• Mulai
  • Sebelumnya
  • 20 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2233 / Download: 2858
Ukuran Ukuran Ukuran
Kelahiran Rasulullah Saw (bagian1)

Kelahiran Rasulullah Saw (bagian1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Maulid Nabi Muhammad Saw

Apa Itu Makna Bidah?

Bulan Rabiulawal baru saja tiba. Itu artinya, lantunan puji-pujian kepada Nabi Saw. bakal sering kita dengar, baik di surau maupun di rumah-rumah dan dari tempat lainnya. Sebab, kita tahu, bahwa di bulan inilah Nabi Saw lahir. Maka, Hampir setiap orang Muslim merayakan kelahirannya dengan menggelar acara maulid nabi. Berbicara soal maulid nabi, salah satu ihwal yang santer diperdebatkan ialah soal bid’ah atau tidaknya merayakan hal tersebut.

Lagi-lagi, dalam melihat hal itu, maka kita dihadapkan pada dua kelompok, kubu yang membolehkan merayakan maulid nabi, dan kubu yang melarang, bahkan menganggap perayaan maulid nabi sebagai bidah. Tentu saja, mereka memiliki argumentasi masing-masing soal pandangannya tersebut.

Sebelum mengupas lebih dalam mengenai boleh-tidaknya merayakan maulid nabi, alangkah baiknya kalau kita mengetahui apa makna bid’ah, baik secara bahasa maupun istilah (terminologi). Secara bahasa, bidah berasal dari akar kata ba’-dal-ain, yang berarti menciptakan sesuatu yang belum penarh ada sebelumnya.

Lisanul Lisan-Tahdzib Lisanul Arab, juz. 1, hal. 69, penerbit: Darul Kutubil Ilmiah, Beirut-Lebanon.

Di dalam kitab Lisanul Lisan Tahdzib Al-Arab dikatakan, bahwa makna bidah berarti sesuatu yang baru, yang dibuat di dalam agama setelah agama itu sempurna. Adapun secara istilah, makna bid’ah adalah perkara baru yang tidak terdapat di dalam kitab (al-Quran) dan sunnah. Dengan kata lain, bidah adalah suatu perbuatan yang memasukkan ucapan atau perbuatan ke dalam syariat, di mana ucapan dan perbuatan itu tidak terdapat di dalam syariat Islam.

Di sisi lain, masih berkuat di dalam makna bidah secara istilah, bahwa ia adalah pembaharuan (baca: pengadaan) akidah maupun hukum fikih di dalam sebuah syariat agama tanpa ada sumber yang pasti, baik dari al-Quran, Sunnah dan lainnya. Mungkin, itulah makna bidah, baik secara bahasa maupun istilah. Adapun terkait penjabarannya, Insya Allah akan diulas di dalam tulisan-tulisan berikutnya. Wallahu a’lam bi-Shawab.

Apa Itu Makna Bid’ah? (2)

Hari wiladah atau hari kelahiran merupakan momen yang sangat berkesan bagi seseorang, tak hanya itu bahkan biasanya membawa kebahagiaan dan kesenangan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, sehingga seringkali dirayakan.

Termasuk di antaranya adalah maulid nabi atau hari kelahiran nabi Muhammad saw, yang mana membawa kebahagiaan khususnya bagi kaum muslimin. Oleh sebab itu biasanya diadakan beragam acara peringatan atas momen berbahagia ini, atau yang di negeri kita biasa dikenal dengan maulidan.

Di sisi lain ternyata ada juga kelompok yang menganggap maulidan ini sebagai perbuatan bid’ah sehingga tidak diperbolehkan. Maka dari itu terjadilah banyak perdebatan dan pembicaraan dalam hal ini. Apakah benar maulid itu adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan? Ataukah tidak demikian.

Berangkat dari persoalan di atas, sangat penting kiranya kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bid’ah dan seperti apa contohnya. Sehingga apabila kita telah mengenal bid’ah secara benar, maka kita akan tahu bagaimana sebenarnya relasinya dengan maulid.

Dimulai dari dasarnya, kita akan melihat makna bid’ah dalam pandangan para ahli bahasa terlebih dahulu. Dalam pembahasan lalu telah diulas pengertian bid’ah dalam kitab Lisanul Arab karya Ibnu Mandzur, sementara kali ini kita akan melihatnya dalam Kitab Al-Ain karya Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi serta kitab Mu’jam Maqayisul Lughah karya Ibnu Faris.

Dalam Kitab Al-Ain disebutkan demikian:

بدع: البدع; إحداث شيء لم يكن له من قبلُ خلق ولا ذكر ولا معرفة. والله بديع السماوات والأرض . البدع : الشيء الذي يكون أوّلا في كلّ أمر كما قال الله : ( مَا كُنْتُ بِدعاً مِنَ الرُّسُلِ ) أي لست بأوّل مرسل

والبدعة اسم ما ابتدع من الدين وغيره

والبدعة ما استحدث بعد رسول الله من الأهواء والأعمال

بدع : Al-bad’u (البدع ): Penciptaan sesuatu yang belum ada sebelumnya ciptaan, sebutan dan pengetahuan. (seperti) Allah pencipta langit dan bumi… Al-Bid’u (البدع ): Sesuatu yang menjadi awal dalam segala hal, sebagaimana Allah swt berfirman: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul…’” (Al-Ahqaf: 9), yakni aku bukanlah utusan yang pertama.

Dan Al-Bid’atu (البدعة ): Nama sesuatu yang diciptakan atau dibuat dari (dalam) agama dan selainnya.

Dan Al-Bid’atu (البدعة ): Apa-apa dibuat (baru) setelah Rasulullah saw dari (berupa) kecenderungan dan amal.[1]

Sementara itu Ibnu Faris mencatat:

بدع: الباء والدال والعين أصلان: أحدهما ابتداء الشيء وصنعه لا عن مثال ، والآخر الانقطاع والكلال

فالأول قولهم أبدعت الشيء قولا أو فعلا، إذا ابتدأته لا عن سابق مثال، والله بديع السماوات والأرض

بدع : Ba, Ain dan Dal memiliki dua asal: salah satunya ialah memulai sesuatu dan membuatnya tidak dari sebuah contoh, dan yang lainnya adalah terpotong dan kelesuan.

Yang pertama (misalnya) ucapan mereka: أبدعت الشيء قولا أو فعلا، Saya menciptakan sesuatu berupa ucapan atau pun perbuatan, apabila engkau membuatnya bukan didahului dengan contoh, dan Allah pencipta langit dan bumi…[2]

Dari kedua uraian di atas, secara umum dapat kita ambil kesimpulan bahwa asal-muasal kata bid’ah itu diambil dari kata yang terdiri dari tiga huruf asli; ba, dal dan ain yang mana memiliki makna mencipta atau membuat sesuatu yang baru yang mana belum pernah ada sebelumnya atau tidak ada contohnya. Seperti yang dicontohkan dengan kalimat; Allah swt pencipta langit dan bumi, dengan menggunakan kata بديع (pencipta) yang memiliki asal kata yang sama dengan bid’ah, maka artinya Allah telah membuat langit dan bumi itu untuk pertama kali dan tidak ada contoh sebelumnya.

Sehingga setelah memahami hal ini kita akan sedikit bisa meraba apa makna bid’ah dalam agama. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahwa makna secara bahasa tidak sama dengan makna secara istilah meskipun memiliki titik persamaan, sebab biasanya makna secara istilah memiliki kriteria tertentu sehingga membuatnya lebih spesifik terhadap sesuatu. Sehingga langkah selanjutnya adalah merujuk pada maknanya dalam istilah -meskipun secara ringkas disebutkan di atas- insyaAllah akan dibahas pada tulisan-tulisan berikutnya.

Defenisi Bid’ah Menurut Pandangan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki

Setiap tahun, hari kelahiran Nabi Muhammad SAWW selalu diperingati oleh umat Islam. Peringatan ini diadakan dalam rangka mengagungkan dan membesarkan sosok agung nan mulia ini, sembari kembali mengkaji sejarahnya untuk kemudian dijadikan teladan dalam meniti kehidupan.

Namun, peringatan ini tidak selalu dinilai sebagai hal yang positif oleh semua kalangan ummat Islam. Sebab, masih ada kelompok yang menganggapnya sebagai amalan bid’ah; sehingga pelakunya dianggap sesat, oleh karena itu acara yang seperti ini tidak seharusnya terselenggara.

Untuk dapat menilai hal ini dengan lebih jelas maka perlu terlebih dahulu mengkaji defenisi bidah. Kemudian dengan defenisi tersebut kita menilai apakah peringatan maulid merupakan amalan bid’ah atau tidak.

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung tentang defenisi bid’ah. Tulisan kali ini, masih akan melanjutkan pembahasan tentang defenisi tersebut. Tepatnya mengutip defenisi yang diajukan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, seorang ulama ahlussunnah yang berdomisili di Makkah semasa hidupnya dan bermazhab Maliki.

“..Iaitu, bahwa pengucap di sini adalah pembuat syariat yang bijaksana. Maka bahasanya adalah bahasa syariat. Oleh karena itu perkataannya mesti dinilai sesuai dengan syariat yang didatangkannya. Jika engkau ketahui bahwa bidah pada dasarnya bermakna semua yang baru diciptakan dan ditemukan tanpa ada contoh sebelumnya, maka ingatlah bahwa penambahan dan penemuan yang tercela di sini adalah: penambahan dalam urusan agama untuk dijadikan bagian dari agama dan penambahan dalam syariat untuk mengambil bentuk syariat, sehingga ia menjadi syariat yang diikuti dan dinisbatkan kepada pemilik syariat. Dan inilah yang diwanti-wanti oleh Nabi SAWW dengan perkataannya: barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini, maka ia tertolak. Maka yang menjadi pembeda dalam masalah ini adalah ungkapan “dalam urusan kami ini”.

Oleh karena itu, pembagian bid’ah kepada baik dan buruk dalam pemahaman kami tidak lain kecuali yang berkaitan dengan bidah secara bahasa; yang hanya bermakna penemuan dan penambahan secara umum. Dan kita semua tidak meragukan bahwa bidah dengan pengertian syar’i tidak ada kecuali kesesatan dan fitnah yang tercela, tertolak dan dibenci. Jika para pengingkar memahami pengertian ini, pasti nyata bagi mereka bahwa titik persamaan sangat dekat dan sumber perbedan sangat jauh.”[3]

Di dalam defenisi yang telah disebutkan ada dua jenis defenisi bidah. Bidah secara bahasa dan etimologi dan bidah secara istilah syar’i. bidah secara bahasa yang berarti segala hal yang baru, hal ini dapat dikelompokkan kepada baik dan buruk, hasanah dan sayyiah atau dhalalah. Dan bidah secara istilah syar’i yang berarti menambah, menemukan atau membuat hal-hal baru dalam urusan agama tanpa ada contohnya dalam syariat, hal ini semuanya pasti sesat, tertolak dan fitnah yang tercela.

Defenisi ini merupakan defenisi yang dapat diterima dan berdasarkan defenisi ini dapat dilakukan penilain terhadap peringatan maulid Nabi SAWW. Apakah peringatan ini sesuai dengan syariat atau tidak.

Definisi Bid’ah Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani

Bulan Rabiul Awwal identik dengan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pada bulan ini kaum muslimin bersukacita dan menyambutnya dengan merayakan peringatan Maulid Nabi Saw. Dalam perayaan tersebut, mereka membaca Alquran, menyebut pujian-pujian untuk Nabi Saw, bershalawat, dan bersyukur pada Allah Swt atas karunia dan nikmat yang agung lewat kelahiran Nabi yang termulia itu.

Namun, terdapat sebagian dari kaum muslimin yang menilai bahwa perayaan maulid Nabi Saw -atau yang biasa kita sebut dengan Maulidan- sebagai sesuatu hal yang negatif. Mereka menganggap bahwa perayaan peringatan tersebut sebagai sebuah bid’ah, dan yang melakukannya dianggap sesat.

Untuk membahas persoalan ini, hal pertama yang harus kita fahami ialah makna dari bid’ah itu sendiri secara komprehensif, dan setelah itu kita bisa menimbang apakah maulidan ini termasuk dari bid’ah dan sesat, atau maulidan ini memang bid’ah namun tidak sesat, hal ini biasa kita kenal sebagai bid’ah hasanah, atau maulidan ini sama sekali bukan bagian dari bid’ah.

Tulisan-tulisan sebelumnya telah kita paparkan berbagai definisi dari bid’ah. Dan kali ini penulis akan suguhkan lagi satu definisi bid’ah menurut ulama tersohor Ahlussunnah yaitu Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dalam kitabnya Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari, Ibnu Hajar menjelaskan maksud daripada bid’ah.

“…maksud dari bid’ah ialah membuat hal-hal baru yang tidak ada sumbernya di dalam Syariat, itulah bid’ah. Adapun jika hal tersebut memiliki sumber syariat, maka hal tersebut bukanlah bid’ah.”[4]

Setelah melihat definisi bid’ah menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, pertanyaannya apakah Maulidan masuk kedalam bid’ah menurut pandangan beliau? Yang berarti, Apakah Maulidan tidak ada sumbernya dalam Syariat? Atau sebaliknya?. Penjelasan mengenai hal tersebut insya Allah bisa kita kupas pada tulisan-tulisan dan seri-seri berikutnya.

Definisi Bid’ah menurut Ibn Taimiyah

Di dalam pembahasan awal dari seri ini, kita telah mengupas apa itu makna bid’ah, baik secara bahasa maupun istilah. Untuk mempertajam wawasan kita mengenai makna bid’ah, maka kami sengaja menyuguhkan sederet pandangan para ulama Islam terkait bid’ah.

Perlu penulis tegaskan kembali, bahwa pembahasan bid’ah ini adalah mukadimah untuk memasuki pembahasan boleh-tidaknya memperingati maulid nabi. Sebab, tak sedikit para ulama, seperti Ibn Taimiyah, Bin Baz dan lainnya yang mengklaim kalau perayaan maulid nabi adalah bid’ah.

Dengan mengetahui makna bid’ah, juga sederet pandangan ulama terkait bid’ah, sedikit-banyak akan memudahkan kita menyerap pembahasan puncak, yaitu tentang apakah boleh atau tidak memperingati maulid nabi menurut Islam.

Di dalam tulisan sebelumnya, setidaknya ada dua ulama kenamaan yang memberikan pandangannya terkait bid’ah. Kali ini, penulis hendak membawakan pandangan bid’ah dari ulama yang cukup dikenal di dunia Islam, lebih-lebih di kalangan penganut aliran Wahabi.

Iya, ia bernama Ibn Taimiyah. Di dalam kitabnya yang berjudul Majmu’ul Fatawa, ia memabahas soal bid’ah. Untuk memperjelas apa yang ia tuangankan di dalam kitabnya terkait bid’ah, penulis sertakan redaksinya di bawah ini.

و البدعة ما خالفت الکتاب و السنة أو إجماع سلف الأمة من الإعتقادات و العبادات .

“Bid’ah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kitab (al-Quran), sunnah atau ijma’ dari perihal akidah dan peribadatan (hukum fikih).”[5]

Dengan pemaparan ringkas di atas, semoga dapat memperkaya wawasan kita mengenai makna bid’ah. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Defenisi Bid’ah Menurut Muhammad Baqir Majlisi

Sebagai pengantar untuk pembahasan peringatan maulid Nabi SAWW Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan beberapa defenisi dan ulasan tentang bid’ah dari kalangan Ahlussunnah. Sebagai pembanding, Pada tulisan kali ini akan disebutkan defenisi bid’ah dari kalangan ulama Syiah.

Muhammad Baqir Majlisi di dalam kitabnya mendefenisikan bid’ah sebagai berikut:

Dan aku katakan: bid’ah dalam istilah syariat adalah sesuatu yang baru muncul setelah Rasulullah SAWW sementara tidak ada dalil khusus tentang hal itu dan tidak juga masuk ke dalam bagian dalil umum, atau ditemukan dalil secara khusus atau umum yang melarangnya. Oleh karena itu, apa yang masuk kedalam dalil umum seperti membangun sekolah dan seumpamanya di mana hal itu masuk ke dalam dalil umum untuk memberikan tempat, kediaman dan membantu kaum muslimin, seperti menulis sebagian buku ilmiah dan karya tulis yang memiliki sumbangsih terhadap pengetahuan syariat, pakaian yang tidak ada di zaman Rasul SAWW dan jenis-jenis makanan baru, sesungguhnya hal itu masuk ke dalam kategori dalil umum kehalalan yang tidak ditemukan dalil pelarangannya. Dan amalan yang dilakukan secara umum jika dilakukan dengan keyakinan dituntut untuk melakukannya dengan karakter khusus maka perbuatan itu bid’ah. Sebagaimana shalat yang merupakan hal terbaik dan amalan sunnah yang dapat dilakukan di berbagai waktu, tatkala ditetapkan oleh Umar bin Khattab dalam beberapa rakaat, dengan cara yang tertentu dan dalam waktu tertentu, maka hal itu menjadi bid’ah. Sama halnya jika seseorang menetapkan tujuh puluh tahlil pada waktu khusus sebagai tuntutan syariat, padahal tidak ada dalil yang menetapkan waktu khusus tersebut, maka ia termasuk bid’ah. Secara umum, membuat hal baru dalam syariat namun tidak memiliki dalil adalah bid’ah, baik amalannya sendiri yang bid’ah maupun karakter dan sifatnya. Dan apa yang disebutkan oleh mereka yang berbeda (dengan kita), bahwa bid’ah diklasifikasi kedalam lima bagian sebagaimana hukum yang lima untuk menjustifikasi perkataan Umar tentang Tarawih, adalah batil dan tidak benar. Karena bid’ah tidak deperuntukkan selain kepada yang haram sebagaimana disebutkan oleh Nabi SAWW: setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan jalannya menuju neraka. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab adalah bid’ah yang sesat, karena Nabi melarang shalat berjamah pada shalat sunnah. Oleh karena itu pembagian ini bagi meraka tidak bermanfaat.[6]

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa semua amalan baru dalam syariat yang tidak memiliki dalil syar’i; baik secara khusus maupun umum adalah bidah.

Oleh karena itu amalan-amalan yang memiliki dalil umum dan tidak ada larangan yang mencegahnya maka tidak dapat dikategorikan sebagai bidah. Seperti mendirikan sekolah membangun rumah untuk fakir miskin dan lain-lain.

hal baru yang tidak memiliki dalil umum maupun khusus tersebut, bisa berupa amalannya sendiri atau bentuk dan karakternya yang baru sekalipun dasar amalannya memiliki dalil.

Berangkat dari defenisi ini nantinya akan dikaji apakah peringatan maulid Nabi SAWW memiliki dalil khusus maupun umum atau tidak? Jika jawabannya positif maka bukan amalan bid’ah namun jika jawabannya negatif maka perayaan ini merupakan perbuatan bid’ah yang mesti dihindari.

Bid’ah Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

Dalam beberapa tulisan sebelumnya, kita sudah mulai menyelami makna bid’ah baik secara bahasa maupun dari segi istilah yang dipaparkan oleh beberapa ulama Islam terkemuka.

Makna bid’ah secara bahasa tentunya memiliki cakupan yang luas, meliputi semua hal yang dibuat atau diciptakan tanpa didahului contoh sebelumnya. Lain halnya apabila lafal tersebut telah diserap menjadi sebuah istilah baru, maka dalam hal ini pasti mengalami perubahan (muncul kekhususan yang sesuai dengan pemakaian istilah tersebut).

Pembahasan ini sebetulnya bertumpu pada bid’ah yang dilarang oleh baginda nabi Muhammad saw pada masa itu. Dimana beliau sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam itu sendiri melihat fenomena tersebut sebagai bentuk penyimpangan, sehingga dilarang. Dan tentunya hal tersebut juga adalah hal yang jelas maksudnya bagi masyarakat yang ada ketika itu.

Namun dengan berjalannya waktu dan terjadinya berbagai perkembangan yang ada disertai sampainya pelarangan tersebut dari generasi ke generasi yang jauh dari masa nabi menyebabkan hilangnya sebagian kejelasan dan hanya menyisakan istilah.

Bertolak dari itu para ulama dengan berbekal ilmu dan pemahamannya berusaha menggali kembali makna yang dulu dimaksudkan oleh nabi mengenai bid’ah. Oleh sebab itu kita mendapati saat ini terkadang mereka sepakat satu sama lainnya atau juga berbeda jauh.

Alhasil di antara para ulama Islam, adalah imam Al-Ghazali (450-505 H). Ia menyinggung persoalan bid’ah ini dalam kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin. Meskipun bukan dalam bab khusus terkait masalah bid’ah, namun hal ini merupakan sebuah premis mayor darinya dalam melihat fenomena tersebut.

Hal ini ia sebutkan dalam Kitab Adabul Akl (adab makan) yang berkaitan dengan persoalan tempat (alas) makan. Ia mencatat:

وما يقال : إنّه أُبدع بعد رسول الله ، فليس كل ما أبدع منهياً بل المنهي عنه بدعة تضاد سنّة ثابتة ، وترفع أمراً من الشرع مع بقاء علّته ، بل الإبداع قد يجب في بعض الأحوال إذا تغيّرت الأسباب

Dan apa yang disebutkan: bahwasannya hal itu dibuat (bid’ah) setelah (masa) Rasulullah saw, maka tidak semua dibuat (bid’ah) itu dilarang adapun yang dilarang adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunnah yang tetap dan yang menghapus sesuatu dari syariat sedangkan sebabnya masih ada. Bahkan membuat sesuatu yang baru (penemuan atau bid’ah secara bahasa) itu terkadang adalah wajib dalam beberapa kondisi apabila sebab-sebabnya berubah.[7]

Dari catatan di atas imam Al-Ghazali menggariskan bahwa tidak semua bid’ah atau hal baru itu dilarang, sedangkan yang dilarang itu hanyalah bid’ah atau hal baru yang bertolak belakang dengan sunnah yang tetap, dan juga yang mengangkat sebuah hukum dalam syariat sementara penyebab hukum tersebut masih ada.

Yang unik pada kalimat akhir ia juga menjelaskan bahwa Ibda’ yang bisa diartikan membuat sesuatu yang baru (penemuan atau bid’ah secara bahasa) itu terkadang bisa menjadi wajib dalam beberapa kondisi apabila syarat-syaratnya terpenuhi.

Oleh sebab itu berdasarkan paparan di atas, persoalan bid’ah yang terlarang ini bukanlah persoalan yang enteng sehingga dengan mudah bisa menyebut sesuatu atau menghukuminya dengan predikat tersebut. Namun harus didahului dengan pengenalan yang kuat terhadap sunnah serta dalil-dalil hukum yang berkaitan, baru setelah itu membandingkannya. Begitu pula dalam masalah maulid nabi yang insyaAllah dalam tulisan-tulisan yang akan datang akan dibahas lebih jauh.

Pembagian Bid’ah dalam Pandangan Imam Syafi’i

Pada tulisan-tulisan sebelumnya, sedikit banyaknya telah kita ketahui apa yang dimaksud dengan bid’ah. Beberapa pandangan ulama dari berbagai mazhab terkait pengertian bid’ah telah kami paparkan. Dengan berbagai macam pandangan tersebut kedepannya kita bisa uraikan apakah perayaan peringatan maulid Nabi Saw termasuk bid’ah atau tidak.

Pada tulisan kali ini, penulis ingin memaparkan lagi satu pandangan dari imam Mazhab Syafi’i yaitu Muhammad bin Idris As-Syafi’i terkait persoalan bid’ah. beliau berpandangan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab Hilyatul Auliya milik Abu Na’im Al-Isbahani.

“…Bercerita kepada kami Harmalah bin Yahya ia berkata: aku mendengar Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata: bid’ah ada dua macam, bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka bid’ah yang selaras dengan sunnah maka itu terpuji, dan yang bertentangan dengan sunnah maka itu tercela”.[8]

Dan di kitab Manaqib As–Syafi’i milik Al-Baihaqi, tercatat juga pandangan dari imam Syafi’i yang lebih luas terkait pembagian bid’ah menjadi dua bagian.

“…telah bercerita pada kami As-Syafi’i ia berkata: pembaruan-pembaruan itu termasuk dalam perkara-perkara yang terbagi menjadi dua:

Pertama, sesuatu hal baru yang bertentangan dengan Kitab (Alquran) atau Sunnah, atau Atsar, atau Ijma’, ini adalah bid’ah yang sesat.

Kedua, sesuatu hal baru yang termasuk dalam kebaikan yang di dalamnya tidak bertentangan terhadap salah satu dari yang ini, maka ini adalah pembaruan yang tidak tercela.” [9]

Itulah pandangan yang diutarakan oleh imam Syafi’i terkait bid’ah, pada bahasan selanjutnya kita bisa mengupas perihal maulid Nabi Saw bersandarkan pada pandangan tersebut. Jika kita sandarkan pada pandangan tersebut terkait mereka yang mengatakan bahwa maulid Nabi Saw adalah bid’ah, apakah bid’ahnya masuk pada bid’ah yang terpuji, yang berarti tidak bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah atau yang lainnya, ataukah masuk pada bid’ah yang tercela dan sesat?

Wallahu A’lam

Syekh Bin Baz dan Pelarangan Maulid Nabi Saw

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perayaan maulid nabi di kalangan Wahabi adalah suatu bid’ah, yang di mata mereka tidak tercatat di dalam syariat Islam. Kalau kita baca dan kaji pernyataan ulama mereka, maulid nabi tak ubahnya seperti perayaan atau pesta yang dilakukan umat Yahudi dan Kristiani.

Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, atau yang lebih masyhur disebut Syekh Bin Baz adalah salah satu tokoh besar Islam, lebih-lebih di kalangan Wahabi. Ia juga tokoh yang paling getol dalam membid’ahkan dan melarang perayaan maulid nabi Saw.

Tokoh yang pernah menjadi mufti kerajaan Arab Saudi itu, juga pernah menjabat sebagai rektor Universitas Islam Madinah, dan menduduki posisi penting di pemerintahan Saudi. Terlepas dari situ, ia juga menulis banyak buku dengan beragam tema. Salah satu buku yang ia tulis adalah Fatawa Nurun Ala Ad-Darb.

Di dalam buku itulah ia menulis tentang pelarangan maulid nabi. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini penulis hadirkan teks aslinya.

فإن الاحتفال بالمولد النبوی على صاحبه أفضل الصلاة والتسلیم أمر قد کثر فیه الکلام، وکتبنا فیه کتابات متعددة، ونشرت فی الصحف مرات کثیرة، ووزعت مرات کثیرة، وکتب فیه غیری من أهل العلم کشیخ الإسلام ابن تیمیة رحمه الله فی کتابه [اقتضاء الصراط المستقیم]، وبین أولئک العلماء أنه بدعة، وأن وجوده من بعض الناس لا یبرر کونه سنة، ولا یدل على جوازه ومشروعیته .

“Sesungguhnya perayaan maulid nabi telah sering diperbincangkan. Dan kita telah banyak menulisnya di dalam tulisan-tulisan yang beragam; diterbitkan di koran-koran, dan beberapa kali distribusikan. Seorang ulama, seperti Syekh Islam, Ibn Taimiyah telah menulis di dalam bukunya (terkait perayaan maulid nabi), yang berjudul Iqdha’u As-Shirathil Mustaqiim. Di antara ulama, perayaan maulid nabi adalah bentuk bid’ah. Melakukannya, menurut sebagian manusia tidak terdapat sebuah bukti di dalam sunnah. Dan tidak ada yang menunjukkan tentang kebolehannyaa dan ketetapannya di dalam syariat.”[10]

والصواب فی هذا المقام: أن الاحتفال بالموالد کله بدعة، بمولده علیه الصلاة والسلام وبمولد غیره .

“Dan perkataan yang benar di dalam hal ini adalah, bahwa perayaan sederet maulid (hari kelahiran), dan perayaan maulid nabi saw. dan lainnya, semuanya adalah bid’ah.”

المولد لم یرد فی الشرع ما یدل على الاحتفال به، لا مولد النبی صلى الله علیه وسلم ولا غیره، فالذی نعلم من الشرع المطهر وقرره المحققون من أهل العلم أن الاحتفالات بالموالد بدعة لا شک فی ذلک .

“Di dalam syariat Islam tidak terdapat perayaan maulid nabi dan yang lainnya. Maka kita mengetahui dari syariat dan muhaqqiq (peneliti), di mana mereka telah menetapkan bahwa perayaan-perayaan maulid nabi adalah bid’ah dan tiada keraguan dalam hal itu.”[11]

Setelah kita mengetahui pernyataan Seyekh Bin Baz di atas, berikutnya mari kita baca riwayat berikut yang datang dari lisan nabi Saw.

ثلاث من کن فیه وجد حلاوة الایمان ، ان یکون الله و رسوله احب الیه مما سواهما .

Diriwayatkan dari Annas bin Malik, bahwa ia menukil dari nabi sebagai berikut.

“Ada tiga perkara, sesiapa yang memiliki ketiganya, maka akan menemukan manisnya dalam beriman. Pertama, kecintaan dia kepada Allah dan rasul-Nya melebihi kecintaannya pada yang lain…..”[12]

Tak sedikit riwayat dan hadis yang memotivasi kita untuk mencintai dan menghormati Rasulullah dan keluarganya. Maka, berdasarkan riwayat di atas, kita bisa mengatakan bahwa perayaan maulid nabi yang dilakukan sebagian besar kaum Muslim tak lain karena kecintaan mereka kepada sosok nabi Saw. Tidak ada kaitannya dengan penentangan terhadap Syariat. Sebab, sekali lagi, perayaan mualid nabi yang selalu diperingati tiap tahunnya, itu semata-mata karena cinta dan kerinduan kita kepada sosok nabi Saw. yang agung. Wallahu a’lam bis Ash-sawab. []

Ibnu Taimiyah: Perayaan Maulid Nabi, Bid’ah Sebab Tak Pernah Dikerjakan Oleh Salaf

Pandangan para ulama mengenai definisi serta makna bid’ah tidaklah semuanya sama. Setiap dari mereka memiliki pondasi pemikirannya masing-masing, sehingga hal ini mempengaruhi pandangan mereka dalam menghukumi sesuatu.

Adalah maulid nabi, salah satu persoalan yang kerap menjadi bahan perbincangan dalam kasus ini. Acara peringatan ini dinilai oleh sebagian ulama sebagai sebuah bentukan bid’ah yang tentu kesimpulannya adalah tidak diperbolehkan untuk mengerjakan atau mengikutinya.

Diantara mereka yang menganggapnya sebagai sebuah bid’ah adalah Syekh Bin Baz yang telah kita bahas dalam postingan sebelumnya. Kali ini kita akan melihat pandangan ulama lainnya yaitu Ibnu Taimiyah (661 -728 H), seorang ulama yang dikenal sebagai Syaikhul Islam.

Dalam kitab Iqtidha’us Shirathal Mustaqim, ia menyinggung masalah ini setelah kritikannya terhadap beberapa hari bersejarah dalam Islam yang diperlakukan selayaknya hari raya (hari ied) oleh sebagian kaum muslimin. Dalam hal itu ia menegaskan bahwa hari raya (hari ied) adalah merupakan syariat yang ditentukan Allah swt, sehingga tidak dapat sembarangan menjadikan sebuah hari sebagai hari ied.

Dan begitulah yang dibuat oleh sebagian orang (muslimin), entah itu (demi) menyamai orang-orang nasrani dalam hal miladnya Isa as atau bentuk kecintaan terhadap nabi saw serta pengagungan untuknya. Semoga Allah mengganjar mereka atas kecintaan dan upayanya ini, namun bukan atas bid’ah menjadikan maulid nabi saw sebagai hari raya (hari ied), meskipun orang-orang berbeda pendapat dalam maulidnya. Maka sungguh hal ini belum pernah dikerjakan oleh Salaf (para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), meskipun terpenuhi sebabnya dan tidak ada larangan untuk itu seandainya itu adalah sebuah kebaikan. Dan apabila hal ini adalah murni sebuah kebaikan atau hal yang disarankan maka seharusnya Salaf ra lebih berhak atasnya ketimbang kita, sebab merekalah yang paling mencintai Rasulullah saw dan paling mengagungkannya ketimbang kita, dan mereka adalah orang-orang yang paling menghendaki kebaikan.[13]

Dari uraian di atas, hal utama yang dijadikan alasan bid’ahnya maulid nabi adalah karena hal itu tak memiliki akar syar’i yang mana seharusnya hal itu dicontohkan oleh sosok nabi sebagai perantara wahyu dan perwujudan syariat itu sendiri atau setidaknya dikerjakan oleh salaf. Sehingga maulid ini menjadi hal baru (bid’ah) dalam kaitannya “di dalam” agama Islam.

Sebetulnya hal yang perlu diperhatikan dan direnungkan secara mendasar dalam hal ini adalah bahwa apakah benar merayakan maulid itu berarti kita membuat sebuah syariat baru dalam agama ataukah tidak? Apakah dengan mengadakan sebuah perayaan artinya kita membuat hari itu sebagai hari ied secara syar’i? Apakah semua hal yang tidak ada contohnya pada nabi atau Salaf dapat dianggap sebagai bid’ah dan tidak diperbolehkan? Selanjutnya hal ini dapat kita teliti lebih jauh lagi dengan melihat isi dari perayaan maulid itu sendiri, dimana biasanya peringatan itu diisi dengan pembacaan Al-Quran, ceramah, pembacaan syair-syair keutamaan nabi, dll. apakah semua itu adalah hal yang baru sehingga termasuk bid’ah dan tidak diperbolehkan? InsyaAllah dalam pembahasan-pembahasan yang akan datang kita akan mendalami persoalan ini secara lebih luas lagi.

Hadits Shahih Muslim Sebagai Landasan Peringatan Maulid Nabi SAWW

Sebelumnya telah banyak disebutkan tentang defenisi bid’ah yang cecara umum dapat disimpulkan bahwa hal tersebut adalah membuat hal baru dalam syariat baik dengan cara penambahan maupun pengurangan akan tetapi tidak disertai dengan dalil baik yang bersifat umum maupun khusus.

Berangkat dari defenisi ini perlu dilihat apakan peringatan maulid Nabi termasuk dalam kategori bidah atau tidak. Dalam tulisan sebelumnya ada disebutkan bahwa sebagian dari kaum muslimin khususnya kelompok Wahabi meyakini amalan ini sebagai bagian dari bid’ah karena dianggap tidak memiliki dalil sebagai landasan untuk melakukannya.

Untuk menyanggah anggapan di atas akan diajukan satu dalil yang dapat membuktikan bahwa maulid Nabi SAWW memiliki dalil. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Muslim di dalam kitab haditsnya.

“… ia (Abu Qatadah al-Ansori) berkata: dan ia (Nabi SAWW) ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab: itu adalah hari di mana aku dilahirkan dan hari aku diutus –atau hari di turunkan (wahyu) atasku- padanya.[14]

Di dalam hadits ini disebutkan bahwa puasa sunnah hari senin dianjurkan karena hari itu adalah hari kelahiran dan hari diangkatnya beliau menjadi nabi.

Melakukan puasa tersebut tentu saja sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat ilahi atau sebagai ekspresi rasa senang dan bahagia yang dilakukan oleh Rasul SAWW atas kelahiran dan diangkatnya beliau sebagai nabi.

Hal serupa yang dialami kaum muslimin ketika merayakan maulid Nabi SAWW; dimana peringatan yang mereka lakukan merupakan bentuk rasa syukur dan ekspresi bahagia atas kelahiran manusia maha agung tersebut.

Atas dasar ini merayakan maulid Nabi SAWW tidak dapat dimasukkan kedalam kategori amalan bid’ah karena memiliki landasan yang jelas.

Peringatan Maulid Nabi Saw Sebagai Pengingat atas Nikmat Allah Swt

Sebelumnya telah banyak kita paparkan terkait definisi bid’ah dalam pandangan ulama-ulama Islam. begitu juga pembagiannya menurut pandangan Imam Syafi’i. pada seri sebelumnya telah dijelaskan bahwa secara umum sesuatu dikatakan bid’ah jika hal itu tidak memiliki dalil baik yang bersifat umum ataupun khusus, atau sesuatu itu dikatakan bid’ah jika tidak memiliki sumber syariat seperti yang diutarakan oleh Ibnu Hajar Asqalani.

Berdasarkan penjelasan tersebut, pada tulisan kali ini kita akan mengupas apakah peringatan maulid Nabi Saw masuk dalam kategori bid’ah atau tidak.

Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam website resminya ketika ditanya tentang peringatan perayaan maulid Nabi Saw beliau menjawab bahwa “Kita mengingkari peringatan dan perayaan yang bercampur dengan kemungkaran-kemungkaran atau bertentangan dengan Syariat..tetapi jika kita menggunakan kesempatan ini untuk mengingat sirah Rasulullah Saw, dan kepribadiannya yang agung, serta risalahnya yang universal dan abadi, sehingga Allah menjadikannya sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, maka dimana letak bid’ah dan sesatnya?”

Lebih jauhnya kita katakan bahwa mengingat nikmat yang agung dan nikmat-nikmat dari Allah Swt adalah sesuatu yang disyariatkan, dituntut, dan terpuji. Sebagaimana sering kita melihat dalam Al-Quran Allah Swt berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ ..

“Wahai Orang-orang yang beriman ingatlah! Akan nikmat Allah (yang telah dikaruniakan) kepadamu..”

Tak bisa kita pungkiri bahwa lahirnya Rasulullah Saw di muka bumi ini merupakan nikmat yang Agung, hadirnya beliau Saw di tengah-tengah umat manusia merupakan karunia yang sangat besar, seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat Ali Imran ayat 164:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Atas dasar ini, kita bisa katakan bahwa memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw sebagai bentuk mengingat akan karunia besar yang telah Allah Swt berikan pada umat manusia ada dalam Syariat dan tidak bertentangan dengan Al-Quran. Seperti yang kita ketahui dalam peringatan Maulid Nabi Saw kita melihat di dalamnya orang-orang mengagungkan dan memuji Allah Swt, mengingat sejarah perjalanan Rasululullah Saw, ada shalawat dan juga doa, semuanya merupakan bentuk kesyukuran dan peringatan atas karunia besar yang telah Allah Swt berikan kepada umat manusia.

Dengan demikian, kita telah buktikan bahwa memperingati Maulid Nabi Saw ada dalam sumber Syariat yaitu Al-Quran, maka, berdasarkan definisi bid’ah yang telah kita paparkan sebelumnya, peringatan Maulid Nabi Saw bukanlah bid’ah karena memiliki sumber Syariat. Dan kalaupun mereka tetap mengatakan Maulid Nabi sebagai bid’ah, jika kita sandarkan pada pembagian bid’ah dalam pandangan imam Syafi’i, kita bisa mengkategorikan peringatan maulid Nabi Saw sebagai bid’ah yang terpuji karena peringatan tersebut tidak bertentangan dengan Al-Quran.

Wallahu A’lam

Fatwa Ulama Wahabi tentang Merayakan Maulid Nabi Saw

Di dalam pembahasan sebelumnya, kita telah mengulas deretan pandangan ulama Wahabi tentang pem-bid’ah-an maulid nabi. Kali ini, masih terkait tema yang sama, penulis mencoba melengkapi pandangan meraka yang melarang maulid nabi tersebut.

Ia adalah Muhammad bin Ibrahim Aali Syekh, salah satu ulama besar di kalangan Wahabi. Di dalam salah satu kitabnya yang berjudul Fatawa wa Rasail, ia menjawab sebuah pertanyaan tentang perayaan maulid Nabi Saw. Di dalam jawabannya, ia memfatwakan bahwa maulid adalah bi’dah.

Untuk lebih

سؤالک عن حکم الاحتفال بمولد النبی صلى الله علیه وسلم، وهل فعله أحد من أصحابه أو التابعین وغیرهم من السلف الصالح؟

الجواب: لاشک أن الإحتفال بمولد النبی صلى الله علیه وسلم من البدع المحدثة فی الدین، بعد أن انتشر الجهل فی العالم الإسلامی وصار للتضلیل والإضلال والوهم والإیهام مجال، عمیت فیه البصائر وقوی فیه سلطان التقلید الأعمى، وأصبح الناس فی الغالب لا یرجعون إلى ما قام الدلیل على مشروعیته، وإنما یرجعون إلى ما قاله فلان وارتضاه علان، فلم یکن لهذه البدعة المنکرة أثر یذکر لدى أصحاب رسول الله ولا لدى التابعین وتابعیهم …

فتاوى ورسائل سماحة الشیخ محمد بن إبراهیم بن عبد اللطیف آل الشیخ،ج3،ص54 ط مطبعة الحکومة

“Pertanyaan Anda tentang merayakan maulid nabi saw, dan apakah hal itu pernah dilakukan oleh salah satu dari para sahabat atau tabi’in dan selain mereka dari salaf as-salih?”

Jawab: “Tidak diragukan lagi, bahwa perayaan maulid nabi merupakan bid’ah yang baru di dalam sebuah agama, kemudian tersebarlah kebodohan di dalam dunia Islam, dan kemungkinan untuk menyesatkan dan membuat orang ragu itu telah tersedia; pandangan menjadi buta, dan taklid buta akan semakin menguat. Kebanyakan orang tidak merujuk (memastikan) bahwa maulid nabi ini dibangun di dalam syariat. Jika mereka memastikan siapa yang berkata tentang maulid dan merelakan keberadaannya, maka, dengan begitu, bid’ah yang munkar di anatara para sahabat nabi, tabiin dan pengkut tabiin tidak akan ada dampaknya.”

Fatawa wa Rasail, Muhammad bin Ibrahim Aali Syekh, jil. 3, hal. 54, penerbit: Mathba’ah al-Hukumah-Makkah al-Mukarramah.

Di atas adalah sebuah fakta tentang ulama Wahabi yang menfatwakan pelarangan maulid nabi. Di dalam tulisan sebelumnya, sedikit-banyak kami sudah menjawab pernyataan ulama Wahabi yang melarang perayaan maulid nabi tersebut. Insya Allah, di dalam tulisan berikutnya, kami akan menghadirkan jawaban berupa pernyataan dari para ulama yang lain.

Al-Qasthalani: Malam Maulid Nabi Lebih Utama dari Malam Al-Qadr

Memperingati maulid Nabi Muhammad Saw tak lepas dari kontroversi di kalangan kaum muslimin. isu-isu mengenai pembid’ahannya telah mencuat dari dulu hingga hari ini. Ulama-ulama Islam berbeda pandangan mengenai perayaan ini. Ulama-ulama Wahabi menganggap peringatan ini sebagai sebuah bid’ah dan sesat. Sedangkan selainnya ada yang menganggap sebagai bid’ah yang hasanah, ada pula yang berpandangan bahwa peringatan Maulid Nabi Saw bukanlah bid’ah sama sekali.

Pandangan-pandangan yang berbeda tersebut berangkat dari pada dalil-dalilnya masing-masing. Dan sebagian besarnya kurang lebih telah kami jelaskan pada seri-seri sebelumnya.

Pada seri kali ini, penulis ingin menyampaikan satu pandangan yang menarik dari ulama kenamaan Al-Qasthalani perihal malam maulid atau kelahiran Nabi Muhammad Saw. Dalam kitabnya Al-Mawahib Al-Laduniyyah, ketika beliau ditanya tentang mana yang lebih utama antara malam Al-Qadr dan malam kelahiran Nabi, beliau berpendapat bahwa malam maulid Nabi lebih utama/mulia daripada malam Al-Qadr.

“Jika engkau berkata: jika kami mengatakan bahwa Nabi Saw dilahirkan di malam hari, maka mana yang lebih utama: malam Al-Qadr atau malam kelahirannya Saw?

Aku menjawab: bahwasannya malam kelahirannya lebih utama daripada malam Al-Qadr dalam 3 hal:

Pertama: malam maulid merupakan malam kehadirannya Saw, dan malam Al-Qadr diberikan kepadanya. Dan yang dimuliakan dikarenakan kehadirannya, itu lebih mulia daripada apa yang diberikan kepadanya, dan disini tidak ada perselisihan. Dengan pertimbangan ini maka malam maulid lebih utama.

Kedua: Malam Al-Qadr dimuliakan karena pada malam itu diturunkan para malaikat, dan malam maulid dimuliakan karena pada malam itu Nabi Saw hadir/lahir. Dan sesiapa yang dimuliakan dengan kehadirannya di malam maulid itu lebih utama dibanding yang dimuliakan dengan turunnya malaikat di malam Al-Qadr.

Ketiga: kemuliaan malam Al-Qadr jatuh pada umat Muhammad Saw, dan kemuliaan malam maulid Nabi jatuh pada seluruh makhluk. Dan dialah Saw yang Allah Azza wa Jalla utus sebagai rahmat untuk seluruh alam. Maka berkah dan nikmatnya diberikan kepada seluruh makhluk, dan malam maulid bermanfaat secara universal, maka malam maulid lebih utama.”[15]

Dengan melihat keutamaan pada malam kelahiran Nabi Saw yang lebih utama dari malam Al-Qadr, seperti yang dijabarkan oleh Al-Qasthalani, tak heran banyak kaum muslimin yang memperingatinya sebagai rasa syukur atas lahirnya sang Nabi terakhir yang merupakan nikmat agung untuk seluruh makhluk. Sebagaimana malam Al-Qadr yang selalu diisi dengan membaca Al-Quran, doa, dan lain sebagainya, begitupun pada malam kelahiran Nabi -yang lebih utama dibanding malam Al-Qadr- sering diisi dengan membaca Al-Quran, shalawat, doa dan lain-lain.

Wallahu A’lam

Syekh Ali Jum’ah: Perayaan Maulid Nabi Salah Satu Amalan Terbaik

Maulid atau hari kelahiran nabi Muhammad saw merupakan hari yang menggembirakan bagi seluruh kaum muslimin terlepas dari pandangan mereka terkait bid’ah atau tidaknya melakukan perayaan dengan kegembiraan tersebut. Sebab sosok agung beliau saw merupakan pembawa hidayah yang memiliki pengaruh dan peran besar dalam keislaman setiap muslim di mana pun ia berada.

Pada tulisan-tulisan yang lalu kita telah banyak melihat kritikan sebagian ulama terkait perayaan maulid nabi saw, dan bagaimana mereka menilai hal tersebut sebagai sebuah bid’ah yang tak boleh dikerjakan. Namun di sisi yang lain atau mungkin bisa dibilang kebanyakannya, para ulama membolehkan perayaan maulid ini, dengan alasan bahwa hal tersebut memiliki akar dalam sumber-sumber syariat, seperti yang telah diulas dalam tulisan berikut ini.

Kali ini kita akan mengulas pernyataan Syekh Ali Jum’ah, seorang ulama besar serta mufti dari Mesir, yang menjelaskan bahwa maulid nabi adalah satu bentuk amalan yang paling utama. Tentunya ia juga menyertakan alasan serta pandangan para ulama lainnya dalam melihat kasus ini.

Dalam kitab fatwanya Al-Bayan, ia mencatat:

Perayaan memperingati hari kelahirannya (nabi Muhammad saw), adalah (salah satu) dari amalan yang paling utama dan kedekatan (pada Allah) yang paling agung; sebab hal ini adalah ekspresi dari kegembiraan dan kecintaan terhadapnya, dan cinta pada nabi merupakan satu asas dari asas-asas keimanan.[16]

Pernyataannya di atas, secara jelas mengakui perayaan maulid nabi sebagai salah satu dari amalan yang utama. Adapun alasan yang ia ketengahkan untuk pernyataannya tersebut adalah disebabkan perayaan itu adalah simbol dan tanda dari kecintaan orang-orang terhadap nabi, kemudian cinta pada nabi adalah bagian dari asas keimanan sebagaimana hal ini dapat ditemukan dalam beberapa riwayat dalam Shahih Bukhari, dimana nabi saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, tidak beriman seseorang sampai aku menjadi yang lebih dicintainya ketimbang orang tua dan anaknya.”[17] Atau riwayat serupa lainnya bahkan ayat yang dapat kita lihat pada halaman berikutnya.

Selanjutnya ia membeberkan ke-syar’ian perayaan maulid ini dengan mula-mula menggambarkan kedudukan agung nabi Muhammad saw di sisi Allah, sedemikian rupa sehingga wujud agung beliau ini mempengaruhi semua makhluk, sebab ialah makhluk terbaik. Setelah itu menukil beberapa pandangan ulama lainnya yang memiliki kesamaan dalam menilai bukan hanya boleh bahkan sampai pada derajat Mustahab-nya (sunnah/dianjurkan) perayaan ini.

Merayakan hari kelahirannya adalah penghormatan terhadapnya, dan penghormatan terhadapnya adalah hal yang sudah pasti ke-syar’iannya, karena asas pondasi serta pilar utamanya ialah sesungguhnya Allah swt telah mengetahui kadar nabi-Nya, maka Ia memperkenalkan wujud secara keseluruhan dengan namanya, dengan pengutusannya, dengan maqamnya serta dengan kedudukannya. Oleh sebab itu alam semesta ini seluruhnya dalam suka cita yang senantiasa dan kegembiraan mutlak atas cahaya Allah, kelapangan-Nya, nikmat-Nya atas seluruh alam serta Hujjah-Nya.

Dan sungguh Salaf (para pendahu) kita yang saleh dari abad ke-4 dan ke-5 telah berjalan bersama perayaan maulid Rasul yang agung -Shalawat Allah serta salam-Nya atas beliau- dengan menghidupkan malam kelahirannya melalui beragam amalan kedekatan (pada Allah) dari mulai pemberian makanan, pembacaan ayat Al-Quran, dzikir, serta pembacaan syair-syair dan pujian-pujian (terhadap apa yang ada) dalam diri Rasulullah saw, sebagaimana hal itu disebutkan oleh beberapa sejarawan seperti para Hafidz: Ibnul Jauzi, Ibnu Katsir, Al-Hafidz Ibnu Dihya Al-Andalusi, Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Hafidz Jaluddin As-Suyuthi ra.

Dan sejumlah ulama dan Fuqaha (para ahli fikih) telah menulis (kitab) mengenai ke-Istihbab-an (kesunnahan) perayaan maulid nabi yang mulia. Mereka menjelaskan ke-Istihbab-an amal tersebut dengan dalil-dalil yang sahih, sehingga tidak ada lagi tempat bagi sesiapa yang memiliki akal, paham serta pemikiran yang sehat untuk menolak apa yang telah dikerjakan oleh Salaf kita yang saleh dengan perayaannya memperingati maulid nabi yang mulia. Dan Ibnul Haj dalam (kitab) Al-Madkhal telah panjang lebar menyebutkan keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini (maulid nabi), di sana ia menyebutkan pernyataan penting yang dapat melapangkan dada kaum mukminin. Perlu diketahui bahwa Ibnul Hajj menyusun kitabnya Al-Madkhal untuk mengkritik bid’ah-bid’ah baru yang tidak bersandar pada dalil Syar’i.[18]

Setelah itu, ia juga mencatat mungkinnya berargumentasi untuk maulid dengan menggunakan kaidah Al-Umum, yakni adanya lafal yang memiliki makna yang umum (meliputi beberapa makna khusus), yang mana apabila lafal umum ini menjadi objek dari sebuah hukum maka hukum tersebut akan berlaku pada setiap maknanya selama tidak ada pengkhususan. Bisa dilihat dalam penjelasan berikut ini:

Seperti halnya memungkinkan ber-istidlal dengan umum (kaidah Al-Umum) pada firman-Nya: وَذَكِّرْهُمْ بِاَيّٰىمِ اللّٰهِ (“Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.”)[19] , maka tidak ada keraguan bahwasannya maulid nabi saw, adalah (salah satu) dari hari Allah. Sehingga perayaan dengan hari tersebut tidak lain adalah sebagai praktik bagi perintah Allah, dan jika demikian maka bukanlah bid’ah melainkan sunnah hasanah, meskipun hal tersebut tidak ada pada masa Rasulullah saw.

Dan kita merayakan maulidnya dikarenakan kita mencintainya, dan bagaimana kita tidak mencintainya sementara seluruh alam semesta mencintainya.[20]

Dan dari semua yang telah disebutkan dari pernyataan para imam seperti Ibnu Hajar, Ibnul Jauzi, As-Suyuthi serta yang lainnya, dan telah jelas bahwa ini adalah keadaan dari umat dari abad ke-5 Hijriah, kita melihat ke-istihbab-an (kesunnahan) perayaan maulid adalah kesesuaian bagi umat dan ulama. Perayaan yang telah disebutkan tadi itu berupa pembacaan Al-Quran, pemberian makanan, dan tidak mengarah pada hal-hal sifatnya tercela seperti tarian, (tabuh) gendang dan semisalnya. Dan tidak ada perhatian (anggapan) terhadap orang-orang yang menolak Ijma amali dari umat dan perkataan para imam ini. Dan perayaan ini bukanlah hal yang banyak bagi nabi rahmat dan hidayah serta kekasih Tuhan semesta alam.[21]

Dari penjelasan di atas, di akhir pembahasannya ia sedikit menyinggung bahwa perayaan tersebut haruslah dengan hal-hal yang memang mengandung nilai yang baik seperti tilawah Al-Quran, memberikan makanan dan sebagainya, bukan dengan hal-hal yang buruk atau tercela.

Alhasil kesimpulan yang dapat diambil dari semua penjelasan diatas adalah bahwa memperingati maulid nabi itu bukanlah sebuah bid’ah yang tidak boleh dikerjakan, namun memiliki akar syariat yang jelas, bahkan seperti yang tadi disebutkan, dipandang mustahab atau sunnah. Namun tentunya perayaan ini pun hanya boleh dirayakan dengan hal-hal yang diperbolehkan dalam syariat dan menjaga kehormatannya sebagai hari wiladahnya Nabi.

Ibn Hajar: Peringatan Maulid Nabi SAWW Memiliki Dasar yang Kuat

Pada tulisan sebelumnya telah disebutkan bahwa peringatan maulid memiliki dasar serta landasan yang jelas, sehingga tidak dapat digolongkan kedalam amalan bid’ah.

Pada tulisan kali ini akan diajukan dalil lainnya yang dapat menopang dalil sebelumnya. Dalil yang akan dimuat kali ini adalah apa yang disebutkan oleh Ibn Hajar sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Hawi Li al-Fatawa:

“Sungguh telah ditanya Syaikhul Islam, hafiz zaman ini, Abu al-Fadhl Ahmad bin Hajar tentang peringatan maulid, lalu beliau menjawab yang muatannya sebagai berikut: dasar amalan maulid adalah bid’ah karena tidak pernah diberitakan oleh seorangpun dari kalangan salaf yang shaleh pada tiga abad pertama. Sekalipun demikian peringatan tersebut bisa saja mengandung kebaikan dan keburukan. Barang siapa yang bisa melaksanakan kebaikan padanya dan menjauhi amalan buruknya, ia akan menjadi bid’ah Hasanah. Jika tidak demikian maka tidak (menjadi bid’ah hasanah). Ia berkata: sungguh telah nyata bagiku pengeluaran hukumnya atas dasar dalil yang kokoh; iaitu apa yang terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim, di mana Nabi Muhammad SAWW tiba di Madinah dan mendapati kaum Yahudi melakukan puasa pada hari Asyura lalu ia bertanya kepada mereka. Mereka menjwab: hari ini adalah hari di mana Allah SWT menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa AS, maka kami puasa padanya sebagai rasa syukur kepada Allah. Dapat disimpulkan darinya (kisah di atas) perbuatan syukur kepada Allah SWT atas pemberian keamananNya pada hari tertentu baik berupa pemberian nikamat maupun pencegahan bencana. Dan hal itu diulang pada hari yang sama setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan berbagai bentuk ibadah seperti: sujud, puasa, sedekah dan membaca al-Quran. Nikmat apa yang lebih besar dari kelahiran Nabi pembawa rahmat pada hari tersebut? Atas dasar ini setiap orang harus menjaga dengan tepat hari ini, sehingga sesuai dengan kisah Musa AS pada hari Asyura. Barang siapa yang tidak memperhatikan hal itu, berarti ia tidak mengindahkan peringatan maulid pada hari yang tepat di bulan tersebut, bahkan ada kalangan yang melonggarkanya, sehingga mereka memindahkan harinya. Dan hal itu bermasalah. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan dasar peringatannya.

Adapun yang berkaitan dengan amalan yang dilakukan padanya, selayaknya untuk fokus pada hal-hal yang merupakan bagian dari ekspresi rasa syukur kepda Allah SWT. Seperti yang telah disebutkan, baik berupa bacaan al-Quran, pemberian makan, sedekah, melantunkan puji-pujian kenabian maupun kezuhudan yang menggerakkan hati untuk melakukan perbuatan baik dan amal akhirat. Adapun yang menyertainya seperti pertunjukan dan permainan dan lain-lain, perlu disampaikan bahwa, hal-hal mubah (dibolehkan) yang layak dengan hari itu tidak ada masalah. Dan hal-hal yang haram, makruh dan khilaf al-aula (menyalahi yang yang lebih baik), adalah terlarang.[22]

Dari pernyataan Ibn Hajar di atas dapat dipahami bahwa, walaupun pada awalnya ia menyatakan bahwa peringatan maulid adalah amalan bid’ah karena tidak ada pernyataan salafussaleh tentang hal itu, namun pada pernyataan berikutnya beliau mengatakan bahwa amalan tersebut memiliki dalil istinbat yang kokoh. Dengan begitu, peringatan maulid tidak lagi dapat digolongkan sebagai amalan bid’ah.

Dalil tersebut berupa riwayat yang diabadikan oleh Bukhari dan Muslim tentang puasa Asyura yang dilakukan oleh kaum Yahudi karena rasa syukur atas tenggelamnya Firaun dan diselamatkannya nabi Musa AS. Dengan alasan yang sama, nabi Muhammad juga memerintahkan ummatnya untuk melakukan puasa pada hari tersebut karena beliau menganggap lebih pantas melakukan hal itu dari kaum Yahudi.

Berangkat dari hadits di atas Ibn Hajar menyimpulkan bahwa peringatan maulid yang juga didasari atas rasa syukur kepada Allah SWT, merupakan hal yang dianjurkan karena nikmat kelahiran Nabi SAWW lebih besar dan agung dari nikmat selamatnya kaum Yahudi dari cengkraman Firaun.

Pun demikian, Ibn Hajar juga memberikan peringatan agar peringatan tersebut tidak dinodai dengan hal-hal yang dilarang oleh agama. dan hanya melakukan amalan-amalan yang sejalan dengan ekspresi rasa sykur kepada Allah SWT.

As-Suyuthi: Perayaan Maulid Nabi Saw adalah Bid’ah Hasanah

Pada pembahasan sebelumnya sedikit banyaknya telah diutarakan pandangan-pandangan para ulama terkait perayaan maulid Nabi Saw. Diantara mereka ada yang berpandangan bahwa perayaan maulid Nabi Saw adalah bid’ah nan sesat, dan sebagian lagi ada yang berpandangan bahwa hal itu bukan bid’ah, atau ada yang berpandangan hal itu tergolong pada bid’ah yang hasanah.

Pada seri kali ini, kami akan ajukan satu lagi pandangan dari ulama kenamaan yaitu Jalaluddin Abdurrrahman bin Abi Bakr As-Suyuthi perihal perayaan maulid Nabi Saw.

Dalam kitabnya Al-Hawi lil Fatawi, ketika ditanya tentang amalan maulid Nabi Saw, beliau menjawab bahwa hal itu termasuk bid’ah hasanah dan yang mengerjakannya akan mendapat pahala.

“Terdapat pertanyaan tentang amalan maulid Nabi di bulan Rabiul Awwal, apa hukumnya menurut Syariat? Apakah itu sesuatu yang terpuji atau tercela? Dan apakah yang melakukannya mendapat pahala atau tidak?

Jawab: Menurutku bahwa asal maulid dimana itu adalah acara perkumpulan orang-orang, dan membaca Alquran, membaca riwayat-riwayat tentang awal sejarah Nabi Saw dan tanda-tanda kelahiran beliau, kemudian disajikan hidangan lalu makan-makan dan bubar tanpa ada tambahan lain, maka itu termasuk dari bid’ah-bid’ah hasanah, yang akan diberikan pahala bagi yang melakukannya, karena di dalamnya terdapat mengagungkan kedudukan Nabi Saw dan menampakkan kegembiraan juga sukacita atas kelahirannya yang mulia.”[23]

Pernyataan dari As-Suyuthi menegaskan bahwa meskipun amalan maulid Nabi Saw dikatakan sebagai bid’ah, namun beliau menggolongkannya kepada bid’ah yang hasanah -yang dalam pandangan Imam Syafi’i hal tersebut tidak bertentangan dengan Syariat- dan yang mengerjakannya akan mendapat pahala, dengan dasar bahwa dalam acara tersebut disebutkan keagungan kedudukan Nabi Saw dan orang-orang menampakkan kegembiraan serta suka cita atas kelahiran sang Nabi terakhir yang merupakan Rahmat untuk seluruh alam.

Daftar Isi:

Maulid Nabi Muhammad Saw 1

Apa Itu Makna Bidah? 2

Apa Itu Makna Bid’ah? (2) 4

Defenisi Bid’ah Menurut Pandangan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki 8

Definisi Bid’ah Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani 11

Definisi Bid’ah menurut Ibn Taimiyah 13

Defenisi Bid’ah Menurut Muhammad Baqir Majlisi 15

Bid’ah Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali 18

Pembagian Bid’ah dalam Pandangan Imam Syafi’i 21

Syekh Bin Baz dan Pelarangan Maulid Nabi Saw 23

Ibnu Taimiyah: Perayaan Maulid Nabi, Bid’ah Sebab Tak Pernah Dikerjakan Oleh Salaf 26

Hadits Shahih Muslim Sebagai Landasan Peringatan Maulid Nabi SAWW 29

Peringatan Maulid Nabi Saw Sebagai Pengingat atas Nikmat Allah Swt 31

Fatwa Ulama Wahabi tentang Merayakan Maulid Nabi Saw 34

Al-Qasthalani: Malam Maulid Nabi Lebih Utama dari Malam Al-Qadr 36

Syekh Ali Jum’ah: Perayaan Maulid Nabi Salah Satu Amalan Terbaik 39

Dalam kitab fatwanya Al-Bayan, ia mencatat: 39

Ibn Hajar: Peringatan Maulid Nabi SAWW Memiliki Dasar yang Kuat 44

As-Suyuthi: Perayaan Maulid Nabi Saw adalah Bid’ah Hasanah 47


[1] Kitabul Ain, jil: 1, hal: 121-122, cet: Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[2] Mu’jam Maqayisul Lughah, hal: 101, cet: Daru Ihyait Turatsil Arabi, Beirut.

[3] Alawi al-Maliki, Muhammad bin Alawi, Mafahim Yajib An Tushahhah, hal: 109, cet: Dar al-Qutub al-Ilmiah, Beirut, ke dua, 2009.

[4] Fathul Bari bi Syarhi Shahih Al-Bukhari Juz 13 Hal. 253 Cet. Al-Maktabah As-Salafiyah

[5] Majmu’ul Fatawa, Ibn Taimiyah, jil. 18. Hal. 346.

[6] Majlisi, Muhammad Baqir, Mirat –al-Uqul Fi Syarh Akhbar Ali al-Rasul, jil: 11, hal 78, cet: Dar al-kutub al-Islamiah.

[7] Ihya Ulumuddin, hal: 434, cet: Dar Ibnu Hazm.

[8] Hilyatul Auliya wa Thabaqot Al-Asfiya Juz 9 Hal. 113 Cet. Darul Kitab Al-Arabi

[9] Manaqib As-Syafi’i Hal. 469 Cet. Makatabah Darut At-Turast – Kairo

[10] Fatawa Nurun Ala Ad-Darb, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, juz 1, hal. 250-251.

[11] Fatawa Nurun Ala Ad-Darb, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, juz 1, hal. 254.

[12] Musnad Al-Imam Ahmad Hanbal, jil. 19, hal 61, penerbit Muatsatsah Ar-Risalah.

[13] Iqtidha’us Shirathal Mustaqim, jil: 2, hal: 619, cet: Maktabatur Rusyd, Riyadh.

[14] Muslim al-Naisaburi, Abul Husain Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, hal: 477, cet: Dar al-Salam, Riyadh, 2000 M.

[15] Al-Mawahib Al-Laduniyyah bil Minahil Muhammadiyyah Juz 1 Hal. 88 Cet. Al-Maktabah At-Taufiqiyyah

[16] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 169.

[17] Shahih Bukhari, jil: 1, hal 14. Shahih Muslim, jil: 1, hal:76.

[18] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 170-171.

[19] Ibrahim: 5.

[20] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 173.

[21] Al-Bayan Li Ma Yusyghilul Adzhan, hal: 174.

[22] Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Hawi li al-Fatawa, jil:1, hal: 196, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1982 M.

[23] Al-Hawi lil Fatawi Juz 1 Hal. 189 Cet. Darul Jail – Beirut