Para Pemimpin Kita dan Kerendahan Hati
Salah satu. moral tertinggi yang dapat dipandang sebagai simbol cinta dan jalan terbaik dalam pencapaiannya adalah kerendahan hati. Dengan melaksanakan tugas-tugas mereka terhadap masyarakat melalui pengamalan akhlak yang baik, orang-orang yang rendah hati menunjukkan martabat kepada masyarakatnya dan menambah besarnya kecintaan di dalam hati umatnya.
Walau demikian, kita harus menyadari perbedaan besar antara kerendahan hati dan kerendahan diri, karena rendah hati merupakan pengejawantahan sifat mulia dari watak yang agung dan percaya diri, sedangkan rendah diri berasal dari moral yang rendah dan hilangnya sifat percaya diri.
Luqman a.s., sebagaimana firman AI-Quran, mengingatkan putranya akan kesombongan:
"Dan janganlah memalingkan wajahmu dari manusia dengan sombong, dan jangan pula berjalan di muka bumi dengan angkuh; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menyombongkan diri."
(AI-Quran)
Imam Ali a.s. berkata:
Jika Allah mengizinkan kesombongan bagi para penyembah-Nya, Dia akan mengizinkannya kepada para Nabi dan auliya'-Nya yang paling dekat denganNya; tetapi Dia SWT, menjadikan mereka benci terhadap kesombongan dan menerima kerendahan hati. Oleh karena itu, mereka menundukkan dahi mereka ke bumi, merobohkan wajah mereka ke debu (dalam sujud), dan berendah hati terhadap orangorang yang beriman.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Hindarilah sombong, karena adakalanya seorang 'abid menuntut kesombongan hingga AIlah SWT berfirman, 'catatlah penyembah-Ku di antara orangorang yang angkuh'. "
(Nahj Al-Fasahah, hal. 12)
Imam Ash-Shadiq a.s. menunjukkan akar rohaniah sifat sombong dalam suatu pernyataan yang singkat ketika beliau berkata:
Tidak ada seseorang tersesat kecuali karena kerendahan yang ia dapatkan di dalam dirinya.
(Al-Kafi, jilid III, hal. 461)
Menurut Dr. M. Brid:
Keangkuhan seorang individu atau suatu bangsa atas yang lainnya sama dengan kehinaan individu atau bangsa itu. Kebanyakan di antara perselisihan dan pertentangan yang terjadi hari ini timbul dari perasaan rendah. Oleh karenanya, mengambil ide kesombongan tidak lain kecuali suatu percobaan untuk memenuhi lingkungan di mana seorang yang sombong merasa puas dalam kehidupannya. Tiada individu, bangsa, kelas, ras, rakyat, atau sebaliknya, dengan kesadaran yang jelas merasakan adanya perbedaan antara diri mereka dan orang lain.
('Uqde e Hiqarat)
Orang-orang yang sombong dan angkuh selalu melihat kata kata dan perbuatan mereka dengan ketinggian dan kepuasan. Di samping itu, mereka memandang kelemahan kelemahan mereka sebagai amal perbuatan yang baik. Imam Musa bin Ja'far a.s. menjelaskan hal ini:
Sombong berada pada beberapa derajat di anrara perbuatan-perbuatan jabat manusia yang dihiasi kepadanya sehingga ia melihatnya sebagai kebaikan, karenanya ia percaya bahwa ia melakukan perbuatan yang baik.
(Wasa'il Asy-Syi'ah, jilid I, hal. 74)
Juga menurut seorang psikolog:
Orang-orang yang sombong memandang kelemahankelemahan mereka sebagai kebajikan dan memandang kekurangan-kekurangan mereka sebagai kebaikan. Misalnya, mereka memandang amarah mereka yang tiba-tiba terhadap orang lain sebagai bukti kepribadian mereka yang kuat. kelemahan mereka sebagai pengejawantahan rohani mereka yang agung dan sensitif, berat badan mereka yang berlebihan sebagai tanda kesehatan. Sesungguhnya akal yang sehat terletak pada tubuh yang sehat, dan kebergantungan pada yang lemah merupakan ciri bagi mereka yang mudah jengkel dan tidak berpendirian.
(Ravankavi)
Sekarang mari kita memperhatikan beberapa pernyataan
Amirul Mukminin Ali a.s. dalam hal ini:
Jauhilah kesombongan atau jumlah orang-orang yang membencimu akan bertambah.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 147)
Sombong meruntuhkan pikiran.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 28)
Menurut para psikolog, orang-orang yang sombong menderita kelemahan pikiran.
Imam Ali a.s. juga berkata:
Orang yang pikirannya melemah, kebanggaan dirinya menguat.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 651)
Kerendahan hati adalah puncak dari akal dan kesombongan adalah puncak kejahilan.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 102)
Beliau juga berkata:
Sombong adalah penyakit terparah.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 678)
dan:
Barangsiapa yang mengagumi keadaannya (dirinya), kurang dalam memakai kemampuannya.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 678)
Dr. H. Shakhter berkata:
Salah satu cara menarik perhatian manusia kepada kita ketika kita sedang merasa kecewa atau gagal adalah dengan memuja dan meninggikan diri kita, dan membayangkan hal-hal yang kita harapkan seolah-olah telah terjadi dan memberi diri kita dengan bualan tentang saat-saat di mana kita berhasil di masa lalu, atau dengan membesarbesarkannya kepada orang lain. Orang-orang yang menyerah memikat diri mereka untuk menerima perhiasan-perhiasan batil buatan mereka sendiri, kemudian menarik diri mereka dari kesempatan untuk berubah.
(Rushde Shakhsiyyat)
Orang-orang semacam ini tidak mampu menyadari bahwa ada kekurangan pada diri mereka dan kesempurnaan atau keberhasilan pada diri orang lain.
Imam Ali a.s. berkata:
Orang-orang yang merasa puas dengan dirinya, berbagai kelemahannya tersembunyi darinya; dan jika ia mengakui keutamaan orang lain, akan mencukupi berbagai kekurangan dan kelalaiannya.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 95)
Islam, yang menyeru kepada peradaban manusia yang tinggi dan yang memberi peluang bagi manusia untuk berada dalam kehidupan yang mulia, tidak menghalalkan segala perbedaan yang tidak wajar. Islam mengakui sifat suci dan luhur.
Imam Ali a.s. berkata:
Carilah perlindungan kepada Allah dari sifat mabuk kekayaan, karena sesungguhnya ia memiliki suatu kekhidmatan yang jauh.
(Ghurar Al-Hikam, hal. 138)
Suatu hari seorang yang kaya datang mengunjungi Rasulullah Saw. Sementara orang kaya ini berada di sana, masuklah seorang yang miskin dan duduk di dekatnya; melihat hal itu si kaya mengangkat pakaiannya dan menjauhi si miskin. Nabi Saw. melihat kejadian ini dan berkata:
"Betapa apakah kamu takut kalau kemiskinannya akan menjalar kepadamu?"
Kesimpulannya, jika orang-orang yang sombong ingin mencari kebahagiaan, mereka harus membersihkan diri mereka dati penyakit ini dan membebaskan diri mereka dari sifat semacam ini yang menyesatkan watak mereka yang sesungguhnya. Jika tidak, mereka akan menghadapi suatu kekecewaan dan deprivasi yang tak terelakkan, yang merupakan masalah-masalah yang mesti dihindari.