• Mulai
  • Sebelumnya
  • 15 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 5387 / Download: 1777
Ukuran Ukuran Ukuran
Majelis Duka Asyura 2

Majelis Duka Asyura 2

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Majelis Duka Asyura

Oleh

Ismail Amin Pasannai

KATA PENGANTAR PENULIS

Syahid Murtadha Muthahari, pemikir Islam dari Iran pernah

mengatakan dalam ceramahnya (kumpulan ceramahnya

dihimpun dalam buku "Hamaseh Husaini" (Kebangkitan

Husaini)) bahwa ada tiga kelompok yang membunuh Imam

Husain as.

Pertama, mereka yang membunuh jasad Imam Husain as di

Padang Karbala, yaitu mereka yang tergabung dalam

pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad, yang melakukan pembantaian

sadis secara fisik atas Imam Husain as.

Kedua, mereka yang membunuh kehormatan dan nama baik

Imam Husain as, yaitu kelompok yang menganggap kematian

Imam Husain as adalah kematian biasa, sebagaimana

umumnya kematian yang harus diterima para pemberontak

dihadapan penguasa. Termasuk dalam kelompok ini, mereka

yang meyakini Imam Husain as berada pada pihak yang

benar dan gugur sebagai syuhada, namun tetap memberi

pembelaan kepada para pembunuhnya dan menekankan

kepada ummat untuk melupakan saja peristiwa itu. Lebih jauh

lagi, memusuhi dan menghalangi mereka yang mengadakan

atau ingin mengadakan majelis-majelis duka mengenang

tragedi sejarah 10 Muharam 61 H tersebut.

Ketiga, mereka yang membunuh spirit dan cita-cita Imam

Husain as, yaitu mereka yang mengaku sangat mencintai

Imam Husain as, mengadakan majelis duka untuk beliau,

namun sikap dan perilaku sehari-harinya justru bertentangan

dengan nilai-nilai yang dibawa dan diperjuangkan oleh Imam

Husain as. di Karbala.

Dengan dasar, mengajak untuk kita tidak tergabung dalam

dua kelompok terakhir pembunuh Imam Husain as, buku kecil

dan sederhana ini disusun dan dihadirkan kehadapan

pembaca. Karena itu, alasan dan falsafah memperingati

tragedi Asyura perlu kami sampaikan. Buku ini tidak

dimaksudkan untuk memperkenalkan mazhab atau ideologi

tertentu, Imam Husain as adalah milik semua umat Islam

apapun mazhabnya, bahkan lebih dari itu, ia adalah milik

semua umat manusia yang mencintai kemerdekaan dan

tegaknya nilai-nilai kemanusian.

Mencintai Imam Husian as bukan hanya panggilan

kemanusiaan tapi juga sudah menjadi kewajiban agama,

sebagaimana ditegaskan dalam teks-teks agama, baik dalam

ayat Alquran maupun hadis Rasulullah saw. Karena itu,

mengetahui alasan dibalik kebangkitannya, yang itu dapat

menumbuhkan kecintaan kepada al-Husain, turut menjadi kewajiban pula. Sebagaimana kaidah fikih, maa laa yatimmul

wajiba illa bihi, fahuwa wajib, suatu kewajiban yang tidak bisa

dilakukan kecuali dengan pelaksanaan sesuatu, maka

sesuatu itu hukumnya wajib.

Bagaimana kita bisa mencintai Imam Husain as, jika

pengenalan kita terhadapnya hanya secuil? Sekedar

mengetahui bahwa ia cucu Nabi saw, tidak akan membuat

seorang muslim mencapai derajat kecintaan semestinya

padanya. Sebab, ia diminta untuk dicintai dan diteladani,

bukan semata karena ia keturunan biologis Nabi, tapi apa

yang telah ia persembahkan dan korbankan demi menjaga

nyala Islam sehingga sampai pada generasi kita.

Apa yang terdapat dalam buku elektronik ini, adalah

kumpulan tulisan yang sebelumnya telah disebar melalui

akun pribadi saya di Facebook. Dihimpun dan dikumpulkan

oleh sahabat saya, Abu Mukhtar dan istri beliau Indah

Hauzah, untuk dapat memberi lebih banyak manfaat. Karena

itu, saya mengucapkan terimakasih kepada keduanya,

semoga menjadi amal jariah.

Buku ini, bukan buku daras, tapi hanya sekedar buku yang

berisi ajakan, untuk kita tidak melupakan apa yang telah

terjadi pada 1382 tahun lalu. Ajakan untuk kita merenungi dan mengambil hikmah dan pelajaran besar dari madrasah

Karbala.

Sekali lagi, semoga risalah kecil ini memberi manfaat dan

bisa menjadi bukti kelak di mahkamah Ilahi, bahwa saya

pribadi tidak mengabaikan dan menganggap kecil peristiwa

tragedi Karbala. Mohon maaf jika dalam buku ini

mengandung kesalahan.

Mohon doanya selalu.

Qom, 12 Muharram 1443 H

Ismail Amin Pasannai

Menjawab Kelompok Anti Peringatan Asyura

Setiap memasuki bulan Muharram, segelintir manusia

Indonesia mulai was-was. Muballigh-muballigh anti Syiah

memenuhi mimbar-mimbar masjid dengan secara provokatif

menyatakan permusuhan dan kebencian pada peringatan

Asyura yang disebutnya ala Syiah. Mereka juga menyebar

secara massif tulisan-tulisan baik secara online ataupun

berupa jurnal dan selebaran untuk dibaca umat agar

menjauhi dan mewaspadai Syiah dan peringatan Asyura.

Berikut diantara alasan-alasan yang kerap kali mereka

sampaikan, yang hampir semuanya hoax dan tidak sesuai

fakta.

Pertama, peringatan Asyura, ajang Syiah mempromosikan

ajarannya. Perlu saya tekankan, peringatan Asyura bukan

hanya milik Syiah, namun juga milik umat Islam keseluruhan,

bahkan milik seluruh umat manusia yang masih memiliki

naluri kemanusiaan.

Asyura diperingati untuk mengenang peristiwa tragis yang

merenggut nyawa Imam Husain as cucu Nabi Muhammad

saw di Padang Karbala. Pada 10 Muharram 61 H, Imam

Husain as beserta keluarga dan para pembelanya dibantai

oleh ribuan pasukan atas perintah Yazid bin Muawiyah.

Dengan terjadinya peristiwa yang mencoreng sejarah Islam

ini, apa salahnya untuk kemudian diperingati? Apa

memperingati peristiwa penting masa lalu secara mutlak

dilarang dalam Islam? Bukankah Alquran sendiri sarat

dengan kisah-kisah masa lalu yang itu tujuannya agar diingat

dan diambil darinya ibrah dan pelajaran?

Banyak kisah yang dipaparkan dalam Alquran dengan tujuan

untuk mendidik. Yang dari kisah-kisah tersebut, kita jadi tahu

mana kelompok yang diridhai Allah swt dan mana kelompok

yang dimurkai-Nya.

Dan tentu saja kisah-kisah umat terdahulu yang bisa diambil

ibrahnnya bukan hanya yang terdapat dalam Alqurah saja,

namun juga kisah-kisah umat terdahulu secara keseluruhan

termasuk pasca turunnya Alquran.

Kalau pesantren-pesantren meminta santri-santrinya

mengadakan haul setiap tahunnya untuk memperingati

wafatnya sang kyai pendiri pesantren, kalangan Habaib pun bukan menjadi persoalan dan tidak perlu dikhawatirkan ketika

memperingati haul habib-habib yang dianggap punya

pengaruh besar, setiap keluarga juga sah-sah saja

memperingati setiap tahun kematian anggota keluarga yang

penting dan negara boleh-boleh saja memperingati hari

Pahlawan untuk mengenang gugurnya ribuan pejuang yang

gugur dalam mempertahankan kemerdekaan, termasuk

memperingati Hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang

gugurnya pahlawan revolusi, lantas mengapa memperingati

haul dan hari kesyahidan cucu Nabi mejadi terlarang?

Tidak ada satupun kelompok Islam yang memungkiri

terjadinya tragedi Asyura. Tidak ada sejarawan Islam yang

menolak memberi pengakuan, bahwa memang kepala Imam

Husain as dipenggal, dipisahkan dari tubuhnya, diarak dan

dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah.

Dengan kematian yang sedemikian tragis, salahkah jika

peristiwa tersebut diperingati untuk disampaikan kepada

setiap generasi muslim, bahwa sejarah Islam pernah ternoda

dengan terjadinya peristiwa tersebut?

Tujuannya diperingati, ya agar umat Islam tidak lagi

mengalami kejadian serupa. Sedang diperingati saja, masih

tetap terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah antar sesama muslim, apalagi jika memang sengaja kisah Asyura

tersebut ditutup-tutupi.

Sekali lagi, peringatan Asyura bukan hanya milik muslim

Syiah, tapi juga milik umat Islam secara keseluruhan. Ada

beban sejarah yang harus dipikul umat Islam untuk

menceritakan peristiwa tragis ini kepada umat disetiap

generasi, agar umat Islam tidak menjadi umat yang

kehilangan sejarahnya. Karena itu tidak harus menjadi Syiah

untuk memperingati Asyura.

"Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran

bagi orang yang mempunyai akal." (QS. Yusuf: 111).

Kedua, mengadakan peringatan Asyura tidak ada contohnya

sehingga terhukumi bid'ah dhalalah, bid'ah yang sesat. Dalil

penolakannya secara umum sama dengan dalil penolakan

terhadap peringatan Maulid Nabi dan peringatan hari-hari

besar Islam lainnya.

Karena itu, menjawab poin kedua ini sama jawabannya ketika

memberikan argumen akan kebolehan mengadakan Maulid

Nabi. Peringatan Asyura tidak ada contohnya, tapi ada

anjurannya. Hari Asyura adalah diantara hari-hari Allah.

"Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang

benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah."

(QS. Ibrahim: 5)

Para mufassir sepakat menafsirkan hari-hari Allah adalah

hari-hari agung dengan segala rangkaian peristiwa dan

kejadian yang diciptakan Allah sejak penciptaan bumi dan

langit hingga hari kiamat.

Terdapat banyak kesamaan dari peristiwa Karbala dengan

yang dialami umat-umat terdahulu yang diceritakan dalam

Alquran.

Pada peristiwa Karbala juga terdapat kelompok yang setia

mengikuti kebenaran, kelompok yang mendengarkan dan

mengikuti ajakan dan seruan Imam Husain as meski jumlah

mereka hanya segelintir dan juga terdapat kelompok orangorang yang durhaka, pembangkang dan secara terangterangan menentang dakwah Ilahi yang diserukan wali Allah,

yang meski awalnya secara lahiriah kelompok orang-orang

durhaka dan zalim tersebut mampu menaklukkan pasukan

pembela kebenaran, namun di penghujungnya kelompok

pendurhaka tersebut berakhir dengan mendapat azab yang

pedih.

Pelajaran moralnya persis dengan kisah umat-umat terdahulu

yang diabadikan Alquran.

Dengan tidak ada pemungkiran bahwa hari Asyura adalah

termasuk diantara hari-hari Allah, yang dari Alquran

ditegaskan untuk mengingatkan umat kepada hari-hari Allah,

maka memperigati hari Asyura menjadi sebuah keniscayaan.

Karenanya sangat mengherankan jika ada kelompok Islam

yang melarang-larang bahkan phobia terhadap peringatan

Asyura. Bisa tidak sepakat terhadap diadakannya peringatan

Asyura, tapi jangan sampai pada tingkat melarang apalagi

mempersekusi dan membubarkan peringatan Asyura yang

diadakan.

Pengadaan majelis peringatan Asyura hanyalah metode

untuk mengingatkan umat akan hari-hari Allah. Peringatan

Asyura adalah pengejewantahan perintah Ilahi kepada umat

agar tidak mengabaikan dan melupakan peristiwa masa silam

yang mengandung banyak pelajaran dan pesan-pesan moral.

Silakan tidak sepakat dengan cara Syiah memperingati

Asyura, tapi jangan memprovokasi umat Islam di atas

mimbar, untuk jangan mengingat peristiwa tragis yang terjadi

di Karbala, apalagi sampai mengidentikkan bahwa yang

memperingati Asyura sudah pasti Syiah.

Silakan tidak sepakat dengan cara Syiah memperingati

Asyura, tapi jangan mengatakan bahwa peringatan Asyura

adalah kesia-siaan, tidak ada gunanya dan haram. Apalagi

sampai membuat puisi segala, bahwa hari Asyura adalah hari

kebahagiaan.

Ketiga, mengapa yang diperingati hanya syahidnya Imam

Husain? padahal ayahnya dan Imam Hasan saudaranya juga

syahid dan lebih layak diperingati, mengapa tidak diperingati?

Saya jawab: Di Iran tempat saya menetap sementara saat ini,

hari-hari wiladah 14 maksum (Nabi Muhammad saw, Sayidah

Fatimah sa dan 12 imam) serta hari syahadah mereka yang

telah tutup usia diperingati secara nasional bahkan dikedua

hari tersebut (wiladah dan syahadah) pemerintah

menetapkannya secara nasional sebagai hari libur.

Begitu juga komunitas Syiah di negara lainnya, meski tidak

diperingati secara nasional sebagaimana di Iran. Jadi

anggapan bahwa Syiah hanya memperingati syahidnya Imam

Husain as tidak benar.

Memang peringatan syahadah lainnya tidak sesemarak

peringatan Asyura sebab peristiwa syahidnya Imam Husain

as memberi pelajaran pada semua dimensi.

Madrasah Karbala mengajarkan bagaimana sikap muslim

bersikap ketika diperhadapkan dengan penguasa yang zalim,

bagaimana untuk bisa tetap konsisten dan komitmen pada

ajaran Islam ketika terjadi banyak penyelewengan oleh

penguasa, dan bagaimana untuk tetap setia pada pemimpin

meski dalam kondisi kritis dan berada di ambang maut.

Berbeda dengan syahadah 10 imam lainnya, syahadah Imam

Husain as disertai 72 orang pembelanya yang turut mereguk

cawan syahadah bersama imamnya.

Dengan spektrum yang lebih luas, wajar jika peringatan

Asyura yang diadakan umat Islam Syiah jauh lebih ramai

dibanding hari syahadah Nabi dan imam lainnya.

Intinya, pertanyaan, mengapa hanya syahidnya Imam Husain

as yang diperingati, hanya akan diajukan oleh orang-orang

yang pengetahuannya sebatas dengan apa yang dilihat dan

didengarnya saja.Tidak disiarkan di TV dan tidak ramai

dibahas media-media Barat, bukan berarti tidak ada.

Justru, kita malah jadi penasaran, untuk hanya memperingati

haulnya Imam Husain as saja sudah tidak sedikit yang panas

dingin dan menyebut peringatan Asyura sebagai ajang

promosi ajaran Syiah yang karena itu kelabakan sampai

harus main larang-larang, bagaimana kalau komunitas muslim Syiah di Indonesia juga memperingati haul Nabi

Muhammad saw, haul Sayidah Fatimah sa dan haul 10 imam

Syiah lainnya sebagaimana di Iran dan sebagaimana

tuntutan mereka untuk tidak hanya haulnya Imam Husain

saja? Bisa sibuk luar biasa ANNAS itu.

Kenalkah Kau dengan al Husain, Cucu Kesayangan Nabi?

Al Husain tidak lama bersama Nabi. Diusianya baru

menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa

sedihnya al Husain kecil. Terus terbayang masa kecil yang

indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya

ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek

sudah sedemikian risaunya.

Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya, al Hasan.

Sebagaimana abangnya, namanya juga adalah pemberian

Allah Swt melalui malaikat Jibril As yang meminta Nabi Saw

menyebutnya al Husain, yaitu Hasan kecil. Dihari ketujuh

kelahirannya, sebagaimana juga abangnya, dia diaqiqah

dengan sembelihan satu ekor kambing.

Para sahabat sang Kakek juga turut merasakan kebahagiaan

akan kelahirannya. Dalam mazhab Syiah dan juga Maliki,

aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan tidak ada

bedanya, masing-masing dengan sembelihan satu ekor

kambing. Islam yang datang dengan doktrin laki-laki dan perempuan sama derajatnya, mustahil membeda-bedakan

laki-laki dan perempuan justru dihari-hari awal kelahirannya.

Suka cita dalam penyambutan kelahiran anak, sama, anak

laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Islam datang

justru hendak merombak tradisi yang membeda-bedakan

anak laki-laki dengan perempuan.

Masa kecil al-Husain diliputi kebahagiaan dan keceriaan

masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan

kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi Saw ketika menceritakan

tentang al Husain, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat

al Husain itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi

Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih,

saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husain.

“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak

seorangpun dari mereka yang pernah kucium.”

“Kenapa?”

“Kami tidak mencium anak laki-laki.”

“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut

rasa sayang dari hatimu.”

Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama al

Husain. Bahkan diwaktu sedang memimpin jamaah shalat

sekalipun. Al Husain dan abangnya berkejaran diantara

kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud,

keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya,

Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat

bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud

Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini

menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya

menyelesaikan keinginannya.”

Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik

bermain dengan kedua cucunya. Al Husain dan al Hasan naik

dipunggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum

melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung

kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi

berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”

Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau

melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena

baju yang dipakai al Husain kepanjangan, ia menginjaknya

sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan

menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan

khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin al Husain terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati

cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang

disampaikannya.

Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat,

begitu besar kecintaanmu pada al Husain.” “Iya, al Husain

dari aku, dan aku dari al Husain. Mencintai aku siapa yang

mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.”

Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabipun berlombalomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada al

Husain.

Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat

kepada sahabat-sahabatnya, al Husain dan al Hasan segera

berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat

untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada

ibunya, Fatimah az Zahra. Begitu Imam Ali datang dan

hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah

disampaikan Nabi tadi, Sayyidah Fatimah segera memotong,

“Sudah saya tahu.”

Imam Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”. Sang

Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya

yang cekikan senang.

Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun

caranya salah. Al Husain dan al Hasan melihat kejadian itu.

Al Husain segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita

bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”

Al Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang

menjadi jurinya?” Al Husain pun meminta kepada kakek yang

hadir disitu. “Kek, siap jadi juri ya..”

Sang kakek mengiyakan.

Keduanyapun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan

begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling

benar. Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar.

Saya yang salah.”

Al Husain sukses memberitahu cara wudhu yang benar

kepada si kakek, tanpa merasa digurui.

Al Husain tidak lama bersama Nabi. Diusianya baru

menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa

sedihnya al Husain kecil. Terus terbayang masa kecil yang

indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya

ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek

sudah sedemikian risaunya.

Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi

Nabi itu? Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari

penunggang Nabi itu?

Tahukah kau apa yang terjadi dengan

leher dan bibir al Husain yang sering dikecup oleh Nabi itu?

Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya

ditusuk-tusuk pedang.

Ketika kepala al Husain yang telah terpisah dari tubuhnya

dibawa kehadapan Yazid. Yazid memukul-mukul batok

kepala itu dengan tongkat, dan mempermain-mainkan bibir di

kepala itu.

Sahabat-sahabat Nabi yang telah tua renta histeris melihat

kejadian itu.

“Hentikan wahai Yazid, aku melihat dengan mata kepala

sendiri, bibir itu sering diciumi oleh Nabi.”

Kau mungkin tidak tahu banyak mengenai itu, sebab cerita

yang kau dapati tentang al Husain, dia yang sedang tertawa

senang sedang menunggangi Nabi, kakeknya.

Hanya itu… seolah-olah al Husain, hanyalah cucu Nabi, yang

sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam

kegembiraan masa kanak-kanak.

Mana masa muda al Husain, yang diminta ayahnya untuk

melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa

muda al Husain yang ikut membela ayahnya dalam perangperang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir

al Husain, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang

disiarkan kakeknya?

Nabi bersabda tentangnya, “Al Husain adalah pemimpin

pemuda di surga…”

Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu

dikubur?

Secuil itukah yang kau tentangnya?

Di Muharram ini, berusahalah tahu banyak tentangnya, kau

akan mengenal agama ini lebih dekat...

Cucu Kesayangan Nabi yang Diabaikan Umat

Disetiap bersama Al-Husain, Nabi saw bersabda

mengingatkan para sahabatnya, "Husain dariku dan aku dari

Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Al-Husain, dan

Allah memusuhi siapa yang memusuhi Al-Husain."

Tidak ada yang memungkiri besarnya kecintaan dan kasih

sayang Nabi Muhammad saw kepada cucunya Al-Husain.

Lembar-lembar kitab sejarah dan hadis mengabadikan

kedekatan dan luapan ekspresi kecintaan Nabi kepada AlHusain, sampai pada tingkat Nabiullah Muhammad saw

bersabda, "Husain dariku dan aku dari Husain".

Hanya Husainlah yang membuat Nabi saw pernah

menghentikan khutbahnya dan memperlama sujudnya saat

mengimami salat berjamaah.

Diriwayatkan, disaat Nabi Muhammad saw berkhutbah,

Husain kecil sedang bermain kejar-kejaran bersama

kakaknya Al-Hasan. Tidak lama, karena mengenakan pakaian yang panjang, Al-Husain terjatuh menginjak

pakaiannya sendiri dan akhirnya menangis kesakitan.

Sang kakek dengan sigap segera turun dari mimbar,

mengambil Al-Husain dan kembali melanjutkan khutbahnya

dengan Al-Husain digendongannya. Nabi menghentikan

khutbahnya untuk menghentikan tangis Al-Husain.

Diriwayatkan pula, Nabi saw pernah mengimami salat, dan itu

menjadi salat jamaah terlama, karena Nabi Muhammad sujud

sedemikian lama. Sampai-sampai para sahabat mengira,

wahyu sedang turun ketika Nabi sedang dalam keadaan

sujud. Seusai salat, para sahabat bertanya, "Ada apa

gerangan ya Rasulullah, mengapa sujud kali ini sedemikian

lama?" Nabi menjawab singkat, "Tadi Al-Husain sedang

bermain di punggungku Kubiarkan ia tetap di punggungku,

karena aku tidak ingin ia terjatuh."

Simak, sedemikian besarnya cinta dan kasih sayang Nabi

saw pada cucunya tersebut. Nabi jadi gusar hatinya ketika

melihat Al-Husain menangis. Nabi lebih memilih memperlama

sujudnya, hanya agar Al-Husain tidak terusik kesenangannya

bermain. Rumah Fatimah sa, putri Nabi tidak jauh dari

kediaman Nabi saw, dan setiap Al-Husain kecil menangis dan

terdengar oleh Nabi, Nabi Muhammad saw akan bergegas mengunjungi putrinya dan berkata, "Duhai Fatimah, bukankah

engkau tahu bahwa aku terganggu dan sedih apabila aku

mendengar Al-Husain menangis?".

Berkali-kali Nabi Muhammad saw memperlihatkan

kecintaannya pada kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain

dihadapan sahabat-sahabatnya.

Ia ekspresikan tidak hanya dengan ucapan tapi juga dengan

tindakan, merangkul, mengecup, memangku dan tidak segansegan menjadikan dirinya kuda tunggangan oleh kedua

cucunya, sampai sahabat berkata, "Betapa beruntung

keduanya, menunggangi kuda tunggangan terbaik di dunia

dan akhirat."

Disetiap bersama Al-Husain, Nabi saw bersabda

mengingatkan para sahabatnya, "Husain dariku dan aku dari

Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Al-Husain, dan

Allah memusuhi siapa yang memusuhi Al-Husain."

Mengapa Nabi saw sedemikian ekspresif terkait dengan Al-Husain? Nabi saw secara demonstratif menunjukkan kasih

sayang dan kecintaannya kepada Al-Husain, untuk

dijadikannya hujjah kelak di Mahkamah Ilahi, dan mengukur

keorisinalan cinta umat padanya dengan melihat bagaimana

umat Islam sepeninggalnya mencintai dan bersikap pada Al-Husain. Benarkah umat Islam tulus kecintaannya kepada

Nabi saw disaat yang sama abai terhadap apa-apa yang

cintai Nabi saw? Bukankah termasuk abai, ketika sejarah

terbantainya Al-Husain di Karbala sengaja ditutup-tutupi dan

seolah-olah tidak pernah terjadi bahkan menghalang-halangi

peringatannya?

Apakah bisa disebut kecintaan pada Nabi saw namun sama

sekali tidak pernah mencari tahu penyebab sampai cucu

kesayangan Nabi saw tersebut harus disembelih dan

kepalanya dipermainkan oleh juga yang mengaku sebagai

umat Muhammad?

Pernah suatu hari Imam Ali as mendapati Nabi Muhammad

saw sedang menangis, dan matanya tak henti-hentinya

menangis (tafiidhaan). Imam Ali as berkata, "Wahai Nabi

Allah, apakah seseorang telah membuatmu marah? apa yang

membuat matamu terus menerus menangis?" Nabi saw

menjawab, "Tidak. Jibril baru saja pergi. Dia memberitahuku

bahwa Husain akan dibunuh di tepi sungai Eufrat." Dan yang

membuat Nabi tidak bisa menahan tangisnya, ketika

diberitahu oleh Jibril as bahwa cucunya tersebut dibunuh

dalam keadaan haus tanpa air.

Riwayat-riwayat yang menuliskan besarnya kecintaan Nabi

saw kepada Al-Husain serta tangisnya yang meledak ketika

diberitahu langsung oleh malaikat Jibril as bahwa cucunya

tersebut akan dibunuh dengan cara sadis oleh ummatnya

sendiri di Karbala termuat tidak hanya dalam kitab-kitab Syiah

namun juga kitab-kitab Sunni.

Sehingga memperingati tragedi Asyura bukanlah milik

kelompok Syiah saja, namun milik umat Islam bahkan umat

manusia secara keseluruhan. Kecuali oleh mereka yang

menjadi pengikut ideologis Bani Umayyah yang memang

sejak awal tidak memandang penting keluarga Nabi saw

bahkan dengan segenap upaya sepanjang sejarah

mengecilkan nilai dan pentingnya peristiwa Karbala untuk

dijadikan pelajaran oleh umat Islam.

Setiap menjelang Asyura, pengikut ideologi Bani Umayyah

akan berupaya menjauhkan umat Islam dari mengingat

Tragedi Karbala.

Dengan kedok khawatir dengan penyebaran ideologi Syiah,

melalui kekuatan media mereka mengerdilkan pentingnya

memperingati gugurnya cucu Nabi saw yang telah

mengorbankan jiwa dan raganya demi tetap terjaganya Islam.

Mereka begitu semangat mengajak umat untuk berpuasa di

hari Asyura dengan ganjaran pahala dihapuskannya dosadosa selama setahun namun abai bahwa umat sampai hari ini

bisa mengenal salat, puasa dan haji karena pengorbanan

darah putra-putra terbaiknya, termasuk oleh kesyahidan AlHusain as.

Berpuasalah di hari Asyura ini, harapkanlah dengan puasa itu

dosa-dosa setahun bisa terhapus sebagaimana diriwayatkan

bahwa itu sabda Nabi Muhammad saw, namun jangan abai,

di hari Asyura 1382 tahun lalu, Al-Husain, cucu kesayangan

Nabi itu mati tersembelih dalam keadaan kehausan.

Sempatkanlah untuk merenungkan betapa besarnya

kepedihan dan terlukanya hati Nabi disaat tubuh cucu

kesayangannya itu diinjak-injak kaki kuda dan dilecehkan.

Shalawat dan salam teriring untukmu ya Imam Husain

'alaihissalam.

Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan Revolusi Asyura

Bulan Agustus adalah bulan yang keramat dan penting bagi

bangsa Indonesia, sebab menjadi momentum berdirinya

sebuah negara yang berdaulat dan mengatur dirinya sendiri,

bukan di bawah penguasaan dan didikte bangsa lain.

Begitu memasuki bulan Agustus, kita bisa tiba-tiba

sentimental, tiba-tiba semua merasa nasionalis, dan begitu

mencintai negara ini. Kita jadi ingin mendengarkan lagu-lagu

nasional dengan penghayatan yang tidak biasa, tidak

sebagaimana bulan-bulan yang lain.

Kisah kepahlawanan dan heroisme para pejuang di situasi

genting ingin memproklamasikan kemerdekaan, seolah baru

terdengar di telinga atau baru kita baca, padahal sudah

berulang kali disampaikan, tapi ketika itu kita dapatkan di

bulan Agustus, seolah itu terpampang nyata dan kita turut

berada di barisan pemuda yang tegang bersama tokoh-tokoh

revolusi.

Dulu, di masa Orba, Agustus menjadi bulan yang membuat

kita kembali bernostalgia dengan masa-masa revolusi

kemerdekaan dengan film-film perang yang ditayangkan.

Efouria perayaan atas kemerdekan turut kita rasakan dengan

kesemarakan lomba-lomba Agustusan yang diadakan sampai

ke pelosok-pelosok kampung. Bendera merah putih ditambah

dengan umbul-umbul memenuhi jalan-jalan dan menjadi

ornamen yang dipasang di bangunan-bangunan.

TV dan radio-radio selama Agustus gandrung

memperdengarkan lagu-lagu nasional dengan aransemen

musik yang lebih gempita. Kesemua itu, bukan hadir serta

merta dan begitu saja, tapi memang direkayasa, agar bangsa

ini, khususnya generasi muda, tahu dan mengenal sejarah.

Bangsa ini didesain agar di bulan Agustus mendapat suntikan

semangat agar nyala api revolusi kemerdekaan 17 Agustus

tetap berkobar disanubari anak-anak bangsa.

Tujuannya apa? agar kira merawat ingatan, bahwa bangsa ini

merdeka bukan dari hadiah dan pemberian. Negara ini

dibentuk bukan serba tiba-tiba, tapi lahir dari perjuangan

panjang para pahlawan.

Betapa banyak darah yang tertumpah dan nyawa yang

melayang demi tercapainya kemerdekaan. Itu semua harus diingat, agar generasi sekarang bisa terus punya tekad dan

keinginan kuat untuk menjaga eksistensi negara ini.

Kita bisa melihat betapa menderitanya rakyat yang menjadi

pengungsi di negara lain, karena negara mereka terusterusan dirundung konflik dan perang. Memiliki negara yang

berdaulat dan aman, adalah anugerah besar yang harus

disyukuri dan dijaga.

Dari sinilah, mengapa peringatan hari besar nasional itu

penting. Kita memperingati hari kemerdekaan yang menandai

berdirinya republik ini, hari sumpah pemuda, hari lahirnya

Pancasila, hari kesaktian Pancasila, hari kebangkitan

nasional dan lain-lain adalah agar bangsa ini disetiap

generasinya tidak kehilangan pengetahuan akan sejarah

perjalanan bangsanya.

Kealpaan akan sejarahnya, akan membuat sebuah bangsa

gampang diombang-ambingkan dan kehilangan identitas.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah, pesan Bung Karno

yang akan terus relevan disetiap masa.

Diluar itu, peristiwa-peristiwa tragis, juga tidak boleh

dilupakan. Tiap tahun warga China peringati Tragedi

Tiananmen 1989, warga AS peringati tragedi runtuhnya

menara kembar WTC, Eropa tiap tahun peringati tragedi holocaust, Palestina peringati tragedi Nakba 1948, Indonesia

peringati tragedi G 30 S dan masyarakat Sulawesi-Selatan

peringati tragedi korban 40 ribu jiwa. Tragedi-tragedi itu

diingat dan dikenang bukan untuk merawat dendam, atau

mengajarkan ratapan dan menyesali nasib, melainkan

mengingatkan kita untuk tidak lupa pada nyawa-nyawa yang

menjadi korban pada tragedi-tragedi itu. Pada altruisme dan

pengorbanan mereka.

Untuk kita yang hidup bisa menghargai kehidupan ini. Untuk

kita tahu alasan dan mengapa mereka menjadi korban. Untuk

kita memahami betapa sejarah penuh dengan pergolakan

antara kebenaran dengan kebatilan, pertarungan antara

kelompok penindas dengan mustadafin, agar kita menjadi

tahu kemana kita harus berpihak dan di garis mana kita harus

berpijak.

Prinsip ini pulalah, mengapa tragedi Asyura penting untuk

diperingati dan menghidupkan majelis-majelis yang

mengenang kedukaannya. Majelis Asyura mengingatkan,

disetiap hari akan bermunculan Yazid-Yazid baru, dan

disetiap tempat akan berkuasa Yazid-Yazid baru, karena itu

Majelis Asyura penting dihidupkan, disemarakkan dan

diramaikan, yang darinya diharap bisa lahir Husain-Husain baru, yang tidak hanya berdiri tegak menentang kezaliman

Yazid namun menjadi pioner keruntuhan otoritarianisme.

Bung Karno, pendiri negara ini, dari pengakuannya belajar

banyak dari revolusi Al-Husain. Perlawanan dan

penentangannya pada kerakusan dan kebengisan penjajah

terinspirasi dari perjuangan Imam Husain dan pasukannya di

Padang Karbala.

Kalimat yang populer di kalangan pejuang, "Lebih baik mati

berkalang tanah, daripada hidup dijajah!" adalah semboyan

yang diajarkan Imam Husain as.

Soekarno dalam bukunya, "Di Bawah Bendera Revolusi",

menulis, "Husain adalah panji berkibar yang diusung oleh

setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, di

mana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia

serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan

kekejaman."

Jadi, bisa dikatakan perjuangan Soekarno dalam melawan

penindasan kolonialisme dan imperialisme, diilhami oleh

perjuangan Imam Husain.

Perjuangan Imam Husain dan Soekarno bersandar pada

prinsip yang sama, keberanian melawan kezaliman. Peristiwa Karbala itu adalah madrasah bagi para pemberani. Imam

Husain dan para pengikutnya adalah pemberani.

Dan bangsa ini juga melahirkan banyak pemberani. Apa yang

dilakukan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan

Malaka dan lain-lain dalam menentang kolonialisme dan

imperialisme adalah keberanian. Keberanian itulah yang

membuat Indonesia bisa merdeka.

Dirgahayu RI ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh!!!