• Mulai
  • Sebelumnya
  • 52 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 58061 / Download: 2712
Ukuran Ukuran Ukuran
ANTOLOGI ISLAM

ANTOLOGI ISLAM

pengarang:
Indonesia
ANTOLOGI ISLAM ANTOLOGI ISLAM



Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi

1
ANTOLOGI ISLAM

DAFTAR ISI
BAGIAN I AL QURAN DAN AHLULBAIT, KEMAKSUMAN DAN IMAMAH

Bab 1: Mengapa Madzhab Ahlul Bait?

Bab 2: Kemaksuman para Nabi dalam al-Quran dan al-Hadits

Bab 3: Imamah merupakan kelembutan Allah SWT

Bab 4: Imamah vs Kenabian

Bab 5: Imam Mahdi: Cahaya Petunjuk Terakhir

Bab 6: Polemik Otentisitas Ghadir Khum

BAGIAN II SUKSESI DAN STUDI KRITIS SAHABAT: ANTARA KESETIAAN DAN KEMUNAFIKAN

Bab 7: Menghargai Sahabat Yang Shaleh

Bab 8: Serangan ke Rumah Sayyidah Fathimah as

Bab 9: Mu'awiyah dan Penganiyaan Terhadap Imam Ali as

Bab 10: Keislaman Abu Thalib

Bab 11: Para Sahabat Yang Membunuh Utsman

Bab 12: Kontroversi Abdullah bin Saba'

BAGIAN III GARIS BESAR PERBEDAAN ANTARA MADZHAB SYI'AH DAN SUNNI

Bab 13: Tauhid Menurut Syi'ah dan Sunni

Bab 14: Keyakinan Syi'ah Terhadap Kelengkapan al-Quran

Bab 15: Isu-Isu Seputar Ibadah

2
ANTOLOGI ISLAM

BAGIAN I: AL QURAN DAN AHLULBAIT, KEMAKSUMAN DAN IMAMAH

BAB I: MENGAPA MAZHAB AHLULBAIT?
Berdasarkan hadits-hadits mutawatir yang kesahihhannya diakui oleh sebuah Muslim, Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada pengikut-pengikut beliau pada berbagai kesempatan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa beliau akan meninggalkan dua barang berharga dan bahwa jika kaum Muslim berpegang erat pada keduanya, mereka tidak akan tersesat setelah beliau tiada. Kedua barang berharga tersebut adalah Kitabullah dan Ahlulbait Nabi as.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dan juga dalam sumber-sumber lainnya, bahwa sepulang dari haji Wada, Rasulullah SAW berdiri di samping sebuah telaga yang dikenal sebaiak Khum (Ghadir Khum) yang terletak antara Mekkah dan Madinah. Kemudian beliau memuji Allah dan berzikir kepada-Nya, dan lalu bersabda,

"Wahai manusia, camkanlah! Rasanya sudah dekat waktunya aku hendak dipanggil (oleh Allah SWT), dan aku akan memenuhi panggilan itu. Camkanlah! Aku meninggalkan bagi kalian dua barang berharga. Yang pertama adalah Kitabullah, yang didalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Yang lainya adalah Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku! Aku ingatkan kalian, atas nama Allah, tentang Ahlulbaitku (tiga kali)!1

Sebagaimana terlihat dalam hadis sahih Muslim di atas, Ahlulbait tidak hanya ditempatkan berdampingan dengan Quran, tetapi juga disebutkan tiga kali oleh Nabi Muhammad SAW.

Meskipun ada fakta bahwa penyusun Shahih Muslim dan ahli-ahli hadis Sunni lainnya telah mencatat hadis di atas dalam kitab-kitab Shahih mereka, disayangkan bahwa mayoritas Sunni tidak menyadari keberadaan Ahlulbait tersebut, bahkan ada yang menolaknya sama sekali. Kontra argumen mereka adalah sebuah hadis yang lebih mereka pegangi yang dicatat oleh Hakim dalam al-Mustadrak-nya berdasarkan riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah berkata, "Aku tinggalkan di antara kalian dua barang yang jika kalian mengikutinya, kalian tidak akan tersesat setelahku; Kitabullah dan Sunnahku!"
Tiada keraguan bahwa semua Muslim dituntut untuk mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Namun, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan Sunnah mana yang dibuat-buat belakangan, dan Sunnah palsu mana yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Menjejaki sumber-sumber laporan Abu Hurairah yang menyatakan hadis versi 'Quran dan Sunnah', kami menemukan bahwa hadis itu tidak dicatat dalam enam koleksi hadis sahih Sunni (Shihah as-Sittah). Tidak hanya itu, bahkan Bukhari, Nasa'i, Dzahabi dan masih banyak lainnya, menyatakan bahwa hadis ini adalah lemah karena sananya lemah. Meski dicatat bahwa meskipun kitab milik Hakim adalah sebuah koleksi hadis Sunni yang penting, tetapi kitab ini dipandang Iebih rendah dibandingkan dengan enam koleksi utama hadis-hadis Sunni. Sementara itu, Shahih Muslim (yang menyebutkan 'Quran dan Ahlulbait') menempati urutan kedua dalam enam koleksi hadis Sunni tersebut.

Tirmidzi melaporkan bahwa hadis versi 'Quran dan Ahlulbait' terujuk pada lebih dari 30 Sahabat. Ibnu Hajar Haitsami telah melaporkan bahwa dia mengetahui bahwa lebih dari 20 Sahabat juga mempersaksikannya.

Sementara versi 'Quran dan Sunnah' hanya dilaporkan oleh Hakim melalui hanya satu sumber. Jadi, mesti disimpulkan bahwa versi 'Quran dan Ahlulbait' adalah jauh lebih bisa dipegang. Lebih-lebih, Hakim sendiri juga menyebutkan versi'Quran dan Ahlulbait' dalam kitabnva (al-Mustadrak) melalui beberapa rantai otoritas (isnad), dan menegaskan bahwa versi 'Quran dan Ahlulbait' adalah hadis yang sahih sesuai berdasarkan kriteria yang digunakan oleh Bukhari dan Muslim, hanya saja Bukhari tidak meriwayatkannya.

Lebih jauh, kata 'Sunnah' sendiri tidak memberikan landasan pengetahuan. Semua Muslim, tanpa memandang kepercayaan mereka, mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Perbedaan di antara kaum Muslim muncul dari perbedaan jalur periwayatan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Sedangkan hadis-hadis tersebut bertindak sebagai penjelas atas makna-makna Quran, yang keasliannya disepakati oleh semua Muslim. Maka, perbedaan jalur periwayatan hadis yang pada gilirannya mengantarkan pada perbedaan interpretasi atas Quran dan Sunnah Nabi - telah menciptakan berbagai versi Sunnah.

Semua Muslim, jadinya terpecah ke dalam berbagai mazhab, golongan, dan sempalan, yang diyakini berjumlah sampai 73 golongan. Semuanya mengikuti Sunnah versi mereka sendiri yang mereka klaim sebagai Sunnah yang benar. Kalau demikian, kelompok mana yang mengikuti Sunnah Nabi? Golongan manakah dari 73 golongan yang cemerlang, dan akan tetap bertahan? Selain hadis yang disebutkan dalam Shahih Muslim di atas, hadis sahih berikut ini memberikan satu-satunya jawaban detail terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Rasulullah SAW telah bersabda:

Aku tinggalkan di antara kalian dua 'perlambang' yang berat dan berharga, yang jika kalian berpegang erat pada keduanya kalian tidak akan tersesat setelahku. Mereka adalah Kitabullah dan keturunanku, Ahlulbait-ku. Yang Pemurah telah mengabariku bahwa keduanya tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka , datang menjumpaiku di telaga (surga).2

Tentu saja, setiap Muslim harus mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW. Demikian pula kami, pengikut Ahlulbait, tunduk kepada Sunnah asli yang betul-betul dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan meyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Akan tetapi, hadis yang telah disebutkan di atas memberikan bukti bahwa setiap apa yang disebut sebagai Sunnah, yang bertentangan dengan Ahlulbait, adalah bukan Sunnah yang asli, melainkan Sunnah yang diadakan belakangan oleh beberapa individu bayaran yang menyokong para tiran. Dan inilah basis pemikiran mazhab Syi'ah (mazhab Ahlulbait). Ahlulbait Nabi, yakni orang-orang yang tumbuh dalam keluarga Nabi, adalah orang yang lebih mengetahui tentang Sunnah Nabi dan pernik-perniknya dibandingkan dengan orang-orang selain mereka, sebagaimana dikatakan oleh pepatah: "Orang Mekkah lebih mengetahui gang-gang mereka daripada siapapun selain mereka."

Secara argumentatif, bila kita menerima kesahihan kedua versi hadis tersebut (Quran-Ahlulbait dan Quran-Sunnah), maka seseorang mesti tunduk kepada interpretasi bahwa kata 'Sunnah-ku' yang diberikan oleh Hakim berarti Sunnah yang diturunkan melalui Ahlulbait dan bukan dan sumber selain mereka, sebagaimana yang tampak dari versi Ahlulbait yang diberikan oleh Hakim sendiri dalam al-Mustadrak-nya dan oleh Muslim dalam Shahih-nya. Kini, marilah melihat hadis yang berikut ini:

Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, 'Ali bersama Quran, dan Quran bersama Ali. Mereka tidak akan berpisah satu sama lain hingga kembali kepadaku kelak di telaga (di surga)."3

Hadis di atas memberikan bukti bahwa Ali bin Abi Thalib dan Quran adalah tidak terpisahkan. Jika kita menerima keotentikan versi'Quran dan Sunnah', maka orang dapat menyimpulkan bahwa yang membawa Sunnah Nabi adalah Imam Ali, sebab dialah orang yang diletakkan berdampingan dengan Quran.
Menarik untuk melihat bahwa Hakim sendiri memiliki banyak hadis tentang keharusan mengikuti Ahlulbait, dan salah satunya adalah hadis berikut ini. Hadis ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama Sunni lainnya, dan dikenal sebagai 'Hadis Bahtera', yang dalamnya Nabi Muhammad SAW menyatakan, "Camkanlah! Ahlulbait-ku adalah seperti Bahtera Nuh. Barang siapa naik ke dalamnya selamat, dan barangsiapa berpaling darinya binasa."4

Hadis di atas memberikan bukti fakta bahwa orang-orang yang mengambil mazhab Ahlulbait dan mengikuti mereka, akan diselamatkan dari hukuman neraka, sementara orang-orang yang berpaling dari mereka akan bernasib seperti orang yang mencoba menyelamatkan diri dengan memanjat gunung (tebing), dengan satu-satunya perbedaan adalah bahwa dia (anaknya Nuh yang memanjat tebing tersebut) tenggelam dalam air, sedangkan orang-orang ini tenggelam dalam api neraka. Hadis yang berikut ini juga menegaskan hal tersebut bahwa Nabi Muhammad SAW telah berkata tentang Ahlulbait; "Jangan mendahului mereka, kalian bisa binasa! Jangan berpaling dari mereka, kalian bisa binasa, dan jangan mencoba mengajari mereka, sebab mereka lebih tahu dari kalian!"5

Dalam salah satu hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, "Ahlulbaitku adalah seperti Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil. Siapa saja yang memasukinya akan terampuni."6

Hadis di atas berhubungan dengan Surah al-Baqarah ayat 58 dan Surah al-A'raf ayat 161, yang menjelaskan Gerbang Pengampunan bagi Bani Israil, sahabat-sahabat Musa yang tidak memasuki Gerbang Pengampunan dalam ayat tersebut, tersesat di padang pasir selama empat puluh tahun. Sedangkan orang-orang yang tidak memasuki Bahtera Nuh, tenggelam. Ibnu Hajar menyimpulkan bahwa:

Analogi 'Bahtera Nuh' mengisyaratkan bahwa barang siapa yang mencintai dan memuliakan Ahlulbait, dan mengambil petunjuk dari mereka akan selamat dari gelapnya kekafiran, dan barang siapa yang menentang mereka akan tenggelam di samudra keingkaran, dan akan binasa dalam 'sahara' kedurhakaan dan pemberontakan.7

Sudahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri, mengapa Nabi 'Muhammad SAW begitu menekankan Ahlulbait? Apakah hanya disebabkan karena mereka adalah keluarga beliau, atau karena mereka membawa ajaran-ajaran (Surunah) beliau yang benar dan mereka adalah individu-individu yang paling berpengetahuan di antara masyarakat setelah beliau tiada?

Berbagai versi dari 'Hadis Dua Barang Berat (ats-Tsaqalain)', yang membuktikan secara konklusif tentang perintah untuk mengikuti Quran dan Ahlulbait, adalah hadis-hadis yang tidak biasa. Hadis-hadis ini sering diulang-ulang dan dihubungkan dengan otoritas lebih dari 30 sahabat Nabi Suci melalui berbagai sumber. Nabi Suci senantiasa mengulang dan mengulang kata-kata ini (dan tidak hanya dalam satu keadaan, tetapi bahkan pada berbagai kesempatan) di depan publik, untuk menunjukkan kewajiban mengikuti dan menaati Ahlulbait. Beliau mengatakannya kepada khalayak pada saat Haji Perpisahan, pada hari Arafah, pada hari Ghadir Khum, pada saat kembali dari Tha'if, juga di Madinah di.atas mimbar, dan di atas peraduan beliau saat kamar beliau penuh sesak oleh sahabat-sahabat beliau, beliau bersabda,

Wahai saudara-saudara! Sebentar lagi aku akan berangkat dari sini, dan meskipun aku telah memberitahu kalian. Aku ulangi sekali lagi bahwa aku meninggalkan di antara kalian dua barang, yaitu Kitabullah dan keturunanku, yakni Ahlulbait-ku. (Kemudian beliau mengangkat tangan Ali dan berkata) Camkanlah! Ali ini adalah bersama Quran dan Quran adalah bersamanya. Keduanya tidak akan pernah berpisah satu sama lain hingga datang kepadaku di Telaga Kautsar.8

Ibnu Hajar Haitsami menulis, "Hadis-hadis tentang berpegang teguh itu telah dicatat melalui sejumlah besar sumber dan lebih dari 20 sahabat telah dihubungkan dengannya."

Selanjutnya dia menulis,

"Di sini (mungkin) muncul keraguan, dan keraguan itu adalah bahwa hadis-hadis itu telah datang melalui berbagai sumber, sebagian mengatakan bahwa kata-kata itu diucapkan pada saat haji Wada. Yang lainnya mengatakan kata-kata itu diucapkan di Madinah ketika beliau berbaring di peraduan beliau dan kamar beliau penuh sesak dengan para sahabat beliau. Namun yang lainnya lagi mengatakan bahwa beliau di Ghadir Khum. Atau hadis yang lain pada saat Tha'if. Tetapi tidak terdapat inkonsistensi di sini, sebab dengan memandang penting dan agungnya Quran dan Ahlulbait yang suci, dan dengan penekanan pokok masalah di depan orang-orang, Nabi Suci bisa jadi telah mengulang-ulang kata-kata ini pada semua kesempatan tersebut sehingga orang yang belum mendengar sebelumnya dapat mendengarnya kini.9

Menyimpulkan hadis di atas, Quran dan Ahlulbait adalah dua barang berharga yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kaum Muslim, dan Nabi menyatakan bahwa jika kaum Muslim mengikuti keduanya mereka tidak akan tersesat setelah beliau, dan mereka akan dihantarkan ke surga, dan bahwa siapa yang mengabaikan Ahlulbait tidak akan bertahan. Hadis di atas telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menjawab 'Sunnah' mana yang asli dan kelompok mana yang membawa 'Sunnah' yang benar dari Nabi Muhammad SAW. Tujuannya adalah untuk tidak membiarkan kaum Muslim tersesat jalan setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, jika kita menggunakan kata 'Sunnah' saja, hal itu tidak memberikan jawaban spesifik atas persoalan ini, sebab setiap kelompok Muslim mengikuti Sunnah versi mereka sendiri maupun interpretasi mereka atas Quran dan Sunnah tersebut. Jadi, perintah Nabi ini jelas untuk mendorong kaum Muslim untuk mengikuti interpretasi Quran dan Sunnah Nabi yang diturunkan melalui saluran Ahlulbait yang keterbebasan mereka dari dosa, kesucian mereka dan kesalehan mereka ditegaskan oleh Quran suci (kalimat terakhir dari surah ke 33, al-Ahzab ayat 33).

Maksud tulisan ini adalah semata-mata untuk memperlihatkan bahwa pandangan Syi'ah tentang kedudukan penting Ahlulbait dan Kepemimpinan (Imamah) mereka tidaklah kabur. Dalam hal ini, kami ingin menyumbangkan pemahaman yang lebih baik di antara kaum 'Muslim sehingga dapat membantu mengurangi permusuhan beberapa orang terhadap pengikut Ahlulbait Nabi Muhammad SAW.

Fakta bahwa kami (Syi'ah) telah mengambil akidah yang berbeda dari akidah Asy'ariyah sejauh mengenai ushuluddin, dan berbeda dari empat mazhab fikih Sunni sejauh mengenai syariah, ibadah ritual dan ketaatan, tidaklah didasarkan atas sektarianisme atau persangkaan belaka. Tetapi, penalaran teologis lah yang telah mengantarkan kami untuk mengambil akidah para Imam anggota Ahlulbait Nabi Suci, Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, kami seluruhnya secara sendiri-sendiri telah mengikatkan diri kami sendiri kepada mereka dalam hal ketaatan maupun keyakinan, dalam pengambilan pengetahuan kami dari Quran dan Sunnah Nabi, dan dalam seluruh nilai-nilai material, moral dan spiritual yang didasarkan atas hujah-hujah logis dan teologis. Kami melakukan semua itu dalam rangka menaati Nabi Suci SAW dan menundukkan diri di hadapan Sunnah beliau.

Jika saja kami tidak diyakinkan oleh bukti-bukti untuk menolak seluruh Imam selain Ahlulbait, dan untuk mencari jalan mendekati Allah SWT hanya melalui mereka, kami mungkin. telah cenderung kepada akidah mayoritas Muslim demi persatuan dan persaudaraan. Namun, penalaran yang tak terbantahkan menyuruh kepada seorang yang beriman untuk mengikuti kebenaran, tanpa memandang pertimbangan apapun selainnya.

Muslim mayoritas tidak akan dapat memberikan argumen apapun untuk menunjukkan mana di antara empat mazhab fikih mereka yang paling benar. Adalah tidak mungkin untuk mengikuti semuanya, dan karena itu, sebelum orang dapat mengatakan wajibnya mengikuti mereka, orang itu mesti membuktikan mazhab yang mana (dari keempat mazhab) yang harus diikuti. Kami telah mencermati argumen-argumen Mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki dan Hambali, dengan pandangan mata seorang pencari kebenaran, dan kami telah jauh menelitinya, namun kami tidak menemukan jawaban atas permasalahan ini, kecuali bahwa mereka (empat Imam tersebut) diyakini sebagai fukaha yang besar dan jujur dan orang-orang yang adil. Tetapi, anda pasti sepenuhnya sadar bahwa kemampuan dalam syariah, kejujuran, keadilan dan kebesaran bukanlah monopoli empat orang tersebut. Lalu, mengapakah ada kewajiban untuk mengikuti mereka?

Kami tidak yakin bahwa ada orang yang meyakini bahwa empat orang Imam ini dalam hal apapun lebih baik dari Imam-Imam kami, keturunan yang suci dan murni dari Nabi Muhammad SAW, bahtera keselamatan, Gerbang Pengampunan, yang melalui mereka lah kita dapat menjaga dari perselisihan dalam masalah-masalah keagamaan, sebab mereka adalah simbol petunjuk, dan pemimpin-pemimpin menuju jalan yang lurus.

Namun sayang, setelah wafatnya Nabi Suci SAW, politik mulai memainkan perannya dalam urusan-urusan agama, dan anda tahu apa yang akhirnya terjadi di jantung Islam. Selama masa-masa penuh cobaan ini, Syi'ah terus memegang teguh Quran dan para Imam Ahlulbait yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW sebagai dua barang yang paling berat (atraksi). Telah terdapat beberapa sekte ekstrem (ghulat) yang muncul di setiap saat dalam perjalanan sejarah Islam. Namun, tubuh utama Syi'ah tidak pernah menyimpang dari jalur tersebut sejak masa Ali bin Abi Thalib dan Fathimah hingga hari ini.

Syi'ah sudah ada ketika Asyari (Abu Hasan Asyari) dan empat Imam Sunni belum lahir dan belum terdengar suaranya. Hingga tiga generasi pertama sejak masa Nabi Suci SAW, Asyari dan empat Imam Sunni belumlah dikenal. Asyari lahir pada 270-320 H, Ibnu Hanbal lahir pada 164-241 H, Syafi'i lahir pada 150-204 H, Malik lahir pada 95-169 H, sedangkan Abu Hanifah lahir pada 80-150 H.

Syi'ah, di sisi lain, mengikuti jalur Ahlulbait, yang termasuk dalamnya Ali bin Abi Thalib, Fathimah binti Muhammad Rasulullah SAW, Hasan bin Ali bin Abi T'halib dan Husain bin Ali bin Abi Thalib yang semuanya hidup sezaman dengan Nabi Muhammad SAW dan tumbuh besar dalam keluarga beliau.

Sejauh mengenai pengetahuan Imam-Imam Ahlulbait, cukuplah dikatakan bahwa Ja'far Shadiq adalah guru dua Imam Sunni, yaitu Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Abu Hanifah mengatakan, "Kalaulah tanpa dua tahun itu, Nu'man pasti sudah celaka," merujuk pada dua tahun dia menimba ilmu dari Ja'far Shadiq. Malik juga mengakui dengan terus terang bahwa dia tidak pernah menemukan seorangpun yang lebih terpelajar (berilmu) dalam fikih Islam dari pada Ja'far Shadiq.
Khalifah Abbasiyah, Manshur, memerintahkan Abu Hanifah untuk mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang sulit untuk Ja'far tentang hukum Islam dan menanyakannya kepada Ja'far di hadapan Manshur. Abu Hanifahpun mempersiapkan 40 pertanyaan yang sulit dan menanyakannya . kepada Ja'far di depan Manshur. Imam tidak hanya menjawab seluruh pertanyaan tersebut, tetapi bahkan mengemukakan pandangan ulama-ulama Irak dan Hijaz (pada saat itu). Dalam kesempatan tersebut, Abu Hanifah berkomentar, "Sungguh, orang yang paling berilmu di antara manusia adalah orang yang paling tahu tentang perbedaan pendapat di antara mereka."10

Malik, Imam Sunni yang lain, berkata;

"Aku biasa datang kepada Ja'far bin Muhammad dan bersamanya untuk jangka waktu yang lama. Setiap aku mengunjungi dia, aku menemukannya sedang salat (berdoa), puasa, atau sedang membaca Quran. Setiap dia melaporkan sebuah pernyataan dari Rasulullah, dia sedang dalam keadaan berwudhu. Dia adalah seorang ahli ibadah yang terkemuka yang tidak mempedulikan dunia materi. Dia termasuk salah seorang yang takut kepada Allah.11

Syaikh Muhammad Abu Zahrah, salah seorang Ulama Sunni kontemporer, berkata;

"Ulama-ulama dari berbagai mazhab Islam tidak pernah sepakat secara bulat dalam satu masalah seperti kesepakatan mereka mengenai pengetahuan Imam Ja'far dan keutamaan beliau: Imam Sunni yang hidup pada zaman beliau adalah murid-murid beliau. Malik adalah salah seorang murid beliau dan salah seorang dari orang-orang yang hidup sezaman dengannya, misalnya Sufyan Tsauri dan lain-lain. Abu Hanifah adalah juga salah seorang murid beliau, meskipun usia keduanya hampir sama, dan dia (Abu Hanifah) menganggap Imam Ja'far sebagai orang yang paling berilmu di dunia Islam (saat itu).12

Ikatan persatuan dan persaudaraan dapat dikuatkan, dan perselisihan dapat dihentikan, jika seluruh Muslim sepakat bahwa mengikuti Ahlulbait adalah sebuah keharusan. Dalam kenyataannya, banyak ulama besar Sunni telah mengakui mazhab Syi'ah sebagai salah satu mazhab Islam yang paling kaya karena adanya penalaran mendalam dalam diri mereka bahwa ilmu-ilmu di mazhab Syi'ah diturunkan dari Ahlulbait Nabi Muhammad SAW, yang kesucian dan keunggulan pengetahuan mereka ditegaskan oleh Quran. Ulama-ulama Sunni semacam itu bahkan telah mengeluarkan fatwa bahwa orang-orang Sunni dapat mengikuti fikih 'Syi'ah Dua Belas Imam'. Di antara ulama-ulama tersebut adalah Syaikh Mahmud Syaltut, rektor Universitas Azhar.

Lebih-lebih, perselisihan yang ada di antara berbagai mazhab Sunni sendiri sama sekali tidak lebih sedikit dari pada persesuaian antara Syi'ah dan Sunni. Sejumlah besar tulisan dari ulama-ulama kedua mazhab akan membuktikan hal ini.

Karena menurut hadis ats-Tsaqalain Ahlulbait membawa beban yang sama di mata Allah SWT dengan Quran suci, maka yang pertama (Ahlulbait) akan memiliki kualitas yang sama dengan yang kedua (Quran). Sebagaimana benarnya Quran dari permulaan hingga akhir tanpa bayang-bayang keraguan sedikitpun, dan sebagaimana wajibnya bagi setiap Muslim untuk mematuhi perintah-perintahnya, demikian pula dengan Ahlulbait yang membawa petunjuk yang sempurna dan lurus, yang perintahnya mesti diikuti oleh semua orang.

Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan untuk melarikan diri dari menerima kepemimpinan mereka dan mengikuti kepercayaan dan akidah mereka. Kaum Muslim terikat oleh hadis Nabi Suci tersebut untuk mengikuti mereka, dan bukan selain mereka. Sebagaimana tidak mungkin bagi setiap Muslim berpaling dari Quran suci atau mengambil sekumpulan hukum-hukum yang menyimpang darinya, demikian pula ketika Ahlulbait telah dipaparkan dengan tegas tanpa keraguan sebagai setara berat dan pentingnya dengan Quran, maka sikap yang sama harus diambil berkenaan dengan perintah-perintah mereka, dan tidak diperbolehkan menyimpang dari mereka untuk mematuhi orang-orang yang lain.

Setelah menyebutkan hadis at-Tsaqalain, Ibnu Hajar berkeyakinan bahwa; "Kata-kata ini menunjukkan bahwa Ahlulbait yang memiliki keistimewaan itu adalah orang-orang yang paling unggul di antara manusia."13

Rasulullah telah bersabda;

"Siapa yang ingin hidup dan mati seperti aku, dan masuk surga (setelah mati) yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku, yakni surga yang tak pernah habis, haruslah mengakui Ali sebagai penyokongnya setelahku, dan setelah dia (Ali) harus mengakui anak-anak Ali, sebab mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah membiarkanmu keluar dari pintu petunjuk, tidak pula mereka akan memasukkanmu ke pintu kesesatan!"4

Pada bagian lain, signifikansi kepemimpinan Ahlulbait telah ditegaskan oleh analogi menawan dari Rasulullah SAW berikut ini:

"Kedudukan Ahlulbait di antara kalian adalah seperti kepala bagi tubuh, atau mata bagi wajah, sebab wajah hanya dibimbing oleh mata."15

Rasulullah SAW juga telah bersabda, "Ahlulbait-ku adalah tempat yang aman untuk melarikan diri dari kekacauan agama." (Mustadrak Hakim).
Hadis ini, karena itu, tidak meninggalkan sedikitpun ruangan untuk keraguan apapun. Tidak ada jalan lain kecuali mengikuti Ahlulbait dan meninggalkan semua pertentangan dengan mereka.

Rasulullah bersabda, "Mengakui ali Muhammad (keluarga Muhammad) berarti keselamatan dari Neraka, dan kecintaan kepada mereka merupakan kunci untuk melewati jembatan Sirath (al-Mustaqim), dan ketaatan kepada mereka adalah perlindungan dari kemurkaan Ilahi."16

Abdullah bin Hantab menyatakan, "Rasulullah SAW menghadap ke kita di Juhfah seraya mengatakan, `Bukankah aku memiliki hak yang lebih besar atas dirimu dibandingkan dengan dirimu sendiri?' Mereka semua menjawab, 'Tentu saja.' Lalu beliau bersabda, 'Aku akan meminta pertanggung jawabanmu atas dua perkara, yaitu Kitabullah dan keturunanku.'17

Oleh karena itu, alasan bahwa kami mengambil akidah Ahlulbait sebagai pengecualian atas yang lainnya adalah karena Allah Sendiri yang telah memberikan preferensi kepada mereka saja. Cukuplah untuk mengutip syair Syafi'i (salah satu Imam Sunni) tentang Ahlulbait yang berbunyi sebagai berikut:
Ahlulbait Nabi,

Kecintaan kepadamu adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepada manusia,
Allah telah mewahyukannya dalam al-Quran, Cukuplah di antara keagungan kedudukanmu bahwa Barang siapa yang tidak bersalam kepadamu, salatnya tidak sah. Jika kecintaan kepada Ahlulbait Nabi adalah Rafidhi (menolak), Maka biarlah seluruh manusia dan jin mempersaksikan bahwa aku adalah seorang Rafidhi.18

Dalam salat kita, dan kami yakin juga dalam salat anda, kita tentu mengucapkan ; "Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Ya, Allah, sampaikanlah shalawat-Mu pada Muhammad dan keluarganya!" (Asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuluh. Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Ali Muhammad).




Ahlulbait dalam Quran dan Hadis
Menurut hadis-hadis yang paling sahih dalam koleksi kitab hadis sunni dan Syi'ah, Ahlulbait (orang-orang anggota keluarga) Nabi adalah sa1ah satu simbol Islam yang paling berharga setelah kepergian Nabi Muhammad SAW. Terdapat banyak hadis dalam koleksi kitab hadis di kedua mazhab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kita untuk berpegang erat kedua perkara yang berat (ats-Tsalaqalain), yakni Quran dan Ahlulbait, agar tidak tersesat setelah tiadanya beliau. Rasulullah SAW juga telah mengabarkan kepada kita bahwa kedua perkara berharga itu tidak akan berpisah dan selalu akan bersama hingga Hari Perhitungan. Hal ini mengharuskan kita bahwa dalam memahami penafsiran Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, kita mesti merujuk kepada orang-orang yang telah dilekatkan kepadanya, yakni Ahlulbait.

Mengetahui siapakah sesungguhnya Ahlulbait, karena itu, menjadi sesuatu yang sangat vital ketika orang meyakini hadis Nabi di atas maupun hadis-hadis lainnva yang dengan tegas menyatakan bahwa mengikatkan diri kepada Ahlulbait adalah satu-satunya jalan keselamatan. Hal ini dengan jelas memberikan implikasi bahwa seseorang yang mengikuti Ahlulbait yang 'bukan sebenarnya' akan tersesat.

Dalam menimbang secara kritis dan pentingnya masalah ini, tidak mengherankan jika terdapat perbedaan pandangan antara Syi'ah dan Sunni. Dalam kenyataannya, Sunni tidak memiliki suara yang satu dalam mencirikan Ahlulbait Nabi. Kebanyakan Sunni berpendapat bahwa Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah Fathimah Zahra binti Muhammad SAW; Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan istri-istri Nabi Muhammad SAW.

Kelompok Sunni yang lain lebih jauh bahkan memasukkan semua keturunan Nabi Muhammad SAW ke dalam daftar tersebut!
Kelompok Sunni lainnya malah begitu murah hati dan menyertakan semua keturunan Abbas (Abbasiah) maupun keturunan Agil dan Ja'far (keduanya saudara Ali bin Abi Thalib) ke dalam daftar di atas. Namun, mesti dicatat bahwa terdapat ulama-ulama Sunni terkemuka yang tidak memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam Ahlulbait Nabi Muhammad SAW. Hal ini bersesuaian dengan pandangan Syi'ah.

Bagi Syi'ah, Ahlulbait Nabi Muhammad SAW hanya terdiri atas individu-individu berikut ini: Fathimah Zahra, Ali, Hasan, Husain, dan sembilan orang Imam keturunan Husain. Dan jika dimasukkan Nabi Muhammad SAW ke dalamnya, mereka akan menjadi empat belas orang. Tentu saja, pada masa hidup Nabi Muhammad SAW hanya lima orang dari mereka yang hidup, dan sisanya belumlah lahir. Lebih jauh Syi'ah menegaskan bahwa ke-14 orang ini dilindungi Allah dari segala noda, dan karenanya layak untuk diikuti di samping Quran (simbol yang berat lainnya), dan hanyalah mereka yang memiliki pengetahuan sang sempurna tentang penjelasan (tafsir) ayat-ayat Quran.

Dalam diskusi ini, kami akan menjelaskan mengapa Syi ah mengeluarkan istri-istri Nabi Muhammad SAW dari Ahlulbait, dan juga kami akan mendiskusikan secara ringkas mengapa Ahlulbait terlindungi (maksum). Kami akan mendasarkan pembuktian kami atas: Quran, hadis-hadis dari koleksi kitab-kitab hadis sahih Sunni, dan kejadian-kejadian sejarah.




Bukti dari Quran
Kitab suci Quran menyebutkan Ahlulbait dan keutamaan khusus mereka dalam ayat berikut ini yang dikenal sebagai 'Ayat Penyucian' Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (rijs) dari kamu, wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzab: 33)
Perhatikanlah bahwa kata 'rijs' dalam ayat di atas mendapatkan awalan al- yang membuat makna kata tersebut menjadi umum/universal. Jadi 'ar-Rijs' bermakna setiap jenis ketidak murnian/kekotoran. Juga, dalam kalimat terakhir ayat di atas, Allah menegaskan 'dan mensucikanmu sesuci-sucinya'. Kata 'sesuci-sucinya' merupakan makna penegasan dari masdar 'tathhiran'. Inilah satu-satunya ayat dalam Quran di mana Allah SWT menggunakan penekanan 'sesuci-sucinya'.
Menurut ayat di atas, Allah SWT mengungkapkan kehendaknya untuk menjaga agar Ahlulbait tetap suci dan tanpa noda/dosa, dan apa yang dikehendaki Allah SWT pasti terjadi, sebagaimana yang ditegaskan oleh Quran, Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, hanya mengatakan 'Kun (jadilah),' maka jadilah ia. (QS. an-Nahl : 40)

Memang benar, manusia bisa saja tidak punya dosa, sebab dia tidak dipaksa untuk melakukan dosa. Adalah pilihan manusia untuk menerima perintah Allah SWT dan mendapatkan pertolongan-Nya dalam menghindar atau untuk mengabaikan perintah Allah dan melakukan dosa. Allah adalah Penasehat, Pemberi kabar gembira dan Pemberi peringatan. yang tanpa dosa, tidak diragukan lagi, adalah tetap manusia. orang meyakini bahwa untuk menjadi manusia, orang mesti memiliki kesalahan. Pendapat semacam ini tidak memiliki dasar sama sekali. Yang benar adalah bahwa manusia dapat berbuat dosa, tetapi dia tidak diharuskan untuk melakukannya.

Adalah merupakan Kelembutan Allah SWT bahwa Dia menarik hamba-hamba-Nya menuju Dia, tanpa memaksa mereka sama sekali. Inilah pilihan kita untuk mengejar tarikan tersebut dan menahan diri dari berbuat kesalahan, atau berpaling dan melakukan kesalahan. Bagaimanapun, Allah SWT telah menjamin untuk menunjukkan jalan lurus' dan memberikan kehidupan yang suci kepada mereka yang mencarinya.

Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang suci (thayyibah) .(QS. an-Nahl : 97)

Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menunjukkan baginya jalan keluar. (QS. at-Thalaq : 2)

Bermanfaat kiranya untuk disebutkan bahwa ayat al-Ahzab 33, yang berkaitan dengan pensucian Ahlulbait, telah diletakkan di tengah-tengah ayat yang berkenaan dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW, dan inilah yang menjadi alasan utama beberapa orang Sunni yang memasukkan istri-istri Nabi Muhammad SAW ke dalam Ahlulbait. Namun, kalimat yang berhubungan dengan Ahlulbait (QS. al-Ahzab : 33) berbeda dengan kalimat-kalimat sebelumnya dan sesudahnya dengan perbedaan yang amat jelas. Kalimat-kalimat sebelum dan sesudahnya menggunakan hanya kata ganti perempuan, yang secara jelas ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, kalimat di atas menggunakan hanya kata ganti laki-laki, yang dengan jelas menunjukkan bahwa Quran mengalihkan objek individu-individu yang dirujukinya.

Orang yang akrab dengan Quran pada tingkat tertentu, mengetahui bahwa pergantian Rujukan yang tajam semacam itu bukanlah hal yang aneh, dan ini telah terjadi pada berbagai tempat dalam Quran, Wahai Yusuf Berpalinglah dari ini dan mohon ampunlah (hai istriku) atas dosamu itu, karena kamu (istriku) termasuk orang-orang yang berbuat salah! (QS.Yusuf : 29).

Dalam ayat di atas, 'Hai istriku' tidak disebutkan dan Rujukan kepada Yusuf tampak tetap berlanjut. Namun, pergantian Rujukan dari laki-laki kepada perempuan dengan jelas menunjukkan bahwa kalimat yang kedua ditujukan kepada istri Aziz, dan bukan kepada Nabi Yusuf as. Perhatikan bahwa kedua kalimat itu berada dalam satu ayat! Catat juga bahwa pergantian Rujukan dari istri Aziz kepada Yusuf, dan kemudian sekali lagi berganti kepada istri Aziz jalam ayat-ayat sebelum ayat 29 adalah juga dalam satu kalimat.

Dalam bahasa Arab, ketika sekelompok perempuan adalah yang dituju, maka digunakan kata ganti perempuan. Namun, jika ada satu laki-laki di antara mereka, maka digunakan kata ganti laki-laki. Jadi, kalimat Quran di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Allah menunjukannya kepada sekelompok orang yang berbeda dari istri-istri Nabi Muhammad SAW, sebab menggunakan kata ganti laki-laki, dan bahwa kelompok tersebut mengandung perempuan.

Jika hanya menyandarkan pada al-Ahzab 33, kita tidak dapat disimpulkan bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk dalam Ahlulbait. Hal ini dapat dibuktikan lebih lanjut dengan hadis-hadis sahih Sunni dari koleksi Shihah as-Sittah yang menyebutkan tentang siapakan Ahlulbait, dan juga melalui pembandingan antara spesifikasi Ahlulbait yang diberikan oleh Quran dengan kelakuan dari beberapa isteri Nabi Muhammad SAW yang disebutkan dalam Shihah as-Sittah, untuk membuktikan hal yang sebaliknya (bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW tidak termasuk ke dalam Ahlulbait).

Apa yang dapat dipahami dari hanya Surah al-Ahzab ayat 33 adalah bahwa Allah SWT mengalihkan Rujukan pembicaraannya (yang adalah istri- isteri Nabi Muhammad SAW secara eksklusif pada permulaan ayat) kepada beberapa orang yang termasuk dalamnya perempuan, dan bisa jadi atau tidak bisa jadi termasuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.




Hadis Sahih
Adalah menarik untuk melihat bahwa baik Shahih Muslim dan Shahih Tirmidzi maupun yang lainnya, menegaskan pandangan Syi'ah yang telah di atas. Dalam Shahih Muslim, terdapat sebuah bab yang diberi nama 'Bab Tentang Keutamaan Sahabat'. Dalam bab ini, terdapat satu bagian yang dinamakan 'Bagian Tentang Keutamaan Ahlulbait Nabi. Dalamnya hanya terdapat satu hadis, dan hadis tersebut tidak ada hubungannya dengan istri-istri Nabi Muhammad SAW. Hadis ini dikenal sebagai hadis tentang mantel (Hadis al-Kisa), dan berbunyi sebagai berikut:

Aisyah menceritakan, "Suatu hari Nabi Muhammad SAW keluar sore-sore dengan mengenakan mantel hitam (kain panjang), kemudian Hasan bin Ali datang dan Nabi menampungnya dalam mantel, lalu Hasan datang dan masuk ke dalam mantel, lalu Fathimah datang dan Nabi memasukkannya ke dalam mantel, lalu Ali datang dan Nabi memasukkannya juga ke dalam mantel. Kemudian Nabi berucap, 'Sesungguhnnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci - sucinya (kalimat terakhir dari QS. al-Ahzab : 33).19]

Orang dapat melihat bahwa penyusun Shahih Muslim menegaskan bahwa : Pertama, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain adalah termasuk Ahlulbait. Ke dua, kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir QS. al-Ahzab : 33) diturunkan bagi keutamaan orang-orang yang disebutkan di atas, dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW.

Muslim (penyusun kitab tersebut) tidak menuliskan satu pun hadis lain dalam bagian ini (bagian tentang keutamaan Ahlulbait). Jika saja penyusun Shahih Muslim meyakini bahwa istri-istri Nabi Muhammad SAW adalah dalam Ahlulbait, dia tentu sudah mengutipkan hadis-hadis tentang mereka dalam bagian ini.
Adalah menarik melihat bahwa Aisyah, salah seorang istri Nabi Muhammad SAW, adalah perawi dari hadis di atas, dan dia sendiri menegaskan bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang telah disebutkan di atas.

Salah satu versi lain dari 'hadis mantel' tertulis dalam Shahih Tirmidzi, yang diriwayatkan oleh Umar bin Abi Salamah, putra dari Ummu Salamah (istri Nabi yang lain), yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat 'Sesungguhnya Allah bermaksud hendak...(QS. al-Ahzab : 33) diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam rumah Ummu Salamah. Sehubungan dengan hal itu, Nabi mengumpulkan Fathimah, Hasan, Husain, dan menutupi mereka dengan sebuah mantel (kisa), dan beliau juga menutupi Ali yang berada di belakang beliau. Kemudian Nabi berseru, "Ya, Allah! Inilah Ahlulbait-ku! Jauhkan mereka dari setiap kekotoran, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya!' Ummu Salamah (istri Nabi) menanyakan, "Apakah aku termasuk ke dalam kelompok mereka wahai Rasulullah?" Nabi menjawab, "Kamu tetap di tempatmu dan kamu menuju akhir yang baik.20

Terlihat bahwa Tirmidzi juga menegaskan bahwa Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain adalah Ahlulbait, dan kalimat pensucian dalam Quran (kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33) diturunkan untuk keutamaan orang-orang tersebut, dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW. Tampak juga dari hadis sahih di atas bahwa Nabi sendiri yang mengeluarkan isteri beliau dari Ahlulbait. Jika Ummu Salamah adalah termasuk dalam kelompok Ahlulbait, mengapa beliau SAW tidak menjawabnya secara positif? Mengapa beliau tidak memasukkannya ke dalam mantel? Mengapa Nabi Muhammad SAW menyuruh dia untuk tetap di tempatnya? Jika saja Nabi Muhammad SAW memasukkan Ummu Salamah ke dalam kelompok Alhubait, beliau tentu sudah memasukkannya ke dalam mantel dan akan segera berdo'a untuk kesuciannya.

Perlu juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mengatakan, "Inilah sebagian di antara Ahlulbaitku!' Alih-alih, beliau berkata, inilah Ahlulbaitku!" Sebab tidak ada anggota lain Ahlulbait yang hidup, pada masa Nabi Muhammad SAW. Perhatikan juga bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi yang saleh, adalah perawi dari hadis ini kepada anaknya dan memberikan pernyataan tentang siapakah Ahlulbait itu!

Dalam hadis Hakim, bunyi pertanyaan dan jawabnya dalam kalimat terakhir dari hadis ini adalah:

Umma Salamah berkata, "Ya Nabi Allah! Tidakkah aku termasuk salah seorang anggota keluargamu?" Nabi Suci menjawab, "Kamu memiliki masa depan yang baik (tetap berada dalam kebaikan), tetapi hanya inilah anggota keluargaku. Ya Rabbi, anggota keluargaku lebih berhak!"21

Dan bunyi kalimat yang dilaporkan oleh Suyuthi dan Ibnu Atsir adalah sebagai berikut. Ummu Salamah berkata kepada Nabi Suci SAW, Apakah aku termasuk juga salah seorang dari mereka?" Nabi Muhammad SAW menjawab, "Tidak, kamu mempunyai kedudukan khususmu sendiri dan masa depanmu adalah baik.
Thabari juga mengutip Ummu Salamah yang mengatakan bahwa dia berkata, "Ya, Nabi Allah" Tidakkah aku termasuk juga salah seorang Ahlulbaitmu? Aku bersumpah demi Yang Maha Besar bahwa Nabi Suci tidak menjaminku dengan keistimewaan apapun kecuali bersabda Kamu memiliki masa depan baik.
Inilah variasi sahih lainnya tentang Hadis Mantel yang dinisbahkan kepada Shafiyah, yang juga salah seorang istri Nabi Muhammad SAW. Ja'far bin Abi Thalib meriwayatkan:

Pada waktu Rasulullah merasa bahwa rahmat dari Allah akan turun, beliau menyuruh Shafiyah, "Panggilkan untukku! Panggilkan untukku!" Shafiyah berkata, "Panggilkan siapa wahai Rasulullah?" Beliau berkata, "Panggilkan Ahlulbaitku yaitu Ali Fathimah, Hasan dan Husain!" Maka kami kirimkan (orang) untuk (mencari) mereka dan merekapun datang kepada beliau. Kemudian Nabi Muhammad SAW membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan mengangkat tangan beliau (ke langit) dan berkata, "Ya, Allah! Inilah keluargaku ('aalii), maka berkahilah Muhammad dan keluarga ('aali) Muhammad" Dan Allah, pemilik Kekuatan Keagungan, mewahyukan, Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran (najis) dari kamu, wahai Alhubait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.24

Meskipun mayoritas hadis - hadist tentang masalah ini menunjukkan bahwa kalimat terakhir dari al-Ahzab ayat 33 diturunkan di rumah Ummu Salamah sebagaimana telah dikutip di muka, hadis di atas memberikan implikasi bahwa ayat tersebut bisa jadi telah diturunkan juga di rumah Shafiyah. Berdasarkan pandangan ulama-ulama Sunni, termasuk Ibnu Hajar, adalah sangat mungkin bahwa ayat ini diturunkan lebih dari sekali.
Dalam setiap kesempatan itu, Nabi mengulang-ulang tindakan beliau tersebut di depan istri beliau yang berbeda-beda agar mereka semuanya menyadari siapakah Ahlulbait itu.

Ucapan ketiga istri Nabi Muhammad SAW (Aisyah, Ummu Salameh Shafiyah) tidak meninggalkan kepada kita sebuah ruangan pun semuanya menyakini bahwa Ahlulbait pada masa hidup Nabi. Tidak lebih dari lima orang; Nabi Muhammad SAW, Fathimah, Ali, Hasan dan Husain.

Fakta bahwa kata ganti bagian terakhir al - Ahzab ayat 33 beralih dari perempuan menjadi laki-laki telah menghantarkan mayoritas ahli Sunni untuk meyakini bahwa bagian terakhir tersebut diturunkar berkenaan dengan Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, sebagaimana yang di tampakkan oleh Ibnu Hajar Haitsami:
Berdasarkan pada pendapat mayoritas ahli tafsir (Sunni), firman Allah 'Sesungguhnya Allah berkehendak... (kalimat terakhir dari ayat 33:33) diturunkan untuk Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, sebab penggunaan kata ganti laki-laki pada kata 'ankum' dan seterusnya. 25

Meskipun Syi'ah telah memberikan kehormatan yang amat besar kepada istri-istri yang sangat saleh dari istri-istri beliau SAW, misalnya Khadijah, Ummu Salamah, Ummu Aiman dan sebagainya, namun kami bahkan tidak memasukkan orang-orang yang sangat dihormati tersebut kedalam Ahlulbait sebab Nabi Muhammad SAW dengan jelas mengeluarkan dari Ahlulbait sesuai dengan hadis-hadis sahih dari Sunni maupun Syi'ah. Ahlulbait memiliki keutamaan khusus yang tidak dimiliki seorang pun yang saleh di dunia ini setelah Nabi Muhammad SAW. Keutamaan tersebut menurut Quran adalah kemaksuman, keterbebasan dari noda dan kesucian yang sempurna.

3
ANTOLOGI ISLAM

Ahlulbait dalam Hadis
Dalam bagian sebelumnya, tiga hadis sahih tentang mantel (hadis al-Kisa) dilaporkan dalam Shaih Muslim, Shahih Tirmidza dan Mustadrak Hakim. Dalam tiga hadis ini, tiga orang istri Nabi (Aisyah, Ummu Salamah dan Shafiyah) menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW mencirikan bahwa Ahlulbait beliau adalah terbatas pada putri beliau Fathimah, Ali, dan kedua anak mereka Hasan dan Husain. Juga menurut kutipan tersebut di atas, kalimat pensucian yang ada di alam Quran Surat al-Ahzab ayat 33 diturunkan berkenaan dengan keutamaan mereka dan bukan untuk istri-istri Nabi Muhammad SAW. Kini, mari kita lihat apa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah SAW setelah turunnya ayat tersebut.




Kebiasaan Nabi Setelah Turunnya Ayat Pensucian
Anas bin Malik meriwayatkan, "Sejak turun ayat 'Sesungguhnya Allah berkehendak... (kalimat terakhir al-Ahzab ayat 33)' dan selama enam bulan sesudah itu, Rasulullah SAW biasa berdiri di pintu rumah Fathimah dan berkata, 'Waktunya untuk salat, wahai Ahlulbait! Sungguh Allah berkehendak untuk menghilangkan segala yang dibenci dari kalian dan menjadikan kalian suci dan tak ternoda."26

Abu Hurairah meriwayatkan, "Rasulullah selama sembilan bulan di Madinah terus menerus mendatangi pintu Ali pada setiap salat subuh, meletakkan kedua tangan beliau di kedua sisi pintu dan berseru, "Ash-shalah! Ash-shalah' Sungguh Allah akan menghindarkan segala kekotoran dari kalian, wahai Ahlulbait Muhammad, dan akan menjadikan kalian suci dan tak ternoda."27

Ibnu Abbas meriwayatkan, "Kami menyaksikan Rasulullah selama sembilan bulan mendatangi pintu rumah Ali bin Abi Thalib, pada setiap waktu salat dan berkata, 'Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi Ahlulbait! Sungguh hanyalah Allah berkehendak menghilangkan segala kejahatan dari kalian, Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya.' Beliau melakukan hal ini tujuh kali setiap hari."28

Dalam kitab Majma az-Zawa'id dan Tafsir-nya Suyuthi, telah dikutip dari Abu Said Khudri dengan variasi kalimat sebagai berikut :
Selama tujuh puluh hari Nabi Suci SAW mendekati rumah Fathimah Zahra setiap pagi dari biasa berkata, "Kedamaian atas kalian wahai Ahlulbait! Waktu shalat telah tiba." Dan setelah itu beliau biasa membaca, "Wahai Ahlulbait Nabi..." dan kemudian berkata, "Aku berperang dengan siapa yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan siapa yang berdamai dengan kalian!"29
Orang-orang yang bersaksi bahwa ayat pensucian (al-Ahzab : 33) berkenaan dengan keutamaan Keluarga Suci (Ahlulbait) yaitu:




Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Hakim dalam hubungannya dengan prestasi-prestasi Hasan dan Haitsami telah meriwayatkan bahwa Hasan telah berdiri di depan orang-orang setelah syahidnya ayahnya, Ali bin Abi Thalib, dan berkata selama pidatonya;

"Wahai orang-orang! Siapa yang mengetahui aku mengenaliku, dan siapa yang tidak mengenaliku harus mengetahui bahwa akulah Hasan bin Abi Thalib. Aku putra Nabi Suci dan Washi-nya. Akulah putra dari orang yang mengajak orang-orang menuju Allah dan memperingatkan mereka akan siksaan api neraka-Nya. Akulah putra dari 'Suluh Yang Menerangi' (sirajan munira). Aku adalah anggota dari keluarga yang Jibril biasa turun ke dalamnya dan naik lagi menuju langit. Aku anggota keluarga yang Allah telah mencegah segala kekotoran dari mereka dan menjadikan mereka suci.30

Telah diriwayatkan dalam Majma' az-Zawa'id dan Tafsir Ibnu Katsir, bahwa;

Setelah kesyahidan ayahnya dan saat menduduki kekhalifahan, suatu hari ketika Hasan sedang menjalankan shalat, seseorang menyerangnya dan menikamkan sebilah pedang di pahanya. Dia tetap berada di tempat tidur selama beberapa bulan. Setelah sembuh, dia memberikan khutbah dan mengatakan, "Wahai orang Irak! Demi Allah, Kami adalah Amir kalian, tamu kalian dan termasuk salah seorang anggota keluarga yang Allah Yang Maha Besar telah berfirman, ...Wahai Ahlulbait Nabi...! Hasan membahas masalah ini panjang lebar sehingga orang-orang yang ada di mesjid mulai menangis.31




Ummul Mukminin,Ummu Salamah
Dalam kitab Musykil al-Atsar, Tahawi telah mengutip Umrah Hamdaniah mengatakan;

"Aku pergi ke Ummu Salamah dan menyapanya. Dia bertanya, 'Siapakah kamu?' Aku menjawab, 'Saya Umrah Hamdaniah.' Umrah kemudian melanjutkan ceritanya. Lalu aku berkata, 'Wahai Ummul Mukminin! Katakanlah sesuatu tentang orang yang telah terbunuh di antara kita hari ini. Sekelompok orang menyukainya dan sekelompok yang lain bermusuhan dengannya!" (yang dia maksud adalah Ali bin Abi Thalib). Ummu Salamah berkata, 'Apakah kamu termasuk yang menyukainya atau yang memusuhinya?' Aku menjawab, Aku tidak menyukainya dan tidak pula memusuhinya.' (Di sini cerita kacau, dan setelah itu) Ummu Salamah mulai bercerita tentang turunnya ayat tathhir dan pada sisi ini mengatakan, 'Allah menurunkan ayat ...Wahai Ahlulbait Nabi.. tidak ada seorangpun dalam kamar saat itu kecuali Jibril, Nabi suci, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Aku berkata, 'Wahai Nabi Allah! Apakah aku juga termasuk Ahlulbait?' Beliau menjawab, 'Allah akan memberimu pahala dan membalas jasamu.' Aku berharap bahwa beliau akan mengatakan "Ya" dan itu akan merupakan jawaban yang sangat lebih berharga dibandingkan dengan apa pun di dunia ini."32

Ahmad dalam Musnad-nya, Thabari dalam Tafsir-nya dan Tahawi dalam Musykil al-Atsar telah mengutip Syahru bin Hausyab sebagai mengatakan:
Ketika berita kesyahidan Husain sampai di Madinah, saya mendengar Ummu Salamah berkata, "Mereka telah membunuh Husain. Aku sendiri telah menyaksikan bahwa Nabi Suci membentangkan mantel Khabari beliau kepada mereka dan mengatakan, 'Ya Allah! Inilah anggota keluargaku! Singkirkanlah dari mereka segala kekotoran dan jadikanlah mereka bersih dan suci!''33



Ibnu Abbas
Ahmad, Nasa'i, Muhibuddin, dan Haitsami telah melaporkan (kata-kata diambil dari Musnad Ahmad) bahwa Amru bin Maimun berkata;
"Aku bersama Ibnu Abbas ketika 9 orang datang kepadanya dan mengatakan, 'Ibnu Abbas, keluarlah bersama kami, atau biarkanlah kami sendiri!' Dia menjawab, 'Aku akan keluar bersama kalian' Pada hari-hari itu mata Ibnu Abbas baik-baik saja dan dia dapat melihat. Mereka terlibat dalam percakapan, dan saya tidak memperhatikan apa yang mereka bicarakan. Setelah beberapa saat Ibnu Abbas kembali kepada kita. Dia kemudian mengibaskan pakaiannya seraya berkata, 'Celakalah mereka! Mereka berbicara tentang seorang yang menikmati sepuluh keunggulan' (Kemudian Ibnu Abbas merinci keutamaan Ali hingga dia berkata), 'Nabi Suci mengembangkan mantel beliau di atas Ali, Hasan dan Husain dan bersabda, "Wahai Ahlulbait Nabi! Allah berkehendak untuk menjaga kalian dari segala jenis kekotoran dan cela, dan akan mensucikan kalian sesuci-sucinya.""34



Sa'ad bin Abi Waqqash
Dalam al-Khasyaisy, Nasa'i telah mengutip Amir bin Sa'd bin Abi vaqqash yang bercerita bahwa Muawiyah telah berkata kepada Sa'd bin Abi Waqqash;
"Mengapa kamu menolak untuk mencaci Abu Turab?" Sa'd menjawab, "Aku tidak akan mencaci Ali karena tiga sifatnya yang aku dengar dari Nabi Suci. Jika satu saja dari ketiganya ada padaku, itu jauh lebih berharga bagiku ketimbang barang apa pun di dunia ini. Aku mendengar dari Nabi Suci ketika beliau meninggalkan Ali untuk melakukan peperangan, bersama-sama perempuan dan anak-anak sebagai wakil beliau di Madinah. Ali bertanya, 'Akankah anda meninggalkanku bersama-sama dengan perempuan dan anak-anak di Madinah?' Nabi Suci menjawab, 'Tidak sukakah kamu bahwa kedudukanmu di sisiku seperti halnya kedudukan Harun di sisi Musa?'

Pada hari penentuan Khaibar, juga, aku mendengar Nabi Suci berkata, 'Besok, aku akan serahkan panji-panji (tentara) kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya'. Semua orang di antara kita sangat ingin dianugerahi dan dipilih oleh pernyataan itu, dan berharap panji-panji itu akan ada di tangan kita. Sementara itu Nabi Suci berkata, 'Bawalah Ali ke hadapanku!' Maka Ali datang dan matanya sedang sakit. Nabi Suci kemudian menorehkan ludah beliau ke mata Ali dan memberikan panji-panji ke tangannya.

Pada kesempatan lain, ketika ayat tathhir diturunkan, Nabi Suci memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain ke dekat beliau dan berkata, 'Ya Allah! Inilah Ahlulbaitku."35

Thabari, Ibnu Katsir, Hakim dan Tahawi juga telah mengutip Sa'd bin Abi Waqqash bahwa pada saat turunnya ayat ini, Nabi Suci memanggil Ali bersama-sama dengan kedua putranya dan Fathimah dan mengerudungi mereka di bawah mantel beliau dan berkata, "Ya Allah! Inilah anggota keluargaku."36



Abu Said Khudri
Diriwayatkan bahwa Abu Said Khudri berkata,

"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, Ayat ini telah diturunkan tentang lima orang yaitu aku sendiri, Ali, Hasan, Husain dan Fathimah".37



Watsilah bin Asqa'
Mengenai ayat 33 Surah al-Ahzab, Thabari meriwayatkan bahwa Abu Ammar mengatakan;

"Aku sedang duduk-duduk dengan Watsilah bin Asqa ketika sebuah diskusi tentang Ali terjadi, dan orang-orang memakimakinya. Ketika kejadian tersebut hampir berakhir, dia mengatakan kepadaku, 'Tetaplah duduk hingga aku dapat bercakap-cakap denganmu tentang orang yang telah mereka maki-maki tersebut. Aku sedang bersama Nabi Suci ketika Ali, Fathimah, Hasan dan Husain mendekati beliau dan Nabi Suci membentangkan mantel beliau ke atas mereka dan berkata, "Ya Allah! Inilah Ahlulbaitku. Hindarkanlah dari mereka setiap kekotoran dan jadikanlah mereka bersih dan suci"38

Ibnu Atsir juga telah mengutip Syaddad bin Abdillah berkata;

"Saya telah mendengar dari Watsilah bin Asqa bahwa ketika kepala Husain dibawa, salah satu orang Suriah memaki Husain dan ayahnya, maka Watsilah berdiri dan berkata, Aku bersumpah demi Allah bahwa sejak aku mendengar Nabi Suci berkata tentang mereka, "Wahai Ahlulbait Nabi! Allah bermaksud hendak mensucikanmu dari kekotoran dan cela, dan hendak mensucikanmu sesuci-sucinya," aku selalu mencintai Ali, Fathimah, Hasan dan Husain."'39



Ali bin Husain,Zainal Abidin
Thabari, Ibnu Katsir dan Suyuthi dalam tafsir mereka menyatakan; Ali bin Husain telah berkata kepada seorang Suriah, Pernahkah kamu membaca ayat ini dalam Surah al-Ahzab, Wahai Ahlulbait Allah hendak menghilangkan segala kekotoran dari kamu dan akan mensucikan kamu dengan sesuci-sucinya?' Orang Suriah tersebut berkata, 'Apakah ayat ini berkenaan dengan kalian?' Imam menjawab, 'Ya, ayat itu berkenaan dengan kami". 40

Kharazmi telah mengutip kalimat berikut ini dalam kitabnya Maqtal:

Ketika Zainal Abidin dan tawanan-tawanan lain yang berasal dari Keluarga Nabi Suci SAW dibawa ke Damaskus setelah syahidnya Husain cucu Nabi Suci, dan ditempatkan di sebuah penjara yang terletak di sebelah Mesjid Besar Damaskus, seorang lelaki tua mendekati mereka dan berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah membunuh kalian dan membinasakan kalian dan memusnahkan laki-laki kalian SAW memberikan kekuasaan kepada amirul mukminin (Yazid) atas diri kalian."

Ali bin Husain berkata, "Hai orang tua! Pernahkah kamu membaca Quran yang suci?" Orang itu menjawab, "Ya!" Kemudian Imam berkata, "Pernahkah kamu membaca ayat Katakanlah Hai Muhammad! Aku tidak meminta upah apa pun kepada kalian atas misiku kecuali kecintaan kepada keluargaku (al-qurbaa)?" Orang tua itu berkata, "Ya, saya pernah membacanya!"

Imam berkata, "Pernahkah kamu membaca ayat Maka berikanlah apa yang pantas bagi keluarga terdekat, fakir miskin dan para pejalan dan ayat Ketahuilah bahwa apa saja (pendapatan) yang kamu peroleh maka seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, keluarga terdekat dan fakir miskin, jika kamu beriman kepada Allah dan apa yang Kami wahyukan kepada hamba Kami dalam al-Quran?" Orang tua itu menjawab, "Ya, saya pernah membacanya!"
Imam berkata, "Aku bersumpah demi Allah bahwa kata `keluarga terdekat' merujuk kepada kami, dan ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan kami. (Imam menambahkan), "Dan pernahkah juga kamu membaca ayat ini dalam Quran dimana Allah berfirman, Wahai Ahlulbait... (33:33)?" Orang tua itu berkata, "Ya, saya telah membacanya!" Imam berkata, "Apa yang dimaksud dengan Ahlulbait Nabi? Kamilah yang telah dihubungkan oleh Allah secara khusus dengan ayat tathhir!"

Orang tua itu berlanya, "Saya bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu keluarga yang sama?" Imam menjawab, "Aku bersumpah demi kakekku Nabi Allah bahwa kamilah orang yang sama!" Orang tua itu tertegun dan menunjukkan penyesalan atas apa yang telah dia katakan. Kemudian dia mengangkat kepalanya menuju langit dan berkata, "Ya Allah, aku mohon ampun atas apa yang telah aku katakan, dan meninggalkan permusuhan dengan keluarga ini dan membenci musuh-musuh keturunan Muhammad!"41



Peristiwa Mubahalah
Peristiwa berikut ini dihubungkan dengan kejadian Mubahalah, yang berarti kutukan, atau memohon kutukan/laknat Allah ditimpakan kepada pendusta, yang terjadi pada tahun ke 9-10 Hijriah. Dalam tahun itu sebuah delegasi yang terdiri atas 14 pendeta Kristen datang dari Najran untuk menemui Nabi Muhammad SAW.

Ketika mereka bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, mereka menanyakan pendapat beliau tentang Yesus. Rasulullah SAW berkata, "Kalian bisa beristirahat hari ini dan kalian akan mendapatkan jawabannya setelah itu." Pada keesokan harinya, 3 ayat Quran (Ali lmran : 59-61) tentang Yesus di wahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika orang-orang Kristen itu tidak menerima kata-kata Allah, Nabi Muhammad SAW lalu membacakan kalimat terakhir dari ayat-ayat tersebut;

"Maka siapa yang membantahmu tentang masalah ini sesudah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah, "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kalian, diri-diri kami dan diri-diri kalian! Kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita mohon agar laknat Allah ditimpakan kepada para pendusta!"
(QS. Ali Imran: 61).

Dalam kejadian ini, Nabi Muhammad SAW menantang orang-orang Kristen. Pada hari berikutnya pendeta-pendeta Kristen tersebut keluar dari salah satu sisi tanah lapang. Juga pada sisi yang lain, Nabi Muhammad SAW keluar dari rumah beliau dengan menggendong Husain di lengan beliau dan Hasan berjalan bersama beliau dengan tangannya dipegang oleh beliau. Di belakang beliau adalah Fathimah Zahra, dan di belakang lagi adalah Ali. Ketika orang-orang Kristen itu melihat lima jiwa yang suci tersebut, dan betapa kukuhnya pendirian Nabi Muhammad SAW untuk membawa orang-orang terdekat beliau dalam menanggung resiko mubahalah itu, mereka merasa takjub SAW mengundurkan diri dari mubahalah yang telah disepakati tersebut dan tunduk kepada sebuah perjanjian dengan Nabi Muhammad SAW.

Suyuthi, seorang ulama besar Sunni, menulis;

"Dalam ayat di atas (3:61), menurut apa yang dikatakan oleh Jabir bin Abdillah Anshari, kata 'anak-anak' merujuk kepada Hasan dan Husain, kata 'perempuan-perempuan' merujuk kepada Fathimah, dan kata 'diri-diri kami' merujuk kepada Nabi dan Ali, Ali dianggap sebagai 'diri' Nabi.42

Konsekuensinya, sebagaimana adalah melanggar hukum untuk berusaha :mengungguli Nabi Muhammad SAW, demikian pula adalah melanggar hukum untuk menggantikan Ali (yang menurut kata-kata Allah adalah'diri' Nabi). Siapapun yang menganggap telah menggantikan Ali berarti telah menggantikan Nabi. Ini merupakan satu lagi ayat Quran yang membuktikan kebenaran hak Imam Ali sebagai penerus langsung Nabi Muhammad SAW.

Muslim dan Tirmidzi memberikan konfirmasi atas peristiwa tersebut di atas, dan mencatat hadis berikut ini dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan oleh Sa'd bin Abi Waqqash,

"....dan ketika Ali Imran ayat 61 diturunkan, Nabi Muhammad SAW memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Kemudian Nabi berkata, 'Ya Allah! Inilah anggota keluargaku (Ahlii)."43

Titik simpul di sini adalah bahwa Rasulullah SAW tidak membawa serta seorang pun dari istri-istri beliau ke lapangan tempat mubahalah berlangsung, dan menurut hadis di atas, beliau menggunakan kata Ahl (famili) hanya bagi orang-orang tersebut di atas (yakni Ali, Fathimah, Hasan danHusain).
Perhatikan bahwa dalam Ali Imran ayat 61 ini Allah SWT menggunakan bentuk jamak 'perempuan-perempuan' dengan perkataan 'Marilah kita memanggil perempuan-perempuan kami', tetapi Nabi Muhammad SAW hanya membawa seorang perempuan, yakni Fathimah. Seandainya ada lebih dari satu orang dalam Ahlulbait, maka Nabi Muhammad SAW tentu sudah diminta oleh ayat ini untuk membawa serta mereka. Tetapi, karena tidak ada perempuan lain dalam Ahlulbait, maka beliau hanya membawa Fathimah.

Lagi pula, Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa itu menyebutkan secara eksplisit siapa Ahlulbait, dan membacakan namanya satu persatu. Muslim, Tirmidzi, Hakim dan ulama-ulama Sunni lainnya telah mencatat hal itu dan menegaskan kesahihannya. Tidak ada disebut satu pun istri beliau dalam laporan-laporan tersebut.

Beberapa ulama Sunni telah meriwayatkan bahwa pada hari perundingan untuk menunjuk pemegang kekuasaan setelah wafatnya Umar, Ali berdebat dengan anggota-anggota syura dan mengingatkan mereka akan haknya atas kekhalifahan, dan salah satu argumentasinya adalah Peristiwa Mubahalah.
Pada hari perundingan, Ali berdebat dengan anggota-anggota komite dengan mengatakan,

"Aku meminta kesaksian kalian atas nama Allah, adakah seorang pun di antara kalian yang lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah dibandingkan aku? Adakah laki-laki lain yang Nabi menganggapnya 'jiwa beliau (sendiri), dan bahwa beliau menganggap anak-anaknya adalah 'anak-anak beliau (sendiri), dan perempuannya adalah 'perempuan beliau'?" Mereka menjawat` "Tidak, demi Allah!"44

Diriwayatkan juga bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sungguh, Allah yang memiliki Keagungan dan Kekuasaan telah meletakkan keturunan tiap Nabi dari tulang sulbi mereka, dan Dia Yang Maha tinggi telah meletakkan keturunanku di tulang sulbi Ali bin Abi Thalib."45

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Aku dan Ali berasal dari pohon yang sama, sedangkan orang-orang yang lain berasal dari pohon yang berbeda."46

Dalam kitab tafsir Sunni yang lain, diriwayatkan dari Abdullah bin t mar bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Jika saja ada jiwa-jiwa lain di seluruh bumi yang lebih baik dari Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, Allah tentu sudah memerintahkanku untuk membawa serta mereka bersama-samaku pada Mubahalah. Tetapi, karena mereka adalah yang paling utama di antara seluruh manusia dalam hal keutamaan (martabat) dan kehormatan, Allah telah membatasi pilihan-Nya kepada mereka saja yang ikut serta dalam Mubahalah.47

Peristiwa Mubahalah antara Nabi Muhammad SAW dan orang-orang kristen ini memberikan signifikansi dalam berbagai aspek, di antaranya:

1). Bukti ini menjadi sebuah pelajaran bagi seluruh orang Kristen yang ada di Semenanjung Arabia yang tidak berani lagi bermusuhan dengan Nabi Muhammad SAW,

2). Undangan untuk mubahalah (maknanya secara harfiah adalah saling mengutuk) diatur langsung oleh Allah SWT dan dalam rangka memenuhi perintah-Nya lah Nabi Muhammad SAW bersama sama Ahlulbait beliau datang ke lapangan tempat mubahalah. Ini menunjukkan bahwa urusan-urusan yang berkaitan dengan keNabian dan Islam ditetapkan langsung oleh Kehendak Allah,

3). Tanpa mengizinkan adanya pengaruh luar apapun dari orang kebanyakan (ummah). Masalah kepenggantian (ke-washi-an) Ali setelah Nabi Muhammad SAW harus dipandang serupa,

4) Tidak diragukan lagi bahwa Ali, Fathimah, Hasan dan Husain pasti mengikuti ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW,

5) Meskipun masih kanak-kanak, Hasan dan Husain tetap bertindak sebagai 'dua rekan' Nabi Muhammad SAW yang aktif dalam mubahalah. Ini menunjukkan bahwa usia bukanlah kriteria bagi kebesaran jiwa - jiwa maksum tersebut;

6) Bahwa tindakan pengutamaan oleh Nabi tersebut jelas meninggikan status mereka (Ahlulbait) di atas orang-orang selain mereka,

7) Hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan peristiwa ini jangan jelas menunjukkan siapakah Ahlulbait itu,

8) Ali telah disebutkan sebagai 'diri' Nabi Muhammad SAW sesuai dengan wahyu Allah, dan Ali secara de facto memang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain sehubungan dengan kekhalifahan.




Apakah Hanya Sekedar Hubungan Darah?
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Setiap hubungan kerabatan akan berakhir pada hari pembalasan, kecuali hubungan kekerabatan denganku. Dan garis keturunan dari setiap orang adalah dari ayahnya, kecuali keturunan Fathimah, sebab akulah ayah mereka dan titik garis keturunan mereka!"48

Hadis di atas membuktikan bahwa nilai hubungan darah dalam Islam adalah kecil dan akan segera lebur ketika hari pembalasan terjadi. Namun, apa yang membuat hubungan dengan Nabi dan Ahlulbait beliau berbeda dengan yang lainnya adalah kualifikasi dan kesucian mhani yang mereka miliki, di samping gen mereka yang murni dari Nabi Muhammad SAW (yang juga diperlukan).

Berguna untuk disebutkan bahwa Fathimah adalah satu-satunya anak Rasulullah SAW yang bertahan hidup dan memberikan keturunan bagi beliau. Anak-anak beliau yang lain meninggal pada usia dini tanpa dapat meninggalkan sebuah permasalahan pun di belakang mereka. Orang-orang kafir Hijaz biasa merendahkan Nabi Muhammad SAW dengan katakata bahwa beliau tidak memiliki seorangpun anak laki-laki yang dapat melanjutkan keturunan beliau, karena kejadian itu. Allah menutunkan Surat Al - kautsar,

Sesungguhnya Kami telah memberimu Keberlimpahan
4
l-kautsar (yakni keturunan suci yang terus berlanjut). Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berkorbanlah! Sesungguhnya orang yang menghinamulah yang terputus (tanpa keturunan)
(QS. al-Kautsar : 1-3).



Apakah Ahlulbait Hasil Hubungan Perkawinan?
Terhadap pertanyaan' Apakah istri-istri Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam golongan Ahlulbait?" Muslim dalam Shahih-nya mencatat;
"Ibnu Hayyan meriwayatkan, 'Kami pergi ke Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya, "Kamu telah menemukan kebaikan (sebab kamu memiliki kemuliaan) karena dapat hidup di kalangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW dan melaksanakan shalat bersama-sama dengan beliau," (dan bunyi hadis selanjutnya sama dengan 3 hadis sebelumnya), tetapi Nabi Muhammad SAW berkata, "Camkanlah! Aku meninggalkan bersama kalian dua barang/perkara yang berat, salah satunya adalah Kitabullah...", (dan dalam hadis ini kami temukan kata-kata) 'Kami berkata, "Siapakah Ahlulbait beliau tersebut (yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad SAW)? Apakah mereka adalah istri-istri beliau?" Atas pertanyaan tersebut Zaid berkata, "Tidak, demi Allah! Seorang perempuan hidup bersama dengan seorang pria (sebagai istrinya) untuk sementara waktu. Dia (pria) kemudian (dapat) menceraikannya dan dia (perempuan itu) kembali kepada orang tua dan kaumnya. Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah garis darah dan keturunan beliau (orang-orang yang berasal dari keturunan beliau) yang dilarang menerima sedekah".49


Dalam bab yang sama, Muslim juga melaporkan bahwa Zaid bin Arqam berkata;

"Aku telah menua dan telah melupakanbeberapa hal yang telah aku ingat dalam hubungannya dengan Rasulullah SAW. Jadi, terimalah apa saja yang aku riwayatkan padamu, dan terhadap apa yang tidak aku riwayatkan! Janganlah memaksaku untuk melakukannya!"Zaid kemudian berkata, " suatu hari Rasulullah brediri dan berkuthbah di sebuah telaga yang terkenal sebagai Kham yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, mensucikan. Zaid kemudian berkata, "Suatu hari Rasulullah berdiri dan )erkhutbah di sebuah telaga yang dikenal sebagai Khum yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Beliau memuji Allah, mensucikannya, dan berkhutbah dan mendesak kita seraya mengatakan, Kini sampai ke tujuan kita, wahai manusia! Aku adalah seorang manusia. Aku hampir menerima kedatangan utusan Tuhanku dan aku harus menjawab panggilan itu. Tetapi aku meninggalkan bersama kalian Jua barang yang berat. Salah satunya adalah Kitabullah..., yang ke dua adalah anggota rumah tanggaku (Ahlulbait). Demi Allah, aku mengingatkan kalian (akan tugas kalian) terhadap Ahlulbaitku!, (beliau mengucapkannya tiga kali)"

Dia (Husain bin Sabra) bertanya kepada Zaid, "Siapakah anggota Ahlulbait beliau? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlulbait?" Zaid menjawab, "Istri-istri beliau termasuk Ahlulbait, tetapi 'ahlul' di sini adalah orang-orang yang dilarang menerima zakat."
Dia (Husain bin Sabra) bertanya kembali, "Siapakah mereka?" Dia kemudian menjawab, Ali dan keturunannya, Aqil dan keturunannya, dan keturunan Ja'far dan keturunan Abbas."50

Terlihat bahwa paragraf ketiga dari hadis di atas bukan kata-kata Muhammad SAW. Itu hanyalah pendapat Zaid bin Arqam. Berlawanan dan hadis sebelumnya, di sini Zaid menyatakan, bahwa istri-istri Nabi adalah termasuk di antara Ahlulbait beliau tetapi Ahlulbait di sini adalah orang-orang yang... ) ... Ali dan keturunannya, ... dan keturunan Abbas.

Pertanyaannya adalah: Haruskah kita mengikuti perkataan Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan dengan rinci siapakah Ahlulbait beliau, atau kita mesti menerima pendapat salah seorang sahabat yang dalam kasus ini, bertentangan dengan pendapat Nabi Muhammad SAW ?

Di samping itu, sejarah telah mengatakan kepada kita bahwa terdapat banyak tiran di antara Abbasiah (keturunan Abbas). Dapatkah kita menaati mereka dan mencintai mereka ? Padahal Allah SWT berfirman dalam Quran dan janganlah kami taati orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka (QS. al - Insan : 24). Apakah para tiran dari kalangan Abbasiah adalah termasuk Alhubait yang diletakkan oleh Rasulullah berdampingan dengan Quran sebagai
salah satu dari dua barang berharga yang beliau tinggalkan untuk umat beliau agar mereka menaatinya setelah beliau?

Hal ini menunjukkan bahwa Ahlulbait adalah orang-orang yang khusus dan tidak termasuk dalamnya seluruh kerabat-kerabat Nabi Muhammad SAW. Secara kebahasaan, kata 'ahlulbait' sama sekali tidak mengandung makna kerabat. Kata ini secara kebahasaan berarti orang yang muncul dari darah beliau sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis Zaid bin Arqam yang pertama. Jadi, bahkan istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait.

Pembaca yang meyakini kesahihan seluruh hadis yang ada dalam Shahih Muslim dapat menemukan adanya kontradiksi dalam hadis-hadis tentang hubungan antara istri-istri Nabi dengan Ahlulbait. Dalam sebuah Hadis, Zaid berkata bahwa istri-istri Nabi termasuk ke dalam Ahlulbait. sedangkan pada tiga hadis yang terpisah, orang ini (Zaid) bersumpah demi Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait. Apa yang dapat disimpulkan?

1. Haruskah kita mengesampingkan penjelasan Nabi Muhammad SAW dan berpegang teguh pada pendapat seorang sahabat?

2. Jika ya, maka kita harus menerima perkataan seorang sahabat yang menceritakan dua pendapat yang saling bertentangan, sementara dia berkata di hadis yang kedua bahwa dia telah menua dan dia tidak bisa ingat banyak-banyak?

3. Haruskah kita menerima riwayat yang saling bertentangan tersebut sebagai shahih kedua-duanya?

4. Jika ya, maka haruskah kita menerima seseorang yang bersumpah demi Allah, atau seseorang yang tidak bersumpah demi Allah?

Ketika Nabi dengan jelas mengeluarkan istri-istri beliau dari Ahlulbait dan ketikar istri-istri beliau seperti Aisyah, Ummu Salamah dan Shayifah juga menegaskan kenyataan ini (lihat bagian pertama) dan ketika Zaid bin Arqam bersumpah demi Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Alhubait, maka tidak ada pilihan kecuali menerima kenyataan bahwa istri-istri Rasulullah SAW adalah tidak termasuk ke dalam Alhubait.

Kini fokuskanlah pandangan ke kalimat terakhir dari hadis Zaid yang pertama!
Seorang perempuan hidup bersama dengan seorang pria (sebagai istrinya) untuk sementara waktu; dia (pria) kemudian (dapat) menceraikannya dan dia (perempuan itu) kembali kepada orang tua dan kaumnya. Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah garis darah dan keturunan beliau (orang-orang yang berasal dari keturunan beliau) yang dilarang menerima sedekah.

Ini adalah penalaran yang tepat. Hubungan perkawinan antara seorang pria dan perempuan tidak pernah dianggap sebagai permanen. hubungan itu hanyalah hubungan yang kondisional dan dapat putus sesaat-saat, sebab seorang istri dapat diceraikan. Kenyataan menunjukkan bahwa dua istri Nabi yaitu Aisyah binti Abu Bakar dan Hafsah binti Umar Khattab pernah diancam untuk diceraikan dari Nabi oleh Quran, disebabkan oleh sebuah berita rahasia yang mereka ceritakan kepada orang tua mereka.

Sudah umum diketahui bahwa ayat-ayat berikut ini adalah diturunkan enam tentang Aisyah dan Hafsah;
Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan sebuah peristiwa secara rahasia kepada salah seorang istrinya (yakni Hafsah) dan dia (Hafsah) kemudian membeberkan pembicaraan itu (kepada A'isyah) dan Allah memberitahukan hal itu kepadanya (Muhammad),lalu dia (Muhammad) memberitahukan sebagian dan merahasiakan sebagian. Tatkala dia (Muhammad) memberitahukan yang sebagian itu (pembicarann antara Hafsalt dan A'isyah), maka dia (Hafsah) bertanya,"Siapakah yang telah memberitahukan hal itu kepadamu?" Nabi menjawab, "Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal telah memberitahukannya kepadaku." (QS. at-Tahrim : 3)

Jika kalian berdua (yakni Hafsah dan A'isyah) bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong (untuk mematuhi perintah Rasul), dan jika kalian berdua bantu membantu dalam menentang Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah perlindungannya dan begitu pula Jibril dan orang - orang yang saleh di antara kaum mukmin dan selain itu malaikat juga adalah penolongnya.. (QS. al-Tahrim : 4) Jika dia menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian, yang patuh, beriman, taat, yang bertaubat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan. (QS. at-Tahrim : 5)



Penjelasan Shahih Bukhari atas Surah at-Tahrim Ayat 5
Pada jilid 6 kitab Shahh Bukhari edisi Arab-Inggris, di bab yang berjudul Boleh jadi, jika dia menceeraikan kalian, Tuhannya akan ..." (at-Tahrim : 5), dapat ditemukan hadis-hadis sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, "Istri-istri Nabi karena kecemburuan mereka, saling membantu untuk melawan Nabi, sehingga aku berkata kepada mereka, 'Boleh jadi, jika dia menceraikan kalian, Allah akan memberinya istri-istri pengganti yang lebih baik dari kalian!' Maka demikianlah ayat ini (QS. 66:5) diturunkan." (Shahih Bukhari, hadis 6.438, jilid 6 hadis ke 438) Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, "Saya bermaksud bertanya kepada Umar, maka saya katakan, 'Siapakah dua orang perempuan yang mencoba saling membantu dalam menentang Rasululllah?' Saya hampir tidak melanjutkan perkataan saya ketika dia berkata, 'Mereka adalah Aisyah dan Hafsah."' (Shahih Bukhari, hadis 6.436)

Jika Allah sampai mengancam kedua istri Nabi itu dengan perceraian, disebabkan mereka saling membantu dalam menentang Nabi, lalu bagaimana bisa kita menyatakan bahwa mereka adalah suci dan bebas dosa (maksum)? Lagipula, hadis berikut ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW meninggalkan Aisyah dan Hafsah selama sebulan penuh sebagai hukuman atas terbongkarnya berita rahasia tersebut; Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,

"Saya ingin sekali bertanya kepada Umar bin Khattab tentang dua perempuan di antara istri-istri Nabi yang tentang mereka Allah berfirman, Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong ...(66:4), hingga Umar melaksanakan Haji, dan saya juga melaksanakan Haji bersamanya...Lalu saya berkata kepadanya, 'Wahai amirul mukminin! Siapakah dua orang perempuan di antara istri-istri Nabi yang tentang mereka.
Allah berfirman: "Jika kalian berdua bertobat kepada Allah, maka hati kalian memang telah condong ... (66:4)" Dia berkata, `Saya heran dengan pertanyaanmu itu hai Ibnu Abbas! Mereka adalah Aisyah dan Hafsah.'

Umar kemudian menceritakan sebuah hadis dan berkata, '...Aku berteriak kepada istriku dan dia menjawabnya dengan pedas, dan aku tidak suka kalau dia membantahku. Dia berkata kepadaku, "Mengapa engkau begitu terkejut dengan bantahanku? Demi Allah, istri-istri Nabi membantah beliau dan beberapa di antara mereka meninggalkan beliau (tidak berbicara dengan beliau) selama seharian penuh hingga malam tiba."'

Pembicaraan itu demikian menakutkanku, dan aku berkata kepadanya, `Siapapun yang melakukan hal itu akan binasa!' Kemudian aku melangkah setelah merapikan pakaian, dan masuk ke (rumah) Hafsah dan berkata kepadanya, 'Adakah di antara kalian yang membuat Nabi marah hingga malam?' Dia menjawab, 'Ya, ada.' Aku lalu berkata, 'Kalian orang yang binasa! Tidakkah kalian takut bahwa Allah akan marah karena marahnya Rasulullah dan karena itu kalian akan binasa? Maka janganlah meminta yang lebih banyak dari Nabi dan jangan membantah beliau dan jangan memutuskan pembicaraan dengan beliau! Mintalah kepadaku apapun yang kamu butuhkan dan jangan berusaha meniru tetanggamu (yaitu Aisyah) dalam kelakuannya, karena dia lebih menarik daripada kamu dan lebih dicintai oleh Nabi!'

Umar menambahkan, 'Pada saat itu sebuah pembicaraan beredar dikalangan kita bahwa (kabilah) Ghassan sedang mempersiapkan kuda-kuda mereka untuk menyerang kita. Sahabat-sahabatku orang Anshar, pada saat tiba hari giliran mereka, pergi (ke kota) dan kembali kepada kita pada malam harinya dan mengetuk pintu rumahku dengan kasar dan menanyakan kalau-kalau aku ada di dalamnya. Aku menjadi terkejut dan keluar menemui dia. Dia berkata, "Hari ini telah terjadi peristiwa besar." Aku bertanya, "Apakah itu? Sudah datangkah (kabilah) Ghassan?" Dia berkata, "Bukan, tetapi (peristiwa itu) lebih besar dan lebih mengejutkan; Rasulullah telah menceraikan istri - istri beliau !"

Umar menambahkan, 'Nabi telah menjauhi istri-istri beliau dan aku berkata, "Hafsah adalah seorang pecundang yang binasa." Aku sudah menduga bahwa peristiwa yang sangat mungkin ini (penceraian) akan terjadi pada waktu dekat-dekat ini. Maka aku lalu membenahi pakaianku dan melaksanakan salat Subuh bersama Nabi dan Nabi kemudian masuk ke ruangan atas dan tetap di sana mengasingkan diri. Aku masuk ke (kamar) Hafsah dan melihat dia menangis. Aku bertanya, "Apa yang membuat kamu menangis? Bukankah aku telah memperingatkanmu tentang hal itu? Sudahkah Nabi menceraikan kalian semuanya?" Dia berkata, "Aku tidak tahu. Itu beliau di sana sendirian di ruangan atas."

Aku berkata (kepada Rasulullah SAW) dengan nada mengobrol, 'Akankah anda memperhatikan apa yang aku katakan duhai Rasulullah? Kami, orang-orang Quraisy biasa berkuasa atas perempuan-perempuan kami, namun ketika kami tiba di Madinah kami menemukan bahwa laki-laki di sini dikuasai oleh perempuan-perempuan mereka.' Nabi tersenyum dan lalu aku berkata kepada beliau, "Akankah anda memperhatikan apa yang aku katakan duhai Rasulullah?"
Aku kemudian masuk ke kamar Hafsah dan berkata kepadanya, "Jangan berusaha meniru temanmu itu (Aisyah), karena dia lebih menarik daripada kamu dan lebih dicintai Nabi." ...Dan kemudian Nabi menjauhi istri-istri beliau selama 29 hari disebabkan oleh cerita rahasia yang telah dibukakan oleh Hafsah kepada Aisyah. Karena kemarahan beliau, Nabi telah berkata, "Aku tidak akan masuk ke (kamar) mereka selama satu bulan." Beberapa orang di antara istri beliau mengakibatkan beliau berkata seperti itu, sehingga beliau meninggalkan mereka selama satu bulan."' (QS. 66:4; Shahih Bukhari, hadis 7.119)

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, "Selama setahun penuh aku telah berhasrat untuk bertanya kepada Umar bin Khattab tentang penjelasan sebuah ayat (dalam Surah at-Tahrim)...Umar menyisi untuk menjawab 'panggilan alam' ke dekat pohon Arak. Aku menunggu hingga dia selesai dan kemudian aku menyusul dia dan bertanya, 'Wahai amirul mukminin! Siapakah dua perempuan Nabi yang saling membantu menetang beliau ?' Dia berkata, ' Mereka adalah Hafsah dan Aisyah.'

Kemudian Umar menambahkan, 'Suatu saat, ketika aku sedang berpikir tentang suatu masalah, istriku berkata, "Aku sarankan agar engkau melakukan ini dan itu." Aku bertanya kepadanya, "Apa yang telah kau dapatkan untuk mengerjakan hal itu? Mengapa engkau menonjok hidungmu dalam suatu masalah yang aku ingin melihatnya selesai?" Dia kemudian berkata, "Betapa anehnya engkau ini, hai Ibnu Khattab! Engkau tidak ingin berdebat dengan cara (yang digunakan) putrimu mendebat Rasulullah begitu hebat sehingga beliau menjadi marah selama sehari penuh!"'

Umar kemudian melaporkan bahwa dia seketika mengenakan pakaian luarnya dan pergi ke tempat Hafsah dan berkata kepadanya, 'Wahai putriku! Apakah engkau mendebat Rasulullah sehingga beliau menjadi marah selama sehari penuh?' Hafsah berkata, 'Demi Allah, kami berdebat dengan beliau.' Umar berkata, 'Aku peringatkan engkau akan hukuman Allah dan kemarahan Rasulullah Wahai putriku! Janganlah engkau tertipu oleh orang yang membanggakan kecantikannya karena cinta Rasulullah kepadanya (yakni Aisyah).'

Umar menambahkan, '(Suatu hari) Temanku orang Anshar dengan tak disangka-sangka mengetuk pintuku dan berkata, "Buka! Buka!' Aku bertanya, "Apakah Raja Ghassan telah datang?" Dia berkata, "Tidak, tetapi sesuatu yang lebih buruk. Rasulullah telah mengasingkan diri beliau dari istri-istri beliau." Aku berkata, "Biarlah hidung Aisyah dan Hafsah tertempel pada debu (yaitu binasa)!""' (Shahih Bukhari, hadis 6.435).

Dalam hadis di atas, Hafsah bersumpah demi Allah bahwa dia berbantahan dengan Rasulullah SAW dan membuat beliau menjauhinya selama sehari penuh! Inikah isyarat kesucian dan kesalehan? Menurut Quran Surah al-Ahzab 33, kesucian yang sempurna dan keterbatasan penuh dari dosa adalah ciri khas Ahlulbait. Ayat-ayat Quran di atas dan hadis-hadis dalam Shahih Bukhari tersebut memberikan bukti bahwa beberapa istri Nabi tidaklah suci dan saleh, sebab kalau tidak tentu Allah tidak akan mengancam mereka dalam Quran dengan penceraian..

Inilah alasan utama pengambilan hadis Zaid bin Arqam dalam Shahih Muslim, dalam mana dia bersumpah demi Allah bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam Ahlulbait sebab mereka dapat diancam dengan penceraian dan dapat digantikan oleh perempuan-perempuan lain yang lebih baik dari mereka (QS. at-Tahrim : 5).

Hadis yang mengherankan lainnya dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh Abdullah, "Nabi berdiri dan berkhutbah, dan menunjuk ke rumah Aisyah, dan berkata, 'Di sinilah fifiah (akan muncul), '(diucapkan tiga kali), ..dan dari sinilah salah satu sisi kepala setan akan muncul."' (Shahih Bukhari, hadis 4.336).

Hadis ini memberikan satu isyarat lagi bahwa istri-istri Nabi tidaklah termasuk ke dalam Ahlulbait.

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membacakan ayat, "Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan segala kekotoran dari kalian wahai Ahlulbait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya," dan kemudian Rasulullah bersabda, "Karena itu, aku dan Ahlulbaitku adalah bersih dari dosa."51
Dalam hadis di atas, tampak bahwa Nabi sendiri yang menyimpulkan dengan kata-kata karena itu, bahwa beliau dan Ahlulbait beliau adalah bebas dari dosa (maksum).

Dalam tafsirnya tentang ayat tathhir (QS. al-Ahzab : 33), Ibnu Jarir Thabari mengutip Qatadah,

"Hanya inilah, tidak ada lainnya, bahwa Allah berkehendak untuk menghilangkan segala keburukan dan ketidakpantasan dari anggota keluarga Muhammad dan membersihkan mereka dari setiap kontaminasi dan dosa."'52

5
ANTOLOGI ISLAM

Apakah Ahlulbait adalah Ibu-ibu Kaum Mukminin?
Salah satu hal yang digunakan oleh saudara-saudara Sunni dalam memasukkan Aisyah ke dalam Ahlulbait adalah bahwa dia Ummahatul Mukminin. Namun, mari kita renungkan fakta - fakta berikut ini.

Ambillah contoh seorang mukmin. Secara alamiah, ibu orang itu tentu menjadi ibu orang mukmin. Apakah julukan itu secara otomatis berarti bahwa ibu tersebut adalah seorang mukmin yang baik? Tentu saja tidak. Menjadi ibu seorang mukmin tidak lantas menjadikan ibu tersebut sebagai seorang mukmin yang baik dan saleh. Argumen yang sama dapat pula diterapkan kepada `ibu-ibu kaum mukmin' (ummahatul mukminin).

Seluruh kitab-kitab hadis Sunni dipenuhi dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah. Nabi Muhammad SAW memiliki banyak istri yang lain, dan mereka semua adalah ibu-ibu kaum mukminin. Banyak di antara istri-istri Nabi yang merupakan orang yang sangat saleh dan taat, misalnya Ummu Salamah dan Ummu Ayman: Namun, sayang hanya sedikit hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka berdua dalam Shihah as-Sittah (tidak lebih dari 5% dari yang disampaikan oleh Aisyah). Dan kita mendengar dari Aisyah hadis yang sangat berlimpah. apakah itu disebabkan karena dia adalah putri Abu Bakar? Atau disebabkan karena dia satu-satunya istri Nabi yang memusuhi Ali?

Menurut ajaran Islam seorang mukmin diharuskan menghormati ibunya. Bagaimanapun, bilamana ibu tersebut menentang perintah Rasulullah, melakukan dan memimpin pemberontakan, dan membunuh orang-orang yang tak berdosa, kita, menurut ajaran Islam diharuskan untuk berlepas diri dari ibu semacam itu, dan yang sangat penting kita tidak dapat mempercayai ibu semacam itu dalam kaitannya dengan periwayatan hadis yang amat banyak tersebut.

Memang, terdapat alasan yang bagus mengapa Allah SWT memberi mereka julukan 'ibu-ibu Kaum Mukminin'. Allah memberikan julukan ini untuk mencegah orang lain menikahi mereka setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Bukankah kita tidak dapat menikahi ibu kita sendiri? Seandainya Allah SWT tidak memberikan julukan tersebut kepada mereka, beberapa orang yang berpengaruh tentu telah menikahi mereka dan kemudian bisa jadi telah memiliki anak dan memerintahkan orang-orang untuk mengikuti mereka sebagai Ahlulbait, atau bahkan yang lebih buruk, mereka bisa jadi mengklaim sebagai putra-putra Nabi yang sesungguhnya dan mengklaim keNabian bagi mereka, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang berbahaya. Karena itulah Allah SWT memberikan julukan "ibu-ibu kaum mukminin' kepada mereka untuk mencegah perkawinan semacam itu.



Istri Nabi yang Paling Baik Versus yang Paling Dengki
Sudah umum diketahui di kalangan kaum Muslimin bahwa istri Nabi yang paling baik adalah Khadijah binti Khuwailid ra. Dialah perempuan pertama yang memeluk Islam dan memberikan seluruh kekayaannya untuk berjuang di jalan Allah SWT, dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah menikah dengan perempuan lain selama hidupnya Khadijah.

Rasulullah SAW menyebutkan nama-nama perempuan yang terbaik di dunia ini secara kronologis, dan orang tentu terkejut bahwa Aisyah tidak ada dalam daftar tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, "Perempuan yang paling unggul di seluruh alam yang dipilih Allah di antara seluruh perempuan adalah Asiah istri Firaun, Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fathimah binti Muhammad.53

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Empat perempuan yang merupakan putri-putri seluruh alam; Maryam, Asiah (istri Fir'aun), Khadijah dan Fathimah. Dan yang paling unggul di antara mereka di seluruh alam adalah Fathimah.54

Lebih jauh, setelah kepergian Khadijah ketika Nabi Muhammad SAW menikahi Aisyah dan yang lainnya, beliau secara eksplisit menyatakan keutamaan beberapa di antara mereka di atas Aisyah dan berkata bahwa mereka lebih baik dari Aisyah (lihat Shahih at-Turmudzi; al-Isti'ab oleh Ibnu Abdul Barr; dan al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqalani, pada bab tentang biografi Shafiyah). Juga ayat 'Bisa jadi jika dia menceraikan kamu, Tuhannya akan memberinya istri yang lebih baik dari kamu, yang taat dan yang beriman' ! QS. at-Tahrim : 5), dengan jelas menunjukkan bahwa terdapat perempuanperempuan mukminah yang lebih baik dari Aisyah.

Dalam Shahih Bukhari hadis 5.168b, juga dilaporkan dalam Shahih Muslim,, dikatakan, pada satu kesempatan ketika Nabi Muhammad SAW menyebutkan Khadijah di depannya, Aisyah berkata,

"Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudara perempuan Khadijah, meminta izin Nabi Muhammad SAW untuk masuk. Melihat hal itu, Nabi Muhammad SAW teringat kepada cara Khadijah meminta izin, dan itu membuat beliau sedih. Beliau berseru, "Ya Allah Halah!"

Maka aku menjadi cemburu dan berkata, 'Apa yang membuatmu teringat kepada seorang perempuan tua di antara perempuan-perempuan tua Quraisy seorang perempuan (dengan mulut yang tak bergigi) bergusi merah dan telah meninggal sejak lama, dan yang Allah telah menggantikan tempatnya dengan memberimu seseorang yang lebih baik dari dia?" Nabi Allah SAW menjadi sangat marah mendengar perkataan itu sehingga rambut beliau berdiri.

Lebih jauh, Bukhari meriwayatkan pada hadis 5.166 bahwa Aisyah mengakui,

"Aku tidak pernah merasa cemburu terhadap istri-istri Nabi sebesar kecemburuanku kepada Khadijah. Meskipun aku tidak pernah melihatnya, namun Nabi Muhammad SAW sangat sering menyebutnya, dan setiap kali beliau menyembelih domba, beliau tentu memotong salah satu bagian dan diberikan kepada teman-teman perempuan Khadijah. Ketika kadang-kadang aku berkata kepada beliau,.'(Engkau memperlakukan Khadijah) seolah-olah tidak ada perempuan lain di bumi kecuali Khadijah!' Maka beliau berkata, 'Khadijah adalah begini begitu, dan darinyalah aku mendapatkan anak."

Khadijah adalah perempuan yang paling awal beriman, yang kepadanya Jibril menyampaikan salam, dan yang diberi kabar gembira akan surga (Shahih Bukhari hadis 9.588). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Jibril berkata, 'Inilah Khadijah datang kepadamu dengan sepiring makanan atau sebuah gelas yang berisi sesuatu minuman. Sampaikanlah kepadanya salam dari Tuhannya (Allah) dan berikanlah kepadanya kabar gembira bahwa dia akan memiliki sebuah istana di surga yang dibuat dari Qasab yang tidak ada dalamnya kebisingan dan keretakan (masalah)!"

Hadis-hadis yang sama dilaporkan juga melalui riwayat Ismail dan Aisyah (lihat Shahih Bukhari: hadis 3.19; 5.164; 5.165; 5.167; 5.168; 7.156; 8.33; 9.576).
Ketika Aisyah sudah cemburu, dia tentu melampaui batas dan melakukan hal-hal yang aneh seperti memecah-mecahkan piring dan merobek-robek pakaian. Pada kesempatan lain ketika Nabi Muhammad SAW berada di rumah Aisyah, Shafiyah, salah seorang Ummul Mukminin, mengirimkan kepada Nabi Muhammad SAW sepiring makanan yang betulbetul disukai beliau. Dia (Aisyah) menghancurkan piring itu bersama-sama dengan makanan yang ada di atasnya.

Aisyah mengakui hal ini, "Shafiyah istri Nabi (suatu ketika) mengirimkan sepiring makanan yang dia buat untuk beliau ketika beliau sedang bersamaku. Ketika aku melihat sang pelayan perempuan, aku gemetar karena gusar dan marah, dan aku ambil mangkuk itu dan melemparkannya. Nabi Muhammad SAW lalu memandangku. Aku melihat kemarahan di wajah beliau dan aku berkata kepadanya, Aku berlindung dari kutukan Rasulullah hari ini.' Nabi Muhammad SAW berkata, 'Ganti!' Aku berkata, 'Apa gantinya duhai Nabi Allah?' Beliau berkata, 'Makanan seperti makanan dia (Shafiyah) dan sebuah mangkuk seperti mangkuknya!"55

Bukhari pun menegaskan episode tersebut dalam Shahih Bukhari hadis 7.152 (bab Kecemburuan).

Diriwayatkan dari Anas, "Ketika Nabi sedang dalam rumah seorang istrinya, salah seorang Ummul Mukminin mengirimkan sepotong daging di atas sebuah piring. Istri Nabi yang Nabi sedang ada di rumahnya itu menyerang tangan sang pelayan, menyebabkan piring itu jatuh dan pecah. Nabi Muhammad SAW mengumpulkan potongan-potongan piring tersebut dan lalu mulai menaruh makanan yang semula ada di atas piring tersebut dalamnya, dan berkata, 'Ibumu (istriku) sedang cemburu.' Kemudian beliau menahan pelayan itu hingga sebuah piring (yang masih bagus) dibawa dari rumah istri yang sedang beliau singgah tersebut. Beliau memberikan piring yang tidak pecah kepada istri beliau yang piringnya telah dipecahkan dan menaruh piring yang telah pecah itu di rumah istri beliau tempat pecahnya piring tersebut."

Dalam kesempatan lain, Aisyah berkata tentang dirinya sendiri, aku berkata kepada Nabi Muhammad SAW, 'Cukuplah bagimu tentang hafiyah begini dan begitu.' Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku, kamu telah mengucapkan kata-kata yang jika dicampur dengan air laut, akan mewarnainya."56
Sekali lagi, Aisyah menceritakan kecemburuannya kepada Mariah (salah seorang istri Nabi yang lain),

"Aku belum pernah cemburu kepada seorang perempuan sebagaimana kecemburuanku kepada Mariah. Itu disebabkan karena dia memiliki baju dalam yang cantik. Dia biasa tinggal di rumah Haritsah bin Uman. Kami menakut-nakutinya dan aku menjadi khawatir. Nabi Allah SAW mengirimnya ke tempat yang lebih tinggi dan beliau suka mengunjunginya di sana. Hal itu menyusahkan kami, dan Allah memberkahi beliau dengan seorang bayi laki-laki melaluinya dan kami (lalu) menjauhi beliau."57

Kecemburuan Aisyah bahkan melebihi Mariah, dan terarah kepada Ibrahim, seorang bayi baru lahir yang berdosa. Aisyah berkata,
"Ketika Ibrahim lahir, Rasulullah membawanya kepadaku dan berkata, 'Lihatlah betapa miripnya dia denganku!' Aku berkata, 'Aku tidak melihat sedikitpun kemiripan.' Rasulullah SAW berkata, `Tidak engkau lihat betapa tegap dan cakapnya dia?" Aku berkata, 'Siapapun yang diminumi susu domba akan menjadi cakap dan tegap.'58

Aisyah sangat dipenuhi oleh emosi dan motif-motif egoistis. Ketika beberapa orang dengan liciknya melancarkan tuduhan kepada Mariah, Aisyah lah yang mendukung para penuduh dan berusaha menegaskan tuduhan yang salah tersebut. Namun Allah Yang Maha Tinggi dan Mulia, membebaskan Mariah dari tuduhan tersebut dan menyelamatkannya dari kezaliman, melalui Amirul Mukminin Ali. (untuk keterangan detil tentang Mariah ra, lihat al-Mustadrak oleh Hakim jilid 4, halaman 30 atau dalam Talkhis al-Mustadrak, oleh Dzahabi).

Ketika Aisyah dikuasai oleh kecurigaan dan tuduhan-tuduhan brutal, kecemburuannya akan melewati batas-batas, sedemikian jauh hingga mengungkapkan kata-kata yang mengantarkannya pada kecurigaan terhadap Rasulullah SAW. Dia sangat sering berpura-pura tidur ketika Nabi tinggal pada malam itu di rumahnya. Namun, kenyataannya dia mengamati dari dekat suaminya, memata-matai beliau dalam kegelapan, dan mengikuti ke mana pun beliau pergi dari belakang. Aisyah bercerita, "Ketika tiba giliran bermalam Rasulullah denganku, beliau memutar pinggang beliau, mengenakan mantel beliau dan melepaskan sepatu beliau dan meletakkannya dekat kaki beliau dan mengembangkan ujung selendang beliau di atas pembaringan dan kemudian berbaring hingga beliau mengira bahwa aku telah tertidur. Beliau kemudian melepaskan mantel beliau dan memakai sepatu beliau dengan perlahan, dan membuka pintu dan keluar dan kemudian menutup pintu dengan ringan. Aku menutupi kepalaku, mengenakan jilbab, mengencangkan kain kebaya, kemudian keluar mengikuti langkah-langkah beliau hingga beliau mencapai (pemakaman) al-Baqi.

Dia berdiri di sana untuk waktu yang lama. Dia mengangkat tangan tiga kali lalu kembali pulang. Aku juga ikut pulang. Dia mempercepat langkah beliau dan aku juga mempercepat langkahku. Dia lari, akupun lari. Dia sampai ke rumah, dan aku pun sampai ke rumah. Namun, aku mendahuluinya masuk rumah dan segera berbaring di tempat tidur. Dia masuk dan bertanya, 'Mengapa nafasmu tersengas-sengal?' Aku menjawab, 'Tidak ada apa-apa.' Dia berkata, 'Katakanlah kepadaku, atau Yang Maha Lembut dan Maha Sadar akan memberitahuku!' Aku lalu menceritakan jalan ceritanya. Dia berkata, 'Kamukah hitam-hitam (dari bayanganmu) yang aku lihat di depanku?' Aku berkata, 'Ya.' Beliau kemudian memukul dadaku yang menyebabkanku merasa nyeri dan berkata, 'Apakah kamu berpikir bahwa Allah dan Rasul-Nya akan bertindak tidak adil kepadamu?"'59

Dalam kesempatan lain, dia berkata,

'Aku kehilangan jejak Rasulullah SAW. Aku curiga dia telah pergi ke salah seorang istrinya yang lain. Aku pergi mencarinya dan menemukannya sedang bersujud dan berseru, 'Duhai Tuhanku, maafkan aku!"60

Di kesempatan lain, Aisyah berkata,

"Suatu malam, ketika bersamaku, Rasulullah SAW keluar. Aku menjadi cemburu. Ketika beliau datang dan melihat apa yang telah kulakukan, beliau berkata, Ada apakah Aisyah? Apakah kamu sedang cemburu ? " Aku menjawab, ' Dan mengapakah orang sepertiku tidak ( boleh ) cemburu terhadap orang sepertimu ?" Rasulullah SAW berkata, ' Apakah setan telah menguasaimu"? 61

Bahkan Aisyah juga berbohong kepada Nabi Muhammad SAW. Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW meminta Aisyah mengumpulkan informasi tertentu tentang seorang perempuan bernama Syarraf, saudara perempuan Dihya Kalbi. Informasi yang dia bawakan kepada beliau bukanlah informasi benar, tetapi informasi palsu yang didorong oleh motif egoistisnya. Ketika Nabi Muhammad SAW memberitahunya tentang informasi seber~arnya yang telah dia amati, Aisyah menjawab, "Ya Nabi Allah! Tidak ada rahasia yang tidak engkau ketahui. Siapakah yang dapat menyembunyikan sesuatupun darimu?"62

Bukhari meriwayatkan dalam Shahih hadis 6.434 dari Aisyah, "Nabi biasa meminum madu di rumah Zainab binti Jahsy dan aku suka tinggal di sana / bersama dia (Zainab). Maka Hafsah dan aku dengan diam-diam bersepakat bahwa jika beliau datang kepada salah seorang dari kita, kita akan berkata kepada beliau, 'Nampaknya kamu telah memakan maghafir (sejenis getah yang berbau busuk), sebab aku mencium bau maghafir dalam dirimu."'

Dalam Shahih Bukhari hadis 7.192, diriwayatkan dari Ubaid bin Umar,

'Aku mendengar Aisyah berkata, 'Nabi Muhammad SAW biasa tinggal untuk waktu yang lama bersama Zainab binti Jahsy dan meminum madu di rumahnya. Maka Hafsah dan aku memutuskan bahwa jika Nabi datang kepada seorang dari kita, dia akan berkata, "Saya merasakan bau Maghafir pada dirimu. Apakah engkau habis makan Maghafir?" Maka diturunkanlah ayat, Wahai Nabi! Mengapakah engkau haramkan atas dirimu apa yang Allah telah menghalalkannya bagimu..... (QS. at-Tahrim : 1-4)."

Bahkan, setelah sebulan Nabi Muhammad SAW mengasingkan diri dari istri-istri beliau dan turun ayat, Kamu boleh menangguhkan salah seorang dari mereka yang kamu ingini dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Maka siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu (QS.al-Ahzab : 51), Aisyah masih saja mengeluarkan kata - kata yang tidak pantas, " Nampak bagiku bahwa Tuhanmu bercepat - cepat memuaskan keinginanmu !"63

Kelakuan buruknya di depan Rasulullah SAW mencapai puncaknya ketika beliau sedang salat, dia menjulurkan kakinya di tempat sujud. Ketika beliau sujud dan mencubit kedua kakinya, dia menarik kakinya. Ketika beliau berdiri untuk melanjutkan salat, dia julurkan lagi kedua kakinya.
Dalam Shahih Bukhari: 1.492 dan 1.379 diriwayatkan oleh Aisyah, 'Aku biasa tidur di depan Rasulullah dengan kakiku berada di kiblat beliau (di depan beliau). Dan ketika beliau bersujud, beliau menekan (mencubit) kakiku dan aku lalu menariknya dan ketika dia berdiri, aku menjulurkannya lagi.

Suatu hari, di depan ayahnya (Abu Bakar), dia memulai sebuah pertengkaran dengan Nabi Muhammad SAW dan berkata kepada beliau, "Adililah!" Ayahnya menghukum kekurang ajarannya dengan memberinya tamparan keras di wajahnya sehingga berdarah-darah dan darah itu mengalir mengenai pakaiannya.
Jika Aisyah marah kepada Nabi Muhammad SAW-seringkali dilakukan - dia tidak mau menyebut nama Nabi Muhammad SAW, tetapi lebih suka memanggilnya,

"Demi Tuannya Ibrahim (anak Rasululllah SAW)." (Shahih Bukhari, edisi Arab-Inggris, hadis 7.155 dan 8.101, bab Kecemburuan dan Tipu Muslihat Perempuan).

Suatu saat, ketika dia pernah berkata dengan marah kepada Nabi Muhammad SAW, "Kamulah orangnya yang menganggap diri seolah-olah Nabi dari Allah."65

Dengan sifat-sifat yang semacam itu, layakkah dia dimasukkan ke dalam Ahlulbait yang telah disucikan sesuci-sucinya oleh Allah SWT. Padahal, membantah Nabi Muhammad SAW saja sudah cukup untuk menunjukkan ketidakmurnian ketaatan dan kecacatan dalam hal kesalehan. Dia malah memarahi, menjauhi, memata-matai, mencurigai, bahkan menuduh Rasulullah SAW sebagai berpura-pura jadi Nabi.



Istri yang Paling Dicintai?
Sejumlah orang mengklaim bahwa Aisyah adalah istri Nabi yang paling dicintai dan penuh kasih, dan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat dipisahkan darinya. Mereka bahkan melaporkan bahwa beberapa orang istri beliau rela memberikan giliran mereka kepada Aisyah begitu mereka tahu bahwa Nabi Muhammad SAW mencintai dia dan tidak dapat menahan untuk bertemu dengannya. Klaim semacam ini jelas bertentangan dengan hadis-hadis sahih sebelumnya yang menyebutkan bahwa Khadijah adalah istri Nabi yang paling baik, dan hadis-hadis yang menyebutkan sifat Aisyah yang amat pencemburu.

Jika saja Aisyah adalah istri yang paling dicintai, dapatkah kita memberikan penjelasan atas kecemburuan Aisyah yang berlebihan itu?
Berikut ini penjelasan yang diberikan oleh Bukhari dan ulama-ulama hadis lainnya tentang sikap Aisyah terhadap suaminya SAW.

Dalam Shahih Bukhari hadis 7.570, diriwayatkan dari Qasim bin Muhammad,

'Aisyah (sambil mengeluh sakit kepala) berkata, 'Aduh, kepalaku!' Nabi berkata, 'Aku berharap bahwa (kematianmu) terjadi pada saat aku masih hidup, karena dengan demikian aku dapat memintakan ampunan Allah bagimu dan berdoa kepada Allah untukmu.' Aisyah berkata, 'Cerita yang sama! Demi Allah, aku pikir bahwa engkau menginginkanku mati, dan jika ini terjadi, engkau akan menghabiskan sisa harimu dengan tidur bersama salah seorang istrimu!"'
Apakah narasi di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW amat mencintai Aisyah sehingga beliau tidak dapat hidup tanpa dia? Aisyah sendiri, dengan sepenuh kecemburuannya, mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW berharap untuk bersama dengan istri beliau yang lain dari pada menghabiskan waktu beliau bersama dirinya. Seraya meramalkan perjalanan hidup Aisyah di kemudian hari, Nabi Muhammad SWT bahkan berharap agar dia meninggal pada masa hidup beliau, sehingga beliau dapat memintakan ampunan Allah SWT baginya.

Lagi pula, bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mencintai seseorang yang berbohong, memfitnah, mengumpat dan meragukan Allah dan Rasul-Nya dengan menuduh mereka tidak adil? (lihat hadis yang ada di bagian sebelumnya, juga pada hadis-hadis di bawah ini). Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mencintai seseorang yang memata-matai beliau, ke luar tanpa izin beliau untuk mencari tahu di mana beliau pergi? Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mencintai seseorang yang menghina salah seorang istri beliau (Khadijah) di depan beliau, bahkan ketika sudah meninggal? Bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mencintai seseorang yang membenci putra beliau Ibrahim, dan menuduh istri beliau, Mariah, berbohong?
Bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW mencintai seseorang yang membenci putri beliau Fathimah Zahra, dan yang membenci saudara dan kemenakannya, Ali bin Abi Thalib, sampai-sampai dia tidak mau menyebutkan nama Ali dan berprasangka baik pada Ali?66

Perbuatan-perbuatan semacam itu dibenci oleh Allah SWT dan NabiNya, dan mereka tidak akan mencintai orang yang melakukan perbuatan tersebut, sebab kebenaran adalah bersama Allah dan Rasul-Nya adalah retleksi dari kebenaran, karena itu tidak mungkin bagi beliau untuk mencintai seseorang yang menentang kebenaran. Dalam kenyataannya, tidak saja Rasulullah SAW tidak mencintai dia, bahkan beliau juga memperingatkan umat akan fitnah yang dia akan timbulkan.

Laporan-laporan lemah yang mengklaim adanya cinta yang berlebihan dari Rasulullah SAW kepada Aisyah senyatanya adalah dibuat oleh musuh- musuh Ali. Mereka memberikan kehormatan yang paling tinggi kepada Aisyah manakala dia melayani mereka. Dia meriwayatkan bagi mereka apa yang mereka sukai, dan dia berperang dengan musuh mereka, Ali bin Abi Thalib.

Salah satu alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang mengklaim adanya kecintaan yang berlebihan Nabi Muhammad SAW kepada Aisyah adalah karena Aisyah cantik dan muda, dan satu-satunya perawan yang beliau nikahi, sebab sebelumnya tidak pernah dinikahi oleh orang lain. Yang lainnya berkata, "Sebab dia adalah putri Abu Bakar Sidiq, sahabat Nabi Muhammad SAW yang menemani beliau di gua (tsur)." Sementara yang lainnya menyatakan, "Sebab dia menghafal separuh agama dari Rasulullah SAW dan dia adalah seorang ahli hukum yang terpelajar."

Untuk klaim yang pertama, jika saja Nabi Muhammad SAW menikahi dia karena dia cantik dan satu-satunya perawan yang beliau nikahi, lalu apa yang menghalangi beliau dari menikahi perawan-perawan cantik yang kecantikan dan daya tariknya jauh melebihi dia, dan yang memainkan model bagi suku-suku Arab saat ini? Di sisi lain, sejarahwan Sunni sendiri menyebutkan adanya kecemburuan Aisyah kepada Zainab binti Jahsy, Shafiyah binti Huyay dan Mariah Qibt, karena mereka lebih cantik daripada dia.

Nabi Muhammad SAW menikahi Malikah binti Ka'ab yang dikenal karena kecantikannya yang menonjol. Aisyah pergi mengunjungi dia dan berkata, "Tidaklah kamu malu menikahi pembunuh ayahmu sendiri?" Dia (Malikah) lalu mencari perlindungan dari Rasulullah, dan atas kejadian itu lalu beliau menceraikannya. Orang-orangnya lalu datang kepada beliau dan berkata, "Wahai Rasulullah, dia masih muda dan kurang memiliki pengetahuan. Dia telah ditipu, karena itu ambillah dia kembali!" Rasulullah SAW menolak permintaan mereka, padahal pembunuh ayah Malikah adalah Khalid bin Khandama.67

Narasi ini dengan jelas bahwa Rasulullah SAW tidaklah menikahi seseorang karena kecantikannya, sebab kalau tidak beliau sudah tentu tidak akan menceraikan Malikah binti Ka'ab yang masih muda dan dikenal dengan kecantikannya yang terkemuka.

Narasi ini, juga narasi-narasi lain di bawah, menunjukkan kepada kita metode yang digunakan oleh Aisyah dalam menipu perempuan-perempuan mukminat yang tidak berdosa, dan mencegah mereka dari menikahi Rasulullah SAW. Di sini Aisyah menghasut lewat perasaan Malikah terhadap kematian ayahnya, dan mengatakan bahwa pembunuh ayahnya adalah Rasulullah SAW, dengan kata-kata, "Tidaklah kamu malu menikahi pembunuh ayahmu sendiri?" Apa yang dapat dilakukan oleh gadis lugu tersebut kecuali meminta perlindungan dari Rasulullah SAW? Padahal, Rasulullah SAW bukan pembunuhnya.

Dilaporkan juga bahwa ketika Asma binti Nu'man dibimbing untuk berdampingan dengan mempelai laki-lakinya (yakni Nabi Muhammad SAW), Aisyah memberi tahu dia bahwa Nabi sangat amat senang dengan perempuan yang ketika mendekati beliau berkata, "Semoga Allah menyelamatkanku dari engkau!"68

Di sisi lain muncul pertanyaan, mengapa Nabi Muhammad SAW menceraikan keduanya, yang semata-mata hanyalah korban dari rencana dan tipuan Aisyah? Sebelum pembahasan lebih lanjut, kita harus menyadari bahwa Nabi Muhammad SAW adalah maksum, dan karena itu beliau tidak akan memaksa seseorang, ataupun melakukan sesuatu yang tidak benar. Oleh karena itu, dalam menceraikan kedua perempuan itu pastilah terdapat hikmah yang diketahui oleh Allah SWT dan Nabi-Nya. Sama halnya, meskipun kelakuan Aisyah sedemikian rupa, pasti terdapat Zikmah sehingga beliau tidak menceraikannya.

Sejauh tentang perempuan yang kedua, yaitu Asma binti Nu'man, sifat naifnya menjadi tampak ketika tipu daya Aisyah mencengkramnya, dan kalimat pertama yang dia sampaikan kepada Rasulullah SAW ketika beliau merentangkan tangan beliau kepadanya adalah "Aku berlindung kepada Allah dari Anda!" Meskipun dia cantik luar biasa, Nabi Muhammad SAW tidak membiarkannya tetap berada pada kecupetan pemikirannya.

Bersama-sama dengan para perawi lainnya, Ibnu Sa'd dalam kitab -at-Tabaqat-nya jilid VIII halaman 145 atas otoritas Ibnu Abbas berkata, Nabi Muhammad SAW menikahi Asma binti Nu'man, dan dia termasuk diantara perempuan yang paling cantik dan sempurna pada masanya." Barangkali Nabi Muhammad SAW ingin mengajari kita tentang pentingnya pertimbangan intelektual daripada kecantikan fisik, sebab berepa banyak perempuan cantik telah dihantarkan oleh kebodohannya menuju kehancuran ?

Sejauh tentang perempuan yang pertama, yaitu Malikah binti Ka'ab, yang ditipu oleh Aisyah dengan mengatakan kepadanya bahwa suaminya (Nabi Muhammad SAW) adalah pembunuh ayahnya, Nabi Muhammad SAW tidak ingin gadis bodoh ini - yang masih muda dan kurang pengetahuan, sebagaimana yang dibenarkan oleh kaumnya - hidup dalam ketakutan dan teror yang dapat menyebabkan masalah-masalah besar lainnya, khususnya karena Aisyah tidak akan pernah membiarkannya hidup damai bersama Nabi Muhammad SAW. Tidak diragukan lagi, terdapat alasan lain yang diketahui oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak kita ketahui.




Catatan Kaki:
1. Referensi Sunni: Shahihb Muslim. dan keutamaan sahabat, bagian keutamaan Ali, publikasi arab saudi 1980, versi arab, jilid 4 hal 1873, hadis ke 36, (untuk versi inggris lihat Bab CMXCVI, jilid ke 4, hal 1286. hadis ke 5.920) dan sumber - sumber lain, misalnya shahih at-Turmudzi dan Musnas Ahmad
2. Referensi Sunni: Shahih at-Turmuzhi. Versi arab. Jilid 5. hal 222-663.328. dilaporkan lebih dari 30 sahabat dengan berbagai rantai periwayatan (sanad) al- Mustadrak oleh hakim. Dalam bab memahami (keutamaa) sahabat jilid3. hal 109.100.148.533. Hakin juga menyatakan bahwa hadis - hadis shahih menutur criteria dua Syekh ( Bukhari dan Muslim); Sunan Daramis jilid 2 hal 432; Musnad Ahmad bin Hanbal, lijid 3 hal. 14.17.26.59; jidil 4 hal. 336.370-372; jilid 5, hal. 182.189.350.366.419; fadha'il ash-Shahabah, Ahmad bin Hambal, jilid 2. hal 585 hadis ke 990;al-khasha'ish. Nasa 'I hal 21.30; as-Sawiq al-Muhriqah. Ibnu Hajar haitsami, Bab II, bagian 1 hal 230; al-kabir, Thabari, jilid 3 hal 62-63 137; Kanz al-Ummal, Muttaqi hindi, bab al-I'tisham bi Hablilah, jiulid 1 hal 44; Tafsir Ibnu Katsir ( versi lengkap) jilid 4 hal 113, pada komentar pada ayat - ayat 42:23 (empat edisi); at-tabaqat al-Kubra, Ibnu Sa'd jilid 2 hal 194, publikasi dar Isadder Libanon; al-Jami'ash shaghir, suyuthi jilid 1 hal 194 juga pada jilid 2; Majda az'Zawa'i. Haitsami . jilid 9 hal 163; al-fatih al-kabitr, Binhani, jilid 1 hal451; Ushul Ghabah fi Ma'rifat ash-Shahbat, Ibnu Atsir, jilid 2 hal 12; Jami al-Ushul. Ibu Atsit, jilid 1 hal187. Hisory of ibn Asakir, jilid 5. halaman 436; at-ytajul jamilil Ushul, jilid 3 hal 308; al-Durr al-Mantsur Hafizha suyuthi, jilid 2 hal 60; Yamabi al- Mawadah, Qunduzi hanafi hal. 38.183; Abaqat al-Anwar, jilid 1 hal 16 dan masih banyak yang lain.
3. Referensi Sunni; al-Mustadrak, Hakim jilid 3 gal 124, berdsarkan otoritas Ummu salamah; ash-Ahawa'iqa-Muhriqat, Ibnu hajar bab 9 bagian ke 2 hal 191-194' al-Awsath, Tabaranin juga dalam as-Saghir; Tabarik al - khulafa; jalaludi Suyuthi hal 173
4. Referensi Sunnial- Mutadrak, hakin jilid 2 hal 343 jilid 3 hal 150-151 dari otoritas abu Dzar. Hakim menyatakan bahwa hadis ini shahih; fadha il ash-Shahab Ahmad Bin Hambal, jilid 2 hal; 786; Tafsir kabit, Fakhrurrazi pada komentar ayat diatas ayat 42;23, bagian ke 27 hal167 Bazzar dari otoritas Ibnu Habbas dan Ibnu Zybair dengan kata - kata 'tenggelam' bukan 'binasa'Ash-Shawa 'iq al-Muhriqah. Ibnu hajar hait sami, bab 11 bagian 1 hal 234 komentar atas ayat 8;33 juga pada bagian ke 2 hal 282. Dia mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dari banyak otoritar 'tarikha al-Khulafa dan Jami us Saghi Suyuthi; al-Kabit. Tabarani, jilid 3 hal 37, 38,; as-saghir , Tabani, jilid 2 gal 22. Hilyat al-Awliya. Abu Nu'aim, jilid 4 hla 306; al-Kina wal Asma, Dulabi, jilid 1 hal 76; Yanabi al-Mawaddah. Qunduzi Hanafi, hal 30.370; Is'af ar- traghibin, saban
5. Referensi Sunni; al-Durr al-mantsur, Suyuthi, jilid 2 hal 60; ash Shawa'iq al-Muhriqah Ibnu hajar haitsama bab II bagian 1 hal 230. dikutif dar tabarani, juga di bagian 2, hal 342; Ushul Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 3 hal 137; Yanabi al'Mawaddah, Qunduzi hanafi hal 41 335 jkanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 1 hal 168, Majda 'az Zawa'is. Haitsami jilid 9 hla 163. Aqabat al-Amwar, jilid 1 hla 184'; A'alam al-Wara, hal 28-33; as-Sirah al-halabiyyah, Nuriddin Halabi, jilid 3 hal 273.
6. Referensi Sunni; Majma'az-Zawid, haitsmi, jilid 9 hal 168; al-Awsat, tabarani hadis ke 18; Arba'in. abhani, hal 220,234, hadis yang mirip di catat oleh Daruquthni maupun Ibnu Hajar dalah kitabnya ash-Ahawa'iq al-Muhriqah, bab 9 bagian 2 hal dimana Nabi Muhammad saw mengatakan, "Ali adalah Gerbang Pengampunan, siapa saja yang memasukinya adalah seorang yang beriman dan siapa saja yang kcluar darinya adalah orang yang tidak beriman."
7. Referensi Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, ha1.91.
8. Referensi Sunni: nsh-Shawa'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 9, bagian 2.
9. Referensi Sunni: ash-Shama'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian l, hal. 230.
10. Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya alImam Shadiq, hal. 27.
11. Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu,Zahrah dalam kitabnya alImam Shadiq, hal. 66.
12. Referensi Sunni: Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya al-Imam Shadiq, hal. 66.
13. Referensi Sunni: as-Shawn'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 136.
14. Referensi Sunni: Kanz al-Llrnmal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 155, hadis ke 2.578, juga ringkasan Knnz al-Limmnl yang ada di catatan pinggir Musnad Anruad ibn Hanbnl jilid 5, hal. 32.
15. Referensi Sunni: Is'af ar-Raghibift, Saban; as-Synraf al-Mua'abbad, oleh Syaikh Yusuf Abahani, hal. 31, melalui lebih dari sah.t jalvr.
16. Referensi Sunni: Kitab asy-Syafa, Qadhi Iyadh, dipublikasikan pada tahun 1328 H, jilid 2, hal. 40; Yatvabi al-Mawaddah, Qunduzi Hanafi, bagian 65, hal. 370.
17. Referensi Sunni: Ihya'al-Mayyit, Hafizh Jalaluddin Suyuthi; Arba'in al'Arbain, Allamah Abahani.
18. Referensi Sunni: Tafsir al-anbir, Fakhruddin Razi, jilid 27, hal. 166, pada komentar atas ayat Quran 42:23; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, hal. 88, berkenaan dengan ayat Quran 33:33.
19. Referensi Sunni: Shahih Muslim, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ahlulbait Nabi Muhammad saw, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, versi Arab, jilid 4, ha1.1883, hadis ke 61.
20. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, ha1.351, 663
21. Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, jilid 2, hal. 416
22. Referensi Sunni: Usal al-Ghahah, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 289; Taf.sir alDurr al-Mantsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 198.
23. Referensi Sunni: Tafsir Thabari, jilid 22, hal. 7 pada komentar tentang ayat 33:33. Di samping Shahih Muslim dan Tirmidzi, yang dari keduanya kami mengutip 'Nadis Mantel' (kisa) melalui otoritas Aisvah dan Ummu Salamah secara berturut-turut, di bawah ini adalah referensi Sunni tentang hadis mantel, yang rnelaporkan tentang kedua versi hadis tersebut; Musnad Ahmad Ibn Harrbal, jilid 6, hal. 323, 292, 298; jilid 1, hal. 330-331; jilid 3, hal. 252; jilid 4, hal. 107 dari Abu Sa-id Khudri; Fadha'il ash-Sha}rabah, olch Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 578, hadis ke 978; al-Mmtadrak oleh Hakim, jilid 2, hal. 416 (dua hadis) dari Ibnu Abu Salamah, jilid 3, hal. 146-148 (lima hadis), hal. 158, 172; al-Khasaisy, Nasa'i, hal. 4,8; as-Sunan oleh Baihaqi, diriwayatkan dari Aisvah and Ummu Salamah; Tafsir al-Kabir-, Bukhari (penyusun Shahih Bukhari), jilid 1, bagian 2, hal. 69; tazhir alKabir, oleh Fakhrurrazi, jilid 2, hal. 700 (Istanbul), dari Aisyah; Tafsir alDurr al-Mautsur, Suvuthi, jilid 5, hal. 198,605 dari Aisyah and Ummu Salamah; Tafsir Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5-8 (dari Aisyah dan Abu Sa'id Khudri), hal. 6,8 (dari Ibnu Abu Salamah) (10 hadis); Tafsir, Qurthubi, pada komentar atas avat 33:33 dari Ummu Salamah; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 485 (versi lengkap) dari Aisyah dan Umar bin Abi Salamah; Lisd al-Ghabah, oleh Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 12; jilid 4, ha1.79 diriwayatkan dari Ibnu Abu Salamah; Shazun`iq al-Muyriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian 1, hal. 221 dari Ummu Salamah; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 10, diriwavatkan dari Ibnu Abu Salamah; Tafsir al-Kasysyaf, Zamakhsyari, jilid 1, hal. 193 diriwavatkan dari Aisyah; Musykil al-Atsnr, Tahawi, bab l, hal. 332-336 (tujuh hadis); Dhakha'ir al-Liqbah, Muhibb Thabari, hal. 21-26, dari Abu Sa'id Kzudri; Majma' az-Zawa'id, Haitsami, jilid 9, hal. 166 (dari berbagai jalur).
24. Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, bab Memahami (keutamaan) Sahabat, jilid 3, hal. 148. Pengarang kemudian menulis, "Hadis ini adalah shahih berdasarkan kriteria dua Syekh (Bukhari Muslim)."; TaIkhis al-Mu-tadrak, Dzahabi, jilid 3, hal. 148; Used -Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 3, hal. 33.
25. Referensi Sunni: as-Sawaiij al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, bagian l, hal. 220.
26. Referensi Sunni: Shaih-Turmudzi, jilid 72, ha1.85; Musnad Ahrnad Ibn Hanbal, jilid 3, hal. 258; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.158 yang menulis bahwa hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari dan Muslim (tapi keduanya tidak melaporkan); Tafsir al-Durr al-Manfsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 197, 199; Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5,6 (mengatakan 'selama tujuh bulan'); Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 483; Musnad, Tialasi, jilid 8, hal. 274; Usd al-Ghabah, Ibnu Atsir, jilid 5, hal. 146.
27. Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, Suyuthi, jilid 5, hal. 198,199; Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 483; Dhakha'ir al-Llqbah oleh Muhibuddin Thabari, hal. 24 dari otoritas Anas bin Malik; Isti'ab oleh Ibnu Abdul Qarr, jilid 5, hal. 637; Usd al-Ghabah oleh Ibnu Atsir, jilid 5, hal. 146; mazma az'Zawa'id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 121, 168; musykil al-Atsar oleh Tahawi, hal. 338. 28. Referensi Sunni: al-Durr al-Mantsur, oleh Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 198.
29. Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 199; Majma' az-Zama'id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 121, 168.
30. Referensi Sunni: al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 172; Majma' azZawdid, Haitsami, jilid 9, hal. 172.
31. Referensi Sunni: Majrna' az-Zawa'id, Haitsami, jilid 9, hal. 172; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 486; Riwayat ini juga telah dilaporkan oleh Tabarani dan yang lainnya.
32. Referensi Sunni: Musykil al-Atsar-, Tahawi, jilid 1, ha1. 336.
33. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 298; Tafsir alKabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; Musykil al-Atsar, oleh Tahawi, jilid l, hal. 335.
34. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 1, hal. 331 (edisi pertama); Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 5 hadis ke 3062 (edisi kedua); al-Khasyaisy, Nasa'i, hal. 11; ar-Riyadh an-Nadhirah, Mulubuddin Thabari, jilid 2, hal. 269; majma az-Zawa'id, Haitsami, jilid 9, hal. 119.
35. Referensi Sunni: al-Khasyaisy, Nasa'i, hal. 4; Cerita yang hampir sama dapat dibaca pada shahih Muslim, versi ini laris, bab CMXCVI (keutamaan Ali), hal. 1284, hadis ke 5.916.
36. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hat. 7; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 485; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 147; Musykil al-Atsar oleh Tahawi, jilid 1, hal. 336; jilid 2, hal. 33; Tarikh Thabari, versi Arab, jilid 5, hal. 31.
37. Referensi Sunni: Tafsir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 5, tentang ayat 33:33; Dhakha'ir al-Uqbah, Muhibuddin Thabari, hal. 24; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 11, bagian l, hal. 221;11-lajma' az-Zawa'id, Haitsami.
38. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir oleh Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 6; al-Mustadrak, Hakim, jilid 2, hal. 416; jilid 3, hal. 417; Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 107; Majma'az-Zarca'id, Haitsami, jilid 9, ha1.167; Musykil al-Atsar, Tahawi, jilid l, ha1.346; Sunan, Baihaqi, jilid 2, ha1.152.
39. Referensi Sunni:Usd (71-Ghabnh, Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 20.
40. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Ibnu Jarir Thabari, jilid 22, hal. 7; Tafsir, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 486; Tafsir al-Durr al-Mantsur, Hafizh Suyuthi, jilid 5, hal. 199.
41. Referensi Sunni: Maqtal Husain, Khatib Kharazmi.
42. Referensi Sunni: al-Durr al-Mantsur, Hafizh Jalaluddin Suyuthi, jilid 2, hal. 38.
43. Referensi Sunni: Shahih Muslinr, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ali, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, versi Arabi, jilid 4, hal. 1871, akhir dari hadis ke 32; Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 654; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 150, yang mengatakan bahwa hadis ini shahih menurut kriteria kedua Syekh (Bukhari dan Muslim); Dhakha'ir al-Ulqbah, Muhibuddin Thabari, hal. 25.
44. Referensi Sunni: Daruquthni, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar Haitsami dalam ash-Shawa 'iq al-Muhriqnh, bab 11, bagian ke l, hal. 239.
45. Referensi Sunni: Tabarani; Abul Khair Hakimi, riwayat dari Abbas; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab. 11, bagian l, hal. 239; Kunuz Matalib.
46. Referensi Sunni: ash-Shawa 'iql al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 9, bagian 2, hal. 190; Tarikh al-Khulafiaa, oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; Awsath oleh Tabarani, dari Jabir bin Abdillah Anshari.
47. Referensi Sunni: Tafsir, Baidhawi, pada komentar atas ayat 3:61.
48. Referensi Sunni: Ibnu Jawzi, Baihaqi, dan Daruquthni, Dzahabi berdasarkan riwayat Umar bin Khathab, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, dan Ibnu Umar; ash-Shawa 'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bagian 1, hal. 239; Hadis vang mirip telah diriwayatkan oleh Abu Ya'la, Tabarani berdasarkan riwayat Fathimah dan Ibnu Umar.
49. Referensi Sunni: Shnhih Mrrslim, bab Keutamaan Sahabat, bagian keutamaan Ali, edisi 1980 terbitan Arab Saudi, versi Arab, jilid 4, hal. 1874, hadis ke 37 (untuk yang versi Inggris, lihat bab CMXCVI, hadis ke 5.923).
50. Referensi Sunni: Shahih Muslim, bab keutamaan Sahabat, bagian keutamaan All, edisi 1980 terbitan Arab Saudi, versi Arab, jilid 4, hal. 1873, hadis ke 36. (untuk vang versi Inggris, lihat bab CMXCVI, hal. 1286, hadis ke 5920).
51. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, sebagaimana dikutip dalam; al-Durr al-Mantsur, Jalaluddin Suyuthi, jilid 5, hal. 605-606, 198 pada komentar tentang ayat Quran 33:33; Dala il an-Nabawiyyah, Bayhaqi; Kitab-kitab lainnya seperti Tabarani, Ibnu Mardawaih, Abu Nu'aim, dan sebagainya.
52. Referensi Sunni: Tafsir thabani, jilid 22, hal. 5 pada komentar tentang ayat 33:33.
53. Referensi Sunni: Shahih at-Tur-taudzi, jilid 5, hal. 702; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.157, yang mengatakan bahwa hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Bukhari-Muslim; Musyad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, ha1. .135; Fadha'il 'ash-Slrahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 755, hadis ke 1.325; Hilyat al- Awliya, Abu Nu'aim, jilid 2, hal. 344; Majma' az-Zawa'id oleh Haitsami, jilid 9, ha1. 223; al-Isti'ab, Ibnu Abdul Barr, jilid 4, hal. 377; al-Awsat, Tabarani, juga Ibnu Habban, dsb.
54. Referensi Sunni: Ibnu Asakir, seperti yang dikutip dalam al-Durr a1mantsur.
55. Referensi Sunni: Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 227; Shahih an-Nasa'i, jilid 2, hal. 145.
56. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi, dan Zan,akhsyari telah mengu'tip darinya pada hal. 73.
57. Referensi Sunni: at-Tabnqnt, Ibnu Sa'd, jilid 8, hal. 212; al-Ansab alAsyraf, oleh Baladzuri jilid 1, hal. 339.
58. Referensi Sunni: at-Tabaqnat, Ibnu Sa'd, jilid 1, hal. 37; juga dalam alAnsab al-Asyraf, Baladzuri.
59. Referensi Sunni: Shahih Muslim, versi Inggris, bab CCCLII (di bawah judul: Apa yang harus dikatakan ketika mengunjungi kuburan), jilid 2, hal. 461-462, hadis ke 2.127); Shahih Muslim, versi Arab, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, jilid 2, hal. 669-670, hadis ke 1.03; Musnad, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 147.
60. Referensi Sunni: Mcrsnnd, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, ha1. 147.
61. Referensi Sunni: Musund, Ahmad bin Hanbal, jilid 6, hal. 115.
62. Referensi Sunni: Kanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 294; at-Tabaqat, lbnu Sa'd, jilid 8, hal. 115.
63. Referensi Sunni: Shahih Muslim versi Inggris, bab DHXXII, jilid 2, hal. 748-749, hadis ke 3.453-3.454; shahih Muslim versi Arab, edisi 1980, terbitan Arab Saudi, jilid 2, hal. 1085-1086, hadis ke 49-50.
64. Referensi Sunni: Kanz al-Ummull, Muttaqi Hindi, jilid 7, hal. 116, hadis
, ke 1.020; Ihya 'Ulim ad-Difr, Ghazali, bab 3 tentang Nikah, jilid 2, hal. 35; Mukasyifat al-Qulnab, Ghazali, bab 94, hal. 238.
65. Referensi Sunni: Ihya UIlum ad-Din, Ghazali, bab 3, jilid 2, hal. 29, Kitab tentang Etika Perkawinan; Mukasyafatt al-Qulub, Ghazali, bab 94.
66. Lihat Shahih Bukhari, edisi Arab Inggris, hadis ke 3.761 dan 5.727 dan 5.736.
67. Referensi Sunni: at-Tabaqat, Ibnu Sa'd, jilid 8, hal. 148; Ibnu Katsir, jilid 5, hal. 299.
68. Referensi Sunni: al-Mustadrak Hakim, jilid 4, hal 37, tentang Asma; al-Ishabah, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 4, hal. 233; at-Tabaqat, Ya'qubi, jilid 2, ha1.69.

6
ANTOLOGI ISLAM

BAB 2: KEMAKSUMAN PARA NABI DALAM QURAN DAN HADIS

Siapakah yang Menghina Orang Buta?
Surah ke 80 (Abasa):

Dengan nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang
Dia (seorang pemimpin Bani Umayah tertentu) bermuka masam dan berpaling (ketika ia sedang bersama Nabi),
Karena telah datang seorang buta (Ibnu Ummi Maktum) kepadanya, Tahukah kamu mungkin ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) Atau dia ingin mendapatkan pelajaran, sehingga pelajaran itu memberi rnanfaat kepadanya (orang buta)?
Adapun orang yang merasa dirinya (pemimpin Bani Umayah) serba cukup,
Maka kamu melayaninya?
Padahal tiada (celaan) atasmu jika dia tidak membersihkan diri (beriman) Dan adapun orang yang datarvg kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran)
Sedang ia takut (kepada Allah dalam hatinya) Maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah satu peringatan.

Sebab turunnya surah ini merupakan peristiwa sejarah yang terjadi. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW tengah bersama sejumlah orang kaya Quraisy dari suku Umayah, di antaranya Utsman bin Affan, yang belakangan menduduki tampuk kekhalifahan.

Ketika Rasulullah SAW tengah mengajari mereka, Abdullah bin Ummi Maktum, seorang buta dan termasuk salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, datang kepadanya. Nabi Muhammad SAW menyambutnya dengan penuh hormat dan memberikan tempat duduk yang paling dekat dengan dirinya.

Bagaimanapun, Nabi tidak menjawab pertanyaan orang buta itu dengan segera mengingat ia berada di tengah-tengah pembicaraan dengan suku Quraisy.
Karena Abdullah miskin dan buta, para pembesar Quraisy merendahkannya dan mereka tidak suka penghormatan dan penghargaan yang ditujukan kepadanya oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka juga tidak suka kehadiran orang buta di tengah-tengah mereka sendiri dan perkataannya yang menyela perbincangan mereka dengan Nabi Muhammad SAW. Akhirnya, salah seorang kaya dari Bani Umayah (yakni Utsman bin Affan) bermuka masam dan berpaling kepadanya.

Perbuatan pembesar Quraisy ini tidak diridhai oleh Allah SWT dan pada gilirannya Dia menurunkan Surah Abasa (80) melalui malaikat Jibril di waktu yang sama. Surah ini memuji kedudukan Abdullah kendati ia papa dan buta. Dan dalam ayat-ayat belakangan Allah 'mengingatkan' Nabi-Nya SAW bahwa mengajari seorang kafir tidaklah penting andai kata orang kafir itu tidak cenderung untuk menyucikan dirinya dan menyakiti seorang mukmin hanya karena ia tidak kaya dan sehat.

Sekelompok mufasir Sunni yang bersama Nabi Muhammad SAW sepanjang standar aturan-aturan moral biasa menuduh beliau menghina Abdullah, dan dengan itu, mereka mencoba mengatakan bahwa beliau tidak bebas dari kelemahan karakter dan perilaku. Ini terjadi ketika orang yang menghina si miskin tadi adalah seorang kaya dari Bani Umayah yang masih non-Muslim, atau baru masuk Islam (yakni Utsman). Namun sebagian orang demi membersihkan wajah Utsman dari perilaku buruk semacam itu tidak segan dan sungkan menuduh Nabi Muhammad SAW berbuat seperti itu (bermuka masam) dan mengritik Nabi Muhammad SAW demi membela Utsman.

Ulangan peristiwa yang sama dilakukan oleh Umayah selama kekuasaan mereka melalui (lisan dan tulisan) para perawi bayaran. Terkenal dalam sejarah bahwa Umayah adalah musuh paling sengit terhadap keluarga Nabi Muhammad SAW dan Islam. Seperti telah dikatakan, itu tidak sesuai bagi mereka dimana pemimpin mereka,Utsman, diperingatkan Quran. Demikianlah, para ulama yang bekerja untuk Umayah dipaksa menulis bahwa ayat ini diperintahkan untuk menegur Nabi Muhammad SAW, bukannya Utsman. Omong kosong semacam itu adalah untuk menjaga wibawa dan kehormatan Utsman dengan harga menghinakan Nabi Muhammad SAW sebagai penghulu para Nabi. Berikut ini merupakan mendapat sejumlah mufasir Sunni.

Disebutkan bahwa ayat-ayat ini turun sekaitan dengan Abdullah bin Ummi Maktum, yakni Abdullah bin Syarih bin Malik bin Rabi'ah Fihri dari (kabilah) Bani Amir bin Luay. Dia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau tengah mencoba memasukkan orang-orang ini kepada Islam Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam, Abbas bin Abdul Muththalib, Ubay dan Umayah bin Khalaf. Orang buta itu berkata, "Wahai Rasulullah, bacakanlah kepadaku kepadaku dan ajari aku sesuatu yang Allah ajarkan kepadamu!" Dia terus menyeru Nabi dan mengulang-ulang permohonannya, tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW tpngah sibuk menghadapi orang lain, sampai kegusaran tampak pada wajah Nabi karena disela.

Nabi Muhammad SAW berkata kepada dirinya sendirinya bahwa orang - orang (pembesar Quraisy) ini akan mengatakan bahwa para pengikutnya (Muhammad) hanyalah orang buta dan para budak, maka beliau berpaling darinya dan bersitatap dengan orang-orang yang ia ajak bicara. Maka ayat-ayat selanjutnya pun diturunkan. Setelah itu Rasulullah SAW pun bersikap baik kepadanya. Dan apabila ia memandang orang buta, ia biasa berkata, "Selamat datang orang yang kepadanya Tuhanku menegurku karenanya!" Beliau biasa meminta Abdullah bin Ummi Maktum jika beliau membutuhkan sesuatu dan menjadikannya sebagai wakil di Madinah dua kali selama peperangan.

Tafsir Sunni di atas juga telah disebutkan dalam al-Durr al-Mantsur oleh Suyuthi, dengan sedikit perbedaan. Abul A'la Maududi seorang mufasir Quran lainnya memiliki pandangan yang lebih moderat.

Berikut ini tafsirannya atas Surah Abasa ayat 17:

Di sini kebinasaan telah diungkapkan secara langsung bagi orang-orang kafir yang tidak memperhatikan pesan kebenaran. Sebelum ini, dari permulaan surah hingga ayat 16, sesungguhnya ia ditujukan untuk menegur orang-orang kafir kendati seolah-olah ia ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.'

Bagaimanapun, faktanya adalah Quran tidak memberikan keterangan apapun bahwa orang yang bermuka masam kepada orang buta adalah Nabi Muhammad SAW dan juga tidak memastikan siapa yang dituju (oleh ayat tersebut). Dalam ayat-ayat di atas Allah SWT tidak mengalamatkan kepada Nabi Muhammad SAW entah oleh nama atau julukannya (yakni wahai Muhammad, atau wahai Nabi, atau wahai Rasulullah). Lebih dari itu, terjadi perubahan kata benda dari `dia' dalam dua ayat pertama kepada 'engkau' dalam ayat-ayat terakhir dalam surah tersebut. Allah tidak menyatakan, 'Engkau bermuka masam dan berpaling'. Alih-alih, Yang Maha Kuasa menyatakan, Dia bermuka dan berpaling (ketika ia tengah bersama Nabi). Karena telah datang kepadanya seorang yang buta. Tahukah kamu bahwa ia (orang buta tersebut) ingin membersihkan dirinya dari dosa (QS. 80:1-3).

Kendatipun kita mengandaikan bahwa 'engkau' dalam ayat ke tiga tertuju kepada Nabi Muhammad SAW, maka nyatalah dari tiga ayat di atas bahwa kata-kata 'dia' (orang yang bermuka masam) dan 'kamu' tertuju pada dua orang yang berbeda. Dua ayat selanjutnya mendukung gagasan ini; Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya (QS. 80: 5-6).

Dengan demikian, orang yang bermuka masam bukanlah Nabi Muhammad SAW karena ada perbedaan antara `dia' dan 'kamu'. Dalam surah 80:6 Allah berfirman kepada Nabi-Nya SAW dengan mengatakan bahwa mendakwahi orang-orang yang sombong dari bangsa Quraisy yang bermuka masam kepada seorang buta tidaklah pantas dan tidaklah apaapa untuk lebih mendahulukan mendakwahi seorang yang buta, sekalipun orang buta datang belakangan. Alasannya, mendakwahi siapapun yang tidak bermaksud untuk menyucikan dirinya (sampai ke tingkat ia bermuka masam kepada seorang mukmin) tidaklah berguna.

Lebih dari itu, bermuka masam bukanlah perilaku yang berasal dari Nabi Muhammad SAW terhadap musuh-musuhnya yang nyata, apalagi (bermuka masam) terhadap orang beriman yang mencari petunjuk!

Satu pertanyaan yang muncul adalah: Bagaimana bisa seorang Nabi Muhammad SAW yang diutus sebagai rahmat untuk umat manusia berbuat tidak senonoh ketika seorang mukmin awam tidak berbuat seperti itu? Dakwaan ini juga berlawanan dengan pujian Allah SWT sendiri atas moral luhur dan etika mulia dari Nabi Muhammad SAW, Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam 68 : 4).

Seseorang yang menghina orang lain tidaklah pantas menerima pujian semacam itu. Disepakati bahwa Surah Al-Qalam turun sebelum Surah Abasa. Ia bahkan diturunkan segera setelah Surah Iqra (96-surah pertama yang diwahyukan). Bagaimana bisa masuk akal bahwa Allah SWT melimpahkan kebesaran pada makhluk-Nya di permulaan keNabiannya, menyatakan bahwa ia berada dalam budi pekerti yang agung, dan setelah itu balik menegur dan mengecamnya atas keraguan yang tampak pada tindakantindakan moralnya. Allah SWT berfiman, Dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu yang terdekat, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman (QS. as-Syu'ara : 214-5).

Masyhur diketahui bahwa ayat-ayat ini merupakan wahyu Mekkah awal. Kata-kata yang sama bisa ditemukan di ujung Surah al-Hijr ayat 88. Allah Yang Maha Mulia lebih jauh berfirman, Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik! (QS. 15:94).

Beliau diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik dalam ayat ini yang diketahui telah diturunkan pada permulaan 'seruan terbuka kepada Islam' (setelah periode sembunyi-sembunyi).

Bagaimana bisa dibayangkan bahwa setelah semua perintah ini, Rasul agung dan mulia berbuat salah dengan cara sedemikian yang akan membutuhkan pelarangan yang dinyatakan?

Para mufasir Quran dari madrasah Ahlulbait lebih jauh menegaskan bahwa bahkan dalam pertanyaan ayat ketiga dan ke empat surah tersebut mengenai keraguan apakah Abdullah mendapatkan manfaat dengan berbicara dengan Nabi Muhammad SAW ataukah tidak, telah tertanam dalam minda orang yang belum memeluk Islam, dan tidak menyadari jiwa Islam. Hal ini tidak pernah terdapat dalam minda Nabi Muhammad SAW yang telah diutus untuk mengajarkan keimanan kepada setiap orang dan semuanya, tanpa memandang kedudukan duniawi apapun. Itulah sebabnya mereka menyimpulkan bahwa kata 'kamu' dalam ayat ke tiga tetap tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW. Alih-alih ia berlaku bagi salah seorang yang hadir dari Umayah, dan bahwa tak satu pun dari ayat pertama surah ini (80:1-4) tertuju kepada Nabi Muhammad SAW kendatipun ayat-ayat terakhir ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.

Mereka yang memahami bahasa Quran dan membaca bahasa Arab Quran yang orisinal menyadari lompatan konstan antara gaya penulisan Quran orang pertama, kedua, dan ketiga. Dalam banyak ayat Quran, Allah mengubah objek pembicara (sasaran) secara tajam, dan dengan sendirinya, adalah tidak selalu mudah untuk melukiskan siapakah yang dituju ketika nama sasaran pembicaraan tidak diungkapkan. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kita untuk merujuk pada Ahlulbait as dalam hal penafsiran ayat-ayat Quran karena mereka adalah 'orang-orang yang mendalam ilmunya' (QS. 3:7), 'ahli zikir' (QS. 16:43; 21:7), dan 'orang-orang yang disucikan yang telah menyentuh pengertian al-Quran (lihat 56:79).

Diriwayatkan bahwa Imam Shadiq as berkata, "Ia diturunkan sekaitan dengan seorang lelaki dari Bani Umayah. Ia tengah berada di majelis Nabi Muhammad SAW, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang. Ketika ia melihat Ibnu Ummi Maktum ia merasa kesal kepadanya, bermuka masam, dan berpaling darinya. Maka Allah SWT mengatakan apa yang Dia sebut sebagai ketidak sukaan atas perbuatannya."

Demikian juga dikatakan bahwa Imam Shadiq as berkata, "Setiap kali Rasulullah SAW melihat Abdullah bin Ummi Maktum, beliau berkata, ' Selamat datang, selamat datang, demi Allah, engkau tidak akan mendapati Allah menegurku terhadapmu' (80:5-11), ini karena rasa malu."

Dalam tafsir Sayid Syubbar dilaporkan dari Qummi bahwa ayat tersebut diturunkan tentang Utsman dan Ibnu Ummu Maktum, seorang yang buta. Ia datang kepada Rasulullah SAW ketika beliau sedang bersama para sahabat. Di saat itu, ada Utsman. Rasulullah SAW mengenalkannya kepada Utsman, dan Utsman bermuka masam dan memalingkan wajahnya darinya.

Allah Yang Maha Kuasa berfirman dalam Quran tentang Nabi Muhammad SAW, ...dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya (QS. 53: 3-4).

Maka bagaimana bisa Nabi Muhammad SAW mengatakan sesuatu v.-ang menyerang jika ucapan-ucapannya adalah wahyu atau ilham? Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginan sendirinya. Secara menarik, kaum Sunni membenarkan bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an-Najm dimana ia menyatakan Nabi Muhammad SAW tidak berbicara karena keinginannya sendiri. Juga dalam Surah al-Ahzab ayat 33 membenarkan bahwa Ahlulbait itu suci tidak berdosa. Kita semua mafhum bahwa keutamaan Nabi lebih tinggi ketimbang keutamaan keluarganya. Beliau juga terhitung sebagai Ahlulbait.
Lantas, bagaimana mungkin ia menyakiti hati seorang mukmin namun tetap menjaga kesucian secara sempurna ?

Perhatikan juga firman Allah berikut!

Padahal tiada (celaan) atasmu (untuk mengajari kepala kabilah yang sombong) jika dia tidak membersihkan diri (beriman) (QS. Abasa : 7).

Hal di atas tidak berarti bahwa apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW merupakan suatu kesalahan, karena Allah menggunakan frase `padahal tiada celaan atasmu'. Ini artinya pilihan Nabi tidaklah galat, melainkan itu bukan sesuatu yang tercela untuk dilakukan.

Juga ketika Allah menyatakan, mengajarinya tidak penting jika orang Quraisy itu tidak menyucikan dirinya. Nah, Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui sebelumnya bahwa orang Quraisy itu akan bermuka masam kepada orang mukmin yang buta tersebut, dengan demikian, syarat jika tidak terpenuhi. Karena itu, apa yang Nabi Muhammad SAW lakukan adalah tepat sebelum ketika orang tersebut bermuka masam (karena Nabi Muhammad SAW berada di tengah-tengah pembicaraannya dengan orang-orang Quraisy itu ketika Ibnu Ummi Maktum datang). Dan begitu orang Quraisy itu bermuka masam, Nabi menghentikan pembicaraan dan kemudian ayat tersebut diturunkan. Sebagaimana bisa kita saksikan, apa yang Nabi SAW lakukan merupakan tugasnya detik demi detik.

Teguran tersebut untuk masa depan, sebagaimana dalam kasus ayat Quran lainnya dimana Allah mengingatkan Nabi-Nya bahwa tidak layak baginya untuk mempersulit diri sendiri guna memandu orang-orang karena sebagian dari mereka tidak pernah bisa diberi petunjuk, dan tidak seyogianya Nabi sedih atas mereka.

Kesimpulannya, kami menyediakan bukti dan keterangan dari Quran, hadis, sejarah, dan tata bahasa Arab, untuk mendukung fakta bahwa ayat-ayat sebelumnya dari surah ini tidak merujuk Nabi Muhammad SAW dan sesungguhnya orang yang bermuka masam kepada orangbuta itu bukanlah Nabi Muhammad SAW. Kami sebutkan juga bahwa Surah Abasa ayat 511 hanyalah pengingat untuk masa depan Nabi Muhammad SAW bahwa mendakwahi seorang kafir tidaklah berhasil sekiranya orang kafir tersebut tidak mencoba untuk menyucikan dirinya sendiri dan ketika seorang kafir tersebut menyakiti dan melukai seorang mukmin hanya gara-gara orang mukmin itu miskin dan buta (tidak sehat jasmaninya).



Komentar Balik
Seorang Sunni berkata bahwa para ulama tafsir menulis ayat-ayat dari Surah Abasa diturunkan setelah Nabi Muhammad SAW tengah mencoba meyakinkan empat pemuka Quraisy yang terpandang untuk memeluk Islam, yakni Utbah bin Rabi'ah Abu Jahal (Amru bin Hisyam), Umayah bin Khalaf, dan saudaranya, Ubay (tidak menyebutkan Utsman bin Affan). Selain itu, Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ayat-ayat ini merupakan ayat-ayat Madaniyyah (diturunkan di Madinah) yang artinya Utsman telah menjadi seorang Muslim pada saat itu.

Tanggapan kami adalah sebagai berikut:

Kaum Muslim sepakat bahwa Surah Abasa diturunkan di Mekkah jauh sebelum hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Niadinah. Lebih menarik lagi, mereka setuju bahwa Surah Abasa diturunkan segera setelah Surah an N'ajm dimana Allah berfirman bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbicara berdasarkan keinginannya! Sekali lagi, berdasarkan pendapat Sunni, Surah : An-Najm merupakan surah Quran ke 23 yang diturunkan, sementara Surah Al-basa merupakan surah Quran ke 24 yang diturunkan. Keduanya ini merupakan wahyu Mekkah yang awal. Barangkali apa yang telah Qurthubi natakan semata-mata untuk mengalihkan pembaca dari masalah Utsman yang dituju oleh surah tersebut. Dengan demikian, menjaga integritas Utsman dengan ongkos berupa menuduh Nabi Muhammad SAW.

Kesalahan lain dalam riwayat di atas adalah bahwa anda mengatakan salah seorang Quraisy itu yang kepadanya Nabi Muhammad SAW berbicara adalah Abu Jahl? Apa yang Abu Jahl lakukan di Madinah? Saudara, apakah anda mengetahui bahwa Abu Jahal tinggal di Mekkah, dan salah seorang musuh terbesar Nabi Muhammad SAW, dan tidak pernah hijrah ke Madinah untuk menemui Nabi dan termasuk orang yang terbunuh dalam Perang Badar (perang pertama)?
Orang lain yang disebutkan dalam riwayat di atas Utbah dan Umayah juga terbunuh bersama pemimpin mereka, Abu Jahal, dalam Perang Badar. Tak seorang pun dari mereka berkesempatan menemui Nabi (setelah hijrahnya Nabi) kecuali dalam medan Perang Badar dimana jenazah dibawa ke sumur terkenal itu!



Penolakan
Artikel ini berkaitan dengan argument apakah para Nabi dan Rasulullah itu maksum (suci dari dosa) ataukah tidak. Pada bagian pertama, kami akan memindai perspektif Sunni dan baru setelah itu kami akan menyajikan pendapat Syi'ah tentang masalah tersebut dengan mengacu pada ayat-ayat Quran. Sedangkan pada bagian ke dua, kami akan memberikan argumen logis di balik isu kemaksuman. Sebagai tambahan, kami melihat sejumlah hadis Sunni yang otentik yang mendukung kemaksuman. Di bagian ketiga, kami menanggapi argumen-argumen dari para penentang dalam hal ini. Apakah mungkin bagi seorang manusia menjadi maksum? Apakah realistis untuk meyakini bahwa Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Pemelihara alam semesta, akan mengutus seorang manusia pendosa untuk membimbing umat manusia? Bagaimana halnya dengan Quran, informasi dan keterangan mengenai masalah tersebut tersedia? Inilah beberapa pertanyaan di antara berbagai pertanyaan lain yang berusaha untuk dijawab dalam bab ini.

Syi'ah Imamiyah tidak berpendapat manusia manapun, entah ia seorang Rasul atau seorang imam, sebagai Tuhan. Kita tidak menyembah manusia ataupun mengakui kebiasaan semacam itu. Allah SWT tidak pernah berkompromi dalam teologi ataupun filsafat Syi'ah! Semua tuduhan negatif yang kalian mungkin dengar tentang kami adalah murni propaganda dengan motif-motif politik. Allah Yang Maha Mulia di atas segala sesuatu yang menggores martabat dan keadilan. Kami berpendapat bahwa Allah SWT sebagai Pencipta Yang Maha Adil, yang tidak pernah melakukan kezaliman terhadap ciptaan-Nya. Allah SWT tidak bisa dibagi-bagi dan Dia tidak menyerahkan keagungan-Nya dan kedaulatannya kepada siapapun. Tak seorang pun diizinkan untuk mencampuri kehendak-Nya, kecuali dengan izin-Nya. Ini merupakan akidah 'Syi'ah Dua Belas Imam' yang otentik dan segala sesuatu yang lainnya yang sifatnya negatif dan dinisbatkan kepada Syi'ah adalah omong kosong.



Kemaksuman Menurut Ahlussunnah
Para ulama Ahlussunnah tidak berbicara dalam satu suara tentang subjek ini. Sebagian Sunni mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW itu rxaksum atau tidak berdosa hanya dalam penyampaian risalah Allah. Selain dari itu, Nabi Muhammad SAW sebagaimana orang lain berdosa dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam banyak hal.

Faksi Sunni ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis-hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab mereka tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW tertidur dan lupa akan waktu salat, dan bahkan lupa melakukan wudhu untuk shalat.' Lebih jauh, mereka mengklaim bahwa beliau biasa duduk bersama Aisyah dan menonton sebuah tarian yang diiringi dengan musik. Mereka juga mendakwa bahwa beliau dipengaruhi oleh mantra sihir yang menimbulkan episode halusinasi pedih di pihaknya' Inilah sebagian kecil dari tindakan-tindakan yang paling keji ulama-ulama' Bani Umayah itu.

Perhatikan bahwa menurut kaum Syi'ah, hadis-hadis ini tidaklah otentik, atau bukan merupakan satu kebenaran apapun. Lagi pula, hadis-hadis ini disisipkan ke dalam kitab-kitab mereka oleh Bani Umayah, di antara yang lainnya, untuk membenarkan penyimpangan dan kekejian mereka. harena ketika Nabi Muhammad SAW berdosa sedemikian keji sebagaimana mereka menggambarkan beliau dalam hadis-hadis di atas kita tidak bisa lagi menyalahkan Utsman, atau Muawiyah, Yazid, atau Amr bin Ash, di antara yang lainnya, ketika mereka berdosa. Adalah untuk kepentingan mereka sendiri, mereka menggambarkan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang manusia yang mendengarkan musik dan tarian bersama istrinya, untuk membenarkan tarian dan musik yang liar di istana-istana mereka.

Keadaan umat sekarang tidaklah demikian disebabkan sebagian kecil dari mereka tidak melakukan salat ataupun puasa. Hal ini karena sejumlah Yang telah mengubah dan merusak agama Allah SWT untuk membenarkan hawa nafsu mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Kristen dan Yahudi. Itulah yang secara tepat kita alami. Kita berdosa, kemudian kita katakan, "Nabi Muhammad SAW sendiri adalah seorang pendosa!" Sungguh para Nabi dan Rasulullah suci dari watak dosa semacam itu! Demi Allah, mengatakan hal semacam itu lebih merupakan suatu penghinaan kepada Allah SWT, ketimbang kepada Nabi dan para Rasul. Karena ketika kita menandaskan bahwa Allah SWT mengutus orang-orang yang berdosa, kita tengah mendakwa bahwa Allah SWT sendiri mengakui dosa; atau mengapa, kemudian, Dia mengutus seorang manusia pendosa? Padahal, di sisi lain, Allah SWT melarang kita dari perbuatan jalan! Logika macam apa ini? Mahasuci Allah dari hinaan semacam ini!



Kemaksuman Menurut Syi ah
Di sisi lain, Syi'ah, menyatakan bahwa seluruh Nabi dan Rasulullah, tanpa kecuali, maksum adanya. Bahkan jauh-jauh hari sebelum mereka menjadi para Nabi dan Rasul. Misalnya, kendatipun Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul pada usia 40 tahun, Syi' ah menegaskan bahwa bahkan dalam 40 tahun dalam kehidupannya, beliau sudah maksum-sebuah penegasan bahwa sejarah membenarkan juga.

Pertama-tama, mari kita definisikan konsep kemaksuman! Menurut Muhammad Jawad Mughniyyah dalam al-Islam wa al-Aql, konsep ishmah (kemaksuman) sangat sering disalah pahami. Apa yang kita maksudkan dengan konsep tersebut adalah bahwa seorang Nabi, karena keNabiannya, mempunyai jiwa yang suci. Sebagaimana Quran katakan, Sesungguhnya nafsu (manusia) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, keeurali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf : 53).

Secara gamblang, Allah SWT telah melakukan suatu pengecualian (dengan menggunakan istilah 'kecuali' kepada jiwa manusia yang cenderung kepada kejahatan. Kita bisa memahami, berdasarkan filsafat Syiah, bahwa keterpautan jiwa (nafs) kepada Wujud laksana sebuah hubungan kendali dengan pengendalian. Oleh sebab itu, jiwa bisa cenderung pada kejahatan. Sekiranya individu tersebut menerima ajakan kepada kejahatan, ia menjadi bertanggung jawab atas kejahatan yang ia lakukan. Ini merupakan uraian yang disederhanakan, namun memenuhi tujuan yang dimaksud.

Sekarang, para Nabi atau Rasul termasuk pada pengecualian sebagaimana Allah SWT telah isyaratkan. Yakni, ada sesuatu dalam jiwa dari manusia-manusia mulia ini yang mencegah kecendrungan pada kejahatan, dan karenanya mereka tidak pernah melakukannya. Keutamaan mereka sedemikian tinggi sehingga mereka tidak pernah berpikir melakukan dosa sekalipun. Bukan berarti jika seorang Nabi atau Rasul ingin melakukan dosa, ia tidak bisa. Sebaliknya adalah rahmat, yang disebutkan dalam ayat di atas, yang dilimpahkan kepadanya dari Allah SWT yang mencegahnya dari melakukan demikian.

Dengan demikian, ia maksum kendatipun mereka memiliki kemampuan penuh melakukan setiap jenis dosa apapun. Ketika setan menolak bersujud kepada Adam, dia terusir dan menjadi seorang makhluk terkutuk. Quran menyatakan bahwa seketika itu juga Iblis berkata, "Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan memandang baik (perbuatan rnaksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka. " Allah berfirman, "Ini. adalah jalan yang lurus. Kewajiban Akulah menjaganya. Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikuti kamu, yaitu orang-orang yang sesat. Dan sesungguhnya jahanam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semtcanya (QS. al-Hijr : 39).

Nyatalah dari dialog di atas Allah SWT telah menjanjikan bahwa dan tidak punya cara menjerumuskan hamba-hamba Tuhan yang ikhlas. Para pelaku kejahatan yang akan mengikuti setan. Dengan demikian Hamba -hamba Allah SWT yang ikhlas bukanlah para pelaku dosa dan tidak dan terperdaya. Allah juga membenarkan bahwa jalan hamba-hamba yang ikhlas merupakan suatu jalan yang mengantarkan kepada-Nya. Semua fakta ini membuktikan bahwa para hamba Allah yang ikhlas tidak akan pernah terjerembab ke dalam perangkap setan, dan dengan sendirinya mereka maksum, berkat rahmat Allah.

Yang perlu diperhatikan di sini bahwa tidak ada penyebutan Nabi atau Rasul dalam ayat-ayat di atas. Dalam madah lain, hamba-hamba Allah yang ikhlas yang maksum tidak mesti para Nabi ataupun Rasul. Adapun tema kemaksuman para imam akan dikupas dalam bab tersendiri.



Quran Membicarakan Para Nabi
Pertama, kiranya membantu untuk melihat sekilas perintah menaati Rasul, untuk melihat bagaimana perintah ini serba meliputi dan serba mencakup, dan betapa besarnya otoritas Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman dalam Quran, Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah (QS. an-Nisa : 64).

Nabi atau utusan Tuhan ditaati dan diikuti. Para pengikutnya tidak diharapkan untuk memeriksa setiap perintah Nabi guna memutuskan apa yang harus ditaati dan apa yang tidak perlu ditaati. Tidak ada jalan memeriksa perintah-perintahnya, karena ia sendiri memberi kita semua aturan dan hukum-hukum Ilahi dalam bentuk kitab dan Sunnahnya (ucapan/perbuatan/pembenaran). Apabila kita merasa ragu atas sejumlah perbuatan Nabi, keraguan ini bisa menyebabkan semua perintah dan hukumnya yang telah ia sampaikan dipertanyakan. Ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul bebas dari kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah SWT tidak akan memerintahkan manusia untuk mematuhi mereka tanpa syarat.

Banyak ayat yang mengandung perintah Allah SWT kepada kita untuk menaati Nabi. Di antaranya, Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan janganlah kalian merusak amal perbuatanmu (dengan mendurhakainya) (QS.Muhammad:33), dan Barang siapa menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah (QS. an-Nisa : 80).

Dalam ayat-ayat di atas juga banyak ayat lainnya, ketaatan kepada Allah SWT disejajarkan dengan ketaatan kepada para Nabi. Penegasan semacam ini niscaya mustahil untuk diterima sekiranya para Nabi itu tidak maksum.

Sekarang, perhatikanlah ayat berikut! Janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka! (QS. al-Insan : 24).
Gambaran tersebut begitu sempurna. Para Nabi ditaati dan para, pendosa tidak ditaati. Satu-satunya kesimpulan adalah bahwa para Nabi bukanlah para pendosa ataupun para pelaku kejahatan. Dalam madah lain, mereka maksum dan suci dari dosa.

Secara khusus memandang Nabi Muhammad SAW, Allah SWT memerintahkan kepada kita, Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia! Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah! (QS. al-Hasyr : 7).

Ini merupakan petunjuk lain bahwa apa saja yang Nabi Muhammad SAW berikan haruslah diterima tanpa syarat dan tanpa ragu. Ini artinya bahwa izin ataupun larangan dari Nabi Muhammad SAW senantiasa selaras dengan kehendak Allah SWT dan senantiasa diberkati olehnya. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW terjaga dari dosa (maksum). Tak seorang pun bisa sedemikian yakin ihwal perintah-perintah seorang manusia yang tidak maksum.

Sekarang, jika Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendosa bagaimana sebagian orang katakan secara keliru, maka bagaimana bisa Allah SWT memerintahkan kita untuk menerima (menaati) orang-orang yang berdosa? Untuk orang-orang yang mendalil bahwa ayat di atas

Maka khusus untuk perintah-perintah agama, dan Nabi Muhammad SAW hanya maksum dalam masalah itu, kami katakan bahwa pengakuan semacam itu tidak beralasan. Ini merupakan satu aturan umum bahwa sampai waktu itu tidak ada larangan atau syarat atau pengkhususan (particularization) yang telah disebutkan bersama suatu teks Quran. Ia mencakup semua aspek.

Kedua, segala sesuatu yang Nabi Muhammad SAW bicarakan berkaitan dengan Allah SWT dan agama-Nya. Lantas, bagaimana bisa anda mengklaim bahwa Allah SWT melakukan suatu pemisahan? Apakah anda belum mendengar apa yang Aisyah katakan ketika ia ditanya perihal perilaku Nabi Muhammad SAW? Ia berkata, "Hidupnya adalah quran, khususnya sepuluh ayat pertama Surah Nur (cahaya)." Sekarang, apabila kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah Quran secara perkata, bagaimana mungkin beliau seorang pendosa ? Itu artinya bahwa Quran penuh dengan perkara - perkara dosa ? Maha suci Allah dari menurunkan Kita seperti ini !

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, (Wahai Nabi) Katakanlah (kepada manusia), "]ika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian! (QS. Ali Imran : 31). Di sini cinta kepada Allah SWT disejalankan dengan mengikuti perintahperintah Nabi Muhammad SAW. Kedua sisi cinta termasuk dalamnya. Jika kalian mencintai Allah, ikutilah Nabi, jika kalian mengikuti Nabi, niscaya Allah menrintai kalian. Bukankah ini menunjukkan bahwa Nabi bebas dari setiap jenis kekurangan secara mutlak?

Bukan saja perintah-perintah Nabi, namun juga semua keputusannya terjaga dari kesalahan karena Allah bersabda kepada Nabi-Nya, Maka demi Tiahanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikun kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. an-Nisa : 65).
Jika semua keputusan Nabi Muhammad SAW harus diterima tanpa syarat, maka sudah tentu Nabi Muhammad SAW harus terjaga dari kesalahan dalam semua keputusannya.

Selain perbuatan-perbuatan dan keputusan-keputusannya, bahkan setiap satu kata pun dari pembicaraannya merupakan titah Tuhan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Nabi) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang Maha Kuasa telah mengajarinya (QS. an-Najm :1-5).

Ayat-ayat di atas bukan saja membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak berbuat kesalahan atau dosa, namun juga menandaskan bahwa semua ucapannya merupakan wahyu (baik secara langsung maupun tidak). Ayat-ayat ini secara terbuka membersihkan Rasulullah SAW dari ucapan apapun yang keluar hawa nafsunya. Hal tersebut meliputi hadisnya dan Quran. Bagi orang-orang yang mendalilkan sebaliknya, janganlah lupa bahwa hadis tersebut digunakan dalam setiap penafsiran Quran, masalah - masalah fikih dan ranah - ranah keilmuan lainnya. Apabila Hadis tersebut menyimpang karena kalian mengklaim bahwa Nabi Muhammau SAW adalah seorang pendosa (semoga Allah memaafkan kita!), maka penafsiran Quran pun salah! Takutlah terhadap Allah SWT dalam penalaranmu! Bagi orang - orang yang mengklaim bahwa Nabi Muhammad SAW maksum dalam penyampaian risalah, dan itu mencakup hadis, maka kalian telah mengakui apa yang dikatakan Syi'ah! Disepakati secara bulat bahwa Sunnah Nabi meliputi perkataan, perbuatan, dan pembenaran (taqrir) Nabi. Karena Sunnah merupakan refleksi dari perbuatan Nabi, maka ia, dengan demikian, maksum dalam perbuatan juga.
Allah SWT berfirman,

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu yang memberatkan punggungmu, dan Knmi tinggikan bagimu sebutan (nama)mu? (QS. al-Insyirah : 1-4).

Secara pribadi kami tidak akan mengomentari ayat di atas, namun disini akan kami kutipkan komentar Abdullah Yusuf Ali, seorang mufasir Sunni, tentang ayat tersebut dalam catatan kakinya:

(Ini pun merupakan) doa Musa ketika meminta kelapangan. Secara simbolis dada merupakan wadah pengetahuan dan perasaan tertinggi dari cinta dan kasih sayang, gudang yang dalamnya disimpan permata-permata laksana karakter insan yang mendekat kepada Yang Ilahi. Watak manusia Nabi suci telah disucikan, dilapangkan, dan ditinggikan, sehingga ia menjadi rahmat bagi semua makhluk. Watak semacam itu bisa mengabaikan motif-motif rendah kemanusiaan umum yang menyebabkan seranganserangan memalukan yang ditimpakan kepadanya. Kekuatan Hon keberaniannya bisa juga memikul beban dari pekerjaan yang menyakitkan hati yang itu harus dilakukan dalam rangka mencela dosa, menaklukkannya, dan memelihara makhluk-makhluk Allah dari penindasannya.

Hal ini sesungguhnya merupakan sebuah beban yang menyedihknn dan menyakitkan bagi seorang manusia untuk berjuang sendirian melawan dosa. Akan tetapi Allah mengirim keagungan dan bantuannya dan beban tersebut diangkat atau diubah ke dalam kebahagiaannya dan kejayaan dalam melayani Tuhan Yang Maha Besar.

Keutamaan Nabi, kemurahan karakternya, dan kecintaannya terhadap umat manusia sepenuhnya dikenal dalam masa hidupnya, dan namanya menempati kedudukan puncak di antara para pemimpin heroik umat manusia. Frase tersebut digunakan di sini lebih komprehensif dalam pengertian yang digunakan untuk para Nabi.

Mari kita simak firman Allah SWT lainnya!

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk dan agama kebenaran... (QS. at-Taubah : 33).

Orang-orang kafir berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu tanda kebenaran dari Tuhannya?" Sesungguhnya kamu hanyalah pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk (QS. ar-Ra'd : 7).

Seorang Rasul yang membaeakan kepada kalian ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang berirrian darv mengerjakan arnal-amal yang saleh dari kegelapan kepada cahaya (QS. at-T'halaq : 11).

Ayat-ayat Quran di atas membenarkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemberi petunjuk yang diutus untuk mengeluarkan manusia kedalaman kegelapan menuju cahaya (QS. at-Thalaq : 11) dan bahwa ia seorang pemberi peringatan (QS. an-Naml : 91) dan salah seorang pemberi petunjuk bagi manusia (QS. ar-Ra~d : 7). Dosa adalah kegelapan, dan, dengan sendirinya, bagaimana mungkin Nabi diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya ketika ia sendiri menempati kegelapan? Semoga Allah melindungi kita dari menghina Nabi-Nya SAW.

Demikian pula Quran mengabari kita bahwa Nabi telah datang kepada kita untuk menyucikan dan membersihkan kita dan mengajari kita hikmah:

Sebagaimana ( Kami telah menyempumakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu seorang rasu diantara kalian yang membacakan ayat - ayat Kami kepada kalian dan menyucikan kalian serta mengajarkan kepada kalian al-Kitab dan hikmat (as-Sunnah) serta mengajarkan apa yang belum kalian ketahuiah (QS. al-Baqarah : 151).

Sungguh Allah telah memheri karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membaeakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka alKitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali Imran :164).

Lihat juga al-Baqarah ayat 129, al-Jumu'ah ayat 2 yang membenarkan bahwa salah satu misi Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyucikan (jiwa) orang-orang beriman! Lantas bagaimana bisa seorang Nabi menyucikan orang lain yang melakukan kesalahan sementara ia sendiri tidak suci? Bagaimana bisa Allah SWT mengutus seorang pribadi yang kotor dan dan berdosa untuk menyucikan orang lain? Bagaimana bisa seorang manusia wangajari orang lain hikmah sementara ia tidak punya hikmah untuk membedakan kebenaran dari kesalahan, atau yang terburuknya, sementara ia tidak punya tekad untuk menjauhi perbuatan yang salah? Nabi diutus untuk mengajari manusia kitab Allah. Ini artinya bahwa ia mengetahui perintah Allah. Ia diutus untuk menyucikan mereka dan mengajari mereka hikmah. Ini artinya ia sendiri mempunyai hikmah dan kesucian.

Saksi atas kesempurnaan karakternya terdapat dalam Quran dimana Allah SWT berfirman, Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti agung (QS. Al-Qalam : 4 ).

Seorang manusia yang melakukan kesalahan-kesalahan tidak pantas merima pujian semacam itu. Semua ayat ini secara jelas membuktikan dua dua hal :
Pertama, otoritas Nabi Muhammad SAW atas orang-orang beriman tidak terbatas dan serba-mencakup. Setiap perintah yang diberikan oleh nya dalam kondisi apapun, ditempat manapun, pada waktu kapanpun haruslah ditaati tanpa syarat.

Kedua, otoritas tertinggi yang dianugerahkan kepadanya disebabkan beliau maksum dan bebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah SWT tidak akan memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan ataupun keraguan.



7
ANTOLOGI ISLAM

Kemaksuman Para Nabi dalam Teks Hadis
Dalam bagian ini, kita diskusikan dukungan logika atas kemaksuman para Nabi dan kemudian kita sajikan sejumlah hadis dari Shahih Bukhari dan Shahih at-Turmudzi berkaitan dengan isu kemaksuman.



Akal dan logika
Di samping analisis karakter seorang Nabi secara historis atau suatu karakter dari Quran, karakter semacam itu bisa dinilai dalam sudut pandang pertimbangan akal dan logika. Oleh karenanya, pertanyaannya adalah: Apakah rasional dan ataukah realistis bagi seorang Nabi yang diutus oleh sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta sebagai seorang pendosa? Mari kita cari jawabannya!

Pertama, ketika Allah SWT mengirim seorang Nabi, Dia membedakannya dari semua makhluk dengan menyucikan dari kejahatan dan dosa, sehingga ia bisa berfungsi sebagai seorang teladan. Sesungguhnya Allah SWT menandaskan,

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladari yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS. al-Ahzab : 21)

Oleh karenanya, seorang manusia yang telah dipilih Pencipta alam semesta untuk mewakili-Nya di muka bumi, mustahil seorang berwatak jahat, atau seorang pendosa yang melakukan tindakan-tindakan amoral. Apakah kalian percaya bahwa ia akan berfungsi sebagai seorang teladan sempurna untuk diikuti? Itu seperti seorang imam masjid yang menggoyang - goyangkan tangan kanannya seraya berkata, "Jangan minum bir ( minuman keras )!" Sementara ia sendiri memegang bir di tangan kirinya !

Kedua, sekiranya Nabi Muhammad SAW memerintahkan kebajikan atau melarang kejahatan ketika ia sendiri seorang pendosa yang melakukan kejahatan, maka ia telah menetang apa yang Allah SWT katakana dalam ayat Quran berikut :

Hai orang-orang beriman , mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan (QS. as-Shaff : 2-3).

Berdasarkan ayat Quran di atas, sekiranya Nabi seorang pendosa, ia semestinya tidak menyeru orang lain di tempat pertama? Dengan demikian, seorang Nabi yang maksum menghadapi sebuah dilema: Jika ia tidak berdakwah, ia telah mendurhakai perintah Tuhan yang telah memerintahkannya untuk menyampaikan wahyu (QS. al-Maidah : 67). Di sisi lain, jika ia berdakwah, ia pun telah mendurhakai Allah SWT ketika Dia berfirman,

Hai orang-orang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tiada kalian kerjakan.

Bukankah Allah SWT mengingatkan kaum Yahudi dengan mengatakan,

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?(QS. al-Baqarah : 44).

Nyatalah, seorang Nabi tidak bisa memerintahkan orang awam untuk mendirikan pada waktu yang ditentukan, padahal Nabi sendiri lupa untuk shalat, dan ketika ia ingat, ia shalat tanpa wudhu.6 Tersucikanlah para khalifah Allah dari tuduhan batil tersebut!

Ketiga, seorang Nabi yang berdosa merupakan karakter yang menjijikkan. Kita, sebagai manusia, membenci seseorang yang datang kepada kita dan berkata, "Jangan melakukan ini dan itu!" Namun ia sendiri melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Dengan sendirinya ia menjadi seorang yang menjijikkan bagi kita, dan kita tidak bisa tahan untuk mendengarnya lagi. Demikian pula, apabila Nabi Muhammad SAW bersikap kasar kepada seorang buta, padahal,beliau tidak demikian, lantas bagaimana bisa ia meminta kita untuk berakhlak mulia?

Ingat! Riwayat orang buta itu tidak terkait dengan Nabi Muhammad SAW sebagaimana Sunni katakan. Surah Abasa adalah sebuah surah yang diturunkan untuk mengingatkan Utsman bin Affan, salah seorang yang bermuka masam kepada orang buta itu. (Lihat bahasan sebelumnya).

Apakah Anda sungguh-sungguh percaya bahwa seorang Nabi Allah adalah seorang pendosa dan demikian ofensif? Mengapa Anda mengikutinya? Secara pribadi, kami tidak akan percaya seorang manusia yang mengaku diutus oleh Allah SWT, Pencipta alam semesta, dan berdosa serta berperilaku dalam suatu cara yang seekor binatang buas tidak pantas melakukannya!

Ke empat, apakah Allah SWT sedemikian tidak mampunya untuk menjadikan para Nabi dan Rasul-Nya tidak berdosa? Mengapa Allah SWT berpayah-payah mengutus seorang Nabi yang berdosa untuk menjadi seorang teladan bagi sebuah masyarakat? Jika dosa merupakan sesuatu yang bahkan para Nabi dan Rasul tak mampu menghindarinya, lantas apa tujuan pengutusan sebuah agama kepada umat manusia? Apakah Allah SWT mengharapkan orang-orang awam mengikuti perintah-perintah-Nya ketiga para wakilnya tidak bisa?

Ke lima, seorang Nabi atau Rasul adalah seorang penafsir perintah-perintah Allah SWT. Karenanya, jika Nabi adalah orang pertama yang melanggar perintah ini, siapa orang-orang di antara umat ini yang akan tahan dengan perintah-perintah ini? Atau, jika ia berada dalam keadaan yang mencegah dirinya dari kekuatan mentalnya menyebabkannya salah, maka ia akan menyalahtafsiri perintah-perintah Allah SWT. Apabila itu terjadi, maka sesungguhnya Allah SWT bermain-main dengan makhlukNya! Karena Dia mengutus kepada mereka seorang manusia untuk menafsirkan agama bagi mereka, padahal manusia ini tunduk kepada mantra-mantra sihir, sebagaimana diklaim oleh riwayat-riwayat Israiliyat, dan halusinasi mental yang menyebabkan ia menjadi tidak sadar akan perilakunya sendiri.' Penafsir macam mana ini? Maha Suci Allah dari tuduhan-tuduhan tersebut kepada Nabi-Nya, SAW!

Ke enam, bagi mereka kaum Sunni yang mengatakan bahwa Nabi SAW maksum atau tidak berdosa hanya dalam penyampaian wahyu, dan selain itu ia seperti manusia lainnya, ia berdosa dan melakukan kesalahan-kesalahan dalam banyak hal, penegasan tersebut penuh kesalahankesalahan logika. Misalnya, kaum Sunni meriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi Muhammad SAW memberikan nasehat tentang pertanian, dan orang-orang melakukannya, namun mereka mengalami kerugian besar dengan mengikuti saran tersebut. Nabi mengatakan kepada mereka bahwa apa yang ia katakan merupakan saran pribadi dan bukan wahyu yang bagaimanapun bertolak belakang dengan ayat :

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya (QS. an-Najm : 3-4).

Bagaimana kita mengetahui mana ucapan Nabi yang berasal dari Allah SWT, dan mana ucapan yang bersumber dari dirinya? Ia mungkin mengatakan sesuatu yang para sahabat menganggapnya sebagai perintah Allah SWT, namun itu mungkin hanyalah ungkapan pendapatnya sendiri. Jika demikian halnya, maka semua perintah Allah SWT berada dalam kekacauan! Itulah sebabnya pendapat Nabi sekalipun harus bersesuaian dengan perintah-perintah Allah SWT, karena kekhawatiran disalah tafsirkan oleh manusia. Sesungguhnya Nabi memiliki akal yang sempurna dan ijtihad-nya bersesuaian sempurna dengan perintah-perintah Allah SWT dan itulah sebabnya Allah SWT memerintahkan kita untuk menaati segala sesuatu yang ia katakan tanpa syarat.

Demikian juga, bagaimana bisa kita memahami perbuatan Nabi mana yang salah dan mana yang benar? Apakah ukurannya hal itu bagi kita? bukanlah sebagian dari ukuran ini merupakan praktik Nabi Muhamnrui SAW sendiri? Karena praktik Nabi Muhammad SAW dipandang sebagai salah satu sumber yang menurunkan hukum-hukum Islam, kita tidak bisa mengevaluasi tindakan-tindakan Nabi dengan aturan-aturan yang diturunkan dari perbuatan-perbuatannya! Oleh karenanya, semua perbuatan Nabi seharusnya terjaga dari kesalahan dan dosa.

Ketujuh, karena Nabi Muhammad SAW dipilih untuk menyampaikan risalah Allah SWT (salah satunya adalah Quran) dan ia sendiri seorang pendosa, akan mencuatkan keragtian perihal keotentikan Quran. Ketika Nabi Muhammad SAW membacakan satu ayat dari Quran, bagaimana kita tahu bahwa ayat itu sesungguhnya dari Allah SWT dan bukan efek samping dari episode halusinasi dimana Nabi Muhammad SAW, menurut dugaan, tengah mengalami suatu akibat dari mantra sihir yang diarahkan kepadanya? Itu artinya kitab Allah akan diselewengkan oleh orang yang sama yang diutus untuk menyampaikannya!

Kedelapan, jika setiap Nabi mulai mendorong para pengikutnya untuk melakukan suatu kesalahan atau dosa, bayangkanlah situasi mustahil apa yang akan terjadi! Para pengikut yang malang tersebut dikutuk pada kemurkaan Allah SWT. Apabila mereka menaati Nabi dan melakukan dosa tersebut, maka mereka telah mendurhakai perintah yang diturunkan oleh Allah SWT dan dengan demikian terhina. Di sisi lain, jika mereka mendurhakai Nabi, maka kembali mereka mendurhakai perintah Allah SWT tentang menaati Nabi. Maka, tampaknya seorang Nabi yang cacat tidak bisa melahirkan apapun selain kehinaan dan kutukan kepada kaumnya.

Kesembilan, sebuah dosa yang bisa dihukum akan melahirkan kesedihan dan depresi kepada jiwa orang beriman. Orang beriman yang ikhlas mencintai Allah SWT dibakar dan mengalami depresi lantaran dosa yang telah ia lakukan. Perasaan sedih mulai merasuki minda (mind) dan orang beriman akan kehilangan kepercayaan berkali-kali. Perasaan ragu dimunculkan dalam arti bahwa orang beriman tersebut merasa bahwa Allah SWT mungkin tidak mendukungnya pada titik dan waktu tertentu sebagai hukuman atas apa yang telah ia lakukan. Keraguan ini bukan dalam arti bahwa ia merasa Allah SWT tidak cukup mengasihi untuk mengampuninya. Alih-alih, ia merupakan keraguan tentang apa yang akan terjadi apabila Allah SWT memutuskan untuk membalas atas apa yang telah ia perbuat.

Dengan alasan di atas, seorang Nabi semestinya bukan seorang pendosa, lantaran itu akan berakibat pada hilangnya kepercayaan pada dirinya pada tahap tertentu dalam misinya. Jika keraguan menghantam jiwa seorang Nabi, Anda bisa jamin bahwa misinya berada dalam bahaya. Juga, dari sudut pandang politik dan psikologis, keraguan dengan sendirinya berubah menjadi bencana. Di sisi lain, ada suatu fakta historis terkenal yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah menunjukkan keraguan apapun dalam misinya, dan dengan begitu beliau pastinya terbebas dari kesalahan dan dosa. Memiliki keraguan niscaya bukan sekadar memperlemah misinya, namun niscaya hal itu memperburuk kredibilitasnya di tengah-tengah orang beriman.

Ke sepuluh, seorang Nabi adalah seorang guru berkat keNabiannya. Andaikata seorang guru salah ketika ia dianggap dikirim langsung oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi umat manusia, maka ia akan memerlukan seorang guru yang lebih berilmu dan unggul untuk membimbingnya dan menghukumnya dalam kasus di mana ia melanggar hukum-hukum Tuhan, yang artinya bahwa Nabi sendiri akan membutuhkan seorang guru yang tidak salah yang diutus Tuhan, dan seterusnya, untuk selamanya. Jadi, tidak bisa tidak Nabi pastilah seorang guru peringkat pertama dan tertinggi dalam hal keutamaan di antara kaumnya sendiri, dan pastilah juga ia seorang maksum.

Demikian pula halnya dengan para imam (pengganti Nabi yang ditunjuk Tuhan). Dengan menerapkan argumen yang sama, mereka semua maksum, kendati mereka bukanlah para Nabi ataupun Rasul. Akan tetapi, mereka adalah para penerus dan khalifah bagi Penutup KeNabian (Nabi Muhammad SAW). Karena itu, jika para imam ini bertugas unhik membimbing umat Muhammad SAW, mereka niscaya mempunyai kualitas yang sama berdasarkan argumen di atas. Simak pula artikel selanjutnya berkaitan dengan kemaksuman para imam secara khusus.



Rujukan Kemaksuman dalam Shahih Bukhari
Ada sebuah hadis menarik dalam Shahih Bukhari yang menandaskan adanya manusia-manusia yang maksum. Secara jelas hadis tersebut menyatakan manusia-manusia ini adalah para Nabi dan penggantipengganti mereka (khalifah). Hadis itu pun menyoroti fakta bahwa adalah Allah SWT yang memberikan kedudukan kekhalifahan kepada khalifah itu yang berimplikasi bahwa khalifah maksum itu adalah orang yang dilantik oleh Allah, bukan oleh manusia. Selain itu, hadis tersebut menegaskan adanya para sahabat mulia dan ada- pula sahabat-sahabat yang tercela bagi para Nabi dan para pengganti mereka, namun mereka yang dijaga oleh Allah SWT tidak akan terpedaya oleh para penasehat yang jahat di sekitar mereka. Berikut ini sebuah hadis yang dimaksud.

Diriwayatkan Abu Sa'id Khudri, Nabi Muhammad SAW berkata, "Allah tidak pernah mengutus seorang Nabi atau memberikan kekhalifahan kepada seorang khalifah kecuali bahwa ia (Nabi atau khalifah tersebut) mempunyai dua kelompok penasehat. Satu kelompok menasehatinya untuk melakukan kebaikan dan mendorongnya untuk melakukan kebaikan tersebut, dan kelompok lain menganjurkannya untuk berbuat keburukan dan mendorongnya untuk melakukannya. Namun orang-orang yang terjaga (maksum) adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah."8



Adakah Orang yang Menyerupainya?
Quran menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia seperti halnya kita, manusia. Kesamaan antara kita dan beliau dalam arti bahwa kita dan beliau sama-sama manusia dan kedua-duanya sama-sama bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan. Akan tetapi, dalam hal keutamaan, pengetahuan, dan kedekatan kepada Allah tidak ada keserupaan antara kita dan Nabi. Allah SWT memberi beliau kemampuan dan otoritas yang tidak dianugerahkan kepada kita, makhluk biasa. Dalam hadis-hadis berikut yang tercantum dalam Shahih Bukhari, secara gamblang Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa ia tidak seperti kita, yakni bahwa sekalipun ia manusia, kita tidak membandingkan jiwa kita yang lemah dan penuh dosa dengan jiwa beliau.

Dari Anas, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Jangan melakukan al-wishal (berpuasa terus menerus tanpa membatalkan puasanya di waktu buka (magrib) atau makan sebelum fajar berikutnya)!" Orang-orang berkata kepada Nabi, "Tapi, anda sendiri mempraktikkan al-wishal?" Nabi Muhammad SAW menjawab, "Aku tidak seperti kalian, karena aku diberi makanan dan minuman (oleh Allah SWT) sepanjang malam."9

Dari Abdullah bin Umar, "Rasulullah melarang al-wishal. Para sahabat berkata (kepadanya), "Tapi, anda sendiri mempraktikkannya?" Beliau bersabda, "Aku tidak seperti kalian, karena aku diberi makanan dan minuman oleh Allah (Qala, 'Inni lastu mithlikum')."10

Dari Abu Sa'id bahwa ia telah mendengar Nabi berkata, "Janganlah berpuasa terus menerus (mempraktikkan al-wishal), dan jika kalian berniat memperpanjang puasa kalian, maka lakukanlah hanya sampai pada waktu sahur (sebelum waktu fajar berikutnya)!" Nabi berkata kepadanya, "Tapi anda mempraktikkan (al-wishal), wahai Rasulullah!" Beliau menjawab, "Aku tidak sama dengan kalian, karena selama tidurku aku memiliki Zat yang memberiku makan dan minum (Qala, 'Inni lastu ka Hay'atikum')."11

Dari Aisyah, "Rasulullah melarang al-wishal tanpa ampun kepada mereka. Mereka (para sahabat)berkata kepadanya,'Tapi andamengamalkan al-wishal?' Ia berkata, 'Aku tidak sama dengan kalian, karena Tuhanku memberiku makan dan minum (Qala, "Inni lastu ka hay'atikum")."'12

Dari Abu Hurairah, Nabi berkata dua kali, "(Wahai kalian manusia) Hatilah-hatilah! Jangan mempraktikkan al-wishal!" Orang-orang berkata kepadanya, "Tapi anda mempraktikkan al-wishal?" Nabi Muhammad SAW menjawab, "Tuhanku memberiku makan dan minum selam tidurku. Lakukanlah perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan kemampuan kalian!"13

Dari Abu Sa'id Khudri, Rasulullah SAW berkata, "Janganlah berpuasa terus menerus siang dan malam (mempraktikkan al-wishal) dan apabila seseorang dari kalian berniat untuk berpuasa terus menerus siang dan malam, ia harus meneruskannya hanya sampai waktu sahur!" Mereka berkata, "Tapi anda mempraktekkan al-wishal, wahai Rasulullah!" Nabi Muhammad SAW berkata " Aku tidak sama dengan kalian, selama aku tidur, aku memiliki Zat yang memberiku makan dan minum."14

Tampaknya dari keterangan-keterangan Sunni yang otentik ini, di antara yang lainnya, bahwa Nabi seperti kita hanya dalam arti bahwa ia manusia (yakni seperti kita, ia punya pilihan untuk berbuat benar atau salah dan mempunyai daging manusia). Selain daripada itu, tidak ada keserupaan antara keluhuran jiwanya dan jiwa-jiwa kita.



Rujukan Kemaksuman dalam Shahih at-Turmudsi
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW sendiri membenarkan dirinya dan Ahlulbaitnya sebagai orang-orang maksum. Menarik untuk diperhatikan bahwa Rasulullah SAW menggunakan ayat penyucian dari Quran untuk membuktikan kedudukannya. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah membaca ayat Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian, Ahlulbait, dan menyucikan kalian sesuci-sucinya (QS. al-Ahzab : 33) dan kemudian Rasulullah bersabda, "Dengan demikian, aku dan Ahlulbaitku bersih dari dosa-dosa."15

Silakan perhatikan kata dengan demikiari dalam bagian hadis di atas. Itu artinya Nabi sendiri termasuk dalam pengertian Ahlulbait, yakni mereka semua adalah maksum.



Menjawab Berbagai Tuduhan
Bagian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menentang argumen-argumen tentang subjek ini secara langsung dan putaran-putaran diskusi sebelumnya dan respon-respon atasnya.



Komentar lawan
Seseorang bertanya bagaimana cara kita menjelaskan ayat-ayat Quran berikut sekaitan dengan masalah kemaksuman:

Sekiranya Allah menghukum 'manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak mendahulukannya (QS an-Nahl : 61).

Komentar kami adalah sebagai berikut: pertama, "manusia" yang disebutkan dalam ayat pertama merujuk pada "orang-orang yang zalim" dan "orang-orang kafir." Perhatikan, bahwa dalam ayat sebelumnya orang-orang kafir nyata-nyata disebutkan. Ayat di atas tidak berarti bahwa setiap orang di muka bumi adalah zalim. Alih-alih ia merujuk pada fakta bahwa, tidak sebagaimana akhirat, ketika hukuman duniawi turun sebagai akibat kezaliman dari orang-orang zalim, ia (hukuman duniawi) akan menimpa semua makhluk hidup di muka bumi termasuk orang-orang baik dan orang-orang yang jahat juga binatang-binatang. Sudah barang tentu, musibah tersebut merupakan satu kerugian total dan siksaan bagi para pelaku kesalahan sementara bagi orang-orang beriman itu merupakan sebuah cobaan. Dalam ayat lain, Allah menyatakan, Dan peliharalah dirimu dari siksaan,yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaya (QS. al-Anfal : 25). Jadi, ayat 61 surah an-Nahl tidak membuktikan bahwa setiap orang adalah zalim.

Lagi pula, istilah 'zhulm' digunakan dalam Quran dengan pengertian-pengertian yang berbeda. Hanya salah satu pengertian umum dari zhulnt adalah 'perbuatan aniaya' yang berbuntut hukuman di akhirat. Sesungguhnya, para Nabi dan imam tidak berbuat aniaya (zalim) dan kita bisa dengan mudah membuktikan ini dengan Quran (lihat paragraph-paragraph belakangan). Bagaimanapun, sebelum menghadirkan argumen Qurani dan untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik dari masalah tersebut, izinkan kami untuk menukil pernyataan terkenal dari kaum Sufi yang disebutkan oleh para ulama Sunni termasuk Razi dan Baidhawi yang menyatakan, "Perbuatan baik orang-orang awam merupakan dosa bagi orang-orang yang dekat dengan Allah."

Ini artinya bagi orang-orang yang sangat dekat kepada Allah SWT seperti para Nabi, `dosa' mempunyai pengertian yang amat halus, dan pengertiannya banyak berbeda dari apa yang kita pandang sebagai dosa. Dalam tingkatan tinggi mereka, mereka memandang diri mereka sendiri berdosa ketika mereka mempertanyakan diri mereka sendiri dengan mcngatakan, "Aku seharusnya lebihbanyak berbuat kebaikan ketimbang dari apa yang telah aku lakukan sampai sekarang." Padahal mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Atau ungkapan, ' Aku tidak menyembah Allah sampai ke tingkat bahwa Dia pantas (menerima hal itu) karena keagungan-Nya." Atau "Aku pasti dekat kepada Allah." Ini merupakan bentuk-bentuk dosa bagi mereka yang banyak berbeda dengan apa yang kita pikirkan sebagai dosa. Dosa mereka hanyalah perasaan malu terhadap keagungan Allah SWT.

Menurut watak aslinya, seorang manusia utama tidak membuat keraguan dalam mengikuti jalan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam setiap langkah yang ia ambil menuju kemajuan, kebesaran dan keagungan dari kekuasaan Yang Maha Kuasa akan akan menjadi lebih jelas baginya, dan ia akan memandang masa lalunya dari tingkat tinggi. Atas apa yang ia telah lakukan kadang-kadang ia akan meminta maaf, sekalipun apa yang telah ia lakukan merupakan tugas-tugasnya. Itu disebabkan ia kini memahami kekurangannya. Ia menafsirkan ibadahnya di masa lalu sebagai dosa dan tidak melihat nilai apapun atas kerjanya ketika dihadirkan ke kedudukan tinggi Tuhan. Dengan pandangannya yang luhur, ia memandang ketundukannya ke haribaan Ilahi sebagai dosa dan bahkan sebuah tindakan yang jauh dari kesantunan.

Para Nabi dan imam yang ditunjuk Tuhan telah mencapai titik ini. Karena mereka menginsyafi keagungan Tuhan mereka dan memahami kedudukan Sang Pemberi Kehidupan, mereka menyaksikan diri mereka sendiri, aktivitas-aktivitas mereka, sujud-sujud dan tasbih-tasbih mereka sedemikian remeh sehingga mereka menafsirkan ibadah yang banyak kekayaan dan keagungan sebagai dosa, dan dengan doa dan munajat, mereka memohon ampunan dan mereka berharap akan maaf. Ketika mereka menghadapi perintah-perintah Tuhan dan memandang kedudukan tinggi Yang Mahakuasa, mereka menundukkan diri mereka pada Sang Majikan. Mereka melihat perbuatan mereka di depan Tuhan sebagai bukan apa-apa dan menganggapnya sebagai tidak cocok mendapatkan pujian. Mereka berharap ibadah itu akan diterima melalui kemurahan dan keagungan Sang Pencipta, sebaliknya ia merupakan sebuah dosa untuk mrngrahkan ibadah yang cacat seperti itu ke hadirat suci Tuhan.

Orang-orang seperti Nabi Muhammad dan Ahlulbaitnya mengetahui kedudukan Ilahi dengan pandangan yang jauh lebih lebar. Secara terus menerus di atas dua sayap pengetahuan dan tindakan, mereka maju ke posisi yang lebih tinggi dan utama. Di setiap saat, mereka menemukan lebih banyak keagungan Sang Pemberi kehidupan dunia, dan tentang kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Akibatnya pemahaman lebih baik akan perbuatan-perbuatan mereka yang kurang vis-a-vis kekuatan dan kebesaran. Untuk mengkompensasi itu, mereka mengakui dosa-dosa mereka dan memohon izin Tuhan untuk meminta maaf dengan alasan bahwa mereka tidak bisa berbuat sampai ke tingkat apa yang Allah SWT pantas terima, dan dengan harapan bahwa Dia akan membimbing mereka ke posisi yang lebih tinggi dan utama sampai mereka bisa meneruskan proses pertumbuhan mereka untuk mencapai moralitas yang luhur.

Sekarang ayat yang anda sebutkan harus dipahami dalam konteks ini. Tak seorang manusia pun bisa menyembah Allah sampai ke tingkat dimana Allah SWT pantas untuk disembah. Ini ibarat orang ingin membayar utang yang sangat besar dengan sumber yang terbatas. Dengan demikian, setiap orang berdosa dan penuh rasa malu di haribaan keagungan-Nya. Semakin dekat kepada Tuhan, engkau semakin malu atas ibadahmu yang tidak memadai di depan Tuhan.
Mari kami tunjukkan kepada anda satu bukti dari Quran bahwa kata zhulm bagi para Nabi mempunyai banyak pengertian. Allah SWT, yang memiliki kekuasaan dan keagungan, berfirman dalam Quran,

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku!" Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim." (QS. al-Baqarah : 124)

Dalam ayat di atas Allah SWT menyatakan bahwa kedudukan krpemimpinan yang ditunjuk Tuhan tidak turun kepada seorang yang zalim. Kini tidak ada perselisihan bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan dan seorang keturunan Ibrahim AS. Tidak hanya ia, namun juga Musa, Isa, Daud, Sulaiman pun merupakan keturunan-keturunan Ibrahim AS. Mereka semua ditunjuk sebagai imam oleh Allah SWT. Ini membuktikan bahwa tak satupun dari mereka adalah zalim, jika tidak, kalimat terakhir ayat 124 Surah al-Baqarah akan salah.

Karena itu, tidak ada pertentangan di antara ayat-ayat an-Nahl : 61, al-Baqarah: 124, al-Ahzab : 33, dan seterusnya, karena pertama-tama, Surah an-Nahl ayat 61 tidak menisbatkan kata zhulm kepada semua orang. Kedua, zhulm telah digunakan dalam Quran lebih dari satu makna dan bukan sekedar 'perbuatan salah' yang pantas mendapatkan azab Allah SWT di akhirat. Dosa mempunyai sebuah pengertian yang berbeda bagi orang-orang yang dekat kepada Allah SWT. Dosa-dosa mereka hanya bisa ditafsirkan sebagai perbuatan-perbuatan tidak memadai atau ibadah di hadapan Allah berkaitan dengan ibadah tidak terbatas dimana Allah SWT pantas disembah. Jenis dosa seperti ini - yang bahkan tidak bisa diamati bagi orang-orang yang baik tidak menyebabkan kemurkaan Allah SWT, atau menghantarkannya kepada azab diakhirat.

Seorang muallaf Muslim (sebelumnya Katolik) menyatakan bahwa ada sebuah riwayat mengenai perzinaan Daud di Perjanjian Lama. Para Nabi adalah manusia. Ingat, dosa masa lalu dan masa depan Muhammad diampuni. Padahal ia tidak punya dosa apapun. Nabi Muhammad SAW biasa memohon ampunan bagi dirinya. Nyatalah, itu merupakan sikap pendosa yang menyesal setelah (melakukan) sebuah tindakan dosa.

Dalam menanggapi kutipan yang merendahkan ihwal Daud as dari Injil, kami bahkan tidak menghormati pernyataan itu dari para penulis Injil dengan sebuah komentar. Orang harus tahu lebih baik ketimbang menukil sebuah kitab yang terputus-putus.

Berkenaan dengan Nabi Muhammad SAW memohon ampunan dari Allah SWT, kami baru saja menjawab beberapa baris kalimat ini sebelumnya dan membuktikannya melalui Quran dan hadis bahwa dosa para Nabi dan imani jauh berbeda dari apa yang kita bayangkan sebagai dosa (yang bias dihukum). Sebab itu, mereka tidak akan diperhitungkan. Itulah sebabnya Allah SWT mengabarkan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa 'dosa-dosa'nya di masa lalu dan masa depan diampuni.

Sekiranya Allah SWT telah mengilhamkan para Nabi dan Rasul yang berdosa untuk memimpin manusia ke jalan yang benar, itu artinya Allah SWT mengakui keberdosaan! Mengapa kemudian Dia melarangnya? Jenis permainan apa yang Allah SWT mainkan? Jenis Pencipta apakah Dia yang mengakui sesuatu sementara melarangnya pada waktu yang sama? Berhentilah dari menghina Allah SWT dengan mengklaim bahwa para Rasul dan Nabi-Nya adalah para pendosa! Takutlah pada Allah SWT wahai manusia sebelum hari (kiamat) itu datang ketika kalian akan mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan kalian! Maha Suci Yang Maha Kasih dari hinaan-hinaan yang menggelikan ini!

Seorang pembaca menyebutkan bahwa Musa as menewaskan seorang manusia dengan tinjunya. Dosa apa yang besar ketimbang membunuh seorang manusia?

Nah, Nabi Muhammad SAW dan Imam Ali membunuh banyak orang kafir demi menaati aturan-aturan Allah. Demikian pula membunuh seseorang selama pertahanan diri atau ketika membela orang-orang beriman dari seorang kafir, bukanlah sebuah kejahatan.

Lagi pula, dalam banyak hal dosa para Nabi yang disebutkan dalam Quran adalah tindakan yang telah mereka lakukan yang dipandang pelanggaran oleh para tiran di zaman mereka dan bukan oleh Allah SWT. Itu artinya, penguasa menganggap Nabi seperti itu bersalah karena suatu tindakan spesifik. Ini tidak berarti bahwa mereka bersalah di hadapan Allah SWT. Kasus Nabi Musa as membunuh seorang kafir dalam rangka membela pengikutnya termasuk dalam kategori ini. Sesungguhnya Quran membenarkan kejadian yang disebutkan di atas dengan mengatakan :

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), "Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir'aun! Mengapa mereka tidak bertakwa?" Musa berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustnkan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancer lidahku. Maka utuslah ( Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku (QS.asy-Syu'ara : 10-14).

Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam ayat terakhir, dosa pembunuhan adalah apa yang kaum Fir'aun pandang sebagai dosa dan bukan Allah SWT. Mereka menilai Musa bersalah. Karena itu, hal itu (pembunuhan) bukanlah sebuah dosa disisi Allah SWT, namun justru pelaksanaan pemerintaha.

Nabi Musa melakukan apa yang ia pandang harus dilakukan, yakni membela orang-orang beriman yang tertindas dan menentang kaum penindas. Sekalipun ia tidak berniat untuk membunuh penindas itu, hal tersebut terjadi selama pembelaan. Ini merupakan skenario setan untuk menjadikan situasi tersebut lebih sulit bagi Musa as. Dengan pembunuhan yang tidak terencana, kehidupan dipersulit bagi Musa karena itu ia harus menjauh dari Mesir. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa ia berdosa. Kadang-kadang membela kebenaran bisa memunculkan kesulitan tetapi bukan dosa. Meskipun semua kesulitan tersebut ada, pada akhirnya Allah SWT menganugrahkan kepada Musa kemenangan terhadap orang-orang kafir. Sekali lagi, Nabi Musa as bukanlah seorang yang zalim. Jika ya, hal itu bertolak belakang dengan Surah al-Baqarah ayat 124 dimana Allah SWT mengatakan bahwa kedudukan kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan tidak akan sampai pada orang-orang yang zalim.

Saudara Muslim yang lain membantah bahwa Allah SWT telah melarang kita dari menyucikan siapapun dalam ayat '.. maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci!' (QS. an-Najm : 32). Karena itu, para Nabi dan Rasul sekalipun tidak bisa dipandang suci.

Jawaban kami adalah: Ayat tersebut dikeluarkan dari konteksnya dan pada gilirannya telah mengaburkan maknanya. Mari kita telah secara cermat seluruh ayat tersebut!

(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu etika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu, maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci! Dialah yang paling mengetahui tentang orang bertakwa.(QS. an-Najm : 32)

Ayat ini berkata, "Orang-orang yang telah melakukan kesalah-kesalahan kecil semestinya tidak membenarkan diri mereka sendiri. Mereka seyogianya berhati-hati agar jangan sampai jatuh korban dari egoisme mereka dan berpura-pura bahwa mereka yang terbaik padahal hanya Allah SWT yang mengetahui apa yang sesungguhnya ada dalam hati mereka. Karena itu, ayat ini tidak berlaku bagi Nabi Muhammad SAW yang tidak punya kesalahan apapun, atau Allah SWT niscaya menunjikan ayat tersebut kepadanya sebagaimana Dia lakukan ketika berbicara kepada atau tentangnya. Dengan demikian, ayat itu bahkan tidak mendekati untuk membela sebuah argumen bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendosa.

Selain itu Allah SWT menyebutkan dalam ayat 33 Surah al-Ahzab bahwa Ahlulbait Nabi Muhammad SAW adalah suci dari dosa sesucisucinya, maka kita bisa simpulkan bahwa Allah SWT adalah Zat yang tengah membenarkan bahwa Nabi adalah suci dan itu selaras dengan ayat yang dikutipkan di atas yang menyatakan hanya Allah SWT yang mengetahui siapa yang terbaik dan paling suci. Tak perlulah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah anggota pertama Ahlulbait dan andai kata Ahlulbait itu suci, maka demikian pula halnya dengan Nabi.

Seorang pembaca menyebutkan bahwa mereka mengidentifikasi para Nabi dan Rasul melalui dosa mereka. Yakni, mereka melihat dosa para Nabi dan Rasul, dan mereka mengenali dosa-dosa mereka sendiri melalui dosa-dosa para Nabi dan Rasul.

Ungkapan di atas tidaklah beralasan. Kita tidak mengenali para Nabi melalui dosa mereka. Sebaliknya, kita mengenali mereka melalui penderitaan mereka. Ada sebuah perbedaan besar di antara keduanya; Penderitaan menuntut kesabaran dalam masa sulit dan sukar untuk bertahan melalui cobaan yang tengah berlangsung. Semua Nabi dan Rasul (semoga Allah merahmati mereka) sangatlah menderita jabatan mereka sebagai khali fah-khalifah Allah, Wujud Tertinggi.

Kita mengenali dengan itu, dan tetap sabar selama masa-masa putus asa kita. Karena itu, seorang Nabi tidaklah berdosa, namun sebaliknya menderita. Kasih sayang dari Allah SWT bukanlah sebagaimana anda nyatakan, bahwa para Nabi dan Rasul berdosa, namun sebaliknya mereka diutus untuk menyebarkan dan menyampaikan risalah Allah SWT kepada kita. Dan dalam melakukan hal tersebut, mereka bukanlah para raja ataupun pangeran-pangeran kerajaan yang tidak mampu mengenali massa yang tertindas. Sesungguhnya, lihatlah Musa as, utusan agung Allah SWT, yang seluruh hidupnya merupakan sebuah mukjizat.


8
ANTOLOGI ISLAM
Penderitaan yang Musa as alami mencuatkan arti kedamaian dalam minda para pengikutnya yang berperan untuk memperkuat mereka dalam masamasa sulit di bawah penindasan Fir'aun.

Demikian pula, Rasulullah Muhammad SAW menderita ketika dilempar batu pada kepalanya, yang menyebabkan luka yang parah pada dagunya. Dia juga menderita kelaparan, penolakan, boikot dari orang-orang kafir, sarkasme, godaan, perang, pemberontakan, ketakpercayaan dari sejumlah pengikutnya, orang-orang munafik, para pengkhianat, dan kemudian ia, setelah kemangkatannya, juga menderita lantaran pembantaian atas keluarganya. Ada sebuah hadis otentik bahwa Nabi Muhammad SAW selama masa hidupnya berkata, "Tak seorang Nabi pun yang pernah mengalami penderitaan sebagaimana yang aku alami." Indikasi di sini adalah bagaimana darah dagingnya, keluarganya yang lebih ia sayangi ketimbang jiwanya sendiri diperlakukan setelah kewafatannya, bukan untuk menyebutkan kesulitan yang ia alami selama masa hidupnya. Adalah jenis penderitaan ini yang membiarkan kita mengenali para Nabi, bukan dosa-dosa mereka!

Sekali lagi, argumen tersebut secara jelas cacat apabila kita menganalisisnya dari perspektif teladan atau 'model' par excellence yang diutus kepada umat manusia. Apabila Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah. (QS. al-Ahzab : 27)

Tuhan menghendaki kehidupan kita seharusnya berkisar di seputar 'suri teladari itu. Dari sinilah kata Sunnah kebiasaan atau tradisi Nabi berasal. Sekarang, jika model tersebut menyimpang (semoga Allah mengampuni kita), lantas bagaimana bisa kita memola diri kita di sekitar model yang menyimpang itu, maka kita tidak akan pernah mampu untuk membersihkan diri kita sendiri!

Saudara Muslim lain menyatakan, "Menjadi manusia berarti menjadi pendosa, yakni dosa merupakan suatu bagian bawaan dari kita sebagai makhluk manusia. Dia mendapatkan kecenderungan yang sangat mengganggu di antara kaum Muslimin, Syi' ah dan juga Sunni, untuk menghargai Nabi Muhammad SAW nyaris sebagai suatu spesies maksum." Pertama-tama kami ingin menanyakan hal ini kepada saudara jika mengetahui kaum Muslim percaya bahwa malaikat itu maksum, yakni mereka tidak melakukan kesalahan apapun. Jika tidak, sebagian besar kekurangan di antara banyak kekurangan, berupa validitas Quran yang disampaikan oleh Jibril yang akan dipertanyakan secara serius, dan bahwa para malaikat yang mencatat perbuatan-perbuatan malaikat bisa menulis hal-hal secara tidak benar, dan juga malaikat kematian mungkin mencabut nyawa orang yang salah alih-alih orang lain. Allah menyatakan dalam Quran :

'... malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS. at-Tahrim : 6).

Jika anda juga percaya bahwa para malaikat adalah maksum, dan jika pertanyaan anda di atas adalah benar, maka anda menganggap para malaikat itu entah sebagai tuhan atau setengah tuhan (semoga Allah menjaga kita). Karena itu, pernyataan anda di atas adalah galat. Kami baru saja memberi anda satu contoh makhluk maksum yang tak lain hanyalah makhluk Tuhan. Mereka bukanlah Tuhan, ataupun'setengah tuhan', namun maksum adanya.

Para malaikat dirancang dan bekerja laksana komputer - komputer bebas virus yang tidak bercacat. Mereka tidak bisa menentang perintah-perintah Allah SWT. Akan tetapi, para Nabi bukanlah malaikat. Mereka semua adalah manusia, namun manusia yang disucikan. Penyucian tersebut dilakukan oleh Allah SWT sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat sebelumnya yang tidak menjadikan mereka suci, melainkan itu mengangkat ke atas aras manusia biasa dipandang dari segi pencelaan dosa.

Kelebihan manusia atas malaikat adalah bahwa manusia mampu menaati Tuhan dengan baik. Dalam madah lain, Nabi telah memilih kebaikan ataukah kesalahan, namun ia senantiasa memilih kebaikan, dan, karenanya, ia maksum ketika ia memiliki pilihan. Seorang manusia bisa melakukan kesalahan, namun tidak harus. Sekiranya kita melakukan kesalahan, bukanlah karena kita harus, melainkan karena kebodohan, kejahilan, dan kurangnya kita akan ilmu, atau yang lainnya karena kita kurang kontrol terhadap hasrat-hasrat hewani kita. Mereka yang berkata bahwa manusia harus berbuat kesalahan sebagai manusia, menggeneralisasi jiwa lemah mereka kepada yang lainnya. Mereka menuruti hawa nafsu mereka, dan tidak puas melihat jika orang tidak pernah melakukan demikian.

Berdasarkan Quran, tingkatan manusia bisa menjadi lebih tinggi ketimbang para malaikat dan tentu saja bisa lebih rendah dari hewan. Quran menyatakan bahwa semua malaikat bersujud kepada Nabi Adam AS. Ini cukup untuk membuktikan bahwa derajat para Nabi lebih tinggi ketimbang para malaikat. Sesungguhnya, sebaik-baiknya manusia (dari sudut pandang takwa) merupakan sebaik-baik makhluk, dan yang paling mulia di hadapan Allah SWT. Ingatlah juga kisah mikraj dimana hanya Nabi Muhammad SAW yang bisa masuk ke tempat-tempat yang ada di surga, sementara malaikat Jibril tidak bisa terbang memasukinya. Jibril berkata kepada Nabi Muhammad SAW bahwa ia akan terbakar seandainya ia ingin pergi lebih jauh bersama Nabi.

Pihak lain menilai di sini bahwa setan bukanlah malaikat. Ia termasuk golongan jin (makhluk gaib). Saksi atas itu adalah Quran dimana ia menukil pernyataan setan yang mengatakan, Engkau telah menciptakan aku dari api.

Makhluk gaib (jin) terbuat dari api, dan karena itu, mereka bukanlah ma laikat. Jin, seperti halnya manusia, mempunyai pilihan untuk mengambil kebaikan atau kesalahan, dan akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatan-perbuatan mereka di hari kiamat.

Seorang saudara Muslim menyebutkan bahwa dalam kehidupan Nabi ada bagian agama dan ada pula bagian non-agama. Bahaya mengimani bahwa segala sesuatu yang Nabi lakukan adalah perintah Tuhan, menyebabkan kaum Muslim harus meniru Nabi Muhammad SAW sampai rincian-rincian yang paling kecil sekalipun. Jika tidak, berarti mereka tidak menaati Tuhan! Bahkan sampai kepada apa yang disukai Nabi dalam makan dan minum, dan lain sebagainya.

Tanggapan kami adalah bahwa semua perbuatan Nabi itu merupakan laku-laku ibadah. Termasuk makannya, tidurnya, dan yang lainnya merupakan ibadah, dan karena itu, tidak ada bagian non-agama dalam kehidupannya. Semua yang ia lakukan sepenuhnya selaras dengan kehendak dan perintah Allah SWT. Sesungguhnya agama tidak terbatas pada masalah kewajiban dan keharaman. Sebagian besar perbuatan Nabi termasuk pada kategori mustahab (yakni dianjurkan) atau mubah (yakni boleh-boleh saja dilakukan).

Selain itu, tak seorang pun mengatakan kita dituntut untuk meniru semua perbuatan Nabi. Jika orang makan apa yang Nabi lebih suka memakannya, itu semua benar dan tak seorang pun bisa menyalahkannya kecuali jika ia mendakwa bahwa orang harus makan apa yang hanya Nabi santap. Menaati Nabi Muhammad SAW berarti jika Nabi memerintahkan untuk melakukan sesuatu atau melarang berbuat sesuatu, maka secara agama orang dituntut untuk mengikutinya, tak peduli apakah perintah tersebut tampaknya bukan sesuatu yang bersifat agama murni (yakni suatu khayalan palsu).

Sesungguhnya, semua perintah dan larangan dari Nabi Muhammad SAW merupakan bagian agama. Sebenarnya inilah yang dimaksud dengan agama. IBlokan ijtihadnya sepenuhnya sepadan dengan kehendak Allah SWT karena Allah SWT menganugerahinya akal yang sempurna. Apapun yang masuk ke hati Nabi Muhammad SAW merupakan titah Tuhan dan dengan demikian bagian dari agama. Lupakanlah hadis yang diada-adakan mengenai pertanian. Tentang menyantap makanan; segala sesuatu adalah halal, kecuali jika Nabi melarangnya secara eksplisit ataupun implisit. Misalnya, babi telah diharamkan secara eksplisit. Demikian pula setiap produk baru kiwari yang tidak ada pada masa Nabi namun mengandung bahan-bahan yang diekstrak dari bahan-bahan haram, menjadi haram secara implisit.

Dengan begitu, seandainya Nabi Muhammad SAW tidak menyantap makanan tertentu, namun ia tidak melarangnya, kita masih bisa menyantapnya, lantaran kita mengikuti perintah umumnya bahwa segala sesuatu yang belum diharamkan adalah halal. Sama halnya apabila beliau lebih suka makanan tertentu, namun ia tidak menyebutkannya bahwa itu wajib dimakan, maka ia tidak menjadi wajib untuk dimakan. Jadi, pilihan Nabi terhadap suatu makanan tidak dipandang dengan sendirinya sebagai perintah Nabi sebagai yang anda coba artikan. Dalam agama, ada banyak perkara yang bukan wajib ataupun dilarang, dan kita memiliki pilihan untuk melakukannya ataukah tidak. Apa yang Nabi makan mungkin dianggap sebagai makanan yang disunahkan, dan bukan wajib kecuali jika ditentukan.

Sekaitan dengan ayat Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya (QS. an-Najm : 3-4), seorang saudara Muslim berkata, 'Ayat tersebut hanyalah terbatas pada Quran. Kaum musyrikin Arab menyebut Nabi sebagai majnun, dan mendiskreditkan wahyu-wahyu Qurani sebagai hasil perbuatan Nabi. Pengertian ayat-ayat di atas adalah bahwa ayat-ayat Quran yang tengah Nabi sampaikan bukan keluar dari kemauan nafsunya, melainkan sesungguhnya wahyu. Seandainya segala sesuatu yang Nabi katakan atau lakukan adalah wahyu, lantas apakah perbedaan antara Quran dan Hadis otentik?

Jawaban kami kepada saudara penanya ini adalah: Tidaklah ayatayat di atas ataupun ayat-ayat yang mengitarinya menyebutkan batasan apapun dari setiap jenisnya. Tidak ada penyebutan 'Quran dalam ayat-ayat di atas ataupun ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, dan karena itu, dakwaan anda tidak di dukung setidaknya dari Quran ayat 3 surat an-Najm itu persisnya membicarakan 'ucapan' Nabi dan bukan dengan sendirinya Quran. Sebab itu, aturan yang disebutkan dalam ayat di atas meliputi seluruh ucapannya. Kaum musyrikin Arab tidak saja mengecam Nabi karena Quran. Mereka juga mengecamnya karena pernyataan keNabiannya juga ajaran-ajaran dan gagasan-gagasannya.

Sekarang tentang perbedaan antara Quran dan Hadis; baik Quran maupun hadis sahih sama-sama dari Allah. Nabi tidaklah mengatakan sesuatupun dari kemauan nafsunya sendiri. Akan tetapi, di sini ada perbedaan antara Quran dan Hadis. Pertama, Quran terbukti dengan baik (well-proven), tetapi tidak (bisa) dipahami dengan baik (not well-understood). Kedua, hadis tidak (bisa) dibuktikan dengan baik (not well-proven), namun mudah dipahami (well-understood).
Apa yang kami maksudkan dengan `Quran terbukti dengan baik', adalah bahwa kita tidak punya keraguan apapun perihal otentisitasnya, keasliannya, dan ia bukanlah sesuatu yang diada-adakan.

Apa yang kami dengan `Quran tidak (bisa/mudah) dipahami dengan baik', adalah bahwa sebagian besar ayat-ayatnya bersifat taksa (ambiguous) dan hanya mereka yang punya pengetahuan mendalam' (yakni Nabi dan Ahlulbaitnya) yang telah menyentuh kedalaman maknanya. Demikian juga Quran hanya menyebutkan kaidah-kaidah umum. Karena alasan ini dan banyak alasan lainnya, Quran tidak bisa dipandang sebagai sumber petunjuk. Ia menuntut seorang penafsir, dan di sinilah hadis memainkan peranannya. Melalui hadis sahih kita bisa mendekati pemahaman Quran. Allah SWT berfirman dalam Quran,

Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu. Dalamnya (mengandung) ayat-ayat yang muhkamat (jelas). Itulah intisari al-Kitab dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. (QS. Ali Imran: 7)

Apa yang kami maksudkan dengan hadis tidak (bisa) dibuktikan dengan baik adalah bahwa karena secara pribadi belum pernah mengetahui Nabi (atau para penerusnya), kita tidak tahu pasti apakah hadis fulan dan fulan itu sahih ataukah tidak. Noktah penting yang mempunyai jawaban atas pertanyaan anda.

Seandainya kita semasa dengan Nabi dan telah mendengar hadis dari mulut beliau, maka hadis tersebut niscaya mengikat kita sebagaimana halnya Quran, dan kita tidak bisa memilih Quran ketimbang hadis itu, alih-alih kami akan mengatakan, bahwa hadis yang didengar secara pribadi lebih dipilih ketimbang pemahaman Quran kita yang tanpurna (imperfect) lantaran banyak ayat Quran yang sifatnya taksa (ambiguous), sementara hadis yang kita dengar dari Nabi jelas adanya. Selain itu, ada banyak kasus dimana hadis menjabarkan pengecualian aturan-aturan Quran yang umum, dan karenanya, ia mungkin tampak bertolak belakang dengan Quran.

Akan tetapi, karena secara pribadi kita belum mendengar hadis dari Nabi (atau para khalifah sejatinya), rasa-rasanya kita perlu menguji dokumentasinya (yakni rantai para perawinya yang menyampaikan hadis tersebut) dan jumlah riwayat-riwayat yang serupa dalam hal itu untuk menetapkan kekuatan penuh dari apa yang telah dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW sejumlah persyaratan dari kesahihan hadis disebutkan berikut:

Ia tidak berlawanan secara nyata dengan konsep-konsep yang tersusun baik dalam Quran; ia tidak berlawanan dengan hadis-hadis sahih lain; semua periwayat hadis dalam rantai para perawi haruslah orang yang adil dan baik, dan lain-lain. -

Namun kebanyakan kaum Sunni tidak mempertimbangkan keadilan para perawi sebagai suatu kriteria. Mereka meriwayatkan dari siapapun yang melihat Nabi Muhammad SAW dan menyatakan diri sebagai Muslim.

Saudara penanya itu kemudian bertanya lagi, jika ucapan Nabi merupakan firman Tuhan yang literal, lantas mengapa ucapan-ucapan tersebut tidak dimasukkan dalam Quran itu sendiri?

Tidak semua hadis merupakan kata-kata Tuhan yang literal. Hanya sejumlah hadis merupakan firman Tuhan secara literal seperti Hadis Qudsi. Kendati mereka bukanlah bagian dari Quran. Sejumlah hadis lain merupakan titah-titah Allah SWT yang disampaikan melalui Jibril, dan karena itu, titahtitah itu merupakan firman Allah SWT secara tak langsung. Semuanya itu mencakup tafsir-tafsir suci atas ayat-ayat Quran yang diturunkan berbarengan dengan Quran, namun bukan bagian dari Quran itu sendiri. Sebagian hadis sahih adalah keterangan-keterangan dan perintah-perintah yang Allah SWT masukkan ke dalam hati Nabi secara tak langsung. Karena itu, mereka merupakan firman Tuhan secara tak langsung. Ini termasuk ijtihadnya dan apapun yang keluar melalui mindanya.

Dengan demikian, sebagian hadis merupakan firman Tuhan langsung secara literal, dan sebagian lagi firman Tuhan tak langsung, dan karena itu, mereka semua adalah wahyu ataupun ilham, dan semuanya berasal dari Allah SWT. Nabi tidak mengatakan apapun dari dirinya. Alasan bahwa mereka (hadis-hadis) itu bukanlah bagian dari Quran, adalah karena mereka tidak dianggap! Jawaban yang lebih baiknya adalah: Quran merupakan data base yang diringkas yang menyediakan informasi untuk sepanjang zaman. Hadis bersifat lebih spesifik dan memberikan lebih banyak detil dan juga mengandung tafsiran terhadap perintah-perintah Quran yang tanpanya Quran tidak bisa dipahami dengan benar.



Kesimpulan
Kesimpulannya, kami mengulang pertanyaan tersebut: Seandainya Allah SWT telah mengilhamkan para Nabi dan Rasul yang 'berdosa' untuk memimpin manusia menuju jalan yang benar, itu berarti Allah SWT mengakui keberdosaan para Nabi dan Rasul! Lantas, mengapa Dia melarang dosa?

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya! (QS. al-Ahzab : 56)



Catatan Kaki:
1. Referensi Sunni: taksir al-Quran, Abul A'la Maududi, hal. 1005, di bawah tafsir Abasa :17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore).
2. Rujukan Syi'ah: al-Mizan, Allamah Thabathaba'i (Arab), jilid 20, hal. 222-4; al-Jawhar ats-Tsamin fi tsamin al-Kitabul Mubi"n, Sayid Abdullah Syubbar, jilid 6, hal. 363.
3. Shahih Bukhari, Arab, jilid 1, ha1.37, 44 ,171.
4. Shahih Bukhari, Arab, jilid 3, hal. 228.
5. Shahih Bukhari, Arab, jilid 7, hal. 29; jilid 4, hal. 68.
6. Shahih Bukhari, Arab, jilid 1, hal. 123; dan jilid 1, hal.'37.
7. Lihat Shahih Bukhari, Arab, jilid 7, hal. 29.
8. Shahih Bukhari, hadis 9.306.
9. Shahih Bukltari, hadis 3.182.
10. Shahih Bukhari hadis 3.183.
11. Shahih Bukhari hadis 3.184.
12. Shahih Bukhari hadis 3.185.
13. Shahih Bukhari hadis 3.187.
14. Shahih Bukhari hadis 3.188.
15. Referensi Sunni: Shahih at-Turmudzi sebagaimana dikutip dalam: al-Durr al-Mantsur, Jalaluddin Suyuthi, jilid 5, hal. 605-606, ketika mengomentari Surah al-Ahzab ayat 33; Dala 'il an-Nabawiyyah, Baihaqi; Karya-karya lain seperti Thabrani, Ibnu Mardawaih, Abu Nuaim, dan lain-lain.
16. Ilai asy-Syara'i, Syaikh Shaduq, jilid 1, ha1.,123.
17. Sebagian besar di ambil dari buku Reliance of the Traveller. (LImdat as-Salik) oleh Ahmad bin Naqib Misri (702/1302-769/13681), diterjemahkan oleh Noah Ha Mim Keller.
18. Dua kata'tat-taquh' dan'tuqatan' sebagaimana yang disebutkan dalam bahasa Qurannya, berasal dari akar kata yang sama, 'taqiyah'.
19. Abu Bakar Razi, Ahkam al-Quran, jilid 2, hal. 10.
20. Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir al-Ma'athur, jilid 2, hal. 178.
21. as-Sirah al-Halabiyyalr, jilid 3, hal. 61.
22. Jalaluddin Suyuthi dalam kitabnya, a!-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir a!Ma'athur; jilid 2, hal. 176.
23. Shahih Bukhari, jilid 7, hal. 102.
24. Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, jilid 7, hal. 81.
25. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, (versi bahasa Inggris), bab 1527, jilid 4, hal. 1373, hadis 6.303.
26. Lihatlah Shahih Muslim, jilid 4, bab 1527, hadis 1.303, hal. 1373, hanya versi bahasa Inggris Abdul Hamid Siddiqi.
27. Islam Syi'ah, Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathaba'i, diterjemahkan oleh Seyyed Hossein Nasr, hal. 223-225.
28. Ibnu Taimiyah, Minhaj, jilid 213 dan Tafsir, Ibnu Katsir.
29. _ Ibnu Khaldun, Tarikh, jliid 2, bag. II, hat. 54 (Beirut, 1971); Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 5, hal. 76-77 (Beirut, 1966); Ibnu Hisyam, Sirah, jilid 4, hal. 179 (Beirut, 1975).
30. Abu Ubaid, al-Ammal, ha1.13 (Beirut, 1981); Hakim, al-Mustadrak, jilid. 1, hal. 395 (Hiderabad, 1340 H); Ja'far Murtadha Amili, ash-Shahill fi Sirat Nabi, jilid. 3, ha1. 309 (Qum, 1983).
31. Shahih Bukhari, hadis 4.327, jilid 4, hal. 212-213 (Beirut); Abu Ubaid, al-Anzwal, hal. 12 (Beirut, 1981).
32. Shahih Bukhari, jilid 4, hal. 44.

9
ANTOLOGI ISLAM

BAB 3: IMAMAH MERUPAKAN KELEMBUTAN (LUTHF) ALLAH
Dari perspektif Syi'ah, Imamah (kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan) adalah suatu nikmat Allah SWT kepada manusia yang dengannya agama disempumakan. Allah SWT yang memiliki Kekuasaan dan Keagungan berfirman;

Pada hari ini telah Kusempumakan untuk kamu agamamu dan Kecukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah : 3).

Imamah merupakan kelembutan (luthf) yang menarik umat manusia menuju ketaatan kepada-Nya dan menjauhkan diri mereka dari kedurhakaan kepada-Nya, tanpa memaksa mereka dengan cara apapun. Ketika Allah SWT memerintahkan manusia untuk melakukan sesuatu padahal Dia mengetahui bahwa mereka tidak bisa melakukannya atau sangatlah sulit bagi mereka untuk melakukannya tanpa bantuan-Nya, maka seandainya Allah SWT tidak memberikan pertolongan-Nya, niscaya Dia menentang tujuan-Nya sendiri. Secara gamblang, pengabaian seperti ini buruk munurut akal. Karena itu, lutbf merupakan salah satu karakter Allah, dan Dia disucikan/dimuliakan dari kekurangan sifat semacam itu. Nyatanya, Quran suei menyatakan, Allah Maha lembut terhadap hamba-hamba-Nya... (QS. asy-Syura : 19).

Dan, dalam ayat-ayat lain Yang Maha Kuasa menggunakan kata Maha Lembut (luthf) dalam kitab-Nya. Lihat misalnya, al-An'am :103; Yusuf: 100; al-Hajj : 63; Luqman :16; al-Ahzab : 34; asy-Syura : 19; al-Mulk : 14, dan seterusnya.

Para utusan Tuhan diamanati tanggung jawab membawakan perintah-perintah baru dari Allah SWT kepada manusia. Mereka adalah para pemberi peringatan sebagaimana yang Quran katakan. Bagaimanapun, sebagian dari para Rasul adalah juga para imam. Para penerus utusan Allah terakhir (Muhammad) bukan para Rasul/Nabi, dan karena itu mereka tidak membawa risalah baru apapun ataupun mereka menunda setiap peraturan yang ditetapkan oleh Nabi SAW.

Mereka hanya berperan sebagai pembimbing dan penjaga agama. Misi mereka adalah untuk menjelaskan, mengelaborasi syariah (hukum Allah) kepada umat manusia. Mereka menjabarkan perkara-perkara yang membingungkan dan kejadiankejadian yang mungkin terjadi di setiap kurun. Mereka pun hanyalah orang-orang yang memiliki pengetahuan penuh akan Quran dan Sunnah dari Nabi Muhammad SAW setelahnya, dan karena itu, mereka satu-satunya orang-orang yang memiliki kualifikasi yang bisa menafsirkan ayat-ayat Quran suci dengan benar dan menguraikan pengertiannya, sebagaimana disebutkan dalam Quran itu sendiri (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya : 7).

Imamah merupakan nikmat besar dari Allah SWT, karena ketika umat manusia mempunyai seorang pemimpin saleh dan bertakwa yang memandu mereka, mereka bisa lebih dekat kepada kebajikan dam jauh dari penyimpangan dan penyelewengan dalam masalah agama. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan juga merupakan pribadi yang paling bertanggung untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat yang bisa memelihara keadilan dan memberangus penindasan.

Sudah barang tentu, manusia telah diberi kebebasan kehendak dan bisa menolak imam, namun mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu, sebagaimana halnya dalam kasus Nabi. Namun demikian, imam akan tetap sebagai bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan sebagai pemimpin spiritual bagi orang-orang yang beriman di antara manusia yang mendapatkan manfaat dari bimbingannya.



Superioritas dan Kemaksuman Imam
Umat Syi'ah percaya bahwa seperti halnya para Nabi, seorang imam yang ditunjuk Tuhan harus mengungguli masyarakat dalam semua kebajikan, seperti dalam pengetahuan, keberanian, kesalehan, dan harus mempunyai pengetahuan yang penuh akan hukum ilahi. Apabila tidak demikian, dan Allah SWT mengamanatkan kedudukan tinggi ini kepada seorang pribadi yang kurang sempurna ketika ada seorang pribadi yang lebih sempurna, maka secara rasional itu salah dan bertentangan dengan keadilan ilahi. Oleh sebab itu, tak ada orang yang lebih rendah bisa menerima Imamah dari Allah SWT ketika ada orang yang lebih unggul daripadanya.

Andaikata seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan tidak maksum, niscaya ia harus bertanggung jawab kepada kesalahan-kesalahan dan menyesatkan orang lain juga. Dalam kasus seperti itu, tak ada kepercayaan yang implisit yang bisa digantikan dalam ucapan-ucapan/perintah-perintah/perbuatan-perbuatan. Seorang imam yang ditunjuk Tuhan adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk mengatur sebagai pemimpin masyarakat, dan orang-orang diharapkan untuk mengikutinya dalam setiap masalah. Sekarang apabila ia melakukan sebuah dosa, niscaya orang-orang akan terikat mengikutinya dalam dosa itu juga, karena kebodohan mereka tentang apakah perbuatan itu termasuk dosa ataukah tidak (ingat asumsi bahwa imam adalah paling berpengetahuan dalam komunitas ini).

Situasi seperti ini tidak bisa diterima oleh kemahalembutan Allah SWT karena ketaatan dalam dosa merupakan kejahatan, tidak sah, dan terlarang. Selain itu ia akan berarti bahwa pemimpin harus ditaati dan didurhakai pada waktu yang bersamaaan, yakni ketaatan kepadanya adalah wajib namun terlarang yang secara jelas merupakan sebuah kontradiksi dan tidak terpuji.

Selain itu, sekiranya mungkin bagi seorang imam untuk berbuat dusa, merupakan suatu kewajiban bagi orang lain untuk mencegahnya dari melakukan demikian (karena setiap Muslim diwajibkan untuk mencegah orang lain dari perbuatan keharaman). Dalam kasus seperti itu, imam akan dibenci, dan alih-alih pemimpin masyarakat, ia akan menjadi para pengikut mereka, dan kepemimpinannya tidak akan ada faedahnya sejauh agama diperhatikan.

Imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa, ataupun setiap orang bisa menjaga tugas ini secara tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir dari hukumhukum agama. Allah Yang Maha Mulia berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dau taatilah Rasul dan orang-orang yang punya otoritas (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59).

Ayat ini menitahkan kepada kaum Muslim untuk menaati dua hal pertama, menaati Allah, kedua menaati Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas (ulil amri). Penyusunan kata-kata tersebut memperlihatkan bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah sewajib ketaatan kepada Rasul karena Quran menggunakan hanya satu kata kerja untuk keduanya tanpa mengulang kata kerja itu lagi. Sudah tentu, itu artinya bahwa Ulil Amri sama pentingnya dengan dengan Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT tidak akan menggabungkan mereka dalam ayat ini (waw dari athf) di bawah satu kata kerja. Menarik untuk diperhatikan bahwa Allah SWT menggunakan satu kata kerja yang terpisah bagi Diri-Nya sendiri sebelum menyebutkan Rasul dan Ulil Amri yang memperlihatkan bahwa Allah SWT mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang otoritas yang dimiliki Rasul dan Ulil Amri.

Adalah jelas juga dari ayat di atas bahwa Ulil Amri tidak terbatas pada para Rasul, jika tidak tentunya Allah SWT hanya akan mengatakan, "Taatilah Allah dan taat hanya kepada Rasul." Akan tetapi ia menambahkan Ulil Amri (orang-orang yang diberi otoritas oleh Allah). Ini merupakan salah satu tempat dimana konsep para imam dan kebutuhan akan ketaatan kepada mereka bersumber.

Dalam bahasan sebelumnya tentang kemaksuman para Nabi, kita menukil banyak ayat Quran guna membuktikan kemaksuman Nabi SAW. Segala ayat tersebut membuktikan dua noktah berikut. Pertama, otoritas Rasulullah SAW atas orang-orang beriman tidaklah terbatas dan serbamencakup. Setiap perintah yang dikeluarkan olehnya, di bawah kondisi apapun, di setiap tempat, di setiap waktu, (mesti) dipatuhi tanpa syarat. Kedua, otoritas tertinggi diberikan kepadanya karena beliau maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan dan dosa. Jika tidak, niscaya Allah Rasul Allah tidak akan memerintahkan kepada kita untuk menaatinya tanpa pertanyaan dan keraguan.

Dalam artikel tersebut, kami juga memberikan Rujukan sebuah hadis dari Shahih Bukhari yang membuktikan bahwa baik Nabi maupun para khalifah yang ditunjuk Tuhan sama-sama maksum.

Demikian pula dari ayat 59 Surah an-Nisa kita simpulkan bahwa Ulil Amri diberikan otoritas atas kaum Muslim yang sama persis dengan otoritas yang dimiliki Rasul, dan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri mempunyai kedudukan yang sama dengan ketaatan kepada Rasul.

Tentu saja ini artinya bahwa Ulil Amri mestilah maksum dan terbebas dari segala jenis kesalahan. Jika tidak, ketaatan kepada mereka niscaya tidak dibarengkan dengan ketaatan kepada Nabi dan tanpa syarat apapun. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, "Sesiapa yang mendurhakai Allah, tidak boleh ditaati," dan
"Sesungguhnya ketaatan adalah untuk Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang diberi otoritas.

Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati Rasul karena beliau adalah maksum dan suci, yang tidak akan menitahkan kepada manusia untuk memaksiati Allah SWT, dan sesungguhnya Dia memerintahkan (manusia) untuk menaati orang-orang yang diberi otoritas (Ulil Amri) lantaran mereka adalah maksum dan suci, dan tidak akan mrnyuruh manusia untuk mendurhakai Allah."1



Apakah Ulil Amri Berarti Penguasa-penguasa Muslim?
Kebanyakan saudara kita kaum Sunni cenderung menafsirkan ulil arnri minkum sebagai penguasa-penguasa di antara kita sendiri yakni penguasa-penguasa Muslim. Penafsiran ini tidak berasaskan pada penalaran logika/Qurani manapun. Ia melulu didasarkan pada putaran sejarah. Mayoritas Muslimin telah menetapkannya sebagai pembantu raja dan penguasa dalam menafsirkan dan menafsirkan ulang Islam dan Quran guna memperkukuh kerajaan mereka sendiri.

Sejarah kaum Muslim (sebagaimana halnya bangsa-bangsa lain) disarati dengan nama-nama para penguasa yang kezaliman, kejahatan, dan tirani mereka telah menodai citra Islam. Penguasa-penguasa semacam itu ada dan akan senantiasa ada. Dan kita diberitahu bahwasanya mereka adalah ulil amri yang disebutkan dalam ayat ini!

Bila saja Allah SWT benar-benar memerintahkan para raja dan penguasa seperti itu, sebuah situasi mustahil akan diciptakan bagi segenap Muslimin. Para pengikut yang jahat akan disalahkan hingga sampai pada ketidakridhaan Allah SWT, tak peduli apa yang mereka kerjakan. Jika mereka menaati para penguasa ini, mereka telah memaksiati perintah Allah SWT, Janganlah kamu ikuti orang yang berdosa (QS. al-Insan : 24). Dan apabila mereka mendurhakai penguasa-penguasa itu, sekali lagi mereka telah mendurhakai perintah Allah SWT, 'taatilah penguasa-penguasa Muslim' (jika artinya demikian). Oleh sebab itu, jika kita menerima penafsiran ini, kaum Muslim dikutuk sampai kepada kehinaan abadi entah mereka menaati ataukah mendurhakai para penguasa Muslim yang berdosa.

Demikian pula, ada pula penguasa-penguasa Muslim dari berbagai aliran dan mazhab. Mereka ini adalah Syafi'iyah, Hanbaliyah, Malikiyyah, Hanafiyyah, juga Syi'ah dan Ibadiyah. Sekarang, menurut penafsiran ini kaum Sunni berada di bawah seorang raja Ibadiyah (seperti di Yaman) yang harus menaati ajaran-ajaran Ibadiyah, dan mereka yang menetap di bawah seorang penguasa Syi'ah (seperti Iran) haruslah mengikuti keyakinan - keyakinan. Apakah orang-orang ini memiliki keyakinan keberanian untuk mengikuti tafsiran yang diakui mereka hingga akibat logisnya?

Ulama Sunni terkenal, Fakhrurrazi, menyimpulkan dalam Tafsir alfabir bahwa ayat ini membuktikan ulil amri itu pastilah maksum adanya. Ia berargumentasi bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia vmtuk menaati Ulil Amri tanpa syarat. Karena itu, mestilah Ulil Amri itu maksum. Seandainya ada kementakan (possibility) bagi mereka untuk melakukan dosa (dosa itu terlarang), itu berarti orang harus mematuhi nureka dan juga mendurhakai mereka dalam perbuatan tersebut. Dan ini, adalah hal yang mustahil. Akan tetapi, untuk merintangi para pembacanya dari Ahlulbait, Fakhrurrazi menemukan teori bahwa masyarakat Muslim secara keseluruhan adalah maksum!2

Tafsiran ini sesungguhnya terasa unik, dan tak seorang ulama Muslim Eum bersandar pada teori ini dan ia tidak berdasarkan pada hadis apapun. Sangat mengejutkan bahwa Fakhrurrazi mengakui setiap individu dari bangsa Muslim tidak maksum, namun mengklaim bahwa mereka semua adalah maksum. Bahkan seorang pelajar tingkat dasar pun mengetahui bahwa 200 ekor sapi ditambah 200 ekor sapi menjadi 400 ekor sapi dan hukan seekor kuda. Namun Fakhrurrazi mengatakan bahwa 70 juta orang lidak maksum ditambah 70 juta orang tidak maksum menjadi satu orang maksum! Apakah ia menghendaki kita untuk percaya bahwa apabila semua pasien dari rumah sakit jiwa bersatu padu, maka mereka menjadi setara dengan satu orang yang sehat jiwanya?

Nyatalah, dengan pengetahuan Qurannya yang mumpuni, ia mampu untuk menyimpulkan Ulil Amri haruslah maksum. Namun ia tidak urung untuk melihat bahwa ayat itu mengandung kata minkum (dari kalian) yang menunjukkan bahwa ulil amri haruslah menjadi bagian dari masyarakat Muslim, bukan seluruh bangsa Muslim. Selain itu, jika seluruh bangsa Muslim ditaati, lantas siapa subjek yang menaati mereka?

Selain itu, seluruh masyarakat belum pernah memiliki satu suara yang tunggal lantas, siapakah yang harus kita ikuti di antara mereka?
Demikian pula, opini mayoritas bukanlah suatu tolak ukur yang baik untuk membedakan kebatilan dari kebenaran. Tengoklah Quran, siapapun bisa melihat bahwa Quran secara tajam menyatakan mayoritas manusia dengan kerap menyebutkan bahwa 'kebanyakan tidak memahami', `kebanyakan tidak menggunakan logika mereka', 'kebanyakan mengikuti hawa nafsu mereka', karena pandangan mayoritas manusia senantiasa terhalangi karena kecenderungan mereka. (Lihat misalnya Surah al-An'arn: 116, al-Maidah : 49; Yunus: 92; al-Rum : 8)



Makna Hakiki Ulil Amri
Sekarang kita kembali pada tafsiran yang benar dari ayat di atas, yakni penafsiran ayat itu oleh Ahlulbait. Imam Ja'far Shadiq mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali, Hasan dan Husain salam atas mereka semua. Setelah mendengarkan penafsiran ini, seseorang bertanya kepada Imam, "Orang-orang bertanya, mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan keluarganya dalam kitab-Nya?"

Imam menjawab, "Katakan kepada mereka bahwa telah turun perintah salat, namun Allah tidak menyebutkan apakah tiga ataukah empat rakaat. Rasulullah-lah yang menjelaskan segala rinciannya. Dan (perintah membayar) zakat diturunkan, namun Allah tidak mengatakan bahwa ia merupakan dalam setiap empat puluh dirham adalah Rasulullah yang menjabarkannya, dan haji (berziarah ke Mekkah) diperintahkan namun Allah tidak mengatakan cara melakukan thazvaf (mengelilingi Ka'bah) tujuh kali adalah Rasulullah yang menguraikan. Demikian pula ayat yang diturunkan berikut, Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang diberi otoritas di antara kalia dan itu diturunkan sekaitan dengan Ali, Hasan dan Husain (yang merupakan para imam yang sezaman dengan Nabi)."

Adalah sangat jelas bahwa sekiranya Allah SWT menyebutkan nama Imam Ali dalam Quran secara eksplisit, niscaya orang-orang yang memikul gunung kebencian terhadapnya berusaha untuk mengubah Quran. Jadi, ini merupkan kelembutan Allah SWT dimana Dia menaati semua cabang ilmu agama dalam Quran untuk dipahami hanya oleh prosesor-prosesor dari minda pemahaman. Dengan cara ini, Allah SWT memelihara Quran secara sempurna.

Tentang penafsiran ayat 59 Surah an-Nisa dimana Allah SWT wcmerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, Khazzaz dalam Kifayat al-Atsar-Nya, mencantumkan sebuah hadis berdasarkan otoritas sahabat Nabi SAW yang tersohor, Jabir bin Abdillah Anshari. Ketika ayat tersebut (an-Nisa : 59) diturunkan, Jabir bertanya kepada Nabi SAW, "Kami tahu Allah dan Nabi, namun siapakah mereka yang diberi otoritas yang ketaatannya nlah digabungkan dengan ketaatan kepada Allah dan dirimu sendiri?" Nabi SAW berkata, "Mereka para khalifahku dan imam bagi kaum Muslim sepeninggalku. Yang pertama dari mereka adalah Ali, kemudian Hasan hin Ali, kemudian Husain bin Ali, kemudian Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin Ali yang telah disebut al-Baqir dalam Taurat (Perjanjian Iama).

Wahai Jabir! Engkau akan menemuinya. Apabila engkau menemuinya, sampaikanlah salamku kepadanya! Ia akan digantikan (kedudukannya) oleh putranya, Jafar Shadiq, kemudian Musa bin Jafar, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali. Ia akan disusul oleh putranya, yang nama dan julukannya akan berada sama dengan julukanku. Dialah Bukti Allah (hujjatullah) di muka bumi dan orang yang dibakakan oleh Allah (Baqiyatullah) untuk memelihara akar keimanan di antara manusia. Dia akan menaklukkan seluruh dunia dari timur hingga barat. Sedemikian lama ia akan menghilang dari pandangan para pengikut dan sahabatnya sehingga keyakinan akan kepemimpinannya hanya akan bersemayam di hati-hati orang-orang yang telah diuji keimanannya oleh Allah."

Jabir bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah para pengikutnya akan mendapatkan faedah dari kegaibannya?" Nabi SAW menjawab, "Benar! Demi Dia yang mengutusku dengan keNabian! Mereka akan diberi petunjuk dengan cahayanya, dan mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya wlama kegaibannya, sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari kepemimpinannya selama kagaibannya, sebagaimana manusia mendapatkan manfaat dari di balik awan.

Wahai Jabir, inilali rahasia Allah yang tersembunyi dan khazanah pengetahuan Allah. Maka jagalah ia kecuali dari orang-orang yang berhak untuk menerimanya!"

Sekarang kita mafhum siapakah'orang-orang yang diberi otoritas'. Ia merupakan bukti bahwa persoalan menaati para penguasa yang tiran dan zalim tidak muncul sama sekali. Dengan ayat di atas (dalam tafsiran Imam Ja'far tadi) kaum Muslim tidak perlu menaati para penguasa yang zalim, tiranik, jahil, egois, dan tenggelam dalam hawa nafsu. Sesungguhnya, mereka (kaum Muslim) diperintahkan untuk menaati dua belas imam yang ditentukan, yang mereka semua itu maksum dan bebas dari pemikiran dan perbuatan buruk. Menaati mereka tidak punya resiko apapun. Bahkan, ketaatan kepada mereka menjaga dari semua resiko; karena mereka tidak akan pernah memberikan sebuah perintah yang berlawanan dengan titah Allah SWT dan akan memperlakukan semua manusia dengan cinta, keadilan, dan persamaan.



Apakah Imamah Merupakan Persoalan Pewarisan?
Menurut Syi'ah, imam dipilih oleh Allah SWT. Itu bukan masalah pewarisan, karena jika demikian maka Imam Husain seharusnya tidak menjadi Imam setelah kesyahidan Imam Hasan. Imam Hasan mempunyai banyak anak dan keturunan, tak seorang pun dari mereka menjadi imam. Alih-alih, saudaranya Imam Husain, menjadi imam setelahnya. Ada juga sejumlah anak lelaki dan cucu yang menyimpang dari para imam, tak seorang pun yang menerima kedudukan Imamah. Hal ini memperlihatkan bahwa kepemimpinan bukan masalah pewarisan. Tentu saja, suatu gen suci adalah penting bagi imam, namun imam membutuhkan banyak syarat lain juga. Allah SWT merigetahui siapa yang mempunyai semua kualifikasi seperti itu. Adalah kehendak Allah SWT yang menempatkan seluruh imam dalam garis keturunan Nabi SAW. '

Sesungguhnya, jika seseorang mengkaji sejarah para Nabi Tuhan, ia akan menemukan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Allah Yang memiliki kekuasaan dan keagungan berfirman;

Dan (ingatlah) kletika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) lalu Ibrahim menunaikannya Allah berfirman "Sesungguhnya, Aku akan menjadikan Mu Imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata, "(Dan aku mohon juga) dari keturunanku ."Allah berfirman, "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah : 124}

Dalam ayat di atas, Allah SWT tidak menolak kepemimpinan dari keturunan Ibrahim, namun Dia membatasi kedudukan ini hanya pada keturunan Nabi Ibrahim as yang memenuhi syarat. Allah SWT berfirman, kepemimpinan yang ditunjuk Tuhan tidak sampai kepada orang yang zalim, sekalipun orang itu merupakan keturunan Ibrahim.

Dengan demikian, keturunan Ibrahim tidak perlu menjadikan orang itu imam karena mesti ada syarat lain selain itu. Orang-orang di antara mereka yang bukan pelaku kezaliman (bebas dari dosa) memenuhi syarat, karena mereka tidak hanya memiliki gen yang suci, namun mereka telah di peroleh kualifikasi lain melalui penderitaan. Sebagaimana Allah SWT wumpunyai pengetahuan sebelumnya ihwal kesabaran dan kualifikasi mereka, Dia mempercayakan kepada mereka posisi ini dan mengutamakan wureka di atas semua makhluk-Nya yang lain.

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahint, dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka rnasingmasing) (QS. Ali Imran: 33).

Garis nasab Muhammad kembali ke Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim as. Demikian pula Nabi Musa dan Nabi Isa kedua-duanya berasal dari Nabi Ishaq yang merupakan putra lain dari Nabi Ibrahim as. Sesungguhnya, semua Nabi setelah Ibrahim berasal dari keturunannya. Namun, kita tidak mengklain bahwa keNabian merupakan masalah pewarisan. Dialah Allah SWT yang memilih mereka satu demi satu.

Dalam madah lain, kita tidak mengatakanbahwa anak lelaki Nabi harus selalu menjadi seorang Nabi. Banyak syarat lainnya selain itu. Jika tidak, Kan'an , putra Nuh as, niscaya masih hidup. Nabi Nuh as mempunyai tiga putra lain, Aam, Sam, dan Yafas yang merupakan orang-orang beriman dan yang bersama istri - istri mereka menaiki bahtera dan akhirnya selamat. Mereka berasal dari ibu yang berbeda dibandingkan dibandingkan dengan Kan'an. Oleh karenanya, putra seorang Nabi atau seorang imam tidak mesti menjadikan orang itu Nabi atau imam atau bahkan orang yang saleh.
Ringkasnya, gen suci untuk Nabi dan imam memang penting namun tidak cukup.

Ulil amri/imam dilantik oleh Allah SWT, demikian pula halnya dengan para Nabi. Lihatlah Quran suci dimana Allah SWT berkali-kali menyatakan bahwa Dia adalah Zat yang melantik imam. (lihat al-Baqarah:124; al-Anbiya: 73; as-Sajdah: 24).

Ada dua belas imam yang dilantik oleh Allah SWT sebagai pelanjut Nabi Muhammad SAW. Ada sebuah hadis panjang dalam dokumendokumen Sunni yang menyatakan bahwa jumlah para imam setelah Nabi adalah dua belas orang. Ada dokumen-dokumen Sunni lainnya yang di dalamnya Nabi SAW bahkan menyebutkan nama masing-masing dua belas imam tersebut.

Allah SWT menunjuk dua belas imam, bukan semata-mata mereka dari rumah tangga Nabi SAW, namun karena mereka, di masa-masa mereka, yang paling berilmu, paling terkenal, paling takwa, paling saleh, paling baik dalam kebajikan personal, dan paling mulia di hadapan Allah; dan pengetahuan mereka diturunkan dari leluhur mereka (Nabi) melalui ayahayah mereka, dan juga melalui didikan langsung dari Allah SWT melalui inspirasi (ilham). Para pelanjut Nabi (selain pelanjut Nabi Muhammad) adalah para Nabi juga, dan dengan demikian mereka semua ditunjuk oleh Allah SWT. Juga Quran mengatakan bahwa sebagian Nabi itu, atas perintah Allah, menunjuk imam-imam (yang bukan para Nabi).
Izinkan kami memberikan sejumlah ayat suci Quran!

Apakah kAmu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa as, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah!" (QS. al-Baqarah: 246).

Setiap orang yang telah ditunjuk secara khusus oleh Allah SWT sebagai raja adalah seorang imam. Seorang Nabi bisa juga (berperan) seorang imam/raja namun tidak semua Nabi adalah imam. Jika seseorang menjadi Raja atau imam yang ditunjuk oleh Allah SWT, itu tidak berarti dengan sendirinya ia akan berkuasa secara fisik. Ayat Quran di atas berbicara tentang Thalut. Di bawah ini ayat Quran lainnya yang memberikan lebih banyak rincian.

Nabi mereka (1) berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Tltalut (Saul) sebagai raja(2)nue." Mereka menjawab "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup?(3)" Dia (Nabi mereka) berkata, "Sesungguhnya Allah telah memilihnya(4) menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah mernberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.(6) Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Baqarah : 247)

Bagian pertama ayat di atas (nomor 1) membuktikan bahwa nr,isyarakat mempunyai seorang Nabi dan Thalut berada di tengah-tengah mnsyarakat tersebut, sehingga Nabi mereka adalah Nabi Thalut juga. Jadi, Thalut bukanlah seorang Nabi.

Bagian bertanda nomor 2 menunjukkan bahwa Allah menunjuk I'halut sebagai imam/pemimpin/raja. Angka 3 memperlihatkan bahwa rpa yang ditunjuk Tuhan tidak dipilih berdasarkan kekayaan. Kerajaan ini pada dasarnya berwatak spiritual, dan sudah tentu, Thalut adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk memerintah secara fisik juga, namun yang terakhir ini tergantung pada pengakuan orang-orang kepada mereka sementara kedudukan sebelumnya (kepemimpinan spiritual) senantiasa ditctapkan bagi imam. Memilih imam/raja bukanlah tugas manusia, dan bagaimana bagian disarankan, Allah SWT memilih raja/imam karena Dia tahu siapakah orang yang paling memenuhi syarat untuk menduduki kedudukan luhur tersebut. Di sini raja berarti orang yang memiliki otoritas melalui Allah SWT. Ini dibuktikan oleh bagian 6 ayat di atas. Orang yang memiliki otoritas ini disarati dengan ilmu dan hikmah sebagaimana bagian 5 tegaskan.

Dalam ayat selanjutnya, kita baca,

Dan Nabi (lebih dari itu) mengatakan kepada mereka, "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang berirnan (QS. al-Baqarah : 248).

Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhamrnad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah mernberikan kitab dan hikmah Jcepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan yang besar. (QS. an-Nisa : 54).

Sekali lagi, kerajaan ini merupakan Imamah karena hanya sedikit dari keluarga Ibrahim yang memerintah secara fisik.



Bisakah Manusia Memilih Imam ?
Sunni mengklaim bahwa masalah penerus Nabi diselesaikan melalui konsep syura (musyawarah) karena Allah SWT menyatakan dalam Quran bahwa masalah mereka dipecahkan melalui syura.

Klaim bahwa isu kepemimpinan diatasi melalui musawarah tidaklah didukung. Klaim tersebut adalah kesalah pahaman pengertian musyawarah (syura). Musyawarah berbeda dari voting/pemilihan, dan karena alasan tersebut, ia tidak bisa diterapkan pada masalah kekhalifahan. Mari kami jelaskan alasannya!
Ketika seorang pemimpin hendak memutuskan suatu persoalan, berdasarkan aturan-aturan Islam, ia bisa berusaha untuk berunding dengan sekelompok pakar untuk mendapatkan pendapat mereka tentang persoalan spesifik tersebut. Namun akhirnya ia sendiri yang memutuskan.
Ia tidak melakukan pengambilan suara. Untuk membuktikan noktah kami, mari kita lihat ayat berikut!

...dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu (Nabi) telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah (QS. Ali Imran : 159).

Ayat di atas meminta musyawarah, namun Allah SWT menyatakan fa idza azamta... artinya hanya Nabi yang mengambil keputusan terakhir. Di sini tidak ada voting sama sekali. Ia hanya masalah memperoleh pendapat. Keputusan final oleh Nabi boleh jadi berbeda dari mayoritas manusia yang bermusyawarah (karena maslahat) yang disadari oleh pemimpin dan karena pemimpin itu dianggap sebagai lebih unggul dalam keilmuan, lebih pintar, dan seterusnya.

Sebagian pihak berpendapat di sini bahwa, karena pengetahuannya yang tinggi, Nabi SAW bahkan tidak perlu meminta pendapat dari kaumnya. Akan tetapi, beliau melakukannya dalam beberapa keadaan hanya demi mengajarkan kepada manusia arti penting musyawarah.

Dalam masalah musyawarah, keberadaan seorang pemimpin diasumsikan sebagai orang yang mengambil keputusan akhir. Secara gamblang ini membuktikan bahwa, dalam masalah suksesi, musyawarah tidaklah berarti (kecuali itu dilakukan oleh pemimpin sebelumnya sebelum wafatnya). Sepeninggal wafatnya seorang pemimpin, tidak ada pemimpin yang bisa melakukan musyawarah, kecuali mendiang pemimpin tersebut mempunyai seorang wakilnya (atau sebut saja wakil presiden) yang mampu menjalankan fungsi ini. Biasanya wakil yang ditunjuk tersebut adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk menduduki posisi kepemimpinan, dan sekalipun ia memutuskan orang lain untuk menjadi pemimpin, pemimpin tersebut tetap ditunjuk oleh wakil (pemimpin) yang sebelumnya ditunjuk ini, dan bukan oleh manusia!

Adapun voting merupakan persoalan yang sepenuhnya berbeda. Dalam masyarakat yang demokratis, semua orang memiliki kesempatan untuk memilih calon mereka. Prosedur semacam ini tidak punya dukungan apapun dalam Quran dan Sunnah untuk isu kepemimpinan umat Islam. Secara keseluruhan. Pasalnya, Islam didasarkan pada teokrasi (kerajaan Allah) dan bukan pada demokrasi (pemerintahan manusia atas manusia). Sesungguhnya, Quran mengecam pendapat kebanyakan manusia (lihat al-An -am: 116; al-Maidah: 49; Yunus: 92; al-Rum : 8) karena pandangan kebanyakan manusia biasanya lemah lantaran kecenderungan mereka. Pula, pemilihan umum semacam itu tidak terjadi untuk tiga khalifah pertama yang naik ke tahta kepemimpinan sepeninggalnya Nabi SAW, bahkan tidak di antara penduduk Madinah.

Juga, bagaimana sekiranya orang-orang memilih pribadi yang tak memenuhi syarat yang tampak memenuhi syarat dalam pandangan mereka, seperti seorang munafik? Bagaimana pribadi korup seperti itu menjadi Ulil Amri dan ketaatannya menjadi wajib? Tentu saja, Allah SWT dan Rasul-Nya mengetahui lebih baik yang lebih memenuhi syarat sebagai penerus Nabi SAW.



Keyakinan kepada Ulil Amri
Andaikata Quran memerintahkan kepada kita untuk menaati seseorang tanpa syarat, itu artinya kita harus meyakininya dan otoritasnya dengan sukarela (dan keridhaan). Perhatikan, bagaimanapun, orang harus membedakan antara'mempercayai bahwa kita harus menaati ulil amri' dan 'menaati ulil amri'. Jika orang percaya bahwa ia harus menaati ulil amri, namun ia kadang-kadang mendurhakai ulil amri, ia seorang pendosa dan mukmin yang lemah. Akan tetapi, jika orang tidak percaya bahwa ia harus menaati ulil amri, maka orang semacam itu seorang kafir karena ia tidak percaya pada bagian agama Allah SWT, yang secara eksplisit disebutkan dalam Quran.

Sesungguhnya baik Syi'ah maupun Sunni percaya pada ulil amri karena ia merupakan teks yang jelas dalam Quran. Akan tetapi, mereka berbeda dalam cara memilih ulil amri. Menurut Syi'ah, kepemimpinan seluruh umat Islam bukanlah suatu pilihan manusia yang bisa dipilih melalui kepanitiaan dan selanjutnya dijadikan sebagai ulil amri secara artifisial yang kepadanya Allah SWT memerintahkan manusia untuk menaati mereka.

Kami juga ingat suatu klaim dari seorang saudara Sunni yang menyebutkan bahwa ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para penguasa sepanjang mereka tidak mencampuri persoalan agama.

Untuk menjawab klaim ini, kami ingin menekankan bahwa tidak ada pembatasan apapun yang diberikan oleh Quran untuk menaati ulil amri. Sesungguhnya, dalam ayat di atas, ulil amri telah diberikan secara persis otoritas yang sama terhadap kaum Muslim sebagaimana yang dimiliki otoritas Rasul, karena baik Rasul maupun Ulil Amri telah disebutkan secara bersamaan (wau athf)di bawah satu kata 'taat', yang memperlihatkan bahwa ketaatan terhadap Ulil Amri memiliki kedudukan yang sama dengan ketaatan kepada Rasul. Karena itu, Ulil Amri pun merupakan pemimpin urusan-urusan agama. Ia adalah orang yang bisa menafsirkan secara tepat ayat-ayat Quran (lihat Ali Imran : 7 dan al-Anbiya: 7) dan orang yang paling memahami Sunnah Nabi SAW. Jadi mengklaim bahwa ulil amri semestinya tidak mencampuri urusan-urusan agama adalah hal yang menggelikan, karena ia adalah orang yang memenuhi syarat untuk melakukan hal tersebut dengan benar.



Mengapa Harus Dua Belas Imam?
Artikel ini mengacu pada pertanyaan: Dari manakah datangnya dua belas imam itu dan mengapa jumlah imam itu harus dua belas? Sesungguhnya, jawaban yang tepat terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim. Ada sejumlah kumpulan hadis Sunni lainnya yang semuanya merekam hadis otentik berikut dari Nabi SAW. Di sini, demi keringkasan, kami hanya menukil dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Musnad Ahmad bin Hanbal.

Dalam Shahih Bukhari, tercantum hadis berikut:

Diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah, "Aku mendengar Nabi SAW berkata, Akan ada dua belas pemimpin (amir).' Kemudian ia mengucapkan sebuah kalimat yang tidak kudengar. Ayahku berkata, 'Nabi SAW menambahkan, 'Mereka semua berasal dari Quraisy."6

Dalam Musnad Ahmad, tercantum hadis berikut, "Nabi SAW berkata, 'Kelak ada dua belas orang khalifah untuk masyarakat ini. Semuanya dari Quraisy"'7
Dalam Shahih Muslim, ada hadis berikut:

Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, "Nabi SAW berkata, 'Masalah (kehidupan) tidak akan berakhir, sampai berlalunya dua belas khalifah.' Kemudian beliau membisikkan sebuah kalimat. Aku bertanya kepada ayahku apa yang Nabi katakan. Ia menjawab, 'Nabi berkata, "Semuanya berasal dari Quraisy."8

Juga dari Shahih Muslim:

Nabi SAW berkata, "Urusan-urusan manusia akan terus dibimbing (dengan baik) selama mereka diatur oleh dua belas orang."9
Juga, Nabi SAW bersabda, "Islam akan terus berjaya sampai adanya dua belas khalifah."10

Juga, Nabi SAW bersabda, 'Agama Islam akan terus berlangsung sampai hari kiamat, dengan dua belas khalifah untuk kalian, mereka semua berasal dari Quraisy"'11

Juga dalam ungkapan lain, Rasulullah menggunakan kata 'imam' alih-alih 'khalifah'. Secara jelas diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata, "Para imam berasal dari Quraisy."'12

Secara jelas, hadis-hadis di atas tidak selaras dengan empat khalifah pertama semuanya karena jumlah mereka kurang dari dua belas orang. Hadis-hadis tersebut tidak bisa pula diterapkan kepada kekhalifahan Bani Umayah karena;

(a) mereka berjumlah lebih dari dua belas orang,

(b) mereka semua adalah kaum tiran dan zalim (selain Umar bin Abdul Aziz),

(c) mereka bukan berasal dari Bani Hasyim dan untuk hal itu, Nabi SAW telah bersabda dalam hadis lain bahwa 'mereka semua berasal dari Bani Hasyim.'

Hadis-hadis itu tidak bisa diberlakukan untuk kekhalifahan Bani Abbasiah lantaran;

(a) mereka berjumlah lebih dari dua belas orang,

(b) mereka menindas keturunan Nabi di mana-mana yang artinyo mereka tidak sesuai dengan ayat Quran, Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku keeuali kecintaan terhadap keluargaku (QS. asy-Syura : 23).

Ingatan kita mengenai sejarah kekhalifahan yang buruk itu menunjukkan bahwa, sekalipun dari perspektif Sunni, tidak ada khalifah yang baik sepeninggal empat khalifah pertama (menjadi 5 jika kita memasukkan Umar bin Abdul Aziz. Sebagian kaum Sunni sangat pemurah dan mereka memasukkan Imam Hasan as dan Imam Mahdi as ke dalam daftar itu juga).

Untuk menggenapkan angka dua belas, sebagian bahkan mencantumkan para tiran kesohor ke dalam daftar seperti Yazid bin Muawiyah, Marwan bin Hakam, Abdul Malik Marwan, dan Hisyam bin Abdul Malik. Alasannya adalah jelas dan sebagaimana kami nyatakan sebelumnya, itu karena kurangnya penguasa-penguasa yang beradab dan tulus dalam sejarah Islam.

Kami ingin mengingatkan anda bahwa 'khalifah' artinya penerus/ wakil. Penerus Nabi (atau khalifah sebelumnya) harus muncul segera setelah wafatnya Nabi (atau khalifah sebelumnya). Andaikata ada kesenjangan antara penerus, kata 'penerus' tidak memiliki makna apaapa. Maka para penerus harus muncul persis setelah kepergian yang lain sehingga tidak ada kesenjangan ataupun jeda. Demikian pula halnya Nabi SAW mengatakan dalam hadis-hadis di atas, dua belas khalifah itu akan terpenuhi sampai hari kiamat.

Sebagaimana yang mungkin anda mafhum, para pengikut Ahlulbait Nabi SAW merujuk pada dua belas khalifah tersebut sebagaimana halnya dua belas imam mereka yang bermula dari Imam Ali bin Abi Thalib dan berakhir dengan Imam Mahdi as, imam di zaman kita sekarang. Mereka adalah para khalifah karena Allah SWT menjadikan mereka khalifahkhalifah (mereka semua adalah wakil-wakil Allah SWT di muka humi).

Bersama lintasan waktu dan melalui kejadian - kejadian sejarah, kita ketahui hahwa melalui hadis-hadis di atas Nabi SAW memaksudkan dua belas khalifah tadi adalah dua belas imam dari Ahlulbaitnya yang merupakan keturunan Nabi SAW karena kita tidak punya kandidat lain dalam sejarah Islam yang semua kesalehannya disepakati oleh seluruh Muslimin.

Adalah menarik untuk diketahui bahwa bahkan musuh-musuh Syi'ah tidak mampu menemukan setiap kekurangan dalam keutamaankeutamaan dua belas imam Syi'ah. Lagi pula, dua belas imam ini muncul satu demi satu tanpa ada kesenjangan.

Sekarang, jelaslah bahwa satu-satunya cara untuk menafsirkan hadis-hadis yang disebutkan sebelumnya yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Tirmidzi, Hakim, dan Ahmad bin Hanbal adalah dengan menerima dan mengakui bahwa itu merujuk pada dua belas imam dari kalangan Ahlulbait Nabi SAW, karena mereka adalah -di zaman mereka masing-masing- yang paling berilmu, masyhur, paling takwa, paling saleh, terbaik dalam keutamaan-keutamaan pribadi, dan yang paling mulia di hadapan Allah SWT. Pengetahuan mereka bersumber dari leluhur mereka (Nabi) melalui ayah-ayah mereka. Inilah Ahlulbait yang kemaksumannya, ketidak bernodaannya, dan kesuciannya dibenarkan oleh Quran mulia (kalimat terakhir Surah al-Ahzab : 33).

Juga hadis-hadis Nabi yang disebutkan di atas dipandang sebagai sahih oleh kaum Sunni, membuktikan tanpa syak lagi bahwa konsep 'dua belas imam' bukanlah suatu temuan baru dari seorang Syi'ah dua belas imam! Adalah mengherankan bahwa kendatipun pengak~n Bukhari dan Muslim dan ulama-ulama Sunni tenar lainnya perihal dua belas imam, kaum Sunni selalu berhenti pada empat khalifah pertama! Lebih menarik lagi, ada juga riwayat-riwayat Sunni yang di dalamnya mengandung perkataan bahwa Rasulullah menyebutkan nama-nama dari dua belas anggota Ahlulbaitnya ini satu demi satu yang bermula dengan Imam Ali as dan berakhir dengan Imam Mahdi as (lihat YaNabi al-Mawaddah, karya Qanduzi Hanafi).

Sekarang setelah menyelisik semua hadis shahih ini yang semua Muslimin menyepakati bulat,kami ingin bertanya,berdasarkan prespektif Sunni siapakah dua belas khalifah setelah Nabi Muhammad saw? Silakan dukung penegasan anda dengan merujuk pada Quran dan atau enam buku kumpulan hadis Sunni, dan juga membenarkan perbuatan mereka dalam lintasan sejarah. Ingatlah, perintah-perintah dua khalifah Nabi ini haruslah ditaati. Karenanya, jika anda tidak mengenal dua belas pemimpin anda, bagaimana anda ingin menaati mereka? Sesungguhnya, Rasulullah SAW berkata, 'Barang siapa yang meninggal tanpa mengenali imam zamannya, matinya ia seperti orang yang mati selama masa jahiliyah (zaman sebelum Islam).'


10
ANTOLOGI ISLAM

Segelintir Fakta tentang Dua eelas Imam Ahlulbait
Imam Pertama: Pemimpin orang-orang beriman, Abu Hasan, Ali Murtadha, putra Abu Thalib. Beliau dilahirkan di dalam Kabah pada 13 Rajab, sepuluh tahun sebelum deklarasi keNabian (600 M). Ia menjadi Imam ketika Nabi SAW wafat pada 28 Shafar 11/632. Ketika melakukan salat subuh di masjid Kufah, beliau diserang dan terluka parah oleh pedang beracun Ibnu Muljam. Beliau meninggal dua hari sesudahnya pada 21 Ramadhan 40 H/661 H dan dimakamkan di Najaf.

Imam Kedua: Abu Muhammad, Hasan Mujtaba bin Ali, dilahirkan pada 15 Ramadhan 3 H/625 H di Madinah; syahid karena diracun pada 7 atau 28 Shafar 50/670 di Madinah atas perintah Muawiyah.

Imam Ketiga: Abu Abdullah Husain bin Ali, dilahirkan pada 3 Sya'ban 4 H/626 H di Madinah; syahid bersama putra-putranya (kecuali satu yang selamat), kerabat, dan para sahabatnya, pada 10 Muharram (Asyura) 61/ 680 di Karbala (Irak) atas perintah Yazid bin Muawiyah. Ia dan saudaranya, Hasan, adalah putra-putra Fathimah binti Muhammad SAW.

Imam Keempat: Abu Muhammad Ali Zainal Abidin bin Husain, dilahirkan pada 5 Sya'ban 38 H/659; syahid karena diracun pada 25 Muharram 94/712 atau 95/713 di Madinah atas perintah Hisyam bin Abdul Malik.

Imam Kelima: Abu Ja'far Muhammad Baqir bin Ali, dilahirkan pada 1 Rajab 57/677 di Madinah; syahid karena diracun oleh Ibrahim pada 7 Dzulhijjah 114 H/733 di Madinah.

Imam Keenam: Abu Abdullah Ja'far Shadiq bin Muhammad, dilahirkan pada 17 Rabiul Awwal 83 H/702 di Madinah; syahid karena diracun pada 25 Syawal 148/765 atas perintah Mansyur.

Imam Ketujuh: Abu Hasan Awal Musa Kazhim. Lahir di Abwa (tujuh mil dari Madinah) pada 7 Shafar 129 H/746; syahid karena diracun pada 25 Rajab 183 H/799 di penjara Harun Rasyid di Baghdad dan dimakamkan di Kazhimiyyah, dekat Baghdad, Irak.

Imam Kedelapan: Abu Hasan Tsani, Ali Ridha bin Musa. Lahir pada 11 Dzulqa'dah 248/765 di Madinah; syahid karena diracun pada 17 Shafar 203/818 di Masyhad (Khurasan, Iran} atas perintah Ma'mun.

Imam Kesembilan: Abu Ja'far, Tsani, Muhammad Taqi Jawad bin Ali. Lahir pada 10 Rajab 195/811 di Madinah; syahid karena diracun pada 30 Dzulqa'dah 220/835 atas perintah Mu'tashim di Baghdad. Beliau dimakamkan di dekat kakeknya di Kazhimiyyah.

Imam Kesepuluh: Abu Hasan Tsafits, Ali Naqi Hadi bin Muhammad, dilahirkan pada 5 Rajab 212/827 di Madinah; syahid karena diracun di Samauah (Irak) pada 3 Rajab 254/868 atas perintah Mutawakkil.

Imam Kesebelas: Abu Muhammad Hasan Askari bin Ali, dilahirkan pada S Rabiul Akhir 232/846 di Madinah; syahid karena diracun oleh Mu'tamid di Samauah (Irak) pada 8 Rabiul Awal 260/874.

Imam Kedua belas: Abu Qasim Muhammad Mahdi bin Hasan, dilahirkan pada 15 Sya'ban 255/869 di Samauah (Irak). Dialah imam kita sekarang dan masih hidup. Beliau mengalami kegaiban kecil pada 260 H/874 yang berlangsung hingga 329/844. Setelah itu ia memasuki kegaiban besar hingga sekarang. Ia akan muncul kembali ketika Allah SWT mengizinkannya untuk menegakkan kerajaan Allah SWT di muka bumi dan memenuhi dunia dengan keadilan dan persamaan sebagaimana ia sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan tirani. Dialah al-Qaim (orang yang akan menggerakan aturan Allah), al-Hujjah (bukti Allah atas makhluk - mahlukNya), Shahib az-Zaman (pemilik zaman kita), dan Shahib al-Anr ( orang yang didukung oleh otoritas Allah).

Ada sebuah hadis menarik dalam Shahih Bukhari juga Shahih Muslim ang mana Nabi SAW berkata sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abu Sa'id Khudri, "Nabi SAW berkata, 'Kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian, inci demi inci, sedemikian rupa sehingga sekalipun mereka
Diriwayatkan dari Abu Sa'id Khudri,

" Nabi SAW berkata, ' Kalian akan mengikuti cara - cara kaum sebelum kalian, inci demi inci, sedemikian rupa sehingga sekalipun mereka memasuki lubang seekor kadal, kalian akan mengikuti mereka.' Kami bertanya, ' Wahai Rasulullah (apakah yang Anda maksudkan) itu Yahudi dan Kristen ?' Beliau berkata " siapa lagi ?"13

Sebagaimana hadis di atas dalam Shahih Bukhari benarkan, Nabi SAW menyatakan bahwa sejarah Bani Israil akan diulang kaum Muslim. Sesungguhnya Quran telah menyebutkan sejarah Bani Israil untuk memberikan kepada kita sebuah cara untuk memahami sejarah Islam yang hakiki itu sendiri. Ada banyak kemiripan yang menarik dalam hal ini yang tercantum dalam Quran meliputi keserupaan para pemimpin dan keserupaan manusia. Kami hanya menyebutkan sebagian kecil darinya di sini.

Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Agung berkata,

Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) bBani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka dua belas orang pemimpin diantara mereka (QS. Al-Maidah : 12 )

Siapakah dua belas orang pemimpin diantara anak - anak Muhammad SAW? Allah Yang Maha Mulia berfirman :

Dan ingatlak ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu ia berfirman "Pukullah batu itu dengan tongkatmu!" Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh, setiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing - masing ). (QS.al-Baqarah : 12).

Dan kami membagi kepada mereka dua belas suku (atau) bangsa dan kami mewahyukan kepada Musa, ketika kaumnya meminta air kepadanya, "Pukullah olehmu, dengan tongkatmu, batu itu "! Maka memancarlah keluar darinya dua belas mata air. Semua suku mengetahui tempat minumnya dan kami menyebabkan awan - awan untuk menangui atas mereka dan kami turunkan kepada mereka manna dan burung puyuh. (Kami berfirman), "Makanlah yang baik - baik dari apa yang telah Kamirezekikan kepadamu "! Dan mereka (durhaka dan) tidak menganiayanya Kami, tetapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri (QS. Al-A'raf : 160).

Sesungguhnya orang - orang yang tidak mengikuti dua belas pempimpin tersebut tidaklah menganiaya melainkan diri mereka sendiri.
Ayat di atas menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad SAW dalam bentangan sejarah (setelah kewafatannya hingga hari pembalasan) terbagi ke dalam dua belas interval waktu yang bertepatan dnegan seorang imam yang ditunjuk sebagai pemimpin bagi mereka. Dalam ayat sebelumnya Allah SWT berfirman :

Dan ( ingatlah) ketika dikatakan kepada mereka (Banilsrail), "Tinggallah kalian di negeri ini dan makanlah kalian apapun dari (hasil bumi)nya di mana saja kalian inginkan!" Dan katakanlah, 'Bebaskanlah kami dari beban-beban (dosa-dosa) kami!' Dan masukilah kalian gerbang itu sambil mernbungkuk, niscaya Kami akan mengampuni dosa-dosa kalian! Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik. " (QS. al-A'raf : 161)

Atau,

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirrnan, "Masuklah ke negeri ini, dan makanlah sesukamu hasil bumi yang ada di dalamnya yang banyak lagi enak, dan masukilah pintu gerbnngnya sambil bersujud! Dan katakanlah (dengan setulus doa), 'Bebaskanlah kami dari dosa!' Niseaya Kami akan mengampuni dosa-dosamu, dan kelak Kami akan menambah (anugeralr-anugerah Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik (kepada orang lain)." (QS. al-Baqarah : 58)

Pintu yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas memiliki keserupaan yang menarik dengan salah satu sifat Imam Ali yang disebutkan oleh Nabi kita SAW sebagai berikut, 'Pintu kota ilmu.'

Rasulullah SAW bersabda, "Akulah kota pengetahuan, sedangkan Ali adalah pintunya. Maka barang siapa yang ingin memasuki kota dan hikmah, ia harus masuk dari pintunya!"15

Selain itu hadis Nabi berikut memberikan keserupaan Quran dengan dua ayat di atas. Rasulullah SAW bersabda, "Ahlulbaitku laksana pintu tobat Bani Israil. Barangsiapa masuk ke dalamnya akan diampuni."15

Allah SWT juga berfirman dalam Quran,

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan yang ada dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan larrqit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (mulia). Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di dalamnya. (QS. at-Taubah : 36)

Sekaitan dengan ayat-ayat Quran di atas, elok kiranya menyimak hadis berikut: Diriwayatkan dari Abu Bakar bahwa Rasulullah SAW berkata, "Waktu telah mengambil bentuk awalnya yang ia miliki ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri atas dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan haram.Sesungguhnya, engkau akan menemui Tuhanmu, dan Dia akan bertanya kepadamu tentang perbuatan-perbuatanmu. Ingatlah! Janganlah kamu menjadi orang kafir sepeninggalku dan saling memotong tenggorokan satu sama lain. Diwajibkan pada orang-orang yang hadir untuk menyampaikan pesan ini kepada orang-orang yang tidak hadir. Boleh jadi sebagian dari mereka yang menerima pesan ini akan memahami pesan ini lebih baik ketimbang orang-orang yang mendengarnya secara langsung." Rasulullah kemudian menambahkan ungkapan berikut dua kali, "Janganlah ragu! Belumkah aku sampaikan (risalah Allah) kepadamu?"16

Sekarang orang mungkin bertanya: Apakah dalam pesan tersebut di atas terdapat hal-hal yang tidak dipahami oleh para sahabat yang tengah mendengarkan khutbah Nabi selama haji terakhirnya di Mekkah?" Pesan Nabi SAW mempunyai dua hal. Pengertian jelasnya adalah bahwa jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas bulan dan empat antaranya, yakni Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, adalah bulan-bulan mulia (haram). Sesungguhnya, bulan-bulan ini dipercayai sebagai bulan mulia bahkan jauh-jauh hari sebelum Islam. Maka tidak ada sesuatu pun dalam pesan ini yang tidak bisa dipahami oleh pendengar.
Selain itu, fakta bulan-bulan mulia yang disebutkan di atas dalam setahun diterima oleh Yahudi dan Kristen, menjelaskannya bahwa bulan-bulan ini tidak bisa menjadi `agama yang kukuh', sebagaimana dikatakan dalam ayat tadi. Jadi, orang harus mencari pengertian yang lebih subtil.

Makna lain (sebagaimana ditafsirkan oleh Ahlulbait) adalah bahwa Nabi SAW dalam haji terakhirnya (kurang dari tiga bulan sebelum kewafatannya) ingin menyampaikan bahwa ia akan dilanjutkan oleh dua belas Imam dan orang-orang semestinya tidak menyesatkan jiwajiwa mereka dengan mendurhakai mereka dalam periode kepemimpinan mereka tersebut. Di antara dua belas ini, empat imam Ahlulbait memiliki sebuah nama suci, yakni Ali, yang diturunkan dari nama Allah SWT, yaitu Ali bin Abi Thalib Murtadha, Ali bin Husain Sajjad, Ali bin Musa Ridha, dan Ali bin Muhammad.

Dalam Sirah ibn Hisyam, ada sebuah kalimat tambahan dari Rasulullah yang sesungguhnya merupakan ayat Quran. Rasulullah SAW berkata,
"Penundaan bulan haram hanyalah suatu ekses kekufuran di mana orang-orang yang kafir tersesat. Mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah (QS. alTaubah : 37), dan mengharamkan apa yang Allah halalkan. Masa telah menyempumakan putarannya dan pada hari itulah Allah menciptakan langit dan bumi. Jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas. Empat di antaranya merupakan bulan mulia."18

Penangguhan bulan suci merupakan penundaan dalam menerima kepemimpinan mereka dan sebagai utusanAllah SWT berkata, "Mereka yang mengingkari kepemimpinan mereka akan tersesat. Mereka menghalalkan apa yang telah Allah SWT halalkan. Mereka mencoba menyesuaikan dua belas imam dengan yang tidak Allah SWT muliakan."

Fakta bahwa sebagian sekte memisahkan diri dari batang tubuh utama Syi'ah dalam sejarah adalah karena mereka hanya menerima sejumlah kecil imam-imam pertama dan menolak sisanya. Menarik untuk diketahui bahwa ia yang mengakui `empat Ali' di antara para imam, ia telah mengakui dua belas imam, karena tidak ada satu sekte pun yang mengimani empat imam ini dan menolak yang lain. Dalam sebuah hadis berdasarkan otoritas Jabir, Imam Muhammad Baqir as, imam kelima dari rangkaian para imam Ahlulbait, menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: Jabir berkata,

"Aku bertanya kepada Muhammad Baqir mengenai pengertian ayat sesungguhnya bilangan bulan ramadhan bulan di sisi Allah...(QS. at-Taubah :36). Beliau menarik napas panjang (karena sedih) dan berkata, 'Wahai Jabir! 'Tahun' itu adalah kakekku, Rasulullah SAW, dan keluarganya adalah'bulan-bulan' (dalam satu tahun itu) yakni dua belas imam. Mereka adalah... (menyebutkan satu demi satu namanama para imam). Mereka adalah bukti-bukti Allah atas makhlukNya, kepercayaan wahyu dan ilmu-Nya. Dan 'di antaranya empat haram. Itulah ketetapan agama yang lurus' adalah empat imam yang memiliki nama yang sama, yaitu Ali Amirul Mukminin, ayahku, Ali bin Husain (as-Sajjad), dan selanjutnya Ali bin Musa (ar-Ridha), dan Ali bin Muhammad (al-Hadi). Dengan demikian mengakui empat imam ini 'adalah agarna yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu' dan mengimani mereka semua (berarti) mendapatkan petunjuk."19



Komentar Lawan
Seorang saudara Sunni menyebutkan bahwa ada sebuah hadis yang menyatakan, "Kekhalifahan akan berlangsung 30 tahun setelahku, maka akan ada banyak raja." Tiga puluh tahun ini mencakup kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Nabi Thalib, juga enambulanpemerintahan Hasan bin Ali. Setelah tiga puluh tahun ini, kepemimpinan berpindah ke Muawiyah. Adapun khalifah ke 5 sampai ke 11 Allah SWT yang paling mengetahui. Sedangkan khalifah ke 12 adalah Mahdi Muntazhar.

Kutipan yang dianggap hadis di atas tampak sangat ganjil, lantaran khalifah artinya pengganti atau wakil. Pengganti Nabi (atau khalifah sebelumya) harus muncul segera setelah wafatnya Nabi (khalifah sebelumnya) tanpa jeda apapun sehingga kata 'pengganti atau`wakil' menjadi demikian berarti. Juga sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Nabi SAW menyatakan dua belas khalifah tersebut mencakup sampai hari kebangkitan.

Renungkan Surah ar-Ra'd ayat 7 di mana Allah SWT menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pemberi peringatan, dan bagi setiap kaum ada seorang pemberi petunjuk (imam)! Siapakah pemberi petunjuk setelah khalifah ke lima? Siapakah pemberi petunjuk dewasa ini? Siapakah Ulil Amri yang ketaatannya sewajib ketaatan kepada Nabi?

Siapakah orang yang disisakan Allah SWT (baqiyatullah) sebagai hujjah-Nya yang tentangnya Allah berkata, (Bukti) yang Allah sisakan (di muka bumi) adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang berimarv (QS. Hud : 86).

Ayat di atas merupakan bukti lain akan fakta bahwa ada satu orang di setiap zaman yang kepadanya Allah SWT telah sisakan di muka bumi untuk memelihara akar keimanan dan ia adalah imam zaman tersebut. Dengan demikian, kedudukan kepemimpinan yang ditunjuk oleh Allah SWT takkan pernah berhenti selama bumi masih menampung satu orang manusia sekalipun.

Selain itu, anda tetap tidak menjawab siapakah sebagian dari dua belas imam yang belum disebutkan? Anda mengklaim bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hasan sebagai lima khalifah pertama, namun anda tidak menyebutkan sisanya. Tak syak lagi khalifah seharusnya diketahui oleh para pengikutnya, jika sebaliknya seorang khalifah imajiner tidak bisa diikuti, sementara Nabi SAW telah meminta kita untuk mengikuti mereka? Jika anda tidak mengetahui para imam anda, bagaimanakah anda bisa menaati mereka? Adalah sangat penting untuk mengetahui bahwa perkataan siapa yang harus diikuti (khalifah atau imam yang mana) karena Allah SWT secara jelas memerintahkan kita dalam Quran untuk mengikuti mereka sebagai Ulil Amri, dan selain itu, Nabi SAW memerintahkan kita untuk mengikuti mereka sebagai salah satu dari dua perkara yang berat (ats-tsaqalain). Menaati mereka adalah satu-satunya jalan keselamatan sebagaimana Nabi SAW saksikan.

Sekarang katakanlah wahai saudaraku! Apa yang terjadi setelah 30 tahun para raja bermunculan? Apakah anda setuju bahwa perilaku buruk dari sebagian orang seperti Muawiyah menyebabkan skandal tersebut bagi bangsa Muslim? Apa yang salah? Anda mengklaim bahwa orang-orang ini merupakan sebaik-baiknya generasi. Lantas, bagaimana bisa mereka membiarkan diri mereka sendiri mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan turun-temurun? Adalah sangat mungkin bahwa raja-raja yang sama memalsukan hadis'30 Tahun' untuk mencegah orang-orang dari isu dua belas imam dan membenarkan perampasan mereka akan kekuasaan.

Saudara Sunni lain mengomentari bahwa di antara dua belas imam Syi'ah, hanya Imam Ali dan putranya Imam Hasan yang memerintah secara fisik, dan karena itu, bagaimana mungkin kaum Syi'ah menegaskan bahwa Nabi SAW tengah merujuk kepada orang-orang ini ketika beliau menyebutkan dua belas khalifah?

Jawabannya: Allah SWT, dengan kelembutan-Nya, telah menunjuk para Nabi dan para penggantinya untuk memberi peringatan kepada kita dan memandu kita menuju jalan yang benar. Terserah pada keputusan kita apakah kita menggunakan kearifan kita dan menerima perintah-perintah mereka ataukah tidak. Kita tidak dipaksa untuk mengikuti seorang imam' yang ditunjuk Tuhan, kendatipun kita akan dimintai pertanggungjawabannya atas keputusan yang kita ambil itu. Pilihan kitalah yang mengarahkan kita pada jalan kebenaran ataukah jalan kesesatan.

Kepemimpinan mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah sang pemimpin. Kita percaya bahwa karena Allah SWT mengetahui siapakah orang terbaik untuk kedudukan seperti itu, Dia menunjuk pemimpin bagi umat manusia, sebagaimana diisyaratkan dalam Quran (al-Baqarah:124; alAnbiya:73; as-Sajdah:24 dan seterusnya). Penunjikan Imam bisa diketahui melalui pernyataan Nabi ataupun imam sebelumnya.

Agar kepemimpinan itu memanifestasikan dirinya dalam kekuasaan, ada sisi kedua yang penting, yakni para pengikut. Semestinya ada sejumlah pengikut untuk pemimpin itu untuk membimbing mereka dan pada akhirnya mampu membangun pemerintahannya.

Allah SWT telah menyempumakan nikmat-Nya kepada kita dengan menunjuk kepemimpinan. Pada kitalah terletak kewajiban untuk melakukan sisi lainnya, yakni mengikuti kepemimpinan Nabi dan Ahlulbaitnya. Jika kita lakukan demikian, pemimpin dengan sendirinya akan memegang kekuasaan di kehidupan duniawi ini. Akan tetapi, kita mendurhakai mereka. Pemimpin tersebut tampaknya tidak punya kekuasaan untuk muncul dan ia akan tetap sebagai pemimpin spiritual bagi segelintir pengikut setianya (imam al-muttaqin, pemimpin orang-orang yang bertakwa).

Umat lslam tidak dapat memungkiri bahwa para Nabi (sebagian diri mereka adalah para imam di zaman mereka juga) ditunjuk oleh Tuhan. Sekarang, jika kita kaji kehidupan mereka, sebagian darinya telah digambarkan dalam Quran, kita saksikan bahwa mayoritas dari mereka ditindas dalam masyarakat mereka. Tengoklah kehidupan Nabi Yahya AS! Ia seorang Nabi yang ditunjuk Allah SWT dan masyarakat diharapkan menaatinya. Namun mereka tidak mendukungnya. Alih-alih, mereka menyembelihnya dan memotong kepalanya. Mungkin orang bertanya, bukankah ia seorang imam? Apakah Allah SWT gagal melindungi Nabi-Nya?

Jawabannya adalah: Allah SWT telah memberi manusia kebebasan kehendak untuk menerima atau menolak kepemimpinan yang Dia angkat. Dalam kasus Nabi Yahya, orang-orang menolaknya dan, karena itu, jelasjelas mereka akan masuk neraka karena kedurhakaan mereka. Hal yang sama berlaku pula untuk kasus Nabi Ibrahim as yang juga seorang Imam. Quran berkata,

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan tertentu), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu seorang imarn bagi seluruh manusia. " (QS. al-Baqarah : 124)

Manusia diharapkan mengikuti pemimpin yang ditunjuk Tuhan tersebut; tetapi mereka malah berdiri menentangnya. Bahkan mereka melangkah lebih jauh dengan melemparkan Ibrahim ke dalam api. Dengan demikian, ayat di atas secara gamblang memperlihatkan bahwa imam yang ditunjuk oleh Allah SWT mungkin tidak memerintah secara fisik dalam kehadirannya itu.

Karena itu, kepemimpinan mempunyai dua bagian. Allah SWT melakukan bagian-Nya karena kelembutan-Nya. Adalah pilihan kita jika kita memenuhi bagian lainnya dengan mengakui pemimpin seperti itu untuk memperoleh kesejahteraan di dunia ini dan akhirat. Dalam hal para imam kita, sekalipun mereka adalah orang-orang yang paling memenuhi syarat dalam memegang tampuk kepemimpinan dan sekalipun mereka ditunjuk oleh Allah SWT dan Nabi-Nya, mayoritas manusia mendtmhakai

mereka. Hal ini tidak mengejutkan karena sejarah umat manusia mengulang dirinya sendiri.
Karena itu, Imam Ali as adalah imam selama masa pemerintahan tiga khalifah pertama pasca wafatnya Nabi SAW, dan apa yang bisa diambil para penguasa ini darinya adalah kekuasaan dan bukan kedudukan Imamah (Imam Ali). Dalam madah lain, seorang imam yang ditunjuk Allah SWT adalah orang yang paling memenuhi syarat sebagai penguasa, meskipun konsep imamah lebih besar daripada sekadar kekuasaan. Imam adalah pembimbing bagi orang-orang yang bertakwa, memiliki pengetahuan yang sempurna akan Quran dan Sunnah Nabi, dan tempat perlindungan yang dijaga bagi perselisihan-perselisihan dalam masalah agama.

Bagaimanapun, suatu komentar atas kasus Imam Mahdi as pastilah berbeda. Dialah orang yang akan melaksanakan kekuasaannya dengan pertolongan Allah SWT ketika mengizinkannya hadir kembali. Itulah sebabnya, ia telah diberi gelar al-Qa'im, orang yang akan berdiri (sebagai khalifah Nabi).

Seorang Sunni menjawab bahwa menurut Quran Ibrahim as berkata, "Dan jadikanlah aku bagi orang yang bertakwa seorang." Dia mengatakan, kaum Syi'ah menerjemahkan Imam sebagai pemimpin dalam makna politik. Akan tetapi, adalah jelas di sini bahwa pengertian imam dalam ayat tersebut adalah pemimpin dalam arti pertama. Syi'ah menjadikannya seolah-olah ia tengah melakukan kampanye untuk posisi Namrudz atau memerintah Irak, atau sesuatu seperti itu ketika risalah Ibrahim menata jalan untuk mengenal Allah SWT dan menyembahnya yang merupakan tujuan utama dari diutusnya para Nabi.

Tanggapan kami adalah: Berkaitan dengan apakah Nabi Ibrahim diharapkan semata-mata hanya sebagai imam spiritual bagi orang-orang beriman atau seorang imam yang berkuasa di muka bumi, argumen kami adalah jelas, dan sepertinya saudara ini tidak memahaminya. Kami katakan bahwa seorang imam yang ditunjuk Tuhan seperti Ibrahim, adalah seorang imam baik orang-orang mengikutinya ataupun tidak. Jika (katakanlah mayoritas) orang-orang mengikutinya, dengan sendirinya ia akan memegang tampuk kekuasaan. Dan sekiranya orang-orang; mendurhakainya, ia akan tetap memiliki kepemimpinan spiritualnya bagi sejumlah kecil pengikut setianya (orang-orang yang bertakwa).

Saudara Sunni, apakah anda mendakwa bahwa Allah SWT memerintahkan hanya orang-orang yang bertakwa untuk mengikuti Ibrahim, dan orang lain tidak diperintahkan untuk mengikutinya? Setiap orang di zaman itu diharapkan untuk menaati Ibrahim as. Ayat 124 Surah al-Baqarah secara jelas menyebutkan bahwa Allah SWT menunjuknya sebagai imam bagi seluruh manusia, bukan pada sekelompok manusia.

Lagi pula, komentar anda di atas bahwa para Nabi tidak punya agenda politik apapun tidaklah benar. Dengan pernyataan di muka, secara tak sadar anda tengah melawan Nabi Muhammad yang berkampanye menentang kaum musyrik di Jazirah Arab dan menegakkan pemerintahan Islam yang pertama. Memang benar bahwa semua Nabi diutus untuk menggembleng manusia dan menjadikan mereka ingat akan Allah SWT. Namun ini tidak dapat sepenuhnya diterima tanpa kekuasaan politik apapun. Juga kami tidak pernah sebutkan bahwa memerintah negara sebagai tujuan pertama dari seorang pemimpin yang ditunjuk Tuhan.

Alih-alih kami katakan bahwa pemimpin tersebut adalah orang yang paling memenuhi syarat untuk posisi mulia itu. Manusia seyogianya menyadari fakta ini dan tunduk pada perintahnya. Bila mereka berbuat demikian dengan sendirinya ia akan menjadi pemimpin masyarakat itu tanpa membutuhkan'agenda'.

Seorang saudara Sunni lain menyebutkan bahwa bahkan sejumlah orang yang amat membenci Syi'ah seperti Ibnu Katsir dalam bukunya al-Bidayah wa an-Nihayah telah mengutarakan bahwa Husain dipandang sebagai salah satu dari dua belas khalifah.

Tentang hal ini, kami ingin mengulas bahwa apabila kaum Sunni ini benar-benar percaya bahwa Imam Husain as adalah salah seorang khalifah, maka mereka telah mengakui apa yang Syi'ah katakan. Yaitu, kedudukan wakil/pengganti dari Nabi tidak ditengarai dengan ia yang beroleh kendali kukuasaan. Jika tidak, Imam Husain yang tidak memerintah secara fisik tidak dapat terhitung di antara dua belas khalifah.

Juga kami sepakat bahwa Ibnu Katsir bersama Ibnu Qayyim Jauziyah membenci Syi' ah, dan sangat mungkin mereka menimba kebencian mereka dari guru mereka; Ibnu Taimiyah.



Catatan Kaki
1. Lihat artikel tentang Ghadir Khum pada buku ini yang menyediakan daftar mufasir Sunni yang membenarkan turunnya ayat di atas di Ghadir Khum sepeninggal Nabi saw menyatakan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kaum beriman. Tafsir al-Kabir, Fakhruddin Muhammad bin Umar Razi, jilid 10, hal. 144.
2. Kifayat al-Atsnr, Khazzaz, ha1.53.
3. Misalnya, Shahih Bukhari, Arab-Inggris, jilid 9, haj. 250, hadis 3.29; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV, jilid 3, ha1.1009, hadis 4477, 4478; Shahih at-Turmudzi, jilid 4, ha1. 501; Sunan Abu Daud, jilid 2, hal. 421 (tiga hadis); Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 106.
4. Lihat, Yanabi al-Mawaddah, Qanduzi Hanafi.
5. Shahih Bukhari, hadis 9.329.
6. Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 106.
7. Referensi Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imarah, 1980, edisi Arab Saudi, jilid 3, hal. 1452, hadis 5; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV (Orang-orang tunduk kepada Quraisy dan Kekhalifahan adalah Hak Quraisy), jilid 3, hal. 1009, hadis 4.477.
8. Rujukan Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imaran, 1980, edisi Arab Saudi, jilid 3, hal. 1453, hadis 6; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV (Orang-orang tunduk kepada Quraisy dan Kekhalifahan adalah Hak Quraisy), jilid 3, hal. 1010, hadis 4.478.
9. Referensi Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imarah, 1980 edisi Arab Saudi, jilid 3, ha1.1453, hadis 7; Shahih Muslim, Inggris, bab DCCLIV (Orang-orang tunduk kepada Quraisy dan Kekhalifahan adalah Hak Quraisy), jilid 3, ha1.1.010, hadis 4.480.
10. Rujukan Sunni: Shahih Muslim, Arab, Kitab al-Imarah, 1980, Edisi Arab Saudi, jilid 3, ha1.1453, hadis 10; Shahih Muslim, versi Inggris, bab DCCL1V(berjudul:Orang-orang yang tunduk kepada Qurais dan kekhalifahan adalah Hak ( Quraisy) jilid 3 hal 1010 hadis 4.483 Rujukan Sunni lain dalam hadis serupa: Shahih at-Turmuzzi, jilid 4, ha1.507; Sunan Abu Daud, jilid 2, hal. 421 (tiga hadis); dan yang lainnya seperti Tialasi, Ibnu Atsir, dan lain-lain.
11. Rujukan Sunni: al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, ha1.149; Musnad ahmad ibn Hanbal; Shahih, Nasa'i, dari Anas bin Malik; Sunan, Baihaqi; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, karya Ibnu Hajar Haitsami, bab 17, pasal 2, hal. 287.
12. Shahih Bukhari, hadis 9.422
13. Referensi Sunni: Shahih at-Tururmudzi, jilid 5, hal. 207, 637; al-Mustardak, Hakim, jilid 3, hal. 126-127, 226; Fadha'il ash-Shahalah, Ahmad bin Hanbal, jilid 2, ha1. 635, hadis lOSl dan banyak lagi.
14. Referensi Sunni: Majma' ul Zawa id, Haitsami, jilid 9, hal. 165; alAwsath, Thabrani, hadis 18; Arha'in, Nabhani, hal. 216. Sebuah hadis yang serupa yang diriwayatkan Daruquthni dan ibnu Hajar Haitsami dalam ash-Shawa'iq al-Muhriqah, bab 9, pasal 2, hal. 193, dimana Nabi saw berkata, "Ali adalah pintu taubat, barangsiapa yang masuk ke dalamnya, ia seorang mukmin dan barangsiapa yang keluar darinya adalah seorang kafir."
15. Shahih Buklrari, hadis 5.688.
16. Shahih Bukhari, hadis 2.798.
17. Referensi Sunni: Sirnh ibn Hisyam di akhir bab Haji Wada, hal. 968; The Life of Muhammad (terjemahan dari Sirah ibn Hisyam), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh A. Guillaume, edisi 1955, London, hal. 651.
18. Referensi Syi'ah: Kitab al-Gaibah, Syaikh Thusi.
19. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir, Fakhruddin Muhammad bin Umar Razi, diterbitkan di Mesir (1357/1938), di bawah tafsir Surah asy-Syura ayat 23, bagian 27, hal. 165-166; Tafsir al-Kasysyaf, Zamakhsyari; Tafsir al-Kabir, Tsa'labi.

11
ANTOLOGI ISLAM

BAB 4: IMAMAH VERSUS KENABIAN
Kaum Syi'ah meyakini bahwa derajat Imamah (kedudukan pemimpin yang dipilih Allah SWT) lebih tinggi daripada keNabian atau keRasulan. Perhatikanlah bahwa di sini kami membandingkan derajat kedudukan dan bukan derajat seseorang. Dengan demikian dua orang imam pilihan Allah SWT yang keduanya memiliki posisi yang mungkin sama di mata Allah SWT, mempunyai derajat yang berbeda. Contohnya, di samping dua belas Imam Ahlulbait, Imam Ali bin Abi Thalib as adalah yang paling saleh. Demikian juga, Nabi Muhammad SAW lebih saleh daripada Imam Ali as meskipun keduanya dipilih Allah SWT sebagai pemimpin.

Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW derajatnya lebih tinggi di antara umat manusia, dan makhluk Allah yang paling saleh, paling dihormati di hadapan Allah SWT. Keyakinan di atas tidak meruntuhkan kedudukannya karena Nabi Muhammad SAW adalah seorang Imam pada zamannya juga.
Namun, membandingkan 'tugas' Nabi Muhammad SAW dan Imam bagaikan membandingkan apel dan jeruk atau seperti membandingkan tugas seorang dokter dan ahli teknik. Imamah dan keNabian sangat berbeda fungsinya meskipun keduanya dapat ada pada diri seseorang seperti pada Nabi Muhammad SAW atau Nabi Ibrahim as.



Bukti dari Quran
Orang-orang yang mengenal Quran hingga tahap tertentu, mengetahui bahwa keyakinan ini bukan sesuatu yang aneh. Sebenarnya Quran memberikan bukti bahwa kedudukan imamah lebih tinggi dari pada kedudukan keNabian atau keRasulan. Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung berfirman,
Dan takala Ibrahim diuji oleh tuhannya dengan beberapa perintah, ia melaksanakannya. Kemudian Ia berkata, "Dengarlah! Aku menunjukmu sebagai pernimpin bagi umat manusia." (QS. al-Baqarah : 124)

Seperti yang kita lihat, Nabi Ibrahim as diuji oleh Allah SWT selama masa keNabiannya dan ketika ia berhasil melalui ujian itu (ujian dalam hidupnya, meninggalkan istrinya, mengorbankan putranya), ia dianugrahi oleh Allah SWT kedudukan imamah. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan imamah lebih tinggi daripada keNabian yang diberikan kepadanya setelah ia memperoleh kemampuan lebih lainnya. Derajat selalu diberikan dengan tingkatan yang terus meningkat. Kita tidak pernah melihat ada seseorang yang mendapatkan gelar doktoral lalu mendapatkan gelar diploma. Dalam aturan Allah SWT, tiada kekacauan seperti itu. Derajat pertama Nabi Ibrahim as adalah menjadi hamba Allah (abdi), kemudian menjadi Nabi, lalu menjadi Rasul, setelah itu menjadi Khalil, dan terakhir menjadi Imam. Ayat di atas, membuktikan bahwa Allah SWT mengangkat Imam dan pengangkatan Imam bukan urusan manusia.

Berikut ini penafsiran dari kaum Sunni, Yusuf Ali, mengenai ayat di atas (QS. al-Baqarah : 124), berkomentar,

"Kalimat yang secara literal berarti 'kata-kata', digunakan dalam makna yang mistis, makna yang hanya diketahui Allah tujuan, kehendak dan ketentuannya. Ayat ini merupakan ringkasan dari ayat-ayat berikutnya. Nabi Ibrahim melaksanakan semua perintah Allah, yaitu mensucikan rumah Allah (baitullah), membangun tempat perlindungan yang suci, Kabah, dan menyerahkan segala kehendaknya kepada kehendak Allah. Ia dijanjikan diberi jabatan sebagai pemimpin bagi dunia. Ia bermohon untuk anak keturunannya dan doanya dikabulkan dengan kekecualian bahwa apabila keturunannya menyimpang dari ajaran Allah, Allah berjanji tidak akan meridhai orang yang terbukti salah."

Seperti yang kita lihat, Quran dengan jelas membenarkan pandangan Syi'ah dalam hal ini. Tetapi, karena Nabi Ibrahim, Muhammad dan beberapa Nabi lainnya adalah juga Imam, keyakinan ini (Imamah lebih tinggi daripada keNabian) tidak meruntuhkan derajat mereka.

Imam berarti seseorang yang diangkat oleh Allah SWT sebagai pemimpin atau penunjuk (lihat al-Anbiya:73; as-Sajdah:24). Orang-orang harus taat dan mengikuti mereka. Para Rasul adalah pembawa berita dan imam adalah pemberi petunjuk (QS. al-Ra'd:7). Imam adalah cahaya petunjuk (QS. al-An'am: 97).

Muhammad SAW adalah seorang Nabi, Rasul dan seorang Imam. Setelah ia wafat, pintu keNabian dan keRasulan tertutup selamanya. Tetapi pintu imamah (kepemimpinan) masih terbuka karena ia memiliki penerus (khalifah, wakil), artinya seseorang yang melanjutkan kedudukan orang sebelumnya. Jelaslah bahwa pelanjut Nabi Muhammad SAW tidak memiliki derajat keNabian atau keRasulan. Kedudukan mereka hanyalah sebagai imam (pemimpin). Dan jumlah imam ini ada dua belas sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad sendiri. Perhatikan juga bahwa Quran dengan jelas menyatakan bahwa imam dan khalifah ditunjuk oleh Allah SWT dan penunjikannya bukan urusan manusia! Untuk membuktikan penunjikan imam oleh Allah SWT. Lihatlah ayat Quran berikut! Shad:20 tentang Nabi Daud, al-Baqarah:124 tentang Nabi Ibrahim, al-Baqarah:30 tentang Nabi Adam, al-A~raf 142, Thaha:29-36 dan al-Furqan:35 tentang Nabi Harun.

Seorang Wahabi mengartikan bahwa kaum Syi'ah bukanlah orang Islam karena mereka meyakini bahwa imamah lebih tinggi daripada keRasulan, tetapi ia tidak memberikan bukti dari Quran atau hadis yang sahih yang menyatakan sebaliknya. Tetapi kami telah memberikan bukti dari Quran dan dengan demikian penilaian kami lebih baik daripada penilaian mereka, apakah anda seorang Islam atau bukan.

Mengenai malaikat, seluruh umat Islam sepakat bahwa tingkatan Nabi lebih tinggi daripada para malaikat. Quran menyatakan bahwa semua malaikat bersujud di hadapan Nabi Adam. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa derajat Nabi lebih tinggi daripada derajat malaikat. Dan berdasarkan kesimpulan sebelumnya bahwa kedudukan imamah lebih tinggi daripada keNabian, maka derajat imam lebih tinggi daripada derajat malaikat juga.



Bukti dari Koleksi Hadis Sahih Sunni
Kaum Syi'ah lebih jauh meyakini bahwa dua belas Imam dari Keluarga Nabi Muhammad SAW memiliki derajat yang lebih tinggi daripada semua Rasul kecuali Nabi Muhammad SAW. dengan kata lain, kedudukan pelanjut bahtera Nabi Muhammad SAW lebih tinggi dari pada penerus semua Nabi sebelumnya. Perhatikanlah bahwa penerus Nabi - Nabi sebelumnya adalah para Nabi ! Berikut ini referensi dari Hadis Sunni bahwa Imam Ali bin Abi Thalib memiliki kebajikan yang sangat tinggi dari pada para Nabi sebelumnya.

Nabi Muhammad SAW berkata :

jikalau engkau ingin melihat keteguhan dalam diri Nabi Nuh, ilmu pengetahuan Nabi Adam, kemurahan Nabi Ibrahim, kecerdasan Nabi Musa dan ketaatan Nabi Isa, lihatlah Ali bin Abi Thalib !"1




Cahaya Nabi Muhammad SAW dan Ali mendahului penciptaan Nabi Adam
Salman Farisi meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata,

"Aku dan Ali berasal dari cahaya yang sama di dalam genggaman Allah empat belas ribu tahun sebelum Ia menciptakan Adam. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia membagi cahaya itu menjadi dua bagian, satunya adalah cahayaku dan satunya adalah cahaya Ali"2

Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa derajat Nabi Muhammad SAW dan Imam Ali lebih tinggi daripada seluruh manusia yang diciptakan Allah SWT.




Tidak ada orang yang dapat melintasi Jembatan Shirath kecuali dengan izin Ali
Anas bin Malik meriwayatkan, "Ketika kematian Abu Bakar semakin dekat, Abu Bakar berkata bahwa ia mendengar Rasulullah berkata,
'Sebuah rintangan menghadang di jembatan Sirath all-Mustaqim. Tidak ada seorangpun yang dapat melintasinya kecuali dengan izin Alibin Abi Thalib.' Aku mendengar Rasulullah berkata, 'Aku adalah penghulu para Nabi dan Ali adalah penghulu para Pemimpin."3

Imam Ali meriwayatkan, "Nabi Muhammad SAW berkata bahwa ketika Allah SWT mengumpulkan orang-orang yang pertama dan yang terakhir masuk surga, sebuah jalan dibentangkan menjembatani neraka. Tidak seorangpun dapat melintasinya kecuali memiliki bukti yang kuat berpemimpin (wilayah) kepada Ali bin Abi Thalib."4




Ali adalah orang yang menjadi pemisah antara orang-orang yang masuk surga dan orang-orang yang masuk neraka
Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ali,
"Engkau adalah orang yang memisahkan orang-orang yang akan masuk ke surga dan orang-orang yang akan masuk ke neraka pada Hari Kiamat. Engkau akan berkata kepada neraka, "Orang ini untukku dan yang itu untukmu."
Ali berkata, "Aku adalah pemisah orang-orang yang masuk neraka."6

Nabi Muhammad SAW pernah berkata Ali, "Engkau adalah pemisah orang-orang yang masuk neraka."7

Dan berikut ini sebuah catatan dari Syafi'i, salah satu imam fikih dari mazhab Sunni :

Ali akan memeriksa umat manusia dan memisahkan apakah mereka masuk surga atau masuk neraka. Ali, orang yang wngat meyakini Nabi Muhammad, adalah pemimpin golongan manusia dan golongan jin. Sekiranya para pengikut Ali adalah Rafidhi sesungguhnya aku termasuk ke dalam golongan itu. Pada saat itu Ali merobek simbol Kabah dan menginjaknya di mana Allah telah meletakkan lengannya pada 'malam Mikraj'. Sesungguhnya pada ke dua mata Ali terpancar cahaya Allah.

Umar bin Khatab berkata mengenai kebajikan Imam Ali, "Apabila seluruh planet dan tujuh lapis langit diletakkan pada sebuah sisi timbangan dan keimanan Ali pada sisi yang lain, sisi timbangan Ali akan memberati."8




Ali adalah orang yang paling baik setelah Nabi Muhammad SAW
Jabir meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, "Ali adalah umat yang paling baik setelahku, dan barangsiapa yang meragukannya, ia adalah orang kafir."9

Abu Dzar yang mengutip dari Abdullah yang mengutip dari Ali bahwa bahwa Nabi Muhammad berkata, "Barangsiapa yang tidak mengtakan bahwa Ali adalah orang terbaik dalam umatku, ia adalah orang kafir."10

Barida juga meriwayatkan, "Nabi Muhammad SAW berkata kepada Fathimah, 'Aku menikahkanmu kepada orang yang paling terbaik dalam umatku, orang yang paling berpengetahuan, sabar dan orang pertama yang masuk Islam di antara mereka."11



Imam Mahdi
Sekarang mari kita lihat periode kedatangan Imam Mahdi, Imam terakhir dari keluarga Nabi Muhammad SAW, di masa yang akan datang.
Kaum Sunni telah meriwayatkan dalam kitab-kitab sahih mereka bahwa ketika Imam Mahdi datang, Nabi Isa as akan turun dan shalat di belakangnya. Hal ini menunjukkan bahwa derajat Imam Mahdi lebih tinggi daripada Nabi Isa yang merupakan salah satu Rasul utama Allah.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Jabir Abdillah Anshari berkata bahwa ia mendengar Nabi Muhammad bersabda :

"Sekelompok dari umatku akan berperang demi kebenaran hingga Hari Kiamat mendekat. Saat itu Nabi Isa putra Maryam akan turun dan pemimpin saat itu akan memintanya untuk memimpin shalat tetapi Nabi Isa menolak. Ia mengatakan, "Sesun~guhnya, Allah telah mengangkat di antara kalian pemimpin bagi yang lainnya dan Ia mencurahkan anugrah kepada mereka."12

Ibnu Abu Shaibah, seorang ahli hadis Sunni lainnya, guru dari Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan banyak hadis mengenai Imam Mahdi. Ia juga meriwayatkan bahwa Imam umat Islam yang akan memimpin shalat Nabi Isa adalah Imam Mahdi.
Jalaluddin Suyuthi menyebutkan,

"Aku telah mendengar beberapa umat yang menyangkal kebenaran yang telah disampaikan tentang Nabi Isa yang ketika datang, ia akan shalat di belakang Imam Mahdi. Mereka mengatakan bahwa Nabi Isa lebih tinggi kedudukannya untuk memimpin shalat daripada seseorang yang bukan Nabi. Ini merupakan pendapat yang aneh karena persoalan tentang Nabi Isa yang akan diimami oleh Imam Mahdi telah dibuktikan secara kuat melalui oleh banyak hadis sahih dari Rasulullah yang paling benar."13

Selanjutnya Suyuthi meriwayatkan hadis mengenai hal ini. Hafizh dan Ibnu Hajar Asqalani menyebutkan bahwa Imam Mahdi berasal dari umat ini, dan Nabi Isa akan turun dan shalat di belakangnya.14

Hadis ini pun disebutkan oleh ulama lain. Ibnu Hajar Haitsami menuliskan,

"Ahlulbait bagaikan cahaya-cahaya yang menunjuki kami pada jalan yang benar dan apabila cahaya itu disembunyikan kita akan berhadapan dengan tanda kekuasaan Allah yang dijanjikan (Hari Kiamat). Ini akan terjadi ketika Imam Mahdi datang, seperti yang disebutkan dalam hadis dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya, Dajjal akan dihancurkan dan tanda-tanda kebesaran Allah akan bermunculan susul menyusul."15

Semuanya dengan jelas menunjukkan bahwa derajat Imam mahdi as lebih tinggi daripada Nabi Isa as yang merupakan salah satu dari lima Rasul utama Allah.



Apakah Para Imam Mendapafkan Ilham?
Tidak ada keraguan ketika ayat ini turun, Hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan telah aku cukupkan karuniaku kepada kalian, dan aku ridhai Islam menjadi agamamu" ( QS. al-Maidah : 3 ), agama telah sempurna. Allah SWT menurunkan Quran juga syariat hanya kepada Nabi Muhammad SAW, dan tidak ada wahyu seperti itu yang diturunkan kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Apabila Imam Ali diberi ilham, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan firman Allah SWT: Ilham yang diberikan kepadanya merupakan hal yang telah dan akan terjadi.

Allah SWT memiliki banyak cara untuk memberi tahu sesuatu kepada hamba-hamba-Nya. Salah satunya adalah dengan wahyu (wahy). Cara lain adalah dengan membisiki (memberi ilham). Dengan cara memberi ilham ini, Allah memasukkan ilmu pengetahuan ke dalam hati hamba-Nya. Hal ini diyakini oleh semua mazhab Islam.

Tetapi apakah anda berpikir bahwa wahyu hanya diperuntukkan bagi Nabi dan Rasul? Apabila demikian anda telah bertentangan dengan Quran karena ibunda Nabi Musa as bukanlah seorang Nabi ataupun Rasul. Bukankah demikian? Allah SWT mewahyukan untuk meletakkan putranya pada sebuah keranjang di sungai ~agar tentara-tentara Fir'aun membawanya ke istana.

Dan Kami memberi wahyu kepada ibunda Musa. Susuilah (bayi itu) tetapi apabila engkau telah merasa takut, lemparkanlah ia ke sungai dan janganlah engkau takut bahwa engkau akan berduka cita karena Kami akan menjaganya untukmu dan Kami akan mengangkatnya menjadi salah satu utusan Kami (QS. al-Qashash : 7).

Perhatikanlah bahwa secara langsung Quran menggunakan kata "wahy" (wahyu). Di sini, Yusuf Ali telah menerjemahkan kata'wahy dengan artian ilham. Tetapi Quran menggunakan kata 'wahy' (wahyu), dan bukan bisikan (ilham). Wahyu dan ilham merupakan dua hal yang berbeda.

Bagaimanapun, satu hal yang jelas adalah bahwa wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi atau Rasul tidak memiliki sangkut paut dengan syariat. Wahyu tersebut tidak berkaitan dengan ajaran agama dan lain-lain. Wahyu tersebut lebih merupakan perintah untuk memilih ketika sedang dalam kebingungan dan atau memberitahukan apa yang telah dan akan terjadi.

Kita dapat menyimpulkan bahwa wahyu memiliki berbagai jenis. Hanya wahyu yang diberikan kepada Nabi dan Rasul saja yang berhubungan dengan ajaran agama dan praktik-praktiknya yang baru, sedangkan wahyu lainnya tidak.

Catatan: Quran juga menggunakan kata wahy kepada selain manusia, tetapi hal itu bukan pembahasan kami. Dalam buku ini kami menitikberatkan pada jenis wahyu lain untuk manusia saja.



Apakah Para Imam bertemu dengan Malaikat?
Menurut Quran, berkomunikasi dengan malaikat bukan sesuatu yang khusus bagi para Nabi dan Rasul. Allah SWT menyebutkan dalam Quran bahwa Maryam (ibunda Nabi Isa) berkomunikasi dengan malaikat, dan malaikat berbicara dengan Nabi Isa. Lihatlah Quran mengenai percakapan ibunda Maryam dan para malaikat!

Ingatlah ketika para malaikat berkata, "Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah menggembirakan kamu dengan Kalimat daripada-Nya, namanya al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia ini dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah). "(QS. Ali Imran : 45)

Ada sebuah percakapan yang lengkap antara Maryam dan malaikat. Lihatlah beberapa ayat sebelum dan sesudahnya dari ayat di atas! Maryam as bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi ia berkomunikasi dengan malaikat. Namun demikian, komunikasi antara Maryam dengan malaikat tidak berkaitan dengan syariat. Percakapannya tidak ada sangkut paut dengan praktik agama. Tetapi lebih berupa berita tentang apa yang akan terjadi, dan perintah yang harus dilakukan.

Surah yang berhubungan dengan ayat ini adalah Hud ayat 69-73 di mana malaikat berkomunikasi dengan istri Nabi Ibrahim dan membawakannya berita gembira bahwa ia akan mengandung Nabi Ishak as.

Bahkan kaum Suruai menyatakan bahwa Imran bin Husain Khuza'i (52/672) yang merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, dikunjungi oleh malaikat, menyapa mereka, berjabatan tangan dan memandang mereka. Ia hanya ditinggalkan oleh mereka sesaat setelah para malaikat kembali hingga wafatnya.'16

Tidak ada keraguan bahwa Imam Ali adalah muhaddats yang artinya 'seseorang yang telah diajak bicara'. Tidak hanya Imam Ali, tetapi semua Imam dua belas, demikian juga dengan Sayidah Fathimah.

Berdasarkan hadis Sunni yang sahih, diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Aisyah bahwa Nabi Muhammad bersabda,
"Di antara umat sebelum kamu terdapat orang-orang yang menjadi muhaddatsun (orang yang dapat mengetahui sesuatu akan terjadi dengan benar, seperti orang-orang yang telah diberi ilham oleh kekuatan ilahi), dan apabila ada orang-orang seperti itu di antara pengikutku, mereka adalah..."17

Dalam Shahih Bukhari, diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Di antara bangsa-bangsa sebelumnya ada orang-orang yang sering diberi ilham (meskipun mereka bukanlah para Nabi). Dan apabila terdapat orang-orang seperti itu, di antara pengikutku, mereka adalah..."18

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda, "Di antara bangsa Israil yang hidup sebelum kalian, ada orang-orang yang sering mendapat ilham melalui petunjuk meskipun mereka bukan para Nabi, dan apabila terdapat orang-orang seperti itu, di antara pengikutku, mereka adalah..."

Selain itu diriwayatkan, Nabi Muhammad bersabda, "Sesungguhnya di antara bangsa-bangsa yang hidup sebelum kalian terdapat orang-orang muhaddatsun dan apabila ada salah seorang di antara pengikutku, ia adalah..."

Nabi Muhammad juga bersabda, "Sesungguhnya diantara Bani Israil sebelum kalian terdapat orang-orang yang diajak berbicara (rijalun yukallamun) dan mereka bukan Rasul dan apabila ada salah satu di antara umatku, ia adalah..."19

Kesimpulannya adalah bahwa eksistensi muhaddatsun (orang-orang yang diajak berkomunikasi) merupakan suatu hal yang dibenarkan oleh semua umat Islam dan bahwa hal ini bukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Catatan kaum Sunni di atas juga membenarkan bahwa muhaddatsun bukanlah para Nabi dan mereka tidak membawa syariat (aturan ilahi) dari Allah SWT kepada umat.

Berikut ini definisi Nabi, Rasul, dan imam. Nabi adalah orang yang menerima syariat. Syariat di sini berkaitan dengan keyakinan (aqaid) atau dengan aktivitas praktis (ibadah). Syariat meliputi urusan kehidupan Nabi dan juga umatnya, atau keduanya. Ini adalah definisi dasar dari Nabi, meskipun Nabi juga mungkin diberitahu hal lain. Turunnya syariat ini dapat langsung atau melalui perantara seperti malaikat.

Rasul adalah Nabi yang menerima syariat yang berkaitan dengan dirinya dan orang lain selain dirinya. Sedangkan imam adalah orang yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai pemimpin dan sebagai penunjuk (QS. al-Anbiya : 73) yang kepadanya ketaatan harus kita berikan dan orang-orang harus mengikutinya. Rasul adalah pembawa peringatan dan imam adalah penunjuk jalan (QS. al-Ra'd : 7) atau cahaya petunjuk (QS. al-Maidah : 97).

Menarik untuk diperhatikan bahwa ketika ayat tentang sempurnanya agama Islam diturunkan, banyak ulama tafsir Sunni membenarkan bahwa ayat Hari ini telah aku sempumakan agamamu dan telah aku cukupkan karuniaku kepada kalian, dan aku ridhoi Islam menjadi agamamu (QS. al-Maidah: 3), turun di Ghadir Khum ketika Nabi Muhammad mengumumkan siapa penerus dirinya.20 Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa agama Islam tidak akan sempurna jika tidak ada pernyataan tentang kepemimpinan Imam Ali, dan kesempurnaan agama ditentukan oleh pernyataan Nabi tentang penerus setelahnya.



Perbedaan Antara Nabi dan Rasul
Di dalam bahasa Arab tidak ada kata terpisah untuk istilah Nabi dan Rasul. Perbedaan antara Nabi dan Rasul adalah bahwa derajat keNabian lebih rendah dari derajat keRasulan.

Seorang Nabi adalah orang yang menerima hukum syariat, yang dapat berisi mengenai keyakinan ('aqaid), kehidupan Nabi itu sendiri, umatnya, atau keduanya. Definisi ini merupakan definisi dasar dari keNabian, meskipun Nabi juga diberitahu tentang hal lainnya. Turunnya hukum syariat dapat secara langsung, atau melalui perantara seperti malaikat. Sedangkan Rasul adalah Nabi yang menerima hukum ilahi yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan orang-orang selain dirinya. Dengan demikian, setiap Rasul (manusia) adalah Nabi tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Selain itu, setiap Nabi yang disebutkan Quran bersama umatnya adalah Rasul.

Maka ketika Quran menyatakan bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir (QS. al-Ahzab:40), dengan merujuk pada definisi di atas, ia juga adalah Rasul terakhir. Perhatikanlah bahwa kata 'manusia' dalam definisi Rasul sangat penting karena Quran juga menggunakan istilah'Rasul' untuk malaikat yang memberi perintah atas kehendak Allah SWT.

Allah memilih Rasul-Rasul dari kelompok malaikat dan dari kelompok manusia, karena Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Hajj : 75)

Telah datang kepada Nabi Ibrahim Rasul-Rasul kami dengan membawa berita gembira. Mereka berkata, "Selamat!" Ibrahim menjawab, "Selamat. " Segera ia membawa daging sapi panggang.
(QS. Hud : 69)

Ketika Rasul-rasul kami menemui Luth, ia merasa bersedih karena mereka dan merasa tidak berdaya (untuk melindungi) mereka. Ia berkata, "Ini adalah hari yang sukar." (QS. Hud : 77)

(Malaikat itu) berkata, "Wahai Luth, kami adalah utusan dari Tuhanmu..." (QS. Hud : 81)

Lihat juga al-A'raf:37, al-Hijr:57 dan 61, Maryam:l9, al-Ankabut:31, 33.

Bagaimanapun, seorang Nabi adalah manusia. Tidak ada malaikat yang dapat disebut Nabi. Dengan demikian setiap Rasul adalah Nabi tetapi setiap Nabi seorang Rasul.

Jumlah Rasul lebih sedikit dari jumlah Nabi dan setiap Rasul menerima sebuah kitab, tetapi hanya beberapa Nabi yang menerima kitab. Selain itu, karena ia harus meyakinkan umatnya untuk menerima agama baru dengan amalan-amalan yang baru, tugas seorang Rasul lebih berat daripada tugas seorang Nabi. Inilah kenyataan utama bahwa kebutuhan, pikiran dan kemampuan umat berubah, dan menerima sebuah agama baru bukan suatu tugas yang mudah. Di sinilah, perintah-perintah agama baru seorang Nabi adalah untuk dirinya sendiri (kecuali jika ia seorang Rasul). Tentunya seorang Nabi mengajak umat menuju Allah SWT, tetapi ia tidak membuat amalan-amalan baru bagi umat itu. Intinya, jika seorang Nabi bukan seorang Rasul, umat yang ia ajak untuk memtju Allah SWT akan diperintah untuk mengikuti kebiasaan dan amalan Rasul sebelumnya.

Di antara para Rasul, ada lima orang yang lebih tinggi daripada Rasul lainnya. Sebagaimana yang mungkin anda ketahui, perbedaan satu-satunya antara kelima orang Rasul ini dari Rasul-Rasul lainnya adalah bahwa mereka ditunjuk secara menyeluruh (untuk seluruh umat manusia pada zamannya), sedang Rasul-Rasul lainnya ditunjuk untuk suatu daerah tertentu (hanya satu wilayah atau suatu tempat). Kata 'alamin dan atau jami'an telah digunakan Quran untuk Nabi Isa dalam mendukung gagasan ini.

Suatu kali seorang Bahai menyatakan bahwa para Rasul (yang datang sebelum imam terakhir) hanyalah lima Rasul yang memiliki kitab. Tetapi sisanya adalah para Nabi, Hal ini tidak benar Karena Quran menyatakan bahwa Nabi Daud memiliki kitab Zabur tetapi ia tidak termasuk kedalam lima rasul besar. Ia adalah seorang rasul karena membawa kita bagi umatnya.



Imam atau Muhaddats
Imam artinya seorang manusia yang ditunjuk Allah SWT sebagai pemimpin atau penunjuk jalan (lihat al-Anbiya:73 dan as-Sajdah:24) di mana semua orang harus taat kepadanya dan mengikutinya. Para Rasul adalah pembawa peringatan dan para imam adalah pemberi petunjuk (QS. al-Ra'd : 7). Para imam adalah cahaya petunjuk (QS. al-An'am : 97).

Imam tidak menerima wahyu ilahi yang berisi syariat (hukum ilahi). Ia tidak menerima perintah apapun yang berhubungan dengan amalanamalan agama yang baru dan lain-lain. Tetapi, ia diberitahu tentang peristiwa masa lalu dan masa yang akan datang.

Perbedaan lain antara Rasul, Nabi, dan imam (muhaddats) adalah dalam cara mereka berkomunikasi dengan malaikat. Perbedaan ini dijelaskan dalam Ushul al-Kafi, bab al-Hujjah ketika menerangkan Surah al-Hajj ayat 52.

Rasul melihat dan mendengar malaikat dalam kondisi terjaga dan tertidur. Nabi mendengar dan melihat malaikat hanya ketika ia dalam kondisi tertidur, namun ia tidak melihatnya dalam keadaan terjaga meskipun dapat mendengar perkataannya. Imam (muhaddits) adalah orang yang mendengar malaikat dalam keadaan terjaga tetapi ia tidak dapat melihatnya dalam keadaan terjaga atau tertidur.

Pada bagian sebelumnya kami mengutip ayat Quran bahwa ibunda Maryam as berkomunikasi dengan malaikat. Apabila menurut kitab Shahih Bukhari, Fathimah as adalah penghulu perempuan di dunia ini dan di akhirat, lalu mengapa ia tidak dapat berkomunikasi dengan malaikat?

Dalam Shahih Bukhari hadis 4.819, diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi Muhammad berkata kepada Fathimah (yang menangis ketika ayahnya meninggal dunia), "'Tidakkah kau gembira bahwa engkau dan penghulu dari semua perempuan di surga dan penghulu seluruh perempuan yang beriman?"

Selain itu, Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulullah bersabda, "Empat perempuan penghulu alam semesta adalah, Maryam, Asiah (istri Fir'aun), Khadijah, dan Fathimah. Dan perempuan paling utama di dunia adalah Fathimah."21

Bagi orang-orang yang meyakini Shahih Bukhari, kami akan mengutip kitab ini sekali lagi yang menegaskan bahwa Sayidah Fathimah berkomunikasi dengan malaikat Jibril.

Dalam Shahih Bukhari hadis 5.739, diriwayatkan oleh Anas,

"Ketika sakit Nabi semakin memburuk, ia tidak sadarkan diri. Melihat keadaan itu Fathimah berkata, 'Betapa menderitanya ayahku!' Ia berkata, Ayahmu tidak akan menderita setelah hari ini.' Ketika Nabi meninggal, Fathimah berkata, 'Wahai Ayah! Yang telah menjawab seruan Tuhan yang telah mengundangnya! Wahai Ayah, yang tempat tinggalnya adalah surga! Wahai Ayah! Kami menyampaikan berita ini (kematianmu) kepada Jibril.' Ketika Nabi dikuburkan, Fathimah berkata, 'Wahai Anas! Tegakah engkau melemparkan tanah kepada Rasulullah?'

Tidak hanya itu saja, Kaum Sunni pun meriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali berkata bahwa malaikat Jibril sering mengunjungi Ahlulbait. Diriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali menyatakan ucapan di bawah ini dalam sebuah khutbah yang ia sampaikan ketika Imam Ali wafat, 'Aku berasal dari keluarga Ahlulbait. Keluarga yang malaikat Jibril sering mendatangi kami dan pergi ke surga setelah menemui kami."22

Ketika Imam Hasan menggunakan istilah `kami', artinya bahwa bukan hanya Nabi Muhammad SAW saja yang sering didatangi malaikat Jibril. Tentu saja malaikat Jibril tidak menyampaikan sesuatu dari Quran kepada Imam Hasan. Tetapi hadis Sunni di atas menunjukkan bahwa mereka dapat berkomunikasi dengan malaikat Jibril.



Beberapa Komentar
Seorang Wahabi menyebutkan bahwa kaum Syi'ah yakin para imam mengetahui kapan mereka akan meninggal, dan mereka tidak meninggal kecuali atas kehendak mereka.

Kami menjawab: Hal inipun dianugerahkan kepada para Rasul. Oleh karena itu, kami tidak memahami mengapa para imam tidak memilikinya. Berikut ini dua hadis di dalam Shahih Bukhari yang menegaskan pernyataan itu bagi Nabi Musa.

Dalam Shahih Bukhari hadis 2.423 dan 4.619, diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

"Malaikat maut diutus kepada Nabi Musa dan ketika ia menemuinya, Nabi Musa menamparnya dengan sangat keras sekali hingga salah satu matanya terlepas. Malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata, 'Engkau mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati.' Allah membetulkan kembali matanya dan berkata, 'Kembalilah dan katakan kepadanya (Musa) untuk meletakkan tangannya di punggung sapi, karena ia akan hidup dalam beberapa ratus tahun sejumlah bulu sapi yang menempel di tangannya.'

Kemudian malaikat maut menemuinya dan berkata hal yang sama kepadanya. Kemudian Musa bertanya, 'Wahai Tuhanku, apa yang akan terjadi kemudian?" Allah berkata, 'Kematian akan menjemputmu.' Ia berkata, `Biarkanlah kematian menjemputku sekarang.' Ia meminta kepada-Nya agar dia dibawa untuk berada di dekat tanah Suci sejauh lemparan sebuah batu. Rasulullah berkata, 'Sekiranya aku berada di sana, aku akan menunjukkan kepadamu pusara Musa yang dekat dengan lembah pasir berwarna merah."23

Menurut hadis di atas, Nabi Musa menyatakan tidak ingin wafat, lalu Musa diberitahu oleh Allah SWT tentang kapan ia akan wafat (dalam waktu sejumlah bulu). Kemudian Musa meminta kepada Allah SWT untuk mengubah kematiannya menjadi saat itu juga.

Muatan ejekan di dalam hadis di atas oleh Bukhari patut dipertanyakan bagi kami. Tetapi, karena anda menganggapnya sebagai hadis sahih, maka anda harus sepakat bahwa para Rasul tahu tentang kapan mereka akan wafat. Mengapa para imam tidak mengetahuinya?

Di sini kami harus menyebutkan bahwa menurut ajaran Islam, Allah SWT tidak memberikan kekuasaan-Nya kepada para Nabi atau imam. Kekuasaan para Rasul dan imam tidak tergantung kepada Allah SWT. Kekuasaan ini diberikan kepada mereka dari Allah SWT dan juga dikendalikan oleh-Nya. Jika mereka tidak menaati Allah SWT, kekuasaan itu akan segera diambil. Maka, jika Nabi Musa atau para Nabi dan imam wafat atas kehendak mereka sendiri, kita harus ingat bahwa orang-orang suci itu tidak menghendaki apa yang tidak Allah SWT kehendaki. Jadi keinginan mereka tentang kapan mereka akan wafat benar-benar sesuai dengan apa yang Allah SWT kehendaki, kerena mereka benar-benar taat kepada Allah SWT. Sebenarnya, apa yang kami katakan di sini agak bertolak berlakang dengan riwayat Abu Hurairah di atas. Tetapi karena anda meyakini Bukhari, anda berbicara lebih jauh dari pada pernyataan yang ditulis di dalam al-Kafi. Dengan kata lain, hadis Bukhari di atas menyatakan bahwa seorang Rasul dapat menolak atau mengubah perintah Allah SWT bahkan menampar malaikat maut. (Semoga Allah melindungi kita dari ucapanucapan keji seperti itu.)

Sang Wahabi berkata, "Dalam hadis Syi'ah disebutkan bahwa seluruh muka bumi ini milik para imam."
Kami menjawab, 'Allah SWT, pemilik Keagungan dan Kemuliaan berfirman, Dunia ini milik Allah. Ia memberikannya sebagai warisan kepada orang-orang yang la kehendaki dan akhir yang baik adalah bagi hamba-hamba yang beriman (QS. al-A'raf : 128)."

Sang Wahabi bertanya, "Tidak ada yang menyangkal bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang paling mengetahui para sahabat. Meskipun kita mengakui bahwa Imam Ali adalah orang yang paling mengetahui, lalu bagaimana? Apakah artinya bahwa tidak ada orang lain yang mengetahui?"
Kami menjawab, "Tidak. Artinya bahwa orang lain memiliki Pengetahuan yang lebih sedikit. Hal ini menyiratkan arti bahwa orang-orang yang memilih orang-orang yang lebih rendah pengetahuannya untuk memimpin umat bagi kepentingan mereka sendiri, bertanggung jawab atas ketidak beruntungan seluruh umat Islam di sepanjang sejarah. Syi'ah menyatakan bahwa pemimpin harus memiliki seluruh kualitas seperti berpengetahuan, berani, adil, bijaksana, saleh, mencintai Allah SWT dan lain-lain untuk memberi keyakinan atas kesejahteraan umat Islam."

Sang Wahabi bertanya, "Apakah Quran benar-benar menyatakan bahwa imamah lebih tinggi daripada keNabian dan keRasulan?"
Kami menjawab, "Ada perbedaan tingkat di dalam imamah. Kepemimpinan Rasul lebih tinggi daripada pemimpin-pemimpin lain. Tentunya, imam mesjid sama sekali tidak lebih tinggi daripada seorang Nabi atau Rasul."

Sang Wahabi bertanya kembali, `Anda tidak menjawab pertanyaan saya. Saya tidak sedang membicarakan tingkatan kepemimpinan. Tolong baca kembali pertanyaan itu. Mengenai imam masjid, hal ini menunjukkan bahwa anda tidak membaca definisi yang saya berikan untuk kata Imam di bahasan saya sebelumnya. Saya menyatakan, `Imam artinya orang yang ditunjuk Allah sebagai pemimpin atau penunjuk jalan yang kepadanya orang-orang harus taat dan mengikutinya.' Apakah definisi di atas sesuai untuk definisi `imam mesjid'? Allah SWT berfirman bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pembawa peringatan, dan setiap umat (generasi) memiliki pemimpinnya. (QS. al-Ra'd : 7). Jelaslah bahwa tidak ada Rasul lain setelah Nabi Muhammad. Dengan demikian para pemimpin bagi setiap generasi bukanlah Rasul.

Kami menjawab, "Karena orang-orang yang paling berimanpun hanya dapat menjadi orang beriman jika ia meyakini semua Rasul, lalu bagaimana ia dapat lebih baik daripada salah satu Rasul yang harus ia yakini agar disebut orang beriman? Nabi Muhammad meyakini semua Rasul sebelum dirinya, tetapi kedudukannya lebih tinggi dari semua Rasul. Apakah anda sepakat?"



Quran dan Para Imam Maksum
Di sini, kami akan sedikit perlihatkan sejumlah ayat Quran yang terkait dengan para imam yang hak dan maksum.

Sesungguhnya Allah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian, Ahlulbait, dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya. (QS. al-Ahzab : 33)

Katakanlah, "Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah pun atas seruanku melainkan kecintaan kepada keltaargaku. " Dan barang siapa yang mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. asy-Syura : 23)

Siapa yang membantahmu tentang kisalt Isa sesudah datang ilmu (yang telah diberikan kepada kamu), maka katakanlah (kepadanya), "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dari kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali Imran : 61)

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan janganlah kamu bercerai berai! (QS. Ali Imran : 103)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
(QS. at-Taubah : 119)

Sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. (QS. al-An'am : 153)

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul darv orang-orang yang diberi otoritas tinggi (ulil amri) di antara kalian. (QS. an-Nisa : 59)

Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas petunjuk baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, Kumi biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (QS. an-Nisa : 115)

(Wahai Nabi) Sesungguhnya engkau hanyalah seorang pemheri peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada seorang pemberi petunjuk. (QS. al-Ra'd : 7)

Bimbinglah kami di jalan yang lurus. Jalan orang - orang yang Engkau telah engkau berikan rahmat… ( Qs al-fatihan : 6-7)

Orang-orang yang dianugrahi oleh Allah yakni para nabi, para Shuada, Para Syahif dan orang - orang yang sholeh. (Qs an-Nisa : 69)

Mereka (yakni para nabi dan Imam) tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka berbuat (dalam segala sesuatu) karena perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui apa yanga da di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka dan mereka orang - orang suci itu) itu tidaklah memberi syafaat kecuali pada orang yang Allah Ridhai, dan mereka itu takut dan hormat kepada (keagungan)-Nya. (Qs. Al-Anbiya : 27 : 28 )

Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang - orange yang beriman, yang mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, seraya mereka itu rukuk dalam shalat ( Qs al-Maidah : 55 )

Dan sesungguhnya aku maha pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal yang mendirikan sholat, dan menunaikan zakat, seraya mereka saleh, dan kemudian mengikuti petunjuk. ( Qs Thaha : 82 )

Wahai orang - orang yang beriman, masukilah kedamaian secara beriman, beramal saleh, dan kemudian mengikuti petunjuk. ( Qs al-Baqarah : 208 )

Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan. ( Qs at-Takatsur : 8 )

Wahai (engkau) rasul, sampaikanlah apa yang tidak di turunkan kepadamu oleh Tuhanmu, apabila engkau tidak berbuat demikian artinya engkau tidak berbuat demikian, artinya engkau belum menyampaikan risalah-Nya sama sekali. Dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang - orang yanga kafir. ( Qs. Al-Maisah : 67 )

Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
(QS. al-Maidah : 67)

Pada hari ini telah Kusempumakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itra jadi agama bagimu. (QS. al-Maidah : 3)

Seorang penanya telah bertanya tentang kedatangan azab tak terelakkan kepada orang-orang kafir, yang tidak seorang pun bisa menolaknya. (QS. al-Ma'arij : 1-2)

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan mengambil kesaksian mereka terhadap jiwa mereka. (Dia bertanya), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Benar, kami menyaksikan. " (QS. al-A'raf : 172)

Ataukah mereka dengki kepada orang-orang itu karena karunia yang Allah telah limpahkan kepada mereka? (QS. an-Nisa : 54)

Tidak seorang pun menyentuh (kedalaman makna al-Quran) kecuali berlomba - lomba yang disucikan. (Qs. Al-Waqi'ah : 79)

Tidak seorang pun yang mengetahui takwilnya melainkan Allag dan orang - orang yang disucikan ( Qs. Ali Imran : 7)

Bertanyalah kepada ahli zikir (orang-orang yang berilmu) jika kalian tidak mengetahui! (QS. al-Anbiya : 7; al-Nahl : 43)

12
ANTOLOGI ISLAM

Ganjaran Mencintai Ahlulbait
Kami menemukan hadis menakjubkan berikut dalam salah satu kitab Tafsir al-Kabir karya Fakhrurrazi, seorang ulama Sunni terkemuka dengan berbagai kepakaran yang dimilikinya seperti tafsir, fikih, dan teologi. Hadis ini pun dapat dijumpai dalam karya tafsir Quran Sunni lainnya, Tafsir alKasysyaf susunan Zamakhsyari juga Tafsir ats-Tsa'labi.

Sebelum masuk ke teks tersebut lebih jauh, penting kiranya untuk menunjikan bahwa suatu cinta sejati senantiasa disertai dengan ketaatan.
Seseorang yang tergila-gila pada orang lain, mengerjakan segala sesuatu untuk memuaskan sang kekasih, dan tidak membiarkan dirinya sendiri membangkang terhadap orang yang ia cintai. Itulah sebabnya'cinta hakiki' adalah wajib dan mencukupi. Suatu cinta sejati mempengaruhi setiap perbuatan manusia dan mengarahkannya pada tujuan tertentu selaras dengan orang yang ia cintai. Jadi siapa saja yang mengklaim mencintai Nabi dan Ahlulbaitnya namun tetap mendurhakai mereka, sesungguhnya ia seorang pendusta.

Setelah menyampaikan teks hadis kami akan kutip ayat Quran yang terkait. Kami juga akan menyajikan sejumlah hadis lain yang diriwayatkan oleh golongan Sunni yang nyata-nyata menyebutkan nama orang-orang yang kecintaan terhadap mereka adalah wajib.
Rasulullah SAW bersabda,

"Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia seorang syahid."

Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia diampuni (dosanya).

Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati dalam keadaan bertobat.

Sesungguhnya ia yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia mati sebagai seorang mukmin dengan keimanan yang sempurna.

Barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, malaikat maut menyampaikan kepadanya berita gembira tentang surga, dan demikian juga dua malaikat yang akan bertanya kepadanya (Munkar dan Nakir).

Dan sesungguhnya barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, akan diarak ke surga laksana mempelai perempuan yang dibawa ke rumah suaminya.

Ingatlah, barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, baginya akan ada dua pintu surga dalam kuburnya menuju surga.

Sesungguhnya barangsiapa yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, Allah akan menjadikan kuburnya sebagai tempat suci yang dikunjungi para malaikat pemurah.

Dan sesungguhnya ia yang mati di atas kecintaan kepada keluarga Muhammad, ia mati di atas Sunnah.

Jangan ragu, barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, akan sampai di hari pengadilan sementara di dahinya tertera ia berputus asa dari rahmat Allah.

Ingatlah, barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, ia matinya dalam keadaan kafir.

Barangsiapa yang mati di atas kebencian kepada keluarga Muhammad, tidak akan pernah menciup wanginya surga.24

Fakhrurrazi dan yang lainnya menyatakan bahwa hadis di atas merupakan tafsir ayat Quran berikut dimana Allah berfirman kepada Rasul-Nya,
(Wahai Nabi) Katakanlah (kepada manusia), "Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargaku!" Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akltn Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu (sebagai balasan atas itu). (QS. asy-Syura : 23)

Hal ini telah diriwayatkan secara luas oleh para mufasir Sunni. Misalnya, Ibnu Abbas meriwayatkan,

"Ketika ayat di atas (asy-Syura: 23) diturunkan, para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah kerabat dekat yang kepadanya Allah mewajibkan kita untuk mencintai mereka?" Nabi SAW menjawab, 'Ali, Fathimah, dan kedua putra mereka (Hasan dan Husain)." Beliau mengulang-ulang jawaban tersebut sebanyak tiga kali.25

Kemudian Nabi SAW melanjutkan, "Sesungguhnya Allah telah menyerahkan upahku (dari keNabian) untuk mencintai Ahlulbaitku, dan aku akan mempertanyakan kepada kalian tentang hal itu pada hari pengadilan.26

Dalam hadis lain, kita baca Rasulullah SAW bersabda, "Aku nasehati kalian agar bersikap baik kepada Ahlulbaitku karena sesungguhnya aku akan mempersoalkan kalian tentang mereka pada hari pengadilan, dan barangsiapa yang aku berselisih dengannya, ia akan masuk neraka."

Beliau juga bersabda, "Barangsiapa yang menghormatiku dengan menghormati Ahlulbaitku, ia telah mengambil perjanjian dari Allah (untuk memasuki surga)."27
Selain itu, Khatib dan Ibnu Hajar meriwayatkan berdasarkan otoritas Anas bin Malik yang berkata bahwa Nabi SAW bersabda, "Julukan buku (shahifah) orang beriman adalah kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib."28

Dalam hadis di atas,'Kitab Orang Beriman' merujuk pada cara seorang beriman menyikapi masalah-masalah, yakni kehidupannya sehari-hari dan catatan hariannya.

Berdasarkan tafsir Quran ayat Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa cinta (QS. Maryam : 96), Hafizh Salafi menulis, "Muhammad bin Hanafiyah berkata, 'Bukanlah seorang mukmin kecuali dalam hatinya ada perasaan cinta pada Ali dan keluarganya."' Dalam hal ini, Baihaqi, Abu Syaikh, dan Dailami melaporkan bahwa Rasulullah SAW berkata, "Seorang hamba Allah bukanlah seorang mukmin (hakiki) kecuali jika ia lebih mencintaiku daripada jiwanya sendiri serta mencintai keturunanku lebih daripada jiwanya dan keluarganya sendiri."29

Tirmidzi dan Ahmad meriwayatkan, "Rasulullah SAW bersabda, 'Sesiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua anak ini (Hasan dan Husain), dan mencintai ayah-ibu mereka, maka ia akan bersamaku kelak di surga."30

Diriwayatkan juga bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang beruntung, hanya orang-orang yang beruntung, dan yang beruntung sejati adalah ia yang mencintai Ali dalam masa hidupnya di dunia dan di akhirat."3'

Para ulama Sunni juga meriwayatkan bahwa Imam Hasan bin Ali as menyampaikan sebuah wacana pada kesyahidan Imam Ali;

"Akulah anggota Ahlulbait yang Allah telah mewajibkan kecintaan kepada mereka menjadi wajib bagi setiap Muslim ketika Dia menurunkan kepada Nabi-Nya SAW, (Wahai Nabi) katakanlah (kepada manusia), "Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargakra. Dan bararrgsiapa meugerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu (sebaqai balasan atas itu)!" (QS. asySyura : 23). Dengan demikian, carilah amal saleh melalui kecintaan kepada kami, Ahlulbait!32

Lebih lanjut, diceritakan bahwa Ibnu Abbas berkata,

"Amal saleh dalam ayat Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan akan Kami tambahKern baginya kebaikan pada kebaikannya itu (sebagai balasan atas itu). (QS. asy-Syura: 23), adalah kecintaan kepada keluarga (al) Muhammad SAW.33

Para ahli hadis Sunni juga menuturkan bahwa selepas kesyahidan Imam Husain ketika keluarganya dijadikan tawanan dan dibawa ke Damaskus, seorang lelaki di kota (yang bersama orang lain melihat rombongan tawanan di kota itu) berkata kepada Zainal Abidin bin Husain, "Segala puji bagi Allah yang menghancurkan dan menjadikan kalian tidak berdaya, dan memotong akar pemberontakan." Saat itu juga Zainal Abidin berkata, "Tidakkah engkau membaca ayat Katakanlah (kepada manusia), "Aku tidak meminta kepada kalian suatu upah apapun (sebagai balasan atas keNabianku) kecuali kecintaan kepada keluargaku?" Lelaki itu bertanya, `Apakah kalian yang dimaksud itu?" Beliau menjawab, "Ya, benar."34

Berlawanan dengan semua hadis yang disebutkan di atas, Yusuf Ali mempunyai suatu tafsiran yang sangat ganjil untuk Surah asy-Syura ayat 23. Ia menulis,
"Tidak ada bentuk ganjaran nyata yang Nabi Allah minta karena menyampaikan kabar gembira dari Allah. Namun setidaknya ia mempunyai hak untuk meminta kerabat dan sanak saudaranya agar jangan menganiayanya dan meletakkan segala jenis rintangan di jalannya, sebagaimana yang suku Quraisy lakukan terhadap Nabi suci."

Implikasi dari ulasan Yusuf Ali itu adalah, bahwa melalui ayat di atas, Nabi tengah meminta kerabatnya untuk tidak menganiayanya dan mereka semestinya mencintai kerabatnya, yakni Nabi. Nyatanya, hadis-hadis Nabi yang disebutkan di atas sekaitan dengan turunnya Surah asy-Syura ayat 23, bertolak belakang dengan ulasan Yusuf Ali. Kami heran, apakah kita harus mengambil pendapat Nabi ataukah pendapat Yusuf Ali? Menarik untuk dicatat bahwa hadis-hadis yang dicantumkan di atas diriwayatkan oleh para ahli hadis Sunni tersohor melalui sejumlah perawi. Yusuf Ali bukanlah seorang ahli hadis dan kaum Sunni pun tidak menganggap karya tafsirnya sebagai karya tafsir yang otoritatif.

Selain itu kita bisa membuktikan secara logis bahwa tafsir Yusuf Ali tidaklah benar. 'Keluarga dekat itu' adalah keluarga Nabi sendiri. Karena Nabi Muhammad hanyalah satu orang. Apabila Allah SWT hendak berkata, "Cintailah Nabi karena ia adalah keluargamu!" Dia bisa saja berkata demikian, dan Dia tidak akan menggunakan'keluarga dekat'. Lagi pula, dari ayat itu jelaslah Allah SWT tidak berbicara kepada non-Muslim, karena ayat itu berbicara seputar upahnya sebagai balasan atas dakwah keNabiannya. Jadi, orang-orang kafir tersebut (di antara keluarganya ataupun yang lainnya) yang tidak mengenalinya sebagai seorang Nabi, bukan sasaran pembicaraan. Upah jenis apakah yang bisa Nabi harapkan dari seorang kafir (di antara keluarganya atau yang lainnya) yang tidak mengenalinya sebagai seorang Nabi?

Demikianlah, mereka itu adalah kaum Muslim yang dituju oleh ayat tersebut. Kini jika memang Yusuf Ali memaksudkan bahwa ayat itu dialamatkan kepada orang-orang Muslim yang notaben adalah keluarganya, maka kami ingin bertanya, "Siapakah keluarga dekat Nabi yang seorang Muslim namun mencoba menganiaya Nabi?" Jawabannya, tidak ada sama sekali. Jika anda berpikir sebaliknya, silakan ajikan bukti anda dari sejarah kehidupan Nabi SAW.

Oleh sebab itu, tafsir Yusuf Ali tidaklah selaras dengan hadis-hadis Sunni yang disebutkan di atas dalam hal ini, tidak pula selaras dengan logika.
Kami tidak bermaksud mendiskusikan semua kesalahan yang terdapat dalam karya-karya Yusuf Ali. Kendati demikian, adalah berguna untuk menyebutkan terjemahannya atas sebuah ayat Quran sekaitan dengan topik barusan, kemudian membandingkannya dengan terjemahan lainnya. Ayat ini sangat serupa dengan ayat Quran yang disebutkan di Was (QS. asy-Syura : 23). Dalam Surah Saba ayat 47 dikatakan (Wahai Nabi) Katakanlah (kepada manusia), "Apapun yang aku minta kepadamu sebagai upah sebagai balasan atas keNabianku) adalah untuk (kepentingan)mu (manusia)."

Berikut ini terjemahan dari Pickthall, Katakanlah, "Apapun upah yang aku terima kepadamu adalah untukmu."

Sekarang, mari kita lihat terjemahan Yusuf Ali! Katakanlah, "Tidak ada suatu upah pun yang aku minta dari kalian. Ini (semua) dalam kepentingan kalian."

Siapapun bisa melihat bahwa terjemahan Yusuf Ali mengajikan pengertian yang sangat berlawanan dengan yang lain. Dalam terjemahan ayat di atas, Yusuf Ali menyatakan bahwa Nabi tidak meminta upah apapun. Karena itu, Yusuf Ali menentang terjemahannya sendiri dalam ayat lain yang disebutkan sebelumnya (QS. asy-Syura : 23) di mana ia menyatakan bahwa Nabi benar-benar meminta upah itu. Yusuf Ali : Katakaralah, "Tiada suatu rapah pun yang aku minta kepadamu untuk ini kecuali kecintaan kepada keluarga dekat." (QS. asy-Syura : 23)

Tak pelak lagi bahwa pahala atau upah Nabi berada di sisi Allah SWT. Akan tetapi, dengan perintah Allah SWT di atas, Nabi benar-benar meminta manusia untuk mencintai keluarganya sebagai upahnya. Permintaan mrscbut sesungguhnya demi keuntungan manusia sendiri sebagaimana trrungkap pada surah Saba ayat 47. Ayat-ayat Quran sesungguhnya, saling menjelaskan satu sama lain. Yang lebih mengherankan, ada ayat ketiga dengan lafaz lain yang mengimplikasikan bahwa manfaat atau keuntungan yang manusia peroleh dengan memenuhi permintaan Nabi (yakni kecintaan dan ketaatan kepada Ahlulbait) adalah bahwa mereka akan dibimbing menuju jalan (sabil) Allah.

Katakanlah, "Aku tidak meminta kepada kalian sedikitpun upah dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan (sabil) kepada jalannya." (QS. al-Furqan : 57)

Terjemahan Pickthall: Katakanlah, "Aku tidak meminta kepada kalian sedikitpun atas hal ini kecuali orang - orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya (Qs al-Furqan : 57 )

Letakkanlah surah ini di samping asy-Syma:23 dan Saba:47 memberikan bukti pada fakta bahwa setiap anggota Ahlulbait adalah jalan lurus (sabil) kepada Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Jalan lurus Allah SWT tidak lebih dari satu, sekalipun ia termanifestasi dalam suatu rangkaian para imam yang ditunjuk Tuhan. Karena itu, setiap pemimpin atau imam ini adalah jalan unik Allah SWT di zaman mereka masing-masing, dan melalui mereka manusia bisa beroleh perlindungan terhadap perselisihan-perselisihan dalam masalah-masalah agama. Sesungguhnya, Rastrlullah SAW membenarkan kesimpulan di atas dari ayat yang terakhir.

Ibnu Sa'd dan Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Aku dan Ahlulbaitku adalah pohon di surga yang cabang-cabangnya menjulur ke dunia ini. Jadi barang siapa yang menghendaki, ambillah jalan menuju Tuhannya (mengambil cabang dan mencapai batang di surga)!"34

Bagian yang dicetak miring di atas dalam hadis N~bi SAW merupakan ayat Quran yang disebutkan di atas (QS. al-Furqan : 57). Cinta sejati kepada Ahlulbait sesungguhnya akan mewajibkan mengikuti jalan lurus mereka yang menjamin kesejahteraan manusia di dunia ini juga surga di akhirat kelak.




Bagaimana Cara Bershalawat kepada Nabi Muhammad?
Ketika bershalawat kepada Nabi Muhammad, sebagian mengucapkan,

"Allahumma shalli ala Muhammad (SAW)," sebagian lagi mengucapkan, "Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad," sebagian lagi yang lebih pemurah mengucapkan, "Allahumma shalli ala Muhammad wa alihi wa azwajihi wa shahbihi ajma'in."

Kini mari kita lihat bagaimana Nabi sendiri mengajari kita cara bersalawat kepadanya!

Rasulullah SAW berkata, "Janganlah kalian bershalawat kepadaku dengan buntung!" Para sahabat bertanya, "Apakah shalawat buntung itu?" Nabi SAW menjawab, "Yakni mengucapkan Allahumma shalli ala muhammad." Mereka bertanya,'Apa yang harus kami ucapkan?" Nabi SAW menjawab, "Ucapkanlah Allahumma shalli ala Muhammad wa ahlibaitihi." Dalam ucapan lain beliau menjawab, "Ucapkanlah Allahumma shalli ala Muhammad wa ali Muhammad kama shallaita ala Ibrahim ma ali Ibrahim. Innaka hamidun majid!"35

Perkataan Nabi ini berhubungan dengan ayat Quran yang diturunkan berkaitan dengan keluarga Ibrahim as:

Mereka (para malaikat) berkata, "Apakah kamu nurasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) Rahnrat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu hai Ahlulbait! Sesungguhnya Dia Maha Terpuji lagi Maha Pemurah." (QS. Hud : 73)

Selain itu, Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa sebagian mufasir Sunni telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat Quran yang berbunyi, "Kesejahterann dilimpahkan atas keluarga Yasin (QS. ash-Shaffat : 130)," mengacu pada keluarga Muhammad.36

Dari hadis yang dinukil sebelumnya, siapapun bisa melihat bahwa Rasulullah SAW menyebutkan namanya dan Ahlulbaitnya secara berbarengan, dan membenci bila hanya menyebutkan namanya saja. Secara khusus ia memerintahkan agar para pengikutnya memasukkan kuluarganya dalam semua perkumpulan (majelis) mereka dengan Nabi Muhammad. Hal ini karena hanya orang-orang itu yang Quran membenarkan kesucian kesempurnaan mereka (kalimat terakhir dalam Surah al-Ahzab ayat 33) yang pantas menerima shalawat. Mari kita lihat lebih banyak lagi hadis. Kali ini dari Shahih Bukhari.

Diriwayatkan dari Abu Said Khudri:

Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, (kami tahu) shalawat ini (kepadamu) tapi bagaimana cara kami memohon kepada Allah untukmu?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah Ya Allah, sampaikanlah shalawat-Mu kepada Muhammad, hamba-Mu dan Rasul-Mu, sebagaimana Engkau sarnpaikan shalnzuat-Mu kepada keluarga Ibrahim. Dan sampaikanlah berkah-Mu kepada Muharrunad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sampaikan berkah-Mu kepada keluarga Ibrahim!"37

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazim dan Darawardi:

Yazid melaporkan (hal yang sama dengan kata-kata berikut), "... dan sampaikan berkah-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau sampaiakn berkah-Mu kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim."38
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Laila:

Ka'b bin Ujrah bersua denganku dan berkata, "Maukah engkau aku beri hadiah? Suatu ketika Nabi SAW datang kepada kami dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kami tahu bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimana cara menyampaikan shalawat kepadamu?" Beliau menjawab, "Katakanlah, 'Ya Allah, sampaikan shalawat-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engkau kirimkan shalawat-Mu kepada keluarga Ibrahim. Ya Allah! Sampaikan berkah-Mu kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau kirim berkah-Mu kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia!'40

Abu Mas'ud Badri meriwayatkan,

"(Suatu saat) kami tengah duduk - duduk bersama Sa'd bin Ubadah ketika Nabi SAW datang kepada kami. Basyir bin Sa d bertanya kepada Nabi SAW, "Wahai Rasulullah, kami telah diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan rahmat kepadamu dengan mengucapkan shalawat, lantas bagaimana cara kami melakukan hal ini?" Nabi SAW terdiam beberapa saat, sehingga kami berharap bahwa Basyar bin Sa'd tidak menanyakan lagi kepada Nabi SAW. Setelah beberapa saat Nabi SAW mengatakan hal ini, "Ya Allah, sampaikanlah shalawat-Mu kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagairnana Engkau sampaikan shalawatMu kepada Ibrahim dan berkatilah Muhammad dan keturunan Muhammad sebagaimana Engkau berkati keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia." Selanjutnya, Nabi SAW berkata, "Apapun salam telah engkau ketahui."41

Meskipun hadis-hadis di atas membenarkan bahwa Nabi SAW memerintahkan manusia untuk menyampaikan shalawat kepadanya dan keluarganya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai pengagungan diri. Sebaliknya ia merupakan perintah dari Allah SWT untuk melakukannya. Ia berperansebagaipengajaranSunnahkepadamanusia. Hadis terakhir malah memperlihatkan bahwa Nabi tengah menunda untuk menyampaikan shalawat kepada dirinya sendiri pertama kali, tetapi karena ia perintah Allah SWT, ia menyampaikan pesan tersebut.
Hadis lain,

ketika Rasulullah SAW sedang memperhatikan turunnya sebuah rahmat Allah, beliau berkata kepada Shafiyyah (salah seorang istri beliau), "Panggilkanlah untukku! Panggilkanlah untukku!" Shafiyyah berkata, "Panggil siapa, wahai Rasulullah?" Beliau berkata, "Panggillah untukku, Ahlulbaitku yakni Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain!" Lalu kami memanggil mereka dan mereka pun datang menemuinya. Lantas Nabi SAW membentangkan jubah luarnya kepada mereka, dan mengangkat kedua tangannya (menghadap langit) seraya berdoa,'Ya Allah! Inilah keluargaku (ali), maka rahmatilah Muhammad dan keluarga (al) Muhammad." Dan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Agung berfirman, Sesungguhnya Allah berkehendak untuk membersihkan kalian dari setiap jenis dosa,

Wahai Ahlulbait, dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya (kalimat terakhir dari Surah al-Ahzab ayat 33)."42
Demikian pula hal ini diriwayatkan dalam kesempatan lain, ketika Rasulullah SAW mengumpulkan Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain di bawah jubah luarnya, ia bersabda,

'Ya Allah! Sesungguhnya mereka berasal dariku dan aku dari mereka. Maka tempatkanlah rahmat-Mu, kasih-Mu, dan keridhaanMu kepadaku dan mereka.'
Dan,
"Ya Allah! Inilah keluarga (ali) Muhammad. Maka tempatkanlah rahmat-Mu dan nikmat-Mu kepada keluarga Muhammad, karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Terpuji lagi Mah Agung!"43

Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Apabila seseorang berdoa namun di dalam doanya ia tidak menyampaikan shalawat kepadaku dan keluargaku, niscaya doanva tidak akan diterima."44

Sesungguhnya, menyampaikan shalawat pada keluarga Nabi sangatlah penting sehingga ia telah dimasukkan dalam setiap shalawat pada Nabi SAW. Menyampaikan shalawat kepada keluarga Nabi merupakan sebuah tanda janji kesetiaan kepada mereka, dan membenarkan apa yang telah Allah SWT sendiri benarkan bagi mereka. Mereka sesungguhnya disucikan secara sempurna dan pantas menerima penghormatan.


Komentar lawan
Sebelumnya seorang saudara Sunni menyebutkan bahwa gelar `s-a-w' dan 'a-s' digunakan untuk para Nabi, sementara 'r-a' digunakan untuk yang lainnya termasuk Ali.

Jawaban kami sebagai berikut. Singkatan 'a-s' adalah alaihis-salam yakni salam (kedamaian) atasnya. Kami tertarik untuk mengetahui dari manakah anda menyimpulkan bahwa kita tidakbisa menggunakan istilah ini bagi seoxang yang bukan Nabi? Bisakah anda kutipkan satu ayat Quran atau hadis sahih yang kita tidak bisa menggunakan frase 'salam atasnya' setelah namanya?

Saudara budiman, jika kita ingin mengikuti Sunnah Nabi, kito diperintahkan oleh hadis-hadis sahih di atas untuk menyampaikan salam tidak saja kepada Imam Ali as namun juga semua anggota Ahlulbait. Sekiranya Nabi SAW memerintahkan kepada kita untuk menyampaikan salam dan shalawat kepada keluarganya, lantas siapakah kita yang menetapkan aturan-aturan yang berlawanan dengan hal itu tapi mengklaim mengikuti Sunnah Nabi?

Frase'semoga Allah meridhainya' (radhiyallahu anhu/ha) bisa disematkan kepada para sahabat, bukan kepada Nabi dan Ahlulbaitnya yang maksum, tidak berdosa, dan suci sesuci-sucinya.



Apakah Menjadi Anggota Sebuah Kelompok Terlarang dalam Islam?
Sebagian orang mengklaim, sambil mengutip ayat-ayat Quran yang menyebutkan sektarianisme, bahwa menjadi seorang anggota kelompok apapun tidak dibolehkan bagi kaum Muslim.

Memang benar bahwa Islam menentang sektarianisme dan terpecah-pecah ke dalam berbagai sekte. Akan tetapi, anggota sebuah kelompok tidak dengan sendirinya adalah sektarian kecuali jika kelompok tersebut merupakan satu sekte itu sendiri.

Pendapat di atas berlawanan dengan Quran. Sesungguhnya Allah SWT kadang menggunakan istilah-istilah lain selain Muslim ketika merujuk pada suatu himpunan bagian dari kaum Muslim. Misalnya, dalam serangkaian ayat Quran, Allah SWT menyebutkan sekelompok Muslim dengan nama Irizbullah (partai Allah). Jika menjadi anggota partai apapun dikutuk dalam Quran dan seseorang harus menyebut dirinya sendiri Muslim dan hanya Muslim, maka Allah SWT niscaya menjadi sectarian dengan mempromosikan nama-Nya sendiri! Kenyataannya, Allah SWT menggunakan suatu nama yang berbeda lantaran Dia ingin berbicara kepada sekelompok Muslim yong sangat bermoral. Sesungguhnya, setiap anggota Partai Allah adalah orang Muslim, namun tidak sebaliknya. Sebagian Muslim adalah kaum Muslim yang lemall, sebagiannya lagi adalah hanya Islam dalam K'I'I' dan karena itu orang-orang ini tidak termasuk pada Partai Allah. Tentang mereka Allah SWT berfirman, Sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung (QS. al-Mujadilah : 22).

Ini membuktikan bahwa tidak ada golongan dalam Islam yang dikutuk. Nyatanya, asal-usul kata Muslim kembali kepada Nabi Ibrahim as. Quran menyatakan bahwa Nabi Ibrahim as adalah seorang Muslim; Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri kepada Allah (Muslim), dan sekalikali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (QS. Ali Imran : 67)

Juga dalam ayat lain Allah SWT nyatakan bahwasanya Nabi Ibrahim adalah orang`yang telah menamai kita sebagai Muslim; (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim! Dia yang telah menamaikan kalian orang-orang Muslim dari dulu dan dalam wahyu ini. (QS. al-Hajj : 78)

Dalam ayat lainnya, Nabi Ibrahim as menasehati anak-anaknya untuk tidak mati melainkan dalam keadaan (sebagai) Muslim; Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian juga Ya'qub. (Ibrahim berkata), "Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah emilih agama ini untukmu, maka janganlahlah kamu mati keeuali dalam memeluk agama Islami." (QS. al-Baqarah : 132)

Sekarang, secara cukup mengejutkan, Quran membenarkan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Syi'ah (pengikut; anggota sebuah golongan) Nabi Nuh as:
Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk dari Syi'ah (pengikut)nya (yakrai Nuh). (QS. ash-Shaffat : 83)

Orang boleh bertanya, mengapa Nabi Ibrahim as yang telah disebut Muslim dan juga mewasiatkan kepada orang lain menjadi Muslim sampai mati, telah dinamai Syi'ah? Hal ini tidak meninggalkan ruangan sedikit pun selain percaya bahwa masuknya ia sebagai Syi'ah Nuh as tidak bertolak belakang dengan dirinya sebagai Muslim.

Kini kita mafhum bahwa menjadi anggota suatu golongan tidak berlawanan dengan identitas kita sebagai Muslim sepanjang pemimpin golongan itu ditunjuk oleh Allah SWT, atau setidaknya, scpanj.m}; pemimpin itu tidak memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan perintah Allah dan Nabi-Nya.
Anggaplah terdapat suatu golongan dengan seorang pemimpin bernama Imam Fulan. Orang boleh menjadi anggota golongan ini selama ia tidak mendahulukan perintah Imam Fulan di atas perintah Nabi SAW.

Kapan suatu golongan menjadi suatu sekte dan dengan demikian dikutuk oleh Allah SWT? Jawabannya adalah ia menjadi suatu sekte apabila Imam Fulan menyatakan sesuatu yang bertolak belakang dengan perintahperintah atau Nabi-Nya, dan ketika kita sebagai para pengikutnya lebih menyukai mendahulukan perintah Imam Fulan ketimbang perintah Allah dan Nabi-Nya. Hal ini telah dikecam secara keras di dalam Quran, dan golongan tadi bukan lagi mazhab dalam Islam melainkan ia telah memecah belah para pengikutnya dari agama Allah SWT dan telah mengubahnya menjadi satu sekte. Semoga Allah SWT menjaga kita dari golongangolongan semacam itu.



Istilah Syi'ah dalam Quran dan Hadis
Kata Syi'ah berarti para pengikut atau anggota golongan. Karena itu, istilah syi'ah sendiri tidaklah mempunyai pengertian negatif atau positif kecuali jika kita menetapkan pemimpin partai itu. Jika seseorang adalah seorang Syi'ah (pengikut) para hamba yang saleh, maka tidak ada sesuatu pun yang salah dengan menjadi Syi'ah, khususnya jika pemimpin golongan tersebut telah ditunjuk oleh Allah SWT. Di sisi lain, jika orang menjadi Syi'ah seorang penguasa atau pelaku kezaliman, ia akan bertemu dengan takdir pengikutnya. Sesungguhnya, Quran mengisyaratkan bahwa pada hari keputusan manusia akan datang berkelompok-kelompok, dan setiap kelompok memiliki pemimpinnya di depannya. Allah, Pemilik Keagungan dan Kekuasaanberfirman, (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpin (imam)-nya. (QS. al-Isra : 71)

Pada hari pengadilan, nasib 'para pengikut' setiap kelompok sangat tergantung pada nasib imamnya (asal saja bahwa mereka benar-benar mengikuti imam itu). Allah SWT menyatakan dalam Quran bahwo m1n dua jenis imam. Sebagian imam adalah orang-orang yang mengajak manusia kepada api neraka. Mereka adalah para pemimpin tiran dari setiap zaman (seperti Fir'aun, dan lain-lain);

Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang menyeru manusia kepada api neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami teruskan untuk melaknat mereka di dunia ini; dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah). (QS. al-Qashash : 41-42)

Tentu saja, menjadi anggota golongan-golongan dari imam-imam seperti ini telah dikecam secara keras dalam Quran, dan para pengikut golongan tersebut akan menemui ajal dari para pemimpin mereka. Akan tetapi, Quran juga mengingatkan bahwa ada para imam yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai pembimbing bagi umat manusia:

Dan Kami jadikan di antnra mereka imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami (QS. as-Sajdah : 24)

Sudah barang tentu, para pengikut sejati (Syi'ah) para imam ini akan mendapatkan keberuntungan hakiki pada hari kebangkitan. Dengan demikian, menjadi seorang Syi'ah tidak berarti apapun, kecuali jika kita tahu Syi'ah siapa. Allah SWT menyatakan dalam Quran bahwa sejumlah hamba-Nya yang saleh adalah Syi'ah hamba saleh lainnya. Contohnya adalah Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam Quran secara khusus sebagai Syi'ah Nuh, Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk syi'a,hnya (yakni Nuh). (QS. ash-Shaffat : 83)

Perhatikan, kata `syi'ah' digunakan secara eksplisit, huruf demi huruf, dalam ayat di atas juga dalam ayat berikut. Dalam ayat lain, Quran membicarakan Syi'ah Musa lawan musuh-musuh Musa,

Dan ia (Musa) rnasuk ke kota (Memphis) ketika penduduk (kota itu) tengah lengah, maka ia tenrukan di dalamnya dua orang lelaki tengah berkelahi, yang seorang dari syi'ah-nya (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (kaum Fir'aun). Maka orang yang dari syi'ahnya meminta pertolongau kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya (QS. al-Qashash : 15)

Dalam ayat Quran di atas, yang satu dinamai Syi'ah Musa as dan yang keduanya dinamai musuh Musa, dan orang-orang di masa itu bisa Syi'ah Musa atau musuh Musa as. Jadi Syi'ah adalah kata resmi yang digunakan oleh Allah dalam Quran-Nya untuk para Nabi tingkat tinggi-Nya berikut para pengikut mereka.

Apakah anda ingin mengatakan Ibrahim sektarian? Lantas, bagaimana halnya dengan Nabi Musa dan Nabi Nuh?

Andaikata seseorang menyebut dirinya sebagai Syi'ah, itu bukanlah karena sektarianisme atau suatu bid'ah. Hal itu disebabkan Quran telah menggunakan frase tersebut bagi sejumlah hamba-hamba-Nya yang terbaik. Ayat di atas yang kami sebutkan dalam mendukung Syi'ah, telah menggunakan bentuk istilah tunggal ini (yakni sekelompok pengikut). Ini artinya ia mempunyai pengetahuan khusus seperti, seperti: Syi'ah Nuh as, Syi'ah Musa as.

Dalam sejarah Islam, Syi'ah telah dipakai secara khusus untuk para pengikut Ali. Orang pertama yang memakai istilah ini adalah Rasulullah sendiri. Rasulullah SAW berkata kepada Ali, "Kabar gembira wahai Ali! Sesungguhnya engkau dan para sahabatmu dan Syi'ah (pengikut)mu akan berada di surga."44

Dengan demikian Rasulullah SAW biasa mengatakan frase `Syi'ah Ali'. Frase ini bukanlah sesuatu yang dibuat-buat belakangan! Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa para pengikut sejati Imam Ali akan masuk surga dan ini merupakan kebahagiaan besar. Juga Jabir bin Abdillah Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Syi'ah Ali adalah orangmang yang benar-benar beruntung pada hari kebangkitan."45

'Hari kebangkitari bisa juga merujuk pada hari kemunculan Imam Mahdi as. Namun dalam terma yang lebih umum. Ia artinya hari pengadilan. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Wahai Ali! Pada hari pengadilan aku akan berpaling kepada Allah dan engkau akan berpaling kepadaku dan anak-anakmu akan berpaling kepadamu dan Syi'ah akan berpaling kepada mereka maka engkau akan saksikan ke mana mereka membawa kita (yakni ke surga)."46

Selain itu, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata,

"Wahai Ali! (Pada hari pengadilan) engkau dan syi'ah-mu akan datang menghadap Allah dalam keadaan ridha dan bahagia, dan akan datang kepada-Nya musuh-musuhmu dalam keadaan marah dan jengkel."47

Suatu versi yang lebih lengkap dari hadis yang juga telah diriwayatkan oleh kaum Sunni adalah sebagai berikut. Ibnu Abbas meriwayatkan,

"Ketika ayat sesungguhnya orang-ornng yang beriman dan beramal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (QS. al-Bayyinah : 7) diturunkan, Rasulullah SAW berkata kepada Ali, 'Mereka itu adalah engkau dan Syi'ah-mu.' Beliau melanjutkan, 'Wahai Ali! (Pada hari pengadilan) engkau dan Syi'ah-mu akan datang menghadap Allah dalam keadaan ridha dan bahagia, sementara musuh-musuhmu akan menghadap dalam keadaan marah dengan kepala mereka yang terdongak!' Ali bertanya, 'Siapakah musuh-musuhku? Nabi SAW menjawab, 'Dia yang memisahkan dirinya darimu dan mengutukmu. Dan kabar gembira bagi orang yang sampai pertama kali di bawah naungan al-Arasy pada hari kebangkitan.' Ali bertanya, 'Siapakah mereka, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Syi'ahmu, wahai Ali, dan orang-orang yang mencintaimu.48

Kemudian Ibnu Hajar menuliskan sebuah ulasan ganjil atas hadis pertama, dengan mengatakan;

"Syi'ah Ali adalah Ahlussunnah karena merekalah orang-orang yang mencintai Ahlulbait sebagaimana Allah dan Nabi-Nya perintahkan. Namun yang lainnya (yakni selain Sunni) adalah musuh-musuh Ahlulbait yang sebenarnya karena kecintaan di luar batas-batas hukum adalah permusuhan besar, dan itulah alasan bagi nasib mereka. Juga, musuh-musuh Ahlulbait adalah kaum Khawarij dan semacam mereka dari Suriah, bukan Muawiyah dan para sahabat lain karena mereka adalah muta~awwalun, dan bagi mereka adalah pahala yang baik, dan bagi Ali serta syi'ahnya adalah pahala yang baik!"49

Begitulah cara bagaimana para ulama Sunni mengatasi hadis-hadis keNabian sehubungan dengan 'Syi'ah Ali'. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah Syi'ah sejati. Mari kita simak satu hadis lagi dalam hal ini. Rasulullah SAW berkata kepada Ali,
"Empat orang pertama yang akan masuk surga adalah aku, engkau, Hasan, dan Husain, dan keturunan kita berada di belakang kita, dan istri-istri kita akan berada di belakang keturunan kita, dan syi'ah kita akan berada di sebelah kanan kita dan dalam persahabatan dengan kami.50

Dari kepingan-kepingan bukti di atas, kata 'syi -ah' digunakan oleh Allah SWT dalam Quran bagi para Nabi-Nya juga para pengikut mereka. Lebih jauh, Nabi-Nya yang mulia, Muhammad SAW, telah mengunakan kata ini berulang-ulang bagi para pengikut Imam Ali as. Kata 'syi'ah' digunakan di sini dalam arti khususnya, dan selain itu, tidak dalam bentuk jamaknya (golongan-golongan). Sebaliknya ayat-ayat dan riwayat-riwayat di atas merujuk pada suatu golongan khusus, yakni sebuah golongan tunggal. Apabila Syi'ah berarti sektarian, niscaya Allah SWT takkan menggunakannya bagi para Nabi-Nya peringkat tinggi.
Demikian juga Nabi Muhammad SAW niscaya tidak akan memuji dan memuliakan mereka.

Akan tetapi ada sejumlah ayat dalam Quran yang menggunakan bentuk jamak dari Syi'ah yakni syi-ya'a yang berarti golongan-golongan/ kelompok-kelompok. Ini merupakan pengertian umum dari terma ini, dan bukan makna khusus dalam bentuk tunggal yang telah diberikan dalam contoh-contoh sebelumnya. Sudah tentu, hanya satu golongan tunggal yang diterima oleh Allah SWT dan sisanya secara keras dikecam karena mereka telah memisahkan diri dari golongan khusus tersebut. Maka jelaslah alasan mengapa Allah SWT mengecam golongan-golongan/partaipartai/sekte-sekte (bentuk majemuk) yang memisahkan diri dari golongan khusus tadi dalam sejumlah ayat Quran. Tidak mungkin ada dua golongan yang saleh (yang ide-idenya saling berlawanan) di saat yang sama, karena antara kedua pemimpin golongan itu sesungguhnya lebih baik dan lebih memenuhi syarat, dan karena itu, klaim-klaim dan motif-motif pemimpin lain menjadi pertanyaan.

Akan tetapi kami tidak menemukan istilah tepat dari Ahlussunnah wal Jamaah, ataupun Wahabiah, ataupun Salafiah di mana-mana dalam Quran suci atau hadis-hadis Nabi. Kami setuju bahwa kita harus mengikuti Sunnah Nabi, namun kami ingin menemukan asal-usul terma pasti tersebut di sini. Kami, Syi'ah, bangga mengikuti Sunnah Nabi. Akan tetapi, pertanyaannya adalah Sunnah mana yang asli dan mana yang bukan. Kata sunnah pada dirinya sendiri tidak berperan sebagai tujuan pengetahuan. Semua Muslimin terlepas dari keyakinan meteka mengklaim bahwa mereka mengikuti Sunnah Nabi SAW. Tema'Quran dan Ahlulbait' di dalam buku ini telah memerinci hal ini.

Seyogianya ditekankan bahwa Rasulullah SAW tidak pemah bermaksud membagi-bagi kaum Muslim ke dalam aneka macam golongan. Nabi SAW memerintahkan semua orang untuk mengikuti Imam Ali as sebagai wakilnya selama masa hidupnya, dan sebagai khalifahnya sepeninggalnya. Nabi SAW menginginkan setiap orang melakukan hal itu. Nahasnya, mereka yang mengindahkannya hanya sedikit dan dikenal sebagai Syi'ah Ali. Mereka menjadi korban segala bentuk penindasan dan diskriminasi sejak wafatnya Muhammad SAW. Apabila setiap orang, atau katakanlah mayoritas Muslimin, menaati apa yang dikehendaki Nabi, niscaya tidak akan ada satu pun kelompok atau mazhab di dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam Quran, Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali Allah, dan janganlah bereerai berai! (QS. Ali Imran : 103)

Tali Allah yang kita tidak boleh berpisah darinya adalah Ahlulbait. Sesungguhnya, sejumlah ulama Sunni meriwayatkan di Imam Ja'far Shadiq as yang berkata, "Kamilah tali Allah itu yang kepadanya Allah berfirman, Berpegang teguhlah kalian semuarrya pada tali Allah, dan janganlah bercerai berai! (QS. Ali Imran : 103)"51

Karenanya, apabila Allah SWT mengutuk sektarianisme, Dia kutuk orang-orang yang memisahkan atau berlepas diri dari tali-Nya, dan bukan orang-orang yang berpegang teguh kepadanya.

Sebagian orang mengatakan bahwa tali Allah itu adalah Quran. Inipun memang benar. Namun dengan melihat hadis berikut yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah yang berkata bahwa Kasulullah SAW berkata ;

"Ali bersama Quran, dan Quran bersama Ali. Keduanya tidok,ikan pemah berpisah satu sama lain hingga keduanya kembali kepadaku di telaga (surga),"52
Maka kita dapat simpulkan bahwa Imam Ali adalah 'al-Quran verbatim'. Yakni, Imam Ali adalah tali Allah yang kuat juga, karena mereka ((luran dan Ali) tidak bisa dipisahkan. Pada kenyataannya, tcrdapat banyak hadis dalam sumber-sumber Sunni yang otentik di mana Nabi SAW bersabda bahwa Quran dan Ahlulbaitnya tidak bisa dipisah-pisahkan. 'Sekiranya kaum Muslim ingin tetap di jalan nan lurus, mereka harus bersiteguh pada keduanya. Oleh sebab itu, siapapun bisa menyimpulkan bahwa orang-orang yang berpisah dari Ahlulbait adalah sektarian yang terbagi-bagi dalam beberapa sekte dan dikecam oleh Allah dan Nabi-Nya, karena perpisahan mereka (dari Ahlulbait)

Sesungguhnya, pendapat mayoritas bukanlah suatu kriteria yang baik untuk membedakan kebatilan dari kebenaran. Jika anda meliha Quran anda akan menyaksikan bahwa Quran mengutuk keras mayoritas manusia secara berkali-kali dengan mengatakan `kebanyakan tidak memahami', 'kebanyakan tidak menggunakan logika mereka', 'kebanyakan mengikuti prasangka mereka'. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman, Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar.. (QS. Ali Imran : 110)

Umat terbaik adalah juga Ahlulbait. Marilah kami ingatkan bahwa menurut Quran, `umat' tidak berarti seluruh manusia. Bahkan ini jelas dari ayat di atas bahwa umat semacam itu dilahirkan untuk memberikan manfaat bagi manusia. Karena itu, umat bisa jadi hanya sekelompok manusia dan bukan scluruh manusia. Pada kenyataan, satu orang biasa sebagai satu umat. Kadang tindakan satu orang manusia lebih mulia/berharga ketimbang perbuatan segala manusia. Inilah yang berlaku bagi Manusia SAW, Imam Ali as, juga Nabi Ibrahim as, Quran menyatakan bahwa Ibrahim as adalah suatu umat, artinya perbuatannya lebih berharga ketimbang semua yang lain. Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Ibrallim adalah seorang umat yang taat kepada Allah dan hanif dart ia sekali-kali bukanlah termasuk orang yang menyekutukan (Allah). (QS. al-Nahl : 120)

Dengan demikian, satu orang saja bisa saja sebuah umat dalam bahasa Quran. Tentang surah Ali Imran ayat 110, menarik untuk diketahui bahwa sejumlah ulama Sunni telah meriwayatkan dari Abu Ja'far (Imam Muhammad Baqir as) bahwa Abu Ja'far as berkata mengenai ayat Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk (manfaat) manusia...(QS. Ali Imran : 110), "(Mereka itu adalah) para anggota Ahlulbait Nabi!"

Allah SWT menyebutkan juga dalam Quran, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kaliarr bersama orang-orang yang benar" (QS. at-Taubah: 119). Menurut sejumlah tafsir Sunni, 'orang-orang yang benar' adalah Imam Ali as .54lni berarti bahwa orang-orang harus bertakwa kepada Allah SWT dan semestinya tidak memisahkan diri dari Imam Ali as pasca wafatnya Nabi SAW. Nahasnya ini tidak terjadi secara luas, dan karena itu, pecahan-pecahan yang malang mengikutinya.

Menyangkut kata ash-Shadiq -'orang-orang yang benar'- banyak riwayat Sunni yang di dalamnya Rasulullah SAW mengatakan,
"Orang-orang yang benar adalah tiga; Hazqil, seorang yang beriman dari keluarga Fir'aun (lihat Surah al-Mukmin ayat 28); Habib Najjar, seorang beriman dari keluarga Yasin (lihat Surah Yasin ayat 20), dan Ali bin Abi Thalib, seorang yang paling mulia di antara mereka (lihat Surah at-Taubah ayat 119)."55
Kesimpulannya, kami telah memperlihatkan dalam artikel ini bahwa terma Syi'ah telah digunakan dalam Quran bagi para pengikut hambahamba Allah SWT yang agung, dan dalam hadis-hadis Nabi bagi para pengikut Imam Ali as. Siapa saja yang mengikuti pemimpin yang ditunjuk Tuhan seperti selamat dari perselisihan dalam agama.dan telah berpegang pada tali Allah yang kuat dan telah diberi kabar gembira mengenai surga.



13
ANTOLOGI ISLAM

Komentar Lawan
Seorang saudara Sunni menulis: sunni artinya orang yang mengikuti hadis-hadis (sunnah) Nabi, dan ini didukung oleh ayat Quran berikut:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah than (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allah.
(QS. al-Ahzab : 21)

Komentar kami sebagai berikut. Pertama, dalam ayat di atas samo sekali tidak adakata sunnah ataupunturunannya. Sebagaimana diutarakan sebelumnya, Allah SWT telah menggunakan terminologi 'muslim' dalam bentuk pastinya, huruf demi huruf, dalam Surah al-Hajj ayat 78. Allah Swl juga menggunakan kata 'syi'ah' lagi-lagi dalam bentuk tepat dalam Suroh ash-Shaffat ayat 83 bagi Nabi Ibrahim. Akan tetapi, Allah SWT tidak pemah memakai kata-kata seperti 'Sunni' atau seperti 'Ahlussunnah' bagi para pengikut Nabi SAW.

Kedua, andai kata anda mengatakan kita tidak mendapatkan terminologi tepat seperti itu, namun kita memahami bahwa Nabi adalah teladan kita, maka siapapun boleh mengatakan bahwa Quran membenarkan bahwasanya Nabi Ibrahim as adalah seorang teladan bagi kita juga, Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim...(QS. al-Mumtahanah : 4)

Perhatikan bahwa dalam ayat di atas, frase yang telah digunakan bagi Nabi Ibrahim as secara tepat telah digunakan dengan ayat yang dikutip sebelumnya bagi Nabi Muhammad SAW. Yakni memang benar bagi ayal berikut juga:

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan para pengikutnya) dan teladan (pola perilaku yang irrdah) yang baik bagimu, (yaitu) baqi orang yang mengharapkan Allah dan (keselamatan kepada) hari kematian dan barang siapa yang Berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS. al-Mumtahnnoh : 6)

Sekarang silahkan katakana kepada kami, apakah kita bisa disebut sebagai seorang Sunni karena kita mengikuti tradisi - tradisi Ibrahim ?
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW mengikuti hadis Nabi Ibrahim As namun Muhammad SAW tidak pernah bias disebut Sunni, sebagai hasilnya. Demikian pula, Nabi Ibrahim as mengikuti tradisi-tradisi Nabi Nuh, namun ia tidak pemah bisa disebut seorang Sunni. Quran menyebutkan bahwa ia (Ibrahim) seorang Syi'ah Nuh.

Ketiga, kata sunrtah telah digunakan dalam Quran untuk merujuk pada ketetapan dan cara Allah SWT mengurus masalah-masalah dan aturan-aturan yang menguasai alam semesta (sunttatullah). Namun di sini kita tengah mendiskusikan kata 'sunnah' merujuk pada Nabi SAW, dan bukan aturan-aturan yang melingkupi alam semesta. Karena itu, kita tengah mencari istilah tersebut seperti Sunttaturasulillah.

Keempat, suatu kata bisa digunakan dalam dua cara, menurut definisi atau menurut label. Seluruh muslimin adalah Sunni menurut definisi, namun hanya sekelompok orang, yang terkenal dengan nama ini, adalah Sunni menurut penamaan. Bagaimana mereka beroleh nama tersebut perlu diselidiki dengan cermat.
Juga, seluruh muslimin adalah 'taat' menurut definisi, namun tidak ada kelompok khusus di antara kaum muslim yang disebut 'taat'. Hal ini memperlihatkan bahwa memiliki ciri tertentu menurut definisi tidak memaksa kita untuk menetapkan karakteristik seperti itu dalam nama kita. Sesungguhnya, dalam banyak kasus (tidak dalam semua kasus) nama hanyalah sekadar stereotip dan tidak memantulkan sifat hakiki dari pemegang nama itu. Kadang-kadang nama itu digunakan untuk menarik orang-orang pada versi spesifik dari sesuatu yang dijumpai dalam berbagai versi. Setiap versi diklaim sebagai versi asli oleh kelompok-kelompok yang berbeda. Karena itu, ini bukanlah suatu tindakan bijaksana secara umum untuk mengidentifikasi keaslian dari sesuatu melalui namanya.

Sesungguhnya, para pengikut Nabi diminta untuk mengikuti sunnahnya menurut definisi. Namun apakah mereka disebut Sunni ketika Nabi Muhammad SAW hidup? Atau bahkan beberapa tahun pasca kemangkatannya? Dalam madah lain, persoalan untuk dijawab adalah: "Kapan nama Ahlussunnah wal Jamaah muncul dalam sejarah Islam bagi sekelompok Muslim tertentu?



Fatwa al-Azhar tentang Syi ah
Berikut ini adalah fatwa dari salah seorang ulama besar Sunni, Syaikh Mahmud Syaltut sehubungan dengan Syi'ah. I'atut diketahui bahwa beberapa dasawarasa silam, sekelompok ulama Sunni dan Syi'ah membentuk sebuah pusat di Azhar dengan nama Dar al-Taqrib al-Mazhahih al-Islnmiyyah (Pusat Pendekatan Mazhab-mazhab Islam). Maksud dari usaha ini, sebagaimana diisyaratkan oleh namanya, adalah untuk menjembatani kesenjangan antara pelbagai mazhab, dan melahirkan saling penghormatan, memahami, dan menghargai setiap kontribusi mazhab kepada perkembangan fikih Islam di antara ulama-ulama pelbagai mazhab, sehingga mereka pada gilirannya bisa membimbing para pengikut mereka menuju tujuan kesatuan ultimat, dan berpegang pada satu tali, sebagaimana ayat terkenal Quran, Berpeganganlah kepada tali Allah dan janganlah berpecah belah secara jelas tawarkan kepada kaum Muslim.

Upaya keras ini pada akhirnya membuahkan hasil ketika Syaikh Syaltut mengeluarkan pernyataan yang terjemahannya dilampirkan di bawah. Sudah dijelaskan secara terbuka bahwa kedudukan fatwa resmi Azhar ini terhadap setiap mazhab, termasuk mazhab Syi'ah Imamiah, tetap dan tidak berubah sejak deklarasi Syaikh Syaltut.

Sejumlah orang yang mengikuti para ulama-semu di Hijaz boleh jadi tidak sepakat. Kendati demikian, apa yang anda lihat di bawah adalah pandangan yang dipegang oleh mayoritas ulama Sunni, dan bukan hanya pandangan di Azhar. Biarlah diketahui bahwa mereka yang berjuang keras untuk memecah belah kita, sesungguhnya hanya akan beroleh usaha yang sia-sia.

Patut diketahui oleh para pembaca frase asy-Syi'ah al-Imamiyah al-Itsna 'Asy'ariyah berarti mazhab Syi'ah imamiyah Dua Belas Imam yang terdiri dari kebanyakan Syi'ah dewasa ini. Frase'Syi'ah Dua Belas Imam' digunakan secara bertukaran dengan 'mazhab Syi'ah Ja'fari' dan 'Syi'ah Imamiah' dalam aneka macam literatur. Semuanya itu semata-mata nama yang berbeda untuk mozhab yang sama.

Sedangkan asy-Syi'ah az-Zaidiyah termasuk pada golongan Syi'ah minoritas, yang kebanyakan berpusat di Yaman yang bertempat di bagian timur Jazirah Arab. Untuk jabaran yang lebih rinci tentang golongan Zaidiyah dan Dua Belas Imam, silakan rujuk buku, Islam Syi'ah karya ulama kondang Syi'ah, Allamah Thabathaba'i.

Berikut ini deklarasi Syaikh Syaltut: Kantor Pusat Universitas Azhar: Dengan Nama Allah Maha Pengasih Maha Penyayang
Teks dari Fatwa yang Dikeluarkan oleh Yang Mulia Syekh Akbar Kepala Universitas Azhar, Tentang Kebolehan Mengikuti mazhab Syi'ah Imamiyah Yang Mulia ditanya:

Sebagian percaya bahwa bagi seorang Muslim untuk beramal ibadah dan bermuamalah dengan benar, adalah penting untuk mengikuti satu dari empat mazhab terkenal (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) sedangkan Syi'ah Imamiyah tidaklah termasuk dari empat mazhab tersebut ataupun Syi'ah Zaidiyah. Apakah Yang Mulia setuju dengan pendapat ini dan melarang mengikuti mazhab Syi'ah Imamiyah Itsna Asyariyah, misalnya?
Yang Mulia menjawab:

1) Islam tidak menuntut seorang Muslim untuk mengikuti mazhab tertentu. Sebaliknya, kami katakan: Setiap Muslim mempunyai hak untuk mengikuti salah satu dari mazhab yang disampaikan secara benar dan fatwa-fatwanya telah disusun dalam kitab-kitabnya. Dan setiap orang yang mengikuti mazhab tersebut bisa berpindah ke mazhab lain, dan tidak ada kesalahan pada dirinya untuk melakukan demikian.

2) Mazhab Ja'fari, yang juga dikenal sebagai Syi'ah Imamiyah Itsna Asy'ariyah (yakni Syi'ah Imamiah Dua Belas Imam) adalah sebuah mazhab yang secara agama sah untuk diikuti dalam hal ibadah sebagaimana mazhab Sunni lainnya.

Kaum Muslim haru mengetahui hal ini dan seyogyanya mencegah diri dari prasangka tidak adil kepada mazhab tertentu apapun, karena agama Allah dan hukum suci-Nya (syariat) tidak pemah dibatasi oluh mazhab tertentu. Para mujtahid mereka (mujtahidun) diakui oleh Allah Yang Mahakuasa, dan dibolehkan bagi orang yang'bukan Mujtahid' untuk mengikuti mereka dan mengamalkan ajaran mereka entah dalam ibadah maupun muamalah.

Tertanda, Mahmud Syaltut Catatan:

Fatwa di atas dilansir pada 6 Juli 1959 dari Dewan Universitas Azhar dan selanjutnya diterbitkan di berbagai terbitan di Timur Tengah seperti surah kabar asy-Sya'ab (Mesir ), edisi 7 Juli 1959 dan surah kabar al-Kifah (Lebanan), edisi 8 Juli 8 1959. Bagian di atas dapat juga dijLtmpai di buku Inquiries about Islam karya Muhammad Jawad Chirri, Direktur Islamic Center of America, 1986, Detroit, Michigan, Amerika Serikat.[]



Catatan Kaki
1. Referensi hadis Sunni: Shahih, Baihaqi; Musnad Ahmad ibn Hanbal, sebagaimana yang dikutipnya; Syarh, Ibnu Abil Hadid, jilid 2, hal. 449; Tafsir al-Kabir, Fakhruddin Razi, menafsirkan ayat Mubilah, jilid 2, hal. 288. la menulis hadis ini sebagai hadis yang sahih; Ibnu Batutah meriwayatkannya sebagai hadis yang berasal dari Ibnu Abbas. la menyatakannya dalam bukunya Fath al-Mulk al-Ali bi Shihah Hadits-eBab-e Madinat al llm, hal. 34, oleh Ahmad bin Muhammad bin Shiddiq Hasani Maghribi; Orang yang telah mengakui bahwa Imam Ali yang merupakan gudang rahasia seluruh nabi adalah pemimpin makrifah, Muhyiddin Arabi, Arif Sya'rani telah menyalinnya di dalam bukunya al-Yuwaqit wa al-jawahir (ha1.172, pembahasan 32).
2. Referensi hadis Sunni: Mizan al-I'tidal, Dzahabi, jilid I, hal. 235; Fadha'il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jilid. 2, hal. 663, hadis 1.130; ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhib Thabari, jilid 2, ha1.164, jilid 3, ha1.154; Tarikh, lbnu Asakir. Catatan: 'genggaman Allah' artinya kekuasaanNya. Kalimat 'dalam genggaman Allah' artinya dalam kerajaan, singgasana, dan kehadiran-Nya.
3. Referensi hadis Sunni: Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 10, hal. 356; as Sawa'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 9, sub jilid 2, hal. 195.
4. Referensi hadis Sunni: ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhibuddin Thabari, jilid 2, ha1.172.
5. Referensi hadis Sunni: as-Sawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, bab 9, sub jilid 2, hal. 195.
6. Referensi hadis Sunni: Kanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 402; Radd al-Syams, Shathan Fundhaili.
7. Referensi hadis Sunni: Kunuz al-Haqa'iq, Abdurrauf Manawi, hal. 92
.8. Referensi hadis Sunni: ar-Riyadh an-Nadhirah, Muhibuddin Thabari; Izalat al-Khifa Maqsad.
9. Referensi hadis Sunni: Kinuz al-Haqa'iq, Abdurrauf Manawi, hal. 92; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 7, hal. 421.
10. Referensi hadis Sunni: Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 3, ha1.19; Tahdzib al-Tahdzib, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 9, hal. 419.
11. Referensi hadis Sunni: Kanz al-Ummal, Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 398.
12. Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, Bahasa Arab, bag. 2, hal. 193; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid. 3, hal. 45, 384; Sawa'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, hal. 251; Nuzul Isa ibn Maryanr Akhir az-Zaman, Jalaluddin Suyuthi, hal. 57; Musnad Abu Ya'la yang memberi versi hadis yang lain dengan kalimat yang lebih jelas yang berasal dari jabir. Nabi Muhammad berkata, "Sekelompok dari umatku akan terus berperang demi kebenaran hingga Nabi Isa putra Maryam akan turun. Pemimpin zaman saat itu akan memintanya memimpin shalat, tetapi Nabi Isa menjawab, 'Engkau lebih berhak memimpin shalat dan sesungguhnya Allah telah melebihkan sebagian dafi kalian atas umat lainnya.'
13. Nuzul Isa Ibn Maryam Akhir az-Zaman, Jalaluddin Suyuthi, hal. 56.
14. Referensi hadis Sunni: Fat'h al-Bari, Ibnu Hajar Asqalani, jilid. 5, hal. 362.
15. Referensi hadis Sunni: Sawa"iq al-Muhriqah,Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, hal. 19
16. Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 47-48; Tafsir Shahih Muslim, Nabawi, jilid 8, hal. 206, dan o1e11 Abi dan Sanusi, jilid 3, ha1. 361; Musnad Ahmad ibn hanbal, jilid 4, hal. 427-428; Sunan, Darimi, jilid 2, hal. 305; al-Mustadrak, Hakim, jilid 3, hal. 472; Tabaqat, Ibnu Sa'd, jilid 7, bag. l, hal. 6; al-Isti'ab, Ibnu Abdul Barr, jilid 3, ha1.1208; Usd a lGhabah, Ibnu Atsir, jilid 4, ha1.138; Jarrri 'al-Ushul, Ibnu Atsir, jilid 7, hal. 551; al-Ishabah, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 3, hal. 26-27; Tahdzib at-Tahzib, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 8, hal. 126; Fath al-Bari, Ibnu Hajar Asqalani, jilid 12, hal. 261; Syarh al-Mawahib, Qastalani, jilid 7, ha1.133.
17. Shahih Bukhari, hadis 4. 675 (versi bahasa Arab-Inggris).
18. Shahih Bukhari, hadis 5.38 (versi bahasa Arab dan Inggris).
19. Catatan: kami menghilangkan nama-nama sahabat Nabi Muhammad saw pada hadis di atas karena kemuhadasannya tidak diyakini kaum Syi'ah. Mengenai pendapat kaum Syi'ah, lihat al-Ghadir, Amini, jilid 5, hal. 42-54, jilid 8, hal. 90-91. Disebutkan bahwa menurut penafsiran kaum Sunni di atas, makna muhaddats di sini berarti seseorang yang diberi bisikan gaib dari Allah, bertemu malaikat, berkomunikasi dengan mereka dan diberitahu tentang berita-berita gaib (jangan samakan dengan ilmu gaib yang hanya dimiliki Allah) mengenai hal-hal yang terjadi saat ini dan yang akan datang, dan para sahabat yang disebutkan pada hadis tersebut memiliki artibut-atribut ini!
20. Beberapa referensi hadis Sunni yang menyebutkan turunnya ayat Quran di atas di Ghadir Khum setelah Nabi Muhammad saw selesai berkhotbah adalah: al-Durr al-Mantsur, Hafizh Jalaluddin Suyuthi, jilid 3, hal. 19; Tarikh, Khatib Baghdadi, jilid 8, hal. 290, 596, dari Abu Hurairah; Manaqaib, Ibnu Maghazali, hal. 19; Tarikh Damaskus, Ibnu Asakir, jilid 2, hal. 75; al-Itqan, Suyuthi, jilid 1, hal. 13; Manaqib, Khawarazmi Hanafi, hal. 80; al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 213; Yanabi al-Mawaddah, Quduzi Hanafi, hal. 115; Nuzul al-Quran, Hafizh Abu Nu'aim diriwayatkan dari Abu Sa'id Khudri; dan lain-lain.
21. Referensi hadis Sunni: Ibnu Asakir, sebagaimana yang dikutip dalam Tafsir al-Durr al-Mantsur.
22. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak, Hakim, bab mengenai 'Mengenal Keutamaan Para Sahabat', jilid 3, hal. 172.
23. Shahih Bukhari, edisi Arab-Inggris, Dr. Muhammad Muhsin Khan, jilid Z, hal. 236 (referensi 2.423), bab 'Barang siapa yang Ingin Dikubur di Tanah Suci'; Shnahih Bukhari, edisi Arab-Inggris, Dr. Muhammad Muhsin Khan, jilid 4, hal. 409 (referensi 4.619), Bab 'Kematian Musa dan Peringatan Setelah Kematiannya'.
24. Referensi Sunni: Tafsir al-Kabir oleh Fakhruddin Razi, bagian 27, ha1.165-166; Tafsir ats-Tsa'labi, sebagai komentar atas Surah asy-Syura ayat 23; Tafsir ath-Thabari, Ibnu Jarir Thabari, di bawah ayat asy-Syisra ayat 23; Tafsir al-Qurthnbi, sebagai komentar atas Surah asy-Syura ayat 23; Tafsir al-Kasysyaf, Zamakhsyari sebagai komentar atas Surah asy Syura ayat 23; Tafsir al-Baidhawi, sebagai komentar atas Surah asy-Syura ayat 23; Tafsir al-Kalbi, sebagai komentar atas Surah asy-Syura ayat 23; al-Madarik, berkenaan dengan Surah asy-Syura ayat 23; Dzakha'ir al Uqba, Muhibuddin ath-Thabari, hal. 25; Musnad Ahmad ibn Hanbal; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal 1, hal. 259; Syawahid al-Tanzil, Hakim Haskani Hanafi, jilid 2, hal. 132; Dan banyak lagi yang lainnya seperti Ibnu Abu Hatam, Thabrani dan lainlain.
25. Referensi Sunni: Dzakha'ir al-Uqba, Muhibuddin Thabari, hal. 26; as-Sirah, Mala.
26. Referensi Sunni: ath-Thabaqat, Ibnu Sa'd; as-Sirah, Mala; ash-Shawa'iq a1-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasa 1, hal. 231.
27. Referensi Sunni: Tarikh oleh Khatib Baghdadi; ash-Shawa'iq alMuhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 9, pasal 2, hal. 193.
28. Lihat ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, Pasal l, hal. 261-262 yang menukil dari Hafizh Salafi, Baihaqi, Abu Syekh, dan Dailami.
29. Referensi Sunni: Shahih Tirmidzi, jilid 5, hal. 641; Musnad Ahmad ibn Hanbal, berdasarkan otoritas Imam Ali as; Fadha'il ash-Sahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 693, hadis 1.185; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal 1, hal. 264. 30. Referensi Sunni: Fadha'il ash-Shahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 658, Hadis#1121; ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Muhibuddin Thabari, jilid 3, ha1.176; Majma 'az-Zazva'id oleh Haitsami, jilid 9, ha1.132; Syarh ibn Abil Hadid, jilid 2, hal. 429.
31. Referensi Sunni: al .Mustadrak oleh Hakim, bab' Mengenal Keutamaan Para Sahabat', jilid 3, hal. 172.; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal 1, hal. 259; Dan banyak lagi lainnya seperti Bazzar, Thabrani dan lain-lain.
32. Referensi Sunni: Musnad Ahrnad ibn Hanbal, sebagaimana disebutkan dalam ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami; bab 11, pasal l, hal. 259.
33. Referensi Sunni: Tafsir ibrz Katsir (edisi lengkap), jilid 4, hal. 112, di bawah tafsir Surah asy-Syura ayat 23; Thabrani, sebagaimana disebutkan dalam ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bali 11, pasal l, hal. 259.
34. Referensi Sunni: ath-Thabaqat oleh Ibnu Sa'd; Syaraf an-Nubuwwah oleh Muhibuddin Thabari berdasarkan otoritas Abu Sa'id; ash-Shazva'iq alMuhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal l, hal. 231. 35. Referensi Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, pasall, hal. 225.
36. Lihat ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, pasal l, hal. 228.
37. Shahih Bukhari hadis 6.320.
38. Shahih Bukhari hadis 6.321.
39. Shahih Bukhari hadis 6.322.
40. Shahih Bukhari hadis 8.368.
41. Referensi Sunni: Riyadh ash-Shalihin, oleh Nawawi, versi bahasa Inggris, hadis 1.406
42. Referensi Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, bab 'Memahami (Keutamaan-keutamaan) Pada Sahabat', jilid 3, hal. 148. Penulis kemudian mengatakan, "Hadis ini sahih berdasarkan kriteria dua Syekh (Bukhari dan Muslim)."; Talkhis of al-M Mutadrak oleh Dzahabi, jilid 3, hal.l48; Usd al-Ghabah, jilid 3, hal. 33.
43. Referensi Sunni: ash-Shama'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 11, pasal 1, hal. 225, dikutip dari Ahmad bin Hanbal.
44. Referensi Sunni: Daruquthni, dan Baihaqi, sebagaimana dikutip dalam ash-Shawdiq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, hal. 349.
45. Referensi Sunni: Fadha'il ash-Shahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 655; Hiiyat al-Azvliya oleh Abu Nu'aim, jilid 4, hal. 329; Tarikh oleh Khatib Baghdadi, jilid 12, hal. 289; al-Awsath oleh Thabrani; Majma' az-Zawa'id oleh Haitsami, jilid 10, hal. 21-22; Daruquthni, yang menyebutkan hadis ini telah diriwayatkan melalui berbagai otoritas; ash-Shawdiq al-Muhriqahl oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal 1, hal. 247.
46. Referensi Sunni: al-Manaqib, Ahmad, sebagaimana disebutkan dalam Yanabi al-Mawaddah oleh Qanduzi Hanafi, hal. 62; Tafsir al-Durr al-Mantsur oleh tIafizh Jalaluddin Suyuthi, yang menukil hadis sebagai berikut; "Kami bersama Nabi saw ketika Ali datan kepada kami. Nabi saw berkata, 'Dia dan syi'ahnya akan mendapatkan keselamatan pada hari pengadilan."
47. Referensi Sunni: Rabi al-Abrar oleh Zamakhsyari.
48. Referensi Sunni: Thabrani berdasarkan otoritas Imam Ali; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasall, hal. 236. 49. Referensi Sunni: Hafizh Jamaluddin Dzarandi, berdasarkan otoritas Ibnu Abbas; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 11, pasal 1, ha1.246-247.
50. Referensi Sunni: ash-Shazoa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, pasal l, hal. 236.
51. Referensi Sunni: al-Manaqib oleh Ahmad; ath-Thabrani, sebagaimana dinukil dalam ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal l, hal. 246.
52. Referensi Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, pasal 1, hal. 233; Tafsir al-Kabir oleh ats-Tsa'labi, di bawah tafsir Surah Ali Imran ayat 103.
53. Referensi Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal 124 berdasarkan otoritas Ummu Salamah; ash-Shawa'iq al-Muhrqah uleh Ibnu Hajar, bab 9, I'asa12, ha1.191,194; al-Azosath Thabrani; jyn Lialam a4r-Shaghir; Tarikh al-Khlafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 173.
54. Referensi Sunni: Ibnu Abu Hatam, sebagainuana disuhutkan dalam al-Dim, al-Mantsiar oleh Jalaluddin Suyuthi di dawah tafsiran surat Ali Imran ayat 110.
55. Referensi Sunni: Tafsir al-Durr al-Mantsur, Hafizh Jalaluddin Suyuthi, dua riwayat: satu dari Ibnu Mardawaih oleh Ibnu Abbad dan kedua dari Ibnu Asakir oleh Abu Jat'far as.
56. Referensi Sunni: Abu Nu'aim dan Ibnu Asakir, berdasarkan otoritas Abu Laila; Ibnu Najjar, berdasarkan otoritas Ibnu abbas; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 9, pasal 2, hal. 192-I93.

14
ANTOLOGI ISLAM

BAB 5 : IMAM MAHDI : CAHAYA PETUNJUK AKHIR
Tidak ada keraguan bahwa Quran adalah kitab Allah dan seluruh umat Islam di dunia diminta untuk menerima ajaran dan perintahnya. Ketika seseorang membuka Quran dan melihat selintas pada ayat-ayatnya, ia akan menemukan sesuatu yang nampaknya merupakan bentangan tnasa depan yang luar biasa, menakjubkan dan menggembirakan serta akhir dari alam semesta ini.

Quran menunjukkan bahwa tujuan utama misi rasul agama Islam adalah memenangkan agama Islam atas agama-agama lain di dunia ini dan suatu hari cita-cita ini akhirnya akan tercapai.

Dialah yang telah mengutus rasul-Nya (Muhammad) dengan petunjuk datt agama kebenaran, untuk memenangkan agama-Nya atas agama- agama lainmeskipun kaum musyrikin tidak menyukainya."
(QS. at-Taubah:33).

Kitah suci yang dibawa Rasulullah terakhir berisi kabar gembira bahwa kekuasaan di muka bumi ini pada akhirnya akan dipegang oelh hamba-hamba Allah yang saleh dan taat.

Sesungguhnya muka bumi ini kepunyaan Allah. la mewariskan kepada orang-orang yang Ia sukai, dan akhir yang baik diperuntukkan bagi orang-orang beriman.. " (QS. al-A'raf:128).

Sesungguhnya Karni tulis dalam Zabur sesudah Kitab Pemberi Peringatan bahwa sesunggulwya hamba-hamba-Ku yang saleh akan mewarisi muka bumi ini." (QS. al-Anbiya:105).

Dunia yang akan dipenuhi kerusakan, kehancuran dan kebodohan, seperti tubuh tanpa nyawa, akan dibangkitkan dengan cahaya terang keadilan sebagaimana yang ditunjukkan dalam kitab-Nya:

Ketahuilah Allah menghidupkan alam semesta setelah kematian.nya. (QS. al-Hadid : 17)

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan beramal saleh bahwa Ia akan menjadikan mereka khalifah di muka bumi ini sebagaimana Ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka mewarisi yang lain dan la akan menegakkan bagi mereka agama Yang telah di ridhoi dan menggantikan rasa takut mereka agar mereka menyembah-Ku dan tidak menyekutukan-Ku. (QS. an-Nur : 55)

Mereka berniat memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka tetapi Allah hendak menyempumakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir tidak menyukainya. (QS. ash-Shaff : 8)

Dan Kami hendak memperlihatkan kebaikan kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi ini untuk menjadikan mereka tanda dan pewaris. (QS. al-Qashash : 5)

Itu hanyalah beberapa contoh kecil berita berita gembira yang disebutkan dalam Quran. Dengan mempelajari hal ini dan tanda-tanda sama yang lainnya, disimpulkan bahwa pesan-pesan Islam akan sempuma apabila cita-cita suci ini tercapai. Seluruh tujuan-tujuan khayal dan buatan akan hancur dan agama Islam, agama yang benar dan satu, akan menjadi agama semua orang yang berada di timur dan di barat dunia ini. Ketidakadilan, penindasan, diskriminasi akan musnah dan keadilan dan persamaan yang merupakan hukum penciptaan dunia akan akan ditegakan di semua tempat. Kerajaan khalifah yang di angkat Allah yang menampakkan dirinya di setiap penjuru dunia.Cahaya petunjuk Allah akan bersinar di muka bumi ini akan menjadi milik orang-orang yang beriman.
Benarlah, Quran memberi berita gembira. Hari yang sangat dinanti-nanti secara antusias oleh seluruh umat muslim di dunia akan tiba.

Selain Quran, ucapan Nabi Muhammad SAW merupakan harta karun ajaran Islam yang paling berharga. Di lautan mutiara hadis Islam, berita gembira mengenai Kerajaan yang Adil dapat dilihat yang memuat tentang 'Revolusi Ilahi dan'Pemimpin yang ditunjuk Allah', yang akan memenuhi cita-cita suci ini.

Dalam hadis yang disepakati semua kaum muslimin, Nabi Muhammad berkata,

"Meskipun masa keberadaan dunia ini telah habis dan hanya tersisa satu hari sebelum Hari Kiamat tiba, Allah akan memperpanjang hari itu hingga waktu tertentu untuk menegakkan kerajaan orang yang berasal dari Ahlulbaitku yang akan dinamai dengan namaku. la akan mengisi dunia ini dengan kedamaian dan keadilan sebagaimana dunia ini akan dipenuhi ketidakadilan dan penindasan setelahnya."

Hadis berharga di atas menunjukkan bahwa janji-janji Allah yang samgat berharga akan dipenuhi, secepatnya atau dalam waktu yang akan datang, dengan suatu cara atau cara lain, sebagaimana juga disebutkan aluh sebagian besar sumber hadis Sunni dan Syi'h.

Pada pembahasan kenabian dan imamah (kepemimpinan) dibahas bahwa sebagai kansekwensi dari aturan petunjuk umum yang yang mengatur semua penciptaan, manusia memang perlul dikaruniai kekuatan menerima wahyu melalui kenabian yang akan membawanya kepada kesempurnaan norma-norma manusia dan kesejahteraan umat manusia. Tentu saja apabila kesempurnaan dan kebahagiaan itu mustahil bagi manusia, fakta bahwa ia dikaruniai kekuatan akan sia - sia dan tidak mempunyai makna. Tetapi dalam penciptaan tidak ada kesia - siaan.

Dengan kata lain, sejak mendiami bumi, manusia memiliki Keinginan untuk menjalani kehidupan sosial yang dipenuhi kebahagiaan dalam makna sebenarnya dan telah didorang untuk berusaha mencapai tujuan ini. Apabila keinginan tersebut tidak memiliki eksistensi objektif, keinginan itu tidak akan tertulis dalam fitrah manusia, sama halnya dengan apabila tidak ada makanan berarti tidak akan ada arti dari rasa lapar (karena rasa lapar dipahami apabila seseorang membandingkan orang yang telah makan dan yang belum makan), dan apabila tidak ada air tidak akan ada rasa haus dan apabila tidak ada reproduksi tidak akan ada ketertarikan seksual di antara lawan jenis.

Oleh karena itu, dengan alasan kebutuhan dan tujuan yang paling dalam, masa depan akan menampakkan suatu hari ketika masyarakat manusia akan dipenuhi keadilan, semua orang akan hidup dalam ketenangan dan kedamaian, dan umat manusia akan dipenuhi kebaikan dan kesempumaan. Penegakan kandisi seperti itu akan terjadi melalui tangan manusia tetapi dengan pertolongan ilahi. Dan pemimpin masyarakat seperti itu diberi nama dengan bahasa hadis-hadis, yaitu Mahdi (Orang yang diberi petunjuk).

Pada agama-agama berbeda yang memerintah dunia, seperti Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Nasrani, dan Islam, terdapat keterangan tentang seseorang yang akan datang sebagai juru selamat manusia. Agama-agama ini telah memberitakan kabar gembira tentang kedatangannya, meskipun tentunya, ada perbedaan kecil pada hal-hal yang kecil yang dapat dipahami apabila ajaran ini dibandingkan dengan teliti.

Bagaimanapun, satu hal yang sama dari semua ajaran ini adalah bahwa seorang manusia akan datang untuk menegakkan kedamaian dan ketenangan di seluruh muka bumi. Setiap agama memiliki keyakinan yang berbeda-beda dalam hal ini. Akan tetapi, hal paling kecil yang harus dilakukan manusia (apa pun agamanya), adalah mengakui semua yang secara umum ada dalam ajaran itu. Hal ini untuk membuktikan pentingnya keyakinan tentang kedatangannya.

Dengan demikian, penyelamat yang diharapkan datang pada akhir masa diwujudkan dalam diri seseoramg karena dasar keyakinan seperti itu ditegakkan oleh semua agama. Keyakinan agama - agama yang berbeda dapat diterima berdasarkan kecenderungan-kecenderungannya, dan kemudian disangkal. Fakta yang tersisa adalah bahwa ajaran agama-agama sebelumnya telah mengolami proses perubahan yang sangat lama, dan hanya agama Islam yang dijamin keberlangsungannya. Dengan demikian, kita harus menerima keyakinan bahwa hadis-hadis Nabi Muhammad SAW telah menawarkan kepada kita mengenai seseorang yang akan datang dengan nama Imam Mahdi. Dan tentunya, Nabi Isa akan muncul sebagai salah satu pengikut Imam Mahdi, berdasarkan hadis Nabi.

Ada banyak hadis yang disebutkan dalam sumber-sumber hadis Sunni dan Syi'ah tentang kedatangan Imam Mahdi. Contohnya, ia adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dan kedatangannya akan membuat masyarakat manusia mencapai kesempumaan sesungguhnya dan perwujudan kehidupan spiritual. Selain itu, ada banyak hadis lain yang menyatakan bahwa Imam Mahdi adalah putra Imam kesebelas, Hasan Askari, dan bahwa setelah dilahirkan dan mengalami kegaiban (ada di tengah-tengah manusia tetapi ia tidak dapat dikenali), Imam Mahdi akan datang lagi, mengisi dunia dengan keadilan sebagaimana sebelumnya di mana dunia ini telah dirusak oleh ketidakadilan dan penindasan.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Sepeninggalku akan ada dua belas pemimpin. Yang pertama adalah engkau, wahai Ali, dan yang terakhir adalah 'pembimbing' (ul Qaim) yang dengan karunia Allah akan memperoleh kemenangan di seluruh dunia timur dan barat."

Ali Ridha bin Musa Kazhim (Imam kedelapan) berkata dalam sebuah hadis;

"Imam setelahku adalah putraku, Muhammad, dan setelahnya adalah putranya, Ali, dan setelahnya adalah putranya, Ilasan, dan setelah Hasan adalah putranya, Hujjatul Qaim (bukti Allah yang akan muncul) dan ditunggu-tunggu selama masa gaibnya akan ditaati selama masa kehadirannya. Meskipun masa keberadaan dunia ini telah habis dan hanya tersisa satu hari sebelum Hari Kiamat tiba, Allah akan memperpanjang hari itu hingga ia muncul dan mengisi dunia ini dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dunia ini telah dipenuhi oleh ketidakadilan. Tetapi, kapan? Mengenai berita kedatangannya (waktu kemunculannya), ayahku sering berkata kepadaku yang ia dengar dari nenek moyangnya yang mendengarnya dari Ali as bahwa pertanyaan itu ditanyakan kepada Nabi Muhammad,
`Wahai Nabi, kapankah, pemberi petunjuk (al-Qairn) yang berasal dari keluarganya itu akan datang?' la berkata, "Pertanyaan seperti itu sama dengan pertanyaan kapan hari kiamat akan tiba." Hanya Allah yang mengetahuinya dan la akan menemukannya pada waktu yang tepat. Hal ini sangat berat bagi bumi dan langit. Tidak datang kepada kalian kecuali orang-orang yang mengetahui. (QS. al-Araf :187)

Musa Baghdadi berkata, "Aku mendengar Hasan Askari bin Ali Hadi (Imam ke sebelas) berkata;

"Aku melihat bahwa perbedaan akan muncul diantara kalian sepeninggalku tentang pemimpin setelahku. Barang siapa yang menerima para imam setelah Rasulullah tetapi menyangkal putraku, ia seumpama orang yang menerima semua nabi tetapi menyangkal kenabian Muhammad, Rasulullah, karena menaati pemimpin terakhir yang berasal dari keluarga kami sama dengan menaati pemimpin pertama dari keluarga kami, dan menyangkal pemimpin yang pertama berarti menyangkal pemimpin yang terakhir dari keluarga kami. Tetapi, berhati-hatilah! Sesungguhnya putraku dalam keadaan gaib ketika semua orang terjatuh dalam kebimbangan kecuali orang-orang yang dilindungi Allah.

Ada ratusan hadis nabi mengenai Imam Mahdi as yang telah dicatat dalam koleksi hadis Sunni dan Syi'ah. Sebagian besar ulama dari semua mazhab pemikiran Islam masing-masing memiliki kitab-kitab kumpulan hadis mengenai Imam Mahdi, Imam akhir zaman. Jumlah kitabnya mencapai sepuluh jilid. (Mengenai keterangan hal ini, lihatlah artikel selanjutnya) Dengan demikian, meyakini Imam Mahdi tidak hanya khusus bagi kaum Syi'ah. Para ulama Sunni juga meyakininya meskipun mereka tidak memiliki informasi yang banyak tentangnya sebagaimana yang dimiliki kaum Syi'ah.



Dokumentasi Kaum Sunni Mengenai Imam Mahdi as
Mengenai saudara-saudara kaum Sunni, ada enam koleksi hadis utama berdasarkan standar kaum Sunni yang membuktikan kesahihan sebuah hadis. Kitab-kitab tersebut di antaranya, Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Shahih at-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Daud, dan Shahih an-Nasa'i. Kami hanya akan mengutip beberapa hadis dari enam kitab tersebut untuk membuktikan bahwa seorang saudara Sunni yang berpengetahuan luas tidak dapat menyangkal bahwa: 1) Mahdi as akan datang pada akhir zaman untuk menegakkan pemerintahan seluruh dunia, 2) Mahdi as berasal dari Ahlulbait Nabi Muhammad SAW; 3) Mahdi as berasal dari keturunan Fathimah as, putri Nabi Muhammad SAW, 4) Mahdi as tidak sama dengan Nabi Isa, 5) Nabi Isa as akan muncul sebagai salah satu pengikut Imam Mahdi dan shalat di belakangnya dalam suatu shalat berjamaah.

Fakta lain yang tidak dapat disangkal adalah bahwa banyak ulama Sunni terkemuka telah menulis kitab demi kitab secara khusus tentang Imam Mahdi as. Berikut ini hanyalah beberapa hadis mengenai Imam Mahdi yang diakui kaum Sunni sebagai hadis yang Shahih.

Meskipun masa keberadaan dunia ini telah habis dan hanya tersisa satu hari sebelum Hari Kiamat tiba, Allah akan memperpanjang hari itu hingga waktu tertentu untuk menegakkan kerajaan orang yang berasal dari Ahlulbaitku yang akan dinamai dengan namaku. la akan mengisi dunia ini dengan kedamaian dan keadilan sebagaimana dunia ini akan dipenuhi ketidakadilan dan penindasan setelahnya.'1

Nabi Muhammad SAW juga bersabda, "Maldi adalah salah satu dari Lomi, anggota keluarga kami (Ahlulbait)."2

Dari hadis-hadis di atas, jelaslah bahwa Imam Mahdi as berasal dari Ahlulbait Nabi Muhammad, dan ia bukanlah NabiIsa as. Dengan demikian, Mahdi dan Almasih adalah dua kepribadian yang berbeda tetapi mereka datang pada saat yang sama. Mahdi sebagai Imam dan Nabi Isa sebagai pengikutnya. Hadis berikut ini dengan jelas menyebutkan bahwa Imam Mahdi merupakan salah satu keturunan putrid Nabi Muhammad SAW, Nabi Muhammad bersabda, "Mahdi berasal dari keluargaku, dari Keturunnn Fathimah (putri nabi)."3

Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Kami putra putri Abdul Muththalib adalah penghulu para penghuni surga, aku, Hamzah, Ali, Ja'far bin Abi Thalib, Hasan, Husain, dan Mahdi."4

Nabi Muhammad berkata,

"Mahdi akan muncul di tengah-tengah umatku. la akan hidup selama tujuh atau sembilan tahun. Pada saat itu, umatku akan mendapatkan kebaikan yang melimpah ruah yang tidak pemah terjadi sebelumnya. Umatku akan mendapatkan makanan yang sangat banyak, sehingga tidak perlu menyimpan apa pun, kemudian harta yang melimpah, sehingga apabila seseorang meminta kepada Mahdi sedikit dari harta itu, ia akan berkata, 'Ini, ambillah!"5

Nabi Muhammad SAW bersabda,

"Kami (Aku dan keluargaku) adalah keluarga yang telah Allah jadikan bagi mereka kehidupan akhirat lebih utama daripada kehidupan dunia. Anggota keluargaku akan mengalami penderitaan yang sangat hebat dan mengalami pengusiran secara paksa dari kampung halaman mereka setelah aku tiada. Kemudian akan datang orang-orang dari Timur sambil membawa bendera-bendera hitam. Mereka akan meminta agar kebaikan diberikan kepada mereka, tetapi mereka akan ditolak. Karena itu, mereka akan berperang dan mendapat kemenangan. Mereka akan diberi apa yang mereka inginkan pertama kali. Tetapi mereka akan menolak untuk menerimanya hingga mereka memberikannya kepada seorang lelaki dari keluargaku (Ahlulbait) yang mengisi muka bumi ini dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi kerusakan. Maka barang siapa yang sampai pada masa itu, ia harus mendatangi mereka meskipun .ia merangkak di atas es karena di antara mereka terdapat wakil Allah (Khalifatullah) Mahdi."6

Selain itu, Nabi Muhammad bersabda,

"Dunia ini tidak akan hancur hingga seorang lelaki dari kalangan bangsa Arab yang namanya sama dengan namaku muncul."7

Dalam kita kita Shahih Muslim, pada bab al-Fitan, ada beberapa hadis menarik mengenai sesuatu yangakan terjadi pada akhir zaman dunia ini. Kita kutip dua hadisnya, Abu Nadra meriwayatkan :

"Kami saat itu bersama-sama Jabir bin Abdillah. Jabir diam untuk beberapa lama lalu meriwayatkan apa yang telah dikatakan Nabi Muhammad, 'Akan datang seorang Khalifah pada akhir zaman umatku yang dengan sukarela memberi kekayaan kepada orang-orang tanpa menghitungnya.' Aku bertanya kepada Abu Nadra dan Abu Ala, `Maksud kalian Umar bin Abdul Aziz?' Mereka menjawab, 'Bukan, (ia adalah Imam Mahdi).8

Hal yang sama terdapat dalam Shahih Muslim. Abu Sa'id dan Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, 'Akan datang pada akhir zaman seorang khalifah yang akan membagikan kekayaan tanpa menghitungnya."9 Diriwayatkan pula;

"Pada akhir zaman, umatku akan mengalami penderitaanyang tidak pemah terjadi sebelumnya, sehingga manusia tidak dapat mencari jalan keluar. Kemudian Allah akan mendatangkan seorang lelaki dari keturunanku, yang akan mengisi dunia ini dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi kebatilan. Para penghuni bumi dan langit mencintainya. Langit akan mencurahkan airnya di semua tempat dan bumi akan memberikan segala sesuatu yang ia miliki dan segala penjuru bumi akan berwama hijau."10

Ibnu Majah dalam kitab Sunan-nya mengutip ucapan Ibnu Hanafiyah dan Imam Ali bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Mahdi berasal dari Ahlulbditku, Allah akan memunculkannya dalam satu malam (artinya kedarangannya sangat tidak terduga dan sangat tiba-tiba)."11
Selain itu diriwayatkan bahwa, Ali bin Abi Thalib berkata, "Ketika 'Pemimpin' dari keluarga Muhammad (al-Qa'im ali Muhammad) muncul, Allah akan menyatukan orang-orang yang berada di timur dan di barat."'2

Ibnu Hajar menuliskan bahwa, Muqatil bin Sulaiman dan orang-orang yang mengikutinya di antara para mufasir Sunni mrnyatakan bahwa ayat. "Dan ia akan datang sebagai Tanda ( Datangnya hari Kiamat )' turunya berkenaan dengan Mahdi."13

Ahmad bin Hanbal juga mencatat, Nabi Muhammad bersabda, 'Allah akan mengeluarkan Mahdi yang berasal dari keluargaku dari persembunyian sebelum Hari Kiamat, meskipun tinggal satu hari lagi kehidupan di dunia ini akan berakhir, ia akan menyebarkan keadilan dan persamaan di muka bumi ini dan menghancurkan kezaliman dan penindasan."14

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Jabir bin Abdillah Anshari berkata,

"Aku mendengar Rasulullah-bersabda, 'Sekelompok umatku akan berperang demi kebenaran hingga mendekati akhir zaman, saat Nabi Isa datang. Pemimpin kelompok itu akan memintanya memimpin shalat tetapi Nabi Isa menolak.' la berkata, 'Tidak, sesungguhnya, di antara kalian Allah telah menunjuk para pemimpin bagi yang lain dan la telah mengkarunia anugerah-Nya kepada mereka."15

Ibnu Abu Shaibah, ahli hadis Sunni lain dan guru Bukhari dan Muslim, telah meriwayatkan banyak hadis tentang Imam Mahdi as. la juga meriwayatkan bahwa Imam (pemimpin) kaum muslimim yang akan menjadi Imam shalat Nabi Isa as adalah Imam Mahdi.

Jalaluddin Suyuthi menyebutkan;

"Aku mendengar orang-orang kafir menyangkal apa yang telah dinyatakan tentang Nabi Isa bahwa ketika ia turun ia akan shalat subuh di belakang Imam Mahdi. Mereka menyatakan, 'Kedudukkan Nabi Isa lebih tinggi untuk shalat di belakang seseorang yang bukan rasul.'Ini merupakan pendapat yang aneh karena persoalan shalatnya Nabi Isa di belakang Imam Mahdi telah dibuktikan secara jelas melalui beragam hadis Shahih dari Nabi Muhammad, yang sangat dapat dipercaya."

Kemudian Suyuthi meriwayatkan beberapa hadis berkenaan dengan hal ini.'16

Hafizh Ibnu Hajar Asqalani juga menyebutkan bahwa Imam Mahdi berasal dari umat ini, dan Nabi Isa akan datang dan shalat di belakangnya.17

Hadis ini juga disebut oleh ulama Sunni, Ibnu Hajar Haitsami, yang menuliskan, "Ahlulbait adlaaqh seperti bintang-bintang yang melalui mereka kita ditunjukki ke jalan yang benar..Dan apabila bintang-bintang ini diambil (disembunyikan) kita akan berhadapan dengan tanda-tanda kebesaran Allah yang dijanjikan (Hari Kiamat). Kiamat akan terjadi ketika Imam Mahdi muncul, sebagaimana yang disebutkan di hadis-hadis, dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya, Dajjal akan dibunuh, dan tanda-tanda kebesaran Allah akan muncul bersusulan."18

Ibnu Hajar juga mengutip perkataan Husain Ajiri, "Hadis-hadis Mustafa SAW tentang munculnya Imam Mahdi telah diriwayatkan melalui beragam sumber dan hadis ini melebili tingkat kemutawatiran hadis.Pada hadis ini dijelaskan bahwa ia adalah Ahlulbaitnya, dan ia akan mengisi dunia ini dengan keadilan, kemudian Nabi Isa as akan datang pada waktu yang sama dan membantu Nabi Isa membunuh Dajjal di negeri Palestina, dan ia akan memimpin dunia ini dan Nabi Isa akan shalat di belakangnya."'9

Dengan demikian apabila Imam Mahdi dan Nabi Isa adalah orang yang sama seperti yang dinyatakan segelintir orang yang bodoh, bagaimana dapat ia shalat dibelakang dirinya sendiri? Selain itu, hadis tersebut menunjukkan bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa akan datang pada saat yang sama sehingga mereka akan shalat Shubuh bersama di Yerusalem.

Sebenarnya, persamaan kata 'Mesiah' dalam bahasa Arab adalah ill-Masih yang artinya 'dibersihkan/disucikan'. Kata ini telah digunakan Halam Quran sebagai nama Nabi Isa as. Dengan demikian, Mesiah adalah Nabi Isa as dan bukan Imam Mahdi as. Tetapi, kata 'Mesiah' memiliki makna lain dalam bahasa Inggris, Penyelamat. Akibatnya, ada beberapa punerjemah bahasa Inggris yang menerjemahkan kata 'Messiah' untuk Imam Mahdi as dengan makna Penyelamat yang tidak berkaitan sama, sekali dengan kata dalam bahasa Arab, al-Masih.

Kita akan tunjukkan bahwa ada hadis yang dibuat-buat yang umumnya di gunakan oleh Ahmadiyah Qadiani untuk membuktikan bahwa Mahdi dan Nabi Isa adalah orang yang sama. Hadis tersebut menyatakan,

"Dan tidak ada Imam Mahdi kecuali Nabi Isa." Hadis ini diunggap scbpoi hadis yang tak dikenal dan aneh oleh Hakim dan ia mengatakan bahwo ada ketidaksesuaian dalam rangkaian perawinya. Baihaqi berkata bahwa Muhammad bin Khalid menyatakan hadis ini mufrad. Nasa'i menyebutkan bahwa hadis ini tidak dikenal dan ditolak, dan bahwa orang-orang yang mengingat hadis ini menegaskan bahwa hadis-hadis yang menyatakan bahwa Mahdi adalah keturunan Fathimah adalah hadis yang sahih dan dapat dipercaya.20

Nabi Isa bukanlah Imam kaum Muslimin, dan ketika ia datang, ia akan menjadi pengikut Imam kaum Muslimin yang dikenal sebagai Imam Mahdi as. Dalam Shahih al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bagaimana keadaanmu apabila Putra Maryam datang kepadamu dan Imam kalian ada di antara kalian?"21

Hafizh, Muhammad bin Ali Syaukani (1250/1834), menulis buku at-Tawdzih fi Tsawatur ma jaa'a fi al-Muntazhar wa-Dajjal wa al-Masih(Penjelasan Mengenai Riwayat-riwayat Orang yang Dinantikan, Dajjal, dan Nabi Isa) mengenai Imam Mahdi as, bahwa, "Hadis mengenai Imam Mahdi telah diriwayatkan oleh banyak perawi dan merupakan hadis yang sahih, tidak memiliki keraguan dan pertentangan, karena dalam fiqih, syarat kemutawatirannya valid bahkan untuk hadis-hadis dengan jumlah narasi yang lebih sedikit dari jumlah narasi hadis ini. Banyak juga ucapan para sahabat yang secara eksplisit menyebut Imam
Mahdi, yang memiliki status riwayat dari Nabi Muhammad karena tidak ada pertanyaan mengemukakan ucapan itu melalui ijtiload."22

Penulis buku Ghayah al-Ma'amul menyebutkan bahwa, "Riwayat ini merupakan riwayat terkenal di kalangan para ulama masa lalu bahwa sekarang harus datang seorang lelaki dari keluarga Nabi Muhammad SAW bemama Mahdi. Selain itu, hadis mengenai Imam Mahdi telah diriwayatkan oleh sahabat Nabi yang paling terkenal, juga oleh ulama-ulama kenamaan seperti Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Tabarani, Abu Ya'ala, Bazzar, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Hakim. Lebih jauh lagi, orang-orang yang menyatakan bahwa hadis-hadis mengenai kedatangan Imam Mahdi adalah hadis lemah, mereka sendiri sebenarnya yang salah."
Saban dalam bukunya Isaf ar-Raghibin, menyebutkan b.vliw.i berita tentang kedatangan Imam Mahdi dapat disusuri sampai k Muhammad SAW dan bahwa ia adalah salah satu anggota keluargn NWi Muhammad serta akan mengisi dunia ini dengan keadilan."

Suway dalam bukunya Saba'iq adz-Dzahab meriwayatkan bah wa pa ra ulama berijtihad bahwa Imam Mahdi as akan datang pada akhir zaman dan mengisi dunia ini dengan keadilan, dan hadis-hadis yang mendu kung tentang kedatangannya sangat banyak.

Hafizh Abu Hasan Muhammad bin Husain Sijistani Aburi Syafifi (363/974) berkata, "Hadis-hadis itu diriwayatkan oleh banyak perawi yang disebarkan secara luas oleh banyak perawi dari Musthafa SAW mengenai Mahdi yang berasal dari keluarga Nabi Muhammad SAW dan yang akan mengisi dunia ini dengan keadilan.." Pernyataan ini diterima oleh ulamn selanjutnya sebagaimana yang disaksikan oleh Ibnu Hajar Asqalani.z' Rumusan paling baik dari keyakinan seluruh kaum Muslimin mengenai Imam Mahdi as telah diyakini oleh seseorang yang dirinya sendiri tidak meyakini kedatangannya dan menyangkal keshahihan had ishadis tentang Imam Mahdi as. la adalah Ibnu Khaldun (809/1406), seorang sejarawan terkemuka, dalam al-Muqaddimah. la menuliskan,
"Biarlah diketahui bahwa hadis ini adalah peristiwa yang diriwayatkan oleh semua muslim di sepanjang zaman, bahwa pada akhir zaman seorang lelaki dari keluarga Nabi Muhammad akan datang dan mengokohkan Islam serta menyebarkan keadilan tanpa kegagalan. Umat Islam akan mengikutinya dan ia akan menguasai seluruh dunia Islam. la bemama Mahdi."24

Kutipan di atas membuktikan bahwa bahkan Ibnu Khaldun pun berpendapat meyakini Imam Mahdi bukan ciri aliran Islam tertentu, tetapi merupakan keyakinan yang umum di semua umat Islam.

Ulama Sunni secara terang-terangan mengkriitik orang-orang itu (seperti Ibnu Khaldun) yang berusaha membuat keraguan terhadap hadis mengenai Imam Mahdi as, dan dengan tegas menyatakan bahwa meyakini Imam Mahdi telah ditegakkan dengan kokoh bagi semua umat Islam.25

Syekh Ahmad Muhammad Syakir (1377/1958), salah satu ulama hadis dan tafsir kantemporer,26 Menulis dalam tafsirnya, "Meyakini Imam Mahdi bukanlah khusus bagi kaum Syi'ah karena hal ini berasal dari riwayat banyak sahabat Nabi sedemikian rupa sebingga tidak seorang pun dapat meragukan kebenaran itu." Setelah itu, ia meneruskan dengan penyangkalan yang kuat terhadap kelemahan hadis Ibnu Khaldun mengenai Imam Mahdi.27

Sayid Sabiq, mufti bagi Persaudaraan Kaum Muslimin, dalam bukunya, al-'Aqa'id al-Islamiyyah, bahwa gagasan mengenai Imam mahdi memang benar dan merupakan salah satu ajaran Islam yang harus diyakini. Sabiq juga meriwayatkan beragam hadis berkaitan dengan kedatangan Mahdi as dalam bukunya di atas.

Fatwa terbaru dikeluarkan di Mekah oleh Rabithah Alam Islami pada 11 Oktober 1976 (23 Syawa11396) yang menyatakan bahwa lebih dari dua puluh sahabat Nabi meriwayatkan hadis mengenai Imam Mahdi, dan memberi daftar nama-nama para ulama hadis yang telah meriwayatkan riwayat itu, dan orang-orang yang telah menulis buku-buku mengenai Imam Mahdi. Fatwa tersebut berbunyi,

"Para pengingat (huffazh) dan ulama hadis telah menegaskan bahwa ada riwayat yang Shahih dan dapat dipercaya di antara hadishadis mengenai Mahdi. Mayoritas hadis-hadis ini diriwayatkan melalui berbagai perawi. Tidak ada keraguan bahwa status riwayat-riwayatnya shahih dan mutawatir, bahwa meyakini Imam Mahdi merupakan sesuatu yang wajib, dan merupakan salah satu ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah. Hanya orang-orang yang tidak memperhatikan sunnah serta para pemalsu ajaran saja yang menyangkalnya.28

Dua ulama Syafi'i, Ganji dalam buku al-Bayan dan Syablanji dalam buku Ntar al-Abshar, menerangkan ayat 42:28 sesuai riwayat Sa'id bin Jubair, Dialah yang mengutus utusannya (Muhammad) dengan petunjuk dan agama yang benar untuk memenangkan agamanya di atas agama lainnya, sebagai janji kepada Nabi Muhammad bahwa bumi ini akan dipenuhi oleh Mahdi yang merupakan keturunan Fathimah as.

Bahkan Ibnu Taimiyah (728/1328) menulis dalam Minhaj as-Sunnah (jilid 4, hal 211-212) bahwa hadis mengenai Mahdi benar-benar dapU dipercaya, dan muridnya, Dzahabi, sepakat dengannya dalam tulisan mengenai ringkasan buku gurunya.29

Di antara ulama-ulama Syi'ah, saya ingin menyebut karya besar Luthfullah Syafi Gulpaigani, yang menyusun ensiklopedia berjudul Muntakhab al-Atsar. Dalam bukunya, ada riwayat hadis yang lengkap mengenai kedatangan Imam Mahdi as dan gambaran mengenai dunia sebelum dan setelah kedatangannya. la menyebutkan enam puluh sumber hadis Sunni, termasuk enam kitab hadis utama; dan lebih dari sembilan puluh sumber hadis Syi'ah untuk menekankan kebenaran bahwa Mahdi bukanlah peristiwa yang dibuat-buat.

Sejauh yang dapat kami temukan, sedikitnya tiga puluh lima ulama Sunni terkemuka telah menulis empat puluh enam buku khusus tentang Imam Mahdi as, di antaranya; Kitab al-Mahdi oleh Abu Daud, Alamat alMahdi oleh Jalaluddin Suyuthi, al-Qaml al-Mukhtasar fi Alamat al-Mahdi al-Muntazhar oleh Ibnu Hajar, al-Bayan fi Akhbar Sahib az-Zaman oleh Allamah Abu Abdillah bin Muhammad Yusuf Ganji Syafi'I, Iqd al-Durar fi Akhbar nlImam al-Muntazhar oleh Syekh Jamaluddin Yusuf Dimishqi, Mahdi Ali Rasttl oleh Ali bin Sultan Muhammad Harawi Hanafi, Manaqib al-Mahdi oleh Hafizh Abu Nu'aim Isbahani, al-Bttrhan fi' Alamat al-Mahdi Akhir az-Zantart oleh Muttaqi Hindi, Arba'in Hadits fi al-Mahdi oleh Abdul A'la Hamadani, Akhbar al-Mahdi oleh Hafizh Abu Nu'aim.

Kesimpulannya, meyakini kedatangan Imam Mahdi as yang merupakan orang yang berbeda dengan Nabi Isa as merupakan sebuah fakta yang tidak dapat disangkal kaum Sunni. Seperti yang didiskusikan di atas, para ulama Sunni menegaskan bahwa meyakini Mahdi dari keluarga Nabi merupakan salah satu poron Islam Ahlussunnah wal Jama'ah. Pada bagian sdanjutnya, kami ok,rn mumbohas puin-poin perbedaan antara Syi'ah dan sebagian besar kaum Sunni mengenai persoalan Imam Mahdi.



15
ANTOLOGI ISLAM

Syarat-syarat Khusus Imam Mahdi
Pada bagian sebelumnya, kita ketengahkan banyak hadis dari enam koleksi hadis Sunni yang sahih mengenai fakta bahwa Imam Mahdi as, yang tidak soma dengarl Nabi Isa (Messiah) as, akan datang dan ia berasal dari keturunan Nabi melalui Fathimah as. Hadis-hadis tersebut lebih jauh menekankan fakta bahwa Nabi Isa, yang merupakan seorang nabi besar, akan shalat di belakang Imam Mahdi. Kita juga ketengahkan beberapa fatwa para ulama Sunni yang menyatakan bahwa meyakini Imam Mahdi berasal dari keluarga Nabi merupakan salah satu ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, dan oang yang menyangkalnya adalah orang bodoh atau inovator.

Pada bagian ini, saya ingin membicarakan beberapa sifat khusus Imam Mahdi yang tidak diakui oleh sebagian besar kaum Sunni.
Kaum Syioah meyakini bahwa Imam Mahdi merupakan satu-satunya putra Imam Hasan Askari (Imam kesebelas) yang lahir pada tanggal 15 Sya ban 255/869 di Samarra, Iraq. la menjadi Imam ketika ayahnya syahid pada tahun 260/8?4. Imam Mahdi memasuki kegaiban (menghilang; meninggalkan umat tetapi ia tidak diketahui) pada saat yang sama. la akan muncul kembali apabila Allah berkehendak.

Lebih jelasnya lagi: Julukannya adalah Mahdi yang artinya orang yang diberi petunjuk. Namanya adalah Muhammad Ibnu Hasan as, garis keturunannya berakhir pada Ali bin Abi Thalib, yakni Muhammad bin Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad bin ,Ali bin Fusain bin .Ali bin Abi Thalib as.

Di lain pihak, sebagian besar kaum Sunni tidak yakin bahwa ia telah dilahirkan. Mereka yakin ia akan dilahirkan sebelum melaksanakan misinya. Nama Imam Mahdi adalah Muhammad, nama yang sama sebagaimana yang diyakini kaum Syi'ah. Tetapi, ada salah satu riwayat Sunni yang menambahkan bahwa n.ama ayah Imam Mahdi adalah Abdullah. Sekarang inari kita lihat masing-masing argumen.

Pertanyaan 1 : Beberapa orang kaum sunni bertanya kepada kaum Syi'ah bahwa bagaimana dapat seorang anak berusia lima tahun dapat menjadi pemimpin umat manusia?

Pertama kita harus mempertanyakan apakah fenomena pemimpin yang masih muda memiliki contoh yang sama dalam sejarah yang tidak diragukan lagi, hal tersebut memang ada. Quran memberikan sejumlah contoh yang patut disebtitkan di sini. Kami memiliki contoh Nabi Isa yang menjadi rasul dan berbicara kepada orang-orang ketika ia masih seorang bayi.

Tetapi ia menunjuk pada bayi itu. Mereka berkata, "Bagaimana mungkin kami berbieara kepada seorang anak yang masih dalam gendongan?" la berkata, "Sesungguhnya aku adalah hamba Allah. la telah menganugrahiku Kitab dan mengangkatku sebagal seorang rasul, dan la memberkahiku di manapun aku berada, dan Ia menganjurkanku untuk bersembahyang dan mengeluarkan zakat selama aku hidup." (QS. Maryam : 29-31)

Dengan demikian Nabi Isa menjadi rasul dan menerima wahyu serta Kitab Suci ketika usianya kurang dari dua tahun.
Lebih jauh lagi, pada beberapa ayat sebelumnya, Quran menyebutkan peristiwa Nabi Yahya as. Allah SWT berfirman kepadanya, Wahai Yahya! Peganglah Kitab ini dengan sungguh-sungguh, Dan Kami menunjuknya (sebagai rasul) ketika ia masih anak-anak. (QS. Maryam : 21).

Dengan demikian, apabila seorang ailak berusia dua tahun dapat menjadi seorang rasul dan menerima wahyu serta Kitab, mengapa hal ini tidak dapat terjadi kepada seorang anak berusia lima tahun menjadi seorang Imam?

Contoh ketiga adalah Nabi Sulaiman as yang ditunjuk Allah SWT menjadi penerus ayahnya, Nabi Daud, dan menjadi rasul umatnya ketika ia belum mencapai usia remaja.

Pemahkah anda mendengar tentang anak-anak ajaib? Mereka adalah anak-anak berusia sekitar empat hingga delapan belas tahun yang menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang berbeda yang biasanya dipertemukan pada orang dewasa saja. Berikut ini brberapa contoh dari sejarah Modern.

John Stuart Mill (1806-73), filosof, ekanomi dan sebagai anggota Parlemen Inggris abad ke-19, menyakang reformasi utilitarian dalam banyak tulisannya. Sebagai anak ajaib, Mill menguasai bahasa Yunani pada usia tujuh tahun dan belajar ekanomi pada usia tiga belas tahun. Karyanya menunjukkan pemikiran sosial dengan sangat jelas dan lengkap.

Seorang pemikir, matematik kawan dan saintis Prancis, Blaise Pascal (1623-62) tidak hanya mendapatkan penghargaan dalam karyanya yang imajinatif dan tinggi dalam ilmu geometri dan cabang-cabang matematika lainnya, ia juga berhasil mempengaruhi generasi agamawan dan filosof selanjutnya. Sebagai anak ajaib dalam bidang matematika, Paspl, menguasai elemen-elemen Euclid. Pada usia dua belas tahun Pascal menemukan dan menjual mesin penghitung pertama (1645).

Wolfgang adalah anak yang memiliki kemampuan musik yang sangat hebat. la sudah mengarang Minuet pada usia lima tahun dan simponi pada usia sembilan tahun.

Pada usia dua belas tahun Beethoven memiliki kemampuan seperti itu dan ia menjadi asisten pemain organ Christian Gottlob Nife, yang darinya ia belajar.
Sarah Caldwell, lahir di Maryville, Mo, 6 Maret 1924, merupakan kanduktor dan produser. Seorang anak yang menguasai matematika dan musik sebelum usianya mencapai sepuluh tahun.

Meskipun tidak lengkap, contoh-contoh di atas membantu menunjukkan bahwa fenomena ini terjadi secara alami di kalangan manusia dari seluruh kehidupan. Oleh karena itu, secara ilmiah, adalah sangat mungkin bahwa seorang anak menunjukkan kemampuan yang tidak dapat dilakukan orang dewasa. Dan berdasarkan agama, segala sesuatu yang Allah kehendaki akan terjadi walaupun hal itu aneh. Sesungguhnya Allah SWT menunjukkan secara gamblang dalam Quran bahwa apabila la mengkhendaki sesuatu, yang la lakukan hanyalah mengucapkan, Jadilah! Maka jadilah!Pertanyaan 2: Setiap manusia tidak kekal.



Bagaimana dapat Imam Mahdi as hidup begitu lama?
Memang setiap makhluk kecuali Allah Swl lidk Kekal, d,m,,,(4)o I'll nya, Imam Mahdi pun akan meninggal dunia suatu Iari Menti. 'I'eI.wi, perbedaannya adalah lamanya hidup di dunia ini. Quran dan hWi.s Nabi menunjukkan kepada kita bahwa beberapa orang berumur panjant; di dunia ini. Dengan demikian kemungkinan terjadinya fenomena tersebut dibenarkan oleh agama Islam.

Tahukah anda bahwa menurut Quran Surah al-Arzkabut ayat 14, Nabi Nuh as menjadi nabi selama 950 tahun? Usianya pasti lebih dari itu karena kita harus menambahkan usianya sebelum kenabian pada usia di atas.

Setujikah anda bahwa Nabi Isa as masih hidup? la, sebenarnya, berusia lebih dari 2000 tahun sekarang. Tentunya ia tidak tinggal di muka bumi. la berada di surga. Menurut ajaran Islam, ia akan kembali ke muka bumi dan shalat di belakang Imam Mahdi as.

Setujukah anda bahwa Nabi Khidir as masih hidup? Quran menceritakan kisah pertemuannya dengan Nabi Musa as. la ada sebelum zamannya Nabi Musa as, dan Nabi Khidir as juga sekarang berusia lebih dari 3000 tahun. la tinggal di muka bumi ini, tetapi kita tidak dapat mengenalinya (agak serupa dengan kasus Imam Mahdi). la menjadi salah satu wakil Allah SWT.

Ulama Hanafi, Sibt bin Jauzi, dalam bukunya Tatkhirat al-Khawas alUmmah hal. 325-328 menyebutkan dua puluh dua orang yang diyakini kaum Muslimin hidup dengan usia yang beragam dari 300 hingga 3000 tahun. Hal ini tidak diragukan. Allah SWT mampu memberi kehidupan yang sangat panjang pada hamba-hamba-Nya, tetapi la juga menentukan kematian bagi setiap orang (termasuk orang-orang yang di sebutkan di atas) yang kematiannya dapat segera atau dalam waktu yang lama.

Selain itu, secara ilmiah, tidak ada keberatan apa pun pada pernyataan jangka waktu yang lama. Sekelompok ilmuwan melakukan serangkaian penelitian di Institut Rockefeller di New York pada tahun 1912 terhadop bagian-bagian tertentu dari tanaman, hewan, dan manusia. Para Ilmuwan ini di antaranya Dr. Alex Carl, Dr. Jack Lope, dan Dr. Warren Lewis serta istrinya. Salah satu penelitian yang dilakukan adalah penelitian pada syoraf, otot, hati, kulit, ginjal manusia. Organ-organ ini tidak terrsambung pada tubuh manusia. Organ ini adalah organ independen yang mungkin diberikan untuk diteliti.

Kesimpulan yang didapat oleh para ilmuwan adalah bahwa 'bagian-bagian organ' ini dapat terus hidup hampir tanpa batas sepanjang dipelihara dengan baik, dan sepanjang mereka terlindungi dari interaksi negatif ekstemal seperti mikroba dan hambatan-hambatan lain yang mungkin menghambat pertumbuhan organ-organ ini. Sel dapat terus berkembang secara normal dalam kandisi di atas dan pertumbuhan itu secara langsung berkaitan dengan makanan yang diberikan. Sekali lagi, penuaan tidak berpengaruh pada organ-organ ini, dan organ-organ ini berkembang setiap tahun tanpa ada tanda-tanda kerusakan. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa organ-organ ini akan terus berkembang sepanjang kesabaran para ilmuwan itu sendiri tidak habis, yang membut mereka mengabaikan proses pemeliharaan.

Pertanyaan 3: Di mana Imam Mahdi as berada sekarang?Pertama, Imam Mahdi as menghilang pada tahun 260/874 ketika ia menjadi imam. Terakhir kali ia terlihat adalah di gudang rumah ayahnya di Samarra, Iraq. Itulah mengapa hal tersebut didesas-desuskan bahwa Syi'ah meyakini Imam Mahdi as berada di gua tersebut.

Beberapa sejarawan Sunni menyebutkan secara ceroboh bahwa kaum Syi'ah yakin Mahdi berada di gua atau gudang itu. la terlihat di sana untuk terakhir kalinya. Imam Mahdi as dapat berada di mana saja atas kehendak Allah SWT. Tetapi, satu hal yang jelas adalah bahwa ia hidup di dunia ini di antara orang-orang dan mereka tidak mengetahuinya. Apabila gudang tersebut menjadi terkenal sebagai 'Gudang Kegaiban' (Sardab a{-Ghaybah), karena dibuat seperti itu oleh sumber nan-Syi'ah. Padahal nama seperti itu tidak disebutkan oleh ulama Syi'ah. Imam Mahdi as kadang-kadang berada di suatu tempat dan melakukan perjalanan mengelilingi dunia, sama seperti keyakinan umum kaum Muslimin tentang Nabi Khidir as."'

Kedua, mengenai kegaiban Imam Mahdi as, Quran tidak mengatur kegaiban sama sekali. Sekali lagi, contoh Nabi Isa as dan Nabi Khidir as, yang keduanya gaib, merupakan contoh yang patut disebutkan.

Pertanyaan 4a : Mengapa Imam Mahdi menghilang

Pertanyaan 4b : Mengapa Imam Mahdi tidak muncul sekarang ?

Pertanyaan 4c : Kapan ia akan datang?

Di balik semua itu ada banyak alasan. Alasan utama adalah kegaihnn akan disingkap ketika Imam Mahdi datang. Berikut ini kita memberi empat alasan sekadarnya.

Pertama, jawaban paling mudah adalah bahwa hal ini adalah kehendak Allah SWT. Kehendak-Nya bersandar pada Kebijaksanaan yang tidak terbatas. Kedatangan Imam Mahdi hanya bergantung kepada keputusan Allah. la mengetahui yang terbaik untuk dilakukan. Pertanyaan ini mungkin sama naifnya: Mengapa beberapa orang berkulit hitam sedang yang lainnya berkulit putih? Mengapa sebagian orang cantik sedang sebagian lainnya tidak? Ini adalah kehendak Allah.

Kedua, jawaban yang menjawab pertanyaan mengapa sebagian orang cantik sedang yang lainnya tidak adalah ujian. Allah dapat memasukkan semua orang ke surga secara langsung, tetapi la tidak melakukannya karena la ingin menguji kita. Hanya orang-orang yang taat kepada Allah yang patut masuk surga. Saat ini Allah ingin menguji bagaimana kita bertindak di lingkungan yang penuh dosa. Apabila seseorang menjaga dirinya di dunia saat ini, ia memiliki imbalan yang lebih daripada saat masa Imam Mahdi datang, karena pada saat itu lingkungan akan benar-benar sehat dan lebih mudah untuk menjaga diri. Hal ini hanya salah satu aspek. Ingatlah bahwa hanya Imam Mahdi yang memiliki kesempatan untuk menaklukkan dunia ini. Bahkan, Nabi kita tidak dapat melakukannya. Dengan demikian, ujian yang sulit diberikan di sepanjang zaman dan tidak hanya diberikan kepada kita.

Ketiga, Imam Mahdi as akan datang segera setelah umat siap menerimanya. Umat di sepanjang sejarah tidak pemah siap. Mereka membunuhi para rasul dan para imam satu demi satu. Tetapi Allah SWT terus mengutus rasulnya hingga akhirnya la mengutus Nabi Muhammad yang membawa pesan terakhir pada saat ketika evolusi pikiran manusia mencapai kedewasaan, lalu Allah memberi mereka agama yang paling sempuma dan paling akhir. Setelah itu la tidak perlu menyampaikan pesan yang baru. Dengan demikian, la mengutus para Penunjuk Jalan (Imam) yang menjaga dan menjelaskan pesan-pesan-Nya selama masa-masa sulit bagi umat.

Mereka juga melakukan hal itu, dan kita bangga bahwa kita memiliki para Imam seperti Imam Ja'far Shadiq as yang menjelaskan aspek-aspek fiqih, dan lain, lain. la juga memiliki kesempatan emas mengajar saat terjadi perseteruan antara Umayah dan Abbasiah. Selama periode yang singkat itu, ketika para tiran dari kedua pihak saling sibuk satu sama lain, Imam mengajar fiqih dan agama di kelas-kelas berjumlah 5000 murid. (Tidak perlu disebutkan bahwa Abu Hanifah adalah salah satu muridnya). Sekarang, adalah waktunya untuk bertindak. Tetapi, sayangnya sebagian bestir umat ragu untuk mengikuti jalan yang benar. Mereka malah menentang dan membunuh para Imam Ahlulbait, dan memperlakukan mereka sama seperti para nenek moyang mereka memperlakukan para rasul. (Bahkan Nabi Muhammad berkata, "Tidak ada nabi yang diperlakukan seburuk diriku.")

Situasi seperti itu akan terus berlangsung hingga suatu waktu ketika umat menyadari bahwa mereka memerlukan seorang Imam yang ditunjuk Allah yang mengatur mereka karena mereka tidak dapat memecahkan persoalan mereka. Ketika hal ini terjadi secara universal, dan ketika umat putus asa dan kecewa dengan semua isme (jalan hidup, ideologi), dan ketika semua mengangkat tangan untuk memohon pertolongan, maka umat siap untuk menerima kedatangannya. Mereka tidak akan membunuhnya seperti mereka melakukan hal tersebut kepada imam yang lain atau memperlakukan mereka dengan buruk.

Mereka akan menerimanya. Tentunya, hal ini tidak akan terjadi hingga umat di seluruh dunia mengalami penderitaan yang sangat berat, perang di seluruh dunia, kerusakan oleh kekuatan setan (seperti Dajjal dan Sufyani) yang tidak mudah diramalkan di masa datang yang dekat ini.

Keempat, Imam Mahdi akan datang ketika semua jenis ideologi diuji dan semuanya gagal. Pada saat itu, umat akan mengerti bahwa mereka tidak memiliki jalan keluar lagi dan mereka akan menerima Imam Mahdi dengan mudah. Contohnya, lihat ajaran komunisme yang diproklamasikan Rusia seratus tahun yang lalu.

Semua orang di dunia pada saat itu berpikir bahwa ajaran itu merupakan jalan hidup paling baik yang menjamin kesejahteraan umat manusia. Tetapi, mereka terkejut, ajaran itu hancur dengan cepat dari dalam ajaran itu sendiri yang menunjukkan bahwa jalan keluar ini tidak dapat dipraktekkan. Sekarang, ada orang yang berpikir bahwa ajaran kapitalisme dapat menyelesaikan persoalan mereka seluruhnya. Sistem ini juga akan hancur karena berdasarkan riba. Keadaan tersebut harus mencapai titik di mana orang-orang Amerika memiliki hutang yang besar kepada dunia. Penelitian bahkan menunjukkan bahwa orang-orang ini tidak akan pemah dapat membayar hutang mereka secara penuh. Dan hal ini berdasarkan sudut pandang ekanomi. Umat juga menderita karena jenis korupsi, nafsu, kurangnya spiritualitas, dan lain-lain. Sistem seperti itu akan hancur sendirinya baik cepat atau lambat, dengan suatu cara atau cara lainnya. Dan ketika semua jenis jalan hidup menunjukkan kelemahannya dalam praktik, umat kemudian akan menghormati kebenaran.

Kelima, Imam Mahdi as akan datang ketika ia memiliki 313 pembantu dari orang-orang yang paling beriman. Imam Mahdi tidak dapat memerintah dunia tanpa bantuan, menteri, dan lain-lain. Komunitas harus membangkitkan orang-orang seperti ini. Sebenarnya tidak seorang pun dari sebelas Imam lainnya memiliki pengikut berjumlah sebanyak itu. Saya akan memberi contoh.

Sebelum wafatnya, Nabi Muhammad SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib bahwa apabila jumlah pengikutnya yang setia kepadanya (setelah rasul wafat) melebihi empat puluh orang. Ia harus menggunakan kekuatan untuk mengambil haknya dan mengambil tampuk kepemimpinan. Jika tidak, ia harus berdiam diri karena orang-orang yang benar-benar beriman akan dibunuh tanpa dapat membantu Islam. Sayangnya, jumlah orang yang setia kepada Ali bin Abi Thalib tidak mencapai empat puluh orang pada saat - saat yang penting itu.

Contoh lainnya. Salah satu pengikut Ahlulbait dari Khurasan datang ke Madinah untuk menemui Imam Ja'far Shadiq as. Ia melaporkan kepada Imam bahwa semua orang di wilayahnya adalah pendukung Imam. Ia bertanya kepada Imam mengapa ia tidak memberontak terhadap para tiran ketika ia memiliki pengikut sebanyak itu. Secara kebetulan, di dekat mereka ada oven yang panas. Imam Ja'far meminta orang itu untuk memasukki oven tersebut. Ketika orang itu merasakan panasnya oven itu yang membakar, ia berkata, "Ini panas, bagaimana aku dapat masuk ke dalamnya, karena apabila aku masuk, aku akan terbakar?" Sementara itu, salah satu pengikut setia Imam Shadiq bemama Yahya Ibnu Barmaki datang. Imam memintanya masuk ke oven tersebut yang langsung dilakukannya. Lelaki' yang satu lagi merasa heran. Kemudian Imam bertanya kepadanya apakah ada orang yang bersungguh-sungguh seperti dia di antara suku Khurasan. la menjawab bahwa ia tidak tahu apakah ada orang yang setaat itu. Kemudian Imam meminta pengikut setianya untuk keluqr dari oven dan ia ke luar dengan keadaan sehat tanpa terbakar atau terluka. Imam, kemudian menunjukkan halaman di mana beberapa burung tengah mengerumuni makanan, dan Imam berkata, "Apabila aku memiliki pengikut-pengikut setia sedikitnya sama dengan jumlah burungburung itu, aku akan memberontak." Lelaki itu berkata, "Aku menghitung jumlah burung itu dan jumlahnya tidak lebih dari beberapa belas ekor."

Hadis-hadis menyatakan bahwa Imam Mahdi memerlukan 313 pengikut yang tidak hanya sungguh-sungguh dan beriman, tetapi juga memililiki ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang tinggi. Imam Mahdi harus memiliki empat puluh ribu pengikut setia lainnya yang akan mengisi posisi kedua. Orang-orang ini tidak akan datang dari langit. Tergantung dari kita untuk mendidik masyarakat kita yang dapat membantu menciptakan orang-orang seperti itu, pertama-tama dimulai dari keluarga, teman, kemudian sekolah, kota, negara sejauh kemampuan kita. Kita harus memulai dari diri kita sendiri untuk menghindari dosa dan mencapai ilmu serta kebijaksanaan lebih banyak dan menjadi orang yang lebih taat kepada Allah SWT.

Pertanyaan 5: Kaum Syi'ah menyatakan bahwa ibu dari Imam Mahdi as adalah seorang budak. Bukankah hal ini memalukan bahwa ia terlahir dari seorang budak ?

Pertanyaan ini akan kami jawab dengan mengajikan pertanyaan berikut: Bukankah Hajar as, istri Nabi Ibrahim as, seorang budak? Bukankah ia yang mengandung Isma'il as, yang merupakan nenek moyang Nabi Muhammad secara langsung? Apabila hal ini diterima bagi Nabi Muhammad, penutup kenabian, menjadi keturunan Nabi Isma'il as yang terlahir dari seorang budak, mengapa kita harus malu terhadap Imam Mahdi as?

Ibunda Imam Mahdi as bemama Narjis, seorang tawanan Romawi yang dibawa oleh Imam Askari as dan menikah dengannya. la sebenarnya bertemu Sayidah Fathimah as dalam mimpi yang memerintahkan kepadanya untuk pergi ke perbatasan di mana kaum Muslimin tengah berperang. Kemudian ia menjadi tawanan, dan dijual kepada agen Imam Askari as yang menunggu kedatangan tawanan-tawanan kota.

Kami perlu menyebutkan bahwa kelahiran Mahdi as adalah peristiwa yang dirahasiakan, karena penguasa Abbasiah mengetahui bahwa Mahdi yang akan melancarkan revolusi berasal dari putra Imam Ahlulbait yang kesebelas, dan sedang menunggu kedatangannya untuk menangkap dan membunuhnya. Karena itu, Imam Hasan Askari as, ayahanda Mahdi, tidak dapat menampakkan secara terang-terangan siapa ibunda Mahdi as. Beragam nama digunakan sebagai usaha untuk menipu penguasa, dan mencegah mereka mengenalinya. Itulah bagian dari rencana melindungi Imam Mahdi as. Seandainya ayahnya sedikit ceroboh dalam melindungi putranya, jelaslah bahwa Mahdi as tidak akan hidup. Cerita kelahiran Imam Mahdi as sama seperti kelahiran Nabi Musa as. Semua wanita di keluarga Imam Askari secara terus menerus diperiksa oleh ahli-ahli wanita Abbasiah untuk menemukan apabila ada yang hamil. Sebenarnya, kata'afAskari' menjadi nama dari ayah Mahdi as, karena ia dipaksa hidup dalam kawalan tentara sehingga rumahnya dapat dikantrol oleh penguasa. Sama seperti Ibunda Nabi Musa as, lbunda Imam Mahdi as tidak memiliki tanda-tanda kehamilan hingga detik-detik terakhir. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa yang terjadi itu adalah kehendak Allah SWT.

Dengan kandisi yang sulit serta berat, kelahiran Imam as sangat dirahasiakan. Hanya sedikit sahabat dekat yang diberi tahu. Hal ini karena kelahiran Imam Mahdi as merupakan ancaman langsung terhadap pemerintahan yang korup. Situasi ini sangat dipahami ketika kita melihat ke belakang, ke tahun-tahun pertama Islam ketika Nabi menyebarkan agama secara sangat rahasia kepada pengikut-pengikutnya yang setia. Nabi Muhammad SAW khawatir dengan kehidupan orang-orang beriman ini, dan ia melarang mereka memberi informasi yang akan membahayakan seluruh misinya.

Pertanyaan 6: Siapakah ayah Imam Mahdi as?

Kaum Syi'ah dan beberapa ulama Sunni meyakini bahwa ayahnya adalah Imam Hasan Askari (260/874). Mayoritas hadis Nabi yang melimpah mengenai Imam Mahdi menyatakan bahwa nama Imam Mahdi sama dengan Nabi Muhammad (yakni Muhammad). Tetapi ada satu riwayat Sunni yang memiliki kalimat tambahan berkenaan dengan nama ayahnya juga sama dengan nama ayah Nabi Muhammad (yakni Abdullah). Kalimat tambahan ini tidak ada di semua riwayat lain yang disampaikan oleh ahli-ahli hadis Sunni dan Syi'ah yang meriwayatkan hadis ini. Selain itu, kalimat tambahan ini, dalam hadis-hadis Syi'ah adalah bahwa nama panggilannya sama dengan nama panggilan Nabi Muhammad, Abul Qasim. Sebenarnya kaum Sunni meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda kepada Ali,

"Seorang anak akan lahir kepadamu yang telah aku beri nama dengan namaku dan nama panggilanku."

Satu riwayat yang memiliki tambahan kalimat (bahwa nama ayahandanya sama dengan nama ayahanda Nabi Muhammad) mungkin telah diciptakan oleh Abdullah bin Hasan (mutsanna-kedua) Ibnu (Imam) Hasan as. Abdullah (145/762) mempunyai seorang putra bernoma Muhammad yang memanggilnya Nafs az-Zakiyyah dan Mahdi.1 Abdulloh sering menggunakan kekuasaan dan kekayaannya untuk mendukmy; revolusi putranya. Abdullah sering menyembunyikan putranya selama periode Umayah ketika tidak ada bahaya baginya. ketika ia bertanya mengapa ia melakukan hal ini, ia berkata " Ini sebuah gagasan, waktu mereka belum tiba"33 Pada surat pertama yang Muhammad kirim kepada khalifah Abbasiah, Manshur, ia menuliskan, "Dari Muhammad hin Abdillah, Mahdi,... "34

Muhammad bin Abdillah memulai tuntutannya pada akhir pemerintahan khalifah Umayah. Muhammad menjadi kuat dan berusaha mendapatkan dukungan khalifah Umayah terakhir, Marwan bin Muhan,mad (132/750), tetapi khalifah tidak mengindahkannya. Abu Abbas Falasti berkata kepada Marwan, "Muhammad bin Abdillah berusaha mendapatkan kekuasaan karena ia menyatakan dirinya sebagai Mahdi." Marwan membalas, "Apa yang akan ia lakukan? (Mahdi) bukanlah dirinya, atau ayah dari nenek moyangnya. la adalah putra dari seorang bud ak wanita."iF

Ketika Marwan berkata bahwa Mahdi bukanlah ayah keturunannp, maksudnya keturunan Imam Hasan as, karena Mahdi as adalah keturunan Imam Husain as dan putra dari seorang hamba sahaya wanita (urmrm znalad). Bahkan Marwan mengetahui hadis-hadis ini karena itu ia tidak mengindahkan Muhammad bin Abdillah. Hal ini menunjukkan bahwa versi hadis yang benar dari Nabi Muhammad beredar luas pada saat itu.

Ada juga kemungkinan bahwa kalimat-kalimat palsu dilakukan ololi khalifah Abbasiah, Abdullah Manshur, yang memanggil putranya Mahdi. Muslim bin Qutaibah berkata, "Mansyur memanggilku dan berkata,

' Muhammad bin Abdillah memberontak dan ia menyebut dirinya Mahdi. Demi Allah, ia bukanlah Mahdi. Aku akan mengatakan sesuatu yap lain yang tidak pemah aku katakan kepada siapa pun sebelumnya, d an srtelah kalian. Demi Allah, putraku bukanlah Mahdi juga, ... tetapi akan menaggilnya demikian agar ia memperoleh masa depan yang baik."

Selain itu, khalifah Manshur menciptakan 'hadis' berikut. Diriwayatkan oleh Hakim bahwa Ibnu Abbas berkata, " Empat orang ini berasal dari kami, Ahlulbait, Saffah, Mundzir, Manshur, Manshur dan Mahdi"

Jelaslah bahwa dengan menciptakan riwayat di atas, Manshur memutuskan rangkaian khalifah Abbasiah dan memasukkan namanya sendiri dan nama putranya, Mahdi, di antara Ahlulbait. Ibnu Abbas tidak pemah mengucapkan kalimat seperti itu dan ia sendiri tidak termasuk ke dalam Ahlulbait, apalagi penguasa-penguasa Abbasiah.

Dari semua penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa kepalsuan riwayat yang memberi kalimat tambahan, berasal dari Muhammad bin Abdillah dan
16
tau khalifah Abbasiah, Mahdi. Di sini bukan tempat kita memeriksa hadis secara kritis tetapi hanya menunjukkan latar belakang sejarah mengenai hal itu.

Sebagaimana yang telah disebutkan, ulama Sunni menolak riwayat yang satu itu. Berikut ini nama-nama ulama Sunni yang menulis bahwa Imam Mahdi telah lahir, dan merupakan satu-satunya putra Imam Hasan Askari as. la masih hidup dan saat ini gaib dan akan muncul kembali untuk menegakkan pemerintahan yang adil. Mereka sepakat dalam hal ini dengan kaum Syi'ah.

Kamaluddin bin Thalhah, dalam bukunya Matalib as-Su'aal Fi Manaqib Aal ar-Rasul;

Sulaiman bin Ibrahim Qunduzi Hanafi (dikenal sebagai Khawajah Kalan), dalam bukunya Yanabi ' al-Mawaddah yang juga membenarkan dari sumber-sumber hadis Sunni bahwa mencintai Ahlulbait adalah satusatunya jalan yang benar dan aturan Islam;

Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf Ganji, Syafi' i (658), penulis buku al-Bayan fi Akhbar Shahib az-Zaman dan Kifayah at-Talib;
Syekh Nuruddin Ali bin Muhammad bin Sabbagh, Maliki, dari Mekkah, dalam bukunya, al-Fush al-Muhimmah, hal. 310-319.

Ahmad bin Ibrahim bin Hasyim Baladzuri adalah salah satu ulama besar dan ahli hadis yang juga membenarkan Imamah dan kegaiban Imam keduabelas dalam bukunya yang berjudul al-Hadits al-Mutassalsil;

Ibnu Arabi (Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Arabi), Hanbali, dalam bukunya al-Futuhat al-Makkiyyah (bab 366) membahas secara rinci tentang kelahiran tentang kulahiran Mahdi, putra Askari, dan kedatangannnya kembali sebelum Hari Kiamat.

lbnu Khashab (Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin nhnwd bin Khashab), membahas secara rinci tentang Imam keduabelas dalam buku biografi berjudul Tawarikh Mawalid al-A'immah wa Wafiyatihim;

Syekh Abdullah Sya'rani (905), Sufi terkenal, dalam karyanya Yaqaqit, bab 66, membahas kelahiran dan kegaiban Imam keduabelas. la juga membahas secara lengkap tentang Imam Mahdi as dalam bukunya yang lain berjudul Aqa'id al-Akabir;

Syekh Hasan Iraqi yang menerima Imam kedua belas, memuji Sya'rani sebagai seorang sufi yang saleh dan terpelajar, dan meriwayatkan kisah pertemuan Sya'rani dengan Imam keduabelas;

Sayid Ali, dikenal sebagai Khawas, guru Sya'rani, juga meyakini Imam keduabelas. la membenarkan apa yang dinyatakan Syekh Hasan mengenai pertemuan Sya'rani dengan Imam ke dua belas;

Nuruddin Abdurrahman bin Ahmad, dikenal sebagai Mullah Jami, dalam bukunya, Syawahid an-Nubuwah (bukti kenabian Nabi Muhammad) membahas kelahiran Imam keduabelas dan pernyataannya sangat sepakat dengan riwayat Syi'ah;

Muhammadbin Mahmud Bukhari, Hanafi, dikenal sebagai Khawajah Farsa dalam bukunya Fasl al-Khitab memberi penjelasan tentang kelahiran, kegaiban, dan kemunculan kembali Imam kedua belas;

Syekh Abdul Haq Dehlawi, dalam bukunya Jazb e Qulub, meriwayatkan pernyataan Hakima, putri Imam kesembilan yang diminta Imam keduabelas, Imam Askari, untuk menemani Narjis, ibunda Imam terakhir di malam terakhir ketika ia melahirkan putranya;

Sayid Jamaluddin Husaini Muhaddits, penulis buku terkenal Rawdhat al-ahbab, Menurut Dayar Bakri, Mulla Ali Qari, Abdul Haqq Dchlawi, buku itu merupakan salah satu sumber yang dapat dipercaya. Penulis menyebutkan Imam kedua belas dalam istilah yang sangat referensial. Ia menyatakan, Kelahiran rahaya yang dijanjikan dan penunjuk jalan terjadi pada tanggal 15 Sya'ban pada tahun 225 H di Samarra." la menggambarkan Imam dengan kalimat sebagai berikut, "Mahdi Muntazhar (Mahdi yng dinantikan), Khalaf Shalih (penerus yang saleh), Shahibuzzaman (pemilik zaman);

Arif Abdurrahman Sufi, dalam karyanya Mir'at al-Asar (Cermin Misteri) membahas secara rinci kelahiran, dan kegaiban Imam kedua belas;
Ali Akbar bin Asad Allah Maududi, dalam bukunya, Mukasyafah (Penyingkapan), yang merupakan tafsiran Nafahat al-Uns karya Abdurrahman Jami, membenarkan keberadaan Imam Mahdi sebagai titik pusat petunjuk setelah ayahnya, Imam Hasan Askari yang juga merupakan pusat petunjuk Imamah;
Malik Ulama Dulatabadi yang merupakan seorang ulama terkenal, dalam bukunya Hidayah as-Sa'dah membenarkan kepernimpinan dan kegaiban Imam Mahdi;
Nasr bin Ali Jahzami Nasri, salah satu perawi hadis yang paling dipercaya yang telah dipuji Khatib al-Baghda dalam buku sejarahnya, dan Yusuf GanjiSyafi'i, dalam bukunya Manaqib, telahmengenalkan Nasr sebagai salah satu guru dari al-Bukhari dan Muslim. Nasr menegaskan keberadaan Qa'im aali Muhammad ('penopang' di antara keluarga Muhammad), salah satu di antara para Imam dari keluarga Nabi Muhammad SAW yang tugasnya menegakkan Islam di seluruh muka bumi ini;

Mulla Ali Qari, salah satu ahli hadis terkemuka, dalam buku terkenalnya, Mirqat, membahas Imam Mahdi setelah ia Benyebutkan pernyataan terkenal Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa sepeninggalnya akan datang dua belas penerus (khalifah). Mulla Ali menyatakan tentang kekuasaan mereka dan tidak adanya perbedaan di antara mereka karena mereka adalah pemimpin-pemimpin yang benar;

Kazi Jawad Sibti adalah orang Nasrani tetapi kemudian ia masuk Islam. la menulis buku berjudul Barahin Sibtiyyah (Bukti-bukti yang dikemukakan Sibti), yang merupakan penyangkalan penulis-penulis Nasrani. la meriwayatkan kenabian dari Nabi Ashaya mengenai kedatangan seorang lelaki dari keturunan terpilih dari garis keturunan Nabi Adam yang terpilih yang akan menjadi singgasana ruli. I Oong,w kata lain, ia akan mengisi ruh kebijaksanaan, simpati, keadilan, ilino pengetahuan, dan menjadi orang yang sangatbertakwa kepada Allah SWT Allah menganugeralrinya akal yang tinggi dan agung dan menjadikannya kuat.

Keputusannya diambil berdasarkan berita yang ia dengar dari dunia luar, tetapi ia memiliki pandangan yang diberi petunjuk tentang segala sesuatu dan menilai umat berdasarkan apa yang benar-benar ada di hati-hati mereka. la lebih jauh menyatakan bahwa caranya menilai sangat berbeda dan tidak sama dengan rasul atau wali Allah manapun. Umat Islam sepakat bahwa gambaran Mahdi seperti ini merupakan keturunan Fathimah binti Muhammad SAW. Nampaknya pandangan Syi'ah merupakan tafsiran kenabian sesungguhnya yang benar.

Sibt bin jauji, Hanafi, (Syamsuddin Abul Muzhaffar Yusuf), penulis buku Tathkirat al-Khawas, hal. 325-328, menyebutkan dua puluh dua nama orang yang diyakini kaum Muslimin hidup hingga 300-3000 tahun! la juga menulis tentang Imam keduabelas sebagai berikut, "la (Mahdi) adalah Muhammad bin Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa Ridha. Namanya adalah Abu Abdillah dan Abu Qasim as. la adalah penerus terakhir Nabi Muhammad SAW. la adalah Imam terakhir dari keluarga Nabi Muhammad SAW. la adalah bukti Allah yang kuat (al-Hujjah). la adalah Pemilik Zaman (Shahib az-Zaman). la adalah orang yang dinantikan (al-Muntazhar)."

Abu Bakar Ahmad bin Hasan Baihaqi, ahli fiqih Syafi terkemuka, membenarkan kelahiran putra Imam Askari dan menyatakan bahwa ia adalah Imam Mahdi yang dinantikan itu;

Syekh Sadruddin, dikenal sebagai Hamawi, telah menulis sebuah buku tentang Imam terakhir dari keluarga Nabi Muhammad SAW. la rncngutip sebuah hadis Nabi Muhammad sebagai berikut, "Orang-orang Urpelajar ciari para pengikutkuberada di antarabarisan para nabi dari Bani larnil," dan merupakan dua belas Naqib (pemimpin) Bani Israil (lihat QS. wali torakhir, yang norupakan lmonorus Nabi yang terakhir, wali kedua belas terdapat dalam garis kuturunan Aulia, yaitu Mahdi, Shahib az-Zaman, nama dan julukannya tidak boleh digunakan untuk urang lain. Syekh Ahmad Jami, (seperti yang dikutip oleh Qunduzi, penulis Yanabf al-Mawaddah, dan Qadhi Nur Allah penulis Majalis al-Mu'minin) menulis puisi berikut ini.

Hati ini dipenuhi keeintaan kepada Haydar

Di sisi Haydar, Hasan adalah penunjuk jalan dan Pemirapin kami Debu-debu di telapak kaki Husain

Adalah celak di mataku.

Al-Abidin, penghias seluruh orang-orang yang taat Bagaikan mahkota di kepalaku.

AI-Baqir adalah cahaya kedua mataku

Agama Yang Ja far bawa adalah benar dan jalan Yang Musa tawarkan adalah jalan yang lurus.

Wahai orang-orang yang taat: dengarlah aku yang memuji raja sekalian raja (ar-Ridha)

Yang terkubur di Khurasan

Setitik debu pusaranya adalah penawar seluruh rasa sakit

Pemimpin orang-orang yang beriman adalah at-Taqi, Wahai kaum Muslimin

Jika kalian mencintai at-Taqi melebihi siapapun Kalian telah melakukan hal yang tepat dan benar. AI-Askari adalah cahaya mata Adam dan dunia ini Dimanakah kita menemukannya, di dunia ini, seorang pemimpin seperti al-Mahdi?

Syekh Amir Ibnu Basri telah membuat sebuah elegi (pujian) berjudul Qasidala Tayya. Isinya mengandung hal-hal mistis, ilmu, teosofi, kebenaran, dan persoalan etika. Berikut ini bait yang dikutip.

Wahai Imam Mahdi! Berapa lama engkau akan disembunyikan? Bantulah kami, wahai ayah kami, dengan balasanmu!

Kami merasa bersedih karena waktu penantian begitu panjang.

Demi Tuhanmu, karuniakanlah kami dengan orang-orang yang men

Wahai pusat dari sekalian makhluk! Segerakanlah kedatangan, orang tercinlu kami!

Kembalikanlah, sehingga kami dapat menikmati keberadaannya. Sesvrlgguhnya, yang demikian merupakan kebahagian yang sangat besar Karena seorang

pencinta akan menemui orang yang dicintainya setelah lama bada

Husain bin Hamdan Husaini, dalam bukunya al-Hidayyah menyebutkan Imam keduabelas, pemilik zaman, putra Imam kesebelas, Imam Hasan Askari.

Penulis biografi terkenal, Ibnu Khallakan, dalam bukunya Wafayat al A'ayan, membahas secara rinci tentang kelahiran Imam keduabelas.

Ibnu Azraq, seperti yang dikutip oleh Ibnu Khallakan, membenarkan keberadaan Imam keduabelas.

Ibnu Wardi, sejarawan, dalam karyanya membenarkan kelahiran putra Imam Askari pada tahun 255 H.

Sayid Mukmin Syablanji dalam karyanya Nur al-Abshar menguraikan asal muasal Imam Muhammad Mahdi as.

Dari semua ini dan banyak lagi, orang-orang yang tidak percaya pada kelahiran Imam Mahdi dan hidupnya saat ini tidak memiliki bukti atas kenyataan yang telah disepakati ini, padahal mereka masih dapat mengetahui kebenaran hadis mengenai Imam Mahdi. Rasulullah SAW berkata, "Barangsiapa yang mati tanpa mengenal Imam zamannya, ia mati dalam keadaan jahiliah (zaman sebelum Islam)."




17
ANTOLOGI ISLAM

Pentingnya Keberadaan Imam Mahdi as
Artikel ini membahas perlunya seorang wakil Allah di muka bumi ini sepanjang waktu. Musuh-musuh Syi'ah memprotes bahwa meskipun kaum Syi'ah menganggap seorang Imam perlu ada untuk menjelaskan perintah-petintah dan mengajarkan agama, serta memberi petunjuk kepada umat, kegaiban Imam adalah negasi dari tujuan ini, Karena seorang Imam yang gaib yang tidak dapat dicapai umat manusia tidak akan bermanfaat atau efektif. Musuh-musuh Syi'ah ini menganggap bahwa apabila Allah berkehendak untuk mengadakan seorang Imam untuk mengubah unr0l manusia, la dapat menciptakannya pada waktu yang diperlukan dan tidak perlu menciptakannya ribuan tahun yang lalu.

Untuk menjawab hal ini, perlu dinyatakan bahwa orang tersebut tidak paham dengan makna Imam, karena tugas seorang imam tidak hanya menjelaskan ilmu agama dan petunjuk ekstemal umat. Hal yang sama bahwa ia memiliki tugas memberi petunjuk luar, tetapi Imam juga membawa fungsi sebagai wilayah dan petunjuk intemal manusia. Imam yang ditunjuk Allah mengarahkan kehidupan spiritual manusia dan orientasi aspek tindakan manusia yang terdalam kepada Allah. Jelasnya, keberadaan dan ketiadaan fisiknya tidak berpengaruh pada hal ini. Imam adalah wakil Allah (khalifah Allah) di muka bumi, dan wali-Nya. la merupakan penghubung antara langit dan bumi, dan ditunjuk Allah sebagai penghubung sekalian makhluk. Keberadaannya selalu diperlukan meskipun masanya belum tiba untuk keberadaan fisiknya dan rekanstruksi universal yang mewujudkannya.

Kami akan memberi contoh untuk menjelaskan persoalan yang halus ini. Setiap manusia memerlukan darah untuk melanjutkan hidupnya, dan keberadaan darah penting di setiap momen hidup. Kebutuhan ini tidak bebas dari Allah. Adalah Allah yang menciptakan kebutuhan ini bagi manusia. Hal yang sama pula pada fungsi Imam atas sekalian makhluk yang tidak bebas dari Allah. Adalah Allah yang menciptakan kebutuhan ini bagi alam semesta dan Allah memenuhinya. Allah SWT berkehendak para penduduk bumi tidak dapat hidup tanpa keberadaan `wakilnya di muka bumi, sama juga bahwa Allah berkehendak tubuh kita tidak dapat bertahan hidup tanpa darah.

Seorang Imam yang ditunjuk Allah adalah manusia, tetap menjadi manusia tidak berarti bahwa ia tidak memiliki otoritas atas manusia lainnya dengan Izin Allah. Semakin dekat manusia kepada Allah, semakin besar otoritas yang akan ia miliki. Kedekatan kepada Allah diperoleh melalui ketaatan dan kesalehan. Ketika seseorang mencapai tingkat sempurna ia tidak memiliki keinginan terhadap apapun kecuali perintah Allah. Imam bukanlah Allah tetapi ia sangat didukung oleh kekuatan Allah. Ia dianugerahi otoritas sebagaimana yang dinyatakan ayat-ayat Quran di bawah ini. Otoritas ini berasal dari Allah dan dikendalikan oleh-Nya.

Contoh lain adalah sebuah perusahaan dengan seorang pemimpin, beberapa menajer dan pegawai. Orang yang dekat dengan pemimpin (dalam kedudukannya dan aspek lain) memiliki otoritas yang lebili dibandingkan orang lain. Otoritas ini tidak sama dengan otoritas pemimpin, dan tetap ada sepanjang pemimpin inginkan. Orang yang diberi otoritas tidak merasa bebas dan dapat berbuat segala sesuatu yang bertentangan dengan perintah pemimpin, jika tidak posisinya akan diambil darin,ya. Pemimpin perusahaan menunjuk orang itu untuk menjalankan tugas.

Hal yang sama, seorang Imam yang ditunjuk Allah, tidak memiliki kekuasaan yang sama dengan Allah, dan otoritasnya tidak bebas dari Allah karena Allah tidak menyerahkan kekuasaan dan kekuatannya kepada siapa pun. Apabila la memberi hamba-Nya yang saleh kekuatan dan kekuasaan, la masih akan mengendalikan orang itu. Quran menyatakan bahwa Allah SWT menunjuk beberapa Imam dengan memberi mereka otoritas untuk memberi petunjuk kepada manusia, Dan Kami tunjuk para Imam yang memimpin dengan perintah Kami dan Kami wahyukan kepada mereka perbuatanperbuatan haik.(QS. al-Anbiya :73).

Juga, Dan Kami tunjuk dari mereka para Imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kumi karena mereka sabar dan sangat yakin terhadap ayat-ayat Kami. (QS. as-Sajdah : 24).

Selain itu, pada tafsir ayat Quran, Dan lihatlahi Sesungguhnya Aku mengampuni orang yang bertobat dan beriman dan beramal kebajikan, dan setelah itu menerima petunjuk (QS. Tha Ha: 82). Ibnu Hajar menyebutkan bahwa tafsiran ini diriwayatkan dari Imam Muhmmad Baqir as juga Tsabit Lubnani, bahwa, akhir ayat bersebut artinya 'la diberi petunjuk tentang wilayah Ahlulbait'.3'Allah juga berfirman, Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul dan orang-orang di antara kalian yang telah Allah beri kekuasaan. (QS. an-Nisa : 59).

Imam-imam manakah yang telah Allah beri kekuasaan dan harus ditaati selain Rasulullah SAW? Ayat Quran di atas membuktikan bahwa Imam yang ditunjuk Allah memiliki kekuasaan dan ia memberi pelunjuk. Kekuasaan Imam tidak terbatas pada sekelompok orang tetapi meliputi setiap makhluk lain (lihat QS. Ya Sin :12 yang menggunakan kata Imam untuk tetap sesuai dengan kanteksnya). Sekali lagi, kekuasaan ini dikendalikan oleh Allah SWT.

Pada ayat lain Allah berfirman, (Wahai Muhammad!) Engkau tidak lain adalah seorang Pembawa Peringatan, dan bagi setiap kaum ada seorang Penunjuk Jalan. (QS. ar-Ra'd : 7)

Nabi Muhammad SAW adalah seorang Pembawa Peringatan, dan para Imam dari Ahlulbaitnya merupakan Penunjuk Jalan bagi kaum di zamannya. Sebenarnya, mufassir Sunni berikut ini meriwayatkan bahwa kata 'Penunjuk Jalari pada ayat di atas adalah Ali bin Abi Thalib: Ta fsir atThabari, jilid 13, hal. 72; Tafsir al- Kabir, oleh Fakhrurrazi, ketika menafsirkan surat 13:7; Tafsir al-Durr al-Mantsur, oleh Suyuthi,_ ketika menafsirkan surat 13:7; Karcz al-Ummal, oleh Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 157; Nur al-Abshar, oleh Syablanji, hal. 70; Kunuz al-Haqa'iq, oleh Manawi, hal. 42.

Apabila harus ada Penunjuk Jalan pada setiap zaman, seperti yang dinyatakan surat 13:7, maka pertanyaannya adalah siapa penunjuk jalan saat ini? Pasti ada seorang Imam yang hidup di setiap waktu, agar ayat di atas masuk akal. Ini merupakan bukti lain bahwa Imam Mahdi as masih hidup. Selain itu, Allah berfirman, Yang Allah berikan (di muka bumi ini) lebih baik bagimu jika kamu adalah orang-orang beriman. (QS. Hud : 86)

Ayat di atas merupakan bukti lain bahwa ada seseorang pada setiap zaman yang diselamatkan Allah (Baqiyah Allah) di muka bumi ini untuk melanjutkan perjuangan agama dan ia adalah Pemimpin zaman itu, dan kedudukan ini tidak pemah kosong selama bumi berisi walau hanya satu manusia.

Hal ini sebenarnya merupakan ajaran kaum Syi'ah bahwa sebuah 'Bukti (hujjah) Allah' harus selalu ada di muka bumi ini karena bumi tcrus berfungsi sebagai tempat tinggal bagi manusia. Hujjah itu bukan dewa atau pemberi kehidupan, tetapi karena Allah menciptakan dunia ini bagi hamba - hamba Nya yang paling baik. Ciptaan Allah yang paling baik adalah orangyang paling taat kepada-Nya setiap waktu. Makhluk-makhluk lain dianggy) objek sekunder di mata Allah.

Selain itu, ada hadis-hadis yang meny atakan bahwa apabila hanya ada satu manusia di muka bumi ini, ia adalah 'Rukti (hujjah) Allah'. Hal ini menyiratkan arti bahwa Allah tidak membiarkan manusia di muka bumi ini tanpa wakil-Nya. Pada zaman para nabi, hujjah tersebut adalah mereka. Sekarang, tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad, hujjah-nya adalah Ahlulbait yang masih hidup di setiap zaman hingga Hari Kebangkitan. Perlunya keberadaan Hujjah di muka bumi ini berarti bahwa dunia ini akan berakhir ketika Imam terakhir meninggal.

Selain yang kami kutip dari Quran, mari kita kutip beberapa hadis dari sumber Sunni yang mendukung kebenaran di atas. Ibnu Hanbal dan yang lainnya meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Bintang membantu penduduk muka bumi agar tidak tenggelam, dan Ahlulbaitku adalah pelindung umatku dari perdebatan (masalah agama). Oleh karena itu, kelompok bangsa Arab yang menentang Ahlulbaitku akan terpecah belah dan menjadi (kelompok) sesat."38
Ibnu Hajar menyebutkan dua hadis di atas dan juga hadis-hadis serupa ketika ia menafsirkan ayat Quran berikut ini, Allah tidak menyiksa mereka ketika kamu ada di antara mereka.(QS. al-Anfal : 33). Kemudian Ibnu Hajar menafsirkan bahwa, "Ahlulbait adalah wasiat bagi para penghuni bumi sama seperti Rasulullah yang merupakan wasiat bagi mereka." Pada halaman selanjutnya, setelah menyebutkan sebuah hadis dari Shahih Muslim yang menyatakan bahwa setelah berakhirnya pemerintahan yang adil di akhir zaman, sebelum Hari Kiamat tiba, Allah menghembuskan angin yang mencabut semua jiwa orang-orang beriman dan yang tersisa hanya jiwa orang-orang berdosa ketika gempa bumi Hari Kebangkitan (rrjadi. Kemudian Ibnu Hajar memberi komentar.

Menurut pendapat saya, hadis tersebut merujuk pada Ahlulbait, karena Allah menciptakan dunia ini untuk Nabi dan menjadikan keberadaannya kundisional bagi keberadaan ahlulbaitnya karena mereka memiliki keutamaan - keutamaan yang sama dengan Nabi Muhammad sebagaimana yang disebutkan Razi, dan karena Nabi Muhammad menyatakan keutamaan-keutamaan mereka bahwa, "Ya, Allah! Mereka berasal dariku dan aku berasal dari mereka." Karena mereka bagian darinya, sebagai ibu mereka, Fathimah adalah bagian dari dirinya. Dengan demikian, mereka (Ahlulbait) juga merupakan wasiat bagi muka bumi (sama seperti yang dinyatakan ayat di atas tentang Nabi Muhammad).39

Pada hadis lainnya, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW ditanya, "Apa yang akan terjadi dengan umat setelah Ahlulbait?" la menjawab, "Mereka akan seperti keledai dengan punggung yang rapuh."4°

Hadis-hadis ini, dengan demikian, tidak menciptakan keraguan mengenai keberadaan Ahlulbait di setiap zaman, dan bahwa Imam zaman, Imam Mahdi as, masih hidup.

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Hormatilah Ahlulbaitku di antara kalian seperti kepala pada tubuh, atau mata pada wajah, karena wajah diberi petunjuk oleh mata."41

Nabi Muhammad juga bersabda, "Di setiap generasi pada umatku selalu ada anggota Ahlulbaitku yang adil dan beriman untuk menentang perubahan dan kerusakan dalam agamaku yang diciptakan oleh orang-orang yang sesat, memusnahkan kelompok yang tidak benar dan menentang penyalah artian orang-orang bodoh. Waspadalah! Pemimpinmu adalah walimu di hadapan Allah. Oleh karena itu berhati-hatilah kamu mengangkat walimu."42

Berikut ini ucapan Ali bin Abi Thalib ,

"Aku dan keturunanku yang suci serta anggota keluargaku yang beriman adalah orang - orang yang paling berduka di masa kecil dan ketika kami dewasa, kami adalah orang- orang yang paling bijaksana. Kami adalah penghubung yang dengannya Allah menghancurkan kebatilan dan meluluhlantakkan srigala - srigala yang haus darah serta membawamu kepada kemerdekaan dengan melepaskan tali - tali yang mencekik lehermu. Allah berkehendak untuk memulai segala sesuatu melalui kami, dan menyempumakannya melalui kami."43

Istilah - istilah yang jelas dan mutlak yang digunakan Nabi Muhammad SAW untuk membimbing kita pada personalan ini dalam hadis - hadis yang di atas tidak dapat ditandingi atau dilebihi oleh bahasa lain. Istilah ahlulbait tidak meliputi seluruh keluarga Bani Muhammad SAW. Juluikan ini hanya sesuai untuk orang - orang yang memduduki Imam atas kehendak Ilahi, sebagaimana yang ditegakkan oleh akal dan ditopang oleh hadis. Ulama - ulama terkemuka dari sebagian besar kelompok umat Islam mengakui hal ini. Contohnya, Ibnu Hajar menulis dalam ash-Shawa'iq al-Muheiqah,

Ahlulbaitku, yang telah Rasulullah angkat sebagai pelindung, adalah orang-orang terpelajar di antara keluargaku, karena petunjuk hanya dapat diperoleh melalui mereka. Mereka laksana bintang-bintang yang membimbing kita ke arah yang benar, dan apabila bintang itu Hihilangkan atau disembunyikan kita akan berhadapan dengan tanda Kebesaran Allah yang dijanjikan (Hari Kiamat). Ini akan terjadi ketika Mahdi datang, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis-hadis, dan Nabi lsa akan shalat di belakangnya, Dajjal akan dibunuh, kemudian tanda-tanda kebesaran Allah akan muncul saling berganti."44

Itulah mengapa wafatnya Imam kedua belas menyebabkan berakhirnya dunia ini, dan inilah salah satu alasan mengapa ia harus hidup. Di tempat lain Ibnu Hajar menulis,

" Hadis-hadis yang menjelaskan perlunya ketaatan kepada Ahlulbait hingga Hari Kiamat, juga menyiratkan arti bahwa keberadaan orang-orang beriman dari keluarga Nabi Muhammad tidak akan hilang hingga Hari Kiamat demikian juga dengan Kitab Allah.45

Kegaiban Imam kedua belas terdiri dari dua bagian. Pertama, kegaiban kecil (Ghaybah as-Sughra) yang dimulai tahun 259/873 dan berakhir pada 329/939, berlangsung selama tujuh puluh tahun. Pada periode itu, orang berhubungan dengannya melalui empat wakil khusus. Empat orang ini mengetahui di mana Imam berada dan dapat berhubungan langsung dengannya. Periode ini berfungsi untuk menyiapkan para pengikutnya hingga ketiadan Imam.

Kedua, kegaiban besar yang terjadi pada tahun 329/939 dan berlangsung selama Allah SWT kehendaki. Tidak ada wakil khusus untuk berhubungan secara langsung dmgannya pada periode ini, dan ulama umat Muslim adalah wakil-wakil secara umum pada waktu itu tanpa dapat bertemu dengannya. Mungkin Imam menampakkan dirinya kepada seseorang selama kegaiban besar ini, tetapi tidak pemah terjadi secara teratur, dan tidak terlibat dalam pertemuan langsung, dan tidak seorang pun dapat bertemu dengannya kapan pun ia mau. Selain itu, meskipun Imam menampakkan dirinya pada seseorang, ajaran kaum Syi'ah dengan jelas menyatakan bahwa Imam tidak akan memberinya perintah. Sebenarnya, adanya pernyataan menerima perintah atau aturan dari Imam keduabelas pada periode kegaiban besar dinyatakan sebagai bukti kesalahan dari pernyataan itu sendiri. Tidak ada tempat atau rumah yang spesifik yang dinyatakan sebagai tempat di mana Imam berada dan tidak seorang pun mengetahuinya kecuali Allah SWT, dan ia telah dilihat oleh orang-orang yang berbeda-beda di sepanjang hidupnya di berbagai tempat di dunia ini. Imam Mahdi as menulis melalui salah satu wakil khususnya pada periode kegaiban kecil;

"Yakinlah, tidak ada seorang pun yang memiliki hubungan yang khusus dengan Allah. Barangsiapa yang menyangkalku, ia bukan umatku. Munculnya penawar (al-Farraj) hanya bergantung kepada Allah. Oleh karena itu, barangsiapa yang menentukan suatu waktu pada kedatanganku, ia telah berdusta. Manfaat kedatanganku, laksana manfaat matahari yang tertutup awan di mana mata tidak dapat melihatnya. Sesungguhnya, keberadaanku merupakan wasiat bagi penduduk bumi. Banyak-banyak berdoalah kepada Allah untuk mempercepat kedatangan Sang Penawar, karena dalamnya terdapat penawar bagi penderitaanmu."

Petunjuk dapat berbeda-beda caranya. Perlukah kita melihat Allah SWT untuk membimbing kita? Bagaimana dengan Nabi yang telah wafat? Hadis Imam Mahdi as di atas memberikan analogi yang menarik. Apabila kita ingin melihat jalan kita dan agar berjalan dengan aman, kita memerlukan cahaya. Matahari memberi cahaya ini bagi kita meskipun tertutup awan di mana mata tidak dapat melihatnya secara langsung. Hal yang sama, kita mendapat manfaat dari petunjuk Imam Mahdi as meskipun kita tidak melihatnya selama masa kegaibannya.

Sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, Imam Mahdi dan semua Imam lainnya serta para rasul adalah makhluk ciptaan Allah yang paling baik. Mereka tidak kekal. Dalam beberapa buku Syi'ah terjemaahan bahasa Inggris, kata seperti `Imam Allah' atau 'Rasulullah' digunakan. Dengan melihat buku aslinya, jelaslah bahwa yang dimaksud penerjemah dengan 'pemimpin Allah" adalah 'pemimpin yang ditunjuk Allah', yakni seorang pemimpin yang telah diangkat oleh Allah SWT (bukan oleh manusia). Kata di atas jangan diartikan bahwa pemimpin-pemimpin itu kekal. Ini hanyalah persoalan pemahaman kata tersebut. Meskipun terdapat beberapa buku Islam yang diterjemahkan secara kurang baik, kata-kata ambigu yang menimbulkan tanya pada para pembaca jarang ditemukan.

Imam Mahdi as juga bukan seorang rasul, dan ia pun tidak akan membawa agama baru atau hukum baru. la tidak akan menggugurkan aturan yang telah dibuat oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi ia akan menegakkan Islam yang benar berdasarkan sunnah Nabi Muhammad SAW yang asli. Tetapi, ada beberapa hadis sahih yang menyatakan bahwa meskipun Imam tidak membawa hukum baru ketika ia datang, beberapa orang berkata, "la membawa agama baru." Hadis ini lebih jauh menjelaskan bahwa hal itu disebabkan oleh banyaknya ciptaan-ciptaan dalam agama Islam yang dibuat oleh ulama. Misi Imam Mahdi adalah menolak semua ciptaan itu dan menghidupkan sunnah Nabi Muhammad SAW yang telah dikotori umat sepanjang sejarah. Akibat ketidaktahuan orang-orang terhadap sunnah yang benar, mereka mengira bahwa ia membawa agama baru. Beberapa hadis menyatakan bahwa Imam Mahdi juga akan memberi penafsiran Quran yang berbeda.



Hal-hal Lain Mengenai Imam Mahdi as
Pandangan kaum Syi'ah mengenai Imam Mahdi yang masih hidup bukanlah sesuatu yang sulit dipercaya apabila beriman kepada Allah SWT dan Kitab-Nya, Quran. Memang, Syi'ah dengan tegas membenarkam kansep Imam Mahdi as yang masih hidup dan tidak menentang Quran dengan cara, bentuk, atau jalan apa pun.

Bagi orang-orang beriman yang hatinya dipenuhi oleh cinta dan takwa kepada Allah SWT, tidak ada keraguan untuk menerima doktrin tentang Mahdi as. Karena kita, sebagai orang-orang yang bertawa kepada Allah SWT, meyakini banyak hal yang tersembunyi, tak diketahui, ajaib dan nampaknya mustahil yang dinyatakan dalam Quran. Hal itu tidak hanya dinyatakan dalam Quran tetapi seorang muslim harus tunduk dan meyakini peristiwa ini. Kami juga yakin bawa Allah mampu melakukan segala sesuatu dan tidak ada yang sulit atau mizstahil bagi-Nya. Allah menegaskan dengan jelas bahwa apabila la menginginkan sesuatu, yang la lakukan hanyalah mengatakan, "Jadilah! Maka terjadilah hal itu."

Mari kita lihat beberapa contoh peristiwa mukzijat yang diriwayatkan Quran. Perhatikanlah bahwa tidak satu pun pada ayat-ayat berikut atau kisah-kisah berikut terjadi, kecuali karena Allah SWT.

Kita, sebagai muslim yang beriman, percaya kepada Allah SWT ketika la berfirman dalam Quran bahwa seorang lelaki melintas di sebuah desa dan berkata kepada dirinya sendiri, "Bagaimana Allah menghidupkan negeri yang mati ini?" Allah, sebagai jawabannya, mematikan orang itu selama seratus tahun dan menghidupkannya kembali. Kemudian Allah memberi makanan kepadanya selama seratus tahun. Allah memerintahkan kepada orang itu untuk melihat seekor keledai dan memperhatikan bagaimana Allah menghidupkan kembali keledai itu dengan menyusun tulang-tulangnya dan menyempumakannya dengan melekatkan daging pada tulang-tulang itu. Ketika lelaki itu melihat, ia berkata, "Sekarang aku yakin bahwa Allah Maha Kuasa, dan mampu melakukan segala sesuatu."

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran Ibrahim as mencacah hancur burung dan menyebarnya di setiap ujung gunung dan memanggil mereka. Burung itu pun terbang atas kehendak Allah SWT.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa api menyala yang disediakan orang-orang kafir untuk Nabi Ibrahim as berubah dingin ketika Nabi Ibrahim as diletakkan dalamnya. Api itu tidak saja berubah dingin tetapi juga berubah menjadi dingin yang sedang agar rasa dingin itu tidak membunuh Nabi Ibrahim as.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa Nabi Isa as terlahir tanpa seorang ayah atas kehendak Allah SWT. Kita juga yakin bahwa ia tidak mati dan ia akan kembali ke dunia ketika Allah berkehendak.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa Nabi Isa as menghidupkan kembali orang yang telah mati atas izin Allah SWT, menyembuhkan orang sakit, orang buta dan lain-lain.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa tongkat Nabi Musa as berubah menjadi seekor ular. Kita juga percaya bahwa laut dibelah menjadi dua agar jalan yang aman terbentang bagi umat Yahudi untuk melarikan diri dari penganiayaan Firaun.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa air sungai Nil berubah menjadi darah atas izin Allah.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa Nabi Sulaiman as mengerti bahasa burung dan bercakap-cakap dengan mereka, kemudian dengan semut, jin dan kerajaan Nabi Sulaiman as dapat melayang di atas air; dan kerajaan Ratu Balqis dibawa ke hadapannya dalam sekejap mata. Semuanya dilakukan atas izin Allah SWT.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa para penghuni Gua (Ahl al-Kahj) dimatikan selama kurang lebih 309 tahun kemudian dihidupkan kembali atas izin Allah SWT.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika Ia bersabda dalam Quran bahwa Nabi Khidir masih hidup dan ia bertemu Nabi Musa as ketika mereka menaiki perahu atas izin Allah SWT.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa setan, yang terkutuk, masih hidup meskipun ia lahir sebelum Nabi Adam as; dan ia mengintai kita dari tempat yang tidak dapat kita lihat atas izin Allah SWT.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya kepada Allah ketika la berfirman dalam Quran bahwa Nabi Adam as terlahir tanpa seorang ibu dan ayah atas izin Allah SWT.

Kita, sebagai Muslim yang beriman, percaya bahwa Nabi Nuh as hidup lebih dari 950 tahun. Kita, sebagai Muslim yang beriman percaya bahwa Nabi Isa as masih hidup dan sampai sekarang. Kita, sebagai Muslim yang beriman percaya bahwa Nabi Khidir masih hidup.

Semua hal di atas tidak dapat dibuktikan secara saintifik tetapi anda harus menerima dan meyakininya, atau anda bukan seorang Muslim yang total tunduk kepada Allah SWT. Mengapa kita meyakini semua di atas, tetapi kita tidak meyakini Imam Mahdi as?

Sekarang pertanyaannya adalah: apabila anda, seorang yang beriman, diperintahkan untuk meyakini, tidak ada pilihan di sini, semua hal di atas, lalu mengapa anda merasa aneh ketika kaum Syi'ah menyatakan bahwa Imam Mahdi as masih hidup dan akan kembali ketika Allah berkehendak? Apakah anda tidak percaya kepada kebijaksanaan Allah yang tidak terbatas, bahwa Ia akan mendatangkan Imam Mahdi as ketika saatnya tiba? Tidakkah ini janji Allah yang jelas untuk menganugerahi kemenangan kepada agama-Nya?

Selain konsep bahwa ia masih hidup, tidak ada perbedaan yang mendasar antara kaum Sunni dan Syi'ah mengenai Imam Mahdi as. Kedua pihak menyakini kedatangannya menjelang akhir zaman, bahwa Nabi Isa akan shalat di belakangnya ketika shalat berjamaah, dan Imam akan mengisi dunia ini dengan keadilan dan kebenaran seperti sebelumnya dunia ini dipenuhi ketidakadilan dan kebatilan dan kaum Muslimin akan mengendalikan bumi ini pada zamannya, dan kesejahteraan meliputi dunia sehingga tidak akan ada orang miskin, dan seluruh kaum Muslimin akan bersatu di bawah perintahnya. Marilah kita berdoa bersama-sama kepada Allah SWT agar la mempercepat kedatangannya.



Ilmu Gaib dan Ilmu Kitab
Tema ini bertujuan untuk mengklarifikasi dua konsep 'llm al-Ghani (ilmu kegaiban) dan 'Ilm al-Kitab (ilmu kitab) yang nampaknya membingungkan banyak orang. Artikel ini mengetengahkan referensi dari Quran dan kumpulan hadis dari Sunni dan Syi'ah.

Makna asli dari 'gaib' dalam bahasa Arab adalah 'sesuatu yang tersembunyi, dan makna ini adalah makna yang muncul dalam Quran (anNisa:34, Yusuf:52, dan lain-lain). Makna ini menjelaskan makna kebalikan dari `hadir' yang artinya'dapat ditangkap indera'. Dengan demikian makna ini berkaitan dengan sesuatu di dunia luar (yakni, maklumat, sesuatu yang diketahui). Kebalikan ghaib/hadir (gaib/terlihat) jangan disamakan dengan kebalikan ghaib/hadis (berilmu/tak berilmu) yang berkaitan dengan perbuatan dalam diri kita untuk mengetahui. Makna gaib dalam dimensi waktu adalah sesuatu yang tidak ada pada saat ini tetapi akan atau sudah ada. Sedangkan makna gaib dalam dimensi ruang adalah keberadaan sesuatu di suatu tempat tetapi tidak di sini.

Kita dapat membagi ilmu pengetahuan menjadi dua bagian; 1) Ilmu sesuatu yang ada saat ini dan hadir di sini ('ilm bil Hadhir), 2) Ilmu sesuatu yang kita ketahui tetapi tidak ada di sini saat ini ('ilm bil Gaib/Gha'ib; ilmu yang tersembunyi dari indera)

Perlu dicatat bahwa pembagian di atas berdasarkan pada makna bahasa secara umum atau makna ash istilah tersbut. Ilmu gaib itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Ilmu yang diperoleh melalui indera perasa tetapi tidak secara langsung. Contohnya, ilmu sejarah yang diperoleh melalui riwayat dari seseorang atau orang lain, khutbah atau tulisan atau penelitian sisa-sisa dan jejak-jejak masa lalu kemudian meyimpulkan fakta sejarah tertentu dari penelitian tersebut. Sedangkan ilmu gaib yang tidak diperoleh melalui indera perasa.

Perlu diperhatikan bahwa ilmu gaib yang pertama dapat diperoleh dengan indera secara normal (lima indera perasa) atau mungkin indera khusus yang telah diberikan kepada seseorang seperti indera telepati. Tetapi Ia hanya pada jenis ilmu gaib yang kedua makna teknis/khusus dari ilmu gaib diberikan. Peristiwa bersejarah yang disebutkan dalam Quran dinamakan 'berita gaib' (Hud:49, Yusuf:702, al-Furqan :4-0) yang tidak diperoleh melalui indera perasa.

Quran sangat jelas memberi penjelasan tentang fakta bahwa hanya Allah SWT yang memiliki ilmu gaib (sesuatu yang tersembunyi) di langit dan di bumi. Quran menyatakan bahwa kunci kegaiban di langit dan di bumi hanya ada pada Allah; Di sisi-Nyalah kunci-kunci sesuatu yang gaib. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah (QS. al-An'am : 59). Dan tidak ada seorang pun yang mengetahui ilmu Allah kecuali Allah menghendaki. Quran bercerita tentang ilmu tersebut aian syafa'at Nabi Muhammad SAW serta dua belas pemimpin as bahwa, Siapa yang dapat meminta syafa'at melainkan dengan izin-Nya? la mengetahui apa yang ada di hadapan mereka (Nabi dan para Imam as) dan apa yang ada di belakartg mereka, dan mereka tidak memiliki ilmu apa pun kecuali Ia menghendaki (QS. al-Baqarah :255). Ayat ini menunjukkan bahwa kunci/inti ilmu gaib ada di sisi Allah, tetapi la dapat memberikan 'berita gaib' kepada orang yang la kehendaki.

Menurut Quran, sesuatu yang khusus dipunyai Allah, seperti mencipta, menghidupkan, menyembuhkan tanpa obat, ilmu tentang sesuatu yang telah dan akan terjadi, dapat diberikan secara sementara pada saat mereka diperlukan, atau kemampuan atau kekuatan untuk mendapatkan ilmu itu dapat diberikan sehingga mereka dapat digunakan ketika diperlukan, atas izin Allah. Contoh berikut ini mengenai Nabi Isa as di mana Quran menyatakan;

Aku datang kepadamu dengan ayat dari Tuhanmu; Aku akan ciptakan bagimu seekor burung dari tanah, kemudian aku akan., meniupkan ke dalamnya, dan jadilah ia burung atas perkenan Allah. Aku juga menyembuhkan orarrg buta dan penderita kusta, menghidupkan yang mati, atas izin Allah. Aku akan beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa saja harta benda yang ada di rumahmu. Sesungguhnnya, dalamnya ada tanda bagimu, jika kamu adalah orang yang beriman. (QS. Ali Imran : 49, lihat juga al-Maidah : 110)

Untuk memberi contoh yang sederhana, bayangkanlan seseorang yang memandang komputer yang menampilkan sebagian data yang terletak dalam perangkat komputer ! Pengguna komputer dapat mengambil sebagian data ini dan melihatnya di layer monitor. Tapi juga seluruh data selalu berada dalam komputer dan tidak diingatan pengguna. Selain itu penggguna komputer tersebut tidak mengetahui perubahan saat itu yang terjadi pada data dan rumus-rumus di balik perubahan itu.

Hal yang sama, Allah mengizinkan Nabi dan para Imam mengetahui segala sesuatu yang mereka perlu ketahui. Tetapi, mereka tidak memiliki semua ilmu itu dalam diri mereka. Allah akan memberikan semua yang mereka perlukan kapanpun. Perlu dipahami bahwa semua yang ingin didahului para Nabi dan Imam sesuai dengan apa yang Allah kehendaki untuk ia berikan. Mereka tidak ingin mengetahui sesuatu yang tidak ingin AI lnh berikan kepada mereka (di antaranya kunci-kunci ilmu gaib).

Berdasarkan Quran dan hadis yang diriwayatkan Ahlulbait, Allah wrmi 1 iki dua jenis ilmu pengetahuan: Ilmu yang tersembunyi (gaib) seperti wang telah saya sebutkan, tidak seorang pun mengetahui ilmu ini kecuali Allah, Allah memberitabukan 'berita gaib' ini kepada beberapa hambaNva, tetapi hal ini berbeda dengan'memiliki ilmu gaib'. Sebenarnya, ada bab yang lengkap dalam Ushul al-Kafi yang membahas jenis ilmu ini dijelaskan bahwa para Imam ataupun para rasul tidak memiliki ilmu ghaib ini; "Kehendak (mashiyah) Allah menggerakkan ilmu ini. Apabila Ia berkehendak, la akan menetapkannya. Dan apabila la berhendak, la akan axwgubahnya dan tidak menjalankannya."(Ushul al-Kafi, kitab al-HujjaFr, Ir,ais 6.64) Kedua, ilmu yang dianugerahkan; ini adalah ilmu yang Allah tetapkan (Qadar, Taqdir). la menetapkannya dan menjalankannya (tanpa perubahan). Dan ini adalah ilmu yang telah diberikan kepada Nabi Muhammad dan para Imam (Ushul al-Kafi, kitab al-Hujjah, hadis 6.64).

Apabila Nabi dan para Imam memililiki pengetahuan tentang masa dapan, ini merupakan ilmu jenis kedua (ilmu yang telah ditetapkan), dan bukan jenis ilmu pertama (ilmu gaib).

Mengenai ilmu pertama Quran menyatakan, Allah menghapus apa yang Ia kehendaki, dan menetapkan apa yang la kehendaki dan pada sisi-Nya lah ilmu Ummul Kitab. (QS. ar-Ra'd : 39)(lmu llmrn al-Kitab adalah ilmu yang tersebunyi (gaib) yang hanya dimiliki Allah, dan tidak seorang pun memiliki ilmu ini kecuali Diaz; la berkata, "Pengetahuan itu ada di sisi Tuhanku dalam sebuah Kitab. Tuhanku tidaklah keliru juga lupa." (QS. Tha Ha : 52), la memiliki perkara gaib dan Ia tidak menerangkan perkara gaib-Nya kepada siapa pun keeuali kepada seorang utusan yang Ia ridhai. (QS. al-jinn : 26-27)

Dari ayat di atas, jelaslah bahwa meskipun hanya Allah yang memiliki ilmu tersembunyi (gaib) itu, tetapi la akan memberitahukan sebuah berita kepada Nabi Muhammad SAW. Di sisi lain, Nabi Muhammad memberitahukan yang ia ketahui dari berita `gaib' itu kepada orang-orang yang berkualifikasi mendapatkannya, sebagaimana yang dinyatakan ayat berikut; Dan la (Muhammad) tidak serakah dengan ilmu gaib itu (QS. at-Takwir : 24).Oleh karena itu, apabila berita gaib sampai kepada Nabi Muhammad (dan akhirnya juga kepada para Imam Ahlulbait), itu karena ilmu tersebut diberikan Allah kepadanya. Karena alasan inilah yang menurut Quran para nabi diperintahkan untuk memberitahu umat bahwa mereka tidak memiliki ilmu gaib itu, karena ilmu itu diberikan Allah hanya ketika la menghendaki.

Dalam Ushul al-Kafi, diriwayatkan bahwa Ammar Sabati berkata, 'Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ja'far Shadiq) mengenai apakah Imam mengetahui ilmu gaib (tersembunyi). la menjawab, "Tidak, tetapi apabila ia ingin mengetahui sesuatu, Allah akan menjadikannya mengetahui hal itu." (Ushul al-Kafi, Kitab al-Hujjah, hadis 6.66).

Syekh Mufid (413/1022), salah satu ulama Syi'ah terkemuka berkata, "...menyatakan bahwa mereka (Nabi dan para Imam) memiliki ilmu gaib harus disangkal sebagai sesuatu yang salah, karena penyifatan hal ini hanya diperuntukkan bagi sesorang yang memiliki ilmu segala sesuatu dalam dirinya, bukan ilmu yang didapat dari orang lain. Dan ini hanya diperuntukkan bagi Allah, pemilik Keagungan dan Kemaha besaran. Semua Imam sepakat pada kekecualian ini, barang siapa yang menyimpang darinya ia akan disebut mufawwidah dan orang-orang ekstrem." (Awa'il al-Maqalaat, hal. 38).
Sebenarnya, tidak ada nabi atau rasul pemah menyatakan bahwa mereka memiliki ilmu dalam diri mereka. Tentunya mereka tidak mengetahui berita " tersembunyi " dari mereka. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua yang ia ketahui " dapat dilihat " kita juga. Berita yang dianggap " tersembunyi " bagi kita mungkin " terlihat " bagi mereka. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dilihat orang relative.



18
ANTOLOGI ISLAM

Ilmu Kitab
Quran menyebutkan bahwa jenis ilmu kedua, yang dijelaskan di atas, diberikan kepada para nabi dan para imam. Ini adalah ilmu yang telah di tetapkan dan ilmu tentang mengatur pemerintahan alam semesta," Jenis ilmu ini dikenal sebagai 'ilmu kitab'. Quran menyatakan bahwa beberapa orang rasul dan bukan rasul memiliki jenis ilmu ini yang dengannya mereka dapat melakukan hal-hal luar biasa dengan izan Allah. Kami membaca dalam Quran bahwa, Maka kami tunjukkan kepada Ibrahim kekuatan dan aturan langit dan bumi sehingga ia memahaminya dengan yakin. (QS. al-An'am : 75)

Sebelumnya, kami juga mengutip sebuah ayat Quran yang berhubungan dengan Nabi Isa as yang menyatakan bahwa, Aku akan memberitahukan apa yang kamu makan dan apa saja harta benda yang ada di rumahmu (l)S. Ali Imran:49, al-Maidah:110). Referensi dapat dilihat berkenaan dengan kumampuan meramal yang diberikan kepada Nabi Yusuf as (QS. Yusuf: 0, 15,21,37), kemampuan bahasa burung yang dimiliki Nabi Daud as (].In Nobi Sulaiman as (QS. al-Anbiya:79); Kami berikan pengetahuan kepada Daud dan Sulaiman, dan mereka berkata, "Segala Puji bagi Allah yang telah memuliakan kami atas kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman!" dan Sulaiman mewarisi Daud, Ia berkata, "Wahai manusia! Kami telah diajar bahasa burung dan kami telah diberi ilmu segala sesuatu. Sesungguhnya ini adalah karunia yang nyataa." (OS. an-Narnl : 15-16)

Dengan memiliki 'ilmu kitab', seseorang dapat melakukan hal yang luar biasa atas izin Allah. Quran menyebutkan bahwa pada zaman Nabi Sulaiman as, seseorang bernama Asaf, yang merupakan menteri Sulaiman memiliki sedikit 'ilmu kitab', dapat membawa singgasana Ratu Balqis dari satu tempat dalam sekejap mata; berkata seseorang yang memiliki sedikit ilmu kitab, " Aku akan bawa kehadapanmu dalam sekejap mata !" Kemudian ketika (Sulaiman) melihat (singgasana) di hadapannya,, ia berkata , "Ini adalah karunia dari Tuhanku! Untuk mengujiku apakah aku berterima kasih atau tidak! "(QS. an-Narnl : 40).

Sumber ilmu ilahi ini adalah Allah SWT. la memberi sebagian ilmu itu kepada Nabi Adam as (QS. al-Baqarah:31), Nabi Isa as (QS. al-Maidah: 110/113) dan beberapa orang yang bukan nabi seperti Thalut (QS. alBaqarah:247), dan Asaf (lihat ayat di atas). Menurut Quran, 'ilmu Kitab' diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas (QS. Ali Imran:7, al-Baqarah:247) dan diberi kekuasaan oleh Allah (QS. an-Nisa: 83), ditunjuk Allah sebagai wali (QS. an-Nah1:43 :), 21:7), dan yang merupakan cahaya petunjuk (QS. al-An'am:97).

Menurut beberapa hadis, ilmu kitab ini merupakan bagian dari Nama-nama Allah Yang Maha Besar. Nama-nama Allah Yang Maha Besar meliputi tujuhpuluh tiga unit. Nama-nama ini bukan huruf, tetapi merupakan ilmu memerintah alam semesta. Dalam salah satu hadis di Ushul al-Kafi, Imam Muhammad-Baqir as menjelaskan hal ini juga misteri tindakan Asaf, Menteri Nabi Sulaiman.

Abu Ja'far as berkata, "Sesungguhnya Nama-nama Allah Yang Maha Besar terdiri dari tujuh puluh tiga unit (Haft Asaf hanya memiliki satu unit, dan ketika ia mengatakannya (menggunakannya) tanah antara dirinya dan singgasana Ratu Balqis (Ratu Saba) terlipat hingga ia dapat mengambil singgasana itu dengan kedua tangannya, kemudian tanah ihi terbuka dan kembali ke asalnya kurang dari sekejap mata. Kami (Ahlulbait) memiliki tujuh puluh dua unit Nam a-nama Allah Yang Maha Besar, dan satu unitnya tetap di sisi Allah yang la simpan secara khusus dalam ilmu gaib-Nya. Tiada kekuasaan selain Allah, Yang Maha Tinggi, Maha Agung." (Ushrzl al-Kafi, Kitab al-Hujjah, hadis 6.13)

Sebagaimana yang dinyatakan Surah ayat 40, orang yang memiliki sedikit `ilmu kitab', mampu membawa singgasana Ratu Balqis dari suatu tempat di dunia dalam sekejap mata. Dengan demikian orang-orang yang memiliki semua 'ilmu kitab' dapat melakukan lebih dari itu. Seluruh ilmu kitab berada di sisi Nabi Muhammad SAW dan dua belas penerusnya. Allah Yang Maha Agung berfirman, (Wahai Rosul) katakanlah " cukupkanlah Allah seabagai saksi antara aku dan dirimu dan orang yang ada padanya ada pengetahuan tentang kitab,." (QS. ar-Ra'd : 43)

Dari ayat itu, jelaslah bahwa kalimat Orang yang padanya ada pengetahuan tentang Kitab' secara khusus menunjukkan orang selain Allah dan Nabi Muhammad. Tentu saja, sumber ilmu ini berasal dari Allah dan Allah yang memilikinya dan ia menganugerahkan seluruhnya kepada Nabi Muhammad SAW. Orang ini merujuk pada Imam Ali as dan para Imam setelahnya. Selain itu, perhatikanlah bahwa pada ayat di atas, Allah tidakmengatakan'sebagian ilmu Kitab'tetapi Allah menggunakan kalimat 'sebagian ilmu kitab' untuk menteri Nabi Sulaiman.

Beberapa orang Sunni menyebutkan bahwa ayat di atas merujuk pada Abdullah bin Salam, seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam. Beberapa orang lainnya mengatakan bahwa ayat di atas merujuk pada semua ulama Yahudi dan Nasrani yang mengenali ciri-ciri kedatangan rasul di kitabkitab lama mereka.

Penafsiran di atas nampak tidak benar. 'Ilmu Kitab' yang disebutkan Quran di lebih dari satu tempat, bukanlah sesederhana mengenali ciri-ciri kedatangan rasul di kitab tersebut. 'Ilmu Kitab' meliputi ilmu mengatur alam semesta. Seperti yang dinyatakan Quran, Asaf hanya memiliki sedikit 'Ilmu Kitab' dan ia mampu melakukan hal-hal yang luar biasa. Dengan demikian kemampuan ini tidak berhubungan dengan hanya mengetahui nama seorang; rasul yang akan datang dari sebuah kitab. Lebih jauh lagi, apabila penafsir mufasir Sunni benar, artinya kapan pun kaum muslimin memiliki pertanyaan, mereka harus menanyakannya kepada kaum Nasrani dan Yahudi, karena mereka memiliki semua ilmu kitab sedangkan kaum muslimin tidak.

Beberapa orang berpendapat bahwa apabila ayat di atas merujuk pad a Imam Ali dan sisanya pada kedua belas Imam, bukti apa bagi orang-orang kafir yang tidak menerima ucapan kaum Muslim dengan menyatakan ayat diatas kepada mereka?

Jawabannya adalah, bahwa ayat di atas dimulai dengan kalimat Dan orang - orang kafir berkata "Engkau bukanlah seorang rasul. Katakanlah, 'Cukuplah Allah sebagai saksi... " Dengan demikian, ayat tersebut mengenai orang-orang kafir. Mereka tidak meyakini Allah. Oleh karena itu, pertanyaan yang sama muncul: Apabila orang-orang kafir tidak percaya kepada Allah, bukti Apa yang kita berikan dengan mengatakan Allah adalah saksi?

Ayat di atas, sebenarnya, hanya merupakan ancaman Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang kafir, bahwa fitnah yang mereka lakukan akan diperhitungkan di Hari Akhir, dan baginya (Nabi), cukuplah dua orang saksi; Allah, Pencipta alam ini, dan Imam Ali, Pemimpin orang-orang beriman. Secara umum, ayat ini merujuk pada dua belas Imam. Tetapi pada saat itu ia adalah Imam Ali.

Saksi yang dirujuk pada kalimat 'orang yangpadanya ada pengetahuarr tentang Kitab (QS. ar-Ra'd : 43)' yang merujuk pada Imam Ali as dan tidak ada sahabat Nabi lainnya, merupakan hadis-hadis yang diriwayatkan Sunnah dan Syi'ah. Dalam kitab sahih Sunnah dibenarkan bahwa Imam Ali adalah orang yang paling berpengetahuan dalam umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. Orang yang membenarkan fakta ini adalah Nabi Muhammad SAW, Imam Ali sendiri, Abu Bakar, Umar, Aisyah, dan banyak sahabat Nabi lainnya.

Nabi Muhammad SAW memberitahukan para pengikutnya tentang seseorang yang merupakan harta karun Ilmu Nabi. Rasulullah SAW berkata, 'Aku adalah kota Ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang ingin memasuki kota tersebut, dan kebijaksanaan, ia harus memasukinya melalui pintunya."46 Pada hadis dalam bahasa Arab, kata 'ilmu pengetahuan' menjadi al-'Ilm yang memiliki artikel 'al' yang menjadikan kata tersebut universal. Artinya bahwa di kota Ilmu Nabi Muhammad SAW terdapat semua jenis ilmu. Hadis ini juga membenarkan kesucian Imam Ali selain yang sudah disampaikan oleh Quran Surah al-Ahzab ayat 33 mengenai kesucian Ahlulbait. Turmudzi juga mencatat bahwa Rasulullah bersabda, 'Aku adalah rumah dari kebijaksanaan dan Ali adalah pintunya."

Selain itu, Nabi Muhammad berkata kepada putrinya, Fathimah Zahra as, "Tidakkah kau gembira bahwa aku telah menikahkanmu dengan orang pertama yang masuk Islam di umatku, paling berilmu, dan paling bijaksana"48 Barida meriwayatkan hal yang sama bahwa Rasulullah saw berkata kepada Fathimah as bahwa, 'Aku menikahkanmu dengan orang yang paling baik dalam umatku, paling berilmu di atara mereka, paling sabar, dan paling pertama masuk Islam.""

Abu Bakar berkata, "Semoga Allah tidak menempatkanku pada situasi di mana aku tidak dapat berhubungan dengan Abu Hasan (Imam Ali) untuk menyelesaikan suatu persoalan." Sa'id Musayib berkata hal yang sama, "Umar bin Khattab sering memohon kepada Allah agar menghindarkannya dari persoalan yang membingungkan ketika ayah Hasan tidak ada untuk menyelesaikan masalah tersebut." Lebih jauh lagi Umar berkata, `Apabila Ali tidak ada, Umar sudah binasa."50

Aisyah perah berkata, "la (Ali) adalah orang yang paling berilmu di antara orang-orang yang memegang Sunnah (Nabi Muhammad)."51

Ibnu Abbas berkata, 'Ada delapan belas keutamaan Ali yang khusus yang tidak ada pada orang lain di masyarakat umat Islam."52

Ibnu Mas'ud berkata, "Kami sedang berbicara bahwa seorang hakim yang paling adil di Madinah untuk memutuskan perkara adalah Ali."53 Selain itu, Ibnu Mas'ud berkata, "Quran memiliki makna luar dan makn, batin, dan Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu keduanya."54

Banyak ilmu Nabi Muhammad ditransfer kepada Imam Ali as krtika Nabi hendak menghembuskan nafas. Imam Ali berkata, "Rasulullah pada saat itu (sebelum menghembuskan nafas terakhir) mengajariku ribuan pintu ilmu, setiap terbuka salah satu ilmu terbuka ribuan bab lainnya."55

Selain itu Imam Ali as pemah berkata, "Demi Allah, aku adalah saudara Rasulullah, sahabatnya, sepupunya, dan pewaris ilmunya. siapa yang memiliki julukan yang lebih baik dariku?"56

Imam Ali as sendiri sering menyatakan dalam khutbahnya, "Bertanyalah kepadaku sebelum kalian kehilangan diriku ! Demi Allah, jika kalian ingin bertanya sesuatu kepadaku sebelum Hari Akhir, aku akan menjawabnya ! Karena, demi Allah, kalian tidak akan dapat bertanya tentang sesuatu kepadaku sebelum kalian memberitahu aku. Bertanyalah kepadaku tentang Kitab Allah! karena demi Allah, tiada satu ayat pun yang tidak aku ketahui apakah ayat itu diturunkan pada malam hari, siang hari, atau apakah ayat itu diturunkan di sebuah daratan atau di sebuah gunung."57

Sa'id bin Musayib dan Umar bin Khattab berkata, "Tiada sahabat Rasulullah yang pemah menyatakan 'bertanyalah kepadaku' kecuali Ali."58

Kesimpulannya adalah bahwa 'orang yang padanya ada Ilmu Kitab' pada QS. 13:43 merujuk kepada Imam Ali bin Abi Thalib as dan tidak ada sahabat lainnya.
Dan apabila 'sedikit Ilmu Kitab', memberi kekuatan supematural kepada Asaf, maka jelaslah bahwa orang yang memiliki seluruh Ilmu Kitab, memiliki kemampuan yang lebih atas izin Allah. Menurut hadis di atas juga, yang di tulis dalam Shihah Sittah, di mana Nabi Muhammad SAW berkata, "Aku adalah kota Ilmu dan Ali adalah pintunya. Barang siapa yang berniat memasuki kota ilmu dan kebijaksanaan, ia harus masuk melalui pintunya!" Jelaslah bahwa satusatunya sumber ilmu setelah Nabi Muhammad SAW adalah Imam Ali as, dan orang-orang yang mencari ke sumber ilmu lain tidak memperoleh sunnah Nabi Muhammad yang ash karena tidak ada seorang pun yang dapat memasuki kota ilmu dari arah mana pun kecuali melalui pintunya.



Kesimpulan
Perlu ditekankan bahwa para ulama Syi' ah Dua Belas Imam menyakini bahwa Rasul ataupun para Imam tidak memiliki ilmu gaib dengan makna khusus yang digunakan Quran, karena jenis ilmu ini adalah ilmu yang hanya dimiliki Allah. Tetapi, sebagaimana yang disebutkan Quran, 'berita gaib' diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, dan dari situ ilmu tersebut disampaikan kepada para Imam Ahlulbait. Ilmu yang seluruhnya mereka miliki adalah Ilmu Kitab yang dijelaskan di atas.

Harus diperhatikan juga bahwa para Nabi dan para Imam serta umat manusia memiliki alat yang sama dalam memperoleh ilmu yang telah Allah berikan indera,, akal dan lain-lain. Para Nabi serta umat manusia memiliki kekuatan dan alat khusus yang tidak dimiliki manusia lain. Dalam menjalankan perintah Allah di mana manusia lain juga memiliki tanggung jawab ini, sebagaimana juga dalam tingkah laku normal, para Nabi dan Imam hanya menggunakan cara mengetahui sesuatu yang pertama, yakni alat yang semua orang miliki. Alat kedua (alat khusus) hanya mereka gunakan dalam tugas dan kerja mereka yang berhubungan dengan kedudukan kenabian atau imamah mereka.

Dengan demikian, dalam soal-soal seperti mengetahui awal bulan, memutuskan perkara kecil, mengetahui apakah sesuatu itu kotor atau suci, dan lain-lain, mereka hanya menggunakan alat yang umum seperti melihat bulan, dan lain-lain, yang juga dilakukan oleh manusia lain. Alat yang khusus memperoleh ilmu tidak menjadi dasar tindakan mereka, dan semua yang mereka ingin lakukan harus sesuai dengan alat-alat yang dimiliki setiap orang. Dengan demikian, ilmu seperti itu memiliki aspek spiritual karena mereka adalah wakil Allah (Khalifah Allah), dan alasan melakukannya harus berdasarkan tingkatan ini, dan bukan untuk tujuan mempengaruhi dan mengendalikan peristiwa-peristiwa dalam pemahaman umum.



Komentar Lain
Seorang penanya menyebutkan bahwa ada versi 'Hadis Kota Ilmu' di mana Nabi berkata, "Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, dan Abu Bakar adalah pondasinya, Umar dindingnya, dan Utsman adalah atapnya." Untuk menjawab hal ini, pertama-tama saya ingin menyebutkan bahwa hadis lemah ini tidak diriwayatkan di enam koleksi hadis Sunni yang sahih, sedangkan versi yang benar dari hadis ini ada pada artikel kami, dan yang sebenarnya ada di kitab hadis Sunni, Shihah Sittah.

Menambahkan kalimat pada hadis ash Nabi Muhammad, merupokan upaya licik para pemalsu hadis yang dilakukan perawi selama zaman Umayah- Ketika mereka tahu bahwa sebuah hadis sangat terkunal di kalangan umat schinga mureka tidak memiliki cara untuk Menyangkal atau menolaknya, mereka menambahkan sebuah kata atau palagraf mengubah beberapa kata untuk mengaburkan pengaruh hadis tersebut atau menghilangkan makna sebenarnya.

Upaya licik itu diketahui oleh para peneliti yang objektif yang menolak penambahan tersebut di mana, sepanjang waktu, menunjukkan kurangnya ilmu pemalsu hadis ini dan kurangnya kebijaksanaan mereka ini bertolak belakang dengan cahaya hadis Nabi. Bahkan, beberapa ulama Sunni terkemuka menyadari upaya licik tersebut dan mereka menilai bahwa banyak hadis-hadis seperti itu lemah karena ketidaksesuaian dalam isnad dan isinya.

Contohnya, pada hadis yang lemah di atas, kita dapat melihat pernyataan Abu Bakar adalah pondasinya' artinya ilmu Nabi Muhammad SAW berasal dari ilmunya Abu Bakar dan hal ini dinyatakan kufur. Demikian juga dengan pernyataan'Umar adalah dinding-dindingnya' artinya Umar mencegah umat untuk memasuki kota, yang berarti mencegah mereka mendapatkan ilmu. Dan pemyataan 'Usman adalah atapnya' merupakan hal yang tidak masuk akal karena tidak ada kota yang memiliki atap!

Segala puji milik Allah, Penguasa Alam Semesta, yang telah menganugerahi kita akal yang dengannya kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. la telah membuat jelas kepada kita jalan yang benar dan menguji kita dengan banyak hal sehingga kita tidak bersaksi pada Hari Perhitungan.



Hadis-hadis Mengenai Keutamaan Imam Ali as
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, "Barang siapa yang ingin mengetahui keteguhan Nabi Nuh, keluasan ilmu Nabi Adam, kesabaran Nabi Ibrahim, kedalaman akal Nabi Musa, dan ketaatan Nabi Isa, lihatlah kepada Ali bin Abi Thalib!"59

Diriwayatkan juga bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, "Di antara kalian ada seseorang yang akan mempertahankan penafsiran Quran sebagaimana yang aku pertahankan dari turunnya wahyu." Orang-orang disekeliling Nabi mengangkat wajah mereka dan melihat Nabi Muhammad sekilas dan kemudian mereka berpandangan satu sama lain. Abu bakar dan dan Umar ada di antara orang-orang itu. Abu Bakar bertanya apakah orang yang dimaksud adalah dirinya, dan Nabi menjawab sebaliknya. Umar juga bertanya apakah orang yang dimaksud adalah dirinya, Nabi berkata, "Tidak. la adalah orang yang sedang memperbaiki sepatuku (Ali)."

Abu Sa'id Khudri berkata, "Kemudian kami menemui Ali dan menyampaikan berita gembira ini kepadanya. la bahkan tidak mengangkat kepalanya sedikitpun dan tetap sibuk memperbaiki sepatu Nabi, seolah-olah ia telah mendengarnya dari Nabi Muhammad."60

Ahmad bin Hanbal dan Hakim meriwayatkan dari dokumen sahih dari Abu Sa'id Khudri, bahwa Nabi Muhammad berkata kepada Ali, "Sesungguhnya engkau akan berperang untuk (pengamalan) Quran sebagaimana yang engkau lakukan saat Quran diturunkan"61

Hakim mencatat bahwa Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad berkata kepada Ali, "Engkau akan memberitahu umatku tentang kebenaran dan apa yang mereka pertengkarkan sepeninggalku."62



Orang Pertama Yang Masuk Islam
Ini adalah fakta yang tidak diperdebatkan bahwa Imam Ali adalah lelaki pertama yang masuk Islam setelah Nabi Muhammad SAW. Berikut ini beberapa sumber hadis:

Ibnu Abu Shaibah dan Ibnu Asakir mencatat dari Salim bin Abi Jaad bahwa ia berkata, "Aku bertanya tentang Muhammad bin Hanifah, `Apakah Abu Bakar orang pertama yang masuk Islam?" la menjawab, 'Tidak."'

Dari pernyataan Muhammad bin Sa'd bin Abi Waqqash yang dapat dipercaya, Ibnu Asakir mencatat bahwa Sa'd berkata kepada ayahnya, "Apakah Abu Bakar Siddiq adalah orang pertama di antara kamu ymp; memeluk Islam?" la menjawab, "Tidak, karena ada lebih dari lima orang yang memeluk Islam sebelum dia."
Ilmu Katsir berkata, "Jelaslah bahwa keluarga Muhummad beriman sebelum orang lain, mereka adalah istrinya, Khodijah, lelaki yang ia bebaskan, Zaid, istri Zaid, Ummu Aiman, Ali dan Waraqah."63

Diriwayatkan juga bahwa Anas bin Malik berkata, "Nabi Muhammad diberi tugas kenabian pada hari Senin dan Ali beriman pada hari Selasa."64
Hakim juga meriwayatkan bahwa Salman Farisi berkata bahwa Nabi Muhammad berkata, "Orang pertama yang akan minum dari air telaga pada Hari
Perhitungan adalah orang pertama yang masuk Islam, Ali, putra Abu Thalib."65

Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa, "Ali bin Abi Thalib adalah lelaki pertama yang meyakini Rasulullah dan ia shalat bersamanya padahal ia baru berusia sepuluh tahun."66

Sejarawan Sunni terkemuka, Thabari juga menulis, "Tiga orang pertama yang shalat adalah Nabi Muhammad, Khadijah, dan Ali."67
Khatib Baghdadi, dalam bukunya mengutip Imam Ali bahwa Ali berkata, "Aku adalah orang pertama yang memeluk Islam dalam genggaman tangan Rasulullah.68



Catatan Kaki :
1. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 2, hal. 86, jilid 9, hal. 74-75; Sunan Abu Daud, jilid 2, hal. 7; al-Mustadrak ala ash-Shahihayn, oleh Hakim, jilid 4, hal. 557; Jarni'us Saghir, oleh Suyuthi, hal. 2, 160; al-Urful Waidi, oleh Suyuthi, hal. 2; al-Majma', oleh Tabarani, hal. 217; Tahdzib at-Tahdzib, oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 9, hal. 144; Fathul Bari fi Syarh Shahih al-Bukhari, oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 7, hal. 305; as-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hal. 249; at-Tatkhirah, oleh Quttubi, hal. 617; al-Hawi, oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 165-166; Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, oleh Zurqani, jilid 5, hal. 348; Fathul Mughith, oleh Sakhawi, jilid 3, hal. 41; Kanz alUmmal, jilid 7, hal. 186; Iqd al-Durar Fi Akhbar al-Mahdi al-Muntazhar, jilid 12, bab 1; al-Bayan fi Akhbar Sahib az-Zaman, oleh Ganji Syafi'i, bab 12; al-Fushul al-Muhimmah, oleh Ibnu Sabbagh Maliki, bab 12; Arjahul Arjahul Matalib, oleh Ubaid Allah Hindi Hanafi, hal. 380; Muqaddimah, oleh Ibnu Khaldun, hal. 266; Dan juga pada karya Ibnu Habban, Abu Nua'im, Ibnu Asakir, dan lain-lain.
2. Referensi hadis Sunni: Sunan Ann Majah, jilid 2, hadis 4.085.
3. Referensi hadis Sunni: Sunan Abu Daud, versi bahasa Inggris, bab 36, hadis 4.271 (diriwayatkan oleh Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad); Sunan Ibnu Majah, jilid 2, hadis 4.086; Nasa'i dan Baihaqi, dan kawan-kawan; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hal. 249.
4. Referensi hadis Sunni: Sunan bin Majah, jilid 2, hadis 4.087; al-Mustadrak oleh Hakim, dari Anas bin Malik; Dailami; as-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, jilid 11, bag. 1, hal. 245.
5. Referensi hadis Sunni: Sunan Ibnu Majah, jilid 2, hadis 5.083. Catatan: Menurut sumber Syi'ah, Pemerintahan yang damai dan adil yang akan ditegakkan oleh Imam Mahdi akan berlangsung selama ratusan tahun tanpa tandingan, kemudian Hari Kiamat akan tiba. Apa yang disebutkan hadis di atas dengan tujuh atau sembilan tahun adalah lamanya Imam Mahdi akan berperang untuk menaklukkan dunia ketika ia memulai misinya.
6. Referensi Hadis Sunni: Sunan ibn Majah, jilid 2, hadis 4.082; Buku sejarah karya Thabari; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 11, bag. l, hal. 250-251.
7. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 9, hal. 74.
8. Referensi hadis Sunni: Shahih Muslim, versi bahasa Inggris, jilid 4, bab MCCV, ha1.1508, hadis 6.961; Shahih Muslim, versi bahasa Arab, Kitab al-Fitan, jilid 4, hal. 2234, hadis 67. [Catatan: Kalimat dalam kurung bukan komentar saya. Itu adalah kalimat penerjemah Shahih Muslim (Abdul Hamid Siddiqui)].
9. Referensi Hadis Sunni: Shahih Muslim, versi bahasa Inggris, jilid 4, bab MCCV, hal. 1508, hadis 6.964; Shahih Muslim, versi bahasa Arab, Kitab al-Fitan, jilid 4, hal. 2235, hadis 69.
10. Referensi hadis Sunni: ash-Shahih fi al-Hadits oleh Hakim; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, olelh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hal. 250.
11. Referensi hadis Sunni: Sunan ibn Majah, jilid 2, hat 269; Ahmad bin Hanbal; as-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hat 250.
12. Referensi hadis Sunni: Ibnu Asakir; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hal. 252.
13. Referensi hadis Sunni: ash-Shazva'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. l, hal. 247.
14. Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 1, hat 99; Versi yang hampir sama juga diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud, versi bahasa Inggris, bab 36, hadis 4.270 diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib.
15. Referensi Hadis Sunni: Shahih Muslim, bahasa Arab, bag. 2, hal. 193; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, hat 45,384; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hat 251; Nuzul Isa ibn Maryam Akhir az-Zaman, oleh Jalaluddin Suyuthi, hat 57; Musnad oleh Abu Ya'ala yang memberi versi lain hadis ini dengan kalimat yang lebih jelas dari Jabir bahwa Nabi Muhammad berkata, "Sekelompok orang dari umatku akan terus berperang demi kebenaran hingga Nabi Isa, putra Maryam, akan datang, dan Imam mereka akan memintanya memimpin shalat, tetapi Nabi Isa menjawab, "Anda lebih berhak, dan sesungguhnya Allah telah menghormati beberapa orang dari kalian melebihi yang lain di umat ini." ; Shahih Ibnu Habban, yang hadisnya dibaca, "Pemimpin mereka Mahdi," dan hadis sisanya sama.
16. Lihat Nuzul lsa ibn Maryam Akhir az-Zaman, oleh Jalaluddin Suyuthi, hat 56.
17. Referensi hadis Sunni: Fath al-Bari, oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 5, hal. 362.
18. Referensi Hadis Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, bag. 1, hal 234.
19. Referensi Hadis Sunni: Abul Husain Ajiri sebagaimana yang dikutip dalam ash-hawa'iq al-Muhriqah, bab 11, bag. 1, hat 254.
20. Lihat ash-Shawa'iq al-Muhriqah, bab 11, bag. 1, hal 252 untuk lebih rincinya.
21. Referensi Hadis Sunni: Shahih al-Bukhari, versi bahasa Arab-Inggris, jilid 4, hadis 6.58. Catatan: Hadis di atas adalah terjemahan saya. Penerjemah kitab Shahih al-Bukhari dari Arab Saudi (Muhammad Muhsin Khan) telah menunjukkan ketidakjujuran dalam menerjemahkan hadis di atas. Terjemahan hadis bagian terakhirnya tidak sama dengan teks bahasa Arab hadis tersebut. Mari kita lihat terjemahan Mr. Muhammad Muhsin Khan yang salah ini untuk Shahih al-Bukhari hadis 4.658. Diriwayatkan dari Abu Hurairah; Rasulullah bersabda, "Apa yang akan kau lakukan ketika Putra Maryam datang kepada kalian dan ia akan memutuskan umat dengan kitab Quran dan bukan dengan kitab Injil?" Muhsin Khan telah menghilangkan bagian terakhir hadis yang menyatakan bahwa Imam kaum Muslimin (Imam Mahdi) ada di antara kaum Muslimin ketika putra Maryam datang. Sebaliknya, penerjemah telah menambahkan kalimat lain yang tidak tercantum dalam hadis berbahasa Arab. Kami harus menyebutkan bahwa hal ini bukan hanya satu-satunya hadis yang telah ia ubah teksnya. Masih banyak contoh mengenai hal ini yang membuktikan ketidakjujuran serta keberpihakannya.
22. Kaitan dengan hal ini lihat juga Mawsu'atil Imam Mahdi, jilid l, hal. 391-392, 413-414, 434, dan juga Tuhfatul Ahwadhi, jilid 6, hal. 485.
23. Lihat Tahdzib at-Tahdzib, jilid 9, hal. 144; Fath al-Bari, jilid 7, hal. 305, Qurthubi; (at-Tathkirah, hal. 617), Suyuthi (al-Hawi, jilid 2, hal. 165166), Muttaqi Hindi (al-Burhan fi Alamat Mahdf Akhir az-Zaman, hal. 175-176), Ibnu Hajar Haitsami (ash-Shawa'iq al-Muhriqah, bab 11, bag. 1, hal. 249), Zurqani (Syarh al-Mawahib al-Ladunniyah, jilid 5, hal. 349), Sakhawi (Fath al-Mughith, jilid 3, hal. 41), dll.
24. Pengantar Sejarah, oleh Ibnu Khaldun, versi bahasa Inggris, London, edisi 1967, hal. 257-258.
25. Lihatlah contohnya! Awnul Ma 'bud (merupakan komentar dari Sunan Abu Daud) oleh Azimabadi, 7, hal. 361-362, Tuhfatul Ahwadhi (yang merupakan komentar Shahih at-Turmudzi) oleh Mubarakfuri, jilid 6, hal. 484, at-Tajul Jami' lil Usus, oleh Syekh Mansyur Ali Nasif, jilid 5, ha1341.
26. Mengenai biografi Ahmad Syakir, lihat al-'Alam, jilid 1, hal. 253; Mu'jam al-Mu'allifin, jilid 13, hal. 368.
27. Lihat Musnad Ahmad ibn Hanbal dalam komentar Ahmad Muhamad Syakir, diterbitkan oleh Darul Ma'arif, Mesir, jilid 5, hal. 196 -198, jilid 14, hal. 288.
28. Mengenai penulisan dan penggandaan fatwa ini, lihatlah buku, diantara buku lainnya, Pengantar Ganji Syafi'i, dalam buku berjudul al-Bayan, Beirut, 1399/1979, hal. 76-79 dan dalam apendiks.
29. Lihat Mukhtasar Minhaj as-Sunnah, hal. 533-534.
30. Mengenai keterangan lebih rincinya, lihat Kasyf ul Ghummah oleh Abu Hasan Ali bin Musa Irbili, jilid 3, hal. 283; Kasf al-Astar oleh Mirza Husain Nuri, hal. 210-216.
31. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, ha1.137; Sunan Abu Daud, jilid 4, hal. 292; al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 4, hal. 278 yang berkata bahwa hadis ini shahih berdasarkan kriteria dua Syekh (Bukhari dan Muslim); Ma'arifat 'Ulum al-Hadis oleh Hakim, ha1.189; Musnad Ahmad ihn Hanbal, jilid 1, hal. 95; Fadha'il 'ash-Shahabah, oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 676, hadis 1.155; at-Tabaqat, oleh Ibnu Sa'd, jilid 5, hal. 91.
32. Lihat Ibnu Taqtuqah, al-Fikr fi al-Adab as-Sultaniyyah, hal. 165-166.
33. Muraj adh-Dhahab, oleh Mas'udi, jilid 6, hal. 107-108.
34. Thabari, jilid 3, hal. 29, Ibnu Katsir, jilid 10, hal. 85, Ibnu Khaldun, jilid 4, hal. 4.
35. Referensi hadis Sunni: Maqatil ath-Thalibin karya Abul Faraj Isbahani, diterbitkan di Arab Saudi, hal. 247, 258.
36. Referensi hadis Sunni: Maqatil ath-Thalibin karya Abul Faraj Isbahani, diterbitkan di Arab Saudi, hal. 246-247.
37. Ash-Shawa'iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hal. 235.
38. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak, karya Hakim, jilid 3, hal. 149, ia bekata bahwa hadis ini sahih; Tabarani, mengutip Ibnu Abbas; juga dalam al-Manaqib Ahmad, seperti yang dikutip oleh Muhibuddin Thabari; ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 11, bag. 1, hal. 234.
39. Referensi hadis Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, bab 11, bag. 1, hal, 234.
40. Referensi hadis Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah, oleh Ibnu Hajar, hal. 143.
41. Referensi hadis Sunni: Is 'af ar-Raghibin oleh Saban; as-Syaraf alMua'abbad oleh Syekh Yusuf Abahani, hal. 31, dari lebih satu sumber.
42. Referensi hadis Sunni: as-Sirah oleh Mala; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 11, bag. l, hal. 231, menafsirkan ayat, "Dan hentikanlah mereka, karena mereka akan ditanya!"(37: 24)
43. Referensi hadis Sunni: Kanz al-Ummal oleh Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 36; Aydah al-Isykal oleh Abdul Ghani.
44. Referensi hadis Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 11, bag. l, hal. 234.
45. Referensi hadis Sunni: ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar, bab 11, bag. l, hal. 232.
46. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 20.1, 637; al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal. 126-127, 226, bab tentang Keutamaan Imam Ali, diriwayatkan dari dua perawi yang dapat dipercaya: Ibnu Abbas, yang riwayatnya disampaikan melalui dua perawi berbeda dan Jabir bin Abdillah Anshari. la berkata bahwa hadis ini sahih; Fada'il 'ashShahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 635, Hadis #1.081; Jami' ash-Saghir, oleh Jalaluddin Suyuthi, jilid 1, ha1.107, 374; juga dalam buku Jami' al-Jawami; Tarikh al-Khulafa, hal. 171. la mengatakan bahwa hadis ini dapat diterima (hasan); al-Kahir oleh Tabarani (360); juga dalam alAwsat; Ma'rifah ash-Shahabah oleh Hafizh Abu Nu'aim Isbahani; al-Ihya 'Ulum ad-Din oleh Ghazali; Tarikh, Ibnu Katsir, jilid 7, ha1.358; Tarikh, Ibnu Asakir; Tarikh oleh Khatib Baghdadi, jilid 2, hal. 337; jilid 4, hal. 348; jilid 7, ha1.173; jilid 11, hal. 48-50; jilid 13, hal. 204; al-Isti'ab oleh Ibnu Abdul Barr, jilid 3, hal. 38; jilid 2, hal. 461; Usd al-Ghabah oleh Ibnu Atsir, jilid 4 hal. 22; Tahdzib al-Atsar, oleh Ibnu Jarir Thabari; Majma' az-Zawa'id, oleh Haitsami, jilid 9, hal. 114; Bahrul Asatid, oleh Hafizh Abu Muhammad Hasan Samarghandi (tahun 491); Siraj al-Munir oleh Hafizh Ali bin Ahmad Azizi Syafi'i (tahun 1070), jilid 2, hal. 63; Manaqib oleh Ali bin Muhammad bin Tayyib Jalabi bin Maghaazi (tahun 483); Firdaws alAkhbar oleh Abu Shuja'a Shirwaih Hamdani Dailami (tahun 509); Maqtal Husain oleh Khatib Kharazmi (tahun 568), jilid 1, hal. 43; Manaqib oleh Khatib Kharazmi (tahun 568), hal. 49; Alif Ba a oleh Abul Hajjaaj Yusuf bin Muhammad Andalusi (tahun 605), jilid 1, hal. 222; Matalib as-Su 'ul oleh Abu Salim Muhammad bin Talhih Syafi'i (tahun 652), hal. 22; Jawahi al-Aghdi'in oleh Nuruddin Syafi'i (tahun 911); Yarzabi' al-Mawaddah oleh Qunduzi Hanafi, pada bab 14; Tadzkirat al-Khawas al-Ummah, oleh Sibt bin Jauji (tahun 654), hal. 29; Kunz al-Barahin oleh Syekh Khatsri; Kifayat ath-Thalib oleh Yusuf Ganji Syafi 'i (tahun 658), bab 58; Kanz al-Ummal oleh Muttaqi Hindi, bag. 15, hal. 13, hadis #348-379; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 9, bag. 2, hal. 189; Hafizh Shalahuddin Ulai, setelah menyalin argumen lemah oleh Dzahabi, ia menyatakan "Satu-satnya usaha di sini adalah menentang untuk penentangan, dan tidak ada satupun argumen yang valid."; Allinad bin Muhammad bin Siddiq Hasani Maghribi, dari Kairo, menyusun sebuah buku yang luar biasa berjudul Fath al-Mulk al-Ali bi Sihah Hadits-e-bab-e-Madinat al-Ilm untuk membuktikan keaslian hadis di atas. Buku ini dicetak pada tahun 1354 di Matbul Islamiyah, Mesir. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Adi dari Ibnu Umar, dan oleh Bazzar dari Jabir bin Abdillah Anshari; dan banyak lagi.
47. Referensi hadis Sunni: Shahih at-Turmudzi, jilid 5, hal. 201, 637; Ibnu Jarir Tabri mencatat hadis ini dan menulis bahwa, "Kami yakin hadis ini ash dan sahih." (seperti yang dikutip Muttaqi Hindi di Kanz alUmmal, jilid 6, hal. 401); Jami' ash-Saghir oleh Jalaluddin Suyuthi, jilid 1, hal. 170; juga dalam Jami' al-Jawarni; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 9, bag. 2, hal. 189.
48. Referensi hadis Sunni: Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, hal. 136; jilid 5, hal. 26.
49. Referensi hadis Sunni: Kanz al-Urnmal oleh Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 398.
50. Referensi hadis Sunni: Fadha'il 'ash-Shahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 647, hadis 1100; al-Isti'ab oleh Ibnu Abdul Barr, jilid 3, hal. 39; Manaqib oleh Khawarizmi, hal. 48; at-Tabaqat oleh Muhibudin Thabari, jilid 2, hal. 194; Tarikh al-Khulafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171.
51. Referensi hadis Sunni: at-Tabaqat oleh Ibnu Sa'ad; Tarikh al-Khulafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 9,bag. 3, hal 196; Ibnu Asakir.
52. Referensi hadis Sunni: al-Awsat oleh Tabarani.
53. Referensi hadis Sunni: Tarikh al-Kabir oleh Bukhari (penulis Shahih), jilid 1, bag. 2, hal. 6; a'Fadhil 'ash-Shahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 646, hadis 1.097; al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 2, hal. 352; Tarikh al-Khulafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; al-Isti'ab oleh Ibnu Abdul Barr, bagian mengenai kata 'ayn', jilid 2, hal. 462; jilid 3, hal. 39; at-Tabaqat oleh Ibnu Sa'd, jilid 2, hal. 338. la juga meriwayatkan bahwa Umar berkata, "Ali adalah hakim kami."; Tahdzib at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 1, hal. 84; Majma' az-Zawa'id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 116; ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Muhibuddin Thabari, jilid 3, hal. 213.
54. Referensi hadis Sunni: Hilyat al-Awliyya oleh Abu Nu'aim, jilid 1, hal. 65.
55. Referensi hadis Sunni: Kanz al-Ummal oleh Muttaqi Hindi, jilid l, hal. 392; Hilyat al- Awliya oleh Hafizh Abu Nu'aim; Nuskatah oleh Abu Ahmad Faradi.
56. Referensi hadis Sunni: al-Khasa'is al-Alawiyyah, Nasa'i; al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal. 112; Dzahabi dalam Talkhis al-Mustadrak-nya telah mengakui bahwa ucapan itu asli Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 5, hal. 40.
57. Referensi hadis Sunni: al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 4, hal. 568; Tahdzib at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 7, hal. 337-338; Fath al-Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 8, hal. 485; Tarikh al-Khulafa, oleh Suyuthi, hal. 124; al-Itqan oleh Suyuthi, jilid 2, hal. 319; ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Muhibuddin Thabari, jilid 2, hal. 198; at-Tabaqat oleh Ibnu Sa'd, jilid 2, bag. 2, hal. 101; al-Isti'ab oleh Ibnu Abdul Barr, jilid 3, hal. 1107.
58. Referensi hadis Sunni: Fadha'il 'ash-Shahabah oleh Ahmad bin Hanbal, jilid 2, hal. 647, hadis 1.098; al-Ishabah oleh Ibnu Hajar Asqalani, jilid 2, hal. 509; ash-Shawa'iq al-Muhriqah oleh Ibnu Hajar Haitsami, bab 9, bag. 3, hal. 196; al-Faqih wal Mutafaqih oleh Khatib Baghdadi, jilid 2, hal. 167; Tarikh al-Khulafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 171; athThabaqat oleh Ibnu Sa'd, jilid 2, hal. 338; al-Isti'ab oleh Ibnu Abdul Barr, jilid 3, hal. 40; ar-Riyadh an-Nadhirah oleh Muhibuddin Thabari, jilid 3, hal. 212; adz-Dzaka'ir al-Uqba oleh Muhibuddin Thabari, hal. 83.
59. Referensi hadis Sunni: Shahih Baihaqi; Musnad Ahrnad ibn Hanbal; Syarh ibn Abu al-Hadid, jilid 2, hal. 449; Tafsir al-Kabir, oleh Pakhruddin Razi. Ketika menafsirkan ayat mubahalah, jilid 2, hal. 288, ia menulis bahwa hadis ini hasan dan sahih; Ibnu Batah meriwayatkannya sebagai hadis yang berasal dari Ibnu Abbas sebagaimana yang dinyatakan dalam buku Fat'h al-Mulk al-Ali bi Sihah Hadits-e-bab-e-Maninat al-Tin, hal. 34, oleh Ahmad bin Muhammad bin Siddiq Hasani Maghribi. Di antara orang-orang yang mengakui bahwa Ali bin Abi Thalib adalah gudang rahasia-rahasia seluruh Nabi adalah sufi besar Muhyiddin Arabi, yang darinya Arif Sya'rani menyalin pernyataan ini dalam bukunya yang berjudul al-Yaqwaqit wa al-Jawahir (hal. 172, pembahasan 32).
60. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal. 122, yang mengatakan bahwa hadis ini berdasarkan penilaian Bukhari dan Muslim adalah hadis yang sahih; Dzahabi juga mencatat dalam talkhis al-Mustadrak dan mengakui bahwa hadis ini sahih berdasarkan penilaian dua orang Syekh itu; Khasa'is oleh Nasa'i, hal. 40; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid 3, hal. 32-33; Kanz al-Ummal oleh Muttaqi Hindi, jilid 6, hal. 155; Majma' az-Zawa'id oleh Haitsami, jilid 9, hal. 133.
61. Referensi hadis Sunni: Tarikh al-Khulafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 173.
62. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal. 112, yang menulis bahwa hadis ini merupakan hadis sahih menurut penilaian dua orang Syekh (Bukhari dan Muslim). Artinya bahwa rangkaian
63. Referensi hadis Sunni: Tarikh al-Khulafa oleh Jalaluddin Suyuthi, hal. 33 (Sejarah Kekhalifahan, diterjemahkan oleh Major Barrett).
64. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal. 112.
65. Referensi hadis Sunni: al-Mustadrak oleh Hakim, jilid 3, hal. 112.
66. Referensi hadis Sunni: Biografi Nabi oleh Ibnu Hisyam, jilid 1, hal. 245.
67. Referensi hadis Sunni: Tarikh ath-Thabari, jilid 2, hal. 65.
68. Referensi hadis Sunni: Tarikh oleh Khatib Baghdadi, jilid 4, hal. 333.

19
ANTOLOGI ISLAM

BAB 6 : POLEMIK OTENTISITAS GHADIR KHUM
Sebenarnya, antara mazhab Syi'ah dan Sunni tidak ada perbedaan yang mendasar berkenaan dengan keimanan. Di antara kedua mazhab tersebut hanya terjadi ketidaksepakatan seputar dua isu berikut. Pertama, kekhalifahan (kepimimpinan penerus kekhalifahan) yang diyakini mazhab Syi'ah sebagai hak para imam Ahlulbait kedua, Hukum Islam ketika tidak ada pernyataan Quran yang jelas serta hadis-hadis yang disepakati mazhab-mazhab Muslim.

lsu kedua berakar dari isu pertama. Syi'ah mengikatkan diri pada Ahlulbait dalam merujuk sunnah Nabi. Mereka melakukan hal. itu sesuai dengan perintah Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dalam kumpulan hadis Sunni dan Syi'ah yang sahih di samping keterangan Quran mengenai kesucian mereka yang sempuma.

Ketidak sepakatan tentang kekhalifahan seharusnya tidak menjadi sumber perpecahan di antara kedua mazhab tersebut. Kaum Muslimin sepakat bahwa khalifah Abu Bakar terpilih oleh sejumlah orang terbatas dan merupakan suatu yang mengagetkan bagi sahabat lainnya. Oleh sejumlah orang terbatas maksudnya mayoritas sahabat-sahabat utama Nabi tidak mengetahui pemilihan ini. Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abkas, Utsman bin Affan, Thalhah, Zubair, Sa'd bin Waqqash, Salman Farisi, Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Miqdad, Abdurrahman bin Auf adalah di antara sahabat-sahabat yang tidak diajak berunding bahkan diberitahu. Umar sendiri mengakui bahwa terpilihnya Abu Bakar dilakukan tanpa perundingan dengan kaum Muslimin.1

Di sisi lain, pemilihan menyiratkan satu pilihan dan kebebasan, dan setiap kaum Muslim berhak untuk memilih wakilnya. Siapa saja yang menolak untuk memilih, tidak menentang Allah SWT atau utusan-Nya karena baik Allah maupun utusan-Nya tidak memilih wakil yang terpilih oleh orang-orang.

Penunjikan seseorang, secara fitrah, tidak memaksa siapa pun untuk memilih seorang wakil khusus. Jika tidak, penunjikan tersebut akan bersifat memaksa. Artinya bahwa penunjikan seseorang akan kehilangan fitrahnya dan menjadi tindakan pemaksaan pernyataan rasul yang sangat terkenal menegaskan 'tidak ada kesetiaan yang sah/benar yang diperoleh atas dasar paksaan.'

Ali bin Abi Thalib menolak memberikan sumpah setianya kepada Abu Bakar selama 6 bulan. la memberi sumpah setia kepada Abu Bakar hanya setelah Fathimah Zahra binti Rasulullah, istrinya, wafat 6 bulan kemudian setelah ayahnya wafat.2 Apabila penolakan memberi sumpah setia kepada wakil pilihannya dilarang dalam Islam, Ali tidak akan membiarkan dirinya sendiri untuk menunda memberi sumpah setia. Pada hadis yang sama pada Shahih Bukhari, Ali berkata bahwa ia memiliki hak atas kekhalifahan yang tidak dihargai, dan ia menyesalkan mengapa Abu Bakar tidak mengajaknya berunding dalam memutuskan siapa pengganti kepemimpinan. la baru memberi sumpah setianya ketika ia tahu bahwa satu-satunya cara menyelamatkan Islam adalah meninggalkan pengasingan karena penolakannya memberi sumpah setia kepada Abu Bakar.

Selain itu, sahabat-sahabat Rasul terkemuka seperti Abdullah bin Umar dan Sa'd Abi Waqqash menolak memberi sumpah setia kepada Ali pada masa kekhalifahannya.3

Jika diizinkan bagi seseorang Muslim, yang merupakah khalifah pada zaman itu, untuk menolak memberikan sumpah setia, tentuya lebih diizinkan lagi bagi orang yang yakin pada abad-abad selanjutnya untuk meyakini ataupun tidak kualifikasi khalifah yang tcrpilih. Hal. ini tidak berdosa, apalagi jika khalifah tersebut tidak ditunjuk oleh A11ah SWT. Syiah menyatakan bahwa imam harus ditunjuk oleh Allah SWT; penunjikan tersebut diketahui melalui pernyataan Rasul atau Imam sebelumnya. Mazhab Sunni menyatakan bahwa imam (atau'khalifah, istilah yang lebih suka mereka gunakan) dapat ditunjuk atau dipilih oleh khalifah sebelumnya atau dipilih oleh sebuah komite khusus, atau berusaha mendapatkan kekuasaan melalui penaklukan militer (seperti Muawiyah).

Para ulama Syiah menyatakan bahwa imam yang dipilih Allah, bebas dari dosa, dan Allah tidak menganugerahkan kedudukan tersebut kepada orang yang berdosa. Sedangkan para ulama Sunni (termasuk juga Mu'tazilah) menyatakan bahwa seorang imam dapat berdosa karena ia ditunjuk bukan oleh Allah.

Meskipun ia seorang pemimpin zalim dan tenggelam dalam dosa (seperti halnya Muawiyah dan Yazid), mayoritas ulama dari mazhab Hanbali, Syafi' i dan Maliki melarang untuk mengangkat khalifah seperti itu. Mereka berpendapat bahwa mereka harus dilindungi, meski tidak setuju dengan perbuatan jahat.

Syi'ah menyatakan bahwa imam harus memiliki kualitas-kualitas melebihi semua kualitas seperti berilmu, berani, adil, bijaksana, saleh, mencintai Allah, dan lain-lain. Ulama-ulama Sunni menyatakan bahwa hal. tersebut tidak perlu. Seseorang yang kualitasnya di bawah kualitaskualitas tadi lebih baik dipilih daripada orang yang memiliki kualitaskualitas yang sangat tinggi.

Di tahun ini, kamis,l8 Mei 1995 adalah tahun yang bertepatan dalam tangga118 Dzulhijjah, peringatan peristiwa Gliadir Khum, di mana utusan Allah menyampaikan khutbah terakhirnya. Hadis yang paling Mutawatir dalam sejarah Islam menceritakan khutbah terakhir Nabi Muhammad ini.



Haji Perpisahan
Sepuluh tahun setelah hijrah, Rasulullah memerintahkan pengikut-pengikut setianya untuk memanggil semua orang dari berbagai penjuru untuk bergabung dengannya pada haji terakhir. Pada ibadah haji kali ini ia mengajarkan mereka bagaimana melaksanakan ibadah haji yang benar dan yang lengkap.
Itulah kali pertama kaum Muslimin yang berjumlah banyak sekali berkumpul di suatu tempat di hadapan pemimpin mereka, Nabi Muhammad SAW. Dalam perjaianan menuju Mekkah, lebih dari 70 ribu manusia mengikuti Nabi Muhammad SAW. Pada hari keempat bulan Dzulhijjah lebih dari 7.00 ribu kaum Muslimin memasuki kota Mekkah.



Peristiwa Turunnya Surah al-Maidah Ayat 67
Pada tanggal 18 Dzulhijjah, usai melaksanakan haji terakhirnya (hajj al-wada), Nabi Muhammad SAW pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah, di mana ia dan kumpulan kaum Muslimin sampai pada satu tempat bemama Ghadir Khum (yang saat ini dekat dengan Juhfah). Itulah tempat di mana orang-orang dari berbagai penjuru saling menyampaikan salam perpisahan dan kembali ke rumah dengan mengambil jalan yang berbeda-beda. Di tempat inilah turun ayat Quran:

Hai, Rasulullah! Sampaikanlah apa yang telah diturunkari kepadamu dari Tuhanmu; dan engkau tidak menyampaikan ayat-ayatnya (sama sekali) dan Allah akan melindungimu dari orang-orang (QS. al-Maidah : 67).4

Kalimat terakhir ayat di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad sadar akan reaksi orang-orang ketika menyampaikan ayat tersebut tetapi Allah menyatakan padanya agar ia tidak takut, karena Allah akan melindungi utusannya dari orang-orang.




Khutbah Nabi Muhammad SAW
Usai menerima ayat di atas, Nabi Muhammad SAW berhenti di suatu tempat (telaga Khum) yang sangat panas. Lalu ia memerintahkan semua orang yang telah berada jauh di depan, untuk kembali dan menunggu hingga para jemaah haji yang tertinggal di belakang tiba dan berkumpul. la menyuruh Salman untuk membuat mimbar tinggi dari batu-batu dan pelana unta agar ia bisa menyampaikan khutbah. Saat itu siang terik pada awal musim gugur, dan karena begitu panasnya lembah tersebut, orang-orang menutupkan kain-kain di sekeliling kaki-kaki mereka, dan duduk melingkari mimbar, di atas batu-batu yang panas.

Pada hari itu, Nabi Muhammad SAW menghabiskan waktu kira-kira 5 jam di tempat itu dan tiga jam berdiri di atas mimbar. Dalam khutbahnya, ia membacakan ayat hampir berjumlah 100 ayat Quran, dan kira-kira sebanyak 73 kali mengingatkan perbuatan serta masa depan mereka di kemudian hari. Berikut ini adalah satu bagian khutbahnya yang telah banyak diriwayatkan oleh ahli hadis Sunni.

Nabi Muhammad menyatakan: "Tampaknya, waktu semakin mendekat saat aku akan dipanggil (Allah) dan aku akan memenuhi panggilan itu. Aku meninggalkan kepada kalian 2 hal. yang berharga dan jika kalian setia padanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Dua ImI. itu adalah kitab Allah dan keluargaku, Ahlulbait. keduanya tidak akan berpisah hingga mereka bertemu denganku di telaga (surga).

Nabi Muhammad melanjutkan: "Apakah aku lebih berhak atas orang-orang beriman dari pada diri mereka sendiri?" Orang-orang berseru dan menjawab: "Ya Rasulullah." Kemudian Nabi mengangkat lengan Ali dan berseru "Barang siapa yang mengangkat aku sebagai pemimpin (maula), w.ika Ali adalah pemimpinnya (maula). Ya, Allah cintailah mereka yang wunrintai Ali, dan musuhilah mereka yang memusuhinya."5



Peristiwa Turunnya Surah al-Maidah Ayat 3
Usai menyampaikan khutbahnya, ayat Quran berikut diturunkan " Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu dan aku sempurnakan nikmat Ku, dan telah Ku ridhai Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Maidah:3).6

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Islam, jika belum disampaikan Islam, jika belum disampaikan persoalan mengenai kepemimpinan setelah Nabi Muhammad SAW, belumlah sempurna, dan sempumanya agama Islam adalah karena pemberitahuan dari Nabi mengenai pengganti/penerusnya.

Usai khutbah, Rasulullah meminta kepada setiap orang untuk memberi sumpah setianya kepada Ali dan memberi ucapan selamat kepadanya. Di antara mereka yang memberi sumpah setia adalah Umar, Abu Bakar dan Utsman. Diriwayatkan bahwa Umar dan Abu Bakar berkata, "Selamat bin Abi Thalib! Sekarang engkau menjadi pemimpin (maula) semua orang beriman baik laki dan perempuan."7



Saksi Peristiwa Ghadir Khum
Adalah kehendak Allah yang menjadikan hadis ini sangat terkenal dan diriwayatkan melalui mulut-mulut para perawi dan berkelanjutan. Oleh karenanya, terdapat bukti yang kokoh mengenai pemimpin pemberi petunjuk (semoga rahmat senantiasa atasnya). Allah memerintahkan rasul-Nya untuk memberitahukan di saat orang banyak berkumpul sehingga semua orang menjadi penyampai hadis. Saat itu orang-orang berjumlah lebih dari 100 orang.

Diriwayatkan oleh Zaid bin Arqam bahwa Abu Thufail berkata: 'Aku mendengarnya dari Rasulullah, dan tiada seorang pun (di sana) kecuali ia melihatnya dengan matanya dan mendengamya dengan telinganya."8 Diriwayatkan pula bahwa: "Rasulullah berseru dengan suara yang sangat keras."9

"Bersama Rasul saat itu para sahabat Nabi, penduduk Arab, penduduk di sekitar Mekkah dan Madinah berjumlah 20 ribu orang dan mereka adalah orang-orang yang hadir pada haji perpisahan dan mendengarkan khutbahnya."10



Peristiwa Turunnya Surah al-Ma'arij Ayat 1-3
Beberapa ahli tafsir Sunni berpendapat bahwa tiga ayat pertama, surah al-Ma'arij turun ketika perdebatan merebak dan setelah Rasul sampai di Madinah. Diriwayatkan bahwa pada hari Ghadir, Rasulullah mengumpulkan orang-orang sambil di hadapan Ali dan berkata, Ali. adalah Maula orang-orang yang mengangkatku sebagai Maulanya." Cerita ini menyebar cepat di seluruh desa dan kota-kota. Ketika Hark bin Nu'man Fahri (atau Nadhr bin Harith menurut hadis lain) mengrtahui berita ini, ia memacu untanya dan sampai di kota Madinah. la menemui Nabi Muhammad dan berkata padanya:

"Engkau memerintahkan kami untuk bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kami mematuhimu. Engkau memerintahkan kami untuk shalat 5 waktu, kami pun mematuhimu. Ketika engkau memerintahkan kami lagi untuk berpuasa pada bulan Ramadhan, kami pun menaatimu. Kemudian engkau memerintahkan kami untuk melaksanakan ibadah haji ke Mekkah, kami tetap menaatimu. Akan tetapi engkau belum puas dengan semua ini dan engkau angkat sepupumu dengan tanganmu dan menjadikannya pemimpin kami dengan berkata, Ali adalah Maula orang-orang yang menganggapku sebagai Maulanya. Apakah ini keputusan yang berasal darimu atau dari Allah?" Nabi Muhammad menjawab: "Demi Allah yang merupakan satu-satunya Tuhan! Ini berasal dari Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar."

Setelah mendengar hal ini ia kembali dan menuju untanya sambil berkata, "Ya Allah! Sekiranya apa yang dikatakan Muhammad itu benar, lemparkanlah kami sebuah batu dari langit dan timpakanlah kepada kami siksa-Mu yang amat pedih."

Belum sampai ia mendekati unta betinanya, Allah Yang Maha Suci, melemparkan sebuah batu yang mengenai ubun-ubun, lalu masuk menebus tubuh, dan keluar melalui bagian bawahnya, hingga akhirnya ia meninggal. Pada peristiwa itulah, Allah, Yang Maha tinggi, menurunkan ayat berikut: "Seorang penanya bertanya tentang kedatangan azab. Bagi orang - orang kafir tiada sesuatu pun yang dapat mencegahnya dari Allah, Penguasa tempat - tempat tinggi." (QS. Al-Ma'arij:1-3)11



Peristiwa Saat Imam Ali Mengingatkan Orang-orang Tentang Hadis Nabi
Imam Ali, secara pribadi, mengingatkan orang-orang yang menyaksikan peristiwa di Ghadir Khum dan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Beberapa peristiwa saat Imam inengingatkan mereka adalah sebagai berikut.

Pada hari Syura (pengangkatan Utsman menjadi khalifah); Pada masa kekhalifahan Utsman;

Di Hari Rahbah (tahun 35) di mana 24 sahabat berdiri dan bersaksi bahwa mereka hadir dan mendengar langsung hadis Nabi, 12 orang di antara mereka adalah pejuang Badar;

Pada Perang Jamal (tahun 36), saat ia mengingatkan Thalhah;

Berkenaan dengan Perang Unta, Hakim dan Ahmad bin Hanbal serta yang lain menceritakan: "Kami berada di tengah tenda Ali pada saat perang Jamal, saat Ali meminta Thalhah berbicara dengannya (sebelum dimulai perang Jamal). Thalhah mendekat, dan Ali berkata: 'Demi Allah, aku bertanya padamu! Tidakkah engkau mendengar Rasulullah tatkala ia berkata: 'Barang siapa yang mengangkatku sebagai Maula maka Ali adalah Maulanya. Ya Allah, cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya?" Thalhah menjawab: "Ya." Ali berkata: "Lalu mengapa engkau ingin memerangiku?"12

Ahmad bin Hanbal mencatat dalam Musnad-nya bahwa Abu Thufail meriwayatkan bahwa Ali mengumpulkan orang-orang di dataran Rahbah (pada tahun 35 H) dan bertanya kepada laki-laki Muslim yang hadir di situ yang mendengar pernyataan Rasulullah mengenai Ghadir 'untuk berdiri dan bersaksi bahwa mereka mendengar dari Rasulullah pada hari Ghadir. Sebanyak 30 orang berdiri dan memberi bukti bahwa Nabi Muhammad mengangkat lengan. Ali dan berseru pada orang yang hadir: "la (Ali) memiliki hak atas orang-orang yang yakin bahwa aku memiliki hak atas jiwa-jiwa mereka. Ya, Allah cintailah orang-orang yang mencintainya dan musuh orang-orang yang memusuhinya!" Abu Thufail berkata bahwa Ali meninggalkan dataran itu dalam keadaan terguncang karena kaum
Muslim tidak menaati hadis tersebut. Lalu ia memanggil Zaid bin Aqram dan mungatakan apa yang ia dengar dari Ali. Zaid berkata padanya mauk tidak ragu sedikit pun mengenai hadis tersebut karena ia telah mendcngnr langsung bahwa Rasulullah bersabda demikian.13

Selain itu juga Abdurrahman bin Abu Lailah berkata, "Aku menyaksikan Ali meminta sumpah kepada orang-orang di dataran Rahbah. Ali berkata, `Aku meminta kepada kalian atas nama Allah yang mendengar utusan Allah pada hari Ghadir berkata, "Ali adalah Maula orang-orang yang mewalikanku, untuk berdiri dan memberi saksi, orang-orang yang tidak menyaksikan tidak perlu berdiri."' Dua belas orang sahabat yang terlibat pada perang Badar berdiri. Peristiwa tersebut masih segar dalam ingatan.14

Diriwayatkan pula bahwa ketika Ali berkata kepada Anas: "Mengapa engkau tidak berdiri dan memberi kesaksian atas apa yang engkau dengar dari Rasulullah pada hari Ghadir?" la menjawab, "Ya Amirul Mukminin! Aku semakin tua dan aku tidak ingat." Kemudian Ali berkata: "Semoga Allah memberimu tanda bintik putih yang tidak dapat engkau tutupi dengan serbanmu jika secara sengaja engkau menyembunyikan kebenaran." Sebelum beranjak dari tempatnya, Anas memiliki tanda putih di wajahnya. Setelah itu ia selalu berkata, 'Aku terkena kutuk hamba Allah yang saleh."1



Khutbah lengkap Nabi Muhammad di Ghadir Khum
Nabi Muhammad SAW berkata:

"Puji-pujian hanya milik Allah. Kami memohon pertolongan, dan keyakinan, serta kepada-Nyalah kami beriman. Kami mohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa-jiwa kita dan dosa-dosa perbuatan kita. Sesungguhnya tiada petunjuk bagi seseorang yang telah Allah sesatkan, dan tiada seorang pun yang sesat setelah Allah beri petunjuk baginya."

"Hai, kaum Muslimin! ketahuilah bahwa Jibril sering datang padaku membawa perintah dari Allah, yang Maha Pemurah, bahwa aku harus berhenti di tempat ini dan memberitabukan kepada kalian suatu hal.

Lihatlah! Seakan-akan waktu semakin dekat saat aku akan dipanggil (oleh Allah) dan aku akan menyambut panggilannya."

"Hai, Kaum Muslimin! Apakah kalian bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba serta utusan-Nya. Surga adalah benar, neraka adalah benar, kematian adalah benar, kebangkitan pun benar, dan 'hari itu pasti akan tiba, dan Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya?" Mereka menjawab: "Ya, kami meyakininya."

la melanjutkan: "Hai, kaum Muslimin! Apakah kalian mendengar jelas suaraku?" Mereka menjawab: "Ya." Rasul berkata: "Dengarlah! Aku tinggalkan bagi kalian 2 hal. paling berharga dan simbol penting yang jika kalian setia pada keduanya, kalian tidak akan pernah tersesat sepeninggalku. Salah satunya memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain."

Orang-orang bertanya: "Ya, Rasulullah, apakah dua hal. yang amat berharga itu?"

Rasulullah menjawab: "Salah satunya adalah kitab Allah dan lainnya adalah Itrah Ahlulbaitku (keluargaku). Berhati-hatilah kalian dalam memperlakukan mereka ketika aku sudah tidak berada di antara kalian, karena, Allah, Yang Maha Pengasih, telah memberitahukan ku bahwa dua hal. ini (Quran dan Ahlulbaitku) tidak akan berpisah satu sama lain hingga mereka bertemu denganku di telaga (al-Kautsar). Aku peringatkan kalian, atas nama Allah mengenai Ahlulbaitku. Aku peringatkan kalian atas nama Allah, mengenai Ahlulbaitku. Sekali lagi! Aku peringatkan kalian, atas nama Allah tentang Ahlulbaitku!"

"Dengarlah! Aku adalah penghulu surga dan aku akan menjadi saksi atas kalian maka barhati-hatilah kalian memperlakukan dua hal. yang sangat berharga itu sepeninggalanku. Janganlah kalian mendahului mereka karena kalian akan binasa, dan jangan pula engkau jauh dari mereka karena kalian akan binasa!"

"Hai, kaum Muslimin! Tahukah kalian bahwa aku memiliki hak atas kalian lebih dari pada diri kalian sendiri?" Orang-orang berseru: "Ya, Rasulullah." Lalu Rasul mengulangi: "Hai, kaum Muslimin? Bukankah aku memiliki hak atas kaum beriman lebih dari ada diri mereka sendiri?" Mereka berkata lagi: "Ya, Rasulullah." Kemudian Rasul berkata :" hai Kaum Muslim! Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan aku adalah Maula semua orang-orang beriman," Lalu ia merengkuh tangan A1i dan mengangkatnya ke atas. la berseru:

"Barang siapa mengangkatku sebagai Maula, maka Ali adalah Maulanya pula (ia mengulang sampai tiga kali) Ya, Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang-orang yang memusuhinya. Bantulah orang-orang yang membantunya. Selamatkanlah orang-orang Yang menyelamatkannya, dan jagalah kebenaran dalam dirinya ke mann pun ia berpaling! (artinya, jadikan ia pusat kebenaran).

Ali adalah putra Abu Thalib, saudaraku, Washi-ku, dan penggantiku (khalifah) dan pemimpin sesudahku. Kedudukannya bagiku bagaikan kedudukan Harun bagi Musa, hanya saja tidak ada Nabi setelahku. la adalah pemimpin kalian setelah Allah dan Utusan-Nya."
"Hai, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah telah menunjuk dia menjadi pemimpin kalian. Ketaatan padanya wajib bagi seluruh kaum Muhajirin dan kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan dan penduduk kota dan kaum pengembara, orang-orang Arab dari orang-orang bukan Arab, para majikan dan budak, orang-orang tua dan muda, besar dan kecil, putih dan hitam."

"Perintahnya harus kalian taati, dan kata-katanya mengikat serta perintahnya menjadi kewajiban bagi setiap orang yang meyakini Tuhan yang satu. Terkutuklah orang-orang yang tidak mematuhinya, dan terpujilah orang-orang yang mengikutinya, dan orang-orang yang percaya kepadanya adalah sebenar-benarnya orang beriman. Wilayahnya (keyakinan kepada kepemimpinannya) telah Allah, Yang Maha kuasa dan Maha tinggi, wajibkan."

"Hai kaum Muslimin, pelajarilah Quran! Terapkanlah ayat-ayat terapkanlah ayat - ayat yang jelas maknanya bagi kalian dan janganlah kalian mengirang - ngira ayat - ayat yang bermakna ganda ! Karena, Demi Allah, tiada seorang pun yang dapat menjelaskan ayat - ayat secara benar akan makna serta peringatannya kecuali aku dan lelaki ini (Ali), yang telah aku angkat tangannya ini di hadapan diriku sendiri."

"Hai kaum Muslimin, inilah terakhir kalinya aku berdiri di mimbar ini. Oleh karenanya, dengarkan aku dan taatilah dan serahkan diri kalian kepada kehendak Allah. Sesungguhnya Allah adalah Tuhan kalian. Setelah Allah, Rasulnya, Muhammad yang sedang berbicara kepada kalian, adalah pemimpin kalian. Selanjutnya sepeninggalku, Ali adalah pemimpin kalian dan Imam kalian atas perintah Allah. Kemudian setelahnya kepemimpinan akan dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih dalam keluargaku hingga kalian bertemu Allah dan Rasulnya."

"Lihatlah, sesungguhnya, kalian akan menemui Tuhanmu dan ia akan bertanya tentang perbuatan kalian. Hati-hatilah! Janganlah kalian berpaling sepeninggalku, saling menikam dari belakang! Perhatikanlah! Adalah wajib bagi orang-orang yang hadir saat ini untuk menyampaikan apa yang aku katakan kepada mereka yang tak hadir karena orang-orang yang terpelajar akan lebih memahami hal. ini daripada beberapa orang yang hadir dari saat ini. Dengarlah! Sudahkah aku sampaikan ayat Allah kepada kalian? Sudahkah aku sampaikan pesan Allah kepada kalian?" Semua orang menjawab, "Ya." Kemudian Nabi Muhammad berkata, "Ya, Allah, saksikanlah."16



20