• Mulai
  • Sebelumnya
  • 25 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Pengunjung: 2401 / Download: 862
Ukuran Ukuran Ukuran
Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (10)

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (10)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

sejarah islam

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah

by: O. Hashem

Jakarta

2004

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM

“Wahai orang­orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar­benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kebenaran) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Al­Qur’an

Surah An­Nisa’: 135

Prakata Penulis

Buku‘Saqifah’ cetakan keempat oleh Yapi ini bertambah tebal hampir dua kali lipat dibandingkan cetakan sebelumnya. Kritik­kritik tertulis dalam bentuk buku dan artikel di beberapa majalah maupun kritik lisan dalam diskusi­diskusi khusus untuk membicarakan buku ini, memaksa penulis melengkapinya.

Pembaca dapat langsung mengikuti peristiwa Saqifah dengan meloncat ke bab 2; ‘Sumber’.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada penulis ahli sejarah Islam Al Allamah, Habib Zainal 'Abidin bin Husain Al Muhdhar atas kebaikannya meminjamkan buku­buku yang sukar didapat.

Demikian juga kepada Ustadz Ahmad bin Abdurrahman Al Aydrus, seorang ahli sastra yang juga memberikan buku­buku yang penulis butuhkan. Juga kepada kawan yang penulis cintai Wancik Cherid yang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan buku ini. Penulis juga berhutang budi kepada banyak teman­teman yagg tidak mungkin penulis sebut satu demi satu.

Akhirnya kepada isteri penulis Hadijah yang dengan sabar membaca dan memberi catatan­catatan pada naskah buku ini.

Tanpa semua ini buku ini tidak mungkin ada.

Wabillahi Taufiq wal Hidayah.

Penerbit

Bab 19. Apendiks

Riwayat Tiga dan Tiga

Dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang berkata bahwa ia menghadap Abu Bakar ash­Shiddiq ra yang sedang sakit yang mengakibatkan ia meninggal dunia.[1]

Kita petik catatan Ibnu Qutaibah:

Abu Bakar memerintah dua tahun dan beberapa bulan, kemudian ia sakit yang mengakhiri hidupnya. Sahabat­sahabat Nabi saw menjenguknya, di antaranya ‘Abdurrahman bin ‘Auf yang berkata kepadanya: ‘Bagaimana keadaanmu wahai khalifah Rasulullah? Aku sungguh mengharapkan Anda lekas sembuh’. Abu Bakar menjawab: ‘Anda mengharap demikian?’. ‘Abdurrahman bin ‘Auf: ‘Ya’. Abu Bakar: ‘Aku sakit berat…’[2]

Selanjutnya Abu Bakar berkata: ‘Aku tidak menyesali sesuatu dari dunia ini, kecuali:

1. Tiga yang kulakukan, seharusnya tidak kulakukan (laitani kuntu taraktu hunna)

2. Tiga yang tidak kulakukan, seharusnya kulakukan (laitani kuntu fa’altu hunna)

Tiga yang kulakukan tapi seharusnya tidak kulakukan adalah:

1. Aku ingin agar aku tidak membuka tirai rumah Fathimah biarpun dengan demikian akan timbul peperangan.[3]

2. Aku ingin agar tidak membakar Fuja’ah as­Silmi. Aku seharusnya segera membunuhnya dan menghabisinya.

3. Aku ingin pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, aku memikulkan beban khalifah di pundak satu dari dua orang, ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah dan aku jadi wazirnya.

Tiga yang tidak kulakukan dan ingin kulakukan adalah:

1. Seharusnya kupenggal leher Asy’ats bin Qays dan tidak membiarkan ia hidup.[4]

2. Sebaiknya kukirim Khalid bin Walid ke Syam dan ‘Umar bin Khaththab ke Irak.[5]

3. Aku mestinya bertanya kepada Rasul, siapa seharusnya jadi khalifah, agar tidak akan berselisih dua orang. Kuingin bertanya apakah kaum Anshar juga berhak atas kekhalifahan ini[6] , dan kuingin tanyakan mengenai warisan[7] terhadap putrinya.[8]

Orang tentu saja heran mengenai logika Abu Bakar yang sampai akhir hidupnya, agaknya tidak begitu yakin apakah kekhalifahan ditentukan oleh nash atau musyawarah.

Karena nash harus didulukan dari musyawarah, maka bagaimana pula menafsirkan nash untuk ‘Ali yang tertera dalam kitab­kitab shahih yang berbunyi seperti:

1. Barangsiapa menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ‘Ali juga adalah pemimpinnya.

2. Aku tinggalkan kepadamu dua masalah yang berat[9] : Kitab Allah dan keluargaku, ahlulbaitku.

3. Aku tinggalkan kepadamu dua khalifah, Kitab Allah dan ahlul baitku.

4. Kedudukan ‘Ali di sisiku seperti kedudukan Harun terhadap Musa, kecuali tiada lagi Nabi sesudahku.

5. Apakah kau tidak gembira bahwa kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa kecuali kau bukan Nabi, dan aku tidak ingin bepergian kecuali engkau jadi khalifahku?

6. Telah diwahyukan kepadaku mengenai ‘Ali, tiga hal: bahwa ia adalah penghulu kaum muslimin, Imam kaum yang bertakwa dan pemimpin orang­orang mulia.[10]

7. ‘Ali adalah ash­Shiddiqu’l­akbar dan Faruq umat ini, yang memisahkan kebenaran dan kebatilan, pemimpin kaum beriman.

8. ‘Ali adalah lambang tuntunan, imam dari para waliku, cahaya dari orang yang taat kepadaku, kalimat penawar fitnah bagi kaum yang bertakwa. Menyintainya berarti menyintaiku, dan barang­ siapa yang membencinya berarti membenciku.

9. ‘Ali adalah saudaraku, pengemban wasiatku, pewarisku dan khalifah sesudahku.

10. ‘Ali adalah penghulu yang terhormat[11] , harapan kaum muslimin, pemimpin kaum yang beriman,[12] tempat rahasiaku dan ilmuku dan pintuku, tempatku berteduh, pemikul wasiat ahlu’l­baitku, yang terbaik dari umatku dan dia saudaraku di dunia dan akhirat.

11. ‘Ali adalah saudara dan wazirku dan yang terbaik dari yang kutinggalkan.

12. ‘Ali bersama hak dan hak bersama ‘Ali dan tidak akan pernah berpisah keduanya sampai bertemu denganku di telaga al­haudh.

13. ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya, dan ‘Ali adalah lidah kebenaran, dan kebenaran mengikuti kemana ‘Ali pergi.

14. ‘Ali bersama Al­Qur’an dan al­Qur’an bersamanya, keduanya tidak akan berpisah sampai bertemu denganku di telaga al­haudh.

15. ‘Ali dari diriku dan aku dari dirinya, dan ia pemimpin semua kaum mu’min sesudahku.

16. ‘Ali adalah maula semua mukmin dan mukminat sesudahku.

17. ‘Ali diturunkan Allah dari diriku sebagaimana aku dari padanya.

18. ‘Ali adalah wali semua mu’min sesudahku.

19. ‘Ali adalah dari diriku sebagaimana halnya aku dari rabbiku.

20. ‘Ali adalah wali kaum mukminin sesudahku.

21. Barangsiapa menganggap Allah dan Rasulnya sebagai pemimpinnya maka ‘Ali adalah pemimpinnya juga.

22. Tidak boleh ada yang menyampaikan dari diriku kecuali saya atau seorang lelaki dari diriku sendiri.

23. Tiada Nabi kecuali memiliki pasangan yang serupa, nazhir dan ‘Ali adalah nadzir­ku.

24. Aku dan ‘Ali adalah hujjah, argumen umatku pada hari kiamat.

25. Barangsiapa menaati ‘Ali[13] , maka ia menaatiku, dan barangsiapa menentang ‘Ali[14] maka ia menentangku.

Kalau hadits­hadits ini tidak dianggap nash lalu hadits­hadits bagaimana pula yang diharapkan Abu Bakar akan diucapkan Rasul untuk kaum Quraisy atau Anshar yang ingin ditanyakan oleh Abu Bakar?

Kalau nash yang didengar Abu Bakar seorang diri dari Rasul, ‘Pemimpin adalah dari kaum Quraisy’ dijadikan hujjah Abu Bakar di Saqifah diragukan, mengapa pula menolak demikian banyak nash untuk ‘Ali?

Bukankah keraguan ini merupakan musibah besar, karena nash yang diragukan ini telah menyebabkan tersingkirnya suara mayoritas Anshar di Saqifah? Dan dengan demikian meragukan keabsahan kekhalifahan yang dipegang Abu Bakar sendiri?

Dan mengapa pula Abu Bakar menghibahkan kekhalifahan kepada ‘Umar dan tidak mengadakan musyawarah sekali lagi dan mengatakan kepada para hadirin bahwa ia sebenarnya tidak mendengar sendiri hadits tunggal tersebut?

Asy’ats bin Qays al­Kindi

Nama aslinya Ma’di Karib, tetapi karena rambutnya acak­acakan, maka ia dinamai Asy’ats, Si Rambut Acak.[15] Sebelah matanya jadi buta pada waktu perang Yarmuk, setelah ditawan karena murtad dan telah membunuh banyak kaum Muslimin, ia dibawa ke Madinah. Ia lalu menerima Islam untuk kesekian kalinya dan dikawinkan Abu Bakar dengan adiknya Umm, Farwah binti Abi Quhafah, yang dua kali jadi janda, janda al­Azdi dan Tamim ad­Darimi. Umm Farwah juga buta sebelah matanya.

Setelah dinikahkan ia menghunus pedangnya dan masuk ke pasar unta kota Madinah dan tanpa memilih jantan atau betina ia memotong urat keting unta­unta yang ada. Orang­orang berteriak, “Asy’ats telah kafir” Ia menyarungkan pedangnya sambil berteriak: ‘Demi Allah aku tidak kafir, tapi lelaki itu telah mengawinkan adik perempuannya denganku. Di tempat kami, walimah, pesta perkawinan, lebih dari ini. Hai penduduk Madinah, makanlah, hai pemilik unta ambillah uangnya dan hari itu diserupakan dengan Hari Raya Kurban.[16]

Hujur bin ‘Adi[17] melaporkan bahwa Asy’ats bin Qays ini mengotaki pembunuhan Imam ‘Ali bin Abi Thalib. Pada malam pembunuhan, Ibnu Muljam datang kepada Asy’ats bin Qays dan keduanya beristirahat di sudut masjid dan duduk di sana sampai Hujur bin ‘Adi lewat dan mendengar Asy’ats berkata kepada Ibnu Muljam: “Cepat, atau cahaya fajar akan menyulitkanmu.” Tatkala mendengar ini Hujur berkata pada Asy’ats: “Hai orang bermata satu, a’war, engkau berencana membunuh ‘Ali” dan ia segera pergi kepada ‘Ali bin Abi Thalib, tapi ia sudah didahului Ibnu Muljam yang telah membacok ‘Ali. Tatkala berpaling, Hujur mendengar orang sedang menjerit: “‘Ali dibunuh!”[18]

Peristiwa Fuja’ah

Mengenai Al­Fuja’ah yang dibakar hidup­hidup oleh Abu Bakar, nama panggilan Iyas bin ‘Abdullah bin ‘Abd Yalil, adalah seorang lelaki dari Bani Salim yang mendatangi Abu Bakar dan berkata: ‘Saya adalah seorang Muslim dan ingin berjihad melawan kaum ‘murtad’, maka ajaklah saya.’ Abu Bakar mengabulkannya dan Fuja’ah ternyata merampok kaum Muslimin dan kaum yang ‘murtad’ sekaligus. Ia mengambil harta benda mereka, dan membunuh yang menghalanginya. Ia ditemani seorang lelaki dari Bani Syarid yang bernama Najbah bin Abi ats­ Tsana’. Tatkala Abu Bakar mendengar berita ini ia menulis kepada Tharifah bin Ja’jaz: “Sesungguhnya musuh Allah Fuja’ah mendatangi saya dan mengatakan bahwa ia Muslim dan memohon agar ia dibolehkan memperkuat pasukan melawan kaum murtad, yang keluar dari Islam. Maka saya mengambilnya dan mempersenjatainya. Telah sampai kabar kepada saya bahwa ia ternyata tidak membedakan muslim dan ‘murtad’ dan merampas harta mereka serta membunuh siapa saja yang menghalangi. Kejar dia lalu bunuhlah dia atau bawa dia kepadaku.” Tharifah mengejamya. Tatkala bertemu mereka saling memanah dan Najbah bin Abi ats­Tsana’ terpanah. Tatkala melihat temannya terbunuh, Fuja’ah berkata kepada Tharifah: “Demi Allah engkau lebih dahulu jadi Amir dariku. Engkau Amir bagi Abu Bakar dan demikian pula aku.” Tharifah menjawab: “Bila Anda bicara benar, maka letakkan senjatamu.”

Dan Tharifah mengantarnya kepada Abu Bakar. Dan setelah menghadap, Abu Bakar memerintahkan Tharifah bin Jajaz dengan kata­kata: “Bawa dia ke pekuburan al­Baqi’ dan bakarlah dia dengan api.” Tharifah lalu membawanya ke tempat pembakaran, menyulut kayu bakar dan melempar Fuja’ah ke dalam api.

Dan dalam lafal Thabari: Ia lalu menyulut api di atas tumpukan kayu bakar di Tempat Pembakaran al­Madinah, kemudian melemparkannya ke dalam api dengan badan terikat.” Dan dalam lafal Ibnu Katsir: Kedua tangan diikat bersama di tengkuknya dan dilemparkan ke dalam api dalam keadaan terikat dan badannya kemudian terpisah­pisah.”[19]

Pembakaran Bani Salim

Diriwayatkan dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya ‘Urwah bin Zubair: ‘Di daerah Bani Salim terdapat kaum ‘murtad’ maka Abu Bakar mengirim Khalid bin Walid dan kaum lelakinya dikurung dan dibakar hidup­hidup. Berita ini sampai kepada ‘Umar bin Khaththab dan ia lalu mendatangi Abu Bakar dan berkata: ‘Panggilkan lelaki yang mengazab orang dengan azab yang hanya Allah ‘Azza wa Jalla boleh melakukannya. Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan menyarungkan pedang yang telah dihunus Allah untuk melawan musuh­musuh­Nya…[20]

Maksud ‘Umar adalah hadits Nabi: “Janganlah menyiksa orang dengan api, kecuali Pemilik api. “Rasul juga bersabda: “Sungguh tidak boleh mengazab orang dengan api, kecuali Allah.” Rasul juga bersabda:.”Jangan menyiksa dengan api, kecuali Pemiliknya.”[21]

Orang tidak mengetahui mengapa ia digambarkan sebagai pedang yang dihunus Allah untuk melawan musuh­musuhnya, sedang ‘Umar mengatakannya sebagai musuh Allah yang membunuh Muslim dan meniduri istrinya malam itu juga, atau seperti dilaporkan oleh sejarawan Ibnu ‘Asakir bahwa ia dan pembantunya Dharar bin Azwar adalah pembunuh berdarah dingin, pemabuk dan penzina.[22]

Kaum Murtad

Penyesalan Abu Bakar bahwa ia seharusnya mengirim Khalid bin Walid ke Syam, mungkin berkaitan dengan Perang Ridat, peperangan terhadap kaum Muslimin yang tidak hendak membaiat Abu Bakar dan tidak mengirim zakatnya ke Madinah tanpa lebih dahulu melakukan musyawarah atau memberi tenggang waktu, yang dikritik oleh ‘Umar bin Khaththab dan banyak ulama.

Riddah atau kemurtadan berasal dari kata kerja radda, yaruddu berarti: mengembalikan atau ditolak.

Makna pertama, mengembalikan, terlihat dari ayat berikut:

“Hai orang yang beriman! Jika kamu patuhi orang yang kafir, Mereka akan kembalikan kamu (pada kekafiran) Sehingga kamu berbalik dengan menderita kerugian.” (Qs. Ali ‘Imran: 149)[23]

Contoh arti kedua, karta kerja pasif ditolak terdapat dalam Al­Qur’an:

“Jika mereka mendustakanmu, Katakanlah, Tuhanmu penuh rahmat yang luas lapang, Dan azab­ Nya tiada dapat ditolak dari kaum yang berdosa.” (Qs. Yusuf: 147?)[24] Dan kata Irtidad dari kata kerja irtadda, yartadidu berarti kembali atau berbalik, seperti Al­Qur’in Surah 12 ayat 96.

Kata kerja radda atau yaruddu berati juga memurtadkan, dan kata kerja irtadda berarti menjadi murtad, seperti bunyi ayat Al­Qur’an:

“Mereka menanyakan kepadamu tentang Berperang dalam bulan haram Jawablah, “Berperang dalam bulan itu adalah (dosa yang) besar” Tapi lebih besar (dosanya) menurut Allah, Menghalangi orang dari jalanNya, dan mengingkari­Nya, (Menghalangi orang masuk) Masjidil Haram, Dan mengusir penghuninya dari sekitarnya. Fitnah itu lebih jahat dari pembunuhan. Dan tiada mereka berhenti memerangi kamu, Sebelum mereka memurtadkan (yaruddu) kamu dari agamamu, Sekiranya mereka mumpu (melakukannya). Dan barang siapa di antara kamu murtad (yartadidu) dari agamanya Lalu mati dalam kekafiran, Merekalah orang yang amalnya sia­sia di dunia dan akhirat. Mereka penghuni­penghuni api (neraka) Mereka tinggal di dalamnya selama­lamanya. (Qs. Al­Baqarah: 217)

Riddah atau irtidad dengan demikian berarti ridat atau kemurtadan. Dan orang yang berbalik dari agama, irtadda, disebut murtad.

Ridat di Zaman Rasul

Di zaman Rasul ada sahabat yang jadi murtad seperti ‘Abdullah bin Abi Sarh. Ia jadi muslim dan berhijrah ke Madinah dan menulis wahyu untuk Rasul. Kemudian ia jadi murtad dan kembali kepada kaum Quraisy di Makkah.

Di Makkah ia menghujat Nabi dan berkata kepada kaum jahiliah: “Aku menukarkan sesukaku (apa yang didiktekan Muhammad). Tatkala ia mendikte ‘Azizun Hakim maka kukatakan: atau ‘Alimun Hakim dan Muhammad mengatakan: ‘Ya, semua benar.” Dan tatkala Penaklukan Makkah Rasul mengatakan bahwa darahnya tidak berharga dan memerintahkan untuk membunuhnya meskipun ia berlindung dalam Ka’bah. Ia melarikan diri kepada ‘Utsman bin ‘Affan, saudara susunya, yang memohon pengampunan Rasul dan Rasul memenuhi permintaan ‘Utsman.[25]

Seorang murtad lain adalah ‘Ubaidullah bin Jahsy, suami Ummu Habilbah. Suami istri ini menjadi muslim dan berhijrah ke Habasyah. Sang suami berpindah ke agama Kristen dan mati dalam agama ini.

Yang lain adalah ‘Abdullah bin Khaththal yang dibunuh tatkala ia sedang bergantung mencari perlindungan di sudut Ka’bah.

Ridat di Zaman Abu Bakar

Berita wafatnya Rasul menyebar dengan cepat ke seluruh Jazirah Arab. Ada dua golongan di Jazirah Arab, kafir dan muslim.

Bagi kaum Muslimin, berita wafatnya Rasul, bagaikan sambaran petir. Orang menjadi cemas dan gelisah. Ada yang menangis ada yang ragu. Banyak muslim di luar Madinah pernah bertemu Rasul. Diantaranya baru 73 hari yang lalu menemani Rasul menunaikan ibadah Haji Perpisahan. Bila penduduk Madinah hanya belasan ribu orang, maka tentulah sebagian besar, sepuluh kali lipat, datang dari luar untuk berhaji bersama Rasul, karena para sejarawan menulis bahwa yang menunaikan bersama Rasul yang berkumpul dan berangkat dari Madinah saja berjumlah sekitar 120.000 (seratus dua puluh ribu) Muslimin.

Mereka melihat suasana panas di Madinah. Yang dibaiat adalah Abu Bakar. Pemimpin Anshar Sa’d bin ‘Ubadah menolak mengakui Abu Bakar sebagai khalifah. Begitu pula seluruh ahlu’l­bait. Kecuali suara tangisan dan ratapan seperti dilaporkan Abu Dzu’aib al­Hudzali, suasana terasa gerah.

Mereka yang berada di luar Madinah tidak hendak membaiat Abu Bakar dan tidak mengirimkan zakat ke Madinah. Mereka membagi zakat pada kaum mustahik dalam kaumnya masing­masing sambil menunggu terjadi perubahan seperti kita baca dalam sajak Malik bin Nuwairah.

Mereka tidak meninggalkan shalat tidak berhenti menjadi muzakki, pembayar zakat.

Kaum pembangkang ini dihadapi Abu Bakar dengan peperangan bersamaan dengan peperangan terhadap kaum kafir di Jazirah Arab. Dan semua peperangan ini dinamakan perang ridat.

Dr. Hasan Ibrahim[26] berkata dalam bukunya Tarikh al­Islam Siyasi[27]

“Setelah Rasul Allah telah diambil Allah SWT kesisi­Nya dan wafatnya telah diumumkan maka sebagian muslimin meragukan masalah keagamaan yang ditinggalkannya. Sebagian takut akan pemerintahan kaum Quraisy atau klan lain akan datang menjadikannya kerajaan otoriter.[28] Mereka melihat bahwa hanya Nabi yang mashum dituntun Allah ‘Azza wa Jalla, yang tidak berbuat salah dan orang lain tidak akan ada yang mampu memperlakukan rakyat secara adil seperti gerigi dari sebuah sisir.

Maka mereka curiga jangan­jangan pengganti Rasul nanti akan mendahulukan keluarga dan klannya, dan meremehkan klan lainnya, sehingga akan menghancurkan keadilan sosial.

Kami menduga ini, karena setelah Rasul wafat, tiap orang Arab mendukung klannya masing­ masing dan watak lama di zaman jahiliah muncul kembali.

Di Madinah kaum Anshar takut akan kaum Muhajirin dan klan Quraisy akan memegang pemerintahan. Kedua klan ini saling curiga. Kaum Anshar menghendaki pemerintahan koalisi. Kaum Muhajirin menginginkan pemimpin dari klan mereka dan wazirnya dari Anshar. Klan Aws dan klan Khazraj ­­dua pecahan dari kaum Anshar­ saling mengkhianati tatkala pemilihan khalifah berlansung di Saqifah.

Makkah tidak lebih baik dari Madinah, kerana pemilihan itu telah memicu konfik antar klan.

Bani Hasyim tidak menyetujui Abu Bakar sebagai khalifah. ‘Ali menolak membaiat Abu Bakar dan Abu Sufyan berusaha mendekati ‘Ali untuk melakukan kudeta.

Akhirnya kaum Muhajirin dan Anshar yang merupakan pelopor dan pendukung pengembangan Islam dan keluarga Rasul tidak dapat bersatu untuk membentuk pemerintahan secara damai.

Hal ini mengecewakan klan­klan Arab lainnya dan mereka merasa putus asa untuk ambil bagian dalam pemerintahan.

Karena kebanyakan diantara mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar maka mereka menolak membayar zakat kepadanya.

Beberapa pengamat asing menggambarkannya sebagai kemurtadan, ridat, dan dengan demikian menggambarkan pengembangan Islam di Arabia dilakukan dengan pedang. Ini tidaklah benar, karena orang­orang yang diperangi Abu Bakar adalah kaum Muslimin. Mereka terbagai dalam dua golongan:

1. Mereka yang berkeyakinan bahwa zakat hanya untuk Rasul dan setelah Rasul wafat, tiada seorang pun yang berhak memintanya. Mereka menolak mengirimkan zakat itu pada Abu Bakar. Dan karena itu ia memerangi mereka. ‘Umar membela mereka dengan berkata: “Nabi sering bersabda: ‘Aku memerintahkan agar memerangi manusia sampai mereka mengucap ‘La ilaha illallah’ dan barangsiapa telah mengucapkannya nyawa dan hartanya harus dilindungi. Dan hisab diserahkan kepada Allah.’

2. Kelompok yang belum muslim. Pemerintahan Abu Bakar hanya memikirkan melakukan ‘hukuman mati’ dan tidak ada kepedulian untuk mengembalikan ‘kaum murtad’ itu ke dalam Islam.

Kaum Murtad Harus Diberi Waktu Tiga Hari

Tapi menurut ajaran Islam tiap orang murtad harus diberi waktu tiga hari untuk berdiskusi dengan para ulama dan ahli fiqih Islam. Mari kita ikuti pendapat para imam empat mazhab mengenai massalah ini:

Imfan Abu Hanifah: “Paling sedikit seorang yang murtad harus diberi waktu tiga hari’

Imam Malik: “Seorang yang murtad, budak atau orang bebas, lelaki atau perempuan, sejak waktu ia terbukti menjadi murtad. Ia harus dapat makanan dan tidak boleh disiksa.”

Imam Syafi’i: “Seorang murtad, lelaki atau perempuan, harus dihormati, sebab dia sebelumnya adalah muslim. Beberapa orang mengatakan agar ia diberi waktu selama tiga hari.”

Imam Hanbal: “Orang murtad, lelaki atau perempuan dewasa dan tidak gila hendaknya diajak ke dalam Islam dalam tiga hari.”

Dengan melihat pendapat di atas tidaklah benar mengatakan bahwa seorang muslim telah murtad hanya dengan dugaan, sampai tiap muslim dalam klan tersebut mengatakan bahwa ia telah murtad. Ada beberapa ulama yang berpendapat bila seorang hanya muslim 1% maka tidaklah boleh mengatakan dia murtad kecuali telah dibuktikan bahwa ia benar­benar murtad.” Demikian Dr. Hasan Ibrahim.

Ibnu Katsir[29] mengatakan, “Kecuali Ibnu Majah, semua telah meriwayatkan dalam kitab­kitab mereka dari Abu Hurairah: ...Umar telah berkata kepada Abu Bakar agar jangan memerangi manusia, sebab Rasul Allah saw telah bersabda: “Aku memerintahkan memerangi orang sampai ia mengucapkan syahadat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah pesuruh­Nya.” Dan bila mereka telah mengucapkannya maka nyawa dan hartanya terlindung, kecuali mereka ditemukan bersalah.” Abu Bakar menjawab: “Demi Allah andaikata mereka tidak mengirim zakat kepadaku meskipun hanya seekor anak kambing betina, ‘anaq, (atau dalam riwayat lain sebuah belenggu kaki unta, iqal) sebagaimana mereka telah berikan kepada Rasul, maka aku akan perangi mereka. Demi Allah aku akan memerangi mereka yang memisahkan zakat dan salat. Aku akan perangi mereka sampai mereka mengirimkan kepadaku zakat seperti yang mereka berikan pada Rasul. ‘Umar menjawab: “Tatkala aku melihat Abu Bakar telah memutuskan untuk berperang, maka aku tahu ia benar.”

Menurut Thabari[30] utusan­utusan (wufud) Arab menemui Abu Bakar dan menyetujui shalat tapi menolak bayar zakat. Abu Bakar tidak bisa menerimanya dan mengusir mereka.

Dan Ibnu Katsir[31] mengatakan bahwa delegasi­delegasi Arab datang ke Madinah dan menyatakan mereka shalat tapi menolak mengirimkan zakat. Dan di antara yang menolak mengirim zakat kepada Abu Bakar bersyair:

Kami taat pada Rasul yang ada di tengah kami, Tetapi malik Abu Bakar adalah masalah lain lagi. Setelah mati ia ‘kan wariskan negeri ini,[32] Tapi kita ‘kan bangkit bila punggung kita dipatahkan.

Jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan kaum ‘murtad’ pada zaman Abu Bakar adalah kaum Muslimin yang menolak mengirimkan zakat ke pusat pemerintahan di Madinah dan bukan melepaskan diri dari agama Islam.

Dua Belas Imam

Syi’i percaya bahwa para imam pengganti Rasul Allah saw berjumlah dua belas. Dan hadits­hadits ini terdapat juga dalam kitab­kitab shahih mazhab Sunnah.

1. Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Samurah, bahwa ia telah mendengar Rasul Allah bersabda: “Agama (Islam) akan selalu tegak kukuh sampai tiba saatnya, atau sampai berlalu dua belas khalifah, semuanya dari Quraisy”.

Dan dalam riwayat lain menggunakan istilah “sebelum berlalu urusan manusia (amr an­nas) ...atau “sampai dua belas khalifah..”. Dalam Sunan Abu Dawud: “sampai telah ada dua belas khalifah..”, Dan dalam riwayat lain “sampai dua belas”.[33]

2. Dan diriwayatkan oleh Bukhari dari Jabir yang berkata: “Aku mendengar Nabi bersabda: ‘Akan ada dua belas Amir (pemimpin)’ dan kemudian beliau bersabda dengan kalimat yang tidak aku pahami. Dan ayahku berkata: ‘Semuanya dari orang Quraisy”.

Dan dalam riwayat lain: ‘Kemudian Nabi bersabda dengan kalimat yang sulit aku pahami, dan aku bertanya kepada ayahku apa yang disabdakan Rasul Allah saw, maka (ayahku) berkata: ‘Semuanya orang Quraisy!’.[34]

3. Dan dalam riwayat lain lagi: “Urusan (amr, adminis­trasi, pemerintahan) umat ini akan selalu kukuh dan akan mengatasi musuhnya, sampai berlalu dua belas khalifah, semuanya orang Quraisy, sesudah itu timbul kekacauan”.[35]

4. Dan dalam riwayat lain: “Akan ada untuk umat ini dua belas penguasa (qayyim), mereka tidak akan dirugikan oleh orang yang meninggalkan mereka, semuanya orang Quraisy”.[36]

5. Dalam riwayat lain lagi: “Urusan manusia (amr an­Nas) tidak akan berlalu sebelum berlalu dua belas orang yang menjadi penguasa (wali)”.[37]

6. Dan riwayat oleh Anas bin Malik: “Agama ini akan selalu kukuh sampai berlalu dua belas (pemimpin) orang Quraisy, dan bila mereka lenyap, goncanglah dunia ini”.[38]

7. Dalam riwayat lain lagi: “Urusan umat ini (amr hadzihil ummah) senantiasa akan jaya sampai berlalu dua belas imam, semuanya orang Quraisy”.[39]

8. Dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al­Hakim dengan lafal seperti yang pertama dari Masruq yang berkata: “Kami sedang duduk suatu malam dirumah ‘Abdillah (Ibnu Mas’ud) yang membacakan kepada kami Al­Qur’an. Seorang lelaki mengajukan pertanyaan: “Ya ayah dari ‘Abdurrahman, apakah kamu pernah bertanya kepada Rasul Allah saw berapa khalifah dari ummat ini?”. Maka ‘Abdillah menjawab: Tiada seorang pun bertanya tentang masalah ini, sampai saya datang dari Iraq sebelum Anda! Kami menanyakannya dan beliau bersabda: ‘Dua belas seperti jumlah dua belas pemimpin (nuqaba) Bani Isra’il!.[40]

9. Dan dalam riwayat lain lagi Ibnu Mas’ud mengatakan: Rasul Allah bersabda: ‘Akan ada sesudahku khalifah sejumlah sahabat Musa!’. Ibnu Katsir berkata: ‘Dan riwayat seperti ini telah disampaikan oleh orang­orang seperti ‘Abdullah bin ‘Umar, Hudzaifah dan Ibnu ‘Abbas’.[41]

‘Ulama Sunni Menyusun Dua Belas Imam

Karena hadits dua belas imam ini maka kaum Sunni menyusun dua belas khalifah. Ibnu al­’Arabi misalnya berkata dalam Syarh Sunan Tirmidzi: “Dan bila kita hitung khalifah­khalifah sesudah Rasul Allah saw untuk mendapatkan angka dua belas (maka sungguh mengherankan) karena kita akan temukan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al­Hasan, Mu’awiyah, Yazid, Muawiyah bin Yazid, Marwan, al­Walid, Sulaiman, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Yazid bin ‘Abdul Malik, Marwan bin Muhammad bin Marwan, As­Saffah (Si Penumpah Darah)..”

Kemudian ia menambahkan lagi 27 khalifah ‘Abbasiah sampai ke zamannya dan berkata: “Bila kita ambil dua belas khalifah, maka jumlah itu hanya berakhir sampai Sulaiman, dan menurut hitungan kami hanya ada lima khalifah (yang pantas), yaitu keempat khalifah Yang Lurus dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz…”[42]

Dan al­Qadhi ‘Iyadh menanggapinya: “Yang menjadi Wali lebih dari jumlah (lima khalifah) tersebut. Di samping itu tanggapan ini batil, karena Nabi saw tidak bersabda: “Penguasa hanya dua belas!”. Karena jumlah penguasa cukup banyak, maka janganlah berhenti berhitung sampai ke lima.”[43]

Dan tanggapan Suyuthi: “Yang dimaksudkan adalah adanya dua belas khalifah yang bertindak dengan benar sejak adanya agama Islam sampai hari kiamat maka janganlah kamu berpaling!”[44]

Suyuthi berkata lagi di bagian lain: “Kami mendapatkan dua belas (pemimpin), yaitu keempat khalifah dan al­Hasan, Mu’awiyah, Ibnu Zubair, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz menjadi delapan dan dimasukkan juga bersama mereka al­Mahdi al­Abbas (dari Dinasti ‘Abbasiah), karena ia sama adilnya seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dari Dinasti Umayyah, dan masih kurang dua muntazhar (yang ditunggu kedatangannya), satu di antaranya al­Mahdi yang dari ahlu’l­bait.[45]

Imam Syi’i Ma’shum

Syi’i juga percaya bahwa para imam, seperti para Nabi adalah ma’shum atau terlindungi dari berbuat salah (berasal dari kata ‘ashama yang berarti melindungi atau menjaga). Seorang imam bertugas melindungi dan menyampaikan agama serta mengawasi pelaksanaannya. Dengan demikian mereka tidak boleh berbuat maksiat untuk menjaga kepercayaan umat. Sebagian kaum Sunni percaya bahwa Nabi pun tidak ma’shum apalagi para imam.

Keyakinan akan ‘ishmah (keterlindungan) para imam Syi’i oleh penganut mazhab ini berdasarkan ayat tathhir: “Sesungguhnya Allah hanya hendak menghilangkan (segala) kenistaan daripadamu, ahlu’l­bait (Rasul Allah) dan menyucikan kamu sesuci­sucinya”[46] yang ditujukan kepada Fathimah, dan ketiga imam pertama, ‘Ali, Hasan dan Husain. Dan hadits al­Haqq (Kebenaran): Rasul Allah bersabda: “‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama ‘Ali”, hadits “tsaqalain” dan hadits­ hadits lain yang saling berhubungan.

Wajib Berimam; Tanpa Imam Mati ‘Jahiliyah

Kaum Sunni seperti Syi’i percaya akan keharusan menaati Imam karena Allah SWT berfirman dalam Al­Qur’an: “Hai orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasu1 dan orang­orang yang menjadi pemimpin di antara kamu”[47]

Dan ini didukung oleh banyak sekali hadits yang mewajibkan ketaatan kepada imam, misalnya hadits yang disepakati oleh Sunni dan Syi’i bahwa “Barangsiapa meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah”.

Berikut adalah hadits­hadits yang bersumber dari ahlus­Sunnah:

1. Barangsiapa mati tanpa imam, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[48]

2. Barangsiapa mati tanpa berbaiat maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[49]

3. Barangsiapa meninggal dan tiada ketaatan (kepada imam), maka ia telah meninggal dalam keadaan jahiliah.[50]

4. Barang siapa meninggal dan tidak mengetahui imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[51]

5. Barangsiapa keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jemaah, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[52]

6. Barangsiapa berpisah dari jemaah sejengkal sekalipun, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[53]

7. Barangsiapa tidak berimam (la imaman lahu), maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[54]

8. Barangsiapa meninggal dan tiada imam jemaah yang ditaati, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[55]

9. Barangsiapa mempunyai ‘Amir’ yang tidak disukainya, maka ia harus sabar, dan barangsiapa meninggalkan ikatan kaum Muslimin, meski hanya sejengkal, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliah.[56]

Dan kaum Syi’i juga percaya akan Imam Mahdi seperti Sunni.

Catatan Tentang Baiat

Di zaman Rasul Allah, baiat pertama terkenal dengan “baiat al­’Aqabah Pertama”, dilakukan di suatu tempat yang bernama al­’Aqabah oleh dua belas tokoh Madinah, pada musim haji tahun 621 M sebagai pengakuan dan ketaatan kepada Rasul serta menghindari larangan Allah SWT.

“Baiat al­’Aqabah Kedua” dilakukan pada musim haji tahun 622 M, oleh 75 orang Madinah, termasuk dua orang wanita. Mereka membaiat Rasul sembunyi­sembunyi pada malam hari sebagai pernyataan bahwa pembaiat bukan hanya menerima Muhammad sebagai Rasul Allah dan menghindari larangan Allah SWT, tetapi juga akan memberi perlindungan kepada Rasul serta siap berkorban atau berperang untuk melindungi Rasul­Nya.

Dan baiat yang ketiga dilakukan di bawah sebatang pohon di Hudaibiyah, dekat Makkah dalam suatu perjalanan ‘Umrah tahun 628 M yang terkenal dengan baiat ar­Ridhwan (‘Baiat yang diridai Allah’), atau baiat tahta As­Syajarah[57] sebagai pernyataan setia kepada Rasul untuk berperang mempertahankan diri terhadap kaum Jahiliah Makkah dalam perjalanan ‘umrah tersebut.

Baiat kepada Rasul Allah saw dengan demikian merupakan janji (mitsaq) pembaiat secara suka rela untuk berusaha sungguh­sungguh, berjihad dan siap berkorban sebagai pernyataan setia kepada Rasul dan demikian juga kepada Allah SWT.[58] Dalam baiat ini ada unsur kerelaan dan dilakukan tanpa paksaan. Tetapi baiat sendiri bukan merupakan lembaga pemilihan karena Rasul Allah saw telah dipilih oleh Allah SWT.

Penetapan Imam Dalam Sunnah

Dari pengalaman Peristiwa Saqifah, sebagian ulama Sunni menyimpulkan bahwa pemimpin atau imam ditentukan dengan pemilihan melalui lembaga baiat dan sudah dianggap sah bila dilakukan oleh satu orang dewasa. Dan dari pengalaman Syura yang dibentuk ‘Umar di kemudian hari, sebagian ulama berpendapat bahwa baiat hanya dianggap syah bila dilakukan oleh lima orang.

Penetapan Imam dalam Syiah

Dalam Madzhab Syiah atau disebut juga Madzhab Jafariah atau Madzhab ahlu’l­bait atau Madzhab Itsna Asyariyah, atau Mazhab Dua Belas Imam, imam ditetapkan dengan nas Nabi atau nas imam ma’shum. Dan menurut kaum Syiah, Nabi telah menetapkan ‘Ali sebagai penggantinya, langsung, tanpa selingan.

Penetapan Rasul Allah disimpulkan misalnya dari hadits Tsaqalain, hadits al­Ghadir atau hadits Manzilah yang di kalangan Sunni sendiri merupakan hadits­hadits yang sangat kuat.

Biografi Tokoh­tokoh Utama

Beberapa Pengertian tentang nama

1. Bin atau ibnu berarti putra dari... dan binti berarti putri dari.... Contoh, ‘Umar bin Khaththab, Fathimah binti Muhammad Rasulullah.

2. Kunyah: Nama julukan berupa Abu yang berarti Ayah dari... atau Ummu yang berarti Ibu dari.... Abu Bakar berarti ayah dari Bakar. Abu yang berada dibelakang bin berubah jadi Abi. Abu Bakar ‘Abdullah bin Abi Quhafah ‘Utsman berati Ayah dari Bakar yang bernama ‘Abdullah, anak dari ayah dari Quhafah bernama ‘Utsman, khalifah pertama. Quhafah dengan demikian adalah kakak Abu Bakar yang tua. Jadi namanya adalah ‘Abdullah bin Utsman. ‘Ali bin Abi Thalib berarti ‘Ali putra dari ayah Thalib. Thalib adalah saudara ‘Ali yang tertua. Ummu Salamah berarti Ibu dari Salamah.

Karena banyak tokoh yang terkenal dengan kunyah maka banyak buku ditulis mengenai tokoh­ tokoh ini. Di antaranya Kitab Al­Kunya karangan Dulabi (Meninggal 310 H) yang terdiri dari 2 jilid dan diterbitkan di Haiderabat.

3. Laqab, julukan selain kunyah diatas. Allah SWT melarang menggunakan julukan buruk bagi sesama Mumin (QS 49:11). Contoh laqab adalah Shiddiq, yang membenarkan, Shadiq, yang berkata benar, Faruq, pembeda (antara benar dan salah), bijaksana, Sajjaj, yang banyak bersujud, a’war yang berarti si pecak atau yang bermata satu, julukan Mughirah bin Syu’bah.[59]

Nama panggilan ummu’l­muminin atau ummu’l­mu’minin dan dalam bentuk jamak ummahatul mukminin yang berarti ibu kaum mu’minin adalah khusus untuk istri Rasul sebagaimana ditentukan Allah SWT dalam Al­Quran, Surat Al­Ahzab (33) ayat 6. Contoh, ummu’l­mu’minin ‘A’isyah atau ummu’l mu’minin ummu Salamah.

Contoh buku mengenai laqab adalah Al­Alqab karangan Ibnu Al­Fati yang terdiri dari 50 jilid.

Biografi singkat tokoh­tokoh Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, Abu Ubaidah bin Al­Jarrah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Mughirah bin Syubah, ‘Ali bin Abi Thalib dan Sa’d bin ‘Ubadah, Lihat catatan kaki di Bab 4: “Peristiwa Saqifah”.

Biografi singkat Khalid bin Walid, Ziyad bin Labid, Tsabit bin Qays bin Syammas, Muhammad bin Maslamah dan Salamah bin Aslam, lihat catatan kaki di Bab 10: “Pengepungan Rumah Fathimah”.

Biografi singkat Usaid bin Hudhair dan Hubab bin Mundzir, lihat catatan kaki Bab 8: “Pembaitan Abu Bakar”.

Biografi singkat ‘Uwaim bin Saidah dan ‘Ashim atau Ma’n bin Adi, lihat catatan kaki Bab 6: “Pertemuan Kelompok ‘Umar”.

Biografi singkat Al­Miqdad bin al­Aswad, lihat catatan kaki Bab 12: “Reaksi Terhadap Saqifah.”

Aisyah, lihat catatan kaki Bab 13: “Kapan ‘Ali Baiat Abu Bakar?”

Biografi singkat ‘Utsman bin ‘Affan, lihat catatan kaki Bab 14: “Pembaiatan Khalifah ‘Umar dan ‘Utsman.”

Daftar Isi :

sejarah islam 1

Wafat Rasulullah & Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah 1

by: O. Hashem 1

Jakarta 1

2004 1

BISMILLAHIRRAHMAN NIRAHIM 2

Prakata Penulis 3

Bab 19. Apendiks 6

Riwayat Tiga dan Tiga 6

Tiga yang kulakukan tapi seharusnya tidak kulakukan adalah: 8

Tiga yang tidak kulakukan dan ingin kulakukan adalah: 9

Asy’ats bin Qays al­Kindi 14

Peristiwa Fuja’ah 16

Pembakaran Bani Salim 18

Kaum Murtad 20

Ridat di Zaman Rasul 22

Ridat di Zaman Abu Bakar 23

Kaum Murtad Harus Diberi Waktu Tiga Hari 27

Dua Belas Imam 30

‘Ulama Sunni Menyusun Dua Belas Imam 33

Imam Syi’i Ma’shum 35

Wajib Berimam; Tanpa Imam Mati ‘Jahiliyah 36

Catatan Tentang Baiat 39

Penetapan Imam Dalam Sunnah 41

Penetapan Imam dalam Syiah 42

Biografi Tokoh­tokoh Utama 43

Beberapa Pengertian tentang nama 43