Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)0%

Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan) pengarang:
Kategori: Ushuludin
Halaman: 12

Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)

pengarang: Dimitri Mahayana
Kategori:

Halaman: 12
Pengunjung: 47903
Download: 484

Komentar:

Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)
Pencarian dalam buku
  • Mulai
  • Sebelumnya
  • 12 /
  • Selanjutnya
  • Selesai
  •  
  • Pengunjung: 47903 / Download: 484
Ukuran Ukuran Ukuran
Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)

pengarang:
Indonesia
Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan) Tentang Ketauhidan (Bukti Ketauhidan Tuhan)


Oleh: Dimitri Mahayana

1
Tauhid for Teens (Bukti Ketauhidan Tuhan)

DAFTAR ISI
Bukti (1):

Bukti (2):

Bukti (3):

Bukti (4):

Bukti (5a):

Bukti (5b):

Bukti (6):

Bukti (7):

Bukti (8):

Bukti (9a):

Bukti (9b):

Bukti (9c):

Bukti (9d):

Bukti (9e):

Bukti (9f):

Bukti (9g):

Bukti (9h):

Bukti (9i):

Bukti (9j):

Bukti (9j):

Bukti (9k):

Bukti (9l):

Bukti (9m):

Bukti (9n):

Bukti (9o):

Bukti (9p):

Bukti (9q):

Bukti (9r):

Bukti (9s):

Bukti (9t):

Bukti (10):

Bukti (11):

Bukti (12):

2
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid : Bukti (1)
Manusia selalu mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya. Dia tidak pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab. Seorang sopir yang mobilnya mogok akan turun dari kendaraannya dan memeriksa kemungkinan sebab-sebab mogoknya mobil itu. Tidak akan pernah terpikir olehnya bahwa mobilnya akan bisa mogok manakala segala sesuatu berada dalam kondisi yang prima. Untuk membuat mobilnya bisa berjalan lagi, dia akan menggunakan cara apa pun yang bisa dilakukannya. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja menunggu mobilnya bisa berjalan lagi.

Jika seseorang merasa lapar, dia akan berpikir tentang makanan. Jika dia haus, dia akan memikirkan air. Jika dia kedinginan, dia akan mengenakan pakaian tambahan atau menyalakan api. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja sambil meyakinkan dirinya bahwa suatu kebetulan akan menyelesaikan masalahnya.

Seseorang yang ingin mendirikan bangunan, meminta jasa seorang arsitek, dan para pekerja bangunan. Dia tidak akan pernah berharap bahwa keinginannya terlaksana dengan sendirinya.

Bersama dengan maujudnya manusia, gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan-lautan yang luas juga telah ada bersamanya. Dia selamanya telah melihat matahari, bulan, dan bintang bergerak dengan teratur dan terus-menerus melintasi langit.

Meski demikian, orang-orang yang berilmu di dunia, tanpa mengenal lelah, telah mencari sebab-sebab wujud-wujud dan fenomena-fenomena yang menakjubkan itu. Tidak pernah mereka mengatakan: "Selama kita hidup, kita telah menyaksikan benda-benda langit tersebut dalam bentuknya seperti yang sekarang ini.

Karena itu, tentu mereka terwujud dengan sendirinya."

Hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan. Kita dipaksa untuk bertanya " Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?"

Apakah sistem mengagumkan yang berlaku di seluruh alam semesta ini, yang diatur oleh hukum-hukum abadi tanpa kekecualian dan yang membimbing segala sesuatu menuju tujuannya yang unik, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas, ataukah ia muncul secara kebetulan saja?

Jawaban terhadap pertanyaan ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh penjuru semesta ini, ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu Pencipta dan Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan itu menikmati anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti jalan yang tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain. Makhluk-makhluk ini tidak pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah perkembangannya sendiri, ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam menciptakan atau Bukti (1)

Manusia selalu mencari sebab-sebab dari setiap kejadian yang disaksikannya. Dia tidak pernah menganggap bahwa sesuatu mungkin terwujud dengan sendirinya secara kebetulan saja, tanpa sebab. Seorang sopir yang mobilnya mogok akan turun dari kendaraannya dan memeriksa kemungkinan sebab-sebab mogoknya mobil itu. Tidak akan pernah terpikir olehnya bahwa mobilnya akan bisa mogok manakala segala sesuatu berada dalam kondisi yang prima. Untuk membuat mobilnya bisa berjalan lagi, dia akan menggunakan cara apa pun yang bisa dilakukannya. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja menunggu mobilnya bisa berjalan lagi.

Jika seseorang merasa lapar, dia akan berpikir tentang makanan. Jika dia haus, dia akan memikirkan air.Jika dia kedinginan, dia akan mengenakan pakaian tambahan atau menyalakan api. Dia tidak akan pernah duduk-duduk saja sambil meyakinkan dirinya bahwa suatu kebetulan akan menyelesaikan masalahnya.

Seseorang yang ingin mendirikan bangunan, meminta jasa seorang arsitek, dan para pekerja bangunan. Dia tidak akan pernah berharap bahwa keinginannya terlaksana dengan sendirinya.

Bersama dengan maujudnya manusia, gunung-gunung, hutan-hutan, dan lautan-lautan yang luas juga telah ada bersamanya. Dia selamanya telah melihat matahari, bulan, dan bintang bergerak dengan teratur dan terus-menerus melintasi langit.

Meski demikian, orang-orang yang berilmu di dunia, tanpa mengenal lelah, telah mencari sebab-sebab wujud-wujud dan fenomena-fenomena yang menakjubkan itu. Tidak pernah mereka mengatakan: "Selama kita hidup, kita telah menyaksikan benda-benda langit tersebut dalam bentuknya seperti yang sekarang ini.

Karena itu, tentu mereka terwujud dengan sendirinya."

Hasrat ingin tahu dan ketertarikan yang bersifat instinktif terhadap sebab-sebab ini memaksa kita menyelidiki bagaimana benda-benda di alam ini muncul, dan menyelidiki ketertibannya yang mengagumkan. Kita dipaksa untuk bertanya " Apakah alam semesta ini, dengan seluruh bagiannya yang saling berkaitan yang benar-benar membentuk satu kesatuan sistem yang besar itu, terwujud dengan sendirinya, ataukah ia memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain?"

Apakah sistem mengagumkan yang berlaku di seluruh alam semesta ini, yang diatur oleh hukum-hukum abadi tanpa kekecualian dan yang membimbing segala sesuatu menuju tujuannya yang unik, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas, ataukah ia muncul secara kebetulan saja?

Jawaban terhadap pertanyaan ini positif, artinya ke manapun manusia melihat di seluruh penjuru semesta ini, ia akan melihat bukti-bukti yang melimpah akan adanya satu Pencipta dan Kekuatan Pemelihara, sebab manusia melihat bahwa setiap ciptaan itu menikmati anugerah-anugerah wujud dan secara otomatis bergerak mengikuti jalan yang tertentu, akhirnya lenyap dan digantikan makhluk yang lain. Makhluk-makhluk ini tidak pernah mewujudkan dirinya sendiri, menciptakan arah perkembangannya sendiri, ataupun memainkan peran sekecil apa pun dalam menciptakan atau mengorganisasi eksistensi mereka.

Kita sendiri tidak memilih kemanusiaan kita atau karakteristik-karakteristik manusiawi kita; kita diciptakan sebagai manusia dan diberi karakteristik-karakteristik kemanusiaan tersebut. Sama halnya, akal kita tidak akan pernah bisa menerima bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini terwujud secara kebetulan saja, dan bahwa sistem wujud itu muncul begitu saja.

Akal kita tidak akan pernah bisa menerima bahwa semua wujud yang ada di alam semesta ini terwujud secara kebetulan saja, dan bahwa sistem wujud itu muncul begitu saja. Akal kita tidak bisa menerima bahwa sejumlah potongan batu bata telah berkumpul bersama-sama secara kebetulan dan dengan sendirinya untuk membentuk sebuah rumah.

Menurut teori peluang, sebagai contoh, bila kita mengocok huruf yang tertulis dalam kertas masing-masing bertuliskan A, B, C hingga Z (ada 26 huruf).

Kemudian kita ambil satu demi satu dan diletakkan di atas meja berurutan. Maka peluang kemunculan huruf-huruf tersebut berurutan ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ adalah kurang dari 0,0000000000000000000000000025 atau kurang dari seperempatratus trilyun trilyun.

Dalam tubuh manusia (70 kg) terdapat sekitar 7 trilyun trilyun trilyun atom (99%nya adalah Hidrogen, Oksigen dan Karbon). Bisakah kita bayangkan betapa kecil kemungkinan 7 trilyun trilyun trilyun atom ini membentuk, menyusun, berinteraksi dengan sangat kompleks secara "kebetulan" sehingga seorang manusia mewujud di dunia dengan kelengkapan sistem kehidupannyanya ?

Bagaimana pula dengan masyarakat manusia yang terdiri atas milyaran manusia dan tak terhitung spesies-spesies tumbuhan dan hewan baik di daratan maupun di lautan yang tertata rapi membentuk rantai-rantai ekosistem dan berbagai keteraturan dan kesalingterkaitan?

Bagaimana pula dengan planet bumi yang terdiri atas trilyun trilyun trilyun ….. atom yang tertata sedemikian rapi dengan pergantian musimnya, hukum-hukum geologis, hukum-hukum meteorologi, siklus air, keteraturan arus-arus lautan, dan tak terhitung keteraturan-keteraturan lain?

Bagaimana pula dengan posisi bumi di tatanan tata surya, yang "melayang-layang" tanpa tiang bersama planet-planet lain; dan mengikuti berbagai aturan yang bahkan terukur dengan sangat nyata seperti hukum Keppler? Dengan posisi rotasi yang memungkinkan siklus empat musim? Bagaimana pula tata surya sebagai satu dari 100 milyar bintang yang berputar-putar mengitari pusat galaksi bima sakti?

Jadi realisme instinktif manusia menyatakan bahwa alam wujud pastilah memiliki satu penopang yang merupakan Sumber wujud dan Pencipta serta Pemelihara alam semesta, dan bahwa Wujud serta Sumber kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas ini adalah Tuhan, sumber segala wujud dalam sistem eksistensi.
Allah SWT berfirman:

3
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid Bukti (2)
Jika manusia memperhatikan alam ini dengan pikirannya dan mengkajinya dengan akalnya, maka ia akan mendapatinya seperti rumah yang dibangun dan tersedia di dalamnya semua yang dibutuhkannya. Langit terbentang sebagai atap, bumi terhampar sebagai alas, bintang-bintang bercahaya sebagai lampu dan mutiara-mutiara terpendam sebagai simpanan, udara dengan oksigen di dalamnya untuk bernafas, air yang melimpah ruah di seluruh bumi untuk minuman.

Semua itu tersedia di dalamnya. Dan manusia adalah sebagai pemilik rumah yang memiliki dan menikmati semua yang ada di dalamnya.

Aneka tumbuhan tersedia bagi kebutuhannya, baik untuk dimakan maupun obat-obatan. Aneka binatang tersedia bagi kebutuhannya juga, baik untuk dimakan maupun kendaraan dan lain-lain. Juga aneka barang tambang, yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Di dalam hal ini terdapat bukti yang jelas bahwa alam ini diciptakan dengan perhitungan, keteraturan dan keserasian. Dan bahwa penciptanya adalah satu. Dialah yang mengatur dan menyusun sebagian terhadap bagian lainnya. Mahaagung kesucian-Nya. Mahatinggi kemurahan-Nya, Mahamulia wajah-Nya dan tiada tuhan selain-Nya. Mahatinggi Dia dari apa yang dikatakan orang-orang murtad, dan Mahaagung dari apa yang diyakini orang-orang ingkar.



Tauhid : Bukti (3)
Maka, kita memulai dengan menyebutkan penciptaan manusia. Maka perhatikanlah. Awalnya adalah pengaturan janin di dalam rahim. Ia terselubung didalam tiga kegelapan: kegelapan perut, kegelapan rahim dan kegelapan plasenta. Di mana ia tidak dapat mencari makanan dan menolak sakit. Ia tidak akan dapat memperoleh manfaat dan menolak bahaya. Melalui tali pusar disalurkan sari makanan dan air. Demikianlah seterusnya makanannya.

Hingga ketika telah sempurna penciptaannya, kokoh badannya dan kuat kulitnya untuk bersentuhan langsung dengan udara luar dan penglihatannya untuk menerima cahaya, maka tibalah bagi ibunya masa untuk melahirkannya. Ibunya mencemaskan dan menekannya hingga anak itu terlahir. Ketika telah lahir, maka makanan yang tadinya disalurkan dari darah kini beralih pada kedua susu ibunya. Berubahlah rasa dan warnanya menjadi rasa dan warna makanan yang lain.

Hal itu lebih sesuai bagi bayi yang dilahirkan daripada yang disalurkan melalui darah. Maka hal itu didatangkan pada saat diperlukan. Setelah dilahirkan, ia menjulurkan lidahnya dan menggerakkan bibirnya mencari susuan. Maka ia mendapatkan tetek ibunya sebagai dua kantung yang menggantung untuk memenuhi kebutuhannya. Senantiasa ia makan dari air susu itu selama badannya rapuh, alat-alat pencernaannya masih lembut dan anggota-anggota tubuhnya lemah.

Hingga ketika ia bergerak dan memerlukan makanan yang keras untuk menguatkan dan mengeraskan badannya, tumbuhlah gigi susu dan gigi depan untuk mengunyah makanan sehingga menjadi lembut dan mudah ditelan. …

Perhatikanlah keteraturan pada diri manusia dalam berbagai keadaan. Apakah hal seperti itu dapat terjadi dengan ketidaksengajaan? Tidakkah engkau perhatikan bahwa kalau ia berada di dalam rahim, sementara darah tidak mengalir kepadanya, bukankah ia akan menjadi layu dan kering seperti tumbuhan yang tidak mendapat siraman air? Kalau proses kelahiran tidak mengeluarkannya ketika sempurna tubuhnya, tidakkah ia akan berada di dalam rahim seperti orang yang dikubur hidup-hidup di dalam tanah? Kalaulah air susu tidak keluar ketika kelahirannya, tidakkah ia akan mati kelaparan atau memakan makanan yang tidak cocok baginya dan tidak baik bagi tubuhnya? Kalaulah tidak tumbuh gigi pada waktunya, tidakkah ia akan mendapat kesulitan dalam mengunyah makanan dan menelannya? Atau, ia terus-menerus menyusu sehingga badannya tetap lemah dan tidak mampu untuk bekerja? Kemudian ibunya disibukkan dengan mengasuh anak-anak yang lain?

Tidakkah engkau lihat bagaimana setiap ciptaan senantiasa diciptakan untuk tujuan kebaikan, dan diciptakan dengan perhitungan, keteraturan dan keserasian.

Dan bahwa penciptanya adalah satu. Dialah yang mengatur dan menyusun sebagian terhadap bagian lainnya dengan pengaturan yang terbaik. Mahaagung kesucian-Nya. Mahatinggi kemurahan-Nya, Mahamulia wajah-Nya dan tiada tuhan selain-Nya. Mahatinggi Dia dari apa yang dikatakan.



Tauhid : Bukti (4)
Dengan merujuk pada pembahasan terdahulu, muncullah pertanyaan ini: Jika seluruh alam semesta dan setiap bagiannya, dari atom sampai galaksi dan dari mineral sampai manusia, merupakan tanda-tanda jelas yang menunjukkan Kearifan, Kekuasaan, Berkehendak, Keesaan, Pengasih, dan sifat-sifat lain Pencipta alam semesta, apakah tidak berarti bahwa alam semesta ini juga merupakan suatu bukti yang jelas dan tidak terbantahkan tentang eksistensi Pencipta itu sendiri?

Jawaban atas pertanyaan ini positif; yaitu, ya.

ALLAH tabaroka wa ta'aalaa berfirman:

Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ini adalah kebenaran. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bahwa sesungguhnya Dia Menyaksikan segala sesuatu? (QS 41 (FUSHSHILAT) : 53)




Tauhid : Bukti (5a)
Kebutuhan dan kebergantungan fitri segenap makhluk dengan jelas menunjukkan sangat perlunya eksistensi Wujud Mahamandiri, dan kefanaan segenap makhluk ini menunjukkan sangat perlunya eksistensi suatu realitas yang mandiri dan tidak berubah, realitas yang mendasar bagi mereka.

Sebagai contoh kebutuhan fitri manusia akan makanan. Terlepas dari jenis khusus makanan yang diinginkannya dan aspek temporalnya yang berubah-ubah terhadap waktu, kebutuhan manusia akan makanan adalah kebutuhan fitri manusia. Dan memiliki aspeknya yang universal, yakni tidak bergantung ruang dan waktu, suku maupun bangsa.

Kebutuhan ini ternyata menunjukkan eksistensi dan realitas obyektif makanan. Makanan yang dibutuhkan manusia benar-benar ada dan benar-benar bermanfaat bagi manusia untuk mempertahankan kehidupannya dalam rangka meneruskan hidupnya menuju kesempurnaannya.

Ini juga berlaku untuk kebutuhan-kebutuhan fitri yang lain seperti kebutuhan akan teman, kebutuhan untuk hidup dalam komunitas masyarakat, kebutuhan akan pasangan hidup dan lain-lain. Juga kebutuhan akan hal-hal yang imaterial seperti kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan empati dan simpati.

William James seorang filosof dan ilmuwan terkemuka dari Amerika menyatakan: "Naluri-naluri manateriallah yang mengubungkan kita dengan alam material ini, demikian pula naluri-naluri spiritual menghubungkan kita dengan alam yang lainnya"

Tentang universalitas kebutuhan dan kebergantungan fitri manusia ini akan Tuhan dan agama, Albert Einstein, fisikawan paling terkenal abad 20 mengatakan:

"Ada lagi agama dan akidah ketiga, bersemayam dalam setiap pikiran tanpa kecuali, meskipun takkan Anda jumpai keseragaman cara mengkhayalkannya sesuai dengan beragamnya imajinasi setiap orang. Aku menyebut akidah ini "perasaan keagamaan yang melekat pada wujud semesta". Sulit bagiku menjelaskan perasaan ini bagi orang yang tidak memilikinya, apalagi pembahasan di sini bukan berkenaan dengan Tuhan itu yang tampak dalam berbagai bentuk itu.

Akidah ini mengajarkan kepada manusia tentang remehnya harapan-harapan dan tujuan-tujuan manusia serta agungnya apa yang berada di balik semua maujud alamiah. Manusia akan merasa bahwa keberadaan dirinya adalah penjara dan ia ingin melepaskan dirinya dari penjara tubuhnya, untuk terbang meninggi menjumpai totalitas wujud ini secara serentak denagn hakikatnya yang satu."

Sedangkan seorang filsuf dan ilmuwan Muslim kontemporer menjelaskan:

"Berdasarkan pendapat ini, semua manusia, terutama orang-orang tertentu yang telah mencapai periode kedewasaan dan kemajuan, memiliki perasaan itu; yakni keinginan untuk melepaskan diri dari wujud terbatas mereka dan mencapai inti wujud. Pada diri manusia terdapat dorongan dan dambaan yang tidak akan menetap, tenang dan tenteram kecuali bila telah berhubungan dengan sumber wujud ini. Allah SWT serta hakikat suci inilah yang disebutkan dalam salah satu ayat Al Quran al Karim :

Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat ALLAH. Ingatlah, hanya dengan mengingat ALLAH hati menjadi tenteram.
(QS 13 (AR RA'DU) : 28) "



Tauhid : Bukti (5b)
Salah satu cara praktis yang sederhana dan tidak rumit untuk menyadari KeberadaanNya adalah melewati kebutuhan fitri kita pada sesuatu yang absolut, dengan mengkondisikan pikiran kita pada saat-saat yang genting. Coba bayangkan kapal yang kita naiki hendak tenggelam, apa yang kita rasakan saat itu?

Ketika sebagian kapal mulai tenggelam dan kematian sudah di depan mata.

Dan ketika kita telah terapung-apung berpegang pada satu papan, di atas samudera luas. Pada saat itu jiwa kita secara otomatis akan mengarah pada Satu Kekuatan Absolut Yang Maha Baik, yang kita harapkan KebaikanNya, untuk menolong kita atau memberikan akhir yang baik pada kehidupan kita. Seorang penyair berkata:

Wa qolbu ya'rifuhu wa yaroohu

Dan hati mengenalNya dan melihatNya

4
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid : Bukti (6)
Kehendak dan gerakan makhluk-makhluk hidup tidaklah muncul dari jasad mereka, melainkan dari ruh atau jiwa mereka. Jika ruh tersebut pergi, maka jasad akan mati dan tidak berfungsi lagi. Sebagai contoh, seandainya penglihatan dan pendengaran bisa dilakukan oleh mata dan telinga saja, tentunya kedua indera ini akan tetap berfungsi selama mereka ada (meskipun manusianya telah mati). Tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

Demikian pula, jika makhluk hidup itu tercipta atau bersumber dari makhluk hidup itu sendiri, tentunya makhluk-makhluk tersebut tidak akan pernah kehilangan wujud dan manifestasinya. Tetapi kita melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa kenyataannya tidaklah demikian. Makhluk-makhluk itu mati dan musnah satu demi satu. Makhluk-makhluk itu mati dan musnah satu demi satu. Mereka selalu berada dalam pergerakan dan perubahan. Mereka berubah dari satu keadaan ke keadaan yang lain.

Karena itu kita harus menyimpulkan bahwa semua wujud memperoleh wujudnya dari sesuatu yang lain, yaitu Pencipta mereka. Segera setelah batas waktu kemakhlukannya habis, wujud tersebut lenyap dalam ketiadaan. Wujud yang wujud tidak-terbatasnya menopang alam semesta ini dan memelihara keterhubungan (kontinuitas) dan kelestarian semua makhluk yang ada di dalamnya, disebut Tuhan. Dia adalah wujud yang berada di luar jangkauan non-wujud. Kalau tidak demikian halnya, maka Dia adalah seperti wujud-wujud yang lain, yang wujudnya bergantung tidak pada diri mereka sendiri, tapi pada yang lain.



Tauhid : Bukti (7)
Wujud manusia tidaklah bersumber dari dirinya sendiri, demikian pula kualitas-kualitas yang dimilikinya tidak muncul dari kehendaknya sendiri. Tidak pula perjalanan hidupnya, yang bermula sejak saat pertama keberadaan, berada dalam kontrolnya; tidak pula dia bisa menganggap bahwa sistem ini merupakan suatu kejadian yang bersifat acak, atau bahwa eksistensinya dan sistemnya muncul dari lingkungan asal-usulnya. Wujud dari lingkungan ini dan sistem yang mengaturnya bukan produk dari lingkungannya. Mereka tidak muncul secara kebetulan.

Dengan demikian kita tidak punya pilihan lain selain mengukuhkan maujudnya satu sumber penciptaan yang menciptakan dan memelihara semua hal. Dia-lah yang menganugerahkan wujud kepada semua wujud dan kemudian membimbingnya ke arah kesempurnaannya sendiri yang khas melalui satu sistem yang khusus.

Karena kita melihat satu sistem tunggal di alam semesta ini di mana makhluk-makhluk diciptakan dalam keadaan saling bergantung maka kita mesti menyimpulkan bahwa Sumber penciptaan yang mewujudkan sistem ini adalah Satu.

ALLAH Tabaroka wa Ta'ala berfirman:

"Lau kaana fiihimaa aalihatun illalloohu lafasadataa, fasubhaanalloohi robbil 'arsyi 'ammaa yashifuun"

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah langit dan bumi telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang Mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan. (QS (AL-ANBIYA) : 22)

ALLAH tabaroka wa ta'aalaa berfirman:

" Sanuurihim aayaatinaa fil aafaaqi wa fii anfusihim hatta yatabayyana lahum annahul haqq. Awalam yakfi birobbika annahuu 'alaa kulli syaiin syahiid."
Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ini adalah kebenaran. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bahwa sesungguhnya Dia Menyaksikan segala sesuatu? (QS 41 (FUSHSHILAT) : 53)




Tauhid : Bukti (8)
Bukti ini merupakan penyempurnaan bukti Aristoteles versi penulis

Seluruh semesta yang kita amati adalah dalam keadaan bergerak satu dengan yang lain [1] . Semua gerakan ini memerlukan penggerak (mover), tidak mungkin ada gerakan tanpa penggerak [2]. Jika setiap gerakan memerlukan penggerak, dan jika semua penggeraknya bergerak, maka memerlukan penggerak juga.

Mustahil rantai gerakan-penggerak, gerakan-penggerak, gerakan-penggerak,…, ini tidak berujung. Karena bila tidak berujung akan berakibat nihilnya semua gerakan tersebut. Rantai ini harus bermula pada Penggerak Pertama, yakni penggerak yang tak bergerak (unmoved mover), sehingga tidak memerlukan penggerak lagi [3].

Penggerak Pertama ini , yakni prime mover, adalah Tuhan ; karena seluruh semesta tidak lain adalah kumpulan sesuatu yang bergerak (baca pula; berefek) satu dengan yang lain. Maka Tuhan-lah sebagai Penggerak Pertama yang menjadi sumber seluruh gerakan/efek dalam semesta ini .

Allah berfirman:

"Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan."(QS27AN-NAML):88)
Barangkali , Tuhan sebagai Sang Maha Penggerak Yang Tidak Bergerak ini yang diisyaratkan Amirul Mukminin Imam 'Ali bin Abi Thalib 'as.dalam Nahjul Balaghah.

Dalam Khutbah Pertama [4] , Imam 'Ali bin Aba Thalib 'as.bersabda:

"…Dia adalah Pelaku namun tidak dengan makna gerak maupun alat…"

Perlu dicatat bahwa, Diamnya Penggerak Pertama adalah diam yang tidak memiliki kemungkinan sama sekali untuk bergerak. Ini berbeda dengan diamnya segala sesuatu dalam semesta material ini yang merupakan diam namun memiliki potensi untuk bergerak dan berubah. Lebih tepat bila dikatakan Penggerak

Pertama tidak tersentuh oleh gerak dan diam apa pun. Atau bahwa "diam" dan "gerak" tidaklah bisa dipredikasikan kepadaNya. Jadi Penggerak Pertama adalah unmovable mover, yakni Penggerak yang tidak memiliki potensi untuk bergerak sama sekali, sehingga lebih tepat dikatakan bahwa, "diam" dan "gerak" tidaklah relevan untuk dipredikasikan kepadaNya. Barangkali hal ini salah satu makna yang bisa kita pahami dari hikmah yang disampaikan Amirul Mukminin Imam 'Ali bin Ab? Th?lib kw dalam Khutbah 186 Nahjul Bal?ghah:

"Dan diam dan gerak tidaklah muncul atasNya. Dan betapa mungkin muncul atasNya sesuatu yang Ia(lah)yang memunculkannya [5] …"[6]

Dalam bagian yang lain khutbah yang sama, yakni Khutbah 186 Nahjul Balaghah, Beliau kw juga bersabda:

Dan Dia tak berubah ke dalam suatu keadaan, dan Ia tidak berganti-ganti dari satu keadaan ke keadaan lain. Malam dan siang tidak membuatnya tua. Dan tak pula mengubahNya cahaya dan kegelapan [7].

Lebih jauh akan coba di bahas beberapa Sifat-Sifat Penggerak Pertama.

Penggerak Pertama adalah Tunggal dan tidak tercampuri kejamakan apa pun. Apakah Penggerak Pertama ini mungkin lebih dari satu? Penggerak Pertama ini tidak mungkin lebih dari satu, karena bila ada lebih dari satu penggerak pertama, berarti penggerak pertama yang satu akan berefek terhadap penggerak pertama yang lain, karena ada berarti memberikan efek terhadap yang lain. Artinya, penggerak pertama yang satu akan bergerak terhadap penggerak pertama yang lain, sehingga penggerak pertama tersebut bergerak, berarti bukanlah penggerak yang tak bergerak alias bukan penggerak pertama. Dan jika semuanya bukan penggerak pertama , berarti semua gerakan (baca pula ; keberadaan) nihil.

Aristoteles dalam Physics, Book VIII menyatakan: "Penggerak Pertama harus sesuatu yang tunggal dan kekal. "Argumen berikut juga akan membuat terbukti bahwa Penggerak Pertama harus sesuatu yang tunggal dan kekal" [8]

Allah Tabaroka wa Ta'ala berfirman:

"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah langit dan bumi telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang Mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan."(QS 21(AL-ANBIYA):22)

Penggerak Pertama adalah aktualitas sempurna tanpa potensialitas, tidak pernah bergerak menyempurna lagi menjadi sesuatu selain dirinya yang lebih sempurna. Yakni Dia memiliki sifat:

al-Ghaniyyu - tidak memerlukan apa pun selain diriNya

Qa'imun binafsihi - berdiri dengan diriNya sendiri

Qa'imun bidzatihi - berdiri dengan ZatNya sendiri

Aristoteles dalam Physics, Book VIII juga menyatakan: Penggerak Pertama tidak terbagi dan adalah tidak memiliki bagian-bagian dan tidak memiliki magnitude.
" Jelas, oleh karena itu, bahwa Penggerak Pertama tidak terbagi dan adalah tidak memiliki bagian-bagian dan tidak memiliki magnitude" [9]

Ketidakterbagian Penggerak Pertama dapat dibuktikan dengan melihat bahwa semua hal yang terbagi (atau tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil) memiliki potentialitas, karena bagian yang satu mengaktuasi bagian yang lain, atau setidaknya seluruh bagian-bagian tersebut adalah potensial terhadap keseluruhan. Artinya bila Penggerak Pertama terbagi atau tersusun atas bagian-bagian maka ia bukanlah aktualitas tanpa potensialitas. Artinya Penggerak
Pertama yang Tidak Bergerak ternyata setidaknya ditinjau dari satu sisi bergerak. Di sini terjadi kontradiksi. Artinya Penggerak pertama benar-benar tidak terbagi dan tidak tersusun atas bagian-bagian.

Perhatikan Sabda Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib kw. dalam Nahjul Balaghah Khutbah Pertama [10] :

"Dan barang siapa menganggapNya terbagi ia telah bodoh (tentangNya) (Penerjemah; ia telah meruntuhkan seluruh pondasi pengetahuan tentangNya)"

Mahasuci Sang Penggerak Pertama Yang Maha Baik. Penggerak Pertama adalah Maha Baik karena Ia melimpahkan pada semua jalan menuju kesempurnaan aktualitasnya: Pelimpahan kesempurnaan alamiah pada segala merupakan kebaikan-Nya, sungguh Dialah:

"Yang menciptakan lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya). Yang menentukan kadar dan memberi petunjuk"
(QS 87(AL-A'LAA):2-3)

Penggerak Pertama Maha Sempurna dari segala segiNya karena benar-benar tidak membutuhkan apa pun selain diriNya. Ia merupakan sumber seluruh kesempurnaan eksistensial, karena segala hal "berupaya" mencapai kesempurnaan "actuality"nya sendiri dalam setiap geraknya sedangkan sumber yang melimpahkan gerak/yang menggerakkannya adalah Ia sendiri.

Penggerak Pertama adalah Sang Maha Awal (al-Awwal), karena semua eksistensi dan gerakan eksistensial semestabermula dari-Nya.

Selanjutnya, ditinjau dari prinsip kesemasaan gerakan dan penggerak:

1. Penggerak Pertama adalah yang ada di balik gerakan eksistensial semesta di setiap waktu dan semua tempat

2. Tidak ada ruang dan waktu yang "kosong" dari Kehadiran AktifNya sebagai pemelihara (sustainer) dan Penuntun (al-H?d?) semua yang ada menuju kesempurnaan eksistensialnya. Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib kw. bersabda dalam Nahjul Balaghah Khutbah Pertama [11] :

"Barangsiapa berkata di dalam apakah Ia maka ia telah mengatakan bahwa Dia dikandung sesuatu, barangsiapa berkata di atas apakah Ia maka ia telah mengosongkan sesuatu dariNya, Dia ada tanpa bermula dan maujud tanpa berasal dari ketiadaan, bersama segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan (kedekatan fisik), dan bukan segala sesuatu namun tidak dengan keterpisahan. Dia adalah Pelaku namun tidak dengan makna gerak dan alat. "

Ayat di bawah ini menggambarkan Kehadiran AktifNya dalam memelihara gerakan semesta menuju kesempurnaan eksistensialnya.

"Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan." (QS 55(AR-RAHMAN):29)

Tentang gerak universal dan Penggerak Pertama Yang Kekal , akan disadur pandangan Mulla Shadra berikut.

Adalah melalui gerak transubstantiasi universal yang Kekal dihubungkan dengan yang bermula dalam waktu. Karena kedirian alam ini adalah sedemikian sehingga ia diperbaharui dan hilang tanpa henti, bermula dan berakhir. Tidak terdapat sebab (baca pula; Penggerak) lain selain Tuhan untuk kebermulaan dan pembaharuan terus menerusnya, karena apa yang hakiki dalam sesuatu tidaklah disebabkan oleh apa pun namun hakikatnya sendiri. Dan Pembuat, ketika membuat ia membuat hakikat alam bergerak dan membaharu terus menerus. Pembaharuan atau gerak terus menerus ini tidak diakibatkan atau dipengaruhi apa pun (selain Tuhan, Sang Penggerak Pertama) [12].

Ayat di bawah ini menggambarkan bagaimana semesta senantiasa bergerak menjadi "ciptaan yang baru" dan Ia Yang Maha Pencipta Yang melimpahkan pada semesta gerakan eksistensialnya menjadi ciptaan yang lebih sempurna.

"Bahkan mereka ragu-ragu dalam hal penciptaan yang baru."(QS 50(QAF):15)




Catatan Kaki:
[1] Yang disebut gerakan di sini adalah gerakan dalam arti yang paling umum, bukan hanya gerakan dalam posisi. Sebagai contoh gerakan dari dingin menjadi panas, dari putih menjadi bening, dari kecil menjadi besar, dari banyak menjadi sedikit, dst. (Secara lebih umum lagi, bila sesuatu dirasakan efeknya oleh selainnya juga disebut "bergerak")

Arti gerak adalah pembaharuan terus menerus keadaan (wujud) suatu benda. Dia juga berarti munculnya sesuatu dan perjalanan berangsur-angsur dari potensialitas ke aktualitas.

[2] Bila ada gerakan tanpa penggerak, maka bergerak dengan tidak bergerak menjadi identik. Dan ini mustahil.

[3] Tentang Penggerak Orisinal (Original Mover ini) seorang filsuf( menjelaskan:

" Adalah meyakinkan dan disetujui dengan dasar apa yang dikatakan oleh indera kita bahwa hal-hal di dunia ini bergerak. Namun apapun yang bergerak adalah digerakkan oleh sesuatu yang lain; karena tidak ada yang mengalami gerak kecuali dalam hal sejauh ia ada dalam keadaan potentiality terhadap apa yang ia tuju dalam geraknya. Sesuatu bergerak dalam makna aktif, di sisi lain, sejauh ia ada dalam actuality. Karena bergerak dalam hal ini adalah secara sederhana membawa sesuatu dari potentialitas ke aktualitas; namun tidak ada yang bisa dibawa ke aktualitas kecuali sesuatu yang dirinya sendiri dalam aktualitas. Sebagai contoh, sesuatu yang secara aktual panas, seperti api, membuat kayu, yang panas dalam potensialitas, panas dalam aktualitas, dan kemudian menggerakkan dan mengubahnya. Sekarang adalah tidak mungkin untuk satu hal yang sama menjadi, pada saat yang sama dan dari sudut tinjauan yang sama, secara sekaligus dalam aktualitas dan dalam potensialitas (karena apa yang secara aktual panas tidak bisa pada saat yang sama secara potensial panas, walaupun mungkin secara potensial dingin). Maka adalah mustahil bahwa (dari segi yang sama dan dalam cara yang sama) sesuatu sekaligus menjadi penggerak dan yang digerakkan, atau bahwa sesuatu menggerakkan dirinya sendiri. Maka apapun yang ada dalam gerakan adalah digerakkan oleh sesuatu yang lain. Dan jika sesuatu yang lain ini sendiri bergerak, ia harus pada gilirannya digerakkan oleh sesuatu yang lain, dan seterusnya. Namun rentetan ini tidak bisa bersambung ad infinitum, karena dalam hal ini tidak akan ada penggerak pertama, sehingga tidak ada yang menggerakkan yang lain, karena sesuatu yang bergerak tidak bergerak kecuali jika digerakkan oleh sebuah penggerak orisinal. Maka adalah mesti/perlu untuk sampai pada penggerak pertama yang tidak digerakkan oleh hal yang lain; dan ini dipahami setiap orang sebagai Tuhan. "
(Santo Thomas Aquinas, Summa Theologica, Book I, pp. 15)

[4]Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, pp. 23

[5]Barangkali yang dimaksud adalah, "sesuatu yang Ia adalah sebab kemunculannya"

[6]Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2, pp. 23

[7]Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2, pp.25

[8]Aristotle, Physics, Book VIII, section 6. Rujuk pada Complete Aristotle, pp 608.

[9]Aristotle, Physics, Book VIII, section 10. Rujuk pada Complete Aristotle, pp 628.

[10]Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, pp. 23

[11]Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, pp. 23

[12]Mulla Shadra, Kearifan Puncak, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan II, Januari 2004, pp. 152

5
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid : Bukti (9)
Semua konsepsi atau ide apa pun bila ditinjau dari eksistensi/keberadaannya pasti termasuk satu dari tiga kategori. Pertama, keberadaannya mesti atau niscaya (wajib/necessary).Kedua, keberadaannya mustahil (mumtani'/impossible).Ketiga, keberadaannya mungkin (mungkin/contingent), yakni tidak niscaya ada tidak pula mustahil. Yang pertama, keberadaannya adalah kemestian; dalam yang kedua, ketiadaannya adalah kemestian; sedang dalam yang ketiga, baik keberadaannya maupun ketiadaannya bukanlah kemestian. Semua yang ada dalam semesta keberadaannya mesti atau mungkin. Tidak ada sesuatu yang keberadaannya mustahil ada dalam semesta. Sesuatu yang mustahil hanya ada dalam fikiran. Tidak memiliki realitas eksternal.

Sekarang mari kita amati lebih lanjut bahwa, semua yang ada dalam semesta keberadaannya bila tidak wajib/mesti ya mungkin/kontingen. Yang keberadaannya mungkin akan menjadi ada karena faktor eskternal. Bila faktor eksternal ini keberadaannya wajib, itu adalah Sumber dan Pencipta.Bila faktor eksternal itu keberadaannya juga mungkin, maka keberadaan faktor ini pasti ada karena sesuatu yang bukan dirinya.Jika rangkaian faktor yang keberadaannya mungkin ini membentang tidak terbatas tanpa mencapai titik mula, titik asal, dan eksistensi wajib, keberadaan-keberadaan mungkin tersebut, yang dalam rangkaian tidak terbatas ini, tidak akan memiliki realitas . Aktualisasi mata rantai dalam rangkaian ini ditentukan oleh aktualisasi mata rantai sebelumnya. Jadi rantai ini harus berujung pada satu titik asal, yakni keberadaan yang mesti/wajib, yang mesti/wajib dengan diriNya sendiri dan tidak tengantung pada yang lain.

Pada satu Wujud/Keberadaan yang memiliki eksistensi mandiri atau eksistensi wajib inilah eksistensi berawal. Begitu eksistensi itu bergerak menuruni rangkaian sebab dan akibat, memberikan wujud dan realitas-realitasnya kepada setiap mata rantai. Oleh karena itu, segala sesuatu memperoleh eksistensi dalam "bayang-bayang" Wujud/Keberadaan tanpa syarat. Barangkali tentang Wujud Wajib yang sama sekali tidak tersentuh ketiadaan apa pun ini yang diisyaratkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib kw:

keberadaanNya mendahului segala waktu, WujudNya mendahului segala ketiadaan . KekekalanNya mendahului semua kebermulaan .
Juga, dalam sabda Beliau yang lain

(Dia Kekal tanpa batas, Dia Berdiri(Ada) tanpa tiang).

Setelah membuktikan eksistensi Pencipta, Ibn Sina selanjutnya membuktikan Ketunggalannya, Kemahakuasaannya, Sifat Tuhan MahaMengetahui , dan sifat-sifat lain Pencipta dengan cara mengkaji masalah wujud mungkin dan wujud wajib. Kemudian Ibn Sina berkata :

"Perhatikan bagaimana bukti kami tentang eksistensi Sumber, Kesucian dan KesempurnaanNya, tidak membutuhkan perenungan lain kecuali perenungan tentang "eksistensi" itu sendiri dan tidak diperlukan adanya perenungan tentang makhluk-makhlukNya. "

Barangkali cuplikan khutbah Imam Ali bin Abi Thalib kw. di bawah ini mengisyaratkan bagaimana Wujud Wajib Yang Kekal dapat dibuktikan dari sifat mungkin wujud-wujud yang huduts(baru). Dan barangkali juga Beliau kw. mengisyaratkan beberapa sifat Tuhan sebagai Wujud Wajib yakni Tunggal tak terhitung, Kekal tanpa batas, Ada dengan DiriNya Sendiri.

Dia membuktikan KekekalanNya dengan kebaruan ciptaanNya, dan dengan kebaruan ciptaanNya (Dia juga membuktikan) keberadaaNya.

Dalam bukti (9b) dan seterusnya, akan disajikan bagaimana memahami sebagian amat kecil percikan hikmah dari Samudera Keagungan Sifat-SifatNya melalui konsep Wujud Wajib. Maha Suci Ia dalam Keagungan Sifat-Sifatnya Yang Tak Terjangkau oleh pikiran para pemikir apapun!




Tauhid : Bukti (9b): Tentang KesederhanaanNya, KesempurnaanNya, dan KetunggalanNya
Tentang kesederhanaanNya atau bahwa Ia tidak terbagi/tidak tersusun atas bagian-bagian bisa dilihat dengan jelas dengan mengamati bahwa sesuatu yang tersusun pasti membutuhkan bagian-bagian penyusunnya; sehingga jelas bahwa sesuatu yang tersusun pasti tidak Niscaya/Wajib dengan diriNya sendiri.

Tentang Ke(Maha)SempurnaanNya adalah bahwa Ia tidak membutuhkan apapun selain DiriNya Sendiri dan bahwa semua kesempurnaan apa pun terwujud melaluiNya. Sungguh, Ia adalah sumber seluruh kesempurnaan eksistensial, oleh karena itu Ia adalah "Tujuan harapan orang-orang yang arif"

Dan "Pamuncak dambaan sekalian Alam"

Sekalian Alam menggapai kesempurnaan eksistensialnya dan mencapai kesempurnaan eksistensialnya tersebut melalui keniscayaan (necessity) yang dilimpahkanNya.

Tentang KetunggalanNya bisa dibuktikan melalui Kesederhanaannya. Bila Wujud Wajib tidak tunggal, maka antara Wujud Wajib satu dengan yang lain akan berbeda namun pada saat yang sama sama-sama memiliki sifat sebagai Maujud Wajib. Maka faktor yang membuat mereka berbeda satu sama lain pasti berbeda dengan apa yang sama-sama mereka miliki. Ini berimplikasi esensi mereka tersusun atas apa yang sama-sama mereka miliki dan apa yang membuat mereka berbeda satu sama lain. Ini berkontradiksi dengan kesederhanaanNya. Jadi Wujud Wajib Tunggal tanpa kejamakan apa pun.

ALLAH Tabaroka wa Ta'ala berfirman:

Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa.




Tauhid : Bukti (9c): Bahwa KetunggalanNya Bukanlah Ketunggalan Numerik
Ketunggalan Wujud Wajib tidaklah merupakan ketunggalan numerik, karena dua, tiga dan empat dan seterusnya sama sekali mustahil bagi Wujud Wajib.

KetunggalanNya bukanlah merupakan ketunggalan partikular yang ditemukan pada suatu individu dari suatu hal yang alamiah; tidak juga merupakan ketunggalan generik atau spesifik yang ditemukan pada setiap gagasan umum atau setiap kuiditas. KetunggalanNya tidak juga merupakan ketunggalan konjungtif yang ditemui ketika sejumlah benda diatur atau disatukan menjadi sebuah hal yang tunggal; tidak juga merupakan ketunggalan hubungan yang ditemukan dalam kuantitas-kuantitas dan hal-hal yang terukur.

Tidak juga, merupakan ketunggalan-ketunggalan relatif yang lain. Tidak, KetunggalanNya bukanlah (ketunggalan-ketunggalan relatif ini), tidak diketahui dalam intinya yang paling hakiki, sebagaimana ZatNya -Maha Mulia Ia- kecuali bahwa KetunggalanNya adalah Sumber seluruh ketunggalan-ketunggalan (lain ini), sebagaimana wujudNya adalah Sumber seluruh wujud-wujud (partikular). Maka: Tidak ada yang kedua bagiNya.

Barangkali inilah yang diisyaratkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. di beberapa khutbahnya dalam Nahjul Balaghah [1]:

"Dia adalah Satu, tapi bukan dalam arti jumlah." [2]

"Dia adalah Satu, tetapi bukan dengan jumlah."[3]

"Dia tidak dibatasi oleh batasan-batasan, Dia tidak dihitung oleh angka-angka." [4]

"Segala sesuatu yang disebut satu selain Dia adalah sedikit." [5]

Sesuatu menjadi sedikit (dalam jumlah) apabila ada jumlah lain yang lebih banyak menjadi pembandingnya. Satu buah apel menjadi sedikit karena lebih dari satu apel mungkin terjadi. Satu lembar kertas menjadi sedikit karena lebih dari satu kertas mungkin terjadi. Sedangkan Wujud Wajib tidak ada pembanding untuk menjadikan Satu Wujud Wajib adalah sedikit. Oleh karena itu, Wujud Wajib adalah Satu yang tidak sedikit. Sedangkan segala sesuatu selain Dia pasti memiliki kesamaan atau bisa dibandingkan dengan yang lain, setidaknya sebagai wujud yang mungkin (al-wujudat al-imkaniyyah). Imam Ali bin Abi Thalib kw. bersabda:

…(dan dengan kemiripan mereka(ciptaan-ciptaanNya) membuktikan bahwa tidak ada yang mirip denganNya) .

Sehingga satu bagi selainNya adalah sedikit. Logika yang sama bisa digunakan untuk membuktikan bahwa ketunggalanNya bukanlah ketunggalan numerik.

Bahwa Ia memiliki Ketunggalan Hakiki yang benar-benar tidak terbagi dengan cara apa pun, dan tidak terbandingkan dengan semua jenis ketunggalan lain, namun di sisi lain Ia adalah sumber kesempurnaan eksistensial semesta, merupakan kunci pengetahuan atas sifat-sifat KesucianNya. Dia-lah Yang Maha, Lebih
Tinggi dari semua apa pun yang disifatkan padaNya (Al-'Aliyy).

Dialah pula Yang Maha Suci (Al-Quddus), tiada pandangan apa pun yang mampu menyentuhNya, tiada imajinasi apa pun yang mampu membayangkan KeagunganNya, tiada pikiran manapun yang mampu menyelami hakikatNya. Imam Ali kw. bersabda dalam salah satu khutbahnya [6].

"Segala puji bagi Allah yang tiada pembicara mana pun mampu meliputi segala pujian bagi-Nya. Tiada penghitung mana pun mampu mencakup bilangan nikmat karunia-Nya. Tiada daya-upaya bagaimanapun mampu memenuhi kewajiban pengabdian kepada-Nya. Tiada pikiran sejauh apa pun mampu mencapai-Nya, dan tiada kearifan apa pun mampu menyelami hakikat-Nya…. "



Catatan Kaki:
[1] Mulla Shadra, Kearifan Puncak, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan II, Januari 2004, pp. 127-128

[2]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 152, Vol. 1, pp. 555

[3]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 185, Vol. 2, pp. 15

[4]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 186, Vol. 2, pp. 21-23

[5]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 65, Vol. 1, pp. 251

[6]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 1, Vol. 1, pp. 21





Tauhid : Bukti (9d): Bahwa Dia bukan materi, tidak terikat ruang dan waktu, tidak memiliki tubuh dan tidak memiliki bentuk
Karena materi selalu tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil, maka KesederhanaanNya mengimplikasikan bahwa Wujud Wajib bukanlah materi. Lebih lanjut, karena setiap yang memiliki tubuh(body) minimal tersusun dari materi(matter) dan bentuk(form) maka mustahil Wujud Wajib memiliki tubuh maupun bentuk.

"Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan." (QS 37(ASH-SHOFFAT):159)

"…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…" (QS 32(ASY-SYURA):11)

Diriwayatkan dari Hamzah bin Muhammad, dia berkata:

"Aku menulis surat kepada Abul-Hasan (Ats-Tsalits) as., aku bertanya kepadanya tentang tubuh dan bentuk(Nya), maka beliau menjawab: Maha Suci Yang tidak ada yang serupa denganNya. Dia tidak memiliki tubuh dan tidak memiliki bentuk." [1]

Lebih lanjut, apakah Ia terikat ruang dan waktu? Jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya Ia tidak terikat ruang dan waktu. Hal ini adalah karena ruang maupun waktu adalah tersusun atas di sini, di sana, di situ dan seterusnya, serta hari ini, esok, lusa dan seterusnya, sedangkan Dia sebagai Wujud Wajib adalah Sederhana dan tidak tersusun dengan ketersusunan apa pun.

Bila kita dan makhluk-makhluk dalam semesta material selalu "berdampingan" dan "ditemani" waktu dalam semua aktivitas kita, maka tiada waktu apa pun yang mendampingiNya dalam semua AktifitasNya! Imam 'Ali bin Abi Thalib kw. bersabda : "times do not keep company with Him; Waktu tidak menemaniNya/mendampingiNya [2]. Bahkan , lebih lanjut, sungguh keberadaanNya sebagai Wujud Wajib mendahului segala ruang dan waktu. Imam Ali kw. bersabda keberadaanNya mendahului segala waktu.

KetidakterikatanNya pada segala ruang dan waktu bukan berarti penafian kehadiranNya dalam segala ruang dan waktu. Ia, sebagai Wujud Wajib, hadir di segala ruang dan waktu dengan intensitas kehadiran tertinggi, karena melalui Keniscayaan yang dilimpahkan olehNya segala ruang dan waktu muncul dalam alam eksistensi!

Sungguh Ia lah Yang Maha Hadir! Maha Suci Ia yang tiada ruang waktu yang kosong dari Kehadiran AktifNya namun pada saat yang sama Ia tidak terikat ruang dan waktu.

Imam 'Ali bin Musa ar-Ridha as.bersabda [3] :

"Sesungguhnya Allahtabaraka wa ta'al telah menjadikan dimana itu dimana, tanpa terikat kedimanaan, dan telah menjadikan bagaimana itu benar-benar bagaimana, tanpa terikat kebagaimanaan. Dan (sebelum segala sesuatu diciptakan; penyadur) Dia ada di atas QudratNya. "
Imam Ali bin Abi Thalib as.bersabda [4] :

"…Dia tidak ada terbatas di dalam sesuatu sehingga dapat dikatakan bahwa Ia berada di dalamnya. Tidak pula Ia terpisah dari sesuatu apa pun sehingga dapat dikatakan bahwa Ia jauh darinya…"



Catatan Kaki:
[1]Ash-Shaykh Abu Ja'far Muhammad Ibn Ya'qub ibn Is'haq al-Kulayni ar-Razi, Al-KAFI, WOFIS, Tehran, Vol. 1, Part 1, pp. 262

[2]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 186, Vol. 1, pp. 21

[3]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 186, Vol. 1, pp. 21

Ash-Shaykh Abu Ja'far Muhammad Ibn Ya'qub ibn Is'haq al-Kulayni ar-Razi, Al-KAFI, WOFIS, Tehran, Vol. 1, Part 1, pp. 225

[4]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 65, Vol. 1, pp. 251

6
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid : Bukti (9e): Bahwa Sifat-SifatNya Bukanlah Sesuatu Selain ZatNya
KesederhanaanNya mengimplikasikan bahwa Sifat-SifatNya bukanlah sesuatu selain Zatnya, yakni Wujud Wajib itu sendiri, Karena bila Sifat-SifatNya adalah tambahan bagi ZatNya, Ia menjadi tersusun. Maha Suci Ia dari segala kejamakan dan ketersusunan!

Hakikat KetunggalanNya adalah ZatNya itu sendiri dan bukanlah selain itu. Hakikat kesempurnaanNya adalah ZatNya itu sendiri. Demikian pula KehidupanNya, PengetahuanNya dan sifat-sifatNya yang lain.

Imam 'Ali bin Abi Thalib kw. bersabda [1] :

"…Dan kesempurnaan tauhidNya adalah ikhlas kepadaNya, Dan kesempurnaan ikhlas kepadaNya adalah penafian sifat atasNya. Dengan penyaksian bahwa setiap sifat bukanlah yang disifati, dan bahwa setiap yang disifati bukanlah sifat…"

Shadr al Muta'allihin Mulla Shadra qs. Menuliskan :

"Sifat-SifatNya - Maha Suci Ia - identik dengan Zat Nya. Ini tidak sebagaimana Asy'ariyyah meletakkannya, dari penegakan kejamakan Sifat dalam wujud untuk mengimplikasikan kejamakan delapan (Sifat) koeternal (yang terpisah dari Zat Tuhan). Tidak juga itu seperti ungkapan kaum Mu'tazilah, yang secara total menolak realitas konseptual yang berbeda-beda dari Sifat-Sifat, tapi kemudian menegaskan efek-efek mereka dan menggantikan Zat sebagai pengganti mereka (dalam menghasilkan efek-efek ini) sebagaimana dalam Suber Wujud di sisi sebagian. Maha Tinggi Ia dari penihilan (ta'thil) dan antrophomorfisma (tasybih).

Tidak, ( ketunggalan Sifat-Sifat Tuhan dan Zat Tuhan hanya dapat dipahami dengan benar) dalam cara yang diketahui oleh:

ar-rasikhuna fi al-'ilmi (orang-orang yang mendalam ilmunya) (QS 3(AL-ALI IMRAN):7) dari :

ummatan wasathan (QS 2(AL-BAQARAH):143), yakni mereka yang tidak dikalahkan baik oleh kelebihan maupun kekurangan. " [2]

Syaraf ad-din Dawwud Al-Qaysari menuliskan:

"Jika Anda mengetahui hal ini, maka Anda akan mengetahui apa yang dimaksudkan dengan "Sifat-SifatNya identik dengan ZatNya"…Pikiran mempersepsi sebagai berbeda, sebagaimana ia(pikiran) secara mental memisahkan sifat dan pemilik sifat, walaupun dalam keberadaan aktualnya satu" [3]

Maka, Maha Suci Ia Yang Samudera Keagungan Sifat-SifatNya adalah Hakikat Ketunggalan ZatNya. Dan Sifat-SifatNya tidak terlepas dari dan bukanlah sesuatu selain ZatNya. Maha Suci Ia Yang Mahatunggal namun tidak sedikit. Yang Mahatunggal namun Maha Meliputi.



Catatan Kaki:
[1] Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 1, Vol. 1, pp. 23

[2] Mulla Shadra, Kearifan Puncak, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan II, Januari 2004, pp. 134

[3] Qaysari's Muqddima to His Sharh Fusus al-hikam, Translated by Mukhtar Hussain Ali (Ph. D. dissertation), University of California, Berkeley, 2007, pp. 37




Tauhid : Bukti (9f): Tentang Ia sebagai al-Mufid(Sumber Emanasi Semesta) dan an-Nur
Seluruh wujud mungkin (al-wujudat al-imkaniyyah) adalah bersifat faqir/membutuhkan dalam dirinya sendiri, dan tergantung. Mereka ada melalui sesuatu selain diri mereka sendiri. Jalinan rantai kebergantungan ini kembali kepada Wujud Wajib Yang Suci dan Maha Tinggi.

Ini menunjukkan bahwa Wujud Wajib Yang Maha Terpuji adalah sumber emanasi (Al-Mufid) segala selainNya. Dengan cara yang sama Ia adalah sumber keberadaan mereka, Ia juga adalah sumber seluruh sifat-sifat kesempurnaan (dan kebaikan serta keindahan) yang ada melalui mereka.

Dengan mengamati bahwa Pelimpahan (Ifadah) Keniscayaan dariNya adalah meliputi semesta maka hal ini menunjukkan KehadiranNya di seluruh ruang waktu. Amirul Mukminin Imam 'Ali bin Abi Thalib kw. bersabda [1] :

"Tidaklah kulihat sesuatu kecuali kulihat Allah sebelumnya, sesudahnya, dan bersamanya. "

Demikian pula al-Qur'an menyatakan KehadiranNya di seluruh ruang waktu:

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui."(QS 2(AL-BAQARAH):115)

"…Ingatlah, bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu." (QS 41(FUSHSHILAT):54)

Dengan mengamati bahwa cahaya adalah sesuatu yang nampak (baca pula:eksis) dengan dirinya sendiri dan menampakkan (baca pula:melimpahkan keberadaan) yang lain, maka Wujud Wajib sebagai al-Mufid; adalah cahaya langit dan bumi!

"Allah cahaya langit dan bumi."(QS 24(AN-NUR):35)

Segala sesuatu diterangi oleh cahayaNya. Segala sesuatu telah muncul akibat cahayaNya. kemunculan ini adalah pantulan dari cahayaNya. Kemunculan manusia adalah juga sebuah cahaya. Maka dari itu manusia itu sendiri adalah sebuah cahaya. Binatang-binatang juga merupakan cahaya keagunganNya. Keberadaan(eksistensi) langit dan bumi adalah sebuah cahaya dari Allah [2].

Tentang Dia sebagai Cahaya dari segala cahaya, Suhrawardi menuliskan dalam Hikmahal-Isyraq:

"(Jika) Sebuah cahaya imaterial faqir(membutuhkan) dalam quiditasnya, maka kebutuhannya tidaklah ditujukan pada substansi-substansi gelap yang mati (al-ghasiq al-mayyit), yang tidaklah layak(mungkin) memberikan eksistensi dari sisi manapun kepada yang lebih mulia dan lebih sempurna darinya. Bagaimana mungkin yang gelap melimpahkan/mengemanasikan cahaya?

Maka dari itu, walaupun cahaya imaterial (an-nur al-mujarrad) membutuhkan cahaya yang tegak (nurun qa'imun) dalam realisasi
7
ktualisasinya, maka rantai cahaya-cahaya yang tegak ini tidak akan terus berlanjut ad infinitium/tak hingga karena telah Anda ketahui dari demontstrasi (al-burhan) bahwa adalah mesti bagi sekuen/barisan (penyadur:pelimpah eksistensi) seperti ini untuk berujung pada satu ujung dan tidak tanpa ujung. Oleh karena itu, cahaya-cahaya yang tegak dan cahaya-cahaya aksidental, dan batas-batas (al-barazikh)nya, dan keadaan-keadaan mereka harus berakhir pada suatu cahaya yang setelah cahaya tersebut tiada cahaya apa pun!

Cahaya ini adalah Cahaya dari Segala Cahaya, Cahaya Yang Maha Meliputi (an-Nur al-Muhith), Cahaya Yang Maha Berdiri Sendiri (an-Nur al-Qayyum), Cahaya Yang Maha Suci (an-Nur al-Muqaddas), Cahaya Teragung Yang Tertinggi(an-Nur al-A'zham al-A'la), dan Cahaya ini adalah Cahaya Yang Maha
Menguasai (yakni an-Nur al-Qahhar). Dia (yakni Cahaya ini) tidak membutuhkan apapun selain DiriNya secara mutlak (al-ghaniyy al-muthlaq), karena tiada apa pun yang melampauinya. Keberadaan dua cahaya imaterial yang independen satu sama lain (ghaniyaini) tidak bisa dibayangkan ! (Penyadur: ini adalah bukti Ketunggalan Nur al-Anwar(Cahaya dari segala cahaya)) Dia adalah Cahaya dari segala cahaya. Segala selain Ia faqir(membutuhkan) terhadapNya dan memiliki keberadaan dariNya. Dia tidak memiliki pembanding tak pula yang serupa dengannya! Maha Menguasai segala sesuatu dan tiada apapun yang menguasaiNya maupun menentangNya karena seluruh kekuatan, daya dan kesempurnaan terlimpah dariNya. " [3]

Maka bagaimanakah sifat Kehadiran EmanatifNya sebagai cahaya segala ruang dan waktu? Dalam uraian berikut akan dijelaskan bahwa KehadiranNya adalah bukan kehadiran yang pasif namun adalah Kehadiran Yang Hidup dengan taraf Keaktifan & Pemeliharaan yang tertinggi.



Catatan Kaki:
[1]Asy-Syaikh Ja'far As-Subhani, Ahlulbayt Library 1.0, pp. 137

[2]Imam Sayyid Ruhullah Al Musawi Khumaini qs, dalam buku Light Within Me,Islamic Seminary Pakistan, pp. 126-127.

[3]Disadur dari, Suhrawardi, (The Philosophy of Illumination), 1999, Brigham Young University Press, Provo, Utah, pp. 87,88





Tauhid : Bukti (9g): Tentang PengetahuanNya
Pengetahuan adalah kehadiran eksistensial sesuatu pada/dalam subyek yang mengetahui [1].

Maka dapat dibuktikan bahwa PengetahuanNya adalah pengetahuan yang sempurna dari segala seginya atas segala sesuatu. Hal ini adalah karena sesuatu eksis hanya melalui keniscayaan yang dilimpahkanNya. Tanpa keniscayaan ia tidak ada sama sekali. Maka "sebelum" sesuatu tersebut dilimpahi keniscayaan olehNya pasti ia ada dan hadir dengan suatu cara keberadaan yang berbeda dan lebih luhur (lebih transenden) dengan keberadaan eksternalnya. Dengan modus/cara keberadaan yang lebih mulia, lebih tinggi dan lebih intens daripada keberadaannya di alam eksternal inilah segala sesuatu hadir dalam KeberadaanNya. Jadi Ia Mengetahui segala sesuatu pada taraf eksistensinya yang paling dalam, paling lengkap dan paling sempurna.

Dengan kata lain, segala sesuatu ada dengan derajat keberadaan yang tertinggi pada dan melalui Hakikat WujudNya dan PengetahuanNya. Dan merekalah kunci-kunci kegaiban yang hanya diketahui olehNya! Maha Suci Ia Yang Maha Tahu!

"Telah disebutkan bahwa Zat Yang Maha Tinggi adalah Wujud mutlak yang tidak dibatasi batasan apa pun, tidak pula kosong dari wujud atau kesempurnaan eksistensial apapun. Maka semua rincian penciptaan, baik wujud maupun kesempurnaan eksistensial, dengan tatanan eksistensialnya ada di dalamNya dalam bentuknya yang paling tinggi dan paling luhur tanpa terpisah satu sama lain. Maka Dia MengetahuiNya dengan Pengetahuan yang tidak terbedakan, yang pada saat yang sama membuka rincian-rincian ('ilman ijmaliyyan fi 'ayn al-kasyf al-tafshili)

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)"(QS 6(AL-AN'AAM):59)

Shadr al Muta'allihin Mulla Shadra menuliskan:

"PengetahuanNya tentang segala seuatu merupakan Realitas yang Tunggal. Tapi pada saat PengetahuanNya tersebut Tunggal, ia juga merupakan pengetahuan tentang tiap hal; Ia tidak meninggalkan apapun yang kecil atau besar, namun Ia mencatat semuanya (QS 18;49) [2]

Karena jika terdapat sesuatu yang tidak ada ilmunya tentang sesuatu itu, maka Itu bukanlah Realitas Pengetahuan, namun pengetahuan di suatu sisi dan kejahilan di sisi lain……Karena kita telah menunjukkan bahwa PengetahuanNya sesungguhnya kembali kepada WujudNya…. Oleh karena itu ZatNya benar-benar pada hal-hal tersebut lebih intens dibanding mereka dalam diri mereka sendiri. Karena dengan dirinya sendiri sesuatu itu adalah mungkin, namun bersama dengan Yang Membuatnya dan Yang memberinya realitas, sesuatu tersebut mesti mengada - keberadaan sesuatu tersebut lebih intens daripada kemungkinannya. "[3]

Bahwa pengetahuan bagi selainNya diperoleh dengan "mencarinya", dan bahwa PengetahuanNya adalah ZatNya dan tidak diperoleh dengan mencarinya namun Hadir dalam Puncak KesempurnaanNya, barangkali hal ini yang diisyaratkan oleh Imam 'Ali bin Abi Thalib kw:

"Semua yang mengetahui selainNya adalah pencari pengetahuan." [4]



Catatan Kaki:
[1]Sayyid Muhammad Husayn Tabataba'I, Bidayat al-Hikmah(English Version: The Elements of Islamic Metaphysics), Translated and Annotated by Sayyid 'Ali Quli Qara'I, ICAS Press, 2003, London, pp. 130 & 117

[2]Sayyid Muhammad Husayn Tabataba'I, Bidayat al-Hikmah(English Version: The Elements of Islamic Metaphysics), Translated and Annotated by Sayyid 'Ali Quli Qara'I, ICAS Press, 2003, London, pp. 140

[3] Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada(tertulis). Dan Tuhan-mu tidak menganiaya seorang jua pun. " (QS 18(AL-KAHFI):49)

[4] Mulla Shadra, Kearifan Puncak, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan II, Januari 2004, pp. 135

8
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid : Bukti (9h): Bahwa Dia Maha Berkehendak dan KehendakNya adalah Yang Terbaik
Saduran bebas dan ringkasan dari Sayyid Muhammad Husayn Tabataba'I, Bidayat

KehendakNya(Iradah) adalah PengetahuanNya akan tatanan terbaik semesta. Dengan kata lain kehendakNya adalah PengetahuanNya bahwa suatu perbuatan tertentu adalah baik. Dengan pengertian ini, sifat KehendakNya(iradah) terbukti dengan sendirinya sebagai satu segi PengetahuanNya. Ini adalah sisi dzatiyahKehendakNya.

Penting untuk dicatat bahwadari sisi lain, yaitu dari sisi yang berhubungan dengan kemunculan sesuatu dalam semesta, KehendakNya adalah sifat fi'liyahNya(sifat perbuatanNya).Dari sisi ini, jelas bahwa pengetahuanNya mendahului kehendakNya. Hal ini diungkapkan dalam riwayat berikut.

"Dari Muhammad bin Abi Abdillah, dari Muhammad bin Isma'il, dari al-Husayn bin al-Hasan, dari Bakr bin Salih, dari Ali bin Asbat, dari al-Hasan bin al-Jahm, dari Bukayr bin A'yan, dia berkata: Aku berkata kepada Abu Abdillah (as.), "Apakah pengetahuan dan kehendak Allah berbeda atau sama?" Beliau menjawab,
"PengetahuanNya bukanlah KehendakNya. Tidakkah kau lihat bahwa kamu berkata 'jika Allah menghendaki, saya akan lakukan ini. ' Dan bukan, 'jika Allah mengetahui, saya akan melakukan ini. ' Perkataanmu 'jika Allah menghendaki' adalah bukti bahwa Allah belum menghendakinya. Maka, jika Ia menghendaki apa yang Ia kehendaki, itu terjadi persis seperti Ia kehendaki. Dan PengetahuanNya mendahului kehendakNya."" [1]



Catatan Kaki:
[1] Ash-Shaykh Abu Ja'far Muhammad Ibn Ya'qub ibn Is'haq al-Kulayni ar-Razi, Al-KAFI, WOFIS, Tehran, Vol. 1, Part 1, pp. 274.




Tauhid : Bukti (9i):Bahwa Dia Maha Kuasa dan Dia adalah Pelaku Yang Bebas (free actor)
Saduran bebas dan ringkasan dari Sayyid Muhammad Husayn Tabataba'I, Bidayat al-Hikmah(English Version: The Elements of Islamic Metaphysics), Translated and Annotated by Sayyid 'Ali Quli Qara'I, ICAS Press, 2003, London, pp. 144-146

KemahakuasaanNya terlihat dari kenyataan bahwa Dia sebagai Wujud Wajib adalah sumber dan semua selainNya tidaklah terwujud kecuali melalui KehendakNya. Maka Dia adalah sumber segala sesuatu, dan PengetahuanNya adalah sumber seluruh efek/wujud mungkin. KehendakNya(iradahNya) adalah melimpahkan keniscayaan pada tatanan terbaik semesta. Maka tiada selembar daun jatuh atau super galaxy yang bergerak atau satupun zarrah yang membaharu kecuali atas Kehendak dan KekuasaanNya.

Dia, Yang Maha Kuasa, adalah bebas tanpa paksaan apa pun dalam mewujudkan yang dikehendakiNya. Dia adalah pelaku yang bebas secara hakiki (free actor by essence), karena tidak mungkin ada tekanan/paksaan kecuali dari sesuatu di luar pelaku yang bisa memaksanya untuk berbuat yang berlawanan dengan kehendaknya. Dan tidak ada apa pun di luarNya kecuali AksiNya, dan sungguh PerbuatanNya adalah selaras dengan KehendakNya.





Tauhid : Bukti (9j): Bahwa Dia Maha Berbicara (al-Mutakallim)
Pembicaraan menghubungkan makna dalam pikiran seseorang dengan kata-kata. Maka PembicaraanNya menghubungkan makna dalam PengetahuanNya dengan wujud nyata makna [1] tersebut dalam semesta. Melalui Kehendak(Iradah)-Nya, Ia mewujudkan makna-makna dalam PengetahuanNya.

"Sesungguhnya PerintahNya apabila Dia Menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka terjadilah ia."(QS 36(YASIN):82)

"(Ia berkata kepada siapa yang Ia kehendaki keberadaannya "Jadilah maka jadilah ia", tidak dengan suara yang dibacaNya, tidak pula dengan panggilan yang didengar. Namun Pembicaraan (kalaam) Nya, Yang Maha Suci, adalah perbuatan (baca pula: Aktivitas) dariNya yang dengan Nya Ia menciptakannya dan memberinya bentuk (matstsalahu))…" [2]



Catatan Kaki:
[1] Yakni yang disimbolkan dengan lafaz "Kun", artinya "Jadilah!"

[2] Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2, pp.25




Tauhid : Bukti (9k): Tentang PendengaranNya dan PenglihatanNya, serta Kelembutan PengetahuanNya
Kemudian dengan mengamati bahwa pendengaran adalah pemahaman tentang hal-hal yang terdengar (audible), jelaslah bahwa Ia adalahMaha Mendengar (as-Sami'). Kemudian dengan mengamati bahwa penglihatan adalah pemahaman tentang hal-hal yang terlihat (visible), jelaslah bahwaIa adalahMaha Melihat (al-Bashir). Dan Sungguh PengetahuanNya meliputi segala hal yang lembut dan terlembut (al-Lathif) dan tiada zarrah sekecil apapun yang terlepas dari Medan Kehadiran Kesadaran EksistensialNya (al-Khobir).

"(Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui."(QS 31(LUQMAN):16)

"… Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."(QS 31(LUQMAN):28)

Tentang Kesempurnaan PendengaranNya dan PenglihatanNya, Imam 'Ali kw bersabda dalam Nahjul Balaghah (khutbah 65):

"Semua yang mendengar selainNya tuli terhadap suara-suara yang lembut, dan suara-suara keras membuatnya tuli, dan suara-suara yang jauh pergi darinya.

Dan semua yang melihat selainNya buta terhadap warna-warna tersembunyi dan benda-benda yang halus." [1]



Catatan Kaki:
[1] Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Khutbah 65, Vol. 1, pp. 251




Tauhid : Bukti (9l): Tentang KebijakanNya
Kebijakan adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih lembut daripada pengetahuan. Dalam bahasa sehari-hari sering dikatakan "Raja yang arif dan bijaksana".

Kearifan menunjukkan level pengetahuan yang lebih awal, yakni "pengenalan". Kebijakan menunjukkan level pengetahuan yang lebih mendalam, yang melaluinya pengenalan dan pengetahuan ada pada derajatnya yang lebih tinggi, lebih detil, lebih lengkap dari tinjauan berbagai sudut pandang.

Seorang mahasiswa bisa saja mengetahui tentang ilmu managemen, namun biasanya hanya seorang profesor senior atau praktisi managemen senior yang memiliki "wisdom"(kebijakan) dalam ilmu managemen.

Maka tidak salah bila dikatakan,Kebijakan (wisdom) terdiri atas pemahaman tentang hal-hal yang paling baik(afdhal) melalui pengetahuan yang paling afdhal(baik) (For wisdom consists in thinking the most excellent thing through the most excellent knowledge) hal ini adalah yang dikatakan oleh al-Farabi dalam magnum opusnya al-Madinah al-Fadhilah. Al-Farabi berkata:

"Dan seperti itu juga bahwa dia adalah "bijak". Maka sesungguhnya kebijakan adalah pemahaman tentang hal-hal yang lebih(afdhal) dengan ilmu yang lebih (afdhal)" [1]

Dari penjelasan di atas, karena PengetahuanNya adalah Pengetahuan atas Realitas segala sesuatu pada tarafnya yang terdalam dan tertinggi, maka PemahamanNya atas segala sesuatu adalah yang paling baik (afdhal) dan tentu melalui PengetahuanNya; dan sungguh tiada pengetahuan apa pun di alam wujud yang lebih afdhal dari PengetahuanNya. Jadi jelas bahwa Dia adalah Bijak, dan tiada apa pun yang lebih layak disebut Bijak dariNya! Sungguh Dia-lah Yang Maha Bijak (al-Hakim)!

"Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS 43(AZ-ZUKHRUF):84)



Catatan Kaki:
[1] Al-Farabi, On the Perfect State(Mabadi' ara' ahl al-madinat al-fadhilah), Great Books of the Islamic World, Inc, Chicago,1998, pp. 72,73




Tauhid : Bukti (9m): Tentang KehidupanNya
Saduran bebas dan ringkasan dari Sayyid Muhammad Husayn Tabataba'I, Bidayat al-Hikmah(English Version: The Elements of Islamic Metaphysics), Translated and Annotated by Sayyid 'Ali Quli Qara'I, ICAS Press, 2003, London, pp. 147

Hidup artinya pelaku yang sadar (al-darrak al-fa'al). Hidup adalah sumber kesadaran dan aktifitas, atau sumber pengetahuan dan kekuatan, atau apa pun yang diasosiasikan dengan pengetahuan dan kekuatan. Jika kita sebagai manusia bisa disebut hidup, kita bisa menyebut Hidup Wujud Wajib, dengan alasan yang lebih kuat. Oleh karena itu, Tuhan, Yang Maha Tinggi, adalah Hidup dan Yang Maha Hidup (dengan) melalui ZatNya.

9
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid :Bukti (9n): Tentang Sifat-sifat KehidupanNya
Sifat-sifat KehidupanNya adalah sebagai berikut:

1. KehidupanNya adalah sebelum seluruh kehidupan selainNya. Hal ini adalah disebabkan tidak mungkin Ia sebagai Pelimpah(al-Mufid) segala kehidupan melimpahkan sesuatu yang tidak ia miliki pada semua. Dan sebagai yang melimpahkan keniscayaan kehidupan pada semua selain dirinya, Ia pasti prior (lebih dahulu) dari semua yang hidup selainNya.

2. Ia Hidup setelah semuanya berakhir kehidupannya. Karena semua selainNya kehidupannya tidaklah niscaya dengan dirinya sendiri dan masuk dalam siklus kehidupan dan kematian. Sedangkan KehidupanNya adalah Niscaya dengan DiriNya. Maha Suci Ia dari memasuki siklus kehidupan dan kematian! Berikut ini adalah kutipan dari doa shabah Amirul mukminin kw:

"Maka, wahai Yang Tunggal dengan kemuliaan dan keabadian," [1]

3. Tiada yang memiliki kehidupan seperti KehidupanNya. Karena semua selain Ia kehidupannya tidaklah esensial dan kehidupannya bergantung pada sesuatu selain dirinya. Sedangkan KehidupanNya adalah Kehidupan Yang Hakiki pada derajatnya yang tertinggi, Kehidupan Yang Lebih Tinggi dan Lebih Mulia dari seluruh batas dan batasan apapun, yakni Kehidupan Murni yang tak tersentuh kematian apa pun.

4. Tiada yang berserikat denganNya dalam KehidupanNya. KehidupanNya hanya memiliki isytirak ma'nawi(kesamaan makna) dengan kehidupan-kehidupan selainNya dalam arti semua yang hidup berkesadaran dan beraktifitas. Namun KehidupanNya adalah "Hidup" Yang Sejati dan Niscaya Dengan DiriNya Sendiri. yang tidak mungkin dan tidak pernah mungkin dimiliki ((dan bahasa filosofisnya) tidak pernah mungkin dipredikasikan) kepada selain DiriNya. Tiada apapun yang berserikat denganNya dalam KehidupanNya Yang Niscaya Dengan DiriNya Sendiri.

5. KehidupanNya tidak membutuhkan kehidupan yang lain. Hal ini adalah karena KehidupanNya tegak dan ada secara Niscaya dengan DiriNya Sendiri. Maha Suci Ia dari segala kebutuhan kepada selain dirinya! KehidupanNya tak lain adalah ketakhinggaan Kesempurnaan Kehidupan pada derajatNya yang Tertinggi sehingga mustahil membutuhkan kehidupan selain DiriNya Sendiri.

6. Kehidupan selainNya selalu masuk dalam siklus kehidupan-kematian (generation & corruption). KehidupanNya melimpahkan kehidupan pada yang mati, dan memasukkan segala yang hidup selainNya dalam siklus generation & corruption (kehidupan & kematian) dalam menuntun dan menggerakkan semesta mencapai kesempurnaan alamiahnya masing-masing. Berikut ini adalah salah satu ayat al-Qur'an:

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan."(QS 29(AL-ANKABUT):57)
Dan berikut ini adalah kutipan do'a setelah shalat:

"Ia menghidupkan lalu mematikan, mematikan lalu menghidupkan. Dia Mahahidup yang tiada mati." [2]

7. Dan Yang Maha Hidup melimpahkan kehidupan beserta faktor-faktor yang menunjang kehidupannya kepada semua selainNya (ar-Razzaq). Hal ini adalah karena Ia sebagai sumber eksistensi kehidupan selain diriNya adalah pasti adalah Pelimpah eksistensi faktor-faktor penyusun kehidupan selain diriNya. (Ia lah Yang memberikan rejeki pada semua yang hidup selain diriNya).

8. KehidupanNya adalah Kehidupan yang Paripurna; yakni, Kesadaran Sempurna dan Aktualitas Sempurna yang dengannya semesta tegak dan terpelihara, dan ini adalah sebagian makna al-Qayyum.

"Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur."(QS 2(AL-BAQARAH):255)

Barangkali tujuh hal ini yang diisyaratkan juga dalam Doa Jausyan Kabir sebagai berikut:

"Wahai Yang Hidup sebelum segala sesuatu yang hidup.

Wahai Yang Hidup setelah semua yang hidup.

Wahai Yang Hidup yang segala kehidupan tiada dapat menyerupai-Nya.

Wahai Yang Maha Hidup yang tidak bersekutu denganNya kehidupan(selain KehidupanNya).

Wahai Yang Maha Hidup yang tidak butuh kepada yang hidup.

Wahai Yang Maha Hidup yang mematikan segala yang hidup.

Wahai Yang Maha Hidup yang memberi rezeki pada yang hidup.

Wahai Yang Maha Hidup yang tiada mewarisi hidup dari yang hidup.

Wahai Yang Maha Hidup yang menghidupkan segala yang mati.

Wahai Yang Maha Hidup, Wahai Yang Maha Tegak/terus-menerus Mengurus/Maha Berdiri Sendiri, Yang tidak pernah mengantuk dan tidur." [3]



Catatan:
[1] Mafatih Al-Jinan, Syekh Abbas Al-Qummi, Al-Huda, Jakarta, 2008, pp. 212

[2] Mafatih Al-Jinan, Syekh Abbas al-Qummi, Al-Huda, Jakarta, 2008, pp. 87

[3] Doa Jausyan Kabir, Ayat 70, frasa ke-10, Mafatih Al-Jinan, Syekh Abbas al-Qummi, Al-Huda, Jakarta, 2008, pp. 300




Tauhid : Bukti (9o): Tentang Bahwa Dia Adalah Kebaikan Murni(al-Khayr al-Mahdh) Yang Dirindukan dan Diinginkan oleh sekalian alam
Tentang Ia sebagai Kebaikan Murni, Ibn Sina menuliskan sebagai berikut:

"Wujud Wajib sempurna dalam KeberadaanNya, karena tiada apa pun dari KeberadaanNya dan kesempurnaan-kesempurnaan KeberadaanNya yang kurang dariNya. Bahkan, Wujud Wajib di atas kesempurnaan; karena Ia tak hanya memiliki keberadaan bagi diriNya, namun juga seluruh keberadaan, maka mereka adalah (mengalir) dari KeberadaanNya, dan melimpah (baca pula: beremanasi) dariNya.

Wujud Wajib dalam ZatNya adalah Kebaikan Murni (Khayrun Mahdhun) Secara umum, kebaikan adalah ia yang diinginkan segala sesuatu, dan apa yang diinginkan segala sesuatu adalah keberadaan atau kesempurnaan keberadaan. Ketiadaan, dari sisinya sebagai ketiadaan, tidak diinginkan, namun ketiadaan hanya diinginkan dari sissi keberadaan atau kesempurnaan-kesempurnaan keberadaan yang mengikutinya. Maka yang secara hakiki diinginkan adalah keberadaan. Maka Keberadaan adalah Kebaikan Murni dan Kesempurnaan Murni.

Wujud mungkin bukanlah kebaikan murni, karena keberadaannya bagi dirinya sendiri tidak mesti dengan dirinya sendiri. Maka hakikatnya/zatnya mengandung ketiadaan; dan bahwa sesuatu yang dari suatu segi mengandung ketiadaan bukanlah kosong/terlepas dari keburukan (al-syarr) dan kekurangan (al-naqsh).

Maka, Kebaikan Murni (al-Khayr al-Mahdh) adalah hanya Wajib al-Wujud bidzatihi. (Wujud Yang Mesti dengan ZatNya Sendiri). Yakni Dia Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. "

Lebih lanjut, sesuatu disebut baik terhadap sesuatu yang lain , bila ia memberikan atau ikut mewujudkan faktor-faktor yang mendukung sesuatu yang lain tersebut dalam mencapai kebaikan yang diinginkan, dibutuhkan dan dirindukan sesuatu yang lain tersebut. Dari sudut tinjauan ini, Ia sebagai Sumber Emanasi semesta adalah Segala Kebaikan (al-Khayr ), yakni Yang Mahabaik; dan Dialah Yang Limpahan KebaikanNya meliputi Sekalian Alam. Seluruh sifat-sifat
KebaikanNya yang ada pada tingkat kebaikan tertingginya, seperti Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, Yang Maha Dermawan, Yang Maha Pemberi, dan lain-lain tidak lain adalah segi-segi dari kenyataan bahwa Dia adalah Kebaikan Murni dan Yang Maha Baik pada tingkatan eksistensialnya yang tertinggi.
"…di tangan Engkau segala yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."(QS 3(ALI IMRAN):26)




Tauhid : Bukti (9p): Tentang KeIndahanNya
Keindahan pemandangan atau hal-hal yang bisa dilihat tidak lain adalah kebaikan atau kesempurnaan yang ada dalam hal-hal yang terlihat/visible tersebut, sehingga kehadiran dan eksistensi pandangan terhadap hal-hal yang terlihat/visible tersebut diinginkan subyek yang melihat.

Contoh keindahan ini adalah: pemandangan di taman anggrek yang teramat indah ataupun lukisan-lukisan yang indah. Keindahan musikal adalah kebaikan yang ada dalam hal-hal yang didengar tersebut, sehingga kehadiran dan eksistensi pendengaran terhadap hal-hal yang audible (dapat didengar) tersebut diinginkan subyek yang mendengar.

Contoh keindahan audible adalah: kata-kata bersyair yang enak didengar, musik-musik karya agung para seniman besar, gemericik suara air terjun dan kicau burung di pagi hari. Keindahan ruhaniah adalah memiliki pengertian yang selaras dengan dua keindahan sebelumnya, yakni sesuatu yang menyebabkan kehadiran dan eksistensi suatu hal diinginkan oleh subyek yang "melihat atau memahami". Dari sudut pandang ini, jelas keindahan adalah segi-segi kebaikan; yakni, bahwa kebaikan adalah ia yang diinginkan segala sesuatu.

Lebih lanjut, karena Dia adalah kebaikan murni(khayrun mahdhun) , adalah mesti bahwa karena keindahan adalah salah satu segi kebaikan, Tuhan Yang Maha Tinggi adalah juga Keindahan Murni (jamalun mahdhun). Maka Tuhan adalah Keindahan yang KeindahanNya tidak tersentuh ketidakindahan apa pun.

Perlu dicatat, bahwa KeindahanNya bukanlah keindahan yang terlihat/visible dan bukan pula keindahan yang terdengar
10
udible, karena Ia tidaklah tersentuh oleh penglihatan apa pun dan tidaklah tersentuh oleh pendengaran apa pun. Tidak! KeindahanNya adalah Keindahan Murni yang tidak tersentuh oleh indera lahir dan batin mana pun, namun segala keindahan dalam semesta tiada lain hanyalah bayang-bayang KeindahanNya. Maha Suci Ia Yang hanya
PenglihatanNya dan PandanganNya yang mampu menatap Hakikat keindahanNya yang terpancar dalam semesta ciptaanNya!

"Dari Abu Abdillah as.Beliau berkata: Amirul mukmininas.berkata: sesungguhnya Allahitu Indah (dan) mencintai yang indah, dan mencintai melihat jejak nikmat(Nya) atas hambaNya. " [1]




Tauhid : Bukti (9q): Tentang Bahwa Dia adalah al-Haqq (Yang Mahabenar atau Yang Mahanyata)
"Kebenaran" adalah tentang eksistensi (sesuatu). Lebih jelas lagi, keyakinan atau anggapan kita tentang sesuatu disebut benar bila ternyata sesuatu itu benar-benar ada . Jadi sesuatu disebut benar bila ia nyata dan benar-benar memiliki keberadaan. Sebagai contoh; "Ada lingkaran yang sekaligus segitiga" adalah tidak pernah mungkin ada di alam nyata, karena itu hal tersebut tidak benar. Contoh lain: "Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat" . Pergerakan matahari terbit di timur dan tenggelam di barat benar-benar ada dan nyata, dan sesuai dengan pengalaman yang kita alami sehari-hari. Maka berdasar eksistensinya yang benar-benar ada dalam kenyataan, adalah benar "Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat".

Dari pemahaman tersebut, maka Wujud Wajib adalah Kebenaran Murni (haqqun mahdhun) yang tidak tercampuri kesalahan apa pun. Hal ini adalah karena keberadaannya benar-benar ada dan tidak memerlukan penopang apa pun agar ada. Sedangkan wujud-wujud mungkin (al wujudat al imkaniyyah), kuiditas-kuiditasnya, tidak benar-benar nyata adanya. Lebih lanjut, dengan pemutusan hubungan mereka dengan Wujud Wajib, mereka menjadi tiada. Maka karena itu, mereka pada dirinya sendiri bathil, dan benar atau nyata (haqq) hanya melaluiNya.
Karena itu,

"Semua yang di bumi akan binasa kecuali WajahNya" (QS 28(AL-QASHSHASH):88). Maka, Dia adalah yang paling layak disebut Benar, dan sungguh Dialah Yang Mahabenar (al-Haqq) lagi Mahanyata (al-Haqq), dan tiada kebenaran apa pun yang tegak kecuali melaluiNya !

"Dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar(Nyata), lagi Yang Menjelaskan" (QS 24(AN-NuR):25)

"Demikianlah, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang Nyata(Benar) dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang bathil;"(QS 31(LUQMAN):30)

Menurut Al-Farabi: Kata-kata "benar / haqqun" digunakan [1]

(1) untuk suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta obyektif, dan

(2) untuk suatu maujud yang ada dalam aktualitas, dan

(3) untuk suatu maujud yang kesirnaan tidak memiliki akses kepadanya

Dan Yang Mahaawal , yakni Wujud Wajib, adalah "benar/nyata/haqqun" dalam ketiga arti tersebut sekaligus. Lebih lanjut, ketika kita berkata bahwa Dia adalah (Maha)Benar / (Maha)Nyata (yakni, al Haqq) maknanya tidak lain adalah Dia adalah Wajib/Niscaya/Mesti sehingga kesirnaan apa pun tidak memiliki kekuatan atasNya dan Dia adalah yang dengannya segala sesuatu yang tersentuh kesirnaan menjadi benar-benar terwujud dalam realitas.
"Sesungguhnya segala sesuatu kecuali Tuhan adalah tidak terlepas dari kesirnaan" "Semua yang di bumi akan binasa kecuali WajahNya" (QS 28:88))



Catatan Kaki:
[1] Paragraf ini disadur bebas dari Syarhe Manzhumehe Hikmat, karya Hajj Mulla Hadiy Sabzavary. Lihat The Metaphysics of Sabzavary, Translated by Mehdi Mohagheh and Toshihico Izutsu, Kamakura, 1975, pp. 46

11
Tauhid (Bukti Ketauhidan Tuhan)

Tauhid : Bukti (9r) Tentang RahmatNya Meliputi segala sesuatu
Semesta adalah segala sesuatu selain Tuhan. Dengan kata lain, karena semesta bukanlah Wujud Wajib, ia adalah sesuatu yang tidak memiliki keberadaan mandiri. Oleh karena itu semesta tidak memiliki apapun dari dirinya sendiri yang menopang keberadaannya.

Pada saat yang sama, Tuhan adalah Kebaikan Murni (khayrun mahdhun), melalui limpahan kesempurnaan eksistensial dariNya semua semesta (al-'alamun) yang menggapai-gapai dalam kesangatfakirannya menerima kesempurnaan yang hendak dicapainya.

Maka betapa mungkin Tuhan, yang tidak lain adalah Kebaikan Murni, melakukan apa pun selain menolong yang lemah dan faqir?

Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibn 'Arabi menuliskan: "Maka seluruh makhluq adalah lemah dari dasar akan eksistensinya yang terdalam, maka Rahmat meliputi mereka" [1]

Dalam bagian lain Beliau menuliskan: "Semesta identik dengan Rahmat, dan bukan selain itu" [2]

Allah tabaroka wa ta'ala berfirman:

"…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…" (QS 7(AL-A'RAF):156)

AllahSWT juga berfirman dalam Al-Qur'an:

"Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit…"(QS 48(AL-FATH):17)

Selain makna lahirnya, mungkin, sekali lagi mungkin, ayat ini mengisyaratkan makna batin, bahwa Tuhan yang tidak lain adalah Kebaikan Murni (khayrun mahdhun) amat lembut dan asih terhadap yang lemah dan yang cacat, Namun seluruh alam, karena mereka bukanlah Yang Nyata, bukan pula Mahasempurna; adalah lemah dan cacat. Oleh karena itu sungguh RahmatNya - yakni limpahan Kebaikan MurniNya- meliputi segala sesuatu!

Menurut asy-Syaikh al-Akbar, Ibn al-'Arabi; ada suatu makna yang tersirat dalam FirmanNya

"ar Rahman, di atas 'Arsy (Ia) duduk" (QS 20(TAA HAA):5)

Setiap raja memiliki singgasana. Allah sebagai Raja Yang Mahaagung memiliki Singgasana. KerajaanNya adalah segenap semesta langit dan bumi beserta seluruh alam. Ia duduk di atas SinggasanaNya sebagai Yang Mahapemurah atau Yang Mahamelimpahkanrahmat (ar-Rahman) . Hal ini adalah karena rahmat Ilahiah - yakni limpahan dan pemberian kebaikan (khayrun), keindahan (jamalun) dan kebenaran (haqqun) - meliputi segenap alam . [3]



Catatan Kaki:
[1]Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makiyyah, Cairo, 1911, III 255.33, dikutip dari William C. Chittick, Ibn 'Arabi Heir to the Prophets, Oneworld Publications, 2007, Oxford, pp.131

[2]Ibn 'Arabi, al-Fuuhat al-Makiyyah, Cairo, 1911, II 437.24, dikutip dari William C. Chittick, Ibn 'Arabi Heir to the Prophets, Oneworld Publications, 2007, Oxford, pp.130

[3]Paragraf ini disadur bebas dari William C. Chittick, Ibn 'Arabi Heir to the Prophets, Oneworld Publications, 2007, Oxford, pp.58-59.




Tauhid : Bukti (9s): Tentang Bahwa sekalian alam tenggelam dalam Cinta padaNya
Apakah cinta? Setidaknya ada dua unsur yang ada dalam cinta;

1) keindahan yang diinginkan dan dirindukan;

2) dan bahwa keindahan yang dirindukan ini tidak benar-benar terwujud atau hadir dalam eksistensi pecinta.

Maka secara lebih ringkas dapat dikatakan bahwa cinta mengandung dua unsur; keindahan yang dirindukan, yang kedua adalah ketakterjangkauan atau non-presence objek yang dicintai dalam jangkauan pecinta.

Maka, benarlah bahwa Tuhan adalah al-Mahbub al-Haqiqi(Yang Dicintai/Kekasih Hakiki) segala sesuatu. Hal ini bisa dilihat dari;

1. bahwa Dia adalah jamalun mahdhun (Keindahan Murni), Yang Maha Indah Tiada Banding;

2. dan bahwa Dia dalam Hakikat KeindahanNya Yang Terdalam tidak terjangkau dan tidak pernah tersentuh oleh apa pun.

Berapa besar intensitas kerinduan cinta segala sesuatu kepadaNya, Sang al-Mahbub al-Haqiqi(Kekasih Sejati)? Intensitas kerinduan segala semesta pada Kekasih Sejati adalah tak terukur dan tak terperi. Hal ini adalah karena intensitas kerinduan pecinta pada yang dicintai adalah sebanding dengan;

1) derajat Keindahan obyek yang dicinta;

2) derajat kebutuhan pecinta akan kehadiran obyek yang dicinta;

3) derajat ketakterjangkauan yang dicinta dalam benak pecinta.

Dari sudut pandang pertama (1), maka siapakah yang lebih indah dari Keindahan Murni Tanpa Batas, yakni al-Mahbub al-Haqiqi (Kekasih Sejati)?

Dari sudut pandang kedua (2), maka adakah yang lebih diharapkan dan dibutuhkan ketimbang Keindahan Murni dan Kebaikan Sempurna yang merupakan sumber segala kesempunaan eksistensial?

Dari sudut pandang ketiga (3), adalah sesuatu yang lebih tak terjangkau oleh pikiran, dan segenap indera lahir dan batin ketimbang Ia yang tidak terikat segala ruang dan segala waktu?

Maka jelas bahwa intensitas cinta Segala semesta pada al-Mahbub al-Haqiqiada pada derajatnya yang tertinggi!

Maka adalah jalan alamiah fitri bagi kita semua untuk menyerahkan seluruh hati dan jiwa raga kita pada Kekasih Hakiki. Diriwayatkan dari Rasulullah saww.:

"Cintailah Allah dengan sepenuh hatimu" [1]

Dalam sebuah doa Imam 'Ali Zainal 'Abidin - as-Sajjad- as. melantunkan

"Ya Allah, aku bermohon pada-Mu untuk Kau penuhi kalbuku dengan cinta pada-Mu…" [2]

Imam Ja'far ash-Shadiq as. dalam doa Beliau saat tiba Ramadhan melantunkan

"Shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad dan sibukkan hatiku dengan keagunan ZatMu dan kirimkan kecintaan pada-Mu, sehingga aku berjumpa dengan-Mu." [3]



Catatan Kaki:
[1]Kanz al-Ummah 47:44, dikutip dari Syaikh Muhammad Mahdi al-Ashifi, Doa Suci Keluarga Nabi, Bandung, 2008 Pustaka Hidayah, pp. 191

[2]Bihar al-Anwar 98:89,dikutip dari Syaikh Muhammad Mahdi al-Ashifi, Doa Suci Keluarga Nabi, Bandung, 2008 Pustaka Hidayah, pp. 191

[3]Bihar al-Anwar 97:324,dikutip dari Syaikh Muhammad Mahdi al-Ashifi, Doa Suci Keluarga Nabi, Bandung, 2008 Pustaka Hidayah, pp. 192




Tauhid : Bukti (9t): Bahwa Ia Mencintai Sekalian Alam (al-'alamin) dengan Cinta Murni (hubbun mahdhun) yang terlepas dari semua kebutuhan cinta yang sentimental (min ghayri riqqatin)
CintaNya pada sekalian alam tidak lain adalah;

1. kemahabaikanNya (khayruhu) untuk melimpahkan kesempurnaan kesempurnaan eksistensial yang terbaik dan terindah pada sekalian alam;

2. namun pada saat yang sama, sifat dasar sekalian alam sebagai wujud-wujud mungkin (al-wujudat al-imkaniyyah) adalah kurang, cacat dan lemah; serta mereka tidak pernah mencapai kesempurnaan yang sebenarnya

Maka betapa mungkin bagi Tuhan, yang tidak lain adalah Kemahabaikan itu sendiri (al-khayr), melainkan Ia senantiasa menyempurnakan dan menambahkan kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial pada sekalian alam yang selalu kurang, cacat, lemah dan faqir.

Dari sini, nampak bahwa Ia adalah Mahamencintai sekalian alam dalam arti Ia senantiasa melimpahkan kesempurnaan eksistensial yang lebih indah dan lebih indah lagi terus menerus pada sekalian alam tanpa henti. CintaNya memperbaharui kesempurnaan-kesempurnaan yang telah dilimpahkannya pada sekalian alam menjadi lebih indah dan lebih baik , setiap saat , setiap waktu. Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an Al Karim:

"Tiap hari Dia ada dalam kesibukan" (QS 55(AR-RAHMAN):29)

Maka seluruh kosmos, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, dipandang dari mereka adalah obyek CintaNya, selalu membaharu dan mencapai keindahan-keindahan yang lebih baru. Gerakan membaharu ini adalah dari level atom, bahkan subatomik atau yang lebih kecil lagi, hingga level supergalaxy, dan bahkan pada segenap semesta yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Sadrul Muta'allihin Mulla Shadra qs menyebut gerakan pembaharuan semesta terus menerus menuju kesempurnaan-kesempurnaan dan keindahan-keindahan ini sebagai harakah al jauhariyyah (gerakan substansial atau gerakan transubstansiasi) [1].

Bahwa Ia Mencintai hal-hal yang indah dan mencintai melihat jejak-jejak limpahan Keindahan dan KebaikanNya dalam semesta diisyaratkan oleh sebuah riwayat dari Amirul Mukminin Imam 'Ali bin Abi Thalib kw sebagai berikut

"Dari Abu Abdillah as. Beliau berkata: Amirul mukmininas. berkata: sesungguhnya Allah itu Indah (dan) mencintai yang indah, dan mencintai melihat jejak nikmat(Nya) atas hambaNya. " [2]

Satu catatan penting adalah bahwa kata-kata "Cinta" yang dipredikasikan kepadaNya tidak sama dengan kata-kata "cinta" yang dipredikasikan kepada selainNya. "Cinta" yang dipredikasikan kepadaNya adalah "Cinta" yang bebas dari semua kebutuhan. Adalah "Cinta" yang tidak tersentuh rasa takut kehilangan.

Adalah "Cinta" yang tidak tersentuh oleh sifat sentimental apa pun. Mungkin sabda Imam 'Ali bin Abi Thalib kw dalam Nahjul Balaghah Khutbah ke 186 berikut ini mengisyaratkan pada sifat CintaNya yang suci dari segala kebutuhan akan yang dicintaNya

"(Dia) mencintai dan ridho namun tanpa ke-sentimental-an apa pun" [3]

Maha Suci Dia, hubbun mahdhun (Cinta Murni), al Habib al Haqiqi(Pecinta Hakiki), yang CintaNya adalah benar-benar murni. Sungguh CintaNya adalah KemahabaikanNya (khayruhu) untuk melimpahkan sebaik-baik nikmat pada makhluq-makhluqNya.

Maha Suci Dia, sungguh CintaNya tak membutuhkan apa pun, tak mendambakan apa pun (min ghayri riqqatin), melainkan adalah kesempurnaan karuniaNya!

Duhai Yang Mahabaik! Duhai Yang Mahaindah! Duhai Hakikat Murni Cinta!

Tentang Cinta MurniNya, seorang penyair berkata:

Gemilang bak mas murni dua puluh empat karat

Cerlang bak intan pualam mutu manikam

Yang Paling Murni dari yang murni

Yang paling Sejati dari yang sejati

Memberi Murni tanpa meminta

Melimpahkan Nikmat tanpa berharap

Wahai Yang Sendiri dalam Keagungan dan Kekekalan!



Catatan Kaki:
[1]Mulla Shadra, Kearifan Puncak, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cetakan II, Januari 2004, pp. 152

[2]Syekh Kulaini, Al-Kafi, Ahlulbayt Library 1. 0, 2005, Qom, pp. 438

[3]Nahjul Balaghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 2, pp.25




Tauhid : Bukti (10)
Rangka-nya rangka dari seluruh sains dan pengetahuan . Itulah prinsip kausalitas. Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Inilah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat-sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat-sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika. Manusia secara instinktif memahami prinsip kausalitas sebagaimana yang telah dibahas secara elaboratif.

Rangka-nya rangka dari seluruh sains dan pengetahuan . Itulah prinsip kausalitas. Ketika Newton melihat apel jatuh, konon, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan jatuhnya apel. Inilah yang meniscayakan adanya gravitasi dalam fisika. Ketika Mendell melihat keteraturan sifat-sifat hereditas, ia berfikir mestinya ada sesuatu yang mewujudkan keteraturan sifat-sifat hereditas. Keyakinan ini menumbuhkan teori genetika. Manusia secara instinktif memahami prinsip kausalitas sebagaimana yang telah dibahas secara elaboratif.

Dalam dunia yang kita persepsi disekitar kita, kita menemukan urutan sebab-sebab efisien, namun kita tidak pernah menemukan, dan tidak pula mungkin bahwa ada sesuatu yang merupakan sebab efisien dirinya sendiri. Jika hal seperti ini ada, maka sesuatu harus ada sebelum dirinya sendiri, yang merupakan hal yang mustahil. Namun adalah tidak mungkin deretan sebab efisien berderet terus ad infinitum. Karena dalam setiap urutan deretan sebab-sebab efisien, hal yang pertama adalah sebab dari hal berikutnya, dan ini pada gilirannya akan menjadi sebab dari hal terakhir (walaupun mungkin ada lebih dari satu tahap antaranya); dan jika satu dari sebab ini diambil; efeknya juga akan lenyap.

Maka , bila tidak ada yang pertama dari deretan sebab-sebab efisien, tidak akan ada sebab-sebab antara dan efek akhirnya. Namun bila deretan sebab-sebab efisien membentang ke belakang ad infinitum, tidak akan ada sebab efisien pertama, yang akan berarti bahwa tidak akan ada akibat final, dan tidak ada sebab-sebab efisien antara, yang tentu bukan hal yang terjadi. Maka adalah mesti untuk menetapkan suatu Sebab Efisien Pertama; dan ini dipahami oleh setiap orang sebagai Tuhan.




Tauhid : Bukti (11)
Ada gradasi-gradasi yang ditemukan dalam semesta keberadaan. Kita melihat sesuatu yang lebih baik atau kurang baik, lebih mulia atau kurang mulia ketimbang yang lain dan seterusnya. Namun "lebih" dan "kurang" adalah istilah-istilah yang digunakan hal-hal yang berbeda dengan mengacu pada seberapa dekat mereka pada apa yang terbaik dalam jenisnya (sebagai contoh, sesuatu adalah "lebih panas" bila ia lebih dekat pada apa yang terpanas). Oleh karena itu ada sesuatu yang merupakan yang paling benar dan yang terbaik dan yang paling utama, dan oleh karena itu paling besar dalam wujud/keberadaan; karena hal-hal yang paling benar adalah paling besar dalam wujud/keberadaan, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam Metaphysics Book II. Sekarang apa yang kita sebut sebagai yang terbesar dalam setiap jenis adalah sebab dari segala sesuatu dalam jenis tersebut, seperti api, yang memiliki panas terbesar, adalah sebab segala sesuatu yang panas (sebagaimana yang dikatakan Aristoteles dalam buku yang sama). Jadi terdapat sesuatu yang merupakan sebab dari keberadaan dan kebaikan dan setiap kesempurnaan yang lain dalam segala sesuatu; dan kita menyebutnya Tuhan.




Tauhid : Bukti (12)
Bahwa yang ada adalah Realitas Keberadaan (Realitas Wujud) atau sesuatu selain itu. Yang dimaksudkan dengan Realitas Wujud adalah yang tidak tercampur dengan apa pun selain Wujud, apakah itu suatu keumuman atau suatu kekhususan, suatu batas atau suatu batasan, suatu kuiditas, suatu kekurangan, atau suatu ketiadaan - dan inilah yang disebut dengan "Wujud Perlu (Wajib)".

Oleh karena itu kita katakan bahwa jika Realitas Wujud tidak ada, maka tidak ada apa pun sama sekali yang ada. Namun konsekuensi ini terbukti (dengan
sendirinya) salah; maka premisnya pun juga salah.

Sedangkan penjelasan premis keniscayaan Wujud Awal ini, maka karena sesungguhnya selain Realitas Wujud adalah kuiditas dari kuditas-kuiditas tertentu atau suatu wujud partikular, tercampur dengan ketiadaan atau kekurangan.Dan tiap kuiditas selain Wujud ada melalui Wujud, tidak dengan diri mereka sendiri.Bagaimana (mereka bisa ada tanpa Wujud (Keberadaan))?Karena jika diambil oleh dirinya sendiri, terpisah dari wujud, kuiditas itu sendiri tidak bisa
"ada" dengan dirinya sendiri, untuk menjadi majud.

Karena untuk menetapkan sesuatu dengan sesuatu yang lain telah mensyaratkan penegakan dan keberadaan (wujud) suatu hal yang lain tersebut. Dan wujud itu -jika itu adalah sesuatu selain Realitas Wujud- tersusun atas Wujud per se (atau "Wujud qua Wujud") dan suatu partikularitas lain. Namun setiap partikularitas selain Wujud adalah tiada atau memiliki sifat ketiadaan.Maka setiap yang tersusun (dari kuiditas partikular dan Wujud) adalah posterior terhadap kesederhanaan Wujud dan dalam keadaan membutuhkan Wujud.

Maka ketiadaan (atau "nonbeing") tidak masuk ke dalam eksistensi dan kemunculan aktual suatu benda, walaupun ia mungkin masuk ke dalam definisi dan konsepnya. Karena untuk menegaskan konsep apa pun dari sesuatu dan untuk memprediksikan konsep itu dari hal itu -apakah (konsep itu) kuiditas atau sifat lain, dan apakah itu ditegaskan atau ditolak oleh sesuatu- selalu mensyaratkan wujud dari hal itu. Diskusi kita selalu kembali ke pada Wujud: apakah terdapat regresi tak terhingga (prediksi-prediksi dan subyek-subyek) atau seseorang akhirnya tiba pada sebuah Wujud Mutlak, tidak tercampur dengan sesuatu yang lain.

Maka telah menjadi jelas bahwa Sumber eksistensi segala sesuatu yang ada adalah Realitas Murni Wujud, tidak tercampur dengan hal apa pun selain Wujud.

Realitas ini tidak dipagari oleh definisi, batasan, ketaksempurnaan, potensialitas kontinene atau pun kuiditas apa pun; tidak juga Realitas ini tercampur oleh keumuman apa pun, baik genus, spesies, ataupun pembeda, tidak juga Realitas ini tercampur dengan aksiden khusus ataupun umum. Karena Wujud lebih dahulu dari seluruh deskripsi aksidental bagi kuiditas. Dan yang tidak mempunyai kuiditas selain Wujud tidak dibatasi oleh keumuman atau pun kekhususan, dan tidak mempunyai beda khusus dan tidak mempunyai partikularitas yang terpisah dari DzatNya Sendiri.

Realitas ini tidak mempunyai bentuk, sebagaimana Ia juga tidak mempunyai agen atau tujuan. Sebaliknya, Realitas ini adalah BentukNya Sendiri, dan Realitas ini yang memberi bentuk pada segala sesuatu, karena sesungguhnya Ia Sempurna DzatNya.Dan Realitas ini adalah kesempurnaan segala sesuatu karena
Dzatnya diaktualisasikan dalam segala aspek.

Tidak ada yang dapat menguraikanNya atau menyingkapkanNya selain Ia Sendiri, dan tidak ada pembuktian atasnya selain DiriNya ketika Ia berfirman:

(Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia…) (QS 3;18).

Karena KetunggalanNya bukanlah merupakan ketunggalan partikular yang ditemukan pada suatu individu dari suatu hal yang alamiah; tidak juga merupakan ketunggalan generik atau spesifik yang ditemukan pada setiap gagasan umum atau setiap kuiditas.KetunggalanNya tidak juga merupakan ketunggalan konjungtif yang ditemui ketika sejumlah benda diatur atau disatukan menjadi sebuah hal yang tunggal; tidak juga merupakan ketunggalan hubungan yang ditemukanan dalam kuantitas-kuantitas dan hal-hal yang terukur.

Tidak juga, sebagaimana yang akan Anda pelajari, merupakan ketunggalan-ketunggalan relatif yang lain, seperti ketunggalan dengan kemiripan, keserbasamaan, analogi, korespondensi, reduplikasi -walupun filsuf (tertentu) telah membolehkan ketunggalan tersebut- kongruensi, atau jenis-jenis lain ketunggalan yang bukan merupakan Ketunggalan Sebenarnya.

Tidak, KetunggalanNya bukanlah (ketunggalan-ketunggalan relatif ini, tidak diketahui dalam intinya yang paling hakiki, sebagaimana ZatNya -Maha Mulia Ia- kecuali bahwa KetunggalanNya adalah Sumber seluruh ketunggalan-ketunggalan (lain ini), sebagaimana wujudNya adalah Sumber seluruh wujud-wujud (partikular). Maka: Tidak ada yang kedua bagiNya.

Dengan cara yang sama, Pengetahuan UniterNya adalah Realitas Pengetahuan yang tidak tercampur dengan kebodohan, sehingga Ia adalah Pengetahuan tentang segala sesuatu dari semua segi. Dan hal yang sama dapat dikatakan tentang seluruh Sifat-sifat KesempurnaanNya (yakni, Kehidupan, Kekuatan, Kehendak, dan lain-lain - yang juga Tunggal dengan Zat dan WujudNya).

12