Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8)0%

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8) pengarang:
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Imam Ali as

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8)

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

pengarang: H.M.H. ALHAMID ALHUSAINI
: Tanpa Nama
: Tanpa Nama
Kategori: Pengunjung: 2516
Download: 1038

Komentar:

Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 11 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 2516 / Download: 1038
Ukuran Ukuran Ukuran
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8)

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib as (Bagian 8)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.

Oleh

H.M.H. Al Hamid Al Husaini

M U Q A D D I M A H

Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam

lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah

terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir,

sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid,

bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain

daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan

syaraf istimewa pula.

Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar

biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu

juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian.

Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah.

Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik

dalam memujinya maupun dalam mencacinya.

Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau

secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak

yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan

pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala

kebohongan tentang diriku."

Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya

kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya

kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka."

Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan

sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi

Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh

penting Islam itu.

Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang

unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting

dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak

meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-

15 Hijriyah sekarang ini.

Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh

ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah

s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain.

Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda

itu.

Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir

secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan

kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah

s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan

ketidak-serasian.

Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada

tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu

terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol

dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa

berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini

melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.

Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w.

melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung

rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w.

Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel

hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam

Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut.

Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah

s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil

menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.

Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan

merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini

sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh

keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya

pada Allah s.w.t.

Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan

kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia

diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam.

Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan

perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh

yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi

berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri.

Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat

berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini

mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam

bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a.

Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim

tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar

golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali

r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.

Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua

kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.

Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai "kaum

penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang

tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau

disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a.

sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itu

sama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka.

Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka bersedia mengorbankan

segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan

dibakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran

api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru:

"Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela

mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian

dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri.

Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan

Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya

justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat

cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk,

bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia

menerima "perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai

"Tahkim bi Kitabillah".

Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas

perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu

mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja

mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali

r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij.

Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan

pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik

kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan

pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia

menjadi mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan,

bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.

Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam membela

Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika

Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah

mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya

direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.

Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan

tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". Lebih parah lagi karena dengan "mengatasnamakan

Islam" selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan,

direndahkan dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah

ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.

Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan

otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan

kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut

Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait).

Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada

dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a.

identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan

tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis

terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.

Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin

dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi

apakah begitu jadinya?

Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal

akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang

bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan.

Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin Abi Thalib r.a." ini

mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumahtangganya,

peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah

s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa

khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah

kenangan.

Bab XIV : KEUTAMAAN IMAM ALI R.A.

Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai oleh ciri khusus dalam suatu kurun waktu

tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang

sangat terkenal dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara

empat orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam

sejarah, yaitu Imam Ali r.a.

Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan kepadanya. Antara lain sebagian ummat

Islam di dunia sampai sekarang ini mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi

Thalib r.a., yaitu yang terkenal dengan sebutan kaum Syi'ah.

Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih masyhur disebut "Imam", daripada disebut Khalifah.

Sedangkan Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah pasti

hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang melatar-belakangi kehidupan

Imam Ali r.a., sehingga ia mempunyai identitas tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat

Islam.

Gelar Imam

Gelar "Imam" adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar "Amirul Mukminin"

yang lazim dipergunakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan

sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta'rif (definisi) dari perkataan "imamah" (keimaman) oleh para ahli ilmu kalam,

dirumuskan: "Imamah ialah kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan

yang ada pada seseorang…"

Jadi menurut ta'arif tersebut, maka yang dimaksud dengan "Imam" ialah seorang pemimpin atau

seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang

muslimin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab "Imamiyah", imamah merupakan keharusan objektif dalam kehidupan

masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya

imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia,

dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka

bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk

mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk

menyebar luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di

kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan

menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat

Islam wajib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu

taat dan tidak menyimpang dari perintah-perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan

kaum muslimin, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat

persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah

menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan

Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan

moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama; menjamin pengayoman dan

kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang teraniaya

(madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain

sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syaratsyarat. Antara lain ia harus mempunyai

pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu

memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segalagalanya

ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang

dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu

orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiyat, baik yang

mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin

adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-orang yang

sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya

mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali r.a. menegaskan: "Barang siapa yang

hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya

sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang

baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan

mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan

mendidik orang lain."

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah

yang disandangi gelar "Imam" oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain

yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. juga

seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab r.a. juga seorang Imam seperti

Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-

Khalifah itu juga Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu

penerus kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau?

Bila pengertian "imamah" hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu

semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka memegang "imamah"

lebih dulu daripada Imam Ali r.a.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat,

bahwa kalau yang disebut "imamah" pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang

hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi,

demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada

seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan

kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua

pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi

lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai

problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu,

tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian

"Imam" itu sangat berlainan dengan gelar "Imam" yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia

adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak

menimbulkan keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam

diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu luasnya

gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali

lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-jalan, tanpa perlu disebut

nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa "kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi Thalib

r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya.

Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa

pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga

disebut sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu

golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir tidak ada

satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu

agama."

Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam yang benar-benar memiliki semua syarat

yang diperlukan. Satu keistimewaan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifahkhalifah

lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita

bicarakan di bagian lain buku ini.

Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang

terkenal luas ilmu pengetahuannya sampai diberi sebutan "habrul ummah" (pendekar ummat)

dan "juru tafsir Al Qur'an," mengatakan dengan jujur, bahwa dibanding dengan ilmu Imam Ali,

ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. juga

mengatakan: "Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak

membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa engkau!"

Zahid

Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah Allah s.w.t. dan tauladan serta

ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan konsekuen berani menghadapi gangguan besar

yang dialami dalam kariernya sebagai pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkalikali

ia ditinggalkan oleh para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati.

Seperti dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit orang

Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu mengharapkan keuntungankeuntungan

material. Demikian juga tokoh-tokoh yang berpamrih ingin mendapat kedudukan,

jangan harap mereka itu bisa bersahabat baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin

besar seperti Imam Ali yang taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian

patuhnya bertauladan serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman

dengan mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan

dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari keimanannya

kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya.

Imam Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan,

kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang,

kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata. Itulah antara lain yang menjadi

sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah, dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokohtokoh

masyarakat yang berambisi dan hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau

golongan.

Tentang mengapa Imam Ali r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al-

Madainiy dalam riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah

berkata kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang mempunyai

kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di hadapan anda

orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa atau lebih dari

perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada kelompok pengikut yang ribut

dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau

pemerataan keadilan diterapkan atas diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa

enaknya perlakuan Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang

membeli kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi."

Setelah mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata: "Apa yang

kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik, maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa

yang berbuat buruk, maka dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak

berlaku dzalim terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46).

Kemudian Imam Ali r.a. berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu

menjauhi kami bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak

mencari perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan lenyap

juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah mereka hanya

menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk Allah?'…"

Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut seperti yang dilakukan

Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami tidak dapat memberikan pembagian harta

ghanimah kepada seseorang melampaui ketentuan yang sudah menjadi haknya…"

Tentang banyak atau sedikitnya pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul

Allah s.a.w.: "Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat

pengikut beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada

mulanya hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak

melimpahkan hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya,

sedang segala yang berat akan diringankannya."

Menurut Hasan Al Bashriy: "Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini."

Orang suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah sujud

kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul tanggung jawab atas negara

dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.

Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabatsahabatnya

ia berkata: "Ucapkanlah: Ya Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah

dengan mereka, dan perbaikilah hubungan persaudaraan kami dengan mereka!"

Padahal di Syam, Muawiyah mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki

Imam Ali r.a.

Di Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba kasar dan

kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua berdasarkan keadilan tanpa

pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal kesenangan hidup sama sekali!

Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah dan menikmati hidup serba mewah.

Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu

dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan ambisinya.

Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari kebenaran untuk

dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau kesempatan memperoleh

kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya:

"Barang siapa memperoleh hidayat, maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya

sendiri. Dan barang siapa yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya

sendiri."

Selain kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan tidak ada

penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan dihadapi oleh Imam

Ali r.a.

Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan janji-janji muluk serta mengobral harta dan

hadiah-hadiah.

Di Kufah Imam Ali r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan

megah. Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: "Itu istana

celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!"

Penduduk Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati

istana itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras: "Aku

tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak menyukainya!"

Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar, padahal ia seorang Amirul

Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat jalan dan membantu orang yang lemah. Ia

berjumpa dengan seorang yang sudah sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan

barang jinjingannya.

Melihat perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu mendekati,

kemudian berkata kepadanya: "Ya Amirul Mukminin ....!"

Imam Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas dengan

mengucapkan firman Allah, yang artinya: "Kampung akhirat itu kami sediakan bagi orang-orang

yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi

orang-orang yang bertaqwa." (S. Al-Qishash:83).

Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan membawanya sendiri. Jika ada salah seorang

dari pengantarnya yang hendak membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum:

"Kepala keluarga lebih berhak membawanya sendiri!"

Walaupun ia seorang Khalifah, ia menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah

tak ada bedanya lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan

kendaraan itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amirul Mukminin. Tetapi Imam Ali

r.a. malah menjawab: "Biarkan aku meremehkan dunia ini!"

Imam Ali r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya

kekuasaan. Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.

Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam Ali r.a.

hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru raja-raja Persia dan

Romawi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis,

mengakui terus terang: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia."

Imam Ali r.a. seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.

tentang kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu

Bakar r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka air

mata, Imam Ali r.a. berkata:

"Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan rahmat kepadamu. Demi Allah, engkau adalah orang

Islam pertama dari ummat ini. Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus

keyakinannya. Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di

saat orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang lain

menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya di saat orangorang

lain duduk berpangku tangan."

"Demi Allah, engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang-orang kafir hendak

menghancurkannya. Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu

senantiasa tajam, dan engkau tidak pernah berjiwa penakut."

"Demi Allah, engkau adalah seperti yang dikatakan Rasul Allah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat dan selalu bersikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran

kepadamu, dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu."

Banyak sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu menolak

kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada zamannya, Asy Syi'biy

misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak.

Katanya: "Bersama anak-anak lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di

Kufah. Di sana aku melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia

memegang sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu.

Setelah itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya. Kemudian

memanggil orang-orang supaya mendekat dan kulihat semua emas dan perak habis dibagibagikan

sampai tak ada lagi sisanya."

"Waktu aku pulang," kata Asy Syi'biy seterusnya, "bertanya kepada ayah: 'Yang kusaksikan hari

ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?' Sambil keheran-heranan ayah balik

bertanya: 'Siapa dia, anakku?' Kujawab: 'Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.' Kemudian

kuceritakan kepada ayah apa yang kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan

sambil melinangkan air mata menjawab: 'Yang kaulihat tadi itu orang yang paling baik,

anakku'…"

Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan

diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail, Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu

Muhammad bin Fudhail bepergian bersama pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di

tengah jalan mereka bertemu dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu

bahwa ia mempunyai barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pemberitahuan

Qanbar itu menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Kemudian ia minta penjelasan. Tanpa

memberi jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya.

Setibanya di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong.

Waktu kantong dibuka dan dikeluarkan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingankepingan

emas dan perak.

Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: "Kulihat tuan tak pernah membiarkan barang apa

pun yang tidak tuan bagikan kepada orang-orang lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya

ini kusembunyikan dari Baitul Mal, khusus untuk tuan."

Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak: "Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau

ingin memasukkan kobaran api ke dalam rumahku?" Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera

menghunus pedang lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas

dan perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar

berhamburan.

Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang banyak. Kepada mereka ia berkata: "Bagilah

semuanya itu dengan adil!"

Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a. cepat-cepat

menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum muslimin itu dibagi-bagikan

begitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi rata, ia masih melihat ada beberapa kerat

jarum dan benda-benda kecil lain yang kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih

tinggal ia menganjurkan supaya benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: "… Kami

tidak membutuhkan itu…!"

Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya bergumam: "Yang jelek sebenarnya

harus diambil juga bersama-sama yang baik!" Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di

tangannya.

Sikap Hidup

Sikap dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah manunggal dengan kezuhudan dan

ketinggian tingkat taqwanya kepada Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah melakukan

suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyanjung Imam Ali r.a. Sebagai

orang yang sudah tahu duduk persoalannya, Imam Ali r.a. menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak

setinggi seperti yang kaukatakan itu, tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada

apa yang ada pada dirimu."

Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan bahwa ia tidak mabok

sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang bersangkutan, bahwa perbuatan buruk

berakibat memerosotkan martabat.

Lain contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan yang

dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi. Tidak dimilikinya

seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu dan gentar. Ia terjun ke kancah

pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti

itu mencerminkan kewajaran dan kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya

menantang. Prinsip kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos,

jujur dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau pun

tidak.

Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi, sering disalah-artikan

atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a. sebagai orang yang sombong dan

sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a.

adalah orang yang mengenal perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana

dalam peperangan orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat."

Benarnya ucapan itu tampak jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gamblang

menegaskan: "Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya

kebohongan, walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan

mengakibatkan keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap

selalu taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t."

Dibanding dengan Khalifah-khalifah sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian

zuhudnya dalam menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan

duniawi lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat isterinya sendiri,

Sitti Fatimah r.a.

Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia sendirilah yang turun tangan menggaruki

ujung antan (alu) dengan jari jemarinya guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat.

Sambil mengerjakan hal itu Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini

dimasuki sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…"

Bagaimana lugu dan cara hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan

oleh Uqbah bin Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu

hari aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang sebuah

mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat menusuk hidungku.

Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda sampai makan seperti itu?"

"Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul Allah s.a.w. dulu minum susu yang jauh lebih basi dibanding

dengan susu ini. Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini

(sambil menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat

melakukan apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa

dengan beliau di hari kiyamat nanti."

Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh, zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri

dari kesenangan duniawi, belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu

sangat rendah dan pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdullah bin Rafi' menceritakan

penyaksiannya sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam Ali r.a.

Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang sudah kering dari remuk.

Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana

roti seperti itu sampai anda simpan rapat-rapat?"

"Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a., "kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan

samin atau minyak makan."

Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang ditambalnya sendiri. Kadang-kadang

ia memakai baju katun berwarna putih, tebal dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran

panjangnya lebih dari semestinya, ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi.

Bila makan bersama orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di

hadapannya habis dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain

hanyalah cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan.

Makan yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging kecuali

sedikit saja. Kepada orang lain ia sering berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan

hewan!"

Sungguh pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan jasmani

yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya. Ia benar-benar

bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau, kekayaan bisa mengalir kepadanya

dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali

tidak menggiurkan seleranya.