• Mulai
  • Sebelumnya
  • 23 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 14406 / Download: 1403
Ukuran Ukuran Ukuran
Keadilan Sahabat(3)

Keadilan Sahabat(3)

pengarang:
Indonesia

Keadilan Sahabat 3

1

Mugirah bin Syu’bah dan Konsep Keadilan Sahabat

Pada seri-seri sebelumnya telah banyak diutarakan argumentasi yang menolak konsep keadilan sahabat. Masih berkaitan dengan pembahasan yang sama, tulisan kali ini akan mengajukan literatur lainnya sebagai bantahan atas keyakinan tersebut.

Bukti yang diajukan kali ini berupa tindakan yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAWW yang bernama Mugirah bin Syu’bah; di mana ia mencaci maki imam Ali AS yang notabene juga sahabat Nabi SAWW.

Di dalam suatu riwayat yang dimuat oleh kitab al-Mustadrak disebutkan:

“dari Ziyad bin Alaqah, dari pamannya: sesungguhnya Mugirah bin Syu’bah mencaci maki Ali bin Abi Thalib, lalu Zaid bin arqam bangkit dan berkata: wahai Mughirah! apakah engkau tidak tahu jika Rasulullah melarang dari mencaci maki orang yang telah meninggal? Lalu mengapa engkau mencaci maki Ali padhal ia telah meninggal.[1] ” Hadits ini shashih berdasarkan syarat Muslim tapi keduanya tidak memuat hadits tersebut.

Berangkat dari hadits di atas dapat dipahami bahwa di kalangan sahabat sendiri, keadilan sahabat bukanlah merupakan konsep keyakinan yang diakui. Hal ini mengingat bahwa sahabat seperti Mugirah bin Syu’bah mencaci maki imam Ali As. Yang tentu saja jika ia meyakini bahwa semua sahabat adalah adil, maka ia tidak akan melakukan hal itu.

2

Al-Futuhi: Sahabat Itu Orang-Orang Adil Selama Tidak Diketahui Memiliki Cela

Menerapkan kaidah bahwa seluruh sahabat merupakan adil menjadi sebuah langkah yang tak berdasar, sebagaimana hal itu telah kita bahas dalam kajian dalil-dalil konsep tersebut pada seri-seri yang lalu.

Oleh sebab itu, berdasarkan semua keterangan dari kajian-kajian itu, sikap yang tepat dalam menyikapi para sahabat ialah tidak menyamaratakan semuanya, sebagian dari mereka adalah orang yang adil, sementara sebagian lain tidak demikian.

Sekaitan dengan itu kali ini kita akan mengulas kesaksian dari Ibnu An-Najar Al-Futuhi (898-972 H) dalam kitabnya yang disyarahi oleh Muhammad Shaleh Al-Utsaimin dalam menjabarkan keadilan sahabat.

Dalam kitab Syarhu Mukhtashar At-Tahrir, beliau menjelaskan:

وقوله : وَالصَّحَابَةُ عُدُولٌ، وَالمُرَادُ: مَنْ لَمْ یُعْرَفْ بِقَدْحٍ ؛یعنی: المراد من قوله : إنَّ الصحابة عدول مَن لم یُعرَف بقَدْح، فأمَّا مَن عُرِفَ بقدْح فإنَّه لیس بعَدْل حسَب القدح الذی فیه

ویدلُّ لذلک أنَّ الله تعالى قال : وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ(4) اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. فدلَّ ذلک على أنَّ فیهم الفَسَقة، وأنَّ مَن رمى محصنةً ولو فی عهد الرسول فإنَّه فاسقٌ یجبُ أنْ یُجلَد ثمانین جلدةً، وأن لا تُقبَل له شهادةٌ أبداً، فالحاصل: أنَّ الصحابة عُدولٌ إلَّا مَن عُرف بقدحٍ

Dan perkataannya: Para sahabat adalah orang-orang adil, maksudnya: orang yang tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya); yakni: maksud dari ucapannya: Sungguh para sahabat adalah orang-orang yang adil selama tidak diketahui dengan adanya cela (pada dirinya), adapun orang yang diketahui dengan (memiliki) cela, maka ia bukanlah seorang yang adil berdasarkan pada cela yang ada dalam dirinya.

Dan dalil akan hal itu bahwasannya Allah swt berfirman: Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,(4) kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (An-Nur: 4-5) Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa di antara mereka (sahabat) terdapat kefasikan, bahwasannya orang yang menuduh perempuan yang baik (berzina) walaupun di jaman Rasulullah, maka ia adalah seorang fasik, wajib untuk didera sebanyak delapan puluh kali dan kesaksiannya tidak diterima selamanya. Maka kesimpulannya: Para sahabat adalah orang-orang yang adil kecuali ia yang diketahui dengan adanya cela (pada dirinya).[2]

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sahabat dapat dikatakan sebagai orang yang adil apabila memenuhi syaratnya yaitu tidak memiliki keburukan sedemikian rupa sehingga ia diketahui sebagai orang yang tercela, sementara itu bila sebaliknya maka ia tidak layak disebut sebagai seorang yang adil.

Berangkat dari semua itu, jelas bahwa tidak semua sahabat bisa serta-merta menjadi seorang yang adil hanya disebabkan oleh julukannya sebagai ‘sahabat’ sehingga menjadi jaminan akan keadilan seluruhnya, melainkan terdapat syarat dan kriteria lain yang harus dipenuhi sehingga dapat disebut sebagai seorang yang adil.

3

Sahabat Nabi dalam Keadaan Mabuk, Imam Subuh 4 Rakaat

Pembahasan keadilan sahabat penting untuk dibahas mengingat konsekuensi jalur ajaran yang hasilnya nanti sampai kepada kita selaku pemeluk agama Islam. Jika semua sahabat adil tentu tidak ada keraguan pada kita untuk mengikuti jejak mereka. Namun jika hanya ada sebagian saja yang memiliki sifat adil maka akal memerintahkan kita untuk memilih dan memilah diantaranya. Oleh karena itu penting bagi kita untuk menelaah hal ini.

Banyak seri telah dibahas mengenai konsep keadilan sahabat Nabi Saw. Pembaca dapat merujuk hal itu pada website ini. Kali ini mari kita menoleh beberapa kesaksian mengenai sifat-sifat sahabat yang terekam dalam berbagai riwayat masyhur. Apakah terdapat bukti bahwa semua sahabat berperangai adil ataukah ada juga yang tidak? Berdasarkan kitab rujukan Ibnu Hajar al-‘Asqalani, -seorang ahli hadits dari mazhab Syafi’i yang terkemuka- terdapat salah satu sahabat yang bertentangan dengan sifat adil. Dia adalah Walid bin Uqba, selain kisahnya membuat kebohongan pada zaman Nabi Saw, ia juga melakukan hal tercela pada masa kekhalifahan. Dia menjadi imam shalat subuh dalam keadaan mabuk sehingga melaksanakannya dalam 4 rakaat. Ibnu Hajar menjelaskan;

Ibnun Hajar al Asqallâni memperkenalkan kepada kita tentang siapa sejatinya al Walîd bin ‘Uqbah, ia berkata, “Al Walîd bin ‘Uqbah bin Abi Mu’aith … al Umawi, saudara seibu Ustman bin Affân ibu mereka bernama Arwâ binti Karîz bin Rabî’ah…

Ayahnya (‘Uqbah) dipancung setelah selesai parang Badr. Ia (‘Uqbah) sangat membenci dan ganas terhadap kaum Muslimin, banyak mengganggu Rasulullah saw. ia ditawan dalam perang Badr lalu Nabi saw. memerintahkan agar ia dibunuh. Ia barkata, ‘Hai Muhammad (jika engkau bunuh aku) siapa yang akan mengurus anak-anakku?’ Nabi saw. berkata, ‘Anak-anakmu untuk neraka!’ .

Dikatakan bahwa untuknyalah ayat “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti….” (QS. Al Hujurât [49];6) turun, Ibnu Abdil Barr berkata, ‘Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama ahli tafsir Al Qur’an bahwa ayat ini turun untukknya.[3]

Di halaman berikutnya Ibnu Hajar menjelaskan perilakunya tatkala mabuk,

“Dan kisahnya ketika memimpin shalat shubuh empat rakaat dalam keadaan mabok adalah sangat masyhur dan diriwayatkan dengan banyak jalur. Demikian juga kisah dicopotnya ia dari jabatan sebagai Gubenur wilayah Kufah setelah terbukti mabok juga masyhur dan diriwayatkan dengan banyak sanad dalam kitab Shahîhain (Bukhari dan Muslim)…. setelah kematian Utsman, al Walîd mengucilkan diri dari dunia politik, tidak ikut terlibat dalam fitnah, tidak bersama Ali tidak juga bersama lawan-lawannya. Akan tetapi ia membakar semangat Mu’awiyah agar memberontak terhadap Ali. Ia menulis surat dan menggubah bait-bait syair untuk tujuan itu dan ia kirimkan juga di antara nya kepada Mu’awiyah![4]

Berdasarkan kesaksian di atas, kita mengetahui bahwa ada sebagian sahabat yang berperilaku tidak adil dalam kehidupannya. Tentu hal ini membuat kita -sebagai orang yang menerima ajaran dari orang-orang terdahulu- harus memilah teladan yang mesti kita ikuti. Karena darinyalah kita mendapat aliran dan penjelasan mengenai Islam yang dibawakan oleh Rosulullah Saw. Maka dari itu akal pun mengarahkan kita untuk senantiasa memilih ajaran dari jalur orang-orang yang terbaik.

4

Sahabat Nabi dalam Pandangan Ibnu Atsir

Sebagai bentuk pengingat dari materi sebelumnya, dalam hal ini keadilan sahabat, sekali lagi penulis hendak katakan bahwa seluruh sahabat di mata Sunni adalah adil dan baik.

Meski begitu, di lapangan kita acap kali menemukan fakta yang berbeda. Berbeda dalam artian, betapa sebagian sahabat nabi yang ternyata fasik dan bahkan murtad dan kembali ke zaman jahiliyah.

Salah satu ulama yang menjelaskan tentang adanya hal negatif di antara para sahabat adalah Ibnu Atsir, sosok ulama Ahlusunnah yang kemasyhurannya tak lagi dapat diragukan.

Di dalam kitabnya yang berjudul Al-Nihayah fi Garibil Hadis, Ibnu Atsir menulis bahwa ada sebagian sahabat nabi yang menentang kewajiban-kewajiban yang sudah Allah gariskan.

“Di dalam hadis kiamat dan Haudz, para sahabat yang telah murtad dan kembali ke zaman jahiliyah, maksudnya, mereka telah menyimpang dari sebagian kewajiban-kewajiban.”[5]

Jika kita perhatikan ungkapan di atas, mungkin kita bertanya-tanya, layakkah kita mengikuti manusia yang menentang kewajiban-kewajiban dari-Nya? Atau tepatkah kita memuji mereka?

Selamat merenung.

5

Perselisihan dan Peperangan, Bukti Tidak Semua Sahabat Adil

Kembali penulis menegaskan bahwa pembahasan mengenai keadilan sahabat berpengaruh pada ajaran yang akan diterima umat Islam nantinya. Dalam kata lain, pasca wafat Rasulullah Saw syariat Islam berikutnya dijelaskan oleh orang-orang terdekat Beliau Saw, baik itu dari kalangan keluarga maupun para sahabat kepada kita. Jika orang-orang terdekat Rasulullah Saw memiliki jaminan serta bukti sejarah berperilaku adil maka tidak ada ragu bagi kita dalam menerima setiap ajarannya. Namun sebaliknya, jika terdapat kecacatan perilaku di antara mereka -walaupun sebahagian kecil- maka sudah sepatutnya bagi kita untuk memilah diantaranya. Oleh karena itu dibahaslah perihal keadilan sahabat guna mendapatkan kesimpulan serta hasil dari permasalahan di atas.

Pada beberapa seri sebelumnya telah dibahas mengenai konsep keadilan sahabat serta beberapa pandangan didalamnya. Kini penulis kembali membawakan satu pandangan dari ulama besar Ahlussunnah mengenai keadilan sahabat. Dia Imam Sa’adudin at-Taftazani ulama mahir dalam ilmu kalam, ushul fiqh, ilmu mantik dan balaghah. Dalam kitabnya Syarh al-Maqasid ia mengomentari keadilan sahabat sebagai berikut;

أن ما وقع بین الصحابة من المحاربات والمشاجرات على الوجه المسطور فی کتب التواریخ والمذکور على ألسنة الثقاة یدل بظاهره على أن بعضهم قد حاد عن طریق الحق وبلغ حد الظلم والفسق وکان الباعث له الحقد والعناد والحسد واللداد وطلب الملک والریاسة والمیل إلى اللذات والشهوات إذ لیس کل صحابی معصوما ولا کل من لقی النبی بالخیر

Berkenaaan dengan apa-apa yang terjadi dari perselisihan dan peperangan di antara sahabat sehingga termaktub dalam kitab-kitab sejarah, teringat dalam lisan-lisan yang benar menandakan secara dzahir bahwa sebagian para sahabat telah keluar dari jalur kebenaran sehingga sampai pada batasan kedzaliman dan kefasikan, penyebab dari itu semua ialah dendam, durhaka, hasud, permusuhan, cinta dunia, cinta kedudukan serta condong kepada hawa nafsu. Maka tidak semua sahabat terjaga dan maksum dan tidaklah setiap orang yang bertemu Nabi Saw terhitung sebagai orang yang baik.[6]

Dari situ dapat dipahami bahwa sebagian sahabat satu sama lain bertentangan bahkan hingga berperang. Sejarah mencatat hal tersebut, dan itu menandakan ketidakadilan sebagian sahabat. Tentunya bukti itu juga mempengaruhi ajaran serta syariat yang mereka sampaikan. Maka untuk mendapatkan syariat yang murni wajib bagi kita -terutama para pelajar agama- untuk menelaah kembali permasalahan keadilan sahabat.

6

Melakukan Pembunuhan Berencana, Apakah Tetap Adil?

Konsep keadilan sahabat seperti yang telah dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya memiliki banyak cacat dan ketidak logisan. Pada seri-seri tersebut telah banyak sanggahan serta bantahan yang diajukan untuk menolak konsep ini.

Kembali, pada tulisan kali ini akan diajukan sanggahan lainnya sebagai tambahan argumentasi yang telah disebutkan sebelumnya.

Bukti kali ini adalah perbuatan sahabat yang dengan jelas melanggar hukum Islam. Di mana di dalam sejarah disebutkan bahwa Muawiyah menyuruh seseorang untuk membunuh Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Di dalam tarikh Tabari disebutkan:

“Cerita tentang sebab kematiannya.

Penyebabnya adalah apa yang diceritakan Umar kepadaku, ia berkata: Ali mencerikan kepadaku, dari Maslamah bin Maharib, sesungguhnya Abdurrahman bin Khalid bin walid telah menjadi agung dan mulia di Syam. Dan karena jejak yang ditinggalkan ayahnya Khalid bin Walid, begitu juga peperangan dan keberaniannya, penduduknya condong kepadanya sehinnga Muawiyah merasa takut. Dan ia takut darinya sebab masyarakat condong padanya. Lalu ia menyuruh Atsal untuk melakukan tipu daya dalam rangka membunuhnya. Dan ia menjamin jika melakukan hal itu maka selama ia hidup pajaknya dibebaskan dan diangkat sebagai pengumpul pajak di Hamsh. Ketika Abdurrahman bin Khalid datang ke Hamsh saat bertolak dari Romawi, Atsal dibantu oleh sebagian budak-budaknya memberikan minuman beracun kepadanya. kemudian ia meminumnya lalu meninggal di Hamsh. Setelah itu Muawiah memenuhi apa yang dijanjikannya. Ia membebaskan pajaknya dan mengangkatnya sebagai pengumpul pajak kota Hamsh.[7]

Al-Istiab menceritakan kisah ini:

Ketika Muawiyah ingin mengangkat Yazid jadi khalifah, ia berkhutbah di hadapan masyarakat seraya berkata: wahai penduduk Syam aku telah tua dan telah dekat ajalku. Aku ingin mengangkat seseorang yang dapat mengatur kalian. Saya adalah seorang dari kalian maka maka berikanlah pendapat kalian. Lalu mereka sepakat dan berkata: kami rela terhadap Abdurrahman bin Khalid. Hal itu berat bagi Muawiah tapi ia menyembunyikannya di hati. Suatu hari Abdurrahman sakit lalu Muawiyah menyuruh seorang tabib yahudi yang merupakan pembantunya untuk memberinya minuman yang dapat membunuhnya, maka ia datang menemuinya dan memberinya minum, lantas tebakarlah perutnya dan selanjutnya ia meninggal.[8]

Tidak lupa Abul Fida juga memuat sejarah ini:

Dan padanya, maksudku pada tahun 45 H, diwafatkan Abdurrahman bin Khalid bin Walid. Dan penduduk Syam sangat berpihak kepadanya. Lalu muawiyah bersekongkol dengan seorang nasrani yang bernama Atsal untuk meracuninya. Maka ia membunuhnya dengan sebab itu.[9]

Beberapa literatur sejarah ini mengungkap bahwa seorang sahabat yang cukup populer iaitu muawiyah telah melakukan pembunuhan berencana terhadap putra Khalid bin Walid. Dan tujuan pembunuhan tersebut juga disebutkan dengan jelas; berupa sakit hati dan ketakutan terhadap kekhalifahan anaknya.

Dengan kenyataan ini, apakah masih layak dikatakan bahwa semua sahabat adil? Termasuk Muawiyah, aktor pembunuhan berencana? Atau diperlukan bumbu lain untuk menjustifikasi perbuatan tersebut dengan mengatakan sahabat berijtihad? Sehingga dengan begitu Muawiyah tetap dinilai adil? Jawabannya diserahkan kepada para pembaca.

7

Hadis ‘Para Sahabatku Seperti Bintang-bintang’ dan Konsep Keadilan Sahabat

Pembahasan seputar konsep keadilan seluruh Sahabat telah banyak kita kupas sekaligus beserta sanggahan dan catatan-catatannya. Mereka yang berpegang pada konsep ini meyakini bahwa seluruh Sahabat Nabi Saw itu adil, bahkan disebut semuanya ahli surga. Namun berdasarkan referensi yang ada baik dalam Al-Quran, hadis maupun catatan sejarah, kita dapati bahwa konsep tersebut tidaklah tepat, karena beberapa sebagian Sahabat terbukti memiliki sifat yang melenceng dan jauh dari sifat adil. Bukti-bukti tersebut telah banyak kita kaji sebelumnya di website ini, dan pembaca yang Budiman bisa menelaah dan menilai sendiri.

Jika sebelumnya telah banyak kita bahas dalil konsep keadilan sahabat dari Al-Quran beserta sanggahan-sanggahannya, kali ini kita akan bahas salah satu dalil konsep tersebut dari sebuah riwayat atau hadis. Mereka yang berpegang pada konsep ini menyuguhkan satu hadis yaitu hadis ‘Para Sahabatku seperti Bintang-bintang’ yang dianggap menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat. Hadis itu terekam dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At-Tirmidzi milik Abul ‘Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim. Rasulullah Saw berkata: Sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang, siapapun dari mereka yang kalian ikuti kalian akan mendapat petunjuk/hidayah.

Dikatakan bahwa hadis tersebut menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat, karena mereka yang bisa memberikan pengaruh akan sebuah hidayah pasti seorang adil, dan tidaklah mereka diikuti kecuali mereka adil.

Namun perlu kita cermati, apakah hadis tersebut benar atau shahih secara sanad atau tidak, kalaupun kita katakan hadis tersebut shahih, maka itu tidak menunjukkan pada keseluruhan sahabat nabi, karena hal tersebut bertentangan dengan Al-Quran seperti yang tercantum di Surat At-Taubah ayat 101 yang menyebut sebagian dari Sahabat Nabi munafik, sebagaimana yang pernah kami bahas sebelumnya, begitu juga dengan hadis yang tercatat dalam Shahih Bukhari dimana Rasulullah Saw mengatakan sebagian sahabatnya murtad dan masuk neraka setelah kepergiannya.

…dari Abu Hurairoh, dari Nabi Saw ia berkata: di hari kiamat aku berdiri dihadapan sekelompok yang aku kenali, lalu keluar seorang laki-laki diantara aku dan mereka kemudian ia berkata: Kemarilah, lalu aku berkata: mau dibawa kemana mereka? Ia berkata: Demi Allah ke neraka, lalu aku berkata: apa yang telah mereka kerjakan? Ia berkata: sesungguhnya mereka kembali murtad setelah kepergianmu…dan aku tidak melihat ada yang selamat dari mereka kecuali sebagian kecil.

Masih dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan juga ketika Allah swt memisahkan Sahabat-sahabat Nabi dari telaga Haudh, Rasul Saw berkata: wahai Tuhanku mereka adalah Sahabatku, kemudian Allah swt Berkata: Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang terjadi setelahmu, sesungguhnya mereka kembali murtad.

Dua Hadis diatas menunjukkan bahwa sebagian dari Sahabat Nabi ada yang kembali murtad setelah wafatnya Nabi bahkan disebutkan masuk neraka. Hal tersebut bertentangan dengan konsep keadilan seluruh Sahabat juga bertentangan dengan hadis para sahabat seperti bintang-bintang, jika hadis tersebut ditafsirkan untuk seluruh sahabat. Karena apakah mungkin sebagian sahabat-sahabat nabi yang kembali murtad dan masuk neraka di ibaratkan seperti bintang dan layak untuk diikuti? Pembaca yang Budiman bisa menilai dan merenungi

Meski demikan, kami meyakini bahwa ada sebagian Sahabat Nabi yang layak untuk kita ikuti dan menjadi sumber untuk mendapatkan hidayah, tapi tidak seluruhnya. Mereka ada yang adil, ada juga yang tidak adil bahkan jauh dari sifat adil.

Wallahu A’lam

8

Sebagian Orang Berdiri di Shaf Belakang Demi Melirik Wanita Ketika Berjamaah Bersama Nabi

Keadilan seluruh sahabat adalah sebuah konsep yang tidak dapat diterima kebenarannya, selain tidak adalah nas yang secara jelas membenarkan pandangan tersebut, konsep ini juga banyak berbenturan dengan fakta-fakta sejarah, baik yang terekam oleh Alquran maupun dalam riwayat.

Kali ini kita akan menyaksikan sebuah riwayat yang bercerita tentang adanya sebagian orang yang sengaja ingin berada di shaf paling belakang demi melirik wanita yang ikut berjamaah bersama nabi saw.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: ” کَانَتْ امْرَأَةٌ تُصَلِّی خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ حَسْنَاءُ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ قَالَ: فَکَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ یَتَقَدَّمُ فِی الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا یَرَاهَا، وَیَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ حَتَّى یَکُونَ فِی الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ، فَإِذَا رَکَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ إِبْطِهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِینَ مِنْکُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِینَ}

Dari Ibnu Abbas, berkata: “Seorang wanita shalat di belakang Rasulullah saw, seorang yang cantik dari orang-orang rupawan”, ia melanjutkan: “Ketika itu sebagian orang maju (datang lebih dahulu) ke shaf pertama supaya mereka tidak melihat wanita itu dan sebagian lainnya (sengaja) datang terlambat sehingga berada di shaf paling belakang, sehingga ketika ruku dapat melihat (wanita itu) dari bawah ketiaknya, kemudian Allah swt menurunkan : ‘Dan sungguh, Kami mengetahui orang yang terdahulu sebelum kamu dan Kami mengetahui pula orang yang terkemudian.’” (Alhijr: 24)

Dalam riwayat di atas meskipun dari segi sanad terdapat sebuah pembahasan khusus, dimana sebagian ulama menganggapnya lemah, namun tidak sedikit pula yang menerima dan melihatnya sebagai shahih sebagaimana kami lampirkan dalam tulisan ini.

Adapun dari segi muatan hadis, maka tentunya ini (melirik wanita dalam keadaan shalat) bukanlah sebuah perbuatan terpuji, bahkan jauh dari nilai keadilan, sebab itu artinya tidak khusyuk dengan shalatnya, ditambah lagi demi melihat seorang wanita.

Alhasil dari riwayat ini siapa lagi yang shalat berjamaah dengan nabi pada masanya jika bukan para sahabat. Oleh sebab itu tidak semua sahabat dapat disejajarkan kualitas dan keadilannya.

9

Apakah Para Sahabat Meyakini Konsep Keadilan Sahabat?

Tidak bisa dipungkiri bahwa Konsep keadilan sahabat merupakan keyakinan yang dianut oleh Ahlussunnah. Untuk keyakinan ini telah banyak argumentasi yang diajukan begitu juga sanggahannya.

Tulisan pada seri ini akan memberikan sanggahan lain atas konsep di atas, dengan melihat bagaimana keyakinan sahabat terhadap konsep ini. Sikap sahabat terhadap satu sama lainnya dalam msalah-masalah tertentu akan menjelaskan kedudukan konsep keadilan sahabat menurut pandangan sahabat sendiri.

Untuk itu pada tulisan ini akan dimuat sejarah yang diabadikan oleh Thabari di dalam kitab sejarahnya, berkaitan dengan tragedi pembunuhan khalifah Utsman bin Affan:

Menceritakan kepadaku ja’far bin Abdullah al-Muhammadi, ia berkata: menceritakan kepadaku Amr, dari Muhammad bin Ishaq, bin Yasar al-Madani, dari pamannya Abdurrahman bin Yasar, bahawa ia berkata: tatkala masyarakat menyaksikan apa yang dilakukan oleh Utsman, para sahabat Nabi SAWW yang ada di Madinah menulis surat kepada para sahabat yang ada di seluruh penjuru –mereka telah bertebaran di berbagai negri-: sungguh kalian keluar hanya untuk melakukan jihad di jalan Allah SWT dan menegakkan agama Muhammad SAWW, sungguh agama Muhammad telah dirusak dan ditinggalkan. Kemarilah kalian! Tegakkanlah agama Muhammad SAWW. Lalu mereka berdatangan dari berbagai arah kemudian mereka membunuhnya (utsman).[10]

Sikap sahabat yang disebutkan di atas memberikan penjelasan bahwa para sahabat setidaknya para pelaku pembunuhan Utsman, tidak akrab dengan konsep keadilan sahabat. Atau mungkin tidak mengenal konsep tersebut. Bagaimana tidak? Buktinya mereka telah menuduh khalifah yang notabene sahabat nabi sebagai prusak dan peninggal agama. Lebih dari itu mereka menganggap memeranginya sebagai jihad.

Jika konsep ini sudah ada di zaman tersebut dan sahabat juga mengetahuinya, apakah Utsman tidak berargumen dengan mengatakan: mengapa kalian memerangi aku? Bukankah aku sahabat Nabi? Dan semua sahabat itu adil?

Atau mengapa sahabat yang dikirimi surat tidak menjawab dengan mengatakan: Utsman adalah sahabat Nabi SAWW, dan semua sahabat adil, jadi memeranginya merupakan tindakan yang salah.

Kenyataan ini tentunya menimbulkan tanda tanya bagi kita, dan jawabannya mari kita temukan dengan merenung lebih mendalam.

10

Hakam bin Abil ‘Ash dan Konsep Keadilan Sahabat

Salah satu sanggahan atas teori keadilan seluruh sahabat ialah banyak ditemukannya baik dalam riwayat-riwayat hadis maupun secara historis, para sahabat nabi yang berperilaku dan bertindak jauh melenceng dari sifat adil.

Kita tidak bisa pungkiri akan banyaknya riwayat-riwayat atau catatan sejarah yang merekam perilaku mereka, khususnya tindakan mereka yang melanggar teori keadilan. Meskipun kita juga tidak mengingkari ada sebagian sahabat yang memiliki sifat terpuji dan adil.

Adanya riwayat yang memperlihatkan perilaku negatif sebagian sahabat menunjukkan bahwa konsep keadilan seluruh sahabat tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan. Untuk menunjukkan hal tersebut, pada seri kali ini, kami akan bawakan sebuah riwayat tentang sahabat nabi bernama Hakam bin abil ‘Ash yang berperilaku buruk terhadap nabi Saw sehingga ia dilaknat dan diasingkan oleh Nabi Saw.

Dalam kitab Al-Ishobah fi Tamyiz as-Shahabah karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, beliau menulis:

Hakam bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdu Syamsi Al-Qurasyi Al-Umawi paman Utsman bin Affan dan ayah Marwan. Ibnu Sa’ad berkata: ia (Hakam) masuk Islam pada hari penaklukan (Mekkah) dan tinggal di Madinah. Kemudian Nabi Saw mengasingkannya ke Thaif, lalu ia kembali ke Madinah pada saat kekhalifahan Utsman dan wafat di zaman itu. Dan Ibnu Sakan berkata: dikatakan sesungguhnya Nabi Saw mengutuknya dan hal tersebut belum dipastikan. Dan Al-Fakahi meriwayatkan dari jalur Hamad bin Salamah: Telah bercerita kepada kami Abu Sinan dari Az-Zuhri dan ‘Atha Al-Khurasani: Sesungguhnya para Sahabat masuk menemui Nabi Saw dan ia Saw sedang melaknat Hakam bin Abil ‘Ash, lalu mereka berkata: Apa yang terjadi dengannya? Nabi Saw berkata: aku sedang berada di rumah bersama istri ku, dan ia (Hakam) masuk melalui celah dinding dan menatapku dengan buruk. Lalu mereka berkata: tidakkah kami harus melaknatnya juga? Nabi Saw berkata: tidak, karena aku melihat anak-anaknya naik turun mimbarku. Lalu mereka berkata: Ya Rasulullah tidakkah kami harus mengambil mereka? Nabi Saw berkata: tidak. Dan Rasulullah Saw pun mengasingkannya.

Pelaknatan yang dilakukan oleh Nabi Saw terhadap Hakam bin Abil ‘Ash juga ditegaskan di kitab lainnya. Dalam kitab Siyar I’lam An-Nubala karya Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad-Dzahabi disebutkan, As-Sya’bi berkata: aku mendengar Ibnu Zubair berkata: Demi Tuhan Ka’bah ini, sesungguhnya Hakam bin Abil ‘Ash dan keturunannya dilaknat melalui lisan Muhammad Saw.

Riwayat diatas merupakan salah satu contoh sahabat yang berperilaku buruk kepada nabi sehingga ia dilaknat dan diasingkan oleh Nabi Saw. Riwayat tersebut juga menyanggah teori konsep keadilan seluruh sahabat, dan membuktikan bahwa terdapat sebagian dari sahabat nabi yang berperilaku jauh dari sifat adil.

Contoh perilaku sahabat lainnya yang bertindak jauh dari sifat adil beberapanya telah kami bahas sebelumnya di website ini. Seperti membunuh, mabuk, munafik, dan lainnya. Para pembaca bisa menilai sendiri, dengan adanya bukti-bukti perilaku buruk sebagian sahabat, apakah teori keadilan seluruh sahabat bisa diterima atau tidak? Jawabannya dikembalikan pada Anda.

Wallahu A’lam

11

Ibnu Taimiyah: Sebagian Sahabat Nabi Penjual Khamr

Salah satu alasan dari pengkajian apakah semua sahabat itu adil adalah karena terdapat sebuah pemahaman bahwa orang yang tidak menjadikan seluruh sahabat sebagai teladan merupakan sebuah bentuk kelancangan bahkan sesat. Maka, guna menepis hal tersebut dikajilah pembahasan ini dengan beberapa seri.

Sebagaimana yang telah diketahui, di satu sisi keadilan seluruh sahabat ini diyakini, namun di sisi lain terdapat pula berbagai riwayat dan bukti sejarah yang menggambarkan bahwa sebagian sahabat tidak berlaku adil dan terpuji sehingga klaim dan pernyataan itu menjadi lemah. Banyak contoh yang telah dipaparkan pada website ini. Kali ini penulis membawakan kembali contoh lainnya, dari Ibnu Taimiyah dalam 2 kitabnya menjelaskan bahwa sebagian sahabat adalah penjual khamr.

Syiah Sedikit Lambat Berbuka, Ini Hadis Nabi SAWImam Hanbali dan Keutamaan Ali bin Abi Thalib ra

وقد باع بعض الصحابة خمرا …

Sebagian sahabat adalah penjual khamr…[11]

Dan penjual khamr merupakan hal yang dilaknat oleh Rasulullah Saw, sebagaimana penjelasan dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal.

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا حَيْوَةُ، أَخْبَرَنِي مَالِكُ بْنُ خَيْرٍ الزِّيَادِيُّ، ۲ أَنَّ مَالِكَ بْنَ سَعْدٍ التُّجِيبِيَّ، حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:” أَتَانِي جِبْرِيلُ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَعَنَ الْخَمْرَ ، وَعَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْهِ، وَبَائِعَهَا، وَمُبْتَاعَهَا، وَسَاقِيَهَا، وَمُسْتَقِيَهَ ا

Dari Ibnu Abbas yang berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw pernah berkata bahwa Jibril mendatangiku kemudian berkata: Hai Muhammad, Allah Swt melaknat khamr, orang yang memerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, dan orang yang meminta untuk dibawakan, orang yang menjualnya, orang yang membelinya, orang yang menuangkannya, dan orang yang dituangkan.”[12]

Bukti di atas mengisyaratkan bahwa klaim dan pernyataan semua sahabat Nabi adil adalah tidak benar karena bertentangan dengan riwayat dan bukti sejarah sebagian dari mereka. Yang benar adalah sebagian dari mereka berlaku adil. Oleh karena itu tidak meyakini seluruh sahabat adalah adil bukan merupakan bentuk kelancangan apalagi kesesatan.

12

Hadis “Sebaik-Baiknya Manusia Adalah Pada Masaku” dan Konsep Keadilan Sahabat

Keadilan seluruh sahabat adalah sebuah konsep yang diyakini oleh sebagian orang dalam menilai para sahabat. Tentunya konsep ini tidak begitu saja muncul dan tanpa alasan, ada beberapa dalil seperti ayat-ayat Al-Quran yang dianggap memiliki makna yang mengarah pada konsep tersebut dan menjadi pondasinya. Selain itu, juga terdapat beberapa hadis atau riwayat yang dianggap senada dalam memperkuat pandangan itu.

Di antara riwayat-riwayat yang dijadikan dalil atas keadilan seluruh sahabat adalah:

عن النبي (ص) قال: خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

Dari Nabi saw, bersabda: Sebaik-baiknya manusia adalah (yang berada) pada masaku kemudian orang-orang setelah (masa) mereka, kemudian orang-orang setelah mereka..[13]

Pendekatan argumentasi: Sebutan القرن atau yang bisa diartikan dengan sebuah hitungan masa, meskipun terkait ukurannya tersebut, para ulama berbeda pendapat di dalamnya, sebab pada masa itu istilah tersebut belum dikhususkan pada makna abad yang berjumlah seratus tahun. Pada riwayat di atas, القرن dinisbatkan oleh Rasulullah saw terhadap dirinya yang menghasilkan makna atau maksud bahwa hal itu ditujukan pada orang-orang yang bersama nabi dalam masa yang sama. Dari ungkapan tersebut, jelas bahwa yang dimaksud nabi saw sebagai orang terbaik adalah para sahabat, yang diikuti setelahnya dengan para tabiin dan tabiin tabiin. Namun yang menjadi sorotan di sini adalah para sahabat sebab merekalah yang berada pada lapisan pertama dalam riwayat tersebut. Dan inti dari riwayat ini ialah kesaksian nabi saw akan keutamaan para sahabat sebagai golongan manusia yang terbaik, hal ini hampir serupa seperti argumentasi keadilan seluruh sahabat pada surat Ali Imran ayat 110 para seri yang lalu, hanya saja yang memberi kesaksian di sini adalah Rasulullah saw.

Pembahasan di sini mencakupi dua hal; pertama dari segi sanad dan periwayatannya dan kedua dari segi Dilalah atau makna yang dikandung riwayat tadi.

Dari segi sanad, sudah jelas bahwa riwayat ini banyak diriwayatkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim meskipun dengan beberapa perbedaan pada ibarah atau lafal yang digunakan. Namun dari jumlah yang ada, hadis ini belum termasuk riwayat mutawatir.

Adapun dari segi makna yang dikandung dalam hadis tersebut, jika itu menunjukkan kekhususan pada setiap sahabat yang ada pada masa itu dan menjadi kesaksian nabi saw atas keutamaan mereka ketimbang orang-orang setelahnya, maka:

Pertama, hal ini akan bertabrakan dengan banyak riwayat lainnya yang menyatakan keutamaan orang-orang setelah mereka yang tidak pernah melihat nabi saw, namun beriman padanya seperti beberapa riwayat di bawah ini:

عن أبي جمعة الكناني قال: قلنا يارسول الله هل أحد خير منا؟ قال: قوم يجيئون من بعدكم يجدون كتابا بين لوحين يؤمنون به و يصدقون، هم خير منكم

Dari Abu Jumah Al-Kannani, berkata: “Wahai Rasulallah apakah orang yang lebih baik dari kami?” nabi berkata: “Sebuah kaum yang akan datang setelah kalian, mereka mendapati kitab di antara dua lembaran, mereka beriman dengannya dan membenarkannya, mereka lebih baik dari kalian”.[14]

Dalam riwayat lainnya:

عن أبي جمعة قال: تغذينا مع رسول الله (صلى الله عليه وسلم) ومعنا أبو عبيدة بن الجراح فقال يا رسول الله أأحد خير منا آمنا بك وجاهدنا معك قال نعم قوم يجيئون من بعدكم يؤمنون ولم يروني

Dari Abu Jumah, berkata: “Kami sedang makan siang bersama Rasulullah saw dan bersama kami Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, berkata: ‘Wahai Rasulullah adakah orang yang lebih baik dari kami yang beriman padamu dan berjihad bersamamu?’ Beliau berkata: ‘Ada, kaum yang datang setelah kalian, mereka beriman dan tidak pernah melihatku’”. [15]

Dari riwayat di atas dan riwayat-riwayat lainnya yang memiliki muatan sama, secara jelas nabi saw mengutamakan orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat), tidak pernah melihat nabi saw namun beriman padanya melalui apa yang sampai pada mereka.

Oleh sebab itu, apa yang lebih sesuai dari maksud hadis nabi mengenai “sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku” bukanlah tentang para sahabat secara satu persatu bahwa semuanya adalah yang terbaik, melainkan meninjau sebuah kaum secara keseluruhan, meskipun terdapat di dalamnya orang-orang yang tidak adil atau tidak patut untuk diikuti dan dicontoh, seperti adanya kelompok munafikin dan lain-lain. Sehingga dari hal ini dipahami bahwa sebagian dari mereka (para sahabat) ada yang mencapai derajat yang sangat utama, sementara yang lainnya tidak demikian, sama halnya dengan orang-orang yang datang setelah mereka. Jadi yang menjadi patokan utama di sini ialah keimanan.

Sementara itu ada pandangan lain yang memahami bahwa letak keutamaan dalam hadis tersebut adalah keberadaan nabi saw sendiri. Yakni mereka lebih utama disebabkan adanya nabi di masa mereka dan masa-masa yang dekat dengan mereka. Sehingga dalam hal ini bukanlah para sahabat itu menjadi terbaik disebabkan dirinya sendiri melainkan keberadaan sosok agung nabi saw yang mengangkat keutamaan mereka.

Kedua, lagi-lagi fakta yang tercatat baik dalam Alquran maupun riwayat menyajikan kenyataan yang bertolak dengan konsep yang menyakini keadilan seluruh sahabat, sebagaimana yang telah di kaji dalam beberapa seri lainnya.

Kesimpulannya, hadis di atas tidak dapat dijadikan dalil untuk menyangga konsep keadilan seluruh sahabat.

13

Mencintai Sahabat Nabi dan Konsep Keadilan Sahabat

Keadilan seluruh sahabat merupakan sebuah konsep yang sangat menarik untuk dibahas, lantaran konsep tersebut menjadi perbincangan dan perdebatan diantara kaum muslimin. Sebagian kaum muslimin berpegang pada konsep tersebut dan berkeyakinan bahwa seluruh sahabat adil. Sedang yang lain berpendapat bahwa sahabat nabi ada yang adil ada juga yang tidak adil bahkan berperilaku jauh dari sifat adil.

Mereka yang berpegang pada konsep ini menyuguhkan dalil-dalil baik dari Al-Quran maupun riwayat-riwayat atau hadis. Salah satu hadis yang dianggap sebagai dalil dan menunjukkan akan keadilan seluruh sahabat ialah hadis tentang kecintaan pada para sahabat yang sejalan dengan kecintaan kepada nabi dan Allah Swt.

Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkamil Quran menulis hadis tersebut yang diriwayatkan dari Anas dari Rasulullah Saw ia berkata: Sesiapa yang mencintai Allah Azza wa Jalla maka ia mencintaiku, dan sesiapa yang mencintaiku maka ia mencintai para sahabatku, dan sesiapa yang mencintai sahabatku maka ia mencintai Al-Quran, dan sesiapa yang mencintai Al-Quran maka ia mencintai masjid-masjid….

Dalam menanggapi hadis tersebut, beberapa ulama Ahlussunnah menilai bahwa sanad hadis tersebut bermasalah. Ibnu Hajar Asqalani dan Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi dalam kitab mereka Lisanul Mizan dan Mizanul I’tidal menulis tentang periwayat hadis tersebut yaitu Abu Ma’mar yang dinilai memiliki kecacatan sehingga hadisnya dhaif, Ibnu Haban berkata: tidak disebutkan namanya (didalam hadis) kecuali dengan kecacatannya.

Adapun dilalah hadis tersebut tidak menunjukkan pada keadilan seluruh sahabat, melainkan hanya untuk menunjukkan kecintaan pada para sahabat karena mereka adalah sahabat nabi Saw. Kalaupun kita anggap kecintaan pada para sahabat adalah menunjukkan pada keadilan mereka, maka hadis tersebut tidak bisa di generalkan secara umum untuk seluruh sahabat, melainkan hanya untuk sebagiannya saja. Karena sebagaimana yang telah banyak kami jelaskan sebelumnya perihal beberapa sahabat dari berbagai referensi Islam, kita dapati bahwa dari mereka ada yang berperilaku atau bersifat tercela seperti munafik, pembunuh, pemabuk dan sifat tercela lainnya. Konsekwensinya, jika kita generalkan hadis itu untuk seluruh sahabat, maka kecintaan pada para sahabat karena mencintai nabi dan Allah swt dalam hadis tersebut, melazimkan termasuk juga untuk sahabat yang munafik, pembunuh, atau sahabat yang bersifat buruk lainnya, dan hal tersebut sangatlah tidak masuk akal. Jadi, Hadis tersebut tidaklah tepat dan tidak bisa diterapkan untuk dijadikan dalil dalam konsep keadilan seluruh sahabat.

Wallahu A’lam

14

Hadits Tsaqalain dan Konsep Keadilan Sahabat

Melanjutkan pembahasan sebelumnya, tulisan kali ini akan mengajukan sanggahan lainnya yang dapat menolak konsep keadilan sahabat.

Dalil yang ingin di sampaikan kali ini adalah hadits tsaqalian (dua perkara yang berharga atau agung). Di mana secara tidak lansung hadits ini menolak konsep tersebut dengan memandang serta menenmpatkan para sahabat sama dengan manusia biasa lainnya;iaitu mungkin saja adil dan tidak adil.

Untuk lebih jelas di sini akan disebutkan beberapa redaksi dari hadits tersebut yang tentu saja sebenarnya masih banyak redaksi-redaksi lainnya. Namun untuk memperringkas maka dicukup tiga redaksi saja.

Hakim Naisyaburi di dalam kitabnya al-Mustadrak meriwayatkan tentang hadits tsaqalain:

“… sungguh aku meninggalkan dua perkara yang berharga di antara kalian salah satunya lebih agung dari yang lain kitaballah dan itrahku maka perhatikanlah bagai mana kalian memperlakukan keduanya setelah ku. Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang pada ku di sisi telaga.”[16]

Masih dalam kitab yang sama Pada hadits lainnya Hakim menyebutkan:

“Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian. kalian tidak akan tersesat jika mengikuti keduanya. Keduanya adalah kitabullah dan ahlulbait ku itrah ku.[17]

Imam Tirmizi juga memuat tentang riwayat ini yang disebutkan dalam kitab Sunan al-Tirmizi:

“dari Jabir bin Abdillah: …… Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian dimana jika mengambilnya maka kalian tidak akan tersesat. Keduanya adalah kitabullah dan itrah ku ahlulbait ku[18]

Dari beberapa hadits di atas ada dua catatan penting yang dapat diambil.

Pertama: di dalam hadits-hadits tersebut dinyatakan bahwa untuk dapat terhindar dari kesesatan, semua orang termasuk sahabat diperintah kan oleh baginda Rasul SAWW untuk mengikuti tsaqalain (al-Quran dan Ahlulbait). hadits-hadits ini secara tidak langsung telah menolak konsep keadilan sahabat, sebab para sahabat juga sebagaimana kaum muslimin lainnya ada kemungkinan tersesat.

Oleh karena itu tidak ada jaminan untuk mengatakan jika semua mereka adil, masuk sorga dan mengikuti mereka pasti mendapat petunjuk. Sebab yang dijamin oleh Nabi dan diwasiatkan untuk mengikutinya hanya dua perkara agung di atas. Adapun selain kedua golongan tersebut kedudukannya sama saja. Dan di dalam hadits-hadit di atas disebutkan sebagai kalian (كم ) manusia (الناس ).

Yang kedua: dikatakan bahwa selektif dalam memilih panutan, yang di dalam beberapa riwayat di atas diperintahkan mengikuti al-Quran dan ahlulbait, adalah dalam rangka terhindar dari kesesatan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari mengkaji konsep keadilan sahabat, di mana tujuannya juga untuk memperoleh ajaran agama yang benar dari sumber yang autentik, bukan untuk menghina atau untuk mencaci maki pihak dan golongan tertentu.

15

Definisi Ijtihad Menurut Imam Ghazali

Pada masa sebelum hijrah nabi Muhammad saw. ke Madinah, Islam yang dibawa oleh beliau belum menjelaskan hukum-hukum syariat secara luas, sebab pada periode tersebut situasi dan kondisi yang ada ialah Islam baru lahir dan diperkenalkan, sehingga yang paling banyak dibicarakan ketika itu adalah seputar rukun dan fondasi Islam (aqidah).

Adapun pasca hijrah nabi saw., Islam mulai kokoh dan berbicara mengenai segala aturan, hukum, tuntunan dan tata cara bersikap seorang muslim dalam menjalani berbagai jalan kehidupan dari semua aspeknya; baik itu sifatnya pribadi atau umum, ibadah atau muamalah, sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

Sejak itu muslimin diajarkan dengan sistem yang dikehendaki Islam dalam menjalani semua aktivitas kesehariannya. Namun dalam hal ini tidak semua masalah yang dihadapi, mereka (para sahabat) tahu hukumnya terkadang hal itu tidak ditemukan dalam Alquran maupun sunah nabi (beliau saw. belum menjelaskannya) atau bisa jadi terkadang mereka lupa dan banyak kemungkinan lainnya, sehingga mendorong sebagian dari mereka berijtihad dalam menentukan sikap atau hukum persoalan terkait.

Dari sini tentunya kita mesti mengenal terlebih dahulu apa maksud dari ijtihad dan apakah semua orang (atau semua sahabat dalam kasus ini) dapat atau boleh berijtihad. Tentunya ini merupakan pembahasan yang penting yang insya Allah akan kita kaji dalam beberapa seri ke depan, sebab hal ini masih berkaitan dan erat hubungannya dengan konsep keadilan seluruh sahabat.

Terkait hal ini Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa menjelaskan bahwa ijtihad terbagi ke dalam tiga rukun:

Pertama, ijtihad itu sendiri. Ijtihad secara bahasa berarti berjuang keras atau mencurahkan seluruh usaha di dalam sebuah pekerjaan. Namun kemudian lafal ini (ijtihad) di dalam urf (kebiasaan) para ulama dikhususkan terhadap mencurahkan seluruh usaha dalam menuntut ilmu atas hukum-hukum syariat. Dan ijtihad yang sempurna adalah seseorang mengeluarkan segenap usahanya dalam sebuah tuntutan (ilmu atas hukum syariat) sedemikian rupa sehingga ia merasakan dari dirinya ketidakberdayaan atas tuntutan lebih.

Kedua, mujtahid atau orang yang berijtihad. Ada dua syarat sehingga seorang dikatakan mujtahid:

Syarat pertama, menguasai sumber-sumber syariat, memungkinkan baginya mendapati sangkaan (dzan) dengan melihat dalam sumber-sumber tersebut, serta mengedepankan apa yang wajib dikedepankan serta mengakhirkan apa yang seharusnya diakhirkan.

Syarat kedua, meupakan orang yang adil, menjauhi maksiat-maksiat yang merusak keadilan. Dan hal ini[19] demi kebolehan mengikuti fatwanya. Maka barangsiapa yang bukan seorang adil, fatwanya tidak boleh diterima. Adapun ia pada dirinya sendiri apabila merupakan seorang alim maka ia dapat berijtihad untuk dirinya dan mengamalkannya. Seolah-olah keadilan adalah syarat penerimaan fatwa bukan syarat sah ijtihad.[20]

Ketiga, objek ijtihad atau apa yang diijtihadi. Objek ijtihad di sini adalah seluruh hukum syar’i yang tidak terdapat dalil yang pasti (qath’i) di dalamnya. Imam Ghazali juga menjelaskan bahwa ia telah memisahkan hukum syar’i dari persoalan-persoalan logis (a’qli) dan kalam, sebab kebenaran di dalamnya hanyalah satu, yang benar adalah satu dan yang keliru adalah berdosa. Dan apa yang ia maksud dengan objek ijtihad adalah persoalan yang mana orang yang keliru di dalamnya tidak (akan) berdosa. Dan kewajiban shalat lima waktu serta zakat-zakat dan apa-apa yang telah sepakat umat atasnya hukum-hukum syar’i yang jelas di dalamnya terdapat dalil-dalil yang pasti, maka berdosa orang yang menentangnya, maka hal itu bukan termasuk tempat untuk ijtihad.[21]

Dari paparan di atas dan melihat pada ketentuan-ketentuan yang ada, yang paling penting untuk digarisbawahi adalah ijtihad hanya dapat dilakukan oleh mereka yang telah menguasai sumber-sumber hukum syar’i (alim), serta ijtihad yang dilakukan berada pada tempatnya bukan pada sesuatu yang malah menjadi bertolak belakang dengan hukum syar’i yang sudah jelas yang mana ini bahkan tidak dikategorikan sebagai ijtihad.

Insya Allah pada seri-seri selanjutnya kita akan melihat apakah konsep ijtihad di atas terealisasikan dalam ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat ataukah tidak.

16

Ijtihad Sahabat dan Konsep Keadilan Sahabat

Pada seri sebelumnya kita telah membahas perihal definisi ijtihad dalam kacamata ulama Ahlussunnah Imam Al-Ghazali. Pembahasan tersebut berkaitan dengan konsep keadilan seluruh sahabat, karena, mereka yang berpegang pada konsep ini sering berdalih dengan kata ‘ijtihad sahabat’ sebagai pembenaran atas perilaku sahabat meskipun hal tersebut menyimpang atau bertentangan dengan syariat, sehingga dengan ‘ijtihad’ tersebut keadilan sahabat tetap terjaga.

Contoh untuk penjelasan tersebut misalnya seperti peristiwa perang Jamal, dimana kaum muslimin yang di dalamnya ada para sahabat saling berperang dan membunuh. Mereka yang meyakini keadilan seluruh sahabat beranggapan bahwa apa yang dilakukan para sahabat dalam peristiwa perang tersebut adalah sebuah ‘ijtihad’, meskipun mereka tahu bahwa membunuh atau memberontak kepemimpinan adalah perbuatan yang terlarang dan bertentangan dengan syariat. Dengan demikian, mereka meyakini dalam perang tersebut tidak ada yang salah dengan dalih ‘ijtihad sahabat’.

Dan banyak contoh perilaku sahabat lainnya yang jelas-jelas melanggar syariat dan bertentangan dengan hukum syar’i seperti mabuk atau meminum khamr, merencanakan pembunuhan, bahkan ada yang sampai murtad dan munafik, seperti yang pernah kami paparkan sebelumnya.

Kita akan paparkan lagi soal perilaku sahabat yang tercatat dalam kitab Ahlussunnah dan jelas-jelas melanggar hukum syar’i. contoh dari sahabat tersebut ialah Walid bin Uqbah dan Muawiyah. Mereka tercatat sebagai peminum khamr atau minuman yang diharamkan.

…dari Ibrahim, dari ‘Alaqmah ia berkata: kami berada dalam barisan pasukan di tanah Rum (Roma), bersama kami ada Hudzaifah bin alyaman dan komandan kami Walid bin Uqbah, dan ia meminum khamr…

…bercerita kepada kami Abdullah bin Buraidah, ia berkata: aku dan ayahku masuk menemui Muawiyah, ia mempersilahkan kami duduk diatas permadani, kemudian datang kepada kami makanan, kamipun memakannya, lalu didatangkan pada kami minuman, lalu Muawiyah meminumnya, kemudian ayahku memegangnya dan berkata: aku tidak meminumnya sejak Rasulullah Saw mengharamkannya…

Contoh diatas merupakan perilaku sahabat yang jelas-jelas terlarang dalam agama dan melanggar hukum syar’i. apakah dengan dalih ‘ijtihad sahabat’ perilaku mereka bisa dibenarkan dan tetap dikatakan adil?

Dalam pembahasan sebelumnya sekaitan dengan ijtihad, sudah kita sebutkan bahwa hal-hal yang mana umat telah sepakat atas hukumnya dan jelas dalilnya, maka orang yang menentangnya telah berdosa dan hal tersebut bukan tempat untuk ijtihad. Jadi, para sahabat yang jelas-jelas melanggar hukum syar’i dalam Islam dan umat telah sepakat akan hukum tersebut, berdasarkan perkataan Imam Ghazali mereka telah berdosa dan disitu tidak ada tempat untuk ijtihad. Untuk itu, dalih ‘ijtihad sahabat’ untuk pembenaran perilaku sahabat yang jelas-jelas melanggar syariat tidak tepat dan tidak bisa dibenarkan.

Wallahu A’lam

17

Syahrastani dan Konsep Ijtihad Sahabat

Ijtihad sahabat adalah konsep berikutnya yang diimani oleh mazhab Ahlussunnah. Keberadaan konsep ini pada dasarnya merupakan penopang konsep keadilan sahabat yang telah banyak dibahas pada seri-seri sebelumnya.

Pada tulisab kali ini melanjutkan tulisan-tulisan sebelumnya akan disebutkan pernyataan yang ditulis oleh Syahrastani dalam kitabnya al-Milal Wa al-Nihal berkaitan dengan konsep ijtihad. Setelah itu pernyataan tersebut akan coba disandingkan dengan riwayat yang disampaikan oleh rasulullah SAWW untuk kemudian dilihat sejauh mana konsep ini dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam satu pernyataannya tentang hukum ijtihad dan taklid serta mujtahid dan muqallid, Syahrastani mengatakan:

“jika dua orang mujtahid melakukan ijtihad, lalu ijtihad salah seorang dari mereka berbeda dengan yang lainnya, maka tidak boleh seorangpun dari mereka taklid kepada yang lainnya.[22]

Dalam pernyataan ini disebutkan bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk bertaklid kepda mujtahid lainnya. Oleh karena itu jika dipahami dan diyakini bahwa semua sahabat adalah mujtahid, maka tidak selayaknya sahabat mengikuti atau meminta fatwa kepada sahabat lainnya yang dalam hal ini sama-sama mujtahid.

Namun fakta yang ada menjelaskan bahwa ummat dan termasuk para sahabat, diperintahkan oleh Nabi SAWW untuk mengikuti ahlulbaitnya sebagaimana tertera dalam hadits Tsaqalian.

“Wahai sekalian manusia sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara di antara kalian. kalian tidak akan tersesat jika mengikuti keduanya. Keduanya adalah kitabullah dan ahlulbait ku itrah ku.[23]

Kenyataan yang dipaparkan dalam riwayat ini dan riwayat –riwayat Tsaqalain dengan jalur lainnya, menawarkan dua pilihan bagi kita. Ikut konsep ijtihad sahabat dan mengabaikan Hadits Rasul SAWW atau mengabikan konsep ijtihad sahabat dan berpegang kepada Hadits Nabi SAWW. Silahkan memilih satu diantara keduanya. Atau mungkin ada tawaran lain yang tidak mengharuskan kita untuk memilih salah satu dari alternatif di atas?

18

Ijtihad Sahabat Ketika Nabi Sakit

Ijtihad dalam pandangan Imam Ghazali memiliki rukun dan syarat tersendiri yang mana seandainya rukun dan syarat itu tidak terpenuhi maka tidak dapat disebut sebagai ijtihad, hal ini secara gamblang telah kita bahas pada seri yang lalu.

Dalam hal ini kita akan mencoba melihat beberapa kasus ijtihad yang telah dilakukan oleh beberapa sahabat pada jaman nabi saw, apakah itu sesuai dengan makna ijtihad seperti yang dikemukakan oleh imam Ghazali dalam kitabnya, ataukah tidak.

Asy-Syahrastani dalam kitab Al-Milal Wan Nihal menyebut beberapa ikhtilaf atau perseteruan para sahabat yang pernah terjadi pada masa itu (masa keberadaan nabi saw dan pasca wafatnya) -khususnya dalam kasus ini ia membawakan contoh perseteruan para sahabat ketika nabi Muhammad saw dalam keadaan sakit atau menjelang wafatnya- sebagai bentuk dari ijtihad. Ia menjelaskan:

Adapun perseteruan-perseteruan yang terjadi pada kondisi sakitnya (nabi saw) dan pasca wafatnya diantara para sahabat ra, maka itu adalah perbedaan-perbedaan dalam ijtihad, sebagaimana dikatakan bahwa tujuan mereka dalam hal itu adalah mendirikan ritual-ritual syariah dan meneruskan prosedur agama. Dan perseteruan pertama pada masa sakitnya nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dengan periwayatannya dari Abdullah bin Abbas, berkata: “Ketika sakitnya nabi saw semakin parah -yang mana beliau wafat dengannya- beliau bersabda: ‘Ambilkan aku tinta dan kertas, akan kutulis untuk kalian sebuah tulisan (sehingga) kalian tidak akan tersesat sepeninggalku’. Umar berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah telah dikuasai oleh sakitnya, cukup bagi kita kitab Allah’. (suasana) tambah gaduh sehingga nabi berkata: ‘Menjauhlah kalian dariku, tidak selayaknya (terjadi) perseteruan di dekatku’”.

Perseteruan kedua pada masa sakitnya nabi, bahwasannya beliau bersabda: “Bersiaplah kalian (dalam) pasukan Usamah, semoga Allah melaknat orang yang meninggalkan (keluar) dari pasukan tersebut”. Sekelompok orang berkata: “Wajib bagi kita mengerjakan perintahnya (nabi) dan Usamah telah keluar dari Madinah”. Dan kelompok lain berkata: “Sakit nabi telah bertambah parah dan hati kami tidak tahan untuk berpisah dengannya dan dalam kondisi ini hendaknya kita bersabar sampai kita melihat hal apa yang menjadi perintahnya”.[24]

Dari kedua kasus tersebut terjadi kesamaan dalam hal bahwa sebagian sahabat tidak mengikuti arahan yang diberikan nabi saw.. Pada kejadian pertama adalah Umar dan diikuti para sahabat lainnya yang memberikan tanggapan penolakan terhadap perintah nabi yang meminta dibawakan tinta dan kertas. Sementara yang kedua adalah mereka yang mundur dari pasukan Usamah, padahal nabi saw menyuruh mereka semua untuk berada dalam pasukan Usamah.

Apabila kita menengok kembali pada ijtihad yang dipaparkan oleh Imam Ghazali serta menimbang dua kejadian tadi dengan konsep tersebut maka akan kita dapati bahwa ijtihad dalam dua kasus di atas adalah bermasalah. Alasannya adalah walaupun tanpa mengusik syarat mujtahid, namun yang paling kentara di sini ialah objek ijtihad atau apa yang diijtihadi, sudah jelas bahwa itu adalah perintah yang keluar dari lisan suci nabi Muhammad saw. yang dengan sendirinya adalah hujjah bahkan ditopang oleh beberapa ayat Alquran yang secara jelas dan nash untuk mengikuti semua yang keluar atau diputuskan oleh beliau. Seperti ayat-ayat di bawah ini:

وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. (Al-Hasyr: 7)

قُلْ اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ ۚ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْكٰفِرِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali I’mran: 32)

وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَۚ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat. (Ali I’mran: 132)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa yang membicarakan ketaatan mutlak terhadap Rasulullah saw tanpa ada pengecualian dimanapun dan dalam kondisi apapun.

Sehingga dari semua ini terlihat bahwa tindakan beberapa sahabat dalam dua kasus di atas yang dianggap sebagai ijtihad tidak dapat diterima sebab bertolak belakang dengan nash yang sudah jelas. Jika demikian maka dalam tinjauan Imam Ghazali sendiri salah satu rukunnya telah batal, bahkan dalam hal ini dihitung berdosa sebab jelas-jelas bertentangan dengan nash Alquran sendiri yang menyatakan ketaatan mutlak terhadap nabi Muhammad saw.

19

Ijtihad Sahabat dalam Pelarangan Mut’ah

Pada pembahasan sebelumnya, kita telah membahas seputar ijtihad dan kaitannya dengan konsep keadilan sahabat. Terkadang, kita sering menemukan dalam beberapa peristiwa atau beberapa perilaku sahabat dianggap sebagai ijtihad, meskipun hal itu bertentangan dengan syariat atau Nash, dan tentu saja telah kita bahas sebelumnya bahwa hal seperti itu tidaklah tepat dikatakan sebagai ijtihad.

Beberapa contoh telah kami paparkan sebelumnya, dan pada kesempatan kali ini, kita akan bahas satu lagi contoh kasus yang dianggap sebagai bagian dari ijtihad sahabat, yaitu perihal pelarangan mut’ah.

Pembahasan mengenai mut’ah sendiri telah kita bahas sebelumnya di website ini. Namun kita bahas kembali sekarang karena kita dapati bahwa pelarangan mut’ah, baik itu mut’ah nikah maupun mut’ah haji datang dari sahabat nabi yaitu Umar bin Khatab dan bukan dari nabi itu sendiri, sehingga hal tersebut dianggap sebagai bagian dari ijtihad sahabat.

Untuk membuktikan hal tersebut, kita akan suguhkan beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Umar bin khatab lah yang melarang atau mengharamkan mut’ah.

Malik bin Anas meriwayatkan dari Nafi’ dan menukil dari Putra Umar berkata: Umar berkata: Dua mut’ah ada pada zaman Rasulullah saw, akulah yang melarang keduanya dan memberikan sangsi atas keduanya: mut’ah haji dan nikah mut’ah

Benar bahwasannya Umar ra telah melarang orang-orang dari mut’ah, ia berkata, dua mut’ah yang dulu ada pada masa Rosulullah Saw, kini aku haramkan yaitu mut’ah nikah dan mut’ah haji.

Kitabul Mabsuth li Syamsuddin As-Sarakhsi Juz 4 Hal. 27

Bahkan dalam Tafsir Thabari pada pembahasan ayat nikah mut’ah, disebutkan bahwa Ali bin abi Thalib berkata: Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka

Tafsir At-Thabari Juz 6 Hal. 588

Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa pelarangan atau pengharaman mut’ah, baik itu mut’ah haji ataupun mut’ah nikah berasal dari Umar bin Khatab. Dan jika ada yang menganggap bahwa itu adalah ijtihad sahabat, maka itu tidaklah tepat. Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya bahwa objek ijtihad tidak boleh bertentangan dengan nash. Dalam hal ini, pelarangan yang dilakukan oleh Umar bin khatab bertentangan dengan Al-Quran, karena dalam Al-Quran tepatnya pada Surat An-Nisa ayat 24, nikah mut’ah diperbolehkan dan hukumnya tidak pernah di anulir atau dinashk sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Disamping itu, pelarangan atau pengharaman mut’ah yang dilakukan oleh Umar bin khatab menunjukkan akan cacatnya atau kurang sempurnanya risalah yang dibawa oleh Nabi Saw. Karena, pelarangan itu muncul pada zaman khalifah kedua, dan itu bertentangan dengan keyakinan umat Islam yang meyakini bahwa Risalah yang dibawa oleh Nabi Saw telah sempurna dan tidak boleh ada yang berhak merubahnya kecuali oleh Nabi saw itu sendiri sebagai penerima Wahyu Risalah.

Wallahu A’lam

20