Mengkhayalkan Sesuatu yang Mustahil
Bila yang dimaksudkan dengan perubahan dan pergantian dalam takdir yang tidak definitif dari sisi Ilahi adalah bahwa Ilmu dan iradat (pengetahuan dan kehendak) Ilahi menetapkan sesuatu kemudian faktor lain yang mandiri (yang tidak berasal dari takdir) mewujudkannya dengan cara yang berlawanan dengan ilmu dan iradat Ilahi itu, ataupun faktor eksternal yang mandiri itu bertindak mengubah ilmu dan Iradat Ilahi, maka hal ini mustahil.
Demikian pula, dari sudut kausalitas umum, bila yang dimaksud adalah bahwa sistem ini menetapkan sesuatu kemudian muncul faktor lain di hadapannya dan mencegahnya dari pelaksanaan penetapannya itu, maka hal ini juga mustahil.
Sebab, semua faktor dalam wujud ini hanya timbul dari ilmu dan iradat Allah saja, dan semua faktor yang muncul di alam ini tidak lain adalah penampakan Ilmu dan iradat Allah serta alat untuk berlangsungnya qadha dan qadar-Nya. Demikian pula setiap faktor yang kita amati dengan seksama berada di bawah pengaruh hukum sebab-akibat dan merupakan suatu penampakan darinya. Tidak ada artinya membayangkan munculnya suatu faktor yang bukan merupakan penampakan iradat Ilahi dan bukan sebagai alat untuk berlangsungnya qadha dan qadar-Nya, ataupun membayangkan adanya faktor berpengaruh yang berada di luar hukum sebab akibat, atau berlawanan dengannya.
Dengan begitu, perubahan dan pergantian pada nasib, dalam arti munculnya suatu faktor yang berlawanan dengan qadha dan qadar atau berlawanan dengan hukum sebab-akibat adalah mustahil.
Kenyataan yang Mungkin Terjadi
Adapun perubahan nasib dalam arti bahwa penyebab perubahan itu sendiri merupakan suatu penampakan aktifitas qadha dan qadar serta satu dari serangkaian sistem sebabakibat atau, dengan kata lain, perubahan nasib dengan ketentuan nasib dan penggantian takdir dengan penetapan takdir itu sendiri, maka hal itu merupakan suatu kenyataan, kendati tampak aneh dan musykil.
Yang lebih aneh lagi ialah bila kita memusatkan pandangan kepada qadha dan qadar dari sudut pandang sisi Ilahi. Sebab, perubahan qadha dan qadar di sisi ini akan menimbulkan perubahan di "alam atas" pada loh-loh, kitab-kitab malakut serta Ilmu Ilahil Mungkinkah melakukan perubahan dalam Ilmu Ilahi? Keanehan akan makin mencapai puncaknya ketika kita membayangkan kejadian-kejadian di alam bawah (alam dunia), khususnya kehendak dan perbuatan-perbuatan manusia, sebagai menjadi penyebab timbulnya perubahan-perubahan, penghapusan dan penetapan di "alam atas" pada sebagian loh-loh takdir dan kitab-kitab malakut (supra natural).
Bukankah sistem "alam bawah" (duniawi) dan inderawi, bersumber pada sistem "alam atas" dan pusat Ilmu Ilahi serta muncul daripadanya? Bukankah alam dunia ini rendah dan alam atas itu tinggi? Bukankah alam nasut (manusiawi) diatur dan diperintah oleh dunia supra natural (malakut). Mungkinkah, meski hanya sesekali, sistem alam bawah atau bahkan sebagian daripadanya, yakni alam manusia, mampu memberi pengaruh pada sistem atas dan pusat ilmu Ilahi, ataupun menyebabkan adanya beberapa perubahan tertentu padanya walaupun perubahan-perubahan ini sendiri berdasarkan qadha dan qadar?
Begitulah pertanyaan demi pertanyaan yang aneh-aneh akan bermunculan di dalam pikiran... Adakah ilmu (pengetahuan) Allah dapat mengalami perubahan?! Ataukah hukum Allah dapat mengalami pembatalan?! Dapatkah yang rendah berpengaruh pada yang tinggi.
Jawaban tegas atas pertanyaan ini ialah : Ya, ilmu Allah dapat mengalami perubahan, dalam arti bahwa Allah mempunyai suatu pengetahuan tertentu yang dapat mengalami perubahan. Hukum Allah dapat mengalami pembatalan, dalam arti bahwa Allah SWT memiliki beberapa hukum yang memang dapat mengalami pembatalan. Dan bahwa yang rendah adakalanya dapat memberikan pengaruhnya terhadap yang tinggi, dan bahwa sistem alam bawah, terutama kehendak dan perbuatan manusia, bahkan kehendak manusia semata-mata, adakalanya dapat "mengguncang" alam atas dan menyebabkan timbulnya beberapa perubahan padanya. Inilah kekuasaan tertinggi manusia atas nasibnya.
Harus diakui bahwa hal ini akan menimbulkan keheranan, akan tetapi kenyataan masalah yang amat agung dan mengagumkan inilah yang disebut sebagai masalah bada' (kemunculan sesuatu yang sebelumnya belum muncul) yang dibicarakan oleh Al-Quran al-Karim pertama kali dalam sejarah ma'rifat (pengetahuan) manusia, yaitu dalam firman-Nya:
"Allah menghapus apa saja yang dikehendaki-Nya dan menetapkan, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab." (QS 13 : 39)
Masalah bada' ini tidak ada padanan dan persamaannya dalam semua konsep dan doktrin ilmiah manusiawi, dan di antara kelompok-kelompok Islam tidak bisa dijumpai kecuali pada para ulama dari kelompok Syi'ah Itsna Asyariyah. Dengan mengikuti ucapanucapan Ahlul Bait (alaihimussalam), mereka dapat mencapai hakikat ini dan dengan begitu meraih kehormatan dan kebanggan ini.
Di sini kami tidak dapat, secara terperinci, memasuki pembahasan filosofis yang amat canggih ini serta memberikan penjelasan yang luas mengenainya. Kami hanya mencukupkan diri dengan memberikan sepintas isyarat demi menandaskan bahwa teori bada' memiliki dasar dalam Al-Quran. Dan bahwa ia merupakan salah satu hakikat filosofis yang sedemikian halusnya, sampai-sampai para filosof Syi'ah pun tak berhasil mencapai kedalamannya kecuali sebagian dari mereka. Yaitu yang termasuk para peneliti dan pemerhati Al-Quran serta peninggalan-peninggalan para pemimpin utama, yakni Nabi saw., serta para imam Ahlul Bait (alaihiimissalam), khususnya yang tersebut dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib a.s.
Sudah barang tentu kita tidak boleh berpuas diri dengan imajinasi kaum awam yang dikembangkan oleh orang-orang dungu dan mereka namakan bada', kemudian mereka kritik dan sanggah berdasarkan apa yang mereka bayangkan.
Betapapun juga, dalam risalah ringkas ini, kami tidak dapat memasuki pembahasan yang canggih ini. Kami hanya akan membahasnya dari segi persoalan terbaginya qadha dan qadar, serta kemungkinan perubahan nasib ditinjau dari sudut kenyataan yang telah ditentukan dan teori kausal umum, serta melihat kemungkinan bahwa qadha dan qadar terdiri atas dua macam: yang pasti dan tidak tersentuh perubahan, dan yang tersentuh perubahan. Jika demikian, bagaimana hal itu dapat dijelaskan?
Maujudat (segala suatu yang ada di alam ini) terbagi atas dua bagian :
a. Yang hanya bisa terdiri atas satu jenis khusus seperti hal-hal yang bersifat mujarrad (abstrak, ruhani).
b. Yang bisa terdiri atas lebih dari satu jenis, yaitu benda-benda materi atau sesuatu yang berasal dari materi tertentu dan merupakan dasar pembentukan benda-benda lainnya, seperti segala sesuatu yang dapat dirasa dan diraba.
Benda-benda alami dapat mengambil berbagai bentuk, memiliki kemampuan berintegrasi dan, dengan pengaruh beberapa faktor tertentu, dapat menjadi daya dan kekuatan, sementara beberapa faktor lainnya dapat mengubahnya menjadi makin sempurna ataupun makin kurang sempurna. Jadi, ia memiliki kemampuan menghadapi berbagai faktor, sebagaimana pengaruh yang dialaminya dari suatu faktor berbeda dengan yang dari faktor lainnya. Suatu benih yang menjumpai lingkungan yang serasi, lalu tidak dijangkiti penyakit-penyakit tumbuh-tumbuhan, akan tumbuh subur dan mencapai kesempurnaannya. Akan tetapi, dengan berkurangnya salah satu faktor keserasian lingkungannya, atau dengan adanya penyakit yang menimpanya, ia tidak dapat tumbuh dengan baik. Demikianlah, setiap benda alami memiliki ribuan kondisi, sehingga membentuk dirinya dengan beraneka bentuk sesuai dengan perbedaan kondisi ini.
Dengan ini kita mengetahui bahwa berbagai mujarrad di alam ruhani berbeda sepenuhnya dari keadaan benda-benda material. Pada yang pertama, qadha dan qadar menjadi definitif, dalam arti nasibnya berada di tangan sebabnya yang tunggal yang tak mungkin berubah. Adapun dalam hal benda-benda yang dapat mengalami perubahan dan menerima warna-warna serta berada di bawah pengaruh hukum gerak, maka qadha dan qadar baginya tidak definitif, dalam arti bahwa qadha tidak menentukan nasibnya. Bahkan, nasib setiap akibat mengikuti jenis penyebabnya. Lagi pula, disebabkan ia berhubungan dengan berbagai sebab, maka ia pun memiliki nasib yang berbeda-beda pula. Setiap sebab yang mana pun dapat mengisi tempat yang lain. Dengan demikian, kita tidak dapat melukiskan takdir dalam benda-benda dengan kemestian dalam arti ini. Bahkan setiap kali faktor-faktor itu bertambah, bertambah pulalah ragam nasib bendabenda itu.
Dengan sebab tertentu, seseorang ditimpa penyakit lalu timbullah rasa sakit. Dengan sebab yang tersembunyi dalam obat, hilanglah penyebab sakit itu dan berubahlah nasib orang itu. Seandainya dua orang dokter memberikan dua lembar resep, yang satu mendatangkan mudarat dan yang lainnya mendatangkan manfaat, maka dua keadaan yang berbedalah yang menunggu si sakit. Ikhtiar (pilihan) antara keduanya berada di tangannya. Ikhtiar inipun berkaitan dengan serangkaian sebab dengan cara yang tidak melucuti orang itu dari ikhtiarnya. Dengan kata lain, kendatipun telah tetap pilihannya atas salah satu dari kedua resep tersebut, tidaklah berarti bahwa selanjutnya ia tidak memiliki pilihan atau resep lainnya. Sebab, kemungkinan untuk memilih resep yang kedua tetap ada dan terpelihara.
Dengan demikian, dapatlah diketahui adanya bermacam-macam qadha dan qadar yang masing-masing dapat menempati posisi yang lainnya. Hal ini, yakni pergantian tempat yang satu dengan lainnya, sesuai pula dengan hukum qadha dan qadar. Atas dasar ini, seandainya seorang penderita sakit minum obat lalu ia sembuh, yang demikian itu adalah dengan ketentuan qadha dan qadar. Dan jika ia tidak minum obat itu lalu tetap menderita sakit, atau minum obat yang mendatangkan mudarat lalu mati, maka hal itu juga sesuai dengan qadha dan qadar. Seandainya ia menjauhkan diri dari lingkungan penyakit dan tetap terjaga daripadanya, maka hal itu juga sesuai dengan ketentuan qadha dan qadar. Selanjutnya, segala yang dilakukan dan menimpanya adalah salah satu jenis qadha dan qadar; tidak mungkin ia berada di luar lingkungan qadha dan qadar.
Arti seperti ini diungkap secara jelas dalam untaian syair Hakim Maulawi, seorang penyair Iran terkenal.
Makna tersembunyi dalam ungkapan
'Telah keringlah sang pena',
membangkitkan semangat tinggi
di antara seluruh bangsa
Pena kehendak Ilahi sejak dulu menetapkan
setiap perbuatan memiliki hasil dan ganjaran.
Jika membongkar, reruntuhanlah yang kau jumpai
jika membangun, kejayaanlah yang kau temui
jika tangan bertindak, ia pun memotong;
jika anggur bersemayam, ia pun memabukkan.
Setelah kezaliman, datanglah kehancuran.
Setelah keadilan, segera datang kemuliaan.
Adakah kau kira akal yang arif dan lurus
Memisahkan Allah dari kucisa-Nya yang azali
Seraya berkata: 'Telah berlaku hukum qadha'...?
Tinggalkan keluhan! Tinggalkan tangis ini!
Tidak! Bukan itu maksud ungkapan:
'Telah keringpena sang qadha'
Keadilan dan kezaliman pastilah tak sama...