Takdir Manusia(3)

Takdir Manusia(3)0%

Takdir Manusia(3) pengarang:
: Muhamad Taufik Ali Yahya
: Muhamad Taufik Ali Yahya
Kategori: Akidah

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 13 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2951 / Download: 1535
Ukuran Ukuran Ukuran
Takdir Manusia(3)

Takdir Manusia(3)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Perbedaan antara Kedua Aliran Pemikiran

Telah kami sebutkan sebelum ini, bahwa materialis dan ateis, demikian pula sebagian kaum nasrani yang menentang Islam, telah mengkrmk Islam dengan menjadikan konsep qadha dan qadar sebagai aIat untuk menyerang Islam. Konsekuensi kepercayaan kepada qadha dan qadar ialah timbulnya perasaan pada diri manusia bahwa ia terbelenggu dan terpaksa; dan Selanjutnya membuatnya lupa akan kewajibannya untuk mewujudkan dan membina hidup yang lebih baik bagi masyarakat. Sebaliknya, ia akan menghabiskan usianya dalam keadaan menunggu takdir yang deterministik itu.

Telah kami katakan pula, bahwa kekeliruan ini timbul sebagai akibat pencampuradukan kepercayaan lepada takdir dengan kepercayaan kepada jabr (determinisme). Determinisme berarti hilangnya iradat (kehendak) dan ikhtiar (kebebasan memilih), dan bahwa manusia bukanlah peIaku yang hakiki bagi perbuatannya sendiri, dan bahwa sifatsifat diri serta kemampuan mentalnya tidak memiliki pengaruh apa pun atas nasibnya. Manusia bukan saja seperti seekor burung beo yang hanya pandai mengulang-ulang segala yang dikatakan kepadanya dari balik tirai gaib, melainkan lebih dari itu peIaku sebenarnya dari pengulang-ulangannya itu pun bukan dirinya sendiri.

Padahal, sesuai dengan kepercayaan yang benar kepada qadha dan qadar; iradat dan ilmu Ilahi tidak mewajibkan terjadinya sesuatu kecuali melalui saluran sebab-sebabnya saja. Dengan kata Lain, mustahil iradat Allah melekat pada sesuatu tanpa melalui saluran sebab dan Iantarannya, mengingat yang demikian itu berlawanan dengan sifat keesaan dan keagungan Zat-Nya Yang Suci. Jadi, ilmu dan iradat Allah SWT melekat pada perbuatan manusia, juga pada kebahagiaan dan kesengsaraan (hanya) melalui Iantaran dan sebabnya yang khusus berkaitan dengannya. Qadha dan qadar-Nya yang telah menjadikan manusia terlepas bebas kedua tangannya; ia dapat memilih, merdeka dan berpengaruh atas nasib dirinya.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan antara aliran ketuhanan dan aliran materialisme. Sebab, jika terjadinya sesuatu termasuk perbuatan manusia secara definmf dan dharuri melalui Iantaran-Iantaran dan sebab-sebabnya, dianggap sama dengan jabr dan pembelengguan tangan manusia, maka kemusykiIan ini sama dihadapi oleh kedua aliran tersebut. Akan tetapi, jika ini tidak dianggap identik dengan determinisme seperti dalam kenyataannya maka dari segi ini pun tidak ada perbedaan antara keduanya. Jadi, tuduhan kaum materialis dan semua orang yang mempercayai teori kausal, terhadap kepercayaan Islam tentang qadha dan qadar, Tidaklah pada tempatnya dan hanya timbul akibat tidak atau kurangnya pengetahuan akan kenyataan yang sebenarnya.

Akan tetapi kini ingin kaini tambahkan bahwa memang antara kedua aliran pemikiran tersebut terdapat perbedaan amat penting dan berpengaruh, terutama di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Berdasarkan perbedaan ini, kepercayaan kepada qadha dan qadar, dari sudut pandangan ketuhanan, justru merupakan faktor pemberi pengaruh yang amat hebat, sebagai pembangkit harapan, semangat, aktifitas serta jaminan hasil karya dan usaha; berlawanan dengan pandangan materialisme yang tak memiliki kekhususan seperti ini. Perbedaan asasi ini timbul akibat adanya faktor-faktor spiritual, seperti telah kami jelaskan sebelum ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi gerak alam dan, secara keseluruhan, membentuk Iantaran-Iantaran dan sebab-sebab baginya serta tanda realisasi qadha dan qadar, tidak hanya terbatas pada hal-hal material saja. Masih ada Lagi sekumpulan hal spiritual yang juga merupakan bagian dari faktor-faktor yang efektif di alam ini, dan yang secara definmf berpengaruh atas perubahan nasib.

Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa perjuangan membela kebenaran dan keadiIan memiliki nilai-nilai yang meIampaui perhitungan materialistis yang dapat dicerap secara inderawi, dan bahwa alam ini tegak atas dasar kebenaran dan keadiIan, dan bahwa Allah berdiri di samping barisan orang-orang yang mempertahankan keadiIan dan kebenaran dan tidak akan menghilangkan pahala mereka masing-masing.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, Dia akan menolong kamu dan meneguhkan tegakmu. (QS 47 : 7)Sungguh Allah membela orang yang beriman; sungguh Allah tiada menyukai siapapun yang berkhianat dan tiada berterima kasih. (QS 22 : 38)Sungguh Allah menolong orang yang menolong-Nya; sungguh Allah Maha Kuat, Maha Perkasa.( QS 22 : 40)

Di antara hal-hal yang memiliki konsekuensi amat penting adalah sikap bertawakal dan menyandarkan diri kepada Allah. Dalam arti bahwa manusia, dalam perjalanannya di atas jalan kebenaran dan keadiIan, harus tidak membiarkan sedikit pun kelemahan, keguncangan dan kemalasan menyelusup ke dalam tekadnya, baik dalam hal penolakan ataupun peneriinaan; dan agar ia selalu merasa tenang dan yakin bahwa, apabila ia terus berjalan menuju sasaran yang benar dan diridhai Allah, dan bukannya didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadinya; juga bila ia mengarahkan segala kegiatannya demi meIaksanakan kewajiban-kewajibannya, bukannya untuk meIayani dirinya sendiri; dan juga bila ia menyerahkan segala urusannya kepada Allah semata-mata; maka ia merasa yakin bahwa Allah pasti akan menjaga, memenangkan dan mengantarkannya mencapai tujuannya.

Semuanya ini mempunyai konsekuensi khusus yang tidak mungkin dibayangkan kecuali dari sudut pandang ketuhanan yang menyadari semuanya itu sebagai bagian dari faktorfaktor penentu yang efektif dan sebagai realisasi qadha dan qadar.

Atas dasar itu, kepercayaan yang kuat dan benar kepada qadha dan qadar Ilahi akan mendorong manusia yang beriman untuk menguatkan pijakannya pada jalan kebenaran dan keadiIan, mencurahkan segala daya-upayanya, dan meyakini datangnya hasil yang diharapkan. Sebaliknya, dalam pandangan materialisme, tak ada satu hal pun dalam perundang-undangan umum (atau perilaku kebaikan yang seyogyanya dilakukan oleh manusia), yang benar-benar memiliki perhitungan (nilai) khusus di antara hukum-hukum alamiah yang berIaku. Dengan kata Lain, haq dan bathil, benar dan salah, adil dan zalim ..., semua itu dalam pandangan materialisme mempunyai konsekuensi dan pengaruh yang sama berkenaan dengan keberhasiIan atau kegagaIan seseorang. Alam bersikap netral berkenaan dengan perbuatan yang ini ataupun yang itu. Sementara dalam pandangan ketuhanan, alam ini sama sekali tidak netral berkenaan dengan hal-hal tersebut, bahkan ia berdiri di samping para pembela kebenaran dan keadiIan.

Seseorang yang percaya kepada takdir Ilahi tentu akan percaya juga kepada hikmah, rahmat, dan keadiIan Ilahi. Ia percaya pula bahwa seseorang yang berusaha mendapatkan ridha Allah, yaitu dengan bersungguh-sungguh mengikuti syari'at-Nya, maka akan selalu terpelihara dari penyimpangan. Kepercayaan kepada takdir dan tadbir (pengeloIaan) Ilahi seperti ini akan membuahkan sikap bertawakal dan bersandar kepada Allah SWT, dan menghilangkan rasa takut akan kematian, kehancuran, kemiskinan dan kebutuhan; serta menutup ceIah terbesar kelemahan pada diri manusia, yaitu ketakutan akan hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.

Kepercayaan akan adanya konsekuensi lebih Ianjut dalam kehidupan di dunia seperti Inilah, yang telah mendidik kaum Muslimin pada permulaan Islam agar selalu aktif dan giat, serta mendorong mereka ke arah keberanian dan pengorbanan yang tak ada taranya di seluruh dunia.

Al-Quran al-Karim melukiskan mereka sebagai:

Orang-orang yang kepadanya dikatakan: "Orang banyak telah berkumpul melawan kamu, maka takutiIah mereka." Tapi mereka bertambah iman karenanya dan mereka berkata: "Allah cukup bagi kami dan Dia-Iah sebaik-baik pengatur segala urusan." Mereka pun kembali dengan nikmat dan karunia dari Allah, tiada bencana menyentuhnya karena mereka mengikuti keridhaan Allah, dan Allah pemilik karunia yang tiada tepermanai. (QS 3 : 173-174)

Dengan uraian tersebut, menjadi jelasIah betapa agungnya keistimewaan-keistimewaan yang dihasilkan oleh kepercayaan kepada qadha dan qadar Ilahi yang sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Quran al-Karim, yang dengan itu membedakannya dari kepercayaan kepada takdir yang dianut oleh kaum materialistis sesuai dengan sistem sebab-akibat yang materialistis.

Seorang materialistis, betapapun ia mempercayai mazhab dan cara hidupnya, tidak akan meIampaui kepercayaan bahwa ia akan memperoleh hasil sebesar yang diusahakannya, sesuai dengan teori mazhabnya itu. Sebaliknya, seorang Muslim yang mengimani qadha dan qadar Ilahi, percaya dan yakin bahwa alam ini telah dicipta sedemikian rupa sehingga bilamana si Muslim berjalan dengan segala kemampuannya, maka sistem sebab-akibat yang meliputi alam, pasti berdiri di sampingnya dan menjaganya dengan kekuatan dahsyat, yang perbandingannya melebihi ribuan kali kekuatan dirinya sendiri.

Bila kita memandang dengan kacamata materialistis, mengertiIah kita bahwa seorang materialis akan berpendapat bahwa seorang pembela kebenaran dan keadiIan harus mencurahkan kegiatan dan aktifitasnya serta memiliki harapan yang sama persis seperti yang dilakukan dan dimiliki si pembela kezaliman dan kebatiIan. Sebab, ia percaya bahwa gerak umum alam ini tidak beda sedikit pun terhadap kedua orang tersebut. Sedangkan, pada hakikatnya, amat besar perbedaan sikap alam terhadap kedua orang itu, bila dmnjau dari arah pandangan ketuhanan.

Logika Khusus Al-Quran

Sebelum ini, kami telah berbicara tentang awal mula pembahasan dan dialog tentang masalah determinisme dan takdir yang dilakukan oleh para ahli 'ilmul-kalam (teologi Islam), dan bahwa hal itu merupakan masalah teologis paling terdahulu, mengingat telah dimulainya pembicaraan-pembicaraan resmi mengenai masalah ini pada pertengahan abad pertama hijriah. Akan tetapi mereka tidak berhasil menjeIajahi berbagai dimensinya secara mendalam, sehingga menyebabkan mereka menyimpang dari kebenaran dan terpecah menjadi dua kelompok besar, yakni penganut aliran Jabariyah dan penganut aliran Qadariyah.

Para penganut aliran Jabariyah, disebabkan mereka melihat bahwa segala sesuatu berIangsung dengan takdir Ilahi, telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang majbur (terpaksa, tidak memiliki pilihan). Sedangkan para penganut aliran Qadariyah, disebabkan mereka melihat bahwa manusia dapat memilih dan memiliki kebebasan, mengatakan bahwa tak sesuatu pun telah ditakdirkan. Hal itu berarti bahwa para ahli 'ilmul-kalam itu sepakat bahwa takdir identik dengan jabr (determinisme), dan bahwa kebebasan manusia identik dengan penafian takdir.

Kepercayaan kepada takdir dan kebebasan sekaligus, walaupun tadinya dengan mudah dan bersahaja dapat diterima oleh kaum Muslimin di masa permulaan Islam, ruparupanya kini menjadi sulit untuk diterima oleh kebanyakan orang setelah dimasukkan dalam kerangka 'ilmul-kalam dan diberi warna filsafat. Sejak itu, seIama empat beIas abad kemudian, mereka tidakbisa Lagi melihatnya kecuali sebagai problem yang amat rumit dan sulit untuk diterima.

Al-Quran al-Karim dan banyak riwayat yang tak dapat diingkari di bidang ini, Nabi saw. ataupun dari para imam (aIaihimussalam), semuanya mengungkapkan dengan amat jelas dan gamblang, bahwa segala sesuatu terjadi dengan qadha dan qadar Ilahi; dan bahwa manusia adalah faktor yang berpengaruh dalam perjalanan nasibnya serta bertanggung jawab atas perbuatan dan tindakannya sendiri. Sebelum ini telah kami sebutkan contohcontoh ayat yang menunjuk kepada kedua hal tersebut secara bersamaan; tidak perluIah kami ulangi Lagi sekarang.

Maka mulaiIah masing-masing kelompok yang bertentangan pendapat dalam persoalan ini, tampil untuk menakwilkan dan mengarahkan ayat-ayat Al-Quran al-Karim. Para pendukung aliran Jabariyah menakwilkan ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan adanya kebebasan dan tanggung jawab manusia, sedangkan para pendukung kebebasan dan ikhtiar manusia menakwilkan ayat-ayat yang menunjukkan adanya takdir umuin Ilahi.

Sudah barang tentu setelah kemusykiIan ini terpecahkan, dan tampak jelas bagi kita bahwa takdir yang bersifat umum tidak identik dengan keterpaksaan manusia, dan bahwa ikhtiar manusia tidak identik dengan penafian takdir maka kontradiksi yang diperkirakan itu dengan sendirinya telah hilang secara wajar dan ridak perlu Lagi memaksa orang untuk menakwilkan ataupun mengarahkan ayat-ayat tersebut. Misalnya, ayat-ayat AlQuran yang menyebutkan bahwa hidayah, penyesatan, kejayaan, kemampuan, rizki dan keselamatan, bahkan kebaikan dan keburukan, semuanya itu dinisbahkan kepada kehendak Ilahi atau takdir Ilahi, seperti dalam firman-firman Allah SWT:

Maka Allah menyesatkan siapa yang Ia kehendaki dan membimbing siapa yang Ia kehendaki. (QS 14:4)

KatakanIah: "Ya Tuhan, Pemilik Kerajaan, Kau beri kerajaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau renggutkan kerajaan dari siapa yang Kau mau, Kau beri kemuliaan kepada siapa yang Kau mau dan Kau beri kehinaan kepada siapa yang Kau mau, dalam tanganMu segala yang baik; sungguh Kau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS 3 : 26)

Allah, Dialah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan berlimpahan. (QS 51 : 58)

Dan di Iangit ada rizkimu dan apa yang dijanjikan kepada-Mu. (QS 51 : 22)

Atau yang diucapkan oleh Ibrahim (alaihissalam):

Dia yang menciptakan daku, Dialah yang memimpin daku, yang memberiku makan dan minum, dan apabila ku sakit, Dialah yang menyembuhkan daku ... (QS 26 : 78-80)

Atau ayat-ayat sekitar kebaikan dan kejahatan seperti:

KatakanIah, segala sesuatu berasal dari Allah. (QS 4 : 78)...

Semua ayat ini Tidaklah harus diartikan sebagai penafian ikut campumya sebab-sebab alami. Dengan demikian, tidak ada sama sekali kontradiksi antara ayat-ayat ini dengan ayat-ayat yang mendukung peranan manusia dalam soal hidayah dan kesesatan, kejayaan dan kemampuan, rizki dan keselamatan, ataupun dalam perbuatan kebaikan dan keburukan. Seperti misalnya ayat yang menyatakan:

Adapun kaum Tsamud, Kami beri mereka pimpinan, tapi mereka lebih suka kebutaan dari pimpinan. (QS 41 : 17)

Atau yang (setelah menyebutkan akibat buruk yang menimpa para Fir'aun dan pengikut mereka yang sial dan hina serta kejatuhan mereka dari puncak kejayaan ke dasar kehinaan) menyatakan:

Yang demikian itu dikarenakan Allah tiada akan mengubah nikmat yang dianugerahkanNya kepada suatu kaum, sebelum kaum itu mengubah apa yang ada dalam dirinya sendiri. (QS 8 : 53)

Atau ayat mulia yang menyebutkan tentang aliran determinisme yang dianut kaum musyrikin :

Dan bila dikatakan kepada mereka:"NafkahkanIah sebagian pemberian Allah kepadamu, "orang-orang yang kafir berkata kepada orangyang beriman: "Akankah kami beri makan orang yang Tuhan beri makan sekiranya Ia mau?" (QS 36 : 47)

Atau ayat yang menyatakan :

Telah tampak kerusakan di darat dan di Iaut disebabkan karena perbuatan tangan mamisia. (QS 30 : 41)

Kenyataannya, seperti yang telah kami isyaratkan sebelum ini, qadha dan qadar, kehendak, ilmu, dan 'inayah (pemeliharaan) Ilahi adalah suatu sebab dalam rangkalan sebab alami yang bersifat vertikal, dan bukannya horizontal. Keseluruhan sistem sebabakibat yang tak terhingga itu berasal dan bersumber dari iradat, ketentuan dan takdir Ilahi, dan pengaruh yang dmmbulkan oleh sebab-sebab dan akibat-akibat ini, dalam batas-batas tertentu, pada hakikatnya adalah pengaruh yang berasal dari qadha dan qadar itu sendiri.

Karena itu, Tidaklah dapat dibenarkan sedikit pun adanya ucapan yang mempertanyakan: "Yang bagaimanakah sesuatu yang merupakan perbuatan Allah dan yang bagaimanakah yang bukan merupakan perbuatan-Nya?" Adalah suatu kesalahan besar menyatakan tentang sesuatu sebagai "bukan perbuatan seorang makhluk" setelah sebelumnya dinisbahkan kepada Allah, atau mengatakan tentang sesuatu bahwa "itu adalah perbuatan seorang makhluk" setelah dinisbahkan kepadanya dan "bukan perbuatan Allah." Membagi-bagi perbuatan antara Al-Khalik dan makhluk adalah sesuatu yang batil.

Segala sesuatu adalah perbuatan Allah, dan bersamaan dengan itu, ia adalah juga perbuatan si peIaku serta sebab yang mendahuluinya.

Diriwayatkan[12] bahwa sebuah surat pernah dikirimkan oleh Imam al-hadi[13] (alaihissalam) kepada sekelompok kaum Syi'ah mengenai persoalan jabr (determinisme), tafwidh (pendelegasian kekuasaan Ilahi) dan 'adl (keadiIan Ilahi). Dalam suratnya itu ia menyebutkan kisah seorang Iaki-Iaki bernama Ibayah yang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali (alaihissalam) tentang kemampuan manusia yang dengannya ia dapat berdiri duduk dan berbuat. Apakah manusia memiliki kemampuan dan kekuasaan atas perbuatannya? Jika demikian halnya, bagaimana caranya Allah SWT ikut campur dalam suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kemampuan dan kekuasaan-Nya?

Imam Ali (alaihissalam) balik bertanya kepadanya: "Anda menanyakan tentang kemampuan, adakah Anda memilikinya tanpa Allah atau bersama-sama (bersekutu) dengan Allah?"

Ibayah berdiam diri, kemudian Imam Ali meIanjutkan: "Bicara, wahai Ibayah!"

"Apa yang harus kukatakan?" tanya Ibayah.

"Jika Anda mengatakan bahwa anda memilikinya bersama dengan Allah, akan kuhukum Anda; dan jika Anda menyatakan telah memilikinya bukan dari Allah, anda akan kuhukum pula".

"Lalu apa yang harus kukatakan, wahai Amirul Mukminin?"

"KatakanIah bahwa Anda memilikinya dengan perkenan Allah yang memilikinya sendiri sepenuhnya. Jika Ia memberikannya untukmu, maka yang demikian itu merupakan sebagian anugerah-Nya; tetapi jika Ia mencabutnya darimu, maka yang demikian itu termasuk bala’ (ujian)-Nya. Dia-Iah Sang Pemilik pemilikan yang diberikan-Nya padamu, dan Dia-Iah Yang Berkemampuan atas kemampuan yang dikuasakan-Nya padamu..."

Alasan mengapa Imam Ali (alaihissalam) berkata kepadanya: "Jika Anda mengatakan telah memiliki kemampuan itu bersama-sama dengan Allah, Anda akan kuhukum", ialah karena ucapan seperti ini menjadikan si pemilik kemampuan sebagai sekutu Allah yang setara dengan-Nya. Ini tentunya adalah kekufuran. Demikian pula halnya dengan ucapan orang yang berkata bahwa "ia memiliki kemampuan tanpa Allah", sebab ia menganggap dirinya bebas dan mandiri dari Allah. Ini pun suatu bentuk kekufuran, sebab kebebasan atau kemandirian sepenuhnya dalam suatu persoalan berarti pula kemandirian sesuatu atau seseorang itu dalam kemaujudan dirinya (atau zatnya), di samping menafikan sifat "kemungkinan" kemampuan diri, dan sebagai gantinya, menetapkan "keharusan" kemampuan dirinya (zatnya) sendiri.

Kesimpulan dialog di atas ialah, bahwa segala pengaruh, walaupun ia dinisbahkan kepada si peIaku, pada waktu yang saina ia pun harus dinisbahkan kepada Allah dan disandarkan kepada-Nya. Bila kita menisbahkannya semata-mata kepada si peIaku sebagai pemberi pengaruh yang biasa dan alami, maka pada hakikatnya kita telah menisbahkannya kepada peIaku yang tidak bertindak dengan zatnya sendiri. Sebaliknya, bila kita menisbahkannya kepada Allah maka kita telah menisbahkannya kepada sang peIaku yang bertindak dengan zatnya sendiri.

Allah SWT yang memberi khasiat (karakteristik) dan kemampuan mempengaruhi kepada semua maujud. Akan tetapi pemberian dan pelimpahan pemilikan atau hibah dari manusia. Pemberian dan pelimpahan sesuatu dari manusia berakibat keluarnya benda tersebut dari milik si pemberi, sebab seIama belum keluar dari miliknya, ia pun tidak mungkin masuk ke dalam milik sesuatu atau seseorang Lainnya. Sedangkan pelimpahan dan pemberian Ilahi, tidak akan bertentangan sama sekali dan untuk seIama-Iamanya dengan tetapnya kemilikan Ilahi. Bahkan itu merupakan sesuatu yang tak terpisah dari pemilikan-Nya dan merupakan salah satu di antara tanda-tanda kekhususan-Nya.

Allah SWT menganugerahkan sifat mempengaruhi dan memberi bekas kepada segala sesuatu, tetapi pada waktu yang bersamaan, Ia adalah tetap sebagai Pemilik satu-satunya atas segala kekuatan, pemberi pengaruh dan bekas.

Amat banyak berita, hadis dan ucapan para Imam yang mengandung pengertian seperti ini, atau hampir sama dengan ini, yang tak mungkin diuraikan seluruhnya dalam risalah kecil ini.

Tingkatan yang Amat Tinggi

Yang sangat menimbulkan kekaguman pada diri seorang penelm yang ahli di bidang masalah-masalah tauhid adalah logika Al-Quran yang khas. Kemudian setelah itu, riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasul yang mulia saw., Imam Ali (alaihissalam) serta para Imam Lainnya, di bidang tauhid dan ma'rifat Ilahi.

Itu semua adalah logika yang tak mungkin disejajarkan dengan logika masa itu, bahkan tak mungkin disejajarkan dengan logika masa-masa setelah itu, yakni setelah tersebar luasnya 'ilmul-kalam, filsafat dan ilniu logika. Tidak! Sungguh ia jauh lebih agung dari itu semua. Masalah nasib, qadha dan qadar serta jabr dan ikhtiar, merupakan contoh dari hal tersebut. Hal-hal ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa Al-Quran al-Kariiri bersumber dari sumber dan persemaian yang berbeda dan jauh berada di atas sumbersumber material ini. Manusia utama (saw.) yang melaluinya Al-Quran al-Karim diwahyukan, menyaksikan hakikat-hakikat tauhid dengan pandangan yang amat berbeda dengan pandangan mata biasa. Demikian pula, ma'rifat tentang logika dan ilmu-ilmu AlQuran yang dimiliki oleh para tokoh Ahlul bait (keluarga Nabi, saIawat dan salam atas mereka semua), berbeda sepenuhnya dengan pengetahuan orang-orang seLain mereka.

Oleh sebab ituIah, dalam berbagai Iapangan pemikiran yang menimbulkan kebingungan di kalangan para pemikir dan orang-orang kebanyakan, kita dapat melihat tokoh-tokoh besar dari kalangan Ahlul Bait itu berhasil menyingkapkan berbagai hakikat dengan penjelasan yang mantap dan penuh hikmah. Karena itu, sungguh tak mengherankan jika kita lihat tokoh-tokoh besar seLain mereka, hatta dari kalangan Syi'ah sendiri, tidak mampu mengunyah dengan baik dan benar permasalahan-permasalahan ini tanpa diliputi oleh penyimpangan waIau hanya sedikit.[14]

Setiap kali seseorang meneIaah dan memperhatikan kembali ucapan-ucapan para ulama besar, seperti Syekh Mufid, al-Murtadha, al-AlIamah al-Hilli, al-Majlisi dan LainLainnya, niscaya ia mendapati mereka telah tersentuh pengaruh pendapat-pendapat Mu’tazilah dan Asy'ariyah sampai batas-batas tertentu. Sehingga corak pemikiran mereka dekat dengan corak pemikiran kaum Mu’tazilah dan Asy'ariyah, dan terpaksa juga menakwilkan ayat-ayat Al-Quran dan riwayat-riwayat yang bersangkutan dengan masalah ini.

Jelas bahwa hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu kekurangan (cacat) bagi diri tokoh-tokoh ulama itu. Siapa saja, seLain mereka, yang hidup dalam situasi seperti situasi mereka itu, tidak mungkin dapat terhindar sama sekali dari pengaruh yang mereka alami. Logika seperti yang kami sebutkan, tidak tampak di bagian barat atau timur bumi kecuali dalam Al-Quran al-Karim serta putra-putranya" yang dibesarkan di bawah asuhannya, yakni para wali agama. Adapun orang-orang seLain mereka hanya mampu berjalan setahap dan seLangkah demi seLangkah dan, setelah pengamatan yang seksama serta pendalaman pemikiran atas masalah-masalah ini, seraya bersuluh dengan cahaya AlQuran, ucapan-ucapan Nabi saw. dan para Imam (terutama Imam Ali alaihissalam) akhirnya sampaiIah mereka ke tujuan ini.

Kita dapat melihat sebagian para pemikir, yang hidup di masa sekarang, kendati dalam hal-hal Lain mereka menunjukkan keistimewaan dmnjau dari corak pemikiran dan penganalisisan mereka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan, namun ketika sampai kepada persoalan-persoalan seperti ini, mereka pun kebingungan sebagaimana para ahli ilmul-kalam sebelum mereka. Sebagai contoh, dapatlah kita menyebut nama Ahmad Amin, pengarang buku-buku Fajrul Islam, Dhuhal Islam, Zhuhrul Islam dan Yaumul Islam. Harus diakui, dalam teIaah dan analisis sosialnya, Ahmad Amin telah menunjukkan keistimewaan yang cukup besar, namun tampak dengan jelas bahwa, dalam masalah-masalah seperti ini, ia telah gagal seperti kegagaIan para ahli ilmul-kalam sebelumnya. Pada akhir bukunya, Fajrul Islam, ia menulis tentang masalah ini di bawah judul "Determinisme dan Qadar". Yang dapat kita pahami setelah membacanya ialah bahwa kepercayaan kepada takdir, menurut pendapatnya, identik dengan kepercayaan kepada determinisme. Ia tidak mempercayai keshahihan riwayat-riwayat mengenai takdir, sebagaimana ia juga tidak dapat mempercayai bahwa kandungan Nahjul Balaghah adalah ucapan-ucapan Imam Ali (alaihissalam). Mungkin saja dari segi ini ia dapat dimaafkan, karena pengetahuan yang dimilikinya tidak mengizinkannya menerima hal tersebut.[15] Tidaklah dapat dimungkiri bahwa seorang ilmuwan yang tidak memiliki modal ilmu seLain ilmu-ilmu sosial yang bersifat umum, baik ia seorang yang berasal dari Eropa, Mesir atau Iran, sama sekali tidak Layak menyatakan pendapatnya dalam bidang apa pun di antara bidang-bidang sejarah ilmu-ilmu pengetahuan Islam.

Para ahli sejarah dan kaum orientalis Barat, setiap kali hendak menyatakan pendapatnya dalam masalah ini, senantiasa menggambarkan Islam, kadang-kadang, sebagai ideologi deterministik, atau mendakwakan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar bukanlah termasuk ajaran Al-Quran dan tidak dijumpai pada awal pertumbuhan Islam. Selanjutnya, menurut mereka akidah tentang hal tersebut hanya merupakan ciptaan ahli 'ilmul-kalam belaka.

Sebagai contoh Albarmalet,[16] dalam uraiannya mengenai agama Islam, menyatakan bahwa "pokok dasar agama Islam yang asli ialah: Allah Mahaesa dan Muhammad Rasulullah, baru kemudian para ulama dan ahli 'ilmul-kalam menciptakan akidah yang menyatakan bahwa Allah telah menetapkan nasib setiap orang, sejak dahulu kala, dan bahwa kehendak-Nya sama sekali tidak dapat berubah atau berganti. Inilah perilaku determinisme." Berkata Gustav Le Bon dengan gaya seorang pembela Al-Quran:

"... .yang disebutkan dalam Al-Quran di bidang ini, tidak lebih daripada yang tersebut dalam kitab-kitab suci lainnya." Kemudian ia menyebutkan beberapa ayat Al-Quran dan, setelah membahas beberapa masalah, selanjutnya berkata:

"Adapun kepercayaan kepada takdir, sebagai sesuatu yang diharuskan dalam Islam, tidak memiliki dasar ataupun pembenaran seperti halnya berbagai keharusan Lainnya. Sebelum ini, kami telah menyebutkan beberapa ayat yang bersangkutan dengan qadha dan qadar. Ayat-ayat tersebut pada hakikatnya tidak memberikan lebih banyak makna daripada yang disebutkan oleh kitab suci kita (yang dimaksudkan di sini tentunya kitab Injil - Penerj). Semua filosof dan ahli teologi (Nasrani), terutama Luther, menyatakan bahwa seluruh peristiwa dan kejadian di alam ini adalah seperti apa adanya, telah ditakdirkan dan tidak mungkin dapat diubah atau diganti, Luther sendiri, seorang pembaharu agama Kristen menulis:

"Bukti-bukti yang amat banyak yang berada di tangan kita dari kitab suci, benar-benar bertentangan dengan masalah ikhtiar (kebebasan memilih). Bukti-bukti dan petunjukpetunjuk tentang ini amat banyak dijumpai dalam berbagai bagian kitab suci. Bahkan kitab-kitab ini semuanya penuh dengan petunjuk-petunjuk seperti ini".[17]

Kemudian Gustav Le Bon menunjuk kepada kepercayaan pada takdir di antara orangorang Romawi dan Yunani terdahulu, yang ia simpulkan sebagai berikut :

"Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa Islam tidak lebih memberikan perhatian pada masalah ini dibanding berbagai agama lainnya, bahkan tidak sebesar perhatian yang diberikan oleh para Ilmuwan modern, sesuai dengan ucapan Laplace dan Leibniz".

Begitulah kita dapati Gustav Le bon dapat menerima pengertian bahwa kepercayaan kepada takdir tidak bisa lain daripada determinisme dan penafian kebebasan; akan tetapi, menurutnya, kepercayaan seperti ini memang sudah ada pada semua agama serta berbagai aliran filsafat dan tidak hanya khusus dalam Al-Quran saja.

Setelah mengutip beberapa kandungan Al-Quran, terutama yang mengandung pengertian bahwa ilmu dan kehendak Ilahi meliputi segala sesuatu, secara menyeluruh, dan setelah menunjuk kepada hadis yang terkenal dalam Shahih Bukhari, Will Durant[18] berkata: "Keimanan kepada qadha dan qadar ini, telah menjadikan determinisme sebagai ciri-ciri yang jelas dalam pemikiran Islami".

Ada baiknya kita perhatikan ucapan Dominique Sourdell:[19]

"....Sejak permulaan era Islam, kaum Muslimin membayangkan bahwa mereka telah menjumpai berbagai kontradiksi di dalam Al-Quran, sehingga Rasul, sesuai dengan hadis yang terkenal di kalangan kita, telah memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan: 'Imanilah penderitaan kalian....' Dan ketika kaum Muslimin, setelah itu, tidak rela menjadikan keimanan mereka pada permukaannya saja, sebagian dari mereka telah berupaya menafsirkan beberapa ungkapan dan uraian dalam Al-Quran. Inilah awal mula terciptanya Ilmu Tafsir. Pertanyaan pertama yang dilontarkan ke hadapan kaum Muslimin ialah : 'Jika manusia tidak memiliki kemampuan mengerjakan sesuatu di hadapan urusan Allah (yakni takdir) dan, walaupun begitu, Allah tetap saja memberinya balasan atas perbuatan-perbuatan baik dan buruknya, apakah dengan demikian berarti kodrat (qudrah) Ilahi bersifat kontradiktif terhadap pertanggungjawaban manusia?' AlQuran tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam kenyataannya, kodrat Allah yang sempurna, seperti tampak pada berbagai tempat dalam Al-Quran, tidak meninggalkan ruang sedikit pun untuk kebebasan manusia. Dengan jalan ini, tidak lagi tertinggal suatu perasaan pertanggungjawaban manusiawi di hadapan penyerahan bulatbulat kepada takdir Ilahi".

Buku karangan Sourdell ini sarat dengan pentahkikan-pentahkikan yang "bermutu", seperti ini!

Telah diketahui dari penjelasan-penjelasan yang lalu, bahwa masalah qadha dan qadar telah disebutkan berulangkali di dalam Al-Quran al-Karim, dan bahwa hal itu bukanlah berasal dari para ahli 'ilmul-kalam. Juga, kepercayaan kepada qadha dan qadar yang bersifat umum, seperti yang dijelaskan oleh Al-Quran, sungguh berbeda dari teori determinisme.

Pada saat kita menyaksikan kaum orientalis Barat memuji-muji kaum Mu’tazilah disebabkan mereka mengingkari qadha dan qadar, kita pun menyadari bahwa mereka (yakni kaum orientalis) percaya bahwa akidah tentang qadha dan qadar adalah identik dengan akidah Jabariyah atau determinisme!!

Tak syak lagi, jika kita membandingkan kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy'ariyah, akan kita dapati kaum Mu’tazilah memiliki kebebasan pikiran dan kemerdekaan intelektual yang layak. Kita harus menganggap langkah yang dilakukan oleh al-Mutawakkil (Khalifah dari Bani Abbas), yang memusuhi kaum Mu’tazilah serta mendukung sepenuhnya doktrin Asy'ari, sebagai suatu bencana besar bagi dunia Islam.[20] Akan tetapi kita pun harus menyatakan bahwa penyimpangan kaum Mu’tazilah dan kebimbangan yang menimpa mereka dalam masalah ini, tidaklah lebih kecil daripada kesalahan dan kebimbangan kaum Asy'ariyah. Kendati kaum orientalis telah memuji mereka (yakni kaum Mu’tazilah), namun disebabkan kaum orientalis itu tidak memiliki kedalaman dan keluasan pengetahuan dalam ilmu-ilmu tentang Islam, mereka pun telah membayangkan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar identik dengan kepercayaan kepada determinisme.

Edward Browene[21] berkata: "Kelompok Qadariyah atau Mu’tazilah lebih mempunyai arti penting sebab mereka membela prinsip kebebasan kehendak atau tafwidh (pelimpahan Ilahi) dan ikhtiar." Dr. Schteiner berkata: "Kata-kata paling tepat untuk melukiskan kaum Mu’tazilah ialah dengan menyatakan bahwa munculnya pemikiranpemikiran seperti ini adalah konsekuensi dari suatu oposisi terus-menerus oleh inteligensi manusia yang sehat melawan hukum-hukum tiran dan ajaran-ajaran deterministis".

Kaum Mu’tazilah menyebut diri mereka sendiri sebagai kelompok 'adl (keadiIan Ilahi) dan tauhid. Mereka menyatakan bahwa ketentuan azali pada doktrin Ahlus-Sunnah (yakni kaum Asy'ariyah) ialah bahwa Allah SWT telah menentukan, sejak azali, nasib dan perjalanan hidup setiap orang, dan bahwa Ia memberi balasan atas dosa-dosa yang telah Ia bebankan sendiri di pundak manusia, dan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan, keteguhan dan pertahanan terhadap takdir Ilahi.

Demikianlah, corak pemikiran kaum Mu’tazilah ini, yakni persamaan antara kemestian qadha dengan determinisme, telah menjadi sumber dukungan kaum orientalis.

Akar-akar Historis

Di antara pembahasan-pembahasan penting yang patut diperhatikan ialah pembahasan tentang sumber konsep-konsep, akidah-akidah dan berbagai jenis perdebatan ini. Faktorfaktor apakah yang telah mendorong kaum Muslimin, sejak awal pertengahan abad pertama atau paling lambat sejak paruh kedua abad itu, sehingga mereka memasuki bidang pembahasan mengenai determinisme dan qadar?

Tak syak lagi, penyebab dimulainya pembahasan-pembahasan ini oleh kaum Muslimin ialah ayat-ayat Al-Quran al-Karim dan ucapan-ucapan Rasul termulia saw. Dalam kenyataannya, masalah nasib serta kebebasan dan ikhtiar manusia termasuk masalahmasalah yang sudah sewajarnya membangkitkan pertanyaan-pertanyaan setiap orang. Sebab, masalah ini telah berkali-kali dilontarkan dalam Kitab Suci kaum Muslimin, dan di antara ayat-ayatnya ada yang secara gamblang mendukung konsep takdir dan ada pula yang secara gamblang mendukung adanya kebebasan dan ikhtiar manusia; tentunya hal ini mengundang timbulnya pemikiran, pembahasan dan diskusi.

Kaum orientalis dan pengekor-pengekor mereka semuanya mendakwakan bahwa konsepkonsep ini memiliki akar pemikiran yang lain. Seperti yang telah kami sebutkan, sebagian ahli sejarah dari Barat percaya bahwa masalah takdir, determinisme dan ikhtiar, termasuk masalah-masalah yang baru dmmbulkan pada masa-masa terakhir oleh para ahli teologi Islam, sementara semuanya ini tak ada bekasnya dalam Al-Quran ataupun Sunnah!

Namun ada juga sebagian yang lain yang mengisyaratkan bahwa konsep kaum Asy'ariyah yang bertumpu atas determinisme dan tiadanya kebebasan manusia, memang benar-benar seperti yang dikehendaki oleh ajaran-ajaran Islam. Hanya saja, kaum Mu’tazilah menolak untuk tunduk kepada konsep Islami ini, sama halnya seperti penolakan mereka terhadap ajaran-ajaran Islam lainnya yang tidak sejalan dengan akal dan logika. Tema kebebasan dan ikhtiar manusia telah timbul pertama kali di antara kaum Muslimin dari kalangan kaum Mu’tazilah tersebut!

Sebenarnya kata mereka selanjutnya kaum Mu’tazilah sendiri bukanlah pencipta konsep ini, akan tetapi mereka telah berpaling ke arah pemikiran yang "bermutu tinggi" ini sebagai hasil hubungan dan pergaulan mereka dengan berbagai bangsa, terutama kaum Nasrani.

Disebutkan[22] bahwa Van Kromer percaya bahwa Ma'bad al-Juhani telah mempopulerkan konsep kebebasan kehendak ini pada tahun-tahun terakhir abad ketujuh Masehi di kota Damsyik, yaitu dengan meniru dan mengikuti seorang berkebangsaan Iran bernama Sinbawaih. Ia berkata pula: "Van Kromer berpendapat bahwa tempat pembentukan dan penyempumaan doktrin-doktrin orang-orang itu ialah kota Damsyik, di bawah pengaruh kaum teologis Bizans, khususnya Yahya Dimasyqi serta muridnya Theodore Hypocrates."[23]

Dari sini dapat diketahui bahwa Van Kromer berpendapat bahwa si orang Iran yang diperkirakan telah mengajarkan konsep kebebasan dan ikhtiar kepada Ma'bad al-Juhani, pada gilirannya, telah beroleh manfaat dari pengetahuan yang dilimpahkan kepadanya oleh para ahli teologi Nasrani berkebangsaan Romawi tersebut!.

Seandainya memang demikian itu persoalannya, tentunya untuk membahas hal-hal mengenai tauhid dan akhir, bahkan salat dan puasa, kita harus mencari akar-akar historisnya di sana pula. Di samping itu, kita pun harus berkesimpulan bahwa penyebab timbulnya perhatian kaum Muslimin terhadap pembahasan tentang tauhid, hari akhir, salat, dan puasa, ialah adanya pembahasan-pembahasan tentang masalah-masalah tersebut yang sudah lebih dulu dilakukan oleh sekolah-sekolah kaum Nasrani!!

Kenyataan Sebenarnya

Pada hakikatnya, kaum orientalis tidak memiliki cukup kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap berbagai akidah dan doktrin Islami, sebagaimana mereka pada umumnya juga tidak mempunyai mkad baik yang diperlukan untuk itu. Karenanya, kita dapat melihat, pada saat mereka mencoba membuat analisis tentang konsep-konsep dan doktrin-doktrin Islami, serta hendak memasuki pembahasan tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan teologi Islam, tasawuf ataupun filsafat, mereka selalu terjerumus ke dalam pencampuradukan hal-hal yang aneh-aneh dan berbagai khurafat yang tak berharga sedikit pun, yang menimbulkan keheranan atau kadang-kadang malah mengundang ejekan. Sebagai contoh, marilah bersama-sama kita teIaah tulisan di bawah ini.

Edward Browene[24] mengutip dari buku Sejarah Islam, karangan Dozy, seorang orientalis terkenal berkebangsaan Belanda, pendapat mengenai kaum Mu’tazilah sebagai berikut:

"Berhubung mereka (kaum Mu’tazilah) menggunakan cara perenungan dan pemikiran dalam memahami hukum-hukum syari'at, maka dengan sendirinya, mereka membela metode logika argumentatif. Karena itu pula, salah satu dari tema-tema pokok yang mereka bahas ialah pendapat tentang hadits-nya (baru terciptanya) AL-Quran, bukan qadim seperti Zat Allah, dan bahwa ia adalah makhluq, meski pendapat seperti ini sebenarnya berlawanan dengan ucapan Nabi.[25] Mereka juga menyatakan bahwa konsekuensi dari Pernyataan bahwa Al-Quran adalah sesuatu yang qadim dan bukan makhluq, sama seperti mengatakan tentang adanya dua maujud yang azali dan abadi. Sedangkan dengan menjadikan AL-Quran, yakni firman Allah, termasuk dalam kelompok makhluk (yang dicipta oleh) Allah, maka kita tidak dapat menjadikannya berkaitan dengan Zat Allah, karena Zat Allah tidak mungkin berubah.[26]

Dengan cara pengutaraan seperti ini, setahap demi setahap goyahlah dasar kepercayaan tentang turunnya wahyu, dan dicanangkanlah oleh banyak kalangan Mu’tazilah, bahwa menulis padanan Al-Quran atau bahkan yang lebih baik daripadanya, adalah sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak mustahil.

Berdasarkan itu, mereka menyanggah pendapat bahwa Al-Quran adalah kitab samawi yang turun dari sumber wahyu. "[27]

Demikian pula akidah (kepercayaan) mereka kepada Allah, lebih murni dan lebih tinggi daripada akidah kaum pembuat hukum (para fuqaha) dan orang-orang yang berpegang teguh pada doktrin-doktrin umum dan nilai-nilai syari'at, serta juga (lebih murni) daripada akidah kaum Asy'ariyah. Hal itu disebabkan kaum Mu’tazilah tidak akan pernah menerima doktrin yang mengatakan bahwa Sang Pencipta Alam dapat menampakkan diri dalam bentuk jasmani, dan mereka juga tidak bersedia mendengar ucapan seperti ini, kendati ada hadis yang berbunyi: "Sebagaimana telah kamu lihat bulan purnama pada pertempuran Badr, kamu pasti akan melihat pula Tuhanmu pada suatu hari."[28] Mengingat para fuqaha telah mengartikan ucapan ini secara harfiah, maka masalah ini selalu menjadi penghambat utama bagi kaum Mu’tazilah, sehingga mereka berusaha menafsirkan dan menjelaskannya, dengan menyatakan bahwa manusia, setelah mati, akan melihat Allah, tetapi hanya dengan mata-hati, yakni dengan dalil akal, sebagaimana mereka juga tidak inau menerima bahwa Allah SWT adalah Pencipta orang-orang kafir.[29]

Demikianlah sebagai contoh yang ingin kami kemukakan di sini. Perlu pula kami nyatakan bahwa Edward Browene, orientalis yang menulis buku Sejarah Kebudayaan Iran, mengutip hasil penelitian (!) ini dari orientalis Belanda, Dozy tersebut tanpa catatan apapun.

Kami tidak tahu sebutan apa kira-kira yang dapat kami berikan kepada bualan seperti ini? Apakah kita akan menamakannya kebodohan ataukah kejahatan? Dan yang lebih disesalkan lagi ialah kenyataan bahwa pengikut-pengikut dan pengekor-pengekor mereka, yang berasal dari Timur pun, alih-alih menelm kembali konsep-konsep dan doktrin-doktrin ketimuran dan ke-Islaman, dengan penelitian yang mendalam dan seksama; dalam kenyataannya, dengan sengaja mereka malah mengulang-ulang ucapan guru mereka tersebut, serta menjadikannya sebagai tumpuan bagi pendapat-pendapat mereka sendiri.