• Mulai
  • Sebelumnya
  • 24 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 30536 / Download: 533
Ukuran Ukuran Ukuran
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

pengarang:
Indonesia
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Kaidah Imkan Asyraf [13] (Theory of Future Possibility)

Pendahuluan
Kaidah imkân asyrâf termasuk salah satu kaidah penting dalam kajian-kajian filsafat, mengingat penerapannya yang cukup banyak dalam menegaskan berbagai realitas-realitas wujud. Sebagaimana diketahui bahwa kaidah imkân asyrâf (noblest contingency, higher possibility) untuk pertama kalinya ditemukan dalam ungkapan-ungkapan Aristoteles, kemudian dalam kalimat-kalimat Ibnu Sina, setelah itu digunakan dalam gagasan-gagasan Syaikh Isyraq, kajian-kajian Mir Damad dan pemikiran Mulla Sadra. Kaidah ini telah dijadikan dasar analisis dan pondasi argumentasi untuk membuktikan dan menegaskan eksistensi hakiki yang paling sempurna di antara realitas-realitas eksistensi di semua alam.

Persoalan-persoalan yang timbul berhubungan dengan kaidah imkân asyrâf dapat diungkapkan sebagai berikut:

1. Apakah masih terdapat di dalam karya-karya Aristoteles yang secara gamblang dan signifikan membahas kaidah imkân asyrâf? Kalau ada, sejauh mana kedalaman pembahasannya? Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari perbandingan antara pandangan-pandangan filosof Islam dan teori Aristoteles tentang kaidah ini?

2. Bagaimana filosof-filosof Muslim menjabarkan kaidah tersebut? Apakah terdapat kesamaan-kesamaan defenisi tentang kaidah ini yang dapat dipahami dan disepakati oleh semua kalangan filosof?

3. Argumen-argumen apa yang menjadi inti kekuatan landasan dari kaidah tersebut? Apakah argumen-argumen tersebut sarat dengan berbagai kritikan, sanggahan dan keraguan?

4. Apa tujuan, manfaat dan aplikasi dari kaidah imkân asyrâf?

Dengan mengungkapkan persoalan-persoalan di atas, maka menjadi jelaslah ruang lingkup pembahasan dan pengkajian kita serta prediksi kesimpulan-kesimpulan yang ingin kita capai.

Syaikh Isyraq mengkhususkan satu pasal dalam kitab Mutârahât untuk menjelaskan dan membahas kaidah imkân asyrâf, ia menyatakan bahwa Aristoteles dalam kitab al-Asmâ' wa al-'A^lam berkeyakinan bahwa di alam yang tinggi berlaku kaidah tersebut[1]. Tetapi Aristoteles sendiri hanya sebatas mengisyaratkan pengertian tersebut dan tidak mengungkapkannya secara eksplisit. Kalaupun kita menerima pernyataannya, namun terdapat dalam kitab Utsûlûjiyâh - tentang kitab ini terdapat perbedaan apakah karya Aristoteles ataukah karya Pluthin (neo-Platonisme) - bahwa ia tidak secara tegas merumuskan kaidah tersebut dalam bentuk kaidah filsafat. Sebenarnya, para filosof Islamlah yang mengembangkan secara luas persoalan-persoalan yang awalnya bersumber dari karya-karya filosof Yunani lalu menjadikannya sebagai rumusan dan kaidah untuk menyelesaikan berbagai masalah substansial filsafat.

Para filosof Islam menekankan kaidah ini dan membahasnya dalam karya-karya mereka. Dalam hal ini, Mulla Sadra menyatakan, "Kita banyak memanfaatkan kaidah imkân asyrâf ini dan juga telah diaplikasikan oleh para filosof Peripatetik. Aristoteles, di dalam kitab Utsûlûjiyâh dan al-Asmâ' wa al-'A^lam, berkata bahwa di alam yang tertinggi terdapat yang lebih sempurna. Begitu pula, filosof Ibnu Sina dalam kitab as-Syifâ dan kitab lainnya, mengungkapkan kaidah ini dan meletakkan dalam pembahasan yang berhubungan dengan susunan dan tingkatan alam-alam wujud serta penjelasan tentang hal ikhwal keberadaan alam, dan secara serius Syaikh Isyraq juga menggunakan kaidah ini serta secara luas menjabarkannya dalam kitab-kitab Muthârât, Talwihât dan Hikmah al-Isyraq."[2]

Mir Damad dalam kitabnya yang masyhur bernama Qabasât secara lebih khusus membahas kaidah imkân asyrâf ini[3]. Begitu pula, para filosof mutakhir, seperti Hakim Mulla Hadi Sabzewari dan Allamah Thabathabai, mereka semuanya mengkaji dan mengulas secara mendalam kaidah ini dalam kitab-kitab penting mereka.

Dimensi lain yang perlu kita singgung pada pendahuluan ini adalah bahwa Mulla Hadi Sabzewari diawal penjelasannya tentang kaidah tersebut, dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Manzûmah, mengungkapkan bahwa imkân itu sendiri tidak dapat dijelaskan dan dinisbahkan dengan sesuatu yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, kecuali kalau maksud dari para filosof tentang imkân adalah mumkin[4] itu sendiri, karena imkân mempunyai pengertian: mustahil niscaya-ada dan mustahil[5] niscaya-tiada, atau kemustahilan ini hanya satu sisi saja yakni mustahil niscaya-ada atau mustahil niscaya-tiada. Imkân dapat juga berarti: sifat dari suatu kuiditas yang hubungan dan nisbahnya terhadap keberadaan dan ketiadaan adalah sama. Jadi, imkân di sini tidak bisa disifati dengan yang lebih sempurna, lebih mulia (tinggi) atau yang lebih rendah.


Uraian Kaidah Imkân Asyrâf
Kaidah ini dapat didefenisikan sebagai berikut: mumkin asyrâf[6] (wujud hakiki yang lebih sempurna) pada tingkatan eksistensi, lebih dahulu terwujud daripada mumkin akhas (wujud hakiki yang lebih rendah atau tidak sempurna). Oleh karena itu, kalau mumkin akhas (lower possibility, lower contingency) telah terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya.

Semua filosof telah bersepakat tentang inti defenisi tersebut, tetapi dengan tidak memandang perbedaan kecil dalam ungkapan-ungkapan mereka: kalau mumkin akhas terwujud, maka niscaya sebelumnya, telah terwujud mumkin asyrâf. Teori imkân asyrâf mengandung pengertian bahwa mumkin asyrâf niscaya lebih dahulu dari mumkin akhas dalam tingkatan wujud dan kalau mumkin akhas mewujud maka mesti telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya[7].

Di antara defenisi-defenisi yang telah diungkapkan di atas, Mir Damad merumuskan suatu defenisi yang lebih teliti dan cermat, defenisi ini efektif menjawab beberapa persoalan yang berhubungan dengannya, ia berkata, "Kaidah imkân asyrâf adalah segala wujud yang berada di alam penciptaan dimana mumkin asyrâf yang ada di alam tersebut, telah terwujud secara aktual di alam akal sebelum perwujudan mumkin akhas di alam-alam setelah alam akal[8].

Kaidah ini, berlaku secara mutlak di alam non-materi dimana tidak terdapat gerak, pertentangan dan benturan. Alam non-materi dalam defenisi Mir Damad disebut sebagai alam hakikat dan alam penciptaan. Di alam materi, dimana terdapat gerak, benturan dan perlawanan adalah sangat mungkin suatu wujud mumkin tidak dapat mencapai kesempurnaan, karena kesempurnaannya sangat bergantung kepada faktor-faktor eksternal. Oleh Karena itu, jangan beranggapan tentang kemestian perwujudan mumkin asyrâf di alam natural ini. Sebagaimana sering kita saksikan bagaimana mayoritas wujud-wujud ciptaan (makhluk) terhalang dan terhambat untuk dapat menggapai kesempurnaan yang mesti dimilikinya. Mumkin asyrâf hanya akan terwujud di alam natural ini, jika telah terpenuhi dan tidak terhalangi segala syarat dan kondisi perwujudannya.

Apakah tolok ukur kesempurnaan dan kerendahan? Manakah eksistensi-eksistensi yang dapat dikategorikan ke dalam mumkin asyrâf dan wujud-wujud yang digolongkan sebagai mumkin akhas?

Untuk menjawab seluruh masalah di atas, dikatakan bahwa Tuhan sebagai wujud murni dan suci dari segala kekurangan dan keterbatasan, Dia merupakan sumber mata air kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, wujud Tuhan sebagai "wadah" kesucian, keagungan dan kesempurnaan. Berdasarkan kaidah kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd), kita mengetahui bahwa wujud sebagai sumber segala kesempurnaan dan kebaikan, dan semua keburukan berasal dari "ketiadaan" dan kuiditas, dan karena Tuhan merupakan Pemberi wujud dan eksistensi, maka Dia pun mesti sebagai Pemberi kesempurnaan, ketinggian, kemuliaan, keagungan dan kebaikan.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Wâjib al-Wujûd merupakan sumber mata air dan tolok ukur kesempurnaan, Dia "berada" pada tingkatan wujud yang paling tinggi dan mempunyai intensitas yang paling kuat, atau dengan ungkapan lain, Dia yang meliputi segala yang tidak terbatas. Dengan demikian, maka setiap wujud mumkin, semakin sempurna, semakin suci dari materi (tajarrud min al-maddâh) dan semakin jauh dari daerah "ketiadaan" apabila ia semakin "dekat" dengan wilayah Wâjib al-Wujûd, dan begitu juga sebaliknya, setiap kali kebergantungan dan kebutuhannya kepada materi bertambah, maka semakin kecil pula lingkaran dan intensitas wujudnya serta semakin rendah tingkatan eksistensinya, sehingga terus menurun ke derajat wujud yang paling rendah, dan akhirnya akan sampai pada derajat dan tingkatan yang sama dengan "ketiadaan" (baca: materi awal, al-hayûlâ al-ûlâ[9]).

Tentang persoalan tersebut Mulla Sadra berkata, "Ketahuilah bahwa wujud mutlak terbagi dua: pertama adalah Wâjib al-Wujûd, Dia yang berada pada kulminasi teratas dari kesempurnaan wujud, intensitas kesempurnaan-Nya tidak terbatas, dan keaktualan-Nya (bil-fi'il) juga tidak terbatas, dan kedua adalah materi pertama (al-hayûlâ al-ûlâ), wujud ini berada pada kulminasi paling bawah dari kesempurnaan, ia tidak terbatas dalam ketaksempurnaan, juga tak terbatas dalam kepotensialan (bil-quwwah) dan kepasifan. Sesuatu tidak akan terwujud (perjalanan menurun) di alam materi sebelum melewati materi pertama, yakni perjalanan menurun dari alam akal hingga ke alam materi, dan begitu pula materi pertama tidak akan mencapai puncak kesempurnaan wujudnya (perjalanan menaik) sebelum melewati tingkatan-tingkatan eksistensi yang berada di atasnya, yakni menerobos eksistensi-eksistensi yang berada di antara alam materi dan alam akal."[10]

Dengan demikian, alam eksistensi meliputi: alam natural atau materi (nâsût), alam malakût dan jabarût, dan alam Ilahi (lâhût). Alam-alam tersebut, apabila ditinjau berdasarkan intensitas kesempurnaannya, maka secara berurutan dapat dikatakan bahwa alam materi berada pada derajat intensitas yang rendah dan alam Ilahi terletak pada tingkatan intensitas yang paling tinggi, dan tingkatan kesempurnaan alam-alam yang lain bergantung kepada kedekatannya dengan alam Ilahi (rububiyyah). Berdasarkan pada kenyataan tersebut, jiwa manusia (an-nafs) - yang zat dan esensi adalah bersifat non-materi tapi aktifitas dan perbuatannya sangat bergantung pada badan dan unsur-unsur materi - berada pada tingkatan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan akal - yang esensi dan aktifitasnya tidak bergantung kepada alam materi.

Kaidah imkân asyrâf tidak dapat diaplikasikan pada alam materi dan bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan alam ini. Sesungguhnya, ini sebagai syarat penerapan kaidah imkân asyrâf dan faktor utama dalam memahami secara benar kaidah ini. Mir Damad dan Mulla Sadra mengisyaratkan hal ini dan sebelumnya, Syaikh Isyraq menekankan dimensi ini dan berkata: "Adalah benar apabila suatu wujud di alam materi yang senantiasa mengalami perubahan ini tidak mampu mencapai tujuan yang paling sempurna dikarenakan berbagai halangan dan rintangan yang bersumber dari watak setiap unsur-unsur materi yang saling bertolak belakang."[11]

Syaikh Isyraq dalam persoalan tersebut beranggapan bahwa keberadaan halangan dan hambatan yang bersumber dari sebab-sebab natural dan karakter unsur-unsur materi lebih disebabkan karena mengikuti kecenderungan dan substansi alam materi secara keseluruhan, kenyataan inilah yang dapat menjadi penghalang dan penghambat bagi seseorang untuk mencapai kesempurnaan hakiki yang menjadi tujuan penciptaannya. Di samping itu, terdapat faktor kebergantungan dan kecenderungan internal makhluk pada materi, kenyataan inilah sesungguhnya merupakan penghalang substansial pencapaian kesempurnaan wujud bagi makhluk di alam materi ini.

Berdasarkan kaidah imkân asyrâf, eksistensi yang pertama tercipta adalah eksistensi-eksistensi yang lebih sempurna dan kemudian eksistensi-eksistensi yang lebih rendah tingkatannya, kaidah ini niscaya berlaku pada tingkatan-tingkatan vertikal di alam akal. Sebagaimana penjelasan para filosof bahwa akal kedua dan jiwa pertama keduanya terpancar dari akal pertama (akibat pertama) dan mempunyai tingkatan kesempurnaan yang berbeda.


Kedudukan Kaidah Imkân Asyrâf di Alam Materi
Kaidah imkân asyrâf hanya berlaku bagi eksistensi-eksistensi yang mempunyai kondisi tetap (tidak berubah) dimana dipengaruhi oleh sebab-sebab yang juga konstan, karena eksistensi-eksistensi seperti itu bebas dari berbagai pengaruh, misalnya gerakan benda-benda langit, kedudukan benda-benda angkasa, posisi matahari dan cahaya bintang, karena perkara-perkara ini menyebabkan berbagai peristiwa alam dan kehancuran bagi sebagian wujud karena adanya berbagai benturan dan pertentangan yang bersifat kondisional.

Segala keberadaan dan ketiadaan unsur-unsur dan individu-individu wujud materi berada di bawah pengaruh dan efek dari gerakan benda-benda angkasa, oleh karena itu, dari sisi esensi, adalah sangat mungkin kesempurnaan yang diciptakan untuk wujud tertentu dapat terhalang faktor-faktor eksternal yang berpengaruh secara negatif dalam proses pencapaian kesempurnaan, jadi sebenarnya tatanan dan sistem global alam yang ikut berpengaruh terbentuknya perbedaan karakter dan kemampuan masing-masing individu wujud dalam meraih kesempurnaan, dan inilah rahasianya kenapa suatu eksitensi tertentu dapat mencapai kesempurnaannya sementara eksistensi yang lain sama sekali tidak memperolehnya.

Realitas yang lain terjadi ketika suatu wujud senantiasa tetap dalam kesempurnaan atau senantiasa konstan dalam kerendahan, hal ini terjadi karena mengikuti kesempurnaan dan kerendahan sebab penciptanya dan bukan karena faktor kemampuan internal dan faktor-faktor eksternal, jadi hadirnya perbedaan kesempurnaan di antara individu-individu wujud sangat dipengaruhi oleh dimensi sebab penciptanya, dengan ungkapan lain, pencipta yang sempurna niscaya mewujudkan individu yang sempurna dan juga sebaliknya.

Syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh sebagian filosof yang berhubungan dengan aplikasi kaidah tersebut adalah kesempurnaan dan kerendahan suatu eksistensi bersumber dari kesatuan kuiditas (mâhiyah). Tetapi syarat tersebut tidak sesuai dengan landasan pemikiran Mulla Sadra, maka dari itu, ia tidak menerima gagasan tersebut. Menurut gagasan Mulla Sadra, hakikat wujud adalah basith[12] (indivisible, simple) dimana perbedaan esensial di antara individu-individu wujud bersumber dari hakikat wujud tersebut, perbedaan individu-individu ini tiada lain adalah kesempurnaan dan kekurangan pada hakikat wujud itu sendiri, dan berdasarkan sisi kesempurnaan dan kekurangan itulah terpancar beragam spesis kuiditas. Terwujudnya berbagai individu yang berbeda-beda dan beragam dari satu kuiditas yang disebabkan oleh pengaruh faktor-faktor eksternal hanya bisa terjadi di alam natural dan alam materi ini, oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kaidah imkân asyrâf berlaku apabila telah terbukti bahwa mumkin asyrâf hadir sebelum mumkin akhas walaupun tidak berada di bawah satu spesis kuiditas.

Dengan berlandaskan teori yang menyatakan bahwa spesis segala kuiditas non-materi hanya mencakup satu individu saja, dengan kata lain, spesisnya bersifat individual dan tidak satupun kuiditas non-materi mempunyai lebih dari satu individu sehingga kita dapat katakan bahwa terdapat perbedaan kesempurnaan di antara individu-individunya. Dengan demikian, kita yakin bahwa akal pertama lebih sempurna dan lebih dahulu daripada akal kedua, dan begitu pula akal aktif (fa'âl) lebih mulia daripada jiwa (an-nafs an-nâthiq) sementara keduanya tidak bersumber dari satu kuiditas. Oleh karena itu, kesatuan kuiditas bukan merupakan syarat berlakunya kaidah tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan gradasi eksistensi, adalah benar apa yang telah digagas oleh Mulla Sadra, karena kalau dua eksistensi yang tidak sama kuiditasnya bersatu di alam wujud, maka dengan menggunakan kaidah tersebut kita dapat membuktikan mana wujud lebih dahulu dan sempurna.[13]

Berhubungan dengan hal ini, Mulla Sadra berkata, "Wujud-wujud aktual senantiasa lebih dahulu dari wujud-wujud potensial, dan kalau kita mengkaji segala realitas dan tingkatannya secara esensial maka kita dapatkan bahwa wujud yang lebih sempurna senantiasa terwujud lebih dahulu dari wujud yang kurang sempurna (cacat), wujud niscaya (wujûb al-wujûd, Wâjib al-wujûd) berada lebih dahulu dari eksistensi makhluk (mumkin al-wujûd), wujud partikular mendahului wujud universal, diferensia (al-fashl) lebih dahulu dari genus (al-jens), eksistensi individu mendahului spesis (an-nu'), begitu pula bentuk (ash-shûrah) lebih dahulu dari materi (al-maddah), kesatuan (al-wahdah) lebih dahulu dari kejamakan (al-katsrah), kebersambungan (al-ittishâl) mendahului keterputusan (al-infishâl), eksistensi mendahului "ketiadaan", kebaikan terwujud lebih awal dari "keburukan" dan kebenaran senantiasa mendahului "kebatilan" serta kejujuran lebih unggul dari "kebohongan"."[14]

Apabila kita mencermati pernyataan-pernyataan Mulla Sadra di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa substansi dan inti segala pernyataan di atas, seperti keniscayaan (wujûb al-wujûd), kesatuan, kebaikan dan sebagainya tiada lain adalah eksistensi dan derajat kesempurnaannya itu sendiri. Kesatuan yang karena identik dengan wujud, maka lebih dahulu daripada kejamakan, begitupula karena wujud sumber segala kebaikan, maka kebaikan mesti lebih dahulu daripada keburukan dan karena wujud yang melandasi segala realitas maka dari itu ialah kebenaran dan akhirnya kebenaran lebih dahulu daripada kebohongan. Dengan memandang hakikat wujud, maka Dia kita temukan sebagai Yang Wajib (Yang Niscaya Adanya) dan karenanya Dia lebih dahulu daripada segala eksistensi yang mumkin (mumkin al-wujûd) sebagaimana Wujud Wajib (baca: Tuhan) lebih dahulu daripada eksistensi kontingen (baca: makhluk).

Berdasarkan pandangan di atas, maujud yang aktual (bil-fi'il) senantiasa terwujud lebih dahulu daripada maujud yang potensial (bil-quwwah), seperti, walaupun hewan aktual berdasarkan waktu belakangan terwujud daripada nutfah hewan, tetapi karena nutfah hewan bersifat potensial, oleh karena itu, hewan sebagai maujud yang terwujud lebih dahulu dan lebih sempurna dari nutfah hewan.


Penjelasan Kaidah Al-Wâhid
Sebelum kami menjabarkan argumentasi tentang imkân asyrâf, terlebih dahulu kami akan menjelaskan tentang kaidah al-wahid yang merupakan salah satu landasan dari argumen imkân asyrâf. Dengan memahami kaidah tersebut, kita dengan mudah mengikuti dan memahami alur-alur argumentasi dan mengetahui secara tepat substansi permasalahan tentang kaidah imkân asyrâf.

Kaidah al-wâhid adalah sebab (al-'illah) yang satu (tunggal) hanya mewujudkan akibat (al-ma'lul) yang satu (tunggal)[15], karena di antara sebab dan akibat terdapat keniscayaan dan kemestian keselarasan (as-sinkhiyyah) esensial sedemikian sehingga keselarasan tersebut hanya ada dan berlaku di antara keduanya dan tidak kepada yang lain. Kalau tidak demikian, maka setiap sesuatu dapat menjadi sebab bagi sesuatu yang lain dan segala sesuatupun bisa diposisikan sebagai akibat sesuatu yang lain. Maka dari itu, pada sebab terdapat unsur-unsur keselarasan dengan akibat dimana akibat tersebut hanya terwujud dan terpancar dari sebab itu. Oleh karena itu, kalau sebab tunggal (al-'illah al-wâhidah)[16] mewujudkan banyak akibat dimana akibat-akibat tersebut terpisah satu dengan lainnya dan tidak memiliki sisi kesatuan yang sama dengan sebabnya, maka konsekuensi dari hal itu adalah di dalam zat sebab tersebut terdapat beberapa bagian dan dimensi (mengandung komposisi), sementara kita hanya mengasumsikan bahwa pada zat sebab mengandung kesatuan sisi dan ketunggalan dimensi, artinya kenyataan tersebut bertolak belakang dengan asumsi yang ada.

Allamah Thabathabai menjelaskan bahwa terdapat dua unsur utama dalam pembahasan kaidah ini: pertama kesatuan (al-wahdah) yang merupakan lawan kejamakan (al-katsrah) dan kedua kesimpelan (al-bisâthah) yang merupakan lawan kerangkapan (al-murakkab), jadi yang dimaksud dengan "yang tunggal dan yang satu (al-wahid) dalam kaidah tersebut adalah sesuatu yang tidak jamak dan juga tak terangkap dari bagian-bagian[17]. Dan maksud daripada "keniscayaan keselarasan esensial antara sebab pelaku (fâ'il) dan akibatnya" adalah setiap sebab yang mewujudkan akibat dan juga memberikan kesempurnaan eksistensi kepada akibatnya, pada derajat yang tertinggi wujud sebab mesti mempunyai kesempurnaan sebagaimana yang dimiliki oleh akibatnya sendiri.[18]

Berhubungan dengan keselarasan esensial tersebut, Sadrul Muta'allihin berkata: "Akibat dalam keberadaannya memerlukan dan bergantung kepada sebab, kebutuhan dan kebergantungan ini adalah hakikat zat dan wujud akibat itu sendiri, karena kalau kebergantungan dan kebutuhan ini hanyalah bersifat tambahan dan aksiden pada wujud akibat maka pada dimensi hakikat wujudnya ia tidak memerlukan sebab, dan konsekuensinya adalah wujud akibat merupakan eksistensi yang mandiri dan berdiri sendiri, dan hal ini adalah sangat mustahil. Oleh karena itu, eksistensi akibat adalah kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri apabila kita hubungkan kepada sebabnya sendiri. Kemandirian yang terlihat pada eksistensi akibat sebenarnya merupakan manifestasi dan tajalli dari wujud dan kemandirian sebabnya, maka dari itu, eksistensi akibat mempunyai keselarasan dan keidentikan esensial dengan eksistensi sebabnya sendiri, karena derajat akibat berada di bawah eksistensi sebab."[19]

Sebagai kesimpulan, dari suatu wujud yang tunggal - dimana hakikat zatnya hanya mempunyai dimensi ketunggalan - tidak akan mewujudkan akibat yang beragam - dimana juga tak terdapat pada wujudnya unsur ketunggalan. Argumentasi ini berpijak pada dua mukadimah: pertama, antara sebab dan akibat terdapat keselarasan dan kesesuaian esensial, dan kedua suatu wujud dapat mempunyai keselarasan esensial dengan suatu wujud yang jamak, apabila pada wujud tersebut juga terdapat unsur kejamakan. Silogisme dari dua mukadimah tersebut adalah bahwa sebab yang pada wujudnya tidak terdapat unsur-unsur kejamakan (hanya unsur ketunggalan) maka mustahil memancarkan dan mewujudkan kejamakan.

Kaidah al-wâhid ini berimplikasi kepada tiga persoalan:

1. Apabila suatu waktu kita saksikan keberadaan akibat-akibat yang banyak dari sebab yang tunggal maka ketahuilah bahwa sesungguhnya pada wujud sebab niscaya terdapat unsur-unsur kejamakan yang menjadi faktor munculnya kejamakan akibat tersebut. Seperti pada wujud manusia yang mempunyai sisi-sisi kejamakan, dan dimensi-dimensi kejamakan inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai perbuatan dan prilaku yang berbeda-beda. Sesungguhnya, setiap perbuatan dan prilaku manusia bersumber dari satu sisi dan satu dimensi dari wujud manusia, misalnya dimensi perbuatan tertawa berbeda dengan dimensi prilaku menangis, begitu juga dimensi perbuatan berbicara berbeda dengan dimensi prilaku berjalan, dan sebagainya.

2. Sebab-sebab yang jamak dan beragam tidak dapat secara bergantian berpengaruh pada akibat yang tunggal, misalnya akibat (S) pada jam pertama dipengaruhi oleh sebab (Y) dan pada jam kedua dipengaruhi oleh sebab (I) dan pada jam ketiga dipengaruhi oleh sebab (A) dan begitu pula pada jam keempat dipengaruhi oleh sebab (H). Realitas ini mustahil terjadi, karena mesti terdapat minimal empat sisi dan dimensi pada wujud akibat (S) yang masing-masing mempunyai keselarasan esensial dengan keempat sebab tersebut, sementara pada wujud akibat (S) ini diasumsikan hanya mempunyai satu sisi dan dimensi (zatnya bersifat tunggal) serta tidak mempunyai dimensi dan sisi kejamakan.

3. Akibat yang tunggal mustahil terwujud dari sebab-sebab yang jamak, apabila kita saksikan kenyataan tersebut, maka niscaya disebabkan oleh empat faktor, antara lain:

a. Akibat tunggal tersebut adalah bukan sesuatu yang individual (al-wâhid asy-syakhshi), tetapi sesuatu yang spesis (al-wâhid an-naû')[20]. Adalah jelas bahwa sesuatu yang spesis bersumber dari berbagai individu-individu dan setiap individu dari spesis tersebut dapat disebut sebagai satu sebab khusus, seperti panas yang merupakan spesis dimana bersumber dari berbagai individu, misalnya panas merupakan akibat dari api (baca: invidu pertama), panas merupakan akibat dari cahaya (baca: individu kedua) dan panas merupakan akibat dari gerak (baca: individu ketiga) serta dari individu lain yang dapat diketahui dari eksperimen.

b. Boleh jadi akibat yang tunggal tersebut adalah kesatuan bilangan (al-wahdah al-'adadiyyah)[21] yang sangat lemah, karena lemahnya kesatuan ini sehingga terwujud dari berbagai sebab. Seperti materi pertama (al-hayûla al-'ûlâ) yang tergolong sebagai kesatuan bilangan, karena ia tidak aktual (bersifat potensi murni dan kosong dari segala bentuk aktualitas), maka untuk mewujud dan mengaktual ia memerlukan bentuk spesifik atau forma (ash-shûrah an-naû'iyah, specific form)[22]. Forma ini yang dipancarkan secara bergantian kepada materi pertama oleh makhluk non-materi yang dinamakan malaikat yang diperintahkan mengatur alam materi ini. Dengan demikian, materi pertama yang merupakan substansi senantiasa menerima forma-forma dengan perantaraan malaikat-malaikat. Pandangan ini sesuai dengan teori penciptaan dan pemusnahan (al-kaun wa al-fasâd) yang dianut oleh para filosof pra Mulla Sadra, mereka belum mencapai pemahaman tentang gerak substansial (al-harakat al-jauhariyyah) dan beranggapan bahwa satu forma akan diwujudkan setelah forma sebelumnya telah musnah, penciptaan satu forma dan pemusnahan forma lainnya. Sementara berdasarkan gerak substansial, kebersusulan dan keberlanjutan forma-forma diumpamakan seperti perubahan setelah perubahan (al-labs ba'd al-labs). Gerak substansial dapat dilihat dari proses pertumbuhan bayi manusia di dalam rahim ibu. Berdasarkan pandangan ini, penyebab pertumbuhan materi dasar nutfah adalah satu forma saja, satu bentuk inilah yang senantiasa mengalami gerak dan perubahan dari satu forma ke forma yang lain. Jadi, hanya terdapat satu akibat bernama materi dasar dan satu sebab bernama forma. Apabila kita menerima teori gerak substansial ini, maka sebenarnya kita telah keluar dari tema pengkajian tentang perwujudan materi pertama oleh sebab-sebab yang beragam.

c. Akibat yang tunggal ini merupakan satu realitas yang bersumber dari banyak pengaruh, seperti vitamin untuk kesembuhan penyakit tertentu bersumber dari berbagai buah-buahan dan obat-obatan. Dalam hal ini, vitamin (sebagai akibat) yang dapat menyembuhkan penyakit berasal dari buah-buahan dan obat-obatan yang berbeda (sebagai sebab-sebab). Semua sebab tersebut mempunyai satu unsur kesamaan yaitu mengandung vitamin yang berkhasiat menyembuhkan penyakit tertentu. Berhubungan dengan pemisalan ini, mungkin ada yang menyangggah bahwa contoh ini bisa digolongkan pada bagian (a) yakni ketunggalan akibat dari jenis ketunggalan spesis, sebagaimana panas yang merupakan akibat dari berbagai sebab. Jawaban kritik ini adalah bahwa bagian (a) tidak mempunyai kesatuan dan ketunggalan dalam sebab-sebabnya, bahkan setiap dari sebab-sebab itu secara terpisah dan mempunyai tolok ukur yang berbeda sebagai sebab panas tersebut. Sedangkan pada bagian (c) ini, sebab-sebab dari setiap obat-obatan dan buah-buahan mempunyai tolok ukur yang sama, setiap dari mereka karena memiliki vitamin yang sama maka menyebabkan adanya kesatuan sisi. Oleh karena itu, walaupun akibat pada bagian (c) ini juga dari jenis ketunggalan spesis, tetapi pada bagian (a) tak terdapat kesatuan dimensi dalam sebab-sebab, sementara pada bagian (c) terdapat kesatuan dimensi.

d. Akibat yang tunggal ini disebabkan oleh sesuatu yang mempunyai bagian-bagian atau mengandung berbagai komposisi, akibat ini, sebenarnya bersumber dari salah satu bagian dari benda tersebut, misalnya dikatakan bahwa satu persoalan matematika dapat diselesaikan oleh kelas A, sesungguhnya yang terjadi adalah salah seorang murid kelas A dapat menyelesaikan persoalan matematika ini, dan kita terkadang menisbahkan salah satu bagian kepada keseluruhan, atau yang khusus kita sandarkan kepada yang umum.


Sebuah keraguan
Apabila kita berkeyakinan bahwa sebab yang basith mustahil mewujudkan lebih dari satu akibat atau diyakini bahwa Wâjib al-Wujûd yang basith hanya memiliki satu akibat yang disebut akal pertama. Pandangan ini akan memunculkan keraguan bahwa kekuasaan Tuhan terbatas yakni Dia hanya mampu menciptakan satu akibat saja, sementara kita telah menegaskan dengan dalil-dalil yang kuat bahwa kekuasaan dan kekuatan Tuhan tak terbatas.

Jawaban atas sebuah keraguan tersebut di atas adalah bahwa perwujudan keragaman akibat dari sebab yang basith adalah mustahil (kemustahilannya telah ditetapkan dengan dalil-dalil di atas), dan kekuasaan Tuhan tidak berhubungan dan tidak terkait dengan kemustahilan atau dengan kata lain, kekuasaan Tuhan tidak berpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh kemustahilan, karena kemustahilan adalah ketiadaan dan ketiadaan bukanlah sesuatu yang nyata dan riil, ketiadaan tidaklah mempunyai eksistensi sehingga dapat berpengaruh kepada kekuasaan dan kodrat Tuhan, yakni kekuasaan Tuhan dibatasi oleh ketiadaan, atau ketiadaan dipengaruhi oleh kekuasaan dan kodrat Tuhan, yakni Tuhan kuasa dan mampu mewujudkan ketiadaan menjadi sebuah kenyataan eksistensi.

Mereka menyangka bahwa implikasi dari kaidah ini adalah keterbatasan kekuasaan dan kodrat Tuhan, dan Tuhan hanya memiliki satu emanasi saja di alam, sementara kita melihat bagitu banyak keberadaan dan eksistensi di alam. Sangkaan seperti ini adalah salah, karena semua akibat dan keberadaan di alam secara berurutan dan sistimatis merupakan akibat-akibat dari akal pertama (akibat pertama yang terpancar dari Tuhan), dan akibat dari akibat pertama (akal pertama) juga merupakan akibat dari Tuhan, yakni Tuhan mewujudkan akibat-akibat yang banyak secara bergradasi di alam dari akibat pertama yang terpancar dari eksistensi Tuhan.

Dengan demikian, eksistensi-eksistensi di alam merupakan akibat dan emanasi dari eksistensi Tuhan secara langsung (akibat pertama atau akal pertama) atau tidak langsung (akibat-akibat yang tercipta dari akibat pertama). Tuhan merupakan Sebab Hakiki dan Sebab Pertama atas segala eksistensi dan keberadaan. Jadi, Kekuasaan dan kodrat Tuhan tetap tidak terbatas dan keberadaan makhluk yang juga tidak terbatas ini adalah tanda dan ayat yang jelas dan pasti tentang ketidak-terbatasan kekuasaan Tuhan.

21
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Argumen Pembuktian Kaidah Imkân Asyrâf
Menurut Syaikh Isyraq kaidah tersebut tidak terlalu memerlukan argumentasi dan hanya sedikit memerlukan perhatian yang saksama dari fitrah manusia, dari konteks ini bisa dikatakan bahwa kaidah tersebut bersifat aksiomatis (badihi, gamblang), ia berkata: "Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak terpancar dari Yang Satu kecuali satu (kaidah al-wâhid), kalau telah terwujud mumkin akhas dari Wâjib al-Wujûd maka mumkin asyrâf pasti terwujud sebelumnya. Jika diasumsikan bahwa telah terwujud mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd tetapi tidak terwujud dengan alasan bahwa Dia zat yang tunggal dan hanya mewujudkan satu wujud saja yakni mumkin akhas maka ini berarti bahwa kita meniscayakan keberadaan sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang nantinya menjadi sebab perwujudan mumkin asyrâf, konsekuensi dari pernyataan ini adalah tak terdapat sisi asyrâf pada wujud Tuhan yang berimplikasi pada kemustahilan perwujudan mumkin asyrâf dari zat Wâjib al-Wujûd dan juga mustahil kita mengasumsikan tentang keberadaan kesempurnaan pada wujud-Nya apalagi terpancar dari wujud-Nya.[23]

Berkaitan dengan burhan kaidah imkân asyrâf Mulla Hadi sabzewari berkata: "Apabila mumkin akhas terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya, apabila tidak demikian maka hanya terdapat tiga alternatif:

1. Mumkin asyrâf mustahil terwujud dari Sumber Keberadaan dengan perantara atau tanpa perantara;

2. Mumkin asyrâf hadir dengan perantaraan mumkin akhas (yakni terwujud setelah mumkin akhas);

3. Mumkin asyrâf bersamaan dengan mumkin akhas (pada derajat yang sama) terpancar dari zat Tuhan.

Ketiga alternatif tersebut di atas mustahil terjadi dan yang benar hanyalah apa yang telah ditetapkan di atas. Alasannya adalah kalau mumkin asyrâf tidak terwujud sebelum perwujudan mumkin akhas atau mumkin asyrâf tak terpancar dari zat Tuhan, dengan memandang bahwa asumsi tentang perwujudan mumkin asyrâf adalah sangat mungkin dan tidak mustahil, maka dikatakan bahwa mesti terdapat satu dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari sesuatu yang terdapat pada wujud Tuhan dimana menjadi penyebab penciptaan mumkin asyrâf, ini berarti bahwa tidak terdapat sisi yang lebih sempurna pada wujud Tuhan dan karena Dia adalah sumber kesempurnaan dan derajat wujud-Nya pada tingkatan yang tertinggi dimana memiliki intensitas wujud yang terkuat maka dari itu adalah sangat mustahil apabila terdapat kekurangan (kurang sempurna) dan keterbatasan pada wujud-Nya. Apabila diasumsikan bahwa mumkin asyrâf tercipta dengan perantara mumkin akhas, maka dari itu, akibat ini (mumkin asyrâf) menjadi lebih sempurna (asyrâf) dari sebab (mumkin akhas), dan hal seperti ini juga mustahil terjadi, karena sebab sebagai pemberi wujud kepada akibat maka mustahil lebih rendah kesempurnaannya daripada akibatnya sendiri, dan hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi, "Sesuatu yang tidak memiliki mustahil dapat memberi". Dan kalau dikatakan bahwa mumkin asyrâf dan mumkin akhas kedua-duanya secara bersamaan terpancar dari wujud Tuhan, maka ini berarti bahwa Tuhan Yang Tunggal, terpancar dari wujud-Nya dua maujud sekaligus, yakni dari sisi kesatuan qua kesatuan terpancar dua realitas akibat atau terwujudnya kejamakan qua kejamakan dari kesatuan qua kesatuan, karena hal ini, bertentangan dengan konsep al-wâhid, maka dari itu asumsi tersebut mustahil terjadi.[24]

Syaikh Isyraq dalam kitabnya Hikmah al-Isyraq juga menjabarkan argumentasi tentang kaidah imkan asyrâf, ia berkata, "Kalau mumkin akhas telah mengada sementara mumkin asyrâf belum terwujud sebelumnya, maka persoalan ini secara logis akan menyebabkan hadirnya empat konsekuensi, yaitu:

1. Bertolak belakang dengan asumsi yang ada;

2. Perwujudan kejamakan dari wujud yang tunggal (satu) secara bersamaan adalah tidak mustahil;

3. Dibolehkannya perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari yang lebih rendah (akhas);

4. Kemestian keberadaan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) pada tataran Wâjib al-Wujûd.

Kalau ditetapkan bahwa perwujudan mumkin asyrâf dengan perantaraan, maka perantaranya pastilah mumkin akhas (jika kita menolak kaidah imkân asyrâf), tapi dalam kondisi tersebut akan melahirkan kenyataan bahwa akibat lebih sempurna (asyrâf) daripada sebab. Apabila kita mau menghindar dari realitas tersebut dan kita katakan bahwa mumkin akhas (A) merupakan akibat dari sebab (B) yang lebih sempurna (asyrâf) dari dirinya (A) dimana terdapat jarak antara (A) dan Wâjib al-Wujûd. Keadaan seperti ini juga bertolak belakang dengan perkataan tersebut karena fokus pembahasan kita berkaitan dengan akibat pertama atau mumkin pertama yang terwujud dari Wâjib al-Wujûd, apakah akibat pertama tersebut adalah mumkin asyrâf atau mumkin akhas. Oleh karena itu, asumsi tentang keberadaan perantara dan wasilah di antara wujud (A) dan Wâjib al-Wujûd adalah menyalahi asumsi itu sendiri.

Disamping itu, jika eksistensi yang lebih rendah (akhas) terpancar dan teremanasi tanpa perantara dari Wâjib al-Wujûd dan pada saat yang sama terdapat kemungkinan perwujudan sesuatu eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) dari Wâjib al-Wujûd, maka konsekuensi kedua tersebut di atas akan menjadi nyata, yakni kejamakan (eksistensi yang beragam) dapat terpancar dari kesatuan (eksistensi tunggal) secara bersamaan. Kalau dibolehkan, eksistensi yang lebih sempurna tercipta dari eksistensi yang lebih rendah, maka akan menyebabkan hadirnya konsekuensi yang ketiga, yakni tidak mustahil eksistensi yang asyrâf terpancar dari eksistensi yang akhas. Dan apabila diasumsikan bahwa mustahil terjadi perwujudan mumkin asyrâf dari Wâjib al-Wujûd dan mumkin akhas, maka konsekuensi keempat tersebut akan menjadi kenyataan. Kesimpulannya, adalah mustahil semua konsekuensi di atas, apabila didasarkan dan berpijak pada kaidah-kaidah filsafat.

Mir Damad merumuskan dua argumen dan burhan untuk pembuktian kaidah imkân asyrâf. Menurutnya, kedua argumen ini sangat akurat dan sederhana. Burhan Pertama, argumen ini memiliki pendahuluan yang telah dijabarkan sebelumnya. Berdasarkan pendahuluan tersebut, ketika di antara dua eksistensi tidak terdapat keselarasan esensial dan kekhususan hubungan, maka mustahil terwujud hubungan sebab-akibat (kausalitas). Oleh karena itu, apabila Tuhan memancarkan dan mewujudkan akibat pertama (baca: emanasi pertama) di alam penciptaan, namun emanasi pertama itu bukanlah eksistensi yang paling sempurna (asyrâf) di antara ciptaan-ciptaan-Nya, maka konsekuensinya adalah tidak terdapat keselarasan esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya (Sebab Pertama dan emanasi pertama), dan hal ini adalah mustahil. Emanasi pertama adalah eksistensi pertama yang diwujudkan oleh Tuhan, karenanya ia lebih dekat kepada eksistensi Tuhan dan tingkatan eksistensinya setelah eksistensi Tuhan, dan karena terdapat kesesuaian esensial dan hubungan kausalitas di antara keduanya, oleh karena itu, ia niscaya lebih sempurna, lebih tinggi dan lebih mulia di antara makhluk-makhluk-Nya. Dengan demikian, eksistensi pertama yang diwujudkan Tuhan adalah mumkin asyrâf dan setelahnya diwujudkanlah mumkin akhas secara bergradasi.[25]

Burhan kedua, apabila suatu eksistensi emanasi (wujud akibat) disandarkan kepada Wâjib al-Wujûd (bi adz-dzat, niscaya-wujud dengan sendirinya) dengan perantara atau tanpa perantara, maka dalam hal ini, wujud emanasi ini secara esensial adalah wâjib al-wujûd (bil ghair, niscaya-wujud dengan selain-Nya). Tapi, kalau "wujud emanasi" itu tidak kita sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, maka ia pasti mustahil (mumtani' bil ghair) terwujud. Oleh karena itu, jika wujud emanasi di sandarkan kepada Wâjib al-Wujûd, tetapi ia tidak terwujud dan tidak asyrâf, maka "Wâjib al-Wujûd" itu bukanlah Wâjib al-Wujûd yang sesungguhnya (yang hakiki) atau eksistensi emanasi itu bukan eksistensi yang niscaya-ada dengan selain-Nya (wâjib bil ghair), konsekuensi ini bertolak belakang dengan asumsi bahwa Dia adalah Wâjib al-Wujûd hakiki dan wujud emanasi adalah juga wâjib al-wujûd bil ghair hakiki. Dipandang dari perspektif ini, eksistensi emanasi niscaya terwujud, maka dari itu, ia pun mesti mumkin asyrâf, karena keniscayaan eksistensial yang terdapat pada emanasi, juga mengharuskan kehadiran keniscayaan kesempurnaan pada eksistensinya[26]. Dan kesempurnaan eksistensi-eksistensi emanasi berdasarkan tingkatan dan level mereka, apabila suatu eksistensi semakin dekat dengan eksistensi Tuhan maka semakin sempurna pula eksistensinya, dan begitu pula sebaliknya.

Argumentasi Sadrul Muta'allihin tentang kaidah imkân asyrâf dapat disimpulkan sebagai berikut: mumkin akhas ketika telah terwujud dari Sebab Pertama maka mesti mumkin asyrâf terwujud sebelum mumkin akhas. Karena kalau dibolehkan mumkin asyrâf diwujudkan bersamaan dengan mumkin akhas, maka berarti bahwa dari Wujud yang tunggal qua tunggal terpancar dua eksistensi sekaligus, hal ini adalah mustahil. Apabila mumkin asyrâf terwujud setelah mumkin akhas dan sekaligus sebagai perantara dari perwujudannya, maka konsekuensinya adalah akibat mesti lebih sempurna (asyrâf) dari sebabnya, dan ini juga adalah mustahil.[27]

Allamah Thabathabai dalam kitab Nihâyah al-Hikmah juga memaparkan argumen imkân asyrâf, ia berkata, "Ketinggian dan kerendahan merupakan dua sifat eksistensi yang bersumber dari intensitas derajat-derajat kesempurnaan eksistensi. Dan derajat-derajat kesempurnaan eksistensial secara hakiki tidak lain berasal dari bentuk hubungan kausalitas. Dan hubungan sebab-akibat mengharuskan keberadaan suatu wujud mandiri hakiki (wujûd al-mustaqil fi nafsihi, Wâjib al-Wujûd) dan wujud bergantung hakiki (wujûd ar-râbith bi ghairihi, mumkin al-wujûd), dengan demikian setiap tingkatan wujud yang tercipta dari tingkatan wujud yang lebih tinggi darinya, maka ia mesti lebih rendah kesempurnaannya (wujud akhas) dan bersifat bergantung, tapi bila ia dibandingkan dengan tingkatan wujud yang di bawahnya, maka ia lebih tinggi kesempurnaannya (wujud asyrâf) dan bersifat mandiri. Jadi, apabila di asumsikan terdapat dua wujud dimana derajat yang satu asyrâf dan lainnya akhas, maka wujud yang asyrâf niscaya terwujud lebih dahulu dari wujud yang akhas. Kelebih dahuluan (anterioritas) ini mestilah bersifat eksistensial, jika tidak, maka wujud yang akhas pastilah bersifat mandiri dan tidak bergantung kepada wujud yang asyrâf, hal ini adalah mustahil karena bertolak belakang dengan asumsi yang ada, yakni mengasumsikan bahwa wujud yang akhas bergantung secara mutlak dan hakiki kepada wujud yang asyrâf.[28]

Inti argumen di atas adalah bahwa hubungan kausalitas merupakan hubungan esensial antara wujud hubungan (râbith) dan wujud mandiri (mustaqil), persoalan ini sangat erat hubungannya dengan gagasan gradasi khusus pada wujud (tasykik al-wujûd). Dilihat dari perspektif ini, jika mumkin asyrâf tidak terwujud pada tingkatan sebelum mumkin akhas, maka mumkin akhas pasti tidak mempunyai sebab yang berkaitan langsung dengan perwujudannya, dan hal ini mustahil terjadi karena mumkin akhas menjadi suatu eksistensi yang mandiri, bebas dan tak bergantung kepada sebab.


Kritik atas Argumen Imkân Asyrâf
Kita telah kemukakan argumen-argumen yang dirumuskan oleh para filosof tentang kaidah imkan asyrâf. Pada kesempatan ini, kita akan menganalisis dan membedah sebuah kritikan yang dialamatkan kepada argumen imkân asyrâf. Seorang peneliti bernama Dawany, dalam tulisannya berupa komentar-komentar atas kitab Hayâkil an-Nur Syaikh Isyraq, melontarkan sejumlah kritikan dan sanggahan yang bermaksud untuk menguatkan struktur logikal argumen tersebut.

Mir Damad dan Mulla Sadra justru memandang bahwa sanggahan dan kritikan Dawany kurang tepat. Menurut kedua filosof ini, Dawany tidak memisahkan antara "mustahil-ada dengan selainnya" (mumtani' bil ghair) dan "mungkin-ada dengan sendirinya" (imkan bi adz-dzat) atau antara mustahil-ada dengan selainnya dan mungkin-ada dengan perbandingan selainnya (imkân bil qiyas ila al-ghair), karena sesuatu yang mustahil-ada dengan selainnya dapat menjadi mungkin-ada apabila dibandingkan dengan selainnya[29], dan mungkin-ada dengan sendirinya (mumkin bi adz-dzat) juga dapat terwujud manakala bersifat mungkin-ada jika dibandingkan dengan mustahil-eksistensi dengan selainnya (mumtani' bil ghair).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara hakiki adalah mustahil perwujudan sesuatu yang lebih sempurna (asyrâf) dari apa-apa yang telah terdapat pada Wâjib al-Wujûd, tetapi apabila dibandingkan dengan perwujudan mumkin asyrâf dimana mengharuskan keberadaan dimensi yang lebih sempurna (asyrâf) adalah menjadi sesuatu yang bersifat tidak mustahil, dengan demikian adalah keliru kritikan dan sanggahan atas asumsi ini ( mustahil terwujudnya mumkin asyrâf dari mumkin akhas dan dari eksistensi Tuhan) dimana berujung pada keberadaan eksistensi yang lebih sempurna (asyrâf) pada eksistensi Tuhan.[30]

Dawany kemudian melontarkan kritikannya, ia menyatakan, "Pembatalan asumsi terakhir[31] akan sempurna apabila kemungkinan akibat mengharuskan kemungkinan sebab, sementara persoalan ini tidaklah realistis dan logis. Karena ketiadaan emanasi pertama adalah sesuatu yang mungkin terjadi atau ketak-beradaan wujud Tuhan adalah mustahil terjadi. Maujud yang telah tercipta tidak lebih sempurna (asyrâf) dari maujud yang tercipta setelahnya, apabila proposisi ini kita balik, maka menjadi: sebelum perwujudan mumkin asyrâf telah tercipta suatu maujud (yang akhas). Penjelasan proposisi: kalau sesuatu yang pertama dicipta adalah mumkin asyrâf, maka pasti terwujud dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan asumsi sebelumnya bahwa mumkin akhas tercipta dari Tuhan dengan tanpa perantara, dengan demikian Tuhan mewujudkan dan menciptakan sesuatu yang beragam, yakni Tuhan mewujudkan mumkin asyrâf dan mumkin akhas secara bersamaan, atau dengan perantaraan tercipta kejamakan maujud dari eksistensi Tuhan. Konsekuensi dari kenyataan seperti ini adalah bahwa perantara itu tak lain adalah mumkin akhas itu sendiri, dan juga mengakibatkan ketaksempurnaan sebab ('illah) dari akibat (ma'lul), kedua kemestian ini adalah mustahil, maka dari itu, asumsi kita yang berpijak pada keberadaan mumkin asyrâf sebelum mumkin akhas adalah juga mustahil.[32]

Dawany akhirnya menyadari sendiri kekeliruan kritikannya, ia menyatakan bahwa apabila yang dimaksud dengan kemustahilan mumkin asyrâf adalah sesuatu yang tergolong kepada mustahil-ada dengan selainnya (imtinâ' bil ghair), maka argumentasi tersebut adalah benar, dan kalau yang dimaksud adalah mustahil-eksistensi dengan sendirinya (imtinâ' bi adz-dzat), maka argumentasi tersebut adalah salah. Mir Damad dan Mulla Sadra menyatakan bahwa kritikan Dawany tersebut adalah keliru dan jalan keluar yang diajukannya masih kurang sempurna. Mir Damad menjelaskan bahwa mustahil mumkin asyrâf berada pada satu tingkatan kesempurnaan, yang karenanya, menuntut suatu kesempurnaan dan kemuliaan yang mesti-ada pada wujud sebab (Tuhan), tetapi dalam hal ini, kesempurnaan dan keagungan tersebut tidak aktual dan tidak terdapat pada wujud Tuhan. Oleh karena itu, setiap tingkatan kesempurnaan yang dituntut oleh mumkin asyrâf niscaya terdapat pada dirinya dan pada wujud Tuhan secara aktual dan tak terbatas. Jadi sangat keliru pandangan Dawany yang berbunyi: mumkin asyrâf mustahil terwujud secara esensial (mumkin asyrâf mustahil-wujud dengan sendirinya), karena mengharuskan suatu tingkatan kesempurnaan pada wujud Tuhan dimana kesempurnaan tersebut secara aktual tidak terdapat pada eksistensi Tuhan sebagai Penyebab dari mumkin akhas. Maka dari itu, adalah mustahil ketiadaan mumkin asyrâf dengan ketiadaan wujud sebabnya atau niscaya-ada mumkin asyrâf karena niscaya-ada sebabnya, karena semua kesempurnaan yang dituntut dan hadir pada mumkin asyrâf secara aktual dan tak terbatas mesti terdapat pada wujud Tuhan.[33]

Penjelasan di atas merupakan syarat argumen kaidah imkan asyrâf, mumkin asyrâf mustahil menuntut suatu kesempurnaan yang tidak terdapat pada eksistensi sebabnya, tetapi sebab yang tidak mempunyai kesempurnaan yang tak terbatas bukanlah sebab (baca: sebab hakiki). Inti dalil ini adalah mustahil secara esensial pada wujud sebab tidak mengaktual suatu kesempurnaan tertinggi dan tidak terbatas, wujud sebab meniscayakan dan mengharuskan kesempurnaan dan kemuliaan tertinggi, jadi bukan bermakna bahwa karena tuntutan mumkin asyrâf sehingga mengharuskan terwujudnya kesempurnaan tak terbatas pada eksistensi sebab, tuntutan mumkin asyrâf itu sendiri adalah mustahil secara esensial.

Adalah benar apa yang dilontarkan oleh Dawany, ia menyatakan bahwa secara prinsipil suatu 'kemungkinan' (mungkin-ada) tidak meniscayakan 'kemustahilan' (mustahil-ada), namun yang mengharuskan 'kemustahilan' adalah ketak-beradaan emanasi pertama meniscayakan ketiadaan Sebab Pertama (Wâjib al-Wujûd). Tapi, ketiadaan emanasi pertama itu sendiri adalah mustahil secara esensial (mustahil-tiada dengan selainnya), karena emanasi pertama bersandar kepada wujud yang mustahil-tiada dengan sendirinya, emanasi pertama bergantung kepada Sebab Pertama yang niscaya-eksistensi dengan sendirinya (swa-eksistensi).[34]

Dengan berpijak pada gagasan Mulla Sadra tentang teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd), akibat pertama, apabila dipandang dari dimensi kuiditasnya, tidak meniscayakan dan tidak mengharuskan keberadaannya, karena sama sekali tidak terdapat hubungan antara Sebab Pertama dan kuiditas (mâhiyah) akibat pertama, baik dari sisi keberadaan maupun dari dimensi ketiadaan[35]. Oleh karena itu, sifat dan watak kuiditas akibat pertama tidak memestikan keberadaan dan ketiadaan Sebab Pertama, karena kalau ia meniscayakan eksistensi dan ketiadaan Sebab Pertama, maka pasti mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama, pasti ia yang dicipta (maj'ûl) oleh Sebab Pertama.[36]

Apabila dipandang dari eksistensi akibat pertama, maka yang kita dapatkan tidak lain kecuali dimensi keniscayaan eksistensinya yang ia peroleh dari Wâjib al-Wujûd (Sebab Pertama), keniscayaan ini biasa disebut dengan niscaya-ada dengan selainnya (wâjib bil ghair). Adalah mustahil kita dapatkan keniscayaan yang lain bagi akibat pertama selain kemestian eksistensinya, mustahil juga kita mengasumsikan ketiadaannya, karena akan mengakibatkan inner kontradiksi. Eksistensi makhluk dapat bermakna: niscaya-ada atau mustahil-tiada, sementara berkaitan dengan Wujud Tuhan hanya berarti: niscaya-ada dengan sendirinya (wâjib bi adz-dzat). Karena kita tidak dapat menyangkal keberadaan makhluk, maka eksistensinya berarti: mesti-ada dengan selainnya (dengan perantaraan wujud Tuhan).

Mulla Sadra dalam menjawab kritikan tersebut menawarkan metode lain yang berbeda dengan cara yang dilakukan oleh Mir Damad, ia menyatakan bahwa niscaya-ada dengan sendiri (wâjib bi adz-dzat) lebih tinggi dan lebih sempurna dari sesuatu yang dapat dibayangkan, bahkan mustahil bisa digambarkan oleh akal-pikiran. Kita hanya dapat katakan bahwa segala kesempurnaan pasti terdapat pada wujud-Nya secara tak terbatas. Karena Tuhan adalah niscaya-ada dengan sendirinya (Wâjib al-Wujûd bi adz-dzat), maka Dia pun niscaya-sempurna dari segala dimensi dan sisi. Setiap kesempurnaan yang dimiliki oleh makhluk mesti terdapat pada wujud Tuhan secara lebih sempurna dan tak terbatas, karena wujud makhluk bergantung secara mutlak kepada-Nya dimana wujud-Nya adalah yang paling sempurna, paling tinggi dan paling mulia. Wujud Tuhan mempunyai intensitas yang sangat tinggi, begitu pula kesempurnaan-Nya, karenanya, mustahil kita mengasumsikan ketidak-beradaan pancaran wujud-Nya, manifestasi wujud-Nya, emanasi kesempurnaan-Nya dan tajalli kesempurnaan-Nya.


Aplikasi Kaidah Imkân Asyrâf
Aplikasi dan penerapan fundamental dari kaidah ini adalah penetapan eksistensi-eksistensi di alam akal, pembuktian eksistensi-eksistensi jiwa non-materi dan penegasan tingkatan-tingkatan segala keberadaan yang terwujud dan teremanasi dari Wujud Tuhan mulai dari eksistensi dengan derajat dan intensitasnya yang tertinggi dan tidak terbatas itu hingga eksistensi yang paling rendah tingkatan dan intensitasnya seperti materi pertama.

Berkaitan dengan penerapan kaidah ini, Mir Damad mengulas, "Eksistensi jiwa - yang telah dibuktikan keberadaannya itu[37] - secara esensial adalah substansi non-materi namun perbuatannya berhubungan dengan substansi badan materi, sementara eksistensi akal secara esensial adalah substansi non-materi dan begitu pula perbuatan tidak berkaitan dengan materi, oleh karena itu, wujud akal dari dimensi intensitas kenon-materiannya lebih sempurna (asyrâf) dari wujud jiwa dan juga lebih dekat tingkatannya kepada Sebab Pertama. Kaidah imkân asyrâf mengharuskan bahwa akal yang karena sifat kenon-materiannya lebih dominan dan lebih sempurna (asyrâf) wujudnya, maka ia mesti terwujud lebih dahulu dan dengan perantaraannya dicipta jiwa-jiwa. Dengan demikian kaidah ini digunakan untuk menetapkan wujud-wujud alam non-materi seperti akal dan jiwa, kemudian menegaskan tingkatan dan derajat eksistensi-eksistensi yang terpancar dari Sebab Pertama.[38]

Syaikh Isyraq berpandangan bahwa eksistensi-eksistensi di alam malakut adalah bersifat konstan dan tidak mengalami proses perubahan, sebagai substansi non-materi yang bersifat aktual murni (tidak mempunyai potensi untuk lebih menyempurna), dalam perwujudannya hanya membutuhkan kemungkinan esensial (imkân azd-dzat) serta "jauh" dari alam materi (alam inderawi) yang memiliki seperti gerak, perubahan dan pertentangan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa eksistensi-eksistensi di alam malakut berada pada tingkatan tertinggi, lebih sempurna (asyrâf) dan lebih mulia dari eksistensi-eksistensi yang lain.[39]

Kaidah ini pula membuktikan bahwa derajat kualitas suatu eksistensi yang terwujud (sebagai emanasi pertama) dari Sebab Pertama adalah lebih sempurna, lebih mulia dan lebih tinggi (pasca tingkatan Sebab Pertama), oleh karena itu, eksistensi dengan kualitas seperti ini mestilah dari alam akal dan bukan dari alam mitsal atau alam-alam yang berada di bawah tingkatan alam mitsal. Sebagian filosof menyebut akibat pertama atau emanasi pertama sebagai akal pertama, eksistensi ini mempunyai keidentikan dan kesesuaian esensial dengan kesempurnaan Sebab Pertama, seperti simpel (basith), eksistensi murni dan mempunyai keluasan wujud yang sempurna. Perbedaan akal pertama dengan Sebab Pertama hanyalah bahwa ia bergantung secara mutlak kepada Sebab Pertama. Karena faktor kebergantungan akal pertama ini, maka muncullah dalam wujudnya beragam karakter dan kecenderungan yang merupakan sumber lahirnya kejamakan di alam penciptaan.

Berkaitan dengan masalah di atas, dengan menggunakan kaidah imkân asyrâf, Mulla Sadra berkata, "Tanpa sedikit keraguan, akal yang ditetapkan itu dikategorikan sebagai genus (al-jins)[40] yang meliputi spesis-spesis akal, dan setiap dari spesis-spesis akal ini bersifat individual, satu individu, yakni satu spesis akal hanya mencakup dan memiliki satu individu saja. Akal pertama lebih sempurna dari akal-akal lainnya, dan akal yang berada pada tingkatan terakhir lebih sempurna dari individu-individu di alam mitsal, begitu pula individu-individu di alam itu lebih sempurna bila dibandingkan dengan individu-individu di alam materi. Karena spesis-spesis di alam natural meliputi individu-individu yang beragam, maka dari itu sangat mungkin terdapat wujud yang lebih sempurna (asyrâf) dari maujud-maujud yang terdapat di semua alam. Dari sinilah berpijak dalil tentang kemungkinan keberadaan akal, esensi akal adalah substansi (jauhar) non-materi (mujarrad) dan substansi non-materi sebagai suatu realitas yang bersifat mungkin-ada, karena bila tidak demikian, maka tak satupun spesis dari substansi non-materi (non-materi sempurna, seperti akal atau non-materi tak sempurna, seperti jiwa) akan terwujud. Tapi karena eksistensi jiwa non-materi (sebagai substansi non-materi yang tak sempurna) telah terbukti secara logis dan filosofis, dan ketika salah satu dari individu alam telah terwujud, maka sangatlah mungkin terwujudnya individu-individu dari alam-alam lain yang lebih tinggi, lebih mulia dan lebih sempurna (asyrâf) dari individu tersebut. [41]

Berdasarkan analisa Mulla Sadra (qs) di atas, diketahui bahwa eksistensi akal bersifat mungkin-ada, tapi akan bersifat niscaya-ada bila dinisbahkan dengan keberadaan wujud-wujud yang kita saksikan di alam materi ini, bahkan iapun niscaya terwujud lebih dahulu dan lebih sempurna dari wujud-wujud tersebut. Dengan demikian, eksistensi yang pertama terpancar dari Wujud Tuhan adalah substansi non-materi akal yang bersifat lebih sempurna.

Ibnu Sina juga berkeyakinan bahwa dengan kaidah imkân asyrâf dapat ditetapkan urutan wujud-wujud akal, tingkatan eksistensi-eksistensi jiwa dan derajat benda-benda materi (benda-benda angkasa). Ia berkesimpulan bahwa wujud yang pertama terpancar dari Wâjib al-Wujûd adalah maujud yang lebih tinggi dan lebih sempurna, setelah itu perwujudan eksistensi-eksistensi lain secara bertingkat hingga terakhir penciptaan wujud-wujud alam natural[42]. Dalam hal ini, kita tidak memandang kuantitas akal yang diyakininya berjumlah sepuluh dimana akal yang kesepuluh ini diletakkan sebagai akal aktif (fa'âl) dan pengatur alam materi, yang terpenting adalah di antara akal-akal tersebut terdapat tingkatan kesempurnaan sedemikian sehingga akal yang terdekat dengan Sebab Pertama adalah akal yang paling sempurna dan paling tinggi.

Penerapan dan fungsi lain dari kaidah imkan asyrâf adalah pembuktian akal-akal horizontal ('uqûl 'aradhiyyah). Akal-akal ini biasa juga dikatakan sebagai pengatur spesis (rabb an-naû', master species) atau alam ide Plato (mutsul aflâthûny, Platonic idea). Gagasan tentang eksistensi akal-akal ini hanya memiliki tempat dalam filsafat Iluminasi dan Hikmah Muta'aliyah. Menurut mereka ini, akal-akal yang terpancar secara bertingkat-tingkat (sesuai dengan derajat kesempurnaan) dari Sebab Pertama harus terus terwujud sedemikian rupa hingga pada batasan dan kuantitas tertentu yang menyebabkan lahirnya secara aktual kejamakan dan keragaman eksistensi di alam-alam setelah alam akal.

Kejamakan itu terbagi atas dua bagian: kejamakan vertikal dan kejamakan horizontal. Kejamakan vertikal dalam hal ini hanya berhubungan dengan alam akal, yakni diawal perwujudan hanya tercipta satu akal dan dari satu akal ini dicipta akal yang kedua, dan begitu seterusnya. Setiap penambahan jumlah akal akan berbanding lurus dengan penambahan sifat-sifat, dimensi dan karakter. Semakin besar penambahan sifat-sifat (baca: sifat-sifat kejamakan) tersebut pada akal tertentu berarti penciptaan akal secara vertikal akan berakhir, dan akal terakhir yang dicipta mestilah mempunyai sifat-sifat yang cukup sehingga layak untuk menghadirkan spesis-spesis akal yang beragam. Spesis-spesis akal ini bersifat individual, yakni hanya mempunyai satu individu. Dalam hal ini, para filosof Peripatetik berpandangan tentang sepuluh akal.

Sedangkan kejamakan horizontal adalah akal-akal vertikal tersebut berakhir pada akal-akal horizontal, akan tetapi antara akal-akal horinzontal ini tidak lagi terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan akal-akal ini berhadapan dengan spesis-spesis alam materi, yakni setiap satu spesis di alam materi memiliki satu akal (mitsal) yang mengaturnya, karena disebabkan akal-akal inilah sehingga terwujud berbagai macam spesis di alam materi beserta tatanan dan sistem pengaturan spesis-spesis itu.

Mulla Sadra menggunakan kaidah imkân asyrâf untuk menetapkan keberadaan mutsul aflathûny, ia berkata, "Ketika terwujud suatu mumkin akhas (lebih rendah), maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf (lebih sempurna) sebelumnya. Tak ada keraguan bahwa manusia yang mempunyai semua kesempurnaan aktual mesti lebih sempurna (asyrâf) dari manusia yang berada di alam materi dimana sebagian kesempurnaannya masih bersifat potensial, maka dari itu, eksistensi manusia di alam materi sebagai dalil atas keberadaan manusia di alam akal sebelum kehadirannya di alam materi dan begitu pula keberadaan individu-individu setiap spesis di alam materi merupakan dalil atas eksistensi rabb an-nau' individu-individu materi ini sebelum perwujudan semua individu itu di alam materi. Setiap satu spesis dari rabb an-naû' ini merupakan substansi non-materi yang memiliki seluruh kesempurnaan aktual (kesempurnaan pada tataran spesis) dimana berfungsi mengatur dan mengantarkan individu-individunya meraih kesempurnaan.[43]

Dibawah ini hanya disebutkan beberapa manfaat dan tujuan kaidah imkân asyrâf yang diungkapkan oleh Mulla Sadra dalam kitab Asfar, antara lain:

1. Kaidah ini dapat menetapkan tentang bolehnya berkumpul atau bergabung dua kecenderungan menuju arah yang satu;[44]

2. Kaidah ini menjelaskan tentang keberadaan rasa, bau-bauan, bentuk-bentuk, dan warna-warna pada benda-benda langit;[45]

3. Kaidah ini menegaskan tentang kemestian hubungan spiritual dan maknawi antara Sebab Pertama dan eksistensi yang paling dekat kepada-Nya.[46]


Kaidah Imkân Akhas
Sadrul Muta'allihin berpandangan bahwa di antara maujud-maujud alam materi terdapat perbedaan kesempurnaan, maujud-maujud ini memiliki kesiapan menerima kesempurnaan eksistensial secara bertahap. Dengan demikian, individu-individu alam materi yang sedang menuju kesempurnaan mesti berproses dari tingkatan yang paling rendah hingga ke tingkatan yang paling tinggi.

Mulla Sadra membahas secara khusus persoalan-persoalan ini dalam kitab Asfar pada pasal bertema "Kaidah Imkan Akhas". Menurutnya, hakikat eksistensi adalah tunggal dan alam secara universal diumpamakan sebagai "hewan raksasa" yang tunggal dimana seluruh alam merupakan "bagian-bagiannya" (anggota-anggota badan) yang saling berhubungan erat satu sama lain, tapi hubungan "bagian-bagian" ini bukan berarti hubungan bendawi atau hubungan material yang cenderung bersifat permukaan, bahkan berarti bahwa setiap tingkatan kesempurnaan "berdekatan" dan berhubungan dengan tingkatan kesempurnaan berikutnya, misalnya antara satu tingkatan kesempurnaan (B) dengan tingkatan kesempurnaan di atasnya (A) dan juga dengan tingkatan kesempurnaan di bawahnya (C) tidak terdapat jarak atau ruang yang kosong, namun pada saat yang sama tingkatan-tingkatan kesempurnaan ini dapat dibedakan satu sama lain.

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa segala eksistensi dalam proses perjalanan menurun (qaus an-nuzûl) berawal dari eksistensi paling sempurna seperti akal pertama dan berakhir di alam materi, begitu pula seluruh eksistensi dalam proses perjalanan menyempurna (qaus ash-shu'ûd) berawal dari materi pertama yang kemudian berproses menjadi benda-benda berbentuk (materi kedua), setelah itu berubah menjadi tumbuh-tumbuhan, lalu berproses menjadi hewan kemudian menyempurna menjadi manusia, dan proses menyempurna ini terus berlanjut pada level wujud manusia, namun penyempurnaan ini bukan lagi pada dimensi material, tapi penyempurnaan pada dimensi spiritual, yakni berjalan di jalan agama Tuhan (sair ila Allah) menuju tingkatan spiritual tertinggi. Gerak menyempurna ini, melewati semua level eksistensi yang dimulai dari terendah (akhas) hingga tertinggi (asyrâf).

Dikatakan bahwa kaidah imkân asyrâf tersebut merupakan warisan Aristoteles, sementara kaidah imkân akhas ini merupakan gagasan-gagasan murni dan pencapaian baru Sadrul Muta'allihin.[47]


Catatan Kaki:
[1] . Majmû'e-ye Mushannafât-e Syeikh Isyraq, jilid 1, hal. 435.

[2] . Sadruddin Muhammad Syirazi, Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 7, hal. 244-245.

[3] . Mir Damad, Qabasât, hal. 372.

[4] . Wujud mumkin (mumkin al-wujûd) atau wujud eksternal, yang nyata, hakiki dan aktual.

[5] . Yang dimaksud dengan "mustahil niscaya-ada atau mustahil niscaya-tiada" adalah menegasikan atau menafikan kemestian, keharusan dan keniscayaan itu sendiri jika dihubungkan dengan keberadaan atau ketiadaan, dengan ungkapan lain, "sesuatu" itu tidak mesti-ada dan juga tidak harus-tiada. Posisinya seperti angka nol bila dinisbahkan kepada bilangan positif dan bilangan negatif. Dengan demikian ia bisa-ada dengan keberadaan sebabnya dan ia juga dapat-tiada dengan ketiadaan sebabnya.

[6] . Majmû'e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid kedua, hal. 154.

[7] . Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba'ah, jilid ketujuh, hal. 244.

[8] . Mir Damad, Qabasât, hal. 382.

[9] . Materi pertama atau prima yang merupakan persiapan dan potensi murni, atau potensi belaka dan kososng dari segala bentuk aktualitas, ia bahkan menjadi "tempat" bagi segala bentuk aktualitas. Materi pertama sebagai materi yang tanpa bentuk. Eksistensi ini akan mencapai kesempurnaan eksistensial pada level tertentu, jika ia menerima aktualitas dari level tersebut.

[10] . Sadrul Muta'allihin, Mulla Sadra, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 257.

[11] . Majmu'e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal. 434.

[12] . Basith adalah sesuatu yang tidak mempunyai bagian-bagian, seperti kesatuan atau titik. Basith dalam pengertian tersebut lawan dari campuran (murakkab) yakni sesuatu yang memiliki bagian-bagian. Basith bisa juga bermakna sesuatu yang tidak mempunyai bagian-bagian yang aktual seperti benda-benda. Dalam hal ini yang kita maksud dari basith adalah sesuatu yang tidak tersusun dari bagian-bagian dan juga tidak dapat dibagi-bagi, seperti akal dan jiwa.

[13] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 247-248.

[14] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 249.

[15] . Al-wâhid la yashduru 'anhu illa al-wâhid.

[16] . Yakni suatu sebab basith (sederhana dan tunggal) yang di dalam zatnya hanya ada kesatuan (al-wahdah) dan simplisitas yang sempurna adalah simplisitas yang tidak terdapat satupun campuran, komposisi dan rangkapan padanya, walaupun komposisi tersebut antara wujud dan kuiditas. Dan yang dimaksud dengan akibat basith (sederhana dan tunggal) adalah suatu akibat yang tunggal dan sederhana dimana karena ketunggalan dan kesederhanaan zatnya ia menjadi akibat dari sebab yang basith tersebut. Jadi yang dimaksud dengan tunggal (al-wahid) di sini adalah lawan dari kejamakan (al-katsrah) dimana mempunyai bagian-bagian atau individu-individu yang berbeda secara esensial.

[17] . Allamah Muhammad Husein Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, bab keempat, pasal kedelapan.

[18] . Ali Shirvani, Tarjemeh wa Syarh-e Bidayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 247.

[19] . Dikutip dari kitab al-Mizan karangan Allamah Muhammad Husein Thabathabai Qs, jilid ketigabelas, hal. 194.

[20] . Ketunggan dan kesatuan dalam filsafat dapat bermakna kesatuan individual, seperti individu-individu, seperti Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husein. Dan bisa bermakna kesatuan spesis, seperti manusia, atau kesatuan genus, seperti hewan atau kesatuan bilangan, seperti angka satu yang berhadapan dengan angka dua, dan sebagainya.

[21] . Kesatuan angka atau bilangan, seperti bilangan-bilangan matematika, satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya.

[22] . Salah satu dari lima bagian substansi (al-jauhar).

[23] . Majmu'e-ye Mushannafat-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal.434.

[24]. Mulla Hadi Sabzewari, Syarh al-Manzumah, hal. 728. Dengan catatan kaki oleh Ayatullah Hasan Zodeh Amuly.

[25] . Mir Damad, Qabasât, hal. 375-376.

[26] . Karena wujud dan eksistensi itu sendiri adalah identik dengan kesempurnaan, kebaikan dan kemuliaan.

[27] . Husain Haqqani Zanjany, Syarh Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 337.

[28] . Husain Haqqâni Zanjany, Syarh an-Nihayah al-Hikmah, jilid kedua, hal. 338.

[29] . Bukan mungkin-ada dengan selainnya (mumkin bil ghair), karena kita tidak memiliki mungkin-ada dengan selainnya (imkan bil ghair), dalam penggunaan kata 'mumkin' dan 'imkan' terdapat perbedaan yang mendasar, kata 'mumkin' menunjuk kepada maujud yang nyata dan hakiki, sedangkan kata 'imkan' lazimnya digunakan hanya berhubungan dengan watak dan sifat dari kuiditas (mahiyah) untuk mewujud atau meniada.

[30] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 249-250.

[31] . Mustahil terwujud mumkin asyraf dari mumkin akhas dan dari wujud Tuhan.

[32] . Muhaqqiq Dawany, Syarh Hayakil an-Nur, hal. 45.

[33] . Mir Damad. Qabasât, hal, 377.

[34] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid ketujuh, hal, 253.

[35] . Karena berdasarkan teori kehakikian wujud, wujudlah yang membentuk realitas, bahkan realitas itu sendiri adalah wujud dan eksistensi, kuiditas dalam hal ini, hanyalah bersifat penampakan dan majazi, kuiditas hanyalah cerita, gambaran dan hikayat tentang realitas. Oleh karena itu, kuiditas tidak mempunyai hukum sehingga dapat dihukumi. Ini bukan berarti bahwa kuidtas itu sendiri tidak memiliki "realitas", karena apabila kuiditas diibaratkan sebagai hikayat dan gambaran tentang wujud dan realitas, maka ini bermakna bahwa ia juga mempunyai "realitas", ia juga "nyata", karena "sesuatu" yang menceritakan dan menggambarkan tentang suatu kenyataan (wujud), mesti juga bersifat "nyata", mesti juga "berwujud", walaupun, intensitas 'kenyataannya' dan "keadaannya" sangat rendah. Tapi, bagaimanapun kuiditas tidak dapat dibandingkan dengan wujud, wujudlah yang hakiki dan mendasar, sementara kuiditas bersifat majazi dan I'tibar. Kuiditas juga diartikan sebaga bayangan wujud (dalam perspektif ilmu irfan dan tasawuf), bayangan wujud bukanlah wujud itu sendiri, bayangan adalah bayangan dan wujud adalah wujud. Kuiditas merupakan batasan wujud (dalam perspektif Hikmah Muta'aliyah). Jadi, jelaslah perbedaan antara keduanya bagi orang-orang yang tercerahkan.

[36] . Yang mempunyai hubungan dengan Sebab Pertama adalah wujud itu sendiri, begitu pula wujudlah yang dicipta Sebab Pertama. Ini berdasarkan konsep kehakikian Wujud.

[37] . Argumen pembuktian jiwa dapat dilihat di dalam kitab-kitab filsafat, dalil-dalil keberadaan jiwa dibahas dan dikaji secara terpisah dalam bab tertentu.

[38] . Mir Damad, Qabasat, hal. 380.

[39] . Majmû'e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid kedua, hal. 154.

[40] . Genus (al-jens) merupakan salah satu dari lima kategori universal. Genus dapat dipredikasikan kepada individu-individu yang berbeda secara esensial dan merupakan jawaban dari pertanyaan tentang hakikat sesuatu (ma huwa). Genus, misalnya manusia, sapi, kuda, burung, kelinci, dan lain-lain. Genus lebih luas dan lebih umum dari spesis (an-nu'), jadi satu genus dapat meliputi beberapa spesis.

[41] . Sadrul Muta'allihin, as-Asfar, jilid ketujuh, 263.

[42] . Ibnu Sina, al-Ilahiyyat asy-Syifa, hal. 406 dan 410.

[43] . Sadrul Muta'allihin, al-Asfar, jilid kedua, hal. 58.

[44] . Ibid, jilid keempat, hal 81.

[45] . Ibid, jilid kedelapan, hal. 177.

[46] . Ibid, jilid kesembilan, hal. 245.

[47] . Sadrul Muta'allihi, al-Asfar, jilid kelima, hal. 342.

22
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Kaidah Basithatul Haqiqah [14]

Bagian Pertama

Pendahuluan
Kaidah bashît al-hakîkah (non-composite, simple reality) merupakan kaidah yang paling urgen di antara kaidah-kaidah dalam filsafat Hikmah al-Mut'aliyah. Mulla Shadra beranggapan bahwa argumentasi dengan kaidah ini adalah kekhususan dari filsafatnya dan orang-orang yang mendapatkan ilmu dan hikmah dari sisi Tuhan. Ia berkata, "Di antara tingkatan-tingkatan yang dilewati oleh para pesuluk menuju Tuhan dan juga malaikat-malikat-Nya… sesungguhnya mereka itu melihat seluruh maujud berada pada titik yang satu dan kami telah jelaskan bahwa bashît al-hakîkah adalah seluruh "asyyâ" (jamak dari syai atau sesuatu)…."[1]

Menurut kami, kunci untuk memahami kandungan kaidah bashît al-hakîkah adalah pengetahuan terhadap makna bashît al-hakîkah; akan tetapi sebelum membahasnya, harus diketahui terlebih dahulu makna dari basîth (non-komposisi, tak berangkap) dan murakkab (komposisi, berangkap, atau berampur) itu sendiri, sebagai dua istilah filsafat dengan makna yang saling berhadapan.

Bashîth (tak berangkap) adalah tidak mempunyai bagian dan di dalam dzatnya tidak terdapat komposisi. Sedangkan komposisi adalah dzat yang memiliki bagian dan dapat menerima pembagian menjadi bagian-bagian[2]. Dua istilah ini mempunyai makna yang beragam, hal ini muncul dari kenyataan bahwa bagian-bagian itu mempunyai penggolongan yang bermacam-macam atau makna yang menjadi tinjauan terhadap bagian itu adalah berbeda. Dengan kata lain, komposisi dari dimensi bahwa ia tersusun dari jenis bagian-bagian apa dan juga basîth yang terlepas dari jenis bagian-bagian yang mana, ini mempunyai pengertian yang beragam.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa berkumpulnya komposisi dan basîth, pada satu tinjauan, dalam satu subyek adalah mustahil; sebab keduanya saling bertentangan, dan pertentangan keduanya merupakan pertentangan jenis afirmasi dan negasi, dan mungkin juga jenis pertentangan tadhâyuf (mutual correlation). Kendatipun terdapat pertentangan di antara keduanya, namun mungkin terdapat satu obyek luar (mishdâq) dua komprehensi ini, tapi tidak pada tinjauan yang sama.


Komposisi dan Bagian-Bagiannya
Bagian-bagian dari suatu komposisi adalah bagian-bagian yang terwujud di luar dalam bentuk satu wujud atau dalam bentuk wujud-wujud yang jamak. Pada kondisi pertama, bagian-bagian itu diposisikan di pikiran dalam bentuk tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned), bagian-bagian ini disebut bagian-bagian predikasi atau bagian-bagian batasan, seperti genus dan diferensia. Atau diposisikan di pikiran dalam bentuk bersyarat tapi bukan dengan sesuatu tertentu (bisyarth lâ, negatively-conditioned), bagian-bagian itu disebut bagian-bagian pikiran atau bagian-bagian rasional, seperti bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran (wujud mental). Sementara pada kondisi kedua, adalah bertentangan, seperti bagian-bagian kuantitas yang mesti dalam bentuk benda. Atau tidak bertentangan, dimana mereka itu disebut bagian-bagian eksternal, yakni materi dan bentuk (forma).[3]

Dengan demikian, bagian-bagian tersebut terbagi ke dalam empat bagian: batasan, rasional, kuantitas dan eksternal. Dengan ungkapan lain, bagian-bagian dalam suatu komposisi yang maujud secara potensial disebut bagian-bagian kuantitas yang mesti berbentuk benda, atau yang maujud secara aktual. Bagian-bagian yang aktual ini, bisa dalam bentuk wujud luar, seperti materi dan bentuk (forma), dimana dikhususkan untuk benda-benda. Mungkin juga bagian-bagian aktual ini dalam bentuk kuiditas pikiran, seperti genus-genus dan diferensia-diferensia yang ditinjau dari sesuatu yang tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned) dan bisa juga seperti materi-materi dan forma-forma rasional bila ditinjau dari bisyarth lâ (negatively-conditioned).

Perlu dijelaskan bahwa genus dan diferensia pada dasarnya adalah materi dan forma luar itu sendiri bila ditinjau secara lâ bisyarth. Materi yang berada di alam luar itu jika berada dalam pikiran disebut genus, begitu pula forma yang terwujud di alam eksternal itu bila berada di alam pikiran dikatakan diferensia.

Apabila suatu maujud luar diasumsikan memiliki kuiditas yang basîth dan secara esensial tidak sama dengan kuiditas lainnya, maka komposisi kuiditas yang berada di alam pikiran tidak dapat dikonsepsi; tetapi akal bisa mengurai maujud itu menjadi kuiditas dan wujud, dengan syarat bahwa maujud tersebut adalah mumkinul wujud (wujud kontingen, makhluk), karena setiap mumkinul wujud terangkap dari wujud dan kuiditas.[4]

Berdasarkan uraian di atas, bagian-bagian yang membentuk komposis terbagi kedalam empat unsur:

1. Bagian-bagian kuantitas;

2. Bagian-bagian luar (materi dan forma);

3. Bagian-bagian rasional atau bagian-bagian batasan (genus dan differensia yang diambil dari materi dan forma atau akal manusia mengkonsepsi suatu maujud yang memiliki genus dan diferensia);

4. Bagian-bagian analitik (wujud dan kuiditas).

Adapun maujud komposisi dibagi atas dua bagian, yaitu hakiki dan non-hakiki ('iktibari), dan setiap dari keduanya dibagi lagi menjadi eksternal dan rasional, sebagai berikut:


a. Komposisi hakiki.
Suatu yang memiliki bagian-bagian dan di antara bagian-bagiannya memiliki hubungan kausalitas dan saling membutuhkan. Kekhususan komposisi ini adalah bahwa salah satu bagiannya adalah kesatuan hakiki. Komposisi itu sendiri mempunyai efek-efek khusus yang berbeda dengan efek-efek dari bagian-bagian yang membentuknya, tapi efek-efek khusus dari komposisi ini bukan berasal dari efek bagian-bagian itu sendiri. Komposisi hakiki terdiri atas dua bagian:


1. Hakiki eksternal.
Adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian eksternal dan bagian-bagian tersebut saling berbeda satu sama lain di alam luar (tidak hanya di alam pikiran), untuk setiap bagian memiliki identitas dan wujud yang mandiri dimana jika salah satu dari mereka musnah maka bagian-bagian lain tidak ikut musnah dan tetap pada kondisinya masing-masing, seperti hubungan jiwa dan badan, dimana manusia tersusun dari jiwa dan badan, ini adalah komposisi hakiki dan setiap individu manusia merupakan kesatuan hakiki yang memiliki efek-efek khusus. Dapat dirumuskan bahwa di antara materi dan forma dalam berbagai substansi-substansi materi yang sangat berpengaruh dan memiliki efek adalah komposisi hakiki.[5]


2. Hakiki rasional.
Komposisi hakiki rasional adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian rasional (genus dan diferensia). Bagian-bagian komposisi ini yang berpengaruh adalah kesatuan hakiki yang merupakan parameter dari setiap komposisi hakiki, walaupun di luar alam pikiran mereka tidak berbeda satu sama lain dan tidak mempunyai identitas dan wujud yang mandiri, mereka adalah satu maujud, seperti segitiga yang memiliki tiga sudut, ketiga sudut segitiga itu di alam pikiran memiliki perbedaan, tapi di alam luar tidak memiliki identitas sendiri-sendiri yang mandiri.[6]


b. Komposisi non-hakiki ('iktibari, mentally-posited).
Komposisi yang terwujud dari gabungan bagian-bagian yang di antara mereka tidak terdapat hubungan kausalitas dan saling membutuhkan serta tidak ada kesatuan hakiki yang berpengaruh atas bagian-bagian. Komposisi non-hakiki tidak sebagai realitas baru yang mempunyai efek-efek khusus. Komposisi non-hakiki ini juga mempunyai dua bagian:


1. Non-hakiki eksternal.
Komposisi yang mempunyai bagian-bagian di alam luar, seperti rumah yang tersusun dari kapur, semen, besi, kayu. Di antara bagian-bagian pembentuk rumah itu tidak terdapat hubungan kausalitas, efek komposisi (dalam hal ini adalah rumah) adalah hasil dari keseluruhan efek bagian-bagian pembentuknya sendiri dan wujud komposisi itu sendiri adalah suatu wujud yang non-hakiki dimana bagian-bagian pembentuknya adalah wujud hakiki dan memiliki efek.


2. Non-hakiki rasional.
Komposisi yang dibentuk dari bagian-bagian rasional yang tidak memiliki realitas di luar alam pikran dan merupakan suatu wujud-wujud yang tidak berbeda dan juga tidak mandiri.[7]

Istilah komposisi juga digunakan di alam benda-benda. Dengan makna bahwa filosof memandang terhadap benda yang tersusun dari benda-benda yang berbeda secara alami, seperti hewan, tumbuhan dan barang tambang. Ketiga benda-benda ini tersusun dari empat jenis unsur (benda) yakni: air, udara, api, dan tanah.[8]

Urgen diungkapkan di sini bahwa pembagian dan defenisi yang berhubungan dengan alam kebendaan berdasarkan ilmu alam kuno dan bukan ilmu fisika dan kimia moderen. Zaman sekarang, komposisi kimia dan matematika telah menjadi tema pembicaraan. Dengan demikian seluruh pembagian komposisi dapat dirumuskan secara singkat dalam bentuk sebagai berikut:

1. Komposisi benda dari materi dan forma;

2. Komposisi wujud dan kuiditas (eksistensi dan kuiditas), dimana hanya berlaku bagi setiap mumkin al-wujud;

3. Komposisi kuiditas dari genus dan diferensia;[9]

4. Komposisi dari bagian-bagian aktual, seperti komposisi rumah dari semen, besi, kapur, kaca dan…;

5. Komposisi dari unsur-unsur kimia, dalam ilmu kimia moderen menjadi bahan analisa, seperti komposisi air yang tersusun dari hidrogen dan oksigen;

6. Komposisi matematika, seperti komposisi sebuah garis satu meter yang tersusun dari dua garis 50 centi meter atau komposisi angka 10 dari dua angka 5;

7. Komposisi wujud dan ketiadaan, menurut filosof Mulla Sabzwari merupakan komposisi yang paling rendah, sebab komposisi-komposisi selainnya terbentuk dari bagian-bagian yang berwujud. Sementara dalam komposisi wujud dan ketiadaan adalah salah satunya adalah wujud dan "lainnya" adalah non-eksistensi.[10]


Pembagian Basîth
Pembagian ini berasaskan bahwa basîth adalah hampa dan kosong dari bagian-bagian. Basîth dibagi atas tiga bagian:

1. Basîth eksternal. Basîth yang tidak tersusun dari bagian-bagian yang aktual, seperti materi dan forma atau sembilan kategori aksiden.

2. Basîth rasional. Basîth yang tidak mempunyai bagin-bagian di alam pikiran, seperti genus dan diferensia. Semua konsep-konsep badihi dan aksioma terhitung sebagai Basîth rasional, seperti konsep eksistensi dan konsep lain yang tidak mempunyai batasan. Materi pertama dan forma benda adalah Basîth, sebab tidak tersusun dari bagian-bagian rasional dan bagian-bagian eksternal; dikarenakan materi pertama adalah potensi murni dan kosong dari segala bentuk keaktualan. Forma juga tidak bercampur dengan materi pertama (potensi).

3. Basîth hakiki atau Basîth al-Hakîkah. Basîth ini merupakan basîth yang paling tinggi, dimana secara total bersih dari segala bentuk percampuran, multiplisitas esensial dan komposisi, baik komposisi materi dan forma, eksistensi dan aksiden, genus dan differensia, bagian-bagian kuantitas dan komposisi matematika, komposisi unsur-unsur kimia, dan komposisi wujud dan ketiadaan. Satu-satunya obyek luar dari basîth hakiki adalah Wajibul Wujud.

Terkadang basîth hakiki juga digunakan untuk akal dan jiwa, ini bukan penafian komposisi eksistensi dan kuiditas, sebab selain Wajibul Wujud adalah wujud-wujud kontingen baik itu bersifat materi dan non-materi. Sebagaimana filosof mengatakan, "Setiap mumkin al-wujud terangkap dari kuiditas dan eksistensi".[11]


Teori Basîth
Dalam filsafat Islam terdapat berbagai teori universal yang berhubungan dengan basîth dan komposisi, di antara teori-teori tersebut adalah:

a. Basîth hakiki adalah meliputi dan mencakup segala sesuatu tapi bukanlah segala sesuatu itu sendiri. Makna ini secara detail akan dibahas kemudian.

b. Basîth itu sendiri mustahil sekaligus sebagai pelaku (fâ'il) dan sebagai penerima (qâbil), yakni maujud basîth mustahil memiliki sisi pelaku dan sisi penerima secara bersamaan. Jika maujud basîth adalah pelaku dan juga penerima, maka niscaya terdapat dua sisi dan dua dimensi pada dzatnya yang keduanya memiliki perbedaan, dan ini berarti ia adalah maujud non-basîth (wujud bercampur). Jika diasumsikan bahwa maujud basîth, dari dimensi ia sebagai pelaku dan pada dimensi itu juga ia sebagai penerima, maka pada aspek ia sebagai pelaku dan ia sebagai penerima adalah satu sama lain bertentangan, hal ini adalah mustahil karena meniscayakan berkumpulnya dua hal yang bertolak belakang.

c. Setiap basîth yang tidak memiliki dimensi penerima baginya maka tidak akan meniada. Ssetiap maujud basîth yang tidak memiliki penerima tidak akan meniada selamanya. Syeikh Isyraq dalam hikmah al-isyrâq memuat teori ini, dan Quthubuddin Syirazi dalam komentarnya terhadap teori ini memandang bahwa muatan dan manfaat kaidah ini adalah menetapkan keabadian akal, materi pertama (hayûlâ), dan setiap maujud sederhana yang esensial[12]. Mulla Shadra dalam Asfar juga untuk menetapkan keabadian jiwa dan ruh manusia (nafs nâtiqah) berdasarkan kaidah ini, dan berkata, "Karena jiwa adalah dzat yang basîth dan setiap yang basîth secara esensial tak akan menerima kefanaan dan ketiadaan, jika tidak demikian akan meniscayakan jiwa terangkap (ia) dari kepotensian wujud dan ketiadaan atau keaktualan wujud dan ketiadaan, dan ini adalah menyalahi asumsi.[13]

d. Setiap yang basîth di alam pikiran pasti basîth di alam eksternal, tapi tidak sebaliknya. Segala sesuatu yang basîth secara rasional niscaya basîth di alam nyata; sebab sesuatu yang tak terangkap dari genus dan diferensia di alam pikiran mesti tak terangkap dari materi dan forma di alam eksternal. Mulla Shadra, dalam menafikan bagian-bagian eksternal dari dzat Tuhan, berpegang pada kaidah ini dan mengatakan, "Tuhan tidak memiliki bagian-bagian rasional dan setiap yang ternegasikan dari bagian-bagian rasional pasti ternegasikan dari bagian-bagian eksternal; karena setiap sesuatu yang basîth dalam alam akal niscaya basîth di alam luar, tapi tidak sebaliknya[14]. Tidaklah benar bila dikatakan: "Setiap yang basîth di alam luar mesti basîth di alam akal"; sebab mungkin saja suatu maujud basîth di alam luar, tapi non-basîth di alam akal karena memiliki genus serta diferensia, seperti sembilan kategori aksiden. Menurut pandangan Mulla Shadra, genus dan diferensia dan kategori-kategori aksidensi adalah persepsi mental dan bukanlah hakiki; karena aksiden-aksiden di alam luar adalah basîth dimana tidak mempunyai materi dan forma hakiki, dan setiap maujud yang demikian ini tidak akan memiliki genus dan diferensia hakiki[15]. Kaidah ini juga diaplikasikan dalam menetapkan ke-basîth-an Wajibul Wujud.

e. Kaidah tentang bolehnya terwujud basîth dari sesuatu yang berkomposisi. Adalah memungkinkan maujud basîth terwujud dari suatu sebab yang berkomposisi.


Kaidah Basîth al-hakikah dan Sejarahnya
Basîth al-hakikah (basîth hakiki) merupakan salah satu kaidah yang mendasar dan utama dalam Hikmah Muta'aliyah. Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini merupakan hal yang baru dalam bidang filsafat dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi aliran filsafat Sadrian. Bunyi kaidah ini adalah, "Basîthul hakikah kullul asy-yâ wa laisa bisyain minhâ" (basîth hakiki adalah segala sesuatu dan ia bukan dari segala sesuatu). Pengertian kaidah ini akan dibahas secara mendetail dan sekaligus akan ditelusuri latar belakang sejarahnya, tapi di bawah ini akan kami paparkan maksud dan maknanya secara global.

Makna kaidah basîth hakiki adalah bahwa ia merupakan segala sesuatu, ia meliputi dan mencakup segala sesuatu, dan ia pun bersama dengan segala sesuatu, tapi ia tidak berasal dari segala sesuatu dan juga bukan segala sesuatu itu sendiri; ini berarti bahwa ia memiliki kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial segala sesuatu, tapi bersih dan suci dari kekurangan, keterbatasan dan determinasi segala sesuatu.

Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini sebagai aspek yang rumit dalam ilmu ketuhanan, karena itu sangat sedikit orang yang dapat memahaminya, dalam al-Asfar ia menuliskan: "Dengan ketentuan Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya yang tinggi dan agung, kami berhasil menemukan suatu argumen transenden (baca: kaidah basîth al-hakikah) untuk menegaskan ketauhidan Wajibul Wujud ...[16]

Menurut Mulla Shadra, kaidah basîth al-hakikah merupakan murni hasil kontemplasi dan pikirannya. Mulla Hadi Sabzwâri juga menambahkan bahwa di antara para filosof terdahulu, hanya Aristoteles yang pernah mengungkapkannya, tapi dalam bentuk yang sangat global.[17]

Dengan demikian telah diketahui bahwa kaidah ini merupakan buah perenungan Mulla Shadra dan bukan pikiran dari filosof-filosof sebelumnya. Mulla Hadi Sabzwâri dalam komentarnya atas al-Asfar menjelaskan secara global bahwa maksud dari kaidah ini adalah kejamakan dalam ketunggalan itu sendiri dan bukan ketunggalan dalam kejamakan. Sebenarnya Mulla Hadi ingin mengisyaratkan bahwa hakikat kandungan kaidah ini - dengan ungkapan-ungkapan yang beragam - dapat ditemukan di dalam karya-karya para urafa sebelum Mulla Shadra dimana juga berkontemplasi tentangnya. Dari perspektif ini, maka kaidah tersebut mempunyai latar belakang sejarah sebelum Mulla Shadra; karena ditemukan dalam karya-karya urafa ungkapan-ungkapan seperti "penyaksian mendetail dalam keuniversalan", "penyaksian universal dalam kemendetailan", dan "kejamakan dalam ketunggalan".

Dalam hal ini, Mulla Shadra tetap memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan para filosof dan pemikir Islam lainnya dalam mengutarakan kaidah basîth al-hakikah; sebab ia mampu mengkonstruksi kaidah ini menjadi sebuah argumentasi filosofis yang dapat diaplikasikan dalam berbagai masalah-masalah di bidang filsafat dan ketuhanan. Dengan perantaraan kaidah ini Mulla Shadra melakukan inovasi baru dalam bidang filsafat, sebagaimana ditegaskan oleh Mulla Hadi Sabzwâri.[18]


Selanjutnya, di bawah ini akan kami utarakan latar belakang sejarah kaidah basîth al-hakikah lewat pendekatan tokoh-tokoh filsafat:

1. Aristoteles
Apakah Aristoteles mengisyaratkan kaidah ini walaupun dalam bentuk yang global? Dan apakah kaidah ini dapat ditemukan dalam karya-karyanya?

Dari ungkapan Mulla Shadra dapat diperoleh gambaran bahwa tak seorangpun yang mendapatkan pengetahuan tentang kaidah basîth al-hakikah kecuali ia; akan tetapi Mulla Hadi Sabzwâri, dalam komentarnya atas al-Asfar, mengklaim bahwa Aristoteles juga mengetahui secara global kaidah tersebut.

Mulla Shadra ,dalam al-Asfar, ketika meneliti ucapan Amirul Mukminin Ali as yang mengatakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an tersimpulkan dalam huruf "bâ"nya Bismillah dan aku adalah titik di bawah huruf bâ", dan ini mengisyaratkan tentang kaidah basîth al-hakikah, lebih lanjut Mulla Sadra mengutarakan bahwa guru filsafat Peripatetik, dalam kitab otsologia-nya, berkata bahwa tunggal (wâhid) murni merupakan sebab segala sesuatu; akan tetapi Dia tidak serupa dengan satupun dari segala sesuatu itu, namun ia adalah Pemula dari segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri, bahkan segala sesuatu itu ada padanya.

Kesalahan penisbahan kaidah ini kepada Aristoteles pada dasarnya dikarenakan kesalahan penisbahan kitab Otsologia kepada Aristoteles, kitab ini bukan karya Aristoteles, tetapi karya Plutin. Aristoteles secara prinsipil tidak memiliki keyakinan terhadap kaidah ini; karena, berdasarkan suatu penelitian yang mendalam, diketahui bahwa kaidah ini secara fundamental tidak sesuai dengan pikiran-pikiran Aristoteles sendiri. Gagasan-gagasan filsafat Aristoteles lebih sesuai dengan kaidah prinsipalitas kuiditas (ashalah al-mahiyah), sementara konsep-konsep filsafat Sadrian berpijak pada teori prinsipalitas wujud (ashalah al-wujud). Dan dalam filsafat Aristoteles kesatuan, komprehensi wujud dan kesempurnaannya merupakan perkara yang non-hakiki dan 'iktibari. Sebaliknya, Mulla Shadra memandang wujud, kesatuan dan kesempurnaan adalah bersifat hakiki dan bukan kuiditas, dengan demikian bisa dikatakan bahwa pemikiran filsafat Mulla Sadra tidak sejalan dengan sebagian konsep dan gagasan filsafat Aristoteles. Sebagai contoh, Aristoteles dalam kitab Metafisikanya, berkata, "Wujud bukanlah genus bagi segala sesuatu dan dalam setiap kategori ia bermakna sesuai dengan kategori itu sendiri."[19]

Oleh karena itu, pemikiran Aristoteles sewarna dengan pemikiran yang memandang bahwa kejamakan dan keragaman sebagai hal yang mendasar dan fundamental, pandangannya lebih berpijak pada prinsipalitas kuiditas. Berdasarkan hal ini, maka mustahil ia sepaham dengan kaidah basîth al-hakikah yang digagas Mulla Sadra dimana berpijak pada teori prinsipalitas eksistensi.


2. Plutin
Mazhab neo Plato berdiri di Iskandariyah dan berasaskan pandangan Plato dan filosof lainnya dari Yunani, Iran, dan India. Mazhab berkembang dan menyempurna ditangan filosof bernama Plutin (203-270 M). Pengajaran-pengajarannya dikumpulkan oleh murid istimewanya bernama Furfriyus, ia menyusun enam kitab dimana setiap kitab terdiri dari sembilan bagian. Satu bagian dari kitab tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang kemudian diberi nama Otsologia. Sebagian filosof Islam keliru memandang bahwa Otsologia itu merupakan karya Aristoteles.

Plutin, dalam kitab Otsologia, melontarkan satu kajian bertemakan: Kausa prima dan segala sesuatu yang terwujud darinya. Dalam pembahasan ini bisa dilihat bagaimana perhatian ia terhadap kaidah basîth al-hakikah. Dan Mulla Shadra salah menganggap bahwa Aristoteles mempunyai perhatian secara global terhadap kaidah ini, sebenarnya yang dimaksud adalah Plutin.

Untuk mengenal lebih dalam pandangan Plutin, kita berupaya mengulas secara singkat beberapa pandangan-pandangannya:

Menurut pandangan Plutin, Tuhan adalah tunggal murni dan sebab segala sesuatu, tetapi tak serupa dengan segala sesuatu itu. Tuhan adalah awal dan permulaan segala sesuatu. Plutin memiliki ungkapan yang dapat ditafsirkan bahwa "tunggal murni adalah segala sesuatu" (segala sesuatu adalah tunggal murni): "Tunggal murni adalah sebab segala sesuatu…tapi Dia sendiri bukan segala sesuatu; akan tetapi segala sesuatu adalah dari-Nya, karena segala sesuatu mendapatkan emanasi dari-Nya dan keberlangsungan eksistensi mereka bergantung pada-Nya serta semuanya kembali kepada Dia."[20]

Lebih lanjut ia mengurai permasalahan dalam bentuk tanya dan jawab, pertanyaannya adalah bagaimana segala sesuatu yang beragam dapat terwujud dari tunggal murni yang basîth dimana tidak memiliki satu dimensi kejamakan? Ia menjawab, sesuatu yang tanpa perantara mendapatkan emanasi dari tunggal murni basîth adalah wujud akal. Kemudian maujud-maujud lainnya yang berada di alam paling tinggi hingga alam paling rendah mendapatkan emanasi dengan perantara wujud akal[21]. Pada hakikatnya, Plutin menjawab pertanyaan itu dengan teori ketunggalan (al-wâhid).

Dengan demikian, ia secara gamblang telah mengungkapkan bahwa "segala sesuatu bersumber dari tunggal murni basîth" dan perhatiannya terhadap aplikasi kaidah basîth al-hakikah.


3. Kaum 'Arif Islam
Mengkaji karya-karya kaum 'arif Islam akan bertemu dengan kenyataan bahwa mereka dalam beberapa pembahasan berpijak pada kaidah tersebut, seperti konsep tentang "penyaksian universal dalam dimensi partikular", "penyaksian partikular dalam universal", "multiplisitas dalam unitas" dan "hakikat Muhammadiyah".

Asytiyânî, dalam Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam Ibnu Arabi, menuliskan: "Kaidah ini sebenarnya juga dijelaskan oleh para urafa Islam dalam karya mereka; akan tetapi karena pandangan para urafa ini tentang kesatuan wujud individual (wahdah asy-syakhshi) dalam wujud, maka mereka, karena situasi dan kondisi, sementara mengikuti pandangan Aristoteles dalam menjabarkan berbagai permasalahan filsafat. Sesungguhnya para urafa mendapatkan ilham tentang kaidah ini dalam kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi saw.[22]

Doktor Syahâbi, dalam kitab an-Nazharah ad-Daqîqah fî Qâidah Basîth al-Hakikah, mengutarakan sebagian riwayat yang menunjukkan kandungan kaidah tersebut.[23] Substansi kaidah ini adalah bahwa dzat basîth Tuhan meliputi seluruh hakikat-hakikat eksistensi, para 'urafa mengungkapkan bahwa "Tak ada sesuatupun yang keluar dari cakupan wujud-Nya. Kaidah ini sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi, "Dia Maha Perkasa atas hamba-Nya"[24] dan "Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu"[25]. Ahli irfan juga memiliki gagasan bahwa "Dia lah yang tampak dan Dia pulalah penampakan itu sendiri ", hal ini sesuai dengan firman Tuhan: "Dia adalah yang awal dan yang akhir serta yang lahir dan yang batin"[26].

Menurut urafa Islam, maujud pertama yang teremanasi dari dzat Tuhan adalah ruh Muhammad, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: "Yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku", ruh Muhammad ini dikenal dikalangan filosof dengan akal pertama. Jadi hakikat Muhammad ini merupakan emanasi pertama Tuhan dalam penciptaan. Akal pertama ini sebagai perantara emanasi maujud-maujud lainnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam tipologi irfan teoritis Islam hakikat Muhammad adalah segala sesuatu itu sendiri, yakni ia memiliki seluruh kesempurnaan maujud-maujud yang berada di bawahnya dalam bentuk yang lebih sempurna.

Dengan demikian, hakikat Muhammad adalah manifestasi sempurna nama-nama Tuhan dan sekaligus menjadi wadah tajalli seluruh nama Tuhan itu di alam penciptaan.

Oleh sebab itu, tidak diragukan jika urafa Islam dalam menguraikan masalah-masalah irfan bersandar pada kaidah basîth al-hakikah, kendatipun mereka tidak mengungkapkannya dalam bentuk satu kaidah tersendiri yang argumentatif.


4. Filosof Islam
Salah satu inti persoalan dalam filsafat ketuhanan yang dibahas serius oleh para filosof, urafa, dan teolog adalah masalah ilmu Tuhan terhadap seluruh maujud sebelum dan sesudah penciptaan dan bagaimana ilmu Tuhan berkaitan dengan partikular-partikular dan universal-universal dalam dzat-Nya. Mulla Shadra menjelaskan ilmu Tuhan dengan menggunakan kaidah basîth al-hakikah. Para filosof sebelumnya, jika mereka memahami kaidah ini, niscaya menafsirkan ilmu Tuhan juga dengan kaidah tersebut; sebagaimana urafa Islam menjelaskan ilmu Tuhan memanfaatkan kaidah ini.

Seluruh filosof Islam – baik dari mazhab Peripatetik maupun dari mazhab Iluminasi - sepakat tentang ke-basîth-an dzat Wajibul Wujud dan mengkonstruksi dalil untuk menegaskan ke-basîth-an dzat-Nya, juga secara detail membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Dengan demikian, apakah dapat diklaim bahwa mereka juga memahami kandungan kaidah basîth al-hakikah?

Abu Nashr Muhammad Farabi (wafat 339 H) pendiri filsafat Islam mazhab Peripatetik, dalam kitab Fushush al-Hikam tentang metafisika dan tauhid, menjelasan tentang ilmu Wajibul Wujud terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Tanpa bermaksud meneliti konsep Farabi tentang ilmu Tuhan secara mendetail, kami mengutip pandangannya di pasal tujuh puluh dari kitab tersebut dimana membahas tentang ilmu Tuhan, berkata: "Jika Tuhan ditinjau dari dzat dan sifat-sifat-Nya maka segala sesuatu berada dalam satu kesatuan. Maka dari itu, segala sesuatu adalah sama dalam kodrat dan ilmu-Nya. Kodrat dan ilmu Tuhan sebagai hakikat keseluruhan yang tetap. Oleh karena itu, Tuhan dari sisi sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan berada di atas keseluruhan, sementara kesatuan dzat-Nya meliputi sifat-sifat tersebut."[27]

Menurut pandangan Farabi, sifat-sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan sisi lain dzat-Nya meliputi sifat-sifat-Nya. Konklusinya adalah dzat-Nya yang meliputi segala sesuatu; dengan makna bahwa segala sesuatu "terkumpul" dalam dzat-Nya dan tanpa ada kekosongan atas kesatuan dzat-Nya.[28]

Demikian pula Farabi, dalam risalah Fî al-ilmi al-Ilâhi, menisbahkan segala sesuatu dan keseluruhan kepada akal. Menurut ia, akal adalah segala sesuatu dan segala sesuatu itu ada padanya; ini sebagaimana keyakinan Plutin terhadap gagasan ini. Farabi berkata, "Akal universal meliputi seluruh potensi segala sesuatu, seperti meliputinya panca indra atas gambaran-gambaran dan mencakupnya keseluruhan atas bagian-bagian".[29]

Farabi dalam kitab tersebut mengungkapkan pandangan tentang ke-basîth-an tunggal murni dan berpandangan bahwa Dia adalah Pelaku Pertama di atas segala substansi dan di atas potensi segala sesuatu. Dia adalah paling awal dan hadir dengan segala sesuatu, akan tetapi segala sesuatu tidak terwujud pada-Nya.[30]

Dengan observasi singkat terhadap karya Farabi ini, maka bisa diklaim bahwa ia memahami kaidah basîth al-hakikah, kendatipun tak sesempurna pemahaman Mulla Shadra tentangnya.

Ibnu Sina, dalam karya-karyanya seperti Ilâhiyyât asy-syifa, membahas tauhid, ke-basîth-an dzat Tuhan, kesucian-Nya dari kuiditas, kebaikan murni, dan kesempurnaan mutlak Wajibul Wujud. Konklusi pembahasan adalah terdapat ungkapan yang dapat ditafsirkan sebagai kandungan dari kaidah basîth al-hakikah, dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kuiditas, kualitas, kuantitas, genus, dan…tidak memiliki sekutu, lawan, batasan, dan penjelas, tetapi Dia adalah penjelas segala sesuatu, maka dari itu, segala sesuatu bersumber dari-Nya dan Dia tidak bersekutu dengan mereka satupun. Dia adalah permulaan (mabda) segala sesuatu, sedangkan Dia tidak serupa dengan mereka.[31]

Dari ungkapan di atas dapat ditafsirkan dan diarahkan kepada kaidah basîth al-hakikah bahwa Tuhan adalah segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri dari mereka dalam.

Demikian pula Ibnu Sina menguraikan ilmu Wajibul Wujud terhadap segala sesuatu dimana kemudian Syekh Isyrâq dan Mulla Shadra juga mengkaji masalah tersebut. Menurut pandangan Ibnu Sina, ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu adalah dalam bentuk akal basîth.[32]

Jika pandangan Ibnu Sina bahwa ilmu Tuhan diposisikan sebagai akal basîth, maka hal ini mungkin mengilhami Mulla Shadra dan berpandangan bahwa Wajibul Wujud dalam tataran dzat memiliki ilmu terhadap segala sesuatu dimana hal tidak berefek pada kejamakan dzat-Nya.[33] Ibnu Sina memandang bahwa karena Tuhan adalah akal basîth, maka Tuhan mengetahui segala sesuatu dalam bentuk yang basîth dan universal, tanpa membuat dzat-Nya menjadi jamak.[34]

Penjelasan Ibnu Sina di atas mungkin dapat dipandang dekat dengan konsep irfan tentang multiplisitas dalam unitas dimana pandangan irfan ini sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah. Yang pasti bahwa Ibnu Sina secara tegas tidak pernah mengungkapkan tentang teori basîth al-hakikah, dan apa yang disebutkan di atas hanya berupa tafsiran atas ungkapan-ungkapan Ibnu sina.[35]

Gagasan Syekh Syihabuddin Suhrawardi (945-987 H) bahwa Tuhan adalah sumber segala cahaya-cahaya dan Dia adalah Cahaya di atas cahaya-cahaya. Konsep ini memecahkan kerumitan tentang ilmu Tuhan dengan metode iluminasi. Ia, dalam kitab Hikmah al-Isyrâq, berkata, "Tuhan adalah Cahayanya segala cahaya, ini berarti bahwa Dia cahaya bagi diri-Nya sendiri dan mencahayai selain-Nya, dan tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari ilmu-Nya.[36]

Selain ungkapannya yang disebutkan di atas, tidak ditemukan ungkapan-ungkapan lain dalam kitab Hikmah al-Isyrâq dan karya-karyanya yang lain yang sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah.

Mir Dâmâd, dalam kitab Ufuq al-Mubîn, mengungkapkan tentang peliputan Tuhan atas segala sesuatu. Menurutnya, Wajibul Wujud secara esensial adalah tunggal dan basîth al-hakikah dari seluruh dimensi serta dzat-Nya tidak mungkin dapat diurai menjadi dimensi-dimensi yang beragam. Seluruh dimensi sifat pensucian harus mengandung satu dimensi keagungan dan kesucian, dimana pada hakikatnya satu dimensi ini mencakup seluruh dimensi kesempurnaan. Dimensi kesempurnaan ini tidak lain adalah dimensi keniscayaan eksistensial Tuhan.[37]

Dengan memperhatikan semua penjelasan di atas, diketahui bahwa meskipun sebagian filosof, seperti Plutin, Farabi dan urafa Islam memahami substansi kaidah basîth al-hakikah, akan tetapi yang menjadikan kaidah ini sebagai suatu prinsip universal dalam bidang filsafat adalah filosof agung Mulla Shadra.[]


Catatan Kaki:
[1] . Mulla Shadra, Al-Asfar jld.6, Hal.257.

[2] . Fakhrurrâzi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld.1, hal. 51.

[3] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal.155-156.

[4] . Muhammad Taqi Mishbah, catatan kaki Nihâyah al-Hikmah, hal. 408.

[5] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal. 104.

[6] . Fakhrurrazi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld. 1, hal. 56-58.

[7] . Mulla Abdullah Zanuzi, Luma'ât al-Ilahiyyah, hal. 97-99.

[8] . Ibnu Sina, Isyârât, jld.2, hal. 107-108.

[9] . Seperti wujud manusia di alam luar yang tersusun dari badan (materi) dan jiwa (forma), sementara kuiditas manusia di alam pikiran tersusun dari hewan (genus) dan berpikir (diferensia).

[10] . Doktor Ali Ashgar Zakawi, Basith al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 130.

[11] . Shadruddin Syirâzi, Al-Asfar, jld.1, hal. 187.

[12] . Quthubuddin Syirazi, Syarh Hikmah al-Isyrâq, Hal.245.

[13] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 7, hal. 334.

[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 103.

[15] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 2, hal. 28.

[16] . Shadruddin Syirazi, Al-Asfar, jld. 1, hal. 135.

[17] . Ibid, catatan kaki Hakim Sabzwâri, hal.111.

[18] . Catatan kaki Hakim Sabzwari, Al-Asfar Jld. 6, Hal.111.

[19] . Ali Ashgar Zakawi, Basith Al-hakikah Az Didgoh Mulla Shadra, Hal. 146.

[20] . Plutin, Otsologia, hal. 134.

[21] . Ibid.

[22] . Sayyid Jalaluddin Asytiyâni, Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam, hal. 173 dan 174.

[23] . Mahmud, Syahâbi, an-Nazharah ad-Daqîqah, hal. 87, 125 dan 131.

[24] . Q.S: al-An'am: 18.

[25] . Q.S: al-Fusshilat: 54.

[26] . Q.S: al-Hadid: 3.

[27] . Hasan Zadeh Amuly, Fushush al-Hikam bar Fushush al-Hikam Farabi, hal. 534.

[28] . Ibid, hal. 534-539.

[29] . Farabi, Risalah fî al-Ilm al-Ilâhi, hal. 168 dan 169.

[30] . Ibid, hal. 178-180.

[31] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât as-Syifa, hal. 379.

[32] . Ibid. Hal. 389.

[33] . Murtadha Muthahari, Majmu' A^tsâr, Jld. 8, Hal. 338-340.

[34] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât as-Sifa, Hal. 389.

[35] . Ali Ashgar Zakawi, Basith Al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 162.

[36] . Suhrawardi, Hikmah Al-Isyrâq, Hal. 150.

[37] . Mir Dâmâd, Ufuq Al-Mubîn (dengan nukilan dari: Syahâbi, Mahmud, An-Nazharah ad-Daqîqah, Hal. 140).



23
Seri Argumen Filosofis dalam Membuktikan Wujud Tuhan

Kaidah Basithatul Haqiqah [14]

Bagian Terakhir

Penegasan Ke-basîth-an Wâjib al-Wujûd

Apakah hakikat Wâjib al-Wujûd[1] adalah basîth? Bagaimana hubungan antara ke-basîth-an dan wujud?
Mulla Shadra, dalam jilid pertama kitab Asfar, menguraikan pembahasan yang cukup mendetail tentang penetapan ke-basîth-an hakikat wujud. Menurutnya, jika hakikat wujud tidak basîth, yakni terangkap dari genus (jins) dan diferensia (fashl), maka genusnya adalah wujud atau sesuatu non-wujud, sementara tidak ada sesuatu selain wujud. Karena kedua premis tersebut adalah batil maka asumsipun menjadi salah. Dan sebagai konklusi, hakikat wujud adalah suatu hakikat yang basîth dan tak berangkap.

Dengan membuktikan bahwa hakikat wujud adalah basîth dan tak terangkap dari genus dan diferensia, maka asumsi rangkapan hakikat wujud dari materi dan forma serta seluruh hukum kuiditas, seperti hukum-hukum yang berhubungan dengan kuantitas dan kualitas, dengan sendirinya menjadi ternafikan; yakni wujud tidak memiliki bagian-bagian kuantitas seperti seperdua dan sepertiga; sebab sesuatu yang menerima pembagian maka ia adalah kuantitas dan setiap sesuatu yang kuantitas mesti memiliki genus dan diferensia, dan sesuatu yang mempunyai genus dan diferensia niscaya tergolong kuiditas. Jika ada sesuatu yang tidak memiliki kuiditas (mahiyah), maka sebagaimana ia tidak memiliki bagian-bagian di alam pikiran dan di alam eksternal, ia juga tidak akan memiliki bagian-bagian kuantitas. Dengan demikian, karena wujud tidak memiliki genus dan diferensia, maka wujud tidak mempunyai batasan dan definisi. Wujud tidak bisa didefinisikan.[2]

Ke-basîth-an, merupakan kesempurnaan wujud. Sebagaimana wujud itu sendiri bergradasi (tasykîk), maka derajat paling tinggi adalah wujud yang paling sempurna, dan wujud yang paling sempurna ini hanya mempunyai satu individu, yaitu Wâjib al-Wujûd yang merupakan hakikat basîth dengan seluruh pengertian.

Kaidah basîth al-hakikah secara mendasar diaplikasikan terhadap dzat Tuhan dan penjelasan atas ilmu-Nya. Mulla Shadra sebelum menjelaskan kandungan kaidah ini secara argumentatif, ia terlebih dahulu mengkonstruksi argumen pembuktian ke-basîth-an hakikat Wâjib al-Wujûd dari berbagai sisi. Ia membawakan dalil-dalil yang cukup untuk menegasikan setiap bentuk komposisi pada dzat Tuhan, baik komposisi rasional (di alam pikiran) dan eksternal, maupun komposisi batasan dan kuantitas. Selanjutnya ia juga berupaya mengkonstruksi argumen untuk menafikan Tuhan dari komposisi kekurangan dan kepemilikan (negasi dan afirmasi).[3]

Kendatipun filosof sebelumnya, baik dari maktab Peripatetik maupun Iluminasi, semua sepakat dan berargumen tentang ketunggalan dan ke-basîth-an dzat Tuhan, tetapi untuk menjauhi pembahasan yang panjang dalam tulisan ini, maka kami hanya memuat argumen dan pandangan Mulla Shadra tentangnya. Argumen-argumennya akan mengungkap secara gamblang dan jelas tentang ke-basîth-an hakikat dzat Tuhan, argumennya akan menjadi premis minor dalam proposisi yang menetapkan kaidah basîth al-hakikah.

Setelah membahas dan membuktikan eksistensi dzat Wâjib al-Wujûd dan ketauhidan dzsat-Nya, kemudian meneliti tentang ke-basîth-an dan ketunggalan dzat-Nya serta menegasikan setiap bentuk multiplisitas dzat-Nya. Menurut perspektif filsafat Mulla Shadra, multiplisitas mempunyai dua makna:

1. Multiplisitas internal, yakni multiplisitas dalam dzat, dan keniscayaan multiplisitas ini adalah hadirnya komposisi dalam dzat.

2. Multplisitas eksternal, dan keniscayaannya adalah kejamakan dzat.

Adapun yang menjadi tinjauan kita di sini adalah penegasian multiplisitas internal, yakni penegasian berbagai macam komposisi dalam dzat.


Shadru al-Mutaallihin menjelaskan secara sistematis argumen-argumen yang berhubungan dengan hal tersebut sebagai berikut:

1. Argumen Pertama
Jika dzat Wâjib al-Wujûd memiliki bagian, maka keberadaan bagian itu mesti mendahului dzat-Nya dan juga keberadaan dan keaktualan dzat Wâjib al-Wujûd mesti bergantung pada bagian-bagian-Nya; karena keterdahuluan keberadaan suatu bagian atas keseluruhan adalah badihi dan swa-bukti, karena keseluruhan itu, dalam keberwujudan dan keaktualannya, niscaya bergantung pada bagian-bagiannya. Dengan demikian, kebergantungan eksistensi Wâjib al-Wujûd atas bagian-bagian tersebut adalah mustahil, karena hanya maujud-maujud kontingen (mumkin al-wujûd) yang secara esensial membutuhkan bagian-bagian dimana dengan mengaktualnya bagian-bagian itu, merekapun menjadi aktual.

Di akhir burhan ini Mulla Shadra mengingatkan bahwa argumen ini tidak cukup untuk menegasikan bagian-bagian kuantitas, karena bagian-bagian kuantitas itu hanyalah bersifat potensi dan bukan bersifat aktual, dan menisbahkan bagian-bagian pada kuantitas tidak lain adalah suatu bentuk kompromi.[4]


2. Argumen Kedua
Jika dzat Wâjib al-Wujûd terkomposisi dari bagian-bagian, maka hal itu tidak lepas dari tiga kondisi dan asumsi:

1. Seluruh bagian-bagian itu adalah Wâjib al-Wujûd;

2. Sebagian dari bagian-bagian itu adalah Wâjib al-Wujûd dan sebagian yang lain adalah mumkin al-wujûd;

3. Seluruh bagian-bagian itu adalah mumkin al-wujûd.

Mulla Shadra membatalkan semua asumsi di atas dengan cara menafikan dan menolak konsekuensi logis dari proposisi yang dibangun dari tiga asumsi tersebut. Adapun penegasian dan penolakan ketiga asumsi di atas adalah sebagai berikut:

Asumsi pertama adalah batil dan mustahil, karena apabila seluruh bagian-bagian pembentuk dzat-Nya adalah Wâjib al-Wujûd, maka hal ini menyalahi kaidah bahwa hanya ada satu maujud yang tunggal secara hakiki, karena kesatuan identik dengan wujud dan wujud ekuivalen dengan ketunggalan, tiada wujud lain selain wujud itu sendiri, wujud itu hanya tunggal dan satu. Jika untuk "kesatuan hakiki" diasumsikan bagian-bagian padanya, mesti di antara bagian-bagian itu terdapat hubungan kebutuhan esensial satu sama lain; karena keberangkapan satu individu hakiki mustahil lahir dari bagian-bagian yang saling berlawanan dan tidak membutuhkan satu sama lain. Sebagai konklusi, jika hakikat Wâjib al-Wujûd terangkap dari dua Wâjib al-Wujûd, maka di antara kedua wujud tersebut mesti terdapat saling membutuhkan, saling bergantung, dan saling berhubungan, dan semua kemestian ini bagi dzat Wâjib al-Wujûd adalah mustahil; karena pada satu sisi masing-masing dari kedua bagian dzat itu adalah Wâjib al-Wujûd[5] dan pada sisi yang lain adalah mumkin al-wujûd[6], dan ini adalah kontradiksi yang nyata.

Dengan kata lain, jika semua bagian pembentuk Wâjib al-Wujûd adalah Wâjib al-Wujûd maka di antara dua bagian pembentuk itu akan terjadi hubungan yang bersifat mungkin (imkan bil-qiyâs, possibility in relation) dan hal ini mencegah bagian-bagian tersebut menjadi bagian-bagian hakiki dari satu komposisi hakiki.

Adapun asumsi kedua adalah mustahil, karena jika sebagian dari bagian-bagian itu adalah Wâjib al-Wujûd dan sebagian lainnya adalah mumkin al-wujûd, maka meniscayakan Wâjib al-Wujûd membutuhkan mumkin al-wujûd, dan hal ini tidak sesuai dengan hakikat Wâjib al-Wujûd.

Sementara asumsi ketiga adalah juga mustahil, karena bagaimana mungkin Wâjib al-Wujûd terwujud dari bagian-bagian yang mumkin al-wujûd.[7]

Dengan mustahilnya ketiga bentuk asumsi tersebut, maka secara logikal proposisi itu pun menjadi batil, dan sebagai konklusi dzat Wâjib al-Wujûd tidak terangkap dari bagian-bagian.


3. Argumen Ketiga
Dalam pembahasan yang berhubungan dengan pembuktian Wâjib al-Wujûd, telah disuguhkan argumen bahwa hakikat Wâjib al- Wujûd adalah eksistensi murni. Dari tinjauan ini, maka Dia tidak memiliki mahiyah dan tidak dapat dikonsepsi batasan bagi Wâjib al-Wujûd. Oleh karena itu, Dia tidak memiliki bagian-bagian batasan, rasional (genus dan diferensia), dan eksternal (materi dan forma), karena materi itu tidak lain adalah genus[8] dan forma juga tidak lain adalah diferensia[9]. Mulla Shadra dalam hal ini berkata, "Wâjib al-Wujûd tidak mempunyai bagian-bagian rasional dan sesuatu yang ternegasikan dari bagian-bagian ini, mesti juga ternegasikan dari bagian-bagian eksternal; karena setiap sesuatu yang basîth pada tataran alam pikiran, niscaya juga basîth di alam eksternal, tapi tidak sebaliknya."[10]

Selanjutnya untuk menegasikan bagian-bagian rasional dari Tuhan, maka dalilnya adalah jika dzat Tuhan memilki genus dan diferensia, maka genus dalam keberwujudan dan keaktualannya mesti membutuhkan diferensia. Jika demikian, apakah genus tersebut adalah wujud murni ataukah suatu mahiyah. Kalau genus adalah wujud murni, maka ia tidak memerlukan lagi diferensia sebagai pemberi wujud, karena wujud murni identik dengan keberwujudan dan keaktualan itu sendiri. Sedangkan apabila genus adalah mahiyah, maka niscaya Wâjib al-Wujûd memiliki mahiyah, padahal Wâjib al-Wujûd secara esensial adalah identik dengan wujud dan tidak mempunyai mahiyah.[11]

Ketiga argumen di atas, tidak cukup menafikan bagian-bagian kuantitas dari dzat Wâjib al-Wujûd. Maka dari itu, Mulla Shadra mengkonstruksi dua dalil lain untuk menafikan bagian-bagian kuantitas dari dzat-Nya. Ringkasan kedua argumen Mulla Sadra adalah jika dalam dzat Wâjib al-Wujûd terdapat bagian kuantitas –sebagaimana keyakinan kaum antrophormisme (memandang Tuhan memiliki bentuk) - maka apakah bagian tersebut adalah mumkin al-wujûd, jika demikian maka menyalahi hakikat Wâjib al-Wujûd, dan ini adalah mustahil. Ataukah bagian tersebut adalah juga Wâjib al-Wujûd, kalau demikian maka meniscayakan bahwa Wâjib al-Wujûd secara esensial tidak aktual dan tidak maujud, tetapi maujud secara potensial; karena bagian-bagian kuantitas adalah bersifat potensial dan tidak aktual, maka hal inipun menjadi mustahil.

Karena kedua asumsi tersebut adalah batal, maka semua bangunan argumentasi juga batal. Dengan demikian, dzat Tuhan suci dari bagian-bagian kuantitas dan bagian-bagian yang bersifat potensial.[12]

Basîth hakiki juga tidak memiliki bagian-bagian analitik, yakni tidak terkomposisi dari wujud dan mahiyah. Para filosof Islam mengkonstruksi argumen-argumen yang menegasikan mahiyah dari dzat Tuhan dan membuktikan kemurnian dan kesejatian wujud-Nya. Ibnu Sina, dalam kitab Ilâhiyâh as-Syifâ, mengemukakan dua burhan untuk menafikan mahiyah dari dzat Tuhan, salah satu burhannya dalam bentuk sebagai berikut:

Mukadimah pertama: Jika Wâjib al-Wujûd memiliki mahiyah, maka wujud-Nya mesti bersifat aksiden atas mahiyah-Nya, karena wujud adalah identik dengan keniscayaan mengada dan mahiyah adalah bukan keniscayaan mengada, disamping itu sesuatu yang aksiden niscaya membutuhkan sebab.

Mukadimah kedua: Apakah sebab (pemberi wujud) adalah dzat-Nya itu sendiri ataukah di luar dzat-Nya. Jika sebab itu di luar dzat-Nya, maka dzat-Nya adalah bukan Wâjib al-Wujûd, tetapi mumkin al- wujûd, dengan demikian dia bukanlah Wâjib al-Wujûd hakiki, oleh karena itu adalah mustahil. Adapun jika sebab itu adalah mahiyah dari dzat-Nya sendiri, yakni mahiyah ingin memberikan wujud pada diri-Nya sendiri, maka mahiyah harus terwujud sebelum wujud itu sendiri. Karena keberadaan mahiyah sebelum dan sesudahnya adalah sama, dan pada saat yang sama ia mesti memberikan wujud pada selainnya, maka kondisi ini meniscayakan keterdahuluan wujud sesuatu atas dirinya sendiri (taqaddum as-syai 'alâ nafsihî).

Jika dikatakan bahwa mahiyah, sebelum dan sesudah mengada, mewujudkan selain wujud pertama, maka apabila kita terus mengkaji wujud lainnya, wujud ini juga bersifat aksiden atas mahiyah dan merupakan akibat mahiyah. Pada wujud lain ini, kita kembali bertanya: Apa sebab wujud ini? Apakah mahiyah ataukah bukan? Selain mahiyah adalah mustahil, tapi kalau mahiyah adalah sebab wujud ini, maka mesti sebelum wujud ini, terdapat wujud yang lain. Rangkaian pertanyaan-pertanyaan ini akan terus berlangsung tan-batas, dan hal ini adalah mustahil karena meniscayakan tasalsul[13]. Dengan demikian, terbukti bahwa dzat Wâjib al-Wujûd tidak memiliki mahiyah. Setelah Ibnu Sina mengkonstruksi dua burhan yang menafikan mahiyah dari dzat Wâjib al-Wujûd, ia berkata, "Maka dari itu, Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Tinggi tidak mempunyai mahiyah. Dia adalah wujud murni dan mujarrad."[14]

Mulla Shadra, dalam kitab Asfar jilid ketujuh, mengungkapkan argumen atas masalah ini, argumennya mirip dengan burhan Syaikh Isyrâq Suhrawardi. Berikut ini penjelasan burhan Mulla Shadra: Jika dalam Wâjib al-Wujûd, wujud bersifat aksiden atas mahiyah, maka mahiyah ini mesti berada dalam salah satu kategori mahiyah dan secara determinan berada di bawah kategori substansi, bukan berada di bawah kategori-kategori aksiden. Karena esensi keberadaan kategori-kategori aksiden bergantung kepada selainnya, maka mustahil Tuhan memiliki mahiyah. Apabila mahiyah ini dikategorikan sebagai substansi, maka ia adalah genus, dan sebagai genus ia berada dalam spesis-spesis yang beragam (yakni semua spesis yang beragam itu memiliki genus yang sama). Supaya mahiyah ini berspesis tersendiri, maka mesti membutuhkan diferensia (karena diferensia sebagai pembeda spesis-spesis), dengan demikian mahiyah ini memerlukan sesuatu yang dapat menjadikannya berbeda dengan yang lain (partikular).

Demikian juga spesis-spesis substansial membutuhkan pembeda untuk membedakannya dengan yang lain. Ketika spesis-spesis yang berada di bawah satu genus itu memiliki sifat butuh dan imkan, maka genus itupun memiliki sifat ini; karena jika sifat imkan ini tidak dimiliki genus, maka niscaya sifat ini juga tidak dimiliki spesis-spesis yang berada di bawahnya. Dari sisi ini, maka tak satupun dari spesis-spesis di bawahnya adalah mumkin al-wujûd (wujud kontingen); sebagai contoh, sifat kebatuan tidak dimiliki genus hewan, maka spesis-spesis di bawahnya seperti manusia, kerbau, harimau, buaya dan kambing juga juga tidak memilikinya. Oleh karena itu, secara universal apa yang tidak terdapat pada genus – yang bagi dzatnya adalah esensial dan bukan bersifat aksiden - maka juga tidak terdapat pada spesis-spesis yang berada di bawahnya.

Dengan memperhatikan kaidah itu, jika Wâjib al-Wujûd -ditinjau dari mahiyah-Nya - termasuk kategori substansi (sebagai salah satu dari spesis-spesis kategori ini dimana Dia adalah induk semua genus), dan karena kategori ini adalah genus yang mempunyai sifat imkan dan butuh, maka Wâjib al-Wujûd yang merupakan genus niscaya mempunyai sifat butuh dan imkan (kontingen). Dengan demikian, Wâjib al-Wujûd ini pada hakikatnya adalah bukan Wajib al-Wujûd, tetapi adalah mumkin al-wujûd, dan ini adalah kemustahilan yang nyata.

Setelah jelas bahwa keberadaan Wâjib al-Wujûd di bawah suatu kategori adalah mustahil, maka disimpulkan bahwa Wâjib al-Wujûd mustahil mempunyai mahiyah, Dia adalah wujud murni dan sejati serta suci dari berbagai sifat imkan dan butuh.[15]

Oleh karena itu, dengan memperhatikan dalil dan argumen yang telah disebutkan, dzat Wajib al-Wujud suci dari spesis-spesis komposisi, hatta komposisi dari wujud dan mahiyah. Dengan demikian basîth hakiki dan wujud murni, tidak akan tersentuh sedikitpun suatu bentuk multiplisitas esensi.


Pembuktian Kaidah Basîth Al-Hakikah

Argumen Pertama
Argumen pertama yang diungkapkan Mulla Shadra adalah menetapkan bahwa hanya Wâjib al-Wujûd yang merupakan individu basîth al-hakikah kullu al-asyyâ, "Tuhan dari seluruh aspek adalah basîth al-hakikah dan tunggal. Setiap basîth al-hakikah merupakan segala sesuatu yang meliputi wujud dan kesempurnaannya, kecuali yang berhubungan dengan dimensi kekurangan dan ketiadaan. Maka dari itu, Tuhan adalah meliputi segala sesuatu yang berwujud, sebagaimana segala wujud adalah Dia (Dia adalah wujud itu sendiri).”[16]

Karena Tuhan dalam realitas ke-basîth-an merupakan seluruh wujud, maka segala kesempurnaan-kesempurnaan sesuatu ada pada-Nya dan dari sisi wujud dan ilmu-Nya meliputi totalitas eksistensi.

Sebelum mengobservasi burhan Mulla Sadra ini, ada baiknya kami ungkapkan penjelasan Hakim Sabzewari mengenai kaidah basîth al-hakikah, menurutnya, kandungan kaidah ini tidak lain adalah kejamakan dalam ketunggalan (multiplisitas dalam unitas); yakni suatu tingkatan wujud yang pada hakikatnya adalah tunggal, basîth, meliputi seluruh wujud, dan mencakup seluruh kesempurnaan maujud. Kandungan kaidah basîth al-hakikah tidak berkenaan dengan “ketunggalan dalam kejamakan”, sebagaimana sebagian mereka menyangka demikian ini dan melontarkan kritikan bahwa kaidah basîth al-hakikah akan meniscayakan bahwa batu, kayu, manusia dan segala sesuatu adalah Wâjib al-Wujûd. Mereka telah terperangkap dengan imajinasi yang terbalik dari kaidah ini dan memandang bahwa segala sesuatu adalah basîth al-hakikah. Mereka tidak memperhatikan bahwa basîth al-hakikah adalah segala sesuatu pada dataran ilmu hudhuri 'inâî (foreknowledge) dimana hanya berlaku pada dzat ahadiyah; adapun ketunggalan dalam kejamakan berada pada alam penciptaan (faidh muqaddas) dimana rahmat Tuhan meliputi segala sesuatu (makhluk-Nya).[17]

Sekarang kita meninjau dan mengkaji premis minor dan premis mayor dari argumen Mulla Shadra:

Penjelasan premis minor: Pada mukadimah (premis) pertama diungkapkan ke-basîth-an dzat Tuhan itu sendiri, dimana sebelumnya telah dijelaskan dan dibuktikan bahwa Wâjib al-Wujûd adalah suci dari segala bentuk komposisi dan rangkapan, karena itu Dia adalah basîth al-hakikah.

Penjelasan premis mayor: Mulla Shadra untuk menetapkan premis (mukadimah) mayor menyatakan bahwa jika basîth al-hakikah bukan segala sesuatu, maka niscaya dzatnya terkomposisi dan terangkap dari wujud dan ketiadaan, sedangkan asumsi kita bahwa Dia adalah basîth, dan keterangkapan dzat-Nya adalah menyalahi asumsi. Dengan ungkapan lain, jika basîth al-hakikah bukan segala sesuatu, maka mesti terangkap. Mulla Shadra dalam membuktikan klaim ini, menjelaskan bahwa jika basîth al-hakikah bukan segala sesuatu, tetapi hanya meliputi sebagian sesuatu, maka dzat-Nya terdiri dari dua sisi: satu sisi memiliki sesuatu dan sisi lain tidak memiliki sesuatu. Misalnya, jika basîth al-hakikah adalah A dan bukan B, maka Dia memiliki dua sisi: sisi ke-A-an dan sisi ketak-B-an. Sisi pertama tidak identik dengan sisi kedua; karena kalau tidak demikian, maka komprehensi dan pemahaman ke-A-an dengan komprehensi ketak-B-an adalah sama, dan hal ini adalah mustahil; maka dari itu, dua komprehensi ini adalah berbeda, dan menyatunya ada dan tiada adalah suatu hal yang mustahil. Sesuatu yang sisinya adalah tunggal, mustahil menjadi sumber dua komprehensi ada dan tiada; karena ada dan tiada merupakan kontradiksi satu sama lain dan dari sudut logikal, dua perkara yang berkontradiksi mustahil dibenarkan dari satu sisi terhadap sisi yang lain.[18]

Oleh karena itu, dari segi keniscayaan bahwa basîth al-hakikah adalah A dan bukan B, maka secara rasional adalah mustahil terangkapnya basîth al-hakikah dari dua sisi yang berbeda dan menyatunya dua sisi wujud dan ketiadaan. Yakni basîth al-hakikah mustahil hanya A dan bukan B, maka dari itu terbuktilah bahwa basîth al-hakikah adalah segala sesuatu.


Argumen Kedua
Mulla Shadra mengutarakan argumen lain dalam menetapkan kaidah basîth al-hakikah dengan menggunakan istilah mutlak dan bersyarat, istilah ini masyhur dikalangan para sufi Islam. Sedangkan dua kata ini dalam pandangan filosof, hanya digunakan dalam komprehensi-komprehensi mental, sementara para sufi mengaplikasikannya pada maujud-maujud eksternal. Menurut para sufi, wujud mutlak adalah suatu wujud yang tidak dibatasi oleh sesuatu tertentu dan tidak pula dibatasi dengan suatu batasan khusus; seperti manusia di alam luar – bukan komprehensi rasional dan mentalnya - dan yang dimaksud batasan di sini tidak lain adalah ketaksempurnaan itu sendiri. Maka dari itu, wujud mutlak adalah hakikat luar yang tidak terbatas, sedangkan wujud bersyarat (muqayyad) adalah hakikat luar yang terbatas dan tak sempurna.

Berdasarkan definisi di atas, wujud mutlak mesti merupakan wujud yang paling basîth dan meliputi segala sesuatu; karena jika wujud ini tidak mencakup seluruh gradasi-gradasi wujud, maka ia bukanlah wujud mutlak, tapi wujud bersyarat. Dengan demikian, wujud mutlak adalah segala sesuatu. Rahasia wujud mutlak yang meliputi segala sesuatu adalah karena wujud mutlak tidak memiliki sedikitpun kekurangan dan keterbatasan. Dia merupakan Sebab Pertama dan Sumber segala kesempurnaan bagi wujud bersyarat. Dan Sumber kesempurnaan lebih utama daripada efek-efek kesempurnaanya; karena pemberi kesempurnaan mesti memiliki kesempurnaan itu. Dengan menyatukan semua proposisi tersebut (yakni Wujud Mutlak sebagai Sebab pertama, Pelaku dan Sumber keberadaan dan kesempurnaan bagi wujud bersyarat, dan Sumber wujud dan kesempurnaannya lebih utama daripada efek-efeknya) bisa disimpulkan bahwa setiap Pelaku dan Sebab Pertama merupakan sumber emanasi seluruh kesempurnaan dan kebaikan, dan Dia memiliki kesempurnaan dan kebaikan itu dalam bentuk yang lebih tinggi dan lebih utama. Wujud Mutlak merupakan Sumber eksistensi dan kesempurnaan seluruh wujud bersyarat, oleh karena itu, Dia mesti meliputi segala sesuatu, Dia adalah segala sesuatu; yakni semua kesempurnaan dan kebaikan wujud-wujud bersyarat terdapat pada tingkatan dzat-Nya dalam bentuk basîth, tak terbatas, lebih utama, dan lebih tinggi.[19]

Argumen ini didasarkan bahwa Wujud Mutlak merupakan Sebab bagi wujud bersyarat dan memiliki seluruh kesempurnaan yang ada pada akibat-akibat-Nya.

Dengan menyimak burhan di atas, maka menjadi jelaslah hubungan antara Wujud Mutlak dan wujud-wujud bersyarat, bahwa Wâjib al-Wujûd merupakan hakikat wujud, ًًًًًwujud mutlak, paling sempurna, dan berada pada tingkatan wujud paling tinggi. Oleh karena itu, Dia tak terbatas dan meliputi seluruh tingkatan wujud bersyarat. Bentuk cakupan Wujud Mutlak terhadap wujud-wujud bersyarat adalah cakupan pada hakikat wujud-wujud mereka (yakni meliputi kesempurnaan wujud-wujudnya dan bukan kesempurnaan mahiyahnya), bukan meliputi batasan-batasan dan kekurangan-kekurangan mereka; karena semua batasan dan kekurangan itu tidak tergolong dalam hakikat kesempurnaan wujud. Pada hakikatnya, yang membentuk dan berhubungan dengan wujud-wujud bersyarat adalah asli wujud (dengan tidak memandang batasan dan kekurangannya). Maka dari itu, wujud mutlak dalam dimensi ke-basîth-an adalah segala sesuatu, dan wujud-wujud bersyarat merupakan bayangan dari hakikat wujud mutlak.

Perlu diungkapkan bahwa penjelasan Mulla Shadra tentang kaidah basîth al-hakikah mempunyai dua bentuk: pertama, basîth al-hakikah memiliki seluruh kesempurnaan maujud-maujud dan suci dari segala kekurangan mereka. Sebenarnya penjelasan ini, lebih sesuai dengan teori gradasi wujud yang merupakan salah satu teori filsafat Mulla Shadra. Kedua, basîth al-hakikah (Wâjib al-Wujûd) memiliki seluruh kesempurnaan, dengan makna bahwa di luar Wâjib al-Wujûd tak ada maujud-maujud dan bahwa setiap kesempurnaan hanya berhubungan dengan-Nya. Ini tidak bermakna bahwa Dia juga memiliki setiap kesempurnaan yang ada pada selain-Nya, tetapi bermakna bahwa Dia satu-satunya pemilik seluruh kebaikan dan kesempurnaan. Penjabaran Mulla Shadra mengenai basîth al-hakikah pada pembahasan ‘illiyyah dan ma'luliyyah (sebab-akibat) dalam jilid kedua Asfar, lebih sesuai dengan penjelasan kedua basîth al-hakikah ini, yang mana meniscayakan kesatuan wujud individual (wahdah al-wujud asy-syakhshiah). Dia menyatakan bahwa Wâjib al-Wujûd adalah dzat yang bersifat individual dan meliputi seluruh hakikat, tak ada sesuatupun yang keluar dari hakikat-Nya. Ayatullah Jawadi Amuli, dalam mengomentari ungkapan Mulla Shadra, menjelaskan, “penegasan Mulla Sadra ini tentang keindividualan dzat-Nya dan hakikat Wâjib al-Wujûd bersifat menyeluruh. Dan makna bahwa tak ada sesuatupun keluar dari hakikat Tuhan adalah menegaskan bahwa tidak ada wujud kecuali Tuhan, sebagaimana pandangan kesatuan wujud (wahdah al-wujud).[20]


Catatan Kaki:
[1] . Yang dimaksud hakikat Wâjib al-Wujûd di sini adalah bukan sesuatu yang berkuiditas, karena, sebagaimana yang akan dibuktikan, Wâjib al-Wujûd tidak mempunyai kuiditas (mahiyah).

[2] . Abdullah, Jawady Amuly, Rahîq Makhtûm, jld. 1, hal. 378.

[3] . Shadruddin Syirâzi, al-Asfar, jld. 6, hal. 100.

[4] . Shadruddin Syirâzi, al-Asfar, jld. 6, hal. 100 dan 101.

[5] . Keduanya adalah Wâjib al-Wujûd karena berpijak pada asumsi.

[6] . Keduanya adalah mumkin al-wujud karena keduanya saling bergantung dan membutuhkan.

[7] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 102.

[8] . Materi ketika berada di alam pikiran disebut sebagai genus.

[9] . Forma ketika berada di alam pikiran disebut diferensia.

[10] . Ibid. Hal. 103.

[11] . Mulla Shadra, al-Asfar, jld. 6, hal. 103, Ibnu Sina, Najât, hal. 227 dan 228.

[12] . Ali, Syirwâni, Tarjemeh wa Syarheh Bidâyah Al-Hikmah, jld. 4, hal. 54.

[13] . Penjelasan dan dalil tasalsul ini telah dijelaskan dalam makalah kami yang berjudul: Argumen Imkân dan Wujûb.

[14] . Ibnu Sina, Ilâhiyyât As-Syifâ, hal. 370-380.

[15] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 56 dan 57.

[16] . Mulla Sadra, al-Asfar, jld. 6, hal. 11.

[17] . Mulla Sadra, al-Asfar, jld. 6, hal. 110, catatan kaki no. 2.

[18] Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 111-112.

[19] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 116.

[20] . Javâdi Omuly, Rahîq Makhtûm, jld.2, bagian kelima, hal. 336-337.

24