Menjawab Syubhat-syubhat Sekte Al-Yamani(2)

Menjawab Syubhat-syubhat Sekte Al-Yamani(2) pengarang:
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Agama & Aliran

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 21 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 1893 / Download: 1718
Ukuran Ukuran Ukuran
Menjawab Syubhat-syubhat Sekte Al-Yamani(2)

Menjawab Syubhat-syubhat Sekte Al-Yamani(2)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Menjawab

Syubhat-Syubhat Sekte Al-Yamani

Tim Muslim Menjawab

Syubhat Riwayat 12 Pemimpin dari Keturunan Rasulullah Saw

Salah satu dalil yang dikemukakan dan digunakan oleh kelompok aliran al-Yamani sebagai pembenaran atas klaim kepemimpinan Ahmad Hasan Bashri ialah riwayat 12 pemimpin dari keturunan Rasulullah Saw. Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Saw menyebut akan ada 12 pemimpin dari keturunanku. Lewat riwayat tersebut, kelompok al-Yamani mengungkapkan bahwa Imam-imam setelah Rasulullah Saw tidak terbatas pada 12 Imam, sebab Ali bin Abi Thalib As yang merupakan Imam pertama bukanlah keturunan Rasulullah Saw. Sehingga kepemimpinan Ahmad Hasan Bashri sebagai Imam setelah Imam Mahdi Af adalah sesuatu yang mungkin dan tidak bertentangan. Adapun riwayatnya adalah sebagai berikut:

Dari Abu Ja’far As ia berkata: Rasulullah Saw berkata: dari keturunanku ada 12 pemimpin yang terkemuka, yang diajak bicara (oleh Allah Swt), yang memperoleh pemahaman (dari Allah Swt), yang terakhir dari mereka adalah al-Qaim bil Haq yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan penindasan.[1]

Dalam menjawab persoalan ini, ada dua hal yang harus diperhatikan.

Pertama, riwayat diatas juga terdapat di kitab-kitab lainnya, dengan sanad yang sama namun dengan bentuk yang sedikit berbeda. Riwayat-riwayat tersebut ialah sebagai berikut:

* Pada kata (اثنی عشر ) “dua belas” yang ada pada riwayat diatas, tidak tercantum pada riwayat berikut ini, namun yang tercantum adalah (احد عشر ) “sebelas”, seperti yang termaktub dalam kitab Al-Ushul As-Sittah ‘Asyar.

Dari Abu Ja’far As ia berkata: Rasulullah Saw berkata: dari keturunanku ada 11 pemimpin yang terkemuka, yang diajak bicara (oleh Allah Swt), yang memperoleh pemahaman (dari Allah Swt), yang terakhir dari mereka adalah al-Qaim bil Haq yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan penindasan.[2]

* Pada riwayat berikutnya ini tidak terdapat kata (من ولدي ) “dari keturunanku”, namun yang tercantum adalah (من اهل بيتي ) “dari Ahli Baitku”, seperti yang termaktub dalam kitab Taqribul Ma’arif.

Dari Abu Ja’far As ia berkata: Rasulullah Saw berkata: dari Ahli Baitku ada 12 pemimpin yang terkemuka, yang diajak bicara (oleh Allah Swt), yang memperoleh pemahaman (dari Allah Swt), yang terakhir dari mereka adalah al-Qaim bil Haq yang memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi dengan penindasan.[3]

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Imam Ali bin Abi Thalib merupakan bagian dari Ahlul Bait Nabi Saw, meskipun beliau As bukanlah keturunan Nabi Saw.

Kedua, seperti yang kita ketahui bahwa sebelas Imam Ma’shum merupakan putra atau keturunan Rasulullah Saw. Dikeranakan banyaknya dan dominannya para Imam tersebut dari keturunan Rasulullah Saw, terkadang keseluruhan 12 Imam dihitung sebagai putra atau keturunan Rasulullah Saw, meskipun satu Imam yaitu Ali bin Abi Thalib secara nasab bukanlah keturunan Rasulullah Saw. hal ini didasarkan pada sebuah riwayat yang dinukil oleh Imam Husain As. Dalam riwayat tersebut Rasulullah Saw menyebutkan setelahnya ada para Imam dari keturunanku, kemudian menyebut Ali bin Abi Thalib sebagai Imam yang pertama. Riwayat tersebut sebagai berikut:

Dari Al-Husain bin Ali As ia berkata: Seorang Arab menemui Rasulullah Saw… Wahai Rasulullah kabarkanlah padaku adakah setelahmu Nabi? Rasul Saw berkata, tidak, aku adalah penutup para Nabi, namun setelahku ada para Imam dari keturunanku yang akan mengakkan keadilan, yang berjumlah seperti jumlah para pemimpin Bani Israil, yang pertama dari mereka ialah Ali bin Abi Thalib, dia adalah Imam dan Khalifah setelahku, dan Sembilan imam dari sulbi ini -Rasul meletakkan tangannya ke dadaku (Imam Husain)- dan Al-Qaim yang kesembilan dari mereka (Keturunan Al-Husain) akan menegakkan agama di akhir zaman..[4]

Riwayat tersebut dengan jelas mengatakan bahwa Rasulullah Saw menyebut para Imam setelahnya -yang berjumlah sama seperti jumlah pemimpin Bani Israil yaitu dua belas- dengan dari keturunanku, lalu menyebut Ali bin Abi Thalib sebagai yang pertama, padahal kita tahu bahwa Ali bin Abi Thalib secara nasab bukanlah putra atau keturunan Rasulullah Saw.

Jadi, riwayat 12 pemimpin dari keturunan Rasulullah Saw tidak bisa membenarkan adanya pemimpin atau imam yang ketiga belas dikarenakan adanya satu dari mereka yang bukan dari keturunan Rasulullah Saw.

Sebagaimana yang telah kita jelaskan sebelumnya, mayoritas riwayat-riwayat muktabar menyebutkan bahwa pemimpin atau Imam setelah Rasulullah Saw berjumlah dua belas, tidak kurang dan tidak lebih.

Wallahu A’lam

Benarkah Ahmad Al-Hasan Wujud dari Yamani?

Mulanya, Ahmad Hasan Bashri memiliki partner untuk menyebarluaskan pahamnya ke banyak orang. Partner-nya itu bernama Haidar Mustat. Di awal-awal peregerakannya, Haidar Mustat di-setting sebagai al-Yamani yang kemunculannya digadang-gadang sebagai tanda kemunculan al-Mahdi, sedangkan Ahmad Hasan Bashri menjadi putra dari Imam Mahdi.

Seiring bergulirnya waktu, terjadi silang pendapat di antara keduanya, hingga akhirnya Hasan Bashri bergerak sendiri. Di dalam sebuah pernyataannya, Ahmad Hasan bilang begini, “Perkaraku lebih terang dari mentari di siang hari. Aku adalah Al-Mahdi dan Yamani yang dijanjikan.”[5]

Di dalam pembahasan kali ini, penulis hendak mencoba membuktikan, apakah yang dimaksud Yamani yang akan datang di muka bumi ini sebagai tanda kemunculan al-Mahdi adalah Ahmad Hasan Bashri itu sendiri, sebagaimana yang sering ia dan pengikutnya dengungkan.

Kalau kita membaca pembahasan seri al-Yamani ini dari awal, tentu kita sudah bisa menyimpulkan kalau al-Yamani yang hakiki bukanlah Ahmad Hasan Bashri Al-Yamani. Namun, demi menjunjung sisi ilmiah dan tidak asal-asalan dalam menghukumi, alangkah baiknya jika kita membuktikannya melalui argumentasi ilmiah.

Kata Yamani berarti orang Yaman, atau orang yang berasal dari Yaman. Seperti yang disinggung di mukaddimah tulisan ini, bahwa Yamani adalah istilah orang dari Yaman yang akan hadir sebagai penanda kemunculan Imam Mahdi yang sesungguhnya.

Ada banyak sanggahan untuk kata Yamani yang disematkan di diri Ahmad Hasan al-Bashri, namun penulis mencukupkan pada satu sanggahan saja.

Kalau kita perhatikan sifat-sifat Yamani yang sesungguhnya, sebagaimana yang termaktub di dalam sebagian riwayat, ia disebut sebagai pribadi yang memberi hidayah dan petunjuk ke arah Imam Mahdi, penjaga agama, pelindung anak-anak yatim dari keluarga Muhammad Saw dan sebagainya.[6]

Dengan sifat-sifat yang telah disebutkan di atas, Ahmad Hasan mengklaim kalau riwayat tersebut ditujukan kepadanya dan agar ia dikategorikan sebagai orang yang paling unggul dari segalanya, sehingga ia sejajar dengan al-Yamani yang sesungguhnya. Sementara, sejauh ini tak ada satu pun ulama Islam yang mengklaim seperti itu.

Oleh karenanya, rupanya, usaha yang dikerahkan oleh Ahmad Hasan bakal sia-sia belaka, sebab klaim-klaimnya untuk menyamai Yamani yang sesungguhnya tak ada gunanya, lantaran dari beberapa klaim yang selama ini ia gemborkan, sangat jauh dari dari sifat-sifat al-Yamani yang dijanjikan itu.

Munculnya Al-Yamani dari Yaman

Berdasarkan sebuah riwayat, salah satu ciri dari zuhurnya Imam Mahdi Af ialah munculnya dan bangkitnya Al-Yamani dari Yaman. Sementara itu, diketahui bahwa Ahmad Hasan Bashri yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin Al-Yamani bukanlah berasal dari Yaman ataupun akan bangkit dari Yaman. Ia sendiri berasal dari Bashrah Irak dan mengklaim akan bangkit dari Timur dan Khurasan. Tentu klaim tersebut bertentangan dengan riwayat yang datang dari AhlulBait As. Riwayat tersebut termaktub dalam kitab Kamaluddin wa Tamamu An-Ni’mah milik Syekh Shaduq.

…dan sesungguhnya yang termasuk dalam ciri-ciri kemunculannya (Al-Mahdi): Munculnya As-Sufyani dari Syam dan munculnya Al-Yamani (dari Yaman)…[7]

Pengikut Ahmad Hasan Bashri mencoba menyanggah matan dari riwayat tersebut dengan mengatakan bahwa kata (من اليمن ) “dari Yaman” dalam riwayat tersebut berada dalam tanda kurung, dan hal itu menunjukkan bahwa kata tersebut tidak bisa dipastikan ada dan termaktub dalam kitab Kamaluddin milik Syekh Shaduq. Untuk itu Al-Yamani yang merupakan dari Yaman tidak bisa dibuktikan.

Namun, pengikut Ahmad Hasan ini menyangka bahwa dalam kitab tersebut hanya ada satu riwayat itu saja, padahal dalam kitab yang sama terdapat riwayat lain yang menjelaskan tentang ciri-ciri kemunculan Imam Mahdi Af dan dengan jelas tertulis bahwa kemunculan atau kebangkitan Al-Yamani berasal dari Yaman. Disamping itu, dalam riwayat ini kata (من اليمن ) “dari Yaman”, tidak memakai tanda kurung seperti yang disanggah oleh pengikut Aliran Ahmad Hasan Bashri di riwayat sebelumnya.

…Munculnya As-Sufyani dari Syam, dan Al-Yamani dari Yaman…[8]

Riwayat ini juga termaktub di kitab-kitab lainnya seperti Biharul Anwar[9] dan lainnya yang isinya sama persis seperti yang ada di kitab Kamaluddin milik Syekh Shaduq, dengan menyertakan bahwa kemunculan Al-Yamani merupakan dari Yaman.

Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa Al-Yamani yang termaktub dalam kitab-Kitab Syiah, akan muncul atau bangkit dari Yaman. Dan hal tersebut bertentangan dengan klaim yang didakwakan oleh Ahmad Hasan Bashri yang mengaku dirinya sebagai pemimpin Al-Yamani yang bukan dari Yaman.

Ahmad Al-Hasan Bashri Bukanlah Yamani!

Di dalam tulisan sebelumnya kita telah membaca, bahwa Ahmad Hasan al-Bashri yang mengklaim dirinya sebagai Yamani tidaklah tepat, dengan alasan kalau-kalau dia bukanlah orang Yaman. Sejatinya ia adalah orang Bashrah, Irak. Sementara yang kita tahu, dan yang telah dipaparkan di beberapa riwayat, bahwa Yamani yang bakal hadir—sebagai tanda kemunculan Imam Mahdi—berasal dari Yaman.

Di dalam tulisan kali ini—untuk menegaskan—kalau Ahmad Hasan Al-Basri bukanlah Yamani yang disebut di dalam riwayat, dapat penulis buktikan dengan sebuah poin penting. Sebelum membahas ke poin tersebut, alangkah baiknya jika kita perlu tahu, bahwa di dalam riwayat, tidak ada kewajiban bagi kita untuk mengenal siapa itu Yamanai, Sufyani dan Khurasani. Artinya, mau kenal atau tidak terhadap tiga tokoh di atas, tidaklah ada pengaruhnya sama sekali di dalam amal-perbuatan kita di mata Allah Swt.

Salah satu tanda munculnya Yamani, sebagaimana yang tedapat di banyak riwayat, berbarengan dengan kemunculan Sufyani dan Khurasani. Karenanya, salah satu tolok ukur hadirnya Yamani adalah dengan hadirnya pula Sufyani dan Khurasani di satu masa. Yang kita lihat saat ini, keduanya (Sufyani dan Khurasni) belumlah muncul di bumi ini. Maka, klaim Ahmad Hasan al-Bashri sebagai Yamani jelas tertolak dengan sendirinya.

Seperti yang termaktub di dalam kitab al-Gaibah karya Syekh Thusi, di dalam kitab tersebut tertulis sebagai berikut.

“Munculnya Khurasani, Sufyani dan Yamani di dalam tahun, bulan dan hari yang sama…”[10]

Dengan membaca riwayat di atas, tentu kita semakin mantap bahwa Yamani sejati belumlah hadir di bumi ini, lantaran Sufyani dan Khurasani belum hadir di muka bumi ini. Hal ini menjadi bukti bahwa Ahmad Hasan al-Bashri bukanlah Yamani al-mau’ud.

Riwayat Bendera Al-Yamani Pemberi Hidayah

Setelah mengenal beberapa riwayat terkait kemunculan Al-Yamani pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, kali ini kita juga akan mencoba mengkaji riwayat lain yang secara jelas mengungkapkan bahwa kelompok tersebut merupakan pemberi petunjuk atau hidayah.

Jumlah riwayat dengan kandungan yang tadi disebutkan tidaklah banyak, dari beberapa kitab hadis yang ada, hanya terdapat 2 riwayat. Diantaranya:

Riwayat pertama merupakan riwayat yang cukup panjang yang dinisbahkan kepada Imam Muhammad Al-Baqir As. Riwayat ini salah satunya dikutip dalam Kitab Al-Ghaibah karya Muhammad bin Ibrahim An-Nu’mani (wafat 360 H).

Dari Imam Al-Baqir As: “Keluarnya Al-Sufyani, Al-Yamani dan Al-Khurasani pada satu tahun, satu bulan dan satu hari, (dengan) sebuah pola layaknya pola manik-manik (gelang permata) yang mana saling mengikuti satu dengan lainnya, kekuasaan berada pada semua pihak (Al-Sufyani, Al-Yamani dan Al-Khurasani) dan celaka orang yang memusuhi mereka. Dan pada bendera-bendera yang ada tidak satupun bendera yang lebih memberikan petunjuk (hidayah) selain bendera Al-Yamani, ia adalah bendera petunjuk sebab ia (Al-Yamani) menyeru pada Shahib kalian…”[11]

Riwayat kedua adalah riwayat yang dihukumi sebagai hadis Mursal sebab tidak memiliki jalur sanad yang komplit yakni hanya menyebutkan beberapa perawi dan langsung sampai kepada maksum. Riwayat ini dikutip dalam Al-Irsyad karya Syekh Mufid (wafat 413 H).

Dari Abu Abdillah As: “Keluarnya 3 kelompok; Al-Sufyani, Al-Khurasani dan Al-Yamani, pada satu tahun, satu bulan dan satu hari. Tidak ada satupun bendera yang lebih memberikan petunjuk dari bendera Al-Yamani sebab ia menyeru pada kebenaran.”[12]

Yang menjadi catatan dari kedua riwayat di atas:

Pertama, pada riwayat pertama meskipun sanadnya komplit, namun memiliki beberapa masalah dari sisi Ilmu Rijal (Ilmu tentang kemuktabaran para perawi hadis) pada beberapa perawinya seperti salah satunya adalah Ahmad bin Muhammad bin Sa’id bin Uqdah atau yang terkenal dengan nama Ibnu Uqdah dikenal sebagai pengikut madzhab Jarudiyah bagian dari Zaidiyah seperti yang tercatat dalam kitab Rijal Syekh An-Najasyi. Yang mana dengan ini mengindikasikan bahwa riwayat ini tidak tergolong dalam riwayat yang sahih sanadnya.

Kedua, pada riwayat kedua, sanadnya jelas bermasalah dengan tidak tercatatnya para perawi secara lengkap dan hanya menyebutkan beberapa saja kemudian langsung pada sosok maksum. Hal ini atau yang dikenal dengan istilah hadis Mursal tidak memiliki banyak pengaruh dari sisi kemuktabaran, atau bahkan tidak diperhitungkan.

Ketiga, kedua riwayat di atas dari sisi ilmu Rijal maupun Dirayah, tidak memiliki kriteria sahih apalagi tergolong pada riwayat yang mutawatir baik secara lafal maupun kandungan. Yang mana hal ini dengan metode yang diterapkan oleh golongan Al-Yamanipun tidak bisa diterima terlebih hadis Mursal.

Keempat, adanya 2 kelompok lain selain Al-Yamani yang mana hal itu pun masih membutuhkan dalil lain untuk menetapkan keberadaannya.

Kelima, pada kedua riwayat di atas penyebutan bendera Al-Yamani sebagai pemberi petunjuk datang dalam bentuk Tafdhil (pengutamaan dari selainya), yang mana hal ini menjelaskan secara tersirat bahwa 3 kelompok tersebut masing-masing memiliki petunjuk atau arahan. Hal ini pun masih tergantung pada keberadaan mereka, seperti yang sudah diulas pada catatan keempat.

Keenam, kalaupun kita terima kedua riwayat di atas, terutama riwayat pertama, maka keberadaan 3 kelompok tersebut adalah sebagian dari tanda-tanda sebelum kemunculan Imam Mahdi Afs bukan setelahnya. Sementara hal ini bertentangan dengan klaim yang diusung oleh sekte Al-Yamani yang ada sekarang ini, seperti yang sudah dibahas pada beberapa tulisan yang lalu.

Al-Yamani dari Keturunan Zaid bin Ali Zainal Abidin, Bukan Keturunan Imam Mahdi

Sebagaimana pada beberapa pembahasan sebelumnya, pada seri kali ini masih membahas seputar pengakuan Ahmad Hasan Bashri berkaitan dengan sosok al-Yamani berikut sanggahan atas hal tersebut.

Klaim Ahmad Hasan Bashri adalah pengakuan bahwa dirinya merupakan sosok al-Yamani yang disebut-sebut dalam riwayat Syiah.

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah disebutkan berbagai sanggahan serta bantahan atas argumentasi yang diajukan oleh kelompok tersebut.

Melanjutkan sanggahan yang telah disebutkan sebelumnya, pada tulisan kali ini akan diajukan dalil lain yang dapat mematahkan klaim tidak berdasar Ahmad Hasan Bashri.

Dalil yang dimaksud berupa garis keturunan Ahmad Hasan Bashri yang mengaku sebagai al-Yamani yang juga pada saat yang sama mengaku sebagai keturunan Imam Mahdi Af.

Pengakuannya sebagai keturunan Imam Mahdi Af dengan jarak empat generasi telah dibahas pada tulisan sebelumnya. Oleh karena itu pada seri ini tidak akan diulang kembali.

Yang menjadi permasalahan dengan pengakuan ini adalah, tidak ditemukannya satu riwayat pun yang menyatakan bahwa al-Yamani merupakan keturunan Imam Mahdi Af.

Sebaliknya, riwayat tentang al-Yamani yang disebutkan akan muncul di akhir zaman dan merupakan tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi, justru tercatat sebagai keturunan Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Di dalam kitab Falah al-Sail karya Sayyid Ibn Thaus disebutkan:

“Sebagaimana diriwayatkan oleh Muhammad bin Wahban………. Dari Abbad bin Muhammad al-Madaini, ia berkata: Aku menemui Abu Abdillah di Madinah setelah melaksanakan shalat wajib Zuhur dan sungguh ia sedang menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata …….

Aku berkata: Aku menjadi tebusanmu bukankah engkau berdoa untuk dirimu? Ia berkata: Sungguh aku telah berdoa untuk cahaya dan pemuka keluarga Muhammad Saw serta penuntut balas musuh-musuh mereka dengan perintah Allah Swt. Aku bertanya: Kapan ia akan muncul? Semoga Allah menjadikanku sebagai tebusanmu. Ia menjawab: Jika pemilik seluruh makhluk dan urusan menghendaki. Aku bertanya: apakah ada tanda-tanda sebelumnya? Beliau menjawab: Ya, ada banyak tanda-tanda. Aku bertanya: seperti apa? Ia bersabda: munculnya bendera dari timur dan barat, fitnah yang menimpa penduduk Zaura, munculnya seorang laki-laki dari keturunan pamanku Zaid di Yaman, …[13]

Riwayat ini disamping menjelaskan tentang tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi, juga memuat tentang garis keturunan al-Yamani. di mana disebutkan bahwa ia merupakan keturunan Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Sebab paman Imam Ja’far Shadiq adalah Zaid bin Ali Zainal Abidin yang merupakan saudara dari Imam Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin.

Lelaki dari yaman dalam riwayat ini sama dengan al-Yamani yang disebutkan dalam riwayat lainnya. Hal ini mengingat bahwa semua riwayat yang berkaitan dengan al-Yamani berkaitan dengan tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi Af sama halnya dengan riwayat di atas.

Di dalam berbagai riwayat disebut sebagai al-Yamani sedangkan di dalam riwayat ini disebutkan sebagai “seorang laki-laki dari keturunan pamanku di Yaman”

Kenyataan ini bertolak belakang dengan klaim Ahmad Hasan Bashri yang mengatakan bahwa berdasarkan hadits wasiat, ia merupakan keturunan Imam Mahdi serta menjadi mahdi pertama dari 12 mahdiyin yang datang setelah Imam Mahdi.

Kontradiksi ini muncul karena berbagai klaim yang diutarakan. Di satu sisi, ia mengatakan bahwa dia merupakan washi dan mahdi pertama dari sekian mahdi yang diklaimnya akan datang setelah Imam Mahdi, di sisi lainnya ia juga memproklamirkan dirinya sebagai al-Yamani.

Klaimnya sebagai mahdi pertama menyebabkannya mengaku sebagai keturunan Imam Mahdi, dan klaim kedua seharusnya menggiringnya untuk mengaku sebagai keturunan Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, karena riwayat menyebutkan bahwa al-Yamani merupakan keturunan Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi thalib.

Untuk menyelesaikan kontradiksi ini kita serahkan saja kepada para pengikut sekte al-Yamani.

Ahmad Al-Hasan Bashri Tertolak dari Yamani

Masih seputar aliran Yamani, dari awal tulisan tentang tema ini, setidaknya kita telah memiliki gambaran alur terkait aliran tersebut, hingga akhirnya kita sampai di pembahasan, apakah Ahmad Hasan Bashri adalah Yamani yang dijanjikan, atau bukan. Di beberapa tulisan sebelumnya, melalui deretan dalil, kami telah membuktikan bahwa Yamani yang diklaim oleh Ahmad Hasan Bashri, tertolak dari dirinya.

Masih berusaha hendak membuktikan kalau Hasan Bashri bukanlah Yamani, di sini penulis mencoba menyuguhkan fakta lain tentang dirinya (Ahmad Hasan Bashri). Seperti yang telah disinggung di dalam artikel sebelumnya, bahwa salah satu ciri-ciri Yamani adalah memberi petunjuk kepada umat manusia dan segala tindak-tanduknya haruslah bersandarkan syariat Islam. Selain itu, Ahmad Hasan Bashri sebagai sosok yang mengaku keturunan Imam Mahdi, justru memiliki kontradiksi dengan ajaran Ahlulbait Nabi Saw itu sendiri.

Kontradiksi tersebut semakin memperjelas kalau Ahmad Hasan Bashri bukanlah Yamani, hal itu bisa kita lihat di dalam sebuah hukum-hukum fikih yang tentu berbeda dengan apa yang diajarkan oleh para imam maksum di dalam ajaran Ahlulbait. Misal seperti di dalam perkara nikah mut’ah, bahwa di dalam hukum fikih ala Ahmad Hasan Bashri, seseorang dibolehkan nikah mut’ah dengan durasi minimal enam bulan, sementara di dalam ajaran Ahlulbait sendiri tidak seperti itu.

“Tuanku, Anda berkata di dalam kita Syarai’ bahwa minimal durasi untuk melakukan nikah mut’ah adalah enam bulan, akan tetapi yang telah diriwayatkan kepada kami dari nenek moyang Anda berbeda dengan ini (hukum Ahmad Hasan Bashri), dan di sana (di ajaran Ahlulbait Nabi, nikah mut’ah) bisa satu dan dua jam. Bagaimana dengan hal ini?”

Dari pertanyaan tersebut, kita disuguhkan keganjalan dari aliran Yamani, bahwa dengan bukti itu, jelas ia tertolak sebagai Yamani, sebab Yamani tidak akan menyalahi hukum-hukum yang telah dibuat oleh para Imam Ahlulbait. Yamani sejati akan taat dengan hukum-hukum yang sudah ada. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Syubhat Kemakshuman Al-Yamani

Pada bahasan-bahasan sebelumnya kita telah suguhkan sangahan-sanggahan terhadap kelompok pengikut Ahmad Hasan Bashri terkait klaim-klaim dari pemimpin mereka yang menyatakan bahwa dirinya adalah al-Yamani. Kita telah buktikan bahwa yang dimaksud dengan al-Yamani yang ada dalam riwayat-riwayat bukanlah Ahmad Hasan Bashri.

Pada bahasan kali ini, kita akan kupas satu lagi syubhat yang dilontarkan oleh mereka terkait dengan kemakshuman al-Yamani. Pengikut Ahmad Hasan Bashri, selain mengklaim pemimpinnya sebagai al-Yamani, mereka juga mengklaim bahwa pemimpin tersebut atau al-Yamani adalah pribadi yang maksum sebagaimana para Aimmah.

Mereka menyatakan kemakshuman al-Yamani berdasarkan pada sebuah riwayat, dimana pada penggalan riwayat tersebut terdapat kalimat jika al-Yamani muncul tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyimpang darinya. Riwayat tersebut ada dalam kitab Biharul Anwar milik Allamah Majlisi.

…jika al-Yamani muncul maka bangkitlah bersamanya, karena panjinya merupakan panji hidayah, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyimpang darinya, maka sesiapa yang melakukannya ia termasuk kedalam ahli neraka…[14]

Ketidak bolehan menyimpang dari al-Yamani, menunjukkan wajibnya taat mutlak kepadanya, dan seseorang yang harus ditaati pastilah Makshum.

Dalam menjawab syubhat ini ada dua hal yang harus diperhatikan.

Pertama, kemakshuman bukanlah masalah yang dibuktikan atau dibantah berdasarkan ijtihad orang lain tentang kepribadian seseorang, namun kemakshuman harus dibuktikan berdasarkan Nash yang jelas, dimana dalam Nash tersebut, pribadi-pribadi yang makshum diperkenalkan secara terang dan jelas akan kemakshumannya. Contohnya seperti riwayat yang ada dalam kitab Kifayatul Atsar dimana Rasulullah Saw menerangkan akan adanya dua belas Imam setelahnya dan menjelaskan bahwa mereka adalah pemimpin yang Makshum.

Dari Ibnu Abbas Rasulullah Saw berkata: para imam setelahku ada dua belas, yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah dua cucuku al-Hasan dan al-Husain, jika telah selesai masa al-Husain, maka berikutnya putranya Ali, jika telah selesai masa Ali, maka berikutnya putranya Muhammad,…Wahai Ibnu Abbas! Mereka adalah para Imam setelahku, mereka adalah wali yang makshum dan orang-orang pilihan yang mulia…[15]

Kedua, kita tidak bisa menisbahkan seseorang itu makshum hanya berdasarkan adanya perintah untuk taat kepadanya atau larangan menyimpang darinya. Jika kita berkaca pada sejarah Islam, Rasulullah Saw pernah menyuruh para sahabatnya untuk taat dibawah pimpinan Usamah, bahkan Rasulullah Saw melaknat sesiapa yang berbelot dari pasukan Usamah. Hal ini seperti yang termaktub dalam kitab Itsbatul Hudah.

…Allah melaknat sesiapa yang berbelot dari pasukan Usamah..[16]

Dengan adanya perintah dari Rasulullah Saw untuk taat pada pimpinan Usamah, dan melarang bahkan melaknat mereka yang berbelot dari pasukan Usamah tidak menunjukkan atau melazimkan bahwa Usamah adalah seorang yang Makshum.

Wallahu A’lam

Klaim Ahmad Al-Hasan Bashri Sebagai Al-Mahdi Tidak Masuk Akal

Salah satu yang menjadi klaim Ahmad Al-Hasan Bashri, bahwa ia adalah Imam Mahdi yang pertama itu sendiri. Di sisi lain, ia juga telah menafikan mahdawiyat dari diri Imam Mahdi yang asli, seperti yang ia katakan di dalam kitab Al-Mutasyabihat,

“Al-Qaim itu adalah Al-Mahdi yang pertama (Hasan Al-Bashri), dan bukan Imam Mahdi.”[17]

Untuk mematahkan klaim Ahmad Al-Hasan Bashri, di sini penulis mengajak pembaca untuk meneliti beberapa riwayat tentang Al-Mahdi itu sendiri. Dalam kacamata bahasa Arab, Al-Mahdi merupakan bentuk isim maf’ul (kata objek) yang terdiri dari tiga huruf asli ha da ya, yang artinya adalah orang yang diberi petunjuk.

Ibnu Atsir di dalam kitabnya, An-Nihayah fi Garibil Hadis wal Atsar menyebutkan bahwa al-Mahdi berarti “Allah mengajak seseorang pada jalan kebenaran.”[18]

Kalau kita perhatikan di dalam riwayat dari para Imam Syiah, setiap dari mereka adalah al-Mahdi, dan mereka diutus ke dunia ini sebagai hujjah Allah Swt., yang kemudian memberi petunjuk kepada manusia. Terkait hal ini, Imam Ali berkata kepada Sulaim, “Wahai Sulaim, sesungguhnya para washi-ku yang berjumlah 11 orang, mereka dari keturunan para imam yang memberi petunjuk dan yang diberi petunjuk (oleh Allah).”[19]

Al-Mahdi yang disebutkan di dalam ungkapan Imam Ali mengisyaratkan para imam secara global. Maksudnya, masing-masing para imam dijuluki al-Mahdi pada masanya. Dan saat ini adalah masanya imam yang terakhir, yaitu Imam al-Mahdi yang sedang ghaib. Terkait al-Mahdi yang asli, tak sedikit riwayat para imam yang menyebutkannya.

Diriwayatkan dari Abi Muhammad (Imam Hasan Askari), ia berkata,”Ketika Allah menganugerahiku Al-Mahdi, dua malaikat diutus dari langit, dan keduanya membawa Al-Mahdi di Arsyi-Nya. Allah Swt. berkata, selamat datang hamba-Ku yang terpilih sebagai penolong agamaku dan yang menampakkan perkaraku serta pemberi petunjuk ciptaan-Ku.”[20]

Di dalam riwayat lain, Imam Kadzim berkata, “Ketika keturunan kelima dari imam yang ketujuh tidak ada, maka Allah, Allah berada untuk (menjaga) agama kalian. Seorang periwayat bertanya, ‘Wahai tuanku, siapa keturunan kelima dari imam ketujuh itu?” Imam menjawab,’Aku keturunan (imam) yang ketujuh, dan anakku, Ali Ar-Ridho adalah keturunan kedelapan, dan putranya (Imam Muhammad Al-Jawad), adalah keturunan yang kesembilan, dan putranya, Ali Al-Hadi adalah putranya yang kesepuluh, dan putranya adalah Imam Hasan Askari, imam yang kesebelas, dan putranya yang bernama Muhammad, yang dinamai dengan nama kakeknya, Rasulullah Saw., dijuluki sebagai Al-Mahdi. Inilah yang dimaksud keturunan kelima dari imam yang ketujuh (imam kedua belas).”

Dari riwayat di atas, kita bisa memahami bahwa klaim Ahmad Al-Hasan sebabagai Al-Mahdi tidaklah masuk akal, sebab—berdasarkan bukti-bukti yang terdapat di beberapa tulisan sebelumnya—ia bukanlah keturunan para imam Ahlulbait yang berjumlah dua belas orang itu. Lag-lagi, klaimnya sebagai al-Mahdi harus tertolak.

Sekte Al-Yamani Jadikan Istikharah Sebagai Dalil

Sudah banyak dibicarakan berbagai klaim yang diajukan oleh kelompok al-Yamani; baik berupa ayat maupun riwayat, begitu juga dengan bantahan serta sanggahan atasnya.

Pada tulisan kali ini kita akan membahas dalil lain yang diusung oleh kelompok ini dalam menjustifikasi klaim kebenaran seruannya. Berupa permintaan untuk melakukan istikharah dengan al-Quran bagi kelompok atau orang yang didakwahinya.

Kelompok ini, disamping mengajukan berbagai dalil sebagaimana telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, juga akan menawarkan istikharah kepada lawan bicaranya dengan mengatakan: Bagaimana jika anda melakukan istikharah dengan al-Quran untuk membuktikan bahwa Ahmad Hasan Bashri adalah benar? Jika dengan membuka al-Quran dan ternyata yang keluar adalah ayat yang positif dan sejalan dengan apa yang mereka ajukan (seperti ayat yang memuat tentang petunjuk, pertolongan, kebaikan kemenangan dll), maka hal itu akan dijadikan dalil bahwa Ahmad hasan Bashri adalah benar.

Abu Ragif Ali di dalam bukunya al-Thariq Ila al-Dakwah al-Yamaniah juga memasukkan istikharah sebagai dalil yang dapat membuktikan kebenaran Ahmad Hasan Bashri. Bahkan ia membuat judul tersendiri dalam hal ini:

“Istikharah: Meminta nasehat, saran dan kebaikan dari Allah Swt dalam urusan yang terdapat kebimbangan di dalamnya. Sesungguhnya seorang mukmin ketika meminta saran atau nasehat dari saudara mukminnya, ia akan memberinya nasehat, lantas bagaimana jika nasehat atau sara tersebut diminta dari penanggung jawab segala urusan (Allah Swt)? Tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah dan tidak akan celaka orang yang melakukan istikharah.[21]

Yang ingin disampaikan oleh penulis melalui penggalan di atas adalah, bahwa istikharah dapat dijadikan sebagai salah satu jalan pembuktian kebenaran Ahmad Hasan Bashri. Karena pada kitab yang sama penulis juga mengajukan dalil atas kebenaran istikharah sebagai satu dalil. Dan dalil ini sekaligus bantahannya akan dibahas pada seri-seri yang akan datang.

Atas dasar ketidak tahuan atau motif lain, kelompok ini memasukkan istikharah sebagai dalil pembuktian kebenaran. Padahal istikharah tidak pernah diakui serta dijadikan sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran terlebih berkaitan dengan pembahasan seurgen imamah.

Mazhab Syiah dalam hal ini hanya menempatkan istikharah sebagai jalan keluar dalam menetapkan pilihan terhadap dua hal yang bersifat mubah atau boleh dan bukan yang berkaitan dengan sesuatu yang wajib maupun yang haram.

“Istikharah adalah amalan yang dilakukan dalam rangka menghilangkan kebingungan dan keragu-raguan dalam melakukan hal-hal yang dibolehkan (mubah), baik keraguan itu terdapat pada perbuatan itu sendiri maupun pada cara melakukannya.[22]

Oleh karena itu, dalam urusan di mana pilihan kita dihadapkan pada benar dan salah; apalagi berhadapan dengan sorga dan neraka, maka istikharah tidak mendapatkan tempat sama sekali.

Ditambah lagi jika kemudian hasil istikharah seseorang dan yang lainnya berbeda; yang satu sesuai dengan keinginan kelompok al-Yamani sementara yang lainnya bertolak belakang. Lantas pada kasus ini siapakah yang benar? Tentu saja akan kembali membingungkan. Lantas apakah sesuatu yang membingungkan seperti ini dapat dijadikan sebagai bukti kebenaran?

Menolak Dalil Istikharah dari Sekte Al-Yamani

Sederet usaha dan upaya telah dikerahkan oleh Ahmad al-Hasan Bashri, dengan mencomot beberapa riwayat yang di matanya, dapat mendukung klaim-klaimnya, salah satunya menjadi klaim sebagai Al-Mahdi dan keturunan Nabi Saw.

Berhadapan dengan klaim-klaim dan dalil-dalilnya, kami telah mencoba mematahkannya di dalam rentetan tulisan sebelumnya, sebab di mata kami upaya yang ia lakukan bertentangan dengan literatur yang ada bahkan akal sehat.

Dan salah satu senjata yang ia andalkan untuk membuktikan kalau dirinya sebagai Al-Mahdi atau washi Rasulullah Saw., ia memanfaatkan metode istikharah dengan al-Quran sebagai dalil, seperti yang dijelaskan di tulisan sebelumnya.

Mulanya, Ahmad Al-Hasan Bashri mengutip sebuah riwayat dari Imam Husain terkait istikharah ini, yang penggalan riwayatnya berbunyi sebagai berikut.

Seorang lelaki datang menghadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, lalu berkata, “Beritahulah saya tentang seorang Mahdi…” Amirul Mukminin berkata, “Ya Allah, jadikanlah pengutusannya sebagai bentuk pengeluaran dari kegundahan, dan berwasilahkan dia, kumpulkanlah persatuan umat…”

“…Jika Allah mengutamakan kebaikan darimu, rencanakanlah dan janganlah berbelok darinya, jika kamu menyetujuinya, dan janganlah kamu melampauinya jika kamu terhidayahi…”[23]

Dari riwayat di atas, Ahmad al-Hasan menggunakan kalimat فإنْ خار الله لك فاعزم (maka, jika Allah mengutamakan/meminta kebaikan untukmu, maka rencanakanlah) yang dijadikannya sebagai alasan untuk istikharah dengan al-Quran sekaligus menjadi bukti baginya untuk menetapkan sebagai washi Rasulullah Saw.

Di dalam tulisan kali ini, setidaknya ada dua jawaban untuk meluruskan kalaim Ahmad al-Hasan.

Pertama, bahwa kalimat yang di atas tidak ada sangkut pautnya dengan istikharah dengan al-Quran. Dan hal itu bermakna keinginan Allah terhadap kebaikan para hambanya. Bukan meminta kebaikan seorang hamba kepada Allah.

Kedua, kata خا ر menurut kamus Lisanul Arabi tidak bermakna istikharah dan tidak pula bermakna meminta kebaikan. Arti sesungguhny adalah memberikan kebaikan.[24]

Dari dua jawaban di atas, kita bisa memahami bahwa Ahmad al-Hasan agaknya salah memahami riwayat yang ia kutip dan dijadikannya sebagai pegangan untuk membuktikan dirinya sebagai washi melalui istikharah dengan al-Quran.

Ahmad Hasan Melarang Istikharah untuk Perkara Penyembelihan Namun Bisa untuk Perkara Imamah

Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa salah satu dalil yang dijadikan Ahmad Hasan Bashri dan pengikutnya untuk membuktikan kebenaran mereka ialah dengan cara istikharah. Dan hal tersebut juga telah kita sanggah bahwa istikharah bukanlah merupakan alat dalil untuk membuktikan kebenaran apalagi membuktikan sesuatu yang sangat urgen seperti Imamah.

Pada bahasan kali ini kita masih membahas sesuatu yang berhubungan dengan istikharah dan aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashhri.

Hal yang sangat mengherankan ketika aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashri menggunakan metode istikharah sebagai pembuktian kebenaran kepemimpinan Ahmad Hasan Bashri. Entah mereka sadar atau tidak, klaim tersebut membuat perkara kepemimpinan Ahmad Hasan Bashri lebih rendah nilainya dibanding fatwa agama yang bersumber dari fatwa pemimpin mereka sendiri tentang hukum membedakan mana daging yang halal atau haram berdasarkan Syariat.

Dalam aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashri, hal yang mungkin untuk membuktikan Imamah berdasarkan istikharah. Namun dalam perkara penyembelihan daging, bisa atau tidaknya memakan daging tersebut tidak boleh dengan istikharah. Hal itu membuat perkara penyembelihan daging lebih utama nilainya dan lebih penting dibanding dengan perkara Imamah. Untuk lebih jelas dan membuktikan hal tersebut mari kita lihat fatwa dari Ahmad Hasan Bashri terkait hal tersebut yang dimuat dalam kitab al-Jawabul Munir ‘Abarul Atsir milik aliran mereka. Kitab tersebut berisi tanya jawab seputar agama baik Fiqih, Aqidah ataupun yang lainnya yang dijawab oleh Ahmad Hasan Bashri sendiri atau pengikutnya.

Soal/550. Bismillahirrahmanirrahim…

Kami adalah kumpulan dari para wanita yang beriman dengan Sayyid Ahmad as, tetapi suami-suami kami belum beriman, dan hal tersebut menyulitkan kami untuk mencari tahu mana hewan yang disembelih secara syar’i. maka kamipun melakukan istikharah atas daging dan ayam untuk memakannya. Apakah boleh bagi kami untuk melakukannya?

Jawab: Bismillahirrahmanirrahim

… sehubungan dengan ayam harus memperoleh kepastian secara itminan bahwa ayam itu telah disembelih oleh tangan seorang muslim. Karena mereka bisa saja melakukan penyembelihan dengan mesin, dan itu tidak sesuai syariat.

Adapun daging merah, maka mungkin untuk memakan sembelihan tersebut di negara-negara Islam, dan itu tidak masalah.[25]

Entah bagaimana mereka belajar dan berfikir, sehubungan dengan daging ayam mereka memfatwakan untuk memperoleh kepastian secara itminan bahwa ayam tersebut disembelih secara Syar’i sehingga bisa dimakan tanpa keraguan, dan tidak boleh dengan istikharah. Namun sehubungan dengan pembuktian kepemimpinan Ilahi atau Imamah yang merupakan penyelamat umat manusia dan penjaga Sunnah Nabawiyah mereka menyatakan hal tersebut bisa dibuktikan dengan istikharah. Aneh bukan?

Wallahu A’lam

Klaim Ahmad Hasan Bashri Menolak Istikharah Sebagai Dalil

Pada beberapa tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa kelompok al-Yamani menggunakan istikharah sebagai dalil kebenaran keyakinan mereka. Dan dalam beberapa tulisan tersebut juga telah disebutkan berbagai sanggahan atas klaim yang telah dipaparkan.

Melanjutkan seri sebelumnya, pada tulisan kali ini akan dimuat kelemahan serta keanehan lain dari klaim yang diajukan oleh sekte al-Yamani ini.

Kelemahan yang akan diajukan adalah kontradiksi yang ada antara pengakuan Ahmad Hasan Bashri dengan klaimnya terhadap penggunaan istikharah sebagai dalil.

Dalam satu kitabnya, Ahmad Hasan Bashri mengatakan bahwa urusan serta perkaranya sangat terang benderang layaknya mentarai di siang hari:

“demi Allah, Rasulullah Saw serta ayah dan kakek-kakekku tidak menyisakan satu hal dari urusanku kecuali telah mereka jelaskan. Mereka menjelaskan karakterku dengan teliti, mereka menyebut nama dan tempatku. Oleh karena itu tidak ada kesamaran dalam urusanku. Tidak ada keraguan dalam urusanku setelah adanya penjelasan ini. Urusanku lebih terang dari matahari di tengah hari. Aku adalah “Mahdiyyin” pertama dan “Yamani” yang dijanjikan.[26]

Berangkat dari catatan di atas dapat dipahami bahwa Ahmad Hasan Bashri berkeyakinan bahwa ajaran serta argumentasi yang ia sampaikan sangat jelas dan gamblang.

Dengan keyakinan seperti ini, lantas mengapa ia masih mengajukan istikharah sebagai dalil kebenaran klaimnya? Bukankah istikharah ditujukan untuk menyelesaikan kebimbangan dalam memilih dua hal yang bersifat mubah atau boleh? Dan jika dalil-dalinya sudah jelas tentu saja istikharah tidak dibutuhkan dan ternafikan dengan sendirinya.

Atau jangan-jangan dalil-dalil Ahmad Hasan Bashri kah yang tidak terang benderang? Sebagaimana telah dibuktikan dengan berbagai sanggahan pada tulisan sebelumnya, sehingga ia butuh pembenaran melaui istikharah yang juga bermasalah karena tidak layak dijadikan dalil dengan alasan yang telah disebutkan pada tulisan sebelumnya. Yang jelas ajaran sekte ini memang sangat membingungkan.

Ketika Istikharah untuk Ahmad Hasan Bashri Hasilnya Tidak Bagus

Seperti yang telah disinggung dalam beberapa tulisan sebelumnya, kelompok atau sekte Al-Yamani ini menjadikan Istikharah dengan Al-Quran sebagai salah satu metode untuk membuktikan kebenaran posisi mereka, terlebih kedudukan Ahmad Hasan Bashri sebagai keturunan dan penerus Imam Mahdi Afs.

Terlepas dari bisa atau tidaknya metode ini digunakan untuk menetapkan kebenaran, namun sesuai tabiatnya, istikharah tidak selalu memberikan jawaban ataupun hasil yang positif. Terkadang yang muncul adalah dalam bentuk negatif, bisa berupa peringatan atau bahkan arahan untuk meninggalkan tujuan yang telah diniatkan sebelumnya.

Hal ini pun berlaku pada metode yang digunakan oleh sekte Al-Yamani ini seperti yang tercatat dalam buku tanya jawab yang telah mereka susun berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh para pengikutnya.

Salah satunya dalam pertanyaan ke 236 nomor 23 seseorang bertanya: “Wahai tuanku, sesungguhnya sebagian istikharah telah keluar dengan ayat-ayat yang terlihat dan jauh dari (sosok) anda, maka apa ini artinya? Dan apakah ada larangan untuk melakukan banyak istikharah dalam urusan anda, ataukah tidak ada masalah?”

Sebagai jawabannya disebutkan bahwa istikharah adalah permintaan pada Allah Swt, sehingga setidaknya dalam hal tersebut harus terdapat tiga hal:

“Pertama, anda (diantara dua pilihan) tidak condong pada satu sisi, melainkan keduanya sama dalam diri anda.

Kedua, hendaknya anda siap untuk menerima jawaban Allah Swt secara mutlak dan tidak ada sedikitpun penolakan ataupun perdebatan atas jawaban tersebut.

Ketiga, hendaknya ada menerima jawaban itu dan menganggapnya sebagai nikmat Allah yang besar atas anda, bahwasannya (seolah) Dia berbicara pada anda dan menjawab anda.

Ketiga hal ini merupakan paling sedikitnya syarat untuk sementara bagi anda yang telah ber-istikharah pada Allah. Adapun ketika ada seseorang yang ragu dalam menerima jawaban Allah Swt untuknya, kemudian dia beristikharah (lagi) dan menganggap apa yang telah dikerjakannya tersebut sebagai istikharah, maka sebenarnya orang yang seperti ini, barangkali Allah Swt memberikannya nikmat dan menjawabnya, akan tetapi penghinaan apa yang telah dia perbuat terhadap jawaban (pertama) itu dan hal-hal serupa seolah dia tidak puas berkonsultasi dengan seseorang dan bergerak bertolakbelakang dengan (hasil) konsultasinya, dan seolah dia telah berkonsultasi untuk menentang perkataan-Nya, maka bagaimana ia bisa puas melakukan hal itu terhadap Allah Swt, demi Allah ini merupakan perkara yang besar, dan kelancangan yang besar. Namun dengan semua keburukan yang muncul dari manusia ini sesungguhnya Allah Swt memperlakukan mereka dengan kasih sayang dan rahmat-Nya.”[27]

Yang perlu diperhatikan dengan seksama pada kutipan tanya jawab di atas adalah:

Pertama, penanya mengungkapkan bahwa sebagian istikharah yang dilakukan dengan niatan yang ditujukan pada Ahmad Hasan Bashri, keluar dengan ayat-ayat memperlihatkan hal yang buruk. Berkaitan dengan itu ia menanyakan artinya, namun jawaban atas hal tersebut tidak dapat kita temukan dalam jawaban yang diberikan.

Kedua, penanya selanjutnya menanyakan kebolehan istikharah berkali-kali dalam hubungannya dengan sekte yang dipelopori oleh Ahmad Hasan Bashri ini. Kali ini jawaban pertanyaan tersebut secara gamblang dijelaskan, meskipun yang secara lahir terlihat bahwa jawaban tersebut lebih mengarah pada adab beristikharah. Mereka menganggap bahwa melakukan istikharah secara berulang untuk hal yang sama, secara tidak langsung merupakan sebuah penghinaan karena itu artinya kita tidak menghiraukan hasil yang pertama didapat. Artinya istikharah pertama adalah sangat penting seperti apapun hasilnya. Dan telah kita saksikan di atas bagaimana si penanya mendapati istikharahnya terhadap pelopor sekte ini.

Dari sini, seperti yang sudah diulas dalam beberapa tulisan sebelumnya, bahwa istikharah tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk menetapkan kebenaran suatu hal. Sebab kebenaran itu bersifat tetap dan tidak akan pernah berubah bagi siapapun, sementara dalam istikharah kita akan mendapati orang-orang akan mendapat hasil yang berbeda-beda sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Syubhat Dalil Istikharah Al-Yamani dalam Sebuah Riwayat

Pada bahasan sebelumnya, kita telah paparkan bahwa aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashri menggunakan metode istikharah dengan al-Quran sebagai cara untuk membuktikan klaim kebenaran mereka. Dan beberapa sanggahan mengenai hal tersebut telah kita jelaskan juga di seri-seri sebelumnya.

Pada seri kali ini, kita masih membahas seputar aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashri dan dalil istikharahnya.

Dalam membuktikan klaim mengenai bisanya menggunakan metode istikharah dengan al-Quran untuk membuktikan Imamah, mereka menyodorkan sebuah riwayat yang menurut mereka riwayat tersebut menunjukkan dan mengindikasikan kearah klaim kebenaran mereka. Riwayat yang cukup panjang tersebut termaktub dalam kitab al-Ghaibah milik An–Nu’mani dimana dalam riwayat tersebut disebutkan berita mengenai Al-Mahdi yang diceritakan oleh Amirul Mukminin. Dalam potongan riwayat itu terdapat kalimat[28] (فان خار الله لك فاعزم ). Kalimat inilah yang dijadikan oleh aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashri sebagai bukti bahwa untuk menentukan Imamah bisa dengan istikharah.

Dalam menjawab syubhat tersebut ada dua hal yang mesti diperhatikan:

Pertama, kalimat tersebut tidak berhubungan atau berkaitan dengan metode istikharah dengan al-Quran. Sebagaimana kita ketahui bahwa istikharah bermakna meminta kebaikan sedang kalimat tersebut bermakna kebaikan yang diinginkan Allah Swt untuk manusia, atau memberikan kebaikan. Hal tersebut seperti yang ditunjukkan dalam kitab-kitab lugah (Bahasa), salah satunya seperti yang tercantum dalam kitab Lisanul Arab milik Ibnu Manzur.

خَارَ الله لك أی أعطاك مَا هُوَ خَیرٌ لك [29]

Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu

Kedua, dalam ucapan orang-orang arab pun demikian, kalimat tersebut bukan bermakna istikharah atau meminta kebaikan, namun bermakna memberikan kebaikan. Contohnya seperti ucapan dari istri Zuhair ketika ia akan berpisah dengan suaminya yang tercatat dalam kitab Mutsirul Ahzan.

Semoga Allah memberikan yang terbaik untukmu, aku meminta padamu di Hari Kiamat hendaklah engkau mengingatku di dekat kakek Al-Husain As.[30]

Jadi, riwayat yang dibawakan oleh aliran al-Yamani Ahmad Hasan Bashri untuk membuktikan bisanya menentukan kebenaran Imamah dengan istikharah tidaklah tepat. Dan seperti yang telah kita jelaskan bahwa istikharah tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk menentukan kebenaran apalagi se urgen menentukan kebenaran Imamah.

Wallahu A’lam

Mimpi dijadikan Dalil oleh Sekte Al-Yamani

Pada beberapa pembahasan sebelumnya telah banyak dibicarakan tentang istikharah sebagai dalil sekte al-Yamani. pada seri kali ini kita akan membahas tentang dalil lain kelompok ini; berupa mimpi bertemu dengan Nabi Saw maupun para Maksum dari Keluarga Nabi.

Sekte al-Yamani disamping menyuguhkan istikharah sebagai cara untuk membuktikan keabsahan ajarannya, juga menjadikan mimpi bertemu dengan para Maksum yang mengatakan bahwa ajaran Ahmad al-Hasan adalah benar, sebagai dalil.

Mereka berkeyakinan bahwa jika seseorang melakukan amalan tertentu yang mereka anjurkan, lalu kemudian di dalam mimpi bertemu dengan Nabi Saw maupun salah seorang dari para maksum, dan mereka menyampaikan bahwa dakwah Ahmad Hasan Bashri adalah benar, maka mimpi ini dapat dijadikan sebagai bukti serta dalil kebenaran dakwah tersebut.

Ahmad Hasan Bashri di dalam salah satu buku tanya jawabnya mencatat:

Pertanyaan pertama: apa jalan yang paling cepat untuk kemudian saya dapat membenarkan bahwa Sayyid Ahmad Hasan adalah utusan dan washi Imam Mahdi?

Jawab: Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi rabbil alamin.

Cara yang paling cepat untuk dapat percaya terhadap hal yang gaib adalah melaui hal gaib. Setelah melakukan puasa selama tiga hari dan bertawassul dengan kedudukan Fathimah binti Muhammad, mintalah kepada Allah Swt agar engkau mengenal kebenaran melaui mimpi atau mukasyafah (terbukanya tabir gaib) maupun tanda-tanda gaib ilahi yang lainnya.[31]

Dari tanya jawab di atas dapat dipahami bahwa sekte yamani dengan tegas menyatakan bahwa mimpi merupakan salah satu dalil yang dapat membuktikan kebenaran Ahmad Hasan Bashri. Bukan hanya itu, bahkan mimpi diyakini sebagai jalan pintas yang paling cepat untuk dapat mengantarkan seseorang kepada keimanan terhadan pemimpin mereka.

Tentu saja keyakinan terhadap mimpi sebagai dalil, merupakan hal yang sangat asing bagi kalangan yang masih berjalan berdasarkan metode argumentasi agama yang benar. Sebab dalam kajian-kajian teologi, kita tidak disuguhkan dengan dalil mimpi sebagai landasan untuk membuktikan kebenaran suatu agama maupun mazhab.

Yang selalu dijadikan landasan atau dalil kebenaran beragama adalah dalil aqli maupun naqli berupa al-Quran dan hadits, bukan mimpi maupun istikharah.

Berkaitan dengan hal ini allamah Hilli pernah ditanya tentang sikap yang harus diambil oleh seseorang yang dihadapkan dengan mimpi yang berisi perintah maupun larangan dari Nabi Saw maupu para Imam As:

Muhaqqiq Bahrani menceritakan: bahwa Sayyid Muhanna bin Sinan bertanya kepada Allamah (Hilli), ia bertanya: apa pendapat tuan tentang seseorang yang melihat Nabi atau salah seorang dari para Imam di dalam mimpinya, dan ia diberi perintah atau larangan? Apakah ia wajib melakukan apa yang diperintahkan atau menjauhi yang dilarang? Atau hal itu tidak wajib? Karena dalam hal ini ada hadits sahih dari Nabi Saw di mana beliau bersabda: Barang siapa melihatku di dalam mimpi sesungguhnya ia benar-benar melihatku, karena setan tidak dapat menyerupaiku. Serta berbagai hadits lain sejenisnya. Dan apa pendapatmu jika yang diperintahkan ataupun yang dilarang bertentangan dengan zahir syariat yang ada ditengah-tengan ummat? Apakah ada perbedaan antara keduanya atau tidak? Berilah kami fatwa dengan jelas tentang hal tersebut. Semoga Allah memudahkan segala kesulitanmu. Lantas ia (Allamah Hilli) menjawab: Adapun yang bertentangan dengan zahir syariat tidak boleh diikuti, sedangkan yang sesuai dengannya, lebih utama untuk diikuti, tetapi tidak wajib. Karena melihat beliau di alam mimpi tidak menjadikan wajib mengikutinya (di alam nyata).[32]

Catatan ini menunjukkan bahwa dalam keyakinan Allamah Hilli yang menjadi tolok ukur kebenaran adalah syariat yang tentu saja bersumber dari al-Quran Hadits dan akal. Bahkan mimpi bertemu para Maksum sekalipun mesti diuji melalui jalur syariat sebagai patokan kebenarannya, dan bukan sebaliknya.

Sekali lagi penjelasan ini membawa kita kepada kesimpulan bahwa mimpi sebagaimana halnya istikharah tidak dapat dijadikan sebagai dalil untuk membuktikan kebenaran agama atau mazhab tertentu.

Dan terakhir bagaimana jika ada yang bermimpi bertemu dengan Nabi Saw atau salah seorang maksum As, lalu kemudian disampaikan bahwa ajaran Ahmad Hasan Bashri adalah kebatilan? Apakah ini juga harus diterima?

Dalil Mimpi Aliran Al-Yamani dan Keanehannya

Salah satu cara untuk meyakinkan kebenaran ajarannya kepada orang lain, aliran Yamani menggunakan metode mimpi bertemu Rasulullah atau para Imam Maksum Ahlulbait. Seperti yang sudah dijelaskan di tulisan sebelumnya, maksud dari mimpi di sini adalah, ketika seseorang memimpikan Rasulullah dan para Imam Ahlulbait, lalu mereka mengonfirmasi kebenaran ajaran mereka, maka hal itu, di mata mereka (pengikut Yamani) adalah dalil kalau ajaran Hasan al-Yamani yang selama ini mereka anut adalah benar.

Metode mimpi yang dipakai oleh aliran Yamani untuk membuktikan kebenaran keyakinannya, bukanlah sesuatu yang baru di dunia Islam. Sebut saja, Sayyid Muhammad Nur Bakhs, misalnya, yang pernah mengaku sebagai Imam Mahdi, juga menggunakan metode mimpi untuk membuktikan kalau dirinya adalah al-Mahdi. Pun dengan Mirza Ahmad Qadyani, yang juga pernah mengklaim dirinya sebagai al-Mahdi dan seorang nabi dan seterusnya dan seterusnya.

Salah satu alasan, kenapa aliran Yamani menggunakan metode mimpi sebagai pembuktian keabsahan keyakinannya, setidaknya mereka mengacu pada riwayat dari Nabi Saw., yang berbunyi begini,

“Barang siapa yang memimpikan diriku di dalam tidurnya, maka ia benar-benar memipikanku. Sungguh, setan tidak akan menjasadkan dirinya dalam bentuk diriku, baik di dunia mimpi maupun nyata; juga tidak akan menjasadkan dirinya dalam bentuk washi-washi-ku (para imam Ahlulbait) hingga hari kiamat.”[33]

Terkait metode mimpi ini, setidaknya telah dijawab dengan gamblang di dalam tulisan sebelumnya. Namun, sebagai penyempurnaan dari tulisan tersebut, penulis hendak menambahkan jawaban lain, yang barang kali dapat menambah gudang pengetahuan kita terkait aliran Yamani tersebut. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu kita tahu, ada dua jenis mimpi, mimpi yang sifatnya bohong dan mimpi yang bersifat benar.[34]

Lebih dari itu, Imam Ja’far Shadiq as., menjelaskan tentang ragam mimpi. Dalam pandangannya, ada tiga mimpi, pertama mimpi yang mengandung kabar gembira, yang dikhususkan untuk orang-orang Mukmin. Kedua, adalah mimpi yang di dalamnya terkandung sebuah peringatan dari setan. Ketiga, mimpi yang di dalamnya terkandung sebuah kekacauan.[35]

Sebagai penutup, mari kita sejenak berpikir. Seperti yang telah disinggung di atas, tentang adanya jenis mimpi, ada yang bohong dan benar. Jika seseorang yang memimpikan Nabi Muhammad Saw., dan para Imam Maksum tidak tahu apakah mimpinya termasuk jenis bohong dan benar, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebuah dalil untuk membuktikan kebenaran dari sebuah keyakinan.

Syubhat Dalil Mimpi Aliran Al-Yamani

Pada seri sebelumnya telah dijelaskan bahwa selain istikharah, aliran al-Yamani Ahmad Hasan menggunakan metode mimpi sebagai dalil dalam membuktikan klaimnya. Dan telah disampaikan juga bahwa penggunaan metode mimpi ini salah satunya mengacu pada sebuah hadis dari Nabi Saw yang menyebutkan sesiapa yang memimpikan diriku maka ia benar-benar memimpikanku.

…Maka sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: Sesiapa yang memimpikan diriku dalam tidurnya, maka ia benar-benar memimpikanku. Sungguh Syetan tidak akan menjasadkan dirinya dalam bentuk diriku, baik di dunia mimpi maupun nyata, juga tidak akan menjasadkan dirinya dalam bentuk washi-washi ku (Para Imam Ahlulbait) hingga hari kiamat.[36]

Pada bahasan kali ini, penulis ingin menambahkan jawaban atau bantahan terhadap apa yang diajukan oleh aliran al-Yamani, yang mana mereka menjadikan hadis diatas sebagai bukti bahwa mimpi bisa menjadi dalil dalam menentukan kebenaran Imamah atau Washi.

Dalam menjawab syubhat tersebut perlu diperhatikan bahwa syarat untuk meyakinkan bahwa dirinya bertemu Nabi Saw atau makshumin As dalam mimpi ialah pernahnya seseorang tersebut melihat atau bertemu mereka As di alam nyata. Jika tidak, bagaimana bisa ia mengatakan bahwa yang ia lihat adalah benar-benar makshumin?

Sementara itu, ketika para pengikut Ahmad Hasan Bashri ditanya apa yang mereka lihat dalam mimpi, mereka mengatakan, kami melihat seorang laki-laki yang wajah sama kepalanya dipenuhi cahaya dan dia memerintahkan kami untuk mengikuti putranya Ahmad, atau mereka mengatakan, kami melihat seorang perempuan yang memakai cadur di kepalanya dan wajahnya tersembunyi dan mengatakan ini dan itu, atau mereka mengatakan kami mendengar sebuah suara yang mengabarkan pada kami tentang Ahmad.

Dari sini jelas bahwa mereka tidak bertemu Nabi Saw atau Fathimah Zahra As dalam mimpi mereka, melainkan hanya sebuah gambaran imajinasi yang mungkin pernah mereka lihat dalam televisi atau buku-buku. Selain itu, hadis diatas mengatakan sesiapa yang memimpikanku maka itu aku. Bukan mengatakan sesiapa yang memperkenalkan dengan nama saya itu adalah saya, atau sesiapa yang bermimpi dengan ciri-ciri bercahaya atau yang lainnya itu saya. Tidaklah seperti itu. Hadis diatas juga menjelaskan tentang bertemu Nabi Saw atau Makshumin As, sehingga, adanya suara atau sesuatu yang lainnya tidak bisa disandarkan pada lingkup hadis tersebut.

Oleh karena itu, gambaran-gambaran imajinasi yang mereka katakan atau suara-suara yang mereka dengar dalam mimpi tidak bisa dipastikan bahwa itu dari Nabi Saw atau Makshumin As, karena mereka sendiri belum pernah bertemu Nabi Saw atau Makshumin As di alam nyata. Dan karena tidak bisa dipastikan, maka ada kemungkinan hal tersebut bisa berasal dari tipu daya atau bisikan Syetan. Dan hal tersebut sangat mungkin karena adanya riwayat yang menjelaskan perihal tersebut, dan Ahmad Hasan sendiri membenarkan hal tersebut. Dalam kitabnya al-Jawabul Munir ‘Abarul Atsir Ahmad Hasan ketika ditanya perihal mimpinya Fathimah As ia mengatakan, bahwa Syetan memasuki mimpinya diakhir mimpi, kemudian ia menjelaskan bahwa suara yang didengar Fathimah diakhir mimpinya bukanlah bagian dari mimpi, tapi itu adalah syetan yang ingin membuatnya sedih.[37]

Wallahu A’lam

Bantahan Atas Klaim Kelompok Al-Yamani Seputar Raj’ah

Masih seputar keyakinan dan klaim sekte al-Yamani, pada seri kali ini setelah selesai mengupas pembahasan seputar mimpi, kita akan melanjutkan pembahasan pada klaim yang lain.

Kalim berikut yang digaungkan oleh kelompok ini adalah keyakinan akan raj’ah yang berbeda dengan keyakinan mazhab Syiah secara umum.

Mazhab Syiah meyakini bahwa raj’ah terjadi setelah Imam Mahdi As. Sedangkan menurut sekte al-Yamani raj’ah terjadi pasca mahdiyyin yang keduabelas, yang tentu saja memiliki jarak yang cukup jauh, karena harus melalui 12 mahdiyyin setelah Imam Mahdi.

Perlu diingat bahwa kita tidak akan mengkaji lebih jauh sekitar kebsahan keyakinan seputar raj’ah, sebab itu akan memakan banyak waktu serta membutuhkan kajian tersendiri.

Yang ingin kita bahas hanya seputar klaim sekte al-Yamani berkaitan dengan raj’ah serta sanggahan atas klaim tersebut.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kelompok ini meyakini bahwa raj’ah terjadi setelah mahdiyyin yang ke 12 bukan setelah Imam Mahdi. Dalam hal ini kita dapat temukan di dalam kitab karya kelompok ini al-Raj’at Tsalita Ayyamullah al-Kubra:

Alam raj’ah dimulai dengan berakhirnya kerajaan atau kekuasaan Mahdi yang ke 12; yaitu Qaim yang Imam Husain keluar untuk membantunya.[38]

Lebih dari itu Nadzim al-Aqili di dalam kitabnya mengklaim bahwa tidak ada dalil yang tegas dan gamblang yang menjelaskan bahwa raj’ah terjadi pasca Imam Mahdi:

Tidak ada satu riwayatpun yang memuat bahwa Imam Mahdi menyerahkannya kepada Imam Husain, sebagaimana disangkakan oleh Syaikh Haidar berdasarkan kedustaan dan diadaadakan terhadap Ahlulbait. Dan aku berani bertahaddi dengan Syaikh Haidar (menantang) untuk mendatangkan riwayat yang tegas dan gamblang (sharih).[39]

Dapat disaksikan bahwa dari dua pernyataan di atas kelompok al-Yamani meyakini raj’ah terjadi setelah mahdiyyin yang keduabelas dan bukan setelah Imam Mahdi, bahkan mereka mengatakan bahwa tidak ditemukan dalil yang terang yang dapat membuktikan bahwa raj’ah terjadi pasca Imam Mahdi As.

Untuk menyanggah pernyataan di atas pada tulisan ini akan dihadirka satu riwayat yang dengan jelas mengatakan bahwa peristiwa raj’ah terjadi setelah Imam Mahdi As.

Ibn Syazan berkata: ………. Dari Abi ja’far As, ia berkata: satu malam sebelum kesyahidannya Husain bin Ali bin Abi Thalib As berkata: sesungguhnya Rasulullah Saw telah berkata kepadaku: wahai putraku! Sesungguhnya engkau akan digiring menuju Iraq, lalu engkau akan berhenti di suatu tempat bernama Amura dan Karbala lantas engkau beserta sekelompok sahabatmu akan mati syahid di sana.

Sungguh waktu yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw tersebut telah dekat. Besok aku akan bergerak menujunya.barang siapa yang ingin berpaling, maka pergilah ia pada malam ini. Sungguh aku telah memberi izin padanya dan ia tidak ada masalah denganku.

Beliau sangat menekankan perkataannya tersebut, namun mereka tidak rela (meninggalkannya) dan mereka berkata: demi Allah kami tidak akan meninggalkanmu sampai kami ikut bersamamu.

Menyaksikan hal itu, beliau berkata: berbahagialah kalian dengan sorga, maka demi Allah kita akan tinggal selama yang Allah kehendaki setelah apa yang terjadi terhadap kita (kesyahidan). Setelah itu, Allah akan mengeluarkan kita ketika Qaim kami (Imam Mahdi) muncul untuk menuntut balas dari orang-orang yang zalim. Saya dan kalian akan menyaksikan mereka dalam keadaan terbelenggu dan ditimpa berbagai azab dan siksa.

Beliau ditanya: siapakah Qaim kalian wahai putra Rasulullah?

Beliau menjawab: yang ketujuh dari keturunan anakku Muhammad bin Ali al-Baqir. Dia adalah al-Hujjah bin Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali, putraku. Dia akan gaib dalam waktu yang lama kemudian ia akan muncul dan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman.[40]

Dalam hadits ini dengan gamblang disebutkan bahwa zaman raj’ahnya Imam Husain As, bertepatan dengan munculnya Imam Mahdi As. Sebab dalam hadits tersebut dijelaskan dengan sangat jelas bahwa mereka akan raj’ah pada saat kemunculan Qaim alli Muhammad. Dan beliau merupakan keturunan ketujuh dari Imam Muhammad al-Baqir.

Dari penjelasan ini klaim yang mengatakan bahwa tidak ada dalil yang gamblang yang menyatakan bahwa raj’ah terjadi pasca Imam Mahdi, telah terbantahkan.

Sebenarnya masih ada banyak hadits lainnya yang memuat tentang hal ini, namun dalam tulisan kali ini hanya disebutka yang satu ini saja.

Dan satu hal lagi yang perlu diingat bahwa semua klaim yang mengatakan akan keberadaan mahdiyyin setelah Imam Mahdi telah dibantah dalam berbagai tulisan sebelumnya (dalam pembahasan berhubungan dengan hadits washiat), oleh karena itu pernyataan tentang raj’ah setelah mahdiyyin yang keduabelas juga akan terbantah dengan sendirinya.

Daftar Isi:

Menjawab 1

Syubhat-Syubhat Sekte Al-Yamani 1

Tim Muslim Menjawab 1

Syubhat Riwayat 12 Pemimpin dari Keturunan Rasulullah Saw 2

Benarkah Ahmad Al-Hasan Wujud dari Yamani? 6

Munculnya Al-Yamani dari Yaman 8

Ahmad Al-Hasan Bashri Bukanlah Yamani! 10

Riwayat Bendera Al-Yamani Pemberi Hidayah 12

Al-Yamani dari Keturunan Zaid bin Ali Zainal Abidin, Bukan Keturunan Imam Mahdi 15

Ahmad Al-Hasan Bashri Tertolak dari Yamani 19

Syubhat Kemakshuman Al-Yamani 21

Klaim Ahmad Al-Hasan Bashri Sebagai Al-Mahdi Tidak Masuk Akal 24

Sekte Al-Yamani Jadikan Istikharah Sebagai Dalil 27

Menolak Dalil Istikharah dari Sekte Al-Yamani 30

Ahmad Hasan Melarang Istikharah untuk Perkara Penyembelihan Namun Bisa untuk Perkara Imamah 32

Klaim Ahmad Hasan Bashri Menolak Istikharah Sebagai Dalil 35

Ketika Istikharah untuk Ahmad Hasan Bashri Hasilnya Tidak Bagus 37

Syubhat Dalil Istikharah Al-Yamani dalam Sebuah Riwayat 40

Mimpi dijadikan Dalil oleh Sekte Al-Yamani 42

Dalil Mimpi Aliran Al-Yamani dan Keanehannya 46

Syubhat Dalil Mimpi Aliran Al-Yamani 48

Bantahan Atas Klaim Kelompok Al-Yamani Seputar Raj’ah 51


[1] Al-Kulaini, Muhammad bin Yaqub, Al-Ushul minal Kafi, Juz 1 Hal.534 Cet. Darul Kutub Al-Islamiyah

[2] Al-Mahmudi, Dhiyauddin, Al-Ushul As-Sittah ‘Asyar minal Ushulil Awwaliyyah Hal. 139 Cet. Muassasah Ilmi Farhanggi Darul Hadis

[3] Abu Sholah Al-Halabi, Taqi bin Najm, Taqribul Ma’arif Hal. 419

[4] Al-Majlisi, Muhammad Baqir, Biharul Anwar Juz 36 Hal. 342-343 Cet. Dar Ihya At-Turats Al-Arabi

[5] Ad’iyah Al-Mahdawiyah, hal. 121.

[6] Al-Gaibah, Syekh Thusu, hal. 162.

[7] As-Shaduq, Ibnu Babawaih, Abu Ja’far Muhammad bin Ali, Kamaluddin wa Tamamu An-Ni’mah, Juz 1 Hal. 328 Cet. Maktabah As-Shaduq – Tehran

[8] Ibid Hal. 331

[9] Ibid Hal. 331

[10] Al-Ghaibah at-Thusi, Syekh Thusi , hal. 446-447

[11] Kitab Al-Ghaibah, An-Nu’mani, Muhammad bin Ibrahim, jil: 1, hal: 255-256.

[12] Al-Irsyad, Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu’man, jil: 2, hal: 375.

[13] Sayyid Ibn Thaus, Ali bin Musa bin ja’far, Falah al-Sail wa Najah al-Masail, hal: 308-309, cet:Daftar-e Tabligat-e Eslami Hauze-e Ilmiye, Qom, 1377 H.S.

[14] Al-Majlisi, Muhammad Baqir, Biharul Anwar Juz 52 Hal. 232 Cet. Daru Ihya At-Turats Al-Arabi

[15] Al-Khazaz Ar-Razi, Ali bin Muhammad, Kifayatul Atsar fin Nash alal Aimmatil Itsna Asyar Hal. 17-18 Cet. Bidar

[16] Al-Hurr Al-Amili, Muhammad bin Hasan, Itsbatul Hudah bin Nushush wal Mu’jizat Juz 1 Hal. 372 Cet. Muassasah Al-A’lami lil Mathbuat

[17] Al-Mutasyabihat, jil 4, hal. 44, soal 144.

[18] An-Nihayah fi Garibil Hadis wal Atsa, Ibnu Atsir, jil. 4, hal. 244.

[19] Kitab Sulaim bin Kis Al-Hilali, jil. 2, hal. 724.

[20] Al-Hidayah Al-Kubro, Husein bin Hamdan Khasibi, jil. Hal. 357.

[21] Abu Ragif, Ali, al-Thariq Ila al-Dakwah al-Yamaniah, hal: 64, cet: pertama, 2013 M/ 1434 H.

[22] https://farsi.khamenei.ir/treatise-index

[23] Al-Gaibah Nu’mani, Muhammad bin Ibrahim, hal. 221-222

[24] Lisanul Arab, jil 4, hal. 267, Majma’ Al-Baharain, jil. 3, hal. 297, Al-Khamus Al-Muhith, jil. 2, hal. 550.

[25] Al-Jawabul Munir ‘Abarul Atsir Juz 6 Hal. 59-60

[26] Ahmad Hasan, al-Sayyid, al-Mutasyabihat, jil:4, hal: 48, cet: kedua, 2010 M/ 1431 H

[27] Al-Jawabul Munir ‘Abarul Atsir, Juz: 1-3, Hal: 317-322.

[28] An-Nu’mani, Muhammad bin Ibrahim, Al-Ghaibah Hal. 221-222

[29] Ibnu Manzur, Jamaluddin Muhammad, Lisanul Arab Juz 4 Hal. 267 Cet. Darul Fikr

[30] Ibnu Nama, Ja’far bin Muhammad, Mutsirul Ahzan Hal. 46-47 Cet. Madrasah Al-Imamul Mahdi

[31] Ahmad Hasan, al-Sayyid, al-Mutasyabihat, jil:1, hal: 7, cet: kedua, 2010 M/ 1431 H

[32] Syubbar, Sayyid Abdullah, Mashabih al-Anwar, jil:2, hal: 25-26, cet: Maktabah Bashirati, Qom.

[33] Biharul Anwar, Allamah Majlisi, jil. 58, hal. 241

[34] Al-Fusul Muhimmah fi Ushulil A’immah, Syekh Muhammad bin Hasan Al-Huri Al-Aamili, jil. 1, hal. 689.

[35] Al-Fusul Muhimmah fi Ushulil A’immah, Syekh Muhammad bin Hasan Al-Huri Al-Aamili, jil. 1, hal. 689.

[36] Allamah Majlisi, Muhammad Baqir, Biharul Anwar Juz 58 Hal. 241

[37] Ahmad Hasan, Al-Jawabul Munir ‘Abarul Atsir Juz 1-3 Hal. 321-322

[38] Al-Salim, Ala, al-Raj’ah Tsalits Ayyamullah al-Kubra, hal: 24, cet: pertama, 2012 M/ 1433 H.

[39] Al-Aqili, Nadzim, Samiri Ashr al-Zuhur, hal: 45, cet: ke dua, 2012 M/ 1433 H.

[40] Mir Lauhi, Sayyid Muhammad, Mukhtashar Kifayat al-Mahdi Li Ma’rifat al-Mahdi, hal: 95, cet: Markaz al-Dirasat al-Takhashushiah Fi al-Imam al-Mahdi.