Majelis Duka Asyura (1)

Majelis Duka Asyura (1) pengarang:
: Ismail Amin Pasannai
: Ismail Amin Pasannai
Kategori: Imam Husein as

  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 6030 / Download: 2502
Ukuran Ukuran Ukuran
Majelis Duka Asyura (1)

Majelis Duka Asyura (1)

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Majelis Duka Asyura

Oleh

Ismail Amin Pasannai

KATA PENGANTAR PENULIS

Syahid Murtadha Muthahari, pemikir Islam dari Iran pernah

mengatakan dalam ceramahnya (kumpulan ceramahnya

dihimpun dalam buku "Hamaseh Husaini" (Kebangkitan

Husaini)) bahwa ada tiga kelompok yang membunuh Imam

Husain as.

Pertama, mereka yang membunuh jasad Imam Husain as di

Padang Karbala, yaitu mereka yang tergabung dalam

pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad, yang melakukan pembantaian

sadis secara fisik atas Imam Husain as.

Kedua, mereka yang membunuh kehormatan dan nama baik

Imam Husain as, yaitu kelompok yang menganggap kematian

Imam Husain as adalah kematian biasa, sebagaimana

umumnya kematian yang harus diterima para pemberontak

dihadapan penguasa. Termasuk dalam kelompok ini, mereka

yang meyakini Imam Husain as berada pada pihak yang

benar dan gugur sebagai syuhada, namun tetap memberi

pembelaan kepada para pembunuhnya dan menekankan

kepada ummat untuk melupakan saja peristiwa itu. Lebih jauh

lagi, memusuhi dan menghalangi mereka yang mengadakan

atau ingin mengadakan majelis-majelis duka mengenang

tragedi sejarah 10 Muharam 61 H tersebut.

Ketiga, mereka yang membunuh spirit dan cita-cita Imam

Husain as, yaitu mereka yang mengaku sangat mencintai

Imam Husain as, mengadakan majelis duka untuk beliau,

namun sikap dan perilaku sehari-harinya justru bertentangan

dengan nilai-nilai yang dibawa dan diperjuangkan oleh Imam

Husain as. di Karbala.

Dengan dasar, mengajak untuk kita tidak tergabung dalam

dua kelompok terakhir pembunuh Imam Husain as, buku kecil

dan sederhana ini disusun dan dihadirkan kehadapan

pembaca. Karena itu, alasan dan falsafah memperingati

tragedi Asyura perlu kami sampaikan. Buku ini tidak

dimaksudkan untuk memperkenalkan mazhab atau ideologi

tertentu, Imam Husain as adalah milik semua umat Islam

apapun mazhabnya, bahkan lebih dari itu, ia adalah milik

semua umat manusia yang mencintai kemerdekaan dan

tegaknya nilai-nilai kemanusian.

Mencintai Imam Husian as bukan hanya panggilan

kemanusiaan tapi juga sudah menjadi kewajiban agama,

sebagaimana ditegaskan dalam teks-teks agama, baik dalam

ayat Alquran maupun hadis Rasulullah saw. Karena itu,

mengetahui alasan dibalik kebangkitannya, yang itu dapat

menumbuhkan kecintaan kepada al-Husain, turut menjadi kewajiban pula. Sebagaimana kaidah fikih, maa laa yatimmul

wajiba illa bihi, fahuwa wajib, suatu kewajiban yang tidak bisa

dilakukan kecuali dengan pelaksanaan sesuatu, maka

sesuatu itu hukumnya wajib.

Bagaimana kita bisa mencintai Imam Husain as, jika

pengenalan kita terhadapnya hanya secuil? Sekedar

mengetahui bahwa ia cucu Nabi saw, tidak akan membuat

seorang muslim mencapai derajat kecintaan semestinya

padanya. Sebab, ia diminta untuk dicintai dan diteladani,

bukan semata karena ia keturunan biologis Nabi, tapi apa

yang telah ia persembahkan dan korbankan demi menjaga

nyala Islam sehingga sampai pada generasi kita.

Apa yang terdapat dalam buku elektronik ini, adalah

kumpulan tulisan yang sebelumnya telah disebar melalui

akun pribadi saya di Facebook. Dihimpun dan dikumpulkan

oleh sahabat saya, Abu Mukhtar dan istri beliau Indah

Hauzah, untuk dapat memberi lebih banyak manfaat. Karena

itu, saya mengucapkan terimakasih kepada keduanya,

semoga menjadi amal jariah.

Buku ini, bukan buku daras, tapi hanya sekedar buku yang

berisi ajakan, untuk kita tidak melupakan apa yang telah

terjadi pada 1382 tahun lalu. Ajakan untuk kita merenungi dan mengambil hikmah dan pelajaran besar dari madrasah

Karbala.

Sekali lagi, semoga risalah kecil ini memberi manfaat dan

bisa menjadi bukti kelak di mahkamah Ilahi, bahwa saya

pribadi tidak mengabaikan dan menganggap kecil peristiwa

tragedi Karbala. Mohon maaf jika dalam buku ini

mengandung kesalahan.

Mohon doanya selalu.

Qom, 12 Muharram 1443 H

Ismail Amin Pasannai

Islam Muhammadi vs Islam Umawi

Siapakah Yazid bin Muawiyah, yang diangkat sepihak oleh

Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah penggantinya yang

mengawali berdirinya Dinasti Umawiyah?

Silakan cari tahu sendiri lebih detail, sebab saya lebih doyan

menulis tulisan yang membuat pembaca berpikir bukan yang

berpikir untuk pembaca.

Intinya, Yazid bukan orang yang layak menjadi khalifah,

ulama-ulama Sunni dan Syiah mengakui itu. Ia lahir di masa

kekhalifahan Usman bin Affan, disaat ayahnya menjabat

sebagai gubernur Syam yang bergelimang kemewahan. Ia

tidak peduli pada salat dan syariat Islam. Disebutkan ia

pernah menjadi imam salat dalam keadaan mabuk.

Pengangkatannya sebagai khalifah atas kaum muslimin

secara sepihak oleh Muawiyah, tentu tidak disepakati oleh

Imam Husain as, terlebih lagi saat itu masih banyak tabiin dan

tokoh Islam yang jauh lebih layak. Imam Husain as menolak

berbaiat, yang dengan itu Yazid dengan kekuatan senjata

memaksa untuk mendapatkan baiat dari Imam Husain as sebagai tokoh Islam yang paling terpandang saat itu, terlebih

lagi Imam Husain as adalah cucu Nabi Muhammad saw.

Saya mengajak pembaca untuk menyadari pentingnya

kesyahidan Imam Husain as dalam menjaga tetap hidupnya

Islam. Dengan ketidak layakan Yazid menjadi penguasa dan

ketidak peduliannya pada syariat, apa menurut pembaca

Islam punya masa depan cerah?

Bisa jadi, dengan kekuasaan yang berada pada tangannya,

Islam kalaupun tetap ada, adalah Islam yang memenuhi hawa

nafsu dan keinginan sang raja, bukan Islam sebagaimana

yang diajarkan Rasulullah saw. Yang Bani Umayyah wariskan

adalah Islam Umawi, bukan Islam Muhammadi. Karena itu,

meski dengan kekuatan senjata seadanya dan dukungan

sedikit pembela, Imam Husain as bangkit menggelorakan

perlawanan. Imam Husain as berkata, "Aku keluar (ke medan

Karbala) bukan untuk kesia-siaan, tapi untuk memperbaiki

urusan umat kakekku." Imam Husain as bangkit untuk

menjaga nyala revolusi Islam Muhammadi.

Dihadapan pengikutnya, ia lantang berteriak, "Wahai

manusia! Rasulullah saw bersabda, Barang siapa yang

melihat pemimpin yang zalim, menghalalkan apa-apa yang

diharamkan Allah, menyeleweng dari ajaran-Nya menentang sunnah Rasulullah saw, serta berbuat dosa dan pelanggaran

terhadap hamba-hamba Allah, kemudian tidak di rubah atau

di tentang baik dengan perbuatan atau ucapan, maka Allah

swt berhak untuk mencampakkannya ke tempat (yang telah

disediakan untuk) nya."

Dengan jumlah pasukan hanya 72 orang berhadapan dengan

pasukan 4000 orang dengan persenjataan jauh lebih lengkap,

hari 10 Muharram 61 H, Imam Husain as beserta para

pembelanya gugur meneguk cawan syahadah. Sebuah

pengorbanan yang tidak sia-sia. Sebab dari tragedi Karbala

tersebut, umat Islam menjadi bangkit menggelorakan

perlawanan serupa.

Pemberontakan bermunculan dimana-mana. Warga Madinah

menarik kembali baiatnya. Yazid dengan murka mengirim

pasukan besar menyerang Madinah. Penduduk Madinah

yang diantaranya masih hidup sejumlah sahabat Nabi yang

sudah renta tidak luput dari pembantaian.

Yazid memerintahkan tentaranya untuk berbuat sesuka hati

pada penduduk Madinah selama tiga hari. Selama tiga hari

ribuan perempuan muslimah diperkosa dan anak-anak kecil

dijadikan permainan dengan menjadikannya sasaran panah

para tentara. Peristiwa tersebut dikenal dengan tragedi Al Harrah. Dicatat dan direkam dalam kitab-kitab sejarah

dengan sanad yang sahih.

Tidak cukup membumi hanguskan Madinah, pasukan Yazid

juga menyerang Mekah dan menyebabkan Kakbah terbakar.

Kezaliman dan kebiadaban Yazid yang keterlaluan dan diluar

batas tersebut terus mendapat penentangan dari kaum

muslimin.

Dengan semua keributan dan kekacauan tersebut, Yazid

tidak bisa menikmati dengan tenang kekuasaannya.

Kekuasaan yang hanya berumur 3 tahun enam bulan tersebut

berakhir dengan meninggalnya Yazid bin Muawiyah.

Kekhalifahan dilanjutkan oleh Muawiyah bin Yazid, putra

Yazid yang karena trauma dengan peristiwa Karbala, ia

mengundurkan diri dan memilih menjalani kehidupan sufi. Ia

terekam berkali-kali mengungkapkan kecintaan pada

Ahlulbait Nabi dan menyesali tindakan ayahnya yang

menyebabkan Imam Husain as terbunuh di Karbala.

Kekuasan kemudian beralih ke keluarga Marwan, yang juga

masih bagian dari Bani Umayyah. Namun kembali, dengan

semangat Asyura dan mengambil keteladanan dari altruisme

Imam Husain as, terjadi perlawanan Tawwabin, perlawanan

Mukhtar, perlawanan Zaid bin Ali dan seterusnya. Sampai kemudian tidak sampai berkuasa 100 tahun, Dinasti Umayyah

runtuh berkalang tanah.

Dari sini, renungkanlah, jika Imam Husain as tidak bangkit

dan lebih memilih diam, menyepi di masjid dan membiarkan

kursi kekhalifahaan dikuasai Yazid dengan nyaman, apakah

Islam masih bisa sampai digenerasi kita dengan Islam yang

sebagaimana Nabi Muhammad saw ajarkan?

Sampai sini, apa masih layak berpendapat dan mengatakan,

tragedi Karbala dan kebangkitan Asyura hanyalah peristiwa

biasa-biasa saja, dan tidak perlu mendapatkan perhatian

khusus dari umat Islam. Imam Husain as adalah prototype

para pejuang kemanusiaan. Terhitung revolusi India, revolusi

china, bahkan revolusi kemerdekaan Indonesia sampai

revolusi Islam Iran terinspirasi dari perjuangan heroik Imam

Husain as.

Revolusi tauhid Islam dirintis oleh Nabi Ibrahim as, diledakkan

Nabi Muhammad saw dan dijaga nyalanya oleh kesyahidan

Imam Husain as. Sejarah Islam adalah sejarah pengorbanan

para putra terbaiknya yang telah mempersembahkan darah

dan nyawanya dalam menjaga Islam.

Dan hari ini, ketika ada yang mendakwahkan Islam penuh

dengan gelak tawa dan mengabaikan airmata darah para

pejuang Islam yang berkalang tanah mempertahankan Islam,

dan berpendapat tidak ada pentingnya Asyura diperingati,

maka yakinlah, mereka adalah orang yang hidup dari Islam

bukan yang menghidupi Islam. Mereka memanfaatkan Islam

demi memperoleh onggokan keuntungan duniawi. Yang

mereka peluk adalah Islamnya Umawi, bukan Islam

Muhammadi.

“Semoga Allah membalas kemi dan engkau karena berduka

atas musibah Imam Husain as dan menjadikan kami dan

kalian penuntut darah beliau bersama wali-Nya,

Imam Mahdidari keluarga Muhammad, semoga

keselamatan terlimpah padanya.”

Mengapa Perlu Menghidupkan

Majelis Asyura?

Majelis Asyura adalah majelis yang dibuat oleh pecintapecinta Imam Husain as di malam-malam pertama bulan

Muharram untuk mengenang peristiwa tragis dalam dunia

Islam, terbantainya keluarga Nabi Muhammad saw

di Padang Karbala tahun 61 H silam.

Majelis ini dimulai dari 1 Muharram sampai pada puncaknya

10 Muharram yang dikenal dengan sebutan Hari Asyura.

Pada sebagian tempat tetap dilanjutkan untuk malam ke 11

dan 12. Untuk di Iran, majelis ini terselenggara di masjidmasjid dan husainiyah-husainiyah seusai salat Isya. Diantara

agenda terpenting dari majelis asyura adalah penyampaian

ceramah.

Kisah-kisah dari para pelakon Karbala mengalir dari lisan

para penceramah, baik yang antagonis maupun dari para

pahlawan Karbala, sebab dari keduanya kita bisa mengambil

ibrah dan untuk tahu, hakekatnya posisi kita berada di mana,

di kafilah Imam Husain as atau bersama dengan para

musuhnya.

Peristiwa Asyura bukan episode masa silam yang terputus

kaitannya dengan kekinian. Melainkan sejatinya tetap terjadi

sampai hari ini. Inilah makna dari semboyan, Kullu Yaumin

Asyura, Kullu Ardin Karbala, semua hari adalah Asyura,

semua tempat adalah Karbala. Setiap hari kita sedang dalam

pertarungan dan setiap tempat adalah medan pertempuran.

Dengan hadir pada majelis Asyura dan merawat kenangan

atas peristiwa tragis yang menimpa keluarga Nabi saw, kita

akan sadar betapa Islam terus berada dalam bahaya dan

ancaman kepunahan.

Kita akan tahu, bahwa tanpa pengorbanan dan nilai-nilai

altruisme dari Imam Husain as, keluarga dan pembelanya,

Islam Muhammadi hanya akan tinggal nama, tergantikan oleh

Islam Umawi yang menjadikan Islam hanya kedok untuk

mengeruk keuntungan duniawi dan mempertahankan

status quo.

Majelis Asyura berperan untuk menarik adegan-adegan di

Karbala pada konteks kekinian, tentang bagaimana

memberikan gambaran utuh etos perlawanan sekaligus

menunjukkan kekonsistenan Imam Husain as dan pahlawan

Karbala dalam menentang rezim yang zalim.

Petikan jawaban tegas Imam Husain as yang diabadikan

dalam lembar-lembar kitab sejarah ketika diminta untuk

memberikan baiatnya pada kekhalifahan Yazid bin Muawiyah,

"Orang seperti aku, tidak akan memberikan baiat pada orang

seperti Yazid", menunjukkan bahwa Imam Husain as

memberikan pelajaran moral, bahwa siapapun yang mengaku

pengikut, pecinta, pembela dan mentautkan dirinya hendak

menjadi seperti dirinya, maka tidak akan memberikan baiat,

persetujuan apalagi berada dalam barisan penguasa zalim

seperti Yazid.

Majelis Asyura mengingatkan, disetiap hari akan

bermunculan Yazid-Yazid baru, dan disetiap tempat akan

berkuasa Yazid-Yazid baru, karena itu Majelis Asyura penting

dihidupkan, disemarakkan dan diramaikan, yang darinya

diharap bisa lahir Husain-Husain baru, yang tidak hanya

berdiri tegak menentang kezaliman Yazid namun menjadi

pioner keruntuhan otoritarianisme.

Majelis Asyura berperan menghidupkan kembali teologi

pembebasan Islam. Bahwa hakekat Islam sejatinya adalah

membebaskan manusia pada penghambaan pada manusia

lainnya, dan hanya menghambakan diri pada Allah swt.

Sehingga dengan semangat itu wajar jika Anbiyah as dan

orang-orang salih menjadi agen pembebasan di tempat dan

masanya masing-masing. Bagaimana Nabi Ibrahim as muncul

menjadi sosok yang menakutkan bagi raja Namrudz, Nabi

Musa as yang membebaskan Bani Israil dari kezaliman

Firaun, Nabi Isa as menjadi ancaman bagi kedigdayaan

emperium Romawi dan Nabi Muhammad saw yang

membawa kabar buruk bagi semua penguasa zalim.

Kesaktian Majelis Asyura telah memberi bukti. Di Iran,

dengan semangat Husaini, tanpa kekuatan senjata,

kekuasaan despotik Pahlevi yang sempat merayakan 2500

tahun Imperium Persia kini tinggal nama dalam lembaran

sejarah.

Majelis Asyura bukan sekedar majelis tempat mengenang

duka Ahlulbait as semata. Bukan sekedar tempat

menumpahkan airmata kesedihan turut merasakan kepedihan

Sayidah Fatimah sa atas terbantainya putra kesayangan.

Majelis Asyura bukan sekedar itu.

Majelis Asyura adalah majelis perlawanan. Tempat anak-anak

muda dididik dan dikader dengan semangat pemberontak.

Majelis yang memproduksi pemahaman keagamaan bahwa

Islam adalah teologi pembebasan yang harus memberikan

pembelaan pada mereka yang tertindas dan terpinggirkan

secara sosial.

Majelis yang memperkenalkan setan dan iblis bukan hanya

sebagai makhlus halus melainkan juga kekuasaan yang

memperkosa nilai-nilai kemanusiaan. Majelis yang merawat

ingatan bahwa unsur dari setiap adegan yang terjadi pada

peristiwa Asyura adalah kekuatan gerakan.

Majelis Asyura mendedahkan, prinsip dari perlawanan Imam

Husain as di padang Karbala di Hari Asyura adalah demi

tegaknya keadilan, penentangan pada kezaliman dan

kembalinya ruh agama sebagai kekuatan radikal dan

progresif dalam membebaskan mereka yang tertindas.

Mari menghidupkan Majelis Asyura, meski rezim zalim dan

para pengikutnya tidak suka. Minimal hidupkan di hatimu.

Agar api Islam turut berkobar di hatimu.

Manfaat Hadir di Majelis-Majelis Duka Asyura

Peristiwa terbantainya Imam Husain as meski telah berlalu

1400 tahun silam, tetap terkenang sampai saat ini. Sebuah

tragedi memilukan yang menjadi noda dalam perjalanan

sejarah Islam.

Para pecinta Ahlulbait as mengadakan majelis-majelis khusus

setiap tahunnya untuk memperingati tragedi Asyura tersebut.

Alasannya dapat dirangkum dalam beberapa poin.

Diantaranya:

Pertama, untuk merawat ingatan, bahwa peristiwa tragis

pernah dialami keluarga Nabi, yang Nabi Muhammad saw

berwasiat mengenai mereka untuk dijaga, diperhatikan dan

diikuti. Yang tragisnya, keluarga Nabi tersebut dibantai oleh

mereka yang mengaku sebagai pengikut Nabi.

Kedua, untuk mengenal sejarah perjuangan keluarga Nabi

dalam menjaga keutuhan ajaran Islam. Mereka tidak hanya

menjaga nyala Islam melalui dakwah, pengajaran dan

pembinaan umat namun juga menjaganya melalui jihad fisik dan pengorbanan nyawa. Menegakkan syiar Islam mereka

lakukan tidak hanya dengan tinta namun juga dengan tetesan

darah. Imam Khomeini mengatakan, "Islam terjaga oleh

pengorbanan dan tumpahan darah putera-putera terbaiknya."

Ketiga, untuk mengetahui perjalanan sejarah Islam yang tidak

melulu mulus dan romantis. Sejarah Islam tidak hanya

mencatat adanya kejayaan emas namun juga terciprati noda

pengkhianatan, kemunafikan dan ambisi untuk saling

menghabisi demi kekuasaan. Ambisi kekuasaan yang

menelan korban dari manusia-manusia suci keturunan

Rasulullah saw.

Ambisi itu sampai sekarang masih ada, dengan

mengatasnamakan Islam dan memperalat ajaran suci agama,

kelompok-kelompok dengan berjubah Islam memaksakan

kehendak, melancarkan permusuhan dan kebencian meski

pada sesama muslim.

Atas nama Islam, mereka menggebuk lawan-lawan politik

meski dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan

Islam itu sendiri. Dengan mengenal sejarah Islam yang tidak

melulu mulus tersebut, akan menyentak kesadaran kita untuk

tidak mudah terpedaya dan terbius atas simbol-simbol Islam

yang digunakan justru untuk memuaskan ambisi pribadi dan kelompok, bukan menjadi rahmatal lil 'alamin yang menjadi

tujuan suci Islam.

Keempat, untuk mengenal siapa lawan siapa kawan.

Keberpihakan pada Ahlulbait Nabi bukan sesuatu yang bisa

ditawar, sebab telah menjadi perintah agama. Nabi

Muhammad saw berpesan untuk tidak meninggalkan

Ahlulbaitnya bukanlah pesan biasa yang lahir dari kecintaan

pada keluarga semata, melainkan lahir dari wahyu dan

perintah Allah swt. Karenanya sangat beralasan ketika Nabi

Muhammad saw bersabda kepada Imam Ali as, "Wahai Ali

siapapun yang mencintaimu, sama halnya telah mencintaiku,

dan barangsiapa yang memusuhimu, artinya telah menyulut

permusuhan denganku."

Sikap kepada Ahlulbait as adalah garis tegas, yang

memisahkan siapa kawan, siapa lawan. Siapapun mencintai

Ahlulbait dengan sebenar-benarnya kecintaan, maka harus

dijadikan kawan dan bergabung dalam barisannya, dan

siapapun yang menyatakan permusuhan pada Ahlulbait,

maka umat Islam harus menyatakan tabarri (berlepas diri)

dari mereka.

Kelima, untuk mendapatkan keteladanan. Apa yang

dipertontonkan Imam Husain as di padang Karbala, adalah keteladanan besar yang harus menjadi rujukan umat.

Kesetiaan pada kebenaran dan sikap tegas menolak tunduk

pada kekuasaan yang zalim adalah pelajaran besar dari

madrasah Karbala. Begitu juga keteladanan dari Syuhada

Karbala lainnya. Dari sahabat-sahabat Imam Husain as yang

tetap memberikan kesetiaan pada sang Imam sampai tetesan

darah mereka yang terakhir. Meski taruhannya nyawa,

mereka tetap berpihak pada kebenaran yang ada bersama

Ahlulbait.

Madrasah Karbala juga memberikan pelajaran akhlak yang

melimpah. Kesediaan memaafkan musuh sebagaimana yang

dicontohkan Imam Husain as ketika al-Hurr menyatakan

pertaubatan dan kesiapan untuk bergabung dengan pasukan

Imam Husain as. Al-Hurr salah seorang komandan pasukan

Yazid yang diperintahkan untuk mengarahkan Imam Husain

as ke lokasi pembantaian, tergugah hatinya ketika

mendengarkan orasi Imam Husain as yang mengajak kepada

musuh-musuhnya untuk hanya takut pada Allah swt. Ia berlari

ke arah Imam Husain as dan menyatakan pertaubatan.

Maafnya diterima dan ia tunjukkan kesungguhan taubatnya

dengan menghadapi anak buahnya sendiri, sampai akhirnya

gugur bersimbah darah sebagai ksatria. Serta banyak keteladanan lainnya yang bisa didapat dari Madrasah Karbala

yang diceritakan kembali dalam majelis-majelis yang

diadakan untuk memperingati tragedi Asyura, seperti

keimanan mutlak Imam Husein as kepada Allah swt.

Keimanan mutlak ini telah membentuk pribadi sang Imam

menjadi figur yang berani, pantang menyerah dan memiliki

izzah (kemuliaan) yang tidak bisa dibeli dengan duniawi.

Di era kekinian, dengan memetik pelajaran kemerdekaan dan

kebebasan dari gerakan Al-Husain kita memiliki cukup energi

guna melawan para penguasa yang zalim. Imam Husein as

mencita-citakan berdirinya pemerintahan yang adil dan

kebebasan bagi orang-orang yang tertindas.

Keenam, untuk menunjukkan kecintaan. Luapan cinta harus

diekspresikan, itu telah menjadi aksioma yang tidak perlu

dipertanyakan lagi. Cinta butuh simbol, sebagaimana

umumnya setangkai bunga yang diberikan laki-laki pada

perempuan yang dicintainya. Majelis-majelis Asyura yang

ramai diadakan di 10 hari pertama bulan Muharram adalah

ekspresi kecintaan. Sang pecinta akan betah mengulangulang dan menceritakan kembali peristiwa-peristiwa penting

yang pernah dijalani yang dicintainya, baik itu peristiwa

menyenangkan maupun tragedi yang memilukan.

Ingatan terus dirawat, untuk menjaga kedekatan emosional

dengan pihak yang dicintai. Sang pecinta akan turut bersuka

dihari-hari bahagia, dan turut berduka dihari-hari kesedihan.

Kecintaan kepada Imam Husain as bukan sekedar kecintaan

emosional, tapi kecintaan yang memiliki dasar jelas dalam

agama. Ketika Nabi Muhammad saw bersabda "Husain

dariku, dan aku dari Husain", menunjukkan mencintai Imam

Husain as adalah tanda kecintaan kepada Nabi, dan

mencintai Nabi adalah tanda keimanan kepada Allah swt.

Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai

kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami

musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya

dengan dingin dan tidak menangis?

Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim,

apapun mazhabnya. Ia gugur dalam keadaan kehausan dan

tidak cukup dibantai, tapi kepalanya dipisahkan dari tubuhnya

dan ditancapkan di atas tombak.

Tragedi Karbala adalah garis penegas. Siapapun ketika

mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu tidak

mengucurkan air mata, maka akan dingin terhadap trageditragedi kemanusiaan lainnya.

Karenanya wajar, jika ada yang biasa-biasa saja ketika

mendengar kejadian tukang servis ampli dibakar karena

dituduh mencuri, atau mayoritas kita kehilangan kepekaan

kemanusiaan dan empati sosial ketika menatap korbankorban di Jalur Gaza dan di Yaman yang berlumuran darah

dan debu bangunan ataupun ketika melihat muslim

Rohingnya terusir dari kampung halamannya dalam keadaan

menyedihkan.

Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan

kekalahan, namun bentuk protes keras atas segala bentuk

kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa. Orang-orang

mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika mengenang

terbunuhnya Imam Husain dan itulah yang membuat nyala

perjuangan sang Imam tetap membara dihati-hati pecintanya.

Kullu Yaumin Asyura, Kullu Ardin Karbala, semua hari adalah

Asyura, semua tempat adalah Karbala.

Jangan Sekali-kali Melupakan Keluarga Nabi!

Seharusnya bagi yang merenungkan kisah terbantainya

keluarga Nabi saw di Padang Karbala, tentu akan menjadi

tanda tanya besar. Segitu besarkah permusuhan dan

kebencian Bani Umayyah pada keluarga Nabi sampai Imam

Husain as harus diperlakukan sedemikian rupa, secara

terhina dan mengenaskan?

Mengapa Imam Husain as tidak cukup hanya dengan

dibunuh, mengapa jasadnya sampai harus diinjak kaki-kaki

kuda dan kepalanya harus dipisahkan dari tubuhnya?

Jawabannya: kebencian, dendam kesumat dan permusuhan.

Bukan hanya pada Bani Hasyim (Keluarga Nabi) namun juga

pada Islam. Ini nyata, fakta dan tidak bisa dibantah.

Pertanyaannya lagi : Apa target yang hendak dicapai Yazid

dan Bani Umayyah dengan dihabisinya keluarga Nabi pada

Tragedi Asyura? Bukan hanya kelanggengan kekuasaan,

namun juga musnahnya Islam Muhammadi digantikan

dengan Islami Umawi (Islam versi Bani Umayyah). Islam Muhammadi yang diajarkan Nabi Muhammad saw tentu tidak

pernah mengiyakan terjadinya kezaliman dan penindasan,

terlebih lagi jika itu terjadi pada keluarga Nabi.

Islam Muhammadi sangat jelas memesankan agar keluarga

Nabi dan Kitabullah tidak dipisahkan. Dalam salat pun ketika

membaca tahiyat akhir, para musalli harus turut mengirimkan

salawat buat keluarga Nabi Muhammad saw, yang jika

salawat tidak disertakan untuk keluarga Nabi, maka salat

menjadi bermasalah. Jadi dengan terjadinya tragedi Karbala,

yang menenggelamkan jasad-jasad keluarga Nabi, maka

jelas ada upaya tersistematis dan massif untuk juga

menenggelamkan ruh Islam yang sejati.

Lihat, bagaimana selanjutnya keluarga Nabi yang tersisa

yang semestinya menjadi figur-figur yang paling otoritatif

menjelaskan Alquran dan menjadi perawi dari hadis-hadis

Nabi, terpinggirkan perannya dan tidak tercatat namanya

dalam kitab-kitab hadis kecuali sedikit.

Lihat bagaimana kemudian yang menjadi Imam-Imam

Mazhab fikih bukan berasal dari keluarga Nabi, padahal

secara langsung maupun tidak keempat imam mazhab yang

dikenal sebagai imam-imam mazhab Ahlusunnah waljamaah berguru pada Imam Jakfar Shadiq as yang merupakan

generasi kelima keturunan Nabi Muhammad saw.

Mengapa Mazhab Jakfari kalah populer dan bahkan tidak

dikenal mayoritas umat Islam saat ini?

Idiom "Sejarah ditulis oleh penguasa" tentu juga berlaku pada

sejarah Islam. Sejarah Islam yang sampai pada kita beragam

versi seharusnya bisa memancing rasa penasaran kita,

manakah sejarah Islam yang sesungguhnya? Versi sejarah

yang kita yakini itulah yang akan menyampaikan kita pada

titik, inilah Islam yang kita yakini. "Jangan sekali-sekali

melupakan sejarah" atau Jasmerah, kata Bung Karno, tentu

sangat relevan untuk juga kita kaitkan dalam keberIslaman

kita hari ini. Pertanyakan Islammu kalau ternyata Islam yang

kau yakini membenarkan dirimu sujud berlama-lama diatas

permadani lembut sementara tetanggamu ada yang

menggelepar menahan lapar.

Pertanyakan Islammu kalau ternyata Islam yang kau

genggam membuatmu tenang menumpuk harta meski itu

dengan menindih hak-hak kaum lemah. Pertanyakan Islammu

kalau ternyata Islam yang kau banggakan berlomba-lomba

membangun masjid-masjid megah sementara anak-anak

yatim terhampar tanpa rumah. Pertanyakan Islammu kalau kau lebih tersinggung dengan daging babi yang dijual dan

dingin saja melihat fakta makin maraknya perdagangan

manusia. Dan pertanyakan Islammu ketika Islam yang kau

anut mengajarimu bersalawat untuk keluarga Nabi namun

kau abai pada kisah-kisah tragis yang menimpa mereka yang

terangkum sahih dalam kitab-kitab tarikh dan hadis.

Mengapa momentum Muharram penting untuk mengingat

kembali peristiwa tragis yang menimpa keluarga Nabi di

Padang Karbala?

Agar kita tahu, ada upaya keras dari musuh-musuh Islam

untuk menyimpangkan Islam yang sesungguhnya belum

seabad dari wafatnya Rasulullah saw, meskipun dari upaya

itu cucu Nabi harus menjadi tumbalnya. Agar kita waspada,

jangan sampai Islam yang kita anut dan jalankan hari ini

adalah Islam yang diwariskan Bani Umayyah, bukan Islam

yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw dan keluarganya.

Allahumma shalli 'ala Muhammad wa 'ala aalihi Muhammad

Semoga keselamatan dan kesejahteraan tercurah atas Nabi

Muhammad saw dan keluarganya.

Mari Berani Menguak Sejarah

“Sejarah tidak terlepas dari kekuasaan. Penguasa

memerlukan sejarah sebagai legitimasi. Untuk itu dilakukan

pembengkokan sejarah.”

(Asvi Warman Adam, kata pengantar dalam bukunya sendiri,

Membongkar Manipulasi Sejarah 2009)

Sejarah meski telah berlalu, namun perannya sangat penting

dalam menentukan langkah untuk perencanaan masa depan.

Alquran sendiri pun tidak menafikan pentingnya sejarah untuk

dipelajari, dibahas dan didiskusikan. Ada dimensi

pencerdasan pada sejarah. Alquran sarat dengan kisah umat

terdahulu lengkap dengan anjuran untuk umat sekarang

mengambil ibrah atas peristiwa-peristiwa masa lalu.

Ketika Alquran mengisahkan mengenai Firaun, Namrud,

Qarun, Bal’am sampai Abu Lahab, menunjukkan bahwa

Alquran ingin agar pelaku-pelaku antagonis itu tetap direkam

dan diingat oleh umat lintas generasi untuk tidak diikuti sepak

terjangnya, sebab telah menjadi sunnatullah pasti akan

berakhir tragis dengan azab yang pedih. Begitupun ketika

Alquran mengisahkan tokoh-tokoh teladan.

Dengan mengetahui krusialnya peran sejarah, maka tidak

heran, pihak-pihak yang berkepentingan akan berusaha

menulis dan mewariskan catatan sejarah yang menguntungkan pihaknya. Rezim tiran untuk mendapatkan

legitimasi dan melanggengkan kekuasaannya perlu menulis

sejarah yang berpihak padanya meski sampai harus

melakukan manipulasi untuk itu.

Contoh sederhananya pembengkokan sejarah yang dilakukan

Orde Baru. Melalui kurikulum pendidikan, buku-buku

pelajaran sejarah, museum, monumen, film-film dan berbagai

peringatan ditanamkan doktrin ke generasi muda betapa

berjasanya Soeharto terhadap negara. Ia digambarkan

sebagai sosok pahlawan yang telah berkali-kali memberikan

penyelamatan pada negara. Karenanya dengan manipulasi

sejarah tersebut, wajar jika Seoharto bisa berkuasa sampai

30 tahun lebih.

Peristiwa yang melatar belakangi lahirnya Hari Kesaktian

Pancasila dan Serangan Umum 1 Maret 1949 diantara

rekayasa sejarah oleh Orde Baru yang saat ini sedang

berupaya diluruskan. Dimasa Soeharto berkuasa, hanya

sejarah versi militerlah yang berhak hidup.

Citra seorang pahlawan selalu diidentikkan dari kalangan

tentara. Setelah kekuasaan Soeharto tumbang,

bermunculanlah beragam versi sejarah. Tokoh-tokoh yang

dulu dibungkam dengan penjara dan popor senjata berlombalomba mengungkapkan kesaksian. Dari para saksi hidup

itulah terpampang sejarah yang sesungguhnya Dengan lahirnya Reformasi, yang sedikit memberi ruang

gerak dan keleluasan untuk mempelajari, mengkaji,

mengkritisi dan mendiskusikan sejarah maka terungkaplah

banyak kisah yang selama ini ditutup-tutupi. Generasi jadi

lebih leluasa mengenal jasa Tan Malaka pada Republik, yang

oleh Orde Baru dicap komunis dan dicitrakan sebagai

pengkhianat. Kita jadi tahu, peralihan kekuasaan dari Orde

Lama ke Orde Baru betapa telah memakan banyak korban

dari anak bangsa.

Rakyat jadi tersentak kesadarannya dan akhirnya menolak

lupa atas terjadinya tragedi pembantaian massa muslim di

Tanjung Priok, Operasi Seroja di Timor Timur dan berbagai

kasus pelanggaran HAM oleh operasi militer di Aceh.

Hal serupa pun tentu saja berlaku dalam sejarah Islam.

Dinasti-dinasti yang pernah berkuasa pada periode

kekhalifahan tentu saja memproduksi narasi sejarah versi

mereka sendiri. Dengan runtuhnya kekhalifahan maka proyek

penulisan sejarah Islam bisa lebih obyektif dan terbuka.

Sama halnya pasca tumbangnya Orde Baru, maka runtuhnya

kekhalifahan terakhir di Turki memicu munculnya beragam

versi sejarah Islam yang lebih terbuka untuk didiskusikan,

bahkan tidak sedikit diantara versi tersebut ada yang saling

berbenturan. Begitupun dengan adanya kondisi yang lebih

leluasa mengkaji dan menelusuri sejarah, maka terkuaklah sejumlah narasi penting dalam sejarah Islam yang dulu

ditutup-tutupi atau melalui rekayasa politik dan sosial

berusaha untuk dihilangkan.

Sebutlah tragedi Asyura dan tragedi Al-Harrah diantaranya.

Dua tragedi kelam dalam sejarah Islam yang terjadi pada

masa rezim Yazid bin Muawiyah ini banyak tidak diketahui

umat Islam, baik karena sejarahnya hanya disampaikan

sekilas lalu atau memang sengaja tidak diperkenalkan sama

sekali.

Tragedi Asyura adalah tragedi pembantaian keluarga Nabi

Muhammad saw pada tahun 61 H di Padang Karbala oleh 4

ribu tentara Yazid bin Muawiyah yang dipimpin Umar bin

Sa’ad, diantara yang menjadi korban adalah Sayyidina

Husain, cucu Nabi Muhammad saw. Tahun 63 H masih saat

Yazid bin Muawiyah berkuasa, penduduk Madinah mencabut

baiatnya atas Yazid setelah mengetahui kedok Yazid yang

banyak menyimpangkan syariat termasuk telah

bertanggungjawab atas kematian Imam Husain as di Karbala.

Akibat dari pencabutan baiat tersebut, Yazid memerintahkan

Muslim bin Uqbah membawa 10 ribu pasukan tentara untuk

menyerang Madinah. Akibat serangan tersebut, kota Madinah

hancur, sejumlah sahabat Nabi dibunuh dan ribuan gadis

perawan Madinah dirusak kehormatannya oleh tentara Yazid.

Tragedi tersebut dikenal dengan nama Tragedi Al-Harrah.

Meski sampai saat ini masih ada pihak-pihak yang berusaha

menutupi sejarah kelam ini, dan berusaha membersihkan

nama Yazid dengan beragam dalih, namun mahkamah

sejarah akan tetap mengusut dan mengejar para pelaku

kejahatan kemanusiaan tersebut tanpa mengenal batas

wilayah dan waktu.

Upaya menghapus jejak-jejak berdarah tidak akan berhasil,

sebab sudah menjadi tanggungjawab intelektual seorang

muslim untuk mempersembahkan catatan sejarah yang benar

pada generasi berikutnya. Yang menghalang-halangi

penelusuran dan pelurusan sejarah adalah musuh-musuh

kebenaran. Alquran saja dalam sejumlah ayatnya mengkritisi

versi sejarah yang salah yang terlanjur dipercaya manusia

kebanyakan dimasanya.

Pilihlah Versi Sejarah yang Paling Mendekati Kebenaran

Kalau dulu, sejarah Islam ditulis untuk mempertahankan

status quo rezim yang berkuasa. Sekarang, sejarah Islam

ditulis untuk melegitimasi mazhab atau untuk menjatuhkan

mazhab tertentu yang menjadi rival. Karenanya tidak heran,

versi sejarah Islam satu sama lain bisa saja saling

bertubrukan. Lantas bagaimana kita mengetahui versi sejarah

yang benar, sebab tidak mungkin kesemua versi itu benar

semua?

Pertama, beranilah keluar dari zona nyaman. Beranilah untuk

menyelami kekedalaman lautan ilmu. Baca buku sebanyakbanyaknya. Jangan mencukupkan diri dengan versi sejarah

Islam yang selama ini kau dapatkan dan pelajari. Beranilah

untuk keluar dari pakem mayoritas, sebab kebenaran tidak

bertumpu pada yang banyak tapi pada rasionalitas dan

realitas.

Kedua, beranilah berpendapat dan beranilah berdebat.

Pelajari semua versi yang ada kemudian tabrakkan satu

sama lain. Pakailah prinsip, kebenaran tidak mungkin

terpental. Jika versi sejarah yang kau yakini bertabrakkan

dengan realitas dan fakta, maka itu versi sejarah yang layak

buat ditinggalkan. Hantamkanlah pandanganmu dengan

pandangan orang lain yang berbeda dengan sekeraskerasnya, dan lihat siapa yang terpental. Ingat, yang diadu

dan dihantam adalah pandangan, ide dan keyakinan, bukan

baku hantam fisik. Jika ada yang mengajak baku hantam fisik

ketika berdebat mengenai sejarah, itu karena versi sejarah

yang diyakininya lembek kayak krupuk.

Ketiga, pakai prinsip ini: Jika ada kelompok yang melaranglarang sejarah untuk dikaji, dikritisi dan didialogkan yakinlah

itu kelompok bayaran dari penguasa tiran yang terlambat

lahir. Mereka semestinya tidak lahir dan hidup di era

kebebasan dan terbuka seperti saat ini. Mereka harusnya

hidup di eranya Firaun dan Bani Umayyah. Betapa banyak kerugian intelektual yang harus kita alami gara-gara

kelompok ini. Disaat semua orang tengah berkecimpung

dalam pemikiran rasional mereka malah masih berkutat

dalam interpretasi literal secara tekstual, itupun dipahami

secara sempit dan fanatik. Dari orang-orang arogan inilah,

lahir ideologi kekerasan dan teror atas nama Islam.

Keempat, ikuti yang paling baik. Alquran mengingatkan,

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang

paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang

telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang

yang mempunyai akal.” (Qs. Az-Zumar: 18). Disini Allah swt

menyampaikan bahwa diantara ciri orang yang berakal

adalah mendengarkan semua perkataan, beragam

pandangan dan perbedaan pendapat lalu mengikuti yang

paling baik dari semuanya. Bukan dari tanda keislaman yang

baik jika seseorang ngeyel dengan pendapatnya sendiri yang

belum tentu benar hanya karena itu yang didapat dari

gurunya atau bahan bacaannya.

Saya sering mendapati orang yang ketika pendapatnya

dikritisi dan disodorkan realita lain, akan membantah dengan

berkata, “Pendapat apa itu? saya tidak pernah mendapatkan

sebelumnya, tidak ada di buku, dan tidak ada ulama yang

mengatakan itu.” Pertama, dia menjadikan pengetahuannya

yang sempit sebagai patokan kebenaran. Artinya, kalau tidak

dia ketahui berarti tidak ada dan salah. Kedua, dia menganggap buku yang dibacanya hanya itu buku yang ada

di dunia. Ketiga, dia mengira ulama hanyalah yang dia kenal

dan ketahui saja, selain itu tidak ada ulama.

Intinya, jangan phobia dengan adanya suguhan fakta sejarah

yang berbeda dari yang selama ini kita telah yakini

kebenarannya. Islam adalah proses pencarian kebenaran

yang tiada henti. Persiapkan alat-alat dan perangkat yang

dibutuhkan dalam penelurusan sejarah, jangan lupa pakai

sabuk pengaman. Mari berselancar.

Asyura Menyingkap Permusuhan pada Islam atas Nama Islam

Sejarah mencatat, hampir seluruh hidup Rasulullah saw di

Madinah dihabiskan dengan berperang. Baik ghazwah

(perang yang disertai Nabi) maupun sariyyah (perang yang

tidak disertai Nabi melainkan dengan mengirimkan ekspedisi

tempur yang dipimpin sahabat yang ia amanahkan).

Dalam kesemua rangkaian perang tersebut, tidak ada riwayat

yang kita temui, Nabi maupun sahabatnya yang dalam

membunuh musuh-musuhnya dilakukan dengan cara yang

keji dan biadab. Musuhnya adalah kaum kafir qurays, kabilahkabilah musyrikin, orang-orang yahudi yang berkhianat

dengan melanggar perjanjian serta bangsa Romawi, namun

tidak ada dari mereka yang dihabisi dengan cara yang diluar

nalar-nalar kemanusiaan.

Jangankan dalam membunuh musuh yang memerangi,

menyembelih hewan pun Nabi saw meminta untuk hewan

tersebut tidak dibiarkan tersakiti dan menderita. Diminta untuk

diberi minum terlebih dulu, pisau yang digunakan harus benar-benar tajam dan seterusnya. Apalagi jika yang dibunuh

itu sesama manusia. Meski musuh sekalipun, Rasulullah

tetap mendahulukan akhlak.

Dalam perang Khandaq, ketika Imam Ali as berduel dengan

Amru bin Abdiwadd, petarung kelas wahid dari kafir Quraysh,

yang Rasulullah menggambarkan Imam Ali sebagai misdaq

dari totalitas keimanan, sementara Amru sebagai perwujudan

dari totalitas kekufuran, namun tidak dicatat bahwa Imam Ali

ketika menghabisi nyawa Amru dilakukan dengan cara-cara

yang keji. Setelah dibunuh, dengan tebasan pedang, selesai.

Kepalanya tidak sampai dipenggal. Jantungnya tidak sampai

sengaja dikeluarkan untuk kemudian dikunyah-kunyah. Dan

seterusnya.

Tapi, dalam kisah tragedi Karbala. Dalam kitab-kitab

muktabar baik Syiah maupun Ahlusunnah. Ditulis, bahwa

Imam Husain as dibunuh dengan cara yang keji oleh tentaratentara Ibnu Ziyad. Imam Husain as tidak sekedar dibunuh,

dalam keadaan sudah tidak berdaya, kepalanya dipenggal.

Dalam keadaan sudah tidak bernyawa, tubuhnya diinjak-injak

dengan kaki kuda. Jarinya dipotong untuk dicuri cincinnya.

Pakaian perangnya dilucuti. Tubuhnya dicincang-cincang

sekedar untuk meyakinkan ia benar-benar sudah tidak bernyawa. Tidak sampai disitu kepalanya ditusukkan ke

tombak dan dipertontonkan dihadapan keluarga dan anakanaknya.

Pertanyaannya, siapakah mereka yang membunuh Imam

Husain dengan cara yang teramat keji tersebut?

Kalau mereka mengaku muslim, mereka dapat contoh dari

mana? siapa yang mereka teladani? Terbantainya Imam

Husain di Karbala hanya berselang sekitar 50 tahun dari

wafatnya Nabi. Sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang

hidup. Darimana mereka mengambil contoh, memperlakukan

musuh dan lawan dengan cara yang biadab?

Dengan tindakan memperlakukan lawan dengan cara yang

sedemikian keji, setidaknya ada tiga kemungkinannya. Jika

mereka muslim, maka dalam keyakinan mereka, Imam

Husain itu lebih buruk dari orang-orang kafir quraysh, lebih

buruk dari orang-orang yang dulu diperangi Nabi sehingga

mereka merasa layak menghinakan jenazah Imam Husain

dan mempermainkan kepalanya.

Dan kemungkinan ini tertolak. Sebab dengan merujuk pada

hadis Nabi saw, bahwa Imam Husain adalah penghulu

pemuda syuhada di surga. Imam Husain digelari oleh Nabi

Sayyidussyuhada Dalam riwayat Nabi Muhammad saw bersabda.

“Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian

darinya, Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai

Husain.”

Ini diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah maupun Sunni. Di

literatur sunni setidaknya terdapat dalam Sunan Tirmidzi dan

Sunan Ibnu Majah.

Jadi dengan adanya hadis nabi tersebut, jelas, kemungkinan

pertama bahwa wajar Imam Husain diperlakukan demikian

karena lebih buruk dari orang kafir dan musuh-musuh Allah

SWT, meskipun tetap tidak ada contoh dari Nabi untuk

membunuh dengan cara yang keji seperti itu hatta pada

mereka yang lebih buruk dari orang-orang kafir yang

memusuhi Islam, adalah kemungkinan yang tertolak.

Kemungkinan kedua, mereka yang membunuh Imam Husain,

memang bukan orang-orang muslim. Mereka berjubah Islam

tapi hakekatnya mereka musuh-musuh Allah. Mereka

menggunakan agama, berkedok membela Islam demi

syahwat kekuasaan dan kenikmatan dunia. Dan kemungkinan

ini logis buat diterima.

Kemungkinan ketiga, mereka adalah orang-orang muslim

yang tertipu. Mereka tertipu dan terperdaya dengan hasutan

dan hoax yang disebar secara massif oleh penguasa.

Termasuk dalam kelompok ini, orang-orang yang ikut dalam

barisan yang memerangi Imam Husain as karena tidak

memiliki kekuatan menolak. Leher-leher mereka berada

dibawah ancaman pedang, sehingga mereka bergerak dalam

keadaan terpaksa. Mudahnya mereka tertipu, karena tidak

mematuhi perintah Allah SWT untuk melakukan tabayyun dan

klarifikasi terlebih dahulu.

Oleh sebagian orang menebar fitnah dengan menyebut,

pembunuh imam Husain adalah Syiah. Ini fitnah yang keji,

dusta yang nyata. Ditolak oleh semua defenisi, baik secara

etimologi maupun terminologi, bahkan oleh akal. Kecuali

mereka tambahkan, pembunuhnya adalah Syiah Yazid, atau

Syiah Ibnu Ziyad. Iya itu benar. Tapi jika yang mereka

maksud adalah Syiah yang menjadikan orang-orang terpilih

dari Ahlulbait sebagai imam-imam pengganti Rasulullah,

maka itu jelas fitnah.

Sebab dari defenisinya saja, syiah itu berarti pengikut, pecinta

dan pembela. Mana mungkin ada Syiah yang meyakini Imam

Husain adalah imam, tapi bukannya membantu dan membela imamnya malah membunuhnya? Kalau pembunuhnya

mengaku syiah, itu hanya klaim dan yang karena tidak bisa

dibuktikan maka pengakuan itu tertolak dengan sendirinya,

dan tidak boleh ada yang berhak dengan berdasarkan pada

pengklaiman dusta tersebut lantas menyebut, pembunuh

Imam Husain adalah syiah.

Kita kembali, inti dari yang ingin saya sampaikan. Hanya

berselang sekitar 50 tahun dari wafatnya Rasulullah, sudah

ada sekelompok orang yang bahkan dalam jumlah yang

sedemikian besar, menggunakan kedok Islam untuk

memenuhi hasrat dan ambisi kekuasaannya. Yang meskipun

dengan untuk mendapat kekuasaan itu mereka harus

memusuhi, memerangi, membunuh dan membantai keluarga

Nabi. Jadi jangan heran, leher Imam Husain yang cucu Nabi

saja mereka tega untuk menyembelihnya apalagi leher orangorang awam.

Demi ambisi kekuasaan, kelompok ISIS sampai membunuhi

warga sipil Suriah dan Irak yang menolak bergabung dengan

mereka dengan cara-cara yang diluar nalar kemanusiaan.

Mereka membunuh bukan hanya dengan cara memenggal

kepala kemudian kepala itu dipermainkan, tapi juga dengan cara membakar, membom, menenggelamkan dan dengan

cara-cara keji lainnya.

Demi untuk mengubah sistem di sebuah negeri yang katanya

sistem kufur yang akan diganti menjadi sistem Islami,

sekelompok orang sampai tega melakukan aksi bom bunuh

diri untuk menciptakan teror yang mengorbankan jiwa-jiwa

sipil yang tidak bersalah. Bahkan dalam aksi tersebut,

melibatkan anak-anak yang tidak tahu apa-apa.

Jangan heran dengan semua itu, sampai harus bilang, masak

sih ada orang Islam yang tega membunuh secara keji kepada

sesama muslim? itu semua pasti konspirasi, itu pasti

pengalihan isu. Baru berselang 50 tahun wafatnya Nabi, telah

bermunculan dengan jumlah yang sangat besar orang-orang

yang mengatasnamakan Islam untuk membangun kekuasaan

yang justru bertentangan dengan semangat Islam. Dan jika

hari ini ada orang-orang yang sama dengan mereka, maka itu

bukan sesuatu yang mengherankan.

Tragedi Karbala adalah sejarah kelam Islam dan ini tercatat

secara sahih dalam kitab-kitab muktabar Islam sehingga tidak

bisa ditolak dan dikatakan hanya karangan dan dongeng

belaka. Dengan terjadinya peristiwa Asyura atau tragedi

Karbala menunjukkan, musuh-musuh Allah, musuh-musuh Islam, musuh-musuh kemanusiaan, bisa dengan fasih

menggunakan ayat-ayat Alquran, dengan mengenakan jubah

kebesaran Islam, dengan mengibarkan panji dan bendera

bertuliskan kalimat tauhid dan dua kalimat syahadat, untuk

memenuhi ambisi mereka berkuasa atas manusia tapi justru

untuk menguburkan dan menenggelamkan kemanusiaan

bahkan untuk memadamkan cahaya Allah atas nama Allah.

Mengenang Asyura selain mengabadikan kepahlawanan dan

semangat altruisme Imam Husain as, juga untuk membuat

ummat ini tetap waspada, bahwa pengkhianatan dan upaya

menutupi ajaran hakiki Islam telah terjadi justru hanya

berselang 50 tahun dari wafatnya Nabi saw.

Wallahu ‘alam Bishshawwab

Daftar Isi:

Majelis Duka Asyura 1

Oleh 1

Ismail Amin Pasannai 1

KATA PENGANTAR PENULIS 2

Islam Muhammadi vs Islam Umawi 6

Mengapa Perlu Menghidupkan 13

Majelis Asyura? 13

Manfaat Hadir di Majelis-Majelis Duka Asyura 19

Jangan Sekali-kali Melupakan Keluarga Nabi! 27

Mari Berani Menguak Sejarah 32

Asyura Menyingkap Permusuhan pada Islam atas Nama Islam 42