• Mulai
  • Sebelumnya
  • 18 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1280 / Download: 577
Ukuran Ukuran Ukuran
Menjawab Syubhat-syubhat Sekte Al-Yamani

Menjawab Syubhat-syubhat Sekte Al-Yamani

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Menjawab

Syubhat-Syubhat Sekte Al-Yamani

Tim Muslim Menjawab

Aliran al-Yamani dan Klaim Ahmad al-Hasan

Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang salah satu aliran yang muncul beberapa tahun silam dan dikenal dengan nama al-Yamani. Aliran ini berkeyakinan atas klaim pemimpinnya yaitu Ahmad al-Hasan yang mengaku dirinya sebagai washi atau wali Imam Zaman berdasarkan sebuah hadis yang ia sebut dengan hadis wasiat. Dalam website resminya Ahmad al-Hasan mengklaim dirinya sebagai imam Ahlulbait dari keturunan Imam Mahdi As dan dia mengaku sebagai washi atau khalifahnya imam Mahdi Af yang disebut sebagai Mahdi yang pertama.

Dalam website tersebut tertulis nasab dari Ahmad al-Hasan sebagai berikut:

“Namanya al-Imam Ahmad bin Sayyid Ismail bin Sayyid Sholeh bin Sayyid Husain bin Sayyid Salman bin al-Imam Muhammad bin al-Imam Hasan bin al-Imam Ali bin al-Imam Muhammad bin al-Imam Ali bin al-Imam Musa bin al-Imam Ja’far bin al-Imam Muhammad bin al-Imam Ali bin al-Imam Husain bin al-Imam Ali bin Abi Thalib As.”

Hal ini berarti ia mengklaim bahwa dirinya merupakan generasi kelima dari putra imam Mahdi As.

Dan pada hakikatnya, berdasarkan surat kabar Alarabiya telah dilakukan penyelidikan oleh polisi setempat bahwa nasab Ahmad al-Hasan tidak sampai pada Nabi Saw, dan tidak ada hubungannya dengan imam Mahdi As.

Adapun nasab aslinya ialah Ahmad bin Ismail bin Shaleh bin Husain bin Salman bin Daud bin Hambush (Alhambush merupakan desa yang pernah ditinggali oleh Ahmad al-Hasan) bin Muhammad bin Ridwan bin Burhan… dan seterusnya. Nama keluarganya adalah Albu Suwailam yang kembali pada Bani Salim yang merupakan Kabilah Mudharriyah Adnaniyah Kharzariyah. Untuk lebih detail pembaca yang budiman bisa merujuk disini.

Ada beberapa catatan terkait apa yang diklaim oleh Ahmad al-Hasan yang mengaku dirinya sebagai imam dan keturunan Imam Mahdi Af.

Berdasarkan klaimnya, Ahmad al-Hasan merupakan putra dari putra-putra Imam Mahdi As, Jika kita anggap Imam Mahdi menikah di masa gaib kubro, maka sebagai pendekatan, seharusnya usia nenek-moyang mereka (Hasan Yamani) (hasil dari pernikahan Imam Mahdi) berusia tiga ratus tahun. Sekarang, lalu kenapa anak-anak keturunan Imam Mahdi yang berusia tiga ratus tahun itu tidak lebih berharga dari Syekh Thusi hingga Sayyid Khu’i, yang seharusnya keduanya menjelaskan (tentang keturunan Imam Mahdi) itu di dalam kitab rijal mereka.

Disebutkan pula bahwa Ahmad al-Hasan mengklaim dirinya sebagai washi Imam Zaman berdasarkan mimpi dan istikharahnya. Hal ini tentu tidak menunjukkan kebenaran dan terdapat kemungkinan kebohongan, karena semua orang bisa mengklaim hal tersebut jika hanya berdasarkan mimpi atau istikharah.

Terlepas dari itu semua Ahmad al-Hasan juga tidak menyambut mubahalah atau tantangan dari orang-orang Syiah untuk membuktikan kebenaran klaimnya dengan bersandar pada sebuah riwayat yang datang dari Imam Hadi As. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa dagingnya putra Fathimah as haram untuk hewan buas.[1] Seperti yang dilakukan oleh Imam Hadi as waktu itu yang memasuki kandang singa yang lapar dan membuktikan bahwa keturunan Sayyidah Fathimah tidak akan dimakan oleh hewan buas.

Lalu, apakah seseorang mengaku sebagai Imam, atau Yamani, atau kedudukan lainnya yang semisalnya bisa dibenarkan?

Mungkin riwayat yang akan kami sebutkan ini akan menjawab pertanyaan tersebut.

…Dari al-Husain bin al-Mukhtar ia berkata: aku bertanya pada Abu Abdillah As tentang ayat,

( وَيَوْمَ الْقِيامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى اللَّه ) “Dan pada hari Kiamat engkau akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah” Imam Shadiq as mengatakan: Setiap orang yang mengklaim dirinya imam dan ia bukan imam. Aku berkata: walaupun (yang mengkalim) itu keturunan Fathimah atau Ali? Imam as menjawab: walaupun begitu.[2]

Jadi, sesiapa yang mengaku Imam, khalifah, wali, atau kedudukan lainnya secara batil dan tidak benar, maka dia telah berdusta pada Allah Swt sesuai dengan ayat tersebut. Dan itu berlaku walaupun ia merupakan keturunan Fathimah atau Ali as.

Adapaun pembahasan lebih jauh tentang syubhat-syubhat lainnya yang berkaitan dengan al-Yamani, insya Allah akan dikupas pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.

Wallahu A’lam

Kesalahan Fatal Ahmad Hasan Bashri dalam Berargumentasi

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sebuah sekte atau kelompok baru yang menamakan dirinya sebagai al-Yamani, sedang mengusik keyakinan umat Islam. Kehadiran sekte serta aliran baru ini bersamaan dengan berbagai pengakuan dan pernyataan yang menurut klaim mereka sendiri memiliki argumentasi yang dapat membuktikan kebenaran paham yang diimani.

Oleh karena itu, untuk membuktikan benar atau salahnya pengakuan tersebut, perlu dikaji sejauh mana kekuatan argumentasi yang diajukan. Dan mengingat bahwa mereka telah mengutarakan banyak pengakuan dan pernyataan bersama dengan dalil-dalil yang dianggap otentik, maka beberapa tulisan kedepan akan mengupas berbagai pengakuan dan sanggahan terhadap dalil yang telah dipaparkan tersebut, sehingga kekeliruan sekte ini dapat dibuktikan secara ilmiah.

Pada seri sebelumnya telah disebutkan secara umum sebagian dari pengakuan Ahmad Hasan Yamani. dan pada tulisan tersebut pengakuan Ahmad Hasan Bashri atau Yamani sebagai keturunan Imam Mahdi telah dibantah.

Melanjutkan seri tersebut, pada tulisan ini akan diajukan pengakuan Ahmad Hasan Yamani lainnya. Yaitu pengakuan bahwa ia adalah Mahdi pertama dari beberapa orang mahdi yang menjadi washi (pemegang wasiat) atau pelanjut dari Imam Mahdi As.

Argumentasi atau dalil yang diajukan oleh kelompok ini sebagaimana dimuat di situs sekte ini[3] adalah hadits wasiat yang termaktub di dalam kitab al-Ghaibah Syaikh Tusi yang berbunyi:

عن أبي عبد الله جعفر بن محمد ، عن أبيه الباقر ، عن أبيه ذي الثفنات سيد العابدين ، عن أبيه الحسين الزكي الشهيد ، عن أبيه أمير المؤمنين عليه السلام قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم – في الليلة التي كانت فيها وفاته – لعلي عليه السلام : يا أبا الحسن أحضر صحيفة ودواة فاملا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم وصيته حتى انتهى إلى هذا الموضع فقال : يا علي إنه سيكون بعدي اثنا عشر إماما ومن بعدهم إثنا عشر مهديا ، فأنت يا علي أول الاثني عشر إماما سماك الله تعالى في سمائه: عليا المرتضى ، وأمير المؤمنين ، والصديق الاكبر ، والفاروق الاعظم ، والمأمون ، والمهدي ، فلا تصح هذه الاسماء لاحد غيرك يا علي أنت وصيي على أهل بيتي حيهم وميتهم ، وعلى نسائي : فمن ثبتها لقيتني غدا ، ومن طلقتها فأنا برئ منها ، لم ترني ولم أرها في عرصة القيامة ، وأنت خليفتي على أمتي من بعدي فإذا حضرتك الوفاة فسلمها إلى ابني الحسن البر الوصول ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابني الحسين الشهيد الزكي المقتول ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه سيد العابدين ذي الثفنات علي ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الباقر ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه جعفر الصادق ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه موسى الكاظم ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الرضا ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد الثقة التقي ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه علي الناصح ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه الحسن الفاضل ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه محمد المستحفظ من آل محمد عليهم السلام فذلك اثنا عشر إماما ، ثم يكون من بعده اثنا عشر مهديا ، فإذا حضرته الوفاة فليسلمها إلى ابنه أول المقربين (وفي مصادر اول المهديين) له ثلاثة أسامي : اسم كاسمي واسم أبي وهو عبد الله وأحمد ، والاسم الثالث : المهدي ، هو أول المؤمنين

….dari Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad dari… (orang tua beliau sampai Imam al-Husain As) dari Amir al-Mukminin As, ia berkata: pada malam Rasulullah Saw wafat, ia berkata kepada Ali As: datangkanlah buku dan pena. Lalu beliau mengimlakkan wasiatnya sampai pada penggalan ini, lalu beliau bersabda: wahai Ali sesungguhnya setelahku akan ada 12 imam dan setelahnya ada 12 mahdi. Maka engkau wahai Ali adalah imam pertama dari 12 imam. …………. Ketika kematian mendatanginya ia akan menyerahkannya kepada anaknya Muhammad sang penjaga dari keluarga Muhammad Saw. Itulah 12 imam. Kemudian setelah itu akan ada 12 mahdi. Maka jika kematian menghampirinya (Imam Mahdi yang bernama Muhammad) maka ia menyerahkannya (kepemimpinan) kepada anak pertamanya sebagai muqarrabin (di sebagain sumber mahdiyyin) pertama. Ia memiliki tiga nama. Nama seperti Namaku dan ayahku yaitu Abdullah, Ahmad dan nama ke tiga adalah al-Mahdi, dan ia adalah mukmin pertama.

Penggagas sekte ini dengan berpegang kepada penggalan terakhir yang menyatakan bahwa ketika imam Mahammad al-Mahdi wafat maka akan digantikan oleh anak pertamanya sebagai mahdiyin atau muqarrabin pertama. Begitu juga penggalan yang memuat tentang karakteristik mahdiyyin pertama tersebut; karena sedikit memiliki kesamaan dengan identitas yang ia miliki (namanya Ahmad), mengaku sebagai representasi dari nama yang disebutkan di dalam riwayat tersebut, lalu memproklamirkan dirinya sebagai mahdi pertama.

Tapi yang namanya kepalsuan, ditutupi sebagus apun akan tetap meninggalkan celah yang dapat membuktikan kebohongannya.

Termasuk Ahmad Hasan Bashri, ia lupa jika di dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa washi Imam Mahdi dilantik ketika imam Mahdi telah wafat, sedangkan Ahmad Hasan memproklamirkan dirinya sebagai washinya sementara beliau belum wafat. Bahkan belum muncul dari kegaibannya dalam keyakinan Syiah atau belum lahir dalam keyakinan Ahlussunnah.

Yang kedua disebutkan dalam riwayat yang dijadikan dalil bahwa washi Imam Mahdi itu merupakan anak langsung beliau, sementara Ahmad Hasan berdasarkan pengakuannya, merupakan cucu beliau bukan anak langsung.

Atas dasar keganjilan ini maka dapat dipastikan bahwa Ahmad Hasan telah melakukan pernyataan palsu. Maka dengan itu ia termasuk washi palsu Imam Madi As.

Mengkritisi ‘Klaim’ Ahmad Hasan Al-Yamani (Bag. 1)

Beberapa tahun terakhir, aliran yang meyakini tentang keturuanan Imam Mahdi atau yang lebih masyhur dikenal aliran Yamani perlahan-lahan mulai tersebar di belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan tak sedikit dari masyarakat kita, lebih-lebih yang bermazhab Syiah meyakini aliran tersebut.

Tokoh yang digadang-gadang sebagai keturuan Imam Mahdi ini, bernama Ahmad Ismail Saleh Al-Salami Al-Bashri, atau yang lebih familiar dengan julukan Ahmad Hasan Basri al-Yamani. Tak sedikit klaim yang ia utarakan, namun klaim yang paling menonjol adalah, bahwa ia mengaku sebagai putra dari Imam Mahdi.

Pengakuan tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Pengakuan itu, setidaknya didasari oleh beberapa riwayat yang ia pelintir sedemikian rupa, dengan tujuan untuk meyakinkan pengikutnya, bahwa keturuan Imam Mahdi itu ada, dan dialah perwujudannya. Di dalam tulisan sebelumnya, telah diulas tentang sosok ini dari ragam riwayat dan dalil untuk mematahkan klaimnya.

Untuk melengkapi tulisan sebelumnya, penulis bawakan riwayat, di mana riwayat ini acap kali dijadikan sebagai senjata oleh Hasan Basri al-Yamani untuk meyakinkan pengikutnya kalau-kalau ia adalah keturunan Imam Mahdi. Di sisi lain, penulis juga mencoba untuk mematahkan riwayat ini melalui dalil-dalil yang ada.

Sebelum mengkritisi riwayat ini, mari kita membacanya terlebih dahulu.

Sekelompok orang dari Abdullah Husain bin Ali bin Sufyan Bezufari telah memberi kabar kepada kami dari Ali bin Sinan Mousuli Adl dari Ali bin Husain dari Ahmad bin Muhammad bin Khalil dari Ja’far bin Ahmad Mesri dari pamannya Hasan bin Ali dari ayahnya, dan dari Imam Shadiq, dari ayahnya, Imam Baqir, dari ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin dar ayahnya, Imam Husain dan dari ayahanya, Imam Ali, ia berkata, “Rasulullah di malam detik-detik kematiannya, ia berkata kepada Ali, ‘Wahai Abal Hasan, bawakan aku secarik kertas dan pena!’

‘Lalu, Rasulullah mendiktekan sesuatu dengan berkata, ‘Wahai Ali, setelahku akan ada dua belas imam dan setelah mereka akan ada dua belas Imam Mahdi. Maka, engakau, wahai Ali, termasuk orang pertama dari dua belas imam itu. Dan engkau akan menjadi khalifah setelahku di tengah umatku. Jika kematianmu telah tiba, berikanlah (tampuk kepemimpinan itu) kepada Hasan yang dermawan. Jika kematiannya telah tiba, serahkan itu kepada Husain Syahid yang suci. Jika kematiannya telah tiba, maka serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada Zainal Abidin.

‘Jika kematiannya telah tiba, berikan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Muhammmad Al-Baqir. Jika kematiannya telah tiba, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Ja’far As-Shadiq. Jika kematiannya telah tiba, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Musa Al-Kadzim. Jika kematiannya telah tiba, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Ali Ridho. Jika kematiannya telah tiba, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Muhammad Taqi. Jika kematiannya telah tiba, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Ali Al-Hadi. Jika kematiannya telah tiba, maka serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Imam Hasan Fadil (Imam Hasan Askari).

‘Jika kematiannya telah tiba, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Muhammad penjaga dari keluarga Muhammad (Imam Mhadi). Dan mereka adalah dua belas imam. Kemudian, setelahnya ada dua belas Imam Mahdi. Jika sewaktu-waktu ia mati, serahkan (tampuk kepemimpinan itu) kepada putranya, Mahdi pertama, di mana ia memiliki tiga nama. Nama pertama sama seperti namaku, dan namanya yang lain seperti nama ayahku, dan nama itu adalah Abdullah dan Ahmad, dan nama ketiganya adalah Mahdi. Dan dia adalah orang yang pertama kali beriman.’”[4]

Riwayat yang dinukil dari dalam kitab Gaibah At-Thusi karya Syekh Thusi ini oleh beberapa ulama kesohor Syiah ditolak dengan beberapa dalil yang mereka tawarkan.

Allamah Ali bin Yunus Bayadi Amuli berkata, “Riwayat 12 Imam Mahdi setelah 12 Imam adalah bagia dari riwayat yang syadz (langka). Dan riwayat ini bertentengan dengan seluruh riwayat senada yang shahih dan mutawatir. Maka, sesuai dengan riwayat tersebut, setelah pemerintahan Al-Mahdi, tidak akan ada pemerintahan yang lain.”

Ayatullah Majelisi juga mengomentari terkait riwayat di atas, bahwa riwayat tersebut bertentangan dengan mayoritas riwayat.

Dikarenakan pembahasan ini cukup panjang, maka penulis akan melanjutkannya di bagian kedua. Semoga pembaca yang setia tetap semangat untuk mengikuti kajian ini.

Menelisik Sisi Shudur (Muncul dari Maksum) Hadis Wasiat

Munculnya sekte baru dengan mengusung nama al-Yamani baru-baru ini, cukup menarik perhatian masyarakat muslim tak terkecuali di negeri kita tercinta. Sekte ini terlahir dengan hadirnya sosok Ahmad Hasan Bashri yang mengklaim diri sebagai keturunan dan pelanjut dari imam Mahdi.

Berangkat dari hadis wasiat, hadis yang kerap dijadikan dalil oleh para pengikut Ahmad Hasan Bashri untuk menunjukkan akar keabsahan dari keyakinan mereka. Hadis tersebut di sisi lain menuai berbagai kritikan dan pertanyaan, baik dari segi muatan yang dikandungnya, seperti yang sedikitnya telah diulas dalam tulisan yang lalu, ataupun dari sisi sanad (silsilah perawi hadis) yang dimilikinya.

Dalam kaitannya dengan sanad dari hadis wasiat, para pengikut sekte ini cenderung menutup mata dari hasil yang diperoleh hadis tersebut dalam tinjauan ilmu rijal, bahkan langsung mengklaim bahwa hadis itu sudah pasti Shudur-nya, dengan argumentasi sebagai berikut:

“yang tetap (menjadi patokan) di kalangan (Syiah) bahwa penetapan sanad sebuah riwayat, bukan bermakna penetapan kepastian Shudur-nya (dari maksum), akan tetapi yang tujuan akhir dari apa yang bisa diberikan oleh sanad yang sahih adalah Dzanniyah (keterdugaan) Shudur-nya (dari maksum) yang seringkali ditemukan dalam (bab) fikih dan bukan akidah.. Oleh karenanya, persoalan kesahihan sanad bukanlah hal yang mendasar dalam akidah, sebab di dalam akidah yang disyaratkan adalah ilmu yakni yakin (Qath’) dan pasti (Jazm), dan hal ini tidak dihasilkan dari kesahihan sanad seperti yang telah disebutkan, akan tetapi yakin dan pasti ini bisa dijangkau dengan dua metode utama yaitu Tawatur (kemutawatiran) dan Qara’inus Shihhah (konteks-konteks yang menandakan kesahihan).”[5]

“Riwayat wasiat temanya adalah akidah, seperti yang sudah jelas. Oleh sebab itu (dalam menyikapinya) kita harus menempuh prosedur-prosedur yang dengannya dapat menetapkan (persoalan) akidah.. Dan riwayat wasiat itu mutawatir secara makna (Mutawatir Maknawi) juga memiliki beberapa Qarinah (konteks) yang menunjukkan kepastian Shudur-nya dari nabi Muhammad Saw.”[6]

“Dan kesimpulannya bahwa riwayat wasiat sudah pasti Shudur-nya dari nabi Muhammad Saw, disebabkan kemutawatiran maknanya dan keterikatannya dengan beberapa Qarinah, diantaranya yang paling utama adalah kesesuaiannya dengan al-Quran al-Karim dan sunnah suci dari nabi Muhammad Saw dan Ahlulbaitnya As yang suci, dengan itu maka riwayat wasiat tidak membutuhkan rekomendasi dari ilmu rijal dengan adanya rekomendasi Allah Swt, Rasul-Nya Saw dan para imam maksum As.”[7]

Dari penjelasan di atas terdapat beberapa catatan yang bisa kita jadikan bahan renungan, diantaranya:

Pertama, pengikut Ahmad Bashri ini berupaya mengatasi masalah hadis wasiat dari segi sanadnya di dalam ilmu rijal dengan menafikan ilmu tersebut merangkul ilmu dirayah, ia memakai istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu dirayah, seperti penggunaan istilah mutawatir maupun Qarainus Shihhah. Hal ini dianggap benar, sedangkan dalil yang ia gunakan untuk menolak ilmu rijal, dengan asumsi bahwa ilmu tersebut adalah buatan ulama bukan dari para maksum As, dapat berlaku juga terhadap ilmu dirayah dengan pertimbangan yang sama. Sebab ilmu dirayah juga merupakan kaidah yang dibuat oleh para ulama terdahulu dalam menimbang nilai sebuah hadis. Dan sebagaimana yang masyhur bahwa buku pertama yang membahas persoalan ini adalah yang telah ditulis oleh Syahid as-Tsani (911 H).

Sehingga dalil yang mereka susun untuk menjelaskan kepastian Shudur riwayat wasiat ini terbantahkan dengan dalil mereka sendiri atas pengingkaran terhadap ilmu rijal.

Kedua, kaidah yang diungkapkan oleh pengikut Ahmad Bashri ini juga tidak memiliki ksesuaian dengan hadis-hadis ahad (hadis yang perawinya di setiap generasi tidak sampai pada derajat Tawatur) dalam akidah. Dan Qarainus Shihhah serta Tawatur Maknawi juga tidak bisa menggapai semua hadis-hadis ahad tersebut, sebab tidak semua hadis memiliki kedua hal itu, seperti misalnya, hadis-hadis yang bercerita tentang azab suatu amal di dalam neraka, pahala suatu amal di surga dan kelompok pertama yang masuk surga dll. Yang mana kebanyakan dari hadis-hadis seperti itu merupakan hadis ahad dan dengan kaidah yang dijelaskan tadi, menjadi tidak memiliki potensi atau bahkan mustahil untuk sampai pada tahap yakin.

Ketiga, masalah penelitian dan memperoleh kepastian akan kesahihan sanad dari setiap hadis dalam segala bidang dan temanya, baik itu dalam ranah fikih, akidah atau bahkan lebih umum lagi, adalah persoalan yang logis dan dibenarkan. Oleh sebab itu dengan melihat sensitivitas dan kepentingan hadis-hadis dalam wilayah akidah dibandingkan hadis-hadis fikih atau lainnya, seharusnya sanad dari kelompok hadis-hadis tersebut diteliti secara lebih ketat, sehingga dengan langkah ini dapat mencegah khurafat-khurafat yang ada masuk ke ranah akidah. Oleh sebab itu meneliti sanad hadis-hadis dalam ruang akidah ini adalah syarat yang wajib, meskipun hal ini bukan menjadi syarat yang cukup dalam menentukan kesahihan sebuah riwayat.

Keempat, asas-asas akidah dalam Islam hanya bisa ditetapkan melalui Tawatur Lafdzi (kemutawatiran dalam lafal) bukan dengan Tawatur Maknawi (kemutawatiran makna). Sebab asas akidah dapat terbentuk apabila terjadi pengulangan atau penukilan dalam lafal sedemikian rupa banyaknya sehingga dapat digolongkan ke dalam Dharuriyyatiddin (hal-hal pokok agama), maka dari itu apabila pengulangan atau penukilanya sedikit dan demi menetapkannya sebagai bagian pokok agama bersandar pada Tawatur Maknawi, maka hal itu tidak dapat dibenarkan.

Kelima, Tawatur Maknawi yang didakwakan oleh pengikut Ahmad Bashri berkenaan dengan hadis wasiat ini tidak dapat dipertahankan. Sebab selain tidak memiliki sanad, baik itu hadis yang secara utuh menyerupainya ataupun hadis-hadis berbeda yang memiliki kesesuaian kandungannya dengan hadis wasiat, juga diakui kelangkaan dan sedikit jumlahnya oleh para ulama. Sehingga hadis tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hadis yang mutawatir maknanya. Lain halnya jika yang dimaksud adalah terkait 12 imam setelah nabi Muhammad Saw, atau tentang imam Mahdi, maka ini yang dapat kita temukan dengan berbagai periwayatan dan sanad yang ada.

Syubhat Indikasi Keshahihan Hadis Wasiat al-Yamani

Pada bahasan sebelumnya, kita telah mengupas dan menjawab syubhat terkait sanad dari hadis wasiat yang di sodorkan oleh aliran pengikut Ahmad Hasan Bashri. Kita sudah sampaikan bahwa hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir seperti yang di klaim oleh aliran tersebut, dengan dalil dan catatan-catatan yang telah kita sampaikan sebelumnya.

Adapun kali ini, kita akan bahas sekaligus menjawab syubhat terkait indikasi keshahihan hadis tersebut. Pengikut Ahmad Hasan Bashri ini mengklaim bahwa hadis wasiat terindikasi sebagai hadis yang shahih karena hadis tersebut sesuai dan selaras dengan al-Quran. Sebagaimana terdapat kaidah bahwa hadis yang sesuai al-Quran adalah benar, dan yang bertentangan dengan al-Quran adalah palsu.

Nazim al-‘Uqaili dalam kitabnya Difa’an ‘anil Washiyah mengatakan, riwayat wasiat sesuai dan selaras dengan al-Quran. Dan Syahidnya adalah ayat al-Quran surat al-Baqarah ayat 180.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa[8]

Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya berwasiat ketika mau meninggal. Untuk itu, dengan melihat tidak adanya riwayat lain sekaitan dengan riwayat wasiat Rasulullah Saw di malam wafatnya selain riwayat yang ada dalam kitab Ghaibah at-Thusi, maka sesiapa yang ragu dengan riwayat wasiat ini, ia telah menghukumi Rasulullah Saw telah melanggar dan tidak melaksanakan perintah Allah Swt untuk berwasiat.[9]

Untuk menjawab Syubhat ini kita katakan,

Pertama, maksud dari ayat tersebut ialah wasiat sekaitan dengan harta dan tidak melingkupi perkara-perkara lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Baqir dan Imam Shadiq As bahwa khair disitu bermakna harta.[10]

Jadi hal terkahir yang bisa dibuktikan dari ayat tersebut ialah wasiat nabi sekaitan dengan hartanya atau warisannya.

Kedua, atas keyakinan muslim Syiah bahwa wasiat ketika hendak meninggal tidaklah wajib. Sehingga seseorang yang tidak berwasiat di waktu tersebut ia tidak mendapat hukuman Allah Swt. Disamping itu, Allamah Thabathabai dalam tafsirnya al-Mizan mengatakan bahwa petunjuk wajibnya disitu menjadi lemah karena wasiat tersebut dikaitkan dengan kata( حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ ) yang mana kalau ingin menisbahkan hukum wajib seharusnya menggunakan kata (حَقًّا عَلَى الْمُومنين ) .[11]

Ketiga, kandungan dari ayat tersebut tidak menunjukkan wasiat Rasulullah Saw perihal Imamah atau Khalifah. Asli pembahasan dalam ayat tersebut hanya menunjukkan perkara wasiat.

Keempat, ungkapan yang mengatakan bahwa tidak ada riwayat lain selain hadis wasiat sekaitan dengan wasiat Rasulullah Saw adalah tidak benar. Terdapat riwayat yang muktabar sekaitan dengan wasiat Rasulullah Saw perihal Imamah atau Khalifah. Seperti riwayat yang disebutkan dalam kitab Salim bin Qais al-Hilali. Dalam riwayat yang cukup panjang tersebut Rasulullah Saw mewasiatkan perihal Khalifah setelahnya, dimulai dari Imam Ali bin Abi Thalib as kemudian Imam Hasan, lalu Imam Husain as dan setelahnya Sembilan imam dari keturunan Imam Husain as.[12]

Dalam riwayat tersebut Rasulullah Saw menyebutkan Khalifah setelahnya berjumlah dua belas, seperti yang banyak disebutkan dalam hadis-hadis Masyhur lainnya, dan tidak menyebutkan setelahnya ada dua belas Mahdi seperti yang di klaim oleh aliran al-Yamani dalam hadis wasiat. Riwayat ini juga sesuai dengan tuntunan al-Quran yang menganjurkan setidaknya ada dua orang saksi adil dalam berwasiat saat hendak meninggal, seperti yang tercantum dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat 106.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ ,,

Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu…

Adapun dalam hadis wasiat Ahmad Hasan Bashri tidak ditemukan dalam matannya perihal kesaksian dua orang adil. Sedangkan riwayat yang ada dalam kitab Salim bin Qais disebutkan disitu ada tiga Sahabat Rasulullah Saw yang menjadi saksi ketika Rasulullah Saw memberikan wasiat.

Wallahu A’lam

Kedhaifan Rawi Hadits Wasiat Yang Menjadi Dalil Sekte al-Yamani

Pada beberapa seri sebelumnya sudah banyak disinggung tentang kerancuan dan kegagalan argumentasi sekte al-Yamani. Dalil-dalil serta bukti yang diajukan oleh kelompok ini tidak lebih dari hanya sekedar klaim di atas klaim lainnya. Alih-alih mengajukan dalil untuk membuktikan kebenaran klaim awalnya, sekte ini malah kembali mengajukan klaim lainnya.

Klaim-klaim yang dimaksud berupa pengakuan sebagai anak Imam Mahdi, mahdiyyin pertama dari 12 mahdiyyin setelah Imam Mahdi, kemutawatiran (maknawi) hadits wasiat maupun kesesuaian hadits wasiat dengan al-Quran. Di mana kesemuanya ini hanya berupa klaim yang tidak dapat dibuktikan oleh kelompok al-Yamani. Dan pada beberapa tulisan sebelumnya semua klaim tersebut telah mendapat bentahannya secara proporsional.

Melanjutkan sanggahan atas klaim-klaim sekte ini, pada tulisan ini akan diajukan bukti lain yang dapat menunjukkan ketidak shahihan hadits wasiat yang dijadikan dasar kebenaran mazhab al-Yamani oleh kelompok tersebut.

Yang ingin dikaji adalah salah seorang perawi yang ada di dalam sanad hadits wasiat. Tepatnya perawi yang bernama Ahmad bin Muhammad bin Khalil. Al-Arbauna Hadisan fil Mahdiyin fi Durriyatihim Al-Qaim, Syekh Nadzim Al-Aqili, menyebutkan sanad hadits wasiat demikian:

“Sekelompok orang dari Abdullah Husain bin Ali bin Sufyan Bezufari telah memberi kabar kepada kami dari Ali bin Sinan Mousuli Adl dari Ali bin Husain dari Ahmad bin Muhammad bin Khalil dari Ja’far bin Ahmad Mesri dari pamannya Hasan bin Ali dari ayahnya, dan dari Imam Shadiq, dari ayahnya, Imam Baqir, dari ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin dar ayahnya, Imam Husain dan dari ayahanya, Imam Ali, ia berkata:[13]

Mengomentari periwayat yang disebutkan di atas kitab Rijal al-Najasyi memuat pernyataan berikut:

“Ahmad bin Muhammad Abu Abdillah al-Amuli al-Thabari, sangat lemah dan tidak layak untuk mendapat perhatian. Dia memiliki kitab bernama al-Wushul Ila Ma’rifat al-Ushul dan kitab al-Kasyf.[14]

Pernyataan di dalam kitab rijal di atas menjadi bukti bahwa hadits wasiat yang dijadikan landasan sekte al-Yamani merupakan hadits daif karena salah seorang perawinya merupakan rawi yang sangat lemah yang tidak pantas untuk dilihat dan diikuti riwayat-riwayatnya.

Oleh karena itu, selain matan yang tidak mendukung klaim, hadits wasiat juga ternyata tidak masuk dalam kategori hadits shahih.

Mengkritisi ‘Klaim’ Ahmad Hasan Al-Yamani (Bag. 2)

Sebagaimana yang telah kita ketahui dari beberapa pandangan ulama Syiah terkait riwayat tersebut, maka sebagai penegasan, sejatinya para ulama Syiah telah bersepakat, bahwa riwayat yang terdapat di dalam kitab Gaibah Ath-Thusi tersebut bertentangan dengan kebanyakan riwayat, dan riwayat tersebut diyakini sebagai riwayat yang langka. Dalam hal ini, Imam Ja’far Shadiq berakata,

“Ambilah hukum (hadis/riwayat) dari kami, yang di dalamnya terdapat kesepakatan (perawi), dan tinggalkanlah hukum yang di dalamnya langka dan tidak masyhur di antara para sahabat. Sesungguhnya, (hukum) yang di dalamnya terdapat kesepakatan dan masyhur, tidak ada keraguan di dalamnya.”[15]

Dengan membaca keterangan dari Imam Ja’far as-Shadiq barusan, tentu memperkuat pandangan ulama Syiah, bahwa riwayat yang langka tidak layak dijadikan sebagai sandaran. Ahmad Hasan Al-Yamani, untuk membela riwayat wasiat yang ia bawakan, berkata begini,

“Di dalam kepercayaan sebuah kaum (Syiah), penetapan kesahihan sanad riwayat adalah tidak adanya kepastian yang dikeluarkannya (riwayat tersebut dari para imam maksum). Bahkan, tujuan dari pengeluaran riwayat tersebut berdasarkan prasangka, di mana hal itu terdapat di dalam ilmu fikih dan bukan di dalam akidah…. Kalau begitu itu, masalah kesahihan sanad bukanlah perkara hakiki di dalam pembahsan akidah, lantara di dalam ilmu akidah disayaratkan di dalamnya ada sebuah ilmu, yitu khat’ dan jazm (kepastian dan keyakinan), dan hal ini tidak dihasilkan dari kesahihan sanad, sebagaimana yang berlalu. Bahkan (hal itu) dihasilkan melalui dua perkara jazm dan qhat dengan dua metode: mutawatir dan keterangan-keterangan sahih…

Dan pokok pembahasan dari riwayat ini adalah perakara akidah, maka harus diteliti dengan dua metode di atas. Riwayat di atas merupakan mutawatir maknawi dan dipertegas dengan keterangan-keterangan yang shahih…. Kesimpulannya, sesungguhnya riwayat wasiat ini keluar dari Nabi Saw. secara pasti, karenanya ia memiliki mutawatir maknawi dan diperkuat dengan keterangan yang shahih. Paling pentingnya keterangan yang shahih adalah, 1. Sesuai dengan al-Quran, 2. Sesuai dengan kesucian Nabi Saw. dan Ahlulbaitnya. Riwayat wasiat ini tidak perlu ilmu rijal dan dari penegasan Allah dan Rasulnya serta para Imam yang suci.”[16]

Untuk menanggapi ungkapan Ahmad Hasan al-Yamani, berikut ini ada beberapa sanggahan yang dapat kita baca dan pelajari bersama.

Pertama, perlu kita ketahui, bahwa Ahmad bin Hasan adalah sosok yang berpaling dari ilmu rijal dan lebih memilih ilmu diroyah. Dan dengan ilmu tersebut, ia berusaha memakai istilah-istilahnya seperti mutawatir, keterangan-keterangan shahih dan sebagainya, untuk menyelesaikan masalah riwayat wasiat tersebut. Karenanya, sebelum menggunakan ilmu diroyah untuk menetapkan keluarnya riwayat wasiat, hendaknya ia harus menyeselaikan terlebih dahulu, kenapa ilmu rijal menurut keyakinannya tidak termasuk ilmu di dalam mazhab Ahlulbait, dan dia lebih mendahulukan ilmu diroyah.

Kedua, pokok keyakinan di dalam Islam hanya diperoleh melalui dasar mutawatir lafdzi. Sedangkan muatawatir maknawi tidak dalam koridor penetapan pokok keyakinan tersebut. karenanya, dasar keyakinan hanya akan terealisasi dengan mutawatir lafdzi, bukan mutawatir maknawi.

Mutawatir maknawi adalah sebuh riwayat yang memiliki kandungan dengan kata-kata dan ungkapan yang berbeda-beda. Sementara, Mutawatir Lafdzi adalah sebuah riwayat yang memiliki dengan kata-kata dan kalimat yang memiliki kesamaan.

Ketiga, kemutawatiran klaim Ahmad bin Hasan Al-Yamani, terlebih terkait dengan riwayat wasiat, percuma untuk disangkal. Lantaran, tak ada satu pun sanad yang dapat kita akses, baik di dalam hadis maupun kandungan riwayat.

Dengan pemaparan di atas, semoga sedikit-banyak membuka pikiran kita tentang aliran Yamani ini, dan menjadikan kita lebih jeli dan bijak dalam beragama.

Terdapat Kontradiksi di dalam Matan Hadits Wasiat, Dalil Sekte al-Yamani Tertolak

Seri ini masih seputar kajian sekte al-Yamani; dan masih berkutat pada pembahasan hadits wasiat yang merupakan dalil inti yang dijadikan sebagai landasan ajaran kelompok tersebut.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pada tulisan sebelumnya sudah banyak diulas seputar kajian sanad dan status hadits tersebut, oleh karena itu pada tulisan kali ini akan dipaparkan kajian matan atau konten hadits; dimana terdapat kontradiksi yang cukup fatal antara muatan di awal dan akhirnya.

Untuk memperjelas konten yang kontradiksi tersebut, akan disebutkan matan hadits berikut, yang tentu saja bersumber dari kitab dan literatur yang dimiliki oleh kelompok al-Yamani:

“Sekelompok orang dari Abdullah Husain bin Ali bin Sufyan Bezufari telah memberi kabar kepada kami dari Ali bin Sinan Mousuli Adl dari Ali bin Husain dari Ahmad bin Muhammad bin Khalil dari Ja’far bin Ahmad Mesri dari pamannya Hasan bin Ali dari ayahnya, dan dari Imam Shadiq, dari ayahnya, Imam Baqir, dari ayahnya, Imam Ali Zainal Abidin dar ayahnya, Imam Husain dan dari ayahanya, Imam Ali, ia berkata: pada malam Rasulullah Saw wafat, ia berkata kepada Ali As: datangkanlah buku dan pena. Lalu beliau mengimlakkan wasiatnya sampai pada penggalan ini, lalu beliau bersabda: wahai Ali sesungguhnya setelahku akan ada 12 imam dan setelahnya ada 12 mahdi. Maka engkau wahai Ali adalah imam pertama dari 12 imam. Di langit Allah menamakanmu Ali, al-Murtadha, Amir al-Mukminin, al-Shiddiq al-Akbar, al-Faruq al-A’dzam, al-Makmun dan al-Mahdi. Nama-nama ini tidak pantas disematkan kepada seorangpun selain dirimu. ………….

…. Kemudian setelah itu akan ada 12 mahdi. Maka jika kematian menghampirinya (Imam Mahdi yang bernama Muhammad) maka ia menyerahkannya (kepemimpinan) kepada anak pertamanya sebagai muqarrabin (di sebagian sumber mahdiyyin) pertama. Ia memiliki tiga nama. Nama seperti namaku dan ayahku yaitu Abdullah, Ahmad dan nama ke tiga adalah al-Mahdi, dan ia adalah mukmin pertama.[17]

Kontradiksi yang dimaksud adalah, penggalan yang memuat tentang nama-nama Imam Ali As di langit. Di mana di dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa beliau memiliki beberapa nama khusus yang tidak akan diberikan kepada selainnya; dalam artian bahwa nama itu hanya untuk beliau dan orang lain tidak berhak mendapat gelar tesebut karena itu merupakan pemberian langsung dari Allah Swt. Dan salah satu nama khusus yang disebutkan adalah al-Mahdi.

Namun, pada penggalan akhir dari hadits yang sama disebutkan bahwa salah satu dari tiga nama dari mahdiyyin pertama adalah al-Mahdi. Tepatnya disebutkan: “dan nama ketiga adalah al-Mahdi”. Dan ini berarti bahwa nama al-Mahdi telah diberikan kepada selain Imam Ali As.

Kontradiksi ini menunjukkkan bahwa hadits yang menjadi dalil sekte al-Yamani ini, tidak layak pakai, dan dengan sendirinya tertolak. Sebab tidak mungkin di dalam hadits para maksumin, dalam hal ini Nabi Saw terdapat kontradiksi.

Oleh karena itu, hanya dengan mengkaji sedikit matan atau konten hadits tersebut ditambah sedikit penggunaan akal sehat, seseorang akan dengan mudah menolak hadits tersebut.

Pandangan Ulama Terhadap Hadis Wasiat

Kepercayaan sekte al-Yamani yang dibangun berdasarkan keterangan yang menyebutkan adanya pemerintahan pasca imam ke-12, yaitu berlanjut dengan 12 Mahdi sebagaimana yang tercatat di dalam hadis dinamai sebagai hadis wasiat, memiliki begitu banyak masalah untuk bisa diterima, baik dari segi sanad maupun kandungannya.

Keberadaan riwayat atau hadis ini sendiri adalah ternyata sudah dari sejak dulu mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Mereka mengkaji, mempelajari serta membandingkannya dengan riwayat-riwayat lainya yang sahih bahkan mutawatir.

Syekh Mufid (413 H) di dalam kitabnya menyinggung pembahasan hadis ini, ia menyebutkan:

“Dan tidak ada satu pun pemerintahan bagi seseorang, setelah pemerintahan Al-Qaim (imam Mahdi As), kecuali apa yang diberitakan dalam sebuah riwayat tentang bangkitnya putra al-Qaim. Namun riwayat tersebut belum masuk pada tingkatan Qath’i (sudah pasti munculnya dari maksum) atau tetap. Dan banyak dari riwayat yang menyebutkan bahwa imam Mahdi umat ini As tidak akan tidak akan berlalu melainkan hingga sebelum terjadinya kiamat dengan jarak 40 hari. Pada saat itu terjadi kekacauan, juga tanda keluarnya orang-yang telah mati dan bangkitnya hari pembalasan demi hisab maupun pembalasan, dan Allah Swt maha mengetahui dengan apa yang akan terjadi dan Dialah sang pemilik taufik bagi kebenaran, dan kepada-Nya kita meminta penjagaan dari kesesatan, dan kepada-Nya kita memohon petunjuk kepada jalan kebenaran. (dan semoga shalawat Allah tercurahkan kepada junjungan kita Muhammad sang nabi dan keluarganya yang suci).”[18]

Begitu pula Ali bin Yunus al-Bayadhi (877 H), seorang alim di bidang kalam dalam kitabnya terkait persoalan hadis wasiat menjelaskan:

“Saya katakan: Riwayat ini (hadis wasiat) adalah riwayat Ahad (periwayatannya tidak mencapai mutawatir), menghasilkan Dzan (sangkaan), sementara masalah Imamah (kepemimpinan) adalah ilmiah (persoalan yakin) dan juga karena nabi Saw (dalam riwayat wasiat) tidak menjelaskan orang-orang terakhir (12 Mahdi) dengan nama-namanya, dan tidak mengungkapkan sifat-sifat mereka, sedangkan adanya kebutuhan untuk mengenal mereka, maka hal ini melazimkan penundaan penjelasan dari kebutuhan, dan tambahan (bagian yang menyebutkan 12 Mahdi) dalam hadis ini juga adalah hal yang ganjil yang bertentangan dengan (hadis) yang masyhur.”[19]

Setelah itu ia menjelaskan jika ada yang berkata bahwa tidak ada kontradiksi antara kedua hadis itu (hadis wasiat dengan hadis masyhur tentang 12 imam) sebab maksud dari riwayat-riwayat tersebut sama, dalam hal menetapkan 12 imam setelah nabi Muhammad Saw. Ia mejawab bahwa jika demikian maka itu adalah kesia-siaan atau pengelabuan dalam menyebut jumlah 12. Sebab dalam banyak riwayat yang disebutkan adalah 12 imam setelah nabi, yang mana 9 dari mereka adalah keturunan dari imam Husein As (imam ke-3). Begitu juga dalam banyak riwayat menyebut 12 imam itu sebagai hujjah Allah Swt bagi manusia.[20]

Catatan: Hujjah adalah bukti yang tidak bisa disangkal dalam kasus ini, sosok imam adalah hujjah bermakna bahwa keberadaan mereka sebagai sosok pengarah, pembimbing, perantara dan pemimpin bagi manusia sehingga nanti di hari pembalasan tidak ada celah atau alasan bagi manusia ketika diminta pertanggungjawaban.

Berangkat dari itu apabila kita kembali melihat hadis wasiat, maka kita akan bertanya-tanya apakah 12 Mahdi yang muncul setelah 12 imam itu merupakan hujjah Allah Swt juga atau bukan? Jawabannya jika iya, maka mengapa nabi dalam hadis wasiat tidak menyatukan mereka menjadi 24 (sebab fungsi dan tugasnya sama) dan memisahkannya dengan 12 imam dan 12 Mahdi adalah hal yang sia-sia seperti yang sudah dijelaskan. Jika jawabannya tidak, mereka bukan hujjah, maka hal ini bertentangan dengan keterangan yang menjelaskan bahwa bumi ini tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah Swt, juga bertolakbelakang dengan kesimpulan-kesimpulan logis dan filosofis akan kehadiran hujjah Allah Swt di tengah manusia. Sebab jika demikian, apabila masa 12 imam telah berakhir dan masuk pada masa 12 Mahdi, maka saat itu bumi akan kosong dari hujjah Allah Swt.

Adapun syekh Hur al-Amili (1104 H), seorang ulama hadis abad 11 Hijriah ini mencatat:

“Saya katakan: Riwayat ini tidak menghasilkan ilmu dan yakin disebabkan banyaknya kontradiksi, karena hadis-hadis yang muktabar dan riwayat-riwayat sahih yang mutawatir sangat jelas dalam membatasi para imam dalam jumlah 12, dan yang ke-12 dari mereka adalah penutup para washi, imam dan khalifah… dan pembahasan penting seperti ini melazimkan Tawatur dalam pengkabarannya seperti hal-hal lainnya yang mewajibkan kita untuk menyakininya, maka bagaimana (di satu sisi) masuk (riwayat) dari jalur yang sedikit atau langka dan masuk (riwayat lain) penentangnya dengan kekuatan (kuat jalurnya) yang telah disebutkan tadi.”[21]

Demikianlah terlihat bahwa hadis wasiat ini dalam kaca mata ulama tidak memiliki kekuatan jika dibandingkan dengan riwayat 12 imam yang muktabar dan menjadi asas keyakinan atau akidah Islam. Belum lagi ditambah dengan isi atau kandungannya yang menuai berbagai kritikan ilmiah, sehingga dalam hal ini hadis tersebut tidak bisa kita terima atau bahkan dijadikan dalil.

Syubhat Para Mahdi dalam Kitab Fiqh Ar-Ridho

Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya, kita telah mengupas dan menjawab berbagai syubhat-syubhat yang di lontarkan oleh Ahmad Bashri terkait klaim dirinya sebagai putra imam atau khalifah dari Imam Mahdi Af lewat hadis wasiat. Hadis wasiat yang disuguhkan oleh pengikut sekte al-Yamani sebagai pondasi atas klaimnya Ahmad Bashri ini, telah kita jawab baik secara sanad, matan ataupun yang lainnya.

Pada seri kali ini, kita akan bahas dalil lainnya yang dijadikan pengikut sekte ini sebagai petunjuk atas adanya Mahdi-Mahdi setelah Imam Zaman, dan hal itu menurut sekte ini menjadi pembenaran atas klaim pemimpin mereka yang menyebut dirinya sebagai Khalifah, Imam atau Mahdi yang pertama.

Dalam menjawab Syubhat ini ada beberapa catatan yang bisa diajukan.

Pertama, sekaitan dengan doa di atas, Allamah Majlisi dalam kitabnya Biharul Anwar juga mengutip doa tersebut, dan terdapat perbedaan matan atau kutipan pada bagian kalimat yang ada kata (المهديين ). Doa yang ada dalam Biharul Anwar mengutip kalimat,[22] ( و علي النقباء الاتقياء البررة الفاضلين المهذبين الامناء الخزنة ). [23]

Dengan melihat adanya perbedaan nukilan atau kutipan dalam doa tersebut, maka keaslian frasa yang ada dalam kitab Fiqh Ar-Ridho bisa dipertanyakan. Dan hal tersebut membuat keyakinan terhadap Mahdi-mahdi atau keimamahan setelah Imam Zaman melalui doa tersebut tidak bisa dibuktikan secara pasti.

Kedua, terdapat keraguan akan penisbahan kitab Fiqh Ar-Ridho kepada Imam Ridho as. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Khomeini Qs. Imam Khomeini dalam Kitabnya Kitab At-Thaharah menyebutkan bahwa kitab tersebut dibuat oleh sebagian ulama dan bukan merupakan kitab Abul Hasan Imam Ridho As.[24]

Dan terdapat ulama-ulama tersohor lainnya yang meragukan penisbahan kitab tersebut pada Imam Ridho as. Seperti Ayatullah Gulfaighani yang mengatakan hal tersebut di Taqrirot Al-Haj.

Ketiga, kalaupun kita katakan bahwa memang ada doa dengan matan yang seperti di kitab Fiqh Ar-Ridho, namun tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut pada kekhalifahan, kewashian atau keimamahan setelah Imam Zaman Af. Namun kita temukan riwayat yang menjelaskan maksud daripada Mahdiyiin setelah Imam Zaman Af. Riwayat tersebut ada dalam kitab Kamaluddin wa Tamamul Ni’mah milik Syekh Shaduq. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan dua belas Mahdi setelah Imam Mahdi ialah Kaum Syiah yang mengajak umat manusia pada kepemimpinan Ahlul Bait dan Ma’rifah kebenaran Ahlulbait As, bukan mengenai munculnya kekhalifahan kewashian atau keimamahan setelah Imam Zaman Af.

…Dari Abi Bashir ia berkata pada Imam Shadiq as, Wahai Putra Rasulullah Saw, aku mendengar ayahmu As berkata, setelah Al-Qaim ada dua belas Mahdi. Imam Berkata, ayahku hanya mengatakan dua belas Mahdi , ia tidak mengatakan dua belas imam, mereka (Mahdiyin) merupakan kaum dari Syiah kami yang mengajak manusia pada kepemimpinan kami dan ma’rifah kebenaran kami.[25]

Namun, sebagaimana yang pernah kita ungkapkan sebelumnya bahwa riwayat yang menjelaskan tentang dua belas Mahdi setelah Imam Mahdi Af merupakan riwayat yang langka dan banyak ditolak oleh ulama-ulama Syiah.

Wallahu A’lam