya yang satu di tangan Allah dan yang lain di tanganmu. Maka berpeganglah erat­erat kepadanya niscaya kamu tidak akan sesat dan tidak berubah arah. Dan yang lain adalah ‘ithrah­ku, Ahlu’l­bait­ku sebab Allah Yang Maha Meliputi dan Maha Mengetahui telah memberitahukan kepadaku bahwa kedua­duanya tidak akan berpisah sampai menemuiku di Haudh. Dan janganlah kamu mendahului atau mengecilkan keduanya karena dengan berbuat demikian kamu akan celaka, dan janganlah menggurui mereka karena mereka lebih tahu dari kamu![30]

Rasul Allah saw bersabda lagi: Tahukah kalian bahwa akulah yang terdahulu menjadi Mu’min dari diri mereka sendiri?!

Hadirin: Benar![31]

Rasul Allah: Tidakkah kalian mengetahui atau menyaksikan bahwa aku adalah paling utama menjadi wali bagi setiap kaum mu’minin lebih dari diri mereka sendiri?[32]

Rasul Allah saw lalu memegang dan mengangkat tangan ‘Ali bin Abi Thalib dengan kedua tangannya sehingga hadirin dapat melihat kedua ketiaknya yang putih.[33]

Kemudian Rastl Allah saw bersabda: Wahai manusia sekalian! Allah adalah maulaku dan aku adalah maula kalian[34] , maka barang siapa menganggap aku sebagai maulanya, maka ‘Ali ini (juga) adalah maulanya![35]

Ya Allah, cintailah siapa yang memperwalikannya, dan musuhilah siapa yang memusuhinya![36] Ibnu Katsir meriwayatkan[37] dengan kalimat: “Dan aku berkata kepada Zaid: ‘Apakah engkau mendengamya dari Rasul Allah’ Zaid menjawab: “Setiap orang yang berada dalam kemah­kemah itu melihat dengan kedua matanya dan mendengar dengan kedua kupingnya”. Kemudian Ibnu Katsir berkata: “Telah berkata Syaikh kita Abu Abdullah Dzahabi: “Hadis ini adalah shahih!.

Tolonglah siapa yang menolongnya dan tinggalkan siapa yang meninggalkannya![38] . Cintailah siapa yang mencintainya dan bencilah siapa yang membencinya![39]

Selanjutnya beliau bersabda: Ya Allah, aku bersaksi![40]

Rasul Allah saw tidak berpisah dengan ‘Ali sampai turun ayat terakhir:

“Hari ini orang kafir berputus asa, (memalingkan kamu) dari agama. Maka janganlah takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada­Ku. Hari ini telah Kusempurnakan agamamu bagimu, dan telah Kucukupkan nikmatKu bagimu, dan telah Kupilih Islam bagimu sebagai agama.”[41]

Akhirnya Rasul Allah bersabda: ‘Allah sungguh Maha Besar dengan menyempurnakan agama­Nya dan mencukupkan nikmat­Nya serta meridhai risalahku dan menetapkan wilayah bagi ‘Ali![42]

‘Umar dan Abu Bakar Beri Selamat Pada ‘Ali

Sesudah itu ‘Umar bin Khaththab datang bersama jemaah menemui ‘Ali dan ‘Umar berkata: ‘Alangkah bahagianya Anda (hani’an laka) wahai Ibnu Abi Thalib, Anda menjadi maula setiap mu’min dan mu’minat!’ Dan di riwayat lain: ‘Beruntung Anda (bakhin bakhin laka) wahai Ibnu Abi Thalib!’. Dan dalam riwayat lain: ‘Beruntungya ‘Ali! (bakhin ya ‘Ali) engkau menjadi maula kaum mu’minin dan mu’minat!

Ada dengan lafal: “Hani’an laka yabna Abi Thalib! ashbahta wa amsaita maula kulli mu’minin wa mu’ininat!” (Selamat bagimu, hai Ibnu Abu Thalib, engkau telah menjadi maula setiap mu’min dan mu’minat). Ada dengan lafal: “Hani’an laka, ashbahta wa amsaita maula kulli muminin wa muminat!” (tanpa yabna Abi Thalib). Ada “Amsaita yabna Abi Thalib maula kulli mu’minin wa mu’minat yang punya arti sama. Ada “Hani’an laka yabna Abi Thalib, ashbahta maulaya wa maula kulli mu’minin wa mu’minat” (Selamat ya Ibnu Abi Thalib, engkau telah menjadi maulaku dan maula setiap mu’min dan mu’minat). Ada yang berlafal: “Bakhin, bakhin yabna Abi Thalib! yang punya arti serupa. Ada pula dengan lafal: “Bakhin ya aba’l Hasan.. (Selamat ya ayah dari Hasan..!). Ada lagi: “Thuba laka ya abal Hasan.. (Beruntung Anda, ya ayah dari Hasan!). Ada pula: “Bakhin, bakhin laka ya aba’l hasan” (Selamat ya ayah dari Hasan!)[43]

Demikianlah peristiwa pidato Rasul Allah saw di Ghadir Khumm bila dirangkaikan dari catatan­ catatan sejarahwan dan ‘ulama Sunni. Sumber­sumbernya hampir tidak terhitung jumlahnya dan barangkali memerlukan beberapa buku terpisah untuk membicarakannya. Mengenai pidato Rasul Allah di Ghadir Khumm, L. Veccia Vaglieri berkata:

Akan tetapi pasti bahwa Muhammad telah berbicara di tempat ini dan mengucapkan kalimat terkenal tersebut karena laporan peristiwa ini telah terpelihara dalam bentuk singkat atau dalam bentuk terinci, bukan hanya oleh al­Ya’qubi yang terkenal bersimpati pada ‘Ali, tapi juga dalam kumpulan­kumpulan hadis yang dianggap shahih, terutama dalam Musnad Ibnu Hanbal; dan hadis­ hadis adalah demikian banyak dan teruji demikian baik dari berbagai­bagai isnad, sehingga tidak mungkin menolaknya. [44]

Seorang sarjana masa kini, Husain al­Mahfuzh, dalam penelitiannya tentang Ghadir Khumm, mendapatkan catatan­catatan yang paling sedikit dari 110 Sahabat Nabi, 84 tabi’in, 355 ulama, 25 ahli sejarah, 27 ahli hadis, 11 mufasir, 18 ahli ilmu kalam dan 5 ahli bahasa dalam bukunya Tarikh asy­Syiah.[45]

Sebagai kesimpulan dapat kita katakan bahwa delapan puluh hari sebelum Rasul wafat, turunlah ayat yang terakhir. Sebelum ayat yang terakhir ini turun, Rasul diperintahkan Allah SWT, dengan wahyu, untuk melakukan sesuatu, yang dilaksanakan Nabi di hadapan kaum Muslimin. Dan yang diperintahkan kepada beliau ialah mengangkat ‘Ali sebagai wali atau penguasa kaum Muslimin sesudah Allah dan Rasul­Nya. Maka sukarlah disangkal bahwa pengangkatan ‘Ali bin Abi Thalib menjadi wali kaum Muslimin merupakan bagian dari kerasulan dan kesempurnaan risalah yang dibawanya.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa Rasul enggan akan menyampaikannya, karena akan mendapat tantangan, tetapi Allah SWT mengatakan dengan tegas:

“Jika tidak kau melakukannya, tiadalah kau menyampaikan amanat­Nya. Allah akan melindungimu dari orang (yang berniat jahat). Sungguh Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang ingkar”.

Hadis al­Manzilah

Turunnya ayat: “Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah dan Rasul­Nya dan mereka yang beriman, yaitu mereka yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat sambil rukuk”[46]

berhubungan dengan ‘Ali bin Abi Thalib sebagaimana dimuat dalam buku­buku tafsir, hadis dan fiqih[47] Kita kutip disini dari Tsalabi dalam menafsirkan Surat Al­Ma’idah ayat 55: Abu Dzarr al­ Ghifari berkata: Pada, suatu hari kami sedang shalat dzuhur bersama Nabi. Seorang miskin meminta sesuatu, tetapi tiada seorang pun yang memberikannya sedekah. Orang itu lalu menengadahkan tangannya ke atas, sambil berkata: ‘Ya, Allah! Jadikanlah saksi bahwa di Masjid Rasul tiada seorang pun memberikan sesuatu’. ‘Ali bin Abi Thalib sedang rukuk dalam shalatnya. Ia lalu menunjukkan jarinya, dan pengemis itu kemudian mengambil cincin dijari ‘Ali lalu pergi. Rasul yang menyaksikan peristiwa itu mengangkat kepala seraya berkata:

Saudaraku Musa memohon kepada­Mu, ‘Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku. Mudahkanlah tugas bagiku. Dan hilangkanlah buhul dari lidahku, supaya mereka paham akan perkataanku. Berikanlah aku seorang pembantu dari keluargaku, yakni Harun saudaraku. Kuatkanlah tenagaku dengan (tenaganya). Dan jadikanlah ia sekutu dalam tugasku.[48]

Ya Allah, Aku juga adalah Nabi­Mu! Kuatkanlah diriku dan mudahkanlah tugas­tugasku, dan jadikanlah ‘Ali sebagai pembantuku dan sekutuku!’

Abu Dzarr al­Ghifari melanjutkan, ‘Kata­kata Nabi malah belum selesai tatkala turun ayat (untuk kaum Muslimin), yang berbunyi:

“Sungguh, walimu hanyalah Allah dan Rasul­Nya serta orang­orang yang beriman, yaitu orang yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat tatkala ia sedang rukuk.”[49]

Tatkala meninggalkan kaumnya ke gunung Thur selama empat puluh hari, Musa menunjuk Harun menjadi Imam bagi kaumnya. Rasul melakukan hal yang serupa. Beliau meninggalkan ‘Ali di Madinah waktu perang Tabuk. Tatkala ‘Ali mengeluh kepada Rasul yang akan meninggalkannya di rumah dan tidak ikut berperang, Rasul berkata:

Apakah engkau tidak puas dengan kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tiada Nabi sesudah aku.[50]

Permohonon Musa agar Allah memberinya seorang wazir diceritakan dalam Al­Qur’an:

“Berikan aku seorang wazir dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkan tenagaku dengan tenaganya, dan jadikanlah ia sekutuku dalam tugasku.”[51]

Dan di bagian lain, pesan Musa terhadap Harun:

Dan Allah mengabulkan permintaan itu: “(Allah) berfirman: Ku­kabulkan permintaanmu, hai Musa!”[52]

Nash di atas menunjukkan bahwa ‘Ali orang kedua sesudah Rasul, wazir Rasulullah saw baik semasa hidup maupun sesudah wafatnya Rasul dan umat Islam wajib taat kepadanya.