• Mulai
  • Sebelumnya
  • 9 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: / Download:
Ukuran Ukuran Ukuran
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

Alquran dan Rahasia Angka-Angka

Indonesia
Alquran dan Rahasia Angka-Angka Alquran dan Rahasia Angka-Angka




Diterjemahkan dari buku aslinya

Min al-I'jaz al-Balaghiy WA al-'Adadiy li al-Qur’an al-Karim,

karya DR. Abu Zahra' An-Najdiy

terbitan Al-Wakalah AI-'Alamiyyah li At-Tawzi, 1990


Penerjemah: Agus Effendi

Penyunting: Tim Redaksi Pustaka Hidayah


Hak terjemahan dilindungi undang-undang

All rights reserved

1
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I : I'JAZ AL-QURAN

Macam-macam I’jaz AI-Quran

Para Penulis I'jaz Nudhum (Susunan Kata) Al-Quran

"Tantangan" Allah di Awal Turunnya Al-Quran

Apakah "Tantangan" Allah Dapat Menjadi Bukti Adanya I'jaz?

Bentuk Lain I'jaz Al-Quran

BAB II : AL-QURAN DAN RAHASIA ANGKA-ANGKA (I'JAZ 'ADADI)

Pandangan Kaum Salaf tentang Huruf-huruf Muqaththa’ah

Pandangan Ulama Mutakhir tentang I'jaz Al-Quran

Karunia Allah Yang Dianugerahkan Kepada Saya

Tujuh Langit

Bilangan Sujud

Shalat Lima Waktu

Shalat Fardhu dan Sunat

Perintah Mendirikan Shalat

Raka'at Shalat Fardhu

Bilangan Rakaat Shalat di Perjalanan

Wudhu dan Bilangan Basuhan

Wudhu dan Bilangan Usapan (Masahat)

Jumlah Khalifah Setelah Rasulullah saw.

Ayat Keduabelas

Duabelas Khalifah Rasul saw.

Duabelas Washi

Orang-Orang yang Bersaksi (AI-Asyhad)

Ungkapan "Orang-orang yang Beruntung" (hum al­muflihun)

Para Penghuni Surga

Orang-Orang Pilihan (Al-Musthafun) Setelah Rasulul­lah saw.

Para Imam Ma'shum

Duabelas Khalifah dan Keluarga Muhammad saw.

Bilangan Kata “Malik"

"Amil (Pelaksana Pemerintahan)

Duabelas Orang yang Diangkat (dl-Mujtabun )

Bilangan Kata "AI-Abrar"

Bilangan Kata "Syi'ah"

Bintang-bintang Keluarga Muhammad Ada Duabelas

Tujuh Puluh Dua Firqah yang Sesat

Duabelas Orang Rahib

Tujuh Puluh Orang Penguasa Sesat (Salathin Al­Jur)

Ulul 'Azmi Berjumlah Lima Orang Rasul

Thawaf dan Sa'i

Bilangan Kata "Kiblat"

Mi'raj dan Jumlah Langit

Laki-laki dan Wanita (Rajul dan Imra'ah)

Rasul dan Shalat

Daratan dan Lautan

2
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

KATA PENGANTAR.

AL-QURAN: MUKJIZAT ABADI
Oleh: Jalaluddin Rakhmat

Seorang kafir Makkah berkunjung ke Nejed. Ia meninggalkan Nabi Muhammad saw., orang yang sangat dibencinya, menemui Musailamah Al-Kadzdzab, yang juga mengaku sebagai nabi. Musailamah berkata kepadanya: "Apa gerangan yang turun kepada kawanmu akhir-akhir ini?" Amr bin Ash, tamu dari Makkah itu, menjawab: "Telah turun satu surat yang singkat, padat dan indah." "Bagaimana surat itu?", tanya Musailamah. Amr bin Ash kemudian membacakan surat ini:

Demi waktu. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling mewasiatkan kebenaran dan saling mewasiatkan kesabaran.

Sejenak Musailamah tepekur, lalu berkata, "Surat semacam itu turun juga kepadaku." Giliran Amr bertanya, "Bagaimana bunyi surat itu?" Musailamah berkata:

Wahai kelinci, wahai kelinci. Kamu itu cuma dua telinga dan dada. Di sekitarmu lubang galian.

"Bagaimana pendapatmu, hai Amr?" Amr segera menjawab, "Demi Allah, Anda tahu bahwa aku tahu Anda berdusta." (Tafsir Ibn Katsir 4:547).

Amr bin Ash, yang waktu itu belum masuk Islam dan tidak menyukai Nabi Muhammad saw. mengaku dengan jujur bahwa Al-Quran mengandung kata-kata yang singkat dengan kandungan makna yang dalam. Kata-kata itu dirangkai dalam susunan kalimat yang indah. Amr menyebumya suratun wajizatun balaghatun.

Surat "Waktu" yang pendek itu mengajarkan kepada manusia untuk memperhatikan waktu atau tanda-tanda zaman. "Waw qasam" (huruf sumpah) dipergunakan untuk mencengkeram perhatian pendengar. Alangkah dahsyatnya waktu. Peredaran waktu akan meletakkan manusia dalam kerugian. Waktu akan mengauskan manusia. Kecuali mereka yang mengisi waktu itu dengan kehidupan yang bermakna; yakni kehidupan yang berisi iman, amal saleh, dan kerja sama dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran. Kata Imam Syafi`i: "Seandainya manusia merenungkan surat ini, cukuplah satu surat ini saja sebagai pedoman manusia." Bandingkan surat "Waktu" ini dengan surat "Kelinci"-nya Musaila­mah. Pedoman hidup apakah yang dapat kita petik dari kisah ke­linci itu. Karena itu, Amr bin Ash segera yakin bahwa Musailamah berdusta.

Namun Musailamah tidak jera. Untuk menandingi surat Al­ Kautsar, ia membuat surat AI-Jamahir:

Sesungguhnya aku telah memberikan padamu orang banyak. Salatlah kepada Tuhan-Mu dan nyatakan secara terbuka.

Musailamah hanya bisa menulis dua ayat saja. Sekarang banding­kan, kekayaan makna pada "Al-Kautsar" (nikmat yang banyak) dengan "AI-Jamahir". Lihat, betapa indahnya hubungan perintah salat dengan perintah berkorban; dan betapa centang-perenang­nya hubungan antara "salat"-nya Musailamah dengan pernyataan terbuka. Perhatikan juga bagaimana Allah menutup surat pendek itu dengan janji yang menggetarkan, "Sesungguhnya musuhmu itulah yang akan binasa."

Saya akan menyerahkan kepada kearifan pembaca untuk membandingkan pembukaan Surat AI-Nazi'at dengan karya Musai­lamah ini:

Demi perempuan-perempuan yang menggiling gilingan. Demi perempuan-perempuan yang mengadon adonan. Demi perem­puan-perempuan yang memasak roti.

Dan inilah pembukaan Surat AI-Nazi'at:

Demi para malaikat yang merenggut nyawa dengan keras. Dan yang menarik nyawa dengan perlahan. Dan yang mela­yang dengan cepat. Dan yang menyusul dengan kencang. Dan yang mengatur segala urusan.

Apa yang dilakukan Musailamah adalah upaya untuk menjawab tantangan AI-Quran. Kepada bangsa Arab, yang waktu itu terkenal piawai dalam menggunakan bahasa, yang melahirkan banyak penyair, Al-Quran menantang mereka berkali-kali. Mula-mula AI-Quran menyuruh mereka membuat kitab yang seperti AI-Quran.

Katakanlah: "Sesungguhnya kalau manusia dan jin itu berkumpul untuk mengadakan yang serupa Quran ini, niscaya mereka tiada akan dapat membuat yang serupa Quran, biarpun sebagiannya menjadi pembantu bagi sebagian yang lain." (Al-Isra' 88).

Ataukah mereka mengatakan: "Dia saja yang membuat-buat Al-Quran itu." Tidak, melainkan mereka yang tidak percaya. Hendaklah mereka mengemukakan perkataan yang serupa dengan itu, bila mereka benar. (Ath-Thur 33-34).

Kemudian, Al-Quran menantang mereka untuk membuat 10 surat seperti surat-surat dalam AI-Quran.

Atau mereka mengatakan: "Dialah yang mengada-adakan Al-Quran. " Katakanlah: “Kemukakanlah sepuluh surat yang diada-adakan itu yang menyamai Al-Quran dan panggillah siapa pun yang sanggup selain Allah, kalau kamu benar. " (Hud 13 ).

Konon, tiga penyair besar - Abul 'Ala AI-Ma'ri, Al-Mutanab­bi, Ibn al-Muqaffa' - berusaha memenuhi tantangan ini. Tidak sanggup mereka menggubah satu ayat pun, sehingga mereka mematah-matahkan pena dan merobek-robek kertas mereka. Akhirnya Al-Quran menantang mereka untuk membuat satu surat saja yang seperti Al-Quran:

Dan jika kamu masih ragu-ragu tentang ke­benaran Al-Quran yang Kami turunkan pada hamba Kami (Mu­hammad), cobalah kamu kemukakan sebuah surat seumpama Al­Quran itu dan panggillah pembantu-pembantumu selain Allah, bila kamu benar. Dan kalau kamu tidak bisa membuatnya, dan kamu tidak akan bisa membuatnya, maka jagalah dlrimu dari neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu-batu. Disediakan untuk orang yang tidak beriman." (Al-Baqarah 23-24).

Untuk menjawab tantangan yang terakhir inilah, Musailamah membuat Surat Kelinci, Surat Jamahir, dan Surat Tukang Adonan. AI-Quran menantang orang Arab supaya membuat "satu surat seumpama Al-Quran" dalam hal diksi (pilihan kata), susunan kalimat (balaghah), dan kandungan maknanya (bayan). Anda melihat Musailamah tidak mampu. Al-Mutanabbi tidak mampu. Penyair-penyair besar sepanjang sejarah juga tidak mampu. Dalam bahasa Arab, tidak mampu itu ‘ajiza. Membuat tidak mampu adalah a'jaza. Sesuatu yang membuat orang tidak mampu disebut mujizat. Proses "men-tidak-mampukan" disebut I’jaz.

Dalam 'Ulum Al-Quran, ada pembahasan mengenai I’jaz al-Quran. Di dalamnya, para ulama Al-Quran membahas keistimewaan-keistimewaan Al-Quran, yang membuat siapa pun tidak akan sanggup menyamainya. Dr. Abu Zahra' AI-Najdiy, pengarang buku yang Anda pegang, menyebutkan beberapa buku yang khusus membahas I’jaz al-Quran. Tidaklah pada tempatnya di sini kita membahas isi buku-buku itu. Cukuplah di sini saya kutipkan penggalan-penggalan pendek dari Sayyid Thabathaba'i dalam Taf­sir Al-Mizan 1:63-73.

I'jaz Al-Quran yang pertama adalah keluasan pengetahuan yang dikandungnya. Sebagaimana Anda ketahui, AI-Quran meliputi berbagai disiplin ilmu, aturan moral, hukum, aqidah dan lain­lain. Tetapi lebih dari itu, dan ini yang membedakan Al-Quran dari kitab-kitab yang lain, pengetahuan Al-Quran tidak pemah "keting­galan zaman". Al-Quran selalu modern. Kata Thabathaba'i, "Al­Quran menegaskan bahwa semua pengetahuan yang dikandung­nya akan tetap berlaku sampai hari akhir; akan terus membimbing umat manusia dan akan selalu relevan dengan kebutuhan manusia dan lingkungannya.... Inilah kitab yang tidak dikenai pembatalan, yang tidak memerlukan perubahan dan penyempur­naan." (AI-Mizan 1:62).

I'jaz AI-Quran yang kedua adalah kepribadian Nabi Muhammad saw. yang menyampaikan AI-Quran ini. "Nabi yang ummi telah membawa Al-Quran yang mu’jiz dalam hal lafal dan maknanya. la tidak pernah belajar dari guru mana pun. Ia tidak pernah ber­guru kepada siapa pun. Ini dinyatakan Allah SWT,

Katakan: “ Jika Allah menghendaki, aku tidak akan membacakannya, kepadamu dan la pun tidak akan mengajarkannya kepadamu. Bukankah aku telah hidup sepanjang usiaku di tengah-tengah kamu. Tidakkah kamu merenungkannya." (Yunus 16).

Nabi saw. telah hidup di tengah-tengah mereka seperti mereka. Selama itu, ia tidak dikenal dalam hal kepandaian dan pengetahuannya. la tidak pernah me­nyampaikan kuliah. Ia tidak menggubah puisi atau prosa. Sebelum ia berusia 40 tahun, dua per tiga dari sejarah hidupnya, ia tidak memiliki keistimewaan dalam sastra dan pengetahuan. Tiba-tiba ia datang membawa apa yang ia bawa. Di hadapan (wahyu Allah) yang disampaikannya, raksasa-raksasa sastra menjadi kecil, lidah­lidah orang-orang fasih menjadi kelu. Ia menyebarkan wahyu itu ke seluruh dunia, tetapi tidak seorang pun yang mampu menda­tangkan yang seumpama itu sepanjang sejarah" (Al-Mizan 1:63).

I'jaz Al-Quran ketiga adalah.kandungan berita gaib di dalam­nya. Thabathaba'i menyebutkan paling tidak empat berita gaib yang dikemukakan AI-Quran: berita tentang nabi-nabi dan umat­umat terdahulu; nubuwat (ramalan) tentang peristiwa-peristiwa yang akan datang; kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan tahun setelah Al-Quran itu turun; dan kejadian-kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Rasulullah saw.

I'jaz Al-Quran keempat ialah bersihnya AI-Quran dari perten­tangan di dalamnya. AI-Quran sangat konsisten. Tidak ada diskre­pansi. "Lihatlah Al-Quran. Muhammad saw, menyampaikannya sepenggal demi sepenggal, surat demi surat, atau beberapa ayat dalam satu waktu. Ini berlangsung selama 23 tahun, di berbagai tempat, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Di Makkah dan di Madinah. Siang dan malam. Dalam perjalanan atau ketika ting­gal di rumah. Di tengah pertempuran atau dalam suasana damai. Selama hari-hari yang sulit dan hari-hari yang menyenangkan. Ketika orang-orang Islam menang dan ketika mereka kalah. Dalam keadaan aman atau bahaya. Al-Quran mengandung segala persoalan, menyingkapkan pengetahuan ruhaniah, mengajarkan akhlak yang mulia, menetapkan hukum dalam segala aspek kehidupan. Dengan mengingat segala faktor ini, tidak satu pun terjadi diskrepansi di dalamnya dalam hal susunan dan maknanya. Dalam AI­Quran banyak ayat yang berulang dan menyerupai satu sama lain. Tidak sedikit pun terdapat pertentangan dalam realitas yang di­ungkapkannya, tidak juga dalam hukum yang ditetapkannya. Setiap ayat menafsirkan ayat yang lain. Sebagian menerangkan bagian yang lain. Setiap kalimat membenarkan kalimat yang lain. Seperti kata Ali bin Abi Thalib k.w., "Sebagian AI-Quran berbicara tentang bagian yang lain. Sebagian menjadi saksi bagi bagian yang lain." (Al-Mizan 1:66).

Terakhir, AI-Quran mengatasi kitab mana pun dalam keindahan maknanya (balaghah). "Bahkan setelah empat belas abad, tidak seorang pun yang mampu membuat yang seumpama Al-Quran.

Mereka yang pernah mencobanya telah dipermalukan dan dicemoohkan. Sejarah telah mencatat beberapa upaya perlawanan ini. Lihatlah Musailamah mencoba menandingi surat Al-Fil:

Gajah. Apakah gajah. Tahukah kamu apakah gajah itu. Yang punya ekor buruk dan taring panjang.

Dalam "ayat" yang lain, yang ia bacakan di hadapan Al-Sajah (pe­rempuan yang juga mengaku sebagai nabi):

Kami memasukkan kepada kamu (perempuan perempuan) se­keras-kerasnya. Dan kami mengeluarkannya sekeras-kerasnya.

Perhatikan kata-kata kotor yang dipergunakannya. Pernah belakangan ini orang Kristen membuat surat untuk menandingi surat Al-Fatihah (Al-Mizan 1:68):

Saya tidak menerjemahkan surat Al-Fatihah tandingan itu. Para pembaca yang mengerti ilmu Balaghah dan ilmu Bayan akan segera menemukan kelemahannya. Walaupun penulis Kristen ini ber­usaha untuk menangkap makna dalam Al-Fatihah, ia kehilangan banyak makna di dalamnya. Pada "ayat" yang pertama -- Al-Hamdu lirrahman -- tidak kita temukan uluhiyah dan rububiyah Allah (yang dinyatakan dalam Allah Rabb) dan kerendahan diri manusia menghadapi Allah (yang dinyatakan dalam Alhamdu lillahi Rabbil alamin).

Walhasil, kata-kata AI-Quran telah dipilih begitu rupa sehing­ga tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain, walaupun semakna. Kata-kata itu sudah tepat diletakkan pada kalimat tertentu, pada surat tertentu, karenanya penggunaan kata-kata lain akan menghancurkan makna dan keindahan Al-Quran. Cobalah Anda baca Surat Al-Fatihah tandingan itu. Bandingkan dengan Surat Al­Fatihah yang asli. Anda akan merasakan perbedaan bunyi yang jauh berbeda. Lagi pula, seperti diungkapkan oleh para peneliti AI-Quran belakangan ini, dalam keseluruhan Al-Quran, frekuensi kata-kata itu ternyata menunjukkan hubungan dengan makna kata-kata itu. Inilah yang kemudian disebut sebagai I’jaz ‘adadi (i'jaz dari segi bilangan).

I'jaz Adadi: Adakah hubungannya dengan makna?
Pengarang buku ini menguraikan sejarah perhitungan ber­kenaan dengan Al-Quran sejak masa salaf. Tetapi ia mengakui sangat dipengaruhi oleh hasil penemuan Ir. Abdur Razaq Nawfal dari Mesir. Pada tahun 1975 ia menulis Al-I’jaz al-'Adadi li al­Quran al-Karim. Ia menemukan bahwa ada pasangan kata-kata yang frekuensi penyebutannya sama dalam AI-Quran. Di bawah ini saya kutipkan sebagian:


al-dunya # al-akhirah : 115

al-shabr # al-syiddah : 102

al-mahabbah # al-tha'ah : 83

al-huda # al-rahmah :79

lal-salam # al-thayyibah : 50

al-‘aql # al-nur : 49

al-sulthan # al-nifaq : 37

al-raghbah # al-rahbah : 8

Muhammad # al-siraj: 4

al-malakut # ruh al-qudus : 4

Dengan memperhatikan daftar itu, segera Anda menemukan bahwa jumlah yang sama tampaknya menyampaikan hubungan mak­na. Bukankah kita dapat menafsirkan bahwa kehidupan dunia ini harus selalu kita hubungkan dengan kehidupan akhirat, bahwa diperlukan kesabaran dalam menghadapi kesulitan, bahwa kecintaan kepada Allah itu ditunjukkan dengan ketaatan kepada-Nya, bahwa Allah memberikan petunjuk sebagai ungkapan kasih-Nya, bahwa ada hubungan antara kedamaian dengan kebaikan, bahwa Allah menjadikan akal kita sebagai cahaya, bahwa para penguasa itu bersifat munafiq dan seterusnya.

Terilhami oleh Abdur Razak Nawfal, Abu Zahra' Al-Najdiy mulai melakukan penghitungan kata-kata dalam Al-Quran, dengarkan kisahnya yang mengharukan:

Dalam AI-Quran juga terdapat banyak huruf tawaim dan tanasuq seperti yang dijelaskan oleh Abdul Razaq Naufat dalam bukunya Al-I’jaz AI-‘Adadi. Saya mempelajari buku beliau, juga buku Doktor Rasyad Khalifah. Saya mulai berpikir bahwa selama persoalan tersebut dalam bentuk seperti itu, mengapa tidak mungkin ada bentuk lain yang sama-sama memiliki karakteristik demikian? Maka saya mulai meneliti mutawaim, hubungan di antara huruf-huruf tersebut, atau hubungan antara kata-kata tersebut dengan jumlah. Kemudian saya mencarinya dalam Al-Quran. Setelah saya berusaha keras dengan sering berjaga pada malam hari, maka Allah mem­bukakan rahmat-Nya kepada saya. Rasa senang dan bahagia benar-benar memenuhi jiwa saya setiap kali menemukan hubungan antara jumlah dan kalimat yang disebutkannya dalam jumlah tersebut. Setiap kali saya menemukan sesuatu yang baru sungguh bergetarlah badan saya; hati saya begitu terpana atas mukjizat yang agung ini. Tentunya saya terus ber­harap agar saudara-saudara yang meneliti persoalan ini terus melanjutkan kiprahnya. Semoga Allah mencurahkan cahaya­cahaya baru kepada manusia dalam hal i’jaz Al-Quran Al­Karim. Sungguh Allah Maha Pemberi karunia dan Mahamulia.

Sekarang terserah kepada Anda untuk menafsirkan penemu­annya. Sudah saya tunjukkan kepada Anda bahwa jumlah penye­butan satu kata dalam AI-Quran memberikan petunjuk (isyarat) kepada makna tertentu. Dr. Abu Zahra' Al-Najdiy menambah bukti-buktinya dan Anda diminta untuk melanjutkan penelitian dia. Banyak penemuannya yang menakjubkan. Anda pun boleh jadi memperoleh penemuan-penemuan baru dalam penelitian Anda. Namun perlu Anda catat: yang Anda lakukan adalah upaya untuk membuktikan AI-Quran sebagai mukjizat abadi dan bukan penafsiran Al-Quran (walaupun ada hubungan antara makna de­ngan bilangan).

Saya berjumpa dengan pengarang buku ini dalam sebuah kon­ferensi Islam internasional. Dr. Abu Zahra' menegur saya ketika kami minum kopi di lobbi hotel. Dari perkenalan itu saya tahu ia adalah dosen filsafat di sebuah universitas di Syria. Tetapi waktunya kini lebih banyak dipergunakan untuk meneliti Al-Quran. Apa yang Anda baca sekarang adalah jilid pertama dari buku yang tengah ditulisnya. Ia berjanji untuk mengirimkan buku keduanya, segera setelah saya menyerahkan terjemahan ini kepadanya. Bacalah buku ini. Bersama saya, marilah kita tunggu "kejutan-kejutan" lainnya. Insya Allah, Al-Quran akan tetap kokoh sebagai mukjizat yang dahsyat. Sampai akhir zaman.

3
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

BAB 1

I'JAZ AL-QURAN
Menurut bahasa kata "mu’jizah" berasal dari kata "'ajz" (lemah), kebalikan dari kata "qudrah" (kuasa). Pada dasarnya Mu’jiz itu adalah Allah SWT., yang menyebabkan selain-Nya lemah. Pemberi kekuasaan kepada selain-Nya juga adalah Zat Allah SWT., karena Ia sebagai Penguasa mereka. Sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita, mengenai betapa lemahnya orang-orang yang didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut, maka huruf "ta" marbuthah ditambahkan kepada kata "mu’'jiz" sehingga menjadi "mu’jizah ". Bentuk mubalaghah ini juga terjadi, misalnya pada kata, "'allamah", "nassabah", dan "rawiyah".

Menurut para Mutakallimln (teolog), mukjizat ialah muncul­nya sesuatu hal yang berbeda dengan adat kebiasaan yang terjadi di dunia (dar al-taklif) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para Nabi.

Al-Thusi mendefinisikan mukjizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi, atau terjadinya sesuatu yang menggugur­kan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kehiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan,

AI-Quran ialah mukjizat abadi Nabi Muhammad saw., yang dengannya seluruh manusia dan jin ditantang untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran tersebut, sebuah atau sepuluh surat yang sama dengan surat yang ada di dalamnya. Para ahli balaghah dan para ahli bahasa Arab di antara mereka ternyata tidak mampu membuat sebuah surat pun yang serupa dengan surat yang ada di dalam Al-Quran sehingga akhirnya mereka menggunakan kekuatan dengan berupaya memerangi Rasulullah, menawarkan jabatan dan harta kepada beliau, bukan membuat sehuah surat yang serupa dengan AI-Quran. Allah SWT. di dalam Kitab-Nya menjelaskan bahwa AI-Quran merupakan mukjizat:

Dan orang-orang kafir Makkah mengatakan: “Mengapa kepadanya tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhan­nya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat ter­sebut terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata."Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) dan ia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam Al-Quran itu terdapat rahmat yang besar dan peringatan bagi orang-orang yang ber­iman. (Al-Ankabut: 50-51)

Dengan penjelasan ini, Allah SWT. menegaskan bahwa Al-Quran merupakan ayat yang terang dan mukjizat yang cukup bagi manusia.

Jumhur kaum Muslimin berpendapat bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu ’jiz bi dzatih). Maksudnya, bahwa Al­Quran dengan seluruh yang ada di dalamnya, termasuk struktur kalimat; balaghah, bayan (penjelasan), perundang-undangan (tasyri'), berita-berita gaib dan seluruh persoalan lain yang merupa­kan mukjizat, telah menyebabkan seluruh manusia tidak mampu membuat yang serupa dengannya.

Abu Ishaq Ibrahim Al-Nidzam, seorang Mu'tazilah, dan Al­-Syarif Al-Murtadha, seorang Syi'ah Ja'fari berpendapat bahwa Al-Quran itu mu’jiz bi al-sharfah. Yang dimaksud dengan sharfah adalah bahwa Allah SWT. memalingkan hamba-hamba-Nya dengan menarik kehendak mereka, dan dengan mengelukan lidah-lidah mereka untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran.

Sebenarnya, Al-Quran merupakan mukjizat (mu’jiz bi dzatih), adalah disebabkan ketinggian balaghah, struktur bahasa, bayan, dan perundang-undangan (tasyri')-nya yang adil dan relevan bagi manusia, potensi-potensinya, tujuan penciptaannya yang harmonis dengan hukum alam yang umum, dan juga berita-berita gaibnya yang manusia tidak akan mampu memberitakan hal demikian. Al-Baqilani mengatakan: "Seandainya Al-Quran bukan merupakan mukjizat berdasarkan yang telah kami sifatkan dari segi struktur bahasanya yang mumtani' (tidak mungkin tertandingi), maka kendatipun Al-Quran disusun dengan struktur bahasa yang sangat tinggi dan dengan kefasihan yang sangat tinggi pula, tentu kemukjizatannya akan lebih hebat lagi seandainya mereka dipalingkan untuk membuat yang serupa dengannya, seandainya mereka dicegah untuk menentangnya, serta seandainya anggapan-anggapan mereka dibelokkan dari padanya. Tentu pula hal itu menunjukkan tidak perlunya AI-Quran diturunkan dengan struktur bahasa yang indah, fasih dan menakjubkan. Sebab, seandainya mereka dipalingkan dari anggapan-anggapannya, niscaya orang-orang jahiliah sebelum mereka tidak perlu dipalingkan dari kefasihan, balaghah, keindahan struktur bahasa dan ke­ajaiban susunannya, karena mereka tidak ditantang oleh Al-Quran untuk melakukan yang serupa, di samping hujjah-nya pun tidak selayaknya diungkapkan mereka. Oleh karena itu, tidak pernah dijumpai pembicaraan seperti itu sebelumnya. Hal itu merupakan bukti bahwa apa yang diklaim oleh seseorang yang meyakini adanya sharfah, merupakan suatu kebatilan yang nyata, yang akan mem­batalkan pendapat mereka mengenai adanya sharfah tersebut. Seandainya penentangan itu mungkin, maka kalam bukan merupakan mukjizat. Mukjizatnya justru pada pelarangan, sehingga kalam itu sendiri tidak lebih istimewa dari yang lain. Maka tidak mengherankan apabila dikatakan: ‘Sesungguhnya semua orang akan mampu membuat yang serupa dengan Al-Quran, hanya saja mereka terlambat karena mereka tidak mengetahui bentuk susunan (seperti AI-Quran - penj.), seandainya mereka telah mengetahuinya, pasti mereka akan mampu melakukannya'."

Al-Khithabi menolak pendapat bahwa Al-Quran merupakan mukjizat bi al-sharfah. Beliau mengatakan: "Al-sharfah, merupakan hal yang tidak begitu berbeda dengan i’jaz. Hanya saja, petunjuk ayat membuktikan sebaliknya, yaitu firman Allah SWT.:

Katakanlah: "Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekali­pun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. " (Al-Isra: 88)

Dalam hal demikian, ia menunjuk kepada persoalan yang caranya bersifat takalluf (dibuat-buat) dan diupayakan, dengan cara yang matang dan dilakukan bersama-sama. Dan yang dimaksud dengan al-sharfah seperti yang telah mereka sifatkan tidaklah sejalan dengan sifat ini sehingga hal ini menunjukkan bahwa yang di­maksud adalah sifat yang lain. Wallahu a'lam."

Muhammad bin Amru Al-Razi, dalam tafsimya Al-Kabir, menegaskan bahwa kedua pendapat tersebut - pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat, dan pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran mu’jiz bi alsharfah - satu sama lain menjadi pendahulu di dalam memberikan bukti.

Beliau mengatakan: "Al-Quran, baik ia sendiri merupakan mukjizat atau bukan, adalah mukjizat. Apabila ia merupakan mukjizat maka ia sudah sampai kepada yang dimaksud. Apabila ia bukan merupakan mukjizat, bahkan banyak orang yang mampu untuk menentangnya, dan untuk melakukan hal demikian tidak dipalingkan dan dilarang, maka atas dasar ini tindakan menandingi­nya merupakan sesuatu keharusan dan kelaziman. Dengan ke­tidakmampuan menandingi tersebut, dengan disertai kemungkin­an-kemungkinan, jelas merupakan pembatal terhadap kebiasaan sehingga ia merupakan mukjizat."

Sedangkan penulis .Al-Mizan bi Tafsir Al-Quran berpendapat bahwa Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu’jiz bi dzatih). Beliau mengatakan: "Firman Allah SWT.: 'Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al­Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka akan mendapat­kan pertentangan yang banyak di dalamnya,' jelas merupakan bukti bahwa AI-Quran tidak mungkin dapat ditandingi oleh manu­sia dengan mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya. Wujud Al-Quran itu sendiri yang pada lafaz dan maknanya tidak terjadi pertentangan, itu saja, tidak mungkin dapat ditandingi oleh makhluk untuk membuat kalam yang tidak dikenai pertentangan di dalamnya. Bukan karena Allah memalingkan mereka sehingga mereka tidak bisa menandinginya dengan menunjukkan per­tentangan di dalamnya, dan pendapat mereka yang mengatakan bahwa kemukjizatan AI-Quran itu bi al-sharfah (pemalingan) merupakan pendapat yang tidak bisa dijadikan sandaran."

Al-Rummani Ali bin Isa, seorang Mu'tazilah, di dalam buku­nya Al-Nukat fi /’jaz Al-Quran, juga berpendapat mengenai adanya i’jaz balaghi, juga berpendapat bahwa kemukjizatannya bi al­ sharfah. Pendapat ini diikuti oleh Al-Nadhdham AI-Mu'tazili, Hisyam Al-Quthi, dan Ibad bin Sulaiman. AI-Qadhi Abdut Jabbar Al-Mu'tazili berpendapat bahwa i jaz itu pada kefasihan Al-Quran. Adapun al-sharfah (pemalingan) merupakan hujjah yang lazim bagi yang berpendapat demikian.

Yang dimaksud dengan al-sharfah oleh Mu'tazilah ialah baitwa Allah SWT. memalingkan kehendak mereka untuk me­nandingi AI-Quran.

Meieka berpendapat: "Sekiranya Allah SWT. mengangkat Nabi pada masa kenabian (nubuwwah), dan mukjizatnya terjadi ketika menggerakkan tangannya, melangkahkan kakinya, atau sewaktu duduk di antara kaumnya, kemudian dikatakan kepadanya: 'Apa bukti kebenaranmu?' Beliau menjawab: 'Bukti kebenar­anku ialah bisa menggerakkan tanganku atau menjulurkan kakiku, dan kalian tidak mungkin dapat melakukan seperti yang telah kulakukan.' Andaikan seluruh kaum badannya dalam keadaan sehat, sedikit pun anggota badan mereka tidak cacat. Selanjutnya beliau menggerakkan tangannya atau menjulurkan kakinya, kemudian mereka mulai mau melakukan seperti yang beliau laku­kan, akan tetapi mereka tidak bisa melakukannya. Semua itu merupakan bukti atas kebenarannya."

Sebenarnya argumentasi mereka yang berpendapat bahwa Al-Quran merupakan rnukjizat bi al-sharfah (pemalingan) seperti itu, pada dasarnya adalah mukjizat dengan halangan yang bersifat eksternal, bukan dari AI-Quran itu sendiri. Halangan eksternal ini bukanlah pendahulu bagi halangan sejati (al-imtina' al-dzati). Bagi mereka yang berpendapat demikian, suatu kalam yang paling tinggi dan yang sebaliknya - dalam balaghah - adalah sama, selama halangan tersebut bersifat eksternal. Selanjutnya, sekiranya yang memalingkan dari luar Al-Quran sendiri, maka orang Arab, seperti Musailamah dan yang lainnya, yang berusaha menandingi Al-Quran, akan gagal dan binasa.

Perlu dijelaskan bahwa antara mukjizat dan mumtani' ada perbedaan. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, mukjizat adalah terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi atau terjadinya sesuatu yang menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kebiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Adapun mumtani' ialah sesuatu yang pada hakikatnya ia sendiri bersifat mustahil terjadi, yaitu bahwa ketika akal menggambarkan suatu subtansi mumtani', pada dasarnya, subtansi tersebut mustahil terwujud. Contoh, menggambarkan wujud lingkaran yang diameternya lebih besar dari kelilingnya. Pada dasarnya, ketika akal menggambarkan subtansi tersebut, ia menghukumi bahwa hal itu tidak akan terwujud, seperti mustahil­nya bahwa bagian itu lebih besar dari keseluruhan, dan mustahil­nya dua hal yang kontradiksi bisa bersatu. Contoh-contoh subtansi di atas, pada dasarnya ia sendiri bersifat mumtani' (mustahil ter­wujud). Actapun mukjizat, tidak bersifat mumtani', seperti membekunya air laut sebagai benteng kepada Musa a.s., atau tidak membakarnya api kepada Ibrahim a.s. yang menurut kebiasaan api itu membakar. Semua ini termasuk hukum-hukum alam (al­sunan al-kauniyyah) yang telah diciptakan Allah SWT., hanya saja hukum-hukum alam tersebut tidak mungkin bisa diubah selain oleh Penciptanya, yaitu Allah SWT, karena seluruh manusia tidak akan mampu mengubahnya.

Sungguh kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah (hukum alam). (AI-Ahzab: 62)

Apabila seorang Nabi diminta untuk mendatangkan suatu bukti, maka dengan izin Allah SWT. dia akan mampu mengubah sunnatullah tersebut, karena pada dasarnya sunnatullah itu bisa berubah, hanya saja bagi manusia ia bersifat mumtani' (mustahil berubah). Dengan kata lain, mukjizat itu bersifat mumtani' bagi manusia, akan tetapi dengan izin Allah SWT. bersifat mungkin bagi Nabi. Sedangkan mumtani' sendiri pada hakikatnya bersifat mumtani', dan kekuasaan Allah tidak berkaitan dengan al-mun­tani'at (hal-hal yang bersifat mumtani'). Al-Quran sendiri merupa­kan mukjizat. Artinya, bahwa setiap makhluk mustahil akan mampu membuat vang serupa dengannya. Sedangkan hubungan­nya dengan Allah SWT tentu Ia akan mampu membuat yang serupa dengannya, karena Ia sendiri Mahakuasa atas segala sesuatu.



Macam-macam I'jaz AI-Quran
I’jaz AI-Quran terdiri dari beberapa macam. Sebagian di antaranya telah kami jelaskan. Dengan kehendak Allah, pada masa akan datang mudah-mudahan akan terus terungkap i'jaz-i'jaz yang lain, karena keajaiban-keajaiban Al-Quran itu tidak akan pernah habis. Di antara macam i’jaz Al-Quran yang telah kami jelaskan ialah i’jaz balaghi, i’jaz mengenai berita gaib, i’jaz tasyri'i (per­undang-undangan) dan i’jaz 'ilmi. I’jaz dengan berbagai macamnya, seperti i’jaz al-thibbi (kedokteran), i’jaz al-falaki (astronomi), i’jaz al-jughrafi (geografi), i’jaz al-thabi'i (fisika), i’jaz adadi (jumlah), i’jaz i'lami (informasi), dan i'jaz-i’jaz lainnya. Macam­macam i'jaz tersebut telah kami bahas pada buku Al-I’jaz Al­-Quraniy fi Wujuhih Al-Muktasyifah (Macam-macam I'jaz Al-Quran yang Terungkap). Adapun buku yang ada ditangan anda adalah hanya merupakan salah satu bagian dari buku tersebut. Atas dasar usulan sebagian pembaca, karena pentingnya persoalan ini, maka pembahasan mengenainya saya pisahkan dalam buku yang ada pada tangan pembaca ini dengan beberapa tambahan agar bisa lebih menambah manfaatnya.

Salah satu i’jaz Al-Quran adalah perhatiannya yang besar terhadap setiap hubungan yang terjadi di dalamnya. Tidak ada satu Kitab Sammawi pun, lebih-lebih Kitab Ardhi, yang memberikan perhatian begitu rupa seperti yang dilakukan oleh AI-Quran. Sejak Al-Quran mulai diturunkan, ayat-ayat dan surat-suratnya sudah dihafalkan oleh banyak kaum Muslimin. Begitu juga tafsir-tafsir­nya, penafsiran-penafsiran Rasulullah mengenainya, dan pendapat­pendapat para ulama tafsir sehingga dengan berlalunya waktu telah lahir thabaqat al-mufassirin (tingkatan-tingkatan para mufassir), dan pada setiap tingkatan tersebut telah banyak buku tafsir yang ditulis. Banyaknya para mufassir dan besarnya perhatian mereka tidak lain adalah karena besarnya peran Al-Quran. Al-Quran tidak hanya mereka tafsirkan, akan tetapi juga dari AI-Quran telah muncul berbagai ilmu yang mereka tulis. Di antaranya studi tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, asbab al-nuzul, pem­bagian ayat kepada makiah dan madaniah, ilmu tajwid, ilmu qiraat, i’jaz AI-Quran, i'rab Al-Quran, ilmu rasm AI-Quran dan buku-buku yang ditulis mengenai penghitungan ayat-ayat Al­Quran, pembagiannya kepada juz, hizb, anshaf al-ahzab dan rub' di samping karya-karya mengenai nasikh-mansukh, linguistik Al­Quran, balaghah, nudzhum (struktur bahasa Al-Quran), bayan (kejelasan) dan ma'ani (makna-makna) kata dan kosa katanya, bahasa kabilah, keutamaan surat-suratnya, pahala membaca Al­Quran, etika tilawah, sampai-sampai perhatian terhadap Al-Quran pun telah mendorong perhatian terhadap penghitungan jumlah kata-kata, lafaz-lafaz, huruf-huruf dan hubungannya antara kata, huruf, ayat dan surat di dalamnya.

Dengan kebetulan, di perpustakaan 'Arif Hikmat, di Madinah AI-Munawarah, saya mendapatkan sebuah makhtuthat (buku yang masih ditulis tangan) yang ditulis kira-kira pada abad ketiga hijriah, yaitu pada masa kekuasaan Abdul Malik bin Marwan. Di dalam makhthuthat tersebut terdapat kutipan dari banyak orang mengenai bagaimana cara mereka menghitung huruf-huruf AI­Quran dengan menggunakan biji gandum. Penghitungan-penghitungan tersebut telah mereka susun dalam sebuah risalah kecil yang kebetulan saya temukan. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai jumlah ayat, huruf dan jumlah masing-masing huruf dalam Al-Quran dan seterusnya. Di bawah ini adalah salah satu kutipan dari makhthuthat tersebut:

Diriwayatkan oleh sebagian mereka bahwasanya ia ditanya: "Bagaimana kalian menghitung huruf-huruf AI-Quran?" Dia menjawab: "Dengan gandum." Diriwayatkan juga bahwa mereka menghitungnya selama empat bulan. Menurut penduduk Madinah pertengahan Al-Quran itu pada surat AI-Kahfi, ketika Allah berfirman: maa lam tastati', alaihi shabra (apa yang telah membuat engkau tidak sabar itu) (Al-Kahfi: 78). Al-Hajjaj bertanya kepada mereka: "Beritahu aku huruf AI-Quran mana yang merupakan tengah-tengah Al-Quran?" Lantas mereka menghitung dan sepakat bahwa huruf tengah-tengahnya pada surat Al-Kahfi, yaitu pada firman Allah: wa alyatalaththaf. Huruf "ta" pada setengah pertama Al-Quran dan huruf "lam" pada setengah terakhir AI-Quran. Wallahu a'lam bi al-shawab .. . Inilah hitungan surat, kata dan huruf Al-Quran.

Sudahkah pembaca yang budiman memberikan perhatian sejauh itu? Coba renungkan, adakah sebuah Kitab yang mendapat­kan perhatian sedemikian atau minimal mendekatinya? Inilah Al­Quran, yang pada masa modern ini, telah bisa dihitung dengan bantuan alat hitung elektronik sehingga telah melahirkan banyak karya dalam hal i’jaz 'Adadi Al-Quran. Perhatian yang demikian besar terhadap kalamullah ini menjadi bukti i’jaz dalam menjaga Kitab yang mulia ini, yang Allah telah menjanjikan untuk menjaganya.

Sesungguhnya telah Kami turunkan AI-Quran dan sesungguhnya Kami akan menjaganya. (Al-Hijr: 9)

Allah berfirman:

Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagaan-bagian Al-Quran. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar, jika kamu mengetahui. Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang mulsa terpelihara, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan seru sekalian alam. (AI-Waqiah: 75-80)

Allah berfirman:

Bahkan yang didustakan mereka ini ialah Al-Quran yang mulia, yang tersimpan di Lauh Al-Mahfudzh. (AI-Buruj: 21-22)

Saya ingin tegaskan kepada pembaca bahwa AI-Quran dijaga bukan karena ia merupakan Kitab Allah. Karena apabila itu yang menjadi sebab, maka seluruh kitab samawi pun seharusnya dijaga pula dari tahrif (distorsi) dan tabdiI (pengubahan). Sebab keterjagaan Al-Quran adalah kembali kepada persoalan-persoalan berikut:

Pertama, Allah SWT berjanji dan menjamin akan menjaganya.

Kedua, karena risalah Islam merupakan risalah terakhir sehingga perundang-undangannya harus abaditidak boleh diubah, terdistorsi dan diganti. Karena sekiranya pengubahan, pendistorsian dan penggantian itu boleh dilakukan, maka manusia memerlukan sebuah kitab dan seorang rasul yang baru, padahal AI-Quran akan tetap sampai hari kiamat dan Muhammad saw. adalah penutup para nabi dan rasul.

Bukanlah Muhammad itu ayah seseorang di antara lelaki kalian, melainkan ia rasulullah dan penutup para nabi. (Al-Ahzab: 40)

Dengan demikian, maka Al-Quran wajib terjaga dari tahrif. Sekiranya kita asumsikan bahwa ayat yang menjanjikan akan menjaga Al-Quran, yaitu: "Sesungguhnya telah Kami turunkan AI-Quran dan sesungguhnya Kami akan menjaganya", tidak ada, maka akal sendiri akan menghukumi tentang wajibnya keterjagaan AI-Quran dari tahrif dan tabdil.

Ketiga, karena AI-Quran merupakan penutup kitab samawi, dan bahwa mukjizat para nabi terdahulu pun tetap dinukil, maka hal itu mengharuskan adanya mukjizat abadi yang membenarkan pengakuan penutup para nabi dan kebenaran para nabi dan risalah-­risalah samawi sebelumnya. Allah berfirman:

Dan kitab yang Kami wahyukan kepadamu ialah kitab yang benar, yang membenarkan apa yang (disebutkan di dalam kitab-kitab) sebelumnya; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Melihat hamba-hamba-Nya. (Fathir: 31)

Keempat, Allah SWT berjanji bahwa ayat-ayat-Nya tidak akan terputus, melainkan akan berlanjut. Allah berfirman:

Akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Kami di sekitar jagat raya dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (Fushshilat: 53)

Ayat ini sendiri, pada hakikatnya, merupakan mukjizat. Ia menegaskan keberlanjutan munculnya ayat-ayat bagi manusia dan ayat-ayat yang muncul di jagat raya (afaq), pada diri kita, dan pada tujuan masing-masing. Ini semua merupakan bukti atas kebenaran risalah Islam dan Al-Quran sebagai kebenaran yang datangnya dari Allah SWT.

Dengan demikian, kendatipun dengan keterpecahan umat Islam ke dalam berbagai firqah (kelompok) dan dihadapkannya kepada tipu daya musuh serta dengan tidak adanya alat-alat cetak dan perekam yang canggih sebagaimana yang bisa kita saksikan pada saat ini, Al-Quran tetap terjaga dari tahrif dan tabdil. Adalah merupakan kehendak Allah bahwa seluruh kebatilan yang akan merusak AI-Quran harus musnah. Al-Quran adalah Kitab yang tidak akan dikenai kebatilan baik dari Al-Quran itu sendiri maupun dari luar Al-Quran. Atas dasar itu semua, Al-Quran adalah sebuah Kitab yang tidak pemah mengalami tahrif dan kehilangan, sebagaimana yang terjadi pada kitab-kitab samawi yang lain. Allah berfirman:

Bahkan ia merupakan ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu ..... (AI-Ankabut: 49)

Oleh karena itu pula maka Allah SWT telah menjaga AI­Quran, di samping juga telah menjaga pendahulu-pendahulunya. Sehingga Ia menjaga Bahasa Arab dari kepunahan yang merupakan satu-satunya bahasa di dunia yang tidak mengalami perubahan, pergantian, kepunahan dan keterbelakangan sebagaimana yang dialami oleh bahasa-bahasa lain di dunia. Dengan asumsi bahwa bahasa adalah seperti wujud yang hidup dan berkembang secara bertahap dan berjalan seperti berkembangnya manusia, dimulai masa kanak-kanak, berkembang sampai masa remaja dan masa tua untuk selanjutnya lanjut usia dan mati. Berdasarkan teori ini, maka perjalanan akhir setiap bahasa di dunia adalah kematian. Ini merupakan persoalan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau kita membaca sejarah bahasa di dunia, kita tidak akan mendapatkan satu bahasa klasik pun pemah digunakan oleh manusia yang masih hidup sebagaimana asalnya. Namun demikian teori ini tidak ber­laku bagi bahasa Arab. Apa rahasianya? Bukankah bahasa Arab sama seperti bahasa yang lain? Pada dasarnya memang bahasa Arab tidak berbeda dengan bahasa-bahasa lain di dunia, hanya saja rahasia ketidakrelevanan teori diatasterhadap bahasa Arab adalah bukan terletak pada bahasa itu send'tri, melainkan pada mukjizat besar, yaitu Al-Quran Al-Karim yang diturunkan dengan bahasa tersebut, sehingga bahasa tersebut harus terjaga demi keteqagaan AI-Quran; karena Al-Quran menggunakan "bahasa Arab yang terang" (AI-Syu'ara: 195).

Dengan demikian tegaklah mukjizat besar ini dan terombak­lah adat kebiasaan punahnya, bahasa dengan tidak punahnya bahasa Arab, yaitu untuk menjaga Al-Quran. Sepanjang sejarah didunia tidak ada satu nash pun yang terjaga dari tahrif, pengurang­an dan penambahan seperti Al-Quran. Ini merupakan persoalan yang merombak adat kebiasaan, di samping sebagai mukjizat yang mendorong jiwa untuk membenarkannya.

Ringkasnya, apabila AI-Quran merupakan kebenaran mutlak, realitasnya menegaskan hal demikian dan ia sendiri merupakan mukjizat, maka AI-Quran merupakan ayat yang jelas dan petunjuk bahwa mukjizat ini dari sisi Allah SWT. Betapa kebenaran dan mukjizat itu semerbak baunya ketika Allah SWT berfirman:

Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. (Al-Insyirah: 4)

Ayat tersebut ditujukan kepada Rasulullah saw., seorang manusia di antara sekian banyak manusia di sepanjang sejarah yang di­istimewakan oleh wahyu. Ia diseru oleh Al-'Aliyy Al-A'la SWT bahwa Ia akan meninggikan sebutannya. Apakah anda pernah mendapati seorang manusia di antara para tiran, raja, ulama, ahli pikir, baik yang berbudi maupun yang jahat, yang namanya di­tinggikan seperti nama Rasulullah saw.? Apakah anda pernah men­dapati atau mendengar seseorang yang namanya dipanggil pada setiap hari dan di setiap penjuru alam, serta tidak disebut namanya kecuali diikuti dengan mendoakan kesejahteraan dan keselamatan­nya, selain Muhammad bin Abdillah saw.? Baik mereka itu Nabi atau Rasul, jin atau manusia, raja atau makhluk Allah SWT lain­nya. Allah berfirman;

Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. (AI-Kautsar: 1)

Allah juga berfirman:

Sesungguhnya orang-arang yang membencimu dialah yang terputus. (Al-Kautsar: 3)

Apakah anda pernah melihat satu keturunan yang lebih banyak dari keturunan Rasulullah saw.? Pernah saya diberitahu oleh sebagian orang bahwa turunan keluarga suci ('ithrah thahirah) itu sudah mencapai 15 juta orang yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Ini merupakan kebenaran mengenai banyaknya turunan Rasulullah saw. Pertanyaannya sekarang, di mana keturunan para pembenci Rasulullah saw.? Apakah engkau dapati seseorang dari mereka atau engkau dengar suara mereka? (Maryam: 98).

Kalimat-kalimat pada AI-Quran adalah kalimat-kalimat yang menakjubkan, yang berbeda sekali dengan kalimat-kalimat di luar Al-Quran. Ia mampu mengeluarkan suatu yang abstrak kepada fenomena yang dapat dirasakan sehingga di dalamnya dapat dirasakan ruh dinamika. Adapun huruf tidak lain hanyalah simbol makna-makna, sementara lafaz memiliki petunjuk-petunjuk etimologis yang berkaitan dengan makna-makna tersebut. Menuangkan makna-makna yang abstrak tersebut kepada batin seseorang dan kepada hal-hal yang bisa dirasakan (al-mahsusat) yang ber­gerak di dalam imajinasi dan perasaan, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ia diumpamakan jarum suntik yang ditusukkan ke dalam tubuh untuk mengobati penyakit-penyakitnya, untuk meng­angkat spiritualitas-spiritualitasnya, mendekatkannya kepada Allah SWT, untuk merajut sebuah kisah dari lataz-lafaznya yang kaku sehingga temuan-temuan dan pasal-pasalnya berjalan di atas pang­gung yang menambah dinamika kehidupan yang dapat dirasakan. Termasuk kesulitan seseorang ialah menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa, untuk setiap makna dan imajinasi yang di­gambarkannya. Sementara Al-Quran tidak berbicara dengan sebuah kata kecuali sejalan dengan makna yang dikehendaki dan pada tingkat kedalaman paling tinggi. Ketika anda merenungkan sebuah ayat yang akan menjelaskan kepada anda cara penciptaan alam, misalnya dengan dasar sistem yang teratur dan pengaturan yang tidak bertentangan satu sama lain dan tidak rusak, maka anda akan mendapati ayat tersebut menjelaskan makna tersebut dengan fenomena gerakan yang dapat dirasakan, yang berputar di depan kedua mata anda sendiri; seakan-akan anda sedang berada di hadapan laboratorium dengan bergerak sangat cepat pada sistem yang berkelanjutan:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah mencipta­kan langit dan bumi selama enam masa, lalu Ia bersemayam di atas 'Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan pula oleh-Nya) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah itu hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Tuhan seru sekalian alam. (Al-A'raf: 54)

Perhatikanlah firman Allah ' Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat" dan anda bayangkan gerakan apa yang terbayang pada pikiran anda? Sungguh anda akan mendapati gambaran gerak yang bergerak dengan cara lain seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT:

Tidak mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 40)

Dari ayat ini, anda akan mengetahui, sebagaimana anda lihat, bahwa anda berada di depan gerakan yang tidak terlalu cepat, juga tidak lambat, yang disadari oleh perasaan dan imajinasi.

Berikut ini saya ringkaskan pendapat Doktor Muhammad Sa'id Al-Buthi yang bisa dijadikan referensi untuk penulisan i’jaz lughawi, dan sebelumnya saya mohon maaf melakukan sedikit perubahan dan pengurangan:

Pada dasarnya, menjangkau kedalaman balaghah pembicaraan pada kesesuaian lafaz dengan makna dan pada sejauh kemampuan penundukan yang pertama untuk menjelaskan yang kedua dan untuk menerangkannya pada tempat yang dikehendaki serta untuk mewujudkan persoalan itu pada posisinya yang sempurna, merupa­kan persoalan yang sulit bahkan mustahil dapat dicapai oleh kekuatan manusia, dan hal demikian dikarenakan dua sebab:

Pertama, sesungguhnya makna dan gambaran itu selamanya lebih dahulu sampai kepada pikiran dibanding lafaz-lafaz dan batin-batin ungkapan. Kendatipun lafaz-lafaz tersebut dihiasi, akan tetapi pada umumnya lafaz-lafaz tersebut tidak mampu mewujudkan hakikat perasaan-perasaan jiwa yang bergejolak di dalamnya. Bahasa, kendatipun ada macamnya, tetap tidak akan bisa menyampaikan sesuatu selain sebagian kecil dari perasaan dan makna. Misal, perasaan sakit itu merupakan gabungan dari ber­bagai perasaan, akan tetapi tidak bisa diungkapkan kecuali dengan satu kata bahasa, sakit. Rasa gula-gula adalah gabungan dari berbagai rasa, akan tetapi ia hanya bisa diungkapkan dengan satu kata bahasa, yaitu gula-gula. Begitu juga masalah warna, bau-bauan dan sebagainya, tidak bisa diungkapkan oleh bahasa, kecuali sebagian dari padanya. Setiap kali anda mau mendalamkan suatu ungkapan makna temyata bahasa selalu berbeda dengan perasaan anda sehingga anda pun tetap beserta perasaan-perasaan jiwa anda yang membisu.

Kedua, kendatipun seorang pembicara atau seorang penulis adalah seorang ahli bahasa yang sangat piawai, di hadapan bahasa ini ia laksana menghadapi samudera luas kata, ungkapan hakikat dan metafora yang beragam, dan tidak mungkin seluruh ungkapan ini dapat disingkapkan dengan jelas di hadapan para pengkhayal­nya scbagaimana huruf-huruf pada mesin tik tidak mungkin bisa mengungkapkan seluruh kehendak operatornya. Ia - ketika ingin mengungkapkan sesuatu - hanya dapat menceburkan sekilas pikir­annya ke dalam samudera luas ini untuk menemukan sesuatu yang mudah ditemukan dan diucapkan, atau yang sudah biasa ditemu­kan oleh pena dan pikirannya di dalam samudera tersebut. Di dalam bahasa terdapat banyak kata-kata sinonim yang membantu­nya dalam mengungkapkan maksudnya, sebagian menempati tempat, sebagian lainnya di dalam ungkapan umum mengenai maksudnya. Masing-masing kata sinonim tersebut petunjuk dan isyaratnya khusus. Begitu juga pemberian kandungan maknanya berbeda dengan lainnya. Perbedaan ini akan nampak jelas apabila seorang penulis atau pembicara mau menyampaikan gambarannya yang mendalam mengenai perasaan, pikiran dan pandangan­pandangannya kepada seorang pendengar. Pada kata-kata sinonim tersebut ternyata anda mendapati perbedaan-perbedaan di antara masing-masing kata tersebut. Perhatikanlah bunyi, posisi dan petunjuknya. Penggantian sebuah kata dengan kata yang lain, atau pengubahan susunannya seperti dengan mendahulukan atau dengan mengakhirkan yang satu dari yang lain, akan merusak seluruh pembicaraan. Dalam hal ini Al-Baqilani berpendapat: "Dia - masalah memilih sebuah kata - adalah merupakan persoal­an yang lebih pelik dari masalah sihir, lebih dalam dari lautan dan lebih menakjubkan dari syair. Betapa tidak, karena apabila anda mengira meletakkan kata "subuh" pada tempat kata "fajar" itu memperindah perkataan, sebenarnya itu hanya terjadi pada syair atau sajak. Karena terkadang masing-masing kata tidak layak diletakkan pada tempat tertentu karena tidak cocok, dan pada tempat itu lebih tepat diletakkan kata yang lain. Bahkan kata tersebut sangat kokoh berada di situ, harmonis berdampingan dengan kata-kata yang bersebelahan dengannya sehingga anda memandangnya berada di tempat yang paling layak, dan dengan demikian anda memandang kata tersebut berada di tempat itu dan tidak bisa ditempatkan pada tempat-tempat yang lain. Dan ketika anda meletakkan kata lain di tempat kata tersebut, maka tampak kata tersebut berada di tempat yang akan membuatnya tidak betah, menjadi tuduhan ketidakteraturan bahasa dan tidak akan bisa tetap di tempat itu."

Dari sini, maka bagi mereka yang menghendaki kedalaman ungkapan dan benarnya dalam menggambarkan perasaan dan mak­na .jalannya menjadi sempit, tampak setiap kata sinonim masing­

masing memiliki karakteristik, kewajiban, dan tempat tersendiri sehingga anda tetap mendapatinya memiliki kekurangan yang tidak ada jalan keluarnya. Baik hal itu terjadi dengan pemanjangan dan pengulangan yang tidak berfaedah, maupun diringkaskan sehingga rusak dan terjadi kekosongan padanya, atau pembicaraan yang disampaikan dengan lafaz-Tafaz dan ungkapan-ungkapan yang merusak dan mengaburkan kejelasan penggambaran maksudnya bagi pendengamya. Apabila di hadapannya tampak suatu jalan yang luas dalam mengatasi sebagian makna dan pengungkapannya, maka di tempat lain ia menemukan jalan sempit untuk mengungkapkan makna-makna yang lain. Tegasnya, tidak ada seorang penulis atau ahli bahasa pun yang tidak memiliki kekurangan ini, kecuali kalam yang dijaga oleh Allah SWT yang semuanya menjadi tempat melihat fenomena kelemahan manusia yang diakibatkan oleh keterbatasan kemampuannya. Sumber i’jaz Al-Quran ini, bagaimanapun, dengan berbagai fenomenanya, tidak bersandar kepada kelemahan manusia ini.

Apabila anda perhatikan sebuah surat dengan ayat-ayatnya, baik lafaz dan maknanya, akan anda temukan benar-benar sejalan dan harmonis, tidak akan anda rasakan bahwa sebuah huruf telah ditambahkan pada sebuah kata dan huruf tersebut tidak ber­pengaruh kepada maknanya. Juga mengenai suatu makna, betapa pun pelik dan halusnya, telah diringkas oleh kata atau ungkapan untuk menyampaikan makna tersebut.

Seandainya anda masih ragu mengenai hal itu dan anda meng­hendaki pertimbangan dan bukti, anda bisa membuka AI-Quran kemudian anda perhatikan sebuah ayat dan dengan bantuan kamus-kamus Bahasa Arab dan para ahli balaghah atau bahasa Yang anda ketahui, kemudian anda mengganti sebuah kata yang ada pada ayat tersebut untuk menunjukkan sebuah makna yang sama. Sekiranya anda mampu menempatkan sebuah kata yang lebih dapat mengungkapkan makna yang dikehendaki dan lebih sempurna dalam menjelaskannya, atau ia sangat cocok untuk ditempatkan sebagai gantinya, tidak kurang dan tidak lebih, maka ketahuilah bahwa pendapat para ulama mengenai adanya i'jaz Al-Quran itu menjadi pendapat yang sia-sia dan tidak bersandar kepada subtansi kebenaran. Adapun apabila anda berpendapat bahwa sebuah kata lain tidak akan mampu menyamai makna dan keharmonisan-kata (al-tanasuk al-lafdhi) sebagaimana yang bisa dilakukan oleh kata-kata Al-Quran; bahwa suatu perubahan dan penggantian terhadap kalimat-kalimat AI-Quran merusak keindah­annya untuk diganti dengan pola kalimat Lain yang janggal, lemah atau tidak sesuai, maka ketahuilah bahwa hal itu menjadi bukti yang tidak bisa lagi diragukan bahwa Al-Quran ini bukan hasil ciptaan dan usaha manusia.

Doktor AI-Buthi selanjutnya menunjukkan sebuah contoh ayat Al-Quran dengan mengatakan:

"Misalkan kita ambil sebuah ayat yang menyifatkan keagungan kekuasaan dan kebijakan Allah ketika menciptakan alam dan aturannya,

Ia singsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat dan (la jadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 96)

"Cobalah anda perhatikan, kata apa lagi, selain kata "faliq" untuk mengungkapkan makna tersebut dan dalam menggambarkan maksud dan mewujudkan suatu pikiran. Cobalah anda cari sebuah kata untuk ditempatkan pada tempat kata "al-ishbah"yang mem­berikan petunjuk pada adanya gerakan "al-harakah ", kemunculan "al-inbitsaq" dan memenuhi makna yang dikehendaki. Kemudian anda juga boleh mencari sebuah kata yang layak untuk menggantikan kata "sakanan" yang pada kata tersebut ada suasana tenang dan lembut disebabkan harakat fathah yang datang berurutan pada kata tersebut, di samping pada kata tersebut ada sesuatu yangdapat ditimbulkan oleh suatu gambaran, imajinasi dan jiwa. Begitu juga, silakan anda cari kata yang lebih ringkas, lebih mampu meng­ungkapkan dan menyempurnakan makna dari kata "husbanan" yang menakjubkan ini. Silakan anda cari dan buka ayat sekehendak anda, kemudian anda perhatikan dari berbagai seginya, pasti akan anda temukan bahwa semua bahasa akan tidak mampu menggantikan posisi kata-kata yang serupa dengan yang digunakan oleh Al-Quran, atau yang lebih baik darinya. Kalaulah sebuah ayat diubah susunannya, niscaya akan rusaklah keindahannya dan.akan berkuranglah kecemerlangannya. Tentunya penjelasan ini saya maksudkan buat mereka yang mengerti bahasa Arab, yang sudah bisa merasakan rasa bahasa (dzauq) tersebut dan menguasai kaidah-kaidahnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan demikian, tentunya tidak termasuk. Di sini saya tidak akan menunjukkan beberapa contoh dari Al-Quran, karena semua yang ada dalam Al-Quran bisa merupakan contoh. Anda akan dapat membuktikan bahwa semua posisi kata-kata padanya tidak akan dapat diganti dan diubah. Tentu lain halnya bila anda menemukan ungkapan balaghah di luar Al-Quran, siapapun penulisnya, akan anda temukan berbagai macam cara untuk dapat mengganti dan memperbaiki kata-kata dan strukturnya. Sebaik apapun suatu ungkapan,ia akan tetap bisa diganti dan diperbaiki, bisa diupayakan dan dikritik. Inilah dasar i’jaz Al-Quran, sumber pertama bagi seluruh fenomena i’jaz balaghi. Karaktetistik susunan kalimat dan keistimewaan balaghah-nyalah yang selalu menjadi tema utama pembahasan para ulama."

Dari penjelasan di atas bisa kita simpulkan bahwa Al-Quran merupakan mukjizat karena balaghah, susunan kata dan aturan­nya, kendatipun para ulama berbeda pendapat mengenai batasan rahasia i’jaz balaghi yang paling utama.

4
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

Para Penulis I’jaz Nudhum (Susunan Kata) Al-Quran
AI Jahidh Abu Utsman bin Bahr bin Mahbud Al-Kannani al­Mu'tazili, termasuk salah seorang ulama balaghah terkemuka, memandang bahwa rahasia i’jaz Al-Quran adalah pada susunan katanya. Beliau mengatakan: "Di dalam AI-Quran ada bukti yang menunjukkan kepada kita bahwa ia merupakan kitab yang benar, yaitu susunannya yang indah yang tidak mungkin manusia dapat membuat yang serupa dengannya. Selain itu juga terdapat bukti­bukti yang dibawa oleh pembawa Al-Quran."

Selanjutnya Al-Jahidh menunjukkan berbagai definisi mengenai balaghah yang diteruskan dengan memilih definisi ter­baik baginya. Beliau mengatakan: "Al-Farisi ditanya: 'Apakah yang dimaksud dengan balaghah?' Dia menjawab: 'Mampu mem­bedakan al-fashl dari al-mashl.' Al-Yunani ditanya: 'Apakah yang dimaksud dengan balaghah?' Dia menjawab: 'Membenarkan aqsam dan memilih kalam (pembicaraan).' Kepada Al-Rumi ditanyakan: 'Apakah yang dimaksud dengan balaghah?' Dia menjawab: 'Baik dalam melakukan improvisasi (iqtidhab) secara spontan dan dalam melakukan pelimpahan (ghazarah) ketika diperlukan ekstensi.' Al-Hindi ditanya: 'Apakah yang dimaksud dengan balaghah?' Dia menjawab: 'Petunjuk yang jelas, mengefektifkan waktu, dan memberi isyarat dengan baik.' Seorang Arab badui ditanya: 'Apakah yang dimaksud dengan balaghah?' Ia menjawab: 'Melakukan penyederhanaan (i’jaz) dengan tidak melemahkan, dan melebih­lebihkan dengan tidak sia-sia.' Ibnu Al-Muqaffa' juga ditanya: 'Apa yang dimaksud dengan balaghah?' Dia menjawab: 'Balaghah ialah sebuah nama (isim) yang serba mencakup (jami') berbagai makna yang berlaku untuk banyak hal. Di antaranya terjadi ketika diam, ketika mendengar, ketika mengisyaratkan, berargumentasi, menjawab, memulai pembicaraan, bersajak, berkhutbah dan ketika menulis surat. Termasuk yang umum dalam persoalan-persoalan ini ialah pewahyuan padanya dan pengisyaratan kepada makna, dan i’jaz (penyederhanaan) juga merupakan balaghah.'

"Amru bin Abid ditanya: 'Apakah yang dimaksud dengan balaghah?' Dia menjawab: 'Yang mengantarkan engkau ke sorga dan yang menyingkirkan engkau dari neraka . . .' Orang yang bertanya berkata lagi: 'Bukan itu yang aku inginkan.' Ketika Amru dan orang yang bertanya itu masih berdialog, akhirnya Amru berkata: 'Nampaknya engkau menghendaki kata-kata pilihan yang mudah untuk dipahami.' 'Benar', jawab yang bertanya. Kemudian Amru mulai menjelaskan definisinya dengan mengatakan: 'Sekira­nya engkau menyatakan hujjah Allah kepada orang-orang mukallaf, meringankan beban mereka yang mendengar dan menghiasi makna-makna tersebut pada hati orang-orang yang menghendaki dengan kata-kata yang enak didengar, dapat diterima oleh pikiran untuk segera dilaksanakan, dan dengan kata-kata yang bisa menghilangkan keruwetan hati ketika menasihatkan yang baik, berdasarkan Al-Quran dan sunnah, maka pada dasarnya engkau telah menyampaikan fashl al-khithab (ungkapan yang jelas) dan layak mendapatkan balasan yang tinggi'."

Selanjutnya al-jahidh mengungkapkan definisi terbaik me­nurut dia dengan mengatakan: "Sebagian orang mendefinisikan - definisi yang saya pilih - bahwa suatu pembicaraan tidak memiliki nilai balaghah sehingga maknanya (dapat dipahami) secepat lafaznya dan lafaznya secepat maknanya. Lafaznya tidak boleh terdengar olehmu lebih cepat dari sampainya makna lafaz tersebut ke dalam hatimu." Selanjutnya Amru mengatakan: "Sebaik-baik pembicaraan ialah yang dengan mengucapkan sedikit ucapan maknanya tampak pada dhahir katanya, dan Allah telah meng­anugerahkan ketinggian dan memolesnya dengan cahaya kebijakan sejalan dengan niat dan ketakwaan yang mengatakannya. Yaitu, ketika maknanya mulia dan katanya baligh (memiliki nilai balaghah), dicetak dengan benar, tidak mengundang kebencian, tidak memiliki kekurangan, terjaga dari dibuat-buat, dan menyerap ke dalam hati seperti menyerapnya air hujan ke dalam tanah yang gembur."

Al-jahidh memandang bahwa rahasia i’jaz AI-Quran adalah pada susunan bahasanya yang indah dan pada komposisinya yang menakjubkan. Mengenai hal itu dia mengatakan: "Al-Quran adalah kalam yang berbeda dengan seluruh kalam yang lain, baik puisi maupun prosa. Al-Quran merupakan kalam yang tidak bersajak yang berbeda dengan syair dan sajak dan susunan kata Al-Quran merupakan bukti yang paling agung. Begitu juga komposisinya merupakan hujjah terbesar."

Mengenai sebuah kata yang baik untuk disusun dengan baik dalam sebuah kalimat, menurut al-jahidh disyaratkan harus bebas dari tanafur al-huruf (ketidakserasian huruf) sehingga terkesan satu huruf ..... Dengan demikian maka huruf "jim" tidak boleh bersamaan dengan huruf "dha", "qaf", "tha" dan "'ain", baik sebelum maupun sesudahnya. Begitu juga huruf "zai" tidak boleh bersamaan dengan huruf "dha", "sin", "dladl" dan "dzal" sesebelum atau sesudahnya. Ini merupakan hal yang harus dibahas secara luas. Dengan menyebutkan sedikit contoh tersebut diharap­kan sudah cukup untuk menunjukkan arah yang sedang kita bahas."

Di bawah ini al jahidh memberi contoh mengenai kata-kata yang mengalami tanafur al-huruf:

wa qabru harbin bi makanin faqrin

wa laisa qurba qabri harbin qabrun

"Kuburan musuh itu berada di tempat yang sunyi dan gersang,

dan di dekat kuburan tersebut tidak ada kuburan lain."

Sya'ir yang lain:

lam yadhurraha wa al-hamdu lillahi syai'un wa intsanat nahwa 'azfi nafsin dzahuli

"Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan, Alhamdulillah.

Ia berceloteh dengan nyanyian jiwa yang tak sadar."

Mengenai syair terakhir ini, ia mengomentari bahwa separuh akhir dari bait tersebut hilang sehingga akan anda temukan bahwa sebagian lafaznya tidak berkaitan dengan yang lain.

Ketika menjelaskan pengertian i’jaz, Al-Jahidh mengatakan: "Memperbanyak ungkapan itu pada tempatnya, bukanlah hal yang sia-sia. Begitu pula memperpendek pada tempatnya, bukan berarti merupakan kelemahan .... Kita perhatikan bahwa ketika Allah SWT menyeru orang Arab dan orang-orang Badui, Ia sering menggunakan bahasa isyarat, sindiran, dan kadang-kadang membuang sebagian kalimat. Lain halnya ketika Ia menyeru Bani Israil atau ketika menceriterakan tentang mereka, Ia selalu menggunakan bahasa yang terurai dan panjang lebar."

Menurut al jahidh, isti'arah ialah menamakan sesuatu dengan nama yang lainnya, ketika bisa menempati kedudukannya. Beliau memberikan contoh dari Al-Quran, yaitu firman Allah:

Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan. (Al-Waqiah: 56)

Menurut al-jahidh, siksa itu bukanlah hidangan, akan tetapi ketika siksa itu diberikan bersamaan dengan diberikannya kenikmatan bagi orang lain, maka siksa bisa dikatakan sebagai hidangan.

Penulis I’jaz Al-Quran, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dinuri, di awal bukunya, Ta'wil Musykil Al-Quran, beliau menjelaskan bentuk i’jaz Al-Quran dengan mengatakan:

"Ambisi mereka yang melakukan tipu daya itu telah terhalang oleh kemukjizatan susunan Al-Quran dan keteraturannya sehingga terlepas dari upaya-upaya mereka yang mau menyelewengkannya."

Ibnu Qutaibah juga menyifatkan Al-Quran dengan mengata­kan: "Al-Quran tidak diciptakan dengan banyak sanggahan; dengan keajaiban yang tidak habis-habis dan faedah yang tidak henti-hentinya." Selanjutnya mengenai ayat-ayat mutasyabih menurut beliau bukanlah ayat-ayat yang tidak bisa dipahami oleh mereka yang mendalam ilmunya (al-rasikhuna fi al-'ilm). Firman Allah:

. . dan ta'wil itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah dan mereka yang mendalam ilmunya. (Ali Imran: 7)

Sehubungan dengannya, beliau mengatakan: "Saya tidak termasuk orang-orang yang beranggapan bahwa ayat-ayat mutasyabih merupakan ayat-ayat yang tidak bisa dipahami oleh mereka yang mendalam ilmunya. Sebab, Allah tidak akan menurunkan sesuatu pun dalam Al-Quran, melainkan pasti bermanfaat bagi hamba­hamba-Nya dan dengannya hendak menunjukkan makna kehendak­Nya."

Termasuk juga ulama yang menulis mengenai i’jaz AI-Quran ini, Abul Hasan Ali bin Isa al-Rummani, wafat tahun 384 H. Buku yang ditulis oleh Abul Hasan ialah Al-Nukar fi I'jaz Al-Quran, Mengenai i’jaz ini, beliau pada mukadimah bukunya mengatakan: "Segi-segi i’jaz AI-Quran tampak pada tujuh hal, yaitu pada ketidakbertentangan satu sama lain kendatipun tuntut­an dan kebutuhan begitu banyak, pada tantangannya untuk seluruh (jin dan manusia), sharfah (pemalingan); balaghah, kebenarannya mengenai berita-berita yang akan datang, perombak­an adat kebiasaan, dan pada qias-nya bagi seluruh mukjizat." Mengenai keyakinan Al-Rummani, seorang Mu'tazili, menge­nai arti i’jaz bi al-sharfah, beliau berpendapat seperti kebanyakan kaum Mu'tazilah. Adapun mengenai balaghah, Al-Rummani men-definisikannya dengan mengatakan: "Balaghah pada dasarnya ialah menyampaikan makna ke dalam hati dengan kata yang sebaik­baiknya."

Menurut beliau, balaghah ada sepuluh macam: i’jaz (penye­derhanaan), tasybih (penyerupaan), isti'arah (metafora), talazum (keserasian), fawashil (keterpeliharaan sajaknya), tajanus (ke­sejenisan), tashrif (pemalingan), tadhmin (pengandungan), mubalaghah (pemaksimalan penyampaian makna), dan husn al-bayan (penjelasan yang baik).

Menurut beliau ada dua macam i'iaz hadzf. Contoh i'jaz di dalam Al-Quran:

Dan tanyalah (penduduk) negeri . . . (Yusuf: 82)

Kedua macam ijaz hadzf tersebut:

Pertama, i'iaz ajwibah (jawaban), contoh firman Allah:

Dan sekiranya ada suatu bacaan (Kitab suci) yang dengan bacaan ini gunung-gunung dapat diguncangkan atau bumi dapat terbelah atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara (tentu dia adalah Al-Quran). (AI-Ra'd: 31)

Kedua, i'jaz qashr. Contoh, firman Allah:

Sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri. (Yunus: 23)

Menurut Al-Rummani ijaz qashr ialah membuat suatu pem­bicaraan dengan menyedikitkan kata dan memadatkan makna tanpa adanya hadzf (ellipis).

Al-Rummani membedakan balaghah antara firman Allah dengan ucapan manusia. Firman Allah:

Dan di dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)

Ucapan manusia:

Pembunuhan itu akan lebih meniadakan pembunuhan.

Antara kedua ungkapan di atas ada empat perbedaan.

Al-Rummani mengatakan: "Ayat di atas lebih banyak kandungan maknanya, lebih memiliki i’jaz (penyederhanaan) da­lam ungkapan; lebih selamat dari ketidakenakan (kulfah) karena pengulangan kalimat, dan komposisinya lebih baik pada huruf­huruf yang bersambung secara harmonis."

Ayat tersebut dikatakan lebih banyak kandungan maknanya, karena setiap kandungan makna pada ungkapan 'al-qatlu anfa li al-qatli" sudah terkandung pada makna ayat di atas, bahkan selain makna tersebut, ayat di atas juga mengandung berbagai makna yang baik. Di antaranya, dengan menyebutkan qishash, ada makna keharusan menegakkan keadilan. Dengan menyebutkan kata "hayat" mengandung makna "tujuan" (hidup). Termasuk juga di dalamnya terkandung makna ajakan untuk menyintai dan menaati hukum Allah atasnya.

Adapun ungkapan ayat di atas dikatakan lebih memiliki i’jaz (keringkasan), karena yang pertama, yaitu "al-qatlu anfa li al­qatli", terdiri dari 14 huruf, dan yang kedua terdiri dari 10 huruf. Sedangkan ketidakefektifan karena pengulangan merupakan kesulitan tersendiri. Tegasnya pada ungkapan 'al-qatlu anfa li al­qatli" terjadi pengulangan kata "qatl" sehingga ungkapan Al-Quran tersebut di atas lebih baligh daripadanya. Dan ketika pengulangan terjadi, dalam ilmu balaghah dipandang tidak baligh. Baiknya suatu kompusisi dengan huruf-huruf yang relevan merupakan sesuatu yang dapat dirasakan dan terdapat pada lafaz ayat. Setelah huruf "fa" kemudian "lam" adalah lebih mudah diucap­kan dibanding setelah huruf "lam" adalah huruf "hamzah", karena jauhnya letak "hamzah" dari "lam". Begitu pula pengucapan huruf "shad" sebelum huruf "ha" lebih mudah daripada setelah huruf "alif" adalah "lam". Dengan terkumpulnya masalah-masalah tersebut, seperti telah kami sebutkan, jelas Al-Quran lebih baligh dan lebih baik, kendatipun betapa baligh dan baiknya ucapan mereka.

Penulis i’jaz AI-Quran yang paling masyhur adalah Al-Qadhi Abu Muhammad bin Al-Thayyib bin Muhammad bin Ja'far bin Al­Qasim yang dikenal dengan Al-Baqillani, wafat tahun 40 H. Buku­nya, i’jaz Al-Quran, merupakan buku paling penting mengenainya. Al-Baqillani menyebutkan berbagai macam i’jaz dalam struktur AI-Quran. Di antaranya mengenai kalimat, bahwa struktur AI­Quran, dengan berbagai macamnya, berada di luar struktur seluruh ucapan mereka yang dijanjikan, dan berbeda dengan komposisi seruan mereka. Ia memiliki uslub (struktur kalimat) yang khas dan memiliki karakteristik khusus dalam penggunaannya dan berbeda dengan seluruh uslub ucapan biasa. Pada dasarnya,bentuk-bentuk ungkapan itu antara lain adalah syair dan ucapan teratur yang tidak bersajak, ucapan harmonis yang bersajak, ucapan teratur yang harmonis dan tidak bersajak, serta ucapan biasa. Al-Quran sendiri berada di luar bentuk-bentuk struktur di atas dan berbeda dengannya. Ketika Al-Quran berbentuk demikian, maka ia tidak termasuk ungkapan-ungkapan biasa dan merupakan mukjizat.

Alasan kedua, bahwa orang-orang Arab tidak memiliki bahasa (ungkapan) yang sampai pada tingkat kefasihan dan keagungan, susunan yang indah, makna-maknanya yang lembut, kandungan­kandungan yang sangat kaya, hukum yang banyak, keharmonisan dalam balaghah, dan perumpamaan (tasyabuh), dalam hal efisiensi sedemikian. Bagaimanapun kaum bijak di kalangan mereka hanya mampu mengungkapkan kalimat-kalimat yang terbatas dengan sedikit kata-kata; para penyair di kalangan mereka hanya mampu membuat kasidah-kasidah yang sangat terbatas, yang pada dasar­nya bisa kita katakan sebagai kekurangannya yang tampak dari perbedaan yang kita temukan padanya; tidak terlepas dari ta'ammul (kontemplasi), takalluf (dibuat-buat), tajawwuz (ber­lebihan), dan ta'assuf (disesali). Sementara AI-Quran, dengan kata yang begitu banyak dan kalimat yang begitu panjang tetap fasih . . .

Alasan ketiga, bahwa keajaiban susunan kata Al-Quran, dan keindahan komposisinya tidak berubah kendatipun digunakan dalam berbagai persoalan yang berbeda seperti dalam menyebut­kan kisah-kisah, nasihat, argumentasi, hukum, pemaafan, peringatan, janji, ancaman, berita gembira, berita menakutkan, pensifat­an, pengajaran akhlak mulia, sifat-sifat luhur, perjalanan (sair ma'tsurah) dan sebagainya. Betapa pun baligh dan sempurnanya ucapan seorang ahli balaghah; betapa pun piawainya seorang penyair; dan betapa pun hebatnya seorang singa podium, ungkapan mereka akan berubah sejalan dengan perubahan per­soalan-persoalannya.

Alasan keempat, setiap ungkapan ahli balaghah tetap akan berbeda dalam melakukan pemisahan dan penyambungan kata, tinggi rendahnya, jauh dekatnya, dan sebagainya berdasarkan perbedaan seruan ketika menyusun kalimat; ungkapan pun akan ber­beda ketika men-dhammah-kan dan menjamakkan. Tidakkah anda melihat betapa banyak di antara para penyair yang tidak akurat ketika berpindah dari satu arti kepada arti yang lain; ketika keluar dari satu bab kepada bab yang lain? Sedangkan Al-Quran dengan perbedaan bentuk yang banyak dan cara-cara yang beragam mampu membuat yang mukhtalaf (berbeda) seperti mu'talaf (bersatu), yang tidak sejalan seperti sejalan, yang mutanafir (tidak membentuk kesatuan) dalam hal individu menjadi kesatuan. Ini merupakan hal yang menakjubkan, memperjelas kefasihan, menampakkan adanya balaghah dan menjadi bukti bahwa Al-Quran bersifat supranatural dan bukan suatu hal yang biasa ('urf).

Alasan kelima, bahwa struktur kalimat Al-Quran menempati tingkat balaghah yang berada di luar kebiasaan ucapan manusia dan jin. Mereka tidak akan mampu membuat ungkapan yang serupa dengannya, sebagaimana tidak mampunya kita; mereka tidak akan berdaya sebagaimana tidak berdayanya kita.

Alasan keenam, keterbagian suatu seruan dariyang sederhana dan pendek, mengumpulkan dan memisahkan, metafora dan jelas, meremehkan dan menegaskan dan bentuk-bentuk seruan yang lain (yang ada di dalam ungkapan manusia dan AI-Quran), semua itu adalah merupakan hal yang terjadi pada batas-batas ucapan biasa manusia di antara mereka, baik dalam hal kefasihan, keindahan dan balaghah.

Ketujuh, adanya sepertiga makna yang dikandungnya pada prinsip peletakan syariat dan hukum, hujjah-hujjah dalam prinsip agama, penolakan terhadap mereka yang mengingkari Tuhan, yaitu berdasarkan tujuh kata tersebut, kesesuaiannya satu sama lain dalam hal kelembutan dan keindahan, tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia.

Kedelapan, Al-Quran telah menjelaskan keutamaan, kelebih­an, dan kefasihannya, ketimbang sebuah kata yang banyak digunakan dalam berbagai bahasa atau syair, sehingga indah didengar dan dirindukan oleh jiwa. Bentuk keindahannya begitu berbeda dengan seluruh yang bisa dibandingkan dengannya, laksana berbedanya sebiji jagung pada sebuah tali mutiara, dan laksana mata intan permata pada seuntai tali. Anda melihat sebuah kata Al-Quran pada pelbagai ungkapan kata-katanya tak berbeda seperti perbandingan di atas, ia laksana sinar bagi keseluruhan kata-katanya dan penengah ikatannya, ia menyeru agar keindahan, apa yang dikandung dan ditunjukkannya pada jenis dan airnya, dibedakan dan diistimewakan.

Kesembilan, huruf-huruf yang digunakan dalam bahasa Arab berjumlah 29 huruf; jumlah surat yang dibuka dengan huruf juga berjumlah 29 surat; serta huruf-huruf yang disebut pada awal surat, yang terdiri dari huruf-huruf mu'jam, berjumlah 14 huruf - dengan tidak menghitung huruf yang diulang, sebab huruf tersebut sudah diwakili oleh huruf sebelumnya. Perlu diketahui, bahwa bahasa Arab diatur dengan huruf-huruf yang mereka gunakan dalam pembicaraan mereka.

Kesepuluh, mudah diungkapkan, tidak kasar, tidak vulgar, tidak asing, tidak menyebabkan ditolak, tidak dibuat-buat, mudah dipahami, maknanya sampai ke hati mendahului lafaznya, pemahamannya lebih dahulu sampai ke jiwa daripada ungkapan­nya. Dengan begitu ia tidak musykil dan tidak sulit dikomunikasikan.

Menurut Al-Baqilani, metode untuk mengetahui i’jaz Al­Quran ialah pertama, seorang peneliti i’jaz Al-Quran harus menguasai bahasa Arab, menguasai sejauh mana tingkat kefasihan seorang pembicara, dan mengetahui kesempitannya. Ia juga harus bisa membedakan antara jenis komunikasi lisan, tulisan prosa dan syair, dan bisa membedakan antara syair yang baik dan yang jelek; bisa membedakan antara (ungkapan) yang fasih dan yang indah, antara yang efisien dan yang asing (gharib); bisa membedakan antara karakteristik seorang penyair yang satu dengan penyair yang lain, penulis yang satu dengan penulis yang lain; dan juga tidak boleh lalai terhadap siapa pendistorsi kata dan makna, siapa yang menemukannya dan siapa yang mengumpulkannya, siapa yang terang-terangan mengambil dari yang menyembunyikannya, siapa yang menemukan ungkapan dan yang mempopulerkannya dengan tiba-tiba, apa yang dikatakan tentangnya, dan bagaimana koreksi terhadapnya yang dilakukan dengan bertahap sehingga tercapai apa yang dikehendakinya dan diulangnya pandangan mengenainya.

Apabila seseorang memperhatikan struktur kalimat Al-Quran, kemudian memperhatikan struktur kalimat-kalimat pembicaraan Rasulullah saw. atau pembicaraan para ahli balaghah yang hidup sezaman dengan beliau, niscaya dia akan menemukan perbedaan antara kedua struktur pembicaraan tersebut; atau memperhatikan sebagian syair yang disepakati sebagai syair yang baik dan memperhatikan balaghah Al-Quran dan keajaiban efisiensinya, maka ketika itu dia akan mendapati petunjuk, layaknya petunjuk seorang alim (mengenainya), dan akan mengetahui bagaimana perasaan seorang kritikus atas i’jaz struktur kalimat Al-Quran sehingga mereka pasti memandang kalamullah berbeda dari pem­bicaraan makhluk.

AI-Baqilani selanjutnya menunjukkan sebagian khutbah Rasulullah dan surat-surat beliau, dan mengatakan: "Aku tidak pernah mengira bahwa anda tidak mampu membedakan antara keindahan Al-Quran dan ucapan Rasulullah saw. yang kami tunjukkan kepada anda. Anda perhatikan bahwa anda sedang membaca dua bentuk kalam (pembicaraan) dengan karakteristik yang jauh berbeda sehingga anda pasti akan mengetahui bahwa struktur kalimat Al-Quran merupakan perkara ilahi, sedangkan pembicaraan (kalam) Nabi merupakan perkara nabawi.

Termasuk di antara penulis mengenai balaghah dan ijaz AI-Quran ialah Abdul Qahir bin Abdul Rahman bin Muhammad Al Jurjani, wafat tahun 471 atau 474 H. Mengenai balaghah dan i'jaz Al-Quran ada tiga buku yang ditulis oleh AI Jurjani. Pertama, Asrar Al-Balaghah. Dalam buku ini beliau berupaya mengklasifikasikan dasar-dasar hukum berdasarkan pendekatan adabi (sastra) menurut tolok ukur yang benar - setelah melihat per­bedaannya mengenai analogi al-kalam al-baligh (pembicaraan yang baligh) dengan penulis sebelumnya - apakah makna atau kata, atau sekaligus kata dan makna. Misal, AI-Jahidh, seorang penulis sebelum Al-Jurjani, menolak eksistensi makna sebagai tolok ukur. Dalam hal ini Al-Jahidh mengikuti pendapat Abu Hilal Al-'Askari. Adapun Al-Jurjani yang datang kemudian menegaskan bahwa rahasia balaghah adalah pada makna yang dilahirkan oleh kata-kata (al-fadh), yaitu ketika kata-kata tersebut tersusun sedemikian sehingga urutan kata-kata tersebut dalam suatu pembicaraan ber­dasarkan urutan makna-maknanya dalam jiwa, di samping makna­makna itu, susunannya dalam jiwa sejalan dengan kehendak akal. Setelah Al-Jurjani menetapkan asumsi demikian, beliau mulai menjelaskan metode yang harus digunakan dalam mempelajari makna, keadaan-keadaannya dan penggunaannya dalam pem­bicaraan yang baligh. Beliau selanjutnya mengatakan: "Ketahuilah bahwa tujuan pembicaraan yang saya lakukan, dan dasar-dasar yang saya gunakan untuk menjelaskan persoalan makna, bagaimana ia sejalan dan tidak sejalan, dari mana ia berkumpul dan berpisah; untuk menjelaskan jenis dan macamnya, untuk menyelidiki dengan seksama mengenai kekhususan dan keumumannya; untuk menjelaskan keadaannya sejalan dengan posisi layak menurut akal dan menempatkannya secara proporsional, kedekatan atau jauh hubungan darinya ketika tidak dihubungkan dengannya, dan wujudnya sebagai penyumpah setia atas dasar nasab atau orang yang salah pada suatu kaum yang tidak lagi diterima oleh kaum tersebut, tidak dihiraukan dan tidak lagi ada yang membela­nya." Selanjutnya Al-Jurjani menjelaskan bagaimana caranya mencapai tujuan tersebut dengan mengatakan: "Ini merupakan tujuan yang tidak hanya dicapai dengan satu cara, suatu perminta­an yang tidak akan tercapai dengan semestinya kecuali setelah didahului dengan pendahulu-pendahulu dan prinsip-prinsip yang mengantarkannya. Ia merupakan sejumlah persoalan laksana perangkat-perangkat yang di dalam tujuan tersebut terdapat hak­haknya yang harus dikumpulkan. Dan perumpamaan-perumpamaan perkataan adalah laksana jarak jarak, yang selain perkataan ter­sebut, jarak-jarak itu harus ditempuh dengan pikiran dan harus dipastikan. Pandangan pertama hal demikian adalah ungkapan mengenai tasybih (penyerupaan), tamtsil (perumpamaan) dan isti arah (metafora). Pada dasarnya prinsip-prinsip yang banyak ini yang mengambil keindahan-keindahan pembicaraan yang tidak pernah kita katakan seluruhnya, bercabang daripadanya dan kembali kepadanya; ia laksana kutub-kutub yang dikelilingi makna-makna dalam pengaturannya, berputar kepadanya laksana daerah-daerah dari arah-arahnya."

Dengan pernyataan-pernyataan tersebut Al Jurjani ingin memberikan alasan terhadap bentuk balaghah i'jaz Al-Quran dan ingin memberikan alasan hukum terhadap pembicaraan yang baligh dengan rinci dan mendalam; tidak hanya cukup dengan menyifati karakteristik-karakteristik balaghah secara global.

Berikut ini akan ditunjukkan tema-tema balaghah dalam pembicaraan, beliau mengatakan: "Bahkan, kalian masih harus memberitahukan kepada kita posisi keistimewaan suatu pembicaraan dan kalian juga harus menyifatinya untuk kita; harus menyebutkan sebagaimana layaknya sesuatu itu di-nash-kan dan ditentukan, bentuknya harus disingkapkan dan dijelaskan. Kalian tidak hanya cukup mengatakan: 'Pada dasarnya ia merupakan keistimewaan pada struktur dan bahwa ia merupakan metode khusus dalam membangun suatu pembicaraan sebagian atas sebagi-an lainnya.' Sehingga kalian harus menyifati keistimewaan ter­sebut, menjelaskan dan memberikan contoh-contohnya serta mengatakan, misal, begini dan begitu ... Apabila seorang mengatakan pada anda mengenai penafsiran suatu fashahah (kefasihan), sesungguhnya ia merupakan keistimewaan pada struktur pembicaraan dan menggabung sebagian pembicaraan tersebut dengan sebagian lainnya dengan metode tertentu, atau dengan cara yang akan menunjukkan suatu manfaat, atau bahwa pembicaraan global yang serupa dengannya cukup urltuk mengetahuinya dan telah bisa memberikan pengetahuan tentangnya, maka hal serupa itu sudah cukup untuk mengetahui seluruh pembuatan. Maka, tak ubahnya seperti untuk mengetahui penenunan sutra yang motifnya bermacam-macam, cukup dengan mengetahui bahwa ia merupakan aturan pemintalan dengan pola tertentu, dan untuk kekuatan sutra tersebut sebagian dirajut dengan.sebagian lainnya dengan berbagai macam cara. Hal demikian adalah merupakan sesuatu yang tidak akan dikatakan oleh seorang yang berakal."

Adapun AI-Syafiyak, buku yang ditulis oleh Al Jurjani, di­maksudkan untuk menegaskan kelemahan orang-orang Arab dalam menentang Al-Quran. Tulisan ini didasarkan atas pandangannya dalam buku Asrar Al-Balaghah, beliau mengatakan: "Pada dasar­nya orang-orang Arab yang diseru oleh Al-Quran sudah masyhur dengan balaghah dan kefasihannya. Mereka menjadi teladan mengenainya, dan mereka yang datang kemudian pun mengikuti dan berutang atas mereka. Ketika dibacakan kepada mereka Al­Quran dan ditantang mengenainya, mereka tidak ragu atas ke­lemahan mereka dalam menentang Al-Quran dan membuat yang serupa dengannya; mereka juga tidak menyatakan kepada diri mereka bahwa mereka memiliki cara untuk sampai kesana dengan bentuk tertentu. Haltersebut dibuktikan dengan petunjuk-petunjuk mengenai keadaan dan perkataan-perkataan mereka. Apabila mereka benar-benar tidak pernah menentang Al-Quran, maka sudah bisa dipastikan bahwa Al-Quran merupakan mukjizat."

Sedang buku ketiga, yaitu Dala'a AI-I’jaz, menegaskan bahwa zat Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu jiz bi dzatih) dan bahwa rahasia i'jaz al-balaghi terletak pada strukturnya. Dalam buku ini, Al Jurjani berbicara mengenai pandangan (terhadap struktur) dan membaginya kepada dua bagian.

Pertama, dalam bukunya beliau menegaskan bahwa ilmu dengan posisi-posisi makna dalam jiwa diketahui dengan posisi­posisi katanya yang menjadi petunjuk, ketika bicara. Beliau mengatakan: "Sungguh tidak terbayang anda akan mengetahui letak suatu kata tanpa mengetahui maknanya, dan secara sengaja menyusun dan menertibkan kata-kata bukan pada susunannya, juga anda telah sengaja menyusun kata-kata tersebut dalam makna­maknanya dan anda telah memikirkannya. Bila menurut anda hal itu telah sempurna, telitilah pengaruh-pengaruhnya. Jika anda telah selesai menyusun makna-makna tersebut dalam hati, anda tidak akan berhasil membuat kalimat hingga mulai berpikir untuk menyusun kata-kata. Bahkan anda akan menemukan susunan tersebut atas dasar bahwa kata-kata tersebut adalah pembantu makna, yang mengikuti dan melekat padanya."

Kedua, dalam buku tersebut Al jurjani menegaskan bahwa makna-makna yang berkaitan dengan pikiran dan disusun di dalam jiwa merupakan makna-makna nahwi, bukan makna-makna kata itu sendiri.

Beliau mengatakan: "Sungguh tidak pernah diasumsikan bahwa pikiran berkaitan dengan makna-makna pembicaraan secara sendiri-sendiri dan terpisah dari makna-makna nahwi; tidak pernah ada anggapan, juga tidak bisa dibenarkan oleh akal apabila se­seorang berpikir bahwa makna fi'il (kata kerja) ada sekalipun tidak digabungkan dengan isim (nomina), atau makna asim ada sekalipun tanpa harus digabungkan dengan fi'il sehingga bisa menjadi fa'il (pelaku) baginya, atau menjadi maf'ul (obyek); atau apabila ia menghendaki suatu hukum yang bukan hukum-hukum tersebut seperti apabila ia mau menjadikannya sebagai "mubtada" atau "khabar" atau "sifat" atau "hal". Dan apabila anda mau melihat lebih jelas hal demikian, silakan anda ambil suatu kalimat, kemudian pisahkan kata-katanya dari letak-letaknya dan letakkan kata-kata tersebut pada posisi yang tidak bisa digabungkan dengan makna-makna nahwi-nya. Misalkan bila anda mengatakan: qafa nabbuka min dzikra habibun wa munazzilun . ... kemudian dikatakan: min, nabbuka, qafa, habibun, dzikra, munazzilun. Apakah ketika itu pikiran anda berkaitan dengan makna kata-kata tersebut? Bagaimana mungkin tujuan anda akan sejalan dengan makna kata tanpa anda mengaitkannya dengan makna kata yang lain? Makna tujuan kepada makna-makna perkataan yakni untuk memberitahukan kepada pendengar sesuatu yang belum diketahuinya. Adalah maklum bahwa ketika anda berbicara yang anda maksudkan bukanlah untuk memberitahu pendengar mengenai makna masing-masing perkataan yang anda bicarakan. Anda tidak akan mengatakan "Zaid keluar" hanya untuk memberitahu arti "keluar" dan "Zaid" secara bahasa. Sungguh tidak mungkin anda akan berbicara kepadanya dengan menggunakan kata-kata yang tidak dipahami olehnya. Dengan demikian, fi'il itu sendiri apabila tidak disertai dengan isim dan isim dengan tidak disertai isim yang lain atau fi'il tidaklah dikatakan sebagai "kalam". Seandainya anda mengatakan "kharaja" (keluar) dan tidak diikuti dengan isim, juga pada kata tersebut tidak anda letakkan tempat untuk dhamir (kata ganti) sesuatu, atau apabila anda mengatakan "Zaid" dan tidak diikuti dengan fi'il atau isim yang lain dan anda tidak men-dhamir-kannya pada hati anda, hal itu hanyalah merupakan suara yang anda bunyikan saja. Dengan begitu jelaslah bahwa pikiran tidak berkaitan dengan makna-makna nahwi yang menjadi tempat pijakan makna-makna pembicaraan dalam jiwa, kemudian pembicaraan-pembicaraan itu anda susun berdasarkan susunan makna­maknanya ketika dibicarakan secara teratur."

Setelah memberikan contoh, Al Jurjani menyimpulkan argumen mengenai kesahihan dua pandangannya mengenai struktur kata (nudhum) dengan metode ilmiah yang membahasnya.

Selanjutnya beliau mengatakan: "Ketahuilah bahwa struktur kata (nudhum) itu tidak lain hanyalah menempatkan pembicaraan anda pada posisi yang dikehendaki oleh ilmu nahu dan disusun berdasarkan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsipnya serta anda mengetahui cara-cara yang akan anda lalui sehingga anda tidak menyalahinya, kemudian anda menjaga tulisan-tulisan (rusum) yang dituliskan untuk anda sehingga tidak ada satu pun yang terlewat."

Setelah Al-Jurjani dengan panjang lebar berargumentasi, beliau menyimpulkan bahwa bentuk makna merupakan tolok ukur balaghah, Selanjutnya beliau menunjukkan bukti-bukti kesalahan mereka yang memandang bahwa komparasi keistimewaan suatu pembicaraan terletak pada dasar makna, bukan pada dssar bentuk makna.

Al-Jurjani kemudian mengatakan: "Apakah anda ragu ketika anda berpikir mengenai firman Allah SWT:

Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah." Dan air pun disurutkan, perintah di­selesaikan dan bahtera pun kemudian berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim." (Hud: 44)

Anda telah melihat i’jaz ayat di atas yang mengalahkan apa yang anda dengar dan lihat - anda tidak akan mendapati ke­istimewaan yang jelas dan keutamaan yang luhur seperti yang anda temukan, kecuali persoalan itu berkaitan dengan pembicaraan­pembicaraan tersebut satu sama lain. Kebaikan dan keutamaannya tidak akan tampak kecuali bila kata yang pertama berkaitan dengan yang kedua, yang ketiga dengan yang keempat dan seterus­nya hingga akh'u. Keutamaan terjadi pada keseluruhannya. Seandainya anda ragu, perhatikanlah sebuah kata pada ayat di atas yang sekiranya anda melihatnya di antara kata-kata yang lain­nya, kemudian pisahkan sendirian, maka ia, sebagaimana posisinya di dalam ayat tampak berpengaruh menunjukkan fashahah. Misal­kan kata "ibla'i" (telanlah) dan lihatlah ia pada kesendiriannya tanpa digabung dengan kata sebelum dan sesudahnya, kemudian juga perhatikan seluruh kata sesudahnya, bagaimana mungkin anda bisa ragu mengenainya ketika sudah maklum bahwa prinsip ke­agungan pada dipanggilnya bumi kemudian diperintah, selanjutnya pada panggilan dengan menggunakan "ya", bukan "ai", seperti pada “ya ayyatuhal-ardh ", kemudian pada penggabungan (idhafah) kata “al-ma" (air) dengan huruf "kaf", juga tidak dikatakan: ibla'i al-ma', selanjutnya pada panggilan terhadap bumi dan perintah terhadapnya sebagaimana layaknya, yang seterusnya diikuti dengan panggilan terhadap langit dan perintah padanya dengan sesuatu yang khusus baginya, dan kemudian dikatakan: "qhidh al-ma'u" (air disurutkan). Kata kerja (fi'il) yang digunakan menggunakan bentuk fa'ilun yang menunjukkan bahwa air ter­sebut tidak disurutkan kecuali berdasarkan perintah yang Maha Memerintah dan kuasa Yang Mahakuasa, selanjutnya hal itu dikuatkan dan ditegaskan dengan firman-Nya: wa qudhiya al-amr (dan perintah diselesaikan), selanjutnya juga disebutkan manfaat perintah-perintah tersebut, yaitu istawat ala al-judiy (bahtera pun kemudian berlabuh di atas bukit Judi). Adapun digantinya kata “al-safinah" (bahtera) dengan kata ganti, sebelum disebutkan, adalah merupakan syarat keluhuran dan petunjuk atas agungnya persoalan, kemudian juga keberhadapan kata “qila" pada ujung ayat dengan kata "qila" pada awal ayat.

Apakah anda melihat sesuatu pada kekhususan-kekhususan i'jaz yang begitu mengguncangkan anda dan membawa anda ketika anda menggambarkannya, pada wibawa yang menguasai jiwa dari berbagai penjuru sebagai sesuatu yang berkaitan dengan lafaz (kata) sebagai suara yang dapat didengar dan sebagai huruf-huruf yang berpautan ketika berbicara? Atau semua itu terjadi karena suatu keserasian yang menakjubkan di antara kata-katanya? Dengan demikian, jelas tidak perlu diragukan bahwa kata-kata ter­sebut masing-masing tidak memiliki keistimewaan dari segi sebagai sebuah kata semata-mata, juga tidak dari segi sebagai pembicaraan tunggal. Suatu kata dikatakan memiliki keistimewaan dan per­bedaan dari segi keharmonisan makna sebuah kata, dengan makna yang mengikutinya atau sesuatu yang serupa dengannya yang tidak berkaitan dengan kejelasan kata itu.

Di antara ulama besar yang menuiis masalah balaghah dan i’jaz setelah Abdul Qahir Al-Jurjani ialah Al-Zamakhsyari Abul Qasim Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar Al-Khawa­rizmi, wafat tahun 538 H. Penulis Al-Kasysyaf fi Tafsir AI-Quran, menjelaskan bahwa i’jaz Al-Quran disebabkan dua hal: struktur kalimatnya dan pemberitaannya mengenai persoalan-persoalan gaib. Timbul pertanyaan berkaitan dengan pendapat beliau mengenai persoalan pemberitaannya masalah-masalah gaib. Karena persoalan ini tidak terdapat pada setiap surat AI-Quran, padahal ketika Al-Quran menentang mereka untuk membuat sebuah surat yang serupa dengannya adalah jelas dalam hal struktur katanya, tidak seperti pendapat beliau. Kalaulah pemberitaan mengenai persoalan-persoalan gaib juga merupakan mukjizat, maka mengapa persoalan tersebut tidak terdapat pada semua surat Al-Quran?

Ulama lain yang menulis mengenai balaghah dan i’jaz adalah Muhammad bin Umar Al-Razi, wafat tahun 606 H. Beliau telah berupaya menulis ikhtisar mengenai persoalan balaghah yang di­tulis oleh AI Jurjani dan AI-Zamakhsyari. Setelah beliau adalah Al-Saksaki Yusuf bin Abi Bakar bin Muhammad bin Ali Al-Khawarizmi, wafat tahun 626 H. Beliau menulis Miftah AI-'Ulum yang diikuti oleh Sayyid Yahya bin Hamzah Al-'Alawi Al-Yamani, wafat tahun 749 H. Beliau menulis Al-Thiraz Al-Mutadhammin li Asrar Al-Balaghah wa 'Ulum Naqaiq Al-I'jaz. Selanjutnya, ke­banyakan para ulama yang menulis persoalan tersebut mengikuti atau berbeda pendapat dengan mereka. Jelasnya, semuanya berhutang budi kepada mereka.

5
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

"Tantangan" Allah di Awal Turunnya AI-Quran
Kita maklum bahwa Al-Quran memiliki banyak bentuk i’jaz. Di sini muncul persoalan, apakah tantangan dan mukjizat pada permulaan turunnya AI-Quran termasuk segala bentuk i’jaz Al-Quran atau hanya sebagian dari padanya? Sebagian ulama berpendapat bahwa tantangan tersebut terhadap seluruh bentuk i’jaz, tidak hanya terhadap satu atau beberapa bentuk tertentu saja.

Penulis Al-Mizan fi Tafsir AI-Quran berpendapat: "Sekiranya tantangan Al-Quran hanya terhadap balaghah kejelasan Al-Quran dan kelimpahan uslub-nya saja, maka tantangan tidak akan hanya dihadapkan kepada kaum tertentu. Orang-orang Arab, termasuk kaum jahiliah dan mukhadhramin (para penyair Arab yang hidup pada zaman jahiliah dan Islam), sebelum bahasa mereka berbaur dan rusak, tentu akan melecehkannya. Sementara ayat AI-Quran menembus pendengaran manusia dan jin, maka sudah barang tentu (kemukjizatan) Al-Quran itu bukanlah balaghah dan kelimpahan uslub-nya saja, akan tetapi mencakup seluruh karakteristik khusus yang dimiliki Al-Quran seperti pengetahuan tentang hakikat, akhlak mulia, hukum-hukum syariat, berita-berita gaib dan pengetahuan-pengetahuan lain yang belum terungkap oleh manusia secara mendalam ketika AI-Quran pertama diturunkan, dan sebagainya. Masing-masing karakteristik tersebut hanya diketahui oleh sebagian manusia dan jin saja.

"Dengan demikian tantangan yang dihadapkan kepada kedua makhluk tersebut, tidak lain adalah dalam segala hal yang memungkinkan masing-masing memiliki keistimewaan karakteristik."

Tantangan dan mukjizat yang ada dalam Al-Quran adalah dalam hal penjelasan Al-Quran (al-bayan Al-Qurani) dan balaghah­-nya pada struktur kalimat, bukan dalam hal hukum dan akhlak, dan berita gaib. Alasannya adalah karena Al-Quran menantang manusia dan jin untuk membuat sebuah surat yang sama dengan surat Al-Quran. Maksudnya, bahwa masing-masing surat Al-Quran merupakan mukjizat yang masing-masing surat berdiri sendiri dalam hal i’jaz dan tantangannya terhadap seluruh makhluk, Hanya saja bentuk i’jaz yang dimiliki oleh masing-masing surat Al-Quran bukanlah keseluruhan bentuk i’jaz, karena sebuah surat dalam Al-Quran, seperti surat Al-Nashr atau Al-Kautsar, tidaklah memiliki keseluruhan bentuk i'jaz. Namun yang perlu dicatat adalah bahwa seluruh surat dalam AI-Quran memiliki bentuk i'jaz dalam hal balaghah-nya (i'jaz al-balaghiy). Jadi jelaslah bahwa tantangan pada awal turunnya Al-Quran bukanlah terhadap seluruh bentuk i'jaz.



Apakah "Tantangan" Allah dpt Menjadi Bukti adanya I'jaz?
Ketika Muhammad saw. diangkat menjadi Nabi, kaum Musy­rikin Makkah meminta bukti atas kebenaran dakwahnya. Maka Allah SWT menjawab bahwa Al-Quran merupakan bukti yang paling besar dan paling sempurna untuk menjadi petunjuk atas kebenaran dakwah beliau. Allah SWT berfirman:

Dan orang-orang kafir Makkah berkata: “Mengapa kepadanya tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah bahwa sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata. Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al-Quran yang dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya dalam Al­Quran itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (Al-Ankabut: 50-51)

Dengan begitu, maka para penentang itu memahami maksud ayat mulia tersebut. Mereka mengetahui dari ayat tersebut makna i'jaz. Sehingga para penentang tersebut mulai mengingkari bahwa dalam Al-Quran tedapat bukti kebenaran dakwah beliau. Mereka mengatakan:

Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti itu), sekiranya kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang serupa dengan ini. Sesungguhnya ini (Al-Quran) tidak lain hanyalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu. (Al-An fal: 31)

Ketika orang-orang kafir menjawab demikian, maka mulailah Al-Quran menantang mereka. Inilah kali pertama ayat tantangan diperdengarkan kepada mereka. Mereka ditantang untuk membuat saingan Al-Quran. Ayat tantangan yang pertama kali turun adalah:

Katakanlah bahwa sekiranya manusia dan jin berkumpul untuk membuat sesuatu yang sama dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, kendatipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain. (Al-Isra: 88)

Surat ini adalah surat Makiyah, begitu juga ayat tersebut. Menurut pendapat yang masyhur, suratini merupakan surat kelima puluh. Al-Quran yang sudah diturunkan ketika itu tidak lebih dari setengahnya. Dengan demikian, maka tantangan ketika itu adalah membuat serupa dengan AI-Quran yang telah diturunkan, ketika ayat tantangan tersebut diwahyukan. Kaum Musyrikin men­dengarkan tantangan tersebut, sehingga mereka bungkam di hadapannya; mereka tidak bisa berbuat sesuatu. Kalaulah mereka mampu menentangnya pasti mereka akan melakukannya. Lebih-lebih ketika mereka mengatakan: "sekiranya kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang serupa dengan ini". Kendatipun ucapan mereka itu terdapat di dalam surat Al-Anfal, surat Madaniyah, surat kedua yang diturunkan di Madinah, akan tetapi ayat ini adalah ayat Makiyah. Ucapan mereka di atas didahului dengan:

Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, (mengesakan Allah) ini tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan. (Shad: 7)

Mereka menuduh Rasulullah saw. - sebelum mereka diseru kepada Islam oleh beliau mereka menggelarinya 'al-shadiq al-amin" (orang jujur yang terpercaya) - tukang sihir dan pendusta hanya karena kepada mereka dibacakan ayat-ayat Al-Quran yang mulai mereka musuhi.

Shad. Demi Al-Quran yang mempunyai keagungan. Sebenar­nya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang Kami binasakan, kemudian mereka minta pertolongan. Padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. Dan mereka heran karena mereka didatangi seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir mengatakan: “Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta". (Shad: 1-4)

Selanjutnya, Al-Quran begitu merisaukan dan mencela orang-orang Arab dengan menggunakan struktur-struktur kalimat dan ayat-ayatnya yang begitu padat makna sehingga menggelisahkan pendengaran para sastrawan, ahli balaghah, ahli kalam, dan para penyair di kalangan mereka.

Ketika mereka ditantang, padahal di antara mereka banyak yang termasuk ahli kalam dan balaghah, mereka tetap saja tidak ada yang dapat menandingi Al-Quran. Ayat pertama yang menantang mereka disebutkan di dalam surat Yunus, surat Makiyah, dan ayatnya juga termasuk ayat makiyah. Kali ini yang ditantang adalah membuat sebuah surat yang bisa menandingi surat Al­Quran. Di dalam ayat ini disebutkan tuduhan mereka terhadap Rasulullah saw. sebagai pendusta. Allah SWT berfirman:

Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad mem­buat-buatnya." Katakanlah: "Buatlah sebuah surat yang serupa dengan AI-Quran dan ajaklah mereka yang mampu di antara kalian selain Allah, sekiranya kalian termasuk orang­orang yang benar. " (Yunus: 38)

Tantangan ini lebih tegas dari tantangan yang pertama. Pada ayat tersebut, makna i'jaz begitu jelas bagi mereka. Ia begitu tegas mengajak mereka berdebat dan berargumentasi, justru di saat mereka dipandang memiliki kepiawaian berbicara, termasuk juga perlombaan baca-tulis syair yang sering dipamerkan di pasar-sastra mereka; di saat mereka begitu benci dan iri hati terhadap risalah dan pembawanya sehingga mereka memerangi RasuluIlah dan orang-orang beriman dengan berbagai cara. Kendatipun demikian, dan betapapun mereka sangat terganggu, mereka tatap saja tidak mampu menandingi Al-Quran. Akhimya, mereka meminta bantu­an kepada para ahli balaghah di kalangan mereka, Seorang ahli balaghah di antara mereka, Walid bin Mughirah, tidak lain hanya mengatakan -setelah mendengar Nabi saw, membacakan sebuah ayat dari firman Allah yang dibaca ketika shalat - "Apakah kalian mengira bahwa Muhammad itu gila? Pernahkah kalian menyaksikannya linglung? Apakah kalian mengira dia itu tukang nujum, dan pernahkah kalian menyaksikan ia melakukan itu? Apakah kalian mengira dia itu penyair, padahal di antara kalian tidak ada yang lebih tahu tentang syair dari pada aku; apakah kalian pernah menyaksikannya bersyair? Apakah kalian mengira bahwa dia pendusta, apakah kalian pernah mendapatinya mendustakan sesuatu?" Walid bertanya kepada mereka dan mereka semuanya menjawab: "Sekali-kali dia tidak pernah berdusta dalam hal apa pun." Dialog ini telah begitu menyadarkan mereka sehingga mereka ingin membalas pernyataannya dengan bertanya kepada Walid mengenai tafsir balaghah Al-Quran. Walid sejenak berpikir, lantas berkata: "Itu tidak lain hanyalah sihir yang nyata. Bukanlah kalian tidak pernah menyaksikan ia memisahkan antara suami dengan istrinya, anak-anak dan maula-maula-nya? Dialah seorang tukang sihir, dan inilah sihir yang abadi."

Di tempat lain dia berkata: "Demi Allah, sungguh betapa manisnya ia; betapa indahnya ia. Di atasnya berbuah, di bawahnya begitu subur makmur. Sungguh dia itu tinggi dan tidak akan ada yang menandinginya."

Sekali lagi, Al-Quran begitu merisaukan pendengaran mereka. Kali ini ayat yang ditantangkan kepada mereka adalah ayat-ayat Makiyah juga. Allah SWT berfirman:

Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat­buatnya. " Sebenarnya mereka tidak beriman. Maka hendak­lah mereka mendatangkan kalimat yang semisal AI-Quran, jika mereka orang-orang yang benar. (Al-Thur: 33-34)

Tantangan itu benar-benar membuat mereka bisu dan me­ragukan kata-kata yang mereka tuduhkan itu - sebagai tukang sihir dan gila. Mereka tetap saja tak bisa menandingi Al-Quran, yang bisa mereka katakan hanyalah: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?"

Dan tatkala kebenaran (Al-Quran) datang kepada mereka. Mereka berkata: “Ini adalah sihir dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya." (Al-Zukhruf: 30)

Akhirnya, sikap lemah orang-orang kafir sudah sampai pada puncaknya. Di saat itu pula Al-Quran terus diturunkan sehingga mereka semakin terdesak dan tidak punya jalan lain selain meng­asumsikan, bahwa Al-Quran adalah dibuat-buat belaka. Jika masalahnya demikian, yaitu bahwa hluhammad saw. adalah manusia biasa seperti mereka yang kemudian membuat-buat Al-Quran, maka lantas apa yang menghalangi mereka untuk membuatnya sebagaimana Muhammad saw.? Kemudian mereka membuat sepuluh surat yang dibuat-buat (muftarayat).

Allah SWT berfirman:

Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat­buat Al-Quran itu." Katakanlah bahwa (Kalau demikian) datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamai­nya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu), maka ketahuilah sesungguhnya Al­Quran diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwasanya tiada Tuhan selain Dia. Maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah)? (Hud: 13-14)

Tantangan yang pertama kali diturunkan adalah di Madinah, setelah hijrah, yaitu pada surat Al-Baqarah. Allah berfirman:

Dan sekiranya kalian meragukan apa-apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah sebuah surat yang sama dengannya dan ajaklah penolong-penolong selain Allah, jika memang kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir. (AI-Baqarah: 23-24)

Ayat Al-Quran ini menegaskan kepada mereka suatu kepastian bahwa mereka mustahil dapat menandingi AI-Quran. Kalau mereka mampu menandinginya, sudah barang tentu mereka tidak akan berdiam diri selama-lamanya, padahal mereka begitu bergairah menentang Muhammad saw. Dimata mereka, Muhammad begitu mempersulit dan membuat mereka begitu terdesak, padahal mereka adalah kaum yang memiliki tingkat ashabiyah (rasa kesukuan) dan fanatisme jahiliah; mereka adalah kaum yang merasa memiliki tingkat balaghah dan bayan yang jauh lebih bisa menjadikan mereka untuk berbangga-bangga. Mereka tidak pemah merasa berbahagia sebagaimana bahagia yang disebabkan syair dan balaghah. Namun, ketika mereka mendapati dirinya berada di hadapan balaghah yang begitu tinggi, dengan struktur kata yang begitu tangguh dan begitu bermakna tinggi, mereka baru merasa tidak mampu untuk melakukannya. Karena mereka tidak mampu melakukan hal demikian, maka mereka mulai secara terang-terang­an memusuhi Nabi saw. Mereka mulai mengumumkan perang dengan beliau dan orang-orang yang beriman kepadanya; pena di­ganti dengan pedang. Untuk mencapai tujuan itu mereka mengerahkan segala daya dan upaya. Mereka melakukan hal ini tidak lain karena mereka tidak mampu menandingi AI-Quran, sehingga di antara mereka ada yang meyakini bahwa Al-Quran bukanlah ucapan manusia. Sebagian mereka beriman kepada Nabi saw:, dan sebagian lain mengingkari karena mereka iri hati dan pongah. Dengan begitu, sungguh tegaslah i’jaz Al-Quran dan hal itu pulalah yang menunjukkan kebenaran Muhammad saw., bahwa beliau benar-benar diutus dari Sang Maha Perkasa, yang mengatasi segala kekuatan manusia.



Bentuk Lain I'jaz Al-Quran
Tantarigan yang ditunjukkan Al-Quran tidak terbatas hanya pada keharusan membual sesuatu yang menyamai Al-Quran, atau sebuah surat yang sama dengannya, akan tetapi Al-Quran juga menantang dengan hal-hal lain yang ditunjukkannya. Allah berfuman:

Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau sekiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka telah mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya. (An-Nisa: 82)

Di dalam ini tidak ada satu wujud pun, kecuali timbul secara bertahap; dati lemah dirinya menjadi kuat, dan dari kurang menjadi sempurna. Begitu juga semua yang mengikuti d,irinya dan kumulasinya adalah disebabkan oleh af’al (perbuatan-perbuatan) dan atsar (akibat-akibat). Ringkasnya, manusia adalah wujud yang selalu berubah dan berevolusi di dalam wujudnya, perbuatan­perbuatannya dan akibat-akibatnya, yang akibat-akibat tersebut dicapai dengan pikiran dan pengetahuan. Tidak ada seorang pun di antara kita, kecuali setiap hari ia akan melihat dirinya hari ini lebih sempurna dari hari kemarin. Adapun sikapnya pada saat yang lain, selalu ingin berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam perbuatan dan ucapan pada saat pertama, adalah persoalan yang tidak bisa dipungkiri oleh manusia mana pun yang mempunyai kesadaran.

Al-Quran adalah sebuah Kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dengan bertahap. Ia disampaikan kepada manusia ayat demi ayat secara bertahap (tidak sekaligus) selama 23 tahun, di tempat-tempat yang berbeda dan dengan kondisi-kondisi yang beragam, di Makkah atau Madinah. Ia diturunkan pada siang atau malam hari, ketika menetap atau sedang dalam perjalanan, ketika damai atau perang, kalah atau menang, aman atau menakutkan; ketika untuk menyampaikan pengetahuan-pengetahuan Ilahiyah, mengajarkan akhlak mulia, dan memberlakukan hukum-hukum agama dalam berbagai hal. Namun demikian tidak terjadi suatu ikhtilaf pun di dalamnya, dalam hal struktur kata yang serupa, mutu ayat-ayatnya. Ia merupakan sebuah Kitab yang serupa, mutu ayat-ayatnya,dan berulang-ulang.

Pengetahuan-pengetahuan yang disampaikan Al-Quran, dan prinsip-prinsip yang diberikannya tidak pernah saling membatalkan satu sama lain; tidak pernah mematikan satu dengan yang lain. Ayat-ayat AI-Quran, satu sama lain saling menafsirkan, saling men­jelaskan, dan kalimat-kalimatnya saling membenarkan, sebagaimana Ali r.a. mengatakan: "(Al-Quran itu) saling menjelaskan bagian-bagiannya dan saling menjadi saksi satu sama lain."

Kalaulah AI-Quran bukan dari sisi Allah, sungguh akan ter­jadi perbedaan dalam hal keserasian dan keindahannya. Ucapannya akan berbeda-beda dari segi syadaqah (efektivitas pembicaraan) dan balaghah-nya, maknanya dari segi salah dan benarnya, dan dari segi kesempurnaan dan kekukuhannya."

Al-Quran pada keadaan seperti itu, tidaklah diturunkan di tempat geografis tertentu, dan tidak pula dikhususkan untuk kaum tertentu, akan tetapi diperuntukkan bagi semua manusia. Ia menyeru seluruh manusia, di mana saja ia berada, di penjuru bumi mana pun ia tinggal, dan kapan saja. Hukum-hukum Al-Quran ber­sifat kontinyu sampai hari kiamat. Al-Quran adalah sebuah Kitab samawi yang membenarkan dan menunjukkan dengan jelas bahwa telah terjadinya penyelewengan-penyelewengan pada agama-agama samawi sebelumnya. AI-Quran mengingatkan kita tentang apa yang sebenarnya terjadi dan memprediksi peristiwa-peristiwa yang akan terjadi. Al-Quran menegaskan dasar-dasar praktis evolusi manusia yang sempurna, syarat-syarat dan karakteristik-karakteristik yang menjadi faktor evolusi tersebut. AI-Quran juga menunjukkan akibat dari penyelewengan seruannya yang di dalamnya tidak terjadi ikhtilaf sedikit pun, baik dalam struktur maupun penjelasan­nya (bayan), atau dalam hal hukum-hukum dan ilmu-ilmunya (ma'arif). Materi dan hukum Al-Quran bersifat abadi. Tidak ada satu materi pun yang diubah dan tidak ada satu ketentuan (hukum) pun yang diganti. Begitu juga, kita tidak pernah men­dengar berbagai muktamar diadakan untuk mengubah materi per­undang-undangan Al-Quran.

Ringkasnya, Al-Quran adalah sebuah Kitab yang disucikan dari berbagai ikhtilaf, kukuh dalam segala halnya, baik di tengah maupun di kedua sisinya; dalam hal balaghah maupun bayan, hukum, keadilan dan etikanya. Di dalamnya tidak ada kontradiksi dan kerancuan. Ia benar-benar merupakan firman yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan sekali-kali bukanlah Al­Quran itu senda gurau. Semua yang termaktub di dalamnya berbeda dengan hal-hal yang dibuat oleh makhluk, dalam segala halnya, baik dalam hal struktur kata, balaghah, hukum-hukum maupun prinsip-prinsipnya; baik dalam hal surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf, struktur-struktur kalimat, kemuliaan dan ketinggian, maupun ungkapan dan kalimat-kalimatnya. Kalimat itu sendiri mencakup balaghah-nya.

Sedangkan struktur-kalimat (uslub) adalah khusus mengenai makna lain kemuliaan Al-Quran. Begitu juga halnya dengan fawatih (pembuka) dan khawatim (penutup), mabadi dan matsani, thawali dan maqathi; wasaith dan fawashil; kemudian ungkapan dalam struktur surat dan ayat, tafashil-al-tafaskil, dalam hal banyak dan sedikitnya, ungkapan muwasysyah dan murashsha'­nya, mufashshal dan musharra'-nya, muhalla dan mukallal-nya, muthawwaq dan mutawwaj-nya, yang mauzun dan yang tidak mauzun (kharij 'an al-wazn), keajegan struktur dan mutashabih­nya; cara keluar dari satu fashal ke fashal yang lain, dari washal ke washal yang lain, dari satu makna ke makna yang lain, makna ke dalam makna, pengumpulan di antara yang mu'talaj (sama) kepada yang mukhtalaf (berbeda), dari yang muttafaq kepada yang muttasak; banyaknya tashanuf, kebenaran suatu ungkapannya (salamat al-gaul) - semuanya termasuk ta'assuf,- dan cara keluarnya dari ta ammuq dan tasyadduq, dalam hal dimensi ta'ammul dan takallulafaz-nya, dan kosa katanya, penciptaan huruf dan adatnya, mengenai penciptaan kandungan makna dan katanya, basth dan gabdh-nya, bina dan naqdh-nya, keringkasan (ikhtishar) dan penjelasannya (syarh), tasybih (penyerupaan) dan penyifatannya (washf), pemisahan ibtida' dari atba'-nya, juga yang mathbu' dari yang mashnu' .... semuanya termasuk yang dilakukan oleh Al-Quran dengan cara yang sangat agung, dengan ketelitian yang tiada taranya. Alangkah indahnya ketika ia bersumber dari Tuhan, ketika ia sebagai persoalan syara' dan firman Allah, yang semuanya menjadi bukti bahwa Al-Quran bersumber dari keluhuran AI-Malakut dan kemuliaan AI-Jabarut.


6
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

BAB 2

AL-QURAN DAN RAHASIA ANGKA-ANGKA (I'JAZ 'ADADI)
Al-Quran Al-Karim, seluruh isinya merupakan mukjizat. Simbol-simbol maknanya, yaitu lafaz-lafaznya, juga merupakan mukjizat; dan ketika makna tersebut dilekatkan kepada sebuah lafaz, ia memberi makna kepada kata. Kata-kata Al-Quran, dengan susunannya yang teratur pada serangkaian mukjizat terbesar ini menerangkan i’jaz AI-Quran kepada kita dengan sangat jelas. Kata­kata dalam Al-Quran, dengan sejumlah pengulangannya, juga merupakan mukjizat. Jumlah kata-kata dalam AI-Quran yang menegaskan kata-kata yang lain ternyata jumlahnya sama dengan jumlah kata-kata Al-Quran yang menjadi lawan atau kebalikan dari kata-kata tersebut, atau di antara keduanya ada nisbah kebalikan atau kontradiktif. Apabila jumlah kata-kata yang ada dalam Al­Quran merupakan mukjizat, maka begitu pula huruf-hurufnya. Jumlah-jumlah huruf tertentu dalam Al-Quran, pada dasarnya, merupakan mukjizat yang agung. Mukjizat dalam Al-Quran tidak hanya terbatas pada ayat-ayat mulianya, makna-maknanya, prinsip-prinsip dan dasar-dasar keadilannya, serta pengetahuan­pengetahuan gaibnya saja, melainkan juga termasuk jumlah-jumlah yang ada dalam Al-Quran itu sendiri. Begitu juga jumlah pengu­langan kata dan hurufnya. Fenomena i’jaz 'adadi pada Al-Quran bukanlah temuan baru, akan tetapi sudah melewati lintasan sejarah yang panjang. orang-orang yang melakukan studi tentang 'ulum Al-Quran sejak dahulu sudah menyadari adanya fenomena tersebut. Mereka menyadari bahwa pemakaian huruf dan kata dengan jumlah tertentu memiliki maksud dan tujuan tertentu. Sehingga mereka bentpaya menyingkap' rahasia hubungan antara jumlah­jumlah tersebut dengan makna-makna katanya. Misal, kaum Salaf begitu memperhatikan huruf-huruf muqaththa'ah pada permulaan-­permulaan sebagian surat pada Al-Quran; mereka menyadari bahwa pada pengulangan huruf-huruf muqaththa'ah tersebut ter­dapat makna-makna tertentu.


Pandangan Kaum Salaf tentang Huruf-huruf Muqaththa'ah
Para peneliti terdahulu tnencatat bahwa surat-surat yang dibuka dengan huruf-huruf muqaththa'ah berjumlah 29 surat, sementara jumlah huruf hijaiyah Arab ditambah dengan huruf "hamzah" juga berjumlah 29 huruf, dengan sudut pandang bahwa Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab.

Merekajuga menenukan bahwa huntf-huruf tersebut, dengan tidak mengikutkan huruf-huruf ulangan, berjumlah 14 huruf. Jumlah tersebut (14) adalah setengah dari jumlah huruf hijaiyah Arab, tentu tidak termasuk huruf . Jumlah ini telah saya buktikan dan saya hitung menurut rangkaian turunnya dengan tidak memasukkan huruf-huruf ulangan, yaitu huruf: ن ص ق ا ل م ي س ك ح ع ط ر dan ه.

Saya yakin bahwa pada huruf-huruf tersebut terdapat setengah dari huruf-huruf mahmusah (yang dibaca lemah); di dalamnya juga termasuk huruf-huruf pembuka surat: س ک ح ه dan ص.

Dalam huruf-huruf ini, maksudnya huruf-huruf muqaththa'ah pada pembuka-pembuka surat (fawatih al-suwar), terdapat setengah dari huruf-huruf majhurah (setiap huruf Arab yang selain huruf mahmusah), yang berjumlah delapan belas, yaitu 9 huruf: ا ط ي ل م ن ع ف ق dan ر

Di dalamnya juga terdapat setengah dari huruf halq : ح ه dan ع

Huruf halq berjumlah 6 : ا ح ه ع خ dan غ

Di dalamnya juga terdapat sebagian dari huruf yang bukan halq yang berjumlah 22 huruf. Huruf-huruf yang bukan halq ialah: ك ق ف ض ط ص ش س ز ر د ذ ج ث ت ل م ن و dan ي

Sebagian lainnya adalah huruf-huruf: ن ق ص ل م ي س ك ط ر dan ا yang lembut (layyiuah). Di dalamnya juga terdapat sebagian dari huruf-huruf syadulah yang

berjumlah 8, yang bisa dikumpulkan dalam ungkapan: "ajadat kaquthubin". Sebagian huruf-huruf tersebut ialah ا , sebagai ganti dari ء ك ق dan ط.

Begitu juga di dalamnya terdapat sebagian dari huruf-huruf yang tidak syadidah yang junilahnya 22 huruf, yaitu selunth huruf hijaivah Arab selain huruf-huruf syadidah. Di dalamnya juga terdapat setengah dari huruf-huruf muthbiqah yang berjumlah 4 huruf, yaitu . ط ظ ص ض

Sebagian huruf­huruf muthbiqah pada huruf-huruf pembuka surat tersebut adalah dua huruf, yaitu: ط dan ص .

Selanjutnya, di dalamnya terdapat huruf-huruf yang tidak muthbiqah yang berjuntlah 24 huruf, yaitu: ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ع غ ف ق ك ل م ن ه و dan ي .

Sebagian huruf-huruf pembuka (fawatih) yang tidak termasuk huruf-huruf muthbiqah ialah huruf : ر ع س ق ك ل م ن ه dan ي dengan kekecualian huruf ا . Termasuk yang saya temukan adalah bahwa di dalamnya terdapat sebagian dari huruf-huruf layyin (lemah) yang jumlahnya 2 huruf yaitu و dan ي Sebagian huruf layyin dari jawatih adalah huruf ي .

Para ulama terdahulu juga telah melakukan penghitungan seperti di atas, dan sebagian di antara huruf-huruf tersebut diletakkan atas dasar pengetahuan mereka. Sebenarnya ada persoalan-persoalan lain yang tampak jelas bagi saya dari celah­celah penghitungan yang saya lakukan mengenai jumlah jumlah huruf yang insya Allah akan saya jelaskan dengan baik.

Al-Suyuthi mengisyaratkan: "Dengan begitu, pembukaan surat­surat dengan huruf-huruf muqaththo'ah dan kekhasan masing­masing dengan huruf yang membukanya menyebabkan tidak mungkin "alif lam mim" dapat diletakkan di tempat "alif lam ra", juga tidak mungkin "ha mim" bisa diletakkan di tempat "tha sin mim".

Begitulah, masing-masing surat dimulai dengan salah satu huruf dari padanya sehingga kebanyakan kata-kata dan huruf­hurufnya menjadi penyerupa baginya.... Misal, surat Qaf dimulai dengan huruf karena pada surat tersebut terjadi pengulangan kata-kata yang melafalkan huruf seperti ketika menyebutkan kata "AI-Quran", ".Al-Khalq", pengulangan kata derivat "Al-Qaul" dan perujukannya yang sering dilakukan, mengenai "AI-Qurbu" (kedekatan)-Nya dari Ibnu Adam, "talaqqiy al-malakain", kata "qa'id", "raqib". "saiq", "ilqa" (dimasukkan) ke neraka jahanam, "taqaddum" (keterdahuluan) dengan janji, "muttaqin", "qalb", "qurun", "tanqib" di suatu negeri, "ta­syaqquq" (keterbelahan) bumi, "huquq" (hak-hak) mengenai ancaman (wa'id), dan scbagainya ... Dalam surat Yunus yang dimulai dengan "alif lam ra" terdapat 200 kata atau lebih yang pada kata tersebut terdapat huruf "alif, lam dan ra."

Penjelasan Al-Suyuthi di atas jelas membuktikan tentang ada­nya perhatian kaum Salaf terhadap fenomena i’jaz AI-Quran. Bukan saja mengenai bayan (penjelasan), nudhum (sttuktur) dan ma ani (arti-arti kata), melainkan juga mengenai jumlah huruf dan kara-katanya. Pendapat-pendapat mereka mengenainya ditegaskan pula oleh para peneliti masa kini. Mengenai fenomena i’jaz 'adadi, secara spesifik, telah diteliti oleh Doktor Rasyad Khalifah,' Abdul Razak Naufal, dan Doktor Ali Hilmi Musa. Tentunya juga termasuk yang ada pada pembaca.



Pandangan Ulama Mutakhir tentang I'jaz AI-Quran
Baru-baru ini Doktor Rasyad Khalifah menulis sebuah buku mengenai i’jaz adadi Al-Quran dengan kunci angka 19. Buku tersebut oleh Muhammad Shidqi Bek diberi catatan dan beliau menemukan beberapa kesalahan pada penghitungannya. Berikut ini adalah beberapa catatan yang saya lakukan berdasatkan per­hitungan yang dilakukannya.

Pertama, Doktor Rasyad Khalifah tidak menghitung huruf mudha'aj sebagai dua huruf; beliau menghitungnya satu huruf. Kedua, beliau hanya menghitung satu basmalah untuk seluruh Al-Quran; beliau tidak menghitung basmalah di dalam 112 surat yang lain. Ketika beliau tidak menghitung 112 basmalah tersebut, maka berarti beliau mengesampingkan kata "Allah", "Al-Rahman", dan "AI-Rahim". Mengenainya, beberapa catatan penting diberikan oleh Muhammad Shidqi Bek. Korespondensi antara keduanya pun, untuk menyempurnakan tulisan mengenai studi Al-Quran tersebut dan penyingkapan mukjizatnya yang semakin hari semakin terungkap, sudah dilakukan.

Di antara studi Rasyad Khalifah yang saya garisbawahi ialah bahwa sesekali beliau memasukkan basmalah pada setiap awal surat kepada perhitungannya, akan tetapi pada kali lain beliau tidak menghitungnya. Saya tidak tahu atas dasar rumus apa beliau menghitungnya. Semestinya suatu rumus hitungan harus ditolak ketika ada kekecualian, kecuali bila ada alasan rasional yang bisa memasukkan kekecualian tersebut dalam perhitungan. Karena asumsinya berkenaan dengan jumlah, yang merupakan persoalan matematis, sementara aturan umum (general rule), tidak bisa menerima perkecualian-perkecualian. Dengan begitu, maka ketika itu masalah i’jaz menjadi tegas. Kritik lain yang bisa disampaikan kepada Doktor Rasyad Khalifah adalah klaimnya bahwa hari kiamat akan terjadi pada tahun 1709 H. 'Tentunya juga termasuk persoalan-persoalan lain yang memerlukan pembahasan panjang yang perlu buku khusus untuk membahasnya. Namun demikian, selayaknya kita sampaikan penghormatan kepada beliau atas kesungguhannya melakukan penelitian dalam studi AI-Quran sebagai pengabdian terhadap AI-Quran,juga kesungguhan yang dilakukan oleh para peneliti yang lain dalam lapangan ini, selama tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah yang suci.

Abdul Razaq Naufal juga menulis mengenai i’jaz 'adadi dalam buku yang berjudul AI- i’jaz Al-'Adadiy fi Al-Quran Al Karim. Dalam buku tersebut beliau menulis beberapa tema. Pada tema-tema tersebut, beliau menjelaskan keharmonisan dan kesesuaian yang terjadi di antara jumlah kata-kata Al-Quran. Ber­ikut ini adalah di antara sejumlah perhitungan yang benar-benar merupakan mukjizat:

Kata "Iblis" (la'nat Allah 'ahih) dalam AI-Quran disebutkan sebanyak 11 kali, sementara "isti'adzah "juga disebutkan sebanyak 11 kali. Kata "ma'shiyah" dan derivatnya disebutkan sebanyak 75 kali, sementara kata "syukr" dan derivatnya juga disebutkan sebanyak 75 kali.

Kata "al-dunya" disebutkan sebanyak 715 kali. Begitu juga kata "al-akhirah". Kata 'al-israf" dengan berbagai derivatnya di­sebutkan sebanyak 23 kali. Begitu juga kata kebalikannya, yaitu kata "al-sur ah" dengan berbagai derivatnya disebut sebanyak 23 kali. Kata "malaikat" disebutkan sebanyak 88 kali. Sementara kata "al-syayathin" juga disebutkan sebanyak 88 kali. Kata "al­sulthan" dengan berbagai derivatnya disebutkan sebanyak 37 kali dan kata kebalikannya, yaitu kata 'al-nifaq" dengan berbagai derivatnya juga disebutkan sebanyak 37 kali. Dan kata "al-harr" (panas) disebutkan 4 kali, sama dengan kata kebalikannya, yaitu kata "al-harb" (dingin). Di dalam Al-Quran, kata "al- harb" (perang) dengan berbagai derivatnya disebutkan sebanyak 6 kali.

Begitu juga kata "al-usra" (tawanan) dengan berbagai derivatnya disebutkan sebanyak 6 kali. Kata "al-hayat" (hidup) dengan ber­bagai derivatnya disebutkan sebanyak 145 kali, begitu juga kata "al-maut" (mati) disebut 145 kali.

Kata "qalu" (mereka mengatakan) yang dinisbahkan kepada makhluk disebutkan sebanyak 332 kali, begitu juga kata "qul" (katakanlah) yang dinisbahkan kepada Al-Khaliq (Pencipta) disebut sebanyak 332 kali. Kata "al-sayyiat" yang menjadi kebalikan kata "al-shalihat" masing-masing disebut sebanyak 180 kali. Kata "al-rahbah" kebalikan kata "al-ragbah" masing-masing disebut sebanyak 8 kali, sementara kata 'al-naf'u" (manfaat) dan kata "al fasad" disebut sebanyak 50 kali; kata 'al-nas" dan 'a4 rusul" 368 kali; kata 'al-asbath" dan 'al-hawariyyun" 5 kali. Kata "al-jahr" dengan berbagai derivatnya disebutkan sebanyak 16 kali, dan kata "al-'alaniyyah" dengan berbagai derivatnya juga disebut sebanyak 16 kali. Kata "al-jaza" dengan berbagai derivat­nya disebut 117 kali, sementara kata "al-maghfirah" disebut dua kali lipat 'al-jaza'; yakni 234 kali. Kata "al-dlalalah" (kesesatan) dengan berbagai derivatnya disebut sebanyak 191 kali dan kata "al-ayat" disebutkan dua kali kata "al-dlalah", yakni 282 kali. Kata "yaum" (hari) dalam bentuk tunggal disebut sebanyak 365 kali, sebanyak jumlah hari pada satu tahun Syamsyiyyah. Kata "syahr" (bulan) disebut sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam satu tahun. Begitu juga kata "yaum" (hari) dalam bentuk mutsanna (dua) dan jama' (plural) disebut sebanyak 30 kali sama dengan jumlah hari dalam satu bulan.

Salah satu cendekiawan Muslim mutaakhir yang melakukan studi mengenai masalah i’jaz adadi adalah Doktor Ali Hilmi Musa, seorang ahli fisika yang mendalami kalkulator elektronik pada Universitas Kuwait yang telah meneliti berbagai persoalan penting mengenainya. Beliau saya pandang sebagai seorang peneliti yang telah mengerahkan segala daya dan upayanya yang sudah selayak­nya kita berterima kasih kepadanya; penelitian penting ini telah beliau lakukan secara mendalam. Antara lain yang beliau teliti adalah akar kata bahasa Arab dan jumlahnya. Penelitiannya, dalam hal ini, yang menarik buat kita adalah yang akurat yang dipublikasikan di dalam majalah Alam AI-Fikr, seri kedua belas, terbitan Kuwait, tahun 1982 dengan judul: Bantuan Alat-alat Hitung Elek­tronis Dalam Mempelajari Kata-kata Al-Quran Al-Karim.

Pada mulanya beliau mulai mengisi memori komputer dengan data-data yang ada di dalam Mu jam Al-Mufahras li Al-Fadh Al­Quran Al-Karim yang disusun oleh Muhammad Fu'ad Abdul Baqi. Pengisian data tersebut membutuhkan waktu selama satu tahun. Pada pertengahan tahun tersebut beliau sudah menyelesaikan sejumlah program yang direncanakan, yang tujuannya untuk menghitung jumlah kata-kata dalam Al-Quran dan jumlah kata­kata yang dimulai dengan setiap huruf dari huruf-huruf Arab; menghitung jumlah kata pada setiap surat, pertengahan ayat-ayat panjang pada setiap surat; menghitung akar-akar kata tsulatsi yang disebutkan satu kali; menghitung berapa jumlah akar kata "ilah" yang menjadi akar kata Jalalah, yaitu kata "Allah", pada setiap surat dalam Al-Quran. Beliau dapat menyimpulkan bahwa jumlah kata dalam Al-Quran adalah 51.900. Kebanyakan kata dimulai dengan huruf ء , jumlahnya 8310. sekitar 16%, yaitu hampir 1/6 kata-kata dalam Al-Quran. Selanjutnya kata-kata yang dimulai dengan huruf ق , jumlahnya sebanyak 4086 kata, sekitar 8% dari huruf-huruf Al-Quran. Kata-kata yang dimulai dengan ك (3878), 7,5%. Kata yang dimulai dengan huruf ع (3788), 7,3%; yang dimulai dengan huruf ر (3293), 6,3%; yang dimulai dengan huruf ن (2936), 5,7%; dan sisanya adalah kata-kata yang dimulai dengan huruf-huruf sebagai berikut: ب س و ح ج م ش ح ص ف د ل ه ي ت ث ذ ط ظ ض ز ث.

Apabila jumlah kata yang dimulai dengan enam huruf per­tama kita kumpulkan, yaitu huruf "hamzah", "qaf", "kaf", "ain", "ra", dan "nun" maka akan kita dapati bahwa jumlahnya adalah 26.021 kata, dan ini artinya bahwa sebanyak lebih dari setengah kata-kata Al-Quran dimulai dengan huruf-huruf tersebut. Saya berpendapat bahwa enam huruf yang pertama tersebut semuanya termasuk huruf-huruf nuraniyyah yang menjadi salah satu dari huruf-huruf muqaththa'ah yang 29 surat Al-Quran dimulai dengannya.

Dalam AI-Quran juga terdapat banyak huruf tawaim dan tanasuq seperti yang dijelaskan oleh Abdul Razaq Naufal dalam bukunya AI-Ijaz AI-Adadi. Saya mempelajari buku beliau, juga buku Doktor Rasyad Khalifah. Saya mulai berpikir bahwa selama persoalan tersebut dalam bentuk seperti itu, mengapa tidak mungkin ada bentuk lain yang sama-sama memiliki karakteristik demikian? Maka saya mulai meneliti kata-kata mutawaim, hubung­an di antara huruf-huruf tersebut, atau hubungan antara kata-kata tersebut dengan jumlah. Kemudian saya mencarinya dalam Al­Quran. Setelah saya berusaha keras dengan sering berjaga pada malam hari, maka Allah membukakan rahmat-Nya kepada saya. Rasa senang dan bahagia benar-benar memenuhi jiwa saya setiap kali menemukan hubungan antara jumlah dan kalimat yang disebutkannya dalam jumlah tersebut. Setiap kali saya menemu­kan sesuatu yang baru sungguh bergetarlah badan saya; hati saya begitu terpana atas mukjizat yang agung ini. Tentunya saya terus berharap agar saudara-saudara yang meneliti persoalan ini terus melanjutkan kiprahnya. Semoga Allah mencurahkan cahaya­cahaya baru kepada manusia dalam hal i’jaz AI-Quran AI-Karim. Sungguh Allah Maha Pemberi karunia dan Mahamulia.



Karunia Allah yang Dianugerahkan kepada Saya
Saya melanjutkan penelitian, dengan cara yang sama dan menjelaskan sebagian asumsi-asumsi yang menjadi titik tolak Abdul Razaq Naufal. Disertai dengan doa dan kesungguhan, saya mulai menemukan banyak persoalan mengenai i’jaz Al-Quran. Pernah saya mengatakan kepada diri saya sendiri, misal, apabila kata "yaum" (hari) disebutkan sebanyak 365 kali dan kata "syahr" (bulan) disebutkan sebanyak 12 kali, barangkali kata "sa'ah" (jam), misal, juga disebutkan sebanyak 24 kali, sama denean jumlah iam dalam sehari semalam. Lantas saya membuka AI-Mu jam Al-Mufahras li Alfadh Al-Quran Al-Karim, "al-sa'ah" tersebut saya hitung. Ternyata setelah saya hitung jum(ahnya 48 kali. Saya berpikir, jumlah ini tidak sesuai dengan angka yang ada, semestinya jumlah penyebutannya sesuai dengan jumlah (jam), yaitu 24 jam. Sejenak hampir saja saya putus asa. Agak­nya mungkin jumlah ini merupakan jumlah yang dihitung oleh peneliti selain saya yang meneliti dengan metode yang sama sekitar kata tersebut. Karenanya, saya perbaharui niat saya dan mulailah saya berpikir dan menghitung dengan metode lain yang berbeda dengan metode-metode terdahulu. Saya berasumsi bahwa 24 kata tersebut memiliki karakteristik khusus dari keseluruhan kata yang berjumlah 48 tersebut. Sungguh terbukti, dengan taufiq Allah SWT, saya temukan bahwa kata "sa'ah" disebutkan 24 kali dengan didahului dengan harf, dan jumlah jam pada sehari semalam pun berjumlah 24 jam. Berikut ini adalah ayat-ayat Al­Quran yang di dalamnya disebutkan kata tersebut:

1. Mereka menanyakan kepadamu tentang al-sa'ah (hari kiamat). Bilakah terjadinya? Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari kiamat) itu adalah pada sisi Tuhanmu..." (Al-A'raf: 187)

2. .... orang-orang yang mengikuti Nabi dalam sa'ah kesulitan. (Al-Taubah: 117)

3. Dan (ingatlah) akan sa'ah (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) barang sesaat pun di siang hari .... (Yunus: 45)

4. .... Dan sesungguhnya sa'ah (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik. (Al-Aijr: 85)

5. .... Hendaknya manusia mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan al-sa'ah (kiamat) itu tidak ada keraguanpadanya... (Al-Kahfi:21)

6. .... Sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik siksa maupun al-sa'ah (kiamat). (Maryam: 75)

7. Sesungguhnya al-sa'ah (hari kiamat) itu akan datang, Aku merahasiakan (waktunya) agar tiap-tiap diri dibalas sesuai dengan yang diusahakannya. (Thaha: 15)

8. (Yaitu) orang-orang yang takut terhadap (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya; dan mereka takut terhadap tibanya al-sa'ah (hari kiamat). (AI-Anbiya: 49)

9. Dan sesungguhnya al-sa'ah (hari kiamat) itu pasti akan datang; tak ada keraguan padanya; dan bahwasanya Allah membarngkitkan semua orang di dalam kubur. (Al-Mu'minun: 7)

10. Bahkan mereka mendustakan al-sa'ah (hari kiamat). (AI­Furqan: 11)

11. .... Dan Kami menyediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan al-sa'ah (hari kiamat). (Al-Furqan: 11)

12. Manusia bertanya kepadamu tentang al-sa'ah (hari berbangkit). Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan mengenainya hanyalah milik Allah. " (Al-Ahzab: 23)

13. .... Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi al-sa'ah (hari kebangkitan) itu sudah dekat waktunya. (Al-Ahzab: 63)

14. Sesungguhnya al-sa'ah (hari kiamat pasti akan datang) tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (Al-Mu'min: 40)

15. Dan tahukah kamu, boleh jadi al-sa'ah (hari kiamat) itu dekat. (Al-Syura: 17)

16. .... Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang kejadian al-sa'ah (hari kiamat) itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh. (Al-Su'ara: 18)

17. Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang al-sa'ah (hari kiamat). Karenanya janganlah kamu ragu-ragu tentang hari kiamat, dan ikutlah aku .... (Al-Zukhruf: 43)

18. Mereka tidak menunggu kecuali kedatangan al-sa'ah (hari kiamat) kepada mereka secara tiba-tiba sedangkan mereka tidak menyadarinya. (Al-Dukhan: 32)

19. Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan al-sa'ah (hari berbangkit) itu tidak ada keraguan padanya.... " (Al-Jatsiah: 32)

20. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka, (mereka) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan se-sa'ah pada siang hari. (Al-Ahqaf: 35)

21. Dan tidaklah yang mereka tunggu-tunggu melainkan al-sa'ah (hari kiamat), (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba. (Muhammad: 18)

22. Sesungguhnya al-sa'ah (hari kiamat) itu hari yang dijanjikan kepada mereka .... (Al-Qamar: 46)

23. .... Dan al-sa'ah (hari kiamat) itu lebih dahsyat dan lebih pahit, (Al-Qamar: 46)

24. (Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang al-sa'ah (hari berbangkit), kapankah terjadinya. (AI-Nazi'at: 42)

Sebagaimana anda lihat, pada ayat-ayat di atas terdapat kata "al-sa’ah" yang masing-masing didahului dengan harf; tidak di­dahului baik oleh isim maupun oleh fi'il (kata kerja).



Tujuh Langit
Salah satu karunia yang dianugerahkan kepadaku oleh Allah SWT dan yang diajarkan-Nya kepadaku adalah bahwa kata "sab'u" berkaitan dengan kata "samawat", sebelumnya atau sesudahnya. Kata tersebut dalam AI-Quran disebutkan sebanyak 7 kali. Begitu juga hari dalam seminggu berjumlah 7 hari, dan langit pun berjumlah 7. Berikut ini adalah ayat-ayat mengenainya:

1. ..... Dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikannya tujuh langit ..... (Al-Baqarah: 29)

2. Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah ..... (Al-Isra: 44)

3. Katakanlah: "Siapakah yang memiliki tujuh langit dan 'arasy yang besar" (Al-Mu'minun: 84)

4. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya ..... (Fushshilat: 12)

5. Allah-lah Yang menciptakan tujuh langit dan reperti itu pula bumi ..... (AI-Thalaq: 12)

6. Yang telah menjadikan tujuh langit berlapis-lapias. (AI-Mulk: 3)

7. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? (Nuh: 15)


Bilangan Sujud
Pada Al-Quran, akan anda temukan bahwa kata sujud yang dilakukan olch mereka yang berakal disebutkan sebanyak 34 kali. Jumlah tersebut sama dengan jumlah sujud dalam shalat sehari­hari yang dilahukan pada lima waktu sebanyak 17 rakaat. Pada setiap rakaat dilakukan dua kali sujud sehingga jumlahnya menjadi 34 kali sujud sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:

1. Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: 'Sujud-lah kamu kepada Adam' .... (2:34)

Ayat ini merupakan ayat ketiga puluh empat pada surat Al-Baqarah, yaitu surat dalam mushaf yang pertama yang menyebutkan masalah sujud yang jumlahnya sama dengan jumlah sujud keseharian.

2. .... kemudian Kami katakan kepada para Malaikat; "Ber­sujud-lah kamu kepada Adam!" .... (Al-Araf: 11)

3. Dan ingatlah ketika Kami katakan kepada Malaikat: "Ber­sujud-lah kamu kepada Adam!" .... (AI-Isra: 61)

4. dan (ingatlah) ketika kami katakan kepada para Malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!" ... (Al-Kahfi: 50)

5. Dan (ingatlah) ketika Kami katakan kepada para malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!" . . . (Thaha: 116)

6. Wahai orang-orang yang beriman, ruku' dan ber-sujud-lah kamu serta beribadahlah kamu kepada Tuhanmu . . . (AI-Hajj : 77 )

7. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujud-lah kamu sekalian kepada Yang Mahapenyayang." Mereka menjawab: "Siapakah Yang Maha Penyayang itu?" . . . (Al-Furqan: 60)

8. Janganlah kalian ber-sujud kepada matahari maupun bu­lan, dan ber-sujud-lah kamu semua kepada Allah, Zat Yang telah menciptakan keduanya (matahari dan bulan) .... (Fushshilat: 47)

9. Maka ber-sujud-lah kalian kepada Allah dan beribadahlah kalian (kepada-Nya). (Al-Najm: 62)

10. Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama-sama orang yang ruku'. (Ali Imran: 43)

11. Maka sujud-lah para Malaikat itu semuanya bersama-sama. (Al-Hijr: 30)

12. Maka ber-sujud-lah para Malaikat itu semuanya bersama­sama. (Shad: 73)

13. .... Maka semua para Malaikat itu ber- sujud, kecuali Iblis; ia enggan ... (Al-Baqarah: 24)

14.... Kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh). (An-Nisa: 102)

15.... Lalu Kami katakan kepada malaikat: "Ber-sujud-lah kamu kepada Adam!", maka mereka ber-sujud, kecuali iblis .... (Al-A'raf: 11).

16.... Maka mereka ber- sujud, kecuali iblis ....(Al-Isra: 61)

17.... Maka mereka ber-sujud, kecuali Iblis. Dan dia adalah dari golongan jin .... (AI-Kahfi: 61).

18.... Maka mereka ber-sujud, kecuali iblis, ia enggan ... (Taha: 116).

19. Berkata iblis: "Aku sekali-kali tidak akan ber-sujud kepada manusia yang Engkau telah ciptakan dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Al­ Hijr: 33).

20..... Kecuali iblis, ia berkata: 'Apakah aku akan ber­-sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?". (Al-Isra: 61).

21. Allah berfirman: 'Apakah yang menghalangimu untuk ber­- sujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" .... (AI-A'raf: i2).

22. Allah berfirman: "Wahai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-cipta-kan dengan kedua tangan-Ku?".... (Shad: 75).

23. Janganlah kalian sujud kepada matahari maupun bulan ( Fushilat: 3 7 )

24.... Mereka berkata: "Dan siapakah Yang Maka Penyayang itu? Apakah kami harus ber- sujud kepada yang kamu perintahkan kepada kami?" .... (Al-Furqan: 60).

25. Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi .... (AI-Ra'd: 15).

26. Dan hanya kepada Allah-lah sujud segala apa yang ada di langit dan bumi .... (Al-Nahl: 49).

27. Apakah kamu tlada mengetahui, bahwa kepada Allah ber­-sujud segala apa yang ada di langit, bumi .... (Al-Haj: 18).

28. Agar mereka tidak ber- sujud (menyembah) Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi .... (Al-Naml: 25).

29.... Mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga ber- sujud (sembahyang). (Ali Imran: 113).

30. Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka ber­tashbih memuji-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka ber­- sujud. (Al-A'raf: 206).

31. Aku mendapati dia dan kaumnya ber- sujud kepada matahari, selain Allah .... (Al-Naml: 24).

32. Dan jika dibacakan Al-Quran kepada mereka, mereka tidak ber- sujud. (Al-Insyihaq: 21).

33. Dan pada bagian dari malam, maka sujud-lah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang di malam hari. (AI-Insan: 26).

34. Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujud-lah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan). (AI-Alaq: 19).

Dalam Al-Quran tidak ada kata sujud yang dihubungkan dengan makhluk yang tidak berakal, kecuali satu ayat saja, yaitu dalam firman Allah SWT:
Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-keduanya sujud kepada-Nya. (Al-Rahman: 6).
Selain dalam ayat tersebut, 34 kata kerja (fi'il) sujud semuanya dihubungkan dengan makhluk berakal.



Shalat Lima Waktu
Dalam Al-Quran, kata Shalawat disebut lima kali, sama dengan jumlah shalat wajib sehari semalam: shubuh, zuhur, asar, maghrib dan isya, yaitu di dalam ayat-ayat berikut:

1. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna (shalawat) dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah: 157).

2. Peliharalah shalat-(mu), dan (peliharalah) shalat wurtha ....(Al-Baqarah: 298).

3.... Dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan shalawat Rasul .... (At-Taubah: 99)

4.... Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat Yahudi dan shalat dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah .... (Al-Haj: 40}.

5. Dan orang-orang yang senantiasa menjaga shalawat (shalat­-shalat) mereka. (Al-Mukminun: 9).




Shalat fardhu dan Sunat:
Kata shalat berikut turunan katanya, disertai dengan kata qiyam berikut turunan katanya, dalam Al-Quran disebut 51 kali. Jumlah ini sebanding dengan jumlah rakaat shalat, yaitu 17 rakaat shalat wajib yang lima, ditambah dengan 34 rakaat shalat sunat - jika shalat sunat fajar (shubuh) dipandang dua rakaat, delapan sunat rakaat shalat zhuhur, delapan rakaat shalat ashar, empat rakaat shalat maghrib, dan sunat isya dipandang satu rakaat dari dua rakaat dengan satu duduk, ditambah dengan 11 rakaat sunat malam, sehingga jumlahnya lengkap 34 rakaat. Dengan demikian, maka jumlah keseluruhan shalat tersebut dengan ditambah 17 rakaat shalat wajib menjadi 51 rakaat. Kata-kata tersebut terdapat dalam ayat-ayat berikut:

1. Dan janganlah kamu shalat terhadap teseorang dari mereka yang mati, selamanya, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya .... (At-Taubah; 84).

2. Kemudian Malaikai (Jibril) memanggil Zakaria, sedang ia tengah berdiri shalat di mihrab .... (Ali Imran: 39).

3. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat .... (AI-Baqarah: 3)

4. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’-lah bersama dengan orang-orang yang ruku'. (AI-Baqarah: 43).

5..... Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat . .. (Al-Baqarah: 83).

6. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat .... (AI-Baqarah: 110).

7. .... Dan kepada orang yang meminta-minta; dan memerdeka­kan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat .... (Al-Baqarah: 177).

8.... Mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya ... (Al-Baqarah: 277).

9. Tidakkah kamu perhatikan kepada orang-orang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah langanmu dari berperang, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" (An-Nisa: 77).

10. Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabat­mu) lalu hendaklah mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu .....(An-Nisa: 102).

11. Maka apabila kamu telah menyelasikan shalat -(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring .... (An-Nisa: 103).

12. .... Kemudian jika kamu telah aman maka dirikanlah shalat, .... (An-Nisa: 103).

13. .... Dan jika mereka berdiri untuk ber-shalat, mereka berdiri dengan malas .... (An-Nisa: 142).

14. .... Mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kamu, (yaitu Al-Quran) dan apa yang telah diturunkan sebelummu, dan orang-orang yang mendirikan shalat .... (An-Nisa: 162).

15. Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu .... (AI-Maidah: 6).

16. .... Sesungguhnya jika mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku . .. (Al-Maidah:12).

17.... Mereka yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (AI-Maidah: 55).

18. Dan agar mendirikan shalat serta bertaqwa kepada-Nya. Dan Dialah Tuhan yang kepada-Nya-lah kamu akan dihidupkan. (Al-An'am: 72).

19. Dan omng-orang berpegang teguh kepada kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala ) karena sesungguhnya kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengadakan perbaikan. (Al-A'raf: 170).

20. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkah sebahagian dasi rizki yang Kami berikan kepada mereka. (Al-Anfal: 3).

21.... Kemudian jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berikanlah kebebasan kepada mereka untuk berjalan .... (At-Taubah: 5).

22. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudaramu se­agama . . . (At-Taubah: 11).

23. Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah itu ialah orang-orang, yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada siapa pun selain Allah . . . (At-Taubah: 18).

24. .... Dan mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya .... (Al-Taubah: 71).

25. .... Dan jadikanlah rumahmu olehmu itu sebagai tempat shalat, dan dirikanlah olehmu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87).

26. Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebahagian permulaan malam .... (Hud: 114).

27. Dan orang-orang yang sahar mengharap keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepadanya .... (Al-Ra'd: 22).

28. Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman: "Hendaklah mereka mendirikan shalat" ... (Ibrahim: 31).

29. .... Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka .... (Ibrahim: 37).

30. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat .... (Ibrahim: 40).

31. Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam .... (AI-Isra: 78).

32. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahkanlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaha: 14).

33..... Dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebaikan, mendirikan shalat .... (Al-Anbiya: 73).

34.... Orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat .... (Al-Haj: 35).

35. Yaitu orang-orang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat .... (Al-Haj: 41).

36.... Maka dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ber­peganglah kamu kepada tali Allah. Dia adalah pelandungmu. (At-Taubah: 78).

37. Laki-laki yang tidak delalaikan dengan perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat .... (Al-Nur: 37).

38. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Rasul .... (AI-Nur: 56).

39. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat .... (Al-Naml: 3).

40. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-­Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat .... (Al-Ankabut: 45).

41. Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertawakkal kepada-Nya serta mendirikan shalat, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah. (AI-Rum: 31).

42. Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat ....(Luqman: 4).

43. Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan

yang mungkar .... (Luqman: 18).

44.... Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan rasul-Nya .... ('Al-Ahzab: 33).

45.... Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanyalah orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan shalat .... ( Fathir: 18).

46. Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitabullah dan mendirikan shalat .... (Fathir: 18).

47. Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat .... (Al-Syura: 38).

48.... Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberikan taubat kepadamu maka dirikanlah shalat .... (AI-Mujadilah: 13).

49. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik .... (Al-Muzammil: 20).

50.... Dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (men­jalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat .... (Al-Bayyinah: 5).

51.... Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat .... (Al-Baqarah: 125).

Semua itu merupakan karunia Allah yang membuktikan secara jelas kebenaran mazhab fiqih yang memandang bahwa bilangan shalat sunnat sehari semalam 34 rakaat.

7
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

Perintah Mendirikan Shalat
Kata kerja perintah (fi'l al-amr) "aqim" atau "aqimu" (dirikanlah) yang diikuti dengan kata "shalat" disebut sebanyak 17 kali, sama dengan jumlah rakaat shalat fardhu (17 rakaat). Yang mendukung hal demikian, adalah juga disebutkannya kata "fardh" dengan berbagai turunan katanya yang disebut sebanyak 17 kali rakaat shalat wajib dalam sehari semalam, yang juga sama dengan jumlah rakaat shalat fardhu. Ayat-ayat yang memuat kata shalat yang digabungkan dengan kata kerja perintah "aqim" atau "aqimu" tersebut adalah sebagai berikut:

1. Dan aqimu shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'-lah beserta orang-orang yang ruku'. (Al-Baqarah: 43).

2.... Aqimu shalat dan tunaikanlah zakat .... (Ali Imran: 83).

3. Dan aqimu shalat dan tunaikanlah zakat ... (AI-Baqarah: 110).

4.... "Tahanlah tanganmu dari berperang, aqimu shalat dan tunaikanlah zakat. " (An-Nisa: 77).

5.... Kemudian apabila kamu telah merasa aman maka aqimu shalat sebagaimana biasa .... An-Nisa: 103).

6.... Agar kamu aqimu shalat serta bertaqwa kepada-Nya .... (Al-An'am: 72).

7.... Dan aqimu shalat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman. (Yunus: 87).

8. Dan aqimu shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebahagian permulaan malam ... (Yunus: 78).

9. Aqimu shalat dari setelah tergelincir matahari sampai gelap malam .... (Al-Isra: 78).

10....Dan aqimu shalat untuk mengingat Aku. (Thaha: 14).

11.... Maka aqimu shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kepada tali Allah .... (Al-Haj: 78).

12. Dan aqimu shalat, dan tunaikanlah zakat .... (Al-Nur: 56).

13.... Dan aqimu shalat .... (Al-Ankabut: 45).

14.... Serta aqimu shalat, dan janganlah kamu termasuk orang­-orang yang menyekutukan Allah. (Al-Rum: 30)

15. Wahai anakku, aqimu shalat dan suruhlah (manusia) untuk mengerjakan kebajikan .... (Luqman: 18).

16.... Maka aqimu shalat .... (AI-Mujadilah: 13).

17. Dan aqimu shalat, tunaikanlah zakat .... (AI-Muzammil: 20).



Rakaat Shalat Fardhu
Kata "faradha" berikut turunan katanya dengan pengertian faridah (kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan) di dalam Al­Quran disebut sebanyak 17 kali, sama dengan jumlah rakaat shalat, seperti tercantum di dalam ayat-ayat berikut:

1.... Barangsiapa yang menetapkan niat (faradha) dalam bulan itu akan mengerjakan haji maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan .... (Al-Baqarah: 197).

2. Sesungguhnya yang mewajibkan (faradha) atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali .... (AI-Qashash: 85).

3. Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan (faradha) Allah baginya ..... (Al-Ahzab: 38).

4. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan (faradha) kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu ..... (Al­ Tahrim: 2 ).

5. Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu ber­campur dengan mereka, padakal sesungguhnya kamu sudah menentukan (faradh-tum) mahar bagi mereka ... (Al-Baqa­rah: 237).

6..... Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tetapkan (faradh-tum) itu kecuali ... (Al-Baqarah: 237).

7. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan (faradh-na) kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki ..... (Al-Ahzab: 50).

8. (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajib (faradh-na) (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam­nya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas agar kamu selalu mengingatinya. (Al-Nur: 1).

9. Tidak ada suatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan istri-istrimu sebelum kamu bercampur menentukan mahar yang ditetapkan (faradhah) maharnya .. . (Al-Baqarah: 236).

10..... Dan sebelum kamu menentukan mahar yang ditetapkan (faradhah) bagi mereka ..... (AI-Baqarah: 236).

11..... Padahal sesungguhnya kamu telah menentukan mahar yang telah ditetapkan (faridhah) bagi mereka ... (Al-Baqa­rah: 237).

12..... Orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak tahu siapa yang lebih dekat (bermanfa'at) dari mereka bagimu. Ini adalah ketetapan (faridhah) dari Allah ..... (An-Nisa: 11):

13..... Maka istri-istri yang telah kamu campuri di antara mereka berikanlah kepada mereka maharnya secara sempurna (faridhah) ..... (Al-Nisa: 24).

14..... Dan tiada mengapa bagimu terhadap sesuatu ynng telak kamu merelakannya, sesudah menentukan mahar (faridhah) itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 24).

15..... Untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan (faridhah) dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah: 60).

16. Baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan (mafrudhah). (An-Nisa: 7).

17. Dan syaitan berkata: "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba-Mu bagian yang telah ditentukan (mafrudhah) (untuk saya)." (An-Nisa: 7).



Bilangan Rakaat Shalat di Perjalanan
Dalam Al-Quran kata qashr (meringkas) berikut turunan kata­nya disebut 11 kali, dan bilangan itu sama dengan jumlah rakaat shalat harian di perjalanan yaitu 11 rakaat. Kesebelas kata-kata itu tercantum dalam ayat-ayat berikut:

1.... Maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar (taqshuru) shalat-mu, jika kamu takut diserang oleh orang-orangkafir. ..... (Ar.-Nisa: 101)

2. Dan teman-teman mereka (orang kafir dan orang fasik) membantu (syaitan-syaitan) dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-henti (yuqshirun) (menyesatkan). (Al-A'raf: 202).

3.... maka tembok-tembok kota roboh menutupi atap-atap­nya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana (qashr) yang tinggi. (Al-Haj: 45).

4. Sesungguhnya neraka itu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana (kal-qashr). (AI-Mursalat: 32).

5..... Kamu dirikan istana-istana (qushur) di tanah-tanahnya yang datar .... (Al-A'raf: 74).

6..... Dan dijadikan-Nya pula untukmu istana-istana (qushura). (AI-Furqan: 10).

7. Di sisi mereka ada bidadari-bidadari (qashirat) yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya. (AI-Shafat: 48).

8. Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari (qashirat) yang sopan menundukkan pandangannya ..... (Al-Rahman: 56).

9. (Bidadari-bidadari) jelita, putih bersih dipingit (maqshurat) di dalam rumah. (Al-Rahman: 72).

10. Dan pada sisi mereka ada bidadari-bidadari (qashirat) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya. (Shad: 52).

11..... Insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya (muqashshirin), sedang kamu tidak merasa takut . . . (Al-Fath: 27).



Wudhu dan Bilangan Basuhan
Persoalan yang erat hubungannya dengan masalah shalat, adalah wudhu. Wudhu mefiputi basuhan (ghusl) dan usapan (mash). Kata ghusl (membasuh) dengan air berikut turunan kata­nya di dalam Al-Quran disebut 8 kali, sedangkan basuhan dalam wudhu yang diperintahkan Allah kepada kita adalah 8 kali, yaitu (1) membasuh muka, (2) membasuh tangan kanan, dan (8) mem­basuh tangan kiri. Ketiga kata tersebut tercantum dalam ayat-ayat berikut:

1..... Maka basuhlah (ighshilu) mukamu dan kedua tanganmu sampai siku-sikunya ..... (Al-Maidah: 6).

2. Ayat tersebut merupakan ayat pertama dalam mushaf yang membicarakan masalah ghusl yang dihubungkan dengan wudhu.

3..... Dan jangan pula (kamu menghampiri masjid dalam ke­adaan) junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi (taghtasilul) ..... (An-Nisa: 49).

4. (Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mendi (mughtasal) dan minum." (Shad: 42).




Wudhu dan Bilangan Usapan (Masahat):
Kata "imsahu" (perintah jamak untuk mengusap) di dalam AI-Quran disebut 3 kali, sama dengan bilangan usapan yang wajib dalam wudhu, yaitu (1) mengusap kepala, (2) mengusap kaki kanan, dan (3) mengusap kaki kiri. Ketiga kata tersebut terdapat dalam ayat-ayat berikut:

1..... Maka hendaklah kalian bertayammum dengan menggunakan dengan tanah yang baik (bersih); sapulah (imsahu) mukamu dan kedua tanganmu ..... (An-Nisa: 43).

2..... Dan sapulah (imsahu) kepalamu dan kaki-kaki kamu sampai kedua mata kaki ..... (Al-Maidah: 6).

3..... Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah (imsahu) mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. ..... (AI-Maidah: 6).



Jumlah Khalifah Setelah Rasulullah saw.
Kaum Muslimin, di dalam kitab shahih mereka, telah sepakat (ijma') bahwa Rasulullah saw. telah menyebutkan bahwa jumlah khalifah sesudahnya sebanyak 12 orang, sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Bukhari di dalam shahihnya, pada awal Kitab Al-Ahkam, bab Al-Umara min Quraisy (Para Pemimpin dari Quraisy), juz IV, halaman 144; dan di akhir Kitab Al-Ahkam, halaman 153, sedangkan dalam Shahih Muslim disebutkan di awal Kitab Ad-Imarah, juz II, halaman 79. Hal itu juga disepakati oleh Ashhab Al-Shahhah dan Ashhab Al-Sunan, bahwasanya diriwayatkan dari Rasulullah saw:

Agama masih tetap akan tegak sampai datangnya hari kiamat dan mereka dipimpin oleh 12 orang khalifah, semuanya dari Quraisy.

Diriwayatkan dasi jabir bin Samrah, dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: 'Setelahku akan datang 12 Amir.' Lalu Rasulullah mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku dengar. Beliau bersabda: 'Ayahku semuanya dari Quraisy'. "

Ringkasnya, seluruh umat Islam sepakat bahwa Rasulullah saw. membatasi jumlah para Imam setelah beliau sebanyak 12 Imam; jumlah mereka sama dengan jumlah Nuqaba bani lsrail; jumlah mereka juga sama dengan jumlah Hawari Isa a.s.

Dalam Al-Quran ada jumlah yang mendukung jumlah 12 di atas. Kata Imam dan berbagai bentuk turunannya disebutkan sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah Imam kaum Muslimin yang dibatasi Rasulullah saw. Kata tersebut terdapat pada ayat-ayat berikut:

1. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu sebagai Imam bagi seluruh manusia."Ibrahim berkata: "Dan saya memohon juga dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak bagi mereka yang zalim." (Al-Baqarah: 124)

2..... Dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum AI-Quran itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman (imama ) dan rahmat ..... (Hud: 17)

3..... Dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)

4. Dan sebelum Al-Quran itu telah ada Kitab Musa sebagai pedoman (imam) dan rahmat .....Al-Ahqaf: 12)

5..... Maka Kami binasakan mereka. Dan sesungguhnya kedua

6. kota itu benar-benar terletak di jalan umum (bi imam) yang terang. (Al-Hijr: 79)

7..... Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk (Imam) yang nyata. (Yasin: 12)

8. (Ingatlah) suatu hari yang (di hari itu) Kami panggil setiap umat dengan pemimpinnya (imamihim). (AI-Isra: 17)

9..... Maka perangilah pemimpin-pemimpin (aimmah) kaum kafir, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar mereka berhenti. (At-Taubah: 12).

10. Kami telah menjadikan mereka sebagai pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ...... (AI-Anbia: 73)

11...... Dan Kami hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin­pemimpin (aimmah) dan menjadikan mereka sebagai para pewaris (bumi). (Al-Qashash: 5)

12. Dan Kami jadikan mereka pemimpln-pemimpin (aimmah) yang menyeru (manusia) ke neraka, dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. (Al-Qashash: 41).

13. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin (aimmah) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ..... (Al-Sajdah: 24)



Ayat Keduabelas
Saya berpendapat bahwa jumlah para Imam itu sama dengan jumlah para Nuqaba Bani Israil, yaitu sebanyak 12 orang naqib. Di antara yang menarik perhatian ialah ketika Nuqaba itu ber­jumlah 12, ia pun disebutkan pada ayat keduabelas dari surat Al-Maidah, yaitu ketika Allah berfirman:

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani lsrail dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin (naqib) ..... (AI-Maidah: 12)



Duabelas Khalifah Rasul saw.
Kata khalifah dan turunan kata isim-nya, yang digunakan untuk memuji, disebutkan sebanyak 12 kali. Di dalamnya dijelas­kan mengenai khilafah dari Allah SWT, yaitu pada ayat-ayat berikut ini:

1. Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi ..... " (Al-Baqarah: 30)

2. Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu ..... (Shad: 26)

3. Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa (khalaif) di bumi ..... (Al-An'am: 165)

4. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti mereka (khalaif) sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat ..... (Yunus: 73).

5. ..... Dan Kami jadikan mereka pemegang kekuasaan (khalaif) dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat­ayat kami ..... (Yunus: 73)

6. Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri ..... (Fathir: 39)

7. Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (khulafa) yan,q berkuasa setelah lenyapnya Nuh ..... (Al-A'raf: 69)

8. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (khulafa) setelah lenyapnya kaum 'Ad dan memberikan tempat bagimu di bumi ..... (AI­A'raf; 74)

9. Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah-khalifah (khulafa) di muka burni ....." (Al-Nur: 55)

10. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa (layastakhlifannahum) di muka bumi ..... (Al-Nur: 55)

11..... Sebagaimana Dia telah menjadikan berkuasa (istakhlafa) orang-orang sebelum mereka ..... (Al-Nur: 55)

12..... Musa menjawab: "Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi ..... " (AI­A'raf: 129)




Duabelas Washi
Termasuk yang ditegaskan oleh jumlah ini (12) ialah wasiat Rasulullah saw. bahwasanya Imam sesudah beliau itu berjumlah 12 Imam, sama dengan jumlah wasiat Allah kepada para makhluk, yaitu sebanyak kata wasiat dan bentuk turunannya dari Allah kepada makhluknya sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:

1. Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan yang telah diwahyukan kepadamu ..... (Al-Syura: 13)

2. ..... Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan (washsha) ini bagimu ...... (Al-An'am: 144)

3. ..... Demikian itu yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu (washshakum) supaya kamu memahami(nya) ..... (Al-An'am: 151)

4. .... Yang demikian itu diperintahkan Allah (washshakum) kepadamu supaya kamu ingat ..... (AI-An'am: 152)

5. Yang demikian itu diperintahkan Allah (washshakum) kepadamu agar kamu bertakwa ..... (Al-An'am: 153)

6..... Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan (wash­shaina) kepada orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu, dan (juga) kepadamu: "Bertakwalah kepada Allah." (An-Nisa: 131)

7. Dan Kami wajibkan (washshaina) manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada kedua ibu-bapaknya ... (Al-Ankabut: 8)

8. Dan Kami perintahkan (washshaina) kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah ..... (Luqman: 14)

9..... Dan apa yang telah Kami wasiatkan (washshaina) kepada Ibrahim, Musa dan lsa, yaitu: "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya ..... (Al-Syura: 13)

10. Kami perintahkan (washshaina) kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua ibu-bapaknya ..... (Al-Ahqaf: 15)

11...... Dan Dia memerintahkan (ausha) kepadaku untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup ..... (Maryam: 31)

12..... Syariat (washiyyatan) dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyayang. (An-Nisa: 12)



Orang-Orang Yang Bersaksi (AI-Asyhad )
Kata syahadah (bangkit bersaksi) berkaitan secara khusus dengan para syuhada Allah SWT, selain para Nabi, dan mereka adalah orang-orang yang bersaksi di hadapan Allah atas para hamba-Nya di hari kiamat dan hari tegaknya kesaksian. Maksud kata syuhada bukanlah orang yang terbunuh di jalan Allah SWT. Kata syahadah, berikut turunan katanya telah disebutkan dalam ayat-ayat berikut:

1..... dan para saksi (asyhad) akan berkata: "Orang-orang inilah yang berdusta terhadap Tuhan mereka ..... " (Hud: 18).

2. Sesungguhnya Kami menolong Rasul-rasul Kami dan orang­orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (al-asyhad)." (Ghafur: 51).

3. Maka bagaimanakah halnya (orang kafir nanti) jika Kami mendatangkan seorang saksi (syahid) dari tiap-tiap umat. (An-Nisa: 41).

4..... dan pada hari ketika Kami membangkitkan seorang saksi (syahid) dari tiap-tiap umat. (Al-Nahl: 84).

5. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat lslam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi­saksi (syuhada) perbuatan manusia ... (Al-Baqarah: 143).

6..... dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dajadikan-Nya (gugur) sebagai syuhada ..... (Ali Imran: 140).

7..... maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid (syuhada) dan orang-orang saleh. (An-Nisa: 69).

8..... disebabkan mereka diperintahkan untuk menjaga kitab­kitab Allah dan mereka menjadi saksi (syahida) terhadap nya ..... (Al-Maidah: 44).

9….. supaya Rasul menjadi saksi atas diri kamu dan supaya kamu semua menjadi saksi (syahida) atas segenap manusia ….. (AI-Haj: 78).

10. Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan ) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (Al-Quran) dari Tuhan­nya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (syahid) (Muham­mad) dari Allah .….. (Hud: 17).

11….. dan didatangkanlah para Nabi dan saksi-saksi (syuhada) dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan. (Al-Zumar: 69).

12….. dan orang-orang yang menjadi saksi (syuhada) di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka ….. (AI-Hadid: 19).




Ungkapan "orang-orang yang beruntung" (hum al-muflihuun)
Di dalam Al-Quran, ungkapan hum al-muflihuun disebutkan sebanyak duabelas kali, yakni pada ayat-ayat:

1. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan merekalah orang-orang yang beruntung (humul mufli­huun). (AI-Baqarah: 5)

2.....menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulak orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (Ali Imran: 104)

3….. maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (AI-A'raaf: 8)

4. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cakaya yang terang yang diturunkan kepadanya (AI-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (Al-A'raf: 157)

5. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun) . (At-Taubah: 88)

6. Barang.riapa yang berat timbangan (kebaikannya), maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (Al-Mu'minuun: 102)

7. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (An-Nuur: 51)

8. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (Ar-Ruum: 38)

9. Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang ber­untung (humul muflihuun). (Luqman: 5)

10. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguh­nya golongan Allah itulah golongan yang beruntung (humul muflihuun). (Al-Mujadilah: 22)

11. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itu­lah orang-orang yang beruntung (humul muflihuun). (Al­-Hasya: 9)

12. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (humul mufli­huun). (At-Taghaabun: 16)



Para Penghuni Surga
Ungkapan ashab al-jannah (para penghuni surga) dalam Al­Quran disebut sebanyak 12 kali. Yang dimaksud dengan surga ialah yang ditetapkan Allah bagi orang-orang yang benar, bukan surga dunia sebagaimana dimaksudkan dalam firman Allah SWT: "Sesungguhnya Kami uji mereka sebagaimana Kami uji penghuni­-penghuni surga …..." Surga yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah surga dunia. Ada pun pada ayat selain ini, surga yang dimaksud adalah surga yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba­Nya yang saleh. Kata ashab al-jannah yang disebut 12 kali, sama dengan banyaknya Khalifah sepeninggal Rasulullah saw., sebagai­mana disebutkan di dalam ayat-ayat berikut ini:

1.........Dan orang-orang beriman serta beramal saleh, mereka itu para penghuni surga (ashab al -jannah). (Al-Baqarah: 82)

2.........Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kemampuannya, mereka itulah para peng­huni surga (ashab al-jannah). (Al-A'raf: 42).

3. Dan para penghuni surga (ashab al-jannah) berseru ......... (AI­A'raf: 44)

4......... Dan mereka menyeru penghuni surga (ashab al-jannah): "Limpahkanlah kepada kami sedikit air ......... (Al-A'raf: 50)

5.........Dan mereka tidak ditutup: debu hitam, tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah para penghuni surga (ashab al-jannah). (Yunus: 26).

6...... Dan merendahkan diri kepada Tukan mereka, mereka itu adalah para penghuni surga (ashab al-jannah) (Hud: 23).

7. Sesungguhnya para penghuni surga (ashab al-jannah) pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). (Yunus: 55).

8. Para penghuni surga (ashab al-jannah) pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. (AI-Furqan: 24)

9...... dan Kami ampuni kesalakan-kesalahan mereka, bersama para penghuni surga (ashab aljannah) ...... (Al-Ahqaf: 16)

10. Tiada sama penghuni neraka dengan penghuni surga (ashab al­jannah). (Al-Hasyr: 20)

11...... para penghuni surga (ashab al-jannah) itulah orang-orang yang beruntung. (Al-Hasyr: 20)

12...... Dan para penghuni surga (ashab al-jannah) berseru: "Salamun'alaikum" ...... (Al-A'raf: 46)



Orang-Orang Pilihan (Al-Musthafun) Setelah Rasulullah saw.
Kata ishthafa (memilih) berikut turunan katanya, dengan pengertian legitimasi Allah SWT kepada orang-orang pilihan dari dan atau bagi makhluk-Nya, disebut 12 kali dalam Al-Quran. Sesuai dengan jumlah pilihan Allah SWT sepeninggal Rasulullah saw. untuk menyelenggarakan pemerintahan di kalangan umatnya dan mewarisi Al-Kitab. Allah berfirman:

Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu AI­Kitab itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya AIIah benar-benar mengetahui lagi Maka melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-kamba Kami; lalu di antara mereka (hamba-hamba, bukan di antara orang-orang pilihan) ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.... (Fathir:31-32).

Maka yang dimaksud dengan "sabiqu" (yang lebih dulu berbuat baik) adalah Imam yang dipilih dan diwarisi Kitab oleh Allah SWT; "muqtashid" adalah orang yang konsisten dengan kebijaksanaan Imam; sedangkan "dhalimu linafsihi" adalah orang yang keluar dari jalur Imam. Dalam pengertian seperti itulah, kata ishthafa berikut turunan katanya tercantum dalam ayat-ayat berikut:

1..... Sesungguhnya Allah telah memilih (isthafa) agama ini bagimu ..... (AI-Baqarah: 132)

2. Sesungguhnya Allah telah memilih (isthafa) Adam, Nuh, keluarga Ibrahim. ..... (Ali Imran: 33).

3. Katakanlah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hambanya yang dipilih-Nya (isfhafa) ... (AI-Naml: 59).

4. Kalau sekiranya Allah hendak memilih (isthafal) anak, tentu Dia akan memilih apa yang Dia kehendaki ...... (Al­-Zumar: 59).

5. "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu (isthafaki), mensucikan kamu ..... (Ali Imran: 42)

6..... dan melebihkan kamu (wasthafaki) atas segala wanita di dunia ( yang semasa dengan kamu). (Ali Imran: 42).

7..... Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya (isthafahu) (menjadi rajamu) dan menganugerahinya ilmu yang luas serta tubuh yang perhasa . . . (Al-Baqarah: 247).

8..... sesungguhnya Aku mernilih (melebihkan) kamu (ishtha­faituka) dari manusio yang lain untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku ..... (Al-A'raf: 144)

9. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih (isthafaina) di antara hamba-hamba Kami ..... (Fathir: 32).

10..... dan sesungguhnya Kami telah memilihnya (isthafainahu) di dunia (AI-Baqarah: 139).

11. Allah memilih (yasthafa) utusan-utusan-Nya dari Malaikat dan dari manusia. (Al-Haj: 75).

12. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan (Al-musthafin) yang paling baik (Shad: 47).



Para Imam Ma'shum
Kata kerja ya'shimu (memelihara kesucian) berikut turunan katanya dalam AI-Quran disebut 12 kali, dan itu sesuai dengan banyaknya Khalifah Rasulullah saw. yang terpelihara serta benar­benar disucikan oleh Allah dari segala noda. Keduabelas kata ter­sebut terdapat dalam ayat-ayat berikut:

1. Wahai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara (ya'shimuka) kamu dari (gangguan) manusia. .....(Al-Maidah: 67).

Sebab diturunkannya ayat ini pada waktu haji wada', bahwa ketika Rasulullah saw. kembali setelah ibadah haji, 18 Dzulhijjah, di Ghadir Khum, Allah menyuruh beliau untuk menyampaikan pesan kepada manusia bahwa Khalifah pertama sepeninggal beliau adalah Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Maka Rasulullah pun menyampaikannya kepada seluruh umat. Antara lain, beliau bersabda: "Bukankah aku lebih kamu utamakan ketimbang diri kamu sendiri?" Mereka men­jawab: "Tentu, ya Rasulullah!" Beliau bersabda lagi: "Barang­siapa yang memandang aku sebagai pemimpinnya (maula), maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang menjadikannya pemimpin, dan musuhilah orang yang memusuhinya; tolonglah orang yang menolongnya dan hina­kanlah orang yang menghinakannya. " Hadis ini jelas mutawatir, dan disepakati keshahihannya, di samping juga ada riwayat (lain) dalam Shahih Muslim yang menunjuk kepada fakta ini. Hanya saja, dalam riwayat Muslim, wasiat­nya ditujukan kepada Ahli Bait a.s. Shahih Muslim, Kitab AZ-Fadha'il (keutamaan-keutamaan), bab fadha'il Ali bin Abi Thalib (r.a.), halaman 362, terbitan Isa Al-Halabi; juz VII, halaman 122, terbitan Muhammad Ali Shahih: Dari Zaid bin Arqam, dia berkata: "Rasulullah saw. pada suatu hari berdiri dan berkhutbah kepada kami di tempat air yang disebut Khum , antara Makkah dan Madinah.1 Seraya beliau memuji dan mengagungkan Allah, serta memberi wejangan (dzikr). Lalu beliau bersabda:

"Amma ba'du. Ingatlah wahai manusia, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia. Segera utusan Tuhanku akan datang dan aku akan segera menjawabnya (wafat). Aku tinggalkan pada kalian tsaqalain: pertama, Kitab Allah yang berisi petunjuk dan cahaya, maka ambillah dan peganglah erat-erat Kitab Allah itu, perhatikanlah dan cintailah ia.'

Selanjutnya, beliau bersabda:

'Dan, (kedua), Ahli Baitku. Semoga Allah mengingatkan kamu kepada Ahli Baitku. Semoga Allah mengingatkan kamu kepada Ahli-Bait­ku'. "

Secara maknawi, hadis Ghadir ini diriwayatkan di dalam Shahih Al-Tirmidzi (V:297-379); Sunan Ibnu Majah (I:94-95); Mustadrak Hakim (III:110); Musnad Ahmad bin Hambal (I:88); Tarikh Kabir al-Bukhari (I:375); dan lain-lain.

Sebab turunnya ayat tersebut berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib (a.s.), sebagaimana banyak dikemukakan oleh para ulama, seperti Al-Wahidi dalam Asbabun-Nuzul-nya, terbitan Su'udiah - Riyadh, Dar al-Qiblat, halaman 195; juga dalam tafsir Fakhrurrazi (XII:298), cetakan Beirut, terbitan Mesir; dan lain-lain.

2. Katakanlah: "Siapa yang dapat melindungi kamu (ya'shi­mukum) dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu. ..... (Al-Ahzab: 17).

3. Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku (ya'shimuni) dari air bah"...... (Hud: 43).

4. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengadakan per­6aikan dan berpegang teguh (wa'tashimu) kepada (agama) Allah dan tulus ikhlas mengerjakan agama mereka karena Allah. ..... (An-Nisa: 146).

5. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan ber­pegang teguh (wa'tashimu) kepada (agama)-Nya, niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya yang besar ..... (An-Nisa: 175)

6... Barangsiapa yang berpegang teguh (ya'tashim) kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Ali Imran: 101)

7. Dan berpeganglah kamu semua (wa'thshimu) kepada (tali) Allah dan janganlah kamu bercerai berai . .. (Ali Imran: 103).

8..... maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu (wa'tashimu) kepada tali Allah. Dan adalah pelindungmu ..... (Al-Hajj: 78).

9..... dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk me­nundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak (wa'tashim) (Yusuf: 32)

10..... dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang pelindung pun dari (azab) Allah ('ashim) . . . (Yunus: 27)

11..... berkata: "Tidak ada yang melidungi ('ashim) pada hari ini dari azab Allah kecuali diberi rahmat ..... (Hud: 3).

12. (Yaitu) dari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seorang pun yang menyelamatkan kamu ('ashim) dari (azab) Allah . . . (Ghafir: 33).


Catatan Kaki:

1. Pembacaan Shalawat yang benar ialah (semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada Nabi "beserta keluarganya", dan semoga memberikan keselamatan), sesuai dengan Sunah Rasul saw. yang melarang membaca shalawat yang terpotong (al-batra'), sebagaimana yang tercantum dalam Shahih Bukhari, kitab tafsir bab firman Allah SWT. "Sesungguhnya Allah beserta para malaikat-Nya membaca Shalawat kepada Nabi . . . " (V:27), Dar al-Fikr, Mathabi' Al-Sya'b; dan pada kitab Da'wah bab shalawat kepada Nabi saw. (II:16), Syarikat ALI'lanat, dan (I:45); Sunan Ibn Majah (I:292), hadis nomor ke-976 dan 977; Musnad Ahmad bin Hambal (II:47), cetakan Maimuniah Mesir; Muwaththa' Malik yang dicetak ber­ikut syarahnya, Tanwir Al-Hawalik (I:179); Tafsir Qurthubi (XIV:288); Tafsir !bn Katsir (III:507); Tafsir Al-Razi (XXV:226), cetakan Al-Bahiah Mesir, dan (VII;391), cetakan Dar al-Thaba'ah Mesir; dan banyak lagi. Semuanya meriwayat­kan larangan Rasulullah saw, mengenai pembacaan shalawat kepada beliau tanpa menyebutkan keluarganya. Berikut ini adalah matan yang dikemukakan oleh Al-Bukhari setelah menyebutkan maksud ayat mulia tadi, maka mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, telah kami ketahui bagaimana kami harus mengucapkan salam kepadamu. Lalu, bagaimana kami harus mengucapkan shalawat kepadamu?" Rasulullah saw. menjawab: ' Katakanlah, "Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad Janganlah kalian mengucap shalawat kepadaku dengan shalawat terpotong." Ditanyakan: "Apakah shalawat terpotong itu ya, Rasulullah?" Rasul menjawab: ' Janganlah kalian mengatakan: 'Ya, Allah limpahkanlah kesejahteman kepada Muhammad; lalu kalian diam hingga di situ. Tetapi katakanlah: 'Ya Allah, limpahkanlah kesejahteraan kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad : "

Hadia semacam itu dikemukakan dengan bermacam-macam matan yang berdekatan arti dan maksudnya, dan seiring dengan adanya matan-matan mengenainya yang mutawatir. Mengenai hal ini pula, kita sering mendapatkan kebanyakan kaum Muslim, ketika menuturkan dan mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw. yang mereka ucapkan adalah shalawat batra' (buntung). Mereka mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw. tanpa mengikutsertakan shalawat kepada keluarganya. Sehingga saya tidak tahu, tradisi yang mana yang mereka ikuti? Jelas, seluruh matan hadis yang mutawatir tadi melarang mengucapkan shalawat kepada Rasulullah saw., kecuali dengan mengikutsertakan shalawat kepada keluarganya.




Duabelas Khalifah Dari Keluarga Muhammad saw.
Kata ali (keluarga) yang disandarkan kepada nama-nama ter­puji, seperti keluarga Ibrahim, keluarga Imran tidaklah disandarkan kepada nama-nama jelek seperti keluarga Fir'aun. Kata tersebut disebut sebanyak duabelas kali sesuai dengan jumlah Imam dari keluarga Muhammad saw. yang diawali dengan Imam Ali a.s. dan diakhiri dengan Imam Al-Mahdi a.s. Keduabelas kata tersebut adalah sebagai berikut:

1..... Di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga (ali) Musa. ..... (AI-Baqarah: 248)

2..... Dan keluarga (ali) Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat ..... (Al-Baqarah: 248).

3. Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, dan keluarga (ali) Ibrahim ..... (Ali Imran: 33).

4..... Dan keluarga (ali) Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing). (Ali-Imran: 33).

5..... Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga (ali) Ibrahim ..... (Al-Nisa: 54).

6..... Dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga (ali) Ya'qub ..... (Yusuf: 6).

7. Kecuali keluarga (ali) Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan semuanya. (Al­Hijr: 59).

8. Maka tatkala datang pura utusan kepada kaum (ali) Luth (AI-Hijr: 61)

9. yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga (ali) Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya! Tuhanku, sebagai orang yang diridhai. (Maryam: 6)

10..... "Usirlah Luth beserta keluarganya (ali) dari negerimu; sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih. (Al-Naml: 56).

11..... Bekerjalah hai keluarga (ali) Daud agar (kamu) bersyukur (kepada Allah) dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang beriman bersih. (Saba': 13).

12. Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga (ali) Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu fajar belum menyingsing. (AI-Qamar: 34).



Bilangan Kata "Malik"
Kata malik dengan pengertian penguasa, disebut 12 kali, sebanyak jumlah Khalifah setelah Rasulullah saw., yaitu dalam ayat-ayat berikut:

1. Raja (malik) berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus-kurus ..... (Yusuf: 43).

2. Raja (malik) berkata: "Bawalah dia kepadaku," maka ketika utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: "Kembalilah kepada tuanmu ..... (Yusuf: 50).

3. Dan Raja (malik) berkata: "Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku. " (Yusuf: 54).

4. Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja (malik), dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat beban unta) ..... (Yusuf: 72).

5. ..... Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (malik), kecuali Allah menghendakinya ..... (Yusuf: 76).

6..... Karena di hadapan mereka ada seorang raja (malik) yang merampas setiap bahtera. (Al-Kahfi: 79).

7..... Yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: ",4ngkatlah untuk kami seorang raja (malik) supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah. (Al-Baqarah: 246).

8. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu (malaka)." (Al-Baqarah: 247).

9. Dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja (al-muluk) apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya ..... (Al-Naml: 34).

10..... lngatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kamu, dan dijadikan-Nya kamu orang­orang merdeka (mulukan) ..... (Al-Maidah: 20).

11. Mereka berseru: "Hai Malik! biarlah Tuhanmu membunuh kami saja". Dia menjawab: "Kamu tetap akan tinggal (di neraka ini)" (Al-Zukhruf: 77).

12. Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka, yaitu terbagi dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya (malikun). (Yasin: 71).



'Amil (Pelaksana Pemerintahan)
Kata 'amil (pelaksana pemerintahan), bentuk tunggal maupun jamak, disebutkan 12 kali, sesuai dengan jumlah khalifah setelah Rasulullah saw., dalam ayat-ayat berikut:

1..... "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal ('amil) di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan ..... (Ali Imran: 195).

2. Katakanlah: "Hai Kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku berbuat pula ('amil) ..... (Al-An'am: 135).

3. Dan (dia berkata): "berbuatlah menurut kemampuanmu, sesungguhnya aku pun akan berbuat ('amil) ..... (Hud: 39).

4. Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula) ('amil) . . . (Al-Zumar: 39).

5. Dan katakanlah kepada oran,q-orang yang tidak beriman, berbuatlah menurut kemampuanmu; sesungguhnya kami pun berbuat (pula) ('amil). (Hud: 121).

6..... Dan mereka banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan buruk selain daripada itu, mereka tetap mengerjakannya ('amil) (Al-Mukminun: 63).

7. Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang­orang yang bekerja ('amilun) (Al-Shafat: 61).

8..... Dan di antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu, sesungguhnyn kami juga bekerja ('amilun) (Fushilat: 5).

9..... Sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal ('amilin) (Ali Imran: 136).

10. Sesungguhnya zakat itu, hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat ('amil) ..... (Al­Taubah: 60).

11..... Yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang berramal ('amilin) (Al-Ankabut: 58).

12..... Sedang kami menempati tempat dalam surga, di mana saja yang kami kehendaki: Maka surga itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal ('amilin) (Al-Zumar: 74).



Duabelas orang Yang Diangkat (Al-Mujtabun)
Kata kerja ijtaba (mengangkat/memilih) berikut turunan katanya disebut 12 kali dalam AI-Quran, sebanding dengan 12 Imam yang ditetapkan oleh Allah SWT. Yaitu dalam ayat-ayat ber­ikut:

1..... Dia telah memilih kamu (ijtabakum) dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama, suatu kesempitan .....(Al-Haj: 78).

2. (Bagi) yan,q mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya (ijtabahu) dan menunjukkan kepada jalan yang lurus. (Al-Nahl: 121).

3. Kemudian Tuhannya memilihnya (ijtabahu), maka Dia me­nerima taubat serta memberi petunjuk. (Thaha: 122).

4. Lalu Tuhannya memilihnya (ijtabahu) dan menjadikan ter­masnk orang-orang saleh. (Al-Qalam: 50).

5. Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah yang sama, yang didatangkan (yujba) ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuhan) ..... (Al­Qashash: 57).

6. Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat AI-Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu (ijtabaitaha)?" (Al-A'raf: 203).

7..... dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dari orang-orang yan,q telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih (ijtabaina) ..... (Maryam: 58).

8..... dan kami telah memilih mereka (ijtabanahum) (untuk menjndi nabi-nabi dan rasul-rasul) dan Kami menunjuk mereka ke jalan yang lurus. (Al-An'am: 87).

9..... Akan tetapi Allah memilih (yajtabi) siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya ... (Ali lmran: 179).

10..... Allah menarik (yajtabi) kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali kepada-Nya. (Al-Syura: 13).

11. Dan demikianlah, Tuhanmu telah memilih kamu (yajtabika) (untuk menjadi nabi) serta mengajari kamu sebagian dari ta'bir mimpi-mimpi ..... (Yusuf: 6).

12. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam (kal jawaabi) ..... (Saba': 13).



Bilangan Kata "AI-Abrar"
Kata al-birr dari kata al-abrar (baik), bukan dari kata al-baru (daratan), berikut turunan katanya disebut sebanyak 12 kali sama seperti Khalifah setelah Rasulullah saw. Yaitu dalam ayat-ayat berikut :

1..... Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafat­kanlah kami bersama orang-orang yang berbuat baik (al­abrar) (Ali Imran: 193).

2..... sebagai tempat tinggal (anugerah) dari Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti (al-abrar). (Ali Imran: 198).

3. Sesungguhnya orang-orang yang berbuat baik (al-abrar) itu minum dari gelas berisi minuman yang campurannya adalah air kapur. (Al-Insan: 5).

4. Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti (al-abrar), benar-benar berada dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. (Al-Infithar: 13).

5. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya kitab orang-orang berbakti itu (al-abrar) (tersimpan) di ‘Illiyyin. (Al-Muthafifin: 18).

6. Sesungguhnya orang-orang berbakti itu (al-abrar) benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). (AI-Muthaffifin: 22).

7. Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahan sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan (taburru), bertakwa ..... (Al-Baqarah: 224).

8..... Dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu, untuk kamu berbuat baik (tabarruhum) dan adil kepada mereka. (Al-Muhshonat: 8).

9. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebajikan (al-barru) lagi Maha Penyayang .(Al-Thur: 28).

10. Dan seorang yang berbakti (barran) kepada dua orang tuanya dnn bukanlah ia orang yang som6ong lagi durhaka. (Maryam: 14).

11. Dan berbakti (barran) kepada ibuku dan dia tidak menjadi­kan aku seorang yang sombong lagi celaka. (Maryam: 32).

12. Yang mulia lagi berbakti (baruah) (Abasa: 16).

8
Alquran dan Rahasia Angka-Angka

Bilangan Kata "Syi'ah"
Kata syi'ah (pengikut) berikut turunan katanya dalam Al­Quran disebutkan 12 kali, suatu jumlah yang sesuai dengan banyaknya Khalifah Rasulullah saw. Dan yang diketahui, golongan ini adalah satu-satunya yang mengaku konsisten dengan manhaj para Imam yang duabelas dari ahli Bait Muhammad saw. Mengenai ini tercantum pada ayat-ayat berikut:

1. Dan sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar termasuk golongannya (syi'atihi) (Nuh). (Al-Shafat: 83).

2..... Maka didapatinya di dalam kota itu dua orang laki-laki yang berkelahi; yang seorang dari golongannya (syi'atihi) dan seorang lagi dari musuhnya (kaum Fir aun) ..... (AI­Qashash: 15).

3..... maka orang dari golongannya (syi'atihi) meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang dari musuh­nya. (Al-Qashash: 15).

4. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar (tasyi'a) di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih ..... (Al-Nur: 19).

5. Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan (syiah) siapa di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. (Maryam: 69).

6. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu kepada umat-umat (syi'i) terdahulu (Al-Hijr: 10).

7. ...... Dia mencampurkan kamu dalam golongan golongan (syia'an) yang saling bertentangan, dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebahagian yang lain ..... (Al­An'am: 65).

8. Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belahkan agama­nya dan mereka menjadi beberapa golongan (syia'an) tidak ada sedikit pun tanggung jawab kamu terhadap mereka ..... (Al-An'am: 159).

9. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi, dan menjadikan penduduknya berpecah-belah (syia'an) ...... (Al-Qashash: 4).

10. Yaitu orang-orang yang memecak-belahkan agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan (syia'an) ..... (Al­Rum: 32).

11. Dan sesungguhnya Kami telah binasakan orang yang serupa dengan kamu (asyya'akum), maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran. (Al-Qamar:51).

12. Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingin, sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka (asyya'ahum) pada masa dulu ..... (Saba': 54).



Bintang-Bintang Keluarga Muhammad Ada Duabelas
Mengenai hal ini, terdapat sebuah hadis yang dikemukakan oleh banyak penulis kitab shahih, yaitu sabda Rasulullah saw.: 'Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dari keterjerumusan, dan ahli Baitku adalah pengaman bagi umatku dari keterpecah-belahan; dan apabila satu qabilah Arab menentang­nya, maka mereka akan berpecah-belah dan mereka akan menjadi partai Iblis." Hadis ini dikeluarkan oleh Al-Hakim dalam Al­Mustadrak, (II:448; III:457); dalam Shawa'iq Al-Muhsiqah, Ibn Hajr: 150, 185, 233, 234 terbitan Muhammadiyah Mesir; dan dalam Kanz al-'Ummal, Musnad Ahmad bin Hambal (V:92).

Ibn Hajr Al-Syafi'i, mengomentari hadis "Ahli Baitku adalah keamanan bagi umatku ", berpendapat: "Mungkin yang dimaksudkan dengan Ahli Bait adalah pengaman bagi umatku' adalah para ulama mereka, sebab mereka yang memberikan petunjuk kepada semua bagaikan bintang-gemintang, dan jika mereka lenyap, maka penduduk bumi akan menemui apa (ayat-ayat) yang dijanjikan kepada mereka. Hal itu terjadi ketika datangnya AI-Mahdi, berdasarkan berbagai hadis bahwa Isa a.s. akan shalat di belakang (Al-Mahdi) dan akan membunuh Dajjal."

Dalam Al-Quran, kata naim (bintang) dan nujum disebut sebanyak duabelas kali, yakni pada ayat-ayat :

1. Dan Dia ciptakan tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang (najmi) itulah mereka mendapat petunjuk. (An-Nahl: 16).

2. Demi bintang (wannajmi) ketika terbenam ..... (An-Najm: 1).

3. ..... (yaitu) bintang (najmu) yang cahayanya menembus ..... (Ath-Thariq: 3).

4. Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang (nujum) bagimu .....(Al-An'am: 97).

5. ..... dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang­bintang (nujuum), masing-masing tunduk kepada perintah­Nya. (Al-A'raaf: 54).

6. Dan bintang-bintang (nujuum) itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. (An-Nahl: 12).

7..... kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang (nujuum), gunung, pohon­-pohonan ..... (Al-Hajj: 18).

8. Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang (nujuum). (Ash-Shaffaat: 88).

9. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-binang (nujuum) di waktu fajar. (At-Thur: 49).

10. Maka aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Quran (mawaqti al-nujum). (Al-Waqi'ah: 75).

11. Maka apabila bintang-bintang (nujuum) dihapuskan. (Al­Mursalat: 8).

12. Dan apabila bintang-bintang (nujuum) berjatukan. (Al­Takwit: 2).

Kata najm ini terdapat pula di dalam firman Allah: "Dan tumbuh-tumbuhan (najmi) dan pohon-pohonan, kedua-duanya tunduk kepadanya. (Al-Rahman: 6). Hanya saja yang dimaksud dengan najm di sini bukan bintang yang ada di langit, melainkan najm dalam arti tumbuhan.




Tujuh Puluh Dua Firqah Yang Sesat
Umat Islam telah sepakat bahwa Rasulullah saw. telah menga­takan dalam sebuah hadis yang matan-nya diriwayatkan dengan berbagai riwayat yang maknanya tidak jauh berbeda:

"Bani Israil, setelah Musa, pecah menjadi 71 firqah yang semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Dan Nasrani, sepeninggal Isa, pecah menjadi 72 firqah; semuanya masuk neraka kecuali satu firyah. Dan umat ini (Islam) bakal pecah menjadi 73 firqah; semuanya masuk neraka kecuali satu firqah saja.

Dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsur, Al-Suyuthi, juga dalam Al-Mizan (VIII:368), ketika menafsirkan firman Allah SWT:


Dan di antara yang Kami ciptakan ialah satu umat yang mem­beri petunjuk dengan hak, dan dengannya (pula) mereka berhua[ (adil) menegakkan hak.


Menurut riwayat mengenai firqah yang selamat dari kalangan Bani Israil, Imam Ali a,s. menjelaskan:

"Sungguh sepeninggal Musa telah terjadi 71 firqah; semuanya masuk neraka, kecuali satu firqah. Maka Allah SWT berfirman: 'Dan dari kaum Musa ada umat yang mendapat petunjuk dengan hak serta menegakkannya.' Adapun mengenai orang-orang Nasrani, maka Allah berfirman: '. . . dan di antara mereka ada umat yang pertengahan.' Umat inilah yang selamat. Sedangkan bagi kita, Allah berfirman: 'Dan di antara yang Kami ciptakan adalah satu umat yang berpetunjuk dengan hak serta menegakkannya.' Maka umat inilah yang selamat dari kalangan umat Islam."

Ringkasnya, firqah yang masuk neraka dari umat ini ada 72 buah. Dalam Al-Quran, kata firqah berikut turunan katanya disebut sebanyak 72 kali. Jadi sesuai dengan banyaknya flrqah yang menyimpang dari agama yang benar, yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Mereka telah menjadi golongan-golongan yang menyalahi perintah Allah SWT agar berpegang erat kepada tali-Nya yang membentang dari langit ke bumi, yaitu AI-Quran AI-Karim, dan penegak AI-Quran, yaitu Ahli Bait Rasulullah saw. Rasulullah memerintahkan umat agar berpegang erat kepada mereka bersama Al-Quran. Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya aku tinggalkan di antara kalian sesuatu yang jika kalian memegangnya erat-erat, maka kalian tidak akan sesat sepeninggalku; salah satunya lebih agung dari yang lainnya, yaitu Kitab Allah yang merupakan tali Allah yang membentang dari langit ke bumi, dan keturunan suciku ('ltrati), yaitu Ahli Baitku. Keduanya tidak akan pernah berpisah, hingga keduanva kembali ke haud. Maka lihatlah (perhatikanlah) bagaimana kalian akan menentangku dalam keduanya."
(HR. Turmudzi, dalam Shahih-nya, juz V, hal. 329, hadis no. 3876, terbitan Dar al-Fikr, Mesir; Kanz al-'Ummal, I;154; Mu’jam al-Shaghir, Thabrani, I:135; Usad al-Ghabah fi Ma'rifat al-Shahabah, I:12; dll).

Kata firqah berikut turunan katanya dalam Al-Quran, disebutkan pada ayat-ayat berikut:

1. "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai­berai (tafarraqu) dan berselisih setelah datang keterangan kepada mereka ..... " (Ali Imran: 105).

2. Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah-belah (tafarraqu) melainkan setelah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian antara mereka ..... (AI-Syura: 14).

3..... dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan (tafarraqa) kamu dari jalan-Nya . . . (AI-An'am: 153).

4. Dan berpeganqlah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarraqu) ... (Ali Imran: 103).

5. ..... yaitu, tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah­belah (tafarraqu) tentangnya ..... (Al-Syura: 13).

6. Jika keduanya bercerai (yatafarraqa), maka Allah akan mem­berikan kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya ..... (An-Nisa: 130).

7. Dan ingatlah ketika Kami belah (faraqu) laut untuk engkau, lalu Kami selamatkan engkau dan Kami tenggelamkan (Fir'aun) berikut pengikut-pengikutnya ..... (Al-Baqarah: 50).

8. Dan Al-Quran itu telah Kami turunkan berangsur-angsur (faraqnahu) agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagtan. (AI-Isra: 106).

9..... padahal mereka bukanlah dari golonganmu, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat takut (kepadamu) (yafriqun) (AI-Taubah: 56).

10...... ebab itu pisahkanlah (fariqu) antara kami dengan orang­orang yang fasik itu. (Al-Maidah: 25).

11..... Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata kepadaku: 'Kamu telah mencerai-beraikan (faraqta) di antara orang-orang Bani Israil, dan kamu tidak memelihara amanat­ku. " (Thaha: 94).

12. Pada malam itu dijelaskan (yufraqu) segala urusan yang penuh hikmah, (Al-Dukhan: 4).

13. Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah (farraqu) agamanya dan mereka menjadi berkelompok-kelompok, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka ..... (Al-An'am: 159).

14. Yaitu orang-orang yang memecah-belah (farraqu) agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan ..... (Al­Rum: 32).

15. ..... Kami tidak membeda-bedakan (tafruqu) seorang pun di antara mereka, dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya. (Al-Baqarah: 136).

16..... Kami tidak membeda-bedakan (nufarriqu) seorang pun (dari lainnya) dari rasul-rasul-Nya. (AI-Baqarah: 285).

17..... Kami tidak membeda-bedakan (nufarriqu) seorang di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri. (Ali Imran: 84).

18..... dan bermaksud memperbedakan (yufarriqu) antara Allah dan rasul-rasul-Nya ..... (AI-Nisa: 150).

19. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada rasul­Nya dan tidak membedakan (yufarriqu) seseorang pun di antara mereka ..... (Al-Nisa: 152).

20..... maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengannya (sihir), mereka dapat menceraikan (yufarri­quna) antara seorang (suami) dengan istrinya ..... (Al-Baqarah: 1_02).

21..... maka rujukkanlah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka (fariquhunna) dengan baik. (Al-Thalaq: 2).

22. Dan tidaklah berpecah-belah (tafarraqu) orang yang didatang­kan (kepada mereka) Al-Kitab melainkan sesudah datang kepada mereka bukti yang nyata. (Al-Bayyinah: 4).

23. Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu mereka (manusia) bergolong-,qolongan ( yatafarraqun). (Al-Rum: 14)

24. Dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (fariqati) (antara yang hak dengan yang bathil) dengan sejelas jedasnya. (AI­Mursalat: 4).

25. Maka berbelahlah lautan itu, dan tiap-tiap belahan (firqun) adalah seperti gunung yang besar. (AI-Syu'ara: 63).

26..... Mereka tidak pergi dari tiap-tiap golongan (firqah) di antara mereka untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama ...... (AI-Taubah: 122).

27. Khidir berkata: "Inilah perpisahan (firaqi) antara aku dengan kamu ..... " (.ql-Kahfi: 78).

28. Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia) (firqan) (Al-Qiamah: 28).

29. Dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang hak dengan yang bathil) dengan sejelas-jelasnya (farqa) (AI-Mursalat: 4)

30. ..... padahal segolongan (fariqun) dari mereka mendengar firman Allah ..... (Al-Baqarah: 75).

31. Patutkah (mereka ingkar terhadap ayat-ayat Allah) dan setiap kali mereka mengingkari janji, segolongan (fariqun) mereka melemparkannya ..... (Al-Baqarah: 100).

32. ..... sebagian orang-orang (fariqun) yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Kitab-kitab Allah ke belakang (punggungnya) ..... (AI-Baqarah: 101).

33..... kemudian sebagian (fariqun) mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran). (Ali Imran: 23).

34..... setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebagian (fariqun) mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh ) seperti takutnya kepada Allah. (AI-Nisa: 77).

35..... setelah hati segolongan (fariqun) dari mereka hampir berpaling ..... (AI-Taubah: 177),

36. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu daripada kamu, tiba-tiba sebagian (fariqun) dari kamu mempersekutukan Tuhannya (dengan yang lain). (AI-Nahl: 54).

37. Sesungguhnya ada segolongan (fariqun) dari hamba-hamba-­ku berdoa (di dunia): Ya Tuhan kami, kami telah beriman. ..... (AI-Mukminun: 109).

38..... kemudian sebagian (fariqun) dari mereka berpaling setelah itu ..... (AI-Nur: 47).

39. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili ) di antara mereka, tiba-tiba sebagian (fariqun) mereka menolak untuk datang. (An-Nur: 48).

40..... Kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripadanya, tiba-tiba sebagian (fariqun) dari mereka mempersekutukan Tuhannya. (Al­Rum: 33).

41..... Dan sebagian (fariqun) mereka meminta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada yang menjaga) ..... (AI-Ahzab: 13).

42..... Serta memberi peringatan (pula) tentang hari berkumpul (kiamat) yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan (fariqum) masuk surga dan segolongan masuk neraka. (Al­Syuura: 7 ).

43..... Dan segolongan (fariqun) masuk neraka. (Al-Syura: 7).

44..... Dan mengusir segolongan (fariqun) daripada kamu dari kampung halamannya ..... (Al-Baqarah: 85).

45. Apakah setiap datang kepadamu Rasul membawa sesuatu (pelajaran ) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombongkan (diri), maka beberapa orang (fariqan) di antara mereka kamu dustakan ..... (Al-Baqarah: 87).

46..... Dan beberapa orang (fariqan) (yang lain) kamu bunuh ..... (Al-Baqarah: 87).

47...... Dan sesungguhnya sebagian (fariqun) di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (Al-Baqarah: 146).

48..... Supaya kamu dapat memakan sebagian (fariqan) dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa ... (AI-Baqarah: 188).

49. Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan (fariqan) yang memutar-mutar lidahnya membawa Al-Kitab ..... (Ali Imran: 78).

50..... jika kamu mengikuti sebagian (fariqan) orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman. (Ali Imran: 100).

51..... Tetapi setiap hali datang seorang Rasul kepada mereka dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian (fariqan) dari rasul-rasul itu mereka dustakan . ..... (Al-Maidah: 70).

52..... Dan sebagian (fariqan) yang lain mereka bunuh. (Al­Maidah: 70).

53. Sebagian (fariqan) diberinya petunjuk ..... (Al-A'raf: 30).

54..... Dan sebagian (fariqan) lagi telah pasti kesesatan bagi mereka ..... (Al-A'raf: 30).

55..... padahal sesungguhnya sebagian (fariqan) dari orang­-orang yang beriman itu tidak menyukainya. (Al-Anfal: 5).

56..... Dan Dia memasukkan perasaan takut ke dalam hati mereka. Sebagian (fariqan) mereka kamu bunuh ..... (Al­Ahzab: 26).

57..... Dan sebagian (fariqan) yang lain kamu tawan. (Al-Ahzab: 26)..

58. Dan sesungguhnya iblis telah dapat membuktikan sangkaan kepada mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian (fariqan) dari orang-orang yang beriman. (Saba': 20).

59..... Tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan (fariqani) yang bermusuhan. (Al-Naml: 45).

60..... Maka manakah di antara kedua golongan (fariqaini) itu yang lebih berhak mendapatkan keamanan (dari malapetaka), jika kamu mengetahui. (Al-An'am: 81).

61..... Perbandingan kedua golongan (fariqaini) itu (orang-orang kafir dengan orang-orang mukmin ) seperti orang buta dengan orang tuli yang dapat melihat dan mendengar ..... (Hud: 24).

62..... Niscaya orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Manakah di antara kedua golongan (fariqaini) (kafir dengan mukmin) yng lebih baik tempat tinggalnya ..... (Maryam: 73).

63. Dan (ingatlah) ketika Kami berikan kepada Musa AI-Kiiab (Taurat) dan keterangan yang membedakan (furqan) antara yang benar dengan yang salah agar kamu mendapatkan petunjuk. (Al-Baqarah: 53).

64..... Sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (fuqan) (antara yang hak dengan yang bathil) ..... (Al-Baqarah: 185).

65. Sebelum AI-Quran menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan AI-Furqan ..... (Ali-Imran: 4).

66..... Dan yang Kami tusunkan kepada hamba Kami (Muham­mad) di hari furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan . . . (Al-Anfal: 41).

67. Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun al-furqan dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Anbiya: 48).

68. Mahasuci Allah yang telah menurunkan AI-Furqan (Al­-Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia memberi peringatan kepada seluruh alam, (Al-Furqan: 1).

69. Hai orang-orang yang beriman. Jika kamu bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberimu furqan. . . (AI-Anfal: 29).

70. Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (orang-orang mukmin) dan karena kekafirannya, dan uniuk memecah­belah (tafriqan) di antara orang-orang mukmin ..... (AI­Taubah: 107).

71. ..... Manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam­macam (mutafarriyun) itu ataukah Allah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa? (Yusuf: 39).

72..... Dan masuklah kalian dari pintu-pintu gerbang yang ber­lain-lainan (mutafarriqah) ..... (Yusuf: 67).




Dua Belas Orang Rahib
Kata ruhban (bentuk jamak dari rahib, orang suci) berikut kata turunannya disebut dua belas kali dalam Al-Quran, Jumlah ini sesuai dengan jumlah orang-orang suci dari keluarga Muhammad saw. Kedua belas kata tadi tercantum pada ayat-ayat berikut:

1..... Dan dalam tulisannyn terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut (yarhabun) kepada Tuhannya. (AI-A'raf: 154).

2..... Niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya kepada-Kulah kamu harus takut (farhabun), (AI-Baqarah: 40).

3..... Sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut (farhabun) (Al-Nahl: 51).

4.....(Yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan (tarhabu) musuh Allah dan musuh kamu dan orang-orang selain mereka ..... (Al-Anfal: 60).

5..... Dan menjadikan orang banyak itu takut (istarhabuhum), serta mereka mendatangkan sahir yang besar (menakjubkan) (Al-A'raf: 116).

6..... Dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dadamu) bila ketakutan (rahbu), maka yang demikian itu dua mu’jizat dari Tuhan ..... (Al-Qashash: 32).

7. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti (rahbatu) daripada Allah ..... (AI-Hasyr: 13).

8..... Sesungguhnya mereka adalah orang-orang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas (rahba) ..... (Al-Anbiya: 90).

9..... Sesungguhnya sebagian dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil ..... (34).

10..... Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri (Al-Maidah: 82).

11. Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah ..... (At-Taubah: 31).

12..... Dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya merasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada­adakan rahbaniah padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka ..... (Al-Hadid: 27).




Tigapuluh Tujuh Orang Penguasa Sesat (Salathin AI-Jur)
Sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan jumlah yang sesuai dengan jumlah para Imam yang adil, disebutkan juga jumlah para penguasa sesat yang sesuai dengan jumlah penguasa hingga datang­nya masa "Al-Ghaibah Al-Kubra"-nya Mahdi a.s. pada tahun 329 329 H.

Jumlah tersebut, juga sesuai dengan tahun wafatnya Ali AI­Samiri r.a. yang merupakan wakil (naib) Imam Mahdi yang paling akhir.

Kata sulthan (penguasa) - sebagaimana lafaz nifaq (hipo­kritas) berikut turunan katanya - disebutkan sebanyak 37 kali dalam Al-Quran, yakni pada ayat-ayat berikut:

1..... Apakah kalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama, yang kalian dan nenek-moyang kalian menamkannya, padahal Allah sama sekali tidak menurunkan hujjah untuk itu (sulthan) ..... (Al-A'raf: 71).

2..... Kamu tidak mempunyai hujjah (sulthan) untuk ini. Pantaskah kamu mengatakan kepada Allah apa-apa yang tidak kamu ketahui? (Yunus: 68).

3. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan tanda­tanda Kekuasaan Kami serta mukjizat (sulthan) yang nyata. (Hud: 96).

4. Kamu sebenarnya tidak menyembah apapun yang selain Allah, kecuali hanya nama-nama yang kamu dan nenek­moyang kamu membuat-buatnya. Allah tedak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama tersebut (sulthan) ..... (Yusuf: 40).

5..... Kamu hendak menghalang-halangi (dan membelokkan kami) dari apa yang disembah oleh nenek-moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti (sulthan) yang nyata (Ibrahim: 10).

6..... Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti pun (sulthan) kepada kamu, kecuali dengan izin Allah ..... (Ibrahim: 11).

7..... Sekali-kali tiada kekuasaan (sulthan) bagiku terhadap kamu, selain (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu men­dengar seruanku ..... (Ibrahim : 22 ).

8. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku maka tiada kekuasaan (sulthan) bagimu terhadap mereka , kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat. (Al-Hijr: 42).

9. Sesungguhnya (syaitan) itu tidak ada kekuasaannya (sulthan) bagi orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya ( AI-Nahl: 99 ).

10. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku maka kamu tidak punya kekuasaan (sulthan) atas mereka ..... (AI-Isra: 65).

11..... Mengapa mereka tidak rnengemukakan alasan (sulthan) yang terang (tentang kepercayaan mereka)?.....(AI-Kahfi: 15).

12. Kemudian Kami utus Musa dengan saudaranya, Harun, sambil membawa tanda-tanda (Keagungan) Kami dan bukti (sulthan) yang nyata. (Al-Mukminun: 45).

13. Sungguh aku benar-benar akan menyiksanya dengan siksa yang keras, atau menyembelihnya, atau benar-bertar ia datang kepadaku dengan alasan (sulthan) yang terang. (Al-Naml: 21).

14. Dan tidak ada kekuasaan (sulthan) (Iblis) atas mereka, selain agar Kamu menghukumi siapa yang benar-benar beriman kepada kehidupan akhirat ..... (Saba': 21).

15. Dan sekali-kali kami tidak berkuasa (sulthan) terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas. (Al-Shaffat: 30).

16. Atau, apakah kamu mempunyai bukti (sulthan) yang nyata? (AI-Shaffat: 156).

17. Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami serta keterangan (sulthan) yang nyata. (Ghafir: 23).

18. (Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa adanya alasan (sulthan) yang sampai kepada mereka. . . (Ghafir: 35).

19. Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan (sulthan) yang sampai kepada mereka, maka tiada dalam dada mereka selain keinginan akan Kebesaran-Nya yang sekali-kali tidak akan mereka capai . . . . . (Ghafir: 56).

20. Dan janganlah kamu menyombongkan diri kepada Allah. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti (sulthan) yang nyata. (Al-Dukhan: 19).

21. Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda Kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir'aun dengan membawa mukjizat (sulthan) yang nyata. (AI-Dzariyat: 30).

22. Ataukah mereka mempunyai (tangga) ke langit untuk men­dengarkan - pada tangga itu - hal-hal yang gaib? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka itu mendatangkan keterangan (sulthan) yang nyata. (AI-Thur: 38).

23. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek­moyang kamu menamakannya; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun (sulthan) untuk (menyembah)-nya ..... (Al-Najm: 23).

24..... Maka lintasilah, kamu tidak akan dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan (sulthan) (Al-Rahman: 33).

25. Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir itu rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan satu keteranganpun (sulthan) mengenainya ..... (Ali Imran: 151).

26..... Dan merekalah orang-orang yang Kami berikan kepada­nya alasan (sulthanan) yang nyata untuk (menawan atau membunuh) mereka. (An-Nisa: 91).

27..... Inginkah kamu mengadakan alasan (sulthanan) yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)? (An-Nisa: 144).

28...... Lalu Kami maafkan mereka dari yang demikian. Dan telah Kami berikan kepada Musa, keterangan (sultahanan) yang nyata. (An-Nisa: 153).

29..... Padahal kamu tiduk takut mempersekutuan Allah dengan segala sembahan yang Allah Sendiri tidak pernah menurun­kan hujjah (sulthan) kepadamu untuk mempersekutukan-Nya ..... (Al-An'am: 81).

30..... Dan (mengharamhan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah (sulthan­an) untuk itu ..... (Al-A'raf: 33).

31..... Dan barangsiapa dibunuh secara zalim maha sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan (sulthanan) kepada ahli warisnya ..... (AI-Isra: 33).

32..... Dan keluarkanlah (pula) aku secara benar, dan berikanlah kepadaku -- dari sisi Engkau -- kekuasaan (sulthanan) yang menolong! (Al-Isra: 81).

33. Dan mereka menyembah selain Allah, yang Allah tidak pernah menurunkan suatu keterangan (sulthanan) pun tentang itu ..... (Al-Haj: 71).

34. Allah berfirman: "Kami akan membantumu dengan saudara­mu, dan akan Kami berikan kepada kamu berdua kekuasaan (sulthanan) yang besar ..... (Al-Qashash: 35).

35. Atau pernahkah Kami turunkan kepada mereka keterangan (sulthanan), lalu keterangan tersebut menunjukhan (benar­nya) apa yang dipersekutukan mereka dengan Tuhan? (Ar-Ruum: 35).

36. Sesungguhnya kekuasaan (sulthan) (syaitan) hanyalah terhadap orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin, dan terhadap orang-orang yang mempersekutukan Allah. (Al-Nahl: 100).

37. Telah hilang kekuasaanku (sulthan) dari diriku. (QS. 69:29).

38. Adapun ayat-ayat yang mencantumkan kata nifaq berikut turunan katanya dan disebutkan setelah kata sulthan adalah sebagai berikut:

39. Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-urang yang munafik, kepada mereka dikatakan: "Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)" ..... (Ali Imran: 167).

40. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-urang munafik yang berkata kepada saudara-saudara: "Marilah kita berjuang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu) ..... (Al-Hasyr: 11).

41. Dan di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik, dan juga diantara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka ..... (Al-Taubah: 101).

42. Maka Allah menimbulkan kemunafikannya pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah ..... (Al-Taubah: 77).

43. Orang-orang Arab Badui itu lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya ...... (At-Taubah: 97).

44. Orang-orang munafik laki-laki dan ..... (Al-Taubah: 67).

45. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan ..... (Al­Taubah: 68).

46. Sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan ...... (Al-Ahzab: 73).

47. Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan ..... (AI-Fath: 6).

48. Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan ..... (Al­Hadid: 13).

49. (Ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (kaum mukmin) ditipu oleh agamanya". ..... (AI-Anfal: 49).

50. Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan kepada mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi pada hati mereka ..... (At-Taubah: 64).

51. ..... Dan orang-orang munafik perempuan, sebagiannya dari sebagian yang lain ..... (At-Taubah: 67).

52. Dan di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu ada orang-orang munafik; dan juga di antara penduduk Madinah ..... (At-Taubah: 101).

53. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: "Allah dan Rasul­Nya tidak menjadikan kepada kami melainkan tipu daya" (Al-Ahzab: 12).

54. Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang­orang yang menyebarkan kabar bohong ..... (Al-Ahzab: 60).

55. Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: "Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu" ..... (Al-Hadid: 13).

56. Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar­benar Rasulullah" (Al-Munafiqun: 1),

57..... Niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An-Nisa: 61).

58. Maka mengapakah kamu menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah memberi mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri ...... (An-Nisa: 88).

59. Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (An-Nisa: 138).

60..... Sesungguhnya akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang kafir di Jahanam (An-Nisa: 140).

61. Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka ..... (An-Nisa: 142).

62. Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkat yang paling bawah dalam neraka ..... (An-Nisa: 145).

63..... Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang­orang yang fasik. (At-Taubah: 67).

64. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan munafik perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam (At-Taubah: 68).

65. Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang­-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka . . . (At-Taubah: 73).

66. Dan sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang­orang yang beriman, dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik. (Al-Ankabut: 11).

67. Hai Nabi, bertawakallale kepada Allah, dan janganlah kamu menuruti (kemginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik ..... (Al-Ahzab 1).

68..... Menyiksa orang-orang munafik, jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka ..... (AI-Ahzab: 24).

69. Dan janganlah kamu menuruti orang-orang kafir dan orang­orang munafik, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah ...... (Al-Ahzab: 48).

70. Sehingga Allah mengazabkan orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan ..... (Al-Ahzab: 48).

71. Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan munafi'k perempuan dan orang-orang laki-laki musyrik dan perempuan . . . (AI-Fath: 6).

72..... Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar para pendusta. (Al-Munafiqun: 1).

73..... Padahal kepunyaan Allahlah perbendaharahaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. (Al-Munafiqun: 7 ).

74..... Padakal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul­Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik tiada mengetahui. (Al-Muanfiqun: 8).

75. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka ..... (Al­Tahrim: 7).




Ulul 'Azmi Berjumlah Lima Orang Rasul
Menurut keyakinan kaum Muslimin, bahwa ulul azmi dari kalangan Rasul berjumlah lima orang, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Dalam Al-Quran, ternyata kata 'azm disebut sebanyak lima kali, sama dengan jumlah Rasul-Rasul-Nya yang termasuk ulul 'azmi, yaitu dalam ayat-ayat berikut :

1..... Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan ('azmi) yang patut diutamakan (Ali Imran: 186).

2..... Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal ('azmi) yang diwajibkan (oleh Allah). (Luqman: 17).

3. Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal ('azmi) yang diutamakan. (Al-Syura: 43).

4. Maka bersabarlah kamu seperti orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul 'azmi) dari rasul-rasul yang telah berlaku dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka . ..... (AI-Ahqaf: 35).

5. Dan sesungguhnya Kami telah perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak kami dapati padanya kemauan yang kuat ('azmah) (Taha: 115).



Thawaf dan Sa'i
Kata thawaf yang terpuji di dunia dan kata turunannya dalam Al-Quran, disebut sebanyak tujuh kali, sama dengan jumlah thawaf mengelihngi Ka'bah dan ketika sa'i antara Shafa dan Marwa, yaitu pada ayat-ayat berikut ini :

1..... Dan Kami tidak meniadikan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan sujud. (Al-Baqarah: 125).

2..... Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud. (AI-Haj: 26).

3. Lalu kebun itu diliputi (thafa) ..... (Al-Qalam: 19).

4..... Malapetaka (yang datang) (thaifu) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur. (AI-Qalam: 19).

5..... Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau melakukan umrah, maka tiada dosa baginya melakukan thawaf (sa'i) antara keduanya ..... (Al-Baqarah: 158).

6...... Dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). (AI-Haj: 29).

7..... Mereka melayani (thawafuna) kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain) ..... (AI-Nur: 58).



Bilangan Kata "Kiblat"
Kata kiblat dalam Al-Quran disebut sebanyak tujuh kali sama dengan jumlah thawaf di sekitar kiblat (Ka'bah), yaitu pada ayat­ayat berikut :

1..... Dan kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblat­mu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (agar nyata) siapa yang mengikuti rasul dan siapa yang membelot ..... (Al­Baqarah: 143).

2. Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai ..... (Al-Baqarah: 144).

3. ..... Dan sebagian mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain ..... (Al-Baqarah: 145).

4..... Dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu sebagai tempat shalat (kiblat) dan dirikanlah shalat (Yunus: 87).

5. Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu ..... (Al-Baqarah: 145).

6. Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya ..... (Al-Baqarah: 142).

7..... Dan kamu pun tidak mengikuti kiblat mereka ..... (AI­Baqarah : 145 ).



Mi'raj dan Jumlah Langit
Kata 'araja dan turunan katanya dengan pengertian naik ke langit, di dalam Al-Quran disebut sebanyak tujuh kali sesuai dengan jumlah langit, yaitu tujuh. Perlu diketahui, bahwa kata tersebut digunakan oleh Al-Quran untuk mengungkapkan perjalanan jauh menembus luar angkasa, dan gravitasi bumi. Menurut sains modern perjalanan di sana hanya bisa dilakukan dengan cara melayang-layang (mun'arijat atau mun'athifat). Sesekali Al-Quran menggunakan kata yash'adu untuk burung yang terbang di udara (planet bumi) atau di sekitarnya, yaitu seperti disebutkan pada ayat-ayat berikut :

1. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) (ta'ruju) kepada Tuhan ..... (AI-Ma'arij: 4).

2. .... Kemudian (urusan) itu naik (ya'ruju) kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu. (Al-Sajdah: 5).

3. Dia mengetahui apa yang masuk ke bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik (ya'ruju) kepada-Nya. Dan Dialah Yang Maha Penyayang Lagi Maha Pengampun. (Saba': 2).

4. Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik (ya'ruju) kepada-Nya. Dan Dia bersama Kamu di mana saja kamu berada ..... (Al-Hadid: 4).

5. Dan jika seandainya Kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit maka mereka terus-menerus naik (ya'rujun) kepada-Nya. (AI-Flijr: 14).

6. Tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Maha Pemurah, loteng-loteng perak bagi rumah tinggal mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang bssa mereka naiki (ma'ariji). (AI-Zukhruf: 33).

7. (Yang datang) dari Allah, Pemilik tempat-tempat naik (ma'arij). (Al-Ma'arij: 3).



Laki-laki dan Wanita (Rajul dan Imra'ah)
Kata rajul secara berdiri sendiri, disebut sebanyak 24 kali dalam AI-Quran, begitu pula kata imra'ah.



Rasul dan Shalat
Dalam Al-Quran nama Rasulullah saw., Muhammad, disebut sebanyak empat kali sama dengan jumlah nama yang disebut di dalam qamat (dua kali), tasyahud awwal (satu kali), dan dalam tasyahud akhir (satu kali), yaitu sebagaimana disebutkan pada ayat-ayat berikut :

1. Muhammad tidak lain hanyalah seorang Rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul ..... (Ali Imran: 144).

2. Muhammad sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah ..... (Al-Abzab: 40).

3. Serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad, dan itulah yang hak dari Tuhan mereka ..... (Muhammad: 2).

4. Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya adalah keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka ..... ( Al-Fath: 29).



Daratan dan Lautan
Dalam Al-Quran, kata al-barr dengan arti "darat" disebut 12 kali, sedangkan kata al-bahr (laut) - baik mufrad, mutsanna, dan jamaknya - disebut 40 kali. Perbandingan tersebut sama dengan perbandingan antara daratan dan lautan di planet bumi ini, Kata-kata tersebut disebut pada ayat- ayat berikut :

1..... Dan haram atasmu (menangkap) binatang buruan darat (al-barr), selama kamu dalam ihram ... (Al-Maidah: 96).

2..... Dan Dia Mengetahui apa-apa yang di darat (al-barr) maupun di lautan ..... (Al-An'am: 59).

3. Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di daratan (al-barr) dan di lautan ..... " (AI­An'am: 63).

4. Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat (al-barr) maupun di laut...... (AI-An'am: 97).

5. Dia-lah Tuhan Yang menjadikan kamu dapat berjalan di duratan (al-barr) dan (berlayar) di lautan ..... (Yunus: 22).

6..... Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan (al­barr), kamu berpaling ..... (AI-Isra: 67).

7. Maka apakah kamu merasa aman (dari hukum Tuhan) yang menjungkirbalihkan sebagian daratan (al-barr) berikut kamu ..... (Al-Isra: 68).

8. Dan sesungquhnya telah Kami muliakan anak-cucu Adam, Kami angkut mereka di daratan (al-barr) maupun di lautan ..... (Al-Isra: 70).

9. Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan (al-barr) maupun di lautan ..... (Al-Naml: 33).

10..... Mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ke­taatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan (al-barr), tiba-tiba mereka (kembali) menyekutukan (Nya) (AI-Ankabut: 25).

11. Telah nampak kerusakan di darat (al-barr) maupun di laut, sebagai akibat ulah tangan-tangan manusia ..... (Ar-Ruum: 41).

12. ..... Mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai daratan (al-barr), sebagian mereka masih tetap menempuh jalan yang lurus ..... (Luqman: 32).

Sedangkan kata al-bahr (laut) terdapat dalam ayat-ayat berikut :

1. Dan ingatlah ketika Kami belah laut (al-bahr) untukmu . . . (Al-Baqarah: 50).

2..... Dan bahtera yang berlayar di laut (al-bahr) ..... (Al­Baqarah: 164).

3. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (al-bahr) ..... (Al­Maidah: 96).

4..... Dan Dea mengetahui apa-apa yang ada di daratan maupun di lautan (al-bahr) ..... (Al-An'am: 59).

5. Katakanlah: "Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari benc'ana di darat maupun di laut (al-bahr) ....." (Al­Maidah: 63).

6. Dan Dia-lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadihannya sebagai petunjuk dalam kegelapan di darat maupun di laut (al-bahr) .... (Al-An'am: 97).

7. Dan Kami seberangkun Bani Israil ke seberang laut (al­bahr) itu ..... (AI-A'raf: 138).

8. Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang ter­letak di dekat laut (al-bahr) ..... (Al-A'raf: 163).

9. Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan (al-bahr) ..... (Yunus: 11).

10. Dan Kaml memungkinkan Bani Israil melintasi laut (al-bahr) ..... (Yunus: 90).

11...... Dan Dia telah menuruluhkan hahtera bagimu supaya bahtera berlayar di lautan (al-bahr) dengan kehendak-Nya (Ibrahim: 32).

12. Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (al-bahr) (untuk-mu) ..... (Al-Nahl: 14).

13. Tuhanmu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan (al-bahr) untukmu, agar kamu mencari sebagian dari karunia­Nya ..... (Al-Isra: 66).

14. Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan (al-bahr), niscaya hilanglah siapa yang kamu seru, kecuali Dia ..... (Al-Isra: 67).

15. Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan (al-bahr) ..... (AI-Isra: 70).

16..... Mereka lupa akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut (al-bahr) (Al-Kahfi: 61).

17..... Dan ikan itu mengambil jalannya ke laut (al-bahr) dengan cara yang aneh sekali (AI-Kahfi: 63).

18. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut (al-bahr) ..... (AI-Kahfi: 79).

19. Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan (al-bahr) menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku ..... (Al-Kahfi: 109 ).

20..... Sungguh habislah lautan (al-bahr) itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku ..... (Al-Kahfi: 109).

21..... Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut (al-bahr) itu ..... (Thaha: 77).

22..... Uan bahtera yang berlayar di lautan (al-bahr) dengan perintah-Nya ..... (Al-Haj: 65).

23. Atau seperti gelap gulita di lautan (al-bahr) yang malam ..... (AI-Nur: 40).

24. Lalu Kami wahyukan kepada Musa: 'F'ukullah lautan (al­bahr) itu dengan tongkatmu". ..... (Al-Syu'ara: 63).

25. Atau siapakah yang memimpin kamu dalam kegelapan di daratan maupun di lautan (al-bahr) ..... (Al-Naml: 63).

26. Telah tampak kerusakan di darat maupun di laut (al-bahr), akibat olah tangan-tangan manusia ..... (Ar-Ruum: 41).

27..... Dan laut (al-bahr) (menjadi tinia), ditambahkan kepada­nya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habimya (dituliskan) kalimat-kalimat ..... (Luqman: 27).

28. Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut (al-bahru) dengan nikmat Allah ..... (Luqman: 31).

29. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut (al-bahr) seperti gunung-gunung (Al­Syura: 32).

30. Dan biarkan laut (al-bahr) itu tetap terbelah. Sesungguhnya mereka adalah tentara yang akan ditenggelamkan (AI-Dukhan: 24).

31. Allah-lah yang menundukkan lautan (al-bahr) untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin­Nya ..... (AI-Jatsiah: 12).

32. Dan laut (al-bahr) yang di dalam tanahnya ada api (Al-Thur: 6).

33. Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi layarnya di lautan (al-bahr) laksana gunung-gunung. (Al-Rahman: 24).

34. Dan Dialah yang membiarkan dua laut (al-bahrani) mengalir (berdampingan), yang satu tawar lagi segar, dan yang lainnya asin lagi pahit ..... (Al-Furqan: 53).

35..... Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan (al-bahraini), atau aku akan berjalan selama bertahun-tahun. (Al-Kahfi: 60).

36..... Dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengukuhkan) nya dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut (al-bahraini) ..... (Al-Naml: 61).

37. Dia membiarkan lautan (al-bahr) mengalir, yang kemudian keduanya bertemu (Al-Rahman: 19).

38. Dan apabila lautan (al-bahr) dijadikan meluap. (Al-Takwir: 6).

39. Dan apabila lautan (al-bahr) dijadikan meluap. (Al-Infithar: 3).

40.....Dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut lagi (abhurin) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat ..... (Luqman: 27).

9