• Mulai
  • Sebelumnya
  • 15 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Download HTML
  • Download Word
  • Download PDF
  • Pengunjung: 6276 / Download: 2362
Ukuran Ukuran Ukuran
Majelis Duka Asyura 2

Majelis Duka Asyura 2

pengarang:
Indonesia

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya

Majelis Duka Asyura

Oleh

Ismail Amin Pasannai

KATA PENGANTAR PENULIS

Syahid Murtadha Muthahari, pemikir Islam dari Iran pernah

mengatakan dalam ceramahnya (kumpulan ceramahnya

dihimpun dalam buku "Hamaseh Husaini" (Kebangkitan

Husaini)) bahwa ada tiga kelompok yang membunuh Imam

Husain as.

Pertama, mereka yang membunuh jasad Imam Husain as di

Padang Karbala, yaitu mereka yang tergabung dalam

pasukan Yazid dan Ibnu Ziyad, yang melakukan pembantaian

sadis secara fisik atas Imam Husain as.

Kedua, mereka yang membunuh kehormatan dan nama baik

Imam Husain as, yaitu kelompok yang menganggap kematian

Imam Husain as adalah kematian biasa, sebagaimana

umumnya kematian yang harus diterima para pemberontak

dihadapan penguasa. Termasuk dalam kelompok ini, mereka

yang meyakini Imam Husain as berada pada pihak yang

benar dan gugur sebagai syuhada, namun tetap memberi

pembelaan kepada para pembunuhnya dan menekankan

kepada ummat untuk melupakan saja peristiwa itu. Lebih jauh

lagi, memusuhi dan menghalangi mereka yang mengadakan

atau ingin mengadakan majelis-majelis duka mengenang

tragedi sejarah 10 Muharam 61 H tersebut.

Ketiga, mereka yang membunuh spirit dan cita-cita Imam

Husain as, yaitu mereka yang mengaku sangat mencintai

Imam Husain as, mengadakan majelis duka untuk beliau,

namun sikap dan perilaku sehari-harinya justru bertentangan

dengan nilai-nilai yang dibawa dan diperjuangkan oleh Imam

Husain as. di Karbala.

Dengan dasar, mengajak untuk kita tidak tergabung dalam

dua kelompok terakhir pembunuh Imam Husain as, buku kecil

dan sederhana ini disusun dan dihadirkan kehadapan

pembaca. Karena itu, alasan dan falsafah memperingati

tragedi Asyura perlu kami sampaikan. Buku ini tidak

dimaksudkan untuk memperkenalkan mazhab atau ideologi

tertentu, Imam Husain as adalah milik semua umat Islam

apapun mazhabnya, bahkan lebih dari itu, ia adalah milik

semua umat manusia yang mencintai kemerdekaan dan

tegaknya nilai-nilai kemanusian.

Mencintai Imam Husian as bukan hanya panggilan

kemanusiaan tapi juga sudah menjadi kewajiban agama,

sebagaimana ditegaskan dalam teks-teks agama, baik dalam

ayat Alquran maupun hadis Rasulullah saw. Karena itu,

mengetahui alasan dibalik kebangkitannya, yang itu dapat

menumbuhkan kecintaan kepada al-Husain, turut menjadi kewajiban pula. Sebagaimana kaidah fikih, maa laa yatimmul

wajiba illa bihi, fahuwa wajib, suatu kewajiban yang tidak bisa

dilakukan kecuali dengan pelaksanaan sesuatu, maka

sesuatu itu hukumnya wajib.

Bagaimana kita bisa mencintai Imam Husain as, jika

pengenalan kita terhadapnya hanya secuil? Sekedar

mengetahui bahwa ia cucu Nabi saw, tidak akan membuat

seorang muslim mencapai derajat kecintaan semestinya

padanya. Sebab, ia diminta untuk dicintai dan diteladani,

bukan semata karena ia keturunan biologis Nabi, tapi apa

yang telah ia persembahkan dan korbankan demi menjaga

nyala Islam sehingga sampai pada generasi kita.

Apa yang terdapat dalam buku elektronik ini, adalah

kumpulan tulisan yang sebelumnya telah disebar melalui

akun pribadi saya di Facebook. Dihimpun dan dikumpulkan

oleh sahabat saya, Abu Mukhtar dan istri beliau Indah

Hauzah, untuk dapat memberi lebih banyak manfaat. Karena

itu, saya mengucapkan terimakasih kepada keduanya,

semoga menjadi amal jariah.

Buku ini, bukan buku daras, tapi hanya sekedar buku yang

berisi ajakan, untuk kita tidak melupakan apa yang telah

terjadi pada 1382 tahun lalu. Ajakan untuk kita merenungi dan mengambil hikmah dan pelajaran besar dari madrasah

Karbala.

Sekali lagi, semoga risalah kecil ini memberi manfaat dan

bisa menjadi bukti kelak di mahkamah Ilahi, bahwa saya

pribadi tidak mengabaikan dan menganggap kecil peristiwa

tragedi Karbala. Mohon maaf jika dalam buku ini

mengandung kesalahan.

Mohon doanya selalu.

Qom, 12 Muharram 1443 H

Ismail Amin Pasannai

Menjawab Kelompok Anti Peringatan Asyura

Setiap memasuki bulan Muharram, segelintir manusia

Indonesia mulai was-was. Muballigh-muballigh anti Syiah

memenuhi mimbar-mimbar masjid dengan secara provokatif

menyatakan permusuhan dan kebencian pada peringatan

Asyura yang disebutnya ala Syiah. Mereka juga menyebar

secara massif tulisan-tulisan baik secara online ataupun

berupa jurnal dan selebaran untuk dibaca umat agar

menjauhi dan mewaspadai Syiah dan peringatan Asyura.

Berikut diantara alasan-alasan yang kerap kali mereka

sampaikan, yang hampir semuanya hoax dan tidak sesuai

fakta.

Pertama, peringatan Asyura, ajang Syiah mempromosikan

ajarannya. Perlu saya tekankan, peringatan Asyura bukan

hanya milik Syiah, namun juga milik umat Islam keseluruhan,

bahkan milik seluruh umat manusia yang masih memiliki

naluri kemanusiaan.

Asyura diperingati untuk mengenang peristiwa tragis yang

merenggut nyawa Imam Husain as cucu Nabi Muhammad

saw di Padang Karbala. Pada 10 Muharram 61 H, Imam

Husain as beserta keluarga dan para pembelanya dibantai

oleh ribuan pasukan atas perintah Yazid bin Muawiyah.

Dengan terjadinya peristiwa yang mencoreng sejarah Islam

ini, apa salahnya untuk kemudian diperingati? Apa

memperingati peristiwa penting masa lalu secara mutlak

dilarang dalam Islam? Bukankah Alquran sendiri sarat

dengan kisah-kisah masa lalu yang itu tujuannya agar diingat

dan diambil darinya ibrah dan pelajaran?

Banyak kisah yang dipaparkan dalam Alquran dengan tujuan

untuk mendidik. Yang dari kisah-kisah tersebut, kita jadi tahu

mana kelompok yang diridhai Allah swt dan mana kelompok

yang dimurkai-Nya.

Dan tentu saja kisah-kisah umat terdahulu yang bisa diambil

ibrahnnya bukan hanya yang terdapat dalam Alqurah saja,

namun juga kisah-kisah umat terdahulu secara keseluruhan

termasuk pasca turunnya Alquran.

Kalau pesantren-pesantren meminta santri-santrinya

mengadakan haul setiap tahunnya untuk memperingati

wafatnya sang kyai pendiri pesantren, kalangan Habaib pun bukan menjadi persoalan dan tidak perlu dikhawatirkan ketika

memperingati haul habib-habib yang dianggap punya

pengaruh besar, setiap keluarga juga sah-sah saja

memperingati setiap tahun kematian anggota keluarga yang

penting dan negara boleh-boleh saja memperingati hari

Pahlawan untuk mengenang gugurnya ribuan pejuang yang

gugur dalam mempertahankan kemerdekaan, termasuk

memperingati Hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang

gugurnya pahlawan revolusi, lantas mengapa memperingati

haul dan hari kesyahidan cucu Nabi mejadi terlarang?

Tidak ada satupun kelompok Islam yang memungkiri

terjadinya tragedi Asyura. Tidak ada sejarawan Islam yang

menolak memberi pengakuan, bahwa memang kepala Imam

Husain as dipenggal, dipisahkan dari tubuhnya, diarak dan

dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah.

Dengan kematian yang sedemikian tragis, salahkah jika

peristiwa tersebut diperingati untuk disampaikan kepada

setiap generasi muslim, bahwa sejarah Islam pernah ternoda

dengan terjadinya peristiwa tersebut?

Tujuannya diperingati, ya agar umat Islam tidak lagi

mengalami kejadian serupa. Sedang diperingati saja, masih

tetap terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah antar sesama muslim, apalagi jika memang sengaja kisah Asyura

tersebut ditutup-tutupi.

Sekali lagi, peringatan Asyura bukan hanya milik muslim

Syiah, tapi juga milik umat Islam secara keseluruhan. Ada

beban sejarah yang harus dipikul umat Islam untuk

menceritakan peristiwa tragis ini kepada umat disetiap

generasi, agar umat Islam tidak menjadi umat yang

kehilangan sejarahnya. Karena itu tidak harus menjadi Syiah

untuk memperingati Asyura.

"Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran

bagi orang yang mempunyai akal." (QS. Yusuf: 111).

Kedua, mengadakan peringatan Asyura tidak ada contohnya

sehingga terhukumi bid'ah dhalalah, bid'ah yang sesat. Dalil

penolakannya secara umum sama dengan dalil penolakan

terhadap peringatan Maulid Nabi dan peringatan hari-hari

besar Islam lainnya.

Karena itu, menjawab poin kedua ini sama jawabannya ketika

memberikan argumen akan kebolehan mengadakan Maulid

Nabi. Peringatan Asyura tidak ada contohnya, tapi ada

anjurannya. Hari Asyura adalah diantara hari-hari Allah.

"Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang

benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah."

(QS. Ibrahim: 5)

Para mufassir sepakat menafsirkan hari-hari Allah adalah

hari-hari agung dengan segala rangkaian peristiwa dan

kejadian yang diciptakan Allah sejak penciptaan bumi dan

langit hingga hari kiamat.

Terdapat banyak kesamaan dari peristiwa Karbala dengan

yang dialami umat-umat terdahulu yang diceritakan dalam

Alquran.

Pada peristiwa Karbala juga terdapat kelompok yang setia

mengikuti kebenaran, kelompok yang mendengarkan dan

mengikuti ajakan dan seruan Imam Husain as meski jumlah

mereka hanya segelintir dan juga terdapat kelompok orangorang yang durhaka, pembangkang dan secara terangterangan menentang dakwah Ilahi yang diserukan wali Allah,

yang meski awalnya secara lahiriah kelompok orang-orang

durhaka dan zalim tersebut mampu menaklukkan pasukan

pembela kebenaran, namun di penghujungnya kelompok

pendurhaka tersebut berakhir dengan mendapat azab yang

pedih.

Pelajaran moralnya persis dengan kisah umat-umat terdahulu

yang diabadikan Alquran.

Dengan tidak ada pemungkiran bahwa hari Asyura adalah

termasuk diantara hari-hari Allah, yang dari Alquran

ditegaskan untuk mengingatkan umat kepada hari-hari Allah,

maka memperigati hari Asyura menjadi sebuah keniscayaan.

Karenanya sangat mengherankan jika ada kelompok Islam

yang melarang-larang bahkan phobia terhadap peringatan

Asyura. Bisa tidak sepakat terhadap diadakannya peringatan

Asyura, tapi jangan sampai pada tingkat melarang apalagi

mempersekusi dan membubarkan peringatan Asyura yang

diadakan.

Pengadaan majelis peringatan Asyura hanyalah metode

untuk mengingatkan umat akan hari-hari Allah. Peringatan

Asyura adalah pengejewantahan perintah Ilahi kepada umat

agar tidak mengabaikan dan melupakan peristiwa masa silam

yang mengandung banyak pelajaran dan pesan-pesan moral.

Silakan tidak sepakat dengan cara Syiah memperingati

Asyura, tapi jangan memprovokasi umat Islam di atas

mimbar, untuk jangan mengingat peristiwa tragis yang terjadi

di Karbala, apalagi sampai mengidentikkan bahwa yang

memperingati Asyura sudah pasti Syiah.

Silakan tidak sepakat dengan cara Syiah memperingati

Asyura, tapi jangan mengatakan bahwa peringatan Asyura

adalah kesia-siaan, tidak ada gunanya dan haram. Apalagi

sampai membuat puisi segala, bahwa hari Asyura adalah hari

kebahagiaan.

Ketiga, mengapa yang diperingati hanya syahidnya Imam

Husain? padahal ayahnya dan Imam Hasan saudaranya juga

syahid dan lebih layak diperingati, mengapa tidak diperingati?

Saya jawab: Di Iran tempat saya menetap sementara saat ini,

hari-hari wiladah 14 maksum (Nabi Muhammad saw, Sayidah

Fatimah sa dan 12 imam) serta hari syahadah mereka yang

telah tutup usia diperingati secara nasional bahkan dikedua

hari tersebut (wiladah dan syahadah) pemerintah

menetapkannya secara nasional sebagai hari libur.

Begitu juga komunitas Syiah di negara lainnya, meski tidak

diperingati secara nasional sebagaimana di Iran. Jadi

anggapan bahwa Syiah hanya memperingati syahidnya Imam

Husain as tidak benar.

Memang peringatan syahadah lainnya tidak sesemarak

peringatan Asyura sebab peristiwa syahidnya Imam Husain

as memberi pelajaran pada semua dimensi.

Madrasah Karbala mengajarkan bagaimana sikap muslim

bersikap ketika diperhadapkan dengan penguasa yang zalim,

bagaimana untuk bisa tetap konsisten dan komitmen pada

ajaran Islam ketika terjadi banyak penyelewengan oleh

penguasa, dan bagaimana untuk tetap setia pada pemimpin

meski dalam kondisi kritis dan berada di ambang maut.

Berbeda dengan syahadah 10 imam lainnya, syahadah Imam

Husain as disertai 72 orang pembelanya yang turut mereguk

cawan syahadah bersama imamnya.

Dengan spektrum yang lebih luas, wajar jika peringatan

Asyura yang diadakan umat Islam Syiah jauh lebih ramai

dibanding hari syahadah Nabi dan imam lainnya.

Intinya, pertanyaan, mengapa hanya syahidnya Imam Husain

as yang diperingati, hanya akan diajukan oleh orang-orang

yang pengetahuannya sebatas dengan apa yang dilihat dan

didengarnya saja.Tidak disiarkan di TV dan tidak ramai

dibahas media-media Barat, bukan berarti tidak ada.

Justru, kita malah jadi penasaran, untuk hanya memperingati

haulnya Imam Husain as saja sudah tidak sedikit yang panas

dingin dan menyebut peringatan Asyura sebagai ajang

promosi ajaran Syiah yang karena itu kelabakan sampai

harus main larang-larang, bagaimana kalau komunitas muslim Syiah di Indonesia juga memperingati haul Nabi

Muhammad saw, haul Sayidah Fatimah sa dan haul 10 imam

Syiah lainnya sebagaimana di Iran dan sebagaimana

tuntutan mereka untuk tidak hanya haulnya Imam Husain

saja? Bisa sibuk luar biasa ANNAS itu.

Kenalkah Kau dengan al Husain, Cucu Kesayangan Nabi?

Al Husain tidak lama bersama Nabi. Diusianya baru

menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa

sedihnya al Husain kecil. Terus terbayang masa kecil yang

indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya

ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek

sudah sedemikian risaunya.

Dia hanya berjarak setahun dengan abangnya, al Hasan.

Sebagaimana abangnya, namanya juga adalah pemberian

Allah Swt melalui malaikat Jibril As yang meminta Nabi Saw

menyebutnya al Husain, yaitu Hasan kecil. Dihari ketujuh

kelahirannya, sebagaimana juga abangnya, dia diaqiqah

dengan sembelihan satu ekor kambing.

Para sahabat sang Kakek juga turut merasakan kebahagiaan

akan kelahirannya. Dalam mazhab Syiah dan juga Maliki,

aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan tidak ada

bedanya, masing-masing dengan sembelihan satu ekor

kambing. Islam yang datang dengan doktrin laki-laki dan perempuan sama derajatnya, mustahil membeda-bedakan

laki-laki dan perempuan justru dihari-hari awal kelahirannya.

Suka cita dalam penyambutan kelahiran anak, sama, anak

laki-laki dan perempuan tidak ada bedanya. Islam datang

justru hendak merombak tradisi yang membeda-bedakan

anak laki-laki dengan perempuan.

Masa kecil al-Husain diliputi kebahagiaan dan keceriaan

masa anak-anak. Dia tidak pernah terlihat berpisah dengan

kakeknya. Sahabat-sahabat Nabi Saw ketika menceritakan

tentang al Husain, mereka akan berkata, “Selalu saja kulihat

al Husain itu duduk dipangkuan Nabi, sambil sesekali diciumi

Nabi.” Bahkan ada salah seorang sahabat yang merasa risih,

saking seringnya dia melihat Nabi menciumi al Husain.

“Ya Rasulullah, saya mempunyai 10 anak laki-laki dan tidak

seorangpun dari mereka yang pernah kucium.”

“Kenapa?”

“Kami tidak mencium anak laki-laki.”

“Barang siapa yang tidak menyayangi, tidak akan disayangi.

Saya tidak bisa berbuat apa-apa, kalau Allah akan mencabut

rasa sayang dari hatimu.”

Tidak hanya diwaktu senggang, Nabi selalu bersama al

Husain. Bahkan diwaktu sedang memimpin jamaah shalat

sekalipun. Al Husain dan abangnya berkejaran diantara

kedua kaki Nabi yang sedang shalat. Ketika Nabi sujud,

keduanya bergantian menunggangi pundak Nabi. Akibatnya,

Nabi memperlama sujudnya. Sehabis shalat, para sahabat

bertanya, apa gerangan yang terjadi mengapa sampai sujud

Nabi sedemikian lama. Nabi menjawab, “Kedua cucuku ini

menunggangi punggungku, dan kubiarkan keduanya

menyelesaikan keinginannya.”

Salah seorang sahabat pernah mendapati Nabi sedang asyik

bermain dengan kedua cucunya. Al Husain dan al Hasan naik

dipunggung Nabi bersamaan. Sahabat itu turut tersenyum

melihat tingkah keduanya, sambil berkata, “Amat beruntung

kalian berdua, memiliki tunggangan yang paling baik.” Nabi

berkata, “Dan keduanya adalah penunggang terbaik.”

Pernah Nabi sedang berkhutbah. Diatas mimbar beliau

melihat al Husain dan abangnya berkejar-kejaran. Karena

baju yang dipakai al Husain kepanjangan, ia menginjaknya

sendiri, dan terjatuh. Nabi spontan melompat dari mimbar dan

menggendong cucunya itu, kemudian melanjutkan

khutbahnya kembali. Nabi tidak ingin al Husain terluka sedikitpun, apalagi sampai menangis. Menenangkan hati

cucunya itu, lebih utama bagi Nabi dibanding khutbah yang

disampaikannya.

Berkali-kali sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat,

begitu besar kecintaanmu pada al Husain.” “Iya, al Husain

dari aku, dan aku dari al Husain. Mencintai aku siapa yang

mencintainya, dan memusuhi aku siapa yang memusuhinya.”

Mendengar sabda itu, sahabat-sahabat Nabipun berlombalomba menunjukkan kecintaan yang serupa kepada al

Husain.

Setiap Nabi usai menyampaikan khutbah atau nasehat

kepada sahabat-sahabatnya, al Husain dan al Hasan segera

berlomba berlari kembali ke rumah. Keduanya adu cepat

untuk menyampaikan apa yang dikatakan Nabi kepada

ibunya, Fatimah az Zahra. Begitu Imam Ali datang dan

hendak bercerita kepada istrinya tentang apa yang telah

disampaikan Nabi tadi, Sayyidah Fatimah segera memotong,

“Sudah saya tahu.”

Imam Ali hanya keheranan, “Kamu tahu dari mana?”. Sang

Bunda tersenyum sambil menunjuk kedua anak laki-lakinya

yang cekikan senang.

Pernah, ada seorang kakek tua sedang berwudhu, namun

caranya salah. Al Husain dan al Hasan melihat kejadian itu.

Al Husain segera berkata kepada abangnya, “Bang, yuk kita

bertanding, siapa yang wudhunya paling benar.”

Al Hasan menyanggupi tantangan itu. “Tapi siapa yang

menjadi jurinya?” Al Husain pun meminta kepada kakek yang

hadir disitu. “Kek, siap jadi juri ya..”

Sang kakek mengiyakan.

Keduanyapun melakukan wudhu dihadapan kakek itu. Dan

begitu usai, kakek ditanya siapa yang wudhunya paling

benar. Sang kakek berujar, “Wudhu kalian berdua benar.

Saya yang salah.”

Al Husain sukses memberitahu cara wudhu yang benar

kepada si kakek, tanpa merasa digurui.

Al Husain tidak lama bersama Nabi. Diusianya baru

menginjak 6 tahun, sang kakek meninggal dunia. Betapa

sedihnya al Husain kecil. Terus terbayang masa kecil yang

indah bersama sang kakek. Betapa kakeknya selalu hanya

ingin membuatnya senang. Sedikit luka saja, sang kakek

sudah sedemikian risaunya.

Tapi tahukah kau akhir hidup cucu yang begitu disayangi

Nabi itu? Tahukah kau bagaimana kisah selanjutnya dari

penunggang Nabi itu?

Tahukah kau apa yang terjadi dengan

leher dan bibir al Husain yang sering dikecup oleh Nabi itu?

Ia mati dalam keadaan lehernya tersembelih, dan bibirnya

ditusuk-tusuk pedang.

Ketika kepala al Husain yang telah terpisah dari tubuhnya

dibawa kehadapan Yazid. Yazid memukul-mukul batok

kepala itu dengan tongkat, dan mempermain-mainkan bibir di

kepala itu.

Sahabat-sahabat Nabi yang telah tua renta histeris melihat

kejadian itu.

“Hentikan wahai Yazid, aku melihat dengan mata kepala

sendiri, bibir itu sering diciumi oleh Nabi.”

Kau mungkin tidak tahu banyak mengenai itu, sebab cerita

yang kau dapati tentang al Husain, dia yang sedang tertawa

senang sedang menunggangi Nabi, kakeknya.

Hanya itu… seolah-olah al Husain, hanyalah cucu Nabi, yang

sepanjang usianya adalah cucu yang larut dalam

kegembiraan masa kanak-kanak.

Mana masa muda al Husain, yang diminta ayahnya untuk

melindungi khalifah Utsman dari pembunuhan? Mana masa

muda al Husain yang ikut membela ayahnya dalam perangperang melawan kaum pemberontak? dan mana masa akhir

al Husain, yang syahid di Karbala menjaga nyala agama yang

disiarkan kakeknya?

Nabi bersabda tentangnya, “Al Husain adalah pemimpin

pemuda di surga…”

Kau tahu dimana kepalanya yang sempat dipermainkan itu

dikubur?

Secuil itukah yang kau tentangnya?

Di Muharram ini, berusahalah tahu banyak tentangnya, kau

akan mengenal agama ini lebih dekat...

Cucu Kesayangan Nabi yang Diabaikan Umat

Disetiap bersama Al-Husain, Nabi saw bersabda

mengingatkan para sahabatnya, "Husain dariku dan aku dari

Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Al-Husain, dan

Allah memusuhi siapa yang memusuhi Al-Husain."

Tidak ada yang memungkiri besarnya kecintaan dan kasih

sayang Nabi Muhammad saw kepada cucunya Al-Husain.

Lembar-lembar kitab sejarah dan hadis mengabadikan

kedekatan dan luapan ekspresi kecintaan Nabi kepada AlHusain, sampai pada tingkat Nabiullah Muhammad saw

bersabda, "Husain dariku dan aku dari Husain".

Hanya Husainlah yang membuat Nabi saw pernah

menghentikan khutbahnya dan memperlama sujudnya saat

mengimami salat berjamaah.

Diriwayatkan, disaat Nabi Muhammad saw berkhutbah,

Husain kecil sedang bermain kejar-kejaran bersama

kakaknya Al-Hasan. Tidak lama, karena mengenakan pakaian yang panjang, Al-Husain terjatuh menginjak

pakaiannya sendiri dan akhirnya menangis kesakitan.

Sang kakek dengan sigap segera turun dari mimbar,

mengambil Al-Husain dan kembali melanjutkan khutbahnya

dengan Al-Husain digendongannya. Nabi menghentikan

khutbahnya untuk menghentikan tangis Al-Husain.

Diriwayatkan pula, Nabi saw pernah mengimami salat, dan itu

menjadi salat jamaah terlama, karena Nabi Muhammad sujud

sedemikian lama. Sampai-sampai para sahabat mengira,

wahyu sedang turun ketika Nabi sedang dalam keadaan

sujud. Seusai salat, para sahabat bertanya, "Ada apa

gerangan ya Rasulullah, mengapa sujud kali ini sedemikian

lama?" Nabi menjawab singkat, "Tadi Al-Husain sedang

bermain di punggungku Kubiarkan ia tetap di punggungku,

karena aku tidak ingin ia terjatuh."

Simak, sedemikian besarnya cinta dan kasih sayang Nabi

saw pada cucunya tersebut. Nabi jadi gusar hatinya ketika

melihat Al-Husain menangis. Nabi lebih memilih memperlama

sujudnya, hanya agar Al-Husain tidak terusik kesenangannya

bermain. Rumah Fatimah sa, putri Nabi tidak jauh dari

kediaman Nabi saw, dan setiap Al-Husain kecil menangis dan

terdengar oleh Nabi, Nabi Muhammad saw akan bergegas mengunjungi putrinya dan berkata, "Duhai Fatimah, bukankah

engkau tahu bahwa aku terganggu dan sedih apabila aku

mendengar Al-Husain menangis?".

Berkali-kali Nabi Muhammad saw memperlihatkan

kecintaannya pada kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain

dihadapan sahabat-sahabatnya.

Ia ekspresikan tidak hanya dengan ucapan tapi juga dengan

tindakan, merangkul, mengecup, memangku dan tidak segansegan menjadikan dirinya kuda tunggangan oleh kedua

cucunya, sampai sahabat berkata, "Betapa beruntung

keduanya, menunggangi kuda tunggangan terbaik di dunia

dan akhirat."

Disetiap bersama Al-Husain, Nabi saw bersabda

mengingatkan para sahabatnya, "Husain dariku dan aku dari

Husain, Allah mencintai siapa yang mencintai Al-Husain, dan

Allah memusuhi siapa yang memusuhi Al-Husain."

Mengapa Nabi saw sedemikian ekspresif terkait dengan Al-Husain? Nabi saw secara demonstratif menunjukkan kasih

sayang dan kecintaannya kepada Al-Husain, untuk

dijadikannya hujjah kelak di Mahkamah Ilahi, dan mengukur

keorisinalan cinta umat padanya dengan melihat bagaimana

umat Islam sepeninggalnya mencintai dan bersikap pada Al-Husain. Benarkah umat Islam tulus kecintaannya kepada

Nabi saw disaat yang sama abai terhadap apa-apa yang

cintai Nabi saw? Bukankah termasuk abai, ketika sejarah

terbantainya Al-Husain di Karbala sengaja ditutup-tutupi dan

seolah-olah tidak pernah terjadi bahkan menghalang-halangi

peringatannya?

Apakah bisa disebut kecintaan pada Nabi saw namun sama

sekali tidak pernah mencari tahu penyebab sampai cucu

kesayangan Nabi saw tersebut harus disembelih dan

kepalanya dipermainkan oleh juga yang mengaku sebagai

umat Muhammad?

Pernah suatu hari Imam Ali as mendapati Nabi Muhammad

saw sedang menangis, dan matanya tak henti-hentinya

menangis (tafiidhaan). Imam Ali as berkata, "Wahai Nabi

Allah, apakah seseorang telah membuatmu marah? apa yang

membuat matamu terus menerus menangis?" Nabi saw

menjawab, "Tidak. Jibril baru saja pergi. Dia memberitahuku

bahwa Husain akan dibunuh di tepi sungai Eufrat." Dan yang

membuat Nabi tidak bisa menahan tangisnya, ketika

diberitahu oleh Jibril as bahwa cucunya tersebut dibunuh

dalam keadaan haus tanpa air.

Riwayat-riwayat yang menuliskan besarnya kecintaan Nabi

saw kepada Al-Husain serta tangisnya yang meledak ketika

diberitahu langsung oleh malaikat Jibril as bahwa cucunya

tersebut akan dibunuh dengan cara sadis oleh ummatnya

sendiri di Karbala termuat tidak hanya dalam kitab-kitab Syiah

namun juga kitab-kitab Sunni.

Sehingga memperingati tragedi Asyura bukanlah milik

kelompok Syiah saja, namun milik umat Islam bahkan umat

manusia secara keseluruhan. Kecuali oleh mereka yang

menjadi pengikut ideologis Bani Umayyah yang memang

sejak awal tidak memandang penting keluarga Nabi saw

bahkan dengan segenap upaya sepanjang sejarah

mengecilkan nilai dan pentingnya peristiwa Karbala untuk

dijadikan pelajaran oleh umat Islam.

Setiap menjelang Asyura, pengikut ideologi Bani Umayyah

akan berupaya menjauhkan umat Islam dari mengingat

Tragedi Karbala.

Dengan kedok khawatir dengan penyebaran ideologi Syiah,

melalui kekuatan media mereka mengerdilkan pentingnya

memperingati gugurnya cucu Nabi saw yang telah

mengorbankan jiwa dan raganya demi tetap terjaganya Islam.

Mereka begitu semangat mengajak umat untuk berpuasa di

hari Asyura dengan ganjaran pahala dihapuskannya dosadosa selama setahun namun abai bahwa umat sampai hari ini

bisa mengenal salat, puasa dan haji karena pengorbanan

darah putra-putra terbaiknya, termasuk oleh kesyahidan AlHusain as.

Berpuasalah di hari Asyura ini, harapkanlah dengan puasa itu

dosa-dosa setahun bisa terhapus sebagaimana diriwayatkan

bahwa itu sabda Nabi Muhammad saw, namun jangan abai,

di hari Asyura 1382 tahun lalu, Al-Husain, cucu kesayangan

Nabi itu mati tersembelih dalam keadaan kehausan.

Sempatkanlah untuk merenungkan betapa besarnya

kepedihan dan terlukanya hati Nabi disaat tubuh cucu

kesayangannya itu diinjak-injak kaki kuda dan dilecehkan.

Shalawat dan salam teriring untukmu ya Imam Husain

'alaihissalam.

Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan Revolusi Asyura

Bulan Agustus adalah bulan yang keramat dan penting bagi

bangsa Indonesia, sebab menjadi momentum berdirinya

sebuah negara yang berdaulat dan mengatur dirinya sendiri,

bukan di bawah penguasaan dan didikte bangsa lain.

Begitu memasuki bulan Agustus, kita bisa tiba-tiba

sentimental, tiba-tiba semua merasa nasionalis, dan begitu

mencintai negara ini. Kita jadi ingin mendengarkan lagu-lagu

nasional dengan penghayatan yang tidak biasa, tidak

sebagaimana bulan-bulan yang lain.

Kisah kepahlawanan dan heroisme para pejuang di situasi

genting ingin memproklamasikan kemerdekaan, seolah baru

terdengar di telinga atau baru kita baca, padahal sudah

berulang kali disampaikan, tapi ketika itu kita dapatkan di

bulan Agustus, seolah itu terpampang nyata dan kita turut

berada di barisan pemuda yang tegang bersama tokoh-tokoh

revolusi.

Dulu, di masa Orba, Agustus menjadi bulan yang membuat

kita kembali bernostalgia dengan masa-masa revolusi

kemerdekaan dengan film-film perang yang ditayangkan.

Efouria perayaan atas kemerdekan turut kita rasakan dengan

kesemarakan lomba-lomba Agustusan yang diadakan sampai

ke pelosok-pelosok kampung. Bendera merah putih ditambah

dengan umbul-umbul memenuhi jalan-jalan dan menjadi

ornamen yang dipasang di bangunan-bangunan.

TV dan radio-radio selama Agustus gandrung

memperdengarkan lagu-lagu nasional dengan aransemen

musik yang lebih gempita. Kesemua itu, bukan hadir serta

merta dan begitu saja, tapi memang direkayasa, agar bangsa

ini, khususnya generasi muda, tahu dan mengenal sejarah.

Bangsa ini didesain agar di bulan Agustus mendapat suntikan

semangat agar nyala api revolusi kemerdekaan 17 Agustus

tetap berkobar disanubari anak-anak bangsa.

Tujuannya apa? agar kira merawat ingatan, bahwa bangsa ini

merdeka bukan dari hadiah dan pemberian. Negara ini

dibentuk bukan serba tiba-tiba, tapi lahir dari perjuangan

panjang para pahlawan.

Betapa banyak darah yang tertumpah dan nyawa yang

melayang demi tercapainya kemerdekaan. Itu semua harus diingat, agar generasi sekarang bisa terus punya tekad dan

keinginan kuat untuk menjaga eksistensi negara ini.

Kita bisa melihat betapa menderitanya rakyat yang menjadi

pengungsi di negara lain, karena negara mereka terusterusan dirundung konflik dan perang. Memiliki negara yang

berdaulat dan aman, adalah anugerah besar yang harus

disyukuri dan dijaga.

Dari sinilah, mengapa peringatan hari besar nasional itu

penting. Kita memperingati hari kemerdekaan yang menandai

berdirinya republik ini, hari sumpah pemuda, hari lahirnya

Pancasila, hari kesaktian Pancasila, hari kebangkitan

nasional dan lain-lain adalah agar bangsa ini disetiap

generasinya tidak kehilangan pengetahuan akan sejarah

perjalanan bangsanya.

Kealpaan akan sejarahnya, akan membuat sebuah bangsa

gampang diombang-ambingkan dan kehilangan identitas.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah, pesan Bung Karno

yang akan terus relevan disetiap masa.

Diluar itu, peristiwa-peristiwa tragis, juga tidak boleh

dilupakan. Tiap tahun warga China peringati Tragedi

Tiananmen 1989, warga AS peringati tragedi runtuhnya

menara kembar WTC, Eropa tiap tahun peringati tragedi holocaust, Palestina peringati tragedi Nakba 1948, Indonesia

peringati tragedi G 30 S dan masyarakat Sulawesi-Selatan

peringati tragedi korban 40 ribu jiwa. Tragedi-tragedi itu

diingat dan dikenang bukan untuk merawat dendam, atau

mengajarkan ratapan dan menyesali nasib, melainkan

mengingatkan kita untuk tidak lupa pada nyawa-nyawa yang

menjadi korban pada tragedi-tragedi itu. Pada altruisme dan

pengorbanan mereka.

Untuk kita yang hidup bisa menghargai kehidupan ini. Untuk

kita tahu alasan dan mengapa mereka menjadi korban. Untuk

kita memahami betapa sejarah penuh dengan pergolakan

antara kebenaran dengan kebatilan, pertarungan antara

kelompok penindas dengan mustadafin, agar kita menjadi

tahu kemana kita harus berpihak dan di garis mana kita harus

berpijak.

Prinsip ini pulalah, mengapa tragedi Asyura penting untuk

diperingati dan menghidupkan majelis-majelis yang

mengenang kedukaannya. Majelis Asyura mengingatkan,

disetiap hari akan bermunculan Yazid-Yazid baru, dan

disetiap tempat akan berkuasa Yazid-Yazid baru, karena itu

Majelis Asyura penting dihidupkan, disemarakkan dan

diramaikan, yang darinya diharap bisa lahir Husain-Husain baru, yang tidak hanya berdiri tegak menentang kezaliman

Yazid namun menjadi pioner keruntuhan otoritarianisme.

Bung Karno, pendiri negara ini, dari pengakuannya belajar

banyak dari revolusi Al-Husain. Perlawanan dan

penentangannya pada kerakusan dan kebengisan penjajah

terinspirasi dari perjuangan Imam Husain dan pasukannya di

Padang Karbala.

Kalimat yang populer di kalangan pejuang, "Lebih baik mati

berkalang tanah, daripada hidup dijajah!" adalah semboyan

yang diajarkan Imam Husain as.

Soekarno dalam bukunya, "Di Bawah Bendera Revolusi",

menulis, "Husain adalah panji berkibar yang diusung oleh

setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, di

mana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia

serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan

kekejaman."

Jadi, bisa dikatakan perjuangan Soekarno dalam melawan

penindasan kolonialisme dan imperialisme, diilhami oleh

perjuangan Imam Husain.

Perjuangan Imam Husain dan Soekarno bersandar pada

prinsip yang sama, keberanian melawan kezaliman. Peristiwa Karbala itu adalah madrasah bagi para pemberani. Imam

Husain dan para pengikutnya adalah pemberani.

Dan bangsa ini juga melahirkan banyak pemberani. Apa yang

dilakukan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan

Malaka dan lain-lain dalam menentang kolonialisme dan

imperialisme adalah keberanian. Keberanian itulah yang

membuat Indonesia bisa merdeka.

Dirgahayu RI ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh!!!

Falsafah Menangis atas Imam Husain

Karbala, nama hamparan sahara dekat sungai Eufrat yang

menjadi panggung drama nyata tragedi kemanusiaan

terbesar sepanjang sejarah. Sebuah padang pasir yang di

beritakan dalam Al-Kitab, bahwa di tempat ini terjadi

penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan

pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum

darah mereka (Yeremia 46:1).

Dari sekian tragedi kemanusiaan yang terjadi, tragedi di

Karbalalah yang terbesar. Bukan dilihat dari jumlah korban,

melainkan siapa yang telah menjadi korban dan bergelimang

darah. Jumlah mereka tidak seberapa, 'hanya' kurang lebih

72 orang. Yang menjadikan peristiwa ini sulit untuk terlupakan

adalah Karbala menjadi samudera pasir yang menyuguhkan

genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10

Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya -

termasuk di dalamnya anak-anak - syahid dibantai oleh

sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang

Karbala , Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan

diarak keliling kota.

Peristiwa ini merupakan tragedi terbesar sepanjang sejarah

Islam. Bisa jadi ada yang mempersoalkan mengapa kisah

tentang tragedi ini harus selalu dikenang, harus selalu diingat

dan ditangisi.

Bukankah peristiwa ini hanya akan menyulut benih-benih

perpecahan antara kaum muslimin, antara kelompok yang pro

dengan kebangkitan dan kesyahidan Imam Husain ra dan

dengan kelompok yang kontra dan menganggap Imam

Husain ra adalah agitor dan pemberontak terhadap penguasa

yang sah?

Masihkah relevan kita memperbincangkan tentang

kesyahidan Imam Husain di padang Karbala di abad yang

justru orang-orang membincangkan perdebatan antar budaya

dan peradaban melalui dunia maya? Apa faedah kita

mengungkit-ngungkit tragedi yang telah menjadi masa lalu ini,

dan buat apa kita menangisinya ?. Bukankah semestinya kita

duduk bersama berbicara tentang perdamaian dunia untuk

kehidupan yang lebih baik?

Saya pribadi, menganggap hal ini sangat penting untuk kita

perbincangkan. Terlepas dari tragedi Karbala, di Indonesia,

atas nama suku, agama, ras dan golongan, nyawa manusia

tidak lebih mahal dari sebungkus rokok. Aceh, Ambon , Sambas, Sampit, Poso, Papua adalah sedikit saksi atas

kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya. Tidak

sulit kita menemukan orang-orang bergelimpangan meregang

nyawa, baik karena dibunuh ataupun menghabisi nyawa

sendiri. Lalu, di manakah kemanusiaan kita? Tersentuhkah

kita dengan derita-derita mereka?

Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah pernah berkata,

"Mereka yang tidak pernah tersentuh dengan tragedi Karbala

, tidak akan pernah tersentuh dengan tragedi kemanusiaan

yang lain." Tragedi Karbala menjadi ukuran.

Kepedulian kita atas tragedi kemanusiaan, khususnya di bumi

Nusantara ini akan terukur dari kepedulian kita pada Karbala.

Imam Khomeini pernah berkata, "Sungguh kesyahidan

Husain senantiasa membakar hati orang-orang yang

beriman." Dari sini, saya melihat tragedi Karbala sangat

relevan untuk kita kenang.

Hakekat Tangisan

Pertama-tama, kami tegaskan bahwa masalah memperingati

tragedi Karbala (10 Muharram) bukanlah masalah khas Syi'ah

saja, tetapi masalah islami. Meskipun muslim yang

bermadhzab Syi'ah lebih memberikan prioritas terhadap

peristiwa ini dibanding kelompok muslim lainnya. Sebab, Imam Husain ra tokoh utama dibalik tragedi ini, bukanlah

pelita bagi kaum Syi'ah saja, melainkan lentera hati setiap

mukmin, apapun madhzabnya.

Karenanya, kami tegaskan lagi, apapun yang berkaitan

dengan peristiwa karbala pada hakikatnya adalah fenomena

islami. Yang akan saya ketengahkan adalah, tangisan dan

perilakunya terhadap manusia.

Telah sering diajukan pertanyaan-pertanyaan kritis seputar

tangisan yang biasa dilakukan orang-orang Syi'ah saat

mengenang peristiwa Karbala. Peringatan akan tragedi

Karbala dengan tangisan dan ratapan yang mereka lakukan

bagi sebagian muslim yang lain adalah bid'ah bahkan

cenderung kepada kesyirikan.

Manusia manapun pasti mengalami kegetiran hidup yang

membuatnya harus menangis. Bahkan lembaran kehidupan

manusia diawali dengan tangisan dan diakhiri pula dengan

tangisan perpisahan.

Tangisan sesuatu yang alamiah, sesuatu yang telah menjadi

fitrah kemanusiaan. Menurut Syaikh Taqi Misbah Yazdi,

menangis disebabkan empat tingkatan spiritual : keridhaan

(ar-rida'), kebenaran (ash-shidiq), petunjuk (al-hidayah) dan pemilihan (al-isthifa'). Dan para nabi telah mencapai empat

tingkatan spiritual yang tinggi ini.

"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan

sebelumnya apabila Al-Qur'an al-Karim dibacakan kepada

mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil

bersujud, dan mereka berkata, "Maha Suci Tuhan kami,

sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka

menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka

bertambah khusyuk." (Qs. Al-Isra' : 107-109).

Melalui ayat ini, disimpulkan bahwa ilmu dan makrifat adalah

penyebab timbulnya tangisan. Setiap orang yang mengetahui

hakikat sesuatu, mengetahui hakikat kenabian Rasulullah

SAW dan mengetahui hakikat kesyahidan Imam Husain ra,

maka hatinya sangat peka dan matanya muda mengucurkan

air mata.

Rasul bersabda, "Seandainya kalian mengetahui apa yang

aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak

menangis. " Di ayat lain Allah SWT berfirman, "Dan apabila

mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul,

kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata

disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui”

(Qs. Al-Maidah : 83)

Mengapa Menangis atas Imam Husain?

Seseorang yang menjadikan Imam Husain sebagai

kekasihnya dan mendengar sang kekasih mengalami

musibah dan bencana, apa layak hanya menanggapinya

dengan dingin dan tidak menangis?

Imam Husain adalah adalah kekasih bagi setiap muslim,

beliau gugur dalam keadaan kehausan dan tidak cukup

dibantai, tapi kepala beliau dipisahkan dari tubuhnya dan

ditancapkan di atas tombak serta di bawa untuk

dipersembahkan kepada raja Yazid yang bermukim di

Syuriah.

Oleh karenanya bagi yang ingin menziarahi tubuh Imam

Husain, maka hendaknya pergi ke Karbala Irak dan bagi yang

ingin menziarahi kepalanya, maka hendaknya pergi ke

Suriah. Ini bukan cerita dongeng, sejarahnya sangat masyhur

dan ditulis dalam kitab-kitab ahli sejarah.

Tidak ada yang memungkiri, Imam Husain adalah cucu

kesayangan nabi, dan berkali-kali menyampaikan kepada

para sahabat untuk juga menyayanginya.

Abu Hurairah bercerita, "Rasulullah saw datang kepada kami

bersama kedua cucu beliau, Hasan dan Husain. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang kedua di bahu beliau

yang lain. Sesekali Rasulullah saw menciumi mereka, sampai

berhenti di tempat kami berada.

Kemudian beliau bersabda, ‘Barang siapa mencintai

keduanya (Hasan dan Husain) berarti juga mencintai daku;

barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci

daku." Imam Husain adalah kekasih setiap mukmin dan

mukminah dan teman dekat setiap Muslim dan Muslimah,

sehingga setiap orang mukmin akan merasa sedih atas

kepergiannya.

Tidak sedikit rakyat Pakistan yang menangisi kematian

Benazir Bhutto yang tragis ataupun mahasiswa Makassar

yang tidak bosan-bosannya memperingati tragedi AMARAH

tiap tahunnya, maka bagaimana mungkin kita tidak menangis

atas kematian Imam Husain yang mengajari dan menjaga

nilai-nilai dan prinsip-prinsip kebenaran!

Seandainya kalau bukan karena jihad sucinya, niscaya Islam

akan lenyap bahkan namanya pun tidak akan terdengar.

"Jikalau raga diciptakan untuk menyongsong kematian, maka

kematian di ujung pedang di jalan Allah jauh lebih baik dan

mulia ketimbang mati di atas ranjang." (Al-Husain bin Ali bin

Abi Thalib)

Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid'ah?

Allah Swt berfirman tentang nabi Yaqub as yang menangisi

kepergian anaknya, Nabi Yusuf as, "...Aduhai duka citaku

terhadap Yusuf; dan kedua matanya menjadi putih (buta)

karena kesedihan dan dialah yang menahan amarahnya

(terhadap anak-anaknya)." (Qs. Yusuf : 85).

Dari ayat ini, kita bisa bertanya, apakah tangisan Nabi Yaqub

as karena terpisah dengan anaknya sampai matanya menjadi

buta adalah bentuk jaza' (keluh kesah) yang dilarang ?

apakah Nabi Yaqub as melakukan sesuatu yang

menjemuruskan dia dalam kebinasaan sampai anak-anaknya

bertanya, " Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf,

sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk

orang yang binasa ?" (Qs. Yusuf : 86).

Alhasil, Al-Qur'an menceritakan bahwa ketika Yusuf dijauhkan

Allah Swt dari pandangan Yaqub serta merta Yaqub

menangis sampai air matanya mengering karena sangat

sedihnya. Tentu saja tangisan Nabi Yaqub as bukanlah

tangisan keluh kesah yang sia-sia, melainkan ungkapan

kesedihan atas kebenaran yang telah dikotori, atas anaknya

Yusuf yang telah dizalimi. Hakim an-Naisaburi dalam

Mustadrak Shahih Muslim dan Bukhari meriwayatkan, bahwa Rasulullah keluar menemui para sahabatnya setelah malaikat

Jibril memberitahunya tentang terbunuhnya Imam Husain dan

ia membawa tanah Karbala. Beliau menangis tersedu-sedu di

hadapan para sahabatnya sehingga mereka menanyakan hal

tersebut.

Beliau memberitahu mereka, "Beberapa saat yang lalu Jibril

mendatangiku dan membawa tanah Karbala , lalu ia

mengatakan kepadaku bahwa di tanah itulah anakku Husain

akan terbunuh." Kemudian beliau menangis lagi, dan para

sahabatpun ikut menangis. Oleh karena itu, para ulama

mengatakan bahwa inilah acara ma'tam (acara kesedihan

dan belasungkawa untuk Imam Husain).

Jika ketika mendengar kisah terbunuhnya Imam Husain lalu

tidak mengucurkan air mata, maka kitapun akan dingin

terhadap tragedi-tragedi kemanusiaan lainnya.

Karenanya wajar, hati masyarakat kita tidak tersentuh ketika

mendengar berita seorang suami membakar istrinya,

seseorang membunuh dengan dalih yang sepele dan

sebagainya. Masyarakat kita tidak terbiasa menangis tetapi

terbiasa untuk tertawa. Hati kita cenderung keras dan

menganggap tangisan adalah bentuk kekalahan.

Tangisan atas Imam Husain bukanlah tangisan kehinaan dan

kekalahan, namun adalah protes keras atas segala bentuk

kebatilan dan sponsornya di sepanjang masa.

Orang-orang mukmin merasakan gelora dalam jiwanya ketika

mengenang terbunuhnya Imam Husain, bahkan Mahatma

Ghandi berkali-kali mengatakan semangat perjuangannya

terinspirasi dari revolusi Imam Husain ra. Kullu yaumin

Asyura, kullu ardin Karbala, semua hari adalah Asyura,

semua tempat adalah Karbala.

Hari Asyura termasuk hari-hari Allah, tentangnya Allah

berfirman : "Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada

cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada

hari-hari Allah." (Qs. 14:5). Meskipun ada usaha-usaha untuk

memadamkan gelora perlawanan akan ketertindasan dan

kedzaliman.

Tetapi Allah Maha Perkasa, Dia tetap menyempurnakan

cahaya-Nya meskipun musuh-musuh-Nya tidak suka. Allah

tetap menjaga gelora spiritual itu tetap menyala di hati-hati

orang mukmin dan tidak akan pernah padam sampai hari

kiamat Semua mukminin wajib mengenang tragedi ini dan menangis

atasnya, "Apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan

ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis?"

(QS. An-Najm: 59-60)

Wallahu a'alam bishshawwab.

Jangan Kau Larang Umat Islam Merawat Ingatan pada Tragedi Asyura!

Melarang diadakannya majelis peringatan Asyura adalah

bentuk penodaan pada agama. Islam meminta umatnya untuk

memperingati peristiwa-peristiwa penting masa lalu untuk bisa

dijadikan pelajaran dan diambil ibrahnya untuk menyesuaikan

dengan konteks sekarang sehingga arah perjalanan umat

Islam tetap sesuai dengan jalur yang diinginkan Alquran dan

Assunnah, yang tidak terlepas dengan peristiwa masa silam.

Kalau umat Islam meyakini pada hari Asyura (10 Muharram)

terjadi banyak peristiwa penting yang tidak hanya terkait

dengan Nabi-Nabi Allah namun juga dengan keluarga Nabi

Muhammad saw dengan terbantainya Imam Husain as di

Karbala, maka sudah semestinya hari Asyura diperlakukan

beda dengan hari-hari pada umumnya.

Hari Asyura adalah momen yang sudah sewajarnya

dimanfaatkan untuk mengingatkan ummat, akan peristiwaperistiwa penting yang terjadi pada 10 Muharram tersebut,

terutama kisah tragedi Asyura yang tidak boleh diabaikan.

Oke, terdapat penyikapan dan pandangan berbeda antara Sunni dan Syiah mengenai peristiwa Karbala, namun tidak

lantas tragedi terkelam dalam sejarah Islam tersebut

ditenggelamkan begitu saja dan melewatkan hari Asyura

setiap tahunnya seolah-olah pada 10 Muharram tidak pernah

terjadi apa-apa. Sebab, baik Sunni maupun Syiah sepakat

bahwa tragedi Asyura benar-benar terjadi, dan kepala Imam

Husain as benar-benar dipisahkan dari tubuhnya.

Perbedaannya pada dimana kepala Imam Husain as

dimakamkan. Setidaknya ada enam tempat kemungkinan,

kepala Imam Husain as dimakamkan: Damaskus, Karbala,

Raqqa, Ashkelon, Kairo atau Madinah.

Pertanyaannya, pantaskah cucu Nabi Muhammad saw

tersebut mendapatkan perlakuan sedemikian keji dan

pantaskah itu diabaikan begitu saja oleh ummatnya, dan

dengan enteng menyebutkan, biarlah menjadi peristiwa masa

lalu dan tidak perlu dikorek-korek lagi?

Memperingati hari Asyura dengan menjadikannya sebagai

momen memperingati hari kesyahidan Imam Husain as

penting untuk merawat ingatan dan mengingatkan pada

ummat, bahwa kebencian dan permusuhan pada Islam yang

diajarkan Nabi Muhammad saw dan keluarganya telah ada

tidak lama dari wafatnya Nabi Muhammad saw dan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang mengaku dari kalangan umat

Islam sendiri. Memberlakukan larangan secara serampangan

dan menuding setiap penyelenggaraan majelis peringatan

Asyura adalah bentuk kesesatan dan penodaan pada agama

adalah hakekatnya adalah penodaan pada agama itu sendiri.

Jika negeri ini merasa perlu memperingati tragedi G 30 S

secara nasional untuk mengingatkan rakyat akan bahaya

komunisme sembari menjaga kesetiaan rakyat pada

Pancasila, maka Islam tentu jauh lebih butuh pada adanya

majelis-majelis peringatan serupa untuk menjaga ummat ini

tetap berada pada rel perjuangan Islam yang sesungguhnya.

Jika ada yang disampaikan dan disebarkan dalam majelis

duka Imam Husain as yang bertentangan dengan fakta

sejarah, itu yang diluruskan, dibantah dan diprotes, sekeraskerasnya kalau perlu.

Tapi jangan pernah melarang, majelis memperingati tragedi

Asyura untuk diadakan. Indonesia tidak lebih Islami dari Arab

Saudi, Mesir dan Turki yang diketiga negara tersebut, majelis

memperingati Asyura bahkan diselenggarakan secara massif

dan terbuka dan di Arab Saudi sendiri tidak pernah

menerapkan larangan memperingati Asyura. Apa Indonesia merasa lebih menjaga dan membela Islam dengan melaranglarang penyelenggaraan peringatan Asyura?

Ramaikanlah majelis-majelis peringatan Asyura, jika ada yang

bertanya, kalian mau kemana? Jawablah, "Kami mau ke

Karbala!!!"

Revolusi Al-Husain, Inspirasi yang Tak Pernah Habis

Karbala terletak beberapa kilo meter dari hulu sungai Eufrat di

barat laut Kufah. Tanah Karbala awalnya bernama Kur Babal

lalu disingkat menjadi Karbala untuk memudahkan

pengucapan. Kata Babal dalam nubuat Yesaya berarti gurun

laut (shahra' al bahr) sebuah lembah luas yang dibelah oleh

sungai Eufrat. Versi lainnya, disebut Karbala karena pada

zaman Babilonia disana terdapat tempat penyembahan. Karb

berarti tempat penyembahan, tempat sembahyang dan

tempat suci dan kata 'Abala dalam bahasa Aramea berarti

Tuhan, sehingga Karbala artinya tanah suci Tuhan.

Kitab-kitab samawi sebelumnya menyebut tanah tersebut

Karbala, karena dinubuatkan di tempat inilah terjadi kesulitan

dan bencana yang sangat memilukan hati. Karb dalam

bahasa Arab artinya kesulitan dan bala artinya bencana. AlKitab, memberitakan bahwa di Karbala inilah terjadi

penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan

pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum

darah mereka (Yeremia 46:1)

Sejarah pun mengabadikan, Karbala adalah hamparan

sahara yang menyuguhkan genangan darah dan air mata

suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam

Husain bersama 72 pengikutnya - termasuk di dalamnya

anak-anak - syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid

bin Muawiyyah di padang Karbala, Irak. Kepala Imam dan

para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota. Sangat

disayangkan, peristiwa tragis ini kurang mendapat apresiasi

bahkan dari kaum muslimin sendiri.

Diantara buku-buku sejarah yang menumpuk diperpustakaan

kita, sulit kita temukan buku yang membahas pembantaian

Karbala, seakan-akan peristiwa ini tidak ada pentingnya untuk

dikaji dan diapresiasi, sedangkan yang dibantai secara tragis

adalah Imam Husain, cucu Rasulullah yang tersisa.

Rasul bersabda tentangnya, "Husain berasal dariku dan aku

berasal darinya. Allah mencintai siapa yang mencintainya.

Siapa menyakitinya berarti menyakitiku" Karbala bukanlah

sebuah peristiwa sejarah yang berhenti pada 10 Muharram,

tetapi merupakan titik balik yang sangat penting bagi aqidah

Islam yang agung. Yang dilakukan Imam Husain as di

Karbala adalah revolusi tauhid, yakni revolusi yang ûmenurut

Ali Syariati- gugusannya dimulai oleh nabi Ibrahim as diledakkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad saww,

dipertahankan hidup oleh Imam Husain as dan berakhir pada

Imam Mahdi.

Ali Syariati merasa perlu mengingatkan, bahwa melupakan

riwayat Imam Husain as sebagai mata rantai yang lepas dari

rangkaian sejarah tidak bedanya memotong bagian tubuh

manusia yang masih hidup untuk dilakukan penelitian

atasnya. Perlawanan yang dikobarkan Imam Husain adalah

hikayat kebebasan yang dikubur hidup-hidup oleh pisau

kezaliman pada setiap zaman dan tempat. Karenanya

semangat itu perlu kita hidupkan kembali. (bersambung)

Pentingnya Mengenang Karbala

Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat Yazid

putranya sendiri sebagai khalifah atas kaum muslimin adalah

awal pemicu prahara tak berkesudahan dalam tubuh umat

Islam. Pengangkatan ini tidak hanya mengakhiri keagungan

dan kecemerlangan Daulah Islamiyah yang telah dibangun

oleh Rasulullah saww dan dijaga oleh keempat sahabat

beliau yang mulia namun juga telah mengoyak-ngoyak

tatanan politik Islam yang berkeadilan.

Para sejarahwan menuliskan Yazid bukanlah orang yang

layak menjadi khalifah, ia dzalim dan sering tampak secara

terang-terangan menginjak-injak sunnah Rasulullah. Untuk

memutlakkan kekuasaannya atas kaum muslimin, Yazid bin

Muawiyah meminta baiat dan pengakuan dari Imam Husain

as, sebagai orang yang paling alim dimasanya.

Disinilah kondisi lebih pelik bermula, berhadapan dengan

kekuatan besar dan kekuasaan Yazid, kematian adalah

sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi ketika memilih menolak

berbaiat.

Sebenarnya bisa saja Imam Husain as menganggap jalan

menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah

kilatan pedang. Jihad bukanlah satu-satunya jalan menuju

surga, bukankah dengan hidup zuhud, menyingkirkan diri dari

keramaian, menyibukkan diri dengan ibadah di sudut-sudut

mesjid adalah jalan yang lebih mudah dan aman menempuh

surga? Tetapi tidak bagi al-Husain, surga bukanlah satusatunya tujuan dan impiannya. Beliau harus melaksanakan

tugas yang diemban dan taklif yang saat itu berada

dipundaknya, mempertahankan kebenaran dan revolusi Islam

yang telah diledakkan sang kakek.

Menurut Imam Husain as, dasar kepercayaan Islam adalah

kekuatan perlawanan dan pembebas. Islam tidak sematamata memuat deretan do'a dan ibadah melainkan perlawanan

yang bergelora.

Mungkin dengan semangat itulah, Islam hakiki akan tampak,

sebagaimana diturunkan pertama kali, menjadi pembebas

bagi mereka yang berada dalam ketertindasan. Baginya,

mengosentrasikan jiwa dan pikiran di sudut-sudut mesjid dan

rumah-rumah kosong adalah pengkhianatan terhadap

revolusi Islam.

Dengan kekuatan yang tersisa, Imam Husain as mengajak

keluarganya untuk memilih kematian daripada harus

mengakui kekuasaan Yazid yang menumpahkan tinta lain

selain Islam dalam pemerintahannya.

Imam Husain berangkat melawan untuk membela kebenaran,

yakni kebenaran bagi semua umat manusia. Jadi perlawanan

tersebut dengan esensinya akan terus berlangsung selamalamanya.

Dimanapun seorang melakukan perlawanan terhadap

kezaliman, disitulah Karbala. Setiap tusukan pedang pada

hari Asyura adalah tusukan terhadap penguasa yang dzalim

pada periode kapanpun. Itulah perlawanan yang mulai

membara dan terus membara selama masih ada kedzaliman

di atas muka bumi, selama masih ada pemerintah yang

dzalim, selama masih ada aqidah dipermainkan. Itulah

perlawanan yang takkan mereda, terutama saat ini ketika

intimidasi menimpa banyak bangsa, aqidah dan agama

dipermainkan untuk mengokohkan kezaliman, pengrusakan

dan membenarkan kebiadaban segelintir manusia atas

manusia lainnya.

Antoane Bara dalam bukunya The Saviour Husain dalam

Kristinitas (Citra, 2007) menulis, Al-Husain adalah pelita Islam

yang menerangi batin agama-agama hingga akhir zaman.

Ajaran-ajaran revolusi Imam Husain, perlawanan terhadap

ketidak adilan, kebebasan dan kemerdekaan jiwa, altruisme

(ajaran rela berkorban) bukankah ini batin agama-agama

sepanjang masa? Revolusi Al-Husain adalah lompatan

keberanian dalam penjara-penjara hegemoni pada

zamannya. Sebuah citarasa yang tinggi.

Kalimat syahadat, La ila haillallah adalah simbol universitas

kesyahidan, yakni kebebasan, tidak ada ketundukan kepada

selain Allah. Allah SWT berfirman, "Janganlah kalian mengira

bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati,

tetapi mereka hidup" Demikianlah Al Husain tetap hidup, hidup di sisi Allah, di dalam hati, jiwa dan pikiran orang-orang

yang memerdekakan jiwanya. Hidup dalam perasaan, di atas

mimbar, di dalam majelis-majelis, dalam slogan-slogan

perlawanan, hidup dalam buku. Gerakan, semangat dan misi

Al-Husain di Karbala, di hari Asyura akan selalu

menginspirasi setiap gerakan revolusi di dunia, di setiap

masa.

Revolusi Al-Husainlah yang menginspirasi Mahatma Ghandi

membawa rakyat India menuju pembebasan dari penjajahan

Inggris. Kebangkitan al-Husainlah yang menginspirasi

Soekarno untuk bangkit melawan imperialisme dan

kolonialisme. Di penghujung abad 20 Imam Khomeini telah

menuntun kafilah dan semangat Asyura meruntuhkan

Imperium yang berkuasa 2.500 tahun membuktikan Revolusi

Al-Husain mengungguli dunia dan zaman.

Kullu Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari

adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala.

Wallahu 'alam bishshawwab.

PERINGATAN ASYURA DI IRAN, ANTARA FAKTA DAN FITNAH

Kalau sejumlah kaum muslimin di Negara lain menyambut

kedatangan bulan Muharram dengan bersuka cita dan saling

mengucapkan selamat akan bergantinya tahun, masyarakat

Iran justru melarutkan diri dalam majelis-majelis duka. Bulan

Muharram bagi masyarakat Iran yang mayoritas bermazhab

Syiah adalah bulan duka, bulan yang mengharu biru, bulan

yang menggoreskan kenangan akan peristiwa paling pahit

dalam sejarah Islam.

Karena itu, bergantinya tahun hijriah yang seringkali dijadikan

momen untuk bergembira dan saling mengucapkan selamat,

tidak akan ditemukan dilakukan oleh warga Iran. Rasa

belasungkawa akan syahidnya Imam Husain AS beserta

keluarga dan sahabatnya yang terbantai di Karbala mereka

tunjukkan bukan hanya dengan pakaian serba hitam yang

mereka kenakan, namun juga pemasangan umbul-umbul

bendera hitam, ornamen-ornamen yang dipasang di tepi-tepi

jalan, masjid dan tempat-tempat umum yang berisi pesan

duka Asyura, termasuk mencat mobil-mobil mereka dengan

tulisan Husain, Zainab, Ali Asghar, Aba al-Fadhl dan nama

tokoh-tokoh lainnya dalam peristiwa Karbala.

Secara resmi, warga Iran memperingati peristiwa Asyura

selama sepuluh hari berturut-turut, dari tanggal 1 sampai 10

Muharram

Hari kesembilan dan hari kesepuluh dijadikan hari libur

nasional. Selama kesepuluh hari tersebut, setiap sehabis

shalat Isya berjama’ah, diadakan majelis-majelis duka.

Ratusan warga berbondong-bondong memadati masjidmasjid dan Husainiyah tempat diadakannya majelis-majelis

duka tersebut.

Acara dibuka dengan tilawah al-Qur’an dan dilanjutkan

dengan ceramah agama yang berisi pesan dan hikmah dari

kisah-kisah kepahlawanan Imam Husain As beserta keluarga

dan sahabatnya di padang Karbala. Disaat Khatib

menyampaikan ceramahnya, tidak jarang terdengar suara

isak tangis dari para jama’ah. Peristiwa kematian Imam

Husain AS meski sudah berlalu 1400 tahun lalu, namun bagi

mereka tampak seolah-olah baru terjadi kemarin sore.

Setelah mendengarkan ceramah, lampu-lampu dipadamkan,

dan hanya menyisakan sedikit cahaya.

Dalam suasana nyaris gelap itu, seseorang tampil untuk

membacakan maqtal atau syair-syair duka. Pada prosesi ini,

para jama’ah dilibatkan. Kesemuanya berdiri dan mengiringi

kidung duka yang dinyanyikan sembari menepuk-nepuk dada.

Suasana haru semakin menyeruak setiap disebutkan nama al

Husain. Diakhir acara, panitia akan membagikan kotak

makanan dan disantap bersama. Majelis ini berlangsung

selama sepuluh malam berturut-turut.

Dalam majelis ini tidak adegan melukai diri, tidak ada aksi

memukul badan dengan benda tajam hingga berdarah-darah.

Ulama-ulama Iran memberikan fatwa akan keharaman

melukai diri apalagi sampai berdarah-darah dalam

memperingati hari Asyura.

Fatwa itupun menjadi hukum postif bagi kepolisian Iran untuk

membubarkan dan menangkapi mereka yang melakukan aksi

melukai diri dalam majelis Husaini. Sayang, karena perbuatan

segelintir Syiah di Irak, Afghanistan dan Pakistan yang masih juga memperingati Asyura dengan tradisi melukai diri, Syiah

pun diidentikkan dengan perbuatan irasional tersebut.

Patut diketahui, kalau memang melukai diri dianggap ibadah

yang afdhal dilakukan pada peringatan Asyura, maka yang

paling pertama melakukannya adalah ulama-ulama dan kaum

terpelajar dari kalangan Syiah, dan itu harusnya bermula dari

Iran, sebagai sentral keilmuan penganut Syiah. Faktanya,

tidak satupun ulama Syiah yang melakukannya, yang ada

justru memfatwakan keharamannya. Dan kalau memang itu

sudah menjadi bagian dari tradisi Syiah, maka tentu jumlah

orang-orang Syiah yang melakukannya jauh lebih banyak dari

yang tidak. Faktanya, yang melakukannya tidak seberapa,

dan itu hanya ada diluar Iran, tidak di Iran.

Mengenang Ali Asghar

Pada hari Jum’at pagi, dari kesepuluh hari awal Muharram itu,

diperingati secara khusus kesyahidan Ali Asghar, putra Imam

Husain As yang masih berusia beberapa bulan namun turut

menjadi korban kebengisan tentara-tentara Yazid.

Dikisahkan, bayi Imam Husain AS tersebut dalam kondisi

kehausan, sebab sumber mata air berada dalam penguasaan

tentara Yazid dan tidak mengizinkan kafilah Imam Husain

untuk mengambil airnya barang setetes pun.

Kasihan dengan bayinya yang merengek kehausan, Imam

Husain AS pun memeluk dan menggedongnya. Beliau

menghadap pasukan Yazid untuk diizinkan mengambil air, setidaknya untuk menghilangkan dahaga bayinya tersebut,

sembari memperlihatkan kondisi Ali Asghar yang dicekik

kehausan. Bukannya iba, seorang tentara Yazid malah

melezatkan anak panah yang tepat mengenai leher bayi

Imam Husain AS tersebut, yang kemudian mati seketika

dipelukan ayahnya.

Kejadian tragis ini secara khusus diperingati pada hari Jum’at

pertama bulan Muharram. Ribuan ibu dengan bayi-bayinya

yang berkostum pakaian Arab paduan warna hijau dan putih

lengkap dengan surban dan ikat kepala yang bertuliskan Ali

Asghar, memadati masjid-masjid dan tanah-tanah lapang.

Ditempat itu mereka mendengarkan ceramah khusus

mengenai kisah kesyahidan Ali Asghar dan betapa pedihnya

hati Imam Husain AS melihat kematian bayinya yang tragis di

pelukan sendiri, justru oleh mereka yang mengaku sebagai

muslim dan pengikut Nabi Muhammad SAW.

Suasana haru dan emosional tidak terhindarkan ketika kisah

yang menyayat hati itu kembali disuguhkan. Ibu-ibu tersebut menangis sambil mendekap bayi mereka masing-masing

sembari membayangkan kesedihan dan kepiluan hati Imam

Husain melihat bayinya tergeletak tanpa nyawa.

Dalam acara ini tidak ada adegan orangtua mengiris bayinya

dengan pedang hingga berdarah, hanya sekedar untuk

merasakan kepedihan Imam Husain Foto yang beredar di media sosial yang menggambarkan

kepala seorang anak yang berdarah-darah karena dilukai

oleh orangtuanya sendiri, kejadiannya bukan di Iran. Itu

adalah kelakuan orang-orang yang ekstrim yang justru

mendapat kecaman dari ulama Syiah sendiri, yang tidak bisa

menjadi representatif semua Syiah pasti melakukan itu.

Pada hari kesembilan Muharram -yang dikenal juga dengan

sebutan Tasu’a Husaini- dan pada hari kesepuluh –dikenal

dengan sebutan hari Asyura- karena menjadi hari libur

nasional, jalan-jalan raya dipadati oleh ribuan warga dengan

pakaian serba hitam yang berjalan kaki.

Disepanjang jalan, terdapat posko-posko yang menyediakan

minuman panas dan makanan ringan secara gratis. Satu-dua

jam menjelang shalat dhuhur masjid-masjid dan juga kantorkantor resmi ulama-ulama Marja dipadati lautan manusia.

Ditempat-tempat itu mereka berkumpul untuk menumpahkan

rasa haru dan kesedihan yang sama.

Suara isak tangis yang tak tertahan terdengar dimana-mana

disaat khatib menyampaikan detik demi detik proses

terbantainya Imam Husain AS di Karbala.

Bagaimana saat dadanya yang telah penuh dengan sayatan

pedang ditindih dan kemudian kepalanya dengan tebasan

pedang dipisahkan dari tubuhnya. Tangisan mereka dengan

tragedi memilukan yang menimpa cucu Nabi Muhammad

SAW tersebut bukan untuk menyesal atas apa yg telah terjadi

melainkan upaya merawat dan menjaga ingatan dan

kenangan atas perjuangan dan pengorbanan keluarga Nabi

dalam menjaga eksistensi agama ini.

Bangsa kita juga punya tradisi yg sama dalam mengenang

pengorbanan para pahlawan bangsa?

Ada upacara bendera, ada hening cipta, ada ziarah kemakam

pahlawan, ada pembuatan film perang melawan penjajah,

ada pementasan drama, ada pembacaan puisi dan

seterusnya. Yang tentu tujuannya bukan untuk mengorek luka

sejarah, bukan pula untuk menyimpan dendam, melainkan

untuk menghidupkan semangat kepahlawanan, patriotisme

dan pengorbanan para pejuang terdahulu supaya generasi

sekarang juga punya smangat yang sama.

Bagi rakyat Iran, tangisan mengenang al Husain bukanlah

tangisan cengeng. Melainkan tangisan yang justru membakar

semangat perlawanan terhadap penindasan dan

kesewenang-wenangan sebagaimana yang diwariskan Imam

Husain AS melalui tragedi Karbala.

Rakyat Iran menyodorkan bukti, bahwa bermula dari tangisan

itulah, revolusi besar yang mengubah takdir Iran dengan

menjungkalkan rezim Shah Pahlevi telah mereka rancang

dan ledakkan. Imperium Persia yang berusia 2.500 tahun

beralih menjadi Republik Islam, dimulai dari tangisan

mengenang al Husain.

Daftar Isi:

Majelis Duka Asyura 1

Oleh 1

Ismail Amin Pasannai 1

KATA PENGANTAR PENULIS 2

Menjawab Kelompok Anti Peringatan Asyura 6

Kenalkah Kau dengan al Husain, Cucu Kesayangan Nabi? 14

Cucu Kesayangan Nabi yang Diabaikan Umat 21

Revolusi Kemerdekaan Indonesia dan Revolusi Asyura 27

Falsafah Menangis atas Imam Husain 33

Hakekat Tangisan 35

Mengapa Menangis atas Imam Husain? 39

Menangis atas Imam Husain, Sunnah atau Bid'ah? 42

Jangan Kau Larang Umat Islam Merawat Ingatan pada Tragedi Asyura! 46

Revolusi Al-Husain, Inspirasi yang Tak Pernah Habis 50

Pentingnya Mengenang Karbala 53

PERINGATAN ASYURA DI IRAN, ANTARA FAKTA DAN FITNAH 58

Mengenang Ali Asghar 62