• Mulai
  • Sebelumnya
  • 6 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: / Download:
Ukuran Ukuran Ukuran
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Indonesia
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama


Ditulis oleh: Husain Hasan Zadeh

1
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

DAFTAR ISI
Abstraksi

Mukadimah

Definisi Ijtihad

Pluralisme

Kritik atas Probabilitas Konsepsi Keragaman Bacaan

Hubungan Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Perbedaan Pemahaman Para Juris pada Tataran "Ada"

Perbedaan Pemahaman dalam Tataran "Harus"

Ulasan Istidlal Imam Ali yang mencela Perbedaan Fatwa

Sentralnya peran akal dalam perbedaan fatwa para juris

Pendekatan akal untuk pelbagai pemahaman yang standar

Hukum-hukum akal praktis

Pembagian ijtihad

Keragaman Pemahaman Fuqaha ihwal Ijtihad bagian kedua dan ketiga

Ijtihad dalam Memahami Nash-nash

Perbedaan Pemahaman bersumber dari Ijtihad bagian Keempat

Ijtihad pada terbukti atau tidaknya Sunnah dengan bersandar kepada kabar wahid

Memecahkan Satu Keraguan

Sumber Pelbagai Kesimpulan yang Beragam dalam Inferensi Hukum-hukum Agama

CATATAN KAKI

2
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Abstraksi
Dalam makalah ini penulis berupaya melakukan pembuktian bahwa masalah pluralisme agama memiliki perbedaan dengan masalah ijtihad. Untuk membuktikan matlab ini, pertama-tama, penulis mengurai perbedaan pengertian ijtihad dan pluralisme agama dimana masalah ini harus diselesaikan terlebih dahulu. Demikian pula perbedaan antara fatwa-fatwa para juris yang terbagi dalam kedudukan "ada" dan "harus" juga harus diterangkan sehingga poin-poin yang menjadi perdebatan menjadi jelas. Meski pada derajat "ada" kejamakan (pluralnya) fatwa-fatwa para juris merupakan sesuatu yang tidak dapat diingkari. Akan tetapi pada makam "harus" setiap jumlah pahaman yang meniscayakan ijtihad diterima oleh akal, dari luar dan naql, dari dalam.
Dengan demikian bagian ijtihad yang menjadi fokus kajian dan analisa dapat dibuktikan bahwa pada sebagian masalah, baik Sunni atau Syiah, jamaknya pemahaman tentang ijtihad tidak diterima, oleh karena itu keseluruhan klaim dalam pembahasan ini, dalam bentuk afirmatif universal (mujiba kulliyah), pluralisme, akan diuraikan. Artinya perbedaan pemahaman yang banyak dalam masalah teks-teks agama tidak dapat diterima. Dan pada akhirnya kriteria untuk menentukan pemahaman yang benar dan salah sehingga klaim-klaim yang lain ihwalnya (dalam hubungannya dengan metodelogi pemahaman) juga dapat dijinakkan.




Mukadimah
Masalah pluralisme agama dan kesimpulan yang beragam dari teks agama, merupakan salah satu tema baru yang mengemuka dalam dunia Islam. Dan sebagian dalam menerima atau menolak masalah ini, antara mereka yang pro dan yang kontra, telah banyak menulis tentang hal tersebut. Salah satu lintasan yang tepat dalam pembahasan ini adalah masalah ijtihad para juris dan perbedaan fatwa fuqaha sepanjang perjalanan sejarah umat Islam.
Penulis tidak berada pada tataran menjelaskan dan menganalisa seluruh angle dan sisi pembahasan pluralisme agama. Analisa dan penjelasan jeluk masalah ini memerlukan satu pembahasan yang terpisah dan detil.
Apakah keragaman pemahaman para juris yang merupakan keharusan ijithad mereka memiliki hubungan dengan masalah pluralisme?
Dan apakah seperti yang disebutkan oleh para proponen hermeunetik filsafat termasuk dalam bentuk positif universal (mujibah kulliyah), perbedaan pemahaman yang beragam dari teks-teks agama, dari seluruh hukum-hukum syariat dan proposisi-proposisi agama yang tentu saja keharusannya adalah relatifnya pemahaman agama para fuqaha, atau perbedaan fatwa ini (perbedaan konklusi dari teks-teks agama), atau dalam bentuk positif yang bersifat partikular (mujiba juz'iyah)? Hal ini tentu saja memerlukan sebuah kajian yang rigoris. Apakah untuk menentukan antara pemahaman-pemahaman sahih dan batil, terdapat kriteria tertentu atau dalam dimensi ini, dimana harus diyakini bahwa terdapat relativitas metodeologi dalam memahami agama. Sebagaimana apa yang diyakini oleh para pendukung hermeunetik filsafat? Dan pada akhirnya apakah faktor kemunculan keragaman inferensi (istinbath) para juris dapat dihilangkan sedemikian sehingga seluruh juris tersebut mengeluarkan satu fatwa dalam satu subjek syar'i yang bersumber dari berbagai dalil-dalil yang berhubungan dengannya - dari Qur'an, Sunnah, Akal dan Ijma?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas mengharuskan pembahasan ini ditinjau sebagai pembahasan teologis, namun demikian pembahasan ini harus bersandar pada analisa dan uraian pemahaman beragama para juris yang merupakan pijakan yang tepat bagi pembahasan pluralisme. Sebelum pembahasan ini dimulai, kiranya perlu batasan maksud dari dua kalimat "ijtihad" dan "pluralisme" dijelaskan sehingga tidak terjadi miksture permasalahan (campur aduk) dalam melakukan penilaian (judgment).




Definisi Ijtihad
Ijtihad merupakan kalimat yang berdasarkan pada timbangan ifti'âl, dan derivasinya dari juhd. Secara leksikal ijtihad bermakna usaha dan upaya keras serta muatan rahmat untuk mewujudkan impian dan harapan. Kalimat ini tidak pernah digunakan sebagai bermakna membawa beban yang ringan; namun digunakan sebagai bermakna membawa beban berat yang meniscayakan kesulitan seperti: ijtahada fi hamli ats-tsaqil (ia berusaha membawa beban berat).
Namun dalam istilah teknis para juris, terdapat definisi yang beragam tentang ijtihad. Sebagian dari mereka mendefinisikan ijtihad sebagai usaha dan upaya untuk mengeluarkan produk hukum-hukum syariat; lantaran seluruh upaya dan perhatian mujtahid terfokus pada teks-teks lahir syariat kemudian dari teks-teks lahir ini ia mengeluarkan hukum-hukum syariat.
Sebagian memaknai ijtihad sebagai "istifrâgh al-was'" dan mencari asumsi dari hukum syariat dimana para juris secara umum tidak menerima definisi ini.
Sebagian yang lain memaknai ijtihad secara teknis di kalangan Syiah istifragh al-was' dan upaya menghasilkan hujjah bagi hukum-hukum syariat atau untuk menentukan taklif (tugas keagamaan) sekiranya tidak ada jalan untuk menghasilkan hujjah.
Sebagian yang lain memberikan definisi ijithad sebagai "istifragh was' dalam mengaplikasikan kaidah-kaidah yang dimaksudkan untuk melakukan inferensi hukum-hukum dari hukum-hukum faktual atau lahiriyah sehingga menghasilkan qath'i untuk mengetahui tugas aktual, baik ia merupakan hukum-hukum syariat (syar'i) atau hukum-hukum rasional (aqli).
Dari seluruh definisi yang disuguhkan di atas, terdapat satu tipologi yang tersembunyi dan hal itu adalah menghasilkan hukum-hukum syariat, yang tidak mudah untuk diwujudkan; melainkan seorang mujtahid harus dengan menerima seluruh kesulitan, ia menemukan hukum-hukum syariat tersebut.
Dan secara natural, boleh jadi ia melakukan kesalahan dan oleh karena itu, perbedaan pemahaman para juris Syiah dapat memiliki justifikasi logis. Dan ucapan ini tidak bermakna baiknya perbedaan para juris dalam derajat pembuktian (itsbât).




Pluralisme
Bacaan-bacaan beragam dari agama, maksudnya adalah kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dari teks-teks agama, baik tulisan, ucapan dan bahkan metode ilmiah para pemimpin agama. Dan titik perbedaan antara pluralisme agama dan bacaan yang bervariasi dari agama; lantaran pluralisme agama berpusat pada keragaman dan pluralnya agama; akan tetapi bacaan beragam dari agama, terfokus pada kesimpulan-kesimpulan yang beragam dari agam yang satu.
Masalah keragaman bacaan atau tepatnya, probabilitas keragaman bacaan satu matan atau teks, merupakan hasil dari sebuah jenis perspektif tentang hermeunetik filsafat. Orang-orang seperti Heidegger dan Gadamer merupakan orang-orang penting yang menjadi penyokong pendapat semacam ini.

Asas pemikiran ini berdiri di atas beberapa matlab:

1. Makna satu matan lebih tinggi dari apa yang dimaksudkan oleh si penyusun atau muallif semenjak pertama kali ia menyusun matan tersebut. Gadamer salah seorang penyokong hermeunetik filsafat, dalam hal ini berkata, " Hermeunetik tidak boleh lupa bahwa seorang seniman yang menciptakan sebuah karya seni bukanlah penafsir khusus dari karya tersebut. Seniman sebagai seorang penafsir tidak memiliki otoritas dan kekuasaan atas setiap orang yang mengamati karya seninya. Dan teraju yang diletakkan oleh seniman atas karya seninya, tidak dapat dijadikan sebagai kriteria dan standar, yaitu makna dari apa yang diberikan oleh karya seni itu sendiri.

2. Dalam proses penafsiran satu teks atau matan, makna baru senantiasa lahir dan dalam kelahiran ini, mentalitas dan pra-judis penafsir dan juga matan memiliki saham dalam masalah ini. Gadamer meyakini bahwa penafsiran dan pemahaman tidak dapat dibatasi dalam merekonstruksi maksud penulis; melainkan pemahaman, merupakan satu perkara yang dilahirkan dan mentalitas penafsir sejalan dengan horizon makna-makna teks memiliki saham dalam penciptaan dan melahirkan makna-makna. Dan pertanyaan-pertanyaan penafsir terhadap teks, yang merupakan keharusan interfensi pra-judisnya dalam memahamai teks tersebut. Dalam melahirkan pemahaman, ia memiliki pengaruh yang besar. Dan hal ini merupakan dalil bahwa pemahaman senatiasa tidak lain kecuali re-creating (menciptakan kembali) makna mental orang lain (pemilik karya). Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, peluang munculnya makna-makna menjadi terbuka. Menurut pandangan Gadamer, pemahaman matan berasal dari jenis dialog antara dua orang. Atas alasan ini, asli logika percakapan dalam hermeunetik Gadamer adalah sepadan dengan sturuktur pemikiran hermeneunetik Gadamer.

3. Pluralisme makna dalam hermeneunetik filsafat: Menurut para pendukung hermeneunetik filsafat, makna-makna yang dipahami dari matan (teks) tidaklah satu, melainkan senantiasa beragam dan banyak. Dalil atas pendapat ini adalah:
Pertama, Pemahaman suatu teks didapatkan melalui dialog antara penafsri dan teks. Dialog ini dari jenis soal-jawab dan pada hakikatnya, makna satu teks merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penafsir.
Kedua, Pertanyaan-pertanyaan penafsir beragam dan bervariasi. Oleh karena itu, jawaban-jawaban juga harus beragam dan bervariasi. Konsekuensi logis dari ucapan ini adalah makna satu teks senantiasa melebihi dari apa yang kehendaki oleh penulis atau penyusun.

4. Pemahaman manusia terhadap matan di samping beragam dan banyak, ia juga tidak terbatas.
Dalam pandangan Gadamer, lantaran pemahaman satu matan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penafsir. Dan dari sisi lain, pertanyaan-pertanyaan juga terpengaruh oleh pra-judis-pra-judis dan tiada batasan-batasan dalam prajudis-prajudis, maka sekali-kali tidak dapat diakui adanya takwil pamungkas, definitif, real dan benar. Oleh karena itu, sekali-kali tidak ada batasan dalam memahami satu matan.

5. Tidak satu pun pemahaman seseorang yang lebih baik dan lebih unggul atas pemahaman yang lain; karena tanpa ragu tiada yang disebut sebagai hakikat. Dan setiap saat detik-demi detik hakikat dapat ditemukan. Oleh karena itu, keyakinan bahwa aku mengetahui hakikat adalah pengingkaran terhadap hakikat. Hakikat senantiasa berputar dan dapat ditemukan dalam dunia percakapan. Dan oleh karena itu alih-alih menyebutnya pemahaman yang lebih unggul dan lebih baik, ia harus disebut sebagai pemahaman yang beragam dan bervariasi.




Kritik atas Probabilitas Konsepsi Keragaman Bacaan
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, lima hal yang disebutkan di atas, merupakan asas dan fondasi keragaman bacaan atas satu teks; akan tetapi tidak satu pun dari lima poin tersebut dapat dipertahankan (defendable). Dan oleh karena itu pembahasan di atas tidak ada hubungannya dengan perbedaan fatwa para juris. Iya, permasalahan ijtihad dan perbedaan para juris, merupakan landasan yang tepat untuk mendemonstrasikan konsepsi ini.
Sebelum mengevaluasi masalah ijtihad, dimana sejatinya, ia merupakan jawaban atas lima poin yang disebutkan di atas, tepat kiranya jika isykalan (keberatan ilmiah) penulis dalam pandangan penulis atas lima poin di atas diutarakan.
Pertama, konsekuensi dari ucapan ini "makna satu matan (teks) lebih unggul dari apa yang dimaksudkan oleh penyusun (teks tersebut) untuk pertama kalinya," adalah pembicara sekali-kali tidak berada pada posisi menjelaskan. Sementara pada galibnya orang-orang yang berbicara atau menulis sebuah matlab, maksud mereka adalah transformasi makna-makna yang dikehendaki oleh si pembicara dan kalau tidak ruang untuk memahami (tafhim) dan memahamkan (tafahhum) secara keseluruhan akan tertutup.

Kedua, praposisi "Satu teks lebih unggul dari apa yang dimaksudkan oleh penyusun untuk pertama kalinya," merupakan praposisi paradoksial secara keseluruhan; lantaran konsekuensinya adalah makna praposisi ini juga bukanlah apa yang diinginkan orang-orang seperti Gadamer.
Ketiga, penegasan atas produktifnya makna suatu teks lantaran prajudis-prajudis penafsir, merupakan salah satu jenis relativisme dalam pemahaman, karena apabila "pemahaman" hanya terjadi tatkala terjadi kesepakatan antara penafsir dan karya. Dan horizon makna di antara keduanya saling bercampur satu dengan yang lain. Dan percampuran dan kesepakatan ini juga dikarenakan adanya pertanyaan-pertanyaan yang tak terbatas yang boleh jadi terdapat pada diri penafsir. Selalu dalam keadaan berubah, oleh karena itu sekali-kali tidak dapat diklaim makna satu teks, senantiasa memiliki makna pamungkas dan telah berakhir, dan hal ini merupakan relativisme dalam aktifitas memahami.

Boleh jadi disebutkan bahwa makna sebagian teks, khususnya teks suci, tidak dapat dipandang, dalam beberapa hal, sebagai sebuah makna pamungkas dan benar. Alasan dibalik pernyataan ini adalah adanya penafsiran yang beragam dari teks-teks suci tersebut. Jawaban dari permasalahan ini adalah isykal pada keseluruhan klaim dan dalam bentuk positif universal (mujiba kulli) dan kalau tidak ia berada dalam bentuk positif partikular (mujiba juz'iya), tiada orang yang menegasikan hal tersebut juga tidak ada menegaskan klaim tersebut. Karena pada kebanyakan permasalahan ini - pemahaman yang beragam dari teks-teks suci - apa yang dipahami dari pemahaman-pemahaman orang lain dan oleh karena itu ia tidak bersifat relative juga tidak kontradiksi.




Hubungan Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, permasalahan keragaman bacaan dan ijtihad tidak terdapat hubungan logis di antara keduanya. Dua permasalahan ini adalah permasalahan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Satu-satunya poin yang ada adalah keragaman pemahaman para juris, boleh jadi dast awizi bagi para penyokong pendapat keragaman bacaan dari agama dan mereka menyebutnya sebagai dalil kebenaran dan keharusan adanya keragaman bacaan dari satu teks - pluralisme makna.
Untuk menjawab keraguan semacam ini, pertama-tama harus diperjelas batasan dan demarkasi pemahaman-pemahaman para juris dari sisi inklusivitasnya seluruh bagian-bagian agama atau tidak inklusifnya, dan kedua kriteria-kriteria untuk menentukan pemahaman-pemahaman benar dari yang salah, harus dikemukakan, dan ketiga probabilitas untuk sampai kepada satu pemahaman dari satu teks harus dikaji dan dipelajari.
Rincian jawaban dari keraguan ini, terletak pada pemisahan antara perbedaan pemahaman para juris pada tataran "ada" dan arsy "harus".




Perbedaan Pemahaman Para Juris pada Tataran "Ada"
Tiada keraguan bahwa para juris kaum Muslimin khususnya para juris Syiah memiliki kesimpulan yang beragam dari ayat dan riwayat. Dan berdasarkan kesimpulan tersebut, sebagian fatwa-fatwa tersebut terdapat kontradiksi. Hal ini juga suatu hal yang tidak dapat dihindari bahwa sebagian dari kesimpulan ini merupakan hasil dan produk dari jenis perspektif dalam pelbagai bab agama.
Mereka yang menyimpulkan bahwa penerapan agama dan syariat berada pada wilayah individu dan melihat agama dalam skala personal. Jelas bahwa fatwa-fatwa para juris memiliki corak dan warna personal. Dan sebaliknya mereka yang memandang syariat di luar wilayah individu dan jalan untuk menyampaikan agama dan syariat pada puncak kehidupan sosial. Dari puncak muhaiman, mereka memandang agama dan syariat dan ikutannya hukum-hukum dan fatwa-fatwa mereka mengeluarkan fatwa, memberikan warna multi dimensional kepada agama.
Syahid Muhammad Baqir Shadr dengan menyebutkan dua contoh dari ushul dan fiqih, pengaruh pandangan para juris pada prinsip: Ia menjelaskan syariat pada sisi penjelasan pandangan prinsipil (ushuli) dan jurisprudensial (fiqhi), perumpamaan prinsipil dari pembahasan-pembahasan dalil insidad yang menegaskan: Syariat, mengandung taklif dimana lantaran untuk mengetahuinya secara definitif tidak mungkin, untuk mengetahuinya supposisi dan asumsi harus diikut. Kaum ushuli dalam membantah pandangan ini, mereka berkata: Mengapa kita tidak mewajibkan ihtiyath kepada mukallaf sebagai ganti mengikuti asumsi dan supposisi?

Namun kapan saja skop ihtiyath berujung kepada "harj" (kesusahan), setiap mukallaf dapat mengurangi perbuatan ihtiyâth seukuran ia tidak terjatuh dan sampai pada batasan kesusahan. Anda lihat bagaimana pandangan "personal" tertimbun dalam perumpamaan ini dan ia menggiringnya juga kepada kaidah syariat, baik ia satu-satunya dalam bentuk dimana syariat adalah "tasyri' bagi individu", ihtiyath yang sedemikian boleh jadi menjadi wajib, bukan pada "tasyr'i untuk kehidupan sosial" dan menjadi landasan tatanan kehidupan masyarakat, lantaran landasan kehidupan dan hubungan sosial, ekonomi, perniagaan, dan politik bertengger di atas pondasi ihtiyath. Perumpamaan jurisprudensial (fiqih) kita angkat sebuah kritikan yang diketengahkan oleh para juris dalam kaidah "laa dharar wa laa dhirar," dengan demikian kaidah ini, keberadaan setiap hukum dharar (yang merugikan) yang dinafikan dalam Islam dan hal ini, padahal ahkam banyak kita jumpai dari hal-hal dharar (yang merugikan) seperti ini.

Seperti, tasyri'i diyât, qishâsh, dhimân dan zakat, karena hukum-hukum ini, merugikan si pembunuh dalam menyerahkan diyât dan menjalani hukum qishâsh, kerugian yang menimpa orang yang dilenyapkan hartanya, dalam menyerahkan kembali harta tersebut, dan kerugian yang diderita oleh pemilik harta yang bertugas untuk menyerahkan zakat. Titik tolak kritikan ini, pandangan personal terhadap agama dimana hukum-hukum seperti ini dipandang sebagai membawa kerugian, sementara dengan pandangan individu pada masyarakat dan kemaslahatan sosial tidaklah demikian. Melainkan tiadanya dhimân dan pajak-pajak dalam penetapan syariat (tasyri') merupakan perkara yang penting."




Perbedaan Pemahaman dalam Tataran "Harus"
Apa yang menjadi fokus perhatian hingga kini adalah perbedaan pemahaman pada tataran "ada" dan tiada keraguan bahwa pada tataran ini, yaitu apa yang berada pada tataran real dan faktual, terdapat banyak pemahaman dan kesimpulan-kesimpulan yang beragam dari satu teks atau satu matlab. Dari sudut pandang ini, tidaklah patut bagi seseorang mengangangkat bendera penentangan dan mengingkari keragaman pemahaman; lantaran mengingkari hal ini adalah mengingkari suatu perkara yang jelas dan gamblang.

Hal-hal yang juga telah disebutkan, baik pada pandangan utama terhadap agama juga pada metode hukum dan inferensi (istinbâth) hukum-hukum partikular, semata-mata sebagai contoh. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa "tataran ada" merupakan sebuah matlab, dan "tataran harus" adalah matlab yang lain. Dan perbedaan di antara dua tataran ini harus diperhatikan dengan baik.

Tataran harus, ia memiliki hukum tipikal tersendiri. Apa yang kami maksudkan dari tataran harus merupakan hukum akal praktis terhadap baik (husn) dan buruk (qubh) perbedaan fatwa-fatwa. Jelas bahwa bukan akal yang terkontaminasi dengan wahm (estimasi), fantasi dan sensasi (ihsâs), atas sebagian perbedaan pemahaman yang disetujui dan atas sebagian yang lain digugurkan.

Ucapan Amirul Mukminin Ali As ihwal perbedaan fatwa-fatwa sebelum menjelaskan kegunaan akal untuk membedakan dan menentukan perbedaan pemahaman yang terpuji dan tercela, sebuah hadis dari Imam Ali akan disebutkan sehingga dapat ditentukan kegunaan akal secara lebih baik dan lebih akurat. Imam Ali berkata dalam mencela ikhtilaf ulama dalam memberikan fatwa:

"Ihwal salah satu hukum-hukum sosial, perbedaan pendapat pada ulama yang mengeluarkan fatwa berdasarkan pendapatnya sendiri, setelah itu, perbedaan itu dibawa ke ulama lain yang memberikan hukum yang berbeda dengan pendapat yang ulama pertama, kemudian berkumpullah para hakim tersebut di hadapan pemimpin mereka yang mengangkat mereka sebagai hakim. Pemimpin tersebut memandang bahwa seluruh fatwa yang diberikan adalah benar. Sementara Tuhan mereka satu, nabi mereka satu, kitab mereka satu. Apakah Allah Swt memerintahkan mereka untuk berbeda dimana mereka tidak mentaatinya ataukah Dia melarang mereka untuk berbeda dimana mereka melanggarnya? Apakah Allah Swt menurunkan agama yang tidak sempurna sehingga meminta bantuan kepada mereka untuk menyempurnakannya? Ataukah mereka adalah mitra Tuhan, sehingga apa yang mereka katakan ihwal hukum-hukum agama, Tuhan meridhainya? Ataukah Tuhan menurunkan agama yang sempurna lalu Nabi Saw memandang enteng urusan ini dalam menyampaikannya; sementara Tuhan berfirman: "Kami tidak mengalpakan sesuatu apa pun sdalam al-Qur'an" dan berfirman "Dalam al-Qur'an terdapat penjelas segala sesuatu." Dan kita telah diberitahu bahwa sebagian al-Qur'an adalah penjelas atas sebagian yang lain dan tidak terdapat perbedaan di dalamnya. Oleh karena itu Allah Swt berfirman:
"Sekiranya al-Qur'an ini bersumber dari selain Allah, niscaya kalian akan temukan perbedaan yang banyak di dalamnya."

Sesungguhnya al-Qur'an memiliki bentuk lahir yang mempesona dan batin yang subtil dan sublim; matlab yang disampaikannya sangat menakjubkan dan tidak akan usai sepanjang masa, dan khazanah rahasia-rahasia yang tertimbun di dalamnya tidak akan pernah habis, dan segala kegelapan tidak akan pernah tersingkirkan tanpa al-Qur'an."

Sabda Imam Ali dalam khutbah ini tampak bahwa tidak ada yang terpuji dalam perbedaan pemahaman dimana syarat-syaratnya ke depan secara rinci akan kita bahas; karena sebab disampaikannya khutbah ini dalam mencela orang-orang alih-alih menjadikan Imam yang Haq sebagai poros, mereka berputar di sekeliling imam batil dimana ayat ihwal hal ini menegaskan "Apa yang datang setelah kebenaran selain kesesatan."

Amirul Mukminin As dalam khutbah agung ini, menyalahkan pemikiran yang menegaskan bahwa setiap mujtahid dalam melakukan aktifitas ijtihad adalah benar (mushib) , dan dengan satu istidlal yang memiliki lima dimensi, ia mengkritisi perbedaan fatwa-fatwa.




Ulasan Istidlal Imam Ali yang mencela Perbedaan Fatwa
Perbedaan fatwa tidak keluar dari tiga supposisi di bawah ini:

Supposisi pertama: Perbedaan ini merupakan titah Ilahi, dan para juris (fuqaha) lantaran mengikuti perintah Tuhan berbeda satu dengan yang lain dalam satu hukum.

Supposisi kedua: Perbedaan dalam hukum-hukum, dilarang oleh Tuhan namun para ulama karena membangkang larangan Tuhan, mereka berbeda pendapat dalam mengeluarkan fatwa.

Supposisi ketiga: Allah Swt dalam urusan perintah terhadap perbedaan atau larangan terhadapnya, Dia memilih diam, dan jelas bahwa diamnya Tuhan dari sisi perintah dan larangan konsekuensinya adalah bolehnya (jawâz) urusan tersebut.

Supposisi yang terakhir dapat dibagi lagi menjadi beberapa supposisi yang lain:

1. Bolehnya perbedaan dalam agama Islam lantaran Rasulullah Saw dalam mengemban tugas risalah, telah menganggap enteng urusan ini, betapapun agama Allah Swt merupakan agama yang sempurna.

2. Bolehnya perbedaan dalam urusan agama karena adanya kekuarangan dalam agama. Hal ini berada dalam dua bentuk:
a. Bolehnya perbedaan lantaran sehingga agama dapat menjadi sempurna.
b. Bolehnya perbedaan karena ulama bermitra dengan Tuhan dalam urusan agama.

Demikianlah bentuk-bentuk supposisi yang dapat diasumsikan dalam perkara perbedaan fatwa.
Imam Ali As memandang bentuk-bentuk supposisi di atas sebagai supposisi yang salah kaprah dan kesemuanya secara logis adalah keliru (batil).


Kekeliruan bentuk pertama:

Tiada syak bahwa tempat sandaran agama adalah kitabullah. Dan sebagian dari kitabullah membenarkan sebagian yang lainnya. Dan dalam masalah ini tidak terdapat perbedaan pandangan. Allah Swt tidak pernah memerintahkan untuk berbeda dalam ucapan dan hukum-hukum. Oleh karena itu, perbedaan dalam fatwa tidak memiliki landasan dan sandaran tekstual al-Qur'an.

Kekeliruan hipotesa kedua:

Tidak dibolehkannya bermaksiat kepada Allah lantaran ikhtilaf meniscayakan tidak dibolehkannya ikhtilaf.

Kekeliruan hipotesa ketiga:

Kesalahan Nabi Saw dengan risalah yang dibawanya bertentangan kenabiannya. Oleh karena itu kekeliruan supposisi ini juga adalah jelas (bertentangan).

Kekeliruan hipotesa keempat:

Allah Swt berfirman: "Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam kitab ini." (Qs. al-An'am [6]:38) dan "Dan Kami turunkan kepada kalian al-Kitab (Qur'an) penjelas segala sesuatu." (Qs. al-Nahl [16]:89)
Apabila dalam Kitabullah tiada yang dialpakan dan sekiranya al-Qur'an merupakan penjelas segela sesuatu, lalu bagaimana mungkin ada sesuatu yang lain yang merupakan penjelas dan pelengkapnya.

Kekeliruan hipotesa kelima:

Kemitraan ulama dengan Tuhan dalam urusan agama-Nya meniscayakan kemitraan dalam perbuatan.
Demikianlah sabda Imam Ali yang tidak pernah memandang benarnya perbedaan fatwa dimana sabda ini lahir dari sebuah metode logis.




Sentralnya peran akal dalam perbedaan fatwa para juris
Setelah menyimak sabda Imam Ali As di atas dalam mencela perbedaan hukum-hukum fiqih dimana pada hakikatnya nama yang seharusnya dilekatkan kepadanya adalah perbedaan hukum-hukum yang tercela. Pantas kiranya teraju dan kriteria untuk menentukan perbedaan fatwa yang terpuji dan tercela harus diketengahkan sehingga tidak digambarkan bahwa para juris dalam memahami hukum-hukum syariat, lewat jalan ijtihad, tidak memiliki pakem dan standar yang jelas. Dan oleh karena itu, perbedaan-perbedaan para juris nampaknya tidak dapat disebut konsekuensi pluralisme makna (keragaman bacaan) dari satu teks atau matan.
Manusia untuk dapat memperoleh satu pemahaman yang benar dan logis, akal manusia menyuguhkan berbagai pendekatan yang tertata dan terklasifikasi. Apabila manusia berbuat berdasarkan aturan-aturan dan pendekatan-pendekatan yang telah disuguhkan oleh akal, meski pemahamannya pada tataran "ada" tidak sesuai dengan realitas, maka pada tataran "harus" ia akan mendapatkan pujian akal. Ganjaran dan pahala lantaran mengikuti pendekatan akan akan diberikan kepadanya dimana disebutkan: "Dan bagi yang salah (dalam memberikan hukum berdasarkan aturan logis dan rasional) ia mendapatkan satu pahala."
Apabila ia berbuat tidak berdasarkan pendekatan akal dan meminggirkan peran akal dan menempuh "jalan-jalan" (subul) yang menyimpang serta pemahaman-pemahaman yang saling bertentangan dan berseberangan sebanyak jalan-jalan tersebut akan bermunculan, jelas bahwa sekali-kali pemahaman seperti ini tidak akan mendapatkan penegasan dan pujian akal; sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur'an, keyakinan para penyembah berhala yang didapatkan dari "jalan-jalan" yang menyimpang yang tidak mengikuti aturan akal, menjadi sasaran celaan, Allah Swt berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah", mereka menjawab, "(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami." (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?" (Qs. al-Baqarah [2]:170)





3
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Pendekatan akal untuk pelbagai pemahaman yang standar
Apa yang dimaksudkan dari akal di sini adalah akal praktis; artinya kekuatan yang terdapat pada setiap manusia dan membimbing manusia kepada ketinggian derajat kemanusiaan serta menghantarkannya kepada kesempurnaan mutlak. Kekuatan ini kendati boleh jadi menyimpang dan karena terkontaminasi noda-noda fantasi (khiyal) dan delusi (wahm), harus dan tidak harus yang tidak sesuai dengan realitas, namun akar aslinya tidak akan tercerabut. Dan ia tidak akan melepaskan manusia sendiri menghadapi serangan gencar fantasi dan delusi.

Hukum-hukum akal praktis

Beragam contoh dari hukum-hukum akal praktis yang telah ditanamkan pada setiap manusia dan pada tataran amal, seluruh manusia, secara umum mengikuti hukum-hukum tersebut. Adapun hukum-hukum akal praktis tersebut adalah:

1. Hukum akal tentang merujuknya seorang yang pandir kepada yang pandai.

Orang pandir harus merujuk kepada seorang pandai, dan ajektif ilmu dalam hukum ini, merupakan syarat asasi terhadap merujuknya seorang pandir kepada esensi (dzat) seorang pandai. Orang pandai sebagaimana ia (qua) "dzat" bukan merupakan orang yang dirujuk (marja'), melainkan ia sebagai orang pandai merupakan marja'. Dengan kata lain, di sini suspensi (penskorsan) hukum ditujukan kepada sebab. Dan tentu saja setiap manusia, dengan memperhatikan pandangan dunia yang dimilikinya terhadap hukum akal ini, ia akan tunduk di bawah aturan akal praktis ini.
Dalam contoh yang disebutkan kebanyakan manusia memberikan perhatian yang lebih dalam urusan materi yang cepat. Hukum akal ini hanya diterapkan pada ekstensi-ekstensi material, seperti merujuknya pesakit kepada dokter, pelajar dan mahasiswa kepada guru dan dosennya, periset dan peneliti kepada referensi-referensi derajat pertama dan sebagainya.

Kini apabila manusia di samping perhatian terhadap kecendrungan-kecendrungan material, ia juga memberi perhatian terhadap kecendrungan spiritual, maka secara natural manusia jatuh hati kepada kecendrungan ini. Dan ia mengentaskan kebodohan dan kepandiran yang ada dalam dirinya dengan merujuk kepada seorang pandai dan dokter ruhani yaitu Nabi Saw dan Ahlulbaitnya As.

Akan tetapi sayang seribu sayang bahwa manusia bersedia tetap dalam keadaan pandir dan bodoh demikian juga rela terdeprivasi dari ilmu dan makrifat yang dimiliki oleh kaum pandai yang hakiki:
"Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan, bersenang-senang, dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong). Tetapi kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).(Qs. al-Hijr [15]:3)

2. Hukum akal praktis yang menegaskan untuk mengambil sesuatu langsung dari sumbernya.

Hukum ini juga terhitung sebagai hukum akal praktis; dan meski tidak seluas hukum primer namun hukum ini memiliki tiga tipologi universal, ia tetap dan permanen yang merupakan tipologi akal. Dalil dari matlab ini adalah bahwa siapa pun yang mengetahui dirinya, menyenangi apa yang ia pandang sebagai keuntungan, manfaat dan kesempurnaan, untuk mengambilnya dari sumbernya yang asli.
Misalnya seorang cerdik cendikia menyenangi untuk mengambil satu matlab ilmiah dari kitab-kitab standar utama dan pertama daripada mengambilnya dari kitab-kitab kelas kedua, ketiga dan sebagainya.

Barang siapa yang ingin membeli barang; ia akan berusaha memperolehnya dari sumber-sumber produksi barang tersebut. Mereka yang ingin meminum air, apabila ia dapat memperoleh air dari mata air atau yang menjadi sumber air tersebut, ia akan berusaha mendapatkan air tersebut dari sumbernya. Dalil dari matlab ini adalah nurani manusia; barangsiapa yang merujuk kepada nuraninya, ia akan menjumpai hakikat ini. Apabila manusia tidak senang terhadap media dan wahana, bukan karena benci terhadap keberadaan mediasi akan tetapi ia senang apabila kesempurnaan dan keuntungan yang ia dapatkan langsung dari sumbernya; lantaran dalam memperoleh kesempurnaan dari mata air asli, tidak terkandung di dalamnya bahaya dan resiko. Dan tentu saja melalui media, ia tidak memiliki ketenangan semacam ini.

Allah Swt membimbing manusia kepada hakikat semacam ini:
"Katakanlah, "Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran?" Katakanlah, "Allah-lah yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran. Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?

3. Hukum akal terhadap prioritasnya hal yang lebih penting (aham) ketimbang hal yang penting (muhim).

4. Hukum akal terhadap keharusan (wajib) terwujudnya sesuatu ketika segala syarat-syarat (wujub) untuk terwujudnya tersedia.
Hukum ini tidak terkhusus pada hukum-hukum jurisprudensial akan tetapi apa yang dipandang keberadaannya oleh manusia sebagai wajib dan niscaya, pada tataran perbuatan dan pada langkah-langkah pertama, segala kebutuhan dan persiapan yang menjadi keharusan dalam perjalanannya dan ia bergantung kepadanya, ia kenakan busana keberadaan atasnya. Sebagai contoh, apabila seseorang memandang perlu untuk merujuk kepada seorang dokter, pertama-tama yang ia lakukan adalah mengenal seorang dokter yang mampu mengobati penyakit yang ia derita, kemudian menyediakan uang, media transportasi dan sebagainya.

5. Hukum akal untuk memilih keburukan yang lebih ringan ketika diperhadapkan pada dua keburukan.

6. Hukum akal terhadap bolehnya mahzhurat apabila dalam keadaan darurat.

7. Hukum akal terhadap prioritasnya menguburkan keburukan daripada mengejar keuntungan.

8. Hukum akal terhadap keniscayaan dibolehkanya sesuatu adalah dibolehkannya hal-hal yang berkenaan dengan sesuatu tersebut.




Pembagian ijtihad
Dengan memperhatikan persoalan di atas kiranya perlu pengkajian ihwal pembagian ijtihad diketengahkan supaya menjadi jelas perbedaan fatwa-fatwa, dimana saja dibolehkan dan pada bidang apa saja tidak dibenarkan.
Ijtihad dari sisi subjeknya dapat dibagi menjadi beberapa bagian:

1. Ijtihad dalam hal nash qath'i at-tsubût dan qath'i ad-dilâlah.

Qath'i at-tsubût artinya adalah manusia mengetahui hukum satu masalah secara defenitif yang terdapat pada Kitabullah atau Sunnah Rasulullah melalui kabar mutawatir yang tiada syak dan wasangka di dalamnya. Qath'i ad-dilâlah adalah sedemikian nyata dan terangnya hukum ini sehingga tiada keraguan di dalamnya dan tiada peluang untuk memberikan takwil kepadanya.

Jenis ijtihad ini dipandang keliru (batil) secara mufakat oleh kedua madrasah besar Islam, Sunni dan Syiah. Mereka yang meyakini dibolehkannya ijtihad, sekali-kali tidak pernah mengingkan makna yang sedemikian lantaran ijtihad berada pada nazhariyyat bukan pada badihiyyat. Adapun ihwal ijtihad yang disebutkan di atas, merupakan badihiyyat. Apakah ijtihad seperti ini dipandang boleh, dengan usaha agama dan dikesampingkannya nash-nash; dan kesimpulannya berujung kepada pengingkaran terhadap Islam. Karena makna ijtihad yang sedemikian, otoritas satu ucapan dan pendapat berhadapan dengan firman Tuhan. Ijtihad semacam ini merupakan contoh nyata dari orang-orang yang mengikuti hawa nafsu: "Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu. Tapi apabila mereka keluar dari sisimu, mereka berkata kepada orang-orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (seraya memperolok-olok), Apakah yang ia katakan tadi?" Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka." (Qs. Muhammad [47]:16)

Kini apabila kaidah ijtihad dalam perkara ini adalah tidak valid, apatah lagi keragaman pemahaman tentang yang dibahas di dalamnya juga tidak dibenarkan; karena keragaman pemahaman dalam masalah seperti ini, baik ia disebabkan oleh ijtihad dimana dalil-dalil invaliditasnya telah disebutkan di atas, atau karena kekurangan pada pendahuluan-pendahuluan pemahaman dimana hal ini juga secara rasional mendapatkan kritikan, karena pendahuluan-pendahuluan pemahaman merupakan satu matlab, sebagaimana pendahuluan wajib. Dan pendahuluan wajib juga sesuai dengan hukum akal adalah wajib.

2. Ijtihad ketika tiada ijma dan nash dari kitab dan sunnah

Ijtihad semacam ini terdiri dari dua jenis:

a. Ijtihad berdasarkan pada kaidah tertentu dan anggapan-anggapan personal

Dalam bagian ini, mujtahid (orang yang mempraktikan ijtihad) alih-alih menggunakan Qur'an dan menjadikannya sebagai standar untuk memahami hukum-hukum agama dan syariat, ia bersandar kepada anggapan-anggapan personalnya.

Sebagai contoh, mujtahid ingin mengetahui bahwa apakah akad nikah bagi orang yang jahil terhadap mahar, batil atau tidak? Apabila seorang mujtahid menempatkan sebab ketidakabsahan pernikahan seperti ketidakabsahan transaksi jual-beli dalam keadaan jahil terhadap harga, dengan anggapan bahwa mahar merupakan pengganti manfaat yang didapatkan dari perempuan seperti harga, sebagai pengganti mabi' (yang dibeli), jelas dan gamblang bahwa standar hukum dan inferensi (istinbath) semacam ini - ketidakabsahan pernikahan - tidak lain kecuali anggapan dan prasangka si mujtahid. Ia mengira bahwa mahar perempuan adalah sebagai ganti kenikmatan yang didapatkan darinya, dimana hal demikian merupakan qiyâs (analogi dalam fiqih), istihsân, tarjihiyyat yang menjadi sandaran prasangka dan perkiraan mujtahid.

Mazhab Syiah memandang haram ijtihad semacam ini dan mencegah semenjak awal perbuatah seperti ini, demikian juga (haram) melakukan praktik ijtihad tatkala ada nash; karena mukallaf dalam jenis ijtihad semacam ini, bersandar kepada sesuatu yang dalam pandangannya indah dan menarik menurut perkiraan dan prasangkanya. Sementara tidak ada sesuatu apa pun yang menjadi jelas melalui perkiraan dan prasangka, apatah lagi dalam urusan agama Allah dan hukum-hukum syariat, dimana tentu saja hukum-hukum Tuhan sekali-kali tidak pernah diperoleh melalui anggapan, perkiraan dan prasangka. Allah Swt berfirman: "Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, padahal sesungguhnya persangkaan itu tak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." (Qs. Yunus [10]: 36)

Akan tetapi Ahlussunah membolehkan jenis ijtihad semacam ini hingga sebelum abad keempat Hijriah dan setelahnya kendati pintu ijtihad bagi mereka tertutup, namun wajib bagi kaum pandai dan pandir mengikuti ijtihad dan perbuatan semacam ini.

Sebuah hadis yang mencela ijtihad bi ar-ray dan qiyâs: Amirul Mukminin As dalam sebuah hadis yang panjang dan indah yang menjelaskan esensi jenis pandangan ini berikut isykalan-isyakalan yang dapat ditujukan kepadanya. Lantaran signifikannya masalah ini, penulis akan menyuguhkan terjemahan hadis tersebut sehingga dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang ingin mencari hakikat.

Syaikh Hurr al-'Amili menukil sebuah hadis panjang dari Imam Shadiq As dari ayahnya Amirul Mukminin As yang bersabda: "Pandangan orang yang menyetujui ijtihad bi ar-ray (pendapat), qiyâs, istihsan dan berkata: Sesungguhnya perbedaan (ikhtilaf) merupakan rahmat, merupakan sebuah pandangan yang tidak dapat diterima; lantaran kita menyaksikan orang-orang yang menyetujui ijtihad bi ar-ray dan qiyâs, karena ketidakmampuan mengenal hukum waqi'i dalama memahami hukum-hukum Tuhan, mereka bergelut dengan persoalan-persoalan syubhat, dan berkata: Tidak ada sebuah peristiwa kecuali Tuhan telah menentukan hukum atas peristiwa tersebut. Dan hukum Tuhan tidak keluar dari dua perkara, pertama nash dan kedua dalil.

Apabila kita berhadapan dengan sebuah peristiwa dimana tidak terdapat nash yang membicarakannya, untuk memahami hukum Ilahi kita merujuk kepada peristiwa-peristiwa yang serupa dan sejenis dengan peristiwa tersebut, karena apabila tidak demikian maka Tuhah tidak memberikan hukum untuk peristiwa tersebut. Sementara Tuhan tidak melewatkan satu pun peristiwa yang tidak ada hukum di dalamnya. Lantaran Dia berfirman: "Tiada Kami alpakan sesuatu pun di dalamnya." Oleh karena itu, supaya tidak ada satu pun peristiwa tanpa hukum Tuhan, hukum peristiwa yang tidak ada nash tentangnya, maka kita mengambil bantuan dari peristiwa-peristiwa yang sejenis dan serupa dengannya; sebagaimana Allah Swt yang menggunakan analogi melalui penyerupaan dan tamsil, "Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api." (Qs. ar-Rahman [55]:14-15) Dimana Tuhan menyerupakan sesuatu yang lebih dekat dengan yang dimisalkan. Sebagaimana Nabi Saw juga menggunakan analogi dalam memisalkan sesuatu.

Sebagai contoh, pertama dalam menjawab pertanyaan seorang wanita dimana wanita tersebut menunaikan ibadah haji sebagai ganti haji ayahnya, Nabi Saw bersabda: "Apakah ayahmu adalah orang yang beragama sehingga engkau menunaikan qadha untuknya?" Nabi Saw dalam hadis ini memberikan fatwa yang tidak ditanyakan kepadanya. Kasus yang lain, sabda Nabi Saw kepada Muadz bin Jabal, tatkala ia diutus ke Yaman: "Wahai Muadz! Apabila terjadi sebuah perisitwa atasmu yang tidak terdapat pada al-Qur'an dan Sunnah, apa yang engkau kerjakan?" Muadz menjawab: "Aku akan mengerjakan sesuatu mengikut pendapatku. Nabi Saw bersabda: Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik untuk mengerjakan apa yang menjadi keridhaan-Nya.
Demikian juga sebagian besar sahabat mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapatnya dan analogi. Dan kita juga mengikuti apa yang dikerjakan oleh para sahabat Nabi Saw.

Imam Ali As berkata tentang hal ini: "Kelompok ini, adalah orang-orang yang meyakini qiyâs dan ijtihad bi ar-ray - dengan bersandar kepada dalil-dalil yang sebagian disebutkan di atas. Sementara mereka telah berdusta baik kepada Tuhan karena berkata: Tuhan memerlukan qiyâs. Juga berdusta atas nama Nabi As karena menyandarkan sesuatu yang tidak pernah disabdakan oleh Nabi Saw.

Kemudian Amirul Mukminin As dalam menampik pendapat orang-orang yang bersandar kepada istihsân dan qiyâs, bersabda: "Prinsip hukum-hukum ibadah dan apa yang terjadi atas umat dan juga cabang-cabangnya, terdapat pada Kitabullah. Dan apa yang kami maksudkan sebagai prinsip, prinsip hukum-hukum dalam seluruh ibadah dan kewajiban dimana terdapat nash Ilahi tentang hal-hal tersebut. Dan Allah Swt mengabarkan ihwal wujubnya hal tersebut kepada kita melalui Nabi Saw dan washinya, waktu, kualitas dan tingkatan hukum-hukum tersebut. Seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, haji, jihad, pidana zina, pidana mencuri, pidana orang yang berbuat kesalahan dan semacamnya terdapat pada Kitabullah dalam bentuk global (mujmal) dan tanpa penafsiran, dan melalui Nabilah hukum-hukum tersebut ditafsirkan.

Setelah itu, kita ketahui bahwa shalat Dhuhur empat rakaat, dan waktunya selepas tergelincirnya (zawal) matahari. Waktu shalat Ashar empat rakaat dan waktu pelaksanaannya selepas Dhuhur hingga tenggelamnya matahari. Dan shalat Maghrib tiga rakaat dan waktu pelaksanaannya tatkala tenggelamnya matahari hingga hilangnya mega merah di belahan barat.

Tatkala Amirul Mukminin menjelaskan hal-hal tentang pelbagai kewajiban dimana kaidah universalnya terdapat dalam al-Qur'an dan ditafsirkan serta dijelaskan oleh Nabi Saw, bersabda: "Apabila tidak ada nash dari Allah Swt dan penjelasan Nabi Saw tentang hal ini, tidak seorang pun yang dapat menunaikan kewajiban-kewajiban yang ditugaskan kepadanya. Dan akalnya tidak dapat menyingkap hakikat maksud Tuhan dan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, pelaksanaan kewajiban ini melalui jalan qiyâs dan ray, tidak dapat dibenarkan. Akal dengan sendirinya tidak dapat memahami apakah shalat Dhuhur empat rakaat atau lima rakaat atau tiga rakaat. Apatah untuk dapat menjelaskan secara rinci antara waktu shalat sebelum atau selepas zawal, antara terdahulunya ruku' atas sujud, atau sujud atas ruku', atau antara pidana zina orang yang sudah menikah atau masih perawan, dan antara 'iqarat dan uang tunai dari sisi kewajiban zakat. Dan apabila kewajiban-kewajiban ini kita sandarkan kepada akal saja, akal dengan sendirinya tidak memandang benar pelaksanaan satu pun dari kewajiban-kewajiban tersebut.

Setelah akar hukum-hukum menjadi jelas; sedemikian sehingga hukum-hukum tersebut tidak dapat diperoleh kecuali melalui ayat dan riwayat, oleh karena itu yang berkaitan dengan cabang-cabang hukum juga demikian adanyal; artinya hukum kewajiban-kewajiban tersebut tidak dapat diperoleh melalui qiyâs tetapi harus merujuk kepada nash.

Akan tetapi klaim yang mengatakan bahwa qiyâs adalah tasybih dan tamsil oleh karena itu melalui perantaranya hukum dapat dikeluarkan dan pelbagai peristiwa dapat dibandingkan dengannya, perkataan ini tentu saja merupakan perkataan yang keliru; karena kita menyaksikan berbagai hal yang beragam dimana Allah Swt menerapkan satu hukum untuknya dan sebaliknya, perkara-perkara yang kita saksikan kendati secara lahir adalah satu - antara satu dengan yang lain memiliki keserupaan - akan tetapi Allah Swt, meletakkan hukum-hukum yang berbeda atasnya. Dan poin ini menuntun kita kepada hakikat ini bahwa kesamaan dua hal, tidak dapat menjadi dalil hukumnya juga harus sama, sebagaimana yang diklaim oleh mereka yang menerima qiyâs dan pendapat pribadi (ray).
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As dalam melanjutkan hadis di atas, tentang kecenderungan sebagian orang kepada qiyâs, menjelaskan: "Alasan cenderungnya orang kepada qiyâs adalah mereka tidak mampu menunaikan hukum-hukum persis dengan kualitas yang diturunkan dalam Kitabullah, dan mengabaikan perkara yang seharusnya mereka pelajari. Mereka yang ketaatan kepadanya adalah wajib bagi para hamba dan tiada satu pun kesalahan dan cela dalam pekerjaan mereka dan umat juga memiliki tugas untuk merujuk kepada mereka dalam urusan-urusan yang baginya keliru- hukum atas urusan-urusan ini seharusnya mereka tuntut dari mereka (Ahlulbait) - akan tetapi hasrat kepada dunia dan cinta kepada tahta yang menggiring mereka untuk mengadopsi qiyâs dalam melakukan istinbath hukum; oleh karena itu mereka mengikuti jalan orang-orang salaf yang mengklaim diri mereka sebagai awliya. Ketidakmampuan menyelimuti seluruh keberadaan mereka lalu mengklaim bahwa mempraktikan ray dan qiyâs adalah wajib hukumnya; sementara ketidakmampuan dan heresy (bid'ah) mereka dalam agama Allah adalah jelas dan terang bagi orang-orang yang berakal. Lantaran akal dengan sendirinya tidak mampu membedakan antara pencurian (sirqat) dan perampasan (ghashab, kendati dua hal ini adalah serupa satu dengan yang lain (secara lahir), sementara hukumnya keduanya berbeda; yang pertama harus dipotong dan yang kedua tidak boleh dipotong.

Akal tidak mampu membedakan antara zina muhshan (zina orang yang sudah menikah) dan zina bikr (zina orang yang belum menikah) dimana yang pertama harus dirajam dan yang kedua harus dicambuk. Kesemua ini merupakan dalil bahwa dalam urusan ahkam, kita harus merujuk kepada ayat dan riwayat bukan kepada tasybih dan tamsil.

Apabila hukum-hukum agama dihasilkan melalui qiyâs, maka mengusap telapak kaki adalah lebih baik ketimbang mengusap atas kaki. Allah Swt mengisahkan qiyâs yang dilakukan oleh Iblis yang berkata: "Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah." Kemudian Allah Swt mencela Iblis kenapa ia tidak mampu memahami perbedaan antara ia dan Adam. Demikian juga Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As mencela qiyâs.
Adapun dalil menampik orang-orang yang berpandangan dibolehkannya ijtihad semacam ini adalah bahwa mereka menyangka seluruh mujtahid adalah benar, sementara mereka tidak mampu mengklaim bahwa kelompok ini denga ijtihadnya pada hakikatnya telah mendapatkan apa yang sejatinya di sisi Allah, karena mereka dalam melakukan praktik ijtihad, berpindah dari satu ijtihad ke ijtihad lain. Dan oleh karena itu dalil-dalil mereka bersandar bahwa hukum yang mereka hasilkan sebagai sebuah produk ijtihad merupakan hukum Allah, adalah batil, munqathi dan muntaqidh. Dan tidak ada dalil yang lebih baik dari dalil ini dalam melemahkan pandangan orang-orang yang menerima ijtihad bi ar-ray. Mereka menyangka bahwa mustahil tidak ada satu pun mujtahid yang sampai kepada Allah Swt, dan ucapan ini juga merupakan ucapan yang keliru, karena tiadanya akses kepada Allah Swt lantaran ijtihad mereka sendiri dan oleh karena itu kesalahan ada pada mereka sendiri.

Dan yang lebih aneh selagi meyakini ijtihad bi ar-ray mereka berkata: "Allah Swt da Nabi Saw memberikan taklif kepada umat ini sesuai dengan takat dan kemampuan mereka. Dalil mereka adalah firman Allah Swt: "Dimana pun kalian berada maka hadapkanlah wajahmu ke arah.." dan mereka mengira bahwa ayat ini merupakan dalil ijtihad mereka; sementara dalam takwil ayat ini, kesalahan dan kekeliruan mereka nampak nyata. Di antara dalil-dalil mereka adalah sabda Rasulullah Saw kepada Muadz bin Jabal. Mereka mengklaim bahwa Rasulullah Saw memberikan izin Muadz bin Jabal untuk melakukan praktik ijtihad. Dan yang benar dari hadis tersebut adalah Tuhan tidak menugaskan mereka untuk berijtihad; karena Allah Swt menganugerahkan kepada mereka dalil-dalil dan tanda-tanda dan menetapkan hujjah bagi mereka. Maka setelah Rasulullah Saw menjelaskan seluruh masalah haram dan halal dan kemudian menyampaikan penjelasan ini kepada mereka dan mereka tetap tidak terlepas dari kebingungan, adalah mustahil Allah Swt menugaskan kepada mereka sesuatu yang berada di luar kemampuan mereka. Oleh karena itu, kapan saja mereka berhadapan dengan sebuah perkara, dimana mereka tidak mampu memahami hukumnya, mereka merujuk kepada Rasulullah Saw dan para imam As. Dan bagaimana mereka tidak melakukan hal ini sementara Allah Swt berfirman: "Tidak kami alpakan sesuatu apa pun di dalamnya." "Hari ini telah Kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kucukupkan nikmatKu bagimu." "Dan di dalamnya penjelas segala sesuatu."

b. Ijtihad dengan satu mabda umum dan Penegasan partikular terhadap validitasnya

Dalam ijithad semacam ini kendati mukallaf tidak memiliki nash yang dengannya mereka bersandar, sumber ijtihad mereka bukanlah asumsi dan prasangka pribadi, melainkan kepada hal-hal yang universal dimana akal memandang harus (wajib) untuk menghukumi segala sesuatu sesuai dengan universalitas tersebut. Dan membelakangi titah akal dalam hal ini (universalitas), dalam pandangan akal hukumnya, adalah haram. Adapun universalitas tersebut adalah sebagai berikut:

" Prioritasnya aham (yang lebih penting) tatkala berhadapan dengan muhim (yang penting).
" Kemestian (wujub) terwujudnya sesuatu yang telah mencapai tingkatan harus (wajib).
" Memilih kejahatan yang lebih ringan ketika terjebak dalam dua kejahatan dimana pelaku tidak dapat menghindar dari keduanya.
" Segala yang darurat membolehkan yang diharamkan (mahzhurat).
" Sangsi atau hukuman tanpa ada penjelasan sebelumnya merupakan perbuatan tercela. (Qubh iqâb belâ bayân)
" Menyingkirkan keburukan lebih utama dari mendapatkan manfaat. (Daf'e Mafsadah awla min jalb manfa'at)
" Apabila manusia memiliki ilmu terhadap satu taklif, ia harus yakin bahwa ia telah melakukan tugas tersebut; dengan kata lain, ia juga harus memiliki ilmu terhadap ketaatan dan pelaksanaannya.
" Yang utama pada "masyruth" (yang disyaratkan) adalah tiadanya syarat.
" Dibolehkannya sesuatu, pertanda dibolehkannya sesuatu yang lawazimnya.
" Apabila terdapat sebab bagi sesuatu, niscaya terdapat akibat sebagai buahnya.

Apabila sumber ijtihad seorang mujtahid adalah perkara-perkara di atas, jelas ia akan mendapatkan sokongan dan penegasan definitif akal. Dan akal sedemikianlah yang menjadi media penetapan keberadaan Tuhan, prinsip kenabian dan hari kiamat, oleh karena itu, apabila sesuatu mampu membuktikan keberadaan Tuhan dan prinsip kenabian, tentu saja ia dapat menjadi sumber istinbath hukum-hukum partikular dan cabang agama. Syiah Imamiah memandang boleh praktik ijtihad semacam ini, ijtihad yang mengikut kepada akal murni. Dan membiarkan pintu ijtihad tetap terbuka bagi sesiapa saja yang qualified untuk mempraktikan ijtihad. Ahlusunnah pada awalnya memandang boleh melakukan ijtihad semacam ini akan tetapi mereka melarang ijtihad semacam ini.





4
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Keragaman Pemahaman Fuqaha ihwal Ijtihad bagian kedua dan ketiga
Dengan memperhatikan persoalan di atas tentang ijtihad bagian kedua dan ketiga, pembahasan keragaman pemahaman juga menjadi jelas.
Penjelasan matlab ini bahwa keragaman pemahaman yang muncul karena pengaruh ijtihad bagian kedua dimana ijtihad bagian kedua ini adalah ijtihad yang mengikut kepada prasangka pribadi. Dengan dalil yang sama membatalkan kaidah ijtihad. Dan tiada seorang pun pemilik pemahaman yang memandang boleh mengamalkan pemahaman tersebut, baik pemahaman ini pada tataran vertikal, atau pun pada arsy horizontal. Dengan kata lain, manusia harus melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman yang bertolak dari hujjat, baik hujjah akal atau pun hujjah syar'i; sementara pemahaman yang bersandar kepada ijtihad bagian kedua, tidak mendapatkan sokongan syar'i dan juga tidak memperoleh hujjah aqli.
Akan tetapi dari sudut pandang hukum syar'i, Allah Swt memberikan pemahaman seperti ini dan juga beramal berdasarkan pemahaman ini dengan ganjaran dan pahala. Bahkan apabila pemahaman-pemahaman para mujtahid dalam bidang ini berbeda dengan kenyataan factual, tetap dari sudut pandang syariat, ia mendapatkan pahala. Dan oleh karena itu, ganjaran akan diberikan kepada orang-orang yang memiliki pemahaman tersebut dan orang-orang yang mengamalkan pemahaman tersebut dimana disebutkan sebuah kaidah "Bagi orang yang melakukan kesalahan mendapatkan satu pahala." Pahala dan gajaran ini bukan lantaran aksesnya kepada hukum faktual Ilahi, melainkan dikarenakan menunaikan tugas dimana sejatinya mengikuti hukum akal praktis.
Akan tetapi perbedaan keragaman pemahaman berdasarkan ijtihad bagian pertama-kedua dan ijtihad bagian ketiga terletak pada masalah terpuji dan tercelanya perbuatan tersebut dalam perspektif akal. Tiada keraguan bahwa akal mencela kemunculan keragaman pemahaman berkat bantuan ijtihad bagian pertama dan kedua. Akan tetapi akal memuji pemahaman yang bersumber dari ijtihad bagian ketiga.




Ijtihad dalam Memahami Nash-nash
Ijtihad dalam Sunnah Nabi Saw apakah ia terbukti melalui kabar mutawatir atau melalui yang lainnya, Syiah Imamiyah memandang boleh ijtihad semacam ini dengan beberapa syarat:

Syarat pertama:

Nash-nash yang terdapat dalam Kitabullah atau Sunnah Rasulullah bersifat asumtif dari sisi petunjuknya (dalalah).

Syarat kedua:

Pemahaman yang bersumber dari ijtihad tidak melewati batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat. Sebagai contoh, kalimat "qara" dalam ayat: Wanita-wanita yang dicerai harus menahan diri (menunggu) selama tiga kali qurû' (suci dari darah haid). (Qs. al-Baqarah [2]:228) Ayat ini dari sisi konotatifnya adalah bersifat asumtif; karena ia dapat diterapkan pada haidh (mens) dan sebagai hasilnya masa berakhirnya iddah perempuan yaitu haidh ketiga, dan juga dapat diterapkan "tahur" dan sebagai hasilnya masa berakhirnya iddah perempuan yaitu setelah suci dari haidh ketiga.
Tugas juris adalah mencari tahu dalil-dalil dan indikasi-indikasi (qarâin) dalam masalah ini secara utuh. Dan memilih satu ucapan tertentu, sehingga apabila ia memilih ucapan tersebut, berbeda dengan ucapan-ucapan seluruh juris, karena mengikuti ucapan orang lain, kendati dengan dalil-dalil yang memadai, baginya adalah haram.

Ahlussunah sebelum menutup secara keseluruhan pintu ijtihad, mempraktikan ijtihad semacam ini. Akan tetapi setelah itu, pemahaman para juris mereka tidak boleh berbeda dengan keempat imam mazhab, dan istidlâl yang ingin mereka bangun adalah istidlâl yang membuktikan pemahaman para keempat juris tersebut, bukan untuk pemahaman ia sendiri.

Dan pemikiran semacam ini sedemikian kokoh dalam benak Ahlusunnah sehingga salah seorang dari mereka berkata: Setiap ayat atau hadis yang berbeda dengan fatwa keempat fuqaha (juris), ia harus ditakwil atau harus dipandang sebagai salah satu yang telah dinasakh.
Dari perkara-perkara yang disebutkan di atas menjadi jelas bahwa apabila "nash" adalah qathi ad-dilalah, ijtihad dalam hal ini hukumnya adalah haram.
Misalnya, siapa yang memberikan fatwa dalam menafsirkan ayat "Jangan engkau berkata Ah kepada keduanya" bolehnya memukul dan menghajar ibu dan bapak karena larangan ini hanya terbatas pada "ucapan Ah kepada ibu dan bapak" bukan yang lain.





Perbedaan Pemahaman bersumber dari Ijtihad bagian Keempat
Hukum dibolehkannya ijtihad bagian terakhir ini tidak bermakna bahwa para juris harus memberikan satu jenis fatwa dan atau apabila ia mengeluarkan fatwa yang beragam, seluruh fatwa tersebut harus sesuai dengan kenyataan faktual; karena masalah ini tidak sejalan dengan kaidah ijtihad, ijtihad secara natural meniscayakan keragaman pemahaman, namun pemahaman-pemahaman yang memiliki pakem dan paradigma.
Dalam ijtihad yang dibolehkan, boleh jadi pemahaman yang beragam terlintas dalam benak para fuqaha atau seorang fuqaha dan berdasarkan hal itu, mereka atau ia mengeluarkan hukum-hukum yang beragam dan sebagian saling bertentangan, akan tetapi dari sisi bahwa prinsip ijtihad mengikut kepada hukum-hukum akal dan penegasan syariat, pemahaman-pemahaman yang bersumber darinya juga tetap mendapatkan penegasan akal dan memiliki warna syariat di dalamnya "Terimalah shibghah (agama) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghah-nya daripada Allah?" (Qs. al-Baqarah [2]:138)
Patut untuk disebutkan di sini bahwa batasan perbedaan fatwa adalah batasan ijtihad itu sendiri. Dan jelas bahwa kekuatan ijtihad di atas hanya berlaku dalam cabang-cabang agama bukan dalam masalah usuluddin.

Cabang-cabang agama juga memiliki hal-hal yang bersifat permanen dan tetap dimana tidak ada jalan untuk praktik ijtihad di dalamnya dan secara natural keragaman pemahaman juga tidak dapat digambarkan di sini; oleh karena itu batasan keragaman pemahaman telah ditentukan, dijelaskan dan dispesifikasi oleh akal dan syariat sebagai konsekuensi penentuan ijtihad yang dibolehkan.

Dan dengan demikian bolehnya ijtihad, tidak bermakna bolehnya keragaman pemahaman secara mutlak, melainkan keragaman pemahaman dan bacaan dalam kerangka yang dibatasi oleh akal dan syariat. Atas alasan ini komparasi antara pemahaman yang terbentuk dalam domain ini dan yang terbentuk di luarnya merupakan komprasi yang keliru dan merupakan perbandingan maal fariq. Bagaimana mungkin pemahaman para juris dapat dibandingkan dengan pemahaman orang biasa yang bukan spesialis dalam bidang ini dan diletakkan pada bilangan pemahaman yang ada. Apakah akal sederhana dan permulaan manusia melakukan perbandingan antara pemahaman seorang pekerja bangunan dan pemahaman para dokter dalam urusan medis. Apakah orang dibolehkan menyampaikan sebuah pandangan yang bukan bidang dan spesialisasinya? "Maka apakah orang yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memperoleh petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?" (Qs. Yunus [10]:35)




Ijtihad pada terbukti atau tidaknya Sunnah dengan bersandar kepada kabar wahid
Bagian ijtihad ini juga dalam pandangan Syiah tidak bermalasah; akan tetapi Ahlussunah tidak memandang valid ijtihad semacam ini.
Alasan boleh dan validnya ijtihad semacam ini adalah mengikut kepada hukum-hukum akal praktis. Penjelasannya: tartib atsar dadan terhadap kabar wahid menurut akal, tidak secara mutlak bersifat wajib juga tidak secara mutlak batil. Melainkan terkadang harus dan mesti dan pada waktu yang lain tidak harus. Oleh karena itu akal praktis, manusia menghukumi bahwa sekadar ukuran signifikansi kabar wahid, ia meriset dan menelusuri. Dan apabila terdapat preferensi antara mengerjakan atau meninggalkan, perkara yang rajih (yang lebih terpilih) lebih utama dari marjuh (terpilih). Dan apabila kedua sisinya dikerjakan atau ditinggalkan, masing-masing tidak memiliki keunggulan atas yang lain, akal menghukumi untuk memilih salah satu dari keduanya.

Akan tetapi poin ini tidak boleh dilupakan bahwa usaha dan upaya untuk memilih salah satu dari kedua sisi tersebut - mengerjakan atau meninggalkan kabar wahid - bergantung kepada jenis kabar wahid, berangkat dari sini, setiap kabar wahid, ia memiliki mukaddimah-mukkadimah khusus tersendiri; oleh karena itu, dengan badh'at mazajat memasuki wilayah eksklusif kabar wahid yang telah dinukil dari para maksum. Memahami kabar wahid yang dinukil dari para maksum, merupakan kapital sebagaimana akal murni dan belum terkontaminasi oleh fallacy (mughalatah) dan kerancuan. Sebuah akal yang dari sisi teoritis jauh dari segala keraguan dan dari sisi praktis tidak terkontaminasi oleh syahwat.

Dengan memperhatikan dari apa yang telah disebutkan dan juga ihwal keragaman pemahaman bersumber dari ijtihad bagian keempat, keragaman pemahaman yang bersumber dari ijtihad bagian kelima juga akan menjadi jelas; karena apabila akal menjadi teraju dan kriteria ijtihad pada satu perkara tertentu, keragaman pemahaman juga dapat diterima pada kerangka dan teraju tersebut. Atas alasan ini pemahaman atas kabar wahid dari orang-orang yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu agama tidak ada artinya.




Memecahkan Satu Keraguan
Dalam pembahasan yang lalu kami telah sebutkan bahwa perbedaan fatwa yang terdapat di antara para mujtahid tidak dapat dipandang sepele. Khususnya apabila maksud dari para mujtahid, baik dari para mujtahid Syiah atau pun para mujtahid Ahlusunnah. Akan tetapi telah terbukti; ijtihad yang tidak mendapatkan izin Allah Swt, Rasulullah Saw dan para Imam Ahlulbait As, secara logis tidak dapat dipertahankan secara rasional, dan akal, tidak menyetujui prinsip ijtihad semacam ini, juga tidak mengharuskan manusia untuk mengikuti pendapat-pendapat yang bersumber dari ijtihad semacam ini.
Yang paling tinggi dari sudut pandang akal, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia karena mengikuti pendapat-pendapat semacam ini, tidak menggugurkan taklif. Atas alasan ini para fuqaha Syiah tidak memandang sahih perbuatan seseorang yang tidak bertaklid kepada seorang mujtahid jâmi asy-syarâit; sedemikian sehingga apabila ia merujuk kepada mujtahid tersebut dan bertobat, seluruh perbuatan yang ia lakukan tidak berdasarkan
fatwa mujtahid tersebut, harus ia qadha (lakukan kembali).

Akan tetapi pertanyaan di sini adalah apabila ijtihad yang diutarakan oleh Syiah apakah mendapat izin dari sisi syariat dan terpuji dari sisi akal, maka mengapa terdapat perbedaan fatwa? Kalau tidak mendapatkan izin, lentera akal dari dalam dan mentari syariat dari luar, dalam berijtihad, maka ia bermuara kepada keburaman dan kegelapan serta tidak sampai kepada hukum yang sebenarnya (waqi'i). Oleh karena itu bagaimana kegelapan ikhtilaf dalam hinggap pada pemahaman para fuqaha dan pemahaman setiap faqih berhadap-hadapan dengan pemahaman-pemahaman para fuqaha.
Bukankah inti perbedaan pelbagai pemahaman, pra-supposisi dan pra-pengetahuan dari para mujtahid? Dan bukankah pelbagai pengetahuan fuqaha ini terpengaruh dari ilmu-ilmu manusia, kondisi-kondisi budaya, politik dan sosial? Bukankah ilmu pengetahuan manusia senantiasa berubah dan berganti?
Keraguan yang tersebar luas di kalangan para pemikir ini berada pada tataran tertentu sehingga fatwa-fatwa para juris (fuqaha) karena penuh corak dan mengikut pada pra-supposisi yang terpengaruh dari ilmu pengetahuan manusia dan senantiasa berubah, berganti, relatif dan tanpa nilai-nilai kesucian.
Solusi atas keraguan ini mengikut kepada perbedaan di antara empat jenis pra-supposisi.

1. Pra-supposisi prinsip tiadanya kontradiksi

Jelas bahwa tidak seorang pun manusia yang kosong pikirannya dari postulat dan pra-supposisi yang dapat mencerap tabiat atau syariat. Dan praposisi pertama yang berhadapan dengan mental lurus ini, prinsip tiadanya kontradiksi. Memahami satu teks, baik teks itu adalah teks agama atau non-agama, tanpa menerima pra-supposisi ini adalah sesuatu yang tidak dapat digambarkan apatah lagi menjadi sesuatu yang dapat diterima. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa pra-supposisi ini sejatinya merupakan kunci untuk memasuki pemahaman satu teks bukan pemahaman itu sendiri, oleh karena itu ia tidak memiliki peran dalam kualitas pemahaman.

2. Mukaddimah-mukkadimah istinbaqh atau pra-pengetahuan istikhraji.

Pra-pengetahuan istikhraji, seperti pengetahuan bahasa dan kaidah-kaidah linguistik, sastra dan konotasi lafaz.
Jelas bahwa ijtihad dan upaya untuk memahami firman Tuhan, riwayat-riwayat dari Nabi dan para Imam Maksum tanpa ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah linguistik adalah tidak mungkin dan mustahil. Akan tetapi poin ini juga harus diperhatikan bahwa pra-supposisi ini merupakan preparasi-preparasi untuk melakukan praktik ijtihad, bukan sebab bagi ijtihad dan pemahaman juristik; pengetahuan bahasa dan kaidah-kaidah linguistik, menyiapkan lahan bagi para mujtahid untuk melakukan praktik ijtihad, akan tetapi ia tidak memiliki peran pada ijtihad itu sendiri. Kendati tanpa lahan (preparasi) ini, ijtihad juga tidak memiliki makna.

3. Pra-supposisi-pra-supposisi pertanyaan

Pra-supposisi pertanyaan bermakna bahwa mujtahid dalam praktik ijtihadnya mulai mencecari dirinya dengan pertanyaan dan persoalan. Dan matlab yang menjadi keperluannya ia hadirkan di hadapan ayat-ayat Ilahi dan riwayat-riwayat Ahlulbait As. Pada saat yang sama, tugas mujtahid adalah diam bukan berbicara, sebagaimana risalah-risalah ayat dan riwayat, ijma pada tingkatan ini adalah nutq (berbicara) bukan sukut (diam). Apabila mujtahid langsung berhadap-hadapan dengan ayat dan riwayat tanpa pertanyaan dan persoalan, ia tidak akan mendapatkan keuntungan, karena keduanya adalah diam (tanpa pertanyaan) dan sekali-kali perjumpaan dua hal yang diam dan hening tidak akan melahirkan energi. 31

4. Pra-supposisi-pra-supposisi terapan

Pra-hipotes-pra-supposisi terapan artinya sebuah jenis pra-pengetahuan yang berpengaruh dalam penerapan dan aplikasi makna - bukan dalam menyingkap makna.

Penjelasannya adalah ketika mujtahid menghadapi ayat dan riwayat dengan pra-supposisi khusus, tiga keadaan yang ia alami:
Keadaan pertama: Berdiam diri dan menanti jawaban ayat atau riwayat.
Keadaan kedua: Tidak berdiam diri dan senantiasa berada pada tataran menjawab pertanyaannya dengan menggunakan lisan ayat dan riwayat. Dalam keadaan ini ia tidak memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berbicara.
Keadan ketiga: Ia memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berbicara akan tetapi disertai dengan jawaban dari dirinya sendiri. Artinya suaranya ia padukan dengan melodi ayat dan riwayat.

Dari tiga keadaan ini, hanya keadaan pertama yang dapat diterima sementara keadaan kedua dan ketiga merupakan contoh dari tafsir bi ar-ray. Lantaran gabungan antara dalam dan luar, hasilnya adalah luar; gabungan dari antara hak dan batil, hasilnya adalah batil bukan hak.

Dari keempat pra-supposisi yang disebutkan di atas, pra-supposisi yang berpengaruh atas pemahaman mujtahid tentu saja bukan pra-supposisi pertama, kedua dan ketiga; karena sebagaimana yang telah diperhatikan secara seksama, tidak satu pun dari bagian-bagian ini yang menjadi sebab pemahaman mujtahid sehingga dengan perubahan sebab-sebab ini karena pergantian dan perubahan ilmu-ilmu manusia yang menjadi akibat - pemahaman mujtahid dari ayat dan riwayat - juga secara dawam senantiasa berganti dan berubah; melainkan perkara ini merupakan preparasi-preparasi bagi pemahaman mujtahid terhadap ayat dan riwayat. Dan preparasi bagi pemahaman mujtahid bukan tanpa pengaruh; namun yang sesuai dengan keraguan relatifnya pemahaman adalah ketiga pra-supposisi telah menjadi sebab dan illat pemahaman.

Kiranya layak untuk disebutkan di sini bahwa diterimanya pra-supposisi bagian pertama bermakna diterimanya probablitas pemahaman; karena kalau tidak demikian ruang bagi setiap usaha tafhim dan tafahhum akan tertutup. Karena pra-pengetahuan pada pra-supposisi bagian keempat, sepanjang mujtahid ketika pemahaman ijtihadnya, tidak menggunakan pra-pengetahuan tersebut, melainkan diam dan menanti jawaban dari ayat dan riwayat, maka hal ini tidak membahayakan pemahaman mujthahid oleh pengaruh pra-pengetahuannya dalam memahami hukum-hukum Ilahi. Iya, apabila mujtahid, pra-pengetahuannya -pra-supposisi bagian keempat itu ia padukan pada pemahaman ayat dan riwayat, artinya ia tidak memberikan izin berbicara dan berkata-kata kepada ayat dan riwayat dan ia berada pada posisi menjawab pertanyaannya sendiri, ia keluar dari lisan ayat atau riwayat, atau ia memberikan izin kepada ayat dan riwayat untuk berkata-kata. Akan tetapi disertai dengan jawaban yang telah disampaikan dari ayat dan riwayat, jawabannya yang ia berikan juga disertai dengan ayat dan riwayat. Namun pemahaman yang ia dapatkan dari hukum-hukum Ilahi, tentu saja terpengaruh oleh pra-pengetahuan dan secara natural dengan perubahan ilmu pengetahuan manusia, hukum ini juga boleh jadi mengalami perubahan. Dan harus diperhatikan bahwa pada tataran "harus dan tidak boleh" memadukan bagian ini dari pra-pengetahuan, dalam ijtihad yang dikenal dalam dunia Syiah, sekali-kali tidak dapat dibenarkan, kendati boleh jadi pada tataran "ada" banyak hal yang dapat ditemukan dimana seorang mujtahid memasukkan pra-pengetahuannya dalam melakukan istinbath hukum Ilahi.
Tugas mujtahid, memprioritaskan akar ketimbang cabang dan tentu saja dalam hal ini, ia harus mempelajari perkara-perkara dimana pemahaman "akar" (kaidah) ini bersandar.

Bagian yang lain juga sebagaimana pra-supposisi bagian pertama, kedua dan ketiga dimana kedudukan pra-supposisi ini dalam memahami hukum-hukum agama adalah jelas dan terang.






5
Ijtihad dan Keragaman Pemahaman Agama

Sumber Pelbagai Kesimpulan yang Beragam dalam Inferensi Hukum-hukum Agama
Pada pembahasan sebelumnya menjadi jelas bahwa pada tingkatan "ada" terdapat perbedaan (pada sebagian) fatwa di antara para mujtahid ihwal hukum satu subjek permasalahan. Akan tetapi pertanyaan ini mengemuka darimanakah perbedaan fatwa ini bersumber? Mengapa sebagian orang dalam melakukan inferensi (istinbath) hukum dari satu ayat atau riwayat melahirkan satu produk hukum, dan sebagian lainnya melakukan istinbath dari ayat atau riwayat yang sama memproduksi hukum yang lain dan sebagiannya dari istibath tersebut ada yang saling bertentangan?
Pertanyaan lain apakah pemahaman yang beragam dalam melakukan istinbath hukum-hukum agama dapat dicegah, sedemikian sehingga seluruh mujtahid dan juris berada pada satu barisan dalam mengeluarkan produk hukum Ilahi?

Poin penting yang harsu diperhatikan dalam bagian ini sebelum menjawab pertanyaan adalah kebanyakan praposisi fuqaha dimana pemahaman seluruh mujtahid tentang praposisi tersebut adalah satu dan tidak ada perbedaan fatwa dalam masalah tersebut. Dan orang yang memiliki informasi minim tentang hukum-hukum fiqih akan mengakui realitas ini.

Bagaimanapun, jawaban atas dua pertanyaan ini bersandar pada pemisahan antara dua jenis ikhtilaf (perbedaan) dalam hukum-hukum fiqih:

1. Perbedaan yang tidak saling bertentangan dan kontra satu dengan yang lainnya, melainkan pada tingkatan tertentu dapat disatukan.
Sebagai contoh:
" Perbedaan-perbedaan yang bersumber dari satu subjek; seperti haramnya transaksi (muamalah) darah pada masa lampau karena ketika itu darah diminum. Dan halalnya transaksi darah pada masa kini dikarenakan untuk keperluan medis.
Akan tetapi dengan memperhatikan poin ini bahwa ter-update-nya kondisi-kondisi subjek hanya terkhusus pada bidang transaksi (muamalah) bukan dalam bidang ibadah. Dan dalam bidang transaksi juga, yang menjadi fokus perhatian adalah praposisi-praposisi dan subjek-subjeknya diambil dari kebiasaan orang-orang berakal (urf uqala), bukan bersumber dari praposisi dan subjek yang dibuat oleh Tuhan. Seperti warisan dimana baik dari sisi subjek dan hukum tidak mengalami perubahan, kendati warisan merupakan bagian dari bidang muamalah.
" Perbedaan fatwa yang bersumber dari perubahan dan pembaharuan satu subjek. Seperti hukum haramnya permainan catur pada masa lalu karena catur ketika itu merupakan alat permainan judi. Dan hukum halalnya permainanan catur pada masa kini karena ia telah keluar dari kondisi sebagai alat permainan judi menjadi media permainan olahpikir (olahraga).
Tiada keraguan bahwa perbedaan fatwa ini bersifat natural dan dapat disatukan dan tiada hubungannya dengan masalah pluralisme pemahaman agama karena kesemua hal ini selaras dan sesuai dengan fakta dan realitas.

2. Perbedaan fatwa yang saling bertentangan dan kontradiksi dalam satu subjek dan mishdak dimana hal ini secara natural tidak dapat diselaraskan dengan fakta dan realitas. Oleh karena itu perbedaan fatwa ini sekali-kali tidak dapat disatukan.
Sumber adanya seluruh perbedaan ini adalah disebabkan oleh faktor-faktor berikut ini:

A. Pengaruh jenis pandangan dunia seseorang atas model istinbathnya dalam hukum-hukum fiqih.
Ucapan ini adalah ucapan Syahid Muthahari. Ia dalam hal ini berkata: "Pekerjaan juris dan mujtahid adalah istinbath (inferensi) dan istikhraj hukum-hukum, namun penguasaan dan pengetahuan terhadap pelbagai subjek, yang disebut sebagai desain pandangan dunianya, sangat banyak berpengaruh ketika ia mengeluarkan fatwa. Seorang faqih harus menguasai secara sempurna terhadap subjek-subjek permasalahan berkenaan dengan fatwa yang ingin ia keluarkan.
Anggaplah seorang faqih yang senantiasa berada di sudut rumah atau madrasah dan kita bandingkan ia dengan seorang faqih yang menguasai masalah-masalah kehidupan, kedua orang ini merujuk kepada dalil-dalil syariat dan referensi-referensi hukum, namun dari keduanya melakukan sebuah pendekatan khusus dalam melakukan praktik istinbath hukum.

Sebagai contoh: Anggaplah seorang tumbuh besar di kota Teheran atau di kota lain seperti kota Teheran dimana di kota tersebut terdapat banyak air kurr dan air jari (yang mengalir), kolam-kolam, sumur dan sungai-sungai, dan faqih ini tinggal di kota tersebut dan ia ingin memberikan fatwa ihwal hukum-hukum thaharah dan najasat (najis), faqih ini dengan latar belakang personalnya tatkala ia ingin merujuk kepada riwayat dan hadis tentang thaharah dan najasat sedemikian ia melakukan istinbath sehingga sejalan dengan ihtiyath dan keharusan untuk menjauhi kebanyakan masalah.
Namun apabila orang ini melakukan ziarah ke Baitullah melihat kondisi thaharah, najasat dan keadaan tanpa air, pandangannya tentang hal ini akan mengalami perubahan, artinya setelah melakukan perjalanan, apabila ia merujuk kepada hadis dan riwayat tentang thaharah dan najasat, ia akan mendapatkan pemahaman baru tentang thaharah dan najasat.

Menurut hemat penulis, penjelasan Syahid Muthahari memerlukan komplementer dan hal itu adalah jenis pandangan dunia dalam melakukan istinbath hukum fiqih, sekali-kali tidak bermakna pengaruh sebab dan akibat melainkan bermakna pengaruh beberapa (sebab) persiapan atas terwujudnya satu akibat; berangkat dari sini, pengaruh perkara sedemikian tidak berbentuk universal dan positif yang bersifat universal (mujibah kulliyah) dan juga tidak bercorak mesti dan harus.
Dengan demikian seorang faqih dengan mudah berada pada realitas faktual dalam kondisi tertentu, jauh dari jenis kecendrungan dan pandangan, dan sampai pada hukum faktual (waqi'i) Ilahi.

Sebaik-baik contoh dalam masalah ini, kisah fatwa Allamah Hilli tentang air sumur. Lantaran kecendrungan dan kenangannya terhadap sumur yang terdapat di rumahnya, kecendrungan tersebut tidak menahannya untuk sampai pada hukum faktual tentang air sumur, ia memerintahkan air sumur tersebut supaya dipenuhi.

Kisah ini tidak dapat dibatasi hanya pada satu orang saja; karena keniscayaan yang terdapat pada fiqih Syiah, menepikan segala kecendrungan dan tendensi pribadi dan sosial; kendati terdapat kemungkinan pengaruh kecendrungan dan tendensi tersebut dalam melakukan praktik istinbath.

B. Jenis penguasaan seorang faqih terhadap subjek-subjek partikular dan personal.
Sebagian perbedaan fatwa kembali kepada kualitas pengetahuan para juris terhadap subjek-subjek dan permasalahan partikular, seperti fatwa boleh atau tidaknya menggunakan gigi palsu ketika shalat.

Adalah natural faqih atau juris yang memiliki hubungan dengan dokter gigi sampai pada kesimpulan bahwa pada gigi palsu tidak terdapat bagian-bagian hewan yang tidak dapat dimakan dagingnya, dan memberikan hukum boleh menggunakan gigi palsu ketika shalat. Sementara mujtahid yang lain, karena tiadanya hubungan dengan spesialis dalam bidang ini, ia tidak memiliki pengetahuan yang memadai terhadap subjek permasalahan ini dan oleh karena itu ia memberikan fatwa tidak bolehnya menggunakan gigi palsu ketika mengerjakan shalat. Perlu disebutkan bahwa jenis perbedaan fatwa ini juga dapat dipecahkan. Dan sebaik-baik jalan untuk memecahkan perbedaan ini adalah mengikut hukum akal; artinya tugas faqih adalah menjelaskan hukum-hukum universal bukan menentukan subjek-subjek partikular dan personal. Menentukan misdak-misdak partikular harus diserahkan kepada spesialis subjek tersebut. Apabila sekumpulan spesialis tersebut menentukan kondisi satu misdak, secara natural, hukum fiqihnya juga akan menjadi jelas.

Oleh karena itu, jangan banyak berharap kepada faqih untuk menjelaskan seluruh subjek-subjek dan hukum-hukum tentangnya. Dan apabila misdak-misdak itu ingin diijelaskan, maka harus merujuk kepada spesialis misdak tersebut. Dalam hal ini bagian penting perbedaan (fatwa) dimana sumbernya adalah tiadanya penguasaan mujtahid terhadap subjek-subjek partikular dan personal dapat diselesaikan.

C. Jenis pandangan seorang faqih terhadap pokok agama (ushuluddin).

Tiada keraguan bahwa terdapat perbedaan antara fatwa-fatwa mujtahid yang memandang agama dari sudut pandang personal dan mujtahid yang melihat bahwa pribadi merupakan bagian dari masyarakat dan pandangannya adalah pandangan sosiologis terhadap agama.
Syahid Shadr menulis tentang hal ini: "Konsekuensi melihat sebuah persoalan hanya pada tataran permukaan juga berujung pada metode penerimaan dan istinbath nash-nash syariat.

Ia menyebutkan sebuah contoh perizinan dalam masalah ini bahwa apakah penyewa dapat menyewakan kembali tempat yang ia sewa kepada orang lain, dengan mendapatkan lebih dari apa yang ia serahkan sebagai uang sewa?
Tentang masalah ini terdapat banyak riwayat yang disebutkan dimana sebagian dari riwayat tersebut melarang persewaan semacam ini dalam urusan rumah, dan sekelompok lainnya dalam urusan kapal dan pabrik tempat membuat tepung, dan sebagian lainnya dalam perkara "pekerjaan" yang disewakan.
Mereka yang memiliki pandangan individual terhadap agama memandang bahwa persewaan semacam ini terbatas pada perkara-perkara yang disebutkan di atas. Akan tetapi orang-orang yang memiliki pandangan realistis dan dari sudut pandang mekanisme hubungan sosial, ketika berhadapan dengan nash-nash semacam ini, larangan persewaan semacam ini dengan biaya sewa yang lebih besar terbatas pada perkara-perkara yang disebutkan di atas dan oleh karena itu mereka tidak membolehkan masalah ini.

Hal-hal yang lain yang dapat digambarkan tentang sumber perbedaan fatwa seperti:

D. Tidak mengindahkan kaidah-kaidah umum linguistik seperti kaidah umum ('am) dan khusus (khas) atau mutlak dan muqayyad (memiliki kait, stipulated) atau hakikat dan majaz. .

E. Memahami nasukh tanpa memperhatikan masalah mansukh atau sebaliknya.

F. Tidak mengindahkan indikasi-indikasi aktual (qarain hâliyah), tekstual, asabâbun nuzûl, atmosfer dan suasana pewahyuan;

G. Lalai terhadap literal (zhuhur) urf dan umum dan menempatkan zuhuri personal sebagai ganti dari literal (zhuhur) urf dan umum;

H. Tidak mengenal ijma' dan hukum-hukumnya, khususnya pada mazhab Syiah.

I. Tidak mengindahkan pengenalan terhadap perbuatan-perbuatan Nabi Saw dan kedudukannya dari sisi wajib, mustahabnya dan sebagainya;

J. Perbedaan dalam pembahasan ilmu rijal dan ushul.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, kendati mungkin perbedaan yang sedemikian, saling kontradiksi dan bertentangan satu dengan yang lain, namun harus diperhatikan bahwa kebanyakan dari penyebab perbedaan ini sebenarnya dapat disingkirkan dan konsekuensinya kesatuan pemahaman sebagai produk dari perbaikan ini dapat dicapai.




Catatan Kaki:
1 . Lihat, Syarif Murtadha, adz-Dzari'ah ila Ushul asy-Syariah, diriset oleh Dr. Abul Qasim Garji, Danesygah Tehran, jil. 2, hal. 672; Najmuddin Ibn al-Qasim Ja'far bin al-Hasan Hadzali, Muhaqqiq Hilli, Ma'ârij al-Ushûl, cetakan pertama, Muassasah Alil Bait As, hal. 179.
2 . Idem.,
3 . Syaikh Bahai menukil makna ini dari Hajabi dalam Zubdah al-Ushûl, hal. 115.
4 . Lihat, Dhiayuddin 'Iraqi, Maqâlat al-Ushûl, diriset oleh Mujtaba Mahmudi dan Sayid Mundzir Hakim, cetakan pertama, Majma' al-Fikr al-Islami, Qum, jil. 2, hal. 491.
5 . Taqrirât as-Sayyid al-Khui, Sayid al-Waizh al-Husaini, Mishbah al-Ushûl, Maktabah al-Dawari, Qum, jil. 3, hal. 434.
6 . Lihat, Dhiayuddin 'Iraqi, Maqalât al-Ushûl, jil. 2, hal. 491.
7 . Lihat, Ahmad Wai'zhi, Dar ?mad bar Hermeunetik, Markaz-e Nasyr Pazyhuesygah Farhang-e wa Andisye Islami, cetakan pertama, hal. 297; Babak Ahmadi, Sakhtâr Ta'wil Matn, cetakan pertama, Nasyr Markaz, jil. 2, hal. 574; Richard I. Palmer, Hermeunetik, terjemahan Muhammad Sa'id Hanai Kasyani, Intisyarat-e Hermes, hal. 219.
8 . Lihat, Ahmad Wai'zhi, Dar Amad bar Hermeunetik, hal. 298, Markaz-e Nasyr Pazyhuesygah Farhang-e wa Andisye Islami, cetakan pertama.
9 . Lihat, Sakhtar Ta'wil Matn, jil. 2, hal. 573.
10 . Idem, hal. 566-577 dan Dar Amad bar Hermeunetik, hal. 298.
11 . Lihat, Sakhtar Ta'wil Matn, jil. 2, hal. 574.
12 . Idem, hal. 571 dan Dar Amad bar Hermeunetik, hal. 298.
13 . Majalleh Fiqhi Ahlulbait, tahun pertama, No. 1, hal. 39.
14 . Ahlusunnah dalam hal ini disebut sebagai Mushawwabah atau Ahli Tashwib; lantaran mereka memandang bahwa setiap mujtahid adalah mushib (benar) dan hukum yang mereka hasilkan adalah hukum Allah.
15 . Lihat, Syaikh Thusi, al-'Uddah fi al-Ushul al-Fiqh (10), riset oleh Muhammad Ridha Anshari, cetakan pertama, 1418, Penerbit Setareh, Qum, jil. 2, hal. 724; Ibn Hamid, Muhammad Ghazali, al-Mustashfa fi 'Ilm al-Ushul, cetakan 1417, cetakan Dar al-Kitab al-'Ilmiyah, Penerbit Dar al-Kitab al-'Ilmiyah, Beirut, hal. 349; Ibn Ishaq, Ibrahim bin 'Ali Syirazi, al-Lam' fi al-Ushul al-Fiqh, cetekan tahun 1406, Penerbit 'Alim al-Kutub, Beirut, hal. 357.
16 . Lihat, Ibn Maitsam Bahrani, Kamal ad-Din Maitsam bin 'Ali, al-Misbah (syarh Kabir), jil. 1, hal. 396, Tehran, Khadamat-e Capi, cetakan kedua, 1404.
17 . Lihat, al-Lam' fi al-Ushul al-Fiqh, hal. 357 dan al-Mustashfa, hal. 345.
18 . Lihat, Fiqh al-Imam Ja'far ash-Shadiq As, jil. 6, hal. 379; Syaikh Shaduq, al-Hidayah, Muassasah al-Imam al-Hadi, cetakan pertama, I'timad, Qum, hal. 18; al-'Uddah fii al-Ushul al-Fiqh, jil. 2, hal. 726.
19 . Lihat, al-'Uddah fii al-Ushûl al-Fiqh, jil. 2, hal. 726
20 . Lihat, Fiqh al-Imâm Ja'far ash-Shâdiq As, jil. 6, hal. 380; al-Mustashfa fi al-Ushûl al-Fiqh, Ghazali, hal. 282.
21 . Lihat, Hurr al-Amili, Wasâil asy-Syiah, Kitab al-Qadhâ, bab 'Adam al-Jawâz al-Qadha al-Hukm bi al-Ray, hadits 38.
22 . Lihat, Fiqh al-Imâm Ja'far ash-Shâdiq, jil. 6, hal. 381.
23 . Idem.
24 . Lihat, Fiqh al-Imam Ja'far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.
25 . Idem, hal. 382.
26 . Lihat, Fiqh al-Imam Ja'far ash-Shadiq, jil. 6, hal. 381.
27 . Lihat, Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, Markaz-e Nasyr Isra, jil. 1, hal. 192.
28 . Lihat, 'Abdulhussein Khusrupanah, Kalâm-e Jadid, hal. 153.
29 . Lihat, Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 225.
30 . Idem, hal. 225; Kalâm-e Jadid, hal. 153.
31 . Lihat, Kalâm-e Jadid, hal. 154
32 . Lihat, Muhammad Hadi Ma'rifat, Naqsy Zamân wa Makân dar Rawand-e Ijtihâd, Ruznameh Ittila'at 22/8/78.
33 . Lihat, Murtadha Muthahhari, Dah Guftar, Intisyarat-e Shadra, hal. 121.
34 . Lihat, Murtadha Muthahhari, Islâm wa Muqtadiyyât-e Zamân, jil. 2, hal. 65-66, Intisyarat-e Shadra.
35 . Majalleh Fiqh Ahlulbait As, tahun pertama, No. 1, hal. 40.
36 . Idem.
37 . Lihat, Syaikh Thusi, 'Uddat al-Ushul, riset oleh Muhammad Ridha Ustadi, cetakan pertama, Penerbit Setareh, Qum, jil. 2, hal. 719.
38 . Idem.
39 . Idem.
40 . Idem.

6