Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw

Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw pengarang:
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Sejarah & Biografi

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 22 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1954 / Download: 1675
Ukuran Ukuran Ukuran
Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw

Kelahiran-Kemuliaan Rasulullah Saw

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Kelahiran-Kemulian Nabi Muhammad Saw

Kelahiran Nabi Muhamad saw

Syekh Husnain Muhammad Makhluf: Merayakan Maulid Tidak Masalah dan Bid’ah Hasanah

Kelahiran nabi Muhammad saw merupakan momen yang menggembirakan bagi semua orang yang mendambakan nilai-nilai keadilan serta ajaran kebenaran. Sebab wujud beliau saw dimulai dari sejak dini hingga akhir hayatnya merupakan sosok yang berjuang demi nilai-nilai itu serta mengajarkannya pada masyarakat.

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa apa yang sampai pada kita saat ini pun merupakan buah dari usaha beliau saw selama hidupnya. Sehingga dengan hal tersebut kita dapat mengenal kebenaran kemudian mengerjakannya dan keburukan kemudian meninggalkannya.

Oleh sebab itu meskipun terpaut jarak waktu yang sangat jauh dengan kita, namun pada kenyataannya wujud beliau memiliki sebuah peran yang sangat besar dalam kehidupan kita. Sehingga bagi kita yang seorang muslim khususnya, sosok beliau adalah sebuah nikmat besar yang telah diberikan Allah swt pada kita.

Bertolak dari pandangan yang melihat beliau sebagai sebuah nikmat besar ini, maka sudah sepantasnya secara logis bahwa hal tersebut disyukuri. Tentunya ekspresi syukur dalam hal ini memiliki bentuk yang beragam, dan salah satunya adalah dengan perayaan maulid yang sering kita temukan, yakni bergembira dengan mensyukuri lahirnya wujud sang pembawa hidayah.

Dalam kasus ini banyak ulama yang melihat perayaan maulid itu sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah swt dan ekspresi kecintaan atas sosok agung nabi Muhammad saw. Sehingga apabila dilihat dengan sudut pandang ini, maka perayaan maulid ini adalah hal yang baik. Seperti halnya yang sudah kami ulas dalam beberapa tulisan sebelumnya.

Hal ini juga dinyatakan oleh seorang ulama dari mesir, Syekh Husnain Muhammad Makhluf (1890-1990). Ia merupakan seorang ahli di bidang fikih dan pernah menjabat menjadi seorang mufti besar pada tahun 1945-1950 dan 1952-1954. Dalam kitab fatwanya yang dinukil dalam kitab Ad-Durrul Maknun, ia menyebutkan:

Sesungguhnya menghidupkan malam maulid dan malam-malam dari bulan yang mulia ini -yang mana telah terbit darinya cahaya Muhammadi-, hanyalah dengan berdzikir dan bersyukur pada Allah atas apa yang telah Ia karuniakan pada umat ini dari munculnya makhluk terbaik ke alam wujud yang mana ia bukanlah sesuatu melainkan berada dalam adab, khusyu dan jauh dari hal-hal haram, bid’ah ataupun yang dilarang. Dan diantara perwujudan syukur adalah memberi makanan yang disukainya kepada orang fakir dan yatim serta membantu orang-orang yang memiliki hajat dengan meringankan beban mereka juga menyambung silaturahmi. Dan menghidupkan (maulid) dengan cara seperti ini meskipun tidak ada pada masa beliau saw dan juga pada masa para salaf saleh, merupakan hal yang tidak bermasalah serta bid’ah hasanah.[1]

Dari penjelasannya di atas bisa kita simpulkan bahwa perayaan maulid selama itu dilakukan dengan hal-hal yang sesuai dengan ketentuan syariat, meskipun hal ini tidak pernah ada pada masa nabi maupun salaf maka hal tersebut tidak masalah bila dikerjakan, serta alasan lainnya yang dijadikan dalil olehnya adalah bid’ah hasanah.

Aqiqah Nabi SAWW Setelah Kenabian, Dalil Keabsahan Maulid

Pada tulisan-tulisan awal telah banyak disebutkan bahwa bid’ah adalah membuat suatu amalan baru dalam ajaran Islam yang tidak memiliki dasar baik berupa dalil umum maupun khusus.

Atas dasar ini, amalan yang memiliki landasan baik berupa dalil yang bersifat umum maupun khusus akan keluar dari kategori bid’ah dengan sendirinya.

Sebagaimana telah disebutkan pada beberapa tulisan sebelumnya bahwa peringtan maulid Nabi SAWW memiliki landasan dalam syari’at, oleh karena itu amalan tersebut bukanlah amalan bid’ah yang harus dihindari, akan tetapi justru masuk dalam kategori amalan yang dianjurkan karena ditopang oleh dalil.

Menambahkan bukti-bukti yang telah dimuat pada seri sebelumnya, di sini akan diutarakan dalil lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan maulid Nabi SAWW berupa aqiqah yang dilakukan oleh Rasulullah untuk dirinya setelah kenabian. Jalaludin Suyuti dalam hal ini mengatakan:

“(aku berkata): sungguh telah nyata bagiku pengeluaran hukumnya (maulid) atas dasar yang lain. Iaitu hadits Baihaqi dari Anas di mana Nabi SAWW melakukan aqiqah untuk dirinya setelah kenabian, sementara ada bukti yang menyatakan bahwa kakek beliau Abdul Muththalib telah mengakikahkannya pada hari ke tujuh pasca kelahiran. dan padahal aqiqah tidak diulang dua kali. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Nabi SAWW harus dimaknai sebagai ekspresi rasa syukur karena Allah telah menjadikannya sebagai rahmat bagi semesta dan sebagai penetapan syari’at bagi ummatnya, sebagaimana halnya beliau selalu bershalawat atas dirinya karena hal tersebut. Maka disunnahkan juga bagi kita untuk mengekpresikan rasa syukur atas kelahiran beliau dengan melakukan perkumpulan, memberi makan dan lain sebagainya yang merupakan bentuk dari mendekatkan diri (kepada Allah) dan ekspresi kebahagian.[2]

Penjelasan di atas dapat memberikan pemahaman bahwa aqiqah yang dilakukan oleh Nabi SAWW setelah kenabian dapat dijadikan landasan bagi perayaan maulid Nabi SAWW.

Hal itu mengingat bahwa aqiqah tersebut dilakukan oleh Rasulullah sebagai bentuk rasa syukur karena telah dijadikan sebagai rahmat bagi semesta, bukan sebagai aqiqah sebagaimana biasanya. Sebab Nabi telah diaqiqahkan oleh kakeknya pada hari ke tujuh pasca kelahiran beliau.

Oleh karena itu, sebagai ekspresi rasa syukur, kita juga dapat melakukan maulid Nabi SAWW.

Amalan Mustahab di Hari Maulid Nabi Saw dalam Mazhab Syiah

Hari kelahiran Nabi Muhammad Saw merupakan hari yang istimewa. Hari dimana Allah Swt menurunkan RahmatNya dengan menghadirkan sosok pribadi yang sempurna di tengah-tengah umat manusia. Tak ayal hari tersebut dijadikan momen oleh kaum muslimin untuk bersyukur atas karunia agung yang telah Allah berikan kepada seluruh makhluk lewat kelahiran sang penutup para Nabi. Dan perayaan maulid Nabi Saw merupakan bentuk kesyukuran tersebut juga bentuk rasa cinta umat pada Nabinya.

Namun perayaan tersebut tak lepas dari ikhtilaf diantara kaum muslimin. mereka berbeda pandangan perihal boleh atau tidaknya perayaan tersebut, dan hal ini kurang lebihnya telah kami paparkan pada seri-seri sebelumnya.

Adapun pada kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan seputar hari kelahiran Nabi Muhammad Saw dan amalannya dalam pandangan Mazhab Syiah.

Sudah jelas bahwa dalam Mazhab Syiah, peringatan perayaan maulid Nabi Saw bukanlah termasuk perkara bid’ah. sama seperti mazhab Ahlussunah yang membolehkan perayaan tersebut, Syiah memandang bahwa perayaan peringatan maulid Nabi Saw memiliki dalil yang bersumber dari Syariat, baik perayaan tersebut sebagai bentuk syukur atau pengingat atas karunia besar yang telah Allah berikan, ataupun hal itu merupakan bentuk cinta kita pada Nabi Saw.

Yang menjadi berbeda ialah perihal waktu dilahirkannya Nabi Saw. Masyhur nya dalam Mazhab Syiah, hari kelahiran Nabi Muhammad Saw jatuh pada 17 Rabiul Awwal di tahun gajah. Sedangkan dalam Ahlussunnah hari lahir Nabi jatuh pada 12 Rabiul Awwal. Dan jarak dari tanggal 12 sampai 17 Rabiul Awwal hari-hari ini dikenal sebagai pekan persatuan.

Adapun amalan mustahab yang dikerjakan pada hari yang mulia ini seperti puasa ataupun sedekah, hal itu tercatat dalam kitab Biharul Anwar milik Allamah Majlisi. Beliau menukil perkataan dari Syekh Mufid terkait kemuliaan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw.

“Hari ke tujuh belas dari Rabiul Awwal merupakan hari kelahiran junjungan kita Rasulullah Saw di waktu terbit fajar di hari Jumat tahun gajah. Itu merupakan hari yang mulia dengan berkah yang agung, dan orang-orang Syiah sejak dahulu memuliakannya, mengakui kebenarannya, menjaga kehormatannya, dan berpuasa dengan sukarela. Dan telah diriwayatkan dari para Aimmatul Huda dari keluarga Muhammad Saw bahwasannya mereka berkata: sesiapa berpuasa di hari ke tujuh belas bulan Rabiul Awwal yang merupakan hari kelahiran junjungan kita Rasulullah Saw diwajibkan baginya pahala puasa setahun. Dan mustahab di hari itu untuk bersedekah, mengakrabkan diri dengan mengunjungi tempat-tempat mulia para Aimmah As, mengerjakan kebaikan-kebaikan, dan menggembirakan para ahli Iman.”[3]

Keutamaan Maulid Nabi menurut Ulama Sunni

Meski sudah banyak pandangan para ulama tentang kebolehan maulid nabi, tidak ada salahnya jika di tulisan kali ini, penulis kembali menambahkannya.

Tentu saja, salah satu alasannya adalah agar membuat kita semakin yakin, bahwa merayakan maulid nabi tidaklah masalah, bersamaan dalil-dalil yang ada.

Syihabuddin Qasthalani, salah seorang ulama Sunni menulis di dalam sebuah buku, bahwa sesiapa yang memperingati maulid nabi Saw., maka Allah akan merahmatinya.

Di bawah ini adalah teks asli plus terjemahannya, yang mungkin bisa kita baca dan renungkan.

فرحم الله امرءا اتخذ لیالى شهر مولده المبارک أعیادا، لیکون أشد علة على من فى قلبه مرض وأعیا داء .

Semoga Allah merahmati seseorang yang menjadikan malam-malam di bulan yang diberkahi kelahirannya (Nabi Muhammad Saw.) sebagai hari raya, sehingga itu menjadi penyakit yang paling parah bagi orang-orang yang hatinya sakit dan tertimpa penyakit.[4]

Gembira dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAWW, Azab Abu Lahab Diringankan

Melanjutkan sanggahan atas pendapat yang mengatakan bahwa perayaan dan peringatan maulid adalah amalan bid’ah yang menyesatkan, pada tulisan ini akan diajukan dalil lain yang membuktikan bahwa amalan tersebut memiliki landasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Demikian Jalaluddin Suyuti memaparkan dalil tersebut di dalam kitabnya:

“kemudian aku melihat imam para qari hafiz Syamsuddin bin Jizri mengatakan di dalam kitabnya yang bernama Urf al-Ta’rif bi al-Maulid al-Syarif yang isinya: sungguh setelah kematiannya, ada yang melihat Abu lahab di alam mimpi, lalu ia ditanya: bagaimana keadaanmu? Ia menjawab: (aku berada) di dalam neraka. Hanya saja siksaanku diringankan setiap masuk malam Senin, dan mengalir air dari antara jari-jariku seukuran ini- ia menunjukkan ujung jari-jarinya-. Yang demikian itu karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberiku kabar gembira dengan kelahiran Nabi SAWW dan menyusuinya. Jika Abu Lahab yang kafir di mana al-Quran turun untuk mencercanya diberi ganjaran berupa keringanan di neraka dengan sebab kebahagiannya atas kelahiran Rasul SAWW pada malam kelahirannya, maka bagaimana keadaan seorang yang mengesakan tuhan dari ummat Muhammad SAWW yang bergembira dengan kelahirannya dan mengorbankan apa yang mampu ia lakukan dalam mencintainya? Demi umurku, sungguh balasannya dari Allah yang maha mulia tidak lain kecuali ia memasukkannya kedalam sorga dengan karuniaNya.[5]

Jalaluddin Suyuti melanjutkan:

“ dan Hafiz Syamsuddin bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata di dalam kitabnya yang bernama Maurid al-Shadi Fi Maulid al-Hadi: sungguh benar bahwa Abu Lahab diberi keringanan azab pada seumpama malam Senin, karena ia memerdekakan Tsuwaibah sebagai rasa gembiranga atas kelahiran Nabi SAWW. Lalu ia (Hafiz Syamsuddin) membacakan syair berikut:

Jika si kafir yang cercaannya telah datang (dalam al-Quran) – dan celaka tangannya dalam keadaan kekal di neraka. Datang berita yang mengtakan bahwa setiap hari Senin selalu – diringankan azabnya karena gembira dengan (kelahiran) Ahmad. Lantas bagaimana keyakinan kita terhadap seorang hamba yang sepanjang umurnya – gembira dengan (kelahiran) Ahmad dan meninngal dalam keadaan mengesakan Allah?[6]

Catatan di atas menjelaskan bahwa peringatan maulid Nabi Muhammad SAWW memiliki dasar berupa riwayat yang mengatakan bahwa Abu Lahab mendapatkan keringanan azab setiap Senin karena berbahagia dengan kelahiran Nabi Muhammad SAWW.

Dengan alasan yang sama; berbahagia dengan kelahiran Rasulullah, kaum muslimin mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad SAWW.

Oleh karena itu layak jika kemudian diberi balasan dan ganjaran kebaikan. Hal ini mengingat bahwa amalan mukmin tentu saja lebih bernilai dari amalan seorang musyrik seperti Abu Lahab.

Kemulian Nabi Muhammad saw

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa

Pembahasan kenabian sangat berkaitan erat dengan ishmah atau kemaksuman, yang mana hal tersebut secara umum dipahami sebagai sebuah kondisi dimana orang yang memiliki ishmah atau yang disebut maksum, terhindar dari kesalahan dan dosa.

Persoalan ishmah atau kemaksuman ini menjadi penting dikarenakan ia merupakan salah satu pembahasan mendasar dalam mengkaji masalah kenabian yang merupakan salah satu pilar dalam keyakinan atau akidah Islam. Hal tersebut biasanya banyak dikaji dan diperdebatkan dalam kaitannya dengan peran para nabi sebagai pembimbing, pengajar serta figur yang patut dicontoh bagi manusia.

Salah satu diantaranya adalah nabi Muhammad saw, yang mana secara jelas dan terang-terangan sosok beliau diperkenalkan dalam surat Al-Ahzab ayat 21 sebagai suri tauladan dan panutan bagi umat manusia.

Oleh sebab itu dalam hal ini penting sekali bagi kita mengenal apa itu ishmah, seperti apa dan bagaimana. Sebab dengan mengenalnya secara benar, maka sebagai kelazimannya, kita pun akan benar pula dalam mengenal dan memahami sosok nabi Muhammad saw, sebagai seorang maksum dan figur contoh bagi kita.

Tentunya para ulama dengan kapasitas serta kemampuannya masing-masing berupaya menguak kebenaran yang ada dalam persoalan ini, akibatnya adalah mereka memiliki pandangan yang beragam dalam kasus tersebut, sehingga hasilnya pun membuat setiap dari mereka memiliki cara pandang dan keyakinan tersendiri dalam menggambarkan Baginda Nabi sebagai pribadi yang maksum.

Sebelum masuk kedalam inti pembahasan ini, serta memilah pandangan yang tepat dari berbagai pandangan yang ada, alangkah baiknya jika kita membekali diri dengan pengenalan terhadap beberapa mukadimah, seperti pengenalan ishmah secara bahasa sebagaimana yang akan kita bahas kali ini.

Di dalam Kitabul Al-Ain, salah satu kamus tertua bahasa arab yang ditulis oleh Al-khalil bin Ahmad Al-Farahidi (170 H), ishmah diartikan sebagai berikut:

العِصْمَةُ: أن يَعْصِمَك الله من الشر،أي:يدفع عنك

Ishmah adalah (ketika) Allah swt menjagamu dari keburukan, yakni melindungimu.[7]

Adapun Ibnu Faris (395 H) dalam kitabnya Mujam Maqayisil Lughah menyebutkan:

Ain, Shad dan Mim memiliki satu akar (makna) yang menunjukan pada penahanan, pencegahan dan watak dasar dan maknanya dalam hal itu semuanya bermakna satu. Darinya lafal Ishmah: (ketika) Allah swt menjaga hamba-Nya dari keburukan yang mana ia dapat terjatuh kedalamnya.

Ishmah adalah segala sesuatu yang mana engkau dengannya dapat terjaga atau terlindungi. Wa A’shamahut Tha’amu artinya makanan itu menjaganya dari kelaparan.[8]

Dari kedua pemaparan di atas secara jelas dapat kita ambil kesimpulan bahwa ishmah secara bahasa memberikan makna penjagaan yang mana tentunya makna secara bahasa ini bersifat umum, lain halnya dengan makna istilah yang biasanya lebih khusus kepada suatu hal sebab memiliki syarat-syarat tertentu. Namun meski demikian hal ini tidak menafikan kebutuhan kita untuk merujuk pada sisi bahasa.

Oleh sebab itu berangkat dari ini kedepannya kita akan melihat bagaimana perubahan yang terjadi ketika lafal ishmah ini dijadikan sebagai sebuah istilah. Kemudian juga bagaimana hubungannya dalam hal ini dengan sosok nabi Muhammad saw sebagai pribadi memiliki ishmah, serta apa saja konsekuensinya dalam mengenal pribadi beliau. InsyaAllah semua ini akan dibahas dalam beberapa tulisan yang akan datang.

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa (2)

Pembahasan tentang ishmah atau kemaksuman berkaitan erat dengan kenabian, atau pun imamah dalam mazhab Syiah. Keyakinan terhadap kemaksuman seorang figur, menjadikan figur tersebut terjaga atau terhindar dari dosa, kesalahan ataupun yang lainnya. Dan dalam tingkatannya para ulama memiliki pandangannya masing-masing terkait kemaksuman ini.

Pembahasan ishmah bisa menjadi gerbang bagaimana kita mengenal pribadi-pribadi mulia khususnya Nabi kita Muhammad Saw, dimana Allah Swt menggambarkan beliau sebagai pemilik laku yang agung dan suri tauladan yang baik bagi seluruh alam semesta.

Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam terkait kemaksuman dan hubungannya dengan kepribadian Rasulullah Saw, kita akan paparkan dulu terkait definisi ishmah secara bahasa sebagai lanjutan dari seri sebelumnya.

Dalam kitab Lisanul Arab milik Ibnu Manzur disebutkan disana makna daripada ishmah yang berasal dari kata (عصم ).

(عصم ) Ishmah dalam ucpan Arab: mencegah. Pencegahan Allah kepada hambaNya: Ia mencegahnya dari apa-apa yang membinasakannya. (عصمه يعصمه عصما ): mencegahnya dan menjaganya.[9]

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa makna daripada ishmah berarti penjagaan atau pencegahan atau pemeliharaan.[10]

Jika kita ubah bentuknya pada bentuk maf’ul menjadi ma’sum (معصوم ) bisa kita artikan dengan terpelihara atau terjaga. Tentunya jika kita nisbahkan seseorang dengan kata maksum berarti bisa dikatakan orang tersebut terjaga atau terpelihara. Adapaun terjaga atau terpelihara dari apa, akan terperinci dalam definisi ishmah secara istilah, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa definisi secara bahasa masih bersifat umum.

Makna Kata Ishmah dalam Penggunaan al-Quran

Memperkenalkan Nabi SAWW sesuai dengan karakter serta sifat yang layak dan patut bagi beliau berarti memuliakannya. Sebaliknya memperkenalkan beliau dengan melanggar sifat-sifat yang yang patut tersebut sama saja dengan merendahkannya.

Kemaksuman adalah batasan atau tolok ukur yang dapat memperkenalkan beliau sesuai dengan kemulian yang pantas dengannya. Oleh karena itu memperkenalkan atau meyakini berbagai karakter beliau tanpa mengindahkan kemaksuman dan batasannya bukan termasuk kategori memuliakan Nabi SAWW.

Untuk itu, mendefenisikan ishmah merupakan kemestian, sehingga Nabi SAWW diperkenalkan sesuai dengan karakter yang seharusnya. Dan teks-teks yang secara zahir bertentangan dengan konsep tersebut harus mendapat kajian lebih dalam baik untuk menerima maupun menolaknya.

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan defenisi ishmah atau kemaksuman secara etimologi. Sebelum masuk kepada pembahasan ishmah menurut tinjauan terminologi, terlebih dahulu pada tulisan ini akan dibahas seputar penggunaan kata ishmah di dalam al-Quran.

Penjagaan, pencegahan, pemeliharaan dan perlindungan adalah makna yang dapat dipahami dari kata ishmah secara etimologi. Senada dengan makna tersebut al-Quran juga menggunakan kata ishmah baik dalam bentuk kata kerja maupun kata benda (sifat):

يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

[11]

(Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.)

قُلْ مَنْ ذَا الَّذي يَعْصِمُكُمْ مِنَ اللهِ إِنْ أَرادَ بِكُمْ سُوءاً أَوْ أَرادَ بِكُمْ رَحْمَةً [12]

(Katakanlah, “Siapakah yang dapat melindungimu dari (kehendak) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?)

قالَ سَآوي إِلى جَبَلٍ يَعْصِمُني مِنَ الْماءِ قالَ لا عاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللهِ إِلاَّ مَنْ رَحِمَ [13]

(Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata, “Pada hari ini tidak ada yang dapat melindungi dari azab Allah selain orang yang Dia kasihani.)

قالَتْ فَذلِكُنَّ الَّذي لُمْتُنَّني فيهِ وَ لَقَدْ راوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ [14]

(Wanita itu berkata, “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkannya (kepadaku), tapi dia menolak.)

Dalam beberapa ayat di atas al-Quran memang tidak menggunakan kata ishmah atau maksum, akan tetapi menggunakan kata yang seakar dengan ishmah dalam beberapa varian yang berbeda, dan dengan makna yang sama dengan makna etimologi (penjagaan, pencegahan, pemeliharaan dan perlindungan), sebagaimana telah disebutkan pada tulisan sebelumnya.

Ishmah dalam Keterangan Syekh Mufid

Salah satu cara untuk mengenal hakikat pribadi Nabi Muhammad Saw selain dengan merujuknya langsung pada Al-Quran, sejarah dan riwayat yang mu’tabar, adalah mengenal dengan benar konsep kemaksuman atau ishmah.

Tentunya konsep ini pun tidak muncul secara sembarangan dan begitu saja, melainkan bertumpu pada dalil-dalil naqli seperti ayat Al-Quran dan riwayat, serta dalil aqli atau argumentasi akal.

Dan para ulama dari sejak dahulu telah berupaya menjelaskan makna ishmah tersebut dengan semua penelitian serta kajian yang telah mereka lakukan, sehingga sampai pada kesimpulannya masing-masing.

Oleh sebab itu dapat kita saksikan hingga saat ini, bahwa mereka memiliki perbedaan dalam menafsirkan konsep tersebut. Tentunya perbedaan ini memberikan pengaruh dan efek terhadap kita dalam melihat sosok Nabi. Maka dari itu sudah seharusnya bagi kita untuk mencari kebenaran dalam kasus ini sehingga pengenalan kita terhadap nabi pun menjadi benar pula.

Pada kesempatan kali ini kita akan melihat pandangan Syekh Mufid, salah satu ulama besar yang hidup pada akhir abab ke-4 H, terkait masalah ini. Di dalam kitabnya yang berjudul Awa’ilul Maqalat, ia banyak menjelaskan persoalan-persoalan akidah, salah satunya perihal persoalan ini.

Syeikh Mufid dalam penjelasannya mengenai ishmah, mula-mula ia merujuk kembali pada makna aslinya yang ada di dalam bahasa seperti yang sudah kita bahas dalam kajian sebelumnya. Di sini ia menemukan bahwa ishmah -yang bermakna sesuatu yang dengannya manusia terlindung dari hal lain-, bukanlah bagian dari jenis pekerjaan atau perbuatan, akan tetapi hal itu, sebagaimana ia jelaskan:

Ishmah dari Allah swt adalah taufik yang mana dengannya manusia selamat dari hal yang tidak dikehendaki apabila ia memiliki ketaatan. Hal ini seperti ketika kita memberikan sebuah tali pada seseorang yang dalam kondisi tenggelam supaya ia selamat dengan berpegangan padanya, ketika ia memegangnya maka kondisi itu disebut ishmah baginya disebabkan ia berpegangan dan selamat dari tenggelam, namun apabila ia tidak berpegangan maka tidak dikatakan ishmah..[15]

Dari penjelasannya di atas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud ishmah olehnya adalah sebuah kondisi ketika berada dalam ketaatan terdadap Allah swt, sehingga hal ini tidak bisa dikategorikan ke dalam jenis pekerjaan atau perbuatan.

Lebih khusus lagi terkait kemaksuman Nabi, ia menjelaskan:

Sesungguhnya nabi kita, Muhammad Saw di antara orang yang tidak pernah bermaksiat pada Allah Swt dari sejak penciptaanya hingga wafatnya, tidak pernah bermaksud menentang dan mengerjakan dosa atau kesalahan baik dengan sengaja ataupun lupa.[16]

Dari sini bisa disimpulkan bahwa pandangan syekh Mufid terkait kemaksuman nabi atau ishmahnya beliau itu meliputi dosa atau kesalahan baik yang secara sengaja ataupun lupa, bahkan kondisi ini telah ada dari sejak awal keberadaan Nabi hingga wafanya. Wallahu A’lam.

Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran

Jika kita membaca tulisan sebelumnya, terkait dengan definisi kemaksuman, maka dengan berbekal itu, saatnya kita mencari tahu adakah ayat al-Quran yang mengindikasikan kemaksuman nabi. Dengan mengkaji hal di atas, maka sedikit-banyak akan memantapkan kita akan kemaksuman seorang nabi.

Seperti yang kita tahu, diutusnya seorang nabi, salah satu tujuannya ialah mengantarkan manusia pada kesempurnaan; menuntun mereka dari kebodohan menuju pribadi yang penuh dengan pengetahuan; dari masa yang dipenuhi kegelapan menuju masa yang terang-benderang dan sebagainya.

Dengan mengetahui tujuan pengutusan seorang nabi, maka salah satu hal yang harus dimilikinya ialah, bahwa ia harus suci dari semua kesalahan dan kekurangan. Kalau kita sedikit berpikir, bagaimana mungkin Allah Swt mengutus sosok manusia yang dipenuhi dengan kesalahan, sementara tugasnya adalah memberi petunjuk manusia lainnya pada kebenaran.

Jika Allah Swt mengutus manusia yang dipenuhi kesalahan, maka tak menutup kemungkinan, ia bakal menyesatkan umatnya. Tentu, hal ini bertentangan dengan lutf-nya (kasih sayang) Alllah Swt dan sifat adil yang dimiliki-Nya. Oleh karenanya, seorang nabi haruslah bersih dari kesalahan dan kekurangan.

Di dalam surah Shad, Allah mengindikasikan bahwa ada sekelompok orang yang berada di luar jangkauan gangguan iblis. Dan mereka adalah manusia yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Swt, yang disebutnya sebagai orang-orang mukhlas (Orang yang ikhlas/bersih/suci dari dosa dan kesalahan).

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82)

إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83)

Iblis berkata, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas (suci/bersih) di antara mereka.”

Masih di dalam surah yang sama, Allah berifirman di ayat lain sebagai berikut.

وَٱذْكُرْ عِبَٰدَنَآ إِبْرَٰهِيمَ وَإِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ أُو۟لِى ٱلْأَيْدِى وَٱلْأَبْصَٰر (45)

إِنَّآ أَخْلَصْنَٰهُم بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى ٱلدَّارِ (46)

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.”

Selain itu, Allah berfirman di dalam surah Maryam ayat 51 tentang Nabi Musa yang suci.

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مُوسَىٰ ۚ إِنَّهُ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang ikhlas dan seorang rasul dan nabi.”

Sederet ayat di atas menunjukkan kepada kita tentang keterjagaan seorang nabi dari segala bentuk kesalahan, dan bahkan gangguan dari Iblis. Nabi Muhammad Saw yang dijulukui sebagai sayyidul mursalin (penghulu para Rasul), tentu juga termasuk di dalam ayat-ayat di atas. Perlu penulis tegaskan kembali, kalau ayat di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa seorang nabi atau rasul haruslah bersih dari segala bentuk kesalahan dan kekurangan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran (2)

Pengetahuan dan pengenalan terhadap sesuatu merupakan landasan utama dalam bangunan keyakinan terhadap hal tersebut. Pengetahuan yang benar akan mengantarkan pemiliknya pada keyakinan yang benar pula, dan begitu juga sebaliknya.

Keyakinan terhadap para nabi haruslah dibangun dengan pengetahuan dan pengenalan yang benar, sehingga dengannya kita akan sampai pada keyakinan yang benar pula terhadap mereka, sebab jika tidak demikian maka akidah kita dalam hal ini (kenabian) perlu dipertanyakan keabsahannya.

Salah satu sumber terpercaya dalam mengenalkan dan menjelaskan sosok para nabi adalah Al-Quran, sebab hal tersebut merupakan pemberitaan langsung dari Allah swt. Dan di dalam Al-Quran, kita dapat melihat banyak ayat-ayat yang bercerita tentang para nabi terdahulu hingga nabi kita sendiri yaitu nabi Muhammad saw.

Di antara hal-hal yang diceritakan oleh ayat-ayat Al-Quran tentang para nabi, adalah tentang kemaksuman mereka sebagaimana yang telah diulas pada pembahasan yang lalu. Dalam ayat-ayat tersebut, mereka para nabi termasuk di dalamnya adalah nabi Muhammad, disebut sebagai golongan Al-Mukhlashun (orang-orang yang disucikan).

Kali ini kita juga akan membahas ayat lainnya yang menunjukkan kelaziman ishmah atau kemaksuman, seperti ayat berikut:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. (An-Nisa: 64)

Dalam ayat tersebut meskipun tidak secara langsung berbicara mengenai ishmah para nabi, namun ayat itu secara jelas menuntut umat manusia untuk taat secara mutlak kepada utusan Allah. Kemutlakan taat dalam ayat tersebut dipahami dari tidak disertakannya qaid (pengkhususan) dalam wilayah ketaatannya.

Arti taat secara mutlak di sini adalah mengikuti semua hal yang keluar dari mereka meliputi perintah atau pun larangan, dimana pun dan kapan pun. Dengan kondisi demikian, ketaatan mutlak terhadap para nabi ini akan menjadi benar apabila mereka senantiasa berada dalam jalur kebenaran dan ketaatan pada Allah swt, bukan yang terkadang bisa salah atau benar. Sebab seandainya yang keluar dari mereka (para nabi) adalah terkadang bisa benar dan bisa salah, maka dalam hal ini tidak selayaknya Allah swt menuntut ketaatan mutlak terhadap mereka, sebab ini bertolakbelakang dengan sifat Allah swt yang Hakim (maha bijaksana).

Sehingga dengan ayat ini tersirat bahwa terdapat jaminan Allah swt bahwasannya mereka (para nabi) selalu berada dalam kebenaran dan ketaatan padaNya. Hal ini diperkuat dengan ayat lainnya:

وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهمَ رَبُّه بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (Al-Baqarah: 124)

Ayat di atas bercerita tentang nabi Ibrahim as yang meminta pada Allah swt supaya kedudukan Ilahi yang diberikan padanya juga diberikan pada keturunannya. Kemudian sebagai jawabannya, Allah swt menjanjikan hal tersebut, namun hanya bisa diraih oleh mereka yang bukan orang zalim.

Dan kita tahu bahwa dosa atau pun kesalahan, sedikitnya merupakan sebuah kezaliman terhadap diri sendiri, yang mana bisa terliputi kedalam ayat tadi. Dan kita juga tahu bahwa posisi sebagai nabi atau pun rasul adalah kedudukan Ilahi yang mana untuk meraihnya -berdasarkan ayat di atas- harus terbebas dari kesalahan dan dosa. Oleh sebab itu berarti para nabi sedari awal merupakan orang terjaga dari segala kesalahan dan dosa hingga meraih kedudukan tersebut. Tentunya terlebih lagi nabi Muhammad saw sebagai penghulu dari para nabi dan rasul. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Kemaksuman Nabi SAWW Dalam Pandangan Fakhr Razi

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dibahas tentang defenisi ishmah dan ishmah dalam al-Quran. Melanjutkan pembahsan tersebut pada tulisan ini akan disebutkan pandangan Fakhr Razi berkaitan dengan batasan serta cakupan ishmah para nabi terkhusus nabi Muhammad SAWW.

Fakhr al-Razi di dalam kitabnya Ishmat al-Anbiya mengatakan bahwa para nabi dan rasul terjaga dari melakukan dosa besar dan kecil dengan sengaja. Namun, dalam keadaan lupa ia berkeyakinan bahwa mereka mungkin saja melakukan hal dosa dan kesalahan:

“Pendapat kami: Sesungguhnya para nabi As pada masa kenabian maksum dari melakukan dosa kecil maupun besar dengan sengaja. Namun dalam keadaan lupa maka hal itu mungkin saja terjadi.[17]

Dalam catatan ini disebutkan juga bahwa kemaksuman para nabi hanya dalam lingkup masa kenabian. Adapun sebelum masa kenabian maka para nabi tidaklah maksum dari kesalahan dan dosa.

Untuk menanggapi hal ini pada tulisan-tulisan berikutnya akan dijelaskan pendapat mazhab Syiah seputar hal tersebut.

Berkaitan dengan nabi Muhammad SAWW secara khusus, fakhr Razi berkeyakinan bahwa beliau maksum dalam segala perkataan dan perbuatannya; dalam artian bahwa dalam keadaan lupa sekalipun Rasulullah SAWW tidak mungkin melakukan kesalahan dan dosa:

“Firman Allah: (dan barang siapa mentaati Rasul, maka ia telah mentaati Alah), merupakan dalil terkuat atas kemaksumannya dalam semua perintah, larangan dan segala yang disampaikannya dari Allah SWT. Karena jika ia melakukan kesalan pada salah satunya, maka mematuhinya (Nabi) tidak akan dianggap sebagai ketaatan kepada Allah SWT. Begitu juga ia mesti maksum dalam segala tindakannya, karena Allah memerintahkan untuk menaatinya dalam firmanNya : (maka ikutilah dia). Mengikuti berarti bertindak sesuai dengan tindakan orang lain. Maka yang melakukan perbuatan seperti itu masuk dalam kategori menaati Allah SWT. Hal itu berdasarkan firmanNya: (maka ikutilah dia). Maka dipastikan bahwa mengikutinya dalam segala perkataan dan perbuatan kecuali dalam hal-hal khusus yang dikecualikan oleh dalil, merupakan kepatuhan dan ketundukan kepada Allah STW.”[18]

Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa karena di dalam ayat disebutkan bahwa mengikuti Nabi sama dengan mengikuti Allah SWT, maka hal ini memiliki konsekuensi kemaksuman Nabi SAWW dalam segala perkataan dan perbuatannya baik disengaja maupun dalam keadaan lupa.

Sebab, jika Nabi SAWW tidak maksum dan mungkin melakukan kesalahan, baik dalam keadaan lupa, maka mengikuti beliau juga belum tentu mematuhi Allah SWT. Hal itu mengingat bahwa mungkin saja perbuatan yang diikuti merupakan perbuatan salah yang dilakukannya. Dan mengikuti perbutan salah sekalipun karena lupa, tentu saja bukan merupakan ketaatan kepada Allah SWT.

Oleh karena itu perintah Allah SWT untuk mengikuti Nabi SAWW sama dengan legitimasi atas segala perkataan dan perbutannya. Dan inilah yang disebut dengan ishmah.

Sebenarnya, jika dilihat lebih cermat lagi, dalil yang sama dapat diterapkan pada semua nabi, bukan hanya Rasulullah SAWW sebagaimana disampaikan oleh Fakr Razi. Sebab Allah SWT juga memerintahkan untuk mengikuti mereka.

Atas dasar ini maka tidak ada alasan untuk membatasi kemaksuman para nabi dalam tindakan yang disengaja saja, akan tetapi mencakup segala perbuatan.

Nabi Saw Pelupa, Mungkinkah?

Berbicara tentang Nabi Muhammad, tentu kita sudah akrab dengan segenap kemuliaan dan keutamaan yang ia miliki. Namun, di sisi lain, terdapat di dalam beberapa literatur Islam yang membicarakannya cenderung ke arah negatif, yang menurut akal sehat kita, rasa-rasanya tak pantas dinisbahkan kepada wujud sucinya.

Hal-hal negatif tentang diri Nabi Saw., yang jamak kita dengar, salah satunya ialah kalau ia pernah buang air kecil dalam keadaan berdiri, menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya hingga pelupa dan yang lainnya. Kali ini, penulis hendak mengulas kalau nabi disebut di dalam kitab Sunni, Shahih Bukhari sebagai seorang pelupa.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا یُونُسُ، عَنِ الزُّهْرِیِّ، عَنْ أَبِی سَلَمَةَ، عَنْ أَبِی هُرَیْرَةَ، قَالَ: أُقِیمَتِ الصَّلاَةُ وَعُدِّلَتِ الصُّفُوفُ قِیَامًا، فَخَرَجَ إِلَیْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَامَ فِی مُصَلَّاهُ، ذَکَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ، فَقَالَ لَنَا: «مَکَانَکُمْ» ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَیْنَا وَرَأْسُهُ یَقْطُرُ، فَکَبَّرَ فَصَلَّیْنَا مَعَهُ .

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Iqamah (adzan) telah berkumandang. Saf-saf salat sudah lurus (rapih). Kemudian, Nabi Saw. datang. Ketika Nabi Saw. berdiri di Mihrab untuk salat, lalu ia ingat kalau ia sedang junub. Nabi berkata kepada kami, ‘ Tetaplah di tempat kalian masing-masing.’ Kemudian nabi bergegas pulang dan mandi (besar). Setelah itu ia kembali lagi ke (masjid) dengan keadaan kepalanya masih ada tetesan air. Lalu, ia bertakbir dan bersamanya kami melaksanakan salat.”[19]

Jika tugas diutusnya seorang nabi adalah untuk menunjukkan dan menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan kesempurnaan, maka apakah relevan dengan riwayat di atas? Apalagi ia hadir di muka bumi ini sebagai rasul yang membawa al-Quran. Mungkinkah Allah mengutus seorang nabi yang pelupa? Atau jangan-jangan ada beberapa oknum yang menciptakan riwayat di atas untuk mencoreng nama baiknya? Entahlah. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Peran Nabi Melazimkan Ishmah dan Terjauh dari Sifat Tercela

Setiap nabi atau pun rasul memiliki tugas dan tanggung jawab yang besar di tengah-tengah umatnya. Begitu pula hal ini berlaku pada nabi Muhammad saw, bahkan lebih besar lagi sebab beliau merupakan utusan terakhir yang diutus kepada seluruh manusia tanpa dibatasi dengan bangsa dan wilayah tertentu.

Di antara peran penting beliau di tengah-tengah manusia atau khususnya masyarakat ketika itu adalah sebagaimana halnya yang dijelas di dalam Al-Quran berikut ini:

لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran: 164)

هُوَ الَّذِيْ بَعَثَ فِى الْاُمِّيّنَ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِه وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍۙ

Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Al-Jumu’ah: 2)

Dari kedua ayat di atas setidaknya terdapat tiga hal yang harus dikerjakan oleh nabi Muhammad saw; pertama adalah membacakan ayat-ayat Allah swt, kedua menyucikan mereka (umatnya) serta ketiga mengajarkan Kitab juga Hikmah.

Dalam hal ini, Allamah Thathabai memberikan sedikit keterangan terkait tugas-tugas nabi tersebut. Adapun membacakan ayat, hal ini sesuai maknanya dan tidak dibahas lebih lebar lagi. Sementara selanjutnya adalah menyucikan umatnya atau dengan kata lain melakukan tazkiyah (penyucian) terhadap umatnya. Tazkiyah ini berasal dari lafal Zakah yang bermakna pertumbuhan yang baik yang selalu berkaitan dengan kebaikan dan berkah. Sehingga maksud dari tazkiyah nabi terhadap umatnya adalah menumbuhkan mereka dengan baik, dengan membiasakan mereka pada akhlak yang terpuji serta amal yang shaleh sehingga dengan itu kemanusiaan mereka menjadi sempurna.

Kemudian Ta’lim, yaitu mengajarkan Kitab (Al-Quran) dengan menjelaskan lafal-lafal pada ayat-ayatnya serta menafsirkannya, begitu pula dengan Hikmah yakni pengetahuan-pengetahuan hakiki yang dikandung di dalam Al-Quran.

Yang unik di sini ialah pengedapanan Tazkiyah sebelum Ta’lim, dimana hal tersebut tentunya memiliki tujuan yang penting, sebagaimana dijelaskan bahwa ayat ini menggambarkan pendidikan nabi terhadap umatnya.[20]

Sementara itu Fakhru Razi juga dalam tafsirnya menyebutkan beberapa penjelasan terkait tiga tugas tersebut. Diantaranya, ia mencatat bahwa membacakan ayat, maksudnya adalah penjelasan nabi terkait risalah dan kenabiannya, juga bisa jadi ayat-ayatnya merupakan ayat-ayat yang menjelaskan hukum syar’i serta membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Adapun Tazkiyah salah satunya adalah membersihkan umatnya dari keburukan Syirik (penyekutuan Tuhan) dan juga keburukan selain hal tersebut yang berasal dari ucapan dan perbuatan. Ada juga yang menyebut bahwa Tazkiyah di sini ialah memperbaiki mereka dengan mengajak untuk mengikuti jejak orang-orang suci dan bertakwa. Kemudian selanjutnya, mengajarkan Kitab dan Hikmah, pada bagian ini ada yang menyebutkan maksud dari Hikmah adalah kewajiban-kewajiban, sementara itu ada juga yang mengartikannya dengan sunnah.[21]

Berangkat dari semua penjelasan di atas terkait tanggung jawab besar nabi Muhammad saw terhadap umatnya, dapat kita pahami bahwa semua itu akan mungkin terwujud apabila pribadi nabi sendiri merupakan sosok mumpuni dalam mengerjakannya.

Misalnya dalam membacakan ayat, tentu nabi adalah sang penerima wahyu dan ia memiliki pemahaman terhadap apa yang diterimanya. Begitu pula dalam Tazkiyah, maka sudah selayaknya sosok nabi adalah yang paling terdepan dalam hal kesucian jiwa, akhlak terpuji serta menghindari kesyirikan dan hal-hal tercela lainnya. Begitu juga dengan mengajarkan Kitab dan Hikmah, beliaulah yang paling tahu dan memiliki penguasaan terhadap hal tersebut dengan petunjuk dari Allah swt.

Apabila tidak demikian maka mustahil Allah swt membeban tugas kepada makhluk-Nya yang diluar kapasitasnya. Oleh sebab itu tugas yang agung dan besar ini juga menunjukkan keagungan dan kebesaran sosok penerimanya yaitu nabi Muhammad saw.

Beliau sebagai sosok yang terdepan dalam segala kebaikan dan segala upaya untuk sampai pada keridhoan Allah swt, adalah yang paling mampu untuk membimbing hamba-hamba-Nya yang lain. Hal ini secara terang-terangan disebutkan dalam ayat berikut:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Ali I’mran: 31)

Oleh karena itu sudah jelas dan pasti sosok nabi merupakan pribadi yang jauh dari hal-hal buruk dan tercela sehingga Allah swt menyuruh kita semua untuk mengikuti setiap jejaknya.

Cakupan Kemaksuman Para Nabi

Pada tulisan sebelumnya telah dibahas satu sisi dari cakupan kemaksuman para nabi. Yaitu telah disebutkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik dengan sengaja atupun tidak.

Telah disinggung juga sedikit tentang pendapat Fakhr Razi berkaitan dengan bolehnya para nabi melakukan dosa sebelum masa kenabian. Tentu saja ini juga berkaitan dengan batasan ishmah dari sisi lainnya.

Untuk lebih jelasnya, di sini akan dimuat pernyataan lainnya yang menyebutkan pendapat tersebut dengan lebih gamblang:

“Mereka juga berbeda pendapat tentang waktu wajibnya ishmah tersebut. Sebagian mereka berpendapat: semenjak lahir sampai wafat. Dan kebanyakan mereka meyakini bahwa: ishmah tersebut hanya berlaku pada masa kenabian, adapun sebelumnya, maka tidak wajib. Dan ini adalah pendapat kebanyakan pengikut mazhab kita (Asyari)” semoga Allah merahmati mereka.”[22]

Dalam catatan ini Fakhr Razi tidak mengatakan semua kalangan Asyari berpendapat demikian akan tetapi hanya mengatakan kebanyakan mereka saja.

Berseberangan dengan pendapat di atas, mazhab Imamiah berkeyakinan bahwa para nabi semenjak lahir sampai wafat mesti maksum. Dalam kitab al-Lawami’ disebutkan:

“Dan pengikut mazhab Imamiah berpendapat: sesungguhnya mereka semua (para nabi dan rasul) maksum dari segala jenis dosa baik dosa besar maupun kecil, sengaja atau tidak, tersalah maupun secara takwil dan sebelum kenabian maupun pada masa kenabian. Hal ini adalah kebenaran yang terang benderang.[23]

Di dalam kitab lainnya; Ashl al-Syiah, secara khusus disebutkan bahwa nabi Muhammad SAWW maksum semenjak lahir hingga wafatnya:

“Syiah Imamiah berkeyakinan bahwa seluruh nabi yang disebutkan oleh al-Quran merupakan utusan Allah SWT dan hamba-hamba yang dimuliakan, diutus untuk mengajak manusia menuju kebenaran. Dan bahwa Muahammad SAWW adalah penutup para nabi serta penghulu para rasul, maksum dari melakukan salah dan dosa, ia tidak melakukan maksiat selama hidupnya serta tidak melakukan selain apa-apa yang diridhai oleh Allah SWT sampai ajal menjemputnya.[24]

Dari beberapa catatan di atas dapat dipahami bahwa, berbeda dengan mazhab Asyari yang meyakini bahwa para nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian, mazhab Syiah meyakini bahwa para nabi terkhusus Rasulullah SAWW maksum semenjak lahir sampai wafat.

Namun, meyakini bahwa nabi boleh melakukan kesalahan dan dosa sebelum kenabian memiliki konsekuensi tertutupnya jalan pembuktian kenabian.

Sebab, jika sebelum kenabian ada kemungkinan para rasul melakukan kebohongan, lupa, kesalah dan dosa, maka bagaimana kita bisa mempercayai mereka setelah kenabian? Karena mungkin saja pengakuan mereka di awal kenabian dianggap sebagai kebohongan atau kesalahan. Dan selama ada kemungkinan ini maka kita tidak akan pernah sampai kepada keyakinan akan kenabian mereka.

Dengan begitu, tujuan Allah dalam mengutus para nabi (manusia mendapat hidayah dengan mengikuti mereka), tidak akan tercapai. Oleh karena itu, kemaksuman mereka sebelum kenabian adalah suatu kemestian.

Di samping itu, masa lalu yang kelam tentu saja akan berpengaruh terhadap dakwah para rasul, karena akan dijadikan alasan para pengingkarnya untuk menolak ajarannya. Hal ini akan sangat berbeda, jika para nabi memiliki latar belakang yang bersih tanpa noda. Sebab dengan begitu tidak ada sedikitpun celah dan alasan bagi ummatnya untuk tidak mengikuti ajaran mereka.

Coba kita bayangkan seandainya nabi Muhammad SAWW sebelum kenabian pernah melakukan kebohongan, lantas kira-kira bagaimana reaksi penduduk Makkah terhdap dakwah beliau yang pertama?

Dan bandingkan dengan nabi yang memiliki latar belakang terpercaya dengan menyandang gelar “amin”, tentu saja reaksi mereka akan berbeda.

Oleh karena itu mari memilih salah satu dari dua keyakinan di atas dengan konsekuensinya masing-masing.

Kemaksuman Nabi Saw menurut Pandangan Imam Al-Qastallani

Kami telah mengulas di dalam deretan tulisan sebelumnya, mulai dari makna kemaksuman hingga dalil-dalil yang mendukung akan kemaksuman yang dinisbahkan kepada Nabi Saw, dan di tulisan kali ini penulis hendak memperlihatkan kepada para pembaca tentang bukti lain yang mengisyaratkan akan kemaksuman Nabi Saw., dan para nabi lainnya.

Sebagai penegasan dari beberapa dari tulisan sebelumnya, penulis mencoba menghadirkan sebuah bukti akan kemaksuman sosok nabi, yang dikutip dari ulama kesohor Sunni, Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Qastallani. Di dalam salah satu karyanya yang cukup familiar di antara akademisi-Muslim, Al-Muwwahib Al-Ladunniyah, ia menuturkan pernyataan sebagai berikut.

“Nabi Muhammad Saw terjaga (maksum) dari dosa-dosa besar dan kecil, baik karena sengaja maupun lupa, begitu pula dengan para nabi lainnya.”

Dengan memandang dan mengkaji tugas nabi di tengah manusia, sebagaimana yang telah diulas di dalam tulisan sebelumnya, maka selayaknya ia menyandang gelar maksum. Akal sehat akan menolak, jika seorang nabi terjerembab di dalam lubang dosa dan kesalahan. Sebab, jika hal itu terjadi pada diri nabi, tentu ia tidak akan mungkin menamatkan tugasnya dengan sempurna.

Jika diri seorang nabi dipenuhi kesalahan dan dosa, yang alih-alih ia menuntun umatnya ke jalan yang lurus, justru—boleh jadi—malah menyesatkan mereka (umatnya). Na’udzubillah min Dzalik.

Sosok Nabi Bersih dari Segala Hal yang Membuat Orang Menjauh

Tujuan utama pengutusan para nabi ialah menggiring manusia untuk berjalan pada jalan yang ditetapkan oleh Allah swt, yaitu jalan kebenaran dan kesempurnaan bagi manusia itu sendiri.

Di sini Allah swt sebagai sang pencipta yang maha bijaksana juga Dzat yang paling mengenal manusia, ketika mengutus para nabi yang berasal dari mereka (manusia) serta ditugaskan dengan tanggung jawab berat membawa manusia pada tujuan asli penciptaannya, maka tentunya langkah ini sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah swt.

Artinya dari sisi Allah swt sebagai pemberi hidayah, Dia telah memberikan semua syarat atau perangkat yang dibutuhkan untuk supaya manusia mendapat hidayah-Nya. Allah swt berfirman:

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا

Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (An-Nisa: 165)

Dan di dalam persoalan kenabian, Ishmah atau kemaksuman merupakan mukadimah wajib untuk terwujudnya tujuan dari pengutusan itu sendiri. Para nabi selain sebagai seorang yang memperoleh wahyu dari Allah swt, di sisi yang lain juga harus merupakan sosok yang dapat diterima atau dipercaya oleh masyarakat berdasarkan akal sehat dan nurani (fitrah) yang bersih. Sebab dengan itulah Hujjah Allah swt menjadi sempurna dan tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk mengelak seperti yang disebutkan pada ayat di atas.

Oleh sebab itu penerimaan dan kepercayaan manusia yang sesuai dengan akal sehat dan nuraninya adalah satu hal yang wajib ada dalam pribadi setiap nabi, tak terkecuali nabi Muhammad saw sang penghulu dari para nabi dan rasul. Dan inilah peran Ishmah, yaitu memberikan ketenangan dalam diri seorang manusia bahwa nabi yang diikutinya tidak akan pernah salah atau keliru dalam segala hal.

Dalam hal ini Syekh Nashiruddin At-Thusi menyebutkan dalam kitabnya Tajridul I’tiqad yang dinukil oleh Allamah Al-Hilli dalam kitab Kasyful Murad, bahwa Ishmah wajib ada dalam pribadi nabi sehingga dengan itu muncul kepercayaan dari masyarakat (penerimaan) kemudian dengan itu maka terwujudlah tujuan dari pengutusan nabi (bi’tsah).

Kemudian selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa bukan hanya sebatas itu sebab adanya kewajiban mengikutinya, maka sosoknya juga haruslah yang memiliki kesempurnaan akal, kecerdasan serta pemikiran dan tidak ada kelengahan pada dirinya sedikitpun atau hal-hal yang membuat orang merasa jijik dan berpaling darinya seperti kehinaan pada garis ayah atau ibu (tidak terhormat nasabnya), juga kasar tutur katanya, cacat dan lain sebagainya.[25]

Semua itu akan berimbas pada kualitas penerimaan masyarakat terhadap sosok nabi. Apabila dari sisi-sisi tersebut terdapat celah bagi manusia untuk beralasan (tidak mengikuti nabi) di hadapan Allah swt, maka hal ini akan menjadi bukti bahwa Hujjah-Nya bagi manusia belum sempurna. Dan ini tentunya jauh dan mustahil bagi Dzat Allah swt yang maha sempurna dan bijaksana.

Nabi Muhammad SAWW Sebagai Teladan dan Kemestian Ishmah

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan berbagai batasan serta cakupan ishmah para nabi teristimewa Nabi Muhammad SAWW.

Dalam berbagai tulisan tersebut telah disebutkan bahwa mazhab Syiah adalah golongan yang meyakini ishmah maksimal; yang berarti bahwa mazhab ini mengimani bahwa para nabi maksum atau terpelihara dari lupa, tidak melakukan kesalahan maupun dosa baik besar dan kecil disengaja maupun tidak semenjak lahir sampai wafat.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa mazhab Syiah menempatkan Nabi Muhammad SAWW serta para nabi dan rasul AS lainnya dalam posisi yang sangat mulia dan agung.

Dengan karakter seperti ini maka para nabi layak untuk diikuti dan diteladani dalam segala aspek kehidupannya. Jika tidak maka mengikuti serta meneladani mereka masih jadi tanda tanya sebab mungkin saja apa yang mereka lakukan justru merupakan perbuatan yang salah.

Sangat menerik untuk dikaji bagaimana kemudian Alusi menafsirkan ayat ke 21 dari surat al-Ahzab, dalam kitabnya Ruh al-Maani:

“Sekalipun ayat di atas ditujukan untuk mengikuti Nabi SAWW dalam urusan perang berkaitan dengan keteguhan dan hal lainnya, namun pada saat yang sama ia merupakan perintah umum untuk mengikuti semua perbuatan nabi. Kecuali jika diketahui perbuatan tersebut khusus untuk Nabi SAWW seperti menikahi lebih dari empat orang perempuan. Ibn Majah dan Ibn Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari Hafsh bin Ashim, ia berkata: aku berkata kepada Abdullah bin Umar RA: aku melihatmu tidak melakukan shalat sunnah qabliah dan ba’diah dalam perjalanan. Ia menjwab: wahai anak saudaraku aku telah bersama dengan Rasulullah SAWW demikian dan demikian dan aku tidak melihatnya shalat sunnah qabliah dan ba’diah padahal Allah SWT berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[26] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu). Abdurrazzaq dalam kitabnya al-Mushannif, memuat riwayat dari Qatadah, ia berkata: Uamar bin Khattab berkeinginan untuk melarang memakai “habarah” (pakian terbuat dari katun dan terkenal pembuatannya di Yaman) lalu seorang laki-laki berkata: bukankah engkau telah melihat Rasullullah memakainya? Umar menjawab: Ya. Laki-laki itu berkata: bukankah Allah SWt berfirman: لَقَدْ كانَ لَكُمْ في رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ [[27] ] (Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu)? Lalu umar RA mengurungkat pelarangan tersebut.[28]

Dari penjelasan yang dipaparkan oleh Alusi di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad SAWW merupakan uswah atau teladan dalam segala perbuatannya; dan lebih dari itu semua tindakannya merupakan barometer bagi segala tindakan umat sebagaimana terkonfirmasi dalam hadits yang disebutkan dalam paparan tersebut.

Oleh karena itu ishmah merupakan suatu kemestian jika tidak maka konsekUensinya adalah, perintah Allah untuk menjadikan Nabi SAWW sebagai uswah dalam segala hal, pada kasus-kasus tertentu sama dengan perintah untuk melakukan kesalahan dan dosa.

Hal ini mengingat bahwa jika Nabi SAWW tidak maksum maka mungkin saja perbuatan yang kita teladani justru perbuatan salah dan khilaf yang dilakukan oleh beliau dengan sengaja maupun tidak, baik dosa besar maupun kecil dan sebelum kenabian maupun setelah kenabian.

Sederet Keistimewaan Nabi Saw di dalam Al-Quran

Jika kita berkaca pada diri Rasulullah Saw., maka pantulan cahaya yang tersorot ke diri kita ialah kesempurnaan akhlaknya. Saking sempurnanya, Allah mencatatkan pujian untuknya di dalam Al-Quran, yang termaktub di dalam surah al-Qalam ayat empat. Hampir setiap manusia sudah mafhum akan keagungan budi pekerti ayah dari Sayyidah Fathimah az-Zahra itu.

Maka, di sini penulis hendak mengumpulkan beberapa ayat al-Quran yang membicarakan keagungannya, yang bisa kita jadikan sebagai motivasi untuk selalu berada di jalan kebaikan ala Rasulullah Saw. Di antara keistimewaannya yang tercatat di dalam al-Quran ialah sebagai berikut.

1. Panutan yang Baik

Di dalam surah Al-Ahzab ayat 21, Allah Swt berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Dari ayat di atas dapat kita pahami, bahwa Nabi Muhammad adalah panutan bagi setiap manusia. Lebih-lebih kepada mereka yang yang bertakwa di hadapan Allah Swt. Dan hendakanya, bagi mereka yang mendambakan kebahagiaan dunia-akhirat sudah selayaknya mengikuti jejak langkahnya.

* Rahmat (kasih-sayang) bagi Alam Semesta

Sebagaimana rahmat Allah tak terbatas bagi setiap makhluk-Nya, pun dengan kasih-sayangnya Nabi Saw. Bahwa, salah satu tujuan diutusnya, ialah menyebarkan pesan cinta-kasih kepada semua manusia tanpa terkecuali, sehingga misi dakwah yang ia ampu dari Allah Swt dapat diterima dengan mudah oleh orang-orang kala itu, yang telah menjadikan berhala sebagai obyek sesembahannya.

Karenanya, Allah Swt., mengabadikan kasih sayangnya nabi Muhammad tersebut di dalam salah satu ayat di dalam al-Quran.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

* Merakyat

Sebagai seorang pemimpin di tengah umat, maka salah satu hal yang harus memiliki ialah jiwa merakyat dan membaur dengan siapa saja di tengah masyarakat. Di sisi lain, hal itu juga menafikan sifat keakuan (egois) yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena, penting bagi bagi seorang pemimpin menghapus sekat-sekat yang dapat membentengi dirinya dengan rakyatnya. Hal itu pulalah yang dilakukan oleh Nabi Saw. Meski ia dinobatkan sebagai paling mulianya manusia, ia tak memanfaatkan itu untuk menjaga jarak atau bahkan berbuat semena-mena terhadap orang lain. Ia tetap memosisikan diri, sebagaimana manusia biasa.

Menyoroti hal itu, Allah berfirman di dalam kitab-Nya sebagai berikut.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128).

Di atas adalah pemaparan tentang beberapa keistimewaan pada diri Rasulullah Saw. Dengan melihat keistimewaannya di atas, maka rasa-rasanya mustahil apabila sosok Nabi—yang merupakan perwakilan Allah di muka bumi ini—melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam dan akal sehat. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Daftar Isi:

Kelahiran-Kemulian Nabi Muhammad Saw 1

Kelahiran Nabi Muhamad saw 2

Syekh Husnain Muhammad Makhluf: Merayakan Maulid Tidak Masalah dan Bid’ah Hasanah 2

Aqiqah Nabi SAWW Setelah Kenabian, Dalil Keabsahan Maulid 5

Amalan Mustahab di Hari Maulid Nabi Saw dalam Mazhab Syiah 7

Keutamaan Maulid Nabi menurut Ulama Sunni 9

Gembira dengan Kelahiran Nabi Muhammad SAWW, Azab Abu Lahab Diringankan 10

Kemulian Nabi Muhammad saw 13

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa 13

Mengenal Ishmah atau Kemaksuman dalam Bahasa (2) 16

Makna Kata Ishmah dalam Penggunaan al-Quran 18

Ishmah dalam Keterangan Syekh Mufid 21

Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran 24

Memahami Kemaksuman Nabi Saw Melalui Al-Quran (2) 27

Kemaksuman Nabi SAWW Dalam Pandangan Fakhr Razi 30

Nabi Saw Pelupa, Mungkinkah? 33

Peran Nabi Melazimkan Ishmah dan Terjauh dari Sifat Tercela 35

Cakupan Kemaksuman Para Nabi 39

Kemaksuman Nabi Saw menurut Pandangan Imam Al-Qastallani 42

Sosok Nabi Bersih dari Segala Hal yang Membuat Orang Menjauh 44

Nabi Muhammad SAWW Sebagai Teladan dan Kemestian Ishmah 47

Sederet Keistimewaan Nabi Saw di dalam Al-Quran 50

1. Panutan yang Baik 50

* Rahmat (kasih-sayang) bagi Alam Semesta 51

* Merakyat 51


[1] Ad-Durrul Maknun, hal: 44, Darul Kutubul Ilmiyah, Beirut.

[2] Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Hawi li al-Fatawa, jil:1, hal: 196, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1982 M.

[3] Biharul Anwar Juz 95 Hal. 359

[4] Syihabuddin Qasthalani, Al-Mawahib al-Laduniyah bi al-Minnah Al-Muhammadiyah, hal. 148, penerbit: Maktab Islami.

[5] Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Hawi li al-Fatawa, jil:1, hal: 196-197, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1982 M.

[6] Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Hawi li al-Fatawa, jil:1, hal: 197, cet: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut, 1982 M.

[7] Al-Farahidi, Al-Khalil bin Ahmad, Kitabul Ain, jil: 1, hal: 313, Muassasah Darul Hijrah.

[8] Ibnu Faris, Abul Husein Ahmad, Mujam Maqayisil Lughah, hal: 751, Darul Ihya’i Turats Al-Arabi, Beirut.

[9] Ibnu Manzur, Lisanul Arab Juz 9 Hal. 244 Cet. Daru Ihya At-Turats Al-Arabi – Beirut

[10] Fayyumi, Ahmad bin Muhammad, Al-Misbahul Munir Hal. 157 Cet. Maktabah Lubnan

[11] Al-Maidah/ 67.

[12] Al-Ahzab/ 17.

[13] Hud/ 43.

[14] Yusuf/ 32.

[15] Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, Awa’ilul Maqalat, hal: 134 -135.

[16] Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, Awa’ilul Maqalat, hal: 62.

[17] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Ishmat al-Anbiya, hal: 40, cet: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniah, Qaira.

[18] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, jil: 10, hal: 193.

[19] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Muslim, hal. 77, penerbit: Dar Ibn Katsir, Beirut. Cetakan pertama, tahun 2020 M/1423 H.

[20] Thabathabai, Muhammad Husein, Al-Mizan, jil: 19, hal: 276, cet: Al-A’laami Lil Mathbuat, Beirut.

[21] Fakhru Razi, Muhammad Fakhruddin, Tafsirul Fakhrir Razi, jil: 30, hal: 3, cet: Darul Fikr, Beirut.

[22] Fakhr al-Razi, Fakhruddin al-Razi, Ishmat al-Anbiya, hal: 40, cet: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniah, Qaira.

[23] Al-Sayuri al-Hilli, Jamaluddin Miqdad bin Abdullah, al-Lawami’ al-Ilahiyah Fi al-Mabahits al-Kalamiah, hal: 171, cet: Tabriz Iran, 1394 H.

[24] Kasyif al-Ghitha, Muahmmad al-Husain, Ashl al-Syiah wa Ushuluha, hal: 143, cet: Dar al-Adwa.

[25] Al-Hilli, Jamaluddin Al-Hasan bin Yusuf bin Ali bin Al-Muthahar, Kasyful Murad fi Syarhi Tajridil I’tiqad, hal: 326 – 327, Al-A’lami Lil Mathbuat, Beirut.

[26] Al-Ahzab/ 21

[27] Al-Ahzab/ 21

[28] Alusi, Syihabuddin Sayyid Mahmud, Ruh al-Maani, jil: 11, hal: 223, cet: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, beirut, 1999 M/ 1420 M, pertama.