• Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2295 / Download: 1071
Ukuran Ukuran Ukuran
Hak anak dalam Islam (Bagian1)

Hak anak dalam Islam (Bagian1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Hak Anak Dalam Islam dan Dokumen Internasional,

1. Hak Anak dalam Islam dan Sistem Internasional

Kumpulan artikel Hak Anak Dalam Islam akan mengetengahkan pembahasan tentang hak anak menurut agama Islam. Selain itu juga akan melakukan komparasi dengan dokumen-dokumen internasional seperti Konvensi Hak anak; kesamaan dan perbedaan hak anak dalam Islam dan sistem internasional.

Anak-anak merupakan kelompok manusia paling rentan, begitu juga yang pertama terpapar langsung tekanan dan masalah yang berasal dari kehidupan orang tua dan mereka harus menanggungnya. Jutaan anak-anak di seluruh dunia berada dalam masa-masa sulit karena tidak memiliki orang tua, pengungsian akibat perang dan bencana alam, nutrisi yang tidak tepat, terjangkit berbagai penyakit, kecanduan orangtua dan masalah akibat perceraian atau berada dalam cengkeraman orang jahat dengan segala bentuk penyalahgunaan seperti dijadikan pengedar narkotika, menjual diri dan melakukan kerja paksa. Dengan demikian, hak-hak mereka dilanggar dengan brutal.

Tentu saja, pelanggaran hak-hak anak berbeda di berbagai belahan dunia. Di negara-negara berkembang, anak-anak lebih mungkin untuk menderita kemiskinan dan konsekuensinya, seperti kekurangan gizi, kurangnya fasilitas kesehatan, medis dan pendidikan, tetapi di negara-negara maju, masalah moral dan kelemahan institusi keluarga mempengaruhi anak-anak.

Masa kanak-kanak sangat penting dalam perkembangan dan pendidikan anak-anak. Pada kenyataannya, fondasi untuk perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial anak-anak terbentuk di tahun-tahun ini. Oleh karena itu, perlu untuk memperhatikan periode ini dengan menetapkan aturan yang tepat untuk anak-anak dan berusaha meningkatkan kehidupan mereka. Anak-anak dalam usia ini sangat rentan dan membutuhkan perawatan serta dukungan orang tua.

Kerentanan anak-anak mengharuskan ditetapkannya undang-undang yang tepat dan dukungan yang diperlukan guna memastikan pertumbuhan dan kesehatan tubuh dan jiwa anak-anak. Pada hakikatnya, perlunya undang-undang khusus untuk anak-anak berasal dari prinsip psikologi bahwa anak-anak tidak hanya berbeda dalam hal kuantitas tetapi juga dalam hal kualitas dengan orang dewasa dan memiliki keinginan, kebutuhan dan kekhasan mereka sendiri.

Jadi, dari sudut pandang hukum, mereka juga membutuhkan aturan khusus yang berbeda dari orang dewasa. Memahami pentingnya hal ini, agama Islam memiliki doktrin pedagogis yang sangat progresif dan berharga terkait hak-hak anak yang akan diperkenalkan dan ditinjau dalam rangkaian program ini. Sebelum memasuki topik ini, penting untuk memeriksa konsep, latar belakang dan dasar-dasar hak-hak anak.

Kata anak dan remaja adalah salah satu kata kunci yang perlu dijelaskan. Tentunya, kita harus memiliki batasan antara definisi "anak" dan "remaja". Dalam konteks ini, kami memeriksa istilah "baligh" dan "pertumbuhan," yang merupakan akhir dari masa kanak-kanak dan memasuki masa orang dewasa.

Kami pertama kali memeriksa konsep anak-anak dalam dokumen internasional. Salah satu instrumen internasional yang paling penting di bidang hak asasi manusia untuk anak-anak adalah Konvensi 1989 tentang Hak-Hak Anak, dimana definisi seorang anak disediakan. Pasal 1 Konvensi menetapkan, menurut konvensi ini, yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Sesuai dengan undang-undang yang dapat diterapkan soal anak masalah usia baligh tidak banyak mendapat perhatian.

Ada beberapa poin tentang pokok bahasan dari Konvensi Hak Anak; poin pertama adalah bahwa definisi itu hanya menjelaskan akhir masa kanak-kanak dan tidak dibahas kapan mulainya. Tidak dijelaskannya masalah ini memberikan dua makna yang berbeda; satu, kita katakan bahwa dimulainya masa kanak-kanak sejak ia lahir dan ini sesuatu yang jelas tidak membutuhkan penjelasan.

Sementara makna lainnya perlu dicatat bahwa, pada saat penyusunan konvensi, ada diskusi tentang awal masa kanak-kanak. Dalam proposal Polandia disebutkan, awal masa kanak-kanak sebagai manusia adalah saat lahir. Menurut sebagian pakar, mungkin motivasi di balik gagasan teori ini adalah untuk memungkinkan aborsi di Eropa Timur dan dengan ungkapan itu, mereka tidak ingin menentukan awal masa kanak-kanak dari pra-kelahiran, agar masalah aborsi tidak dipertahankan.

Sebaliknya, Irlandia dan Vatikan serta negara-negara Amerika Latin percaya bahwa dimulainya masa anak dari saat pembuahan dan menetap di dalam rahim. Masalah ini juga dikaji dan bisa dieksplorasi dalam hukum Islam. Tampaknya menjadi awal seorang anak sejak masa pembuahan. Amerika Serikat memulai periode masa kanak-kanak dari saat lahir dan dapat bertahan hidup setelahnya.

Ketidaksepakatan ini menyebabkan tahap akhir pengesahan konvensi anak ini dilakukan di Majelis Umum PBB dan pada pasal 1 hanya menyebut akhir masa kanak-kanak dan tidak menjelaskan kapan dimulainya masa kanak-kanak. Tampaknya untuk mengetahuinya harus dicari dalam undang-undang dalam negeri setiap negara. Tentu saja, orang mungkin berpendapat bahwa sampai anak itu lahir, istilah anak tidak dapat dirujuk kepadanya, tetapi ketika berbicara tentang anak, yaitu, manusia yang menjejakkan kakinya ke dunia, bukan janin yang tidak jelas apakah akan lahir dengan selamat atau tidak.

Masyarakat internasional tampaknya telah sedikit berubah dalam hal ini dibandingkan dengan masa lalu. Karena di pendahuluan Deklarasi Hak Anak yang diratifikasi tahun 1959 disebutkan, "Karena anak secara fisik dan intelektual membutuhkan dukungan dan perhatian khusus, terutama perlindungan hukum, terkait sebelum dan sesudah kelahiran..." Tetap saja Konvensi Hak Anak tidak menyinggung masalah ini.

Hal lain dalam pasal 1 Konvensi Hak Anak adalah bahwa "kecuali hukum tentang anak, usia baligh atau pubertas kurang diperhatikan." Implikasinya adalah bahwa Konvensi, selain menetapkan akhir usia masa kanak-kanak, juga memperhatikan bahwa akhir dari masa kanak-kank di sebagian undang-undang dalam negeri suatu negara bisa jadi kurang dari 18 tahun. Artinya, Konvensi juga mengakui akhir masa kanak-kanak bisa di bawah 18 tahun.

Selain itu, Konvensi tidak membedakan antara pubertas dan pertumbuhan dan tampaknya menilai usia pubertas dan usia pertumbuhan sebagai satu hal yang sama. Artinya, ketika seorang anak mencapai usia 18, kualifikasinya memberinya semua haknya dan secara umum, ia dapat bertindak secara mandiri. Tentu saja, dapat dikatakan bahwa hak-hak beberapa negara, terutama negara-negara non-Islam, serta prinsip-prinsip Konvensi, didasarkan pada konsep "pertumbuhan," dan mereka tidak memiliki konsep yang disebut baligh untuk akhir masa kanak-kanak.

Definisi anak juga terlihat dalam dokumen lain. Pasal 5 dan 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang diadopsi pada tahun 1966 menetapkan bahwa "hukuman mati untuk kejahatan yang dilakukan oleh orang di bawah usia delapan belas tahun tidak akan dikeluarkan, begitu juga dengan wanita hamil."

Dalam dokumen internasional lainnya juga menjelaskan akhir masa kanak-kanak. Sebagai contoh, pasal 1 dari Tambahan Hukum Perbudakan dan Penjualan Budak Jenewa tahun 1962 dan pasal 2 dari Konvensi Hak Anak dan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia, istilah anak mengacu pada orang yang berusia kurang dari 18 tahun. Namun, dokumen internasional menunjukkan bahwa melewati masa kecil dan memasuki usia dewasa dan selanjutnya segala tanggung jawab sosial dan individu telah ditetapkan pada usia 18 tahun dan usia 18 tahun menjadi usia pertumbuhan.

2. Pengertian Anak dalam Undang-Undang Sejumlah Negara

Bagian kedua dari artikel Hak Anak Dalam Islam akan mengulas tentang pengertian anak dalam undang-undang sejumlah negara. Terkait kapan mulainya periode kanak-kanak, negara-negara di dunia dapat dibagi dalam dua atau tiga kelompok yang berbeda.

Kelompok pertama adalah negara-negara yang menilai masa kanak-kanak sejak pembuahan. Seperti Amerika Latin, Irlandia dan Vatikan. Seperti disebutkan, pada saat penyusunan Konvensi Hak-hak Anak, diskusi ini dibahas secara serius di antara para perancang draft tersebut. Negara-negara ini menekankan bahwa anak sebelum lahir juga memiliki kehidupan dan perlu didukung oleh undang-undang. Misalnya, Argentina soal pasal 1 Konvensi Hak Anak mengatakan, konsep anak mencakup setiap manusia sejak masa pembuahan hingga berusia 18 tahun.

Pandangan ini didasarkan pada hukum sipil Argentina yang menyatakan, eksistensi dan keberadaan manusia dimulai pada saat pembuahan di dalam rahim dan setiap individu dapat menikmati hak-hak tertentu sebelum lahir, seolah-olah telah lahir. Jika janin di dalam rahim terlahir ke dunia dalam keadaan hidup, maka haknya akan permanen dan tidak dapat diubah untuknya, meskipun ia akan dipisahkan dari ibunya pada saat kelahirannya.

Kelompok kedua adalah masalah yang dibuat Amerika Serikat selama penyusunan Konvensi Hak Anak. Menurut Mahkamah Agung AS, masa kanak-kanak dimulai ketika anak lahir ke dunia dan memiliki kelangsungan hidup. Pandangan tersebut tidak menyebut kelahiran sebagai awal masa kanak-kanak dan bukan juga ketika terjadi pembuahan, tapi sesuai dengan pandangan ini, masa kanak-kanak ketika bayi yang baru lahir diketahui bakal tetap hidup dan sejak itu pula ia memiliki hak-hak anak. Dalam hukum Amerika, kemampuan bertahan hidup terjadi ketika janin dapat hidup di luar rahim ibu dan ahli medis percaya bahwa ini dapat diketahui sejak usia kehamilan mencapai bulan ketujuh.

Kelompok ketiga diadopsi oleh sebagian besar negara Barat. Menurut mereka awal masa kanak-kanak adalah sejak saat kelahiran. Dalam rancangan yang diusulkan oleh Polandia untuk Konvensi Hak Anak, disebutkan, permulaan masa kanak-kanak sebagai manusia adalah sejak saat kelahiran.

Di Perancis, agar janin menikmati haknya ada dua kondisi; yang pertama lahir hidup dan yang kedua adalah bertahan hidup. Namun, di Jerman (pasal 1 UU sipil) dan Swiss (Pasal 31 UU sipil) tidak ada kebutuhan untuk kondisi kedua (kemampuan bertahan hidup), tetapi seperti hukum di Iran, anak ketika dilahirkan dalam keadaan hidup tidak cukup untuk memiliki kepribadian dan hak, sekalipun lahir cacat atau prematur. Dalam hukum Italia, kelahiran janin tidak cukup untuk memiliki kepribadian dan hak, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk tetap hidup. Jadi jika janin lahir dalam keadaan hidup, tapi ia tidak dapat bertahan hidup karena suatu alasan dan meninggal setelah itu, ia tidak dapat memiliki hak apa pun.

Dalam hukum sipil Spanyol, bila janin ingin mendapatkan hak, disebutkan juga hak lain, anak itu harus berbentuk manusia dan hidup selama 24 jam di luar rahim.

Syarat-syarat yang telah disebutkan ini, yakni anak harus lahir dalam keadaan hidup (dalam hukum Jerman dan Swiss), atau setelah lahir memiliki kemampuan untuk bertahan hidup (hukum Perancis dan Spanyol), kami menyimpulkan bahwa anak itu memiliki hak dari saat pembuahan. Tentu saja dalam bentuk tidak tetap, dimana ketidaktetapannya ini akan menjadi pasti dengan kelahiran atau tetap dapat bertahan hidup setelah lahir.

Di beberapa negara, seperti Swedia, Denmark, Inggris dan Austria hukum untuk janin adalah hak hidup yang telah diprediksi dan sampai batas tertentu mendapat dukungan hukum. Pada saat yang sama, mereka menerima aborsi pada tahap awal kehidupan janin. Misalnya, Pasal 40 UU tahun 1974 Perancis mengizinkan aborsi sampai minggu kesepuluh kehamilan dan di Amerika Serikat sampai usia enam bulan.

Karena pengakuan atas hak untuk hidup bagi janin sejak masa pembuahan, hak hidupnya tidak boleh dilanggar karena termasuk hak fundamental kecuali dalam keadaan yang luar biasa dan diizinkan. Akibatnya, tampaknya fakta bahwa janin memiliki hak untuk hidup, hak untuk mewarisi, hak untuk mendapatkan wasiat, wakaf dan hak atas kompensasi untuk itu, dapat dikatakan bahwa janin juga memiliki kepribadian yang sebenarnya dan hak-hak hukum. Kelahiran hanya disarankan sebagai pengungkap, dalam arti bahwa dengan kelahiran anak, menjadi jelas bahwa anak telah memiliki hak sejak awal.

Akhir masa kanak-kanak juga sangat penting dalam membahas hak-hak anak. Karena batasan anak-anak memiliki haknya secara legal telah jelas. Banyak negara di dunia mengakhiri masa kanak-kanak mereka pada usia 18 tahun, meskipun usia maksimum dimana mereka dianggap mengakhiri masa kanak-kanak di beberapa negara adalah 19 dan 21 tahun.

Di sebagian besar negara bagian di Amerika Serikat, akhir periode ini diproyeksikan menjadi 18 tahun dan beberapa negara juga mempertimbangkan remaja berusia 19 atau 21 tahun. Di Perancis, orang-orang di bawah usia 13 tahun umumnya tidak memiliki tanggung jawab pidana dan mereka tetap terhitung anak-anak dari usia 13 hingga 18 tahun. Tetapi mereka juga memiliki tanggung jawab pidana (kewajiban dan hukuman jika mereka melakukan kejahatan) dan hanya bagaimana mereka berurusan dengan orang dewasa berbeda. Di Jerman, 21 adalah akhir masa kanak-kanak.

Tentu saja, jika orang melakukan kejahatan antara usia 14 dan 21, tanggung jawab relatif (relatif terhadap jumlah kesalahan, yang berarti bahwa anak-anak tidak memiliki tanggung jawab kriminal mutlak) dan bagaimana menghadapi mereka berbeda dari orang tua. Di Kuwait, Mesir, Suriah, Yordania, Lebanon dan Arab Saudi akhir masa kanak-kanak adalah 18 tahun. Anak-anak di bawah usia 7 tahun di negara-negara ini umumnya tidak bertanggung jawab dan orang-orang antara usia 7 dan 18 memiliki tanggung jawab relatif. Dalam hukum Bahrain, anak disebut sebagai Furadi selama melakukan kejahatan belum mencapai usia 15 tahun. Menurut hukum Maroko, seorang anak di bawah usia 12 tahun tidak memiliki tanggung jawab pidana dan usia maksimum anak adalah 18 tahun. Di Kanada, akhir masa kanak-kanak adalah 19 tahun.

Dalam sistem hukum Amerika Selatan, anak-anak di bawah usia 7 tahun tidak bertanggung jawab dan anak-anak usia 7 hingga 14 tahun tidak memiliki pertanggungjawaban pidana kecuali jaksa dapat membuktikan bahwa anak pada usia ini memiliki kekuatan untuk mendiagnosis dengan benar dari kesalahan dan kemampuan untuk melakukan tindakan sesuai dengan pengetahuannya serta dia bisa dituntut. Di Swiss, sesuai dengan pasal 64 UUD negara, sidang anak-anak dan pemuda antara usia 7 dan 18 telah diserahkan kepada otoritas yang berwenang dari setiap bagian dari negara itu.

Dalam sistem hukum Inggris, anak-anak dibagi menjadi tiga kategori: kategori pertama, anak-anak yang usianya di bawah dari sepuluh tahun sesuai dengan hukum anak-anak dan remaja yang disetujui tahun 1933, dimana bagian 16 UU 1936 yang telah diperbaiki menjelaskan bahwa ia tidak dapat dipidana bagaimanapun juga. Kategori kedua, anak berusia antara 10 dan 14 tahun. Kelompok usia ini hingga tahun 1988 mereka memiliki tanggung jawab ketika jaksa selain dapat membuktikan unsur materi dan kejiwaan bahwa anak yang melakukan kejahatan itu punya niat melakukannya, yakni ia mengetahui apa yang dilakukannya buruk Tapi pada 1988 dengan diratifikasinya UU kejahatan dan kekacauan, asumsi tersebut dibatalkan. Sementara kategori ketiga, anak antara usia 14 dan 18 tahun yang mirip dengan orang dewasa dalam tanggung jawab pidana. Tentu saja, bagaimana menangani kelompok ini berbeda dan lebih besar penekanan pada mengoreksi dan pelatihan.

Namun, tampaknya ada konsensus bahwa akhir masa kanak-kanak harus sesuai usia dan penggunaan tanda-tanda seperti pertumbuhan rasional dan sosial sangat sulit dan merupakan masalah tanggung jawab pidana.

3. Konsep Anak dalam Hukum Islam

Sebelumnya kita telah membahas konsep anak disertai masa kanak-kanak dan akhirnya dalam Konvensi Hak anak dan hukum yang ditetapkan oleh negara-negara di dunia. Pada kesempatan kali ini akan dijelaskan tentang konsep anak dalam hukum Islam.

Dalam ajaran Islam ada perhatian khusus yang diberikan kepada masalah anak-anak dan remaja. Islam memiliki rekomendasi bagi mereka yang akan menikah untuk memiliki anak-anak yang kompeten dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam kumpulan riwayat Syiah dan Ahli Sunnah ada pembahasan khusus pada masalah ini dan banyak riwayat dari Maksumin as telah dikutip terkait masalah ini. Salah satu alasan penting akan penekanan yang dilakukan Maksumin as terkait pemilihan pasangan bagi perempuan dan laki-laki adalah untuk memperhatikan anak-anak dari kehidupan bersama ini. Masyarakat harus memiliki anak yang sehat, seimbang dan kompeten. Karena salah satu hikmah pernikahan, berdasarkan ajaran agama, adalah mempersembahkan anak-anak yang kompeten bagi masyarakat. Setelah pembentukan keluarga, banyak pesanan untuk suami dan istri soal memiliki anak, sehingga keluarga dapat mempersembahkan anak-anak yang kompeten kepada masyarakat.

Berdasarkan ajaran agama, nutfah yang berada di rahim ibu sejak pembuahan sudah memiliki kehidupan dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Isu-isu seperti larangan aborsi, konfrontasi antara kehidupan janin dan kehidupan ibu, kelangsungan kehamilah ketika ibu meninggal dan hukum-hukum terkait masalah ini menunjukkan bahwa awal kehidupan setiap orang adalah sejak masa embrio.

Salah satu riwayat tentang awal masa kanak-kanak sejak pembuahan dan penempatannya di rahim ibu adalah riawayat dari Imam Kazhim as. Mengenai seorang wanita yang takut hamil dan ingin menggunakan obat untuk melakukan aborsi, Imam Kazhim as mengatakan, Anda tida berhak untuk melakukan hal ini. Pada waktu itu, perawi mengatakan, Imam Kazhim berkata, apa yang ingin digugurkannya adalah embrio.

Juga, dalam sebuah riwayat sahih sebagaimana diriwayatkan Abu Ubaidah bahwa dirinya bertanya kepada Imam Baqir as mengenai seorang wanita yang sengaja dan tanpa memberitahukan suaminya menggugurkan janjinya dengan meminum obat. Beliau berkata, bila daging sudah tumbuh di atas tulang, maka ayah anak itu harus membayar diyah... Setelau itu beliau menambahkan, seorang wanita tidak mewarisi diyah anaknya. Saya kemudian bertanya, ia tidak mewarisi diyah? Beliau menjawab, tidak. Karena wanita itu pembunuh janin, jadi dia tidak mewarisi darinya.

Riwayat lain dari Zharif bin Nashih dari Imam Ali as secara eksplisit menyebut janin juga disebut nafs (manusia sempurnya). Kemudian mengutip dari beliau, kemudian ketika telah menjadi ciptaan yang lain, itulah ruh, yang berada dalam diri janin, ia adalah manusia. Ketika janin laki-laki harus membayar diyah 1.000 dinar dan membayar 500 dinar bila perempuan.

Bukti-bukti dalam hukum Islam terkait masalah ini seperti kasus dalam hukum pidana Islam, dimana sesuai dengan hukum ini bila seorang wanita hamil dan melakukan kejahatan lalu dijatuhi hukuman seperti qisas, maka dalam hal ini, hukum Islam menyebut pelaksanaan hukuman harus ditangguhkan karena untuk melindungi hak kehamilan. Bahkan ketika wanita tersebut hamil lewat jalur zina. Karena dalam masalah ini yang melakukan kejahatan adalah ibu dan harus dijatuhi hukuman, tapi tidak boleh melukai janin.

Dengan demikian, dalam Islam, manusia dalam periode janin juga dianggap makhluk hidup, independen dan memiliki hak-hak, dimana melanggar hak-hak ini menyebabkan ibunya harus bertanggung jawab. Oleh karenanya, dalam agama Islam, masa kanak-kanak dimulai sejak kehamilan. Tentu saja periode kehidupan janjin merupakan bagian dari tahapan permulaan anak.

Bahkan dalam sebagian kamus bahasa Arab, kata walad juga dipakai untuk janin. Dikatakan, janin berarti sesuatu yang tertutup dan ia adalah bayi yang berada di rahim ibu. Karena di dalam rahim ibu berarti ia tetutup. Itulah mengapa ia disebut janin.

Lebih penting dari dimulainya masa kanak-kanak adalah akhir dari masa anak-anak yang akan dijelaskan selanjutnya. Di sini kita akan membahas konsep baligh dalam al-Quran. Dalam ayat-ayat al-Qura ada tiga istilah yang dipakai untuk menyebutkan berakhirnya masa kanak-kanak dan sampai pada usia baligh; baligh hulum, baligh nikah dan baligh. Kini secara ringkas akan kami jelaskan.

Dalam ayat 58-59 surat an-Nur untuk akhir dari masa kanak-kanak dipakai istilah baligh hulum. Ayat 59 menjelaskan, Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, maka hendaklah mereka meminta izin...

Kata hulum di sini sebagai bentuk metafora dari baligh. Dengan mencermati apa yang telah dijelaskan, baligh hulum merupakan kata kiasan akan kemampuan seksual anak di usianya dan adanya perubahan pada dirinya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa para ahli tafsir menyebut istilah ini sebagai bentuk kiasan ketika seorang anak memasuki usia baligh.

Ayat 6 surat an-Nisa berbicara mengenai penyerahan harta anak yatim dan mengasuh mereka hingga menikah serta kemampuan mereka membentuk keluarga. Istilah Baligh nikah oleh seluruh ahli fiqih dan tafsir mengartikannya sebagai baligh dan sebagai bentuk kiasan darinya. Tampaknya pengungkapan al-Quran dengan "Hatta idza balaghu an-nikah" tidak sama artinya dengan ayat 59 surat an-Nur, "Wa idza balagha al-athfalu minkum al-hulum", tapi ungkapan balaghu an-nikah selain berbicara tentang sampai pada usia baligh dengan artian seksual, juga bermakna kemampuan sosial seseorang untuk membentuk keluarga.

Dengan kata lain, seseorang ketika mencapai garis batas kesiapan untuk berumah tangga, dimana ia mampu membentuk kehidupan sendiri dari sisi pemikiran dan kemampuan sosial, berarti ia dapat mengatur keluarganya. Jadi ungkapan baligh nikah tidak hanya menunjukkan telah sampai usianya dari sisi seksualitas, tapi mencakup makna yang lebih dari itu bila dibandingkan dengan baligh hulum. Karena Allah Swt dalam masalah ini menggunakan sejumlah istilah dan ingin menggunakan arti khususnya, tidak hanya sekedar ingin menggunakan dua kata yang sinonim.

Ada juga ungkapan lain yang digunakan oleh al-Quran dan itu adalah baligh asyadd, dimana lebih banyak digunakan dari dua kata sebelumnya. Dalam tiga ayat al-Quran disebutkan istilah baligh asyadd. Di dua tempat digunakan dalam bentuk "Liyablughu asyuddakum", seperti dalam surat al-Kahf.

Allamah Thabathabai menyebut dalam sebuah penyebutan baligh asyadd hanya memiliki satu makna saja dan digunakan untuk anak ketika kekuatan fisiknya sudah sempurna dan sifat kekanak-kanakannya telah hilang. Beliau dalam dua tempat dalam buku tafsir al-Mizan menjelaskan bahwa awal baligh asyadd di usia 18 tahun dan sebabnya adalah ketika seorang anak berusia 18 tahun berarti ia telah sampai ke batas baligh asyadd dan sifat kekanak-kanakannya telah hilang.

Dari penjelasan Allamah Thababai dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menentukan usia sampai seorang anak pada baligh asyadd pada kenyataannya hanya penentuan kasus. Karena ketika pada usia tersebut dan ditemukan adanya perubahan yang berujung pada kokohnya kekuatan badan dan pertumbuhan rasional, maka dapat ditentukan usia baligh asyadd dari anak tersebut adalah 18 tahun. Selain itu, baligh asyadd adalah akhir dari masa kanak-kanak dan berlanjut hingga masa tua dan disebut dalam al-Quran dengan istilah syaikhukah.

Kesimpulannya, dalam ayat-ayat al-Quran tentang usia baligh anak-anak ada delapan ayat tentang baligh asyadd dan juga ayat-ayat sebelumnya tentang baligh hulum dan baligh nikah. Namun yang dapat dipastikan adalah al-Quran tidak menentukan usia tertentu untuk usia baligh, tapi ada tiga istilah yang dipakai "baligh hulum, baligh asyadd dan baligh nikah". Dari ketiga istilah ini juga tidak ada perbedaan terkait anak laki atau perempuan, begitu juga tidak ada perbedaan soal parameter mencapai usia baligh. Dengan demikian, parameter baligh merupakan hal alami yang mencakup perubahan fisik dan pertumbuhan rasionalitas pada diri anak.

Yang bisa diyakini adalah akhir dari masa kanak-kanak dan memasuki usia dewasa ketika anak sampai pada usia baligh. Sementara baligh hulum hanya terkait dengan kewajiban meminta izin. Artinya, bila ingin menguniversalkannya ke seluruh kewajiban yang lain membutuhkan dalil lain. Sementara untuk menggunakan hartanya, anak-anak harus sampai pada baligh asyadd dan baligh nikah.

4. Latar Belakang Status Hak Anak di Dunia

Seorang anak adalah anggota komunitas manusia dan masa kanak-kanak adalah salah satu periode paling sensitif dan penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, penting mengkaji hak-hak anak secara terpisah dan mengeluarkan kategori yang disebut hak-hak anak.

Dengan kata lain, sebagaimana didefinisikan sebelumnya, yang dimaksud dengan "hak anak" adalah bahwa anak-anak memiliki hak karena kemanusiaan mereka. Itulah mengapa hak-hak anak di dunia ini disampaikan dalam level yang sangat luas.

Dengan memeriksa latar belakang status hak anak di dunia, kita menemukan bahwa pada abad-abad awal, anak-anak, seperti di beberapa segmen masyarakat, termasuk wanita, telah mengalami masa yang sangat sulit dan kejam. Perilaku buruk orang dewasa terhadap mereka dan hukuman berat, seperti hukuman fisik bahkan eksekusi fisik, bahkan hukuman mati dan perilaku kekerasan, telah menjadi pola perilaku saat berurusan dengan anak-anak.

Proses mengidentifikasi hak-hak anak di dunia telah mengalami tahapan-tahapan yang sangat sulit. Sejak akhir abad kesembilan belas, kita mencapai periode perkembangan sejarah yang dapat disebut era pengakuan hak-hak anak dan dinamakan perhatian dan penghormatan kepadanya. Berikut ini, menurut beberapa tulisan, kita melihat bagaimana menyikapi anak-anak dalam enam periode yang ditulis Lloyd deMause dalam bukunya The History of Childhood.

Periode pertama adalah periode pembunuhan anak. Sehingga di masa lalu mereka memperlakukan anak-anak yang sangat kasar. Masalah ini berlanjut hingga abad keempat. Penulis buku The History of Childhood percaya bahwa alasan untuk pemikiran semacam ini adalah masalah "kecukupan sosial" dari orang-orang hebat dan kurangnya hal semacam itu pada anak kecil.

Seorang psikolog menulis untuk mendukung kata-katanya, sejatinya aborsi dan pembunuhan anak-anak adalah salah satu cara untuk melestarikan komunitas. Tentu saja ada pengecualian, baik ketika anak-anak meninggal karena bencana alam seperti penyakit menular atau bahwa konflik perbatasan membuat masyarakat sadar akan nilai militer mereka.

Tampaknya gagasan semacam itu disebabkan oleh fakta bahwa anak-anak dianggap sebagai properti dan harta seseorang dan melakukan apa saja terhadapnya adalah boleh. Di Romawi kuno, pemikiran "patria potestas", yang berarti "kekuasaan ayah" adalah aturan yang memberi ayah hak untuk mengambil kehidupan anak-anaknya sebagai budak. Ayah dari keluarga itu memberi mereka kehidupan dan ia dapat mengambil kehidupan dari mereka. Akibatnya, mereka membenarkan pembunuhan anak atas dasar aturan di atas.

Aristoteles menganggap anak itu menjadi milik ayah sampai ia mencapai usia dewasa. Tentu saja, menurut beberapa orang Yunani, termasuk Plato, wanita di atas 40 dan pria di atas usia 55 tidak diizinkan memiliki anak. Dia mewajibkan pemerintah untuk memusnahkan siapa saja yang menentang perintah ini atau bahwa janin harus digugurkan atau bila telah lahir harus dibunuh dengan cara apapun termasuk memenggal lehernya.

Penulis buku The History of Childhood soal Australia mengatakan, membunuh anak di Australia merupakan perbuatan legal. Dengan cara ini, tidak ada ibu yang berhak memiliki lebih dari satu anak dan anak kedua harus dibunuh. Sementara anak kembar atau lebih akan memiliki nasib yang sulit dan menyedihkan, sehingga terkadang satu dari mereka terbunuh atau kedua-duanya.

Ia juga menulis, di beberapa daerah lain, anak-anak yang sakit dan cacat segera dibunuh karena membutuhkan perawatan yang lebih. Untuk anak-anak yang cacat, ibu didesak untuk memakan seluruh atau sebagian daging anaknya gune mengembalikan kekuatan yang hilang saat melahirkan.

Masa penghinaan dan hukuman adalah periode kedua. Dari abad keempat hingga keempat belas, dimana orang-orang dan masyarakat tidak dapat memahami hakikat dan substani anak, sehingga mereka bersikeras dengan keyakinan tidak benar bahwa anak itu adalah makhluk yang najis. Satu-satunya cara untuk menangani masalah seperti itu adalah dengan menggunakan hukuman fisik yang berat. Begitu juga dikarenakan ada harapan dari anak-anak dapat melakukan pekerjaan yang lebih kemampuannya, maka segala bentuk pelecehan dan penganiayaan terhadap mereka dianggap sebagai satu hal yang wajar.

Akibatnya, memaksa anak-anak yang tidak berdosa untuk melakukan pekerjaan yang benar-benar sulit adalah hal yang biasa. Pada hakikatnya, karena anak-anak berada dalam posisi lemah dan tidak mampu menghadapi orang dewasa, mereka berada dalam periode sangat sulit dan harus menanggung segala jenis hukuman dan penghinaan.

Periode ketiga adalah periode transisi. Periode ini, yang dimulai dari abad keempat belas dan berlanjut sampai abad ketujuh belas adalah era munculnya teori-teori yang bertentangan dengan pemikiran abad keempat belas. Tentu saja, pandangan-pandangan ini tidak mempengaruhi intensitas hukuman dan kekerasan. Karena hukuman berat terhadap anak-anak terus berlanjut selama bertahun-tahun. Anak-anak masih menjadi korban pemikiran balas dendam dan hukuman berat seperti hukuman mati dan sebagainya.

Menurut Lloyd deMause, penulis buku The History of Childhood, dampak terpenting dari teori-teori yang disampaikan dalam periode ini adalah mempertanyakan serius masalah keyakinan akan pengkhianatan, ketidaksucian zat dan sifat anak. Ciri-ciri periode ini adalah munculnya sejumlah koran dan surat kabar yang mengandung materi yang relatif berguna dalam menolak ide ini.

Tulisan-tulisan ini, sampai batas tertentu, memberikan sumber kecurigaan dalam pikiran orang-orang yang kemudian menjadi penamaan periode ini. Di sisi lain, pemikiran sebelunya telah kalah, namun pemikiran baru masih berputar pada pembahasan keburukan zat anak-anak, sementara prinsip pendidikan anak belum mendapat tempat bagi orang-orang di masa itu.

Periode keempat adalah periode toleransi dan kemudahan. Abad ketujuh belas dan kedelapan belas adalah masa ketika pemikiran mempersulit anak-anak tidak dapat diterima dan orang tua benar-benar memahami kenyataan ini bahwa anak bukan entitas yang jahat. Tetapi bila mendapat perhatian yang cukup dan benar, mereka sangat bermanfaat dan berkontribusi bagi masa depan masyarakat. Sejak gaya berpikir tentang anak ini menyebar dan kasih sayang serta dorongan menggantikan hukuman dan kekerasan dalam berurusan dengan anak-anak, jurang pemisah yang dalam antara anak-anak dan orang tua pun menjadi hilang. Menurut Lloyd deMause, sangat mungkin bahwa laporan-laporan yang menyebut berkurangnya kematian anak-anak di periode ini adalah hasil dari berkuasanya pemikiran ini waktu itu.

Salah satu ciri paling penting dari periode ini dapat dirangkum dalam perubahan umum cara pandang terhadap anak-anak di lingkungan keluarga dan masyarakat. Namun, mengubah tingkah laku masyarakat sangat mendasar dan berpengaruh, tetapi tampaknya terealisasinya perubahan cara pandang ini tidak berarti perilaku kekerasan terhadap anak-anak sudah hilang total dari masyarakat. Karena bahkan sampai sekarang ini, masih ada pelanggaran terhadap hak-hak anak dalam bentuknya yang modern.

Di dunia industri dewasa ini, karena lemahnya fondasi keluarga, sistem hubungan sosial yang kompleks, perbedaan strata, asas manfaat dan lain-lainnya, anak-anak tetap menjadi korban dampak negatif dari peradaban baru. Selain itu, jenis dan cara menangani anak-anak di dunia saat ini memiliki bentuk yang berbeda. Kekerasan seksual dan ekonomi terhadap anak-anak, kekerasan terhadap mereka, diskriminasi dan pengungsian anak akibat perang adalah salah satu contoh paling signifikan dari pelanggaran hak-hak anak. Ruang siber juga memberikan kesempatan baru bagi para penjahat untuk menggunakan anak-anak bagi tujuan jahat mereka, seperti penggunaan anak-anak untuk mendistribusikan pornografi dan pelecehan seksual.

5. Sejarah Hak Anak-Anak

Sejarah hak anak-anak menunjukkan bagaimana mereka diperlakukan secara zalim dan keras. Untungnya, metode ini secara bertahap direformasi dan bergerak menuju dukungan terhadap hak anak-anak. Sebelumnya, telah dijelaskan sampai periode keempat dari sejarah masa kanak-kanak yang memiliki enam periode dan sekarang akan melanjutkan diskusi ini.

Periode kelima sejarah perkembangan hak anak terkait dengan masa sosialisasi melalui pendidikan dan pelatihan. Dari awal abad kesembilan belas hingga pertengahan abad kedua puluh, banyak perubahan terjadi dalam berurusan dengan anak dan psikologi anak. Pada periode ini, gagasan bahwa seseorang dapat mengubah anak menjadi manusia melalui pendidikan dan pelatihan didukung banyak oleh psikolog, termasuk Watson dan Freud.

Transformasi abad kesembilan belas dan kedua puluh di berbagai bidang, termasuk lebih banyak perhatian pada masalah hak asasi manusia dan kemudian hak anak-anak telah menciptakan kondisi baru. Berbagai dokumen hak asasi manusia dan rekomendasi PBB menunjukkan bahwa anak harus tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh pemahaman dan kasih sayang, demi pertumbuhan yang utuh dan harmonis, sehingga siap bagi kehidupan individu dan sosialnya. Upaya-upaya ini mengarah pada identifikasi hak-hak anak dan adopsi dokumen-dokumen internasional di bidang ini.

Periode keenam adalah periode simpati dan kerjasama yang dimulai pada paruh kedua abad kedua puluh. Fitur terpenting dari periode ini dapat diringkas dalam dua topik; pertama, penggunaan unsur kasih sayang dalam menangani anak-anak dan kedua, pengakuan terhadap hak-hak anak. Pada saat ini, pendidikan dan pengajaran anak diserahkan kepada ayah dan ibu serta cara pandang mereka dan harapan mereka dari anak-anak tidak keluar dari hal-hal yang lumrah. Namun, masih banyak upaya yang diperlukan untuk mencapai situasi yang diinginkan dan revitalisasi hak-hak anak. Menurut Richard Farson, yang menulis buku hak-hak kelahiran pada tahun 1974, masih ada jalan panjang untuk sepenuhnya mengakui hak-hak anak.

Sebagaimana disebutkan di atas, hak-hak anak-anak sepanjang sejarah telah mengalami banyak pasang surut yang akhirnya mengarah pada penyusunan dokumen internasional dalam hal ini. Selanjutnya akan dibahas tentang hak-hak anak dalam dokumen internasional. Dalam hal ini, ada dua kategori dokumen. Kelompok pertama adalah dokumen umum pengacara, dimana anak didefinisikan sebagai manusia dan haknya sebagai manusia. Kelompok kedua adalah dokumen yang secara khusus berkaitan dengan hak-hak anak. Kategori pertama mengacu pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi pada 10 Desember 1948 di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menunjukkan berbagai masalah hak asasi manusia, dimana anak-anak juga merupakan bagian darinya.

Deklarasi yang disebutkan di atas dalam Pasal 1 menetapkan bahwa setiap orang berhak atas hidup, kebebasan dan keamanan atau setiap orang memiliki hak untuk memiliki kepribadian hukumnya diakui sebagai manusia dihadkapan hukum dan memiliki kewarganegaraan. Dalam dokumen yang disebutkan soal hak asasi manusia ada butir yang secara langsung menangani hak-hak anak. Paragraf kedua dari Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang diadopsi pada tahun 1948, mengangkat hak atas perawatan khusus untuk ibu dan anak-anak. Ketentuan tersebut menetapkan, "Ibu dan anak memiliki hak untuk menerima perhatian dan pengawasan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan dalam perkawinan atau tidak, berhak mendapatkan perlindungan sosial yang sama."

Majelis Umum PBB, pada tahun 1966, menyetujui Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, pada banyak poin tentang hak-hak anak, menjelaskan bahwa larangan eksekusi orang-orang di bawah 18 tahun, memisahkan anak-anak tersangka dari orang dewasa, pemisahan anak dan orang dewasa selama menjalani masa hukuman, sidang dengar pendapat dan pemutusan hukuman pidana atau perdata harus dilakukan tidak terbuka bila melihat maslahat, menjaga dan memulihkan integritas sistem peradilan anak dan remaja serta mengadopsi tindakan khusus oleh pemerintah untuk memberikan dukungan yang diperlukan untuk.

Dokumen internasional lainnya juga memuat poin-poin yang khusus bagi anak-anak. Dalam hal ini, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1979, Deklarasi Islam Hak Asasi Manusia yang diadopsi pada 1411 HQ dalam sidang menteri-menteri luar negeri Organisasi Kerjasama Islam di Kairo dan Deklarasi Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993.

Selain dokumen-dokumen umum hak asasi manusia, ada juga dokumen khusus anak. Dokumen internasional pertama tentang anak-anak dalam konteks internasional kembali pada tahun 1959. Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Anak pada 20 November 1959. Pembukaan Deklarasi menyatakan, "Mengingat fakta bahwa anak membutuhkan perhatian dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, karena kurangnya pengembangan fisik dan mental, sebelum dan sesudah kelahiran, Majelis Umum PBB akan mengadopsi Deklarasi Hak Anak ini untuk tujuan tersebut, dimana hari-hari anak berbarengan dengan kebahagiaan dan menikmati hak dan kebebasan."

Deklarasi yang disebutkan di atas telah membuat negara-negara anggota PBB memberikan perhatian khusus terhadap hak-hak anak. Deklarasi ini sangat mempengaruhi hukum dan aturan internal negara-negara anggota PBB sehingga mereka mengambil langkah-langkah efektif untuk mengakui hak-hak anak. Begitu juga perhatian negara-negara dalam konteks ini telah membuat gagasan penyusunan konvensi khusus untuk anak-anak di tingkat internasional. Namun, pada tanggal 14 Desember 1974, Majelis Umum PBB meratifikasi Deklarasi Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Kondisi Darurat dan Konflik Bersenjata dan Perang. Akhirnya, Majelis Umum PBB setelah melakukan negosiasi dengan negara-negara anggota selama lebih dari 10 tahun, pada 20 November 1989 meratifikasi Konvensi Hak Anak dan para 2 September 1990 konvensi ini harus dilaksanakan. Sejauh ini, 189 negara dari 193 negara telah bergabung dan harus mengimplementasikan kandungannya. Republik Islam Iran juga bergabung dengannya pada 1993.

Konvensi tentang Hak Anak dan secara umum, dokumen internasional lainnya tentang hak-hak anak, menekankan pada hal-hal spesifik seperti non-diskriminasi, menghormati standar hidup anak yang tinggi, hak untuk hidup dan pertumbuhan, serta hak untuk menghormati anak-anak yang merupakan salah satu isu paling penting mengenai hak-hak anak. Konvensi Hak Anak memiliki dua protokol opsional yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 25 Mei 2000; pertama, Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penggunaan anak-anak dalam konflik militer dan kedua, Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Atas Penjualan dan Pelacuran Anak-anak .

Dalam Konvensi Hak-hak Anak, tanggung jawab terbesar untuk mematuhi hak-hak anak telah dipercayakan kepada orang tua. Dalam Pasal 18, negara-negara yang menjadi anggota Konvensi Hak Anak berkomitmen, "Untuk berusaha sekuat tenaga memastikan prinsip ini diterima secara resmi, dimana orang tua anak memiliki tanggung jawab bersama terkait pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua atau wali hukum anak penanggung jawab asli pertumbuhan dan perkembangan anak dan masalah paling mendasar mereka adalah melindungi kepentingan anak.

Dalam ajaran Islam, tanggung jawab paling besar untuk anak berada di pundak orang tua, yang disebut sebagai "Haq al-walad ala al-Walid" (Hak anak atas orang tua). Karena anak adalah berkah bagi rumah dan nikmat yang dianugerahkan Allah Swt kepada orang tua. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui posisi dan kedudukannya dan untuk bertindak sesuai tugas kita dihadapan berkah ilahi, jika tidak kita melanggar hak-hak anak.

6. Latar Belakang Hak Anak dalam Islam

Setelah membahas panjang lebar tentang dinamika sejarah hak anak dan mengulas dokumen-dokumen internasional yang membuat hak anak, pada kesempatan kali ini akan diulas tentang latar belakang hak anak dalam Islam.

Hak anak dianggap sebagai sub-kategori hak asasi manusia. Dalam mengakui hak asasi manusia, penting untuk mengenali subjeknya, yaitu, manusia dan lebih penting untuk mengenali anak dalam hal situasi khususnya. Seorang anak adalah seorang manusia yang memiliki hak tetapi tidak dapat membela dan mempertahankannya. Karena alasan ini, penggunaan bahasa wahyu dalam pengakuan anak dan selanjutnya, hak-haknya, menempatkan kita dalam perspektif yang jauh lebih luas daripada apa yang dipahami oleh manusia. Dalam hal ini, inti dari semua urusan adalah Tuhan yang menciptakan manusia dan sepenuhnya sadar akan sudut keberadaan dan kebutuhan manusia.

Secara umum, manusia dan hak-haknya dalam hukum Islam adalah sangat penting. Hak asasi manusia dan menghormati martabatnya adalah salah satu tujuan paling penting dari Islam. Masa kecil sebagai awal kehidupan manusia adalah yang paling penting dan mendasar dari kehidupan manusia. Dalam ajaran surgawi Islam, semua anak dari perempuan dan laki-laki memiliki hak dan keistiewaan tertentu dan semua orang dilarang melakukan kekerasan atau kekejaman terhadap mereka.

Islam muncul di masa ketika manusia dan berikutnya anak-anak, mengalami era yang sangat kejam. Munculnya Islam di Jazirah al-Arab adalah masa ketika orang-orang di era Jahiliah menganggap putri-putri mereka menjadi aib dan mengubur mereka hidup-hidup. Bahkan dari beberapa ayat al-Quran disimpulkan bahwa anak-anak juga dibunuh karena takut miskin.

Sebelum Islam, anak-anak di kalangan orang Arab dan kelompok etnis lainnya berada dalam kondisi yang tidak baik dan kehilangan hak-hak biasa sekalipun. Mereka menyingkirkan anak-anak dengan alasan apa pun, seperti upaya melepaskan diri dari kemiskinan dan biaya hidup. Sementara itu, kondisi anak perempuan jauh lebih menyakitkan. Para tokoh dan orang-orang terkemuka menganggap anak perempuan sebagai aib dan mengubur mereka hidup-hidup, seperti yang Tuhan katakan dalam al-Quran:

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu." (QS an-Nahl: 58-59)

Dengan kedatangannya, Islam dalam bentuk interpretasi yang indah dalam kasus ini, tidak hanya mencegah orang dari kebiasaan buruk ini, tetapi juga meningkatkan nilai anak-anak di masyarakat dan mendesak para ayah dan ibu untuk tidak membunuh anak-anak mereka dan peduli dengan mereka. Dalam al-Quran disebutkan, "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar." (QS al-Isra: 31)

Begitu juga Rasulullah Saw bersabda, "Bukan dari kami yang tidak mengasihi anak-anak."

Al-Quran memiliki ayat-ayat penting dan bermakna di bidang hak-hak anak. Salah satu hal yang dapat menjadi dasar bagi hak-hak anak dan Islam menyatakan mereka bertahun-tahun sebelum Deklarasi Universal Hak Anak dan konvensi yang relevan dinyatakan dalam ayat 9 dari surat an-Nisaa kepada para ayah dan ibu. Tuhan memperingatkan mereka untuk tidak melakukan apa pun yang menyebabkan penyakit, kesulitan, keterbelakangan dan kesengsaraan bagi anak-anak mereka.

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar." (QS an-Nisa: 9)

Islam berkomitmen untuk memberikan perlindungan komprehensif terhadap kepentingan anak dan untuk itu telah menyiapkan tugas dan instruksi. Perintah-perintah ini dimulai bertahun-tahun sebelum kelahiran bayi. Islam bahkan telah menetapkan standar untuk memilih wanita atau pria sebagai calon pendampingnya gua dapat mempersembahkan anak yang layak kepada masyarakat. Dalam kehamilan ibu, yang merupakan awal kehidupan anak-anak, Islam telah memberikan instruksi untuk menjaga kesehatan dan perkembangan bayi dan janin.

Berdasarkan ajaran Islam, perilaku dan akhlak orang tua memiliki pengaruh yang signifikan terhadap anak-anak. Al-Quran menyatakan kebenaran ini dari pesan Nabi Nuh, "Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir." (QS Nuh: 26-27)

Islam untuk persalinan juga telah memberikan undang-undang perdata dan ketentuan yang mendukung dan dalam periode ini telah melindungi anak-anak serta memberi perhatian khusus kepada ibu dan anak-anak. Hak untuk hidup dan mendukungnya dan wasiat bagi kehamilan atau janin, mendapat warisan dari pewaris dan penundaan dalam pelaksanaan hukuman wanita hamil, adalah di antara hak-hak ini, termasuk merugikan dan merusak kehamilan.

Begitu juga Islam menekankan pentingnya perkembangan fisik dan mental anak-anak. Dengan cara memotivasi pernikahan, mendapatkan asupan gizi bagus selama kehamilan dan kesehatan fisik dan mental anak-anak. Islam menekankan bahwa keluarga harus dibentuk atas dasar yang benar agar berhasil dalam mengasuh anak-anak yang sehat.

Agar anak-anak mendapat pendidikan yang baik dan benar, manusia harus memilih istri yang agamis dan berkakhlak baik serta berasal dari keluarga beragama dan berakhlak dan terdidik dengan penuh penghormatan. Memiliki atribut ini adalah salah satu pilihan yang paling diinginkan untuk memilih pasangan. Rasulullah Saw bersabda, "Karena empat alasan, perempuan dipilih sebagai pasangan; demi harta, keturunan dan keluarga, kecantikan dan keberagamaan. Pilih orang yang beragama dan takwa. Karena itu menyebabkan kebaikan dan keberkahan."

Karena anak memiliki banyak hak dalam Islam dan karena anak itu tidak mampu membela dan meraih hak-haknya, Islam mewajibkan ayah dan ibu, wali amr dan hakim (pemerintah) untuk melindungi hak-hak ini. Islam juga memperhatikan hak anak-anak dengan kondisi khusus, seperti anak yatim dan anak-anak yang tidak memiliki orang tua dan menyiapkan program nyata bagi mereka. Pentingnya perhatian agama untuk melindungi anak-anak yatim piatu dan mendorong manusia untuk berperilaku baik kepada mereka serta berusaha mendidik dan mengajari mereka merupakan dukungan demi mencegah anak-anak melakukan hal-hal yang tidak boleh dilakukannya.

Singkatnya, orang dapat mengatakan bahwa tema semua ajaran Islam tentang anak-anak adalah untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak. Dalam istilah yurisprudensi, orang tua diminta untuk melindungi maslahat anak-anak dalam setiap keputusan yang mereka ambil.

Perlu dicatat bahwa sejak empat belas abad lalu, Islam telah mengalokasikan 216 ayat Al-Qur'an secara langsung dan tidak langsung kepada anak-anak dan lebih dari 3.000 riwayat dalam hal ini, dimana dari 1.000 hadis dikeluarkan pelbagai tema dan disusun. Sementara lebih dari 60 tema fiqih yang membahas mengenai anak-anak dalam yurisprudensi Syiah dan argumentasi para ahli hukum besar tentang mereka merupakan kelebihan yang dibanggakan dalam agama Islam, dimana menjelaskannya kepada dunia dapat membuka dan menyelesaikan banyak masalah.

Perlindungan hak anak-anak ini dibangkitkan ketika tidak ada lembaga, organisasi, atau konvensi internasional untuk perlindungan hak-hak anak, dan Islam menyediakan konteks untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dalam segala hal dengan mempertimbangkan semua kebutuhan fisik, mental dan psikologis anak-anak dan pembelaan terhadap mereka.