• Mulai
  • Sebelumnya
  • 13 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1548 / Download: 841
Ukuran Ukuran Ukuran
Peran dan Fungsi Masjid (bagian5)

Peran dan Fungsi Masjid (bagian5)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Fungsi dan Peran Masjid

Fungsi dan Peran Masjid (41)

Masjid adalah rumah ibadah, madrasah pendidikan, basis pergerakan umat, dan tempat untuk menimba ilmu politik. Masjid adalah tempat berkumpulnya insan yang taat dan pencari hidayah, kesempurnaan spiritual, dan kebenaran. Kebersamaan kaum Muslim di rumah Allah Swt akan melahirkan sebuah kekuatan yang bisa dimanfaatkan di berbagai bidang, termasuk budaya.

Musuh menyusun banyak rencana untuk melancarkan serangan budaya di tengah umat Islam. Mereka menggunakan semua sarana modern untuk melakukan serangan masif ini. Di sini, kaum Muslim memerlukan perencanaan yang baik dan benteng yang kokoh untuk menangkal serangan, dan salah satu dari benteng itu adalah masjid.

Masjid – sebagai basis penguatan ideologi, makrifat, dan budaya umat – akan mampu menggagalkan skenario musuh. Bapak Pendiri Republik Islam Iran, Imam Khomeini ra berkata, "Jika masjid dan pusat komando Islam ini kuat, kalian tidak perlu takut terhadap Phantom (jet tempur)! Tidak perlu takut terhadap AS dan Uni Soviet! Kalian perlu takut ketika kalian telah berpaling dari Islam dan masjid."

Diperlukan pengenalan yang cukup untuk membela sebuah budaya. Jika masyarakat di suatu negara mengenal baik budayanya (titik kuat dan titik lemah), maka budaya asing tidak akan bisa menguasai budaya lokal dan mendistorsi sistem nilai-nilai mereka.

Masjid dengan mengajarkan budaya agama, telah memberikan pengenalan yang cukup tentang budaya Islam kepada kaum Muslim. Pengenalan ini akan memperkuat akidah mereka serta menumbuhkan rasa percaya diri untuk membela nilai-nilai dan menangkal serangan budaya asing. Masjid bisa memperkuat komitmen masyarakat Muslim dan menumbuhkan fanatisme agama dalam melawan invasi budaya.

Di masjid, kegiatan keagamaan dan ceramah, kajian tafsir al-Quran, pengenalan sejarah para tokoh agama, dan kelas-kelas pendidikan, dapat menjadi faktor penting dalam menangkal serangan budaya. Para pemuda akan mudah untuk meniru gaya dan budaya Barat ketika tidak memiliki pengetahuan agama dan tidak mengenal budaya orisinil Islam.

Jika para da'i dan khatib mampu menyajikan makrifat agama melalui metode kreatif dan sesuai dengan kebutuhan kaum milenial, tentu saja masjid akan menjadi benteng terbaik untuk membela agama Islam.

Mimbar masjid juga bisa menjadi salah satu wadah untuk menyampaikan amar makruf dan nahi munkar serta mengkritik program-program pemerintah. Dalam Islam, masyarakat berkewajiban untuk mengingatkan penguasa tentang amar makruf dan nahi munkar, sama seperti kewajiban mereka terhadap sesama. Masjid sebagai tempat yang netral dapat memikul risalah penting ini dan mengingatkan penguasa.

Bagi kaum mukmin, masjid adalah tempat untuk memperkuat persatuan dan solidaritas serta mempertebal dimensi spiritual. Kehadiran aktif di masjid dengan sendirinya akan mencegah banyak orang dari melakukan dosa dan penyimpangan.

Sejarah Masjid Jamek Borujerd (Jameh Mosque of Borujerd)

Masjid Jamek Borujerd adalah salah satu masjid pertama di Iran yang dibangun pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Masjid ini terletak di kota Borujerd, Provinsi Lorestan, Iran Barat. Beberapa sejarawan percaya masjid ini berdiri di atas bekas kuil api kuno Dinasti Sassanid pra-Islam, tetapi penggalian arkeologi tidak menemukan bukti apapun untuk memperkuat klaim ini.

Menurut sebuah dokumen sejarah, Gubernur Borujerd Hamulah ibn Ali Borujerdi mengundang salah satu petinggi Dinasti Abbasiyah, Abu al-Dulaf ke kota Borujerd dan kemudian membawanya ke bekas kuil api untuk membangun masjid. Setelah mengunjungi lokasi, Abu al-Dulaf berkata, "Ini Masjid al-Atiq."

Masa pembangunan Masjid Jamek Borujerd terbagi dalam beberapa periode dan awal pengerjaannya dilakukan pada pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Kompleks masjid ini terdiri dari sebuah masjid, tempat wudhu, depot air bawah tanah, gharib khaneh (penginapan untuk orang asing dan musafir), pemandian umum, dan beberapa bagian lain. Sebagian besar fasilitas ini telah dihancurkan atau diganti dengan bangunan baru.

Tempat wudhu berdekatan dengan masjid dan memiliki sebuah koridor untuk menuju ke rumah penginapan musafir. Di masa lalu, gharib khaneh dibangun untuk menampung para musafir dan orang terlantar yang membutuhkan tempat istirahat.

Masjid Jamek Borujerd termasuk salah satu dari beberapa masjid dengan satu gerbang utama yang diapit oleh dua menara, tetapi secara keseluruhan ia memiliki dua pintu masuk di sisi timur dan barat. Kedua pintu ini secara tidak langsung akan mengarahkan jemaah ke aula utama masjid.

Di sekitar halaman utama, pengunjung bisa menyaksikan beberapa ruangan yang dibangun sesuai dengan kondisi musim untuk memenuhi kebutuhan jemaah.

Para arsitek mampu membangun ruangan yang akan terasa hangat di musim dingin dan sejuk di musim panas. Dengan cara ini, jemaah akan merasa nyaman dalam melaksanakan amal ibadahnya. Ruangan-ruangan ini sengaja dibangun lebih rendah dari seluruh bagian lain masjid sehingga bisa memberi rasa sejuk pada musim panas dan rasa hangat pada musim dingin.

Ruang untuk musim dingin dibangun selama periode Timurid. Para penguasa Safawi kemudian menambah pintu-pintu untuk akses ke sana. Seluruh bangunan masjid ini menggunakan batu bata dan hanya bagian tertentu yang memanfaatkan ubin mosaik untuk memberi keindahan lebih.

Sebuah kubah warna biru pirus dan dua menara dibangun di sisi selatan halaman masjid. Kubah dipercantik dengan beberapa lafal Allah Swt dengan ukuran besar dan terbentuk dari susunan ubin berwarna hitam. Ubin warna kuning disusun melingkari kubah dan membentuk dua garis. Beberapa jendela kisi sebagai ventilasi udara dibuat di bagian dasar kubah.

Pemandangan unik lainnya di Masjid Jamek Borujerd adalah keberadaan sebuah mimbar kayu dengan sembilan anak tangga. Mimbar ini penuh dengan ukiran dan dibuat pada tahun 1068 H dan ditempatkan di serambi tengah masjid.

Masjid ini menyimpan banyak prasasti dan peninggalan sejarah. Prasasti tertua kembali ke periode akhir abad ke-3 dan permulaan abad ke-4 Hijriyah, yang menjelaskan tentang sejarah pembangunan masjid. Dua lempengan batu lainnya di serambi masjid juga kembali ke tahun 1209 H.

Masjid Jamek Borujerd dibombardir oleh jet tempur Irak selama perang yang dipaksakan rezim Saddam terhadap Iran. Pemboman ini menyisakan kerusakan parah dan kehancuran beberapa sudut dari ruangan utara masjid.

Masjid juga rusak parah selama gempa bumi dan banjir di kota Borujerd. Gempa bumi pada 2006 menghancurkan menara-menara dan kerusakan masjid mencapai 50 persen.

Saat ini Masjid Jamek Borujerd sedang direnovasi dan ia tetap menjadi salah satu daya tarik turis yang berkunjung ke Provinsi Lorestan. Bangunan masjid ini merupakan salah satu mahakarya sejarah Iran yang mengawinkan arsitektur Islam dan Iran kuno (Sassanid).

Kota Borujerd telah mempertahankan arsitektur dan gaya kunonya dengan keberadaan masjid, bazaar, dan rumah-rumah yang dibangun selama periode berbeda.

Fungsi dan Peran Masjid (42)

Masjid pertama dalam Islam berdiri ketika Rasulullah Saw sedang memerangi kaum musyrik. Dengan demikian, masjid memainkan fungsinya sebagai pusat untuk perjuangan dan jihad melawan musuh-musuh Islam.

Masjid kurang-lebih tetap mempertahankan fungsinya ini di sepanjang sejarah. Menurut catatan sejarah, perlawanan Imam Ali as terhadap orang-orang yang melanggar janji (Nakitsin), Muawiyah dan pasukannya (Qasithin), dan para pembangkang/perusuh (Mariqin) dimulai dari dalam Masjid Kufah. Imam Ali pada akhirnya juga gugur syahid di dalam mihrab masjid ini.

Sebenarnya, banyak perjuangan dalam sejarah Islam dan gerakan mengusir penjajah oleh kaum Muslim dimulai dari balik dinding masjid. Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as melakukan perlawanan terhadap Yazid melalui khutbah yang berapi-api di Masjid Bani Umayyah, Syam. Masjid Goharshad di Mashad pernah menjadi basis perlawanan rakyat Iran menentang kebijakan anti-Islam Reza Khan.

Imam Khomeini ra memulai gerakan perlawanan terhadap rezim despotik di mimbar-mimbar masjid. Demikian juga dengan perlawanan rakyat Aljazair terhadap penjajahan Perancis dan rakyat Irak terhadap imperialisme Inggris. Ini semua mencerminkan salah satu dari fungsi masjid sebagai basis politik dan pergerakan.

Masjid memainkan fungsinya sebagai basis pendukung dan pusat kegiatan agama dan budaya di sepanjang sejarah Revolusi Islam Iran dan delapan tahun era Pertahanan Suci. Selama pecahnya kebangkitan Islam di negara-negara Muslim, masjid juga menjadi pusat kegiatan politik untuk memajukan gerakan revolusioner.

Dalam sejarah perjuangan, masjid senantiasa tampil sebagai basis pergerakan dan pengarahan gerakan-gerakan pembebasan dan penuntut keadilan. Ia menjadi benteng kokoh untuk menggagalkan agenda negara-negara imperialis. Jadi, tidak heran jika masjid selalu menjadi target untuk dihancurkan atau diubah fungsinya, seperti yang terjadi selama 70 tahun kekuasaan komunis di Uni Soviet.

Para penguasa Soviet telah menghancurkan banyak masjid dan membunuh para ulama dan tokoh agama pada masa itu. Namun, mereka tidak mampu memadamkan cahaya iman di wilayah kekuasaannya. Saat ini, budaya Islam kembali menemukan kekuatannya di wilayah bekas Uni Soviet, jumlah masjid bertambah banyak dan masyarakat menyambut antusias cahaya Islam.

Sejarah Masjid Bibi-Heybat di Baku, Azerbaijan

Masjid Bibi-Heybat adalah salah satu rumah ibadah tertua di Republik Azerbaijan, yang terletak sekitar 6 kilometer barat daya Baku, ibukota negara itu.

Masjid ini dibangun oleh Shirvanshah Farrukhzad II Ibn Ahsitan II pada abad ke-13 Masehi di daerah Shikhov, gerbang masuk ke Baku dan terletak di sisi selatan perbukitan yang menghadap ke Laut Kaspia. Perbukitan itu adalah pemakaman tua warga Syiah dan di sana bisa ditemukan batu nisan dengan tulisan bahasa Persia, Arab, dan Turki.

Dia membangun masjid tersebut untuk menyambut banyaknya jumlah pengunjung, yang datang menziarahi makam Sayidah Fatimah al-Sughra (terkenal dengan Bibi-Heybat). Tempo dulu, Sayidah Fatimah al-Sughra mendirikan sebuah masjid kecil di atas bukit berbatu di bibir pantai Laut Kaspia untuk keperluan ibadah.

Ketika ia wafat beberapa tahun kemudian, jasadnya dimakamkan di masjid tersebut. Beberapa tokoh lain keturunan Rasulullah Saw juga dimakamkan di masjid ini. Saat ini masjid dan makam berada dalam satu bangunan yang memiliki tiga kubah dan dua menara. Sayidah Fatimah al-Sughra adalah putri Imam Musa al-Kazim as dan saudari Imam Ali ar-Ridha.

Karena situs-situs keagamaan populer dengan sebutan Pir (tempat suci) di wilayah Kaukasus, penduduk Shikhov juga menyebut masjid tersebut sebagai Pir Bibi-Heybat. Mereka juga menyebut tempat suci ini Masjid Fatima al-Zahra.

Kompleks Masjid Bibi-Heybat dibangun pada masa Dinasti Safawi, tetapi hancur total ketika Stalin menaklukkan wilayah Shikhov dan tempat pemakaman diratakan dengan tanah. Setelah Uni Soviet bubar dan Azerbaijan merdeka, presiden negara itu memerintahkan pembangunan kembali kompleks masjid itu.

Keturunan para imam maksum selalu dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat dan penguasa di sepanjang sejarah. Para raja Safawi menaruh perhatian besar dengan mewakafkan tanah dan kebun untuk masjid. Shah Tahmasp I memberi perintah agar hak-hak masjid ini dijaga termasuk tanah wakaf lainnya.

Masjid Bibi-Heybat dihormati oleh masyarakat Kaukasus pada zaman Tsar. Seorang penyair lokal, Khurshidbanu Natavan yang sering mengunjungi masjid ini, membangun jalan bebatuan dari Baku ke daerah Shikhov. Jalan ini kemudian dilebarkan oleh seorang pria dermawan bernama, Haj Zain al-Abidin Taqiov.

Hoseini Farahani, yang pernah mengunjungi tempat itu pada era Naseri menuturkan, “Penduduk setempat menganggap makam Bibi-Heybat sebagai tempat suci dan mereka selalu menziarahinya.” Farhad Mirza, salah satu penguasa Qajar juga berbicara tentang penghormatan dan kepercayaan penduduk lokal terhadap keturunan imam maksum.

Seorang ulama besar, Muhammad Baqir al-Majlisi percaya Sayidah Fatimah al-Sughra, putri Imam Musa al-Kazim as dimakamkan di Masjid Bibi-Heybat. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketika Imam Ridha as gugur syahid di Thus (Mashad), para kerabatnya tersebar dan melarikan diri ke berbagai daerah.

Sayidah Fatimah al-Sughra yang terpisah dari saudara perempuannya, Sayidah Fatimah al-Ma'sumah, melarikan diri ke Rasht di utara Iran, dan kemudian berangkat dengan perahu ke Shikhov di pinggiran Baku, dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya.

Pada tahun 1900, salah satu orang kaya Baku, Dadashov membangun sebuah masjid megah lengkap dengan perpustakaan di sebelah bangunan tua makam Bibi-Heybat. Pada 1930-an, Stalin memulai kampanyenya untuk melarang praktik-praktik keagamaan dan memerintahkan penghancuran situs-situs keagamaan.

Kompleks makam Bibi-Heybat termasuk situs suci pertama di Baku yang dihancurkan atas perintahnya. Tentara Soviet meledakkan makam ini dengan dinamit dan membangun jalan raya di atasnya. Pada masa itu, masyarakat Muslim menolak melintas di atas makam Bibi-Heybat dan membuat belokan untuk menghindari makam. Rezim Komunis kemudian menancapkan tiang-tiang beton di belokan itu sebagai upaya untuk memaksa warga agar melintas di atas makam, namun mereka rela mengantri panjang demi melewati jalan kecil untuk menghormati Bibi-Heybat.

Setelah Azerbaijan merdeka pada tahun 1994, Presiden Heydar Aliyev memerintahkan untuk memperbaiki kompleks makam Bibi-Heybat. Gedung baru dibangun di lokasi yang sama dan diresmikan oleh Aliyev pada 11 Juli 1997.

Masjid direkonstruksi dan dipugar melalui Keputusan Presiden pada tahun 2005. Ruang-ruang baru dibangun untuk memastikan kenyamanan para peziarah. Masjid ini dirancang oleh arsitek terkenal Azerbaijan, Sanan Sultanov.

Masjid Bibi-Heybat hasil renovasi adalah sebuah model klasik dari arsitektur gaya Shirvan. Masjid ini memiliki tiga kubah dan dua menara setinggi 20 meter. Interior kubah-kubah ini dihiasi dengan cermin mosaik warna hijau dan pirus, yang dipercantik dengan kaligrafi ayat-ayat al-Qur'an. Ruang shalat pria terletak di sisi selatan masjid, sementara wanita di sisi utara, dan makam terletak di antara dua ruang tersebut.

Interior masjid ini di dekorasi dengan ubin bewarna biru. Sebuah lampu kristal besar mengantung di ruang utama. Ketika angin berembus, kristal-kristal ini akan bergesekan satu sama lain dan mengeluarkan bunyi. Ada 40 anak tangga dari batu yang menghubungkan masjid ini dengan pelabuhan kecil terdekat di pantai Laut Kaspia sebagai tempat pengunjung menambatkan perahu atau kapal mereka.

Masjid Bibi-Heybat adalah pusat spiritual bagi kaum Muslim di wilayah tersebut dan salah satu monumen arsitektur Islam di Azerbaijan. Ia dikenal sebagai salah satu bangunan modern terindah di Baku dan selalu dipadati oleh pengunjung lokal dan mancanegara.

Fungsi dan Peran Masjid (43)

Sebelumnya disebutkan salah satu fungsi masjid adalah memberi wawasan dan pencerahan politik, yang kemudian menjadikannya sebagai sebuah basis anti- imperialisme di hadapan negara-negara hegemonik.

Mengingat peran luar biasa masjid, ada banyak upaya yang dilakoni musuh-musuh Islam untuk melemahkan, merusak, atau mengubah fungsi masjid. Tentu saja upaya melemahkan posisi dan peran masjid di masyarakat Muslim memiliki sejarah panjang.

Setelah syahidnya Imam Ali as dan berakhirnya pemerintahan Khulafaur Rasyidin, para penguasa Bani Abbasiyah mulai menyalahgunakan fungsi masjid sebagai sentra perkumpulan masyarakat dan wadah interaksi langsung penguasa dengan rakyat. Penguasa pertama Abbasiyah, Mu'awiyah bin Abu Sufyan menyebut dirinya sebagai khalifah Rasulullah Saw dan menganggap dirinya paling layak untuk memimpin shalat berjamaah dan Jumat.

Mu'awiyah saat berkhutbah di atas mimbar Rasulullah, dengan licik menjadikan agama sebagai tameng untuk melakukan penindasan dan kezaliman di masyarakat. Para khalifah dan kemudian sultan serta penguasa negara-negara Muslim umumnya memanfaatkan masjid sebagai media untuk memperkuat posisinya.

Dewasa ini, beberapa penguasa Muslim juga memanfaatkan masjid untuk mempertahankan kedudukannya. Para penguasa sekuler mengontrol rumah ibadah yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam. Masjid hanya dipakai sebagai rumah ibadah dan tidak lebih dari itu. Masjid semata-mata difungsikan untuk shalat berjamaah dan pemerintah juga melarang aktivitas sosial, budaya, dan politik di dalamnya.

Sebagai contoh, pemerintah Tajikistan mengadopsi sistem sekuler dan menekankan pemisahan agama dari politik meskipun 98 persen dari populasi negara itu Muslim. Komite untuk Urusan Agama Tajikistan (CRA) menutup puluhan masjid dengan alasan tidak memiliki izin dan mengubahnya menjadi pabrik tenun, sekolah TK, kedai teh, pusat budaya, dan klinik. Remaja di bawah 18 tahun dilarang melaksanakan shalat di masjid.

Para imam diharuskan untuk secara teratur memperbarui izin untuk melaksanakan tugas mereka, dan khutbah ditulis atas nama mereka oleh pihak berwenang. Layanan keamanan negara juga memasang kamera pengawas di dalam dan di sekitar masjid.

Sebaliknya, di Turki suara azan untuk panggilan shalat lima waktu selalu terdengar di kota Istanbul. Kerumunan orang-orang bergegas menuju ke masjid untuk menunaikan shalat. Uniknya, di negara-negara Afrika seperti Ethiopia, masjid selalu dipenuhi oleh jamaah ketika waktu shalat tiba apalagi di bulan Ramadhan. Fenomena ini jelas bertolak belakang dengan propaganda dan budayaisasi yang dibangun oleh penguasa sekuler untuk melemahkan masjid.

Meski ada upaya luas untuk menghancurkan dan melemahkan masjid, namun rumah Allah Swt ini tetap menjadi primadona di kalangan umat Islam dan dipandang sebagai simbol persatuan umat.

Sejarah Singkat Masjid Hagia Sophia Istanbul

Bangunan pertama Hagia Sophia dibangun oleh Kaisar Konstantius II (abad ke-4 Masehi) untuk mengenang kemenangan ayahnya, Kaisar Konstantius I atas Kaisar Licinius. Hagia Sophia adalah gereja, masjid, dan sekarang jadi museum.

Hagia Sophia adalah gereja pertama yang diresmikan pada 15 Februari 360 M di masa pemerintahan Kaisar Konstantius II oleh Uskup Eudoxius dari Antioka. Bangunan ini pada awalnya dikenal sebagai gereja besar, tapi kemudian berubah menjadi Hagia Sophia atau Kebijaksanaan Suci.

Sebagian dari Hagia Sophia terbakar ketika kerusuhan besar terjadi di Konstantinopel pada tahun 404 M. Setelah direnovasi, ia kembali dibuka pada masa pemerintahan Theodosius II.

Pada abad ke-15 dan setelah perang panjang antara Muslim dan Kekaisaran Bizantium, kaum Muslim berhasil menaklukkan Konstantinopel di bawah pimpinan Penguasa Utsmani, Sultan Mehmet Al Fatih. Konstantinopel kemudian menjadi ibukota Dinasti Utsmaniyah dan berganti nama menjadi Istanbul. Sejak saat itu, gereja Hagia Sophia berubah menjadi masjid.

Sultan Mehmet II memerintahkan renovasi dan perbaikan terhadap bagian-bagian yang rusak di Hagia Sophia, dan kemudian menambahkan empat menara di Masjid Hagia Sophia. Berbagai simbol Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat dihilangkan atau ditutup.

Pada masa pemerintahan Selim II, dikarenakan mulai menunjukkan tanda-tanda kerapuhan, Hagia Sophia diperkuat dengan dukungan struktural di bagian luar. Proyek ini dikepalai oleh arsitek Utsmani saat itu, Mimar Sinan, yang juga dikenal sebagai salah satu pakar gempa pertama di dunia. Untuk memperkuat strukturnya, Sinan membangun dua menara besar di sisi barat dan tenggara bangunan masjid pada tahun 1576-7 M.

Pada 1739 M, Sultan Mahmud I juga memerintahkan perbaikan Hagia Sophia dan menambahkan sebuah madrasah, dapur umum untuk fakir-miskin, dan sebuah perpustakaan.

Pemugaran besar-besaran terjadi pada masa Sultan Abdul Majid. Proyek ini melibatkan 800 pekerja dan berlangsung selama dua tahun antara 1847-1849 M. Mereka menambah kekuatan kubah utama dan tiang-tiang serta memperbaiki dekorasi dan ornamennya. Pada masa itu, sebuah piringan raksasa bertuliskan lafal Allah Swt, Muhammad Saw, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, Hasan, dan Husein ditempelkan di sudut dinding bagian atas.

Luas Hagia Sophia sekitar 6.000 meter persegi. Tiang-tiang dan lengkungannya dibangun secara selaras dan penuh ketelitian. Hagia Sophia memiliki satu kubah besar di tengah yang terletak di atas singgah kubah dan ditopang oleh empat tiang besar. Bangunan ini secara total memiliki 107 tiang dan 9 pintu dan gerbang raksasa terletak di tengah-tengah yang disebut Gerbang Kekaisaran.

Di bawah kubah, terdapat 40 jendela yang akan mengarahkan sinar matahari ke dalam ruangan. Sinar matahari memancar pada mosaik-mosaik emas di bagian dalam, seakan melenyapkan soliditas dinding dan menciptakan suasana misteri yang tak terlukiskan. Para sejarawan menuturkan bahwa ketika Hagia Sophia selesai dibangun, Kaisar Justinianus berkomentar, "Salomon, aku telah mengalahkanmu."

Mosaik dan dekorasi interior Hagia Sophia sangat menakjubkan. Dekorasi unik bangunan ini banyak dipuji dalam buku-buku sejarah kuno. Bagian paling indah dari dekorasi bangunan ini adalah mosaik Bizantium di antaranya; potongan mosaik dan lukisan yang terbuat dari emas, perak, marmer, dan tembikar warna-warni. Lukisan mosaik ini dapat dilihat di bagian interior semi-kubah, dinding-dinding, serambi, dan di atas Gerbang Kekaisaran.

Tentu saja, sebagian dari mosaik ini telah hilang karena kerusakan dan perbaikan berulang, termasuk mosaik gambar Nabi Isa as yang dibuat di bagian interior kubah pada abad ke-14. Karya ini mungkin masih terpelihara sampai pertengahan abad ke-17. Pada masa pemerintahan Sultan Abdulmejid, gambar itu ditutupi dengan ayat-ayat surat al-Nur.

Masjid Hagia Sophia dengan sejarah besarnya diubah ke museum oleh Presiden pertama Turki Mustafa Kemal Ataturk pada tahun 1935. Pemerintah mencopot piringan raksasa bertuliskan nama Allah Swt, Muhammad Saw, Khulafaur Rasyidin dan cucu nabi sehingga nuansanya menyerupai museum. Namun, dekorasi ini kembali dipasang di dinding Hagia Sophia pada tahun 1949.

Hagia Sophia sudah lama dilarang untuk dipakai sebagai tempat ibadah, tapi pada tahun 2006, pemerintah Turki mengizinkan penggunan sebuah ruangan kecil untuk tempat ibadah bagi umat Islam dan Kristen. Sejak 2013, suara azan terdengar dua kali sehari dari menara masjid menyeru orang-orang untuk shalat.

Pada Ramadhan 2016, pemerintah Turki memulihkan beberapa fungsi Hagia Sophia sebagai masjid kembali selama bulan puasa. Ayat-ayat al-Quran dibacakan di Hagia Sophia setiap harinya pada bulan Ramadhan dan disiarkan secara langsung di salah satu stasiun televisi Turki.

Fungsi dan Peran Masjid (44)

Masjid memiliki peran yang tak terbantahkan di semua bidang ibadah, pendidikan, politik, budaya, ekonomi, dan sosial. Di semua ranah ini, terlihat jelas peran sentral masjid dalam mengarahkan dan membimbing masyarakat Muslim.

Di sepanjang sejarah, masjid tidak pernah difungsikan untuk kegiatan ibadah tertentu saja, karena ibadah dalam perspektif Muslim tidak terbatas pada amalan spesifik, tetapi seluruh perbuatan yang diniatkan untuk Allah Swt akan terhitung ibadah.

Salah satu peran penting masjid adalah memberikan pencerahan politik kepada kaum Muslim. Peran politik masjid dianggap berbahaya oleh rezim tirani dan kelompok takfiri sehingga mendorong mereka untuk melemahkan dan menghancurkan masjid.

Saat ini, kelompok takfiri Daesh memiliki peran besar dalam menghancurkan tempat-tempat ibadah umat Islam. Beberapa tahun terakhir, Daesh mencoba merusak citra Islam dengan dukungan negara-negara arogan dan pengobar perang. Salah satu fokus operasi Daesh adalah menghancurkan masjid terutama di negara-negara Muslim. Mereka telah menghancurkan ratusan masjid di Irak dan Suriah saja.

Perlu dicatat perang terhadap masjid tidak hanya berwujud serangan fisik, tetapi ada komunitas tertentu yang memerangi ruh dan jiwa masjid. Di Berlin, sebuah masjid liberal pertama di Jerman diresmikan pada Juni 2017, di mana kegiatan di sana benar-benar bertentangan dengan hukum Islam.

Salah satu pengurus masjid liberal ini menuturkan, "Ini adalah sebuah masjid liberal yang akan membuka pintu untuk siapa pun dan semua memiliki hak yang setara. Wanita tidak perlu memakai jilbab di masjid ini dan mereka dapat menjadi mu'adzin atau imam shalat. Semua kalangan yaitu kaum perempuan, laki-laki, Muslim Sunni maupun Syiah, bahkan kalangan homoseksual bisa datang ke masjid ini untuk beribadah."

Masjid liberal ini dinamai Masjid Ibn Rushd-Goethe. Nama ini diambil dari nama pemikir Arab dan filosof Abad Pertengahan Ibnu Rushd, serta nama penulis dan penyair Jerman Johann Wolfgang Goethe.

Anehnya lagi, pendiri masjid liberal ini, Seyran Ates menyebut Masjid Ibn Rushd-Goethe sebagai langkah awal untuk memerangi terorisme dan fundamentalisme serta untuk pertukaran budaya.

Padahal, semua agama samawi menganggap homoseksual sebagai dosa besar dan Islam menyiapkan hukuman khusus untuk pelakunya. Soal sekularisasi Islam, perlu dicatat Islam adalah sebuah agama sosial yang tidak pernah absen dari ranah kehidupan individu Muslim. Shalat berjamaah dan Jumat, begitu pula ibadah haji adalah contoh nyata dari dimensi sosial Islam dan bentuk penentangan agama ini terhadap sekularisme.

Jilbab dalam Islam merupakan bagian dari kewajiban agama dan mengingkari prinsip jilbab terlebih lagi di masjid adalah dosa dan maksiat. Dalam Islam, perempuan juga tidak bisa menjadi imam shalat untuk kaum laki-laki.

Oleh karena itu, masjid liberal Berlin bukan hanya tidak membantu mempromosikan Islam dan semangat spiritual, tetapi sebuah bentuk penyimpangan dari ajaran luhur Islam dan fungsi-fungsi masjid.

Masjid liberal yang muncul di negara-negara Eropa dan Amerika pada dasarnya lebih buruk dari Masjid Dhirar, yang dihancurkan Rasulullah Saw pada permulaan Islam. Masjid ini dibangun untuk menyebarkan kekufuran, perpecahan, dan perselisihan di antara masyarakat Muslim. Masjid-masjid liberal yang berdiri sekarang juga bertujuan menyebarkan kekufuran dan menentang perintah agama.

Sejarah Singkat Masjid Suleymaniye Istanbul

Masjid Suleymaniye adalah salah satu masjid yang paling megah di Turki dan masjid terbesar kedua di Istanbul. Masjid ini dibangun atas perintah Sultan Sulaiman I (dikenal sebagai Sultan Suleyman Agung, yang terkuat dan terkaya dari semua Sultan Ottoman) dan dirancang oleh arsitek kerajaan waktu itu, Mimar Sinan.

Proyek ini dimulai pada tahun 1550 Masehi dengan melibatkan 3.500 pekerja ahli dan diresmikan pada 1557. Masjid ini dibangun megah dengan tetap menjaga kesan sederhana, dan dekorasi yang sederhana ini memberikan nuansa yang berbeda untuk karya ini.

Mimar Sinan menggabungkan arsitektur khas Ottoman (menara tinggi dan ramping) dengan gaya Bizantium (bangunan berkubah besar yang didukung oleh setengah kubah seperti Hagia Sophia).

Sama seperti kebanyakan masjid kerajaan, Masjid Suleymaniye lebih dari sekedar tempat ibadah. Di samping aula utama dan halaman, kompleks masjid ini juga mencakup empat madrasah, pemandian (hamam), rumah sakit, sebuah caravansera (penginapan untuk pelancong dan pedagang), dan dapur umum untuk orang miskin dari Muslim, Kristen, dan Yahudi. Ini adalah salah satu model terbaik dari arsitektur Islam Ottoman di Istanbul.

Interior masjid ini sederhana, namun mempesona. Penggunaan ubin iznik dan mihrab marmer putih telah memberikan nuansa ketenangan dan keindahan yang menakjubkan. Pemandangan akan terlihat lebih indah ketika cahaya matahari menembus 200 jendela kaca berwarna yang menghiasi masjid ini. Hiasan, ornamen dan keramik-keramik cantik khas Turki semakin memperindah pemandangan masjid.

Uniknya, bahan bangunan yang dipakai untuk Masjid Suleymaniye didatangkan dari berbagai negara. Ia diperkuat oleh empat tiang besar yang berasal masing-masing satu dari Baalbek, satu lagi dari Aleksandria, dan dua dari istana kuno Bizantium. Lukisan-lukisan di dalam masjid berasal dari abad ke-19 dan sudah pernah diperbaiki.

Masjid Suleymaniye memiliki panjang 59 meter dan lebar 58 meter, kubah utama setinggi 53 meter dan memiliki diameter 26,5 meter. Kubah utama diapit oleh dua buah sub-kubah di kedua sisinya. Kubah-kubah ini menerapkan sistem akustik sehingga semua jamaah dapat mendengar suara dari imam dan khatib dengan jelas. Di samping itu masih ada kubah-kubah kecil yang berfungsi menyerap dan memantulkan suara yang diucapkan oleh khatib di mimbar.

Mimar Sinan juga menciptakan sumber pencahayaan alami dan ventilasi udara dengan membuat jendela di dinding bawah kubah. Jumlah jendela ini cukup banyak sehingga bagian dalam masjid tetap terang selama siang hari.

Masjid ini memiliki empat menara dan menurut tradisi, dengan nomor ini sultan ingin menunjukkan bahwa ia adalah penguasa Ottoman keempat sejak penaklukan Konstantinopel. Dengan cara yang sama, jumlah 10 balkon di empat menara menandakan bahwa ia adalah sultan kesepuluh sejak Kesultanan Ottoman.

Sinan dikenal tidak hanya karena keindahan karyanya, tetapi juga memperhatikan banyak faktor ketika mendesain bangunan, dan salah satunya adalah asap yang akan keluar dari 275 lilin yang dipakai untuk menerangi ruang ibadah di malam hari. Ia mendesain dinding sedemikian rupa sehingga asap lilin akan diarahkan ke tempat khusus di dalam masjid, yang kemudian dikumpulkan dan diubah menjadi tinta yang sangat bagus.

Arsitek masjid ini juga membangun terowongan berkubah bawah tanah sebagai sirkulasi udara. Udara dari terowongan ini akan diarahkan ke dalam masjid sehingga ia akan terasa sejuk di musim panas dan hangat di musim dingin.

Setelah selamat dari sejumlah gempa bumi dan kebakaran dengan hanya sedikit kerusakan, desain dan seni arsitekturnya memukau banyak orang selama berabad-abad. Masjid ini juga menjadi subyek penelitian arsitektur kontemporer dari seluruh dunia.

Mimar Sinan adalah seorang pemikir yang meninggalkan banyak catatan tangan yang tersembunyi di seluruh bagian masjid, sehingga memberikan warisan kepada para arsitek berikutnya yang akan melakukan pekerjaan perbaikan dan perawatan.

Pada 1950-an ketika Masjid Suleymaniye mengalami perbaikan dan perawatan, para pekerja menemukan tulisan pesan dalam bahasa Turki Utsmani. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki modern, para arsitek menyadari jika itu adalah pesan pribadi yang ditulis langsung oleh Sinan tentang panduan perbaikan masjid.

Fungsi dan Peran Masjid (45)

Masjid adalah poros persatuan dan solidaritas masyarakat Muslim. Pintu masjid terbuka untuk semua individu dari segala jenis warna kulit, etnis, serta kelas ekonomi dan sosial. Individu dengan beragam selera dan orientasi berdiri berdampingan dalam barisan shalat berjamaah.

Masjid adalah rumah ibadah dan kegiatan budaya untuk misi persatuan dan perdamaian, yang akan memperkuat soliditas di antara masyarakat dan mencegah mereka dari kekerasan dan saling curiga. Masjid kadang tidak bisa memainkan fungsinya ini dan tidak dapat menyampaikan risalah perdamaian karena dihalang-halangi oleh kubu anti-Islam. Kelompok ini beraksi untuk melemahkan dan bahkan menghancurkan pusat-pusat keagamaan kaum Muslim.

Hari ini, salah satu masjid yang berperan signifikan untuk persatuan dan perdamaian adalah Masjid Imam Ali as (Islamic Center Hamburg) di Jerman. Masjid ini menjadi rumah ibadah untuk berbagai suku bangsa dan mazhab-mazhab Islam. Ia juga menjadi pusat untuk kegiatan keagamaan dan kemanusiaan.

Di Jerman, ada Hari Pintu Terbuka Masjid (Der Tag der offenen Moschee) yang diperingati pada 3 Oktober setiap tahun. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak 1997 dan digelar bersamaan dengan peringatan Hari Reunifikasi Jerman. Dewan Koordinasi Muslim Jerman (KRM) bertanggung jawab untuk memperingati acara ini.

Selama acara, KRM akan memberi penjelasan dan melayani pertanyaan dari pengunjung non-Muslim. Dewan juga memilih sebuah tema khusus setiap tahun untuk meramaikan kegiatan ini. Fokus utama dalam beberapa tahun terakhir tertuju pada isu perlindungan lingkungan hidup, tanggung jawab sosial, seni Islam, dan imigrasi.

Pada 3 Oktober 2017, peringatan Hari Pintu Terbuka Masjid mengusung motto "Tetangga Rukun, Masyarakat Lebih Baik." KRM memilih tema itu mengingat pentingnya kedudukan tetangga dalam Islam dan kurangnya perhatian terhadap masalah ini di dunia modern.

Setiap tahun, ada ratusan masjid di Jerman yang berpartisipasi membuka pintu bagi pengunjung, termasuk Masjid Imam Ali as di Hamburg. Perpustakaan masjid ini menjadi primadona pengunjung untuk melihat koleksi lebih dari 5.000 buku tentang agama, Islam, sejarah, budaya, sastra, dan sosial.

Sebagian dari buku-buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, Jerman, dan Inggris. Pengunjung bisa membaca di sana atau meminjam buku untuk dibaca di luar perpustakaan.

Masjid Imam Ali as sudah menerbitkan banyak buku ke dalam bahasa Arab, Persia, Jerman, Turki, dan Bosnia demi memperkenalkan pemikiran dan budaya Islam. Buku-buku itu disesuaikan dengan kebutuhan dan untuk menjawab pertanyaan masyarakat Eropa serta memperkenalkan berbagai dimensi budaya Islam.

Masjid juga menyediakan brosur dan pamflet dalam bahasa Jerman untuk menjelaskan pandangan Islam di berbagai bidang dan menjawab kekhawatiran Eropa. Brosur ini dibagikan secara gratis kepada pengunjung.

Majalah al-Fajr (Die Morgendammerung) Islamic Center Hamburg terbit secara teratur setiap dua bulan sekali dalam bahasa Jerman sejak 1982. Majalah ini berisi beberapa artikel tentang pemikiran dan budaya Islam. Formulir berlangganan majalah ini disediakan untuk individu dan organisasi di Jerman.

Pada hari Jumat, Masjid Imam Ali as menggelar kegiatan shalat Jumat dan khutbah disampaikan dalam tiga bahasa Arab, Persia, dan Jerman. Banyak warga Muslim secara rutin menghadiri kegiatan mingguan ini dan menunaikan shalat Jumat di masjid tersebut.

Shalat Idul Fitri dan Idul Adha juga diadakan setiap tahun, dan khutbah akan disajikan dalam bahasa Arab, Persia, dan Jerman. Selain untuk menunaikan kewajiban agama, perayaan dua hari besar Islam ini akan memperkuat hubungan dan solidaritas di antara komunitas Muslim.

Kegiatan lain Masjid Imam Ali as adalah mengadakan pelajaran tafsir al-Quran setiap minggu sekali. Acara ini digelar pada Jumat malam di ruang konferensi dalam bahasa Persia, sementara sesi bahasa Jerman diadakan pada hari Sabtu di perpustakaan. Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan shalat berjamaah. Warga keturunan Arab juga datang untuk mengikuti pelajaran tafsir yang disajikan dalam bahasa Arab.

Islamic Center Hamburg menggelar sebuah ceramah pada hari Sabtu pertama setiap bulan dalam bahasa Arab. Kegiatan ini diikuti oleh komunitas Arab-Jerman dari berbagai negara Arab. Ceramah ini biasanya akan diisi oleh salah satu profesor universitas atau ulama.

Islamic Center Hamburg kadang juga mengadakan seminar untuk menyebarkan pemikiran Islam dan bertukar pandangan seputar agama, budaya, dan sosial. Seminar ini mengangkat berbagai tema seperti, isu persatuan Islam, masalah haji, seminar untuk mengenang para pemikir Islam dan karya mereka, dan diskusi tentang isu-isu dunia Islam dan negara-negara Muslim.

Kelas bacaan al-Quran dan fiqih digelar secara teratur untuk para remaja putra dan putri, di samping kelas pendidikan agama untuk anak-anak dan remaja.

Uniknya, siswa dari sekolah-sekolah Jerman bersama guru mereka sering berkunjung ke Masjid Imam Ali Hamburg untuk mengenal tentang keyakinan kaum Muslim. Mereka akan memperoleh penjelasan terkait kegiatan di Islamic Center itu dan kegiatan ini akan ditutup dengan tanya-jawab seputar Islam dan kaum Muslim.

Komunitas-komunitas Jerman yang tertarik dengan pemikiran Islam juga mendatangi masjid tersebut untuk memperoleh jawaban atas banyak persoalan seputar Islam.

Pada dasarnya, pintu Masjid Imam Ali as Hamburg selalu terbuka untuk umum dan pengunjung baik turis maupun masyarakat lokal dapat mengunjungi semua sudut masjid ini. Biasanya salah satu pengurus akan memandu tamu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sejarah Masjid Imam Ali as (Islamic Center Hamburg)

Islamic Center Hamburg adalah salah satu masjid tertua di Jerman dan Eropa. Ia didirikan oleh sekelompok imigran dan pengusaha Iran di Hamburg pada akhir 1950-an. Masjid ini dengan cepat berkembang menjadi salah satu pusat Islam terkemuka di Barat.

Selama pertemuan di Atlantic Hotel Hamburg pada 1953, sekelompok warga Iran di Jerman mendiskusikan kebutuhan untuk mendirikan pusat keagamaan Islam. Sebuah surat dikirim ke almarhum Ayatullah al-Udzma Sayid Husein Borujerdi untuk meminta arahannya. Ayatullah Borujerdi setuju dengan rencana itu dan ikut menyumbangkan dana. Pembangunannya dimulai pada tahun 1960 dan selesai pada 1965. Pada tahun yang sama, Ayatullah Mohammad Beheshti ditunjuk sebagai imam masjid.

Selama memimpin, Ayatullah Beheshti mengambil beberapa inisiatif termasuk mengusulkan pembangunan sebuah lembaga kebudayaan Islam untuk melayani semua Muslim dari berbagai latar belakang kebangsaan dan mazhab. Oleh karena itu, muncullah Islamic Center Hamburg yang melaksanakan kegiatan budayanya di Jerman dan negara-negara lain Eropa.

Struktur Masjid Imam Ali as terdiri dari dua bagian utama yang saling terhubung. Bagian utama masjid berbentuk lingkaran yang berada di bawah kubah besar dengan tinggi 18 meter dan berdiameter 13,5 m. Kubah ini terbuat dari beton dan kemudian dilapisi dengan tembaga warna biru, yang memberikan keindahan tersendiri bagi masjid.

Dua menara dibangun di kedua sisi kubah, menara ini terbuat dari beton dan dilapisi dengan ubin mosaik warna kuning keemasan. Tinggi masing-masing menara ini mencapai 18 meter.

Dinding interior masjid ditutupi dengan ubin yang bertuliskan ayat-ayat surat al-Jumu’ah dan al-Isra dengan khat Tsulus. Terjemahan ayat-ayat ini ditulis dalam bahasa Jerman. Ubin mosaik dengan beragam pola dan kaligrafi memenuhi dinding masjid ini.

Dinding mihrab masjid dipercantik dengan kombinasi batu bata dan ubin mosaik khas Iran. Di atas mihrab terukir ayat 162 surat al-An’am, “Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”

Ruang utama masjid dipakai untuk pelaksanaan shalat lima waktu, shalat Jumat, dan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Bagian lain yang bisa diakses dari ruang utama adalah sebuah aula besar untuk konferensi, perpustakaan, kantor administrasi, dan ruangan untuk kegiatan Islamic Center.

Pintu utama masuk ke masjid berada di sisi Barat, dan bagian luarnya dihiasi dengan ubin-ubin mosaik yang indah. Beberapa anak tangga dibuat sebagai akses masuk dan anak tangga ini terhubung ke kedua sisi halaman masjid.

Fungsi dan Peran Masjid (46)

Rasulullah Saw sangat memperhatikan masalah shalat berjamaah di masjid dan perhatian besar ini mendorong kaum Muslim untuk selalu hadir di rumah Allah Swt mengikuti shalat lima waktu dan kegiatan-kegiatan lain. Jelas, kehadiran ini memperkuat ukhuwah dan menghapus segala bentuk dendam dan kebencian di tengah masyarakat Muslim.

Kegiatan Rasulullah Saw dan para sahabat di Masjid Nabawi ikut mempengaruhi orang-orang yang datang ke Madinah. Seperti kisah delegasi Bani Tsaqif (penduduk utama kota Tha'if) yang datang ke Madinah untuk berunding dengan Rasulullah. Mereka sangat terkesan dengan kehidupan masyarakat Muslim di Madinah dan akhirnya memilih masuk Islam.

Pada masa itu, Masjid Nabawi di Madinah ibarat sebuah universitas besar, di mana Rasulullah Saw bertindak sebagai guru untuk mendidik mubaligh dan juru dakwah. Setelah menerima pendidikan al-Quran dan fiqih, mereka kemudian menyebar ke berbagai penjuru Jazirah Arab untuk menyelamatkan masyarakat dari kebodohan dan kesyirikan serta mengajak mereka memeluk Islam.

Berkat jihad ilmiah para mubaligh didikan Rasulullah Saw ini, Islam akhirnya tidak hanya menyebar di seluruh Jazirah Arab, tetapi dalam waktu singkat setelah nabi wafat, penyebaran agama ini sudah mencapai berbagai wilayah di dunia. Kesuksesan dakwah ini diikuti oleh pembangunan masjid-masjid sebagai sarana ibadah dan wadah untuk mengajarkan ilmu fiqih, al-Quran, hadis, sastra, akhlak, dan cabang ilmu lainnya.

Saat ini perhatian masyarakat terhadap Islam dan masjid meningkat tajam di tengah kampanye Islamphobia dan gerakan anti-Islam. Menurut keyakinan para pakar, ada banyak warga Amerika yang memeluk Islam setiap tahunnya. Seorang pakar kajian agama di Universitas Denver Amerika, Patrick D. Bowen telah melakukan sebuah riset tentang alasan ketertarikan warga Amerika terhadap Islam.

Bowen melakukan wawancara dengan 13 mualaf Amerika di mana 9 dari mereka memeluk Islam pasca peristiwa 11 September, dan mencapai hasil yang mencengangkan.

Seorang remaja putri (17 tahun) yang meninggalkan Kristen dan masuk Islam mengisahkan pengalamannya seperti ini, "Setiap pulang sekolah di siang hari dan ketika menunggu bus, suara adzan yang datang dari masjid selalu membuat hatiku tenang. Ada perasaan cinta, rindu, dan rasa syukur yang belum pernah aku rasakan selama ini. Adzan inilah yang telah mendekatkanku kepada Tuhan. Setelah meneliti dan mempelajari tentang Islam dan ajarannya, aku kemudian belajar tuntunan shalat."

"Untuk pertama kali dengan perasaan gelisah dan galau aku pergi ke masjid di dekat tempat tinggalku di Chicago dan setelah berkata bahwa aku ingin masuk Islam, salah seorang perempuan berjilbab datang menghampiriku dan berkata, 'Subhanallah… lalu aku dibawa bertemu imam masjid dan kemudian aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah di hadapannya. Aku mengucapkan dua kalimat syahadat, 'Ash-hadu alla illaha Illallah, Wa ash-hadu anna Muhammadar Rasulullah.'"

Will Durant dalam bukunya, Story of Civilization mengakui bahwa dalam sejarah budaya dunia umat manusia dari Adam sampai Muhammad Saw, ia belum menemukan senandung yang lebih elok dan lebih langgeng dari suara adzan kaum Muslim, sebuah adzan yang didengungkan oleh Muslim sebanyak lima kali sehari di seluruh dunia dan dengan itu, selain bersujud di hadapan Tuhan, mereka menjulurkan tangan persatuan antar sesama.

Masjid Islamic Center Washington

Salah satu masjid paling populer di Amerika Serikat adalah Masjid Jami’ Washington. Pada tahun 1944, dengan kematian Duta Besar Turki untuk AS Munir Ertegun, kaum Muslim tidak memiliki tempat untuk mengurusi segala keperluan jenazah, akhirnya muncul ide untuk membangun sebuah masjid di kota Washington D.C, ibukota Amerika.

Komunitas Muslim Amerika membeli sebidang tanah seluas 30.000 meter persegi di Massachusetts Avenue untuk digunakan sebagai masjid dan Islamic Center bagi warga Muslim yang tinggal di Washington. Pembangunan masjid ini berlangsung sekitar tujuh tahun, hingga akhirnya diresmikan pada 28 Juni 1957 dengan dihadiri oleh Presiden AS Dwight D. Eisenhower serta para pemimpin agama dari seluruh negeri dan duta besar dari seluruh dunia. Bangunan ini dirancang oleh arsitek Italia Mario Rossi.

Masjid Jami' Washington didirikan dengan partisipasi dan kerjasama negara-negara Muslim yang memiliki perwakilan di Washington. Komunitas diplomatik Muslim di Washington memainkan peran utama dalam upaya membangun sebuah masjid.

Masing-masing negara tersebut menyumbangkan kontribusi tidak hanya dalam pembangunan masjid, tetapi juga untuk penyelesaian dan dekorasinya. Misalnya, ubin masjid berasal dari Turki bersama tim ahli untuk memasangnya, permadaninya dari Iran, dan lampu gantung perunggu disumbangkan oleh Mesir. Pemerintah Mesir juga mengirim seniman kaligrafi untuk mengukir ayat-ayat al-Quran di dinding dan langit masjid. Sumbangan untuk proyek ini juga datang dari komunitas Muslim-Amerika.

Mimbar Masjid Jami' Washington dibangun meniru model mimbar Masjid Muhammad Ali Pasha Kairo. Mimbar masjid ini tersusun dari 12.000 mosaik kayu eboni yang dibuat di Mesir dan kemudian dipasang pada kerangka mimbar. Batu-batu masjid didatangkan dari Pegunungan Alabama, salah satu negara bagian di selatan Amerika Serikat.

Masjid Jami' Washington dibangun dengan gaya tradisional Islami dan disesuaikan dengan arsitektur umum Amerika. Gaya arsitekturnya meniru model bangunan Kesultanan Mamluk di Kairo. Masjid ini juga mengadopsi gaya khas Kesultanan Ottoman dan corak yang biasa ditemui di bangunan-bangunan bersejarah Andalusia, Spanyol.

Menara masjid mengadopsi gaya Mesir dan berdiri gagah di atas pintu masuk masjid dengan strukturnya yang kokoh. Bagian bawah menara berbentuk persegi empat yang dipercantik dengan jendela di setiap sisi dan dekorasi Dunia Islam. Bagian atas menara berbentuk lingkaran sampai ke ujungnya.

Pintu masuk masjid dibuat dengan ukuran besar dan pengunjung dapat mengaksesnya melalui anak tangga dari batu marmer. Pintu ini memiliki lima lengkungan yang ditopang oleh empat tiang marmer. Aula utama Masjid Jami' Washington sangat luas dengan kapasitas 13.000 jamaah. Atap aula ini ditopang oleh tiang-tiang marmer yang besar.

Negara-negara donor kemudian membangun sebuah Islamic Center di samping masjid, yang dilengkapi dengan sebuah aula besar untuk pelaksanaan konferensi, ruang kelas, dan perpustakaan dengan ribuan buku yang disumbangkan oleh negara-negara Muslim. Perpustakaan ini bertujuan untuk mempromosikan budaya Islam. Di pagar masjid terpasang bendera dari negara-negara Muslim dunia.

Masjid Jami' Washington menerima ribuan pengunjung setiap hari. Individu Muslim dari berbagai kelas sosial dan etnis mendatangi masjid ini untuk mendirikan shalat dan menambah pengetahuan mereka tentang Islam.

Seperti semua masjid lain di Amerika, Masjid Jami' Washington merefleksikan keragaman kebangsaan, suku, dan ras masyarakat Muslim. Pada hari Jumat, masjid ini akan diserbu oleh kaum Muslim untuk menunaikan shalat Jumat dan mempererat persatuan di antara mereka.

Masjid ini telah dikunjungi oleh banyak pejabat termasuk beberapa presiden. Presiden George W. Bush mengunjunginya pada 17 September 2001, hanya beberapa hari setelah serangan 11 September.

Saat ini, Masjid Islamic Center Washington DC masuk dalam daftar (cagar budaya) Survei Bangunan Bersejarah Amerika Serikat.