Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8)

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Imam Ali as
pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Imam Ali as
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh
H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam
lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah
terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir,
sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid,
bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain
daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan
syaraf istimewa pula.
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar
biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu
juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.
Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah.
Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik
dalam memujinya maupun dalam mencacinya.
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau
secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak
yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan
pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala
kebohongan tentang diriku."
Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya
kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya
kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka."
Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan
sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi
Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh
penting Islam itu.
Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang
unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting
dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak
meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-
15 Hijriyah sekarang ini.
Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh
ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah
s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain.
Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda
itu.
Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir
secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan
kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah
s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan
ketidak-serasian.
Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada
tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu
terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol
dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa
berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini
melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.
Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w.
melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung
rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w.
Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel
hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam
Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut.
Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah
s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil
menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.
Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan
merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini
sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh
keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya
pada Allah s.w.t.
Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan
kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia
diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.
Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan
perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh
yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi
berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.
Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat
berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini
mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam
bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.
Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim
tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar
golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali
r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.
Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua
kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.
Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai "kaum
penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang
tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau
disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a.
sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu
sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.
Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka bersedia mengorbankan
segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan
dibakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran
api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru:
"Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela
mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian
dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri.
Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan
Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya
justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat
cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk,
bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia
menerima "perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai
"Tahkim bi Kitabillah".
Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas
perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu
mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja
mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali
r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.
Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan
pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik
kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan
pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia
menjadi mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan,
bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.
Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam membela
Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika
Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah
mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya
direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.
Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan
tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". Lebih parah lagi karena dengan "mengatasnamakan
Islam" selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan,
direndahkan dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah
ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.
Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan
otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan
kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut
Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait).
Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada
dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a.
identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan
tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis
terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.
Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin
dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi
apakah begitu jadinya?
Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal
akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang
bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan.
Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin Abi Thalib r.a." ini
mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumahtangganya,
peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah
s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa
khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah
kenangan.
Bab XIV : KEUTAMAAN IMAM ALI R.A.
Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ciri khusus dalam suatu kurun waktu
tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang
sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara
empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam
sejarah, yaitu Imam Ali r.a.
Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepadanya. Antara lain sebagian ummat
Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi
Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi'ah.
Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut "Imam", daripada disebut Khalifah.
Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti
hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan
Imam Ali r.a., sehingga ia mempunyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat
Islam.
Gelar "Imam" adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar "Amirul Mukminin"
yang lazim dipergunakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan
sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.
Tentang ta'rif (definisi) dari perkataan "imamah" (keimaman) oleh para ahli ilmu kalam,
dirumuskan: "Imamah ialah kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan
yang ada pada seseorang…"
Jadi menurut ta'arif tersebut, maka yang dimaksud dengan "Imam" ialah seorang pemimpin atau
seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang
muslimin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.
Menurut mazhab "Imamiyah", imamah merupakan keharusan objektif dalam kehidupan
masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya
imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia,
dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka
bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk
mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk
menyebar luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di
kalangan anggota-anggota masyarakat.
Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan
menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat
Islam wajib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu
taat dan tidak menyimpang dari perintah-perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan
kaum muslimin, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat
persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.
Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah
menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan
Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan
moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama; menjamin pengayoman dan
kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang teraniaya
(madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain
sebagainya.
Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syaratsyarat. Antara lain ia harus mempunyai
pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu
memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segalagalanya
ialah kebersihan pribadi.
Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang
dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu
orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiyat, baik yang
mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin
adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-orang yang
sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya
mendambakan keridhoan Allah semata-mata.
Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: "Barang siapa yang
hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya
sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang
baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan
mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan
mendidik orang lain."
Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah
yang disandangi gelar "Imam" oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain
yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga
seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti
Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-
Khalifah itu juga Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu
penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?
Bila pengertian "imamah" hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu
semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang "imamah"
lebih dulu daripada Imam Ali r.a.
Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat,
bahwa kalau yang disebut "imamah" pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang
hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi,
demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada
seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan
kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua
pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi
lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai
problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.
Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu,
tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian
"Imam" itu sangat berlainan dengan gelar "Imam" yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia
adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak
menimbulkan keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam
diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya
gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali
lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-jalan, tanpa perlu disebut
nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.
Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa "kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi Thalib
r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya.
Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa
pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga
disebut sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu
golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir tidak ada
satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu
agama."
Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang benar-benar memiliki semua syarat
yang diperlukan. Satu keistimewaan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifahkhalifah
lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita
bicarakan di bagian lain buku ini.
Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang
terkenal luas ilmu pengetahuannya sampai diberi sebutan "habrul ummah" (pendekar ummat)
dan "juru tafsir Al Qur'an," mengatakan dengan jujur, bahwa dibanding dengan ilmu Imam Ali,
ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga
mengatakan: "Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak
membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!"
Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta
ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar
yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkalikali
ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.
Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang
Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keuntungankeuntungan
material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan,
jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin
besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian
patuhnya bertauladan serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman
dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan
dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya
kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.
Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan,
kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang,
kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi
sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokohtokoh
masyarakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau
golongan.
Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-
Madainiy dalam riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah
berkata kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang mempunyai
kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda
orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari
perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut
dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau
pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa
enaknya perlakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang
membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi."
Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: "Apa yang
kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa
yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak
berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46).
Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu
menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak
mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap
juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah mereka hanya
menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?'…"
Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan
Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami tidak dapat memberikan pembagian harta
ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…"
Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul
Allah s.a.w.: "Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat
pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada
mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak
melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya,
sedang segala yang berat akan diringankannya."
Menurut Hasan Al Bashriy: "Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini."
Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud
kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara
dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.
Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabatsahabatnya
ia berkata: "Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah
dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!"
Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki
Imam Ali r.a.
Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan
kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa
pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!
Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah.
Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu
dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.
Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk
dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh
kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya:
"Barang siapa memperoleh hidayat, maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya
sendiri."
Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada
penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam
Ali r.a.
Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan
hadiah-hadiah.
Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan
megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: "Itu istana
celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!"
Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati
istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: "Aku
tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!"
Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul
Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia
berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan
barang jinjingannya.
Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati,
kemudian berkata kepadanya: "Ya Amirul Mukminin ....!"
Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan
mengucapkan firman Allah, yang artinya: "Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-orang
yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi
orang-orang yang bertaqwa." (S. Al-Qishash:83).
Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang
dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum:
"Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!"
Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah
tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan
kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amirul Mukminin. Tetapi Imam Ali
r.a. malah menjawab: "Biarkan aku meremehkan dunia ini!"
Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya
kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.
Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a.
hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan
Romawi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis,
mengakui terus terang: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia."
Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.
tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu
Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air
mata, Imam Ali r.a. berkata:
"Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepadamu. Demi Allah, engkau adalah orang
Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus
keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di
saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain
menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orangorang
lain duduk berpangku tangan."
"Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak
menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu
senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut."
"Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Allah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu bersikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran
kepadamu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu."
Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak
kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi'biy
misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak.
Katanya: "Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di
Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia
memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu.
Setelah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian
memanggil orang-orang supaya mendekat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagibagikan
sampai tak ada lagi sisanya."
"Waktu aku pulang," kata Asy Syi'biy seterusnya, "bertanya kepada ayah: 'Yang kusaksikan hari
ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?' Sambil keheran-heranan ayah balik
bertanya: 'Siapa dia, anakku?' Kujawab: 'Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.' Kemudian
kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan
sambil melinangkan air mata menjawab: 'Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik,
anakku'…"
Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan
diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu
Muhammad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di
tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu
bahwa ia mempunyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pemberitahuan
Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Kemudian ia minta penjelasan. Tanpa
memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya.
Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong.
Waktu kantong dibuka dan dikeluarkan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingankepingan
emas dan perak.
Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: "Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa
pun yang tidak tuan bagikan kepada orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya
ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan."
Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: "Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau
ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?" Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera
menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas
dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar
berhamburan.
Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Kepada mereka ia berkata: "Bagilah
semuanya itu dengan adil!"
Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat
menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan
begitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat
jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih
tinggal ia menganjurkan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: "… Kami
tidak membutuhkan itu…!"
Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: "Yang jelek sebenarnya
harus diambil juga bersama-sama yang baik!" Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di
tangannya.
Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah manunggal dengan kezuhudan dan
ketinggian tingkat taqwanya kepada Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan
suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyanjung Imam Ali r.a. Sebagai
orang yang sudah tahu duduk persoalannya, Imam Ali r.a. menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak
setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada
apa yang ada pada dirimu."
Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan bahwa ia tidak mabok
sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk
berakibat memerosotkan martabat.
Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang
dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya
seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah
pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti
itu mencerminkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya
menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos,
jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun
tidak.
Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan
atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan
sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a.
adalah orang yang mengenal perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana
dalam peperangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat."
Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang
menegaskan: "Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya
kebohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan
mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap
selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t."
Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian
zuhudnya dalam menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan
duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat isterinya sendiri,
Sitti Fatimah r.a.
Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki
ujung antan (alu) dengan jari jemarinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat.
Sambil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini
dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…"
Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan
oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu
hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah
mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku.
Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"
"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul Allah s.a.w. dulu minum susu yang jauh lebih basi dibanding
dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini
(sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat
melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa
dengan beliau di hari kiyamat nanti."
Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri
dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu
sangat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdullah bin Rafi' menceritakan
penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a.
Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk.
Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana
roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?"
"Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan
samin atau minyak makan."
Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang
ia memakai baju katun berwarna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran
panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.
Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di
hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain
hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan.
Makan yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali
sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan
hewan!"
Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani
yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-benar
bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya
dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali
tidak menggiurkan seleranya.